Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
EVALUASI MULTI-KRITERIA KERUANGAN UNTUK PEMETAAN KERENTANAN TERHADAP BAHAYA TSUNAMI DI PESISIR KABUPATEN BANTUL Totok Wahyu Wibowo, Erisa Ayu Waspadi Putri, dan Hanandy Yanuar Loekman Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Email:
[email protected] ABSTRAK - Pesisir Kabupaten Bantul merupakan salah satu daerah di Indonesia yang berpotensi terkena bahaya tsunami. Hal ini tidak terlepas dari adanya zona pertemuan lempeng di selatan Pulau Jawa, yang dapat menyebabkan terjadinya tsunami. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kerentanan dengan memperhatikan keempat jenis kerentanan (sosial, fisik, ekonomi, dan lingkungan) dan digabungkan dengan aspek kapasitas penganangan bencana. Analisis dari berbagai parameter dilakukan dengan metode Evaluasi Multi-Kriteria Spasial (SMCE) karena diharapkan menghasilkan kerputusan yang berimbang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa Poncosari ialah satu-satunya desa yang berbatasan langsung dengan laut dengan nilai kerentanan yang tinggi, sedangkan 4 desa lainnya memiliki tingkat kerentanan sedang. Kata kunci: SMCE, Kerentanan, Kapasitas, Tsunami, Pesisir Bantul.
PENDAHULUAN Latar Belakang Selama 10 tahun terakhir, semenjak kejadian di Nanggroe Aceh Darussalam, masyarakat Indonesia semakin sadar akan bahaya tsunami, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pesisir. Hal ini tidak terlepas dari kondisi geografis indonesia yang terletak pada zona pertemuan antara lempeng. Tsunami merupakan bencana sekunder yang dipicu oleh berbagai kejadian sebelumnya, seperti gempabumi, letusan gunungapi, objek ekstraterestrial dan atau sebab antropogenik, yang mampu menyebabakan dislokasi vertikal dasar laut (Berryman, 2006; Fernando et al., 2008; Bryant, 2008). Namun demikian diantara semua penyebab tersebut, data UNESCO-IOC (2006) menerangkan bahwa gempabumi dasar laut ialah penyebab yang paling sering menimbulkan tsunami. Menurut Peta Zonasi Ancaman Bencana Tsunami di Indonesia yang dibuat oleh BNPB (2011), pantai selatan Pulau Jawa merupakan salah satu daerah yang berpotensi terkena tsunami. Jika dipersempit lagi, maka daerah Pesisir Kabupaten Bantul termasuk di dalamnya. Walaupun tidak terdapat sea front city, namun di Kabupaten Bantul terdapat beberapa daerah wisata pantai dan lahan pertanian. Pada tahun 2008, GTZ dan beberapa institusi lokal telah memetakan bahaya dan menentukan skenario jalur evakuasi terhadap bahaya tsunami di Kabupaten Bantul. Berdasarkan data historis NGDC/WDC (2011), dari tahun 1608-2010 tercatat 6 kali bencana tsunami yang melanda pantai selatan Pulau Jawa Bagian Barat dan Tengah. Perkembangan ilmu kebencanaan tidak hanya melihat bencana sebagai sesuatu yang tidak dapat ditangani, akan tetapi dapat dikurangi dampaknya. Berbagai macam skenario dapat diterapkan untuk mengurangi dampak bencana, salah satunya dengan menguatkan aspek kerentanan (GTZ, 2004). Secara sederhana, kerentanan dapat diartikan sebagai sifat/karakteristik dari objek yang akan terkena bencana. Dalam paradigma pengurangan 343
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
