Harbrinderjit Singh Dillon Berkarya Demi Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
HS Dillon, lahir di Medan pada 23 April 1945. Sejak masa kanak-kanak hingga remajanya beliau hidup di lingkungan perkebunan sehingga akrab dengan kehidupan para kuli perkebunan. Di mata Dillon kecil para kuli ini adalah pekerja keras. Mereka tak pernah lelah menderes pohon-pohon karet dari pagi hingga petang, namun mengapa kehidupan mereka begitu miskin? Pertanyaan ini terus melekat di hatinya dan nyaris menjadi obsesinya hingga kini. Dengan latar belakang inilah, maka setelah lulus SMA, HS Dillon memutuskan kuliah di Fakultas Pertanian IPB, semata-mata untuk mendapatkan landasan bagi keberpihakkannya pada para buruh tani dan perkebunan. Setelah lulus S1, beliau mengawali karir di Departemen Pertanian. Karirnya di institusi ini difokuskan sebagai perancang kebijakan untuk meningkatkan ekonomi Indonesia melalui pendekatan rekayasa penyediaan pangan berbasis ekonomi pertanian. Sejalan dengan tugasnya di bidang ekonomi pertanian, HS Dillon tidak pernah lupa pada mimpi masa kanak-kanaknya, yaitu untuk mengangkat harkat kehidupan para petani. Karena itu beliau terus mencari celah-celah Institusi yang bisa dimasuki untuk mendapatkan jalan bagi terwujudnya cita-citanya. Dengan tujuan itu mulailah beliau ikut serta bergiat dalam institusi dan lembaga strategis seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Dewan Ekonomi Nasional, Badan Koordinasi Penangulangan Kemiskinan serta lembaga lain dengan berbagai posisi jabatan penting. Disamping kegiatan di Indonesia, beliau juga aktif pada lembaga tingkat dunia seperti Asian Society of Agricultural Economists, Seoul dan Gelar PhD. Agricultural Economics dari Cornell University diraihnya pada tahun 1983. Bidang utama yang diambilnya adalah International Trade and Development, dengan minornya, Resource economics dan developmental sociology. Setelah pensiun dari PNS, saat ini HS Dillon memiliki beberapa jabatan Co-Chair The Nature Conservancy Board of Advisor in Indonesia, Presiden Komisaris PTPN X, Senior Governance Advisor, PT. Freeport Indonesia, Senior Governance Advisor, Centre for Agricultural Policy Studies, dan Mentor & Senior Advisor to Chairman of MWA. Untuk mengetahui lebih rinci gagasan dan pandangan HS Dillon, sebagai Tokoh kita pada edisi ini, atas kemiskinan dan korupsi yang layak untuk diperjuangkan bagi negeri ini, maka Tim Butaru telah mendapatkan kesempatan untuk bertemu dan berbincangbincang dengan beliau pada suatu sore bulan Ramadhan di kantornya. Gaya bicara dan luapan emosi beliau dalam menyampaikan gagasan serta mimpinya, kami tuliskan kembali untuk pembaca Butaru disini. Butaru :
Sedikit informasi yang kami ketahui, Bapak lahir di Medan tapi dari kepanjangan nama Bapak adalah Harbrinderjit Singh Dillon, ini berarti orang tua bapak berasal dari India. Mungkin bias diceritakan kepada kami latar belakangnya sehingga keluarga Bapak memutuskan tinggal di Indonesia ?
H.S Dillon :
Sebetulnya ayah saya juga sudah lahir di sini, pada awalnya mbahnya ayah saya, jadi saya di sini generasi kelima. Jaman dulu itu orang Arab, Cina, India meninggalkan istri mereka untuk berpetualang di Indonesia, any way jadi itu dulu polanya. Mbahnya mbah saya itu yang bawa keluarganya kemari sehingga ayah saya dan saudara-saudaranya lahir di sini. Tapi mereka sebagian sekolah di India, ayah saya juga begitu. Sekitar umur enam tahun ayah saya sekolah di sana sampai kuliah setelah itu baru kembali ke Indonesia. Jadi sebenarnya kalau sudah lima generasi berarti Indonesia ini sudah bapak anggap sebagai rumah.
