Penarikhan radiokarbon kaitannya dengan dinamika daur proses pengendapan Kuarter fluvial dan danau terhadap perubahan iklim dan tektonik di paparan Danau Singkarak, Kab. Solok, Sumatera Barat (Herman Mulyana & Herman Moechtar)
PENARIKHAN RADIOKARBON KAITANNNYA DENGAN DINAMIKA DAUR PROSES PENGENDAPAN KUARTER FLUVIAL DAN DANAU TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN TEKTONIK DI PAPARAN DANAU SINGKARAK, KAB. SOLOK, SUMATERA BARAT Herman Mulyana, & Herman Moechtar
Pusat Survei Geologi - Badan Geologi, Jl. Diponegoro 57 - Bandung
ABSTRACT The Quaternary deposits in the studied area comprises of river channel, floodplain, swampy which influence by rising and falling of lake level, lake, tidal-lake, and swamp deposits. These deposited separated by three depositional intervals (IP I-III). Vertically, the character of environment changing seems not gradually. These differences caused by dominant of tectonic effects. Therefore, climate was not important force in controlling the change of the environments. It’s mean, the sedimentary processes on the basin were under controlled by tectonic. Keywords: Sedimentary process, climate, and tectonic
ABSTRAK Sedimen Kuarter di daerah telitian dapat dibedakan menjadi endapan-endapan alur sungai, dataran banjir, rawa yang dipengaruhi oleh turun-naiknya muka air danau, danau, pasang surut, dan rawa. Endapan-endapan ini dipisahkan oleh tiga interval pengendapan (IP I-III). Secara tegak, karakter dari berubahnya lingkungan terlihat tidak berlangsung secara berangsur. Perbedaan ini adalah disebabkan oleh dominannya efek tektonik. Oleh karena itu, iklim adalah kekuatan yang kurang penting di dalam mengontrol proses berubahnya lingkungan. Itu berarti bahwa proses sedimentasi di cekungan di bawah kendali tektonik.. Kata kunci: Proses pengendapan, iklim, dan tektonik
PENDAHULUAN Daerah penelitian termasuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat, tepatnya terletak pada kawasan daerah administratif Kab. Solok dan Kab. Tanah Datar yang dibatasi koordinat 048' 00’’ dan 0 29’00’’ Lintang Selatan serta 100 28' 00’’ dan 100º 40' 00’’ Bujur Timur (Gambar 1). Sedimen Kuarter di tempat tersebut, telah diamati secara cermat dengan melakukan pemboran tangan pada kedalaman yang bervariasi (Gambar 2). Sedimen yang dimaksud terdiri dari beberapa sistem lingkungan pengendapan, yang secara mendatar dan tegak mengalami perubahan. Lintasan pemboran sekitar Air Sumani yang berada di sebelah tenggara danau Singkarak, adalah merupakan dataran rendah aluvium sungai yang membujur dari Singkarak hingga Kota Solok yang ditutupi oleh aluvium sungai (Qal) (Kastowo dkk.,
1996). Danau Singkarak dan sekitarnya termasuk bagian dari pegunungan Bukit Barisan yang merupakan daerah tinggian yang dikelilingi oleh formasi batuan volkanik berumur Kuarter yang membujur dari utara ke selatan, yang selanjutnya ke arah timurlaut dan baratdayanya dikelilingi oleh perbukitan yang berasal dari formasi batuan Tersier dan Pre-Tersier yang mengapit bukit-bukit volkanik (Silitonga & Kastowo, 1995; Kastowo dkk., 1996). BAHAN DAN METODE PENELITIAN Analisis Data Penarikhan radiokarbon dilakukan di Laboratorium Geologi Kuarter, Pusat Survei Geologi (Badan Geologi), yang tujuan utamanya adalah untuk mengetahui umur sedimen dari contoh pemboran dengan menggunakan metode Carbon dating (C 14). Metode radiokarbon C14 dapat digunakan 29
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 8, Nomor 1, April 2010: 29-40
untuk menentukan umur hingga mencapai 50.000 tahun lalu (Before Present/BP) (Sibrava, 1978), yang dengan teknis khusus, metode tersebut dapat dikembangkan hingga menghasilkan penentuan umur hingga 100.000 tahun. Guna keperluan penelitian penarikhan radiokarbon (C14), telah diambil contoh sedimen yang berasal dari 6 lokasi pemboran tangan (Gambar 1 dan 2). Contoh yang diambil adalah berupa material organik yang harus memenuhi persyaratan, yaitu diantaranya harus mengandung sisasisa tumbuhan seperti batang kayu, daun, akar tanaman, gambut termasuk lempung gambutan (peaty clay) atau lempung berhumus (humic clay). Percontohan dilakukan pada lokasi-lokasi bor 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 dengan