risiko bencana, kerentanan bersama-sama dengan bahaya dan kapasitas dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menilai risiko (Westen et al., 2009). Oleh karena itu dengan mengetahui sebaran kerentanan secara spasial dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam pengurangan risiko bencana, karena setelahnya dapat dilakukan penguatan kerentanan berdasarkan urutan prioritas. Pemetaan aspek kerentanan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan memanfaatkan Evaluasi Multi-Kriteria Keruangan (SMCE). SMCE digambarkan sebagai suatu proses kombinasi data geografis ke dalam suatu keputusan pengguna, yang dalam hal ini ialah pengambil keputusan (Zulkarnaen, 2012). Kelebihan penggunaan SMCE dalam pemetaan kerentanan ialah karena metode ini dapat memberikan cara pengambilan keputusan yang seimbang, meskipun parameter yang digunakan beragam (Subarkah, 2009). Keunggulan tersebut sejalan dengan UN-ISDR (2004) yang menyarakan bahwa idealnya kerentanan dinilai dengan memperhatikan keempat jenis kerentanan, yaitu sosial, fisik, ekonomi dan lingkungan. Perumusan Masalah Daerah Pesisir Kabupaten Bantul sudah seharusnya memetakan daerah-daerah yang rentan terhadap bahaya tsunami, karena secara geologis terdapat ancaman dari adanya zona pertemuan lempeng. Menurut paradigma pengurangan risiko bencana, dampak bencana dapat dikurangi dengan cara menguatkan kerentanan. Namun demikian sebelum dilakukan penguatan kerentanan, hal pertama yang harus dilakukan ialah mengidentifikasi kerentanan secara keruangan dengan melakukan kegiatan pemetaan. Hasil pemetaan kerentanan tersebut nantinya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan metode mitigasi bencana yang tepat. Penilaian kerentanan idealnya dilakukan secara menyeluruh, dengan melihat kerentanan sosial, fisik, ekonomi dan lingkungan. Penggabungan analisis diantara keempat jenis kerentanan tersebut menjadi satu kendala tersendiri, karena tidak memiliki satuan yang sama. Dari paparan pada bagian latar belakang, diketahui bahwa SMCE merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam pemetaan, sehingga dapat menjadi alternatif dalam melakukan pemetaan kerentanan yang melibatkan keempat faktor tersebut. Daerah Penelitian Daerah penelitian terdiri atas tiga kecamatan di Kabupaten Bantul yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, yaitu Kecamatan Kretek, Kecamatan Sanden dan Kecamatan Srandakan (Gambar 1.1). Tiga kecamatan tersebut dipilih karena merupakan sebagaian daerah pesisir yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagaimana diuraikan dalam bagian latar belakang bahwasanya daerah pesisir DIY merupakan salah satu daerah yang berpotensi terpapar bahaya tsunami. Oleh karena itu perlu diketahui tingkat kerentanan masing-masing unit, dalam hal ini desa, untuk mempersiapkan strategi mengurangi bencana. Beberapa objek wisata juga terdapat di sepanjang pesisir di daerah penelitian, sehingga urgensi pengurangan risiko semestinya ditingkatkan.
344
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
Gambar 1.1 Daerah penelitian
METODE PENELITIAN Pengumpulan Data Primer dan Sekunder Pada tahap ini semua data sekunder dikumpulkan, yaitu yang menyangkut kriteria kerentanan yang telah ditentukan sebelumnya, seperti misalnya data jumlah penduduk menurut kelompok umur, jumlah penduduk pekerja, dan lainnya. Jika nantinya terdapat data yang tidak terdapat pada instansi, maka dilakukan pengambilan sampel di beberapa titik secara acak. Sumber data lainnya berasal dari basisdata Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang tersedia secara daring melalui situs DIBI BNPB. Dalam basisdata tersebut tersedia data potensi desa yang mencakup berbagai macam data kebencanaan. Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain adalah data penggunaan lahan terbaru. Untuk kebutuhan tersebut digunakan citra digital resolusi tinggi, yang selanjutnya akan dilakukan intrpretasi visual penggunaan lahan dengan memperhatikan kunci-kunci interpretasi. Selain peta penggunaan lahan, peta batas administrasi pada level desa dibutuhkan, karena berfungsi sebagai unit enumerasi. Evaluasi Multi-Kriteria Keruangan (SMCE) SMCE adalah suatu teknik yang membantu pengguna (user) untuk membuat keputusan dari berbagai kriteria, berdasarkan tujuan tertentu. Dengan demikian SMCE adalah alat yang ideal untuk pengambilan keputusan dengan menggunakan kriteria spasial yang dikombinasikan dan diberi bobot untuk mencapai tujuan secara menyeluruh. Keunggulan utama teknik SMCE adalah kemampuanya dalam menyatukan perangkat data spasial, serta 345
