ANALISIS DEIKSIS BAHASA JERMAN Herlina Jasa Putri Hrp Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan
ABSTRAK Artikel ini membicarakan deiksis dalam konteks wacana tulis bahasa Jerman yang bersumber dari buku Themen Neu I, II, dan III karangan Hartmurt Aufderstasse (1993). Artikel ini didasarkan pada kajian linguistik fungsional sistemik (LFS) yang dikembangkan oleh Halliday (1994), Saragih (2003), Sinar (2003) dan teori pragmatik yang dikembangkan oleh Yule (1996). Hasil temuan menunjukan ada lima jenis deiksis yang terdapat pada wacana tulis bahasa Jerman yaitu deiksis personal, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis sosial, dan deiksis textual/ wacana. Dari kelima jenis deiksis tersebut yang paling dominan adalah deiksis waktu . Hal ini terjadi karena sebahagian teks membicaraan peristiwa khususnya peristiwa yang direalisasikan oleh proses material seperti kommen ”datang”, reisen ”berpergian”, fahren ”pergi” dan sebagainya. Proses material itu terjadi pada benda atau partisipan khususnya yang dikenal seperti kata kota Berlin, negara Jerman, Istana Kepresidenan, dan lain sebagainya. Peringkat kedua diduduki deiksis personal , peringkat ketiga diduduki oleh deiksis tempat. Peringkat keempat diduduki oleh deiksis wacana, dan peringkat kelima/terakhir diduduki oleh deiksis sosial.
Kata Kunci: deiksis, konteks, wacana tulis
PENDAHULUAN Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan pesan. Untuk dapat berkomunikasi diperlukan alat atau media penghubung dalam hal ini adalah bahasa. Dengan bahasa manusia dapat berfikir secara teratur dan sistematis serta dapat mengkomunikasikan dan mengekspresikan sikap, perasaan, dan pikiran kepada orang lain. Wacana tulis merupakan satuan bahasa yang dapat memberikan gagasan, pikiran atau ide dan konsep yang dapat dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan). Wacana lisan dan tulisan direalisasikan oleh unsur gramatikal dan leksikal, yang juga lazim disebut lexicogrammar Pragmatik telah dikembangkan oleh para ahli, seperti Austin, Grice, dan Searle sekitar tahun 1970-an . Sebelum pragmatik mulai berkembang dalam dasawarsa 1970an, kegiatan analisis dalam linguistik didominasi oleh kegiatan tentang kalimat dalam kajian sintaksis. Sintaksis sebagai pusat kajian linguistik pada masa itu yang dipengaruhi oleh kepeloporan Noom Chomsky. Pada saat inilah analisis bahasa berubah dari analisis bentuk-bentuk bahasa ke analisis fungsi-fungsi bahasa dan pemakaiannya dalam komunikasi. Istilah pragmatik itu sendiri lahir dari filsuf-filsuf pendahulunya mengenai ilmu tada dan lambang yang disebut semiotik, Levinson (dalam Cahyono 1995; 214). Deiksis merupakan salah satu kajian pragmatik yang berdiri sendiri sama halnya dengan kajian linguistik lainnya seperti semantik, sintaksis, fonologi, dan morfologi. Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referen atau rujukannya berpindah-
pindah atau berganti-ganti tergantung kepada siapa yang menjadi pembicara, dan saat kapan tuturan itu diucapkan (Purwo,1984). Dengan kata lain, deiksis adalah kata atau satuan unit linguistik yang rujukan atau maknanya tergantung kepada konteks (sosial atau linguistik). Berarti deiksis dibatasi sebagai unit linguistik (bunyi, kata, frase, klausa) dengan rujukan atau maknanya ditentukan oleh konteks baik dalam konteks linguistik maupun dalam konteks sosial. Deiksis merupakan gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi kalimat yang maknanya hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan situasi pembicara. Fillmore (dalam Purwo, 1984) merupakan salah seorang diantara beberapa ahli bahasa yang mencoba menyusun sebuah teori tentang deiksis dengan mempergunakan hasil penelitian tentang deiksis dalam berbagai bahasa. Deiksis Penelitian pragmatik diarahkan pada pengaruh pragmatik terhadap struktur kalimat atau sebaliknya, dibidang pragmatik, kadang-kadang kaidah sintaksis juga masih harus diperhatikan. Dengan demikian nyatalah bahwa pragmatik merupakan kajian yang mengarah pada pemakaian bahasa, baik secara semantik maupun secara kontekstual dan keduanya sejalan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Begitu kompleksnya masalah kajian deiksis tersebut, maka perlu dilakukan penelitian secara lebih mendalam terhadap masalah deiksis agar dapat mengetahui seluk beluk deiksis dalam konteks wacana tulis bahasa Jerman serta memperhatikan mekanisme apa yang terkandung dala deiksis tersebut . Masalah dan Tujuan Artikel ini membahas tentang jenis-jenis deiksis yang terdapat dalam bahasa Jerman khususnya di dalam konteks wacana tulis bahasa Jerman. Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi seluruh jenis deiksis dalam bahasa Jerman serta untuk menguraikan konteks sosial yang memicu pemakaian deiksis dalam bahasa Jerman. Pengumpulan Data Metode Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu mendeskripsikan jenis-jenis deiksis bahasa Jerman dalam wacana tulis bahasa Jerman. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data tulis.Untuk menyaring data tulis digunakan teknik catat serta teknik duplikasi. Data tulis tersebut diperoleh dari buku Themen Neu I, II, dan III karangan Hartmurt Aufderstasse (1993).
