Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
FILOSOFIS OMAH: BERDASARKAN PERSEPSI DAN KOGNISI MASYARAKAT KOTAGEDE 1
Stefanus Prabani S Budi Purnomo*1 Dosen STIE Pariwisata Indonesia – Semarang * Email:
[email protected] ABSTRACT
One of the basic human needs that must be met is the place to stay. Appeared many interpretations and definitions are evolving to call the shelter. Residence, dwelling, home is a universal language to mention where people settle either temporarily or for life. Omah is the traditional language of the Java community that also has the meaning of a place to stay. This paper aims to find the meaning of a place to stay between the universal language and traditional languages, especially Java language. If we call these words distinctly, differences began to be felt when associated with a particular sentence or events. In simple terms we understand has the same meaning, but in fact the philosophy of different meanings and evolving continuously. Since the time of ancient human civilization, we can find caves human habitation refuge from danger and threat. Growing civilization growing human habitation also comes the areas inhabited by humans as a group activity. Furthermore, we know the home as a place to shelter a number of people who become family or closest relatives of humans. But if we look again to the traditional Java, omah have deeper meaning is not just a place to stay, residential or home. Tjahyono (1998) says that omah is a manifestation of a physical and spiritual contain, as well as things that have been covered. Omah regarded as a place where people can calm the mind, Omah that of Om and Mah, Om means O, meaning the sky, meaning space, are male. Mah means facing up, meaning earth, meaning the land, are female. So the house is meeting men and rabinya (Jatman, 1994). While Prijotomo (2006) says that omah that has meaning shelter under a tree. The conclusion that the universal meaning of the word will be a shift in residence, residential and home. While traditionally said omah more have a fixed meaning, if it follows the philosophycal omah, if the function of the activity changes, then it will also change its meaning and may not be associated with the real meaning of omah. Keywords: residence, dwelling, house, omah
ABSTRAKSI Salah satu kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi adalah tempat tinggal. Muncul banyak penafsiran dan defenisi yang terus berkembang untuk menyebut tempat tinggal. Tempat tinggal, hunian, rumah merupakan bahasa universal untuk menyebutkan dimana orang menetap baik sementara maupun selama hidupnya. Omah merupakan bahasa tradisional masyarakat Jawa yang juga memiliki makna tempat tinggal. Tulisan ini bertujuan untuk menemukan makna dari tempat tinggal antara bahasa universal dan bahasa tradisional khususnya bahasa Jawa. Jika kita menyebut kata-kata tersebut sesungguhnya berbeda, perbedaan mulai terasa manakala dihubungkan dengan kalimat atau kejadian tertentu. Secara sederhana kita pahami memiliki makna yang sama, namun kenyataannya filosofi dari maknanya berbeda dan berkembang terus menerus. Sejak jaman peradaban manusia purba, dapat kita temui goa-goa tempat tinggal manusia berlindung dari bahaya dan ancaman. Semakin berkembang peradaban semakin berkembang pula tempat tinggal manusia munculah daerah-daerah yang dihuni oleh kelompok manusia sebagai tempat beraktivitas. Selanjutnya kita mengenal rumah sebagai tempat tinggal untuk berlindung sejumlah orang yang menjadi keluarga atau kerabat terdekat dari manusia. Namun jika kita lihat lagi ke tradisional jawa, omah memiliki makna yang lebih mendalam bukan sekedar tempat tinggal, hunian ataupun rumah. Tjahyono (1998) mengatakan bahwa omah merupakan wujud dari suatu yang bersifat fisik dan memiliki kandungan spiritual, serta hal-hal yang telah tertutup. Omah dianggap sebagai tempat di mana orang dapat menenangkan pikiran, Omah itu dari Om dan Mah, Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang, bersifat jantan. Mah artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya tanah, bersifat betina. Jadi rumah adalah ruang pertemuan laki dan rabinya (Jatman, 1994). Sedangkan Prijotomo (2006) mengatakan bahwa omah yang memiliki makna berteduh dibawah pohon. Simpulannya bahwa secara universal akan terjadi pergeseran makna kata tempat tinggal, hunian dan rumah. Sedangkan secara tradisional kata omah lebih memiliki makna yang tetap, apabila mengikuti filosofis omah, jika fungsi dari aktifitas berubah, maka akan berubah pula maknanya dan tidak dapat dikaitkan dengan makna omah yang sesungguhnya. Kata kunci: tempat tinggal, hunian, rumah, omah
