EVALUASI KONTAMINASI LOGAM DI SEDIMEN DARI WADUK SAGULING DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP TRIAD: SEBUAH PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN WADUK
JOJOK SUDARSO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Kontaminasi Logam di Sedimen dari Waduk Saguling dengan Menggunakan Konsep Triad: Sebuah Pendekatan Dalam Pengelolaan Waduk adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2008
Jojok Sudarso NIM P051060081
RINGKASAN
JOJOK SUDARSO. Evaluasi Kontaminasi Logam Di Sedimen Dari Waduk Saguling Dengan Menggunakan Konsep Triad: Sebuah Pendekatan Dalam Pengelolaan Waduk. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan YUSLI WARDIATNO Waduk Saguling merupakan waduk tipe cascade di Jawa Barat, yang sekarang ini mengalami masalah penurunan kualitas air akibat polusi organik, pestisida, dan logam berat dari aktivitas antropogenik maupun alami. Keberadaan logam berat di lingkungan akuatik cenderung berikatan dengan partikulat sebagai penyusun sedimen dan berpotensi bioavailable ke biota air. Oleh sebab itu diperlukan penelitian yang terintegrasi guna mengungkap bioavailability logam yang terikat di sedimen seperti konsep Triad. Penelitian ini telah dilakukan tahun 2006 bertujuan untuk memprediksi bioavailability logam Cu, Cd, Pb, dan Hg di sedimen dengan konsep Triad. Hasil kontaminasi logam di sedimen menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan di antara stasiun pengamatan yaitu: untuk logam Cd (F= 17,803 dan p = 0,00001), Pb (F= 154,343 dan p < 0,01), Cu (F= 36,499, P<0,000001), dan Hg (F= 12,49 dan p=0,00000). Peningkatan kontaminasi logam tersebut diatas, juga diikuti dengan gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata dan peningkatan toksisitas di beberapa stasiun pengamatan (Stasiun Maroko, Cihaur, Cangkorah, Batujajar, dan Nanjung). Gangguan pada komunitas bentik makroavretebrata dan tingginya toksisitas sedimen di stasiun lainnya kemungkinan disebabkan oleh faktor lainnya. Hasil kombinasi antara grafik radar triad dan PCA mengindikasikan logam berat Cu, Hg, dan Pb di sedimen paling berpotensi bioavailable ke perairan, sedangkan untuk logam Cd secara statistik belum cukup bukti menimbulkan toksisitas pada Hydra maupun gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata (p > 0,05). Hasil penelitian ini merupakan strategi guna mengkaji bioavailability polutan yang terikat di sedimen sebagai dasar pengelolaan waduk akibat pemaparan bahan polutan toksik di lingkungan akuatik.
ABSTRACT
Saguling reservoir was cascade type reservoir that located in West Java, the reservoir have gotten degradation problem of water quality as result of organic, pesticide, and heavy metal pollution coming from antropogenic activity and also naturally. Existence of heavy metal in aquatic area has tendency for binding with particulate material as sediment compiler and has potency for bioavailable for aquatic biota. Therefore its required a research which integrated to express level of metal bioavailability which bound at sediment like
ioning triad concept ( combine
information from chemical analysis, community structure, and toxicity test). This research has been done in the year 2006 with aim to predict level of metal bioavailability Cu, Cd, Pb, and Hg in sediment using triad concept approach. Sediment Heavy metal contamination Result in each station showed heavy significant differences for Cd ( F= 17,803 and p = 0,00001), Pb ( F= 154,343 and p < 0,01), Cu ( F= 36,499, P<0,000001), and Hg ( F= 12,49 and p=0,00000). Elevation of Heavy metal contamination in sediemet usually is followed with disturbance of community structure for benthic macroinvertebrate and increasing of sediment toxicity status (Maroko, Cihaur, Cangkorah, Batujajar, and Nanjung station). At the others station existence of benthic macroinvertebrate community disturbance and height of sediment toxicity were caused by other factor besides heavy metal. Combined Result between triad radar graphs and multivariate analysis (PCA) indicated Cu, Hg, and Pb that have bioavailable potency in Saguling Reservoir. Statistically Cd has not enough evidence generating Hydra toxicity and disturbance of benthic macroinvertebrates community. Result of this research is a strategy to study bioavailability pollutant which binding in sediment for managing reservoir caused by exposure toxic materials in aquatic environment.
EVALUASI KONTAMINASI LOGAM DI SEDIMEN DARI WADUK SAGULING DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP TRIAD: SEBUAH PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN WADUK
JOJOK SUDARSO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis
: Evaluasi Kontaminasi Logam di Sedimen Dari Waduk Saguling Dengan Menggunakan Konsep Triad: Sebuah Pendekatan Dalam Pengelolaan Waduk
Nama
: Jojok Sudarso
NIM
: P051060081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Etty Riani, M.S. Ketua
Dr.Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Prof. Dr. Khairil Notodiputro, MSc
Tanggal Ujian: 25 Juni 2008
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Alloh, pencipta alam semesta, yang telah memberikan rahmat dan anugrahnya pada penulis sehingga mampu menyelesaikan salah satu kewajiban untuk penyusunan tesis. Tak lupa penulis mengucapkan shalawat dan salam kemulyaan selalu tercurah kepada baginda Rasululloh dan pengikutnya hingga akhir jaman. Terima kasih yang tulus penulis ucapkan untuk ibu Dr. Ir. Ety Riani, M.S. dan bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. sebagai komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis guna penyempurnaan penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Surjono H. Sutjahjo dan seluruh staf pengajar program studi pengelolaan Sumber daya alam dan lingkungan atas ilmu-ilmu lingkungan yang diberikan selama ini. Bapak Bambang Sunarno dan Pak Misdi yang telah banyak membantu kegiatan selama berada di Waduk Saguling. Teman sejawatku Pak Gunawan P. Yoga M.Sc dan Tri Suryono S.T. yang membantu kelancaran penelitian ini. Istriku Fitria Handayani yang telah banyak memberikan dorongan semangat dan pengertian selama ini guna menyelesaikan kuliah S2 di IPB, dan teman-temanku S2 angkatan 2006 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai materi pambanding dalam pelaksanaan penelitian lanjutan maupun pengembangan konsep dalam pengelolaan lingkungan perairan di Indonesia.
Bogor, Juni 2008 Jojok Sudarso
RIWAYAT HIDUP
Jojok Sudarso lahir pada tanggal 12 Juni 1972 di kota Malang, Jawa Timur. Penulis merupakan putra ke tiga dari pasangan Bapak Purnomo dan Ibu Sudarmasih yang dikaruniai empat orang anak. Pendidikan formal dimulai tahun 1978 di SDK. Mardiwiyata Malang dan lulus tahun 1984. Tahun 1984 penulis sekolah di SMPK. Celaket 21 di kota Malang dan tamat pada tahun 1987. Kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Malang, dan tamat pada tahun 1990. Pendidikan tinggi dimulai tahun 1990 di Universitas Brawijaya Malang Fakultas MIPA Jurusan Biologi dan tamat pada tahun 1995. Tahun
1996 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai staf peneliti Puslit
Limnologi- LIPI di lab. Ekotoksikologi. Bidang yang diminati penulis di Puslit Limnologi saat ini adalah bioassessment dengan organisme bentik makroavertebrata dan taksonomi larva Chironomid dan Cacing Oligochaeta. Pernikahannya dengan Fitria Handayani, sampai saat ini penulis dikarunia tiga orang anak.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. ii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... iii PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1 Latar Belakang .................................................................................................. 1 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 4 Kerangka Pemikiran .......................................................................................... 4 Perumusan Masalah ......................................................................................... 7 Sasaran dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 10 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 11 BAHAN DAN METODE ............................................................................................ 44 Tempat dan Waktu ............................................................................................ 44 Bahan dan Alat .................................................................................................. 45 Metode Penelitian .............................................................................................. 45 Analisis Data ..................................................................................................... 51 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 58 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 97 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 99 LAMPIRAN ................................................................................................................. 111
DAFTAR TABEL Halaman 1. Elemen renik penting dalam perairan alami ..................................................... 2. Intepretasi data bioavailability sedimen dengan menggunakan konsep Triad dalam bentuk matrik tabulasi (Chapman 1996) ...................................... 3. Ringkasan metodologi yang dipergunakan untuk analisis kimia pada sedimen dan air ................................................................................................. 4. Kriteria kualitas sedimen yang didasarkan pada besarnya gangguan pada komponen triad uji bioassai dan komunitas bentik makroavertebrata ............................................................................................... 5. Sistem scoring yang digunakan dalam penyusunan multimetrik ...................... 6. Hasil uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan (p=0,05) untuk logam Cd. Angka diatas nilai standar deviasi menunjukkan beda nyata dengan stasiun tersebut ............................................................................ 7. Hasil uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan (p=0,05) untuk logam Hg di sedimen. Angka diatas nilai standar deviasi menunjukkan beda nyata dengan stasiun tersebut ............................................ 8. Hasil uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan (p=0,05) untuk logam Pb di sedimen. Angka diatas nilai standar deviasi menunjukkan beda nyata dengan stasiun tersebut ............................................ 9. Hasil uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan (p=0,05) untuk logam Cu di sedimen. Angka diatas nilai standar deviasi menunjukkan beda nyata dengan stasiun tersebut ............................................ 10. Status polusi dari logam berat yang terakumulasi di sedimen dengan menggunakan indek polusi dari Widianarko et al.(2000) ................................. 11. Penilaian gangguan komunitas bentik makroavertebrata di Waduk saguling yang didasarkan pada atribut biologi gabungan ................................. 12. Hasil uji korelasi Spearman antara variabel konsentrasi logam berat dengan beberapa atribut biologi dari struktur komunitas bentik ....................... 13. Nilai korelasi sederhana dari beberapa variabel kualitas air dengan indek biotik dan uji toksisitas sedimen yang digunakan dalam analisis multivariat PCA. Tanda angka yang bercetak tebal menunjukkan kuatnya korelasi dan signifikan pada selang kepercayaan (p < 0,05) ...............
i
12 41 48
53 53
59
61
62
63 69 81 82
94
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema kerangka penelitian evaluasi kontaminasi logam di sedimen dengan pendekatan konsep triad .................................................................... 2. Skema perumusan masalah penelitian bioavailability logam di sedimen dengan menggunakan konsep triad .................................................................. 3. Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan organisasi biologi .............................................................................................. 4. Peta lokasi sampling pengambilan sedimen dan organisme bentik makroavertebrata ............................................................................................... 5. Gambar respons stress dari Hydra sp. A). Kondisi normal, B dan C. terjadi pemendekan tentakel yang merupakan kondisi stress ringan, D). Fase tulip yang merupakan respon stress berat, E). Disintegrasi merupakan kematian dari Hydra sp (Blaise dan Takashi 1997) ....................... 6. Konsentrasi rata-rata logam berat Cd dan Hg (mg/kg berat kering) di sedimen di setiap stasiun pengamatan ............................................................. 7. Konsentrasi rata-rata logam Pb dan Cu pada sedimen (mg/kg berat kering) di masing-masing stasiun pengamatan ................................................. 8. Tahap rangking dari besarnya kontaminasi logam total di setiap stasiun pengamatan. Semakin tinggi nilai rangking menunjukkan semakin besar tingkat kontaminasinya ..................................................................................... 9. Trend nilai rata-rata indek diversitas Shannon-Wiener pada setiap stasiun pengamatan ........................................................................................... 10. Trend nilai rata-rata indek kekayaan taxa pada setiap stasiun pengamatan ....................................................................................................... 11. Trend nilai rata-rata indek BMWP pada setiap stasiun pengamatan ............... 12. Trend nilai indek biotik gabungan dalam mencerminkan tingkat gangguan di setiap stasiun pengamatan ............................................................ 13. Hasil pengelompokan komunitas bentik makroavertebrata dengan menggunakan ordinasi NMDS .......................................................................... 14. Grafik triplot hasil ordinasi CCA pada sumbu 1 dan 2 ..................................... 15. Grafik triplot hasil ordinasi CCA pada sumbu 1 dan 3 ..................................... 16. Hasil uji toksisitas sedimen dengan menggunakan hewan Hydra yang dipaparkan dengan air pori-pori sedimen dari Waduk Saguling. Tanda asterik (*) menunjukkan LC 50 diatas > 100% (tidak toksik) .......................... 17. Gabungan dari komponen triad yang digambarkan dalam suatu grafik radar. Abjad B merupakan rangking dari indek biotik gabungan dari
6 9 20 50
51 60 63
73 75 77 78 80 83 86 86
90
komunitas bentik makroavertebrata, L merupakan nilai rangking besarnya kontaminasi logam gabungan (total) di sedimen, T merupakan nilai rangking uji toksisitas sedimen dari dari hewan Hydra sp ....................... 92 18. Grafik biplot PCA yang menggambarkan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan kontaminasi logam pada sedimen beserta variabel pendukungnya. .................................................................................... 95
ii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Nilai rata-rata konsentrasi logam berat di sedimen pada setiap stasiun pengamatan yang dibandingkan dengan beberapa guidelines dari beberapa negara ...................................................................................................... 2. Hasil analisis karbon organik dan fraksi butiran dari sedimen di setiap stasiun pengamatan ................................................................................................. 3. Hasil pengukuran parameter kualitas air permukaan dan dasar perairan ................ 4. Lokasi sampling Stasiun Gunung Wayang ............................................................. 5. Lokasi sampling Stasiun Nanjung ........................................................................... 6. Lokasi sampling Stasiun Trash Boom Batujajar ..................................................... 7. Lokasi sampling Stasiun Cihaur ............................................................................. 8. Lokasi sampling Stasiun Cangkorah ....................................................................... 9. Lokasi sampling Stasiun Cimerang ........................................................................ 10. Lokasi sampling Stasiun Muara Cihaur / Maroko .................................................. 11. Lokasi sampling Stasiun Muara Cipatik ................................................................. 12. Lokasi sampling Stasiun Ciminyak ........................................................................ 13. Lokasi sampling Stasiun Cijere .............................................................................. 14. Lokasi sampling Stasiun Cijambu .......................................................................... 15. Lokasi sampling Stasiun intake/ Dam ..................................................................... 16. Lokasi sampling stasiun Rajamandala .................................................................... 17. Hasil identifikasi organisme bentik makroavertebrata dari mulai Stasiun Gunung Wayang hingga st. Rajamandala .............................................................. .
