Sebuah cerpen karya: Sharoncitara TWITTER | INSTAGRAM | ASK.FM HALOGEN -What is a good bye?-
Only hope. Sebuah kedai donat ternama di sudut Malioboro Mall pada bulan Mei. Sepasang muda-mudi duduk diam berhadapan. Aku dan kekasihku. Masing-masing dari kami menghadap pada sebuah laptop dengan merk impor yang terkenal di telinga masyarakat. Sepertinya wajahku menyiratkan ketegangan yang luar biasa, sementara kekasihku mencoba menutupi perasaannya dengan bersikap lebih tenang. “Gimana, udah bisa diuka webnya?” tanya kekasihku. Aku menggeleng singkat. “Belum, barusan input nomor pendaftaran terus nunggu loadingnya lama banget” Mata kekasihku tiba-tiba terbelalak. “Juli, aku masuk pilihan pertama! UI, Jul! FEB UI, Jul!” Mendengar kabar itu, mataku serasa ikut membesar. Seperti mau mencuat keluar dari pelupuknya. Senang luar biasa mendengar kabar bahagia dari kekasihku. Berharap nasib yang sudah tergambar di garis tangan tak kalah baik dari milik lelakiku. “Eh, eh, Ben, udah keluar, nih, hasil testku,” Mataku seketika menyipit. Membaca cepat barisan di layar laptop.
Sebuah cerpen karya: Sharoncitara TWITTER | INSTAGRAM | ASK.FM Aku selesai membaca pengumuman kelolosan yang terdiri dari 2 paragraf itu. Tanpa sadar mataku memejam dan perlahan punggungku mencari penyangga pada sandaran kursi. Dalam frame yang begitu singkat, aku menangis. *** Ain’t a farewell. Rantai sepeda berderit menggulung rel yang ia lalui. Pengayuhnya kotor diinjak sepatu kets merah yang kini telah kusam, berubah warna menjadi sedikit coklat. Pemiliknya mengayuh sepeda kencang-kencang, mungkin ia ingin lebih cepat sampai di tujuan. Kamu. Jalan Malioboro terlihat lebih lengang sehabis hujan. Tidak banyak mobil berlalu-lalang di punggungnya. Kamu, pesepeda berkets merah, menghentikan laju sepeda di sisi kanan jalan. Memotong laju pesepeda lain. Tidak ada mobil atau sepeda motor yang membalas dengan klakson-klakson yang memekakan telinga akibat ulah ngawurnya, hanya teriakan dari pesepeda lain yang terpaksa ikut menepi karena jalannya tertutup. Aku. “Juli, kamu kenapa sih?” tanyanya. Napasnya bergulung, tersengal-sengal di atas pertanyaan yang ia lontarkan. “Enggak kenapa-kenapa. Mbok dilihat tha, ini jalanan sepi, enak dipakai buat ngebut tahu!” “Bohong!”
Sebuah cerpen karya: Sharoncitara TWITTER | INSTAGRAM | ASK.FM Kamu memarkirkan sepedanya di samping bangku hijau yang menjadi ciri khas Titik Nol KM, kemudian duduk menghadap badan jalan. Di seberangmu ada beberapa orang berkostum hantu yang menyediakan jasa foto bersama. Dari kejauhan, mereka tampak seperti memori yang ditempa sinar jingga lampu kota. “Bohong kenapa sih, Ben?” tanyaku. “Kamu kira aku enggak nyadar? Sikapmu berubah setelah tadi apa yang terjadi di Tugu. Setelah kubilang lusa akan berangkat ke Jakarta” “Iya, lantas aku harus bersikap bagaimana? Aku harus bilang apa?” tanyaku tanpa hasrat. Kamu tidak merespon pertanyaanku. Aku memanggil namanya. “Ben…” “Kamu benar, Jul. Omonganmu benar. Kalau aku jadi kamu, aku pasti juga bingung akan berbuat apa.” Matamu berkilat ditempa cahaya. Aku tidak bisa melihatnya demikian. Aku tidak mau. Kuputuskan untuk sambil lalu memerhatikan seorang paruh baya yang sedang tidur nyenyak di dalam becak yang sehari-hari ia gunakan untuk menyambung hidup. Kaos putih tipis bertuliskan acara funbike sebuah SMA negeri menutupi kulitnya yang legam dibakar matahari, tanpa jaket, dan hanya dipadu dengan celana kolor pendek berwarna hitam dengan beberapa jahit kain berwarna lain sebagai tambalan. Kasihan. Sepasang turis berjalan kaki dari arah Kantor Pos. Membangunkan tukang becak tadi. Rezeki juga datang di malam hari. “Aku mau sepedaan ke Alun-alun Kidul, kamu mau ikut enggak?” ajakku setengah hati. Moodku sudah melayang, menguap, karena pertengkaran kecil kita.
