hanafi
pintu belakang | derau jawa
Sambutan Kepala Galeri Nasional Indonesia
Galeri Nasional Indonesia - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan - menyambut baik penyelenggaraan Pameran Tunggal Hanafi ”Pintu Belakang | Derau Jawa” di Galeri Nasional Indonesia. Hanafi yang cukup lama berkecimpung di dunia kesenian, utamanya di bidang seni rupa relatif intens berkarya dan telah menggelar banyak pameran, baik pameran tunggal maupun pameran bersama, di dalam negeri ataupun mancanegara. Pada tahun 2016 ini, merupakan pameran tunggal Hanafi untuk yang ketiga kalinya digelar di Galeri Nasional Indonesia, setelah sebelumnya pernah diselenggarakan pada 2006 dan 2010. Hanafi acapkali mengeksplorasi dan menerjemahkan idea konseptualnya ke dalam berbagai media ekpresi, seperti lukisan, patung, dan instalasi. Karya-karyanya telah memiliki karakter dan identitas tersendiri yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Bahkan satu lukisannya telah menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia / Koleksi Negara. Lukisan tersebut berjudul Pukul 12 Siang Hari, akrilik dan enamel pada kanvas, 230 x 250 cm, 2006. Pada karya yang lain pernah mendapatkan penghargaan seni, beberapa diantaranya adalah Top 10 Philip Morris Art Award (1997); Finalis Indofood Art Award (2002 dan 2003); Top 10 Golden Palette, Ancol, Jakarta (2005); serta Anugerah Kebudayaan FIB Universitas Indonesia, Jakarta (2005). Selain melahirkan karya–karya seni lukis dan instalasi, Hanafi juga menekuni dunia artistik panggung dengan menggelar pertunjukan seni yang berkolaborasi dengan seniman tari, teater, dan sastra. Melalui Pameran Tunggal Hanafi ”Pintu Belakang | Derau Jawa” ini, diharapkan dapat membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mengapresiasi karya-karya Hanafi, menambah wawasan dan
mengenal lebih dekat tokoh-tokoh seni rupa Indonesia, serta membuka dialog publik yang memunculkan inspirasi serta motivasi dari perjalanan kreatif seorang Hanafi. Kami ucapkan selamat kepada Hanafi, serta terima kasih kepada kurator pameran ini Agung Hujatnikajennong, Studio Hanafi, dan seluruh pihak yang telah bekerja keras mewujudkan pameran ini. Selamat berpameran, selamat mengapresiasi! Jakarta, Maret 2016 Tubagus ‘Andre’ Sukmana Esai Kuratorial
Opening Speech from the Head of Galeri Nasional Indonesia
Galeri Nasional Indonesia--The ministry of Education and Culture--warmly welcome Hanafi’s Solo Exhibition “The Backdoor | Noise Java” at Galeri Nasional Indonesia. Hanafi has been involved in the arts for a long time, particularly in visual arts where he has been working relatively intensely and has held numerous exhibitions, both solo and collaborative, national as well as international. In 2016, this will be his third time holding an exhibition at Galeri Nasional Indonesia, after having done so in 2006 and 2010. Hanafi often explores and translates his conceptual ideas into various media of expression, like paintings, sculptures, and installations. His works possess a unique character and identity that are always interesting to discuss. One of his paintings has even made it into the collection of Galeri Nasional Indonesia / the National Collection. The painting is titled Pukul 12 Siang Hari, acrylic and enamel on canvas, 230 x 250 cm, 2006. His other works have also won awards, some of those awards are; Top 10 Philip Morris Art Award (1997); Indofood Art Award Finalist (2002 and 2003); Top 10 Golden Palette, Ancol, Jakarta (2005); and a Cultural Award from Universitas Indonesia’s Cultural Studies Faculty, Jakarta (2005). Aside from producing visual arts work and installations, Hanafi has also delved into the performing arts by organizing an art show with dance, theatre, and literary artists. Through this solo exhibition, we hope to give the public a chance to appreciate Hanafi’s works, expand their knowledge and familiarize themselves with Indonesia’s art figures, in addition to starting a public dialogue that births inspiration and motivation from Hanafi’s creative journey. We would like to say congratulations to Hanafi, and thank you to
the curator of this exhibition Agung Hujatnikajennong, Studio Hanafi, and all parties that have made this exhibition possible. Happy exhibiting, happy appreciating! Jakarta, Maret 2016 Tubagus ‘Andre’ Sukmana
Isi Sambutan Kepala Galeri Nasional Indonesia Tubagus ‘Andre’ Sukmana Esai Kurator Udara Menjadi Bunyi: Keluar Masuk Jawa lewat Pintu Belakang Agung Hujatnikajennong Narasi-narasi dalam Pameran Hanafi Pintu Belakang | Derau Jawa Afrizal Malna Kelompok Karya Hanafi Program Pameran Musik Performance: Sa’Unine String Project Diskusi Pra Pameran: Apa Itu Jawa Lokakarya dan Pameran Lintas Media Lokakarya dan diskusi Pembacaan karya Hanafi Ucapan Terima kasih Tim Pameran
Content Opening Speech from the Head of Galeri Nasional Indonesia Tubagus ‘Andre’ Sukmana Curatorial Essay Air Becomes Sound: In and Out of Java through the Backdoor Agung Hujatnikajennong Narratives in Hanafi’s Exhibition Back Door | Noise of Java Afrizal Malna Hanafi’s Artwork Group Exhibition Program Music Performance Sa’Unine String Project Pre-Exhibition Discussion: What is Java Exhibition and Intermedia Workshop Workshop and Hanafi’s Artwork Reading Discussion Biography Hanafi Agung Hujatnikajennong Acknowledgment Exhibition Team
Esai Kurator
Udara Menjadi Bunyi: Keluar Masuk Jawa lewat Pintu Belakang Agung Hujatnikajennong Di antara sekian banyak tikungan maupun lompatan yang pernah dilalui Hanafi Muhammad dalam rentang duapuluhlima tahun perjalanannya sebagai seniman, proyek Oksigen Jawa (2015) adalah salah satunya. Saya menyebutnya sebagai tikungan yang penting. Meski karya-karya dalam pameran tersebut tidak memperlihatkan penemuan dan perubahan gaya, medium atau teknik baru, Oksigen Jawa menandai tikungan tematik yang memberi warna baru pada perhatian, cara kerja dan tabiat artistik Hanafi hari-hari ini. Dalam Oksigen Jawa, Hanafi menggarap segenap ruang pamer di Galeri Soemardja menjadi instalasi besar yang terbangun atas ingatan-ingatan tentang kisah hidupnya. Dari pintu depan galeri, Hanafi membangun labirin, menggiring penonton memasuki narasi-narasi tentang objek-objek yang mesin jahit, peniti, ranjang rumah sakit, piring makan, padi, troli beras, sulaman, handuk, kap lampu dan gulungan benang. Semua itu tergambarkan pada kanvas, atau hadir sebagai bagian dari instalasi di ruang pamer. Oksigen Jawa adalah sebuah ‘biografi visual’, Hanafi menegaskan. Oksigen Jawa menampilkan lukisan-lukisan yang tak lagi sepenuhnya ‘abstrak’ seperti yang kita temui dalam pameran-pameran Hanafi sebelumnya.1 Nyaris pada semua lukisan Oksigen Jawa, objek-objek hadir dan digambarkan dengan sedikit 1 Lihat lukisan-lukisan Hanafi, terutama dalam pameran-pameran tunggalnya: id (2006), Enigma (2007), Of Space and Shadows (2009) dan Migrasi Kolong Meja (2014).
saja deformasi bentuk. Sebagian malah dipertegas dengan tulisan-tulisan yang terbaca. Bagian integral dari proyek Oksigen Jawa adalah buku tipis yang Hanafi tulis dalam bentuk fragmen-fragmen cerita tentang kehidupannya, serupa sketsa-sketsa untuk memoar yang lebih luas. Saya menengarai bahwa secara menyeluruh Oksigen Jawa dilatari oleh kebutuhan Hanafi untuk mengingat. Dan untuk membekukan kisah-kisah yang semula samar-samar dan hanya berkelebat-kelebat dalam ranah ingatan itu, ia memerlukan tanda-tanda dan gambaran yang dapat terbaca secara lebih jelas. Objek-objek Oksigen Jawa hadir sebagai memento yang tidak sekadar mematok jalan masuk menuju kisah-kisah, namun harus dapat memancing keterlibatan penonton atau pembacanya secara lebih langsung. Publik telah mengenal dan terlanjur mengidentifikasi sosok Hanafi sebagai ‘pelukis abstrak’. Lansiran itu tidak sepenuhnya salah, mengingat sebagian besar lukisan-lukisannya dihasilkan dari prinsip mengaburkan atau menyembunyikan bentuk-bentuk representasional. Namun harus difahami bahwa prinsip abstraksi yang dianut Hanafi bukanlah melulu soal gubah-menggubah bentuk atau bermain-main dengan bahasa formalistik. Kerja melukisnya mencerminkan suatu pendekatan reflektif sekaligus refleksif dalam memecahkan persoalan: Reflektif, karena keseniannya melibatkan pemikiran-pemikiran dan kontemplasi mendalam tentang sesuatu di balik fenomena empirik atau inderawi belaka. Refleksif, karena Hanafi cenderung menempatkan dirinya sendiri sebagai subjek yang terkena dampak oleh, atau terlibat langsung dengan persoalan yang dipikirkannya. Bagi Hanafi abstraksi bukanlah suatu gaya, apalagi ideologi, yang harus dipatuhi secara buta. Lebih penting baginya adalah menempatkan kerja seninya sebagai manifestasi dari
caranya memikirkan persoalan, yang bukan kebetulan banyak diwarnai oleh pendekatan retorik kalau bukan puitik. Hanafi adalah seorang seniman yang cenderung terbuka, kalau bukan bebas, dalam bekerja. Sejumlah pengamat telah mengulas karya-karyanya sebagai manifestasi dari ‘keriangan dan kebebasan’ dalam mencipta.2 Dalam pameran tunggalnya, Of Spaces and Shadows (2009), misalnya, ia bisa dengan santainya menyandingkan lukisan-lukisan abstraknya dengan instalasi atau patung yang justru nampak ‘realistik’, figuratif. Namun Oksigen Jawa, menurut saya, bukan sekadar proyek yang menegaskan keriangan Hanafi dalam bekerja. Sebagaimana ditegaskan dengan frasa ‘biografi visual’, tanda-tanda dalam Oksigen Jawa memang hadir untuk menegaskan memori dan narasi-narasi personal. Persoalan yang disuguhkan dalam Oksigen Jawa lebih luas dari sekadar cerita seorang anak seorang tentara kelahiran Purworejo yang merantau ke Jakarta setelah lulus dari sekolah menengah seni rupa. Kritikus Wicaksono Adi mengulas Oksigen Jawa sebagai representasi ‘matriks ruang dalam’ seorang Jawa yang menghayati objek-objek dalam kerangka aso2 Enin Supriyanto, Yang Hadir dalam Bayangan katalog pameran tunggal Hanafi, Of Spaces and Shadows (2009), Galeri Salihara, hal. 25. Lihat juga Goenawan Mohammad, Hanafi, Sejak di Depan Kanvas Kosong, hal. 103. Sementara Jim Supangkat menyebut caracara Hanafi menyelesaikan lukisan-lukisannya adalah refleksi cara-caranya menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan, sebagai manifestasi antara ego dan id. Lihat Jim Supangkat, Catur Soliter Hanafi, katalog pameran tunggal Hanafi, id, Jogja Gallery (2007), hal. 6.
siasi atau sistem simbol Jawa.3 Yang tampil dalam pameran itu memang bukan objek-objek eksotik budaya Jawa—keris, wayang atau batik—melainkan objek-objek domestik yang bisa ditemukan di rumah-rumah . Yang khas pada Hanafi, mungkin juga seperti orang Jawa pada umumnya, adalah cara penghayatannya yang ‘puitik’, dan dalam beberapa hal ‘retorik’, terhadap berbagai persoalan. Apa yang Hanafi telah capai dalam Oksigen Jawa memang serta-merta menyeretnya ke dalam pameran tunggalnya kali ini: Pintu Belakang | Derau Jawa. Satu hal yang tidak bergeser banyak adalah caranya menempatkan ‘Jawa’ sebagai teks yang mengandung tegangan, terutama antara: 1) kebutuhan untuk menyatakan identitas di satu pihak, dengan; 2) perubahan-perubahan kenyataan yang tak terelakkan sehingga pernyataan identitas yang ajeg menjadi musykil di pihak yang lain. Adapun pergeseran dalam caranya mempersoalkan Jawa sangat mencolok pada surutnya persoalan ingatan dan narasi-narasi personal, yang dalam pameran ini, diperluas menjadi suatu tilikan atas kenyataan-kenyataan komunal. Untuk pameran ini, Hanafi, bersama Afrizal Malna, melakukan perjalanan mengunjungi tempat-tempat di Jawa, melihat, mengamati, mendokumentasikan, melakukan serangkaian diskusi, mengumpulkan, membaca dan mengolah data-data, menjadi jalan masuk menuju gagasan. Hanafi berusaha menyelami kembali jejak-jejak masa lalu, untuk mengkonfirmasi apa yang pernah diingat dan difahaminya tentang Jawa dengan kenyataan-kenyataan empirik dan ‘objektif ’. Meskipun inheren dalam proses 3 Wicaksono Adi, Tubuh, Ruang, teks dan ‘Oksigen Jawa’, makalah untuk diskusi pameran Biografi Visual Oksigen Jawa, Galeri Soemardja ITB, 15 Mei 2015.
berkesenian Hanafi sebelumnya, cara kerja yang refleksif ini menempati posisi penting sebagai suatu metode yang ditempuh untuk proyek Pintu Belakang | Derau Jawa. Derau Hanafi lantas merumuskan gagasan tentang noise, atau derau: semacam suara atau bunyi yang tak diinginkan. Lagi-lagi, ini adalah yang khas dalam cara berpikir Hanafi yang selalu lincah bermain dengan metafor-metafor. Pada Derau Jawa ada konversi kode yang menarik dari proses kerja yang notabene visual ke gagasan yang justru audial. Dalam pameran ini, ingatan-ingatan dan kisah-kisah tentang Jawa yang Hanafi jumput dari sana-sini dijalin dan diperlakukan sebagai entitas inderawi yang tak terjamah (intangible) dan tak kasat-mata (invisible). Jika Jawa adalah bunyi, lalu apa dan di manakah sumbernya? Adakah yang membunyikannya? Jika ya, siapakah ia? Sekeras apakah bunyi itu? Bagaimana bunyinya? Apa dampaknya pada kita? Pertanyaan-pertanyaan ini penting jika untuk siapapun yang ingin mengimajinasikan Jawa yang diajukan oleh Hanafi. Dalam wacana tentang bunyi, derau dapat ditemukan melalui tindakan ‘mendengar’ (to hear) maupun ‘menyimak’ (to listen). Namun Barthes dan Havas membedakan kedua tindakan audial tersebut.4 Yang pertama berkaitan dengan mekanisme fisiologis dan biokimia dari fungsi struktur dan sistem kerja organ tubuh yang ada pada berbagai makhluk hidup 4 Roland Barthes dan Roland Havas. Listening dalam The Responsibility of Forms, t Richard Howard (trans.), New York, 1985, hal. 245–60.