iii
111 112 113 116 116 116 117 117 117 118 118 118 119 119 119 120 121
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Waduk Saguling merupakan salah satu waduk sistem cascade yang berlokasi di Provinsi Jawa Barat. Waduk tersebut terletak di bagian pertama dari sistem cascade yang inletnya mendapat masukan dari Sungai Citarum yang telah mengalami pencemaran. Oleh sebab itu waduk tersebut berpotensi mengalami pencemaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua waduk yang ada di bawahnya (Waduk Cirata dan Jati Luhur). Waduk Saguling saat ini telah mengalami beberapa masalah yang cukup serius antara lain: peningkatan beban sedimen yang tinggi (> 4 juta m3/thn), masuknya sampah dan gulma air ke dalam waduk (250.000 m3/thn), percepatan korositas turbin, dan penurunan kualitas air oleh kontaminasi bahan polutan organik, logam berat, pestisida, dan mikropolutan lainnya (Anonim 2004). Namun demikian peningkatan konsentrasi logam di Waduk Saguling juga ditengarai dari aktivitas gunung berapi Tangkuban Perahu dan Patuha yang dapat memuat senyawa sulfat ke DAS Citarum sebesar 6000-12.000 ppm, chlorida 5300-12.600 ppm, dan logam seperti As, Ba, Mg, Al, Cu, Pb, Zn, Hg, Se, dan Cd (Sriwana 1999). Adanya fenomena kematian ikan secara masal yang mencapai ribuan ton di Waduk Saguling, sementara ini disebabkan oleh kombinasi penurunan oksigen terlarut, tingginya konsentrasi amonia, dan bahan kimia toksik lainnya seperti pestisida, logam berat dan sebagainya yang dilepaskan dari sedimen ke kolom air (Brahmana and Firdaus 1997; Hart et al. 2002 ). Sedimen di lingkungan akuatik cenderung terkontaminasi oleh polutan organik maupun anorganik yang teradsorpsi oleh bahan partikulat atau terlarut dalam air pori-pori sedimen (Giesy and Hoke 1989). Salah satu bahan kontaminan toksik yang paling sering dikaji dalam toksisitas sedimen adalah logam berat (Luoma and Carter 1991; Chapman et.al 1998). Polusi oleh logam berat biasanya menjadi masalah yang serius bagi kesehatan manusia dan ekosistem akuatik karena kemampuan toksisitas maupun akumulasinya terhadap biota (Prica et al. 2007). Logam berat di
2
ekosistem perairan mempunyai kecenderungan berikatan dengan
senyawa acid
volatile sulphide (AVS), besi dan mangan oksihidroksida (FeOOH dan MnOOH), partikulat karbon organik (POC), dan sebagainya yang akan diendapkan sebagai partikel penyusun sedimen (Chapman et.al 1998; Fὅrtstner 1983). Mobilisasi logam biasanya cenderung meningkat sejalan dengan adanya kompleksasi ligan dan oksidasi sedimen anaerob (Chapman et al. 1998). Tingginya konsentrasi logam di sedimen belum tentu menyebabkan gejala toksisitas maupun akumulasi bagi biota akuatik, jika jumlah ion yang bersifat bioavailable terbatas (Power and Chapman 1992). Landrum and Robbins (1990) mendefinisikan bioavailable sebagai bentuk fraksi kontaminan total pada air pori-pori maupun partikel sedimen yang dapat menyebabkan gejala toksisitas maupun bioakumulasi. Fraksi logam yang bioavailable umumnya dalam bentuk kation divalen misalnya: Me2+, Me(H2O)x2+ (Chapman et al. 1998), dan Me(OH)+ (Allen 1993). Dalam kondisi normal, kation tersebut mungkin akan berikatan membentuk senyawa kompleks yang kurang bioavailable. Menurut Calmano et al. (1997) kondisi tersebut bisa menjadi “bom waktu” karena adanya sedikit faktor pemicu seperti perubahan potensial redoks, pH, biodegradasi bahan organik, maupun faktor lingkungan lainnya akan menyebabkan ion-ion logam dilepaskan kembali ke kolom air, sehingga bersifat toksik bagi biota air. Indikasi bioavailability1) logam berat di Waduk Saguling dapat diamati dengan terdapatnya beberapa akumulasi logam seperti: Cd, Ni, dan Cr pada daging ikan mas (Cyprinus sp.) hasil budidaya jaring apung yang telah melampaui kelayakan untuk dikonsumsi oleh manusia (Sudarso et al. 2001). Oleh sebab itu keberadaan logam yang terakumulasi di sedimen, sudah selayaknya mendapat perhatian khusus dan dievaluasi agar dampak negatif yang akan ditimbulkan dapat dihindari atau diminimalkan. Keberadaan logam berat di ekosistem akuatik telah lama menjadi masalah bagi kesehatan manusia, sebagai akibat menkonsumsi ikan atau biota lainnya yang telah terkontaminasi dalam 1)
jaringan lemaknya. Sebagai contohnya adalah kasus
Bioavailability menunjukkan bentuk kata benda dari bioavailable (kata sifat). Definisi lain dari bioavailability adalah tingkat dan kemampuan sebuah substansi untuk terabsorbsi kedalam sistem biologi atau membuatnya mudah tersedia pada tempat aktivitas fisiologi.
3
penyakit chisso-minamata dan itai-itai di Negara Jepang yang disebabkan oleh kontaminasi logam berat Hg dan Cd (Fὅrtstner and Whittmann 1983). Bisthoven et al. (1998) menyebutkan dampak negatif dari toksisitas logam berat bagi biota air yaitu terganggunya proses fisiologi, kecacatan morfologi, hingga perubahan pada struktur komunitas yang pada akhirnya dapat menurunkan integritas biologi2) perairan. Penelitian kualitas logam di sedimen3 pada Waduk Saguling umumnya masih bersifat parsial dan klasifikasi bioavailability logam di sedimen masih belum banyak diungkap. Kondisi tersebut memperlihatkan perlunya dilakukan penelitian yang mengintegrasikan dari berbagai macam metode yang lazim digunakan untuk memprediksi bioavailability logam yang terakumulasi di sedimen seperti dalam konsep triad/ kualitas sedimen triad (SQT) (Sorensen et al. 2007). Konsep triad pertama kali digunakan oleh Long and Chapman (1985) guna memprediksi bioavailability polutan yang terikat di sedimen ditinjau dari tiga macam bobot bukti (weight evidence) yaitu analisis kimia, komunitas bentik makroavertebrata, dan uji toksisitas/bioassai. Penggunaan konsep triad ini dilatarbelakangi oleh keterbatasan penggunaan analisis kimia dalam memprediksi gangguan ekologi yang diakibatkan oleh pemaparan polutan toksik di sedimen, tanpa melihat respon biologi yang ditimbulkan di lapangan (insitu) maupun di laboratorium (Marvin et al. 2004). Adanya kelebihan dan kekurangan dari masing-masing bobot bukti tersebut di atas, maka kombinasi dari potensi penyebab (kimia) dan pengukuran efek (toksikologi dan ekologi) membuat konsep triad sebagai alat yang efektif untuk menetapkan besar dan signifikansi induksi suatu polusi yang menyebabkan penurunan atau degradasi lingkungan (Sorensen et al. 2007; Hollert et al. 2002). Agar pelaksanaan konsep triad ini bisa berhasil digunakan untuk memprediksi bioavailability logam yang terakumulasi di sedimen Waduk Saguling, maka proses pelaksanaan konsep triad ini 2)
Integritas biologi adalah kemampuan untuk mendukung dan memelihara sebuah keseimbangan, penggabungan, komunitas yang adaptif dari organisme yang terdiri dari komposisi spesies, diversitas, dan organisasi fungsional yang dapat dibandingkan dengan habitat alami dari suatu region yang sama. 3) Sedimen adalah material yang tertumpuk oleh proses pengendapan yang terjadi di dalam air. Sedimen terdiri dari berbagai macam partikel penyusunnya bisa berupa bahan organik, butiran mineral, serpihan batu, karbonat, dan endapan lainnya.seperti: oksida besi, mangan, dan aluminium.
4
mengikuti prosedur Calmano et al. (1997). Konsep triad sekarang ini telah mengalami perkembangan yang pesat dan sudah diadopsi oleh beberapa negara maju seperti
Amerika,
Kanada,
Rusia,
Jerman,
Spanyol,
dan
China,
guna
mengklasifikasikan toksisitas sedimen dan bahan penyusunan guideline kualitas sedimen sebagai dasar pengelolaan maupun remediasi sungai, danau, atau laut yang terkontaminan oleh bahan polutan toksik (Canfield et al. 1994; Long and Chapman 1985: Liu et al. 1999; Leslie et al.1999; Hollert a et al. 2002; Riba et al. 2004). Penjelasan di atas menunjukkan pentingnya dilakukan penelitian yang bersifat terintegrasi dari masing-masing komponen bobot bukti triad guna mengungkap kemungkinan logam yang terakumulasi di sedimen bersifat bioavailable ke biota akuatik, sebelum dampak negatif yang lebih besar lagi terjadi.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keberadaan logam berat di sedimen dari Waduk Saguling yang didasarkan pada pendekatan konsep triad. Untuk mencapai tujuan umum di atas, maka pada penelitian ini akan dilakukan: 1). Pengukuran tingkat kontaminasi logam berat yang terakumulasi di sedimen Waduk Saguling. 2). Mendapatkan efektivitas penggunaan komunitas bentik makroavertebrata guna mencerminkan bioavailability logam yang terikat di sedimen. 3). Mendapatkan status toksisitas sedimen dengan kaitannya pada besarnya kontaminasi logam yang berpengaruh akut pada biota uji.
1.3 Kerangka Pemikiran Air Waduk Saguling telah mengalami pencemaran logam berat yang berasal dari aktivitas antropogenik di sepanjang Sungai Citarum maupun daerah sekitar waduk. Terjadinya peningkatan logam di perairan dapat mengakibatkan logam tersebut berikatan atau membentuk kompleksasi dengan bahan partikulat organik dan anorganik dalam bentuk tersuspensi maupun mengendap sebagai partikel penyusun
5
sedimen. Umumnya logam yang terikat di sedimen dalam bentuk yang kurang bioavailable. Namun dengan adanya perubahan kualitas fisik, kimia, dan biologi pada sedimen dan kualitas air, memungkinkan logam yang semula terkompleksasi akan bersifat tidak stabil dalam bentuk kation: Me2+, Me(H2O)x2+ (Chapman et al. 1998), dan Me(OH)+ (Allen 1993). Bentuk kation tersebut mudah terserap ke dalam sistem biologi, sehingga bioavailable ke sebagian besar biota akuatik. Logam yang bioavailable dapat menyebabkan gejala toksisitas maupun bioakumulasi bagi biota akuatik. Adanya toksisitas logam secara akut dapat menyebabkan kematian bagi sebagian besar biota akuatik, sehingga akan berpotensi untuk menghilangkan individu atau spesies yang bersifat sensitif. Hilangnya individu atau spesies lebih lanjut dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan status fungsional komunitas biota akuatik. Untuk memprediksi bioavailability dari logam yang terikat pada sedimen perlu pendekatan yang terintegrasi dari masing-masing bobot bukti (weight evidence) dan dilakukan secara komprehensif seperti dalam konsep triad. Formulasi dari masingmasing bobot bukti (analisis kimia, uji bioassai, dan perubahan struktur komunitas bentik makroavertebrata) dapat
dilakukan penggabungan setelah melalui tahap
normalisasi, sehingga bioavailability logam pada masing-masing stasiun pengamatan dapat dievaluasi dan ditetapkan. Hasil dari evaluasi logam di sedimen dengan menggunakan konsep triad ini dapat bermanfaat untuk: 1). Pengembangan dalam proses penyusunan guideline/ baku mutu kualitas sedimen. 2). Prioritas lokasi yang akan dilakukan remediasi. 3). Prediksi besarnya bahaya dan resiko akibat pemaparan bahan-bahan toksik yang terakumulasi di sedimen (studi ecological risk assessment/ERA). 4). Prediksi bioavailability dari polutan spesifik yang terikat pada sedimen, dan 5). Rencana pengelolaan dari tipe perairan tergenang (misalnya: waduk, danau dan sebagainya). Untuk lebih jelasnya kerangka berpikir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Materi pembentuk partikel sedimen: besi dan mangan oksihidroksida, partikulat organik dan anorganik, detritus, dsb.
Peningkatan aktivitas antropogenik
Peningkatan kation Logam (Me2+, Me(H2O)x2+ , atau Me (OH)+ di perairan
Adsorpsi atau kompleksasi
Partikel tersuspensi
Bioavailable
Mengendap
Perub. kualitas air dan geokimia sedimen
Adsorpsi Bioavailable
Variabel kualitas air: pH, kesadahan, DO, potensial redok, Subs. humat, sulfida dsb.
Biota Akuatik
Toksisitas kronis
Sedimen
akut/
Bioakumulasi
Formulasi masing-masing bobot bukti dengan Pendekatan Triad / SQT
Perubahan Status fungsional dan struktur komunitas bentik
- Terpeliharanya integritas biologi perairan. - Perlindungan kesehatan bagi manusia. - Pembangunan yang berkelanjutan
Gambar 1.
- Penyusunan guideline/ baku mutu kualitas sedimen. - Prioritas lokasi / tempat yang akan dilakukan remediasi. - Prediksi besarnya bahaya dan resiko akibat pemaparan bahan toksik di Sedimen (studi ecological risk assessment/ERA) - Prediksi bioavailability polutan spesifik yang terikat di sedimen. - Rencana pengelolaan tipe badan air misalnya untuk waduk, danau, dan sebagainya.
Skema kerangka penelitian evaluasi kontaminasi logam di sedimen dengan pendekatan konsep triad
7
1.4 Perumusan Masalah Kompleksnya berbagai macam polutan di sedimen belum tentu menyebabkan pengaruh toksik maupun akumulasi bagi biota air, jika bentuk polutan yang dalam keadaan bebas terbatas (Power and Chapman 1992). Masuknya logam berat ke perairan biasanya dalam bentuk ion logam bebas yang terlarut, khelat dengan ligan yang tidak tersusun secara teratur misalnya dengan: Cl-, OH-, CO3-, dan NO3-, dan kompleks dengan ligan organik seperti asam: fulvik, amina, asam humik, dan protein. Disamping itu, logam di perairan mungkin terikat dengan bahan partikulat dalam bentuk koloid atau agregat yang biasanya akan mengendap di dasar perairan (Chapman et al. 1998). Adanya pengaruh variabel fisik, kimia, dan biologi dari perairan dapat memicu bioavailability dari logam-logam yang selama ini tersimpan di dasar perairan akan dilepaskan kembali ke dalam kolom air yang diyakini sebagai penyebab terjadinya bioakumulasi dan toksisitas pada biota akuatik (Luoma 1995). Penelitian yang mengulas tentang toksisitas maupun bioavailability logam yang terikat di sedimen pada Waduk Saguling masih minim dan sebagian besar masih difokuskan pada kualitas airnya saja. Padahal jalur pemaparan logam ke biota akuatik dapat melalui kontak dengan air, sedimen, atau melalui rantai makanan. Di negaranegara maju dalam pengelolaan sumber daya air (misalnya: waduk, danau, sungai dan sebagainya) biasanya telah mengintegrasikan pemantauan dan penilaian kualitas air dan sedimennya (Anonim 1992). Oleh sebab itu diperlukan suatu pemahaman tentang bioavailability polutan yang terkandung didalamnya sebagai dasar untuk menetapkan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya air. Salah satu cara untuk memprediksi bioavailability dari polutan yang terikat di sedimen yaitu dengan menggunakan pendekatan triad yang akan dikaji pada penelitian ini. Pada konsep triad, bioavailability dari polutan yang terikat pada sedimen dilakukan penilaian dari 3 bobot bukti yaitu penilaian parameter fisik dan kimia sedimen, struktur komunitas bentik makroavertebrata, dan uji toksisitas sedimen (Long and Chapman 1985). Masing-masing bobot bukti akan memberikan makna tersendiri dan tidak ada yang lebih dipentingkan dari yang lainnya (Chapman 1996). Agar permasalahan tersebut di atas dapat terpecahkan, maka pelaksanaan konsep triad ini mengadopsi dari Calmano
8
et al. (1997). Dari diagram kerja tersebut dicoba disusun suatu bagan alir perumusan masalah yang disajikan pada Gambar 2. Hasil dari penilaian kualitas sedimen berdasarkan triad setelah dilakukan tahap scoring dan rangking dapat digunakan untuk prioritas tempat atau lokasi yang akan dilakukan rehabilitasi waduk maupun relokasi dari jaring apung berdasarkan tingkat kontaminasi logam yang terakumulasi pada sedimen. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dicari solusinya dalam penelitian ini antara lain: 1. Seberapa besar tingkat kontaminasi logam berat yang terakumulasi di sedimen dari Waduk Saguling ? 2. Apakah peningkatan kontaminasi logam di sedimen diikuti dengan perubahan struktur komunitas bentik makroavertebrata ? 3. Apakah peningkatan kontaminasi logam di sedimen juga diikuti dengan peningkatan status toksisitas sedimennya? 4. Dapatkah konsep triad ini menggambarkan bioavailability dari logam yang terakumulasi di sedimen dari Waduk Saguling?
9
Peningkatan kontaminasi logam berat di perairan Sungai Citarum: • Tingginya beban polusi dari limbah industri dan domestik tanpa IPAL memadai. • Leaching dari aktivitas G. berapi • Pengelolaan SDA yang tidak bijak. • Non point sources dari lahan pertanian, jalan raya, dan sebagainya
Pencemaran logam berat di perairan
Tersuspensi
Sedimen
Kemungkinan sedimen tidak bermasalah
Tidak
Mengendap
Terdisosiasi dalam air
Prediksi bioavailability logam
Penilaian parameter kimia sedimen: apakah melebihi guideline
ya
Tidak
Penilaian insitu dengan komunitas bentos: apakah ada gangguan
ya Scoring & rangking tempat
Klasifikasi bioavailability logam di sedimen dengan Triad
Penilaian uji toksisitas sedimen: - Uji air pori-pori sedimen
Rekomendasi pengelolaan Waduk Saguling: 1. Prioritas tempat dalam rehabilitasi waduk berdasarkan besarnya kontaminasi logam di sedimen. 2. Zonasi untuk relokasi jaring apung berdasarkan besarnya kontaminasi logam di sedimen
Gambar 2. Skema perumusan masalah penelitian bioavailability logam di sedimen dengan konsep triad
10
1.5 Sasaran dan Manfaat 1.5.1 Sasaran Sasaran dari penelitian ini adalah diperolehnya data dan informasi mengenai status toksisitas logam di sedimen yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan guideline kualitas sedimen guna melindungi biota akuatik.