Pendahuluan Tempat tinggal merupakan kebutuhan manusia yang hingga saat ini harus dan wajib dimiliki oleh manusia. Tanpa tempat tinggal manusia akan mendapat sebutan tunawisma yang sangat tidak enak disengar dan merendahkan martabat manusia. Predikat tunawisma sering diberikan kepada 326
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
para gelandangan yang hidup dikota-kota besar tanpa memiliki rumah yang layak dan hanya menempati ruang kota seperti di kolong jembatan, taman kota, pinggiran rel kereta api, emperan toko dan sebagainya. Meskipun menurut para tunawisma itulah tempat tinggal mereka. Mereka termasuk dalam masyarakat yang berpenghasilan rendah yang mencoba mengubah nasib dikota besar. Meskipun Budihardjo (1991) berpendapat bahwa menentukan golongan masyarakat berpenghasilan rendah tidaklah mudah karena ketidakpastian pendapatannya. Ketidakpastian itulah yang membuat masyarakat ingin mendapatkan kepastian pendapatan. Mereka mencoba mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dikota dengan meninggalkan desa yang pendapatan ketidakpastiannya rendah Tuna Wisma adalah fenomena perkembangan kota yang terjadi di semua kota besar di Indonesia. Tempat tinggal, rumah, hunian dan masih banyak lagi sinonimnya namun banyak dari kita tidak dapat menjelaskan apa makna dari kata-kata tersebut. Kita hanya tahu sebagai tempat berteduh dan istirahat setelah beraktivitas dan berkumpul dengan keluarga. Sesungguhnya ketiga sebutan tersebut memiliki makna yang berbeda jika kita kaitkan dengan permasalah kota. Tujuan Penelitian Mengetahui makna dari tempat tinggal rumah dan hunian yang digunakan secara universal dalam bahasa Indonesia. Makna tempat tinggal, rumah dan hunian akan dibandingkan dengan makna omah dalam bahasa Jawa yang memiliki makna filosofis bagi masyarakat Jawa Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat menemukan makna filosofis dari tempat tinggal rumah, hunian dan omah agar jelas perbedaannya berdasarkan persepsi dan kognisi masyarakat. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kotagede Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan sampel masyarakat yang telah paham tentang pertanyaan penelitian serta mampu menjelaskan persepsi mereka terhadap “rumah, hunian dan omah”. Selain itu mereka juga akan di tanyai tentang kognisi berdasarkan pengalaman mereka terhadap “rumah, hunian dan omah” ketiga masalah penelitian tersebut. Sampel penelitian dilakukan dengan teknik puposif agar jawaban dari responden dapat dipertanggung jawabkan. Pertanyaan penelitian dilakukan bertingkat, pertama responden diberi pertanyaan terbuka tentang “rumah, hunian dan omah” sebagai pencerahan dan respon awal terhadap masalah penelitian. Dari pertanyaan awal tersebut munculah respon dan interpretasi sebagai jawaban yang menunjukan kemampuan responden. Berbagai macam contoh diberikan tentang “rumah,hunian dan omah” yang ada disekitar responden. Pada tahap kedua, responden yang sama diminta untuk berpikir lebih mendalam dan berdasarkan pengalaman mereka jika mendengar kata “rumah,hunian dan omah” proses ini membutuhkan panduan dari peneliti agar jawaban responden bukan persepsi tetapi kognisi (pengetahuan) yang sifatnya lebih pada pengalaman, pengetahuan, pendidikan dan emosional responden. Jawaban pertanyaan tingkat kedua inilah yang menjadi kunci dari jawaban penelitian secara keseluruhan mengenai “rumah, hunian dan omah”. Rumah Rumah banyak digunakan untuk menyebutkan tempat tinggal seseorang. Rumah merupakan kata benda yang menunjukan suatu fisik benda. Arsitektur selalu dipercaya lahir dari kebutuhan akan sebuah “ruang tinggal” a space of staying bukan a space of going dua pengalaman spasial yang berbeda. Goa-goa yang terbentuk oleh alam atau sengaja dibuat, tenda-tenda yang terbuat dari bahan lunak, ruang-ruang yang dibuat dan dapat berpindah tempat, semuanya merupakan ruang tinggal yang tak bertahan lama dan tidak meninggalkan jejak milik kehidupan manusia nomadism atau anti-arsitektur atau oposisi arsitektur. Dengan demikian yang ruang permanen yang digunakan 327