variasi kedalaman antara 2,00 m (terdangkal) hingga 8,80 m (terdalam). Contoh-contoh tersebut secara umum, telah mewakili beberapa lingkungan pengendapan seperti endapan-endapan rawa, pasang-surut, danau, dan rawa yang dipengaruhi oleh turun-naiknya muka air danau (Gambar 3). Pada akhirnya, umurumur lapisan tersebut dapat dihubungkan dengan waktu peristiwa pem-bentukannya, khususnya terhadap faktor yang mengendalikan berlangsungnya proses pengendapan. SEDIMENTOLOGI & STRATIGRAFI Sedimentologi Litologi dan lingkungan pengendapan secara visual, berdasarkan analisis fasies sedimen Kuarter di daerah penelitian telah dilakukan oleh Moechtar dkk. (2008). Hasil dari penafsiran mereka, dapat disebandingkan dengan korelasi dari 7 titik pemboran yang tergambarkan dan ditampilkan pada penampang A-B (Gambar 3). Sedimen Kuarter tersebut dialasi oleh material gunungapi berupa lempung tufan, pasir tufan, tuf; hijau keabu-abuan; padat dan keras dengan komposisi utamanya 30
andesit berukuran pasir yang butirannya menyudut hingga menyudut tanggung. Litologi tersebut mengandung pecahan batuapung dengan warna pelapukan coklat kekuningan hingga coklat. Material gunungapi itu tersingkap di daerah pedataran membentuk bukit-bukit kecil, sedangkan makin ke arah tinggian beralih menjadi bongkah-bongkah andesit. Menurut Silitonga dan Kastowo (1995) serta Kastowo dkk. (1996), batuan alas tersebut termasuk batuan volkanik yang tak terpisahkan (QTau). Sedangkan sedimen Kuarter yang menutupi batuan volkanik tersebut dapat dibedakan menjadi endapan-endapan alur sungai, dataran banjir, rawa yang dipengaruhi oleh turun-naiknya muka air danau, danau, pasang surut, dan rawa yang pada akhirnya ditutupi oleh soil (Gambar 3). Endapan alur sungai yang menutupi batuan alas, berintegrasi dan ditutupi oleh endapan pasang surut yang selanjutnya ditutupi oleh endapan danau dan rawa (Gambar 3). Endapan alur sungai tersebut dijumpai pula pada bagian tengah interval pengendapan yang berhubungan pula dengan endapan-endapan rawa, dataran banjir, dan danau. Endapan alur sungai ini ditutupi pula oleh endapan rawa dan endapan rawa yang dipengaruhi oleh turun-naiknya muka air danau. Endapan rawa yang dipengaruhi turun-naiknya muka danau dicirikan oleh lapisan tipis fasies danau dalam fasies rawa. Fasies fluvial lainnya yaitu endapan dataran banjir, muncul pada bagian tengah dan atas interval pengendapan. Endapan pasang surut umumnya menyusun interval pengendapan bagian bawah, meski dijumpai pula secara setempat pada bagian tengah dan atas. Endapan tersebut umumnya tertutupi oleh endapan danau, yang pada beberapa tempat diendapkan fasies rawa di atasnya. Munculnya endapan danau yang diikuti berkembangnya endapan-endapan rawa dan dataran banjir, secara setempat endapan tersebut ditutupi oleh endapan pasang
Penarikhan radiokarbon kaitannya dengan dinamika daur proses pengendapan Kuarter fluvial dan danau terhadap perubahan iklim dan tektonik di paparan Danau Singkarak, Kab. Solok, Sumatera Barat (Herman Mulyana & Herman Moechtar)
surut. Rangkaian proses pengendapan tersebut merupakan variasi dari sistem pengendapan yang terbentuk pada interval bagian atas. Interval pengendapan atas tersebut, umumnya berkembang endapan rawa yang ditandai oleh selain menutupi endapan danau, juga berintegrasi serta diikuti oleh berlangsungnya proses pembentukan endapan dataran banjir di bagian atasnya (Gambar 3). Selain itu, endapan danau juga menjemari dengan endapan dataran banjir dan endapan rawa yang dipengaruhi oleh turun-naiknya muka air danau seperti yang terlihat pada interval bagian atas. Endapan Kuarter tersebut, pada akhirnya ditutupi oleh soil sebagai tanah penutup (Gambar 3). Stratigrafi Proses sedimentasi dalam suatu cekungan umumnya adalah bersifat homogen, sedangkan perubahan dari fasies pengendapannya baik secara tegak ataupun mendatar terjadi secara berangsur. Sebaliknya, sedimen Kuarter yang tercermin dari runtunan stratigrafi di daerah telitian menunjukkan bahwa pola dan sebaran fasies endapannya adalah spesifik dan rumit (Gambar 3). Namun demikian, rangkaian stratigrafi tersebut dapat dibedakan dan dikelompokkan menjadi 3 interval pengendapan (IP), yaitu IP I hingga IP III. Runtunan stratigrafi diawali oleh terbentuknya IP I, dimana endapan alur sungai terbentuk. Proses tersebut diikuti oleh berkembangnya endapan pasang surut yang diikuti oleh terbentuknya endapan danau. Kondisi demikian seolah-olah sebagai pertanda bahwa muka air danau pasang atau naik ketika itu (Gambar 3). Muka air danau kembali turun terbukti dengan terbentuknya endapan-endapan pasang-surut, rawa, alur sungai, dan dataran banjir yaitu sebagai petunjuk terbentuknya bagian bawah IP II. Selanjutnya, bagian atas IP II memiliki karakter berubahnya lingkungan yang sangat spesifik, yaitu
