87
HAKIKAT MANUSIA DALAM PENDIDIKAN Bahrudin Puyo Kepala Sekolah SMP 2 Limboto Abstrak Proses pendidikan senantiasa membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi-potensinya untuk tahu lebih banyak dan belajar terus dalam arti seluas mungkin. Kepercayaan terhadap potensi individual memberi tekanan khusus pada pentingnya (pemunculan) kesadaran kritis dalam pendidikan, sebagai penggerak emansipasi kultural sehingga individu dapat memahami realitas objektifnya secara benar. Artinya, tidak ada peserta didik yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Kata kunci: pendidikan, peserta didik, potensi dan belajar I. PENDAHULUAN Manusia mempunyai potensi kemerdekaan untuk meraih dan melakukan berbagai macam tindakan sesuai dengan pilihannya. Manusia juga mampu melakukan distansiasi dengan lingkungan eksternalnya, serta manusia juga mampu melakukan banyak perubahan sesuai dengan cita-citanya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subjek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me). Pada skala makro, masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Pendidikan adalah pengukuhan manusia sebagai subjek yang merupakan rangkaian tentang kesadaran akan dunia (realitas) yang mendalam (kritis) sebagai man of action (Freire, 2000: 123). Pendidikan mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar peserta didik dalam rangka meningkatkan ketakwan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air. II. PEMBAHASAN Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menjelaskan pendidikan sebagai usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Konsep pendidikan tersebut yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang.
88
Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga masyarakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yang kurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik. Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu faktor manusianya. Dengan demikian, landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu psikologi, fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Kepercayaan terhadap potensi individual memberi tekanan khusus pada pentingnya (pemunculan) kesadaran kritis, sebagai penggerak emansipasi kultural sehingga individu dapat memahami realitas objektifnya secara benar. Artinya, tidak ada peserta didik yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan peserta didik mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan peserta didiknya. Menurut Crow and Crow (dalam Nanang Fattah, 2004:5); “Modern educational theory and practise not only are aimed at preparation for future living but also are operative in determining the pattern of present, day-by-day attitude and behavior”. Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang, tetapi juga untuk kehidupan sekarang yang dialami individu dalam perkembangannya menuju ke tingkat kedewasaannya. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diidentifikasikan beberapa ciri pendidikan, antara lain, yaitu: a. Pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup. b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha yang terencana dalam memilih isi (materi), strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai. c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal dan non formal). Apabila dikaitkan dengan keberadaan dan hakikat kehidupan manusia, pendidikan diarahkan untuk pembentukan kepribadian manusia, yaitu mengembangkan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, makhluk susila, dan mahluk beragama (religius). (Nanang Fattah, 2004:5). Hasbullah (1999:4-6) menyimpulkan dari beragam batasan pendidikan yang diberikan oleh para ahli, bahwa meskipun berbeda secara redaksional namun secara esensial terdapat kesatuan unsur-unsur atau faktor-faktor yang terdapat di dalamnya, yaitu bahwa pengertian pendidikan tersebut menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, anak didik, tujuan dan sebagainya. Persoalan manusia merupakan tema sentral dan titik tolak dalam memaknai pendidikan karena pendidikan pada dasarnya ingin mengantarkan manusia menuju kemanusiaan sejati. Sayangnya, persoalan manusia kurang mendapat perhatian dalam pemikiran pendidikan. Kalaupun ada kajian-kajian mengenai manusia sejauh ini belum ditemukan pandangan dasar kemanusiaan secara holistik. Kajian mengenai manusia masih sering terjebak pada pandangan dikotomik yang merupakan warisan dari corak pemikiran tipikal Yunani tentang realitas, yang mencapai puncaknya pada zaman Plato dan Aristoteles. Menurut kedua filosof besar Yunani tersebut, realitas difahami sebagai kenyataan yang bersifat dualisme-dikotomik. Plato, misalnya mempertentangkan antara kenyataan ide yang absolut