Oiya…sebetulnya kalau kita coba untuk memahami kebudayaan Nusantara , pengaruh kebudayaan India dan Cina itu besar sekali. Kita anggaplah mungkin peradaban di sini dipengaruhi oleh agama ( saya ngga percaya itu ), seperti Budha itu dibawa oleh orang India. Hindu, Islam kemari, kalau ke Sumatra dibawa oleh India kalau ke Jawa dibawa oleh orang Cina, orang Arab datang terakhir. Dalam perdagangan itu perlu kita ketahui bahwa orang India dan Cina, lebih maju dari pada orang Arab yang posisi geografis wilayahnya jauh dari laut. Dengan begitu, tentunya susah sekali siapa yang pribumi disini. Jadi artinya, saya besar di medan tahun 50an itu ngga ada perasaaan ada yang pribumi atau pun yang bukan pribumi. Perasaan itu sama sekali ngga ada. Kami tinggal di Kesawat itu india semua, sedangkan orang Cina ada di belakang, kalau yang betul-betul pribumi itu orang Padang, Batak sedikit, Aceh. Jadi yang bikin perbedaan di Republik ini adalah pemimpin terutama pemuka agama. Umat nggak ada masalah. Mereka ini, apa yang mereka khotbahkan tiap Jum’at, apa yang mereka khotbahkan tiap Minggu, selama yang mereka khotbahkan itu agama, yang kita dapat hanya perbedaan. Tapi kalau mereka mulai khotbahkan Ketuhanan mungkin kita akan temukan hal yang sama yaitu kemanusiaan. Jadi yang bikin rusak negeri ini sebetulnya para elit. Butaru :
Dari biografi singkat Bapak, dapat diketahui bahwa karier utama Bapak adalah dibidang Pertanian, sesuai dengan latar belakang pendidikan. Kemudian Bapak dipercaya juga sebagai Direktur Kemitraan untuk Reformasi Pemerintahan dan juga sebagai Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Bagaimana kaitan karier utama Bapak dengan bidang pemerintahan dan hak azasi manusia?
H.S Dillon :
Untuk memahami itu ada yang perlu saya jelaskan. Begini …kenapa awalnya saya kuliah pertanian. Jadi dulu ayah saya lebih terdidik pada waktu itu bila dibandingkan dengan sebagian besar orang-orang Singh India, (pada umumnya mereka adalah pedagang tapi ayah sempat sekolah) bahkan pihak belanda pun senang pada ayah, sehingga pada tahun 49-an kami bisa beli mobil. Dulu kalau mau beli mobil itu pake jatah. Jadi dulu kalau kami lewat prapatan, itu kan, lewat perkebunan, saya lihat orang yang istilahnya penderes, itulah kuli perkebunan. Waktu saya tamat sekolah (saya anak paling kecil) ayah tetap minta saya masuk kedokteraan tapi abang-abang saya sudah jadi dokter, mau jadi ekonom saya bilang nggak mau, lalu saya bilang saya mau masuk ke pertanian, dibiarkanlah, karena ayah saya bukan orang yang terlalu menuntut. Tapi saya mengambil bidang saya sosial ekonomi pertanian, karena tujuan saya sebetulnya belajar untuk membantu para petani. Tesis saya waktu itu adalah meneliti bagaimana perbedaan buruh perkebunan dengan rakyat tani diluar. Apa yang kelihatannya seakan-akan bertentangan, saya orang pertanian lalu masuk ke Komnas HAM, politik…dan sebagainya, sama sekali tidak bertentangan. Kalau kita lihat awalnya kenapa