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
hasil keputusan diterapkan dalam bentuk perangkat data spasial. Metode tersebut sangat fleksibel untuk diterapkan, karena perbaikan alur dan model terhadap metode atau data baru dapat dilakukan setelah data dimasukan (Zulkarnaen, 2012). Hal ini didukung dengan salah satu sifat umum kerentanan, yaitu spesifik-lokasi dimana setiap daerah dapat mengaplikasikan pendekatan yang tidak sama. Latar belakang teori dari Evaluasi Multi-Kriteria Keruangan didasarkan pada Metode Analytical Hierarchical Process (AHP) yang dikembangkan oleh Satty (1980). Sudut pandang pengambilan keputusan berdasarkan Evaluasi Multi-Kriteria Keruangan dapat dinyatakan alam bentuk matriks. Penerapan matriks berdasarkan AHP perlu mempertimbangkan aspek dekomposisi, perbandingan dalam keputusan, dan sintesis prioritas. Dekomposisi adalah pemisahan masalah (dan bobot) dalam struktur hierarkis. Perbandingan dalam keputusan berhubungan dengan proses pembobotan, yaitu penggunaan cara berpasangan pada kriteria. Sintesis prioritas berhubungan dengan perkalian antar tingkat hierarkis (Westen, 2005). Penilaian Kerentanan Analisis kerentanan yang dilakukan meliputi 4 indikator yaitu kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pada kerentanan fisik digunakan penggunaan lahan sebagai unit pemetaanya, yang nantinya akan dinilai arti penting dari masing-masing penggunaan lahan. Kerentanan sosial disusun berdasarkan data demografi, seperti jumlah wanita, jumlah anakanak usia 0-5 tahun, dan jumlah lansia (Subarkah, 2009). Kerentanan ekonomi menggunakan parameter jumlah produksi pertanian desa yang bersumber pada data monografi desa atau kecamatan dalam angka. Sementara itu kerentanan lingkungan dikaitkan dengan kegiatan konservasi yang terdapat di pesisir Kabupaten Bantul. Dalam berbagai literatur, kerentanan sesungguhnya dipengaruhi pula oleh kapasitas elemen risiko dalam mengurangi bencana, oleh karenanya keduanya berbanding terbalik (GTZ, 2004). Dalam penelitian ini aspek kapasitas dimasukkan sebagai faktor pembatas (constraint), untuk menyempurnakan analisis kerentanan total. Eksekusi SMCE Seluruh penilaian kerentanan dihitung dengan rentang nilai 0 (tidak rentan) sampai dengan 1 (sangat rentan). Hal tersebut diperlukan karena tiap indikator kerentanan memiliki ukuran data yang berbeda-beda (nominal, ordinal interval, atau rasio). Proses standardisasi diperlukan untuk mempermudah dalam analisis penilaian risiko (Abella dan Westen, 2007). Standardisasi dilakukan dengan memperhatikan nilai minimum. Jika nilai minimum suatu data memiliki 0 absolut maka digunakan metode maximum, sementara jika tidak memiliki nilai 0 absolut maka digunakan metode interval. Adapun kurva kerentanan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kurva linear. Nilai kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan akan distandardisasi dengan beberapa cara disesuaikan dengan data yang diperoleh dan kesesuaian metode untuk memperoleh rentan nilai 1 sampai dengan 0. Penentuan bobot untuk masing-masing keriteria dapat dilakukan dengan tiga macam cara, yaitu 1) secara langsung, 2) Pair-Wise Comparison, dan 3) berdasarkan urutan kepentingan. Dalam penelitian ini digunakan pembobotan dengan ketiga metode tersebut, disesuaikan dengan kriteria yang akan diperbandingkan.
