JIK Vol. 1 No. 18 Mei 2015: 927 – 934 E-ISSN: 2527717006
FAKTOR SOSIAL BUDAYA YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA KONSUMSI MAKANAN PADA MASYARAKAT SUKU KAILI DI KOTA PALU PROPINSI SULAWESI TENGAH Subur Djati Prayugi1, Ansar2, Abd. Farid Lewa3 Abstrak :Kaili merupakan kelompok suku asli terbesar di Sulawesi Tengah, yang tersebar di beberapa wilayah termasuk di Kota Palu. Suku ini memiliki budaya yang khas dalam tata kehidupan sehari-hari, termasuk ragam budaya yang berhubungan dengan makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor sosial budaya yang berhubungan dengan pola konsumsi makanan pada suku Kaili di Kota Palu. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi cross sectional. Penentuan sampel lokasi menggunakan teknik multi stage sampling, sedangkan penentuan responden di lokasi terpilih menggunakan purposive sampling dengan kriteria objektive suku asli Kaili dan merupakan tokoh adat Kaili. Jumlah responden seluruhnya 16 keluarga. Pengumpulan data melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang memuat pertanyaan terbuka. Hasil penelitian antara lain teridentifikasinya faktor-faktor sosial budaya yang berhubungan dengan pola konsumsi makanan pada suku Kaili di Kota Palu. Rata-rata frekwensi makan suku Kaili sebanyak tiga kali sehari. Makanan yang sering dihidangkan dan sangat disukai adalah ikan bakar, ikan palumara, sayur daun kelor (uta kelo), atau sayur terong (sembala palola), sayur nangka muda. Dalam makanan keluarga jarang dihidangkan buah. Pisang goreng dimakan dengan sambal merupakan kudapan yang populer untuk sore hari. Minuman saraba dipercaya sebagai minuman hangat yang menyehatkan. Beberapa tanaman herbal yang dipercaya memiliki khasiat untuk penyembuhan penyakit antara lain anggune bunga kuning, mantalalu, panutu, kumis kucing, sivulum boa, bangkudu (mengkudu), pala, balacai, daun katumbar. akar durian. Makanan tabu (dipantang) antara lain pisang gapi (loka dano) untuk bayi, pisang sisa dimakan burung dan ekor ayam bagi remaja putri, nenas bagi ibu hamil, sayur daun kelor (uta kelo) pada saat ada kematian (kedukaan). Masakan kesukaan suku kaili: ikan bakar, ikan palumara, sayur daun kelor (uta kelo), atau sayur terong (sembala palola), sayur nangka muda. Kata Kunci: Sosial budaya, pola makan, dan suku kaili. Abstract : Kaili is a majority original ethnic group in Central Sulawesi that is spreaded in several region including Palu city. This ethnic has a typical culture in daily life system including culture variation associated with food. This study was aimed to know socio-cultural factors associated to food consumption pattern among Kaili ethnic in Palu city.This study was a qualitative-descriptive study with cross-sectional design. Selection of location used multistage sampling, whereas selection of respondent used purposive sampling with criteria of original ethnic of Kalili and tradisional leader of Kaili. There were 16 families involved in this study. Data were collected by interview using questionnaire with open questions. Study result showed several social factors associated with food consumption pattern among Kaili ethnic in Palu city. Average meal time of Kaili ethnic was three times a day. The frequent consumed food and highly favored were baked fish, Palumara fish, moringa oleifera leaves vegetables (uta kelo), eggplant vegetables (sembala palola) or young jackfruit vegetables. In family food, it is seldom to serve fresh fruit. Fried banana with condiment was a popular snack in the afternoon. Drinking Saraba was believed as healthy warm drinking. Several herbal plant believed to heal the diseases such as anggune bunga kuning, mantalalu, panutu, kumis kucing, sivulum boa, noni, nutmeg, balacai, coriander leaves, durian root. Taboo food such as Gapi banana (loka dano) for baby, banana that has been eaten by bird and chicken tail for female adolescent, pineapple for pregnant women, moringa oleifera leaves vegetables (uta kelo) when someone died in the family. Favourite food of Kaili ethnic : baked fish, palumara fish, moringa oleifera leaves vegetables (uta kelo), or eggplant vegetables (sembala palola), and young jackfruit vegetables. Keywords : Socio-Cultural, Food consumption pattern, Kaili ethnic.
