52
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM). Namun sebelumnya diperlukan langkahlangkah uji atau tahapan untuk melakukan estimasi yaitu: uji akar unit, uji lag optimal, uji stabilitas VAR, dan uji kointegrasi. Selain itu tahap terakhir adalah melakukan estimasi-estimasi yang menyertai metode VAR dan VECM , yaitu uji kausalitas, fungsi respon terhadap shock (Impuls Respon Function/IRF), dan dekomposisi varian (Forecast Error Variance Decomposition/FEVD).
4.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test) Data time series sering menimbulkan masalah dalam analisisnya, terutama masalah ketidakstasioneran data. Uji kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam menganalisis data time series untuk melihat ada tidaknya akar unit (unit root) yang terkandung diantara variabel sehingga hubungan antar variabel menjadi valid. Uji ini dilakukan agar hasil regresi yang dilakukan tidak menghasilkan regresi palsu (spurious regression). Spurious regression adalah regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampak signifikan secara statistik padahal kenyataannya tidak. Regresi bersifat spurious biasanya memiliki R2 yang tinggi dan t-statistik yang terlihat signifikan, akan tetapi hasilnya tidak dapat diinterpretasikan secara ekonomi. Penelitian ini menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk menguji stasioneritas data. Dalam tes ADF, jika nilai ADF lebih kecil dari Mc
53
Kinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. Jika data berdasarkan uji ADF tidak stasioner maka solusinya adalah dengan proses diferensiasi. Uji akar unit setiap variabel dalam model penelitian didasarkan pada ADF test pada tingkat level. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Uji Akar Unit Pada Tingkat Level Nilai Kritis Mc Kinnon 1% 5% 10%
Variabel
Nilai ADF
Nilai Tukar Riil
-2.125804
-3.737853
-2.991878
-2.635542
Tidak Stasioner
Capital Inflow
-1.894379
-3.737853
-2.991878
-2.635542
Tidak Stasioner
Inflasi
-4.187765
-3.737853
-2.991878
-2.635542
Stasioner
GDP
-1.261362
-3.737853
-2.991878
-2.635542
Tidak Stasioner
Suku Bunga
-4.707837
-3.737853
-2.991878
-2.635542
Stasioner
Trade Opennes
-3.111637
-3.737853
-2.991878
-2.635542
Stasioner
Sumber
Keterangan
: Lampiran 1, data diolah
Berdasarkan hasil pengujian akar unit pada tingkat level dapat diketahui bahwa dengan menggunakan taraf nyata lima persen terdapat tiga variabel yang stasioner yaitu inflasi, suku bunga, dan trade openness. Untuk variabel yang tidak stasioner perlu dilakukan uji kestasioneran data pada tingkat first difference. Data yang tidak stasioner akan menghasilkan regresi palsu atau lancung (spurious regression). Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa seluruh variabel stasioner pada tingkat first difference karena nilai ADF test statistic variabelvariabel itu secara aktual lebih kecil dari nilai kritis Mac Kinnon. Hasil uji akar unit selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.2.
54
Tabel 4.2. Uji Akar Unit pada Tingkat First Difference Variabel
Nilai ADF
Nilai Tukar Riil
Nilai Kritis Mc Kinnon
Keterangan
1%
5%
10%
-5.557067
-3.752946
-2.998064
-2.638752
Stasioner
Capital Inflow
-4.416969
-3.752946
-2.998064
-2.638752
Stasioner
Inflasi
-5.739348
-3.769597
-3.004861
-2.642242
Stasioner
GDP
-3.249702
-3.752946
-2.998064
-2.638752
Stasioner
Suku Bunga
-8.949110
-3.752946
-2.998064
-2.638752
Stasioner
Trade Opennes
-7.594514
-3.752946
-2.998064
-2.638752
Stasioner
Sumber
: Lampiran 1, data diolah
Hasil pengujian akar unit pada tingkat first difference menunjukkan bahwa semua variabel sudah stasioner. Seluruh variabel yang akan diestimasi dalam penelitian ini terintegrasi pada derajat pertama I(1). Hal itu dapat diketahui karena nilai ADF lebih kecil dari nilai kritis Mc Kinnon.
