Haji Kopi: Paradoks Masyarakat Miskin Kawasan Perkebunan Kopi Kecamatan Silo Kabupaten Jember
Peneliti
: Latifatul Izzah1,
Mahasiswa Terlibat : Il badri2 Sumber Dana
: BOPTN Perguruan Tinggi
1
Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Jember
2
Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Jember
1
ABSTRAK This article discusses the condition of the community in Mulyorejo village, Silo subdistrict, Jember regency that is discredited by the government of Jember regency and categorized as a poor village. Through the poverty theory and from primary and secondary sources, this research can proof a contrary reality about the community. Almost 70 percent of the community invests their money for pilgrimage to Mecca. Their economic source depends on the harvest of the traditional Coffee Plantations owned by the local farmers. The natural condition of the village as a rural area causing the village community do not get sufficient facility for the health, electricity etc from the government. However, these conditions do not make the villagers frustrating, but encourage them to make the micro-hydro power plant using selfgenerated funds. The efforts to get the power plant they have done is a long-term infestation that earns billions of Rupiah. Keywords : Hajj Coffee, paradox, poor community, Coffee plantation area, Silo Subdistrict
Abstract: Tulisan ini membahas tentang kondisi masyarakat Desa Mulyorejo Kecamatan Silo Kabupaten Jember yang didiskreditkan oleh pemerintah Kabupaten Jember sebagai desa yang masuk kategori miskin. Dengan pembuktian teori kemiskinan yang digali dari sumber primer dan sumber sekunder didapatkan realita yang berlawanan. Ternyata hampir 70 persen masyarakatnya menginvestasikan uangnya untuk menunaikan ibadah haji. Sumber perekonomian masyarakatnya bersandar pada hasil perkebunan kopi rakyat . Kondisi alam yang sulit dijangkau mengakibatkan masyarakatnya tidak mendapat fasilitas kesehatan, penerangan listrik dari pemerintah dan lain-lain. Namun tidak menjadikan masyarakatnya frustasi. Kondisi yang serba sulit ini memunculkan ide gila dengan membuat pembangkit listrik tenaga mikro hidro dengan dana swadaya masyarakat. Sebuah investasi dalam jangka panjang yang menghasilkan uang milyaran rupiah. Kata Kunci : Haji Kopi, paradoks, masyarakat miskin, kawasan perkebunan kopi, Kecamatan Silo
2
Haji Kopi: Paradoks Masyarakat Miskin Kawasan Perkebunan Kopi Kecamatan Silo Kabupaten Jember
Peneliti
: Latifatul Izzah1,
Mahasiswa Terlibat
: Il badri2
Sumber Dana
: BOPTN Perguruan Tinggi
Kontak email
:
[email protected]
Diseminasi (jika ada) : belum ada
1
Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Jember
2
Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Jember
3
Executive Summary 1.1 Latar Belakang Eksploitasi Sistem Tanam Paksa merupakan kesuksesan yang besar dari sudut pandang kapitalisme Belanda, menghasilkan produk ekspor tropical yang sangat besar jumlahnya, dimana pejualannya di Eropa memajukan Belanda. Dengan kopi dan gula sebagai hasil bumi utama, seluruh periode Sistem Tanam Paksa menghasilkan keuntungan sebesar 300 juta gulden dari tahun 1840-1859 (Anne Booth et al, 1988). Di sisi lain para petani hidup dalam kesengsaraan dan kemelaratan karena eksploitasi tenaga kerja mereka untuk mengerjakan tanaman agroindustri. Kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang dirasakan bangsa Indonesia terus berlanjut sampai sekarang. Ada dua masalah besar yang dihadapi Indonesia yaitu adanya kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan.Pada akhir decade 1970-an, pemerintah sudah menyadari buruknya kualitas pembangunan yang dihasilkan dengan strategi tersebut.Maka dari itu pada Pelita III strategi pembangunan diubah, tidak lagi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama pembangunan.Usaha yang dilakukan adalah dengan program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Program-program terebut antara lain: Inpres Desa Tertinggal (IDT), pengembangan industry kecil dan rumah