927
JIK Vol. 1 No. 18 Mei 2015: 927 – 934 E-ISSN: 2527717006
1
Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palu Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palu 3 PENDAHULUAN (Introduction) Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palu 2
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor sosial budaya yang berhubungan dengan pola konsumsi makanan pada suku Kaili di Kota Palu.
Suku Kaili tersebar luas di Propinsi Sulawesi Tengah, mulai dari Kabupaten Donggala, Sigi, Palu, Parigi-Moutong, Poso dan Tojo-Una Una. Istilah Kaili berasal dari nama sebuah pohon yang banyak tumbuh di kawasan tersebut, yaitu pohon “Kaili”. Suku ini memiliki budaya yang spesifik diwariskan secara turun temurun, khususnya yang menyangkut aspek kehidupan masyarakat seharihari.
METODE PENELITIAN (Methods) Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi cross sectional yang dilaksanakan pada bulan Oktober dan Nopember 2014. Lokasi penelitian meliputi 4 (empat) wilayah kecamatan di Kota palu, masing-masing diwakili oleh 2 kelurahan yang dipilih secara simple random sampling. Adapun responden dipilih secara purposive dengan kriteria objektive Suku asli Kaili, dan merupakan tokoh masyarakat atau tokoh adat Kaili setempat. Jumlah sampel seluruhnya 16 responden. Pengumpulan data melalui wawancara terhadap kepala keluarga didampingi oleh istrinya. Wawancara dengan menggunakan kuesioner yang memuat sejumlah daftar pertanyaan terbuka. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesuioner lebih bersifat pertanyaan pokok dan bisa berkembang guna dapat menggali informasi yang lebih mendalam atau lebih detail.
Faktor-faktor sosial budaya memiliki keterkaitan langsung dengan kebiasaan makan (food habits) masyarakat. Terdapat berbagai nilainilai atau norma sosial budaya yang berkembang pada suku Kaili yang berkaitan dengan makanan atau kebiasaan makan, seperti makanan sebagai simbol persembahan, ungkapan kasih sayang, persahabatan/pergaulan, makanan berkhasiat penyembuhan/kesehatan, makanan tabu, dan sebagainya. Kenyataannya masih sangat sedikit catatan atau dokumen ilmiah tentang Kebudayaan Suku Kaili, sehingga adat budaya tersebut hanya terbatas beredar dalam bentuk verbal saja dengan nara sumber yang terbatas. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mengeksplorasi faktorfaktor sosial budaya suku Kaili kaitannya dengan kebiasaan makan atau pola konsumsi makanan, dan menuangkannya dalam bentuk naskah atau dokumen tertulis.
HASIL PENELITIAN (Result) 1. Pola Konsumsi Makanan Pola konsumsi makanan masyarakat suku Kaili di wilayah Kota Palu antara lain sebagai berikut:
928
JIK Vol. 1 No. 18 Mei 2015: 927 – 934 E-ISSN: 2527717006
a. Frekwensi makan sehari umumnya tiga kali makan, yaitu makan pagi (sarapan), makan siang, dan makan malam. b. Menu makanan yang sering disajikan antara lain untuk sarapan berupa nasi, ikan goreng, ikan bakar, ikan palumara, sekali-kali uta dada (ayam masak santan), sayur daun kelor (uta kelo), atau sayur terong (sembala palola), sayur nangka muda. Menu makan siang dan makan malam pada umumnya hampir sama dengan sarapan. c. Menu sarapan yang juga populer dan sering dikonsumsi adalah nasi kuning. d. Keluarga jarang menghidangkan buah dalam menu makanannya. e. Makanan selingan yang populer adalah pisang goreng, kue tetu yang dikonsumsi sore hari teman minuman kopi atau teh. f. Masakan yang paling disukai adalah sayur daun kelor (uta kelo) dan nasi jagung (talebe).