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
untuk ruang tinggal dikenal sebagai arsitektur, keduanya tidak dapat dipisahkan karena ada korelasi yang intens melalui notions of journey. Sangat mungkin nomadism yang melahirkan arsitektur, sebuah upaya meletakkan simbol konstruksi pada lansekap (Armand, 2011). Arsitektur yang dimaksud oleh Armand adalah arsitektur “rumah”, yang memiliki batasan sebagai ruang tinggal oleh manusia atau kelompok manusia baik dalam kategori keluarga atau kerabat. Rumah yang memiliki batasan tertentu akan memberikan makna tertentu sehingga menjadi jelas peruntukannya. Jika rumah merupakan sebuah karya arsitektur, maka menurut Antariksa (2011) pada dasarnya arsitektur dalam hal ini bangunan memiliki dua fungsi yaitu fungsi utama dan fungsi sekunder, bukan berarti kedua fungsi tersebut memiliki arti perbedaan yang besar tetapi keduanya membentuk suatu keseimbangan. Fungsi memiliki peranan yang besar dalam perkembangan arsitektur, namun. Penilaian arsitektur banyak didasari oleh fungsi arsitekturnya. Namun arsitektur sebaiknya tidak memberikan ideologi fungsi tetapi juga harus melihat konotasi yang lainnya dari sebuah arsitektur. Dalam kaitannya dengan rumah sebagai tempat tinggal, maka jika dilihat dari fungsi utama adalah sebagai tempat tinggal namun jika kita tinjau dari fungsi sekundernya sejalan dengan perkembangan jaman maka rumah bisa berubah menjadi toko, warung, bengkel dsb, perubahan itu merupakan fungsi sekunder tetapi tidak meninggalkan fungsi awalnya sebagai rumah. Meskipun pada kenyataannya tidak demikian jika kita mengatakan rumah, maka jika rumah sudah berubah menjadi bengkel, warung atau toko, maka kita tidak lagi menyebut rumah melainkan toko “A”, warung “A” atau Bengkel “A” dsb. Fungsi utama tertutup oleh fungsi sekunder yang dominan meskipun masih berfungsi menjadi tempat tinggal. Sehingga dalam kalimat dapat dengan jelas dikatakan “rumahnya itu di bengkel A”. Dalam pengertian yang luas, rumah bukan hanya sebuah fisik bangunan (struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat. Rumah dapat dimengerti sebagai tempat perlindungan, untuk menikmati kehidupan, beristirahat dan bersuka ria bersama keluarga. Di dalam rumah, penghuni memperoleh kesan pertama dari kehidupannya di dalam dunia ini. Rumah harus menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, memberi kemungkinan untuk hidup bergaul dengan tetangganya, dan lebih dari itu, rumah harus memberi ketenangan, kesenangan, kebahagiaan, dan kenyamanan pada segala peristiwa hidupnya (Frick,2006). Dalam Peraturan Menteri Keuangan Repoblik Indonesia nomor 50/pmk/03/2005, rumah susun sederhana adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang digunakan sebagai tempat hunian dengan luas maksimal 21m2 setiap unit hunian, yang dilengkapi dengan kamar mandi serta dapur yang dapat bersatu dengan unit hunian ataupun terpisah dengan penggunaan komunal dan diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia nomor 60/PRT/1992 tentang persyaratan teknis pembangunan rumah susun. Dalam Bab I Ketentuan Umum Bagian Pertama Pengertian Pasal 1 abjad; b) Lingkungan Rumah Susun adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas, di atasnya dibagun Rumah Susun termasuk prasarana dan fasilitasnya yang secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat pemukiman; c) Satuan Lingkungan Rumah Susun adalah kelompok rumah susun yang terletak pada tanah bersama sebagai satu lingkungan yang merupakan satu kesatuan sistem pelayanan dan pengelolaan; d) Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuansatuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama; e) Satuan Rumah Susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukkan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
