Fitnah Takfir Neo Khawarij Abu Ihsan Al Atsari
Fitnah takfir (mengkafirkan) merupakan bahaya laten yang terus merongrong umat ini. Sejak dahulu, fitnah inilah yang telah menghancur-leburkan barisan kaum muslimin. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kaset beliau, bahwa bid'ah yang pertama kali muncul di tengah umat ini ialah bid'ah yang berkaitan dengan status manusia yang dianggap berbuat salah; dihukumi sebagai muslim ataukah kafir? Dari situ muncullah berbagai macam polemik, hingga akhirnya menyebabkan kaum muslimin saling menumpahkan darah. Lihatlah peperangan-peperangan yang pecah pada awal-awal Islam. Semua tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran menyempal kaum Khawarij. Anda tentu masih ingat peristiwa terbunuhnya Abdullah bin Khabbab bin Al Arat bersama istrinya yang masih mengandung. Dan anda tentu mengetahui alasan kaum Khawarij -sebagai pelaku tunggal- membunuhnya. Dan anda tentu tahu alasan kaum Khawarij melakukan pembangkangan terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Tidak lain karena pemikiran takfir ini. Dari sinilah bid'ah berkembang, hingga pada akhirnya manusia mempersoalkan nama dan sifat Allah. Bahkan berkelanjutan dengan mempersoalkan dzat dan status Allah. Betapa mirip kemarin dengan hari ini. Sekarang ini, pemikiran takfir juga menjadi penyebab berbagai fitnah, pertumpahan darah dan malapetaka yang menimpa umat. Banyak sekali aksi-aksi yang mengatas-namakan Islam dan kaum muslimin. Apabila diselidiki akarnya, niscaya kita mendapatinya berpangkal dari pemikiran takfir ini. Syaikh Al Albani mengatakan dalam kaset Silsilah Huda wan Nur, edisi nomor 170 tertanggal 12/5/1413 H bertepatan dengan tanggal 7/11/1993M, mengatakan,Termasuk diantara kelompok yang menyimpang itu ialah kelompok Khawarij, dahulu dan sekarang. Akar fitnah takfir pada zaman ini -bahkan sejak dahulu- adalah ayat yang selalu mereka dengung-dengungkan, yaitu firman Allah: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS Al Maidah:44). Mereka memahami dan membawakan ayat tersebut tanpa ilmu dan tanpa pemahaman yang mendalam. Kita mengetahui, bahwa ayat ini diulang tiga kali dengan tiga lafadz yang berbeda. Yaitu: 'maka mereka itu adalah orang-orang kafir', dalam ayat berikut: 'maka mereka itu adalah orang-orang zalim' dan dalam ayat berikut: 'maka mereka itu adalah orang-orang fasik'. Lalu karena kejahilannya, mereka hanya berdalil dengan lafadz yang pertama saja. Yakni 'maka mereka itu adalah orang-orang kafir'. Mereka, sama sekali tidak memperhatikan sebagian nash syar'i -Al Qur'an maupun As Sunnah- yang menyebutkan lafadz kufur. Lalu mengartikan kufur dengan makna keluar dari agama alias murtad. Menurut mereka, tidak ada perbedaan antara orang-orang yang jatuh ke dalam kekufuran ini dengan orang-orang musyrik dari kalangan Yahudi dan Nashrani serta pemeluk agama-agama di luar Islam lainnya. Padahal lafadz kufur
dalam Al Qur'an dan As Sunnah tidak selalu berarti kufur keluar dari agama seperti yang mereka dengung-dengungkan itu. Kemudian Syaikh Al Albani melanjutkan,Jadi, kita harus memahami ayat ini dengan pemahaman secara mendalam. Kadangkala maksud lafadz kufur ialah kufur amali. Yaitu amal yang mengeluarkan pelakunya dari sebagian hukum Islam; bukan berarti kafir murtad. Pemahaman ini didukung oleh penjelasan Habrul Ummah dan turjumanul Al Qur'an Abdullah bin Abbas yang telah disepakati oleh umat sebagai imam tiada tandingannya dalam ilmu tafsir. Seakan ketika itu, beliau mendengar apa yang kita dengar sekarang ini. Bahwa ada sebagian orang yang memahami ayat ini dengan pemahaman yang dangkal tanpa perincian. Beliau