4.2. Uji Lag Optimal Dalam estimasi model VAR, penentuan lag optimum merupakan tahap yang penting karena variabel independen yang digunakan adalah lag dari variabel dependen dan juga variabel independennya. Hal ini penting karena berkaitan dengan keakuratan informasi yang akan dihasilkan oleh estimasi model VAR. Pengujian panjang lag yang optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan menggunakan Akaike Information Criteria (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC) dan Hannan-Quin criterion (HQ) yang terkecil atau minimum. Tabel 4.3. memperlihatkan hasil tingkat lag optimal berdasarkan berbagai kriteria. Hasilnya menunjukkan bahwa lag optimal untuk variabelvariabel yang ingin diestimasi adalah satu.
55
Tabel 4.3. Uji Optimum Lag LR
FPE
AIC
SC
HQ
NA
15745.83
26.69130
26.98582
26.76944
2.507303*
17.84183*
19.90342*
18.38877*
201.4411* Sumber
: Lampiran 2, data diolah
4.3. Uji Stabilitas VAR Pengujian stabilitas VAR perlu dilakukan sebelum melakukan analisis lebih jauh. Hal ini dikarenakan apabila didapatkan model VAR yang tidak stabil maka analisis Impulse Response Function dan Variance Decomposition menjadi tidak valid. Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan pengecekan kondisi VAR stability berupa roots of characteristic polynomial. Persamaan VAR dapat dikatakan stabil jika modulus dari seluruh roots of characteristic polynomial lebih kecil dari satu. Berikut hasil pengujian stabilitas model VAR dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4. Hasil Uji Stabilitas Model VAR Root 0.963825 0.745749 - 0.212103i 0.745749 + 0.212103i 0.566130 -0.115961 - 0.366969i -0.115961 + 0.366969i Sumber
Modulus 0.963825 0.775326 0.775326 0.566130 0.384855 0.384855
: Lampiran 3, data diolah
Dari Tabel 4.4. terlihat bahwa nilai akar karakteristik atau modulus semuanya menunjukkan angka kurang dari satu. Sehingga berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 4.4. dapat disimpulkan bahwa model VAR telah stabil.
56
4.4. Uji Kointegrasi Tahap uji kointegrasi yang dilakukan berguna untuk mengetahui apakah variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Pengujian kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratan selama proses integrasi yaitu dimana semua variabel telah stationer pada derajat yang sama yaitu derajat satu I(1). Salah satu cara untuk menguji kointegrasi yaitu dengan menggunakan tes kointegrasi Johansen. Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value yang digunakan, yaitu lima persen. Jika trace statistic lebih besar dari critical value 5%, maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Hasil uji kointegrasi berdasarkan trace test dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Hasil Uji Kointegrasi H0 H1 Trace Statistic Nilai Kritis 5% Sumber
R=0 R>=1 211.1259
R<=1 R>=2 121.0530
R<=2 R>=3 71.73053
R<=3 R>=4 38.97567
R<=4 R>=5 15.49129
R<=5 R>=6 3.107629
107.3466
79.34145
55.24578
35.01090
18.39771
3.841466
: Lampiran 4, data diolah
Hasil tes kointegrasi Johansen dengan menggunakan taraf nyata sebesar lima persen, menunjukkan terdapat empat persamaan yang terkointegrasi. Hal itu dapat diketahui karena nilai trace statistic lebih besar dari pada nilai kritis lima persen. Model yang akan digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM) karena terdapat persamaan yang terkointegrasi.
57
4.5.
Uji Kausalitas Granger Uji kausalitas Granger dilakukan untuk melihat hubungan sebab akibat
(kausalitas) di antara variabel-variabel yang ada dalam model (Firdaus, 2011). Uji kausalitas pada penelitian ini menggunakan VAR Pairwise Granger Causality Test dan menggunakan taraf nyata 5 persen. Hipotesis awal atau Ho yang diuji adalah tidak adanya hubungan kausalitas, sedangkan hipotesis alternatifnya atau H1 adalah adanya hubungan kausalitas. Untuk menerima atau menolak hipotesis awal atau Ho digunakan nilai probability. Jika nilai probability lebih kecil daripada nilai taraf nyata 5 persen, maka kita mempunyai cukup bukti untuk menolak Ho dan menyimpulkan bahwa variabel tersebut mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel lain tertentu. Hasil dari pengujian kausalitas di dalam model dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.6. Hasil Uji Kausalitas Granger Variabel RER CIF INF IR GDP TRADE Sumber
RER 0.7688 0.0284 0.7075 0.8660 0.7512
Probabilitas does not Granger Cause CIF INF IR GDP 0.9710 0.8578 0.5214 0.0702 0.7346 0.6789 0.9937 0.1887 0.1532 0.2848 0.9866 0.8856 0.5283 0.6153 0.2879 0.1764 0.8172 0.4067 0.7087 0.8969
TRADE 0.7738 0.9493 0.1597 0.5391 0.8986
: Lampiran 5, data diolah
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 4.6. didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan dua arah antara variabel RER dengan variabel INF. Hipotesis nol yang menyatakan bahwa RER tidak mempengaruhi INF ditolak pada tingkat signifikan 10 persen dan hipotesis nol yang menyatakan bahwa INF tidak mempengaruhi RER ditolak pada tingkat signifikan 10 persen. Nilai tukar mempengaruhi inflasi, sebaliknya inflasi juga mempengaruhi nilai tukar.