328
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
Dari beberapa ualasan tentang rumah, sesungguhnya kata rumah merupakan kata benda yang menunjuk pada fisik bangunan, dalam hal ini adalah bangunan arsitektur yang dibatasi oleh lantai, dinding dan atap dan berada di suatu lahan. Turner (1972) menekankan bahwa rumah (housing) harus dipandang sebagai sebuah proses atau dalam kosa kata bahasa Inggris “housing” harus dipandang sebagai sebuah kata kerja (verb) bukan sebagai kata benda. Sebagai suatu proses, rumah bukan hasil fisik sekali jadi melainkan suatu proses berlanjut dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi penghuni dalam kurun waktu. Maka sebagai mahlik sosial dan berorientasi ekonomi, penghuni dapat menjadikan rumahnya sebagai investasi jangka panjang yang memberikan jaminan penghidupan di masa datang. Hunian Hunian memiliki kata dasar huni dengan akhiran an, struktur kata hunian terbentuk dari kata huni sebagai kata dasar memiliki sinonim menjaga, menduduki, menunggui, meninggali, menempati. Kemudian kata huni diberi akhiran kata an sehingga memiliki sinomim pemukiman, tempat tinggal. Manusia yang berada di hunian disebut sebagai penghuni. Kata penghuni jika kita gunakan dalam kalimat memiliki arti yang positif maupun negatif. Sebagai contoh bangunan itu berpenghuni memiliki arti bahwa 1) bangunan itu ada orang yang tinggal disana; 2) bangunan itu ada mahluk astralnya. Jika kita merujuk pada kalimat peraturan menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, maka yang di sebut sebagai hunian adalah tempat untuk penghuni atau dalam hal ini adalah manusia baik secara individu atau keluarga. Omah Rumah tradisional dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dengan cara yang sama oleh beberapa generasi. Istilah lain untuk rumah tradisional adalah rumah adat atau rumah rakyat. Kriteria dalam menilai keaslian rumah-rumah tradisional antara lain kebiasaan-kebiasaan yang menjadi suatu peraturan yang tidak tertulis saat rumah didirikan atau mulai digunakan. Ada ritualritual tertentu seperti penentuan waktu yang baik, pemancangan tiang pertama, penentuan arah rumah, tata ruang dsb (Antariksa, 2011). Tjahyono (1998) mengatakan bahwa omah merupakan wujud dari suatu yang bersifat fisik dan memiliki kandungan spiritual, serta hal-hal yang telah tertutup. Omah dianggap sebagai tempat di mana orang dapat menenangkan pikiran, Sesuatu yang bersifat fisik menunjuk pada bentuk tiga dimensi yang berada pada suatu halaman yang kita kenal sebagai bangunan. Spiritual menunjuk pada aktivitas penghuni dalam melakukan hubungan batin terhadap sang pencipta dalam rangka ucapan syukur atas segala yang telah diberikan kepada keluarga tersebut. Sedangkan hal-hal yang bersifat tertutup menunjukan bahwa omah memiliki hukum tak tertulis yang dipahami oleh kelompok masyarakat Jawa sebagai adat-istiadat serta ritual yang telah dijalani sebelum dan setelah omah tersebut berdiri, ritual-ritual tersebut telah turun temurun diberikan oleh para leluhur masyarakat Jawa. Jatman (1994) mengatakan bahwa Omah itu dari Om dan Mah, Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang, bersifat jantan. Mah artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya tanah, bersifat betina. Jadi omah adalah ruang pertemuan laki dan rabinya. Omah diberuntukan bagi keluarga Jawa, maksudnya adalah laki-laki dan perempuan yang telah resmi menjadi keluarga dan membangun keluarga yang damai dalam lingkungan omah serta bersyukur atas segala limpahan rahmat dari sang pencipta dalam rumah tersebut. Sedangkan Prijotomo (2006) mengatakan bahwa omah yang memiliki makna berteduh dibawah pohon. Makna yang di berikan sangat luas, jika ditinjau dari sebuah pohon yang rindang akan memberikan keteduhan dari terik matahari, meneduhkan dari hujan serta melindungi dari angin dan badai. Batang pohon yang kokoh. dahan, ranting serta daun meneduhkan memberikan kenyamanan bagi manusia Jawa yang berteduh dibawahnya.