berkata,'Bukan ke-kufuran yang kalian maksudkan itu!', 'Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam', 'Yakni kufur duna kufur! Barangkali yang beliau maksudkan ialah kaum Khawarij yang membangkang terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, yang kemudian -sebagai akibatnyamereka menumpahkan darah kaum muslimin. Mereka melakukan perbuatan terhadap kaum muslimin yang tidak pernah mereka lakukan terhadap kaum musyrikin. Lalu Ibnu Abbas menegaskan, bahwa maksudnya tidak seperti yang mereka katakan atau mereka kira. Tetapi, maksudnya ialah kufur duna kufur (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam). Jawaban yang singkat dan sangat jelas dari turjumaanul Al Qur'an tentang tafsir ayat di atas, merupakan ketetapan hukum yang tidak mungkin memahami nashnash lainnya, kecuali dengan pemahaman tersebut. Dari penuturan Syaikh Al Albani tersebut jelas diketahui, bahwa akar pemikiran takfir sekarang ini merupakan pemahaman yang dangkal dalam memahami ayat di atas. Tidak merujuk kepada pemahaman Salaf dalam menafsirkannya. Kemudian Syaikh Al Albani menceritakan dialog beliau dengan mantan anggota jama'ah takfir: Kalau kita melihat jama'ah takfir atau kelompok-kelompok yang se-aliran dengannya, serta vonis kafir dan murtad yang mereka jatuhkan atas para penguasa, maka semua itu mereka lakukan atas dasar pemikiran yang rusak. Yakni anggapan, bahwa para penguasa itu telah melakukan maksiat. Oleh karena itu mereka mengkafirkannya. Ada baiknya disebutkan dan diceritakan di sini, bahwa aku pernah bertemu dengan sebagian dari anggota jama'ah takfir. Kemudian Allah menunjuki mereka kepada kebenaran. Lalu keluar dari jama'ah tersebut. Aku berkata kepada mereka,'Kalian mengkafirkan sebagian penguasa. Lalu, mengapa kalian juga mengkafirkan para imam-imam masjid, khathib-khatib masjid, para muadzdzin dan pelayan masjid? Mengapa kalian juga mengkafirkan para guru agama di madrasah-madrasah?' Mereka berkata,'Karena mereka ridha dengan para penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah!'
Aku katakan,'Jika mereka meridhainya dengan keyakinan hati kepada hukum selain hukum Allah, maka dalam kondisi seperti itu kufur amali berubah menjadi kufur i'tiqaadi. Setiap hakim yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan keyakinan, bahwa hukum tersebut lebih layak diterapkan pada masa sekarang ini, berkeyakinan bahwa hukum syar'i yang termaktub dalam Al Qur'an dan As Sunnah tidak layak diterapkan sekarang, (maka) tidak diragukan lagi bahwa ia kafir; kufur i'tiqaadi, bukan kafir amali. Dan barangsiapa ridha dan meyakini apa yang diridhai dan diyakini oleh hakim tersebut, maka kedudukannya sama seperti hakim itu.' Kemudian aku katakan kepada mereka,'Pertama, kalian tidak dapat menghukumi setiap hakim yang memakai undang-undang Barat yang kafir itu -atau memakai mayoritas undang-undang Barat- bahwa apabila ditanya tentang hukum selain hukum Allah ia akan menjawab: Memakai undang-undang Barat lebih layak dan lebih patut sekarang ini! Tidak boleh memakai hukum Islam! Kalian tidak dapat memastikan ia akan menjawab demikian. Sebab, bila mereka menjawab demikian tentu mereka (telah) kafir tanpa ragu lagi! Lalu kalau kita lihat rakyat umum. Diantara mereka terdapat para ulama, orangorang shalih dan lainnya. Alasan kalian menghukumi mereka kafir, apakah hanya lantaran mereka hidup di bawah naungan hukum penguasa tersebut, sama halnya seperti kalian?! Hanya saja kalian menyatakan mereka kafir murtad. Kalian katakan: Berhukum dengan apa yang diturunkan Allah hukumnya wajib! Kemudian kalian katakan: Menyelisihi hukum syari'i hanya dalam bentuk