disamping endapan danau kembali terbentuk juga dicirikan oleh bergesernya lingkungan alur sungai dan endapan rawa (Gambar 3). Secara umum, bagian teratas dari IP II masih menunjukkan berkembangnya endapan-endapan rawa, pasang-surut, danau, dan alur sungai. Rang-kaian stratigrafi selanjutnya, ditandai oleh terbentuknya bagian bawah dari IP III dimana munculnya endapan-endapan dataran banjir, pasang-surut, dan rawa yang menjemari dengan lingkungan rawa yang dipengaruhi oleh turun-naiknya muka air danau. Ke arah atasnya, muka air danau semakin turun dan menyusut terbukti dengan terbentuknya soil (Gambar 3). USIA LINGKUNGAN PENGENDAPAN Usia lingkungan pengendapan berdasarkan rangkaian atau susunan stratigrafi di daerah penelitian, dan dari data analisis penarikhan radiokarbon yang memenuhi persyaratan adalah berada pada IP II, meski satu contoh mewakili bagian bawah dari IP III. Hasil dari analisa umur tersebut lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut (Gambar 3): 1. Pada interval bawah IP II yang diwakili oleh endapan rawa, menunjukkan bahwa umur lapisan tersebut adalah berumur 5790 ± 140 BP. 2. Bagian tengah IP II secara berturut-turut memperlihatkan, kisaan umur lapisannya adalah 4730 ± 180 BP pada lapisan endapan rawa yang dipengaruhi turun-naiknya muka air danau, dan 3730 ± 100 BP pada endapan pasang-surut. Ke arah atasnya, lapisan rawa yang menutupi alur sungai terjadi pada 3090 ± 150 BP serta lapisan danau berumur 2720 ± 180 BP. 3. Bagian atas IP II, dicirikan oleh terbentuknya endapan danau berumur 2410 ± 180 BP dan 2010 ± 120 BP. Sedangkan endapan rawa yang terbentuk ketika itu memiliki 31
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 8, Nomor 1, April 2010: 29-40
kisaran umur antara 2520±140 BP, 1730± 130 dan 1450±150 BP. Bagian bawah endapan pasangsurut sebagai penciri bagian atas IP II ini, terbentuk pada 1640 ± 140 BP. 4. Lingkungan endapan rawa yang dipengaruhi turun-naiknya muka air danau pada Interval III, ditandai oleh awal pembentukannya pada 1140 ± 210 BP. Hubungan antara lokasi contoh, kedalaman, jenis endapan dan asosiasi sedimennya dari hasil analisa penarikhan radiokarbon tersebut di atas secara rinci diuraikan pada Tabel 1. Sedimen Kuarter yang terbentuk di daerah telitian, adalah merupakan bagian lingkungan danau Singkarak Purba dimana ketika muka air danau surut, menjadikan wilayah tersebut memberi kesempatan terbentuknya sistem fluvial dan rawa. Thomas dkk. (1996), mendefinisikan lingkungan danau sebagai lingkungan tertutup yang dikelilingi oleh dataran serta tidak berhubungan langsung dengan laut yang dapat terbentuk dimanamana pada hamparan dataran fluvial. Disebutkan pula bahwa, bagian hulu danau bukan hanya satu atau single alur sungai yang masuk ke dalamnya, akan tetapi berasal dari anak-anak sungai kecil sehingga pengaruh air permukaan dan air tanah menjadi penting untuk kelangsungan kehidupan lingkungan danau. Oleh karena itu, danau adalah berasal dari hubungan antar sungai-sungai yang selanjutnya meluas dan memiliki kedalaman yang menyolok di sepanjang alirannya, serta berintegrasi dengan berbagai elemen lainnya seperti: kehidupan, bumi, air, dan angkasa (Anadón dkk. 1991). Berdasarkan terminologi geologi, asal-usul terbentuknya danau dikatakan pula sebagai suatu lingkungan ephemeral atau hampir sama sekali tidak memiliki energi aliran, dan mekanisme pemben-tukannya adalah berasal dari hasil proses geologi. Meybeck (1995, dalam Thomas, dkk. 32