saya masuk pertanian, karena pertanian itulah instrumen yang paling tepat pada saat itu. Kalau kita betul-betul mau bantu rakyat miskin, orang miskin itu awalnya ada di pedesaan. Setelah itu saya masuk ke Komnas HAM adalah agar bisa menguatkan platform dalam upaya saya menyuarakan kepentingan petani. Saya juga jadi anggota ekonomi nasional yang dipimpin oleh Pak Emil. Pak Emil itu orang baik tapi otaknya terlalu percaya dengan pasar sedangkan saya tidak percaya dengan pasar. Karena, pasar tidak mengenal dibentuklah tim gabungan tindak pidana korupsi yang kemudian dibubarkan oleh Mahkamah Agung. Setelah itu Marzuki dan Rizal Ramli minta saya bikin Badan Penanggulanagan Kemiskinan. Saat yang
bersamaan ada lowongan untuk eksekutif direktur pada partnership government reform. Jadi itulah yang saya lihat. Dari 4 tempat yang saya duduki itu hanyalah cara yang lain untuk meneruskan perjuangan ini. Disini, saya sekarang sebagai penasehat Freeport mulai dari 2 tahun lalu. Orang Papua itu tak ada satu orang pun yang bisa mengelola uang pemerintah. Saya dengan bantuan PT Freeport juga mendirikan yang namanya people driven, yang saya terjemahkan menjadi sarwodaya. Kita tidak membangun manusia, kita mengentaskan kemiskinan. Kita mencoba merakit tangga. Penyakitnya di dunia ini, terperangkap oleh cara berfikir orang-orang Barat. Jadinya rakyat kecil menjadi sekedar kebutuhan basic needs, tapi mereka tidak mampu menemukenali kalau rakyat kecil itu memiliki kemampuan. Jadi kalau di paradigm saya, kita coba temukenali kemampuan mereka, bersama-sama dengan mereka membangun tangga dan anak tangga itu sederhana dan merekalah yang menaiki tangga menjauh dari kemiskinan. Saya ingin menjelaskan bahwa semua ini, membuat semakin utuh pemahaman saya tentang segala penyakit yang dibuat oleh manusia. Adanya kemiskinan tentunya bukan karena orang tidak bekerja keras, tetapi karena ada pemiskinan. Oleh karena itu buku saya terakhir saya namakan PRIBUMISASI PENJAJAHAN. Butaru :
Sekarang kami ingin berbincang seputar masalah kemiskinan di Indonesia, apa sebenarnya parameter yang tepat untuk membuat justifikasi bahwa seseorang atau sekelompok masyarakat itu masuk kategori miskin?
H.S Dillon : Ini yang paling gampang tanyakan langsung pada masyarakat sekitar. Jadi kemiskinan itu ada yang namanya kemiskinan absolute dan kemiskinan relative. Kalau untuk saya orang miskin itu orang yang tidak bias memperbaiki masa depannya. Kalau paham saya, mereka itu bukan kapasitasnya yang nggak ada tapi karena keadaan struktur sosialnya. Kita kan bisa lihat, buruh tani kerja. Siapa yang bilang dia malas, mungkin lebih malas dosen perguruan tinggi negri (ha…ha… yang ini guyon loh). Jadi jawaban sederhananya, orang yang dimiskinkan itu adalah orang yang tidak diberikan peluang. Butaru :
Jadi pak, kalau saya tidak salah menyimpulkan bahwa akar dari kemiskinan di Indonesia lebih kepada masalah sosial dan ekonomi, sebenarnya bukan karena mereka malas?