(seekor tikus bisa mendengar suara langkah kucing yang mendorong instingnya untuk kabur atau bersembunyi di dalam lubang). Sementara yang terakhir lebih bersifat psikologis, yakni tindakan kognitif yang berdampak pada motivasi, persepsi, emosi maupun kebiasaan atau sikap manusia. Tindakan menyimak lebih memiliki tujuan, dan menuntut kemampuan untuk menyingkap dan menafsir kode-kode: Seorang penggemar sandiwara radio mampu membayangkan dramatisnya gerakan-gerakan tubuh dua orang pendekar yang berduel, meskipun yang terdengar hanyalah bunyi kelebatan-kelebatan kain sarung yang mengiris angin. Derau muncul ketika, dalam kegiatan menyimak, seseorang menemukan sesuatu yang mengganggu, tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Namun sebagai suatu kategori semantik, derau tidak memiliki bentuk ataupun wujud yang pasti, karena apa yang dianggap derau untuk seseorang dapat menjadi bunyi atau suara yang bermakna untuk orang lain. Derau tidak selalu identik dengan jenis bunyi, karena kesenyapan pun dapat berarti derau (bayangkan kekecewaan penonton ketika listrik tiba-tiba padam di tengah-tengah konser musik rock). Di pihak lain, John Cage justru menganggap tak ada kategori derau dalam musik. Ketika ia memainkan komposisi 4’:33” yang justru menampilkan kesunyian dan kesenyapan, segala jenis bunyi yang ada dalam ruang konser, termasuk yang bunyi-bunyi diharamkan terdengar di dalam sebuah konser (penonton yang bernafas, mendehem atau batuk, misalnya), adalah bagian integral dari komposisi musiknya. Pendek kata, derau hanya bisa dibedakan dengan tujuan atau inti dari suatu proses kodifikasi (encoding) dan penyingkapan kode (encoding). Ia dapat muncul dalam bentuk apapun yang ‘tak-dihasratkan’ (undesired).
Jawa (?) Lalu apa yang dimaksud dengan Derau Jawa? Sebelum memahami maksud Hanafi, anggaplah kita punya bayangan-bayangan, stereotip, definisi atau ideal tentang ‘Jawa’. Yang paling sederhana tentu Jawa sebagai entitas geografis dan demografis, yakni pulau selebar 128.297 km2, pada 7° 29” 30’ LS, 110° 0” 16’ LU yang dihuni oleh lebih dari 141 juta jiwa penduduk yang tersebar di enam provinsi. Sementara dalam pengertian antropologis dan etnologis, Jawa adalah entitas sosial, dan kultural spesifik yang diikat oleh bahasa, tata-cara hidup, sistem kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh suatu kelompok. Kelompok ini dibayangkan mewarisi ‘Jawa’ secara turun-temurun, menyerap dan menyebarkannya kembali melalui lingkungan hidup atau pergaulan. Harus diakui, dalam kerangka politik antara identitas etnis dan kebangsaan, kita tahu bagaimana sepanjang sejarah bangsa ini, keragaman budaya Nusantara tak pernah sebenar-benarnya terwakili dalam kehidupan kebudayaan Indonesia. Alih-alih, kekuasaan politik dan ekonomi yang selalu terpusat di Jawa, harus diakui, menyebabkan wacana Jawa menjadi dominan dalam kehidupan bernegara. Proyek Oksigen Jawa maupun Derau Jawa dapat diposisikan sebagai pertanyaan-pertanyaan dan tinjauan kritis pada superioritas Jawa, sebagai entitas geografis maupun etnis di Indonesia. Dalam frasa Oksigen Jawa maupun Derau Jawa, kita menangkap gambaran samar-samar tentang definisi antropologis yang tidak cukup memadai, atau tak pernah stabil untuk menjelaskan Jawa. Dalam Oksigen Jawa Hanafi mengkonversi pengertian Jawa ke dalam metafor tentang udara: Jawa adalah sesuatu
yang nirwarna, nir-bau, terbuka, bebas dan mengalir—ia dapat dihirup oleh di mana pun, kapanpun oleh siapapun. Sebagai tengara identitas, label Jawa dapat dikenakan (dihirup) oleh siapapun yang sewaktu-waktu membutuhkannya. Saya menggagap bahwa metafor ini menyarankan pengertian Jawa yang tak hanya diikat oleh batasan geografis maupun sosiokultural. Kita tahu bagaimana perpindahan manusia dari dalam dan luar pulau Jawa berserta interaksi berbagai nilai lama dan baru yang ditimbulkannya (misalnya melalui perang, pernikahan maupun penyebaran pengetahuan) pada akhirnya selalu berpotensi menciptakan perubahan-perubahan makro maupun mikro dalam konsep ‘ke-Jawa-an’. Oksigen Jawa juga mengandung konotasi tentang ketaksadaran kolektif: Kita tak pernah sepenuhnya sadar bahwa selama ini, secara sengaja atau tidak, kita telah terlalu lama menghirup ‘udara Jawa’ yang mempengaruhi cara-cara kita berpikir dan bertindak (ingatlah bagaimana kegiatan bernafas tak selalu sepenuhnya kita sadari). Saya memaknai pilihan Hanafi untuk mengajukan noise atau derau sebagai hasil dari suatu peralihan dari cara kerja ‘mengingat’ (to memorize, yang cenderung lebih menonjol dalam Oksigen Jawa) ke ‘merenungkan’ (to contemplate). Keduanya berhubungan dengan masa lalu, namun memiliki dampak yang berbeda ketika dilakukan. Dalam Derau Jawa, kita bolehlah membayangkan adanya ‘Jawa’ sebagai bunyi atau suara yang dominan, bersumber tunggal, resmi, sahih. Dan yang Hanafi coba lakukan adalah menangkap bunyi-bunyi di luar yang dominan itu. Ia justru ingin menangkap bunyi-bunyi yang tak diinginkan oleh pembawa suara dominan. Untuk menemukannya Hanafi harus pertama-tama menemukan bunyi utama. Ini adalah kegiatan yang lebih bertumpu pada analisa ketim-
bang sekedar mengingat (atau ‘menghirup udara’ secara tidak sengaja). Ada sejumlah ‘frekuensi derau’ yang Hanafi coba ungkap dalam pameran ini. Ia melukiskan dan menghadirkan objek-objek sebagai metafor untuk masuk pada narasi-narasi, simbol maupun mitos yang tercecer, nyaris terlupakan atau terepresi—dianggap sebagai derau—dalam narasi-narasi tentang Jawa kontemporer. Ia memang tidak secara langsung mempersoalkan sejarah. Tapi tanda-tanda pada lukisan-lukisan dan instalasinya mewakili gaung dimensi ruang, waktu dan kejadian di masa lampau yang disusun ke dalam komposisi yang tumbuh tidak linier, melainkan, seperti yang ditengarai Afrizal Malna: Acak, melingkar, berlapis-lapis dan rizomatik bagai pertumbuhan umbi bawang. Metafor lain yang Hanafi gunakan dalam proyek ini adalah pintu belakang. Dibayang-bayangi kebiasaan masa mudanya untuk pulang ke rumah lewat pintu belakang, Hanafi menjadikan ‘pintu belakang’ sebagai cara untuk melihat kembali kenyataan-kenyataan ‘Jawa’ melalui kacamata yang serba informal dan ‘miring’. Jika pintu depan adalah representasi suara tunggal Jawa yang didominasi oleh sosok ‘Bapak’ (kekuasaan tunggal, dominan, laki-laki), Hanafi menyusun Jawa dengan caranya sendiri, di mana derau-derau—narasi-narasi yang tak diinginkan, dalam bentuk mitos, legenda, fiksi—berkelindan dengan data, fakta maupun narasi sejarahnya sendiri. Pada titik itulah, saya menemukan keriangan dan kebebasan mencipta yang sebenarnya dan khas dalam sosok Hanafi.
Konversi-konversi “…Kepompong ulat sebagai kompas. Dalam kehidupan masyarakat Jawa pasca-kemerdekaan (terutama pada era Orde Baru) haluan untuk pergi hanya ada satu: kota. Kota-kota yang sekarang maju di Jawa membujur sepanjang ujung barat dan timur pulau Jawa. Padahal, poros utara-selatanlah yang menjadi patokan penting dalam konsep mata angin Jawa. Ini tercermin pada pertanyaan yang diajukan anak-anak ketika bermain dengan kepompong ulat: “Ndi lor, ndi kidul?” (Mana utara, mana selatan?). Garis lurus yang ditarik dari poros utara selatan konon menghubungkan Gunung Merapi, Keraton Ngayogyakarta dan Laut Selatan. Gunung Merapi dipercaya sebagai pewahyu tanda-tanda sosial: ia tak boleh tersumbat. Sekalipun ia memuntahkan Wedhus Gembel dan menelan korban manusia, orang Jawa harus tetap pasrah, nrimo. Sekalinya Merapi tersumbat, revolusi sosial akan pecah di Jawa, dan situasi politik di Keraton Yogyakarta akan guncang. Laut Selatan adalah rumah Nyi Roro Kidul yang sesekali akan datang ke Taman Sari untuk mandi di kompleks pemandian rancangan Demang Tegis, seorang arsitek Portugis. Pintu belakang adalah gerbang Sebelum masuk ke dapur, kita menemukan sumur dan dinding bambu yang membangun bilik mandi dan cuci. Tak ada yang RT/RW yang membatasi teritori ini. Semua orang bebas mandi dan mencuci di situ. Terkadang para tetangga berkumpul di dapur, untuk menumpang memasak atau sekadar nongkrong dan ngobrol-ngobrol. Pintu dapur selalu terbuka untuk siapapun yang kekurangan garam, bumbu dapur, juga untuk kiriman-kiriman beras, pisang dan palawija yang berdatangan ketika mu-
sim panen. Masuk ke dalam rumah, kita melihat ibu sedang menjahit, atau melicin pakaian dengan setrikaan arang. Bapak meletakkan topi bajanya, mengenakan sarung dan bakiak untuk mengambil air wudhu, mencuci tangannya yang berlumuran darah karena G 30S. Ia minum obat buatan pabrik Jerman ketika pusing, tak lupa sambil mendengarkan bunyi gamelan sebelum tidur di ranjang. Suara bapak selalu bergema di segenap penjuru rumah, terkadang berisik sampai di ruang keluarga di mana anak-anak biasa berkumpul dan menonton video. Hanya ibu yang fasih menyanyikan lagu Tak Lelo Le Dhung, agar anak-anak tidur dengan pulas. Sesekali ia mengajarkan anak-anak menulis dan mengeja Ha Na Ca Ra Ka. Di kampung kami tak ada lagi bajak-bajak sawah yang mondar-mandir melibas lumpur basah. Tak ada pula bunyi-bunyian alu dan lumpang yang bersahut-sahutan menumbuk padi. Bapak selalu menyuruh anak-anak pergi dan datang lewat pintu depan untuk menjaga kesopanan…”
Curatorial Essay
Air Becomes Sound: In and Out of Java through the Backdoor Agung Hujatnikajennong Among the many leaps and turns that Hanafi Muhammad has gone through for 25 years as an artist, the Oksigen Jawa project (2015) was one of them. I call it an important turn. Even though his works at the exhibition didn’t show any reinvention or transformation of style, medium, or technique, Oksigen Jawa marked a thematic turn that gave a new color to Hanafi’s attention, work method, and artistic behavior today. In Oksigen Jawa, Hanafi turned an entire exhibition room at Galeri Soemardja into a large installation that is built upon the memories of his life story. At the entrance of the gallery, Hanafi built a labyrinth, guiding visitors through narrations about various objects such as sewing machines, towels, lampshades, and rolls of yarn. All of these are depicted on the canvas, or are present as part of the installation in the exhibition room. Oksigen Jawa is a ‘visual biography’, stressed Hanafi. Oksigen Jawa demonstrated paintings that are no longer completely ‘abstract’ like the ones in his past exhibitions. 1 On almost every painting in Oksigen Jawa, objects were present and drawn with little deformation. Half of them were even accentuated by readable writings. An integral part of Oksigen Jawa is a companion book that Hanafi had written in the form of fragmented stories about his life, like sketches for a larger memoir. As a whole, I see Oksigen Jawa as based on Hanafi’s need to remember. And to freeze the stories that were vague at the beginning and somewhat fleeting in his memory, he
needed signs and pictures that were clearer. The objects of Oksigen Jawa act as mementos that not only had to pave a way into those stories, but also had to capture the audience’s or the readers’ involvement directly. The public has known and already identified Hanafi as an ‘abstract painter’. That perception is not completely wrong considering how the majority of Hanafi’s work are born out of obstructing or concealing representational forms, but it must be understood that the principles of abstraction that Hanafi adheres to are not always about altering forms or playing with formalistic languages. His artwork reflects a reflective approach and are also reflexive in problem solving: Reflective, because his art involves thoughts and deep contemplations on something behind a mere empirical or sensory phenomenon. Reflexive, because Hanafi tends to position himself as a subject that is affected by, or involved directly with the problems he’s thinking about. To Hanafi, abstraction isn’t a style, or even an ideology that has to be followed blindly. What’s more important to him is to place his artwork as a manifestation of how he thinks about problems that are not coincidentally often decorated with rhetoric, if not poetic approach. Hanafi is an artist that tends to be open, if not free, at work. Several observers have described his work as a manifestation of ‘happiness and freedom’ in creating.2 In his solo exhibition, Of Spaces and Shadows (2009) for example, he could casually pair his abstract paintings with installations or sculptures that otherwise looked ‘realistic’, figurative. However, Oksigen Jawa, in my opinion, is not only a project that emphasizes Hanafi’s joy in working. As has
been stressed with the statement ‘visual biography’, the signs in Oksigen Jawa were there to clear memories and personal narrations. The problems presented by Oksigen Jawa are larger than the story of a Purworejo-born son of a war veteran who moved to Jakarta after graduating from art school. Critic Wicaksono Adi viewed Oksigen Jawa as a representation of an ‘inner-side matrix’ from the perspective of a Javanese person who perceives objects in a Javanese associative frame or system of symbols. What are present at the exhibition are indeed not of Javanese origins---like keris, wayang or batik---but they are domestic objects that can be found in a house. What is unique about Hanafi, and perhaps every other Javanese person, is his poetic, and sometimes rhetoric perception of problems. What Hanafi has achieved with Oksigen Jawa has inadvertently led him to his upcoming solo exhibition: The Backdoor | Noise Java. One thing that hasn’t shifted much is the way he places ‘Java’ as a text that contains tension, particularly between: 1) the need to express identity on one side, with; 2) the inevitable changes in reality that make questions about identity abstruse to the other side. If there’s a shift in the way he thinks about Java, it is most clearly seen in the lack of memory-related themes and personal narrations, which, in this exhibition, are expanded into a commentary on communal realities. For this exhibition, Hanafi, together with Afrizal Malna, went on a journey to visit certain locations in Java, seeing, observing, documenting, discussing, gathering, reading, and processing data as means to achieve an idea. Hanafi tried to retrace past steps, to reconfirm what he once remembered and understood about Java in terms of empiric and ‘objective’ realities. Although inherent in Hanafi’s past creative
processes, this reflexive work method plays an important role as a method that is practiced for Pintu Belakang | Noise Java. Noise Hanafi then defines his idea of noise, or derau: a sound or voice that is unwanted. Yet again, this is what is unique in Hanafi’s way of thinking that is filled with metaphors. In Noise Java, there’s an interesting conversion of code from a working process that is notably visual into an idea that is otherwise audial. In this exhibition, the memories and stories about Java that Hanafi has scavenged from various places are structured and treated as a sensory entity that is intangible and invisible. If Java is noise, then where is the source? Are someone making the sound? If yes, then who are they? How loud is it? How is the sound? How does it affect us? These questions are important to anyone who wants to imagine the Java that Hanafi presents. On the subject of sound, noise can be discovered through the act of hearing or listening. But Barthes and Havas differentiate those two audial activities. 1 The former is related to the physiological and biochemical mechanisms of the structural function and the systems of bodily organs that are inherent to all living organisms (a rat can hear the sound of a cat’s footsteps that compels it to escape or hide inside a hole), while the latter is more psychological, a cognitive action that affects motivation, perception, emotion, and even habit or human behavior. The act of listening has more of a purpose and demands the ability to react to and interpret codes: A fan of a radio show can imagine the dramatic qualities of a duel, even though all he receives are sound effects.