1.5.2 Manfaat Setelah diketahuinya status bioavailability logam di sedimen dari Waduk Saguling ini, maka informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai rujukan bagi pihak terkait khususnya BPLHD Jabar, Dinas Pekerjaan Umum, dan PT. Indonesia Power sebagai pihak pengelola dan otoritas dari Waduk Saguling dan Sungai Citarum guna: 1. Memprediksi besarnya bahaya dan resiko yang ditimbulkan oleh pemaparan logam kepada manusia maupun biota air yang hidup di dalam Waduk Saguling. 2. Klasifikasi dan prioritas tempat yang perlu dilakukan remediasi di Waduk Saguling.
11
II. Tinjauan Pustaka 2.1 Logam Berat. Logam berat secara umum didefinisikan sebagai unsur logam yang mempunyai densitas lebih tinggi dari 5 g mL-1, sebagai contoh, Fe, Cu, Pb, Cd, Hg, Ni, Zn, dan Mn. Kira-kira 53 dari 90 unsur alami yang termasuk dalam kategori logam berat (Mamboya 2007). Banyak dari unsur-unsur tersebut seperti: Cu, Mn, Fe, dan Zn, bersifat mikrohara yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup, namun dapat berubah menjadi toksik ketika konsentrasinya lebih tinggi dari yang diperlukan pertumbuhan secara normal (Fὅrtstner and Whittmann 1983). Keberadaan logam berat seperti: Cd, Hg, dan Pb, sejauh ini mempunyai fungsi yang belum diketahui di dalam organisme hidup, dan umumnya bersifat toksik pada konsentrasi yang sangat rendah. Banyaknya jenis logam yang tergolong sangat toksik dan potensinya untuk menimbulkan gangguan bagi kesehatan manusia dan organisme hidup lainnya, maka banyak penelitian yang telah dilakukan guna mengukur konsentrasi maupun akumulasinya dari sampel lingkungan (misalnya: air, tanah, sedimen dan sebagainya) dan jaringan makhluk hidup lainnya. Namun penelitian logam berat di lingkungan atau iklim tropis umumnya masih minim atau jarang dilakukan (Mamboya 2007). Sumber kontaminasi logam di sedimen sangat bervariasi yakni dari sumber alami, antropogenik, point dan nonpoint sources, maupun dari tumpahan (Chapman et al. 1998). Beberapa aktivitas antropogenik umumnya dapat meningkatkan kontaminasi logam di ekosistem akuatik misalnya: penambangan, industri, domestik, pertanian, dan pembakaran bahan bakar fosil. Peningkatan unsur logam secara alami juga dapat meningkatkan konsentrasi logam di lingkungan terutama bersumber dari hasil pelapukan batuan, dekomposisi jaringan tanaman dan hewan, maupun dari aktivitas vulkanik (Fὅrtstner and Whittmann 1983). Tabel 1 merupakan sumber dari elemen renik dari logam berat yang banyak digunakan guna kepentingan aktivitas antropogenik (Manahan 2005).
12
Tabel 1. Elemen renik penting dalam perairan alami.
Sumber
Pengaruh dan Signifikansi
Arsenic Berylium Boron Chromium
Elemen
Pertambangan, limbah kimia Batubara, limbah industri Batubara, deterjen, limbah Penyepuhan/pelapisan logam
Copper
Pelapisan industri
Toksik, kemungkinan karsinogenik Toksik Toksik Esensial sebagai Cr (III) dan toksik sebagai Cr (VI) Esensial elemen renik, toksik pada konsentrasi tinggi. Mencegah pembusukan gigi pada kisaran 1 mg/l, toksik pada tingkat yang lebih tinggi. Mencegah penyakit gondok. Nutrien esensial, perusakan adanya pelapisan. Toksik, membayakan bagi hewan liar. Toksik pada tanaman, perusakan dengan adanya pelapisan. Toksik, dapat termobilisasi sebagai metilmerkuri oleh bakteri anaerob Esensial terhadap tanaman, toksik pada hewan. Esensial pada konsentrasi rendah, toksik pada kons. tinggi. Elemen esensial, toksik pada tanaman pada konsentrasi yang tinggi
logam,
penambangan,
limbah
Fluorine Batuan/ sumber geologi, limbah Iodine Iron Lead Manganese Mercury
Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari mikroba Limbah industri, penambangan, bahan bakar Limbah industri, air masam tambang, aksi dari mikroba Limbah industri, penambangan, batubara
Molybdenum Limbah industri, sumber alami Selenium Sumber alami, batubara Zinc Limbah industri, pelapisan logam, plumbing
Di dalam lingkungan perairan, logam mungkin berbentuk sebagai: ion logam bebas yang terlarut atau sebagai ion kompleks, khelat dengan ligan yang tidak tersusun secara teratur misalnya dengan: Cl-, OH-, CO3-, dan NO3- , dan kompleks dengan ligan organik seperti: asam fulvik, amina, asam humik, dan protein. Disamping itu, logam di perairan mungkin terikat dengan bahan partikulat dalam bentuk koloid atau agregat, endapan sebagai lapisan logam pada partikel, penggabungan ke dalam bahan organik misalnya algae, dan tersimpan dalam partikel crystalline detritus. Bentuk fisik dan kimia dari logam di perairan diatur oleh variabel lingkungan seperti: salinitas, temperatur, pH, potensial redoks, bahan partikulat
13
organik, dan aktivitas biologi (Chapman et al. 1998; Maher et al. 1999). Disamping itu, adsorpsi dari kontaminan tersebut sangat dipengaruhi oleh kimia dari air permukaan sedimen (overlying), pH, salinitas, dan kimia permukaan partikel itu sendiri (Maher et al. 1999). 2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Bioavailability dan Toksisitas Logam di Ekosistem Akuatik. Konsentrasi logam berat di ekosistem akuatik sebagian besar diatur oleh proses biologi dan karakteristik fisik-kimia air yang melingkupinya (Novotny and Olem 1994; Chapman et al. 1998). Sebagai contoh: tanaman bayam air tawar Ipomoea aquatica akumulasi logamnya secara negatif dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi nutrien. Pengambilan/ uptake logam Hg, Cd dan Pb akan menurun ketika konsentrasi nutrien ditingkatkan. Namun studi dengan menggunakan fitoplankton menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu pengkayaan nutrien akan meningkatkan konsentrasi dari pengambilan Cd dan Zn. Di lingkungan dengan tingginya konsentrasi nutrien, umumnya pengambilan logam akan terganggu, karena terjadi pembentukan kompleksasi antara nutrien dengan ion logam (Mamboya 2007). Parameter pH dan potensial redoks dapat mempengaruhi bioavailability logam dalam bentuk terlarut (Chapman et al. 1998). Pada pH yang tinggi (alkaline) unsur logam cenderung membentuk endapan yang tidak larut dari hidroksida, oksida, karbonat, atau fosfat. Namun pada pH yang rendah umumnya logam dalam bentuk kation bebas, sehingga bioavailability logam akan semakin meningkat. Novotny and Olem (1994) menyebutkan pH > 7 sebagian besar dari logam akan mengadakan kompleksasi, sedangkan pada pH yang < 5 konsentrasi logam dalam bentuk bebas akan miningkat secara dramastis. Substansi humik di dalam lingkungan akuatik mungkin mempengaruhi bioavailability ion logam. Bioavailability dan toksisitas logam akan berkurang melalui pembentukan kompleks bahan organik terlarut (DOM), karena akan mengurangi konsentrasi ion logam bebas di lingkungan akuatik (Fὅrtstner dan Whittmann 1983). DOM mungkin akan menghalangi akumulasi
14
beberapa logam dengan cara memblock tempat pengikatan (reseptor) dari permukaan alga. Temperatur juga dapat mempengaruhi laju metabolisme dari organisme, dan oleh karena itu pengambilan logam biasanya akan meningkat ketika temperatur dinaikkan (Cairns et al. 1975). Toksisitas logam di ekosistem akuatik sebagian besar dipengaruhi oleh status bioavailability logam berat yang bersangkutan (Luoma 1995; Chapman et al.1998). Toksisitas logam biasanya akan berkurang ketika fraksi dari ion logam pada kolom air teradsorbsi oleh bahan organik yang tersuspensi. Dengan demikian pengukuran dari konsentrasi logam berat total di dalam kolom air mungkin tidak selalu berhubungan atau mencerminkan kejadian toksisitas yang sebenarnya (Novotny and Olem 1994; Allen 1993). Ketika logam toksik dilepaskan ke perairan alami, maka umumnya logam tersebut akan mengadakan kompleksasi dengan ligan. Bentuk dari ligan ini bisa bervariasi yaitu organik atau anorganik yang mengadakan penggabungan dengan logam membentuk strutur kimia yang lebih komplek. Novotny and Olem (1994) telah merinci beberapa penyebab utama adanya pengendapan dan kompleksasi dari logam sebagai berikut: 1). Oksidasi dari bentuk tereduksi dari besi, mangan, dan sulfida. 2). Reduksi dari logam yang bervalensi tinggi dengan interaksi bahan organik seperti pada logam selenium dan perak. 3). Reduksi sulfat ke bentuk sulfida (logam besi, tembaga, perak, seng, merkuri, nikel, arsen, dan selenium yang akan mengendap sebagai logam sulfida/MeS). 4). Adanya reaksi dengan alkalin akibat adanya peningkatan pH misalnya logam stronsium, mangan, besi, seng, dan kadmium. 5). Adsorpsi dan kopresipitasi dari ion logam dengan besi dan mangan oksida, clay, dan bahan partikulat organik. 6). Reaksi pertukaran ion khususnya dengan clay.
15
2.3 Penerapan Uji Bioassai. Uji toksisitas/ bioassai merupakan suatu pendekatan yang bersifat eksperimen guna menguji respon dari suatu organisme hidup terhadap suatu bahan polutan tertentu. Beraneka macam respon biologi yang ditimbulkan oleh biota uji sebagai respon terpaparkan oleh bahan polutan spesifik, mulai dari perubahan fisiologi hingga berujung pada kematian (toksisitas akut). Bahan toksik/ toksikan umumnya dipaparkan ke biota uji dalam bentuk terlarut maupun campuran misalnya dalam bentuk sedimen. Bioassai pada umumnya dirancang untuk: menentukan konsentrasi dari suatu bahan kimia spesifik yang diduga bersifat toksik, menentukan toksisitas dari suatu air atau sedimen alami (bioassay ambient), dan memahami proses yang mengatur kejadian toksisitas. Evaluasi toksisitas dengan menggunakan bioassai lebih mengutamakan unsur ketepatan, kepraktisan, standardisasi, dan kemampuan pengulangan dalam menggambarkan respon spesifik dari biota uji terhadap bahan toksikan tertentu. Disamping itu bioassai juga dapat diterima dalam menunjukkan permasalahan yang terjadi dari interaksi antar bahan kimia yang ditunjukkan dalam respon biologi tunggal dalam suatu sistim percobaan. Bioavailability bisa lebih mudah diintepretasi, jika bioassai digabungkan dengan studi kimia pada suatu ekosistem. Para penganjur teknik bioassai umunya berpendapat bahwa kesederhanaan merupakan suatu kebutuhan dan keuntungan dari metode bioassai. Disamping itu bioassai relatif lebih murah dan lebih mudah di standardisasi dibandingkan dengan studi yang dilakukan di lapangan. Respon yang ditimbulkan oleh toksisitas maupun defesiensi dari logam dapat ditunjukan dengan menggunakan bioassai. Bioassai dengan menggunakan fitoplankton menunjukkan bagaimana aktivitas logam terlarut seringkali mempengaruhi efek biologisnya. Sedangkan bioassai dengan menggunakan organisme bentik makroavertebrata menunjukkan bagaimana proses geokimia dari sedimen berpengaruh terhadap bioavailability logam pada hewan deposit feeder (Luoma 1995).
16
2.4 Beberapa Pertimbangan Dalam Melakukan Studi Bioassai Setiap studi bioassai biasanya melibatkan pemilihan tentang tingkatan organisasi yang dipaparkan, lamanya waktu pemaparan, konsentrasi yang dipaparkan, rute pemaparan, dan keterwakilan dari spesies yang digunakan. Pengaruh konsentrasi dan waktu pemaparan saling terkait. Dalam uji bioassai umumnya konsentrasi logam secara progresif akan lebih rendah ketika waktu pemaparan semakin meningkat. Semakin singkat waktu pemaparan, maka diperlukan konsentrasi lebih tinggi untuk bisa menimbulkan suatu respon. Pemaparan kronis secara alami dapat tetap bertahan dari satu generasi ke generasi lainnya dari suatu spesies yang relatif menetap/ tinggal disitu. Sehingga bioassai kronis dapat mencerminkan secara kasar pemaparan lebih dari satu siklus hidup. Walaupun sekarang ini tidak selalu dalam uji toksisitas kronis, pemaparan melibatkan satu siklus hidup secara penuh (Luoma 1995). Studi yang dilakukan guna mengembangkan guideline kualitas sedimen biasanya menggunakan waktu pemaparan yang relatif singkat yaitu 96 jam dari suatu organisme dengan waktu generasi tahunan. Sebagai contohnya adalah uji toksisitas sedimen 96 jam yang menggunakan hewan Moluska dengan masa hidup hingga 10 tahun. Meskipun penggunaan hewan tersebut banyak mendapakan kritik karena relatif tidak sensitif terhadap toksisitas sedimen. Baru-baru ini pengembangan uji bioassai kronis sedimen dengan menggunakan hewan Amphipoda dengan waktu pemaparan 10 hingga 28 hari. Hewan tersebut secara alami tinggal di dalam sedimen dalam kurun waktu hingga ±1 tahun (Luoma 1995). Penggunaan
prosedur
bioassai
dari
sedimen
yang
terstandardisasi
menunjukkan hasil yang relatif sensitif dan dapat dilakukan pengulangan. Hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam melakukan uji bioassai sedimen adalah bioavailability logam diantara sedimen pada perbedaan karakter geokimia, pengaruh manipulasi pada geokimia sedimen, dan keterbatasan geokimia sedimen selama digunakan dalam uji bioassai air pori-pori dan elutriates (Bernhard 2000). Adapun organime yang telah umum digunakan dalam uji bioassai sedimen air tawar antara lain: 1) Bakteri, 2). Algae, 3). Tumbuhan makrofit, 4). Amphipoda, 5). Insekta air misalnya larva Chironomid dan Ephemeroptera. 6). Cladocera, 7). Cacing
17
Oligochaeta dan 8). Ikan (Burton and Ingersoll 1994; Giesy and Hoke 1991). Bioassai sedimen dengan menggunakan bentik makroavertebrata dapat digunakan untuk mengevaluasi toksisitas dan bioakumulasi dari kontaminan persisten yang berguna untuk memprediksi bioavailability logam pada lingkungan sedimen yang berbeda (Besser et al. 1995). Pemilihan biota uji umumnya didasarkan pada pengaruh utamanya pada keterkaitan ekologi dari biota yang bersangkutan dan intepretasi dari respon yang ditimbulkan dari adanya pemaparan bahan polutan. Sebagian besar guideline dari uji bioassai sedimen dari ASTM E 1525 maupun US-EPA dalam pemilihan biota uji yang digunakan didasarkan pada pertimbangan: 1. Data base toksisitas yang ada untuk mengevaluasi sensitifitas relatif dari suatu organisme terhadap pemaparan suatu bahan polutan. 2. Organisme yang hidup pada sedimen. 3. Organisme yang dapat dibiakkan di laboratorium 4. Organisme yang dapat dipelihara; dipertahankan di dalam laboratorium selama percobaan berlangsung. 5. Identifikasi/taksonomi dari biota uji yang digunakan tidak ada masalah. 6. Organisme tersebut secara ekologi penting. 7. Distribusi dari organisme sebagai biota uji ada di dalam lokasi atau area dimana uji bioassai tersebut dilakukan. 8. Organisme tersebut relatif toleran dengan kisaran yang luas dari kondisi fisiko-kimia dari sedimen secara alami. 9. Organisme tersebut relatif toleran dengan kisaran yang luas dari kondisi kualitas air. 10. Uji dengan menggunakan hewan tersebut telah melalui rekomendasi dari beberapa peer review. 11. Uji dengan menggunakan organisme tersebut di lapangan dapat dilakukan validasi (Burton and Ingersoll 1994).