89
dan abadi dengan kenyataan indrawi yang relatif. Sementara apa yang disebut dengan kenyataan dalam pandangan Aristoteles terdiri dari kenyataan potensial yang berbentuk matter dan kenyataan aktual dalam bentuk form (Rahardjo, 1987:60). Akibat gelombang Hellenisme inilah, pemikiran Islam tidak dapat menghindari bias pemikiran dari arus utama (mainstream) filsafat Yunani tersebut. Kecenderungan ini tampak menonjol dalam karya-karya klasik mengenai manusia, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sina, al-Farabi, dan alGhazali. Ibnu Sina membuat pemilahan manusia secara dikotomik ke dalam dua bagian, badan dan jiwa. Oleh karena itu, menurut al-Farabi terdapat pekerjaan badan dan jiwa. Sementara alGhazali memandang pribadi manusia sebagai kombinasi ruh dan badan yang memiliki dunianya sendiri-sendiri. Al-Ghazali mendasarkan teorinya tentang penciptaan manusia dari ayat al-Qur'an, "Ketika Aku sempurnakan kejadian manusia, Aku tiupkan ruh-Ku ke dalam tubuhnya" (Lihat 15:29; 38:72). Pertemuan antara ruh dan badan inilah yang kemudian membentuk manusia (Lih. Nasution, 1988). Gejala yang sama juga dijumpai dalam pemikiran pendidikan Islam yang masih berkutat dalam perdebatan klasik tentang eksistensi manusia dalam proses pendidikan. Dapat diduga yang menjadi acuan normatifnya adalah tiga aliran mainstream pendidikan yang notabene dikembangkan oleh tokoh-tokoh Barat. Acuan yang dimaksud adalah aliran nativisme, empirisme, dan konvergensi yang dikembangkan oleh John Locke (1632-1704), William Stern (1871-1928), dan Schoupenheuer (1788-1860). Mengikuti pola sintetik, pemikiran pendidikan Islam ditempatkan dalam arus pemikiran konvergensi. Mengambil referensi hadits Nabi yang terkenal, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Akan tetapi, kedua orang tuanyalah yang bisa merubah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi" (HR Bukhari), para pakar pendidikan Islam melegitimasi bahwa Islam mengakui eksistensi internal setiap manusia (fitrah, faktor dasar). Namun, fitrah yang masih potensial itu perlu dikembangkan melalui pengembangan lingkungan yang kondusif yakni pendidikan (faktor ajar). Pandangan demikian tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Namun, berhenti pada pandangan ini tidak akan diperoleh pandangan yang memuaskan tentang manusia. Bertolak dari keadaan ini, tanpa menafikan pemikiran para filosof besar muslim dan pakar pendidikan Islam, untuk kepentingan pemikiran pendidikan Islam sekarang, perlu dibangun pandangan kemanusiaan yang utuh, holistik, yang tidak secara simplifikatif terpola ke dalam pandangan dualisme-dikotomik atau pemihakan. Pada tataran ini pendekatan filosofis mengenai manusia patut dipertimbangkan. Akan tetapi, pendekatan filosofis perlu ditopang doktrin-doktrin keagamaan (teologis) yang bicara mengenai manusia. Jika tauhid dijadikan kerangka paradigmatik yang menuntut pandangan kesatuan, pemikiran tentang manusia tidak boleh tidak harus didekonstruksi. Maka kedudukan manusia dalam proses pendidikan menjadi sangat sentral. Pernyataan ini mengandung dua implikasi sekaligus. 1. Pendidikan perlu mempunyai dasar-dasar pemikiran filosofis yang memberi kerangka pandang yang holistik tentang manusia. 2. Dalam seluruh prosesnya, pendidikan perlu meletakkan manusia sebagai titik tolak (startingpoint) sekaligus titik tuju (ultimategoal) dengan pandangan kemanusiaan yang telah dirumuskan secara filosofis. Begitu sentralnya kedudukan manusia dalam proses pendidikan, fungsi pendidikan terutama berkepentingan mengarahkan manusia pada tujuan-tujuan tertentu dan menemukan tujuan hidupnya. Dalam konteks ini, kita tidak habis pikir mengapa praktik-praktik kekerasan terhadap manusia (anak didik), seperti diungkap oleh Nurul Huda SA dalam Kompas (21/3/2000), masih saja berlangsung dalam dunia pendidikan kita. Apakah kekerasan yang dilakukan guru/dosen terhadap anak didik karena kesalahan menerapkan ganjaran dan hukum (reward and punishment) seperti disinyalir Nurul Huda? Atau ada persoalan yang lebih substansial berkenaan dengan pandangan terhadap hakikat manusia? Asumsinya, pandangan yang benar tentang hakikat manusia akan membantu menemukan jalan mengarahkan praktik-praktik pendidikan pada pola pengembangan manusia seutuhnya, manusia