329
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
Dalam perjalanan sejarah kebudayaan Jawa, terjadi perubahan serta pergeseran makna dari omah. Perubahan apresiasi omah di Kotagede sangat dipengaruhi oleh tingkat keagamaan dan pengetahuan mengenai nilai-nilai Jaya yeng terkandung dalam setiap detail bagian-bagian bangunan, sehingga mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap omah. Dampak dari kurangnya apresiasi terhadap omah terlihat banyaknya omah joglo masyarakat Jawa di Kotagede yang tidak terawat dan ditinggalkan oleh penghuninya. Perubahan terjadi seiring dengan berubahnya individu pemilik omah joglo tersebut (Pratiwi Nur, 2013). Omah Jawa kian ditinggalkan, namun tetap berdiri kokoh. Perubahan terjadi bukan pada bentuk atau ruang dari bagian-bagian omah melainkan perubahan pada individu yang menempatinya Persepsi Persepsi merupakan cara kita untuk menginterpretasikan atau menjelaskan sesuatu yang diterima oleh indra kita yang diproses terlebihdahulu oleh kemampuan berpikir. Gibson (1997) menjelaskan bahwa persepsi dapat terjadi kapan saja, dimana stimulus menggerakan indra yang dipengaruki faktor-faktor antara lain sterectip, kepandaian menyaring, konsep diri, keadaan, kebutuhan dan emosi. Persepsi mencakup kognisi (pengetahuan), penafsiran objek tanda dan orang dari sudut pemahaman yang bersangkutan. Secara ringkas persepsi dapat dikatakan sebagai penerimaan, stimulus, pengorganisasian kemudian dapat mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap. Menurut Schiffman & Kanuk (2010), persepsi pada hakekatnya merupakan proses psikologis yang kompleks serta melibatkan aspek fisiologis. Proses psikologis dimulai dari adanya aktivitas memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan sehingga manusia mampu memberikan makna atas suatu obyek. Proses persepsi diawali dengan adanya stimuli yang mengenai panca indra dan disebut sebagai sensasi. Asal stimuli sangat beragam, ada yang berasal dari luar individu atau dari dalam diri individu. Jika dua orang mendapatkan stimuli dengan kondisi yang sama, maka cara setiap orang mengenal, menyeleksi, mengorganisir dan mengintepretasikan stimuli tersebut sangat bergantung pada kebutuhan, nilai dan ekspektasi masing-masing orang tersebut. Pemahaman tentang persepsi, pemaknaan arsitektur merupakan hal penting untuk keberhasilan arsitektur (Hershberger, 1986). Persepsi merupakan kemampuan manusia dalam memaknai sesuatu objek yang diterima, kemudian dengan kemampuan serta kesadarannya mengoganisasikan rangsangan tersebut dan menginterpretasikan menjadi sebuah informasi. Kognisi Benjamin S. Bloom berpendapat bahwa taksonomi tujuan ranah kognitif meliputi enam jenjang proses berpikir yaitu: a. Pengetahuan (knowledge), adalah kemampuan seseorang untuk mengingatingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Pengetahuan atau ingatan ini merupakan proses berpikir yang paling rendah. b. Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan. c. Penerapan (application) adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru dan konkret. Aplikasi atau penerapan ini adalah merupakan proses berpikir setingkat lebih tinggi dari pemahaman. d. Analisis (analysis), mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan kedalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. e. Sintesis (synthesis) adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang 330