TINJAUAN PUSTAKA Deiksis Kata deiksis berasal dari kata Yunani deiktikos, yang berarti hal penunjukkan secara langsung. Saragih (2006) mengatakan bahwa deiksis adalah sebagai unit linguistik (bunyi, kata, frase, klausa) dengan rujukan atau maknanya ditentukan oleh konteks dengan rujukan ke pemakai bahasa. Menurut Yule (1996:9) mengatakan deixis
is a technical term (from Greek) for one or the most basic things we do with utterances. Kaswanti Purwo (1984:1) mengatakan bahwa sebuah kata dikatakan deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi pembicara dan lawan bicara, tergantung pada saat dituturkan kata itu. Suyono 1990 (dalam Andriani 2005) mengatakan bahwa sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila acuannya atau rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti tergantung kepada siapa yang menjadi pembicara dan tergantung kepada saat atau tempat dituturkannya kata itu. Selanjutnya Alwi (1993) menjelaskan deiksis adalah gejala semantic yang hanya dapat ditafsirkan acuannya atau rujukannya dengan memperhitungkan situasi pembicara. Selanjutnya Bühler (dalam Tetjana, 2006) mengatakan deixis ist als Referenz auf die Sprechsituation. Artinya deiksis adalah sebagai rujukan dari situasi berbicara. Jenis-jenis Deiksis Saragih (2003) membagi deiksis ke dalam lima jenis deiksis yaitu: deiksis personal, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis tekstual, dan deiksis social. Namun menurut Alwi (1993) jenis deiksis terbagi atas tiga jenis deiksis yaitu deiksis personal, deiksis tempat, dan deiksis waktu. Sementara Saeed (2000) membagi deiksis ke dalam tiga jenis deiksis yaitu deiksis tempat, deiksis personal, dan deiksis social. Dengan demikian berarti jenis deiksis merupakan kategori tertentu dalam pembagian deiksis yang didasarkan pada sifat informasi yang terdapat pada deiksis. a.