tangga, transmigrasi,
pelatihan atau pendidikan dll. Namun belum sampai terlaksana secara meyeluruh, tiba-tiba krisis ekonomi terjadi.Akibatnya, jumlah orang miskin dan perbedaan (gap) dalam distribusi pendapatan di tanah air membesar, bahkan jauh lebih buruk dibanding sebelum krisis. Salah satu desa yang dikategorikan masuk dalam standard kemiskinan adalah Desa Mulyorejo Kecamatan Silo kabupaten Jember. Desa ini terletak di tepi hutan Baban Silosanen. Bagaimana tidak, kemiskinan di sini tidak bisa ditafsirkan dengan angka statistic atau criteria kemiskinan yang baku. Di Desa Mulyorejo, ekonomi dan kesejahteraan hadir dengan criteria kebahagiaan. Kedengarannya sebuah anomaly, dikategorikan miskin tetapi hidup mereka bahagia. Desa mulyorejo terletak di Kecamatan Silo Kabupaten Jember. Terdiri dari lima dusun antara lain: Dusun Baban Timur, Baban Tengah, Baban Barat, Batu Ampar dan Silosanen. Ada sebanyak 5106
4
keluarga di desa tersebut tinggal di tepi bahkan di dalam hutan. Jalan menuju ke sana tidak beraspal. Jika musim kemarau, laju sepeda motor dan kendaraan roda empat menerbangkan debu ke mana-mana, menempel ke pakaian. Baju warna putih bisa berubah agak kecoklatan.Saat musim hujan, jalanan berubah menjadi lumpur.Warga terpaksa membelitkan rantai ke roda sepeda motor mereka, agar tak mudah tergelincir saat melewati jalanan. Sebagian besar warga di sana hidup dari budidaya tanaman kopi. Mereka menyulap hutan menjadi kebun kopi. "Ikut fatwa Gus Dur: hutan milik rakyat," .Tahun 1998, saat reformasi bergulir, Indonesia memang berada dalam situasi tanpa tatanan.Chaos. Warga yang selama puluhan tahun ditekan dengan kekuatan militer, melampiaskan amarah dan rasa
takut selama ini dengan
menduduki lahan perkebunan dan hutan yang semula dikuasai Negara (Oryza A. Wirawan, 2007). Pendudukan lahan hutan memunculkan benturan dengan aparat Perhutani. Ini sebetulnya melanjutkan cerita lama. Tahun 1970-an, Perhutani dan masyarakat sekitar hutan pernah bersepakat: warga dipersilakan menanam kopi, namun Perhutani mendapat bagian dari hasil penjualan. Kesepakatan itu buyar, setelah perusahaan perkebunan memprotes Perhutani, yang dianggap melakukan usaha di luar tugas dan fungsi institusi itu. Selanjutnya, aparat Perhutani mulai membabati kopi milik rakyat. Perlawanan
meletus.Warga
tidak
bisa
menerima
penjelasan
apapun
dari
Perhutani.Kini, warga masih mengusahakan kopi di hutan dan tepian hutan Baban Silosanen.Tanah seluas 1.174 hektare sudah disertifikasi dan menjadi milik warga.Tinggal 6.300 hektare lahan masih belum disertifikasi, namun warga membayar pajak untuk penggunaannya. Rumah warga Desa Mulyorejo terbuat dari bambu. Sebagian ada yang memakai batu bata, memang.Namun di bagian lain dinding rumah tetap terbuat dari anyaman bambu.Sebagian besar rumah warga juga tidak teraliri listrik. PLN masih memiliki arti Perusahaan Listrik Negara, dan belum berubah menjadi Perusahaan Listrik Nekat yang mau membangun instalasi jaringan di Desa Mulyorejo dengan ongkos besar.Pemerintah Kabupaten Jember hanya mampu memberikan bantuan pembangkit listrik tenaga surya untuk kurang lebih 200 rumah. Sekitar 30 persen warga patungan menggunakan generator.Namun sebagian lainnya menerangi malam dengan lampu teplok alias ublik. Ini