346
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengumpulan Data Pemetaan kerentanan dengan menggunakan evaluasi multi-kriteria keruangan membutuhkan input data yang bermacam-macam. Terlebih lagi dalam penelitian ini, digunakan empat tipe kerentanan sekaligus. Berbagai macam data tersebut diperoleh baik secara langsung di lapangan (primer) maupun secara instansional (sekunder). Pengumpulan data sekunder bersumber dari berbagai instansi atau berasal dari peta digital yang telah diperoleh sebelumnya. Tabel 1.1 menunjukkan daftar data sekunder beserta sumbernya. Sebagian besar data sekunder bersumber pada data kecamatan dalam angka yang disusun oleh Badan Pusat Statistik di tingkat Kabupaten.
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 1.1 Data sekunder beserta sumbernya Data Sumber Kecamatan Srandakan dalam angka BPS Kabupaten Bantul Kecamatan Sanden dalam angka BPS Kabupaten Bantul Kecamatan Kretek dalam angka BPS Kabupaten Bantul Data Kependudukan DIBI BNPB Peta Jaringan Jalan Peta RBI 1:25.000
Tahun 2013 2013 2013 2014 1999
Peta penggunaan lahan memang sudah tersedia, namun diperlukan proses pembaruan data, karena penggunaan lahan merupakan aspek yang sangat dinamis, terutama konversi lahan non-terbangun menjadi lahan terbangun. Pembaruan data dilakukan dengan mempergunakan data citra google earth yang diperoleh tahun 2014 dengan metode onscreen digitizing. Selain perbaikan secara grafis, dilakukan pula perbaikan secara attribut dimana pada beberapa data terdapat kesalahan. Sebagai input untuk pembaruan ini dilakukan cek lapangan di beberapa lokasi untuk mendapatkan gambaran kondisi terkini. Keberadaan petunjuk jalur evakuasi bencana tsunami diidentifikasi pula pada saat kegiatan lapangan.
Gambar 1.2 Penggunaan lahan di daerah penelitian
347
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
Daerah penelitian didominasi oleh penggunaan lahan permukiman dan sawah irigasi, keduanya menempati area seluas 5190,83 hektar (74,35%). Hal ini menunjukkan bahwa sektor agraris merupakan tumpuan utama kegiatan ekonomi di daerah penelitian. Peta penggunaan lahan di daerah penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.2. Penilaian Kerentanan a. Kerentanan Fisik Data yang digunakan untuk menyusun kerentanan fisik antara lain: luas area yang memiliki jarak kurang dari 1,5 km dari bibir pantai, persentase luas permukiman, jumlah rumah tangga yang memiliki sambungan listrik PLN, serta panjang jaringan jalan. Semakin dekat dengan bibir pantai maka potensi terkena bencana tsunami semakin tinggi. Batas 1,5 km merupakan nilai batas atas kelas kedua dalam skema klasifikasi kerentanan bangunan terhadap garis pantai yang dimodifikasi dari Paphatoma Tsunami Vulnerability Assessment-3 (Wibowo et al., 2013). Permukiman merupakan agregasi dari bangunan-bangunan yang terdapat di suatu daerah, oleh karena itu area permukiman dapat dijadikan pengganti unit pemetaan bangunan pada skala yang tidak detil. Ketersediaan listrik di daerah penelitian memang bukan suatu hal yang sulit untuk ditemukan. Hampir semua rumah tangga sudah memiliki sambungan listrik baik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), ataupun sambungan yang lainnya. Dalam menyusun peta kerentanan sambungan listrik ke rumah diasumsikan sebagai aset, sehingga jika rusak karena bencana akan menjadikan penghuni rumah tersebut semakin rentan. Jaringan jalan sangat dibutuhkan dalam proses evakuasi, oleh karena itu dapat dimasukkan sebagai salah satu parameter dalam kerentanan fisik. Jaringan jalan yang diperhitungkan ialah jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lain, karena ketiga kelas jalan itulah yang paling memungkinkan untuk jalur evakuasi dengan menggunakan kendaraan bermotor. Penentuan pengaruh masing-masing parameter kerentanan fisik dilakukan dengan menggunakan metode pair-wise. Hasil dari analisis tersebut menempatkan parameter kerentanan fisik dengan urutan dari tinggi ke rendah, jarak 1.500 m dari pantai, persentase luas permukiman, panjang jaringan jalan dan jumlah rumah dengan listrik PLN (Gambar 1.5). Jika dilihat secara keseluruhan Desa Parangtritis dan Desa Poncosari merupakan desa yang paling rentan secara fasilitas fisik, sementara Desa Tirtomulyo dan Desa Tirtosari merupakan desa yang paling baik kerentanan fisiknya (Gambar 1.3a).