-
Deiksis Personal (Persondeixis) Deiksis personal merujuk atau menunjuk orang atau dengan kata lain deiksis personal adalah kata atau kelompok kata yang merujuk kepada pronominal sebagai peran atau peserta dalam peristiwa berbahasa. Dalam bahasa Jerman, sistem gramatikalisasi deiksis lainnya adalah peran partisipan: pembaca, pendengar, dan lainnya. Yang digramatikalisasi dengan pronomina atau kata ganti seperti ich ’saya’, du ’kamu’, er ’dia laki-laki’, sie ’dia perempuan’, sie ’mereka’, es ’kata ganti benda’, wir ’kami/kita’, Sie ’anda’, dan ihr ’kalian’. Ada tiga kategori peran yang biasa terlibat dalam peristiwa bahasa yaitu:a. Kategori persona pertama, b. Kategori persona kedua, c. Kategori persona ketiga. (Cahyono:1995;218). Kategori persona pertama (Erste Persondeixis) Deiksis persona pertama adalah kategorisasi rujukan pembicara kepada diri sendiri. Dalam bahasa Jerman personal pertama adalah menggunakan ich ’saya’, we ’kami/kita’. Contoh. 1. Ich studiere Deutsch an der Unimed ‘Saya belajar bahasa Jerman di Unimed’ 2. Das ist mein Buch ‘ Buku itu kepunyaan saya’
- Kategori persona kedua (zweite Persondeixis) Kategori persona kedua adalah kategorisasi rujukan pembicara dengan seseorang atau lebih pendengar, contohnya dalam bahasa Jerman seperti du ’kamu’, ihr ’kalian’, Sie’anda’. Sie ‘anda’ digunakan untuk orang yang lebih tua yang merupakan suatu penghormatan. Contoh: 1. Sind Sie Frau Bayer? ‘Apakah anda nyonya/ nona Bayer? 2. Du bist schön. ‘ Kamu cantik ‘
- Kategori persona ketiga Kategori persona ketiga adalah kategorisasi rujukan pembicara kepada orang atau benda yang bukan pembicara atau pendengar seperti er ’dia laki-laki’, sie ’dia perempuan, es ’kata ganti benda, Herr ’tuan’, Frau ’nyonya/nona’. Contoh: 1. Sie möchte ein Buch kaufen ‘ dia (perempuan) ingin membeli sebuah buku’ 2. Er hat eine neue Tasche ‘ dia (laki-laki) memiliki sebuah tas baru’ b. Deiksis Tempat ( lokaler Deixis) Deiksis ruang atau tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang dari lokasi pembicara dalam peristiwa bahasa. Cahyono (1995) mengatakan bahwa deiksis tempat adalah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Pembicara menempati titik referensi, sesuatu yang dekat dengannya dideskripsikan dengan hier ’di sini’, dan sesuatu yang jauh dari pembicara dideskripsikan dengan da ’di situ’, dort ’di sana’. Disamping pembagian lokalisasi, penggunaannya harus dikalkulasi oleh partisipan pada konteks yang tepat tergantung pada konteks pembicara/penulis. Deiksis yang terkait dengan kata kerja yang menunjuk suatu tempat seperti: kommen ’datang’, gehen ’pergi’ bringen ’membawa’ dan sebagainya. Contoh: 1. Hier gibt es ein Maus ‘ di sini ada seekor tikus’ 2. Dort gibt es ein Maus ‘ di sana ada seekor tikus’ c. Deiksis Waktu (temporaler Deixis) Deiksis waktu adalah pemberian bentuk terhadap titi atau jarak waktu dipandang dari waktu suatu ungkapan dalam peristiwa bahasa. Deiksis waktu, tuturan-tuturan mengacu pada si pembicara, apakah pada saat ia berbicara, sebelum atau sesudah tuturan tersebut contoh: gestern ‘kemarin’, morgen ‘besok’, jetzt ‘sekarang’, heute ‘hari ini’, nächste Woche ‘minggu depan’, letzte Woche ‘minggu lalu’. Menurut Lavinson 2006 (dalam Abd. Wahab 2007). Deiksis waktu dapat berwujud dalam bentuk leksikal ataupun melalui penggramatikalisasi. Sama seperti bahasa Inggris, bahasa Jerman juga menyatakan waktu kejadian melalui pembentukan tensis. Contoh. 