yang repot. Minyak tanah sulit
5
didapat.Sekalipun ada, harganya mencapai Rp 15 ribu per liter.Mereka akhirnya berinovasi dengan menggunakan aki sebagai pemicu tenaga listrik. Tentu saja, lampu tak sangat benderang di sana. Rata-rata pengeluaran mereka per hari untuk membiayai kebutuhan hidup paling banter sekitar Rp 15 ribu, bahkan kurang.Bank Dunia menyatakan, kelompok kelas menengah mengeluarkan duit per kapita per hari 2-20 dollar Amerika Serikat, atau sekitar Rp 19 - 180 ribu per hari.Jadi jelas, para warga di tepi hutan itu bukan bagian dari kelas menengah versi Bank Dunia."Rp 15 ribu cukup untuk di desa, boleh jadi benar, jika hanya menghitung elemen pangan sebagai kebutuhan hidup.Namun, kehidupan tak hanya urusan makanan seadanya, tapi juga kelayakan. Departemen Sosial memberikan batasan garis kemiskinan pada sejumlah rupiah untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2.100 kilo per kalori per orang setiap hari, dan kebutuhan di luar pangan seperti rumah, pendidikan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Pencapaian pendidikan jelas membutuhkan biaya tak sedikit.Infrastruktur sekolah di Mulyorejo hanya memenuhi kebutuhan pendidikan sembilan tahun. Di sana hanya ada sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama dalam satu atap.Warga tak terlampau peduli dengan pendidikan formal. Secara umum, Kecamatan Silo menempati urutan dua jumlah anak yang tidak bersekolah dari 31 kecamatan. Mereka yang tidak bersekolah ini termasuk dalam kelompok rumah tangga atau individu dengan kondisi kesejahteraan sampai dengan 30 persen terendah di Indonesia Tabungan ikut menentukan tingkat kesejahteraan.Namun mayoritas warga di tepi hutan tak memiliki akses perbankan.Layaknya masyarakat pedesaan di Jember, khususnya Madura, kelebihan uang dirupakan dalam bentuk pembelian ternak sapi. Sapi ini bisa dirawat orang lain (digaduh), dengan imbalan bagi hasil saat penjualan, atau sang perawat mendapat bagian satu ekor anak sapi jika sapi itu beranak.Namun singkirkan dulu masalah pembelian sapi sebagai bagian dari model tabungan atau investasi tradisional. Saat musim panen kopi tiba, warga mendapat pemasukan lumayan besar. Namun prioritas utama bukanlah membeli sapi atau barang-barang kebutuhan lain. M. Ilyas, salah satu warga Mulyorejo mengatakan, mereka lebih suka menggunakan uang penjualan kopi untuk mendaftarkan haji bersama-sama. Sekitar
6
70 persen warga Dusun Baban Barat sudah berhaji.Kondisi ini berlawanan (paradok) dengan keadaan masyarakatnya yang dinilai oleh pemerintah bahwa masyarakat Desa Mulyorejo dikategorikan desa miskin.
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan: Mengapa Desa mulyorejo dikategorikan sebagai desa miskin, padahal hampir 70 persen masyarakatnya sudah menunaikan ibadah haji ? Agar memudahkan dalam pelaksanaan penelitian, maka permasalahan ini akan dijabarkan menjadi beberapa persolan penelitian yaitu: 1. Bagaimana sebenarnya kondisi ekonomi, social dan budaya masyarakat Desa Mulyorejo ? 2. Bagaimana status tanah yang ada di Desa Mulyorejo ? 3. Mengapa mayoritas masyarakat Desa Mulyorejo menginvestasikan uangnya untuk menunaikan ibadah haji ? 4. Bagaimana definisi “masyarakat miskin” diterapkan dalam masyarakat Desa mulyorejo ?
1.3 Metode Penelitian Landasan Teori Menurut Chambers (1983), kemiskinan berkaitan dengan masalah deprivasi sosial, akses ke sumberdaya seperti air, tempat tinggal, layanan kesehatan dan sanitasi,
pendidikan
serta
transportasi.