Sebuah cerpen karya: Sharoncitara TWITTER | INSTAGRAM | ASK.FM Aku mengayuh sepeda tanpa memedulikan jawabanmu. Berani taruhan, pasti kamu membatin „dasar Jul kekanak-kanakan!‟. Alun-alun Kidul ramai seperti biasa. Puluhan sepeda dengan lampu berkelapkelip memutari lapangan tanah melalui jalan aspal. Di tengah lapangan beberapa orang sedang mencoba masangin—melewati tengah pohon beringin kurung dengan mata ditutup kain hitam, sementar di pinggir lapangan orang-orang lebih memilih untuk duduk lesehan sambil menikmati wedang ronde, kopi jos, atau minuman apapun yang bisa menghangatkan tubuh. Beberapa dari mereka memilih untuk merokok saja. Kamu menepikan sepeda sekali lagi. Kini diikuti dengan klakson mobil di belakang. Bisakah kamu lebih hati-hati dan lebih peduli dengan kendaraan lain? Kamu terlalu mendadak memijat rem. “Jul, kita masangin, yuk!” ajakmu. Aku tidak terlalu bisa melihat wajahmu kala itu. Siluetmu terlalu silau karena sorot lampu halogen di belakangmu. “Ben?” Aku memanggilnya sekali lagi setelah kudapati ia hanya berdiri sambil menggenggam erat tanganku. “Jul, lusa datanglah ke Lempuyangan. Keretaku berangkat pukul tujuh.” ***
Sebuah cerpen karya: Sharoncitara TWITTER | INSTAGRAM | ASK.FM Lempuyangan Kekasihku sedang mengisi perut di salah satu warung di seberang Stasiun Lempuyangan. Sesekali tangannya meraih posel yang tergeletak di samping mangkuk soto yang telah kosong dilahapnya. Tidak ada missed call. Tidak ada pesan singkat masuk. Tidak ada notification dari messenger ponselnya. Tidak ada namaku di layarnya. Tidak seperti biasanya. Yah, setidaknya hal demikian yang sekarang sedang kubayangkan. Aku tidak tahu kekasihku sedang apa. Sekarang sudah hampir pukul 6 sore. Mungkin ia sudah duduk menunggu kereta di Lempuyangan, atau sedang di dalam taksi menuju stasiun itu. Aku tidak tahu. Nyatanya sekarang aku masih tiduran di atas kasur. Tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri menggenggam kunci motor, dan mata terus memaku tatap pada jam dinding di atas meja belajar. “Nduk, kamu enggak ke stasiun antar Ben?” tanya Bapak dari balik pintu kamar. “Mboten, pak.” Tidak, jawabku. Tik... Tok... Tik... Tok... BODOH!
Sebuah cerpen karya: Sharoncitara TWITTER | INSTAGRAM | ASK.FM Jalan kecil di depan stasiun itu ternyata cukup macet pada waktu-waktu seperti ini—jam ketika para penumpang datang dan akan berangkat. Aku baru tahu. Aku baru pertama ke sini. Ya. Aku menyerah. Akhirnya aku memacu motor menuju Lempuyangan. Tidak masuk, hanya berdiri di tepi jalan raya dekat portal yang memotong rel, 20 meter barat stasiun. Sayup-sayup aku mendengar pengumuman kereta kekasihku akan berangkat. Portal perlahan turun, menutup jalan. Rekaman suara perempuan tersetel otomatis, terdengar cempreng karena speaker yang sudah tua. Ia mengumandangkan ajakan untuk mematuhi rambu lalu lintas dan tidak menerobos palang kereta api. Di ujung sana, kereta mulai bergerak maju. Pelan lalu semakin kencang jalannya. Gerbong depan penuh dengan penumpang yang masih ribut menata barang bawaan, kontras dengan gerbong belakang yang cenderung lebih sepi penumpang. Dan di sanalah ia. Duduk di salah satu kursi kereta ekonomi. Terbelalak melihatku berdiri di luar sini. Di bawah lampu jalan raya. “Hati-hati di jalan, Ben,” bisikku mengantar kepergiannya. ***