(1996) membedakan danau berdasarkan asal usul pembentukannya, diantaranya adalah danau-danau: glasial, tektonik, fluvial, bendung (dammed lake), gunungapi (volcanic lake), dan penyaringan (solution lake) termasuk danau kars (karst lake). Meski danau Singkarak dikelilingi oleh perbukitan, namun dua alur sungai utama yang masuk dan berpengaruh besar terhadap danau Singkarak yaitu di utara berasal dari alur Air Sumpur, sedangkan di selatan oleh alur Air Sumani. Sedangkan anak-anak sungai kecil yang terdapat di sekitar danau adalah relatif minim dan tidak begitu banyak. Akumulasi air danau Singkarak adalah relatif besar, kemungkinan volume air tersebut bukan saja berasal dari air permukaan tapi juga berasal dari air bawah permukaan. Karena danau Singkarak adalah merupakan danau tektonik (Tjia, 1977), terbukti dari aspek sedimentologi dan stratigrafinya sangat dipengaruhi oleh gerak-gerak tektonik (Moechtar dkk., 2008). Oleh karenanya, keberadaan volume air danau Singkarak tidak terlepas dari sumbernya yang berasal dari sirkulasi berubahnya iklim yang mempengaruhi lingkungan permukaan, dan akumulasi air bawah permukaan melalui zona-zona lemah sesar. Namun demikian, proses energi aliran yang berasal dari proses sedimentasi di permukaan akan selalu dikendalikan oleh sirkulasi berubahnya iklim tanpa dipengaruhi oleh volume air bawah permukaan tersebut seperti energi aliran pada sistem fluvial, kecuali akibat bergesernya lingkungan danau yang berakibat berubahnya elevasi karena dikendalikan oleh tektonik. Hal ini disebabkan oleh lingkungan danau yang sifatnya pasif tersebut. Lingkungan danau dapat berinteraksi dengan berbagai elemen, sehingga fasies danau menjadi penting di dalam mempelajari perubahan lingkungan selama Kuarter (Anadón dkk., 1991) seperti susunan fasies endapannya dapat dijadikan sebagai penciri alat perekam yang baik dalam
Penarikhan radiokarbon kaitannya dengan dinamika daur proses pengendapan Kuarter fluvial dan danau terhadap perubahan iklim dan tektonik di paparan Danau Singkarak, Kab. Solok, Sumatera Barat (Herman Mulyana & Herman Moechtar)
merekonstruksi perubahan iklim dan tektonik. Oleh karena itu, berubahnya iklim dan efek tektonik yang dominan telah menjadikan sifat dari susunan interval pengendapan yang spesifik (Gambar 3). Moechtar dkk. (2008) membedakan beberapa fase kejadian perubahan iklim dan tektonik di daerah telitian, yang apabila dikaitkan dengan umur lapisan memperlihatkan bahwasanya (Gambar 3 dan Tabel 1): 1. Bagian bawah dari IP II tidak menunjukkan gejala tektonik yang ketika itu di bawah pengaruh kondisi kelembaban maksimum yang dicirikan oleh sedimen yang berasal dari proses meluasnya fasies rawa, danau dan puncak sistem endapan fluvial yaitu 5790±140 BP termasuk fase 3. Menurut Moechtar dkk. (2008), fase pertama adalah berkaitan dengan terjadinya tektonik lokal dibawah pengaruh kondisi iklim ketika itu agak basah/ lembab yang menghasilkan IP I bagian bawah. Bagian atas IP I ditafsirkan sebagai fase 2, yaitu suatu peristiwa terjadinya tektonik regional yang intensitasnya besar dimana ketika itu kondisi iklim adalah basah. Mulyana dkk. (2008), melakukan penelitian serupa di bagian utara danau Singkarak dan mereka menyimpulkan pula bahwa rangkaian stratigrafi yang sama dengan IP I juga dipengaruhi oleh tektonik yang ke arah atasnya intensitasnya semakin tinggi. Umur dari lapisan IP I tersebut tidak dapat diukur, karena contoh lapisannya yang tidak memenuhi syarat untuk dianalisa. 2. Pada 4730 ± 180 BP pengaruh tektonik mulai terasa, bukti tektonik yang terjadi adalah muka air danau meluas karena batuan alas turun; berubahnya lingkungan rawa menuju lingkungan rawa yang dipengaruhi oleh turun-naiknya muka air danau, meski tingkat kelembaban ketika itu menurun yaitu termasuk bagian tengah interval II. Gejala tersebut menurut