Noise appears when, during the act of listening, one finds something intruding, something that is unwanted or unfit with the original purpose. But as a semantic category, noise doesn’t have an exact shape or form, because what is considered as noise to someone can be considered as a meaningful sound to another. Noise isn’t always identical with a specific type of sound, because silence can also be defined as noise (imagine the disappointment of the crowd when the electricity cuts mid-concert). On the other hand, John Cage believes there is no noise category in music. When he performs the composition “4’:33’” which consists of silence and faint sounds, every type of sound that is present at the venue, including the sounds that are forbidden at a concert (breathing sounds, coughing, for example) are an integral part of his musical composition. In short, noise can only be differentiated with the purpose or core idea of a codification process and encoding. It can appear in a form that is undesired. Java (?) So how does one define Noise Java? Before trying to understand what Hanafi is trying to say, consider that we have ideas, stereotypes, definitions, or ideals about ‘Java’. The simplest one is of course Java as a geographical and demographic entity, which is an island 128.297 km2 wide, located at 7° 29” 30’ LS, 110° 0” 16’ (north latitude), and occupied by more than 141 million citizens spread across six provinces Meanwhile, anthropologically and ethnologically, Java is culture-specific social entity that is bound by language, ways of life, belief system, and values practiced by a group. This group is conceived as one that inherits ‘Java’, absorbing and spreading it again through its living environment or social circle.
It needs to be acknowledged that within the political framework between national and ethnical identities, we know how throughout this nation’s history, the cultural diversity of Nusantara has never been rightfully represented in Indonesia’s living culture. Instead, political and economic powers are always centralized in Java. This causes Java to play a dominant role in this nation’s citizenship. Oksigen Jawa or Noise Java can be posed as questions and critical overviews about the superiority of Java, both as a geographical and ethnical entity in Indonesia. Between the phrases of Oksigen Jawa and Noise Java, we get a vague picture on a lackluster anthropological definition, or one that is never stable when it comes to explaining Java. In Oksigen Jawa Hanafi converted the definition of Java into a metaphor for air: Java is a nirvana, something that is odorless, open, free, and flowing--it can be breathed anywhere, anytime, and by anyone. As a landmark for identity, the label Java can be breathed by anyone needing it. I see this metaphor as suggestive of a definition of Java that is not restricted by geographical or sociocultural bounds. We know how the migration of humans from inside and outside of Java along with the interactions between old and new values that it causes (for example, through war, marriage, or the spread of knowledge) will ultimately produce macroscopic and microscopic changes in the concept of ‘Java’. Oksigen Jawa also contained a connotation about the collective unconscious: We have never been fully aware that all this time, consciously or not, we have been inhaling the ‘air of Java’ that influences our actions and ways of thinking (remember how the act of breathing is not always conscious).
I define Hanafi’s choice to put forth noise as a product of a transition from memorizing (which was prevalent in Oksigen Jawa) to contemplating. Even though both are related to the past, they have different consequences when acted upon. In Noise Java, we can imagine the existence of ‘Java’ as a sound or a dominant voice with a single official and legal source.And what Hanafi is trying to do is capture the sounds outside of that dominance. He wants to capture the sounds undesired by the proponents of that dominance. To do so, Hanafi must first locate the primary sound. This is a step that depends more on analysis than memory (or ‘inhaling air’ unconsciously). There are some ‘noise frequencies’ that Hanafi is trying to uncover with this exhibition. He paints and presents objects as metaphors to step into the world of narrations, symbols, and myths that are almost forgotten or repressed---treated as noise---in narrations about contemporary Java. He indirectly concerns himself with history. But the signs in his paintings and installations represent the reverberation of a spatial and temporal dimension along with past events that are stacked on top of each other in a composition that doesn’t grow linearly, instead, as what Afrizal Malna has explained: Random, circular, layered, and rhizome-esque, like the growth of a tuber. Another metaphor that Hanafi employs in this project is the backdoor. Shadowed by a habit in his youth of returning home through the backdoor, Hanafi turns ‘the backdoor’ into a way of revisiting ‘Javanese’ realities through a pair of eyes that is informal and ‘bent’. If the front door is a representation of Java’s singular voice that is dominated by the father figure (a singular power, dominant,
male), Hanafi structures Java in his own way, where noises---undesired narrations in the form of myths, legends, and fictions---go hand in hand with data, facts, and the narration of its own history. At that point, I find the joy and freedom of creating that are unique with Hanafi. Conversions “...a moth’s cocoon as a compas. In the lives of Javanese people after the independence (particularly in the New Order era), there’s only one destination to head to: the city. The cities that are now flourishing in Java are located along the westernmost and easternmost corners of the Java Island. While in reality, the north and south poles are the basis for the Javanese concept of direction. This is reflected on the question put forth by children when playing with moth cocoons: “Ndi lor, ndi kidul?” (Where’s north, where’s south?). A line that is stretched from the north to the south poles are said to connect Mount Merapi, the Ngayogyakarta Kraton, and the South Sea. Mount Merapi is believed to be the foreteller of social signs: it cannot be obstructed. Even when it produces Wedhus Gembel which has the potential to claim many lives, the Javanese people must accept it, nrimo. Once the Merapi is obstructed, social revolution will break out in Java, and the political situation in the Ngayogyakarta Keraton will crumble. The south sea is home to Nyi Roro Kidul, who occasionally visits Taman Sari to bathe at a bathing complex designed by Damang Tegis, a Portuguese architect.
The backdoor is a gateway. Before entering the kitchen, we come across a well and walls of bamboo that make up the washing and bathing quarter. There are no restrictions to this territory. Everyone is allowed to wash or bath there. Occasionally, the neighbors get together at the kitchen, to cook or to just sit down and chat. The door to the kitchen is always open for anyone who is short of salt, spices, or to the deliveries of rice, bananas, and palawija that arrive in the reaping season. Upon entering the house, we see mother is sewing, or flattening clothes with coalmade clothes iron. Father lays down his iron hat, puts on his sarung and slippers to take absolution, and washes his bloodsoaked hands caused by the G 30S. He drinks a German-manufactured medicine when he’s nauseated while listening to the sound of gamelan before going to bed on his bunk. His voice is always present in every corner of the house, sometimes so loud that it’s heard in the family room where the children get together to watch video. Only mother is capable of singing the song Tak Lelo Le Dhung correctly, so that the children sleep well. Every once in a while she teaches the children to write and spell Ha Na Ca Ra Ka. In our village there is no bajak-bajak sawah that goes to and fro through mud. Also not present is the sound of alu and lumpang going back and forth against grain. Father always instructs the children to come and go through the front door to maintain civility..”
Narasi-narasi dalam Pameran Hanafi
Pintu Belakang | Derau Jawa Afrizal Malna Di Parang Kusumo, Yogyakarta, hari 6 Januari 2016, sore sangat panas. Pengunjung sepi. Debur ombak Pantai Selatan terus terdengar. Kami minta tolong seseorang mencari juru kunci Parang Kusumo, sambil memesan bahan-bahan ritual. Sebuah sore di antara kembang tujuh warna, asap dupa, sang Juru Kunci, dua buah batu Ratu dan Raja dalam taman pasir. Angin menghembuskan asap dupa. Kami memasuki, menghormati sebuah kepercayaan di sekitar Nyai Loro Kidul. Membersihkan diri dari dengki. Ini merupakan sebuah “pintu Jawa”, kosmologi yang bermain dalam teritori teknologi imajinasi bersama komunitas mistisnya. Dunia lain dibuka melalui “pintu belakang”. Ruang ini tidak ada hubungannya dengan “pintu depan” yang menuju ke luar, ke dunia yang teritorinya tidak berbatas. Pintu belakang teritorinya sangat terbatas, hanya menghubungkan bagian belakang rumah dengan halaman belakang rumah.Meskipintu ini hanyaberhubungan dengan kegiatan dapur dan aktifitas kegiatan rumah tangga lainnya,fungsi simbolisnya tidak terbatas. Struktur ruang ini, terutama dalam kehidupan masyarakat Jawa, berhubungan dengan budaya yang terkait erat dengan istilah “jalan belakang” (liwat mburi), untuk menyebut berbagai hubungan informal tanpa publik. Ia memang memiliki ruang gerak sosial dalam lingkup kecil antar tetangga maupun kerabat, tapi juga memiliki fungsi politik tak terduga untuk mencairkan peran negara, atau sebagai ruang dimana negara tidak ikut hadir (lihat: nomor rumah ada di pintu
depan).Dalam budaya Sunda dikenal pula ungkapan ngaliwat ka jalan pipir (lewat jalan samping). Seorang antropolog, Jan Newberry, pernah melakukan penelitian mengenai pintu belakang dalam konsep rumah Jawa di Kampung Putri di Yogyakarta. Ia menyebut begitu pentingnya peran pintu belakang. Sebuah rumah tanpa pintu belakang sama dengan memutus hubungan antara keluarga dengan kampung, ruang untuk aliran udara, aliran arus orang dan arus barang (Jan Newberry, Back Door Java, Negara, Rumah Tangga dan Kampung di Keluarga Jawa, 2013, hal. 15). “Kalau pulang ke rumah, aku lebih suka masuk lewat pintu belakang. Pintu depan selalu memunculkan bayangan bapak yang duduk di kursi menatap lurus ke luar pintu: Posisi yang mengandung konstruksi kekuasaan untuk mengawasiku. Tapi kini pintu belakang tidak berfungsi lagi. Halaman belakang lalu berubah jadi sebuah ideologi yang kosong, kemudian cenderung diisi dengan sampah,” kata Hanafi. “Ketika kita tidak punya pintu belakang, kita tidak punya pulang. Rumah menjadi tempat untuk pergi,” lanjutnya. Pameran ini seperti arus balik ketika Hanafi mulai melihat arus eksternalisasi budaya, pasar global, alih-alih hanyut dalam arus dari “pintu depan”. Konsep pintu belakang dalam tata ruang rumah Jawa menjadi perhatiannya kembali. Jawa yang dialami Hanafi berada di luar lingkaran Keraton, meskipun untuk masyarakat Yogyakarta, Purworejo (tempat kelahiran Hanafi) disebut sebagai daerah Bagelen. Software identitas yang cair ini membuat Hanafi nyaris tidak memiliki beban untuk mengalami Jawa secara personal. Tetapi apakah Jawa itu? Sebuah imajinasi yang tidak memiliki teritori. Atau,
jikapun ada, teritori itu hanya nyata dalam wujud bahasa: Bahasa Jawa. Di Indonesia, keberagaman mungkin tidak pernah ternyatakan tanpa melihat berbagai jejak pengaruh masuknya Islam, kolonialisme, kemudian modernitas. Jawa sebagai mayoritas menjadi bandul utama dalam arus politik identitas ini. Senirupa—sebagai praktik atau disiplin yang membantu Hanafi memahami dunia modern—cenderung berpusat pada arus “pintu depan”. Sebagai akibatnya, arus progresif ini tidak sepenuhnya terhayati sebagai struktur emosi dalam ruang keseharian Hanafi. Dua kali Hanafi membuat pameran dengan tema “dunia di bawah kolong meja” untuk mengungkap sebuah dimensi ruang dalam memori sosialnya.Memori sosial ini berakar jauh dalam ruang yang lebih arkhaik di sekitar peran sosial maupun peran simbolik pintu belakang dalam konsep ruang Jawa. Ruang itu eksis tanpa instrumen-instrumen formal. Sebuah pintu depan yang telah berlalu pernah dibuka. Sebagai contoh: Tahun 1929, berlangsung pameran senirupa Jerman untuk pertama kalinya di Batavia. Pameran ini menampilkan karya-karya Otto Dix, Karl Hofer, Wassily Kandinsky, Fritz Mackensen, Laslo Moholy-Nagy, Max Pechstein, Max Slevogt, Karl Schmitt-Rotluff, Heinrich Vogler, Georg Kolbe, Emil Nolde, Josef Bato, Charlotte Behrend-Corinth, Maria Caspar-Filser, Philipp Frank, Emmy Gotzmann, Ernst Honigberger, Willy Jackel, Wilhelm Kohlhoff, Calro Mense, Oskar Moll dan Eugen Spiro. Informasi tentang peristiwa penting ini saya dapatkan ketika mengikuti diskusi Werner Kraus dari Centre for Southeast Asian Art(Passau), di Herrenhaus des Gutes Wahlstorf bei Ploun, Jerman, 23 Agustus 2015. Topik diskusi dipaparkan