a)
b)
Gambar 1.3 a) Kerentanan Fisik dan b) Kerentanan sosial
348
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
b. Kerentanan Sosial Kondisi sosial masyarakat dapat digambarkan melalui berbagai macam data kependudukan. Adapun data kependudukan yang digunakan antara lain kepadatan penduduk dasimetrik, persentase penyandang cacat, persentase ibu hamil, persentase balita, persentase penduduk miskin, persentase manula, dan persentase penduduk perempuan. Semakin banyak nilai pada masing-masing parameter kerentanan sosial tersebut maka semakin rentan pula daerahnya. Berbeda dengan kerentanan fisik penentuan bobot masing-masing parameter pada kerentanan sosial dilakukan dengan menggunakan metode urutan kepentingan (Gambar 1.5), dengan urutan yang sama dengan uraian pada paragraf sebelumnya. Kepadatan penduduk dasimetrik diletakkan pada posisi paling atas karena entitasnya mencakup seluruh penduduk, sedangkan penduduk perempuan diletakkan pada urutan terakhir karena kemampuan bertahannya paling tinggi daripada 5 kelompok yang lain. Penyandang cacat dinilai lebih rentan terhadap bencana dibandingkan dengan ibu hamil, balita, penduduk miskin, serta manula. Kerentanan yang dimaksud berkaitan dengan kemampuan evakuasi dalam keadaan bencana, ketergantungan terhadap orang lain, kurang resisten terhadap penyakit, dan pemulihan pasca-bencana Gambar 1.3b menyajikan peta kerentanan sosial, yang mengindikasikan bahwa Desa Trimurti dan Desa Donotirto merupakan desa yang menurut komposisi penduduknya paling rentan terhadap bahaya tsunami. Sebaliknya Desa Gadingsari, Desa Gadingharjo, dan Desa Tirtosari merupakan desa yang paling rendah kerentanan sosialnya. Hal menarik yang dapat dilihat pada peta tersebut ialah desa yang terletak di sepanjang pantai memiliki kerentanan sosial yang tidak terlalu tinggi, justru dua desa yang terletak agak jauh dari garis pantai yang memiliki kerentanan tinggi c. Kerentanan Ekonomi Kerentanan ekonomi dibangun berdasarkan tiga parameter yaitu luas lahan sawah (sebagai sumber mata pencaharian penduduk), jumlah sarana kegiatan ekonomi (bank, pasar, swalayan, BUKP, KUD), dan persentase penduduk bekerja. Semakin banyak aset, sarana dan prasarana kegiatan ekonomi maka semakin rentan pula daerahnya. Kerentanan ekonomi erat kaitannya dengan kondisi pasca bencana, karena kejadian bencana dapat satja mengancam kegiatan perekonomian. Misalnya lahan sawah yang terkena genangan tsunami tentunya akan membutuhkan perlakuan khusus agar dapat kembali produktif seperti sebelum kejadian bencana. Penentuan bobot nilai kerentanan ekonomi dilakukan dengan metode pair-wise. Oleh karena ketiga kecamatan dalam daerah penelitian mengandalkan sektor agraris untuk kegiatan perekonomian, maka luas lahan sawah menjadi prioritas utama untuk kerentanan ekonomi. Sementara itu jumlah sarana kegiatan ekonomi dan persentase penduduk bekerja dinilai memiliki bobot yang sama (Gambar 1.5). Hasil analisis kerentanan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 1.4a. dapat terlihat bahwa Desa Tirtohargo, Desa Tirtosari dan Desa Tirtomulyo memiliki tingkat kerentanan ekonomi yang paling tinggi. Hal ini disebabkan karena persentase luas lahan sawah pada ketiga desa tersebut cukup tinggi, yaitu lebih dari 55%.Sebaliknya Desa Trimurti memiliki kerentanan ekonomi yang paling rendah. d. Kerentanan Lingkungan 349