sembala bunga pepaya (biasa dicampur daun paku), dan uta bavavoa (sayuran khas Kaili). b. Makanan atau bahan makanan yang tidak dilegalisasi sebagai makanan suku Kaili. Suku Kaili tidak memakan daging kelinci, daging kuda, daging kerbau, ikan lele, ikan pari, ikan hiu, biji lamtoro, pete dan jengkol, karena alasan makanan tersebut tidak lazim atau tidak layak dikonsumsi, tidak dibudidayakan, tidak memetik atau menangkap dari alam sekitar, dan makanan tersebut tidak diperjual belikan di pasar lokal. Daging babi, daging anjing, kelelawar (paniki), dan katak tidak dimakan oleh Suku Kaili karena mayoritas masyarakat Kaili beragama Islam. c. Makanan yang diyakini membuat tubuh sehat. Terdapat beberapa makanan/minuman yang diyakini oleh suku Kaili dapat membuat tubuh menjadi sehat, kuat, atau berkhasiat untuk menyembuhan atau pengobatan penyakit. Misalnya minuman saraba yang memberikan efek kesegaran dan kehangatan dalam tubuh. Tanaman anggune bunga kuning, mantalalu, panutu, kumis kucing dipercara memiliki khasiat penyembuhan untuk penyakit batu ginjal dan darah tinggi. Tanaman sivulum boa untuk memperlancar aliran darah. Buah bangkudu (mengkudu) dipercaya untuk mengobati
2. Faktor Sosial Budaya yang berhubungan dengan Pola Konsumsi Makanan a. Makanan atau bahan makanan yang digemari. Terdapat beberapa menu atau masakan yang memiliki keunikan dan menjadi ciri khas sebagai makanan suku Kaili antara lain nasi talebe (beras campur jagung kuning), ayam bakar bumbu khas Kaili, uta dada (sejenis opor ayam), uta kelo, sembala palola (sayur terong), sayur nangka muda,
929
JIK Vol. 1 No. 18 Mei 2015: 927 – 934 E-ISSN: 2527717006
penyakit dalam dan darah tinggi. Buah pala dan balacai untuk mengobatan darah tinggi, sedang daun katumbar (bangkara) untuk penyembuhan luka. Akar pohon durian untuk penyakit gula atau diabetes. Daun sirsak digunakan untuk menyembuhkan banyak jenis penyakit. Air kelapa muda dapat menyembuhkan penyakit mag. Pisang ambon untuk menurunkan demam.
kuku, atau kulit kaki, bahkan sampai potongan ujung jari kelingking di dalam sayur tersebut. Pada saat yang sama juga dilarang memasak teri duo dan udang bakar, karena dianggap dapat mengakibatkan kematian yang beruntun atau bertambah orang yang meninggal. Bayi dan balita tidak diberi makan pisang gapi (loka dano/pisang barangan) alasannya dapat menyebabkan telinga bernanah. Wanita muda belum menikah pantang makan pisang sisa burung/kelelawar, karena kelak akan mendapatkan jodoh duda. Mereka juga pantang makan ekor ayam, karena akan menjadi genit (nakese/birahi), dilarang makan di samping pintu karena akan kehilangan keperwanannya. Pria dan wanita dilarang makan berpindah-pindah karena kelak akan memiliki banyak istri atau kawin berulang kali. Pria bujang juga pantang makan pisang sisa burung/kelelawar, karena nantinya mendapatkan jodoh janda. Ibu hamil pantang makan cumicumi, karena kelak bayinya menjadi lemah seperti yang tidak bertulang. Ibu hamil pantang makan gula merah karena dapat menyebabkan perdarahan saat melahirkan. Juga pantang makan nenas
d. Makanan yang diyakini dapat membuat sakit atau mendatangkan penyakit. Bahan makanan yang diyakini tidak baik untuk dimakan karena dapat menimbulkan penyakit antara lain: pisang ambon dan kamonji (kluwih) penyebab bisulan, daging kambing penyebab asma dan darah tinggi, buah nangka penyebab peningkatan kolesterol dan stroke, jambu air memperparah gejala malaria. Makanan yang pedas dan asam penyebab sakit perut atau diare bagi anak-anak. e. Makanan atau bahan makanan yang dipantang. Makanan pantangan yang berlaku umum untuk semua golongan (umur dan jenis kelamin), yaitu dilarang memasak dan memakan sayur daun kelor (uta kelo) atau nagka muda disaat terjadi kedukaan (dalam keluarga sendiri atau di tetangga). Alasan yang dikemukakan adalah ditemukan serpihan
930
JIK Vol. 1 No. 18 Mei 2015: 927 – 934 E-ISSN: 2527717006
muda, karena menyebabkan keguguran.