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagianbagian atau faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor yang lainnya. Sintesis merupakan suatu proses yang memadukan bagianbagian atau unsur- unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Jenjang sintesis kedudukannya lebih tinggi setingkat dari analisis. f. Evaluasi (evaluation) adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif menurut Bloom. Penilaian atau evaluasi disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai, atau ide, misalnya jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan, maka ia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik, sesuai dengan patokan atau kriteria yang ada (Sudijono Anas, 2001), (Karthwohl, 2002). Pembahasan dan Simpulan Masyarakat secara umum mempersepsikan rumah sebagai tempat tinggal. Tempat tinggal yang dimaksud adalah wujud dari fisik bangunan yang kelihatan oleh indra penglihatan. Hampir semua responden memberi jawaban yang sama. Hal ini menunjukan bahwa dalam pikiran masyarakat rumah adalah bentuk fisik bangunan yang didalamnya dihuni. Pengertian dihuni menjadi ramai dalam diskusi karena ternyata memiliki makna ganda yaitu: 1) penghuni dalam artian manusia; 2) penghuni dalam artian rumahnya kosong tetapi ada “penghuni” (makhluk astral) jika kita merujuk pada teori serta PERPU-RI, maka jelas dikatakan bahwa yang dikatakan rumah menunjukan pada fisik bangunan. Pengertian ini dapat menjadi perdebatan karena masyarakat indonesia ternyata menganggap rumah hanya sebatas bangunan dan tidak memiliki filosofis mendalam sebagai tempat yang akan membentuk keluarga harmonis, beriman, bertaqwa serta akan melehirkan generasi dengan mental yang baik yang sesuai dengan pendapat Frick dan Turner. Kemudian dalam pertanyaan selanjutnya Melalui kognisi, masyarakat mampu menjelaskan berbagai kriteria rumah yang dimaksud berdasarkan pengalaman tentang ciri-ciri dari sebuah rumah. Kognisi responden semakin jelas saat diberi seuatu perubahan rumah yang telah beralih fungsi menjadi toko, bengkel, warung makan dsb. Jika bangunan rumah telah berubah menjadi kios, bengkel, atau tempat usaha lainnya tetapi si pemilik masih menghuni tempat tersebut maka masih dikatakan rumah, namun secara kognisi mereka akan menunjuk tempat tersebut dengan sebutan toko, warung atau bengkel sesuai dengan dominasi tampilan bangunan rumah tersebut. “rumahnya itu yang ada tokonya” kalimat yang dapat menjelaskan perbedaan dari rumah yang sesungguhnya dan rumah yang telah berubah fungsi. Jawaban ini sesuai dengan pendapat Antariksa (2011) bahwa rumah memiliki dua fungsi yaitu fungsi utama dan fungsi sekunder, merujuk pada contoh kalimat, rumah tetap menjadi fungsi utama meskipun telah beralih fungsi menjadi fungsi sekunder (toko), namun masyarakat tetap menunjuk pada fungsi utama yaitu “rumah” Selanjutnya bila kita berbicara tentang hunian, masyarakat secara umum menunjuk pada tempat kost atau kamar sewa, penginapan, rumah susun atau apartemen, Hunian dipersepsikan sebagai tempat tinggal sementara dan bukan rumah yang merupakan tempat tinggal selamanya. Pengertian tempat tinggal sementara diartikan bukan milik pribadi orang yang menghuni, hal ini terkait dengan kepemilikan. Kognisi masyarakat tentang hunian digambarkan ciri-cirinya seperti kamar atau ruang yang berjejer kesamping atau bertingkat, yang menghuni bukan pemilik rumah dan sewaktu-waktu akan berganti penghuni (manusia). Namun jika merupakan rumah yang disewa oleh seseorang mereka tetap mengatakan rumah karena kognisi terhadap fisik bangunan tunggal yang memiliki ciri-ciri atau tetenger sebagai rumah. Sedangkan penghuni rumah dikatakan sebagai penyewa atau kontrak. Jika rumah tersebut memeng terus menerus disewakan oleh pemiliknya, maka sebutan rumah tersebut akan berganti menjadi rumah kontrakan atau dalam kalimat biasanya dikatakan “orang itu tinggal di kontrakan pak Ahmad” kontrakan dalam kalimat tersebut menunjuk pada rumah milik pak Ahmad yang dikontrakan. Sedangkan omah menurut masyarakat umum, mempersepsikan sebagai tempat tinggal yang memiliki halaman, penghuninya memiliki tata krama Jawa yang masih terjaga, bagian bangunan yang memiliki fungsi khusus, memiliki bentuk atap yang khusus, terbuat dari bahan kayu. Secara 331