H.S Dillon :
Ini sebetulnya bukan hanya di Indonesia. Begitu banyak Phd di IPB kenapa keadaan pertanian jadi seperti ini. Bukan salah “adik-adik” saya tapi salah kalian (pejabat). Karena kalian tidak berpihak pada petani. Nah, tunjukkan pada saya, tidak satu pun UU yang kalian hasilkan yang pro petani, tunjukkan pada saya dipasal mana. Nah inilah kejadiannya, orang yang sudah mapan itu tidak mau membantu yang lain. Pola kita ini sudah diketahui betul oleh para pendiri bangsa ini. Makanya pada pembukaan UUD, seharusnya tiap bulan kita baca kembali, disana ada istilah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sampai sekarang saya nggak bisa memahami, kalimat itu masuknya darimana. Saya menduga, itu yang memasukkan Bung Hatta tapi nggak secara tertulis. Pokoknya waktu piagam Jakarta dikeluarkan, tau-tau kalimat itu masuk. Mencerdaskan kehidupan bangsa, itu bukan saja mendidik orang perorang tapi dalam seluruh kehidupan kita, kita harus cerdas. Sekarang ini kan yang kita lihat kebodohan. Iya, karena ada proses pembodohan sejak dulu. Reformasi yang kita kenal dalam sejarah manusia modern, itu kan melawan pembodohan yang dibuat oleh agama waktu itu, seluruh kemajuan ilmu ditentang oleh agama. Nah tujuan reformasi di Indonesia juga begitu, tapi dalam beberapa aspek bukan terjadi reformasi tapi malah terjadi
deformasi. Saya rasa hanya saya yang memberikan nama ini di Indonesia. Kalau ada reformasi pada jaman pak Harto timbul krisis. Kirisis itu adalah akumulasi pembiaran-pembiaran yang kita lihat. Kedzaliman terjadi pada orang lain, tapi karena tidak menggangu kita, ya kita biarkan. Artinya lembaga pada saat itu tidak mampu menghadapi tantangan pada masa itu, apa lagi masa yang akan datang. Karena gagal harus dirombak, itulah namanya reformasi. Andaikata kita main bola kalau gagal pasti pelatihnya bilang ganti formasi. Proses ganti formasi itu scramble dan itu yang sedang terjadi di sini. Butaru :
Apa program-program yang telah dilaksanakan maupun sedang direncanakan oleh Departemen Pertanian dalam kaitannya untuk penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan kawasan perdesaan ?
H.S Dillon :
Waktu dulu yang paling mengemuka, ya upaya kita swasembada beras. Dalam swasembada itu penghampiran kita sistemik. Dari pengambilan benih sampai dengan ke pemasaran. Jadi kita buat lembaga-lembaga. Sebelum masa tanam, kita umumkan berapa harga pupuk, pestisida, dan harga gabah keringnya. Jadi petani sudah tau berapa banyak untungnya. Sebagian besar di Jawa ini bukan petani tapi buruh tani. Petani yang ada pun paling punya tanah satu bau. 43 persen petani dan buruh tani nggak punya tanah. Apa yang kita perbaiki bukan hanya sistemnya tapi cara mengorganisasi diri kita. Buat namanya kelompok “sahamparan”. Kalau dulu kelompok petani ini kan menurut permukimannya. Nah kita pentingkan perawatannya yang sahamparan supaya semua upaya bersama itu bisa dikerjakan. Jadi ada upaya kita merekayasa kehidupan desa sendiri, karena banyak sekali wewenang yang menyangkut pertanian dan pedesaan itu nggak ada di Departemen Pertanian.
Butaru :
Kawasan perdesaan adalah basis dari sektor pertanian, tapi sekarang ada kecenderungan alih fungsi dari lahan pertanian menjadi kawasan industri dan perumahan, bagaimana Bapak melihat konflik ini dan mungkin ada usulan kompromistis yang bisa ditawarkan agar kepentingan sektoral tersebut dapat berjalan seimbang?
H.S Dillon :
Masalahnya di bangsa Indonesia ini kan nggak ada pemahaman yang utuh dan nggak ada upaya untuk melaksanakan hal itu dengan utuh. Orang PU jalan sendiri, tanah ini hilang, yang bertanggung jawab orang PU. Jalan kota dan segala macem, kan itu hal yg ngga bisa ditolak, kompensasinya itu tatkala permukiman semakin banyak seharusnya mereka membangunnya di luar (maksudnya di luar Pulau Jawa). Jadi bukan transmigrasi orang-orang yang gagal di sini ( di Jawa) yang mau dipindahkan kesana. Jadi kalau kita mau sungguh-sungguh membangun kawasan di luar Pulau Jawa, semua infrastruktur wilayah harus dibangun. Setiap wilayah harus mampu bertahan sendiri. Saya ingat, waktu itu kita datangi tiga menteri, Menteri Keuangan, Perdagangan dan Perindustrian, jadi kita bawa data-data ini. PU dulu pernah minta, kalian mau dimana nanti meningkatkan produksi, segala macam infrastruktur supaya kita siapkan jalannya. Kalau betul-betul kita beritikad baik dalam otonomi daerah, orang-orang yang disini (Jakarta) dipindahkan ke daerah
Butaru :
Bapak juga pernah aktif sebagai Anggota Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apakah menurut Bapak ada kaitan yang signifikan antara kemiskinan dengan korupsi?