Moechtar dkk. (2008) adalah merupakan peristiwa fase ke 4 di bawah pengaruh tektonik yang sifatnya lokal pada kondisi iklim agak basah yaitu termasuk IP II bagian atas. Sedangkan fase sebelumnya yaitu fase 3 menurut mereka, dicirikan oleh tingkat kelembaban maksimum tanpa dipengaruhi oleh tektonik yang menghasilkan bagian bawah dari IP II. 3. Puncak dari intensitas tektonik terjadi pada 3730 ± 100 BP yaitu ketika lingkungan pasang-surut beralih menjadi lingkungan rawa, dan terbentuknya lingkungan rawa pada 3090 ± 150 yang dicirikan oleh berpindahnya alur sungai, sehingga kejadian ini bukan disebabkan oleh faktor iklim. Peristiwa tersebut masih termasuk fase ke 4 pada IP II bagian atas yang dinyatakan oleh Moechtar dkk. (2008) sebagai pengaruh tektonik yang sifatnya regional. Artinya, selama terbentuknya bagian tengah hingga bagian atas IP II ditandai oleh aktifitas tektonik lokal hingga diikuti oleh tektonik yang sifatnya regional. Gerak-gerak tektonik regional tersebut, kemungkinan diikuti oleh tektonik yang sifatnya lokal terbukti dengan terbentuknya endapan pasang-surut yang menutupi endapan rawa pada bagian atas IP II yaitu pada 1640 ± 150 BP. Kejadian serupa ternyata dapat direkonstruksi pula di utara danau Singkarak oleh Mulyana dkk. (2008), dimana mereka mengatakan bahwa selama terbentuknya interval atas IP II dipengaruhi oleh tektonik yang intensitasnya semakin besar khususnya di akhir pemben-tukan interval pengendapan tersebut. 4. Interval Pengendapan III yaitu pada 1140 ± 210 BP, tidak memperlihatkan adanya gejalagejala tektonik di tempat tersebut. Moechtar dkk. (2008) berasumsi bahwa rangkaian pengendapan tersebut adalah merupakan fase ke 5, yaitu sebagai peristiwa menyus33
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 8, Nomor 1, April 2010: 29-40
utnya muka air danau mengikuti perubahan iklim menuju kering hingga membentuk bentang alam sebagaimana yang terlihat kini. Indikator usia lapisan tersebut di atas yang dikaitkan dengan peristiwa tektonik dan perubahan iklim tersebut, sudah barang tentu berkaitan dengan peristiwa tektonik yang memiliki intensitas tinggi. Sedangkan intensitas tektonik yang sifatnya kecil seperti tektonik yang terjadi di tempat tersebut pada tahun 2007, kemungkinan besar tidak dapat direkonstruksi. Hal tersebut dikarenakan, tektonik yang berintensitas demikian pada umumnya tidak mampu merubah elevasi atau bentuk dari fenomena bentang alam yang dapat dijadikan sebagai indikator kontrol berlangsungnya suatu proses pengendapan. DINAMIKA DAUR PROSES PENGENDAPAN Perubahan iklim selama kurun waktu Kuarter terjadi secara mencolok yang telah banyak menarik perhatian berbagai disiplin ilmu pengetahuan khususnya ilmu kebumian, karena mengikuti berbagai ordo dari suatu sirkulasi iklim. Tentunya, ahli geologi lebih memfokuskannya terhadap perubahan dari ordo atau siklus perubahan iklim yang dimaksud dalam sekala lebih panjang lagi, seperti perubahan iklim mengikuti siklus Milankovitch yaitu antara puluhan ribu hingga ratusan ribu tahunan. Pergantian ikim yang dimaksud juga ditandai oleh peristiwa lainnya, seperti di kala iklim mendingin maka pengesan atau glasiasi menjadi meluas. Sebaliknya, di saat iklim berangsur memanas es kembali mencair. Siklus perubahan iklim tersebut juga berkaitan dengan turun-naiknya muka air laut, dimana menurut Perlmutter dan Matthews (1989) peralihan tersebut merupakan peristiwa global mengikuti siklus Milankovitch. Masa glasial ditandai oleh turunnya muka air laut secara 34
eustasi tanpa merubah bentuk permukaan bumi, sedangkan antar glasiasi dicirikan oleh permukaan air laut yang kembali naik karena mencairnya es. Perubahan iklim pada Plistosen akhir telah banyak dipublikasikan diantaranya oleh Bowen (1978), Hastenrath dan Kutzbach (1985), Kutzbach dan Street-Perrot (1985), Perlmutter dan Matthews (1989), Shuka dkk. (1990), Ono (1990), Bond (1993), Dansgaard dkk. (1993), Warrick dkk. (1996), Overpeck dkk. (1996), dan Jordan (1999). Glasiasi maksimum terakhir terjadi pada 21.000 tahun yang lalu, yaitu ketika muka laut sangat rendah (mencapai -120 ± 20 m) dibandingkan muka laut kini (Pirazzoli, 1991). Di Asia Tenggara, muka laut Kuarter dianggap bersifat eustatik karena paparan Sunda yang dianggap stabil (Kuenen, 1950). Lebih dari 18.000 tahun yang lalu, kisaran muka laut naik sekitar120 m (Fairbanks, 1989; Bard dkk., 1996). Oleh karena itu, dalam analisis dan penelahaan rekaman perubahan pada 18.000 tahun yang lalu, khususnya torehan lembah akibat naiknya muka air laut menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Apabila dikaitkan dengan stratigrafi daerah telitian, maka masa glasiasi maksimum adalah identik dipengaruhi oleh kondisi kering, dimana sedimen Kuarter di daerah danau Singkarak belum terbentuk. Iklim optimum diduga mulai terjadi pada IP I bagian atas hingga IP II bagian bawah yaitu berkisar sebelum 5790 ± 140 BP. Rind dan Peteet (1985) dan Williams dkk. (1993) menemukan di dekat Hawaii dan Subtropikal Pasifik pada 18.000 tahun yang lalu dikala akhir glasial maksimum, temperatur ketika itu lebih panas 2° dari sekarang. Sedangkan di dataran rendah tropis temperatur ketika itu kurang dari -2° hingga 4°C, dan -5 hingga -15°C di daerah dataran tinggi tropis (Williams dkk, 1993). Perbedaan temperatur antara glasiasi maksimum (18.000 ± 3.000