58
Sedangkan sisanya terdapat hubungan yang saling tidak mempengaruhi ataupun satu arah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.6.
4.6.
Hasil Penelitian
4.6.1. Hasil Estimasi Vector Error Correction Model Hasil estimasi VECM akan didapat hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara nilai tukar riil, capital inflow, inflasi, GDP, suku bunga, dan trade openness. Pada estimasi ini, nilai tukar riil (Ln_RER) merupakan variabel dependen, sedangkan variabel independennya adalah capital inflow (Ln_CIF), inflasi (INF), GDP (Ln_GDP), suku bunga (IR), dan trade openness (TRADE). Hasil estimasi VECM untuk menganalisis pengaruh jangka pendek dan jangka panjang pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Hasil Estimasi VECM Persamaan Nilai Tukar Riil Variabel
Koefisien Jangka Pendek CointEq1 -0,585478 D(RER(-1)) 2,024980 D(CIF(-1)) 0,004932 D(INFLASI(-1)) -0,025519 D(GDP(-1)) 1,616283 D(IR(-1)) 0,002507 D(TRADE(-1)) -0,002130 Jangka Panjang Ln_CIF(-1) 0,012037 INFLASI(-1) 0,012509 Ln_GDP(-1) -0,975797 IR(-1) 0,021180 TRADE(-1) 0,031747 Sumber : Lampiran 6, data diolah Keterangan : Signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%
T-Statistik -1,86664* 2,44044* 1,00976 -3.21816* 1,08962 0,27021 -0,16076 -9,62636* -4,00811* 10,7265* -10,3056* -10,9124*
59
Terdapat dugaan parameter error correction sebesar -0.585478 persen yang secara statistik signifikan maka dinyatakan bahwa terbukti adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang. Hasil estimasi VECM jangka pendek menunjukkan bahwa variabel nilai tukar riil pada lag pertama berpengaruh positif terhadap nilai tukar riil yang signifikan pada taraf nyata 5 persen sebesar 2,024980. Artinya apabila terjadi kenaikan pada nilai tukar riil (terdepresiasi) sebesar satu persen pada periode sebelumnya, maka akan menyebabkan peningkatan nilai tukar riil (terdepresiasi) sebesar 2,025 persen. Ini berarti bahwa pergerakan nilai tukar riil lebih besar dalam periode - periode sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar riil sangat dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar riil periode sebelumnya. Variabel inflasi pada lag pertama signifikan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar riil dalam jangka pendek sebesar -0,0255. Artinya apabila terjadi kenaikan inflasi sebesar satu persen pada periode sebelumnya, maka akan menyebabkan nilai tukar riil terapresiasi sebesar 0,0025 persen. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori International Fisher Effect (IFE) yang menyatakan bahwa kenaikan laju inflasi akan direspon oleh bank sentral dengan meningkatkan suku bunga dimana dengan tingginya suku bunga akan meningkatkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya. Sehingga dengan banyaknya modal yang masuk maka akan menyebabkan nilai tukar terapresiasi. Tabel 4.7. juga menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat lima variabel yang berpengaruh signifikan terhadap nilai tukar riil. Variabel capital inflow yang merupakan fokus utama peneltian ini mempunyai pengaruh positif terhadap nilai tukar riil yang signifikan secara statistik pada taraf nyata 5 persen
60
sebesar 0,012037. Artinya pada jangka panjang, apabila terjadi peningkatan capital inflow sebesar satu persen, maka akan menyebabkan peningkatan nilai tukar riil (depresiasi) sebesar 0,012037 persen. Hal ini berbeda dengan teori hubungan investasi dan nilai tukar dimana kenaikan dalam capital inflow atau investasi asing akan menyebabkan apresiasi nilai tukar riil. Kenaikan pada capital inflow menyebabkan kurva (S-I) bergeser ke kiri karena investasi lebih besar dari tabungan yang berarti mengurangi penawaran mata uang domestik. Persediaan mata uang domestik yang lebih sedikit ini menyebabkan keseimbangan nilai tukar riil meningkat dan mata uang domestik menjadi lebih berharga atau apresiasi. Namun, dari hasil estimasi VECM yang didapat peningkatan capital inflow justru mendepresiasi nilai tukar riil. Hal ini kemungkinan terjadi karena keterbatasan pada data time series, serta pengaruh variabel lain dalam penelitian. Selain itu, ada kemungkinan disebabkan oleh komponen capital inflow di Indonesia