Akar
masalah
kemiskinan
adalah
ketergantungan, isolasi, ketidakberdayaan (vulnerability) dan rendahnya harapan hidup. Oleh karena itu kemiskinan mempunyai banyak sisi: ekonomi, sosial dan politik (Harris-White, 2005). Secara ekonomi penduduk miskin tidak memiliki apaapa (having nothing), secara sosial mereka tidak menjadi siapa-siapa (being nothing), dan secara politik mereka tidak memperoleh hak kecuali korban pembangunan ( havingno rights and being wrong). Karena multidimensi, kemiskinan itu ibarat istilah kecantikan yang didefinisikan berbeda oleh orang yang melihatnya. Jadi kemiskinan itu tidak bisa terlepas dari aspek politik, sehingga tidak ada definisi kemiskinan yang paling benar: There is no one correct, scientific, agreed definition because poverty is
7
inevitably a political conceptand thus inherently a contested one (Alcock, 1997). Strategi nafkah rumah tangga berkelanjutan (sustainable household livelihood strategies) merupakan salah satu upaya alternatif mengatasi kemiskinan. Definisi nafkah berkelanjutan adalah sebagai berikut: “A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stresses and shocks and maintain or enhance its capabilities and assets both now and in the future, while not undermining the natural resource base” (Carney 1998; Clayton, David & Olivier 2000). Kemiskinan seyogyanya bersimpul pada empat konsep yang sudah dikenal selama ini: baik kemiskinan absolut dan relatif maupun kemiskinan objektif dan subjektif. Kemiskinan absolut dan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup.Artinya merujuk pada perbedaan sosial yang diperoleh dari distribusi pendapatan.Intinya pada kemiskinan absolut ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata, sementara kemiskinan relatif, ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat kesejahteraan antar penduduk.Pendekatan objektif dan subjektif terhadap kemiskinan berkaitan erat dengan perkembangan pendekatan kualitatif-partisipatoris.Kebutuhan kalori adalah pendekatan objektif, sedangkan kemiskinan subjektif lebih menekankan pemahaman pada konsep kemiskinan dari sudut pandang masyarakat miskin (Marcus J. Pattinama, 2005).
Metode dan Teknik Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA).Pendekatan ini dipilih agar data yang diperoleh benar-benar akurat dan bertanggungjawab.Pada prinsipnya penelitian ini lebih berpijak pada penelitian kualitatif. Untuk mencapai tiga tujuan seperti yang disebut di atas, maka data yang dikumpulkan dengan prinsip triangulasi: dianalisis secara kualitatif, tabulasi silang, dan analisis isi. Dalam hal ini yang dipentingkan bukan banyaknya contoh ( sample) atau bertujuan untuk melakukan generalisasi, tetapi mengangkat kasus yang spesifik dan mendalam. Untuk mengungkapkan keterkaitan antara masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam lokal serta masalah kemiskinan, maka
8
analisis yang dikembangkan adalah analisis dalam dan analisis luar.Analisis dalam lebih difokuskan untuk menjelaskan karakteristik dengan mengembangkan konsep yang sudah ada dalam suatu masyarakat (kearifan lokal), sedangkan analisis luar menganalisis hubungan antara aspek sosial dan aspek teknik secara interdisipliner (Pattinama, 2005).Baik analisis dalam maupun analisis luar dilakukan dengan observasi langsung pada aktivitas manusia dengan lingkungannya.Yaitu aktivitas masyarakat
Desa
Mulyorejo
Kecamatan
Silo
Kabupaten
Jember
dengan
lingkungannya yaitu perkebunan kopi yang dikelola masyarakatnya. 1.4 Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan capaian hasil dari kegiatan penelitian ini dapat diketahui bagaimana sebenarnya kondisi ekonomi, social dan budaya, status tanah dan investasi uang untuk menunaikan ibadah haji pada masyarakat Desa Mulyorejo Kecamatan Silo kabupaten Jember.