dengan menayangkan katalog pameran, lengkap dengan ukuran maupun harga lukisan. Saya tidak punya bayangan apa dampak pameran maupun liputan dari peristiwa di atas dalam lingkungan kolonial di Batavia maupun Hindia Belanda yang terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama,yang disusul oleh krisis ekonomi dunia pada masa itu.Tapi menjelang tahun 1930, kawasan Hindia Belanda mulai mengatasi pengaruh depresi perekonomian ini dengan melakukan swastanisasi maupun liberalisasi perekonomian kolonial. Pertumbuhan ekonomi, salah satu di antaranya, bisa dilihat melalui berkembangnyaindustri percetakan dan desain yang mengiklankan berbagai produk pabrikan (Budi Setiyono, ed, Cakap Kecap 1972-2003, Yogyakarta, Galang Press, 2004). Yang menarik dari berbagai desain iklan yang ditawarkan adalah bagaimana segmen Jawa (sebagai mayoritas dalam demografi Hindia Belanda), mendapatkan tubuh-identitas sebagai usaha melembagakan sekaligus mengilusikan bagaimana tubuh-Jawa memasuki kehidupan modern melalui produk-produk industrimodern yang dilempar ke pasar. Dari sensus pemerintah kolonial yang dilakukan tahun 1930, jumlah penduduk di Hindia Belanda sebesar 60.727.233 jiwa (termasuk keturunan Tionghoa, Eropa dan Timur Asing). Penduduk terbesar berada di Jawa (41.718.364 jiwa). Melalui iklan-iklan produk industri modern, Ilusi tubuh-Jawa mulai diintegrasikan antara pasta gigi, sabun mandi dan sabun cuci. Selain peralatan mandi dan cuci, gambaran tubuh-Jawa juga nampak pada produk-produk lain berupa coklat (dengan penggambaran GarengPetruk), mentega atau rokok (dengan penggambaran perempuan berkebaya menghisap rokok dan
mengangkat kembali narasi Roro Mendut), Bier Kris (keris pada botol bir), tembakau (tubuh-petani di sawah), beberapa iklan dalam bahasa Jawa, maupun penawaran penerbangan untuk pariwisata dengan penggambaran Candi Borobudur: Fly to Java by KNILM. Narasi-narasi lokal, mooi indie maupun mancanegara mulai membuat pergaulan modern dalam lingkungan kolonial sebagai ilusi baru tentang Jawa dalam realitas pasar. Semua ini berlangsung bersamaan dengan lembaga penerbitan Balai Pustaka yang kian banyak menerbitkan narasi di sekitar legenda-legenda Jawa, dan mengakibatkan silang pengaruh antara bahasa Melayu dan bahasa Jawa.Tak ketinggalan, tubuh-Jawa dalam realitas pasar juga ditawarkan melalui penawaran peralatan pertanian.Konstruksi tubuh-Jawa ini putus pada masa pendudukan Jepang dan memasuki realitasnya yang paling ekstrim (1943-1945). Ilusi tentang Jawa, menurut Bandung Mawardi, mendapatkan momentumnya saat pemerintah kolonial membentuk lembaga Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Universitas Leiden (Ironi dan Ilusi Jawa, Kompas, 22 Januari 2011). Jawa yang mulai terdekonstruksi kemudian dikonstruksi kembali melalui bahasa, sastra, sejarah, arsitektur, gamelan maupun berbagai bentuk budaya lainnya. Ini memunculkan ilusi tentang akar yang rumit dari kemajemukan Jawa, sekaligus ilusi tak langsung tentang “satu Jawa” dalam dunia modern yang mulai ditata. Sementara itu, kita juga sering lupa, bahwa ada ‘Sunda’ yang membuat (pulau) Jawa sebagai kawasan noise sejarah maupun kebudayaan,karena teritori ideologis antara Sunda dan Jawa tidak akan pernah ajek (terus saling bersinggungan). Bujangga Manik, misalnya, seorang resi pra-Islam dari Pakuan Pejajaran (Sunda), pernah melakukan perjalanan spiritual mengelilingi Jawa
dan Bali sebagai pola belajar maupun ngelakoniseperti dilakukan Amongrogo dari Giri (Jawa Timur) ke Karang (Jawa Barat) dalam SeratCenthini. Ilusi tentang teritori identitas dalam demografi Jawa memasuki “derau”(noise) sejarahnya yang panjang melalui berbagai gelombang migrasi maupun diaspora keluar dan kedalam, atau politik kawin-silang yang dilakukan raja-raja Jawa. Proses itu membentuk medan reproduksi identitas di masa perbudakan maupun masa kolonial. Percampuran DNA berlangsung paralel dengan pencampuran memori asal-usul, keduanya membentuk kesadaran Jawa yang menyimpan nilai-nilai Jawa ke dalam bahasa (Kromo) dan serentak mengintegrasikannya ke dalam gamelan, wayang, rumah, pakaian, makanan hingga keris dengan latar kawasan Nusantara yang selalu bersinggungan dengan titik-titik arus global di masa silam(sebagai kawasan geopolitik yang sudah terbentuk). Pemerintah kolonial Belanda juga aktif melakukan program transmigrasi sebagai akibat langsung dari pengembangan industri perkebunan, pertambangan, transportasi kereta api maupun industri keamanan. Penyebaran penduduk Jawa kian meluas, terutama ke Sumatra, Kalimantan kemudian Papua. Tahun 1929, di bawah kontrak Cultuurstelsel, 235.000 penduduk Jawa melakukan transmigrasi ke pesisir Timur Sumatra. Konsep ruang pun mulai berubah dari istilah “migrasi” di era pra-kolonial, menjadi “transmigrasi” di era Hindia Belanda. Setelah Indonesia Merdeka, pemerintah Sukarno juga melakukan transmigrasi pada tahun 1949, dan memuncak pada pemerintahan Suharto yang hampir mencapai 2,5 juta jiwa (Goldman, Michael, Imperial Nature: The World Bank and Struggles for Social Justice in the Age of Globalization, 2006).
Hanafi membuka kembali dialog kawasan historis di sekitar dunia Jawa.Setelah pameran sebelumnya (Oksigen Jawa) di Galeri Soemardja ITB, Bandung, 2015, kali ini ia lebih ingin melihatbagaimana Jawa—sebagai sebuah “bungkusan identitas”—masih merupakan faktor penentu dalam politik identitas yang berlangsung di Indonesia. Jawa merupakan mayoritas dimana proses politik kebudayaan masih terus menggeliat hingga kini. Faktor Jawa jadi sangat menentukan bergeraknya bandul warna identitas di Indonesia ke arah menjaga keberagaman atau penyeragaman. Dari sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistiktahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,641,326 jiwa. 63.293.685 jiwa terdapat di Jawa Barat (Jawa Barat, DKI. Jakarta dan Banten); 35.726.308 jiwa di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta; 37.476.757 jiwa di Jawa Timur dan Madura. Artinya 136.610.590 penduduk Indonesia (setengah lebih) terbanyak di Jawa. Pemakai bahasa Jawa sehari-sehari 68.044.660 jiwa; pemakai bahasa Sunda, 32.412.752 Jiwa; dan pemakai bahasa Indonesia, 42.682.566 jiwa. Pemakai bahasa Jawa dan Sunda ternyata dua kali lipat lebih besar dari pemakai bahasa Indonesia. Kita bahkan tidak pernah tahu berapa banyak jumlah bahasa daerah di Indonesia (ada angka yang tidak mudah kita bayangkan: 746 bahasa daerah). Yang terpetakan sejumlah 594 bahasa daerah. Selebihnya kemungkinan dianggap punah, karena tidak ada pemakainya lagi (Bahasa Daerah Semakin Punah, Republika, 05 Maret 2014). Masuknya faktor bahasa dalam sensus di atas, memperlihatkan batas identitas yang tidak lagi ditentukan oleh kawasan, melainkan melalui tubuh-bahasa-ibu yang menyebar luas ke kawasan lain di luar
jawa. Sementara itu, juga ada fenomena nama anakanak Jawa masakini yang kian menjadi nama Arab dan Barat,melalui budaya urban, maupun globalisasi bahasa Inggris. Belum lagi bahasa dalam ruang internet maupun ruang digital yang membawa realitas lain yang tidak terbayangkan. Survey mengatakan bahwa pemakai internet di Indonesia sudah mencapai 38.191.873: 15 % dari pemakai internet dunia (id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_ jumlah_pengguna_Internet). Sebuah laci pada tubuh patung Hanafi, ditempatkan pada posisi bagian hati, jantung dan paru-paru: ruang yang bisa dibuka dan ditutup. Alkisah, Ajisaka, yang dipercaya sebagai “manusia pertama” dalam kepercayaanmasyarakat Tengger (Jawa Timur), semasa mudanya pernah belajar agama di Mekkah. Ia bahkan dianggap lebih cerdas dari Ali bin Abi Thalib. Ketika akan kembali ke Jawa, Nabi Muhammad SAW menghadiahinya sebuah alat tulis. Ketika pulang, alat tulis itu tertinggal di Mekkah. Ajisaka meminta seseorang bernama Hono untuk mengambil kembali alat tulis itu di Mekah. Pada saat yang sama, Nabi juga memerintah Alif untuk mengantar alat tulis itu kepada Ajisaka. Dalam perjalanan Hono ke Mekah dan Alif ke Jawa, keduanya bertemu dan saling memperebutkan alat tulis itu. Keduanya berkelahi untuk menyelamatkan amanah yang sama. akhirnya keduanya tewas dan alat tulis itu pun hancur. Menemukan kedua mayat itu, Ajisaka lalu menyuarakan kata-kata dengan lantang:
ha na ca ra ka (ada pengawal)
da tha sa wa la (beda pendapat) pa dha ja ya n’ia (sama kuatnya)
ma ga ba tha nga (keduanya mati)
(Bisri Effendy dalam Walter J. Ong: Kelisanan dan Keaksaraan. Gading Publishing, Yogyakarta, 2013). Paku Buwana IX dalam tembang Kinanthi, menyebut aksara Jawa sebagai guru sejati. Aksara ini tidak hanya merupakan sistem bahasa, tetapi juga sebuah medan bagaimana seseorang menempatkan dirinya dalam arti etik, politik, teologis maupun hubungan selaras dengan gerak alam dalam konsep ajaran Jawa. Napas digunakan sebagai pusat relasi antara tubuh dan bahasa. Narasi aksara Jawa bisa menjadi radikal dalam tubuhnya sendiri. Dalam dunia modern, sekian banyak aksara kuno di Nusantara telah menghilang. Tetapi apakah memori maupun ajaran yang dikandungnya ikut lenyap? Apakah arti memori di tengah angka-angka sensus pemakai bahasa? Di manakah posisi ketertarikan untuk mengenali asal-usul di tengah “akar majemuk”(Gilles Deleuze dan Felix Guattari menyebutnya sebagai rhizome) kebudayaan yang telah saling menjalin satu sama lainnya? Salah satu fokus Hanafi dalam pameran ini adalah makna waktu dalam sebuah karya seni? Dimanakah batas waktu ketika sebuah materi telah diubah menjadi medium seni? Apakah waktu yang terinspirasi dari masalalu harus tetap dibaca sebagai masalalu
walau dibuat di masakini untuk sebuah pameran? Jawa dalam pameran ini tidak hanya memiliki moda waktu masalalu, tetapi juga moda waktu primitif dengan ditemukannya Homo erectus paleojavanicus di desa Trinil yang disebut sebagai “Manusia Jawa”, lebih dari sejuta tahun lalu. Penemuan yang memunculkan ilusi tentang masalalu yang tak terbayangkan. Hanafi menggunakan memori biografisnya untuk mengelola arsip-arsip yang terpisah dari tubuhnya maupun yang masih melekat pada tubuhnya di sekitar dunia Jawa. Untuknya, Jawa selalu hadir ketika dia hidup sebagai seorang Indonesia maupun sebagai seorang Muslim. Tetapi ketika dia mencoba menghayati kembali dirinya sebagai seorang Jawa, pintu belakang kembali hadir sebagai ruang yang menentukan pembatalan konfigurasi makna maupun arus formal yang ditentukan oleh otoritas pintu depan. Meski telah lama menginggalkan desanya di Purworejo, dalam kehidupan sehari-harinya Hanafi cenderung membawa tubuhnya sebagai tubuh yang menetap, tubuh yang lebih banyak menyerap daripada bergerak. Kecenderungan ini berhubungan langsung dengan situasi ketika Hanafi harus membawa tubuhnya melalui percakapan bahasa Indonesia sebagai “bahasa-bahasa Indonesia”. Artinya, bahasa Indonesia bukanlah bahasa tunggal: ada banyak dialek lokal yang ikut menentukan perkembangannya menjadi bahasa majemuk. Membawa faktor bahasa ke dalam dunia senirupa menjadi menarik dalam konteks Indonesia yang sangat khas.Masyarakat Indonesia memiliki bahasa-ibu yang majemuk di tengah bahasa-nasional yang tunggal. Tetapi ketika Hanafi menggunakan
bahasa Jawa sebagai bahasa-ibu, tubuh yang menetap ini, cenderung berubah kembali menjadi tubuh-komunal dengan respon-respon spontan, unggah-ungguhJawa, lebih akrab dalam melakukan kontak relasional yang mungkin dilakukan. Padahal awal pertemuan Hanafi dengan Bahasa Indonesia sama dengan awal pertemuannya dengan ruang baru yang dianggapnya terkesan lebih tegas dan setara dalam melakukan transaksi. Perubahan penggunaan bahasa (Indonesia atau Jawa), membuat tubuhnya seperti hidup dalam dua habitat ruang komunikasi yang saling menentukan bentuk relasional yang ia ciptakan dengan respon-respon yang berbeda. Di sini, identitas tidak bergerak tunggal, melainkan hidup dalam dua kamar habitat bahasa yang memiliki kodifikasi sosial masing-masing. Dua ruang dari tubuh-habitat yang sangat ditentukan oleh faktor bahasa ini mendapatkan pengalaman representasi lain ketika Hanafi mulai belajar senirupa di Yogyakarta. Latar lingkungan Jawa yang mulai membaur dengan gejala awal dari dunia urban yang dialaminya. Membuka kembali dialog seperti di atas sama dengan membuka kembali Jawa sebagai sebuah wilayah noise dan rhizome sekaligus dalam pelbagai proses perubahan eksternal-internal yang terjadi pada Jawa dengan puncaknya pada peristiwa “Tragedi 1965” yang telah meninggalkan gelombang bisu panjang. Noise atau derau Indonesia (sebagai wilayah post-kolonial) bukanlah satu-satunya faktor utama yang mengubah Jawa.Tetapi juga sebaliknya, derau itu ikut mengubah Indonesia dengan kemajemukan sub-sub-kultur lain yang terdapat di dalamnya. Derau bisa dilihat sebagai jembatan waktu. Hanafi mencoba mengulik ulang konsep waktu Jawa sebagai “waktu bawang”, di mana waktu tumbuh dari
dalam. Bergerak melalui pinggiran (melipir):menempatkan waktu sebagai gerak melingkar dari dalam hingga ke kulit luar(Denys Lombard: Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Jilid 3, 2005). Konsep narasi waktu Jawa ini diparalelkan dengankonsep empat arah mata angindalam ruang Jawa yang tidak hanya berlaku dalam ruang makrokosmis, melainkan juga konsep empat arah mata angin dalam tubuh (Dr. S. Soebardi, Serat Cabolek, Kuasa, Agama, Pembebasan, Nuansa Cendikia, Bandung, 2004). Pameran ini menggarap waktu dan ruang dimana arus eksternalisasi dari kerja representasi ditempatkan dalam hubungan mistis.