atau sayur daun ubi jalar yang mempunyai makna agar rejekinya kelak lancar atau menjalar. Pada Upacara Tolak Bala, nasi satu bungkus dan telur satu butir dimakan bersama-sama. Pada upacara aqiqah dilakukan pemotongan hewan (biasanya kambing yang kemudian dimasak) dan dihidangkan pula pisang cepatu pagata (kepok)/pisang raja/pisang gapi satu sisir. Pada upara Mauilid Nabi disajikan nasi kuning, telur, misang mas, masakan ayam, dan secara khusus ada pohon telur (Baraka). Acara baca doa atau syukuran selalu disediakan kado minya sebagai persembahan bagi arwah leluhur yaitu sesajian berupa nasi ketan (empat warna) dengan satu atau dua butir telur ayam kampung rebus yang diletakan di tengahnya, serta satu sisir pisang gapi (loka dano/pisang barangan). Kado minya ini disajikan secara khusus dan tersendiri dalam piring dan ditempatkan dalam baki. Warna merah melambangkan adat sudah dibuat, warna kuning melambangkan terlahir kembali, warna putih melambangkan kesucian, dan warna hitam melambangkan keburukan. Untuk upacara membangun rumah baru selalu disediakan satu tandan buah pisang beserta seuntai ketupat untuk digantungkan pada tiang raja rumah dimaksudkan sebagai persembahan bagi para leluhur. Dalam penelitian ini tidak tergali informasi mengenai adanya jenis
f. Peran makanan dalam simbol budaya. Makanan atau masakan yang sering disajikan pada upacara/acara adat dalam kaitannya acara paboti (pesta pernikahan), sambolu gana (pelamaran), suraya pokomonia (antar harta dari pihak calon penganti pria ke pihak wanita), aqiqah, balia (pengobatan/tolak bala), acara kedukaan (kematian), hari raya, maulid, dan acara lainnya adalah: nasi talebe, nasi putih, ketupat, burasa, kaledo, ue mpoi, uta kelo, sayur nangka muda, sembala bunga pepaya, sembala palola, uta dada, ikan bakar, ayam bakar kaili. Pada acara pesta perkawinan, selain nasi biasanya dihidangkan masakan daging, ikan bakar disertai dengan hidangan sarunde (serundeng khas Kaili), acar kuning, bajabu, dan dabu-dabu iris. Pada acara Sambolu Gana (pelamaran), pihak keluarga calon pengantin pria menyerahkan beberapa macam makanan (bagi yang mampu menyerahkan kambing hidup). Pihak keluarga calon pengatin wanita menyediakan makanan berupa kue-kue dan buahbuah, diserta minuman kopi dan teh. Pada acara suraya pokomonia pihak calon pengantin pria menyerahkan bermacam perangkat makan atau masak diserta satu piring nasi dengan sayur kangkung
931
JIK Vol. 1 No. 18 Mei 2015: 927 – 934 E-ISSN: 2527717006
makanan khusus yang hanya diperuntukan bagi raja atau bangsawan. Pembedaan hanya dalam cara penyajiannya saja, bahwa makanan untuk raja/bangsawan/orang terhormat disajikan dengan menggunakan peralatan saji khusus (tudung saji), sedangkan bagi yang lain disajikan dengan cara sederhana. Makanan yang sering dihidangkan sebagai ungkapan rasa kasih sayang atau cinta kasih, khususnya bagi istri atau suami adalah makanan kesukaan suami/istri yang bersangkutan seperti uta dada, kaledo, ayam bakar. Demikian pula halnya kepada anak saat berulang tahun misalnya, akan dihidangkan makanan kesukaan yang bersangkutan. Khusus bila ada tamu ke rumah, umumnya tidak dihidangkan makanan yang secara khusus diperuntukan menjamu tamu.
pindah tempat, makan sambil bicara, makan di samping atau di depan pintu. PEMBAHASAN (Discuss) 1. Pola makan Nasi kuning, burasa atau putu ketan (dimakan dengan tumis ikan duo) merupakan makanan (jajanan) yang populer untuk sarapan pagi bagi Suku Kaili. Jenis makanan ini juga banyak dijual atau mudah diperoleh pada pagi hari. Mereka tidak sering mengkonsumsi buah. Buah pisang dan papaya yang tidak mengenal musim tidak dianggap sebagai makanan yang harus dikonsumsi setiap hari atau setiap waktu makan. Makanan selingan sore hari yang popuker adalah pisang goreng dikonsumsi dengan sambal (dabu-dabu). Pada sore hingga malam hari banyak penjual pisang goring. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Kota palu, termasuk Suku Kaili sangat menggemari kudapan pisang goring.