H.S Dillon :
Erat sekali, jadi proses abstraksi itu sudah ada sejak jaman VOC membawa tanaman dari Indonesia. Disini kita lihat, kalau tidak terjadi proses korupsi yang begitu besar tentu dana itu kan akan dipakai di perdesaan. Paradigmanya kan, kalau menurut pasar, uang itu mengalir ke pihak yang penghasilannya terbesar. Bayangin kalau korupsi masih ada di Departemen Agama dan Departemen Pendidikan, padahal disinilah landasan akhlak. Dulu waktu saya kerja partnership, kita cari di hadist, nggak ada kata korupsi disana. Itukan tidak pernah dibicarakan kholifah-kholifah pada masa itu, karena betapa jujurnya mereka. Akhirnya mereka dibunuh, semua orang yang berbuat baik pada rakyat pasti nggak lama bertahannya, kita masih beruntung nggak dibunuh.
Butaru :
Kadang-kadang kita sering melihat adanya masyarakat miskin yang dijadikan obyek politik dalam beberapa kebijakan seperti Raskin dan BLT, ada komentar tentang hal ini Pak?
H.S Dillon :
Itu meringankan penderitaan, bukan menanggulangi kemiskinan. Ada dua sisi disana. Ada satu sisi dimana pemerintah tidak mempersiapkan dengan baik. Tapi ada sisi lain dari bangsa kita ini yang menyangkut sikap. Dan itu nampak sekali di Aceh. Ada beda antara bencana di Aceh dengan di Yogja. Ada satu hal yang sangat penting di Republik ini yang kita lupa, saya bekas pimpinan Komnas HAM, saya anggap pada saat ini Pemerintah melalaikan beberapa fungsi dasar dia sebagai pemerintahan, tapi pada sisi lain kita selalu menuntut hak tanpa sebelumnya membicarakan kewajiban. Sebagian besar orang di Indonesia ini nggak bayar pajak. Waktu saya eselon III saya bayar pajak loh. Kata mereka pajak pak Dillon, SPT nihil saja. Saya bilang janganlah dusta kalian. Semua kalian kan mengajar, ada penghasilan lain-lain. Jadi saya bayar pajak. Jadi sebetulnya orang yang tidak bayar pajak itu tidak pantas menuntut pada pemerintah. Saya hitung yang namanya kita bilang berhasil menanggulangi kemiskinan itu dibutuhkan 5 juta per jiwa. Dia pasti bisa menyelamatkan diri, pasti dia sudah bisa beli alat untuk modal dirinya. Petani harus naik kelas. Artinya jangan terlalu mengharapkan pada Presiden. Intinya untuk kalian yang muda-muda ini harus berupaya membuat kehidupan bangsa ini menjadi cerdas.
Butaru :
Sebagai penutup perbincangan, apa yang menjadi cita-cita Bapak, baik untuk pribadi maupun negeri ini yang sudah dan belum tercapai?
H.S Dillon :
Cita-cita ngga ada lagi. Untuk diri saya sendiri bu, saya sangat mensyukuri apa yang saya dapat, setiap kali saya dipecat saya selalu mendapatkan yang terbaik. Itikad,. ..ikhtiar, apa pun yang kita kerjakan itikad untuk membantu umat dan ikhtiar kita jangan berhenti selama hayat masih dikandung badan. Abang saya pernah berpesan, kau akan mati dan rakyat ini akan tetap miskin, karena banyak pejabat yang nggak punya rasa malu. Yang saya inginkan maunya kata itu nggak benar terjadi. Maunya sebelum saya meninggal sudah ada pertanda kebaikan di Negeri ini.
Butaru :
Baik Pak, terima kasih atas perbincangan yang menarik ini dan semoga Bapak diberi kesehatan dan kemampuan untuk terus berkarya. Selamat sore