1. Jetzt müssen wir gehen ‘ sekarang kita harus pergi’ 2. Gestern gibt es einen Unfall auf der Strasse ’ kemarin di jalan raya terjadi kecelakaan’ d. Deiksis wacana (Textdeixis) Deiksis wacana berkaitan dengan kata-kata atau frase yang berfungsi untuk mengungkapkan bagian-bagian kalimat dalam wacana/ujaran (Nababan,1987;42). Menurut Nababan, dalam deiksis wacana terdapat pengacuan anaforik merujuk pada bagian yang telah disebut terdahulu, selanjutnya dikenal adanya deiksis wacana yang kataforis yaitu kata-kata yang mempunyai rujukan pada isi teks sesudahnya. Deiksis wacana berfungsi untuk mempermudah penafsiran atau pemahaman wacana baik tulis maupun lisan secara utuh. Deiksis wacana lebih banyak berupa kata deiksis demostratif kata penghubung seperti: walaupun demikian...., meskipun..., dan lain-lain. Beberapa aspek yang mencakup atau berkaitan dengan deiksis tekstual seperti: uraiannya ditampilkan berikut ini, seperti disebutkan di atas..., seperti dikatakan tadi...,
seperti diuraikan di depan..., terdahulu..., uraiannya ditampilkan berikut ini..., dan lain sebagainya. e. Deiksis Sosial (sozialer Deixis) Deiksis sosial menunjukan adanya penggunaan ekspresi lingual yang menandai pertalian hubungan sosial di antara partisipan dalam peristiwa penutur. Di dalam masyarakat deiksis sosial menunjukkan perbedaan-perbedaan kemasyarakatan yang terdapat antara peran peserta, terutama aspek peran sosial antara pembicara dengan rujukan yang lain. Sistem pronomina beberapa bahasa secara gramatika memberi informasi tentang identitas sosial atau hubungan partisipan dalam pembicaraan. Hal ini terlihat jelas pada beberapa bahasa Indo-Eropa membedakan pronomina biasa/umum denganpronomina khusus (sopan) seperti tu / vous dalam bahasa Perancis dan du / Sie dalam bahasa Jerman (Levinson dalam Saeed: 2000;179). Penggunaan deiksis sosial yang paling tampak ialah penggunaan apa yang disebut aspek bahasa seperti : “kesopanan”, “unda usuk”, atau “itikat bahasa” (Nababan, 1987;43). Unsur sopan santun berbahasa itu disebut dengan “honorik”. Sementara itu Syamsuri (1988;10) membedakan deiksis sosial atas penggunaan kata sopan (pronomina personal), dengan status sosial yang disandang seseorang, yang pertama kita bisa melihat penggunaan persona pertama, kedua dan ketiga, disamping sapaan seperti ‘Bapak”, “Ibu”, “Tuan”, “Nyonya”, dan sebagainya. Yang kedua adalah dilihat dari peranana seseorang dalam masyarakat seperti: ‘ Bapak RT”, “Pak Presiden”, “Dokter Amin”, “Ketua Fraksi”, dan sebagainya. Contoh: 1. Sind Sie Frau Rita? ‘ apakah anda nyonya Rita? 2. Der President will eine Schüle eröffnen ‘ Bapak Presiden akan meresmikan sebuah sekolah’
MAKNA DEIKSIS Deiksis merupakan salah satu kajian pragmatik. Kajian pragmatik melihat makna suatu kata dapat dilihat dari pendekatan refrensial, yang mana makna suatu kata itu dapat merupakan suatu konsep, ide, gagasan yang timbul dari hasil kognitif seseorang. Sebuah kata dalam sebuah kalimat dapat ditafsirkan maknanya menurut hubungan formal kalimat itu. Namun di dalam kehidupan sehari-hari, makna suatu kata tidak saja tergantung pada kedudukannya di dalam suatu kalimat, tetapi juga tergantung pada penutur yang menyampaikan kata itu. Pengkajian pada makna kata berdasarkan pada kedudukannya dalam frase atau kalimat. Namun pada kenyataannya terdapat asfekasfek makna lain yang tidak berasal dari kata-kata yang digunakan dalam frase dan kalimat, tetapi juga makna yang dikehendaki oleh penutur. Saeed (2000;18) membedakan makna semantik dan makna pragmatik. Makna semantik adalah makna yang didasarkan kepada makna bahasa atau kebahasaan, sedangkan makna pragmatik didasarkan pada makna yang tersusun dan ditafsirkan melalui konteks. Makna dari suatu kalimat dapat berganti karena penggantian konteks, makna kata atau kalimat itu mempunyai makna deiksis ( Sumarsono, 1987; 10).