perbuatan tidak berarti orang yang melakukannya murtad dari agama! Padahal itulah perkataan yang diucapkan oleh orang-orang yang kalian vonis kafir. Hanya saja kalian menambahinya -tanpa haq- dengan vonis kafir dan murtad Di antara perkara yang dapat menjelaskan kesalahan dan kesesatan mereka ialah sebagai berikut: Dikatakan kepada mereka: Seorang muslim yang telah bersaksi laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah -bahkan ia mengerjakan shalat- kapankah dihukumi murtad dari agama? Apakah karena sekali saja berhukum dengan selain hukum Allah? Wajibkah diumumkan, bahwa ia telah murtad dari agama karena hal tersebut? Mereka tidak dapat menjawabnya dan tidak dapat menemukan kebenaran dalam masalah ini. Maka, kami terpaksa membuat satu permisalan sebagai berikut: Seorang qadhi memakai hukum syariat. Demikianlah adat kebiasaan serta peraturan yang berlaku. Akan tetapi, dalam satu kasus ia tergelincir dalam kesalahan, ia menjatuhkan hukum yang bertentangan dengan hukum syari'i. Yakni ia memberikan hak kepada orang dhalim dan menahannya dari orang yang didhalimi. Tentu saja itu merupakan hukum dengan selain hukum Allah. Apakah kalian dapat mengkafirkannya dan mengatakannya murtad dari agama? Mereka pasti menjawab: Tidak. Karena ia melakukannya hanya sekali saja. Kami katakan lagi: Jika ia mengulanginya untuk kedua kali, apakah ia kafir? Lalu kami katakan: Bagaimana kalau tiga kali atau empat kali ia mengulangi hal serupa, kapankah kalian menghukumi kafir? Mereka tidak akan dapat meletakkan batasannya dan tidak sanggup menjatuhkan vonis kafir atasnya.
Namun jika diketahui qadhi itu menganggap baik hukum selain hukum Allah -dengan keyakinan berhukum dengan selain hukum Allah itu dibolehkan, dan menganggap buruk hukum syar'i- meskipun baru pertama kali melakukannya, maka ia dapat dihukumi kafir murtad. Sebaliknya, jika qadhi tersebut menjatuhkan hukum selain hukum Allah dalam puluhan kasus, lalu kita tanyakan kepadanya, mengapa engkau menjatuhkan hukum dengan selain hukum Allah? Lalu ia menjawab, aku takut! Atau, aku mengkhawatirkan keselamatan diriku! Atau, aku disuap! Tentu ini lebih buruk dari alasan pertama! Dalam kondisi seperti ini, kita tidak dapat menghukuminya kafir, sampai ia menyampaikan apa yang tersembunyi dalam hatinya, bahwa ia tidak rela berhukum dengan selain hukum Allah. Dalam kondisi seperti itu kita tidak dapat menghukuminya kafir murtad! Kesimpulannya, kita harus mengetahui, bahwa kekufuran sama seperti perbuatan fasik dan dhalim. Terbagi menjadi dua: Pertama. Kufur, fasiq dan dhalim yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Semua itu kembali kepada istihlal qalbi (penghalalan yang menjadi keyakinan hati pelakunya). Kedua. Kufur, fasik dan dhalim yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Semua itu kembali kepada istihlal amali (penghalalan yang masih dalam batas perbuatan pelakunya). Syaikh Salim bin 'Ied Al Hilali dalam kitab Mausu'ah Manahi Syar'iyyah (I/halaman 124-125) juga menceritakan tentang dialog beliau dengan seorang pentolan jama'ah takfir seputar masalah ini, sebagai berikut: Bilamana maksiat tidak melenyapkan keimanan dan tidak menyebabkan pelakunya kafir keluar dari agama, maka penafian iman yang dimaksud dalam hadits-hadits di atas adalah penafian kesempurnaan iman. Bukan penafian iman secara keseluruhan. Dalil-dalilnya ialah sebagai berikut: - Sabda Nabi Jika seorang hamba berzina, maka iman akan keluar darinya seperti naungan. Dan apabila ia meninggalkannya, maka iman akan kembali kepadanya. [Hadits shahih riwayat ABu Dawud (4690) dan lainnya dari hadits Abu Hurairah] - Adapun buktinya, adalah