949
Unmas Denpasar
FENOMENA BIG SALE DI PROPINSI BALI Christimulia Purnama Trimurti Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomika & Humaniora Universitas Dhyana Pura
[email protected] ABSTRAK Pertumbuhan ekonomi di Propinsi Bali yang tergolong tinggi dalam 10 tahun terakhir antara 5-6 persen sehingga potensi besar para pebisnis meraih keuntungan terutama bisnis fashion, shoes, bag and asesories pada pusat perbelanjaan di Propinsi Bali. Pada kenyataan, banyak pebisnis yang memiliki stock barang yang tersisa sehingga mereka terpaksa melakukan big sale dengan diskon 50% hingga 80% pada barang-barang di pusat perbelanjaan. Metode penelitian yang digunakan adalah grounded research pada beberapa pusat perbelanjaan yang berlevel nasional di Propinsi Bali. Hasil penelitian menemukan bahwa Big Sale yang dilakukan pada beberapa pusat perbelanjaan bertujuan untuk menarik perhatian calon pembeli untuk berbelanja sehingga kuantitas produk yang terjual makin banyak, dan memperkecil kerugian akibat sisa stock barang yang tidak terjual. Hasil penelitian ini menyarankan agar pebisnis tidak terlalu optimis saat melihat pertumbuhan ekonomi tinggi karena konsumen memiliki banyak pilihan saat pendapatan mereka meningkat, memilih untuk berinvestasi atau konsumtif dalam berperilaku ekonomi. Kata kunci: Bisnis, Big Sale, Pilihan Konsumen ABSTRACT Economic growth in the Province of Bali which is high in the last 10 years between 5-6 percent, so that the great potential of the business to benefit primarily the business of fashion, shoes, bags and accessories at a shopping center in Bali. In fact, many business people who have a stock of goods left over so they were forced to do a big sale with a discount of 50% to 80% on items in the shopping center. The method used is grounded research on several national-level shopping center in Bali. The study found that the Big Sale is conducted at several shopping centers aim to attract the attention of prospective buyers to shop around so that the quantity of products sold more and more, and the losses incurred by remaining stock of unsold goods. The results of this study suggest that businesses are not too optimistic when he saw high economic growth because consumers have many choices when their income increases, choosing to invest or consumptive in economic behavior. Keywords: Business, Big Sale, Consumer Choice PENDAHULUAN Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Propinsi Bali berada di antara 5%-6% tiap tahun. Pertumbuhan ekonomi tinggi di Propinsi Bali dibandingkan dengan Propinsi lain di Indonesia akibat dari tren pertumbuhan kunjungan wisatawan dan belanja wisatawan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan yang tinggi dalam 10 tahun terakhir mengakibatkan banyaknya tumbuh pusat perbelanjaan di berbagai tempat dan tumbuhnya cenderung berdekatan dengan menawarkan berbagai item barang dan merek berasal dari lokal, nasional maupun internasional. Para pebisnis melihat bahwa Bali adalah pasar yang menjanjikan untuk melakukan perdagangan atau bisnis karena banyak segmentasi Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
950
Unmas Denpasar
pasar yang bisa dibidik, sehingga Bali merupakan pasar kedua potensial setelah Ibu Kota Jakarta. Para pebisnis berharap bahwa barang yang dipasarkan di Bali tidak hanya dikonsumsi masyarakat lokal namun wisatawan asing sehingga barang tersebut diharapkan dapat dikenal dan dipasarkan di negara tempat wisatawan yang berbelanja tinggal. Banyak pakar ekonomi berkeyakinan bahwa ekonomi yang tinggi membuat daya beli masyarakat juga tinggi akibat terjadinya pertumbuhan pendapatan masyarakat sehingga kecil kemungkinan barang yang diproduksi tidak laku di pasaran. Keyakinan pakar ekonomi berbanding terbalik dengan fenomena yang terjadi di Propinsi Bali dimana banyak pebisnis melakukan Big Sale antara 50%-80% pada barang-barang yang masih memiliki kualitas yang masih baik. Calon konsumen tidak langsung melakukan action membeli barang disaat pendapatan mereka yang semakin tinggi, namun konsumen berhati-hati dalam membelanjakan uang dimilikinya dengan mempertimbangkan biaya hidup, ketidakpastian masa depan dan prospek investasi di berbagai tempat yang cukup menggiurkan. Calon konsumen saat ini sangat cerdas dalam mengambil keputusan pembelian walaupun dalam benak pikirannya selalu diserang oleh iklan, promosi, dan tawaran lainnya sebagai salah satu langkah strategi pemasaran dari pebisnis. Peneliti berusaha mengungkapkan motivasi dibalik Big Sale 50%-80% pada pusat berbelanja di Propinsi Bali. Samuelson & Mark (2012:87-88), demand for a good is price elastic or price inelastic? Here are four important factors: 1) A first factor is the degree to which the good is a necessity. If a good or service is not considered essential, the purchaser can easily do without it—if and when the price becomes too high—even if there are no close substitutes. In that case, demand is elastic. If the good is a necessary component of con- sumption, it is more difficult to do without it in the face of a price increase. Thus, demand tends to be price inelastic. 