terdiri dari FDI yang berorientasi pada impor. Sebagaimana diketahui FDI meliputi investasi ke dalam aset-aset nyata dalam bentuk pendirian perusahaan, pembangunan pabrik, pembelian barang modal, tanah, bahan baku, dan persediaan oleh investor asing dimana investor tersebut terlibat langsung dalam manajemen perusahaan dan mengontrol penanaman modal tersebut. Apabila pengadaan barang modal tersebut sebagian besar dari impor, maka hal ini justru akan mengakibatkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi. Variabel lain dalam penelitian seperti inflasi mempunyai pengaruh positif terhadap nilai tukar riil pada jangka panjang yang signifikan secara statistik pada taraf nyata 5 persen sebesar 0,012509. Artinya apabila terjadi kenaikan laju inflasi sebesar satu persen, maka akan menyebabkan nilai tukar riil terdepresiasi sebesar
61
0,012509 persen. Hasil ini sesuai dengan teori purchasing power parity yang menyatakan bahwa jika inflasi dalam negeri relatif meningkat dari inflasi luar negeri maka akan mengakibatkan harga barang domestik akan semakin mahal dibandingkan harga barang di luar negeri. Hal ini mendorong peningkatan permintaan terhadap barang luar negeri dan akan meningkatkan permintaan valas untuk pembiayaan barang tersebut sehingga dollar menjadi terapresiasi sedangkan nilai tukar rupiah terdepresiasi. GDP mempunyai pengaruh negatif terhadap nilai tukar riil pada jangka panjang yang signifikan secara statistik pada taraf nyata 5 persen sebesar 0,975797. Artinya apabila terjadi kenaikan GDP sebesar satu persen, maka akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai tukar atau apresiasi nilai tukar sebesar 0,975797 persen. Hasil ini sesuai sesuai dengan hipotesis Balassa-Samuelson dimana peningkatan pada GDP menyebabkan apresiasi nilai tukar rupiah. Dapat dijelaskan bahwa kenaikan pada GDP dapat mencirikan keadaan ekonomi Indonesia semakin baik dan menurunnya resiko terhadap kegagalan investasi. Keadaan tersebut menyebabkan adanya respon positif dari investor asing untuk menanamkan modalnya secara langsung di Indonesia. Adanya aliran modal yang masuk tersebut dapat menyebabkan permintaan terhadap rupiah meningkat atau dapat dikatakan nilai tukar rupiah terapresiasi. Suku bunga mempunyai pengaruh positif terhadap nilai tukar riil pada jangka panjang yang signifikan secara statistik pada taraf nyata 5 persen sebesar 0,021180. Artinya apabila terjadi kenaikan suku bunga pada lag pertama sebesar satu persen, maka akan menyebabkan peningkatan nilai tukar riil atau nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 0,021180 persen. Hasil ini tidak sesuai dengan
62
hipotesis awal dimana terjadinya kenaikan suku bunga, maka akan menyebabkan nilai tukar rupiah terapresiasi. Namun hal ini dapat dijelaskan bahwa ada kemungkinan kenaikan suku bunga luar negeri lebih besar daripada suku bunga di Indonesia. Kenaikan suku bunga juga selain dapat meningkatkan return investasi portofolio, hal tersebut juga dapat menurunkan investasi pada sektor riil. Apabila investasi pada sektor riil mengalami penurunan maka akan menyebabkan tingkat produksi untuk menghasilkan barang ekspor juga menurun. Sehingga keadaan tersebut menyebabkan penawaran terhadap mata uang asing menurun dan dengan kata lain nilai tukar rupiah terdepresiasi. Trade openness mempunyai pengaruh positif terhadap nilai tukar riil pada jangka panjang yang signifikan secara statistik pada taraf nyata 5 persen sebesar 0,031747. Artinya apabila terjadi kenaikan trade openness sebesar satu persen, maka akan meningkatkan nilai tukar rill atau nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 0,031747 persen. Hasil penelitian menunjukkan keterbukaan perdagangan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap nilai tukar riil di Indonesia, karena berkaitan dengan kegiatan ekspor dan impor. Peningkatan keterbukaan perdagangan dapat melalui penurunan tarif atau peningkatan kuota. Tentunya hal ini dalam jangka panjang akan mempengaruhi peningkatan harga dari barangbarang yang bisa di ekspor atau barang tradable sehingga akan menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi melalui menurunnya neraca perdagangan.