dialog yang terjadi antara diriku dengan salah seorang tokoh jama'ah takfir seputar hadits-hadits tersebut. Dia berdalil dengan hadits tersebut atas kafirnya pelaku zina, peminum khamr dan pencuri ... Akupun membela madzhab Ahlu Sunnah wal Jama'ah dari sisi bahasa. Aku katakan kepadanya: Hadits-hadits ini tidak menunjukkan kepada apa yang anda kehendaki dari sisi bahasa, ditambah lagi atsar-atsar Salafush Shalih dari kalangan sahabat dan tabi'in yang jelas bertentangan dengannya. Bagaimana itu? tanyanya. Aku katakan,Sebab kalimat-kalimat setelah kata nakirah merupakan sifat, dan setelah kata ma'rifah merupakan hal. Kalimat-kalimat ini menjelaskan tentang keadaan pezina, pencuri dan peminum khamr. Yaitu, mereka telah melakukan perbuatan dosa dan keji. Jika ia telah meninggalkannya, maka keimanannya akan
kembali kepadanya.Iapun terdiam seribu bahasa dan tidak mampu memberi jawaban. Kesimpulannya, tidak semua kata kufur, dhalim, fasik atau penafian iman dalam nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah berarti kufur, dhalim atau fasik yang mengeluarkan pelakunya dari agama. Diantaranya ada yang merupakan kufur amali dan ada yang merupakan kufur i'tiqaadi. Disinilah letak ketergelinciran kaum Khawarij. Mereka tidak membedakan kedua penggunaan istilah-istilah di atas. Mereka membawakan seluruh kata-kata kufur dalam nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah kepada (pemahaman) kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Meskipun konsekwensinya, mereka harus mengkafirkan para sahabat g , mengkafirkan penguasa, mengkafirkan masyarakat, mengkafirkan orangtua mereka, bahkan mengkafirkan diri sendiri. Syaikh Al Albani melanjutkan ulasan beliau: Ibnu Taimiyah dan murid beliau, Ibnu Qayyim Al Jauziyah selalu memperingatkan pentingnya membedakan antara kufur i'tiqaadi dengan kufur amali. Kalau tidak, akibatnya seorang muslim dapat terperosok ke dalam kesesatan, menyempal dari kaum muslimin -tanpa ia sadari- sebagaimana yang telah menimpa kaum Khawarij terdahulu dan cikal bakal mereka sekarang Syubhat dan Bantahannya Abdul Mun'im Mushtafa Halimah melontarkan sebuah syubhat Khawarij dalam bukunya berjudul Ath Thaghut, menjadi prolog menuju akar pemikiran Khawarij. Dengan royal mengkafirkan kaum muslimin. Yakni -dalam menetapkan- seseorang telah menghalalkan dosa yang dilakukannya cukup dengan qarinah (indikasi kuat), bahwa ia telah menghalalkannya. Menurutnya, sekarang ini tidak mungkin seseorang mengatakan terang-terangan bahwa ia telah menghalalkan dosa yang diperbuatnya. Jadi cukup dengan indikasi kuat tadi. Berikut perkataannya: "Persyaratan adanya pernyataan halal yang bersifat mutlak sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama itu, kelihatannya sulit diterima oleh kalangan Murji'ah moderen. Karena, mereka hanya menerima istilah 'menyatakan halal' apabila diucapkan dengan lisan, bahwa ia (seseorang itu) menghalalkan hukum selain hukum Allah (benar-benar) dari lubuk hatinya. Pernyataan seperti itu tidak akan dilontarkan oleh thaghut dari segala thaghut, sekalipun di muka bumi ini. Adapun indikasi-indikasi yang terlihat dari amal perbuatan mereka, secara jelas menunjukkan, bahwa mereka menghalalkan hal itu. Bahkan menunjukkan kekufuran dan penghinaan terhadap hukum Allah tersebut. Bagi mereka (Murji'ah modern) tidak bisa dijadikan patokan." Syaikh Abdul Malik bin Ahmad bin Al Mubarak Ar Ramadani telah membongkar syubhat ini dalam kitabnya yang telah kami terjemahkan dengan judul Pandangan Tajam Terhadap Politik, sebagai berikut:
"Sejak dahulu, saya sudah mencium adanya 'keseragaman' antara pengikut mereka dalam masalah pengkafiran para pemakan riba. Syubhat mereka dalam masalah ini ialah klaim adanya indikasi kuat yang menunjukkan bahwa pelakunya menghalalkan perbuatannya itu. Barulah saya tahu, bahwa tidak ada asap jika tidak ada api! Kemudian saya lihat Nashir Al Umar mengisyaratkan hal tersebut dalam bukunya berjudul At Tauhid Awwalan (hal. 66-67), di bawah judul: Maksiat atau Kekufuran. Bahkan secara gamblang Safar Al Hawali menyatakannya dalam buku Wa'd Kisinnger, hal. 138, ia berkata,' … … kitapun telah menganggap halal riba!' Kemudian ia memegang erat pemikiran ini hingga terjadilah apa yang telah saya ungkap di atas tadi. Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Safar Al Hawali dalam kaset Durus Ath Thahawiyah (II/272), di akhir side A dan awal side B. Dia berkata,' … … Metropolitan itu merupakan sebutan lain untuk hotel-hotel yang ada di negera-negara teluk, seperti Dubai ... Disana terdapat hotel-hotel seperti itu. Secara terang-terangan mereka mengatakan, di dalamnya terdapat minuman keras, yang mereka sebut minuman rohani … Sebelum menghidangkan minuman keras, terlebih dahulu disajikan wanita penghibur juga film-film video dan lain-lain. ... Ini jelas merupakan ajakan kepada minuman keras! Ajakan terang-terangan! Bahkan, ditambah lagi dengan pajangan yang menunjukkan -wal 'iyadzu billah- bahwa mereka berdansa bercampur baur lelaki dan wanita dengan pakaian seronok dan meminum minuman keras! Kita berlindung kepada Allah dari kekufuran semacam itu. Bukankah menghalalkan apa yang diharamkan Allah merupakan kekufuran yang nyata, tanpa diragukan lagi?!' Cobalah lihat, ia menggambarkan terlebih dahulu perbuatan maksiat yang dilakukan secara terang-terangan. Kemudian ia menganggap ajakan kepada perbuatan maksiat tersebut sebagai indiasi kuat adanya 'penghalalan'. Kemudian menjatuhkan vonis kafir! Tanpa memberi peluang bagi kita untuk mengatakannya sebagai kufur duna kufur! Dia berkata,'Kekufuran yang nyata!' Inilah bentuk keserampangan mereka dalam masalah 'penghalalan' yang membawa mereka ke dalam bid'ah Khawarij. Lantas apa bedanya antara maksiat yang ia sebutkan tadi dengan maksiat-maksiat lainnya? Mustahilkah bila ada pelaku maksiat di dunia ini yang tidak mengajak temannya turut melakukan perbuatan maksiat tersebut? Yang sangat kita sayangkan -hal (pernyataan) itu- bahwa ia menganggapnya sebagai syarah kitab Aqidah Ath Thahawiyah! Syaikh Al Albani pernah ditanya tentang buku berjudul Zhahiratul Irja' Fil Fikr Islami, karangan Safar Al Hawali. Di dalamnya disebutkan pengkafiran pelaku sebagian dosa besar. Beliau (Syaikh Al Albani) menjawab,"Dahulu saya pernah melontarkan sebuah pendapat -kira-kira tiga puluh tahun yang lalu- ketika saya masih mengajar di Al Jami'ah (maksud beliau, Jami'ah Islamiyah Madinah An Nabawiyah). Dalam sebuah majelis yang besar, saya ditanya mengenai pandangan saya terhadap Jama'ah Tabligh. Ketika itu saya jawab,'Sufi gaya baru.' Sekarang terbetik dalam hatiku untuk mengomentari jama'ah yang muncul sekarang ini dan menyelisihi manhaj Salaf, (maka) saya katakan sebagaimana dinyatakan oleh Al Hafidz Adz