2) A second factor is the availability of substitutes. With many substitutes, consumers easily can shift to other alternatives if the price of one good becomes too high; demand is elastic. Without close substitutes, switching becomes more difficult; demand is more inelastic. 3) A third determinant of price elasticity is the proportion of income a consumer spends on the good in question. The issue here is the cost of searching for suitable alternatives to the good. It takes time and money to compare sub- stitute products. If an individual spends a significant portion of income on a good, he or she will find it worthwhile to search for and compare the prices of other goods. Thus, the consumer is price sensitive. 4) Finally, time of adjustment is an important influence on elasticity. When the price of gasoline dramatically increased in the last five years, consumers initially had little recourse but to pay higher prices at the pump. A profit-maximizing firm may find it advantageous to charge different prices to different customers. This is because different individuals have different tastes and different income/wealth levels; they can thus be expected to have a different willingness to pay for a given product. If the firm cang identify and somehow segregate customers according to their willingness to pay, then it may be able to improve its profit potential compared to a uniform pricing policy. Typically, the firm does not observe the individual’s willingness to pay, but can often identify some general characteristics of particular individuals. (Dobbs, 2000:277) Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
951
Unmas Denpasar
If the entrant attracts only new price-sensitive customers, that’s one thing. If, on the other hand, the new entrant takes away high-willingness to pay regular cutomers of the incumbent, that’s something else. Not surprisingly, the former situation more typically leads to accomodation; the latter often leads to deterrence. Probably the simplest customer sorting pattern of all is extreme brand loyalty to incumbents. In this case, even in the face of higher prices, customers reject the new entrant’s offered capacity and instead back-order and reschedule when denied service at the incumbent. At the other extreme, under efficient rationing of capacity, customer allocate themselves across the fixed-priced capacity of the new entrant discounters in a maner that achieves maximum consumer surplus. This customer sorting rule implies that those with the highest willingness to pay will wxwet ther effort, time, and inconvenience to seek out queue up, and order early to secure he lowest priced capacity. Of course, ne obsiious qualification is that these customers may also have the highest opportunity cost of their time. A third alternative is inverse intensity rationing, a much less threatening customer sorting pattern posed by new low-priced capacity in a segmented market. In this instance, the low-willingness-to-pay customers quickly absorb all the capacity of the low-priced entrant. Starting with a customer just willing to pay the entrant’s low price, one proceeds conceptually up the demand curve only as far as required to stock out the new entrant. (McGuigan, et.al, 2008:491) Eliaz & Spiegler (2008), We study monopolistic design of a menu of non-linear tariffs when consumers have biased prior beliefs regarding their future preferences. In our model, consumers are “optimistic” if their prior belief assigns too much weight to states of nature characterized by large gains from trade. A consumer’s degree of optimism is his private information, and the monopolist employs the menu of non-linear tariffs to screen it. We characterize the optimal menu and show that the existence of non-common priors has significant qualitative implications for price discrimination and ex-post inefficiency. Finally, the characterization enables us to interpret aspects of real-life menus of non-linear tariffs. Flores, et.al. (2014), Sell-through is a widely used performance metric in retail supply chains, but limited empirical research exists about its validity for that purpose, given its dependence on many different variables. This study analyses to what extent sell-through is influenced by fixed store