Narratives in Hanafi’s Exhibition
Back Door | Noise of Java Afrizal Malna On January 6, 2016, it was a very hot afternoon in Parang Kusumo beach, Yogyakarta. It was very quiet but pounding waves from the South Coast filled our ears. We sent someone to look for a caretaker of Parang Kusumo, while ordering materials for the ritual, in an afternoon among seven colors of flowers, incense smoke, the Caretaker, two stones of The Queen and King in the sand garden. The wind blew gently, carrying the smoke of the incense. We entered, respecting the belief around Nyai Roro Kidul’s existence. Cleaning ourselves of envy. This is the ‘door of Java’, a cosmology that plays a role in the territory of technology and the mystical imagination within the community. The other world is opened through the ‘back door’. This space has nothing to do with the ‘front door’ that leads out to a world whose territory is limitless. The back door has a very limited territory, only connecting the rear of the house with a backyard. Although the door is only related to activities in the kitchen and other household activities, it offers an unlimited symbolic function. The structure of this space, particularly to the Javanese community, is associated with the term “back-way” (liwatmburi), to mention a variety of informal relationships implicitly. While it has a very small scope in familial or household relationships, it has an unexpected political function to dilute the role of the state, or as a space where the state is not present (see: the house number is on the front door).In the Sundanese culture, it is also known as the phrase ngaliwat ka jalan pipir (via side roads).
An anthropologist, Jan Newberry, conducted a study on the back door and the concept of Javanese houses in Kampung Putri, Yogyakarta. He emphasized the importance of the role of the back door. A house without a back door represents a cut tie between the family and the village,a space for air flow, people and household commodity (Newberry, Back Door Java, Negara, Rumah Tangga dan Kampung di Keluarga Jawa, 2013, p. 15). “When I went home, I’d rather go in through the back door. The front door always conjured up images of my father sitting in a chair looking out of the door: a position that commands power over me. But now the back door does not function anymore. Thebackyard has turned into an empty ideology,and tends to be filled with trash,” said Hanafi. “When we do not have a back door, we can’t go home. The house will become a place for going.” he continued. The exhibition is like a reverse flow when Hanafi begins to see the externalization of culture and global market, instead of being caught up in the stream of the “front door”,he focuses on the concept of the back door in Javanese architecture. The Java that Hanafi experienced is removed from the Keraton which is referred as the Bagelen area. This kind of fluid identity saves Hanafi from having a burden to experience Java personally. But what is Java? An imagination that has no territory. Or, even if there is, the territory is only real in terms of language: Java. In Indonesia, diversity may never be realized without the influence of the entry of Islam, colonialism, and modernity. Java as a majority becomes the pendulum of identity in this political stream.
Fine art—the practice or the discipline that has helped Hanafi understand the modern world— tends to be based around the current of the ‘front door’. As a result, this progressive flow is not completely internalized as a structure of emotion in Hanafi’s everyday life. Hanafi has made two consecutive exhibitions with the theme of ‘The world under the table’ to unveil a dimension of social space in memory. This social memory is deeply rooted in a more archaic space around the social or symbolic role of the back door. The space exists without any formal instruments. A former front door was once opened. For example: in 1929, the first German art exhibition took place in Batavia. This exhibition featured the works by Otto Dix, Karl Hofer, Wassily Kandinsky, Fritz Mackensen, Laslo Moholy-Nagy, Max Pechstein, Max Slevogt, Karl Schmitt-Rotluff, Heinrich Vogler, Georg Kolbe, Emil Nolde, Josef Bato, Charlotte Behrend-Corinth, Maria Caspar-Filser, Philipp Frank, Emmy Gotzmann, Ernst Honigberger, Willy Jackel, Wilhelm Kohlhoff, Calro Mense, Oskar Moll, and Eugen Spiro. I received information about this important event through a discussion on Werner Kraus at the Centre for Southeast Asian Art (Passau), Herrenhaus des Gutes Wahlstorf bei Ploun, Germany, on August 23, 2015. The topic of discussion was presented by airing the exhibition catalog, complete with the size and price of the paintings. I’m oblivious to the impact of the exhibition as well as its publications on the colonial neighborhood in Batavia and the Dutch East Indies that occurred after the end of the First World War and followed by the world economic crisis at that time. But by 1930, the Netherlands East Indies have begun to over-
come the effects of this economic depression with the privatization and liberalization of the colonial economy. An aspect of the economic growth could be seen through the development of the printing industry and design that advertised products or manufacturers (Budi Setiyono, ed, Proficient Ketchup 1972-2003, Yogyakarta, Galang Press, 2004). What is interesting from a variety of ad designs offered is how a segment of Java (as a demographic majority in the Dutch East Indies), has gotten a body of identity as well as efforts to institutionalize and create an illusion ofhow this body of Javanese entered the modern life through modern industrial products introduced in the market. From the colonial government census conducted in 1930, the number of residents in the Indies were 60,727,233 inhabitants (including Chinese descent, Eastern Europe, and Foreigners). The largest population is in Java (41,718,364 inhabitants). Through ads for modern industrial products, The illusion of ‘Javanese body’ began to be integrated with toothpaste, bath soap, and laundry soap. In addition to toiletries and washing equipment, the image of body of Java also appeared on other products such as chocolate (which depicts GarengPetruk), butter or cigarettes (with the portrayal of women wearing the kebaya chloth and smokinga cigarette—Elevating the narrative of Roro Mendut), Bier Kris (keris on the beer bottle), tobacco (which depicted farmers in a field), there were a lot more ad using Java language, and tourism promotion on flight which depicts Borobudur Temple: Fly to Java by KNILM. Local narratives, mooi indie and foreign tourists began to make modern relationships in the colonial environment as new illusions of Java inthe market. All of these coincide with the rise of the agency Balai Pustaka that was
publishing the narrative around the legends of Java, resulting in the cross-cultural influence between Malay and Javanese. Not to forget, the body of Java in the market was also offered through the supply of agricultural equipment. Body of Java construction, dropped during the Japanese occupation into an extreme reality (1943-1945). Illusions about Java, according to Bandung Mawardi, gained its momentum when the colonial government established the Instituut voor het Javaansche Taal (Java Language Institute) at the University of Leiden (The Java irony and illusion,Kompas, January 22, 2011).Java was being deconstructed and then reconstructed through language, literature, history, architecture, gamelan (the Javanese orchestra) and various other cultural forms.This gave rise to an illusion about complex roots of plurality, as well as indirect illusions about “the one Java” in the modern world which was being laid out.Meanwhile, we often forget that there is Sunda which makes the island of Java a region where the noise of history and culture thrives, because of the ideological territory between Sundanese and Javanese that would never intersect.For example, Bujangga Manik, a pre-Islamic sage from Pakuan Padjajaran (Sunda), oncetook a spiritual journey circlingJava and Bali as some sort of learning pattern called ngelakoni as was doneby Amongrogo from Giri (East Java) to Karang (West Java) in Serat Centhini. Illusion of territorial identity in Java demographics entered the ‘noise’ of its long history through the various waves of migration and diaspora to the outside and the inside, or the political cross-mating that was practiced by Javanese kings. This process formed the basis for the reproduction of identity in the slavery as well as the colonial eras. The mix-
ing of DNA took place in parallel with the mixing of origins, forming a consciousness of Java that stored Javanese values in the language (Kromo) while simultaneously integrating it into the gamelan, wayang, housing, clothing, food, and evenkeris (the Javanese dagger) with the Nusantara region as a backdrop that always intersected with the aspects of the global stream of the past (as an established geopolitical region). The Dutch colonial government was also active inpromoting transmigration programs as a direct result of the development ofthe plantation industry, mining, railway transportation,and security. Population distribution of Java was increasingly widespread, especially in Sumatra, Kalimantan, and later Papua. In 1929, under a contract called Cultuurstelsel, 235,000 of Javanese people migrated to the east coast of Sumatra.The concept of space began to change from the term ‘migration’ in pre-colonial era, to ‘transmigration’ in the Dutch East Indies era. After the proclamation, Sukarno’s government also used the term transmigration in 1949 and culminated in the reign of Suharto, amounting to nearly 2.5 million people (Goldman, Michael, Imperial Nature: The World Bank and Struggles for Social Justice in the Age of Globalization,2 006). Hanafi has reopneeda dialog onthe historical area around Java. After his previous exhibition (Oxygen of Java) in Gallery Soemardja, ITB, Bandung, 2015, he is now more eager to see whether the Java “identity package” is still a deciding factor in the identity politics that are taking place in Indonesia.Java is a majority in which cultural and political processes are still very much alive.Java has started to play a major role in the direction of Indonesia’s identity pendulum, which could swing to the preservation of diversity or diversification.
From the census conducted in 2010 by the Central Bureau of Statistics, the population of Indonesia has reached 237,641,326 people. There are 63,293,685 inhabitants in West Java (West Java, DKI, Jakarta and Banten); 35,726,308 inhabitants in Central Java and Yogyakarta; 37,476,757 inhabitants in East Java and Madura. 136.610.590 of Indonesia’s total population, meaning more than half of Indonesian citizens are Javanese. Users of Java language in everyday life amounts to 68,044,660; Users of Sundanese language are 32,412,752;and users of Bahasa Indonesia 42,682,566.Users of Javanese and Sundanese turned out to be twice as many as users of Bahasa Indonesia.We do not even know how many regional languages there are in Indonesia. It is not easy to imagine that we have 746 local languages, 594 of which are officially recorded while the rest are probably deemed extinct considering they’re no longer practiced. The importance of the language factor in the above census shows the limits of identity which is no longer determined by the district, but by the mother tongue which spread to other regions outside Java. Meanwhile, there is also the phenomenon of children’s names in Java nowadays which is increasingly shifting to Arabian and Western names, through urban culture, as well as the globalization of the English language.Not to mention the language used on the Internet and digital spaces which bring another unimaginable reality. Survey says that internet users in Indonesia has reached 38,191,873: 15% of the world’s Internet users. (id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_jumlah_pengguna_Internet). A drawer on the body of Hanafi’s statue, placed in the position of the liver, heart and lungs: a room that can be opened and closed.
Once upon a time, Ajisaka, who is believed to be ‘the first man’ according to the people of Tengger (East Java), had studied religion in Mecca in his youth. He was apparently considered smarter than Ali bin Abi Thalib. Before returning to Java, the Prophet Muhammad presented him with a stationery. Unfortunately, he accidentally left the stationery in Mecca. Ajisaka asked someone named Hono to take the stationery back in Mecca for him. At the same time, the Prophet also sent Alif to deliver it to Ajisaka. The two met halfway and both were vying for the stationery. They ended up fighting each other for it, resulting in their deaths and the destruction of the stationery. Finding their bodies, Ajisaka said aloud;
ha na ca ra ka (There are two guards) da tha sa wa la (With differing opinions) pa da ja ya n’ia (Equally strong) ma ga ba tha nga (Both dead)
(Bisri Effendy in Walter J. Ong: orality and literacy. Ivory Publishing, Yogyakarta, 2013). Pakubuwana IX in the song Kinanthi, called the Javanese script as a true teacher. In the Java teachings, the script is not only a language system, but also the way one conducts oneself ethically, politically, theologically and his relationship with the natural motion. Breath is used as the center of relationship between body and language. Java script narration could be radical in its own way. In the modern world, many ancient characters in the archipelago have disappeared. But have the memory or the teachings vanished? What is the meaning of
memory in relation to the census onthe users of a language? Where is the interest in recognizing our own origins in the middle of the ‘compounding root’? (Gilles Deleuze and Felix Guattari call it a rhizome), cultures which have been intertwined with each other? Hanafi has one focus in this exhibition which is to question the meaning of time in a work of art. Where is the limit of time when a material is converted into an art medium? Must the time inspired by the pastremain readable as the past even though it is createdin the present? Java in this exhibition not only has the past time mode, but also the mode of primitive time with the discovery of Homo erectuspaleojavanicus in Trinil called ‘Java Man’, more than a million years ago. The discovery that gave rise to the illusion of the past that is unimaginable. Hanafi uses his biographical memory to manage the archives that are separated from his body but are still attached to his body around concept of Java.For him, Java is always present when he lives and with his belief as a Muslim. But when he tries to relive himself as Java, the back door presents a space that determines the cancellation of the current configuration of meaning and forms that are determined by the authority of the front door. Although he has long left the village of Purworejo, in his daily life, Hanafi tends to bring his body as a permanent body: more absorbing than moving.This trend is directly related to the situation when Hanafi has to carry it through conversation using Bahasa Indonesia as one of ‘Indonesian languages’. Which means, ‘Bahasa Indonesia’ is not a single language: there are many local dialects that determines its development into a compound language.
Bringing forward the language factor into the world of art is interesting in the context of Indonesia which is very typical. Indonesian society has a mother tongue that compounds in the middle of the one and only national language. But when Hanafi uses Java language as a mother tongue, his body tends to turn back into a communal body with spontaneous responses, unggah-ungguh (Javanese manner), more friendly in performing relational contacts. Though Hanafi became familiar with Bahasa Indonesia when he first entered the new world or with the new space which seems more assertive and considered equal in the transaction. Changes in the use of language (Indonesian or Java), make his body live in two habitatsof communicationthat mutually determine his relational forms in relation to different responses. Here, identity doesn’t move alone, but it lives in two separate rooms of language that have their own respective social codifications. These two separate rooms are exposedto other representations when Hanafi began studying art in Yogyakarta. The background of the Java environment that is beginning to mix with the early symptoms of the urban world he’s living in. Reopening the dialogue on the above themes together with the reopening of Java as a region of noise and rhizome at in various process of external-internal changes occurred in Java with a peak in ‘The tragedy of 1965’ has left a wave of long ‘silence’. Noise Indonesia (as post-colonial territory) is not the only major factor that transforms Java. But on the contrary, it helped change the noise that comes with plurality and sub-cultures contained therein. Noise can be seen as a bridge of time. Hanafi tries to see the ‘Java concept of time’ as a “time onion”, where time is growing from within.
Moving through the periphery (melipir): and seeing time as a circular motion from the inner to the outer skin (Denys Lombard: Nusa Java: Cross-Cultural, Historical Study of Integrated, Volume 3, 2005). The concept of narrative time Java is a parallel to the concept of the four cardinal directions in the Java space that is not only true in the macrocosm of space, but also the concept of the four cardinal directions in the body (Dr. S. Soebardi, Fibre Cabolek, Authorization, Religion, Liberation, Nuance Cendikia , Bandung, 2004). The exhibition is working on a time and space where the current externalization of labor representation is placed in a mystical relationship.