Dzahabi,'Mereka telah menyelisihi Salaf dalam sejumlah persoalan manhaj'. Saya menyebut mereka ini (sebagai) "Khawarij gaya baru". Karena pernyataan-pernyataan mereka mirip ucapan kaum Khawarij, sebagaimana yang dapat kita baca dari perkataan-perkataan mereka. Realita yang ada menunjukkan, bahwa perkataan mereka menjurus kepada manhaj Khawarij dalam masalah pengkafiran pelaku dosa besar. Akan tetapi -saya tidak dapat memastikan, barangkali dugaan saya ini benar- hal itu merupakan kekeliruan mereka atau makar mereka. Hal ini saya tegaskan bertolak dari firman Allah, Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS Al Maidah:8). Saya belum tahu pasti, mengapa mereka tidak menyatakan terang-terangan bahwa setiap perbuatan dosa besar menyebabkan kafir pelakunya. Akan tetapi, mereka selalu menggembar-gemborkan beberapa perkara dosa besar dan tidak menyinggung atau membiarkan dosa besar lainnya. Oleh sebab itu, saya tidak menjatuhkan vonis secara mutlak terhadap mereka. Saya tidak mengatakan mereka itu Khawarij secara mutlak, kecuali dalam beberapa sisi. Ini merupakan perlakuan adil yang diperintahkan dalam ayat tersebut ... ... " Kemudian Syaikh Al Albani menunjukkan keterkejutannya melihat beberapa pernyataan di catatan kaki buku tersebut. Misalnya tuduhan irja' (penganut paham murjiah) terhadap siapa saja yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Beliau sempat heran ketika mengetahui hal itu bersumber dari Safar Al Hawali. Beliau menyebutkan alasannya,"Pasalnya si Safar ini -paling tidak saya katakan- ia menampakkan penghormatannya kepada Syaikh Al Albani." (Dinukil dari kaset bertajuk As Sururiyah! Khawarij Gaya Baru, di akhir side A. Produksi, tasjilat Al Quds Yordania). Inilah Sururiyah! Kemudian Syaikh Abdul Malik melanjutkan: "Keempat orang yang lahir dan dibesarkan di negeri salafiyah (Arab Saudi) ini telah menjadi korban pemikiran Muhammad Quthb. Mereka telah menyimpang dalam beberapa persoalan aqidah. Bahkan, dalam masalah paling prinsipil dalam aqidah. Akibatnya dakwah mereka juga menyimpang. Sebagaimana yang dapat Anda baca dalam buku ini, Insya Allah. Kemudian bisa-bisanya mereka rela menjadi murid orang yang sampai sekarang keberatan melepas pakaian ala Perancisnya!? Lalu, bagaimana mungkin orang seperti itu mampu melepaskan diri dari undang-undang mereka?! Dan juga keempat orang itu tentu lebih alim daripadanya tentang syariat. Semua urusan terpulang kembali kepada Allah! Kemudian saya menemukan perkataan salah seorang tokoh panutan para pemuda tersebut tentang pengkafiran pelaku liwath (homoseksual). Tokoh itu bernama Muhammad Surur Zainal Abidin. Dalam bukunya yang berjudul Manhajul Anbiyaa' fid Dakwah Ilallahu, ia berkata (I/158),"Tidaklah heran bila masalah homoseksual merupakan masalah yang paling urgen dalam dakwah Nabi Luth q . Kalaupun kaumnya menyambut seruan beliau dan beriman kepada Allah serta tidak berbuat syirik, maka hal itu semua tidaklah berguna selama mereka masih melakukan
kebiasaan keji yang mereka sepakati itu dan tidak sembunyi-sembunyi lagi melakukannya." Setelah penegasan tersebut, masihkah tersisa setitik keraguan bagi para pembaca sekalian, bahwa ia telah menganut paham Khawarij?! Kemudian perlu juga disorot maksud pengkhususan masalah ini dengan sembunyi-sembunyi atau tidaknya pelakunya dalam melakukan dosa besar itu dan kaitannya dengan vonis kafir. Serangkai dengan perkataan Salman Audah sebelumnya dalam masalah vonis kafir terhadap orang-orang yang berbuat kefasikan secara terang-terangan. Banyak sumber yang menyampaikan kepadaku, bahwa orang ini (Salman Audah) -ketika ia masih muda- sering mengunjungi Muhammad Surur. Amru bin Qeis Al Mulaai berkata,"Apabila engkau lihat seorang pemuda tumbuh pertama kali di lingkungan ahlus sunnah wal jama'ah, maka berharap baiklah terhadapnya. Dan apabila engkau melihat seorang pemuda tumbuh di lingkungan ahli bid'ah, maka janganlah banyak berharap baik darinya. Karena seorang pemuda itu selalu terwarnai oleh lingkungan tempat pertama kali ia tumbuh." Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah (44). Derajat riwayat ini shahih. Ternyata tak hanya itu saja. Secara gamblang Muhammad Surur ini mengakui -tanpa malu- ia sengaja melakukan hal itu untuk membantah manhaj Salaf yang menyatakan, bahwa syirik merupakan maksiat terhadap Allah yang paling besar. Pada halaman 159 -masih bercerita tentang dosa liwath- ia berkata,"Ada satu hal lagi yang perlu disinggung di sini. Yaitu, setiap nabi diutus oleh Allah untuk membimbing mereka kepada hidayah, memperbaiki kerusakan akhlak dan ibadah mereka. Konsekwensinya, setiap nabi harus mengentaskan problematika yang paling berbahaya, meski ia harus menanggung beban pengorbanan yang berat. Ini bertentangan dengan tindakan sejumlah da'i sekarang ini yang sibuk mengurus persoalan yang sudah usang dimakan zaman....!!!" Itu merupakan bukti, bahwa menurutnya dosa liwath itu lebih besar daripada dosa syirik. Apakah kaum Khawarij terdahulu maupun sekarang sampai pada taraf kesesatan seperti ini sebelumnya? Syaikh Shalih Al Fauzan telah memberi bantahan yang sangat baik terhadapnya dalam kaset yang bertajuk Urgensi Tauhid. Kembali pada masalah 'penghalalan' di atas. Dalam kesempatan ini saya nukil penjelasan Syaikh Al Albani dalam kitabnya berjudul Al Aqidah Ath Thahawiyah: Syarh wa Ta'liq, halaman 40-41. Setelah membantah orang-orang yang serampangan dalam menjatuhkan vonis kafir pelaku dosa besar dengan tuduhan telah menghalalkannya, beliau berkata,"Muncul pula kelompok-kelompok baru yang mengikuti langkah mereka -Khawarij dan Mu'tazilah- dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap kaum muslimin, penguasa maupun rakyatnya. Saya sudah bertemu dengan salah satu kelompok tersebut ... ... Mereka memiliki dalih sebagaimana dalih kaum Khawarij, misalnya nash-nash yang berbunyi, 'Barangsiapa melakukan ini maka ia kafir'." Dalam kesempatan ini pen-syarah telah menyinggung salah satu dari kelompok tersebut. Beliau juga telah menukil ucapan Ahlus Sunnah dalam masalah iman. Bahwa iman itu ialah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Dosa apa saja termasuk kufur amali bukan kufur i'tiqadi. Bahwasanya kekufuran -menurut Ahlu Sunnah- ada beberapa tingkat. Salah satunya, ialah kufur duna kufur (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama). Masalah kufur ini sama dengan masalah iman. Kemudian beliau membawakan beberapa contoh
nyata yang banyak diabaikan dan tidak dipahami oleh kelompok-kelompok yang kami isyaratkan tadi. Pada halaman 363 Beliau rahimahullah berkata,"Ada perkara penting yang harus dicermati. Yaitu berhukum dengan selain hukum Allah kadangkala dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, dan kadangkala hanya terhitung sebuah maksiat dosa besar ataupun dosa kecil. Maka, (maksud) penggunaan kata kufur dalam hal itu -berdasarkan kedua pendapat di atas- ialah kufur dalam arti kiasan, atau kufur ashghar. Hal itu bergantung kepada keadaan si hakim (penguasa) itu ... ... " Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh telah menguraikan masalah 'penghalalan' ini dalam dua kaset syarah Kitab Tauhid karangan Al Mujaddid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bab Mentaati Ulama dan Umara', produksi Tasjilat Thayyibah Madinah Ath Thayyibah, silakan mendengarnya. Terakhir saya katakan: "Sesungguhnya awal penyebab menyimpangnya para pemuda ini dengan pemikiran sesat tersebut adalah datangnya rombongan Ikhwanul Muslimin setelah mereka menimbulkan bencana mengenaskan di tanah air mereka. Baik rombongan itu berasal dari Ikhwanul Muslimin Quthbiyah Takfiriyah made in Mesir maupun Sururiyah Sufiyah produk Syria. Apa sebabnya hingga mereka diusir dan dihantam dengan tangan besi, semuanya lalu lari dan meminta perlindungan ke negeri yang mereka simpan permusuhan mendalam