KONTEKS Kata konteks berasal dari kata co – yang berarti bersama atau mendampingi dan text, yakni setiap unit bahasa. Saragih (2003; 4) mengatakan bahwa konteks adalah mengacu kepada segala sesuatu yang mendampingi teks. Dalam perspektif linguistik
fungsional sistemik, konteks mencakup dua pengertian yakni (a) konteks linguistik (yang disebut juga konteks internal) dan (b) konteks sosial (yang disebut konteks eksternal). a. Konteks Linguistik Konteks linguistik mengacu kepada unut linguistik lain yang mendampingi satu unut yang sedang dibicarakan yang sering disebut konteks internal. Dikatakan konteks internal karena konteks ini berada di dalam dan merupakan bagian teks yang dibicarakan. Konteks suatu kata merupakan sekelompok kata-kata lain yang digunakan dalam frase atau kalimat yang sama. Konteks mempunyai pengaruh kuat pada penafsiran makna kata yang kita ucapkan. Sebagai contoh kata bisa sebagai hononim, yaitu satu kata memiliki lebih satu makna. Bagaimana kita mengetahui makna yang terkandung di dalam sebuah kalimat? Biasanya kita mengetahuinya berdasarkan konteks linguistik. Apabila kata ”bisa” digunakan dalam kalimat bersama dengan katakata seperti: itu sangat berbahya, maka kata bisa bermakna racun. Kita tidak akan kesulitan dalam memutuskan makna bisa yang bagaiimanadimaksud oleh penutur. Apabila kita mendengar seorang anak berbicara saya bisa memanjat pohon kelapa, hal ini berarti kata ”bisa” bermakna mampu atau dapat . b. Konteks Sosial Konteks sosial mengacu kepada segala sesuatu di luar yang tertulis atau terucap, yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa pemakai bahasa atau interaksi sosial. Kontek seperti ini disebut konteks eksternal. Saragih (2003) menyatakan bahwa konteks sosial terbagi ke dalam tiga kategori yaitu konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi. Ketiga kontes sosial ini membentuk strata dengan pengertian strata yang paling dekat ke bahasa yang lebih konkret dari strata yang lebih jauh dari bahasa. Berdasarkan strata kedekatan kepada bahasa, konteks sosial secara berurut mulai dari konteks situasi, budaya dan ideologi. Kontek situasi terdiri dari apa (field) yang dibicarakan, siapa (tenor) Secara rinci field menunjukan peran bahasa atau topik yang dibicarakan dalam interaksi sosial, tenor menggambarkan status (sama atau setara, tidak sama atau berbeda), suka atau tidak suka (affect), hubungan (biasa atau pertama kali) antara pemakai bahasa (addresser dan addresse), dan mode menguraikan medium atau saluran pemakaian bahasa yang dapat berupa lisan atau tulisan. Dalam interaksi bahasa, ketiga asfek konteks situasi dapat terjadi satu aspek tidak jelas atau tidak teridentifikasi, aspek situasi disebut netral. Konteks budaya dibatasi sebagai aktifitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Dengan pengertian ini, konteks bidaya mencakup tiga hal, yaitu: (1) batasan kemungkinan ketiga unsur konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial. Pada dasarnya, setiap interaksi sosial mempunyai tujuan tertentu. Tujuan ini juga sering disebut fungsi teks. Ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnyadilakukan oleh seseorang dalam satu interaksi sosial . Dengan batasan ini, ideologi merupakan konsep atau ide yang diinginkan atau diidamkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas yang terdiri atas apa yang diinginkan atau yang tidak diinginkan.
WACANA Fungsi bahasa dipandang sebagai alat komunikasi yang diperinci dalam bentuk bunyi, frase ataupun kalimat secara terpisah-pisah. Bahasa digunakan dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat kedua menyebabkan timbulnnya kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu
kembali ke kalimat pertama, dan seterusnya. Rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya ini membentuk kesatuan yang dinamakan wacana. Menurut Chaer (2003) mengatakan wacana adalah sebagai satuan bahasa yang lengkap terderi dari konsep, gagasan, pikiran atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan). Berarti wacana itu dibentuk dari kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan . Pembicaraan wacana memerlukan pengetahuan kita tentang kalimat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kalimat. Di dalam kamus bahasa Jerman Duden, Gunther (1984) menjelaskan wacana atau teks adalah besthet aus von Sätzen, die miteinander in zusammen stechen yang berarti teks atau wacana terdiri dari kalimat-kalimat yang berhubungan satu sama lainnya. Menurut Tarigan (1985:8) wacana adalah suatu bacaan yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata dan disampaikan secara lisan dan tulisan. Wacana adalah (a) ucapan, perkataan, lebih besar dari pada ujaran, (b) kesatuan bahasa terlengkap (lisan dan tulisan), (c) penggunaan bahasa, (d) unit informasi peralihan dari satu peserta lain (Sinar, 2003: 6). Menurut Hasan (1991 :35) bahwa wacana adalah kesatuan dari beberapa kalimat yang satu sama lainnya terkait erat. Wacana terbagi atas: a. Wacana dialog Shamsuddin (1986 :5) mengatakan bahwa wacana dialog adalah wacana percakapan dalam teks. Pada percakapan atau dialog sungguhan terjadi dialig langsung dan spontan dengan adanya tatap muka antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan itu. Sedangkan percakapan teks dialog, teks hanya menerapkan percakapan imitasi, dialog tersebut berlangsung tidak secara spontan.
b. Wacana Uraian Yang dimaksud dengan wacana uraian yaitu wacana yang mencakup bentuk bahasa lisan yang tidak melibatkan suatu bentuk tutur percakapan atau pembicaraan antara dua pihak yang berkepentingan. Yang termasuk dalam lingkungan wacana uraian adalah pidato, sepucuk surut, sebuah cerita, sebuah bacaan dan sebagainya.