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
Pengukuran kerentanan lingkungan ditentukan dari berbagai komponen lingkungan yang dapat terkena dampak bencana. Dalam penelitian ini digunakan keberadaan gumuk pasir yang memiliki keunikan, dan jumlah lokasi bertelur penyu di sepanjang pantai, sebagai parameter kerentanan lingkungan. Gumuk pasir di pantai selatan D.I. Yogyakarta merupakan situs yang dilindungi karena keberadaannya yang sangat langka. Jika gumuk pasir tersebut rusak karena bencana tsunami maka akan berdampak pada hilangnya keunikan yang dimiliki oleh daerah yang memilikinya. Hal seperti ini memang sulit untuk ditaksir nilainya (intangible), sehingga untuk penilaian kerentanan hanya dibedakan ada atau tidaknya gumuk pasir di suatu desa. Pantai selatan D.I. Yogyakarta juga menjadi salah satu tempat bertelurnya Penyu. Data lokasi bertelur penyu didapatkan dari data Balai Konservasi Sumberdaya Alam Yogyakarta Tahun 2011. Analisis kerentanan lingkungan dilakukan dengan menggunakan metode direct, dimana keberadaan gumuk pasir dan jumlah lokasi betelur penyu memiliki bobot yang sama (Gambar 1.5). Hasil analisis kerentanan lingkungan menunjukkan bahwa Desa Poncosari merupakan desa yang memiliki tingkat kerentanan lingkungan tertinggi. Hal ini disebabkan karena terdapat 26 lokasi bertelur penyu di Desa Poncosari, jauh lebih tinggi daripada desa-desa yang lain. Jika melihat pola pada Gambar 1.4b, dapat terlihat bahwa desa yang berbatasan langsung dengan pantai memiliki tingkat kerentanan yang sedang hingga tinggi, kecuali Desa Tirtohargo yang tidak memiliki lokasi untuk bertelur penyu. a)
b)
Gambar 1.4 a) Kerentanan Ekonomi dan b) Kerentanan lingkungan
Kerentanan Total Kerentanan total merupakan hasil penggabungan dari keempat tipe kerentanan yang sebelumnya telah dinilai. Penentuan bobot masing-masing tipe kerentanan dilakukan dengan menggunakan metode pair-wise. Secara berturut-turut nilai bobot masing-masing tipe kerentanan dimulai dari kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentanan lingkungan yang paling kecil nilainya (Gambar 1.5). Kerentanan fisik dan sosial sebenarnya memiliki posisi yang sama, karena keduanya terdampak langsung jika sewaktuwaktu terjadi bencana. Hanya saja kepentingannya terhadap kerentanan ekonomi yang berbeda. Kerentanan ekonomi berperan besar pada saat tanggap darurat, namun karena dampak yang ditimbulkan umumnya baru dirasakan setelah beberapa hari, maka kepentingannya dapat ditempatkan di posisi ketiga. Kerentanan lingkungan bisa jadi kurang begitu berarti bagi kehidupan pada saat terjadinya bencana, tapi kekayaan hayati yang musnah mungkin akan
350
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
berdampak pada generasi yang akan datang. Oleh karena itu kerentanan lingkungan diberikan bobot terkecil diantara tiga tipe kerentanan yang lainnya.