18
2.5 Kompleksitas Respon Tingkatan Organisasi Biologi Terhadap Pemaparan
Logam. Toksisitas umumnya didefinisikan sebagai munculnya efek biologi yang merugikan. Untuk tujuan praktis, satu tingkat organisasi biologi biasanya dipilih dalam mempelajari sebuah efek/ pengaruh. Toksisitas logam di alam dapat berpengaruh pada seluruh tingkat organisasi biologi (seluler hingga populasi). Toksisitas melibatkan suatu reaksi penggantian dan kegagalan interaksi dari suatu mekanisme yang lebih komplek dibandingkan dengan suatu efek merugikan secara sederhana. Pada Gambar 3 merupakan urutan pengaruh dari toksisitas logam terhadap seluruh tingkatan organisasi biologi dari yang paling rendah(seluler) hingga tingkat yang paling tinggi (populasi). Dari gambar tersebut menunjukkan proses detoksifikasi dan kompensasi terjadi pada masing-masing tingkat organisasi biologi. Efek merugikan dari logam terjadi ketika mekanisme kompensasi dan detoksifikasi berlebih pada pengaruh sekunder. Dalam kasus yang sederhana semakin besar pemaparan logam, maka semakin panjang reaksi ke bagian bawah bagan yang akan diproses. Biasanya reaksi kontaminasi logam spesifik paling mudah diidentifikasi pada tingkatan yang paling rendah organisasi biologinya. Penumpukan kompleksitas terjadi dari mulai bagian atas hingga bagian bawah dari bagan. Sehingga dalam mendefinisikan pengaruh sebab-akibat dari kontaminasi logam pada tingkatan organisasi biologi, kompleksitas mulai muncul dari tingkatan yang lebih rendah hingga tingkat yang lebih tinggi (Luoma 1995). Rute pemaparan uji bioassai mungkin akan berpengaruh pada hasil intepretasinya. Keberadaan toksikan dalam bentuk terlarut umumnya pendekatan metode bioassai lama yang paling sering digunakan. Kontrol konsentrasi logam selama bioassai, geokimia, dan kondisi reduksi/oksidasi (redoks) akan lebih mudah, ketika eksperimen tersebut dilakukan dalam bentuk fase cair saja. Bioassai sedimen melibatkan suatu sistim yang lebih rumit guna menguji toksisitas terhadap hewan bentik makroavertebrata. Konsentrasi logam disajikan dalam suatu campuran dalam bentuk teradsorbsi maupun terlarut. Satu keuntungan dengan menggunakan metode ini adalah jalur pemaparan mungkin lebih mirip dengan kebiasaan hidup dari biota uji
19
untuk hidup secara alami. Kerugiannya adalah hilangnya kontrol geokimia dari sistim pengujian, wujud/ bentuk dari logam yang dipaparkan, dan rute pemaparannya. Toksisitas pada sedimen juga diuji dengan cara memisahkan air pori-pori sedimen atau pengenceran sedimen dengan air (elutriates) dengan perbandingan tertentu yang mempresentasikan logam di dalam wujud terlarut. Di dalam cara ini, pengaruh faktor sedimen secara alami (seperti ukuran butir) dapat diabaikan (Chapman et al 1998 ; Luoma 1995). Beberapa peneliti tetap mempertahankan pemaparan polutan melalui jalur air sebagai kesesuaian simulasi pengujian secara alami. Mereka menyarankan air atau air pori-pori sedimen adalah rute yang paling eksklusif dari pemaparan zat pencemar di alam atau keseluruhan pemaparan sebanding dengan bioavailability logam dalam bentuk terlarut. Studi bioassai dengan cara spiked pada sedimen menunjukkan pengambilan logam Cd oleh hewan Amphipoda berkorelasi dengan aktivitas Cd dalam air pori-pori sedimen. Baru-baru ini, suatu korelasi yang kuat ditunjukkan antara konsentrasi ion Cd bebas di atas permukaan sedimen (overlying) dengan konsentrasi Cd di remis dari 37 danau di Quebec dan Ontario, Canada (Luoma 1995).
20
Tingkat organisasi biologi Molekuler/biokimia
Pengaruh sekunder
Pengaruh primer
Detoksifikasi - Lisosom - Metallothionin
Bioakumulasi
Detoksifikasi berlebih Merubah atau mengganggu proses biokimia Fisiologi
Detoksifikasi - Aklimatisasi - Adaptasi siklus reproduksi Kompensasi berlebih Stress fisiologi - Lemahnya individu - Menghambat reproduksi - Mudah stress
Organisme
Detoksifikasi - Kelulushidupan pada dewasa Kompensasi berlebih Individu tidak dapat lolos hidup atau reproduksi
Populasi
Detoksifikasi - Rendahnya toleransi - Imigrasi - Struktur umur Kompensasi berlebih Hilangnya spesies
Gambar 3. Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan organisasi biologi.
21
2.6 Respon Komunitas Bentik Makroavertebrata terhadap Pemaparan Logam. Organisme bentik makroavertebrata merupakan salah satu komponen biotik perairan yang hidup di dasar perairan, yang seringkali digunakan dalam memprediksi tingkat gangguan pada ekosistem akuatik akibat kontaminasi bahan polutan maupun adanya perubahan habitat (Norris 1999). Adanya kontaminasi tersebut di perairan dapat dengan mudah terakumulasi dan berpengaruh secara langsung ke organisme bentik makroavertebrata dan menjadi bioavailable ketiaka adanya resuspensi atau lindih dari sedimen (Giezy and Hoke 1989). Kiffney and Clements (1993) telah merinci alasan penggunaan komunitas bentik makroavertebrata dalam mencerminkan adanya bioavailability logam di perairan antara lain: 1) Hewan tersebut dapat dengan mudah mengakumulasi logam dan dapat dipercaya sebagai indikator dalam menampakkan adanya gangguan dari bioavailability logam. 2). Organisme tersebut biasanya sering digunakan dalam kegiatan pemantauan lingkungan karena sifatnya yang relatif sessil, mempunyai waktu siklus hidup yang relatif panjang, dapat mewakili dari sebuah niche ekologi perairan, dan dapat mengakumulasi logam pada konsentrasi yang lebih tinggi daripada konsentrasi ambientnya (Luoma 1995). Distribusi spesies dari organisme bentik makroinvertebrata dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Kelimpahan dari organisme tersebut dapat tinggi atau rendah tergantung pada kesesuaian interaksi kondisi biotik dan abiotik pada masingmasing habitat. Ketika faktor tersebut optimal, populasi dari spesies dalam sebuah habitat juga akan optimal. Spesies spesifik dalam hubungannya dengan toleransi terhadap kontaminasi logam merupakan sebuah fungsi dari proses biokimia dan fisiologi dalam sebuah populasi. Toleransi sebuah spesies terhadap kontaminasi logam di beberapa tempat/ lokasi juga sebuah fungsi dari intensitas stressor alami, misalnya bagaimana optimal hubungannya sebuah spesies dalam lingkungan yang telah terkontaminasi logam (Luoma and Carter 1991). Komponen biota akuatik dalam ekosistem perairan mempunyai struktur dan fungsi tertentu dalam rantai makanan. Metode untuk mengetahui respon kontaminan terhadap sistem akuatik seringkali diduga dengan mengetahui adanya perubahan
22
struktur dan fungsi dari komponen biota akuatik yang telah terpaparkan dengan bahan kontaminan tersebut. Perubahan dalam struktur komunitas dapat diketahui dengan perubahan pada komposisi, jumlah, dan kelimpahan taksanya. Sedangkan perubahan fungsionalnya dapat ditunjukkan dengan perubahan pada produktivitas sekunder, laju dekomposisi dan sebagainya. Adanya kontaminasi logam dapat mengakibatkan perubahan pada keduanya (struktur dan fungsionalnya) yang kadangkala diantara parameter struktur dan fungsionalnya ada hubungan interrelasinya. Sampai saat ini belum ada satu parameterpun dari struktur dan fungsional yang paling efektif dalam mendeteksi pengaruh kontaminasi dari logam spesifik. Disamping itu pengukuran status fungsional dari komponen biota akuatik seringkali lebih sulit intepretasinya, karena kompleksitasnya dalam mencerminkan pengaruh dari sebuah polusi. Oleh sebab itu pengukuran parameter struktural yang paling banyak dipakai dalam bioassessment atau pemantauan dari adanya kontaminasi bahan polutan di perairan (Luoma and Carter 1991). Beberapa indek atau metrik biologi dalam mendeteksi adanya gangguan akibat polusi telah menggunakan data kelimpahan dan biomasa dari organisme bentik makroavertebrata. Namun banyak pula indek yang telah dikembangkan sudah tidak menggunakan kedua metrik biologi di atas karena kedua metrik di atas sangat sulit intepretasinya dan variabilitas datanya sangat tinggi. Sebuah model dari kelimpahan/biomasa yang mengadakan respon dari toksisitas sedimen didasarkan pada satu asumsi dari empat kondisi yaitu 1). Kondisi non toksik yang mendukung kelimpahan/biomasa dalam kategori sedang, 2). Kondisi toksik ringan yang mungkin mendukung tidak biasanya tinggi dari kelimpahan/biomasa, 3). Toksisitas sedang dapat menyebabkan kembalinya kelimpahan/biomasa dalam kategori sedang, dan 4). Toksisitas berat kondisinya hanya mendukung rendahnya kelimpahan/biomasa (Sorensen et al. 2007). Respon komunitas terhadap logam sebagai stressor seringkali sulit untuk diprediksi. Sebagian respon tergantung pada sejarah dari komunitas, yang menentukan apakah spesies yang menetap/ ada dihasilkan dari tidak adanya kontaminasi. Jika spesies yang toleran logam menggantikan spesies yang hilang yang
23
disebabkan oleh toksisitas logam, maka bentuk respon komunitasnya akan berbeda dengan spesies yang toleran logam juga hilang. Sensitifitas masing-masing hewan terhadap kontaminasi jenis-jenis logam adalah penting untuk diketahui. Sebagai contohnya adalah sensitifitas larva Trichoptera Hydropsychidae yang relatif toleran terhadap kontaminasi logam Cu, Cd dan Pb (Luoma 1995). Respon komunitas yang paling mudah untuk dilihat adalah dengan adanya pengurangan keseluruhan dari jumlah jenis yang ditemukan. Namun perubahan dalam spesies yang berpengaruh pada komposisi spesies relatif lebih sulit untuk dilihat. Seringkali didapati komposisi dari komunitas yang bersifat oportunis mendominasi dan menggantikan keberadaan spesies yang lain. Kondisi tersebut masih belum cukup meyakinkan keterkaitan antara dinamika
komunitas
terhadap
adanya
pencemaran
logam.
Ini
disebabkan
kompleksitas dari bahan toksikan lainnya yang turut mengatur perubahan dalam struktur komunitas yang kadangkala sulit untuk dipahami (Canfield et al.1994). Giezy and Hoke (1989) menyebutkan meskipun seluruh parameter fisik dan kimia selain
daripada
toksikan,
dan
sumber
kolonisasi
individu
dari
bentik
makroavertebrata tersebut identik, maka masih sulit menunjukkan adanya perbedaan dalam populasi dari organisme tersebut disebabkan oleh substansi toksik di sedimen. Perubahan yang singkat dari stressor kimia dan fisik seperti: chlorin, pH, dan temperatur dapat menghilangkan populasi dari bentik makroavertebrata tanpa meninggalkan residu di dalam sedimen. Hilangnya makroavertebrata pada sedimen belum tentu melibatkan adanya toksisitas pada sedimen sebagai faktor penyebab dan bukan indikasi potensi toksisitas pada sedimen yang lebih dalam. Oleh sebab itu, ada atau hilangnya dari bentik makroavertebrata mungkin belum cukup bukti dalam mengungkap adanya toksisitas sedimen (Luoma 1995). Biasanya untuk memprediksi dampak kontaminasi logam terhadap perubahan pada struktur komunitas yaitu dengan terlebih dahulu menetapkan daerah yang dianggap sebagai reference site dengan ketiadaan atau minimalnya kontaminasi logam (Luoma 1995). Lokasi reference tersebut kemudian dibandingkan dengan daerah yang akan kita uji yang berfungsi sebagai test site. Adanya perubahan atau penyimpangan terhadap komunitas dari reference site dapat diketahui dan
24
dihubungkan dengan besarnya kontaminasi logam yang terjadi pada test site (Norris and Thoms 1999). Dalam hubungannya dengan reference site yang berfungsi sebagai kontrol dari daerah yang akan kita uji atau sebagai test site, maka Long and Wilson (1997) mengeluarkan kriteria daerah yang dapat digunakan sebagai reference yaitu 1. Seluruh konsentrasi dari masing-masing bahan kimia di bawah nilai dari guideline effect range median (ERM) dan probable effect low (PEL). 2. Relatif rendahnya nilai rata-rata pembagian ERM (misalnya < dari 0,30; nilai rata-rata pembagian ERM yang dihitung dari jumlah pembagian konsentrasi kimia dengan nilai dari masing-masing ERM dibagi dengan jumlah kimia yang ada). Pengujian tingkat kelulushidupan hewan Amphipoda menunjukkan toksisitas < 20 % ketika nilai rata-rata pembagian ERM < 0,3 dan toksisitas > 70% ketika nilai rata-rata pembagian ERM > 1. 3. Konsentrasi amonia dan hidrogen sulfida pada air pori-pori di bawah ambang batas toksisitas dari pengujian organisme di laboratorium. 4. Tingkat kelulushidupan dari Amphipoda di dalam uji laboratorium tidak berbeda secara nyata dengan kontrol (uji T, p>0,05) dan lebih dari 80% dibandingkan dengan hewan yang hidup di kontrol. 5. Organisme bentik makroavertebrata memiliki kelimpahan total spesies yang tinggi, terdapatnya hewan Amphipoda dan Crustacea, dan tidak ada atau sedikit spesies indikator yang bersifat negatif (toleran) dan di dominasi oleh spesies indikator positif (sensitif). Manipulasi sistem dari sungai guna mempelajari respon komunitas terhadap toksikan
mempunyai sejarah yang panjang. Kebayakan dari studi tersebut
menunjukkan hilangnya spesies yang sensitif adalah respon pertama dari suatu komunitas terhadap logam. Perubahan jumlah taksa yang terjadi pada pemaparan konsentrasi logam yang lebih tinggi. Sebagai contohnya adalah penghilangan spesies dari serangga nympha Ephemoptera adalah respon yang paling sensitif dari adanya kontaminasi logam, dan hampir dapat ditemukan pada semua studi (Luoma 1995). Studi yang dilakukan Clements et al. (1993) dalam Luoma (1996) di laboratorium
25
menunjukkan pada konsentrasi logam Cu dari 230-492 nmol L-1 selama 96 jam, nympha serangga dari Ephemeroptera (mayfly) menghilang, namun jenis larva serangga Chironomidae lainnya (Diptera) dan detritus feeder Trichoptera meningkat dalam kelimpahannya. Hasil yang serupa ketika konsentrasi logam Cu yang rendah yaitu 004-008 µmol L-1 pada air lunak yang dipaparkan selama 1 tahun. Konsistensi dari hasil penelitian tersebut sudah dapat disimpulkan bahwa penurunan spesies dari serangga Ephemoptera yang relatif sensitif dan meningkatnya dominansi dari bentik makroavertebrata dari beberapa jenis famili Chironomidae dan Hydropsychidae merupakan sinyal awal dari peningkatan kontaminasi logam (Canfield et al.1994; Luoma 1996; Winner et al. 1980). Disamping adanya peningkatan kelimpahan dari larva Chironomidae juga diikuti dengan peningkatan komposisi taksa yang berkorelasi positif dengan peningkatan konsentrasi logam di sedimen pada Sungai Clark Fork di Montana akibat dari aktivitas penambangan. Populasi cacing Oligochaeta juga menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kontaminasi logam di sedimen. Beberapa genus dari famili Naididae (misalnya Dero digitata dan Ophidonais serpentina) dan sebagain besar dari famili Tubificidae (misalnya Tubifex sp., Limnodrilus hoffmeisteri) lebih toleran pada konsentrasi bahan organik yang tinggi dan polusi logam berat (Canfield et al. 1994). Besser et al. (1996b) yang melakukan penelitian di Sungai Detroit Michigan USA menunjukkan cacing Oligochaeta relatif toleran terhadap toksisitas sedimen yang tinggi dan mendominasi hingga 95% organisme bentik makroavertebrata yang ada. Perubahan komposisi spesies dalam suatu komunitas, atau bahkan hilangnya suatu spesies dapat berpotensi menyebabkan perubahan secara tidak langsung melalui jaring-jaring makanan. Hilangnya suatu predator dapat mempunyai pengaruh penting terutama pada jaring-jaring makanan. Amphipoda, Pontoporeia affinis, dan Ostracoda adalah hewan yang relatif sensitif dalam pengujian dengan logam Cd. Cacing Nematoda yang merupakan mangsa dari P.affinis akan meningkat ketika terjadi pengkayaan logam Cd pada pemaparan 265 hari. Hasil-hasil yang serupa ditemukan ketika spesies yang toleran terhadap Cd (Cacing pipih Turbellarians dan
26
Monothalmous foraminifera) juga meningkat selama pemaparan logam di dalam ketidakhadiran predator dan kompetisi (Luoma 1995). 2.7 Penggunaan Spesies tunggal dalam Bioassai. Bioassai dengan menggunakan spesies tunggal telah secara luas digunakan dalam studi ekotoksikologi yang mungkin disebabkan adanya keseimbangan antara keuntungan dan kerugiannya. Beberapa keuntungan dengan bioassai tersebut adalah relatif mudah untuk diatur/ dikontrol dan dapat dilakukan standarisasi. Respon yang dihasilkan merupakan gambaran dari relevansi ekologinya. Standarisasi dari metodologi
memungkinkan
untuk
memberikan
hasil
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, dapat dilakukan pengulangan, dan pengumpulan data relatif cepat. Bermacam-macam spesies telah digunakan dalam bioassai jenis yang tunggal. Metodologi yang telah terstandardisasi telah memungkinkan penggunaan jumlah spesies yang lebih kecil. Bioassai dengan spesies tunggal telah dirancang dengan baik sehingga dapat secara jelas menguji suatu hipotesis yang akan digunakan untuk mencari penyebab toksisitas dari suatu bahan yang dicurigai (Luoma 1995). Idealnya, bioassai dapat digunakan untuk memprediksi kualitas dari lingkungan yang diperlukan bagi manajemen pencemaran logam. Penggunaan teknik bioassai dapat dikatakan paling rumit guna memprediksi toksisitas suatu bahan polutan tertentu pada sebuah komunitas atau digunakan untuk melindungi komunitas biota tertentu. Seluruh prediksi yang dibuat dari hasil bioassai dapat melindungi ekosistem, jika spesies yang digunakan dalam bioassai lebih sensitif dibandingkan konsentrasi logam dimana komunitas tersebut berada. Tetapi kondisi tersebut hampir dipastikan sulit untuk tercapai, dikarenakan sensitifitas dari masing-masing populasi dalam sebuah komunitas sangat bervariasi dan masih belum banyak diketahui (Luoma 1995).