terhadapnya, yaitu negeri Wahabiyah, demikianlah mereka menyebutnya. Mereka memanfaatkannya, karena negeri inilah satu-satunya di dunia Islam yang menangani secara resmi persoalan kaum muslimin. Mereka lebih suka memanfaatkan prasangka baik dan kecintaan penduduknya terhadap mereka, daripada mempelajari tauhid dari orang-orang tua di Nejed. Apalagi dari para ulamanya. Mereka lebih suka memanfaatkan hal tersebut daripada bersyukur kepada Allah yang telah melindungi mereka, kemudian berterima kasih kepada penduduknya yang telah memuliakan mereka. Namun, mereka justru menyebarkan pemikiran-pemikiran sesat dengan bahasa yang menyihir. Mereka terus menyebarkan pengaruhnya, hingga dapat duduk di majelis-majelis dan memegang jabatan-jabatan di instansi-instansi dengan gelar-gelar akademis yang mentereng. Mereka terus merusak generasi muda negeri tauhid ini, dan mendidik mereka hingga menjelma menjadi generasi yang aneh. Diantaranya ialah beberapa orang yang telah saya jelaskan kekacauan mereka dalam masalah aqidah yang paling prinsipil, yaitu tauhid. Lalu adakah masalah yang lebih penting selain aqidah?" Syubhat Lain dan Bantahannya Sebagian orang men-takwil perkataan Abdullah bin Abbas tentang ayat 44 surat Al Maidah tersebut: kufur duna kufur, tertuju khusus kepada orang-orang Bani Umayyah. Syubhat ini dilontarkan oleh Muhammad Quthb, seorang pentolan Quthbiyah asal Mesir. Dalam bukunya Waaqi'una Al Mu'aashir, halaman 334, ia mengatakan,"Ibnu Abbas telah terdhalimi. Beliau ditanya tentang orang-orang Bani Umayyah yang memutuskan hukum tidak dengan wahyu yang diturunkan Allah, (bagaimana) tentang status mereka? Tidak ada seorangpun yang secara mutlak menyatakan, bahwa orang-orang Bani Umayyah kafir. Mereka biasa memutuskan hukum dengan hukum Allah dalam kehidupan masyarakat. Namun mereka menyimpang dari hukum Allah dalam beberapa urusan yang berkaitan dengan
kekuasaan mereka, karena takwil dan mengikuti hawa nafsu mereka. Dengan penyelisihan tersebut, mereka telah membuat tandingan bagi syariat Allah. Maka berkaitan dengan mereka, Ibnu Abbas berkata: "Kufur duna kufur". Mungkinkah Ibnu Abbas menyatakan ungkapan tersebut kepada orang-orang yang menyingkirkan syariat Islam dari akar-akarnya dan menggantinya dengan undangundang produk manusia?" Jawabannya; Sebenarnya, siapakah yang mendhalimi Ibnu Abbas? Yang dimaksud oleh Ibnu Abbas ialah kaum Khawarij yang membangkang terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Syaikh Al Albani di atas. Kelompok yang dikenal suka mengkafirkan kaum muslimin -kala itu- ialah kelompok Khawarij. Karena itu, perkataan Ibnu Abbas tadi tertuju kepada mereka. Merekalah yang memahami ayat di atas secara mutlak tanpa perincian seperti yang dipahami oleh Quth bersaudara (Sayyid dan Muhammad Quth). Lalu Ibnu Abbas -dengan kedalaman ilmunya dalam bidang tafsir- menjelaskan perinciannya sebagai bantahan terhadap pemahaman mereka tersebut. Tentu saja, kaum Khawarij saat itu tidak hanya mengkafirkan penguasa Bani Umayyah saja, tetapi juga seluruh pelaku dosa besar dan semua orang yang memakai selain hukum Allah secara mutlak, tanpa perincian. Jadi, sungguh sangat menyesatkan bila mengkhususkan tafsir Ibnu Abbas tadi untuk khalifah Bani Umayyah saja. Sedangkan ayat 44 surat Al Maidah tersebut berlaku umum atas siapa saja yang berhukum dengan selain hukum Allah, baik itu khalifahkhalifah Bani Umayyah maupun yang lainnya. Terbuktilah, bahwa Muhammad Qutblah yang mendhalimi Abdullah bin Abbas dengan men-takwil perkataan beliau menurut hawa nafsunya dan tanpa argumentasi yang jelas. (Sumber: Majalah As Sunnah Edisi 12/Tahun VI/1423H-2003M)