Penarikhan radiokarbon kaitannya dengan dinamika daur proses pengendapan Kuarter fluvial dan danau terhadap perubahan iklim dan tektonik di paparan Danau Singkarak, Kab. Solok, Sumatera Barat (Herman Mulyana & Herman Moechtar)
BP) dan permulaan Holosen sebagai iklim optimum (9.000 ± 3.000 BP) telah diuraikan oleh Williams dkk. (1993). Rekonstruksi keselarasan iklim pada permulaan Holosen tersebut tentu saja sulit dilakukan, hal tersebut dikarenakan pada pembentukan IP I bagian atas adalah dipengaruhi oleh tektonik regional, sehingga uruturutan stratigrafinya secara lengkap sulit ditelusuri. Analisis stratigrafi rinci dan pentarikhan terumbu Holosen menunjukkan bahwa muka air laut tinggi maksimum tercapai pada 9.000 – 10.000 tahun yang lalu (Chappel dan Polach, 1991). Chappel (1974), lebih jauh, mengatakan bahwa pada akhir 7.000 tahun yang lalu, cekungan samudera mengalami depresi ratarata sebesar 8 mm/ tahun, dan bersamaan dengan itu, secara kontinyu, muka laut naik sekitar 16 m terhadap pusat bumi. Gejala tersebut membuktikan bahwa, korelasi antara perubahan iklim dan turun-naiknya muka air laut sulit ditelusuri. Terbukti bahwa setelah 7.000 tahun yang lalu meski kondisi iklim secara universal menuju kering akan tetapi muka laut menjadi naik (Chappel, 1974). Dinamika daur proses pengendapan di daerah telitian, lebih jauh dapat diuraikan, sebagai berikut: 1. Kontrol berubahnya iklim secara universal berdasarkan variasi endapan yang terjadi di paparan danau Singkarak sulit dikorelasikan. Hal ini disebabkan oleh turunnaiknya muka air danau sematamata bukan disebabkan oleh bertambahnya tingkat kebasahan atau kelembaban, akan tetapi juga dipengaruhi oleh turun-naiknya alas cekungan danau akibat tektonik. 2. Berubahnya iklim dapat dijadikan sebagai indikator berkesinambungnya suatu proses pengendapan, karena peristiwa berlangsung secara berangsur. Namund demikian, kesinambungan tersebut menjadi rumit untuk wilayah yang dipengaruhi oleh tektonik yang kuat. Oleh karena itu, fase dari suatu daur
proses pengendapan di daerah bertektonik aktif cenderung menjadi acuan utama. Dalam hal ini fase suatu kejadian lokal (tektonik) menjadi penting dibanding fase kejadian yang sifatnya global (perubahan iklim) khususnya di wilayah danau tektonik. Hubungan antara tektonik dan perubahan iklim global dalam dinamika daur proses pengendapan di paparan danau Singkarak, adalah: 1. Turun-naiknya muka air danau mempunyai keterkaitan erat dengan tektonik, sehingga kontrol berubahnya iklim secara global menjadi tidak terekam. Untuk itu perlu dilakukan korelasi dengan lapisan yang seumur yang pada saat ini berada pada danau Singkarak. Dengan demikian urutanurutan stratigafi secara tegak dan lengkap (composite sections) dapat dilakukan. 2. Meski urut-urutan stratigrafi berdasarkan faktor kendali perubahan iklim secara 2 dimensi sulit dilakukan, akan tetapi jejak-jejak efek iklim tersebut dapat diketahui dari ciri-ciri endapannya. Oleh karena itu, apabila perubahan dari gejala peristiwa tersebut diuraikan lebih lanjut, maka perlu dilakukan analisis korelasi secara 3 dimensi yaitu dengan jalan melakukan pembuatan diagram blok atau pemetaan isopach perubahan lingkungan mengikuti interval pengendapan 3. Dalam telaah siklus stratigrafi khususnya pada endapan Kuarter yang mengacu pada dinamika daur proses pengendapan sehubungan dengan berubahnya siklus iklim dan muka air laut secara global, maka untuk wilayah bertektonik aktif sangat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan, disamping bergesernya lingkungan juga disebabkan oleh pergantian lingkungan tersebut terjadi secara cepat.