attributes (e.g. store size), and what impact on this metric operational management decisions (e.g. replenishment) have. Using data collected from a fashion retailer, a sales model was developed to estimate the statistical contribution of the different types of impacts to sell- through. Results of the study provided strong empirical evidence that fixed store attributes such as store size can impact significantly sell-through levels. Operational management decisions also have a statistically significant impact on sellthrough, but to a much smaller extent. This makes sell-through more valuable for compare performance when fixed store attributes are not differential. Holmes (2005), I show that a firm’s price elasticity of demand in a market can be expressed as the sum of two parts: the industry-demand elasticity and the cross-price elasticity. The first measures the tendency of consumers in a market to stay home when the price goes up; the second the tendency to switch suppliers. In the monopoly case (in which the cross-price elasticity is zero) and the collusive case (in which the cross-price elasticity is irrelevant), discirimination between markets is due to difference in industry-demand Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
952
Unmas Denpasar
elasticity. In the noncooperative oligopoly case, equilibrium price diffrentials can be acounted for both by differences in cross-price elasticity as well as differences in industrydemand elasticity. Cachon & Swinney (2009), We find that a retailer should generally avoid committing to a price path over the season (assuming such commitment is feasible)—committing to a markdown price (or to not mark down at all) is often too costly (inventory may remain unsold) even in the presence of strate- gic consumers; the better approach is to be cautious with the initial quantity and then mark down optimally. Furthermore, we discuss the value of quick response (the ability to procure additional inventory after obtain- ing updated demand information, albeit at a higher unit cost than the initial order). We find that the value of quick response to a retailer is generally much greater in the presence of strategic consumers than without them: on average 67% more valuable and as much as 558% more valuable in our sample. In other words, although it is well established in the literature that quick response provides value by allowing better matching of supply with demand, it provides more value, often substantially more value, by allowing a retailer to control the negative consequences of strategic consumer behavior. Li & Zhang (2013) We find that accurate demand information may improve the availability of the product, which undermines the seller’s ability to charge a high preorder price. As a result, advance demand information may hurt the seller’s profit due to its negative impact for the preorder season. This cautions the seller about a potential conflict between the benefits of advance demand information and price discrimination when facing strategic consumers. A common practice to contain consumers’ strategic waiting is to offer price guarantees that compensate preorder consumers in case of a later price cut. Under price guarantees, the seller will reduce price in the regular season only if the preorder demand is low; however, such advance information implies weak demand in the regular season as well. This means that the seller can no longer benefit from a high demand in the regular season. Therefore, under price guarantees, more accurate advance demand information may still hurt the seller’s profit due to its adverse impact for the regular season. We also investigate the seller’s strategy choice in such a setting (i.e., whether the preorder option should be offered and whether it should be coupled with price guarantees) and find that the answer depends on the relative sizes of the heterogeneous consumer segments. Borenstein (1985), we show that when brands are heterogeneous, competition does not prevent discrimination. The power to earn economic profits is not necessary for a firm to maintain discriminatory prices. Our models treats formally the fact that consumers differ not only in the utility they derive from a good, but also in how strongly they prefer one brand over all others. In markets where firms are very competitive, sorting consumers on the strength on brand preference produces larger price differentials between group than sorting on the basis of consumers reservation prices for the good. When firms sort customers on the basis of strength of brand preference, however, we find that the output and welfare effects are generally les favorable than when sorting is more closely related to consumers reservation prices. Chen (1999), Oligopoly price discrimination in the retail market prevents a manufacturer from inducing optimal retail margins through any wholesale price. This Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