27
2.8 Beberapa Alasan Pentingnya Kajian di Sedimen. Sedimen adalah matrik heterogen yang tersusun dari detritus, bahan organik, dan anorganik. Komposisi matrik sedimen mungkin berupa batuan, serpihan dari cangkang, mineral, detritus tanaman, ekskresi hewan, dan substansi lainnya yang dihasilkan dari aktivitas antropogenik (Power and Chapman 1992; Maher et al. 1999). Kandungan air interstial atau air pori-pori sedimen dapat menyusun hingga 32 % dari volume sedimen itu sendiri. Berdasarkan ukuran, partikel sedimen terdiri atas lumpur (silt) hingga pasir (< 63 µm) dan partikel batuan (> 1mm). Umumnya fraksi partikel sedimen yang lebih halus dihasilkan dari proses erosi pada sistem aliran sungai dan akan tersuspensi di sebagian besar badan air yang hanyut terbawa hingga konsentrasinya mencapai hampir 1 mg/l. Partikel halus tersebut mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi logam terlarut dan kontaminan organik dari badan air untuk kemudian diendapkan di dasar perairan. Fraksi lumpur dan lempung (clay) mempunyai area permukaan spesifik yang sering dilapisi oleh besi dan mangan oksida, dan organik yang mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi kontaminan organik dan logam berat. Adapun kemampuan adsorpsi dari partikel halus tersebut sangat dipengaruhi oleh pH, salinitas, dan kimia permukaan dari partikel itu sendiri (Maher et al. 1999). Secara ekologi keberadaan sedimen merupakan komponen penting penyusun habitat akuatik dan berfungsi sebagai reservoir alami dari berbagai macam kontaminasi (Louma and Ho 1993). Sedimen dapat menyediakan tempat sebagai sumber untuk mendapatkan makanan dan perlindungan bagi sebagian biota akuatik (Maher et al. 1999). Disamping itu Novotny and Olem (1994) menyebutkan sedimen mempunyai kapasitas alami untuk menurunkan toksisitas dari kontaminasi logam berat melalui mekanisme pembentukan ligan pada air interstitial, adsorpsi, dan presipitasi. Kontaminan organik yang kurang polar dan elemen renik yang toksik akan berikatan kuat dengan bahan partikulat dan terakumulasi di sedimen pada umumnya akan memiliki konsentrasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dalam fase terlarutnya. Oleh sebab itu kontaminan dapat tertahan dan terakumulasi dalam
28
sedimen dalam jangka waktu yang lama yang dapat berfungsi sebagai sumber kontaminasi sekunder ke kolom air maupun air interstitial melalui proses kesetimbangan selama reaksi penyerapan maupun pelepasan kembali. Berbagai macam biota akuatik dapat dengan mudah terpapar secara langsung maupun tidak oleh kontaminan di sedimen. Hewan yang terpapar mungkin berasal dari proses mencerna partikel detritus sedimen sebagai makanannya atau kontak langsung selama pencarian makanannya. Hewan predator yang memiliki tingkatan trophic lebih tinggi secara tidak langsung juga terpapar oleh kontaminasi polutan dari sedimen (Louma and Ho 1993; Novotny and Olem 1994).
2.9 Bioassai Sedimen Sejak diketahuinya buangan dari limbah toksik ke air permukaan menimbulkan pengaruh merugikan terlebih dahulu dan mudah terlihat secara akut, maka perhatian kontaminan yang ada di kolom air lebih banyak mendapat perhatian dibandingkan dengan pengaruh kontaminasi di
sedimen. Umumnya penelitian
mengenai toksisitas sedimen hanya sebatas kajian kompleksitas antara antara kolom air dengan sedimen dan interaksi dari biota yang mengadakan kontak dengan sedimen (Giezy and Hoke 1989). Sejalan dengan perkembangan jaman, maka pengetahuan mengenai toksikologi sedimen mulai mendapat banyak perhatian, ketika mulai adanya aktivitas pengerukan dan dampaknya terhadap terhadap makhluk hidup lainnya (Burton and Ingersoll 1994). Pengertian toksisitas sedimen secara luas dapat didefinisikan sebagai adanya perubahan ekologi maupun biologi yang disebabkan oleh kontaminasi sedimen. Secara operasional, toksisitas sedimen didefinisikan sebagai respon yang merugikan yang dapat diamati pada biota uji yang dipaparkan
oleh sedimen yang
terkontaminasi. Pengaruh merugikan ini dapat dilihat pada hewan uji ketika dimasukkan dalam sedimen yang relatif belum terkontaminasi, pada penambahan kontaminan tertentu pada sedimen (spiked), atau ketika organisme bentik tersebut dipaparkan oleh bahan kontaminan yang berkonsentrasi tinggi di sedimen secara
29
alami (mesocosm) (Luoma and Ho 1993). Giezy and Hoke (1989) menambahkan ada 3 faktor yang diperlukan untuk penilaian kontaminasi polutan di sedimen yaitu 1). Bahan kontaminan apa saja yang ada di sedimen, 2). Seberapa besar tingkat kontaminasi dari bahan polutan tersebut, dan 3). Apakah kontaminan tersebut berpotensi membahayakan bagi kehidupan biota akuatik atau tidak. Bioassai/ uji toksisitas sedimen adalah suatu pendekatan yang relatif baru dikembangkan untuk memprediksi besarnya resiko ekologi dari tingginya bahan toksik yang terakumulasi pada sedimen. Pengujian sedimen dikembangkan oleh karena adanya perhatian pada awal tahun 1970-an dari aktivitas pengerukan lumpur guna dibuang pada perairan terbuka yang dilakukan oleh USEPA-USACOE pada tahun 1977. Uji bioassai dengan menggunakan sedimenpun berkembang secara pesat pada masa 5 hingga 10 tahunan setelah adanya aktivitas pengerukan tersebut. Adanya modifikasi dari uji bioassai air yang telah dikembangkan terlebih dahulu, maka banyak agensi lingkungan turut berpatisipasi dalam pengembangan guideline uji bioassai dengan sedimen hingga sekarang ini. Hal ini didasari pada pemahaman tentang kompleksitas dari bahan polutan yang terikat pada sedimen yang saling berinteraksi guna menghasilkan informasi tentang potensi toksisitas bahan polutan tersebut ke biota akuatik. Karena bioavailability dari masing-masing polutan yang terikat pada sedimen belum dipahami secara baik, maka perlu pengujian toksisitas dan bioakumulasi secara terkontrol dalam laboratorium. Sasaran dari suatu uji toksisitas sedimen adalah untuk menentukan apakah sedimen yang ada berpotensi/ membahayakan kepada organisma akuatik
maupun manusia yang berhubungan/
kontak secara langsung dengan sedimen atau tidak. Dari penjelasan di atas dapat diketahui beberapa manfaat dari uji toksisitas sedimen yaitu 1). Untuk menentukan hubungan antara efek toksisitas dan bioavailability dari suatu bahan polutan tertentu atau spesifik (misalnya uji spiked sedimen), 2). Untuk mengkaji adanya interaksi dari beberapa zat polutan, 3) Pengkajian atau evaluasi resiko dari material sedimen yang telah dilakukan pengerukan, 4). Rangking area/ tempat yang diperlukan untuk tindakan clean up,
dan 5). Pemantauan efektivitas dari tindakan remediasi dan
menejemen yang telah dilakukan (Burton and Ingersoll 1994).
30
Dalam uji bioassai sedimen, pengkategorian sampel sedimen itu dinyatakan toksik atau nontoksik dapat secara umum dapat dilihat di Long et al. (1998). Menurut Long et al. (1998) yang didasarkan pada tingkat kelulushidupan (survival) dari biota uji Amphipoda menunjukkan kategori non toksik ketika rata-rata tingkat kelulushidupannya 96-96,5%, toksisitas ringan dengan rata-rata tingkat kelulushidupannya 76,5-83%, toksik sedang dengan rata-rata tingkat kelulushidupannya <76%, dan sangat toksik ketika rata-rata tingkat kelulushidupannya < 20%. Namun Swartz et al. 1995 dalam Long et al. (1998) menambahkan kategori non toksik di sedimen ketika biota uji Amphipoda mortalitasnya <13%, meragukan jika mortalitasnya 13-24%, dan toksik ketika mortalitasnya >24%.
2.10 Bioavailability Logam di Sedimen Bioavailability
dari
kation
logam
penting
untuk
diketahui
guna
pengembangan kriteria kualitas sedimen dan manajemen kontaminasi sedimen (Besser et al. 1995).
Mekanisme dari geokimia yang berpengaruh pada
bioavailability logam di sedimen masih belum dapat dipahami dengan baik sebagai pengaruh spesiasi logam dalam bentuk terlarut. Kemajuan dalam teknik analisis masih mengandung beberapa kelemahan dalam memprediksi bioavailability logam di sedimen (Luoma and Jenne 1976). Studi bioassai dari ketersediaan logam di sedimen biasanya diprediksi dari hewan yang dipaparkan dengan sedimen secara langsung maupun dari aktivitas mencerna partikel sedimen itu sendiri (Besser et al. 1995). Dari studi yang dilakukan di lapangan menunjukkan toksisitas dan bioakumulasi logam dipengaruhi oleh faktor geokimia di sedimen. Konsentrasi logam di hewan bentik umumnya berkorelasi baik dengan konsentrasi logam yang ada di sedimen. Sebagai contoh, normalisasi konsentrasi Fe pada sedimen oksik mengijinkan prediksi dari bioavailability logam Pb dan As pada remis di muara Sungai Clark Fork (Luoma 1995). Tessier et al. (1976) dalam Luoma (1995), barubaru ini menunjukkan suatu mekanisme yang bisa menjelaskan hasil tersebut. Aktivitas logam Cd di dalam air dapat diperkirakan dengan memodelkan partisi Cd
31
dari Fe oksida dan bahan organik dalam sedimen oksik (mengandung oksigen). Bioakumulasi Cd oleh filter feeder air tawar berkorelasi baik dengan penghitungan aktivitas ion Cd bebas. Peran fraksi yang dapat dipertukarkan (exchangeable) dari besi monosulfida (FeS) dan mangan monosulfida (MnS) dalam penentuan bioavailability dari logam di sedimen anaerob telah dipelajari secara intesif. Bentuk reduksi dari sulfat secara langsung dihasilkan oleh bakteri pereduksi dan tidak langsung dari aseptor elektron di dalam bakteri pengoksidasi bahan organik, merupakan pembentuk utama dari sulfida di sedimen dalam bentuk FeS (amorphous FeS, mackinawite, greigite, pyrhotite, atau troitolite), MnS, FeS2(pyrite), atau organik sulfida. Diantara senyawa tersebut FeS dan MnS merupakan fraksi yang paling labil dan secara operasional didefinisikan sebagai AVS (acid volatile sulfide). Karena FeS dan MnS mempunyai produk kelarutan yang tinggi (Ksp) daripada logam sulfida lainnya (MeS), maka logam yang bersangkutan dapat menggantikan posisi Fe dan Mn untuk membentuk MeS yang tidak larut sesuai dengan reaksi di bawah ini: Me2+ +FeS(s) Me2+ +MnS(s)
MeS(s) + Fe2+ MeS(s) + Mn2+
Bentuk MeS ini dapat berupa fase MeS murni atau dalam sebuah padatan terlarut membentuk copresipitasi dengan adsorpsi FeS. Sebagai konsekuensi dari reaksi di atas, ketika konsentrasi dari AVS berlebih, maka logam yang bersangkutan nampaknya tidak akan toksik (Chapman et al. 1998). Kondisi dasar perairan yang anaerob dengan konsentrasi asam sulfida yang tinggi, umumnya acid volatile sulphide/ AVS berfungsi sebagai normalisasi ikatan antara logam berat dengan MnS dan FeS dalam bentuk tidak larut (MeS). Beberapa proses dilepaskannya logam berat dari dasar sedimen ke kolom air seperti yang dilaporkan oleh Chapman et al. (1998), DiToro et al. (1990), dan Ankley et al. (1996) mengakibatkan hilangnya kekuatan ikatan antara kation logam berat dengan kompleks besi atau mangan sulfide. Bentuk AVS ini bersifat tidak stabil dari adanya pengaruh fisik, kimia, maupun biologi, khususnya adanya peningkatan atau perubahan dalam potensial redoks (Eh) atau oksidasi. Konsentrasi AVS pada
32
permukaan sedimen secara spatial dan temporal sangat berfluktuasi dalam mencerminkan perbedaan kondisi redoks, temperatur, input bahan organik. Perubahan musim pada AVS yang dapat mecapai dua kali lipat perbedaannya pada sedimen air tawar (Besser et al. 1995). Beberapa contoh proses yang dapat menyebabkan peningkatan potensial redoks atau oksidasi di perairan antara lain: 1). Perubahan laju pengendapan partikel dan reduksi sulfat oleh mikroba secara spasial dan temporal. 2). Bioturbasi dan bioirigasi yang berasal dari sarang persembunyian organisme bentik makroavertebrata yang dihasilkan dari aktivitas ekskresi, respirasi, maupun pergerakan dari biota air itu sendiri. 3). Resuspensi sedimen yang disebabkan oleh banjir, badai, pergantian pasang surut, arus air, maupun aktivitas pengerukan. Adanya proses tersebut di atas dapat menyebabkan AVS akan mudah teroksidasi dan bersifat volatile/ mudah menguap (Chapman et al. 1998). Oksidasi dari sulfida dapat menghasilkan kemampuan melarutkan dan meningkatkan bioavailability dari logam toksik (Besser et al. 1995). Sehingga kation logam divalen (Me2+, Me (H2O)x2+ (Chapman et al. 1998), atau Me(OH)+ (Allen 1993) akan mudah dilepaskan ke dalam air pori-pori dan kolom air sehingga bersifat toksik ke sebagian besar biota akuatik. Geokimia pada sedimen dapat mempengaruhi hasil uji bioakumulasi dan toksisitas logam di sedimen. Konsentrasi rasio molar dari logam yang terekstrak secara simultan dengan HCl 0,1 N atau yang disebut sebagai SEM dengan AVS, sering digunakan untuk memprediksi toksisitas logam dalam sedimen air tawar (Besser et al. 1995). Sebagai contohnya adalah adanya toksisitas dari logam Cd dan Ni
pada
Amphipoda
di
dalam
sedimen
yang
dapat
didekati
dengan
perbandingan/rasio SEM dan AVS. Ketika konsentrasi SEM:AVS
l, maka toksisitas semakin meningkat (Ankley et al. 1996; DiToro et al. 1990). Sayangnya konsentrasi AVS ini sangat mudah berubah ketika sampling sedimen dilakukan dan dapat menghasilkan bias dalam intepretasinya (Chapman et al. 1998; Luoma 1995). Disamping itu tidak selalu dari konsentrasi SEM:AVS > 1 dapat menyebabkan peningkatan toksisitas, karena banyaknya fase pengikatan logam yang terjadi di dalam sedimen. Logam yang
33
berhubungan dengan AVS mungkin dilepaskan dari sedimen ketika adanya banjir, aktivitas pengerukan, oksidasi dan sebagainya (Prica et al. 2007) Partikulat karbon organik (POC) mempunyai afinitas pengikatan yang kuat dengan logam. Kontribusi dari POC ini akan kuat, ketika sedimen dalam kondisi aerob, atau tidak ada/ sedikit AVS, atau konsentrasi dari logam lebih besar dari AVS. Dalam sedimen aerob, besi dan mangan oksihidroksida (FeOOH dan MnOOH) dan POC adalah fase pengikat dominan logam di
sedimen. Ikatan antara besi atau
mangan oksihidroksida dengan logam dapat dilihat pada reaksi di bawah ini: FeOOH + Me 2+ = FeOOMe+ + H+ {Me2+} =
FeOOMe+) (H+) eψfirt
Dimana ψ adalah potensial permukaan (volts), F adalah konstanta faraday, R adalah konstanta gas molar (8,314 jmol-1.K-1) dan T adalah temperatur absolut (Kelvin). Karena substansi non humik (misalnya: karbohidrat, protein, as. amino, dan lemak) mempunyai waktu tinggal yang relatif singkat (mudah terdekomposisi oleh mikroba), maka komponen utama dari POC adalah substansi humik. Ikatan logam dengan substansi humik dapat terjadi pada disosiasi proton monodentat atau bidentat dari substansi humik yang dapat digambarkan dengan reaksi di bawah ini: RAHz + Me 2+ {Me2+}= (
RAMe z+1 + H+
RAMe z+1) (H+)e4wz
Z adalah muatan molekul dari asam humik, w adalah faktor interaksi elektrostatis yang berhubungan dengan kekuatan ion, dan (i) adalah konsentrasi dari spesies i. Disamping itu selain dari substansi humik, POC sendiri juga dapat berikatan dengan logam seperti pada reaksi di bawah ini: Me2++ POC = POC-Me (POC-Me) = (POC-Me)0 Dimana (POC-Me) adalah normalisasi karbon organik pada ikatan konsentrasi logam dengan POC di sedimen. Sedangkan (POC-Me)0 adalah kapasitas penyerapan (Chapman et al. 1998).