Gambar 1.5 Pohon kriteria untuk menentukan nilai kerentanan
Desa Poncosari dan Desa Srigading menjadi desa dengan nilai total kerentanan tertinggi, sehingga dapat menjadi bahan masukan untuk menurunkan nilai kerentanannya. Di sisi lain Desa Gadingharjo merupakan desa dengan nilai total kerentanan yang paling rendah. Pola yang ditujukkan pada Gambar 1.6, mengindikasikan bahwa tidak selalu desa yang terletak di tepi pantai memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, karena hanya dua dari lima desa yang memiliki kerentanan tinggi.
Gambar 1.6 Kerentanan total
351
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
Kapasitas Total Setiap elemen risiko memiliki kesempatan untuk mengurangi nilai kerentanannya dengan cara meningkatkan kapasitas. Dalam penelitian ini dipilih empat macam parameter kapasitas yang dapat mengurangi kerentanan yaitu, keberadaan sistem peringatan dini, jumlah tenaga dan sarana kesehatan, dan keberadaan petunjuk jalur evakuasi dari bencana tsunami. Keberadaan sistem peringatan dini dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengambilan tindakan yang sesuai pada saat terjadinya bencana. Terlebih lagi jika daerah tersebut didukung dengan keberadaan petunjuk jalur evakuasi untuk bencana tsunami. Salah satu papan petunjuk evakuasi bencana tsunami didapati di Desa Gadingsari. Tenaga kesehatan berperan penting pada masa tanggap darurat untuk menangani korban luka. Hal ini juga harus didukung dengan keberadaan fasilitas kesehatan yang memadai, semakin banyak fasilitas kesehatan di suatu daerah maka asumsinya kerentanan akan semakin berkurang. Bobot masing-masing parameter tersebut ditentukan dengan menggunakan metode pair-wise (Gambar 1.7). Scara berurutan keberadaan sistem peringatan dini, keberadaan jalur evakuasi, jumlah sarana kesehatan, dan jumlah tenaga kesehatan memiliki bobot dari tinggi ke rendah. Pengaruh sosialisasi bencana dan petunjuk rute evakuasi dinilai sama penting dalam pengaruhnya terhadap kemampuan penanganan kesiapansiagaan bencana (Bappeda-DIY, 2008).
Gambar 1.7 Pohon kriteria untuk menentukan nilai kapasitas
Nilai kapasitas yang semakin kecil menunjukkan kapasitas penanganan yang semakin besar, hal ini berbanding terbalik dengan nilai kerentanan .Desa Poncosari memiliki kapasitas penanganan bencana tsunami yang paling baik (Gambar 1.8). Empat desa pesisir Bantul lainnya mengikuti di belakangnya, ditambah Desa Gadingharjo. Desa Murtigading, Desa Tirtomulyo, dan Desa Tirtosari merupakan desa yang memiliki kapasitas penanganan bencana yang paling buruk, diantara semua desa di wilayah penelitian.
352
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
Gambar 1.8 Kapasitas penanganan bencana tsunami
Kerentanan dan Kapasitas Peta kerentanan dan kapasitas yang telah dihasilkan sebelumnya, digabungkan dengan metode pair-wise, namun demikian bobot keduanya dibuat sama kuat (Gambar 1.9). Bobot yang sama tersebut diberikan karena dalam formula kerentanan keduanya memiliki beban yang sama, hanya nilainya saja yang berkebalikan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa ada bobot tertentu diantara keduanya yang dapat diteliti di kemudian hari.
Gambar 1.9 Pohon kriteria untuk menyatukan nilai kerentanan dan kapasitas
Hasil penggabungan antara nilai kerentanan dan nilai kapasitas menunjukkan bahwa 6 dari 11 desa di daerah penelitian memiliki kerentanan yang tinggi, salah satu diantaranya berbatasan langsung dengan pantai selatan (Desa Poncosari). Desa gadingsari, Desa Srigading, Desa Tritohargo, dan Desa Parangtritis merupakan desa yang berbatasan langsung pula dengan pantai selatan, namun memiliki nilai kerentanan sedang. Disini terlihat bahwa interaksi kapasitas, ternyata dapat mengurangi tingkat kerentanan yang disusun dari empat tipe kerentanan. Desa Gadingharjo, memiliki nilai kerentanan dan kapasitas paling kecil diantara semua desa. Pada saat penilaian kerentanan, Desa Gadingharjo merupakan desa yang paling tidak rentan, kemudian didukung dengan nilai kapasitas penanganan bencana tidak terlalu tinggi. Persebaran nilai kerentanan dan kapasitas selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.10.