Status Tanah Sebagai Sumber Kehidupan Masyarakat Desa Mulyorejo Ada hal yang menarik berkaitan dengan status tanah yang ada di Desa Mulyorejo. Semula sebelum peneliti terjun ke lapangan, ada beberapa referensi yang didapat menyebutkan bahwa tanah yang ada di Desa Mulyorejo adalah pemberian dari Perhutani pada masyarakat. Perhutani dan masyarakat sekitar hutan pernah bersepakat: warga dipersilakan menanam kopi, namun Perhutani mendapat bagian dari hasil penjualan. Kesepakatan itu buyar, setelah perusahaan perkebunan memprotes Perhutani, yang dianggap melakukan usaha di luar tugas dan fungsi institusi itu. Selanjutnya, aparat Perhutani mulai membabati kopi milik rakyat. Perlawanan meletus. Warga tidak bisa menerima penjelasan apapun dari Perhutani. Warga masih mengusahakan kopi di hutan dan tepian hutan Baban Silosanen. Tanah seluas 1.174 hektare sudah disertifikasi dan menjadi milik warga. Tinggal 6.300 hektare lahan masih belum disertifikasi, namun warga membayar pajak untuk penggunaannya. Dari hasil penelitian di lapangan didapat informasi bahwa tanah yang ada di Desa Mulyorejo seluas 1.174 hektare memang sudah dimiliki oleh masyarakat desa tersebut. Di lain sisi bahwa tanah yang ada di Desa Mulyorejo Kecamatan Silo
9
Kabupaten jember dengan batas sebelah barat terletak di Dusun Baban Barat berbatasan dengan sungai di Curahtakir Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember seluas 63 hektar adalah milik seorang ahli waris keturunan Jerman dan Madura yang bernama Ineke Irawati mengaku bahwa tanah yang ada di Desa Mulyorejo adalah bagian dari kepemilikan orang tuanya .Orang tuanya adalah seorang partikelir yang menyewa tanah di dataran tinggi Mulyorejo Kecamatan Silo Kabupaten Jember dengan memperoleh hak erfpacht. Ayah Ineke Irawati bernama Victor Clemens Boon lahir di Padang pada tanggal 18 Februari 1881 dan meninggal dunia ketika berumur 82 tahun di Temas Batu Malang pada tanggal 14 Agustus 1963 . Sesuai dengan kutipan akta kematian nomor 2/1963 tanggal 6 Maret 2003 yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan catatan sipil Kabupaten Malang , Victor Clemens Boon adalah warga Negara Jerman.(Kutipan akta kematian, Kepala Dinas kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Malang no.2632-2003). Berdasarkan surat keterangan dari balai harta peninggalan Malang tanggal 5 Agustus 1973 bahwa ayah kandung Victor Clemens Boon adalah Boon Clemens Jacobus mempunyai hubungan keluarga dengan JH Van Leneep yang mempunyai usaha perkebunan di wilayah Kabupaten Jember yaitu di Daerah Pace Kecamatan Silo seluas 4000 Ha pada tahun 1918. Begitu juga ibu kandung Victor Clemens Boon yang bernama Miniekhudsen Hermina Johanna Hendrita juga mempunyai hubungan keluarga dengan JH Vander Errelan mempunyai usaha perkebunan di Kabupaten Jember (Pemerintah Kabupaten Jember, Kecamatan Silo, Desa Mulyorejo 5 juli 2006). Victor Clemens Boon menikah dengan Kartini kemudian melahirkan anak pertama yang bernama Ineke Irawati lahir pada tanggal 16 Agustus 1953 di Kabupaten Situbondo, berdasarkan penetapan pengadilan negeri Situbondo tanggal 26 Maret 1991 nomor 22 / Pdt.P / 1991 / PN.STB. (Kutipan akta kelahiran no 29 /PK / 2005, Kepala Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kabupaten Situbondo). Ada hal menarik dari status tanah ini. Status tanah dengan hak erfpacht, namun ahli waris dapat mengupayakan hak kepemilikan sampai pada pengadilan. Nampaknya ada konspirasi politik untuk saling menguntungkan antara pihak Ineke Irawati sebagai pewaris dari Victor Clemens Boon dengan masyarakat Desa
10
Mulyorejo yang menginginkan tetap mengelola tanah di Desa Mulyorejo sebagai bekas tanah erfpacht yang sempat disewa oleh keluarga Clemens Boon. Di lain sisi pihak perhutani dan PTPN XII saling mengclaim bahwa tanah yang ada di Desa Mulyorejo adalah milik mereka. Untuk memperkuat status kepemilikan tanah tersebut, Ineke sebagai ahli warisnya memperjuangkan sampai tingkat pengadilan. Terbukti dengan adanya surat pendaftaran tanah di tingkat kabupaten.