Hanafi’s Artwork Group
The home number is not placed on the back door 2016 Mix media: Booth, bamboo. 70 X 3,2 m Well 450 X 255 cm Mix media. iron plate, bricks
Asmorodono 2016 Mix media: 12 milli concrete iron, toa, MP3 speaker 230 x 140 cm
Ajisaka: Seeing upside down 2015 Mix-media. Iron plates 200 x 220 x 320 cm
Ajisaka: Seeing upside down 2015 Aluminum plate 135 x 55 CM. 9 figures
9 panel Acrylic on paper 73 x 82 cm
Wedhus gembel and the body of Java 2016 245 X 883 cm Acrylic on canvas
Tubuh Jawa 2016 290 X 340 cm Acrylic on canvas
Bade Tindak Pundi Nopo 2016 215 x 215 cm Acrylic on Canvas
Bade Tindak Pundi Nopo 2016 73 x 82 cm 4 panels Acrylic on Canvas
Demography on Clogs and a Baby Stroller 2016 Mix media. Eser plate, wire ram, 150 wooden clogs 290 x 281 cm
Time Illusion 28 iron board Steel pipes 677 x 123 X 60 cm
Time Illusion 2015-2016 200 x 220 cm Acrylic on Canvas
Error + Noise 2016 Mix media. Iron plate, wire ram, 389 steel helmets, barbed wire 126 x 126 x 136 cm
Photo Copy Online 2015 185x185cm Acrylic on Canvas
Photo Copy Online 2015 220 x 235 cm Acrylic on Canvas
Mask in the Blue Pool 650 x 270 cm Acrylic on Canvas
Headaches - Fever 2016 Alumunium 60 pieces
Tak Lelo Lelo Ledung 2015 Mix media 400 x 150 cm 8 panel acrylic on canvas 400 x 75 cm 4 panel acrylic on canvas tempat tidur, kelambu, audio nyanyian Tak Lelolelo Ledhung, speaker MP3, batu hebel
Entrance Without Ontology 2015-16 Mix media: Tables, chairs, plastic flowers, deer heads, cabinets, books on Java, audio-video 5 pieces of bun, surjan, blangkon, menyan, sewing machine
Paintings Category
Asmorodono 2016 215 x 220 cm Acrylic on Canvas
Love For Pembayun’s Daughter 2016 235 x 270 cm Acrylic on Canvas
Java Demograpghy On Baby Stroller 2016 220 x 235 cm Acrylic on Canvas
Sangir Land 2015 160 x 200 cm Acrylic on Canvas
Not Seeing You 2016 200 x 220 cm Acrylic on Canvas
No Others Borobudur 2016 200 x 220 cm Acrylic on Canvas
Arc Time 2016 220 x 235 cm Acrylic on Canvas
Java Noise 2015 220 x 200 cm Acrylic on Canvas
The Lost Voice 2015 215 x 215 cm Acrylic on Canvas
Measuring Blue Color 2016 200 x 220 cm Acrylic on Canvas
program pameran
1. Diskusi Pra Pameran: “Apa Itu Jawa” Prapto Yuwono, Hanafi, JJ. Rizal, Afrizal Malna 13 Februari 2016 Kaldera, Bogor. 2. Performance music: Sa’Unine String Project Pembukaan Pameran 1 Maret 2016 Galeri Nasional Indonesia Sa’Unine String Project adalah suatu kelompok musisi gesek yang didirikan pada tahun 1992 yang pada awalnya ber format String Quartet (4 Orang musisi gesek). Makna kata Sa’Unine (bahasa Jawa) dalam bahasa Indonesia yaitu ‘asal bunyi’ namun bukan berarati musik yang di mainkan hanya asal membunyikan instrumen musik saja, melainkan lebih mengutamakan pada usaha mengekploitasi segala bentuk bunyi yang dapat di hasilkan oleh instrumen musik gesek. Dalam perjalanan musiknya Sa’Unine telah beberapa kali mengikuti berbagai Workshop Musik oleh Dr. Sophie dari Canada, Rene Bergman dari Belanda, Cecylia Berczyk dari USA. dll Wolfgang poduchka (Austria) Phillip Green (Australia) Asean Youth Music Workshop di Jakarta 1991, Asean Youth Music Workshop di Brunei Darussalam 1993, Euopean- Indonesia Youth Music Camp di Yogyakarta, Asian Youth Music Workshop on Tour of Asia di Hongkong 1996, Selain itu Sa’ Unine juga banyak mengisi rekaman album penyanyi solo dan Group Band di Indonesia
Music Director dan Conductor Oni Krisnerwinto Violin Guntur Nurpuspito Fafan Isfandiar Andi Amrullah Saptadi Viola Junaidi Sagaf Cello Gana Sinden Silir Pujiwati
3. Lokakarya dan Diskusi Pembacaan Karya Hanafi: 2 Maret 2016 Ruang Serbaguna, Galeri Nasional Indonesia Fasilitator Agung Hujatnikajennong Pembicara Stanislaus Yangni dan Riyadhus Shalihin Pameran seni rupa menjadi semakin inklusif saat ini. Diskusi pembacaan karya dalam pameran Hanafi: Pintu Belakang | Derau Jawa menjadi penting selain ditujukan sebagai ruang bertumbuhnya potensi kesenian dengan ide-ide dan gagasan baru yang (mungkin) dimiliki atau diketahui kurator muda, juga sebagai upaya untuk mencampur-baurkan wacana terbaru yang muncul dalam seni lintas media. Seorang kurator seni kontemporer yang baik hampir selalu adalah seorang narator ulung. Selebihnya ia berperan sebagai pendamping yang anti-judgemental terhadap karya sebagai subjek kajiannya, memiliki strategi interpretatif karena menghendaki perangkat-perangkat tertentu untuk memberi, memunculkan, dan atau bahkan merusak narasi yang diciptakannya. Semua yang dielaborasi harus bisa dilihat sebagai hasil kajian (pembacaan) yang boleh saja melibatkan praktik lintas perspektif, lintas disiplin keilmuan, lintas media, lintas diskursus—terhadap karya yang harus dapat dipertanggung-jawabkan. Kurator hadir untuk bernegosiasi terus-menerus tidak hanya dengan seniman dengan karyanya tetapi juga teks dan konteks yang mengelilinginya. Ia harus hadir dan menemani keduanya: secara verti-
kal maupun horizontal. Untuk itu semua, mereka dituntut untuk membuat laboratorium gagasan tersendiri, memperbarui informasi-informasi terkini yang melatari kesenian, dan mengikuti setiap perubahan yang terjadi. Lokakarya dan Diskusi Pembacaan Karya ini bisa menjadi pintu belakang yang lain, dimana pintu depan dalam kesenian telah dipenuhi kekuasaan atau semacam kekuasaan yang digenggam kurator-kurator terdahulu. Pembocoran semacam ini bisa menjadi awal yang baik bagi masa depan kesenian yang telah meninggalkan (berupaya) melampaui hegemoni wacana dalam kesenian. Biodata singkat Stanislaus Yangni Lahir di Lampung, 1982, Stanislaus Yangni (Sius), penulis buku Dari Khaos ke Khaosmos, Estetika Seni Rupa (Erupsi, 2012), menekuni penelitian seni rupa, filsafat, dan estetika. Pernah bekerja sebagai jurnalis di majalah Visual Arts, kontributor di Indoart & Lifestyle, menulis beberapa esai di katalog pameran seni rupa, dan ulasan seni yang pernah dipublikasikan, antara lain di Koran Tempo, Suara Pembaruan, dan Mata Jendela. Lahir di Lampung pada 1982, ia menyukai aktivitas traveling, melukis, dan memotret. Ia mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi Sanata Dharma, STF Driyarkara Jakarta, dan menyelesaikan pascasarjananya bidang pengkajian seni lukis di ISI Yogyakarta. Ia tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Riyadhus Shalihin lahir di Bandung, 1989. Sutradara, peneliti seni. Karya terakhir 2015; ‘biografi tomat dan batu’ (afrizal malna & hanafi), ‘pertemuan dalam lubang
jarum’ (hanafi & kiki sulistyo), ‘jarak yang tajam’ (pina bausch) dan ‘kapai-kapai’ (arifin c noer). Lokakarya terakhir - 2015; Mengikuti workshop performance art; ‘Teks dan Tindakan’, Melati Suryodarmo- Seni Rupa ITB. Residensi performing-performance art, Sasikirana Dance Camp, di Nuart Sculpture Park, Bandung. Lokakarya penulisan dan kuratorial seni rupa bersama institut ruang rupa dan komite seni rupa DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Workshop Visuality Culture and Performance Art bersama Anna-Sofya Sayser di Ruang Gerilya, Bandung. 4. Seni Lintas Media Sebuah Pintu Belakang Lokakarya + Produksi + Pameran Seni Lintas Media Scaffolding Galeri Nasional Indonesia Lokakarya Rabu, 2 Maret 2016 Produksi Kamis-Senin, 3-7 Maret 2016 Pameran Jumat-Selasa, 8-15 Maret 2016 Sebuah lokakarya yang tidak sekadar mencoba menjawab pertanyaan apakah masa depan yang diperbincangkan sesuai dengan gambaran dystopia fiksi ilmiah atau utopia kapitalisme. Lebih dari itu, lokakarya ini justru mengajak semua pihak untuk memikirkan bahwa umat manusia memiliki alternatif masa depan lain, yang berbeda dari kedua pilihan tersebut. Jika tidak, masa depan yang tengah menghampiri kita akan memaksa kita untuk mengikuti
narasi yang telah dipersiapkannya sendiri. Persoalannya kemudian, narasi seperti apakah yang ia telah siapkan dan bagaimanakah keterlibatan kita di dalamnya? Ketika narasi tersebut tidak melibatkan kita – umat manusia – maka kita akan lenyap dalam untaian sejarah peradaban, seperti sekian puluh ribu tahun yang sudah-sudah. Dasar tema pameran Hanafi: Pintu belakang | Derau Jawa beserta pemahaman umum ‘media’ sebagai alat atau kendaraan gagasan baik dalam praktek kesenian, kebudayan maupun industri adalah titik tolak kegiatan lokakarya dan bincang-bincang dibuka untuk direspon para peserta undangan dan publik. Kegiatan ini hendak menyoal keterkaitan antara tema besar “pintu belakang” dengan praktek lintas media kini sebagai penerokaan kemungkinan kreativitas yang lintas batas di masa depan dengan partisipasi lintas disiplin publik di luar seni. Bagaimana kita berpikir ke depan ketika bahasa adalah media? Keberagaman sebagai media? Disiplin ilmu sebagai media? Data sebagai media? Dimensi waktu adalah media? Kolaborasi adalah media? Keseharian adalah media? Bagaimana pertanyaan-pertanyaan ini meruntuhkan segregasi keilmuan dan menjadi dasar bersama untuk berkarya, berpikir tentang keberlanjutan praktek bersama. Workshop seni rupa pada umumnya adalah kegiatan yang pada akhirnya akan menghasilkan karya rupa. Pada kesempatan ini, lokakarya lintas media ini tak hanya bercita-cita menghasilkan karya, namun juga sesuatu yang akan berlanjut seusai kegiatan dengan memproduksi imajinasi dan pengetahuan untuk publik tentang masa mendatang. Mengeksplisitkan pengetahuan tacit peserta menjadi eksplisit dalam bentuk dokumentasi dan data.
Konsep Dasar Wacana 1. Data Dewasa ini mau tak mau kita semua adalah data. Identitas jender, prilaku, pilihan, apapun yang kita gunakan, keseharian yang kita jalani, terakumulasi menjadi kekayaan data. Menjadi aset pusat-pusat pengumpul dan penyedia data. Hidup kita dikemas dan dimaknai jadi modal dan dasar pengetahuan bagi yang dominan untuk mengendalikan kembali prilaku kita dan membingkai pilihan-pilihan hidup kita. Bagaimana kita sebagai data yang punya daya pikir kreatif dan bagasi ideologi masing masing berkesempatan meretas balik atau menciptakan kedaulatan tandingan dari data-data yang kita kontribusikan dengan sadar, sukarela ataupun tanpa sadar? Berbagi data dan berdialog atas data akan jadi salah satu komponen lokakarya bincang warteg dihadirkan dalam bentuk dokumen, live feed dan layar TV. 2. Warteg 2085: #kemasadepanan #kontrakini Warteg sebagai media ruang dan modal awal peserta. Mengimajinasikan pola produksi dan konsumsi dari skala warteg; “Warteg 2085”(2085 merespon peta jalan ‘Nawa cita’ pemerintah kini. program perencanaan Indonesia 70 tahun ke depan) adalah titik picu awal. Rentang masa ke 2085 ini merupakan gagasan yang merespon kecenderungan publik untuk melihat sejarah, kejayaan masa lalu atau obsesi akan kekinian, Warteg 2085 akan menggulirkan gagasan akan masa depan #kemasadepanan #kontra kini.
Nilai apa yang akan ditukar dagangkan pada warteg 2085? Bentuk tempe apa yang akan hadir? Apakah kedelai masih bisa disebut kedelai dengan rekayasa genetik, biologi sintetik, politik benih, singularity? Keseharian apa yang kelak dihasilkan oleh hibrida seni dan teknologi kini? narasi Distopia atau Utopia apa yang kita mainkan di benak sejak hari ini? Bagaiman masa depan menghampiri kita? Bagaimana membingkai pertanyaan yang tepat untuk livelihood dan praktek 2085? Titik picu ini diharapkan memproduksi imajinasi baru dan pengetahuan dalam rentang 70 tahun. Dengan ruang publik urban; warteg sebagai katalis, juga tak kalah penting manusia sebagai subyek aktif, narasumber, peserta juga publik. Selaras dengan tema pintu belakang, Warteg 2085 menggagas masa depan dan kreativitas dari skala warteg yang bersentuhan langsung dengan keseharian dan realitas publik akar rumput bukan dari façade identitas bangsa ke publik global yang selama ini menjadi ilusi dan hiper-realitas bersama. 3. Manusia kolaboratif: Berbagi pengetahuan tacit dengan inklusif Mempertemukan peneliti, pelaku pelaku industri, seni, akademisi dan aktivis yang berpengalaman dari berbagai bidang yang jarang untuk bertemu di satu forum bersama untuk makan, minum dan ngobrol bersama di warteg galnas untuk berbagi, berdiskusi dan membuka pengetahuan tacit masing-masing jadi eksplisit, berdialog dan membongkar ekslusifitas pengetahuan atau persaingan antar disiplin dengan perbincangan dan permainan.