953
Unmas Denpasar
motivates the manu- facturer to impose resale price maintenance. In a model of third-degree price discrimination by rival retailers, a retail price ceiling (or floor) enables the manufacturer to restore the first best. Imposing a fixed retail price is generally not optimal because the manufacturer wants to eliminate price discrimination based on consumers’ abilities to switch retailers, not based on consumers’ valuations. Under resale price maintenance, welfare may either increase or decrease, and it may increase even when total output is reduced. Zang (2009) The research indicates that in the highly homogeneous apparel market, the pre-sale mode in which the products are made-to-order can utilize the highly efficient feedback of online pre-sales to provide guidance for traditional distribution channel by making accurate demand forecasts in a certain environment. This could help to resolve the problem of overstocked inventories b providing relative reference for the apparel industry in its subsequent operations. The mode of production-distribution network after optimization is able to make reference to the real operations of pre-sale mode in the appareal industry. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan grounded research pada beberapa pusat perbelanjaan yang berlevel nasional di Propinsi Bali. Grounded research adalah pendekatan kualitatif dengan data yang terutama dikumpulkan melalui wawancara bebas (Masri dalam LP3ES, 2012:3). Menurut Glaser dan Strauss (1967) pada LP3ES (2012:8), grounded research merupakan reaksi yang tajam dan sekaligus menyajikan jalan keluar dari “stagnasi teori” dalam ilmu – ilmu sosial dengan penitikberatan pada sosiologis. Penentuan sampel pada penelitian ini adalah Sampel Aksidental. Sampel Aksidental adalah metode penentuan sampel yang didasarkan secara kebetulan, tanpa ada pertimbangan apapun (IB Mantra, Kasto, dan Tukiran dalam LP3ES, 2012:173). HASIL DAN PEMBAHASAN Di berbagai tempat pusat berbelanjaan di Propinsi Bali sering terlihat adanya Big Sale pada berbagai barang. Hal ini dilakukan mengingat bahwa barang yang dijual pada pusat perbelanjaan mengalami perlambatan dalam pertumbuhan kuantitas penjualan barang. Pertumbuhan ekonomi yang tergolong tinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (20062015) di Propinsi Bali yaitu antara 5%-6% per tahun bukan menjadi jaminan barang terserap dipasaran. Ada faktor inflasi yang membuat daya beli konsumen makin berkurang karena dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2006-2015), inflasi yang terjadi di Provinsi Bali hampir sama dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Bali. Hal ini yang membuat penjualan barang mengalami kesulitan terserap penuh pada konsumen, sehingga produsen melakukan strategi harga dengan melakukan Big Sale. Masyarakat Bali cenderung lebih berhati-hati melakukan pola konsumtif pada barangbarang yang memiliki kriteria kebutuhan sekunder, dan lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan primer akibat biaya hidup yang cukup tinggi. Menyadari adanya perlambatan pertumbuhan penjualan maka produsen yang menjual barang-barang di pusat perbelanjaan cenderung melakukan upaya menarik minat konsumen melalui Big Sale 50%-80% pada barang-barang sekunder. Big Sale sering dilakukan pada akhir pekan setiap minggu dan event-event tertentu yang dirancang oleh produsen dibawah koordinasi Manajemen Pusat Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
954
Unmas Denpasar
Perbelanjaan. Semua barang yang memiliki pergerakan yang lambat pada penjualan langsung dilakukan upaya Big Sale. Produsen lebih memilih menggunakan salah satu strategi bauran pemasaran yaitu strategi harga untuk memikat hati konsumen berbelanja barang yang sebenaranya tidak terlalu dibutuhkan/dapat ditunda pembeliannya. Jarak yang jauh antara Propinsi Bali dengan Propinsi yang menjadi pusat produksi ini yang menjadi suatu alasan lainnya yang membuat diskriminasi harga menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh produsen agar menghindari pembengkakan biaya akibat barang yang tidak laku dipasaran. Produsen berpikir lebih baik membanting harga serendah-rendahnya pada barang yang tidak laku dipasaran dibandingkan dengan mengirim kembali barang yang tidak laku ke pabriknya di luar Bali. Jika produsen mengirimkan barang yang tidak laku kembali ke tempat produksi maka produsen mengeluarkan biaya