Perkebunan Kopi Di Wilayah Desa Mulyorejo Letak Desa Mulyorejo Kecamatan Silo Kabupaten Jember pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut. Letak geografis yang sangat menguntungkan untuk tanaman kopi. Tanaman kopi sudah mulai dicoba pada tahun 1696 oleh Walikota Amsterdam Nicholas Witsen yang memerintahkan komandan VOC di Pantai Malabar, Adrian van Ommen untuk membawa bibit kopi ke Batavia atau sekarang yang disebut Jakarta. Bibit kopi tersebut diujicoba pertama di lahan pribadi Gubernur-Jendral VOC Willem van Outhoorn di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Pondok Kopi, Jakarta Timur. Panenan pertama kopi Jawa, hasil perkebunan di pondok kopi langsung dikirim ke Hortus Botanicus Amsterdam. Kalangan biolog di Hortus Botanicus Amsterdam kagum akan mutu kopi Jawa. Menurut mereka mutu dan citarasa kopi Jawa itu melampaui kopi yang pernah mereka ketahui. Para ilmuwan segera mengirim contoh kopi Jawa ke berbagai kebun raya di Eropa. Dampak dari system Cultuurstelsel sangat luar biasa. Kerajaan Belanda menjadi kaya raya sebagai akibat support hasil cultuurstelsel, sehingga akhirnya muncul kebijakan politik etis yang dapat mendatangkan para investor untuk bisa menyewa tanah-tanah perkebunan di wilayah Indonesia. J.H van Leneep dan J.H van der Errelan keluarga besar dari Victor Clemens Boon menyewa tanah perkebunan di Jember pada tahun 1902 dengan mendapatkan hak erfpacht di daerah Pace Kecamatan Silo Kabupaten Jember yang dikenal dengan perkebunan Curah Wangkal. Luas hak erfpacht perkebunan Curah Wangkal adalah 38.200.758 m2 (Sesuai daftar SKPT Tahun 1973 yang diajukan oleh Ineke Irawati sebagai keturunan dari Victor Clemens Boon). Dari luas wilayah perkebunan Curah Wangkal yang berada di wilayah Desa Pace yang pada awalnya Desa Mulyorejo merupakan bagian dari Desa Pace Kecamatan Silo Kabupaten Jember, bisa diasumsikan bahwa tanaman
11
yang ditanam antara lain adalah kopi (melihat realita tanaman yang ada di Desa Mulyorejo adalah Kopi) dan tanaman Jati. Tanaman jati yang ingin dikuasai kembali oleh Ineke Irawati sebagai ahli waris dari keluarga Victor Clemens Boon, sedangkan tanah-tanah yang masih ditanami kopi terus dirawat oleh masyarakat Desa Mulyorejo atas ijin dari Ineke Irawati. Tanah seluas 1174 hektar sudah disertifikasi dan menjadi milik warga Desa Mulyorejo. Tinggal 6300 hektar lahan yang masih belum disertifikasi, namun warga membayar pajak untuk penggunaannya. Atas dasar kepemilikan tanah yang ada di wilayah Desa Mulyorejo, mayoritas masyarakatnya hidup dari hasil perkebunan kopi khususnya kopi robusta yang ditanam, pisang dan tanaman palawija lainnya. Sayangnya akses jalan menuju ke Desa Mulyorejo sulit untuk dilalui, maka pengaruhnya sangat besar pada pemasaran hasil perkebunannya khususnya kopi. Biasanya para tengkulak dari Desa Pace yang datang ke wilayah Desa Mulyorejo untuk membeli hasil perkebunan kopi baik dalam bentuk gelondongan (kopi yang masih ada kulitnya atau dikenal dengan kopi basah) maupun yang sudah dikeringkan. Tentunya hasil penjualannya lebih murah karena tidak dijual sendiri ke wilayah kota sebagai akibat dari cost yang tinggi untuk sampai ke wilayah Kota Jember. Namun karena yang dijual adalah kopi tentunya harganya masih bagus dibanding dengan hasil tanaman yang lainnya . Terbukti khususnya masyarakat Dusun Baban Barat sebagai bagian dari Desa Mulyorejo yang mayoritas masyarakatnya menanam kopi , dapat menginvestasikan uangnya untuk kepentingan ibadah haji. Tercatat hampir 70 % warganya sudah menunaikan ibadah haji. Dari hasil penelitian di lapangan, ternyata masyarakat tidak tertarik untuk membangun rumah seperti yang ada di kota. Hal ini disebabkan costnya sangat tinggi. Truck-truck yang mengangkut