90
sempurna. Sebaliknya, praktik-praktik pendidikan bakal mengalami kegagalan bila dibangun di atas konsep yang tidak jelas tentang manusia. Untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini, berikut akan ditampilkan beberapa pandangan mazhab pendidikan tentang manusia dan akibat-akibat yang ditimbulkan dalam proses pendidikan. 1. Mazhab behaviorisme yang memandang manusia atas asumsi utama (main assumption) bahwa ia bersifat netral sejak kelahirannya, tidak mempunyai kemampuan potensial apa-apa, kosong ibarat kertas putih. Menurut mazhab ini, lingkunganlah yang memberikan pengaruh besar dalam membentuk corak kepribadian seseorang. Jika pandangan ini dijadikan acuan, pendidikan secara ekstrim akan menjadikan anak didik dalam kondisi determinan. Proses pendidikan semacam ini akan melahirkan apa yang disebut Paulo Freite (1984, 1991) sebagai pendidikan "gaya bank" di mana anak didik hanya disuapi dengan seperangkat informasi dari otak ke otak (transfer of head), yang penguasaannya kemudian ditagih melalui ujian-ujian yang terutama mempersyaratkan hafalan (ranah kognitif yang paling rendah). Anak didik tidak dipandang sebagai "manusia", tetapi sebagai benda yang terkendali (automaton) yang corak kepribadiannya ditentukan sepenuhnya oleh guru (teacher oriented). Apabila diletakkan dalam kerangka kemanusiaan, praktik pendidikan ini bukan saja secara sepihak akan membelenggu anak didik, berbarengan dengan itu juga akan mematikan kesadaran dan kreativitas anak. Hal ini karena fitrah ontologisnya tidak diakui secara eksistensial. 2. Pandangan Lorens yang melihat bahwa manusia sejak kelahirannya sudah mempunyai dan membawa sifat ganas. Tugas utama pendidikan, menurut Lorens, adalah mencari obyekobyek pengganti dan prosedur-prosedur yang tersublimasi dan bermanfaat dalam menghilangkan sifat ganas tersebut (Abdullah, 1991:84). Meskipun Lorens tetap mengakui potensi manusia, pandangan ini bersifat negatif-pesimistik karena jauh sebelumnya manusia diklaim mempunyai sifat jahat. Corak pendidikan yang dikembangkan dengan mengacu pada pandangan ini jelas negatif. Perlakuan tidak adil terhadap anak didik, pendekatan dengan kekerasan, bahkan hukuman kasar akan menjadi absah untuk dan demi menghilangkan sifat ganas anak. Dua pandangan di atas memperlihatkan bahwa kesalahfahaman dalam memandang hakikat ontologis manusia berakibat pada penyimpangan praktik pendidikan. Kesalahan atau kekeliruan ini bahkan berakibat fatal, bukan saja mengacaukan praktik-praktik pendidikan, juga sekaligus akan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan berupa proses dehumanisasi, keterpecahan personalitas (split of personality), pengasingkan anak dari diri dan lingkungannya, serta mematikan kesadaran anak dan bentuk-bentuk penindasan terselubung lainnya atas nama pendidikan. Berbeda dengan pandangan di atas, Islam menawarkan konsep yang positif-optimistik tentang manusia. Al-Qur'an secara ketegorikal mendudukkan manusia ke dalam dua fungsi pokok, yaitu sebagai 'abd Allah (hamba Tuhan) dan khalifat Allah fi al-ardh (duta Tuhan di muka bumi). Pandangan kategorikal ini tidak mengisyaratkan suatu pengertian yang bercorak dualisme-dikotomik. Dengan penyebutan kedua fungsi ini, al-Qur'an ingin menekankan muatan fungsional yang harus diemban oleh manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi. Konsep 'abd Allah lebih banyak mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian yang bersifat ritual kepada Allah (ibadah) (51:56). Sifat individual ini mengingat cakupan fungsi tersebut banyak bersifat keagamaan. Karena sifatnya yang individual dan inner conriuosness—seperti diterangkan di bagian terdahulu—maka pelaksanaan fungsi manusia sebagai hamba Allah dirasa belum cukup. Manusia masih dituntut untuk melakukan fungsi lain yang merupakan konsekuensi sebagai makhluk historis. Fungsi ini adalah sebagai khalifah Allah. Tugas ini bermula dari firman Allah kepada para malaikat, ″ Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi″ (al-Baqarah/2:31). Predikat "khalifah Allah" yang diberikan kepada manusia memberikan gambaran bahwa seolah-olah Allah mempercayakan kekuasaan-Nya kepada manusia untuk mengatur bumi (dunia) ini. Sebuah tugas yang membuat makhluk-makhluk lain enggan menerimanya karena khawatir