Berbincang, bermain, berkolaborasi memproduksi pengetahuan bersama. Biodata Singkat Cecil Mariani Desainer Grafis, pengajar di Universitas Pelita Harapan 2001-2011, Melanjutkan pendidikan S2 nya 2011-2013 dengan inisatif beasiswa mandiri @ tuatuasekolah bersama Lisabona Rahman dan Felencia Hutabarat. Mengajar di IKJ Seni Rupa dan Pasca Sarjana sejak 2014. Untuk mata kuliah Social Campaign, Seni Urban dan produksi budaya, dan sejarah seni populer. Berpartisipasi dalam “imagining Jakarta” yang digagas oleh Marco Kusumawijaya dan Rifky Efendi yang kemudian dipamerkan di Galeri Cemara 6 dan CP biennale, Memamerkan karya di Jakarta Biennale 2009. Pernah menggagas revitalisasi neighbourhood di New York untuk Area Washington Heights tempat tinggal kelompok imigran Dominika dengan kampanye “Explora! Washington Heights” dalam Program Impact! Design for Social Change bekerja sama dengan Business Improvement District NYC dan School of Visual Arts. Turut serta merintis Komunitas Salihara dari segi desain dan pengalaman visual 2008-2011, Baru-baru ini bekerja dalam tim Jakarta Biennale 2015. Enrico Halim Setelah menyelesaikan pendidikan formal desain grafis di 1994, ia memulai lembaga not-for-profit bernama aikon yang bertujuan mendorong keterbukaan berpikir dalam masyarakat Indonesia. Pararel dengan itu, ia bekerja di biro desain grafis, yang melayani perusahaan komersial maupun lembaga not-for-profit dunia. Sejak 2004 ia mengelola situs aikon.org dan mengajar di fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Tarumanagara satu hari
dalam seminggu. Di 2009 karya yang melibatkan pengamen dan para pelaju di kereta listrik jurusan Tanah Abang Serpong berjudul Mari Menggambar mengikuti Biennale Jakarta. Di 2013 mengelola program publik Biennale Jakarta dengan judul Adakah Seni di Antara Kita? Pada 2012 mulai bereksperimen dengan pembuatan bemo bertenaga listrik yang diluncurkan kemudian di 2013. Yuka Dian Narendra Dilahirkan di Jakarta 15 September 1972. Adalah peneliti independen di bidang budaya populer, mengajar di School of Design Universitas Pelita Harapan. Minat penelitiannya adalah hal remeh-temeh dalam kebudayaan populer Indonesia, terutama kajian tentang subkultur musik Metal. Kegemarannya terhadap musik Metal itulah yang membuat Kandidat doktor bidang Cultural Studies dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini memutuskan untuk menulis disertasi subkultur Metal Indonesia. Selain menjadi peneliti, Yuka menghabiskan waktu senggangnya dengan berburu makanan enak, terutama Chinese Food yang otentik bersama istrinya. Cara lain bersenang-senang ia lakukan dengan merekam dan memproduksi band-band underground di studio rekaman kecil di rumahnya.
program exhibition
1. Pre Exhibition Discussion: “What is Java” With Prapto Yuwono, Hanafi, JJ. Rizal, Afrizal Malna February 13 2016 Kaldera, Bogor. 2. Music Performance: Sa’unine String Project Opening of the exhibition National Gallery of Indonesia March 1, 2016 Sa’ Unine String Project is a string music ensemble that was established in 1992 and was originally a String Quartet (consisting of 4 string musicians). The definition of the Javanese word “Sa’Unine” in Indonesian is “origin of sound, however, this doesn’t mean that the music being played only originates from the instruments, but also from exploiting the many forms of sound that can be generated by stringed instruments. Throughout their musical journey, Sa’Unine has participated in various music workshops by Dr. Sophie from Canada, Rene Bergman from Holland, Cecylia Berczyk from the USA, Wolfgang Poduchka from Austria, Philip Green from Australia, Asean Youth Music Workshop in Jakarta in 1991, Asean Youth Music Workshop in Brunei Darussalam in 1993, European-Indonesian Youth Music Camp in Yogyakarta, and Asian Youth Music Workshop on Tour of Asia in Hongkong in 1996. Sa’unine has also provided recordings for Indonesian solo artists and bands.
Music Director and Conductor Oni Krisnerwinto Violins Guntur Nurpuspito Fafan Isfandiar Andi Amrullah Saptadi Violas Junaidi Sagaf Cello Gana Sinden Silir Pujiwati 3. Discussion on the Interpretation of Hanafi’s Art: National Gallery of Indonesia, March 2nd, 2016 Facilitator Agung Hujatnikajennong Speakers Stanislaus Yangni and Riyadhus Shalihin The art exhibition has become more inclusive these days. A discussion on the interpretation of Hanafi’s art: The Backdoor | Derau Jawa becomes necessary not only as a space for growth in art potential with ideas and proposals that (might be) possessed or known by young curators, but also as an attempt to merge new topics that have arisen in the inter-media arts. A good contemporary art curator is almost always a proficient narrator. Additionally, he acts as a partner who is anti-judgmental toward the works he analyz-
es, and has an interpretative strategy to make certain components inform, conjure, or even destroy the narrative he creates. Everything that is elaborated on must be able to be seen as a result of analysis (interpretation) that can involve inter-perspective practices, interdisciplinary knowledge, inter-media, inter-discourse---on works that must be able to be accounted for. Curators live to negotiate constantly, not only with artists and their works but also with the text and context that surround them. He has to be there for both: vertically, as well as horizontally. They are expected to make a personal laboratory of proposals, renew the latest information that underscore the arts, and follow every change that occurs. This discussion can act as another backdoor, where the front door of the arts has been filled with power or the kind of power that was commanded by past curators. This kind of breakage can be a good beginning for the future of the arts that have stopped (trying to) surpass the hegemony of discourse in the arts. Short Biography Stanislaus Yangni Born in Lampung, 1982, writer of Dari Khaos ke Khaosmos, Estetika Seni Rupa (Erupsi, 2012), Yangni focuses her works on art research, philosophy and aesthetics. She has worked as a journalist at Visual Arts Magazine, a contributor at Indoart&Lifestyle, writes critical essays in the exhibition catalogue, and art reviews which were published in some newspapers, like Koran Tempo, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, and local magazines like Mata Jendela. She studied in Sanata Dharma Faculty
of Psychology, Driyarkara School of Philosophy/ (STF) Driyarkara, and Indonesia Art Institute Yogyakarta/ISI Yogyakarta, concerned with painting research. She lives and works in Yogyakarta. Riyadhus Shalihin Born in Bandung , 1989, Shalihin is a director and art researcher. He has worked at mediateater-Bandung and studiohanafi-Depok. Among his last works are - 2015 ; ‘biography of tomatoes and stones’ (afrizal malna & hanafi), ‘meeting in pinhole’ ( hanafi & kiki sulistyo), ‘distance sharp’ (pina bausch) and ‘kapai-kapai’ (arifin c noer). last activity - 2015 ; following the workshop of performance art ; ‘text and action’, melati suryodarmo. ‘performing and space’ residency-nuart sculpture park-bandung, melati suryodarmo. Curatorial and art writing workshop - with ruang-rupa initiative space and jakarta arts council. visuality culture, and a performance art workshop with Anna-Sofya Sayser in ruang-gerilya, Bandung. 4. Workshop + Production + Exhibition: Inter-media Art Inter-media Art at the Back Door Wednesday, March 2 2016 Production Thursday-Monday, March 3-7, 2016 Exhibition Friday-Tuesday, March 8-15, 2016 A workshop that not only tries to answer the ques-
tion of whether the future being discussed is reminiscent of the future depicted in dystopian science fiction or the future of a capitalist utopia, but also encourages every party to think that humanity has another alternative for the future, one that is apart from those two possibilities. If not, the future that is approaching us will force us to follow the narrative it has prepared. The problem, then, is what kind of narrative has it prepared and how are we involved in it? If that narrative doesn’t involve us - humanity - then we will vanish between the historical chains of civilization, like we did tens of thousands of years ago. The basis of the theme of Hanafi: The Backdoor | Noise Java as well as the general definition of ‘media’ as a tool or vehicle for proper ideas in art, cultural, and industrial practices are the points of departure of this workshop and discussions are opened to be responded by the invitees and the public. This event aims to discuss the relationship between the big themes of the “backdoor” and modern inter-media practices as an exploration into boundless creative possibilities in the future with the participation of public inter-disciplines outside of the arts. How do we think forward when language is a medium? Variety as a medium? Scientific discipline as a medium? Data as a medium? Is space-time a medium? Is collaboration a medium? Are our daily lives a medium? How do these questions bring down the segregation of knowledge and become the universal basis of artwork, the continuation of a shared practice?
In general, art workshops are events that will ultimately produce artwork. On this occasion, not only does this inter-media workshop aim to produce artwork, but also something that will endure after the workshop is over by encouraging imagination and knowledge about the future to the public. To make explicit the participants’ tacit knowledge in the form of documentation and data. Basic Concept of Discussion 1. Data These days, we’ve all practically become data. Gender identity, behavior, choice, everything that we use, the day-to-day that we undergo, are accumulated into the richness of data. They become assets to data-mining centers and data providers. Our lives are packaged and defined as a capital and a basic knowledge to the dominant few that aim to control our behaviors and frame our life choices, How do we, as data with creative thinking abilities and unique ideologies, seize the chance to regain or create our own competing autonomy over the data that we contribute consciously, voluntarily, or consciously? Sharing data and having a dialogue on data will be one of the components of this workshop, discussion on warteg will be delivered in the form of documentation, live feed, and TV broadcast.
2. Warteg 2085 #kemasadepanan #kontrakini #futurism #counterpresent Warteg as a spatial medium and starting capital of the participants. Imagining the patterns of production and consumption from the scale of the warteg: “Warteg 2085” (2085 refers to the ‘Nawa cita’ road map of the present government. A long-term program for Indonesia in the next 70 years) is the starting point. This 15 year-long stretch of time can be seen as a response to how the public tends to see history, past glory or how it is obsessed with being “present”, Warteg 2085 will topple ideas for the future. #futurism #counterpresent What values will be exchanged at Warteg 2085? What form of tempeh will be there? Will soy still be called soy with the advent of genetic engineering, synthetic biology, seed politics, singularity? What kind of day-to-day will be produced by the hybridization of art and current technology? What dystopian or utopian narrative will we begin to play in our heads from today? How does the future approach us? How do we frame the correct questions for the livelihood and practices of 2085? This subject is expected to produce new imagination and knowledge in a span of 70 years. With an urban public space; warteg as a catalyst, also just as important, humans as an active subject, source, participant, and the public. In tune with the theme of the backdoor, Warteg 2085 envisions the future and creativity from the scale of the warteg that brushes directly with the
day-to-day and the roots of public reality, not with the façade of our nation’s identity in the global public that has been our shared illusion and hyperreality. 3. The Collaborative Human: Sharing Tacit Knowledge Inclusively Gathering researchers, industry makers, artists, academics, and activists who are experienced in their respective fields and rarely meet in a shared forum to eat, drink, and chat at warteg galnas to share, discuss, and turn each other’s tacit knowledge into an explicit one, engaged in dialogue and dismantling the exclusivity of knowledge or inter-disciplinary rivalries with discussion and games. Collaborating to produce a shared knowledge for the public. Chatting, playing, and collaborating to produce a shared knowledge. Short Biography Cecil Mariani Cecil Mariani is a graphic designer and former lecturer at Universitas Pelita Harapan (2001-2011). She did her graduate work from 2011 to 2013 with the initiative of self-sustainable scholarship @tutuasekolah with Lisabona Rahman and Felencia Hutabarat. She has been teaching at IKJ’s graduate program for fine arts since 2014, specifically the Social Campaign, Urban Art, Cultural Birth, and Modern Art History classes. She participated in “Imagining Jakarta” that was conceptualized by Marco Kusumawijaya and Rifki Efendi which was then exhibited at Galeri Cemara 6 and CP Biennale. She exhibited some artwork at Jakarta Biennale 2009. She also proposed a revitalization for a neighborhood in New York, specifically for the Washington Heights
area where Dominican immigrants lived with the campaign “Explora! Washington Heights” in the program “Impact! Design for Social Change” and working with Business Improvement District NYC and the School of Visual Arts. She was involved with Komunitas Salihara (Salihara Community) from a design standpoint and overall visual experience from 2008 to 2011. Most recently, she worked with a team to organize Jakarta Biennale 2015. Enrico Halim After finishing his graphic design study in 1993, he started aikon in 1994, a not-for-profit organization. Since then he worked simultaneously in a design bureau and gave lectures in Tarumanagara University. In 2009 he made an art participation project with local musicians and the train commuters for Jakarta Biennale. Experimenting with electric vehicle conversion in 2012, and launched electric bemo in early 2013. For Jakarta Biennale 2013 he manage public program titled: Is there art among us? Yuka Dian Narendra Born in Jakarta on September 15, 1972, Yuka Dian Narendra is an independent researcher in the field of popular culture and a lecturer at School of Design Universitas Pelita Harapan. His research interest lies in the seemingly mundane aspects of Indonesia’s popular culture, especially the local heavy metal music subculture. This fondness for heavy metal music was what made this cultural studies doctoral candidate of Universitas Indonesia decide to write a dissertation on Indonesia’s heavy metal music subculture. Aside from being a researcher, Yuka spends his free time hunting for good food, particularly authentic chinese food with his wife. He also enjoys recording and producing local underground bands at a small studio in his house.