4.6.2. Impuls Respon Function (IRF) IRF bermanfaat untuk menunjukkan bagaimana respon suatu variabel dari sebuah shock dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya, dimana
63
analisis ini tidak hanya dalam waktu pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon kedepan sebagai infomasi jangka panjang. Sumbu horizontal menunjukkan waktu dalam periode tahun ke depan setelah terjadinya shock, sumbu vertikal menunjukkan besarnya respon atau tingkat laju perubahan shock variabel gangguan dalam variabel endogen. Dalam penelitian ini menganalisis respon nilai tukar riil terhadap guncangan (shock) atau inovasi pada capital inflow dan variabel lainnya (variabel inflasi, GDP, suku bunga, dan trade openness).
4.6.2.1. Respon Nilai Tukar Riil Terhadap Guncangan Capital Inflow Analisis impuls respon (IRF) pada model penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh guncangan capital inflow terhadap nilai tukar riil. Analisis ini penting untuk melihat pengaruh guncangan capital inflow terhadap nilai tukar riil Indonesia. Untuk memudahkan interepretasi, shock pada capital inflow sebesar satu standar deviasi terhadap nilai tukar riil ditunjukkan dalam Gambar 4.1 dalam 50 periode, berikut ini: Response of RER to Cholesky One S.D. CIF Innovation .06 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5
Sumber
10
15
20
25
30
35
40
45
50
: Lampiran 7, data diolah
Gambar 4.1. Respon Nilai Tukar Riil Terhadap Guncangan Capital Inflow di Indonesia
64
Respon nilai tukar riil akibat guncangan sebesar satu standar deviasi capital inflow menyebabkan fluktuasi nilai tukar riil. Pada Gambar 4.1 tersebut terlihat guncangan capital inflow sebesar satu standar deviasi pada priode pertama belum direspon oleh nilai tukar riil, baru pada periode ke-2 dan ke-4 direspon positif dan menyebabkan depresiasi nilai tukar berturut-turut sebesar 0,05 dan 0,02 standar deviasi. Akan tetapi pengaruh guncangan capital inflow juga direspon negatif atau dapat dikatakan terjadi penurunan nilai tukar riil (apresiasi) berturut-turut pada periode ke-3, ke-6, ke-7 sebesar -0,02; -0,009; dan -0,007 standar deviasi. Guncangan capital inflow terhadap nilai tukar riil secara keseluruhan menunjukkan respon yang negatif dengan pergerakan yang stabil pada periode setelah kuartal ke-17 sebesar -0,003 standar deviasi. Hasil IRF menunjukkan bahwa respon nilai tukar riil terhadap shock capital inflow sesuai dengan hipotesis awal, bahwa peningkatan pada capital inflow akan menyebabkan apresiasi nilai tukar rupiah. Berdasarkan teori hubungan investasi dan nilai tukar dimana kenaikan dalam capital inflow menyebabkan kurva (S-I) bergeser ke kiri karena investasi lebih besar dari tabungan yang berarti mengurangi penawaran mata uang domestik. Dengan kata lain, terjadi peningkatan terhadap penawaran mata uang asing di pasar valuta asing sehingga permintaan terhadap rupiah juga mengalami peningkatan dan menyebabkan rupiah mengalami apresiasi.