353
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
Gambar 1.10 Peta kerentanan dan kapasitas
PENUTUP Kesimpulan dan Saran Sebagai desa yang langsung berbatasan dengan laut, Desa Poncosari sangat direkomendasikan untuk melakukan kegiatan penurunan nilai kerentanan, misalnya dengan cara meningkatkan kapasitas masyarakat. Cara yang demikian lebih praktis daripada pengurangan risiko dengan cara mitigasi struktural. Penggunaan evaluasi multi-kriteria keruangan (SMCE) sangat membantu dalam membuat keputusan yang harus diambil dengan segera, karena merupakan analisis semikuantitatif. Namun demikian sebelum melakukan analisis dengan menggunakan SMCE terlebih dahulu diperlukan ketersediaan data yang lengkap agar analisis dapat dilaksanakan secara maksimal. Penyusunan pohon kriteria untuk kerentanan, kapasitas dan gabungan keduanya masih dapat dikembangkan lagi dengan menambahkan data yang berpengaruh pada kerentanan elemen risiko terhadap bahaya tsunami. Unit pemetaan dapat pula didetilkan hingga level Rukun Tetangga atau bahkan hingga level rumah/bangunan UCAPAN TERIMAKASIH Terima Kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan pada Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, yang telah memberikan dana hibah penelitian untuk melaksanakan penelitian ini.
354
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2015 Peran Geograf dan Peneliti dalam Menghasilkan Penelitian dan Pengabdian yang Berdayaguna Bagi Masyarakat
ISSN: 2460-0474
DAFTAR PUSTAKA Berrryman, Kelvin, 2006, Review of Tsunami Hazard and Risk in New Zealand, Lower Hutt, Institute of Geological & Nuclear Sciences. BMKG, 2007, Apa itu Tsunami, Artikel daring, diakses tanggal 7 April 2011 dari http://bmg.go.id/data.bmkg?Jenis=Teks&IDS=8704394716716499700 Bryant, Edward, 2008, Tsunami: The Underrated Hazard (2nd Edition), Chichester, Praxis Publishing Ltd. Fernando, H. J. S., Braun, A., Galappatti, R., Ruwanpura, J., dan Wirasinghe, S. C., 2008, Tsunamis: manifestation and aftermath, Large-Scale Disasters: Prediction, Control, and Mitigation (Mohamed Gad-el-Hak Ed.), Cambridge, Cambridge University Press. GTZ, 2004, Risk Analysis – a Basis for Disaster Risk Management, Eschborn, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit GmbH. National Geophysical Data Center / World Data Center (NGDC/WDC), 2011, Historical Tsunami Database, Boulder, CO, USA. dapat diakses di http://www.ngdc.noaa.gov/hazard/tsu_db.shtml UNESCO-IOC, 2006, Tsunami Glossary, IOC Information Document No. 1221, Paris, UNESCO. Westen, C. v., Kingma, N., dan Montoya, L., 2009, Multi Hazard Risk Assessment, Educational Guide Book Session 4: Elements at Risk, diedit oleh Cees van Westen, ITC, Enschede, The Netherlands. Wibowo, Totok W., 2012, Analisis Risiko Tsunami terhadap Bangunan dan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Transfer Risiko: Studi Kasus di Kelurahan Ploso, Pacitan, Tesis, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada. Zulkarnaen, M.W.D., 2012, Evaluasi Multi-Kriteria Keruangan untuk Penilaian Risiko Total Tsunami di Pacitan, Tesis, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada. Subarkah, P., 2009, Spatial Multi Criteria Evaluation for Tsunamis Vulnerability Case Study of Coastal Area Parangtritis, Yogyakarta, Indonesia, Tesis. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.
355