Hanafi biography
Hanafi Born in Purworejo (Central Java) July 5th l960 Education 1976-1979 Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta. Art Activities Selected Single Exhibtions 2015 “Oksigen Jawa”, Galeri Soemardja, Bandung, Indonesia 2014 “Migrasi Kolong Meja #3”, Salihara Gallery, Jakarta, Indonesia 2013 “Migrasi Kolong Meja #2”, Komaneka Fine Art Gallery, Bali, Indonesia “Migrasi Kolong Meja #1”, Semarang Gallery, Semarang, Indonesia 2011 Hanafi Solo Exhibition, Ciptadana, Jakarta, Indonesia Hanafi Solo Exhibition, Sin Sin Gallery, Hongkong 2010 “Saat Usia Lima Puluh”, Komaneka Fine Art Gallery, Bali, Indonesia “Saat Usia Lima Puluh”, National Gallery of Indonesia Jakarta, Indonesia
2009 “Nyanyian Angsa”, Bandung Mengenang Rendra, Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Indonesia “Of Spaces and Shadows”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia “Of Spaces and Shadows”, Salihara Gallery, Jakarta, Indonesia 2007 “Enigma”, O House Gallery, Jakarta, Indonesia “Home Of Images”, Museu de art of Girona, Spain “Darkness”, Taksu Singapore & Cream, Singapore “Orang Negeri Seberang”, The Arts House Singapore, Singapore “id”, O House Gallery, Jogja Gallery, Jogjakarta, Indonesia 2006 “id”, O House Gallery, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia “Configu(art)ion”, Espai(B) Contemporary Gallery, Barcelona, Spain “Bahasa Tangan Membaca”, Taksu Gallery , Jakarta, Indonesia 2005 ”Tiga Hari Dalam Sepatu”, Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Indonesia 2004 “UR (you are) URBAN ROOM Project”, Komaneka Gallery, Bali, Indonesia “R U A N G “, Taksu Gallery, Kuala Lumpur, Malaysia
“HOTPLATE”, Taksu Gallery, Jakarta, Indonesia “Dive Into”, Canna Gallery, Jakarta, Indonesia 2002 “Study For Distance”, Mares Del Sure, Barcelona, Spain “Hanafi,s Diary”, Chateu d’Arts, Singapore “Sepuluh Tahun Pertama”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia 2001 “Lukisan Besar” Minima Maxima Gallery, Jakarta, Indonesia “Study For Distance”, One 2 One Gallery, Toronto, Canada “Keheningan Sayan”, Komaneka Fine Art Gallery, Ubud, Bali, Indonesia 2000 “Desa Batu di Costabrava”, Millenium Gallery, Jakarta, Indonesia “Stone Village of Costabrava”, KOI Gallery, Jakarta, Indonesia “Blue Print”, Puzzle Gallery, Cinere, Jakarta, Indonesia 1999 “Time”, Deutche Bank, Jakarta, Indonesia “Som Ni de Miro”, Mares del Sur, Barcelona, Spain 1998 FOCUS Gallery, Kemang, Jakarta, Indonesia 1996 “Dancer’s Dream”, Cemara 6 Gallery, Jakarta, Indonesia
”Menguji Tradisi”, Cipta II Gallery, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia 1995 “Sabuk-sabuk Hanafi”, Gorong Gorong Budaya, Depok, West Java, Indonesia 1993 “Hitam-Putih”, The Stage, Ratu Plaza, Jakarta, Indonesia 1992 Single Exhibition at Hilton Executive Club, Jakarta, Indonesia Selected Group Exhibitions 2015 “Kepada Republik”, Gedung DPR Jakarta “Vertical Horizon”, ICAD, Grand Kemang Jakarta “TRAX 15, Simpang Siur”, Taman Ismail Marzuki Cipta II, Jakarta “(Belum Ada Judul) Pameran dan Peluncuran Buku: Sesudah Aktivisme, Serpihan Esai Seni Rupa Enin Supriyanto (1994-2015)”, Sangkring Art Space, Yogyakarta, Indonesia “START”, Saatchi Gallery, London, Inggris 2014 “Fiesta Kota Tua Jakarta”, Jakarta Contemporary Artspace, Jakarta, Indonesia 2013 “RESTART”, ICAD 2013, Grand Kemang Hotel, Jakarta, Indonesia
2012 “Slenco”, Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, Indonesia “Locafore”, Bale Pare, Kota Baru Parahyangan, Bandung, Indonesia “Hidupmu Keajaibanmu – Your Life Your Miracle”, A Collaboration with Nukila Amal, dia.lo.gue artspace, Jakarta “Karya Sang Juara”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia “Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD) 2012” Grand Kemang Hotel, Jakarta, Indonesia 2011 “Flight for Light: Indonesian Art and Religiosity, Mon Décor Gallery, Jakarta, Indonesia “Landscape of Nation Field and Mountain as a Symbol”, Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, Indonesia “Locafore”, Bale Pare, Kota Baru Parahyangan, Bandung, Indonesia “Bayang”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia “EKSPANSI”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas, Bantara Budaya Jakarta ”Escapology”, ICAD 2011, Grand Kemang Hotel, Jakarta, Indonesia ”Art Motoring”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia “1001 doors: Reinterpreting Tradition”, Ciputra World Marketing Gallery, Jakarta, Indonesia 2010 “Dari Seni Untuk Anak”, Kolaborasi Perupa dan Penulis, CCF Jakarta, Indonesia “Tramendum”, National Gallery of Indonesia,
Jakarta, Indonesia “Crossing and Blurring The Boundaries”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia “Sign and After”, Lawangwangi, Bandung, Indonesia “Percakapan Masa”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia Artpreneurship, Spaces & Images, Ciputra World Marketing Gallery, Jakarta, Indonesia 2009 “Art/ention Hotel, Indonesian Contemporary Art and Design”, Grand Kemang Hotel, Jakarta, Indonesia “Common sense”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia “Kado #2”, Think Outside The Box, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia “2nd Odyssey”, Srisasanti Gallery, Jogjakarta, Indonesia “Bazaar Art Jakarta 2009”, The Ritz-Carlton, Jakarta, Indonesia “The Running Stars”, North Art Space (Ancol), Jakarta “Seni Rupa Rai Gedheg”, Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), dan Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Indonesia “Hybridization”, North Art Space, Jakarta, Indonesia “Vox Populi”, Sangkring Art Space, Jogjakarta, Indonesia “Revisiting The Last Supper”, CGartspace, Jakarta, Indonesia “Vox Populi”, Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Indonesia
2008 “Surat Cinta di Bulan ke Dua Belas”, O House Gallery, Jakarta, Indonesia “Self Portrait-Famous Living Artists of Indonesia”, Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia “Sejarah dan lantai yang datang ke atas”, O House Gallery, Jakarta, Indonesia “Dari Penjara Ke Pigura”, Salihara Gallery, Jakarta, Indonesia “Art Beijing 2008”, Beijing, China “ini baru ini”, vivi yip art room, Jakarta, Indonesia “Indonesia Contemporary All Star”, Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, Indonesia “E-Motion”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia “Manifesto”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia “Art Shanghai”, Shanghai, China 2007 “Biennale Jogja IX”, Taman Budaya Yogyakarta, Indonesia The 12th Guangzhou International Art Fair, Guangzhou, China “200 th Raden Saleh”, Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia “Boeng Ajo Boeng !”, Bentara Budaya Jogja, Yogyakarta, Indonesia “Celebr‘art’e Fire Boar”, Kupu-Kupu Art Gallery, Jakarta, Indonesia 2005 “Biennale Yogyakarta VII”, Tarumatani, Yogyakarta, Indonesia ”Biennale Bali 2005”, Toni Raka Gallery, Ubud, Bali, Indonesia “The Pre Biennale Exhibition 2005”, YDBA Gallery, Jakarta, Indonesia
“CELEBRATION”, Orasis Gallery, Malang, Indonesia “Nasi Campur”, Taksu Gallery, Jakarta, Indonesia 2006 “Commermoration of Hans Winkelmolen”, The Dutch photografer killed By the Marriot bomb “Sayap Kata, Sayap Warna”, Langgeng Gallery, Magelang, Indonesia “Merahnya Merah”, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia 2003 “Future is Made of Water”, Installation Exhibitions for 5th Anniversary of UPC (Urban Poor Consorcium), Kridaloka, Jakarta, Indonesia “Indonesian-Dutch Artist Exhibitons”, Menteng, Jakarta, Indonesia “Borobudur Agitatif ”, Langgeng Gallery-Cultur House, Magelang, Indonesia “Sorak-Sorai Identitas”, Langgeng Gallery, Magelang, Indonesia 2002 ”Selamatkan Laut Kita” (Yapteka), The National Museum, Jakarta, Indonesia “Zaini-Hanafi On Paper”, The Regent Hotel, Jakarta, Indonesia Hanafi-Yunizar “Seni Yang Sembunyi”, Santi Gallery, Jakarta, Indonesia “Festival Abstrak”, Millenium Gallery, Jakarta, Indonesia 1999 “Hitam-Putih”, Cipta Gallery, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia “Hanafi With Nunung WS”, Koong Gallery, Jakarta, Indonesia
1998 “Ventilasi Ruang I”, with Yori Antar, Puzzle Gallery, Jakarta, Indonesia “The Abstrak Art”, Duta Fine Art Foundation, Jakarta, Indonesia “BIENNALE X”, Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia “LOS”, Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia 1997 “Philips Morris Indonesia Art Award”, Agung Rai Museum, Bali, Indonesia “AXIS”, Indonesian-Belgian Artist, National Gallery of Indonesia, Indonesia “Trans-Aksi”, YPK BUILDING, Bandung, Indonesia “Ruwatan BUMI”, Cemara 6 Gallery, Jakarta, Indonesia 1996 “BIENNALE IX” Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia “Contemporary Art-Istioqlal Festival”, TMII, Jakarta, Indonesia “Therre Cities”, Museum Of National Monumen, Jakarta, Indonesia ”Hanafi-Eugene Brands”,Cemara 6 Gallery, Jakarta, Indonesia 1995 “BIAS”, Artist Group, Bogor, West Java, Indonesia 1994 “Gerak”, Museum Of Cramics, Jakarta, Indonesia
1993 “Exhibitions of Three Artist, Indonesian-American Institute, Jakarta, Indonesia Other Activities January 2016 Wayang Installation for ‘1 Year remembrance day and tribute to Sitor Situmorang, Taman Ismail Marzuki Jakarta 2015 Artistic for Keng Sien’s exhibition, Salihara Gallery, Jakarta, Indonesia 2014 Collaboration with Sunaryo and artists from ITB Bandung in ‘Pasar Seni ITB’, Senayan Jakarta As a art mentor for ‘Benda-benda Biografi’, Jakarta theater Festival 2014, Taman Ismail Marzuki. “Doa Untuk Sitor”, a tribute to Sitor Situmorang and a collaborative art project Mayang Sunda, Bandung 2012-2013 Soekarno Statue in Ende-NTT with the Government of Indonesia 2012 Collaboration with Nukila Amal for “Mirahmini” Children book project Residencial program for emerging artists from East of Indonesia (Lombok, Ambon, Papua, NTB, NTT and Ternate in Studiohanafi, Depok
2010 “Hujan Mencari Kali”, Collaboration with Hikmat Gumelar and Adinda Luthvianti, Padjajaran University, Bandung 2005 “Solo Sans Frontieres Collaboration”, With Fitri (Dancer)-Yassin Burhan (Celloist)-Afrizal Malna (Movie) 2004 Scenographer for “Future President Debate” Jakarta, Indonesia 2003 “Art_chipelago, Presentation of Indonesian Art and Culture, Athens, Greece 2002 “Guest Lecture on Art Workshop”, Nanyang Academy of Fine Art, Singapore “Window”, Collaboration with Liem Fei Shen (Singaporean Coreographer)-Maxine Heppner (Canadian Dancer), Substation, Singapore. 2001 “Across Ocean”, Multimedia Workshop, York Universirty, Toronto, Canada “Erotique de Picasso”, Presentation of Arcitecture, Jakarta Festival, AMI Center Jakarta. 2000 “Ruang Runtuh”, Collaboration With Otig Pakis (Actor)-Eko Partitur (Violist)-Jalu (Perccusion), Hotel Indonesia, Jakarta, Indonesia “Mereka Berjaga Dalam Tarian dan Warna”, Teater, Maxine Heppner (Canadian Dancer), aikon, Jakarta, Indonesia
1999 “Labour Exhibition”, Collaboration with Afrizal Malna (Poet)-Diyanto (Painter), Indonesian National Gallery, Jakarta, Indonesia 1998 “I’ve to Bury the Dead Bird”, Collaboration with Afrizal Malna (Poet)-Boy G Sakti (Coreographer)-Eko Partitur (Violist)-Yassin Burhan (Celloist), Cemara 6 Gallery, Jakarta, Indonesia 1997 “Trip Tich”, Collaboration With Maxine Heppner (Dancer)-Cilla (Photographer), Parung Bingung, Depok, West Java, Indonesia 1993 “B/W”, Collaboration With Agoes Jolly (Performance Artis)-Eko Partitur (Violist), The Stage Ratu Plaza, Jakarta Indonesia Awards 2005 Anugerah Kebudayaan FIB Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia Top 10 Golden Palette, Ancol, Jakarta, Indonesia 2003 Finalis Indofood Art Awards 2002 Finalis Indofood Art Awards 1997 Top 10 Philip Morris Art Award
Agung Hujatnika biography
Agung Hujatnika a.k.a Agung Hujatnikajennong is a lecturer in the Faculty of Arts and Design at the Institute of Technology in Indonesia. He attained his doctorate from the Institute of Technology, Bandung, with a dissertation on curatorial practice in Indonesia. Since 1999 he has written articles about art in various kinds of mass media and presented seminars nationally and internationally. Agung has undertaken curatorial residencies in Australia (Queensland Art Gallery, Brisbane; Drill Hall Gallery, Canberra, 2002) and in Japan (Nanjo and Associates, Tokyo, 2004; Arts Initiative Tokyo, 2011). He was curator at Selasar Sunaryo Art Space (2001 – 2012) and has curated many exhibitions in Indonesia and abroad, among these are OK Video – Jakarta Video Festival (2003; SUB/VERSION, 2005; FLESH, 2011); Bandung New Emergence (2006, 2008, 2010); and a number of solo shows by Indonesian contemporary artists, such as Agus Suwage, Handiwirman Saputra, Jompet Kuswidananto, Mella Jaarsma, Heri Dono, Dadang Christanto and Hanafi. In 2009, he was the curator of “Fluid Zones”, the main exhibition in the Jakarta Biennale program: ARENA and “Exquisite Corpse”, a pavilion for Bandung at the Shanghai Biennale (2012) and Jogja Biennale XI (2013). His book on the art curatorship in Indonesia, Kurasi dan Kuasa (Curation and Power), was published in March 2015 by the Jakarta Arts Council. In 2014 he was nominated for the Independent Vision Curatorial Award by the Independent Curators International, New York, USA.
acknowledgment
Hanafi would like to take this opportunity to give a very special thank to the people who have a big contribution for this exhibition Goenawan Mohamad Sa’Unine String Project Umar Ahmad (The Regent of Tulang Bawang Barat) Tubagus Andre (Director of National Gallery Indonesia) Wahyu Koman Suteja (Komaneka Fine Art Gallery) Agus Yanuar Tim Okt8+ (Aini, Uli, Nuni, Uci, Anya, Reni, Shanti, Angel) Bustomy Kaldera Koko Sondari Carlo Warella JJ. Rizal Zeffri Alkatiri Prapto Yuwono (FIB UI) Toro Wantara Ayang Kalake Chandra Maulana Cyprianus Jaya Napiun Endah Afiff JNE Media Partners Kompas Akar Padi.com Indopos Majalah Dewi Bravacasa Esquire
ntu pintu belakang belakang erau | derau jawajawa
ennong
016
nal
deka
Diselenggarakan Diselenggarakan
didukung
didukung
mitra
mitra media
exhibition team
Researcher Afrizal Malna Exhibition Curator Agung Hujatnikajenong Curator Assistant Riyadhus Shalihin Program producer and networking Adinda Luthvianti Artist Assistant Hendro Rukmono, Rapin, Apep, Toro Exhibition Manager Semi Ikra Anggara Translators Rizki Asasi, Sartika Dian Nuraini Graphic Designer Cecil Mariani Public Relation | Publication | Documentation Taufik Darwis, Ratu Selvi Agnesia, Iyya Malya Displays: Hendro, Yatno, Bambang, Bengkel Artistik Rapin, John Heryanto, Asep Holidin, Yanto Intermedia workshop Cecil Mariani, Enrico Halim, Yuka D. Narendra Curatorial Discusion Stanislaus Yangni, Riyadhus Shalihin
0115032016