34
2.11 Geokimia Sedimen Geokimia mempengaruhi pemaparan biologi dari kontaminan elemen renik (trace element) melalui pengaruhnya pada bioavailability. Pengaruh logam dalam larutan ditentukan dengan konsentrasi logam total dan spesiasi dari logam. Keduanya berbeda dalam waktu dan ruang di dalam lingkungan akuatik. Konsentrasi logam dalam bentuk terlarut berbeda besarnya diantara danau, sungai, laut terbuka/samudra, pesisir pantai, dan muara. Kontribusi dari aktivitas anthropogenik akan meningkatkan perbedaan kontaminasi logam dari ekosistem alaminya (Chapman et al. 1998). Sejumlah penelitian telah dilakukan guna melihat pentingnya pengaruh spesiasi terhadap pengambilan logam oleh organisme atau toksisitasnya. Kondisi geokimia yang menentukan spesiasi logam dapat bervariasi secara alami. Beberapa bentuk atau spesies dari unsur logam tidak dapat diprediksi dengan baik toksisitas maupun pengambilannya oleh organisma akuatik. Sebagai contoh adalah bentuk oksida dari Se (VI), kompleks dari Cu seperti Cu-EDTA, dan Cd-chloro-compleks. Bentuk spesies logam lainnya yang sangat bioavailable umumnya sebanding dengan proporsi ion logam bebas/ kation dalam bentuk terlarut. Bentuk ion logam bebas tersebut biasanya mengatur banyaknya logam yang bisa diambil oleh organisme maupun toksisitasnya (Luoma 1995). Hasil dari bioassai sedimen dipengaruhi oleh manipulasi sedimen selama tahap pengambilan, penyimpanan, dan percobaan. Standardisasi prosedur penanganan untuk sedimen telah tersedia dalam ASTM, tetapi faktor geokimia dapat mempengaruhi hasil dari bioassai sedimen walaupun prosedur dalam buku metode standar tersebut telah diikuti (Luoma 1995). Sedimen secara alami adalah sesuatu yang terbuka, dinamis, dan sistem biogeokimia yang terstruktur. Suatu endapan sedimen yang alami terdiri atas bagian oksik pada lapisan atasnya dan anoksik pada bagaian bawahnya. Dalamnya lapisan oksik ditentukan oleh suatu keseimbangan antara sedimentasi bahan organik yang reaktif, konsumsi oksigen oleh mikroba selama proses pembusukan materi organik, dan kemampuan penetrasi oksigen ke dalam sedimen. Secara vertikal kedalaman zone oksik sedimen bervariasi dari beberapa milimeter di dalam tingginya material organik
35
di sedimen, hingga sepuluh meter di beberapa lingkungan yang berpasir atau oligotrofik. Pada kedalaman sedimen dimana kebutuhan akan oksigen mulai melebihi dari oksigen yang tersedia, maka pada tempat tersebut terjadi suatu batas kondisi dari status teroksidasi menjadi tereduksi. Zonasi dari batas tersebut ditentukan oleh proses perombakan bahan organik oleh mikroba (Chapman et al. 1998). Perbedaan antara sedimen dalam bentuk teroksidasi dan tereduksi berpengaruh terhadap kimia dari logam telah diketahui lebih baik. Di dalam sedimen yang teroksidasi, oksida dari Fe dan Mn membentuk padatan yang pada bagian permukaannya bersifat reaktif dengan banyak unsur logam berat. Logam umumnya berikatan dengan padatan dari oksida Fe dan Mn dan ligan organik. Di dalam kondisi sedimen yang anoksik akan melarutkan bentuk tereduksi dari Fe dan Mn ke dalam air pori-pori sedimen. Sebagai gantinya adalah sulfida yang dominan yang akan berikatan dengan logam membentuk (MeS) yang tidak larut. Secara alami, sedimen oksik penting untuk mendukung kehidupan makrofauna dan meiofauna, walaupun zone oksik hanyalah suatu lapisan tipis. Secara umum makro dan meiofauna membutuhkan oksigen untuk metabolisme mereka. Spesies yang tergolong infaunal dan epifaunal mempunyai strategi khusus dalam pemenuhan oksigennya di dalam sedimen. Banyak organisme yang secara konsisten kontak dengan permukaan zona oksik dari sedimen. Hewan yang lainnya mengangkut air yang telah teroksigenasi masuk ke dalam sedimen untuk menciptakan miniatur zone oksik dengan zonasi redoks pada skala milimeter (Luoma 1995). Pengumpulan sedimen dan memindahkannya pada suatu ruang uji bioassai memerlukan manipulasi dari sistim sedimen. Sedimen yang tereduksi bisa tercampur dengan sedimen yang oksik selama koleksi. Proporsi keduanya mungkin berbeda diantara contoh/cuplikan, jika koleksi dari suatu kedalaman yang telah ditetapkan. Sedimen yang semula oksik di dalam ekosistem. mungkin akan berubah menjadi tereduksi selama penyimpanan. Juga sebaliknya, pada zona tereduksi pada sedimen dapat menjadi teroksidasi selama tahap manipulasi. Kondisi ini merupakan suatu kejadian yang umum, karena bioassai dilakukan di bawah kondisi yang teroksidasi,
36
karena suatu persyaratan umum dari makrofauna untuk membutuhkan oksigen selama pengujian berlangsung (Luoma 1995) . Standard penanganan sedimen untuk bioassai, umumnya tidak terlalu mementingkan status
kondisi sedimen apakah dalam bentuk tereduksi atau
teroksidasi. Studi yang realistis yang membandingkan respon toksisitas pada sampel sedimen dengan perbedaan prosedur atau perbedaan kondisi redoks, merupakan suatu kebutuhan segera di dalam toksikologi sedimen. Apapun pilihan dalam sampling dan manipulasi sedimen, reaksi kimia yang akan terjadi tergantung pada bagian awal dari komponen reaktan, ketersediaan oksidan (termasuk O2), dan waktu. Produk baru (seperti Fe atau Mn oksida) dapat dengan cepat terbentuk dan produk yang ada dapat berubah. Jika bentuk dari logam berubah, hasil bioassai mungkin akan terpengaruh. Simulasi bioassai sedimen secara alami meniru karakteristik geokimia dari suatu mikrohabitat, dimana
sebuah spesies kontak dengan sedimen. Sayangnya
karakteristik dari mikrohabitat dari banyak spesies penting masih belum diketahui dengan baik (Luoma 1995). 2.12 Penyimpanan Sedimen Penyimpanan sedimen merupakan salah satu potensi sumber penting dari bias. Umumnya para peneliti menyetujui bahwa waktu simpan dapat mengubah status toksisitas sedimen. Malueg et al, 1986 dalam Luoma (1995) menunjukkan sedimen air tawar yang ditambah dengan logam Cu dan toksisitasnya di pantau selama 25 hari dengan biota uji Daphnia magna menghasilkan adanya peningkatan toksisitas pada minggu pertama dan toksisitasnya bervariasi hingga akhir dari 25 hari. Peneliti tersebut juga melaporkan suatu pengurangan yang besar dari toksisitas Cu dalam sedimen. Namun studi yang lain yang dilakukan oleh Carr et al. (1989) dalam Luoma (1995) melaporkan tidak ada perubahan toksisitas pada hewan Polychaeta ketika sedimen tersebut dibekukan yang kemudian dicairkan dengan sedimen yang masih segar/ baru. Udara kering mungkin mengakibatkan oksidasi parsial dari logamsulfida, menurunkan pH, dan mengubah komposisi bersifat ion di air pori sedimen. Penyimpanan yang direkomendasikan adalah lima hingga tujuh hari direfrigerator.
37
2.13 Air Pori-pori sedimen dan Elutriate Banyak bioassai sedimen memaparkan logam kepada organisma dalam bentuk terlarut. Umumnya uji sedimen dalam bentuk fraksi terlarut digunakan untuk identifikasi kemungkinan toksikan yang menyebabkan gejala toksisitas melalui serangkaian percobaan dari prosedur evaluasi identifikasi toksisitas/ TIE (Ankley et al. 1991). Hewan yang digunakan dalam bioassai umumnya menggunakan stadium awal dari organisme bentik makroavertebrata. Keuntungan dengan bioassai ini adalah pertimbangan pada bagian yang paling sensitif dari suatu siklus hidup hewan yang dipaparkan pada jangka waktu tertentu dan relatif realistis secara alaminya. Logam dipisahkan dari sedimen dalam bentuk terlarut dengan cara ekstraksi air pori-pori atau elutriate sedimen dengan air. Masalah dari pengaruh alami sedimen dari cara tersebut di atas adalah ukuran butir sedimen yang tidak mempengaruhi bioassai ketika kontaminan tersebut dipisahkan dari sedimen. Metode pemisahan air pori-pori sedimen umumnya diakukan dengan cara sentrifugasi, penekanan, filtrasi, atau kombinasi dari cara tersebut yang semuanya digunakan untuk memperoleh air pori-pori. Alat insitu dialisis sampler adalah yang paling sedikit memberikan gangguan pada sedimen dan gradients redoksnya, tetapi volume yang harus dikumpulkan untuk uji biasanya menjadi masalah untuk metode ini. Untuk air elutriate umumnya disajikan dengan cara perbandingan antara sedimen dan air (1:4) yang dihomogenisasi dan setelah itu dibiarkan agar terjadi pengendapan selama 1 jam. Air elutriate tersebut kemudian dituang untuk disaring atau sedimen tersebut tidak ikut dipindahkan (Ankley et al. 1991). Perubahan kimia dari logam renik akan terjadi selama pemisahan air dari sedimen, terutama jika sampel sedimen berisi campuran dari sedimen dalam bentuk tereduksi dan terdioksidasi. Jika air pori-porinya yang anoksik berisi Fe dan Mn di dalam larutan yang terpapar O2 selama pemisahan dari sedimen, atau selama uji bioassai, maka akan terjadi endapan dari Fe oksida secara cepat. Beberapa elemen renik yang dapat mengadakan co-presipitasi dengan Fe oksida yang secara langsung dapat mempengaruhi Toksisitas. Hasil yang sama diperoleh ketika menyaring air
38
pori-pori, hilangnya toksisitas logam mungkin terjadi ketika logam berinteraksi dengan partikel koloid atau endapan partikulat pada saat pemisahan (Luoma 1995). Pekanya air pori yang anoksik yang berpengaruh pada perubahan geokimia akan menciptakan adanya perselisihan yang serius antara kebutuhan biologi dan geokimia dalam persyaratan uji bioassai dengan menggunakan air pori-pori. Makrofauna memerlukan O2 untuk kesesuaian hidup dari suatu lingkungan uji, tetapi gambaran dari reaksi di atas dapat mengakibatkan perubahan sifat alami dari air poripori ketika mereka teroksidasi. Karakteristik redoks dari sampel sedimen yang asli dapat menghasilkan pengaruh yang berbeda hasilnya dari bioassai air pori-pori. Bioassai dari sedimen dalam bentuk tereduksi kemungkinan dapat melemahkan potensi toksisitas logam. Permasalahan lainnya yang berkenaan dengan air pori-pori yang harus dipelajari antara lain: pengaruh filtrasi pada keseimbangan koloid, pengaruh aerasi pada air pori-pori terhadap logam sulfida. Tingginya konsentrasi dari metabolit toksik seperti amonia yang dapat terakumulasi pada air pori-pori sedimen dalam kurun waktu 24 jam, jika sedimen tersebut disimpan sebelum air pori-pori tersebut dipisahkan (Luoma 1995). Prosedur elutriasi yang mencampur sedimen dalam bentuk tereduksi dengan air yang teroksidasi memiliki permasalahan serupa dengan air pori-pori. Selama elutriasi, logam bisa mengendap dengan sulfida yang reaktif dari air pori-pori, kemudian mengalami remobiliisasi sebagai sulfida yang teroksidasi. Logam yang teremobilisasi akan mengendap dengan bentuk baru Fe oksida jika air yang tertinggal masih dalam status teroksidasi. Elutriasi mungkin mensimulasikan pembuangan dari hasil pengerukan, tetapi tidak menggambarkan pemaparan terhadap organisme dari adanya kontaminasi yang ada di dalam sedimen alami. Umumnya elutriasi yang paling sedikit diinginkan dari pendekatan bioassai (Luoma 1995). Perbandingan hasil uji bioassai dari metode ekstraksi air pori-pori sedimen dan elutriate pada ikan fathead
minnow
(Pimephales
promelas),
Cladocera
(Ceriodaphnia
dubia),
Amphipoda (Hyalela azteca), dan cacing Oligochaeta (Lumbriculus variegatus) menunjukkan bahwa air pori-pori sedimen lebih toksik dibandingkan dengan air elutriate (Ankley et al. 1991).