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
fisik omah Jawa memiliki sebagian ciri-ciri seperti yang dikatakan masyarakat. Namun kognisi mayarakat tentang omah sangat berbeda dengan rumah atau hunian. Terjadi perubahan sikap dan respon dari responden saat ditanyai tentang omah. Hal ini terlihat dari cara menjawab yang agak tenang, kalem yang menunjukan hormat mereka terhadap warisan leluhur dan budaya Jawa. Hal ini sangat jelas bahwa filosofi omah telah mereka pahami dan paham betul tentang makna bagian perbagian dari omah, syarat-syarat tinggal di omah dan konskwensi tinggal di omah Jawa. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjahyomo (1998) mengatakan bahwa omah merupakan wujud dari suatu yang bersifat fisik dan memiliki kandungan spiritual, serta hal-hal yang telah tertutup. Omah merupakan tempat yang sakral dari pertemuan laki-laki dan perempuan untuk membentuk kelurga yang baik sesuai tradisi Jawa. Hal ini sesuai dengan pendapat Jatman (1994). Makna filosofis yang lebih mendalam dari omah seperti yang dikatakan Prijotomo (2006) omah yang mengandung arti berteduh dibawah pohon. Makna filosofis mendalam yang membutuhkan pendalaman khusus untuk mengungkapnya. Perubahan fisik omah sangat jarang dilakukan oleh masyarakat Jawa, menurut responden omah Jawa akan tetap nampak sebagai omah dan jarang terjadi perubahan fungsi yang merubah struktur bangunan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Pratiwi Nur (2013) bahwa dalam omah Jawa terjadi perubahan pada manusianya, jika mereka tidak mampu mengapresiasikan omah Jawa maka omah tersebut akan ditinggalkan. Daftar Pustaka 1. Armand, 2011, Arsitektur yang lain, sebuah kritik arsitektur, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2. Budiharjo Eko, 1998, Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 3. Frick, Heinz, dan Widmer, Perta. 2006. Membangun, Membentuk, Menghuni. Yogyakarta: Kanisius 4. Gibson J.L., J.M Ivancevich dan J. H. Donnely., 1997. Organisasi Perilaku Struktur Proses. Penerbit Erlangga. Jakarta. 5. http://antariksaarticle.blogspot.com/2011/01/pola-permukiman-tradisional.html 6. Jatman, Darmanto, 1994, Psikologi Jawa, Bentang Budaya, Yogyakarta 7. Karthwohl, 2002, A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview, THEORY INTO PRACTICE, Volume 41, Number 4, College of Education, The Ohio State University 8. Pratiwi Nur, 2013, Persepsi Pemilik Omah Joglo dan perubahan nilai-nilai masyarakat di Kotagede, UIN Yogyakarta, Sosiologi. 9. Prijotomo, Josef, (2006), (Re-) Konstruksi Arsitektur Jawa, Griya Jawa dalam Tradisi Tanpatulisan, Wastu Lanas Grafika, Surabaya. 10. Schiffman, L. G. & Kanuk, L. L. 2010.Consumer Behavior. 10th ed. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice Hall 11. Sudijono, Anas. 2001. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 12. Tjahjono, Gunawan, (1989), Cosmos Centre and Duality In Javanese Architectural tradition : The Simbolik Dimention of House Shapes in Kota Gede and Surroundings, Disertasi, University of California, Barkelay. 13. Turner, John FC, (1972), Freedom to Build, Dweller Control of the Housing Process, The Macmillan Company, New York,
332