g. Kehidupan Keluarga dalam Kaitannya dengan Makanan. Pengelolaan keuangan rumah tangga dan menentukan menu makanan keluarga sehari-hari oleh ibu rumah tangga. Norma yang berlaku terkait dengan makan antara lain adalah: makan sambil duduk bersila atau duduk di kursi dan tidak boleh sambil berdiri, lakilaki makan terlebih dahulu kemudian menyusul perempuan. Pada saat makan bersama tidak diperkenankan beranjak atau berdiri sebelum semuanya selesai makan. Dilarang makan berpindah-
2. Faktor Sosial Budaya Masakan kesukaan masyarakat Kaili antara lain uta kelo, uta dada, nasi talebe, ayam bakar, dan ikan bakar, kaledo, ue mpoi, serta minuman saraba. Masakan tersebut cenderung menjadi ikon (simbol) kuliner suku Kaili karena citarasanya yang khas. Masakan tersebut biasa dihidangkan di setiap acara adat (pernikahan, baca doa, syukuran, hari raya, dll). Masakan tersebut digemari tidak hanya oleh
932
JIK Vol. 1 No. 18 Mei 2015: 927 – 934 E-ISSN: 2527717006
Suku Kaili, akan tetapi juga masyarakat pendatang, sehingga sesungguhnya masakan tersebut memiliki potensi sebagai kuliner lokal yang populer. Di Kota Palu sudah mulai banyak rumah makan yang menyediakan menu makanan atau kuliner khas Kaili tersebut, baik rumah makan yang sederhana maupun yang mewah. Selain hal-hal tersebut, terdapat unsur-unsur budaya suku Kaili yang cenderung terus memudar karena terdesak oleh nilai-nilai yang lebih hakiki (agama), perkembangan iptek, globalisasi. Intensitas upacara/acara ritual adat dengan persembahan makanan berupa sesajian mulai berkurang, karena dianggap tidak sesuai dengan norma agama. Iptek yang berkembang pesat, khususnya terkait dengan teknologi pangan menghasilkan beragam makanan baru yang lebih beragam termasuk citarasanya. Hal ini tentunya memberi tekanan yang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat Kaili dari pola konsumsi makanan tradisional ke makanan baru atau modern. Berbagai bahan herbal seperti anggune bunga kuning, mantalalu, panutu, sivulum boa, balacai, daun katumbar, akar durian sangat menarik karena merupakan tanaman obat khas Suku Kaili. Oleh karena itu perlu diteliti dan dikembangkan lebih lanjut. Terkait dengan makanan pantangan/tabu, temuan yang
menarik adalah adanya rumor pantang masak sayur daun kelor (uta kelo) pada saat terjadi kedukaan (kematian) dengan alasan akan ditemukan potongan kuku atau serpihan kulit telapak kaki dalam sayur tersebut. Hal ini sulit untuk dipercaya secara akal sehat, dan lebih bernuansa mistis. KESIMPULAN (Conclussion) 1. Masakan yang populer bagi suku Kaili di Kota Palu adalah: nasi talebe, uta kelo, kaledo, ayam bakar, ikan bakar, dan teri duo/penja. 2. Pengaruh agama, perkembangan iptek dan globalisasi sangat nyata terhadap kelestarian budaya suku Kaili. 3. Kuliner khas Kaili memiliki potensi berkembang sebagai kuliner komersial. 4. Terdapat alas an-alasan yang tidak logis terkait dengan makanan tabu pada suku Kaili. SARAN (Suggestion) 1. Kearifan lokal yang terkadung dalam budaya suku Kaili terkait dengan pola makan perlu diseleksi dan dipertahankan dengan melakukan kajian yang lebih mendalam dari aspek kesehatan/gizi dan agama. 2. Perlu kajian ilmiah terhadap potensi dan khasiat herbal lokal Suku Kaili untuk pengobatan. DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Kesehatan Depkes RI, Fisip Universitas Indinesia, 933
JIK Vol. 1 No. 18 Mei 2015: 927 – 934 E-ISSN: 2527717006
Pappenas. 1986. Development Studies Project: Pengaruh Sosial Budaya terhadap Kebiasaan Makan dan Pola Konsumsi Makanan Pokok Keluarga. Suku Asli Sulawesi Tengah. (online). http://adhy151.blogspot.com/201 2/ 12/Kaili Suku-AsliSulawesitengah.html, diakses tanggal 21 April 2014 Sukandar, D. Makanan Tabu di Jeneponto Sulawesi Selatan. Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2007 2 (1) Sumartono, N. Gizi Prima, Buletin Gizi No. 1 Vol. 10, 1986.: Gizi ditinjau dari sudut antropologi. Persagi
934