91
tidak mampu melaksanakannya. Dari firman Allah ini jelas gamblanglah seluruh tugas manusia. Apa yang dilakukan Allah terhadap alam semesta kini diserahkan dan harus dilaksanakan oleh manusia selaku wakilya di bumi. Maka keutamaan pertama dan utama yang dimiliki manusia adalah sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Sebagai khalifah manusia mengemban tugas dan tanggung jawab yang besar yang pelaksanaannya menuntut komitmen moral-spiritual tinggi; memakmurkan bumi (11:61) dan mengembangkan risalah serta menegakkan segala amal yang mengandung kemaslahatan, kebenaran, dan keadilan (67:2) (Jalal, 1988:42). Tugas dan tanggung jawab inilah yang disebut al-Qur'an (33:72) sebagai "amanat" yang diterima oleh manusia. Penerimaan manusia itu karena ia memiliki keistimewaan dan keunggulan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, yaitu keberaniannya mengemban tugas dan tanggung jawab besar dan menerima segala konsekuensi yang akan terjadi. Maka keutamaan manusia kedua, setelah menjadi khalifah, adalah sebagai pemegang dan pemelihara amanat Tuhan. Penerimaan manusia atas amanat Tuhan ini di satu sisi menyebabkan manusia memiliki fungsi kosmik yang sangat penting. Namun, di sisi lain, penerimaan ini mengharuskan manusia bertindak penuh perhitungan. Amanat Tuhan meniscayakan pemenuhan unsur etika yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, kebebasan, dan tanggung jawab. Sebab amanat ini menurut Ali Syariati (1982:94) tidak lain adalah pernyataan dari kemerdekaan dan kehendak bebas manusia. Karena manusia memiliki kehendak bebas maka ia bisa unggul atas makhluk lain yang ada di dunia ini. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu menghadapi sifat nalurinya sendiri yang tidak bisa dilakukan oleh hewan, tumbuhan atau makhluk apapun di alam ini. Dengan kehendak bebasnya manusia bisa berbuat atau melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan akal pikirannya atau bahkan bertentangan dengan itu. la bebas memilih jalan baik atau jahat, lurus atau bengkok (jalan fujdr atau taqwa, al-Syams:8), menjadi mukmin atau kafir (18:29), apakah ia akan menuruti hawa nafsunya (sifat basyari) atau hendak menyerupai Allah (sifat insani). Namun, dibalik kebebasan dan kemerdekaan, pilihan-pilihan tersebut harus diletakkan pada kerangka yang jelas: ide tanggung jawab moral. Bahwa ia memikul tanggung jawab dan harus komited terhadap tugasnya. Kewajiban untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab ini merupakan titik mula moralitas manusia dan membuatnya sebagai makhluk moral sebagai salah satu ciri eksistensial yang memperjelas kedudukan sentral manusia dalam realitas penciptaan. Ciri eksistensial adalah historisitas manusia yang tidak dimiliki makhluk lain. Dengan ciri tersebut manusia bukan sematamata obyek, tetapi sebagai subyek yang berperan aktif dan kreatif dalam realitas penciptaan. Terjun dalam arena dunia dan sejarah, berjuang bersama demi kebebasan, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, mengisi aliran ruang dan waktu dalam gejolak api perjuangan intelektual dan sosial, atau mentransformasikan ciptaan ke arah yang berkualitas (ahsanu 'amalan) adalah manifestasi dari fungsi kekhalifahan manusia. Inilah implikasi prinsipil dari fungsi kekhalifahan manusia yang nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (Madjid:302). Menggunakan kerangka pandang tersebut, konsep khalifah menjadi relevan untuk pemberdayaan fungsi kemanusiaan manusia sebagai makhluk historis. Berdasarkan kerangka pemikiran ini juga maka pendidikan dapat diartikan sebagai proses penyadaran akan fungsi-fungsi kemanusiaan manusia sebagai 'abd Allah (aspek teologis) dan khalifat Allah (aspek kosmologis dan antropo-sosiologis). Pelaksanan