SIMPULAN 1. Dalam bahasa Jerman terdapat lima jenis deiksis yaitu deiksis personal, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis sosial, dan deiksis tekstual/wacana. 2. Dalam wacana Berlin, 30 Jahre später ’kota Berlin, setelah 30 tahun’ , Zweimal Deutschland ’Negara Jerman yang kedua kalinya’ , Gotteshaus und Presidentenpalast ’rumah ibadah dan istana kepresidenan’, yang terdapat pada Themen Neu I, II, dan III ditemukan lima jenis deiksis yaitu deiksis waktu, deiksis personal, deiksis tempat, deiksis sosial, dan deiksis tekstual/wacana. 3. Pemunculan deiksis waktu sebagai unsur dominan adalah akibat teks sebagian besar membicarakan peristiwa khususnya peristiwa yang direalisasikan oleh proses material seperti kommen ’datang’, reisen ’berpergian’, fahren ’pergi’, dan lain sebagainya, proses mental seperti: sehen ’melihat’, treffen ’bertemu’, finden ’menemukan, dan lain sebagainya, dan proses verbal seperti: meinen ’berpendapat’, melden ’memberitahukan’, dan lain sebaganya.
4. Deiksis dapat terjadi di dalam wacana tulis disebabkan karena kajian deiksis dapat ditafsirkan melalui konteks wacana yang dapat mengkomunikasikan makna bahasa dari segi hubungan antara kata dengan benda yang dipengaruhi oleh hubungan antara ujaran atau kalimat dengan konteks situasi, tempat, kalimat itu dituturkan. Dengan wacana tulis kita dapat memaknai atau memahami makna yang tertuang dalam bahasa.
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Andriani, L. 2005. Studi Deiksis Dalam Pragmatik (Jurnal Langue Volume 3) NADSumut: Pusat Kajian Bahasa dan Sastra Auf der Strasse, Hartmut. 1992. Themen Neu I. Lehrwerk für Deutsch als Fremdsprache. Kursbuch. Munchen: Max Heuber Verlag. .........................................1992. Themen Neu II. Lehrwerk Fremdsprache. Kursbuch. Munchen: Max Heuber Verlag.
für
Deutsch
als
......................................... 1992. Themen Neu III. Lehrwerk für Deutsch als Fremdsprache. Kursbuch. Munchen: Max Heuber Verlag. Cahyono, Bambang, Y. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Jakarta Departemen Pendidikan. Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Gunther, D. 1984. Duden Worterbuch. Manheim, wien,Zurich. Duden Verlag.
Halliday, M.A.K. 1994. An Introduction to Funcional Grammer. London: Edward Arnoldo Lyons, John. 1979. Semantics 2. Great Britain: Cambridge University Press Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Keudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Purwo, Bambang, Kuswanti. 1984. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PN.Balai Pustaka Saragih, Amrin. 2003. Bahasa dalam Konteks Sosial . Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik Terhadap Tata Bahasa dan Wacana. Pasca Sarjana USU Saed, John. 2000. Semantic. Oxford: Blackwell Publishers Ltd Sinar, T.A. 2003. Analisis Wacana Berorientasi Linguistik Sistemik. Pasca Sarjana USU Tarigan, Henri. G. 1985. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa. Tetzana, Struk. 2006. Die Wechselwirkung von temporaler und lokaler Deixis beim Ausdruck der Aspektuellen Semantic im Deutschen (makalah). Urkeine: Nationale. Iwan.franko Universität Lwiw Deutsch @franko.iviv.ua Yule, George.Pragmatics. Oxford University Press Sekilas tentang penulis : Herlina Jasa Putri Harahap, S.Pd., M.Hum. adalah dosen pada jurusan Bahasa Asing Program Studi Bahasa Jerman FBS Unimed.