39
2.14 Intepretasi Data Kualitas Sedimen Triad (SQT)
Kontaminasi logam di lingkungan akuatik biasanya terjadi sebagai hasil dari
tingginya aktivitas antropogenik yang berada di daerah tangkapan air tersebut. Suatu prosedur yang umum digunakan untuk evaluasi kerusakan akibat pencemaran seperti itu, biasanya melibatkan tiga komponen studi/kegiatan yaitu analisis kimia, studi ekologi yang biasanya dihubungkan dengan perubahan pada struktur komunitas biota akuatik, dan uji toksisitas (Canfield et al. 1994; Berhard 2000; Long and Chapman 1985). Studi dengan menggunakan analisis kimia hanya menunjukkan adanya kontaminasi logam di air, sedimen, dan biota dari banyak ekosistem, tetapi studi tersebut masih belum cukup membuktikan efek yang merugikan sedang terjadi akibat adanya kontaminasi tersebut. Besarnya konsentrasi, spesiasi geokimia, dan proses biologi yang berpengaruh terhadap bioavailability logam kadang-kadang melalui mekanisme tertentu yang tidak secara penuh dipahami. Meskipun proses bioavailability dari suatu logam berat telah diketahui dengan baik, prediksi dari adanya pengaruh merugikan dapat menjadi sangat komplek. Beberapa studi yang telah dilakukan di lapangan menunjukkan adanya hubungan antara besarnya kontaminasi logam
terhadap perubahan ekologi perairan. Namun sering kali,
kesimpulan yang dibuat masih mengandung unsur ketidakpastian bahwa hanya logamlah yang menyebabkan gangguan ekologis,dikarenakan kompleksitas dari efek yang ditimbulkan oleh bahan toksikan lainnya. Oleh sebab itu dalam menejemen dan penilaian toksisitas dari unsur logam renik biasanya diperlukan pendekatan studi yang terintegrasi, baik yang dilakukan dilapangan maupun di laboratorium yang saling mendukung (Luoma 1995).
Kualitas sedimen triad merupakan satu pendekatan yang terintegrasi dari
analisis kimia, observasi biologi (struktur komunitas), dan eksperimem biologi (uji bioassai) guna menentukan perusakan lingkungan akibat polusi. Analisis kimia di sedimen digunakan untuk mengukur besarnya kontaminasi yang terjadi di lapangan, uji bioassai digunakan untuk mengukur pengaruh yang ditimbulkan dari suatu polutan dalam kondisi yang terkontrol/ terstandarisasi, dan penilaian perubahan dari biota yang residen (diwakili oleh komunitas bentik makroavertebrata) digunakan untuk
40
pengukuran kondisi riil di lapangan (melalui observasi). Intepretasi hasil dari penggabungan komponen triad tergantung pada masing-masing bobot bukti (weight of evidence) yang sering didefinisikan sebagai gambaran kesimpulan didasarkan pada keseluruhan informasi yang tersedia dan hubungan/interelasi didalamnya. Adanya bukti tersebut harus dievaluasi, diorganisir dalam beberapa mode yang saling berkaitan dan dapat dijelaskan, sehingga evaluasi dari keseluruhan bobot bukti tersebut dapat dibuat. Intepretasi hasil dari bobot bukti tersebut di atas dapat berbentuk rangkuman indek yang digambarkan dalam bentuk diagram radar, matrik keputusan tabulasi, dan analisis multivariat. Intepretasi dengan menggunakan rangkuman indek biasanya memerlukan sebuah tahap normalisasi dari ketiga komponen triad dari sebuah nilai referensi (rasio terhadap reference site) guna menyamakan bobot bukti untuk dapat digambarkan pada sebuah grafik radar. Adanya perbedaan ukuran dan bentuk mengindikasikan adanya perbedaan kesimpulan yang dapat disederhanakan ke dalam matrik tabulasi seperti pada Tabel 2 (Chapman 1996). Masalah utama dari pendekatan rangkuman indek ini adalah: 1). Hilangnya substansi dari informasi yang ada selama konversi dari data multivariat ke dalam satu indek secara proporsional, termasuk informasi yang berhubungan secara spatial, 2). Signifikansi dari pengaruh secara spatial tidak dapat ditentukan secara statistik. Adapun keuntungan dengan penyajian data dengan menggunakan metode tersebut adalah keserdehanaan dalam intepretasi dan secara visual dapat dengan mudah dipahami oleh para pengambil kebijakan yang bukan berlatar belakang peneliti (Chapman 1996).
41
Tabel 2. Intepretasi data bioavailability sedimen dengan menggunakan konsep Triad dalam bentuk matrik tabulasi (Chapman 1996). Kontaminasi
Toksisitas
+
+
Perubahan Komunitas +
-
-
-
+
-
-
-
+
-
Kemungkinan Kesimpulan Kuatnya petunjuk degradasi yang disebabkan oleh polusi
Kuatnya bukti berlawanan dengan degradasi yang disebabkan polusi
+
Aksi tidak diperlukan
Adanya kontaminasi tidak bioavailable
Aksi tidak diperlukan
Kontaminasi tidak terukur atau kondisi berpotensi untuk menyebabkan degradasi
1). Chek kembali analisis kimia, ferivikasi hasil tes toksisitas, pastikan tidak disebabkan oleh modifikasi faltor lainnya mis: pengaruh ukuran butir sedimen 2). Lakukan tindakan lebih lanjut ,fokuskan pada studi TIE.
-
+ Perubahan komunitas tidak disebabkan dari kontaminan toksik
+
Kemungkinan Aksi/ Keputusan Remediasi tergantung pada tingkat kerusakan dan substansi kimia yang bertanggung jawab. Identifikasi toksisitas sedimen (TIE) dapat digunakan untuk identifikasi kontaminan yang dipentingkan.
Kontaminan toksik bersifat bioavailable tetapi pengaruh insitu tidak dapat ditunjukkan.
Aksi tidak diperlukan disebabkan oleh kimia toksik. Aksi yang lain mungkin diperlukan untuk alasan lainnya misalnya perubahan fisik dari habitat. 1). Cek kembali hasil dari analisis bentik, pertimbangkan untuk tambahan pada analisis data. 2). Jika cek kembali mengindikasikan adanya perubahan, perlakuan/ remediasi masih
42
-
+
+ Kontaminan toksik tidak dapat terukur yang menyebabkan degradasi
+
-
+ Kontaminan tidak bioavailable, atau perubahan komunitas tidak disebabkan oleh kimia toksik
memungkinkan. 3). Jika cek kembali menunjukkan tidak adanya perubahan, minimisasi atau menurunkan input untuk mencegah perubahan dimasa yang akan datang. 1). Cek kembali analisis kimia, pertimbangkan analisis tambahan dan/ atau TIE; pastikan toksisitas dan perubahan tidak disebabkan oleh modifikasi faktor lainnya (misalnya: pengaruh ukuran butir). 2). Beberapa aksi tergantung pada di atas. 1). Konfirmasi / verifikasi hilangnya toksisitas, teliti alasan adanya perubahan. 2). Beberapa aksi tergantung di atas.
Penggunaan konsep triad sebagai bahan rujukan dalam remediasi sedimen dari suatu tipe badan air yang telah terkontaminasi oleh polutan telah dijelaskan oleh Long and Wilson (1997). Jika salah satu unsur dari komponen di bawah ini terpenuhi, maka sedimen tersebut perlu mendapat perhatian khusus dalam menetapkan prioritas tempat yang akan dilakukan remediasi. Komponen penilaian sedimen tersebut secara rinci dapat dilihat di bawah ini: 1. Satu atau lebih dari individu kimia telah melebihi nilai ERM dan PEL atau beberapa guideline kualitas sedimen yang telah tersedia. 2. Relatif tingginya dari nilai rata-rata pembagian dari ERM (misalnya > 1) 3. Tingkat kelulushidupan dari hewan Amphipoda lebih kecil dibandingkan dengan yang ada di bagian kontrol dan umumnya kurang dari 80% dibandingkan kontrol.
43
4. Relatif rendahnya kekayaan spesies dan keberadaan hewan Amphipoda dan Crustacea jarang atau tidak ada. 5. Adanya bioakumulasi dari toksikan pada ikan yang memiliki mobilitas yang rendah (resident) atau pada hewan Moluska yang diamati pada suatu area yang terpilih.
44
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Juni 2006 hingga Desember 2007. Ada 12 titik stasiun pengamatan yang berada di dalam Waduk Saguling dan 1 titik di bagian hulu Sungai Citarum (Gunung Wayang) yang berfungsi sebagai konsentrasi latar belakangnya (background concentration). Pengambilan sampel sedimen dan biota telah dilaksanakan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 2006. Penelitian ini sengaja dilakukan pada musim kemarau, karena menggambarkan kondisi gangguan ekologi (diwakili oleh organisme bentik makroavertebrata) dalam kondisi strees maksimum, dengan debit air yang minimal, dan kadar bahan polutan yang relatif tinggi
(Davis
and
Tsomides
1997).
Disamping
itu,
komunitas
bentik
makroavertebrata diharapkan mampu mencerminkan pengaruh utama peningkatan dari kontaminasi logam tanpa adanya pengaruh faktor lainnya misalnya: peningkatan debit air/ banjir yang telah diketahui dapat berpengaruh pada komposisi dan kelimpahan bentik makroavertebrata (Matthaei et al. 2000). Faktor keselamatan dalam melakukan sampling juga sebagai pertimbangan dalam pemilihan musim tersebut di atas, terutama untuk Stasiun Nanjung yang terletak pada ruas Sungai Ciliwung dan sumber air di Gunung Wayang. Keterangan nama dan peta lokasi sampling yang telah ditetapkan meliputi (Gambar 4): Stasiun 1 Hulu Sungai Citarum di Gunung Wayang (GW) Stasiun 2 Sungai Citarum di Nanjung (Nj) Stasiun 3 Sungai Citarum di Trash Boom Batujajar (Bj) Stasiun 4 Cihaur Kampung Cipendeuy (Chr) Stasiun 5 Cangkorah (Ckr) Stasiun 6 Cimerang (Cmr) Stasiun 7 Muara Cihaur/ Kampung Maroko (Mrk) Stasiun 8 Muara Cipatik (Cpk) Stasiun 9 Muara Ciminyak (Cmy) Stasiun 10 Muara Cijere (Cjr)
45
Stasiun 11 Muara Cijambu (Cjb) Stasiun 12 Dekat intake structure (Itk) Stasiun 13 Rajamandala (Rjm).
3.2. Bahan dan Alat I. Alat Alat yang digunakan selama penelitian meliputi: Atomic Absorbance Spectrofotometry (AAS) flame fotometer merk Hitachi Z6100, Mercury analyzer (cold vapor AAS) merk Hiranuma 310, ekman grab sampler merk Wildco, fish finder 250 merk Garmin, spektrofotometer merk Shimadzu, mikroskop stereo merk Olympus, saringan bentik 0,5 mm, sentrifuge IEC Centra MP4R, dan timbangan sartorius, botol scott 250 dan 500 ml, labu ukur 25 dan 50 ml, microplate 12 sumuran/ lubang (merk Nunclon®) 5ml, pipet tetes, micropipet (merk eppendorf®), kuas kecil, keler plastik, inkubator, saringan bertingkat, water quality checker U-10 (merk Horiba).
II. Bahan Bahan hidup yang digunakan selama penelitian adalah Hydra sp. dan bahan kimia untuk analisis logam meliputi: larutan standard Cu, Hg, Cd, dan Pb, larutan HNO3, HCl, H2SO4, CMCP-10, hidroksilamide kloride, SnCl2.2H2O KMnO4, kalium persulfat 5%, gas asetilen, dan kertas saring Whattmann GF/C.
3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Metode Pengumpulan data Teknik pengambilan sampel ditetapkan secara purposive yang didasarkan atas pertimbangan besarnya beban polutan yang masuk pada setiap stasiun pengamatan. Di beberapa stasiun pengamatan merupakan lokasi budidaya ikan jaring apung dan daerah kawasan industri yang seringkali membuang limbah cairnya ke dalam Waduk Saguling. Titik stasiun pengamatan yang telah ditetapkan sebagian besar memiliki kesamaan dengan lokasi sampling dari PT. Indonesia Power guna pemantauan
46
kualitas air setiap tiga bulanan (triwulan). Adanya kesamaan lokasi titik sampling ini diharapkan mampu melengkapi data kualitas air dari PT. Indonesia Power, guna manajemen dan pengelolaan kualitas air Waduk Saguling. Jenis data yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer yang bersumber dari hasil pengukuran/analisis kimia sedimen dan data sekunder dari hasil pemantauan kualitas air waduk setiap tiga bulanan oleh PT. Indonesia Power UPB Saguling.
3.3.2. Peubah Jenis logam berat yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya empat jenis yaitu plumbum (Pb), tembaga (Cu), merkuri (Hg), dan kadmium (Cd) yang sudah diketahui berpotensi toksik bagi sebagian besar biota akuatik dan telah direkomendasikan oleh agensi lingkungan seperti US-EPA (Anonim 1986). Parameter pendukung yang diukur pada sedimen meliputi: konsentrasi C organik, fraksi ukuran butir, dan pH sedimen. Parameter kualitas air yang diukur di air meliputi: pH, konduktivitas, salinitas, oksigen terlarut dan temperatur dengan menggunakan water quality checker U-10 (merk Horiba).
3.3.3. Metode Analisis Sampel sedimen yang akan dianalisis konsentrasi logamnya berasal dari lapisan atas/ permukaan (± 2-5 cm) dengan menggunakan alat Ekman grab sampler. Pengambilan cuplikan sedimen pada masing-masing stasiun dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Cuplikan sedimen tersebut kemudian dimasukkan dalam botol kaca Scott yang bervolume 250 ml. Botol tersebut kemudian dimasukkan dalam coolbox yang sebelumnya sudah diberi es batu pada bagian luarnya sebagai pengawetnya. Untuk uji bioassai, sedimen yang dibutuhkan sebanyak ± 2 liter yang dimasukkan dalam keler plastik. Penyimpanan sedimen sebelum dilakukan analisis logam dan uji bioassai disimpan dalam refrigerator pada temperatur 40C. Lamanya waktu penyimpanan tidak lebih dari 4 minggu sesuai dengan prosedur Ankley et al. (1991).
47
Analisis logam dan uji bioassai sedimen dilakukan di laboratorium ekotoksikologi Puslit Limnologi-LIPI. Analisis logam Pb, Cu, Cd dikerjakan dengan menggunakan metode dekstruksi HCL-HNO3 dengan perbandingan (3:1) dan larutan H2O2 30% yang dipanaskan di atas hotplate. Larutan ekstrak dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan AAS flame spectrofotometer merk Hitachi Z6100. Penjelasan dari metode ini dapat dilihat dalam Qu and Kelderman (2001) dan Smoley (1992). Untuk logam merkuri (Hg), sedimen didekstruksi dengan menggunakan campuran larutan asam H2SO4-HNO3 yang dioksidasi dengan menggunakan larutan KMnO4 45% dan Kalium persulfat 5%. Reduksi MnO4 dengan menggunakan larutan hidroksilamide klorit 10%. Reduksi Hg dilakukan dengan menggunakan larutan SnCl2.2H2O dan larutan ekstrak yang tertinggal dianalisis dengan menggunakan alat mercury analyzer (cold vapor AAS) merk Hiranuma 310. Penjelasan lebih lanjut metode analisis logam merkuri ini dapat dilihat pada Smoley (1992). Pengukuran konsentrasi C organik pada sedimen dilakukan menurut metode dari Graham (1948) dan Bray and Kurtz (1945). Adapun pengukuran parameter lainnya seperti: fraksi ukuran butir dengan menggunakan saringan bertingkat, dan pH sedimen secara rinci dijelaskan dalam Blackmore et al. (1981). Tabel 3 merupakan ringkasan dari prosedur analisis kimia pendukung yang dilakukan pada sedimen dan air. Konsentrasi logam berat di air tidak dianalisis lebih lanjut pada penelitian ini, karena sudah merupakan bagian dari program pemantauan yang telah dilakukan secara rutin oleh pihak otorita PT. Indonesia Power setiap 3 bulan sekali. Untuk tujuan evaluasi, maka data sekunder dari data pemantauan kualitas air pada tahun 2006 dibutuhkan dalam penelitian ini guna merunut keberadaan kontaminasi logam berat di sedimen.