35
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 8, Nomor 1, April 2010: 29-40
KESIMPULAN 1. Perubahan lingkungan sedimen Kuarter di Danau Singkarak adalah rumit dan spesifik, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor kendali pembentukkannya seperti : (a) berubahnya iklim, (b) tektonik dan, (c) iklim dan tektonik. Berdasarkan penarikhan radio carbon pada interval lapisanlapisan tertentu ternyata sangat membantu dalam memahami dinamika daur proses pengendapannya. 2. Perubahan iklim yang sifatnya universal, ternyata sangat menarik untuk ditelusuri dikarenakan dapat dikorelasikan dengan kondisi perubahan iklim di tempat lain. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan, saran dari berbagai pihak terutama masukan dari rekan Sonny Mawardi, sehingga makalah ini dapat diwujudkan. PUSTAKA Anadón, P., Cabrera, L. & Kelts, K. 1991. Preface. In: Lacustrine Facies Analysis (Ed. Anadón, P., Cabrera, L. dan Kelts, K.), Spec. Publs. Int. Ass. Sediment. (1991) 13. Bard, E., B. Hamelin, M. Arnold, L. Montaggioni, Cabioch, G., Faure, G dan Rougerie, F., 1996. Deglacial Sea Level Record from Tahiti Corals and the Timing of Global Meltwater Discharge. Nature, Vol. 382, 241244. Bond, G., 1993. Evidence for general instability of past climate from a 250—kyr ice-core record. Nature, Vol. 364, 218-220. Bowen, D.Q., 1978. Quaternary Geology: A stratigraphic framework for multidisciplinary work. Pergamon Press, 221. 36
Chappell, J.M.A, 1974. Late Quaternary Glacio and Hydroisostacy on a layered earth. Quat. Res., 4, 405-428 Chappell, J. dan Polach., 1991. Postglacial sea level rise from a coral record at Huon Peninsula, Papua New Guinea. Nature 349, 147-149. Dansgaard, W., Johnsen, S.J., Clausen, H.B., Dahl-Jensen, D., Gundestrup, N.S., Hammer, C.U., Hvidberg, C.S., Steffensen, J.P., Sveinbjörnsdottir, A.E., Jouzel, J. dan Bond, G., 1993. Evidence for general instability of past climate from a 250-kyr ice-core record. Nature, V. 364, 218-220. Fairbanks, R.G., 1989. A 17,000years Glacio-eustatic sea level record: Influence of Glacial Melting Rates on the Younger Dryas Event and Deep-Ocean Circulation. Nature, Vol. 342, No. 6250, 637642. Hastenrath, S. dan Kutzbach, J.E., 1985. Late Pleistocene climate and water budget of the South American Altiplano. Quat. Res. 24, 249-256. Jordan, J.W., 1999. Late quaternary sea-level change in southern beringia: coastal paleogeography of the western Alaska Peninsula. http://es.epa.gov./ncer/fellow/prog ress/96/jordanja99.html, Progress Report, EPA Grant Number: U915030, University of WisconsinMadiso, 2p. Kastowo, Gerhard W. Leo, Gafoer, S. dan T.C. Amin., 1996. Peta Geologi Lembar Padang, Sumatera. Sekala 1:250.000, Puslitbang Geologi, Bandung. Kuenen, Ph., H., 1950. Marine Geology. New York, Wiley, 451 p. Kutzbach, J.E. dan Street-Perrot, F.A., 1985. Milankovitch forcing of fluctuations in the level of tropical lakes from 18 to 0 kye BP. Nature, Vol. 317, 130-134. Libby, W.F., 1951. Radiocarbon dating. University of Chicago. Press, 204 p.