4.6.2.2.
Respon Nilai Tukar Riil Makroekonomi di Indonesia
Terhadap
Guncangan
Variabel
Hasil IRF yang menggambarkan respon nilai tukar riil dalam lima puluh (50) periode mendatang terhadap pengaruh guncangan variabel makroekonomi
65
seperti inflasi, GDP, suku bunga, dan trade openness sebesar satu standar deviasi ditunjukkan dalam Gambar 4.2, berikut ini : Respon RER terhadap Inflasi
Respon RER terhadap GDP
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04
-.08
-.08
-.12
-.12
-.16
-.16 5
10
15
20
25
(a)
30
35
40
45
5
50
15
20
25
30
35
40
45
50
45
50
(b)
Respon RER terhadap IR
.04
10
Respon RER terhadap Trade .04
.00
.00
-.04
-.04
-.08
-.08
-.12
-.12
-.16
-.16 5
10
15
20
25
30
35
40
45
(c) Sumber
50
5
10
15
20
25
30
35
40
(d)
: Lampiran 7, data diolah
Gambar 4.2.
Respon Nilai Tukar Riil Terhadap Guncangan Variabel Makroekonomi
Berdasarkan Gambar 4.2 (a) diatas, shock satu standar deviasi dari inflasi belum direspon oleh nilai tukar riil pada awal periode, hal ini berarti shock inflasi tidak serta merta menyebabkan apresiasi nilai tukar rupiah. Respon negatif terjadi pada periode kedua sebesar -0,122 standar deviasi yang sekaligus menjadi respon negatif tertinggi selama periode pengamatan. Respon positif baru terjadi pada periode ke-3 lalu kemudian mengalami penurunan pada periode ke-4 hingga ke-5. Respon positif tertinggi terjadi pada periode ke-7 sebesar -0,033 standar deviasi
66
dan mencapai konvergen pada periode ke-19. Secara umum respon nilai tukar riil terhadap perubahan inflasi adalah negatif. Hasil IRF nilai tukar riil terhadap perubahan laju inflasi yang menunjukkan respon yang negatif, yaitu kenaikan pada inflasi akan menyebabkan nilai tukar rupiah terapresiasi. Kenaikan laju inflasi dengan kondisi seperti ini dapat dikaitkan dengan nilai tukar riil melalui teori International Fisher Effect. Apabila terjadi kenaikkan laju inflasi akan direspon oleh bank sentral dengan meningkatkan suku bunga dimana dengan tingginya suku bunga akan meningkatkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya. Sehingga dengan banyaknya modal yang masuk maka akan menyebabkan nilai tukar terapresiasi. Selanjutnya akan diuraikan respon variabel nilai tukar terhadap perubahan GDP. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.2 (b) nilai tukar riil belum menunjukkan respon diawal periode, baru direspon positif pada periode ke-2 sebesar 0,02 standar deviasi dan mengalami respon yang negatif pada periode ke3 hingga ke-4. Respon positif tertinggi pada periode ke-6 sebesar 0,0367 standar deviasi dan terus mengalami fluktuasi hingga kemudian menjadi stabil pada periode ke-17. Hasil IRF nilai tukar riil terhadap perubahan GDP berlawanan dengan hipotesis awal yaitu positif. Menurut hipotesis Balassa-Samuelson, kenaikan pada GDP seharusnya menyebabkan niali tukar terapresiasi. Akan tetapi hasil ini ada kemungkinan apabila terjadi kenaikan GDP atau pertumbuhan pendapatan di suatu negara meningkat maka akan menyebabkan meningkatnya konsumsi atas berbagai macam barang dan jasa. Jika diimbangi peningkatan penawaran
67
barang/jasa maka akan memicu impor barang/jasa dari negara lain. Dengan meningkatnya impor barang/jasa maka terjadi kenaikan permintaan mata uang negara eksportir untuk pembiayaan. Sehingga hal tersebut menyebabkan mata uang domestik atau rupiah menjadi terdepresiasi. Variabel suku bunga sebagaimana terlihat pada gambar 4.2 (c) pada periode pertama nilai tukar riil tidak merespon shock yang terjadi. Respon baru ditunjukkan pada periode ke-2 dengan respon negatif sebesar -0,022 standar deviasi dan terus menurun pada periode ke-3 sebesar -0,032 standar deviasi. Pada periode ke-4 mengalami respon yang positif sebesar -0,025 standar deviasi. Respon negatif tertinggi dari perubahan suku bunga terjadi pada periode ke-5 yaitu sebesar -0,034 standar