bahan bangunan menjual dengan harga tinggi sebagai akibat dari sulitnya medan yang dilalui. Dapat diambil kesimpulan bahwa kemiskinan tidak dapat dinilai dari kondisi fisik rumah-rumah yang ada di Desa Mulyorejo yang mayoritas masih terdiri dari sebagian batu bata dan sebagian dari bambu. Masyarakatnya lebih memilih untuk menginvestasikan uangnya untuk kepentingan ibadah haji. Dikategorikan Miskin Ternyata Kaya: Investasi Dalam Bentuk Ibadah Haji Penilaian Pemerintah Kabupaten Jember terhadap Desa Mulyorejo yang dimasukkan dalam standart desa miskin ternyata tidak tepat. Kemungkinan petugas
12
yang mendata sebetulnya tidak terjun langsung ke wilayah Desa Mulyorejo. Tidak bisa disalahkan karena sulitnya medan menuju Desa Mulyorejo. Betapa tidak, jalannya menanjak, berbatu, tanahnya mengandung lumpur sehingga ketika hujan turun , medannya sulit dilalui. Namun ketika peneliti terjun ke Desa Mulyorejo, realita yang didapatkan berbeda. Mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani kopi, bukan buruh tani kopi. Harga jual kopi mengikuti dolar. Biasanya petani kopi menjual hasil panennya kepada ijon yang ada di Desa mulyorejo. Para ijon inilah yang turun ke Desa Pace untuk menjual kembali kopi yang sudah dibeli dari para petani dengan harga yang berlipat. Desa Pace merupakan desa yang terdekat sebagai desa transit untuk menjual kopi ke luar wilayah Jember. Hasil penjualan kopi biasanya diinvestasikan oleh sebagian masyarakat Desa Mulyorejo khususnya Dusun Baban Barat untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah haji sebagai fenomena untuk ajang pamer kekayaan pada suku Madura yang ada di Dusun Baban Barat. Tidak jarang mereka hutang pada rentenir untuk melaksanakan ibadah haji. Dengan menunaikan ibadah haji , orang akan menjadi tersanjung di wilayah desanya. Banyak yang terjerat hutang ketika pulang dari ibadah haji. Menurut informasi istri Kepala Desa Mulyorejo, ada beberapa tokoh agama yang menawarkan jasa dan mempermudah orang untuk mendaftar berangkat haji. Biasanya para calo dari tokoh agama ini mendapat gratis apabila dapat merekrut banyak orang untuk mendaftar haji dari agen yang ditawarkan. Dari fenomena yang terjadi di Desa Mulyorejo dapat disimpulkan bahwa sebenarnya perekonomian masyarakatnya dapat dikatakan mampu, dan tidak tepat dimasukkan dalam kategori desa miskin. Sebagai ilustrasi hampir 70 % mayarakat Desa Mulyorejo berinvestasi untuk menunaikan ibadah haji. Sebuah investasi yang tidak murah.
1.5 Kesimpulan Hasil penelitian tentang Haji Kopi: Paradoks Masyarakat Miskin Kawasan Perkebunan Kopi Kecamatan Silo Kabupaten Jember, dapat disimpulkan antara lain: 1. Pemerintah Kabupaten tidak boleh gegabah untuk menilai suatu wilayah. Penilaian harus didasarkan pada data di lapangan, sehingga bisa dipetakan
13
wilayah-wilayah
mana
saja
sebetulnya
yang
harus
ditingkatkan
perekonomiannya untuk menuju sebuah kabupaten yang maju; 2. Perlu ada perbedaan antara petani kopi dengan buruh tani kopi dari sisi pendapatannya. Petani kopi tingkat perekonomiannya tinggi karena mempunyai
lahan
untuk
dikelola,
sedangkan
buruh
tani
tingkat
perekonomiannya tidak menentu tergantung dari para petani yang menyewa tenaganya. Mayoritas kehidupan ekonomi masyarakat Desa Mulyorejo adalah petani kopi; 3. Harmoninya budaya masyarakat sangat menentukan tingkat kemajuan suatu wilayah; 4. Kemajuan suatu wilayah tidak terlepas dari kemampuan seorang top leader yang memerintah di sebuah wilayah. Desa Mulyorejo sangat beruntung karena Kepala Desanya yang bernama Asirudin mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk membawa kemajuan masyarakat yang dipimpinnya.
Kata Kunci: Haji Kopi, Paradoks, Masyarakat Miskin, Kawasan Perkebunan Kopi, Kecamatan Silo
14