pengiriman, sehingga produsen merasakan kerugian yang jauh lebih besar. Diskon besar-besaran hingga 80% merupakan jalan yang baik untuk mendongkrak penjualan terutama untuk menghabiskan sisa barang-barang lama yang ada di gudang. Program Big Sale yang dilakukan oleh produsen pada saat produk tersebut sudah 3 bulan dipasaran dimana produsen menganalisa kecenderungan tren penjualan produk tersebut apakah tren peningkatan penjualan baik ataupun tidak baik baik. Program Big Sale ini cukup diminati oleh masyarakat di Propinsi Bali, sehingga hampir semua produsen melakukan hal ini dan menjadi suatu fenomena di semua pusat perbelanjaan yang ada di Bali. Pusat perbelanjaan yang melakukan Big Sale memiliki kecenderungan lebih ramai pengunjung dibandingkan saat tidak melakukan Big Sale. Konsumen sangat betah memilih barang-barang yang masuk dalam program Big Sale karena konsumen kecenderungan berpikir bahwa mendapatkan harga lebih murah jauh dengan barang yang berkualitas akan lebih menguntungkan dalam menghemat biaya pengeluaran. Program Big Sale menjadi suatu pilihan utama bagi produsen yang menjual sisa barang yang berkualitas dengan harga yang lebih murah dari sebelumnya. Biasanya peluncuran program Big Sale diikuti oleh perancangan dan peluncuran produk baru yang lebih baik dan menarik dibandingkan produk sebelumnya. Produsen melakukan hal ini supaya konsumen tetap terpikat dan setia pada penggunaan brand produk yang dimilikinya. Produsen terus bekerja keras untuk merebut hati konsumen di Propinsi Bali melalui strategi pemasaran karena konsumen saat ini berpikir lebih cerdas dalam mengatur keuangannya terutama sebelum memutuskan untuk melakukan konsumtif pada barang-barang sekunder pada pusat perbelanjaan. SIMPULAN Fenomena Big Sale pada pusat perbelanjaan di Propinsi Bali merupakan fenomena yang makin marak terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2006-2015). Fenomena ini terjadi akibat konsumen semakin cerdas mengatur keuangan akibat dari kondisi makro ekonomi Propinsi Bali yang membuat daya beli konsumen makin berkurang akibat inflasi yang cukup tinggi. Diskon hingga 80% pada berbagai item barang merupakan kesukaan dari konsumen dimana konsumen merasa lebih hemat berbelanja, dan menguntungkan pula bagi produsen pada barang-barang yang sulit laku dapat terjual murah dibandingkan harus mengirim balik ke tempat produksi yang jauh sehingga dapat menambah biaya transport. Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
955
Unmas Denpasar
UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada LP2M Universitas Dhyana Pura yang telah mendukung hasil penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan baik. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terkait dalam penelitian ini yang telah memberikan data dan informasi sehingga penelitian ini dapat selesai. DAFTAR PUSTAKA Borenstein Severin, 1985, Price Discrimination in Free-Entry Markets, Rand Journal of Economics, Vol.16 No.3 Cachon Gerard P. & Swinney, 2009, Purchasing-Pricing & Quick Response in the Presence of Trategic Consumer, Management Science, Vol.55 No.3, ISSN 0025-1909 Chen Yongmin, 1999, Oligopoly Price Discrimination and Resale Price Maintenance, RAND Journal of Economics, Vol.30 No.3 Dobbs Ian M, 2000, Managerial Economics (Firms, Markets, and Business Decisions), First Published, Oxford University Press, ISBN 0-19-877570-9 Flores JE, Boada P, Moscoso P, An Empirical Analysis of Sell-through in a Fashion Setting, International Journal of Supply Chain Management IJSCM, Vol. 3, No. 4, December 2014, ISSN: 2050-7399 (Online), 2051-3771 (Print) Holmes Thomas J, 1989, The Effects of Third-Degree Price Discrimination in Oligopoly, The American Economic Review, Vol.79 No. 1, 24-250 Kfir & Spiegler Ran, 2008, Theoretical Economics 3 (2008),459–497, 1555-7561/20080459 Li Cuihong & Zhang Fuqiang, 2013, Advance Demand Information-Price Discrimination & Preorder Strategies, Manufacturing & Service Operations Management, Vol.15 No.1, ISSN 1523-4614 (print)/ISSN 1526-5498 (online) LP3ES, Editor : Sofian Efendi & Tukiran, Metode Penelitian Survei, Edisi Revisi 2012, Penerbit LP3ES, 2012 McGuigan James R., Moyer Charles R., Harris Frederick H.deb, 2011, Managerial Economics (Applications, Strategy, and Tactics), Twelfth Edition, South-Western Cengage Learning, ISBN 1-4390-7923-4 Samuelson Willian F. & Marks Stephen G., 2012, Managerial Economic, Seventh Edition, John Wiley & Sons Inc., ISBN 978-1-11804158 Zhang L, 2015, Dynamic Optimization Model For Garment Dual Channel Supply Chain Network: A Simulation Study, Int k simul model 14, Original Scientific Paper, ISSN 1726-4592
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016