deviasi. Respon nilai tukar riil mengalami fluktuasi hingga mencapai kondisi stabil yang terjadi pada periode ke-15. Hasil IRF nilai tukar riil terhadap shock suku bunga sesuai dengan hipotesis awal yaitu negatif. Peningkatan suku bunga oleh bank sentral akan meningkatkan ketertarikan investor asing untuk menanamkan modalnya. Hal ini berarti semakin banyaknya modal asing yang masuk, maka terjadi peningkatan permintaan terhadap rupiah sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami apresiasi. Bahasan selanjutnya adalah respon nilai tukar riil terhadap guncangan satu standar deviasi pada variabel trade openness. Pada Gambar 4.2 (d) terlihat bahwa pada periode pertama belum ada respon nilai tukar riil, respon baru terjadi pada periode ke-2 dan periode ke-3 yaitu respon positif sebesar 0,024 dan 0,029 standar deviasi. Pada periode ke-4 respon berbalik menjadi negatif dan kembali di respon positif pada periode ke-5. Kondisi stabil terjadi pada periode ke-19 dan secara keseluruhan menunjukkan respon yang positif.
68
Hasil IRF nilai tukar riil terhadap perubahan trade openness telah sesuai dengan hipotesis awal, bahwa peningkatan trade openness menyebabkan nilai tukar riil mengalami depresiasi. Keterbukaan perdagangan akan meningkatkan kegiatan ekspor dan impor dimana suatu negara dapat dengan bebas masuk. Peningkatan keterbukaan perdagangan dapat melalui penurunan terhadap tarif atau peningkatan kuota. Dengan semakin murahnya harga barang maka pada awalnya akan meningkatkan ekspor dan berakibat nilai tukar mengalami apresiasi. Namun, tentunya hal ini dalam jangka panjang akan mempengaruhi peningkatan harga dari barang-barang yang bisa di ekspor atau barang tradable sehingga berakibat neraca perdagangan mengalami penurunan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka akan menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi.
4.6.3. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Pengaruh capital inflow terhadap nilai tukar rupiah juga dapat dilihat melalui analisis Variance Decomposition (VD). Analisis FEVD dipergunakan untuk mengetahui variabel mana yang paling berperan penting dalam menjelaskan perubahan suatu variabel. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
5
10
15
RER
TRADE
20 CIF
25
30
INFLASI
35 IR
40
45
GDP
Gambar 4.3. Dekomposisi Varians Nilai Tukar Riil di Indonesia
50
69
Hasil FEVD menunjukkan bahwa varian nilai tukar riil dominan dijelaskan oleh shock pada variabel itu sendiri hingga akhir periode. Kontribusi nilai tukar riil yang besar terhadap dirinya sendiri dapat diartikan bahwa adanya perilaku spekulasi dari para pelaku pasar uang terhadap terdepresiasi dan terapresiasinya nilai tukar rupiah yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Pada periode pertama nilai tukar mempengaruhi dirinya sendiri sebesar 100 persen dan menurun hingga 80,3 persen pada akhir tahun ke-5. Kemudian variabel inflasi menempati posisi kedua setelah nilai tukar itu sendiri dalam menjelaskan nilai tukar riil dengan kontribusi sebesar 12,7 persen pada periode ke-6 dan terus mengalami penurunan hingga periode akhir mencapai angka 9,52 persen. Sementara itu, shock pada capital inflow kurang dapat menjelaskan nilai tukar riil karena pengaruhnya yang sangat kecil. Rendahnya kontribusi guncangan capital inflow terhadap nilai tukar rupiah terjadi karena variabel tersebut hanya mempengaruhi sebagian kecil bagi tersedianya nilai mata uang asing yang diperdagangkan. Hasil temuan ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Ardiansyah (2006), yang menemukan bahwa current account
yang
didalamnya
termasuk
capital
inflow
kurang
signifikan
mempengaruhi nilai tukar rupiah. Hal ini membuktikan bahwa apabila terjadi peningkatan dan penurunan capital inflow sebenarnya kurang menggambarkan pengaruh pada pergerakan nilai tukar rupiah.