Penarikhan radiokarbon kaitannya dengan dinamika daur proses pengendapan Kuarter fluvial dan danau terhadap perubahan iklim dan tektonik di paparan Danau Singkarak, Kab. Solok, Sumatera Barat (Herman Mulyana & Herman Moechtar)
Moechtar, H., Mulyana, H.,& Pratomo, I., 2008. Tektonik dan Perubahan iklim Plistosen Akhir (studi kasus geologi Kuarter berdasarkan aspek sedimentologi dan stratigrafi endapan fluvial dan Danau Singkarak Purba di sepanjang kawasan SolokSumani, Sumatera Barat. Jurnal Teknologi Mineral ITB, Dalam persiapan penerbitan (inprep). Mulyana, H., Lumbanbatu, U.M., Moechtar, H., & Pratomo, I., 2008. Pengaruh Tektonik dan Iklim terhadap perubahan lingkungan endapan Kuarter Daerah Sumpur, Sumatera Barat. Jurnal Sumber Daya Geologi, Dalam persiapan penerbitan (inprep). Ono, Y., 1990. Alluvial fans in Japan and South Korea. In: Rachoki, A.H. and Church, M. (Eds.), Alluvial Fans: A Field Approach. Wiley, Chichester, 91-107. Overpeck, J.T., Anderson, D., Trumbore, S. dan Prell, W., 1996. The south-west Indian Monsoon over the last 18.000 years. Clim. Dyn., Vol. 12, 213-225. Perlmutter, M.A. dan Matthews, M.A. (1989) Global Cyclostratigraphy. In: T.A. Cross (ed.), Quantitative Dynamic Stratigraphy. Prentice Englewood, New Jersey, 233-260. Pirazzoli, P.A., 1991. World Atlas of Holocene Sea-Level Changes. Elsevier Oceanography Series, 58, Amsterdam-London-New YorkTokyo, 299 p. Shuka, J., Nobre, C. dan Sellers, P., 1990. Amazone deforestation and climate change. Science 247, 1322-1325. Sibrava, V., 1978. Isotopic Method in Quaternary Geology, Contribution to the Geologic Time Scale. AAPG Bull., 165-170 Silitonga, P.H. dan Kastowo, 1995. Peta Geologi Lembar Solok, Sumatera. Skala 1:250.000, Edisi 2, Puslitbang Geologi, Bandung. Thomas, R., Meybeck dan Beim, A., 1996. Chapter 7 - Lakes. In: Chapman, D. (Ed). Tectonic lakes:
Lakes formed by large scale crustal movements separating water tropical lakes the temperature difference between surface and bottom. Water Quality Assessments – A Guide to Use of Biota, Sediments and Water in Environmental Monitoring – Second Edition, © 1992, 1996 UNESCO/WHO/UNEP, ISBN 0 419 21590 5 (HB) 0 419 21600 6 (PB), 46pp. Http://www.who.int/entity/water_s anitation_health/resourcesquality/ wqachapter7.pdf Tjia, H.D., 1977. Tectonic Depressions along the Transcurrent Sumatra Fault Zone. Geologi Indonesia, J 4 No 1, 13-27. Warrick, Le Provost, R.A.C., Meier, M.F., Oerlemans, J. dan Woodworth, P.L., 1996. Changes in sea level. In: J.T. Houghton, L.G. Meira Filho, B.A. Callander, N. Harris, A. Kattenberg, and K. Maskell (eds), Climate Change 1995. The Science of Climate Change, Cambrite University Press., 361-405 Williams, M.A.J., Dunkerley, D.L., Decker, P.De., Kershaw, A.P. dan Stokes, T.J., 1993. Quaternary Environments. Edward Arnold, A division of hodder & Stoughton, London New York Melbourne Auckland, 329 p.
37
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 8, Nomor 1, April 2010: 29-40
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di sepanjang dan sekitar Air Sumani sampai muara
38
Gambar 2. Penampang sedimen Kuarter daerah penelitian
Penarikhan radiokarbon kaitannya dengan dinamika daur proses pengendapan Kuarter fluvial dan danau terhadap perubahan iklim dan tektonik di paparan Danau Singkarak, Kab. Solok, Sumatera Barat (Herman Mulyana & Herman Moechtar)
39
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 8, Nomor 1, April 2010: 29-40
Gambar 3. Korelasi sedimen Kuarter dan umur perlapisannya (modifikasi dari Moechtar, dkk., 2008)
40