fungsi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah tidak boleh dipertentangan tetapi ditempatkan sebagai satu kesatuan dalam paradigma tauhid. Keduanya, dengan demikian memerlukan hubungan dialektik yang akan mengantarkan manusia kepada puncak eksistensi kemanusiaan. Dalam konteks ini, menarik interpretasi Muhammad Iqbal dalam bukunya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, tentang kejatuhan manusia (Adam) dari surga. Dalam penafsiran konvensional, sebagaimana dapat dilihat dari kerangka teologis yang mendasarinya, kejatuhan Adam dari Jannah (Taman Firdaus) dianggap sebagai hukuman yang harus diterima oleh Adam dan Hawa akibat melanggar larangan Allah untuk menghindari atau menjauhi pohon (khuldi?).3 Hukuman itu berupa pengusiran Adam dari surga untuk turun ke bumi (2:35-38). Peristiwa tersebut
92
oleh banyak mufassir dan jumhur ulama' dianggap sebagai awal kemunculan spesies manusia di muka bumi. Berbeda dengan penafsiran konvensional, Iqbal mempunyai penafsiran yang lebih positif dan menarik. Menurutnya, kejatuhan Adam dari surga itu justru merupakan kebangkitan manusia dari keadaan primitif menuju kesadaran penuh mengenai dirinya (self conciousness). Kesadaran demikian menjadi petunjuk bagi pengertian munculnya sikap ragu dan membangkang (larangan) yang menjadi ciri kebebasan berkehendak dan melakukan pilihan. Dari perspektif ini, apa yang dimaksud kejatuhan tidak berarti kemerosotan moral. Kejatuhan manusia justru merupakan peralihan dari kesadaran sederhana ke arah kesadaran diri sepenuhnya. Dalam keadaan ini manusia seakan tersentak dari mimpi alami karena sebab musabab individual dalam wujud dirinya sendiri (Iqbal, 1975:85). Terhadap interpretasi Iqbal ini, Jamila Khatoon —seperti dikutip Djohan Effendi— memberikan ulasan sebagai berikut. "Kemunculan Adam mengumandangkan era baru dalam dunia ciptaan Ilahi...Kehidupan Adam melambangkan pencapaian kesempurnaan relatif bimbingan dan penerangan terhadap diri sendiri. Dalam dirinya dikembangkan sarana-sarana yang memungkinkannya menguasai alam semesta. Kemampuan persepsi dan pengamatan reflektifnya memberinya pengetahuan tentang lingkungan sekitarnya dan menyingkapkan rahasia dunia nyata. Dialah pembawa personalitas yang mempunyai wujud terpisah dan individual, dan dikaruniai kemampuan memanfaatkan alam semesta dan menggunakannya untuk keperluan dan tujuannya sendiri. Dia dipersiapkan untuk menempati tempat yang bermahkota dan agung dalam alam semesta. Matahari dan bintang, langit dan bumi diharuskan tunduk kepadanya". III. PENUTUP Uraian di atas memberi simpulan bahwa konsep khalifah merupakan penegasan kedudukan manusia di tengah-tengah penciptaan-Nya, dan sekaligus sebagai pandangan positif Allah terhadap manusia. Oleh sebab itu, tidak mungkin manusia dapat menjalankan kehalifahannya jika ia hanya sampai pada kesadaran seorang hamba seperti dipersonifikasikan oleh keberadaannya di alam surga. DAFTAR PUSTAKA
Alvin I. Goldman, "Epistemics and the Sciences of Knowledge" dalam The Open Curtain, A. U.S Soviet Philosophy Summit, (Boulder: Keith Lehrerand Ernest Sosa (ed.), 1991). David Ingram, "Hermeneutics and Truth", dalam Robert Hollinger (ed.), Hermeneutics and Praxis, (Indiana: University of Notre Dame Press, 1985). Fazlur Rahman, "Islamization of Knowledge: A Response" dalam The American Journal of Islamic Social Science, 1988, no. 5. Hans-Georg Gadamer, Reason in the Age of Science, (terj. Frederick G. Lawrence, Cambridge: Cambridge University, 1993). Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978). Nadjati, Utsman, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi SAW, (Jakarta: Hikmah Press, 2002). R. Geuss, The Ideaof Critical Theory, (Cambridge: Cambridge University, 1981). Ryan, A.(1977). The Philosophy of the Social Sciences. London: The Macmilan Press Sachs, W. (ed)-(1995), The Development Dictionary, A Guide to Knowledge as Power, London: Zed Books Sherwwod Taylor, A Short History of Science and Scientific Thought, (New York, 1963). Soedjatmoko, Etika Pembebasan; Pilihan Karangan tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetaliuan, (Jakarta: LP3ES, 1984). Supena, Ilyas, Heurmenetika Tansendental, Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003).