48
Tabel 3. Ringkasan metodologi yang dipergunakan untuk analisis kimia pada sedimen dan air.
No
Parameter
Jenis Sampel
Metode
Alat Ukur
1
pH
sedimen
Ekstraksi dengan H2O dan KCL 10%
pH meter
2
Logam berat (Pb, Cd, Cu) Hg
Sedimen
Konduktivitas, temperatur, oksigen terlarut (DO), Salinitas, dan pH C organik
Air
Dekstruksi dengan HCl-HNO3 Dekstruksi dengan asam H2SO4-HNO3
AAS flame spectrofotometer Mercury analyzer (cold vapor) Water quality checker
Kolorimeter
Spektrofotometer
3 4
5
Sedimen
Sedimen
Untuk menentukan bobot bukti dari hasil analisis kimia di sedimen diprediksi dengan menggunakan beberapa guideline baku mutu sedimen dari negara lain yaitu Kementrian Lingkungan Ontario Canada (Giezy and Hoke 1990), Swedia Environment Protect Agency /SEPA (Anonymous 1991), dan lima guideline lain dari sediment effect concentration (SECs)4 meliputi: effect range low (ERL)5, effect range median (ERM), threshold effect level (TEL)6, propable effect level (PEL), dan severe effect level (SEL) yang secara rinci dapat dilihat dalam Burton (2002). 4)
5)
6)
SEC adalah Konsentrasi dari kontaminan dalam sedimen di bawah gejala toksisitas tersebut jarang diamati dan di atas dari gejala toksisitas sering terjadi. ERL dan ERM adalah Guideline kualitas sedimen yang didasarkan pada pendekatan empiris pengaruh biologi yang ditimbulkan oleh zat pencemar tertentu. Representasi dari range konsentrasi yang mana efeknya jarang terjadi (di bawah ERL), kadang-kadang terjadi (pertengahan antara ERL dan ERM), dan sering (di atas ERM) yang berhubungan dengan toksisitas dari sedimen. Range dari kedua nilai tersebut ditentukan berdasarkan percentile ke 10 dan 50 dari distribusi konsentrasi kontaminan yang berhubungan dengan efek biologi yang merugikan. Probable Effects Levels (PELS) dan Threshold Effects Levels (TELs): Guideline kualitas sedimen yang didasarkan pada pendekatan empiris pengaruh biologi yang ditimbulkan oleh zat pencemar tertentu yang mirip dengan ERM dan ERL. Umumnya guideline ini digunakan di daerah florida dan sekitarnya. Nilai konsentrasi dari zat pencemar yang lebih rendah dari guideline ini menunjukkan konsentrasi yang jarang menimbulkan efek toksik pada biota air. Nilai diantara dari guideline ini, pengaruhnya toksiknya kadang-kadang terjadi, dan nilai di atas dari guideline menunjukkan efek toksik sering terjadi. Nilai range ini didefinisikan dengan percentile spesifik dari dua distribusi data antara konsentrasi kontaminan yang berhubungan dengan efek biologi dan konsentrasi yang menunjukkan tidak ada efek biologi. Nilai PEL dihitung dari nilai rata-rata geometrik dari ERM dan no effect range high (NERH), sedangkan TEL dihasilkan dari nilai rata-rata geometrik dari ERL dan no effect range median (NERM).
49
Sampling organisme bentik makroavertebrata/ bentos7 dilakukan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 2006 dengan menggunakan alat Ekman grab sampler. Pengambilan bentik makroavertebrata dilakukan pada kedalaman ± 5 meter yang ditetapkan dengan menggunakan alat Fish finder 250 merk Garmin pada semua stasiun pengamatan. Diharapkan adanya kesamaan kedalaman ini diantara stasiun pengamatan akan memiliki kemiripan komunitas bentik yang akan dikaji pada penelitian ini. Pada masing-masing stasiun pengamatan dilakukan pengambilan sebanyak 9 kali grab (luas area yang disampling ± 2025 cm2). Pengawetan bentik makroavertebrata dengan menggunakan larutan formalin 10% yang dimasukkan dalam keller plastik. Sedimen dibilas dengan menggunakan air kran di atas saringan yang berpori 0,5 mm. Sortir bentik makroavertebrata dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran hingga 10 hingga 45 kali. Hewan yang telah tersortir dimasukkan dalam botol flakon yang sudah berisi larutan alkohol 75%. Khusus identifikasi hewan cacing Oligochaeta dan larva Diptera Chironomidae dilakukan mounting dengan menggunakan larutan CMCP-10 (Polysciences Inc.).
7)
Bentik Makroavertebrata/ bentos merupakan sekelompok grup hewan yang tanpa ruas tulas belakang dan biasanya hidup di dasar perairan dengan cara menggali lubang pada sedimen maupun menempel pada permukaan substrat/ batu. Hewan bentos sendiri mungkin berupa siput, cacing, serangga air, remis dan sebagainya. Dari segi ukuran hewan tersebut mungkin sangat bervariasi dari yang besar mudah terlihat secara kasat mata, hingga yang berukuran kecil dan mungkin harus menggunakan alat bantu mikroskop stereo.
50
Gambar
4.
Peta lokasi sampling makroavertebrata.
pengambilan
sedimen
dan
organisme
bentik
Uji toksisitas sedimen dilakukan dengan menggunakan air pori-pori sedimen. Metode pemisahan/ isolasi air pori-pori sedimen mengadopsi cara kerja Harkey et al. (1994) dan Giezy et al. (1990). Sedimen basah dimasukkan dalam tabung sentrifuge dan disentrifugasi dengan menggunakan alat sentrifuge merk IEC Centra MP4R pada kecepatan 8000 rpm selama 30 menit pada temperatur 40C. Supernatan dipisahkan dan disaring dengan menggunakan kertas Whattmann GF/C (1,2 µm) dan disimpan dalam refrigerator pada temperatur 4
0
C. Sebelum air pori-pori digunakan dalam
pengujian maka air tersebut didiamkan dalam temperatur ruangan ± selama 1 jam. Hewan yang digunakan dalam uji toksisitas air pori-pori adalah Hydra sp. yang diperoleh dari kultur Lab. Toksikologi Puslit Limnologi-LIPI. Teknik kultur dan pemeliharaan dari hewan tersebut secara rinci telah dijelaskan Trotier et al. (1997). Hewan Hydra sp. dimasukkan ke dalam microplate dengan menggunakan kuas kecil yang terdiri dari 12 sumuran yang masing-masing bervolume 5 ml merk
51
Nunclon@. Metode uji toksisitas dengan Hydra yang ditempatkan dalam microplate mengadopsi dari prosedur Blaise and Takashi (1997). Jumlah hewan Hydra yang dimasukkan dalam tiap sumuran adalah 5 ekor. Sampel air pori-pori sedimen dilakukan serangkaian pengenceran dengan air aquades dengan konsentrasi: 100, 50, 25, 12,5, 6, 3, 0 % v/v ( hanya air aquades) yang dimasukkan dalam microplate tersebut. Respon stres hingga kematian dari hewan Hydra sp. ditunjukkan dengan bentuk morfologi clubed, “tulip”, hingga disintegrasi yang bentuk morfologinya dapat dilihat pada Blaise and Takashi (1997). Kematian dari hewan Hydra dicatat pada 96 jam.
Gambar 5. Gambar respons stress dari Hydra sp. A). Kondisi normal, B dan C. terjadi pemendekan tentakel yang merupakan kondisi stress ringan, D). Fase tulip yang merupakan respon stress berat, E). Disintegrasi merupakan kematian dari Hydra sp (Blaise and Takashi 1997).
3.4. Analisis Data Data hasil analisis logam di sedimen sebelum dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA) dilakukan uji normalitas terlebih dahulu dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Jika nilai probabilitasnya (P<0,05), maka data tersebut diprediksi tidak normal dan harus dilakukan transformasi terlebih dahulu dengan
52
menggunakan akar kuadrat (√) atau log(x+1). Data hasil analisis logam di sedimen yang mengikuti normalitas (p>0,05), maka dapat dilanjutkan dengan menggunakan analisis statistik ANOVA satu arah (α = 0,05), guna mengetahui adanya pengaruh lokasi titik sampling stasiun terhadap konsentrasi logam beratnya. Jika ada perbedaan signifikan perbedaan konsentrasi logam antar stasiun pengamatan, maka dilakukan uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan dengan p = 0,05. Pengujian analisis statistik ini dilakukan dengan menggunakan software STATISTICA versi 5 (Statsoft Inc.). Status kontaminasi dari empat logam yang terakumulasi di sedimen (Hg, Cd, Cu, dan Pb) digabung kedalam satu indek polusi (W) dari Widianarko et al. (2000). Rumus dari indek polusi (W) dapat dilihat di bawah ini: log
/
Dengan Ci = konsentrasi logam i di sedimen, Coi = konsentrasi logam di stasiun yang berfungsi sebagai latar belakang (background consentration), dan n = jumlah dari logam. Lokasi dikategorikan belum terpolusi jika W ≤ 0, terpolusi ringan jika 0 ≤W< 1, terpolusi sedang 1<W≤ 2, dan terpolusi berat jika W> 2. Prediksi besarnya gangguan pada komponen triad (uji bioassai dan komunitas bentik makroavertebrata) di masing-masing stasiun pengamatan, mengadopsi dari kriteria MacDonald et al. (2004). Tipe kualitas sedimen digolongkan menjadi tiga bagian yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A diharapkan kondisi yang mewakili tingkat gangguan yang rendah yang umumnya terdapat pada bagian reference site (background concentration). Tipe B menunjukkan tingkat gangguan sedang, dan tipe C menunjukkan tingkat gangguan yang tinggi. Uraian penjelasan secara rinci dari kriteria tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 4.
53
Tabel 4. Kriteria kualitas sedimen yang didasarkan pada besarnya gangguan pada komponen triad uji bioassai dan komunitas bentik makroavertebrata.
Tipe kualitas sedimen
Besarnya gangguan pada efek biologi
Uji toksisitas akut di sedimen (% sampel yang menunjukkan pengaruh akut)
Komunitas bentik (% sampel yang terpengaruh)
Tipe A Tipe B Tipe C
Rendah Sedang Tinggi
< 10 10-20 > 20
< 10 10-50 > 50
Tahap rangking dari kontaminasi logam di setiap stasiun pengamatan didasarkan pada adopsi sistem scoring dalam penyusunan indek multimetrik (Barbour et al. 1999). Data kontaminasi logam berat pada sedimen diurutkan dari mulai yang terkecil hingga yang terbesar. Data setelah diurutkan, maka dilakukan tahap penentuan persentil dari 5%, 25%, 50%, dan 75%. Penjelasan sistem scoring secara rinci dari masing-masing logam dapat dilihat dalam Tabel 5. Untuk masing-masing logam berat (Cu, Cd, dan Pb) dilakukan tahap rangking dan penjumlahan skor dari masing-masing stasiun pengamatan. Hasil penjumlahan dari ketiga skor tersebut digunakan untuk rangking tempat berdasarkan kontaminasi logam berat total pada sedimen. Tabel 5. Sistem scoring yang digunakan dalam penyusunan multimetrik No 1 2 3 4 5
Persentil (%) 0-5 5 - 25 25 - 50 50 - 75 > 75
Bobot skor 1 3 5 7 9
Untuk mendapatkan nilai rangking kontaminasi logam di sedimen (L) pada rangkuman indek yang berbentuk grafik radar triad, maka dibuatlah suatu rumus yaitu L=
( Nilai rangking tertinggi + 1) − Nilai rangking tempat Nilai rangking tertinggi
× 100 %
54
Analisis stastistik multivariat nonmetric dimensional scaling (NMDS) diterapkan
guna
mengetahui
adanya
pengelompokan
komunitas
bentik
makroavertebrata pada setiap stasiun pengamatan. Barbour et al. (1996) menyebutkan metode ordinasi dengan menggunakan NMDS lebih kuat dan menghasilkan pemisahan kelas lebih baik daripada metode ordinasi lainnya. NMDS merupakan ordinasi nonlinier yang menempatkan site (unit sampel) dalam sebuah orientasi spasial dengan cara mencocokkan dengan beberapa pengukuran jarak diantara unit sampel, analognya adalah untuk mengembangkan sebuah pemetaan yang hanya didasarkan pada jarak diantara site satu dengan lainnya. Secara aktual, NMDS tidak menggunakan metrik jarak dalam algoritma ordinasinya, namun menggunakan rangking jarak untuk ordinasinya (Ludwig and Reynolds 1988). Dalam penelitian ini, rangking jarak yang digunakan dalam analisis NMDS dengan menggunakan indek Jaccard (Legendre and Legendre 2003; Washington 1984). Rumus dari indek Jaccard adalah 100
nc adalah jumlah spesies yang umum untuk kuadrat i dan j, ni dan nj adalah jumlah spesies dalam kuadrat i dan j berturut-turut. Canonical correspondence analysis (CCA) merupakan teknik ordinasi langsung yang telah secara luas digunakan dalam model ekologi guna karakterisasi hubungan diantara kelimpahan spesies, variabel lingkungan yang mempengaruhi spesies, dan lokasi sampling. CCA merupakan metode analisis gradien langsung yang menggabungkan analisis correspodence (CA) dengan regresi berganda. Dalam CCA komposisi spesies dihubungkan dengan variabel lingkungan yang diukur. Hasil dari analisis CCA dirangkum dalam bentuk sebuah plot dari skor spesies, lokasi sampling, dan panah/ vektor yang mewakili variabel lingkungan. Skor lokasi sampling dan spesies diplotkan dalam bentuk titik yang berbentuk segitiga, bulat, kotak atau lainnya, sedangkan panah vektor yang mewakili variabel lingkungan menuju arah dengan variasi maksimal. Panah dari masing-masing variabel jika berhimpitan satu
55
dengan lainnya menunjukkan adanya korelasi positif, sedangkan jika membentuk sudut mendekati 1800, maka menunjukkan korelasi negatif. Jika 2 panah membentuk sudut 900, maka antar variabel tersebut mengindikasikan tidak berkorelasi. Plot dari stasiun maupun spesies yang berdekatan dengan panah /vektor variabel lingkungan, maka stasiun maupun spesies yang ditemukan cenderung untuk dicirikan oleh variabel tersebut (Manolakos et al. 2007). Dalam penelitian ini, analisis CCA digunakan untuk menampakkan hubungan antara kontaminasi logam pada sedimen dengan komunitas bentik makroavertebrata di
setiap
stasiun
pengamatan.
Data
komposisi
dan
kelimpahan
bentik
makroavertebrata sebelum dianalisis dengan CCA dilakukan transformasi terlebih dahulu dengan menggunakan akar kuadrat berganda guna meminimisasi pengaruh dari data kelimpahan yang terlalu ekstrim (besar). Seleksi variabel lingkungan yang akan dimasukkan dalam ordinasi CCA diuji terlebih dahulu dengan menggunakan tes multikolinearitas guna menghindari adanya variabel yang saling berautokorelasi (R>0,8). Penghitungan ordinasi CCA dan tes multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan software ECOM versi 1.36 (Pisces Conservation ltd). Atribut biologi (metrik) yang digunakan untuk mendeteksi tingkat gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata yang disebabkan oleh kontaminasi logam diprediksi dengan tiga macam metrik yaitu Dominansi 3 (Bode et al. 1996), indek diversitas Shannon-Wiener (Krebs 1989), biological monitoring working party/ BMWP (Armitage et al. 1983), dan kekayaan taksa (Bode et al., 1996). Rumus dari indek diversitas Shannon-Wiener adalah sebagai berikut:
H' = −∑
ni n log 2 i N N
Dengan, H’= indek diversitas, ni = Jumlah individu dalam satu spesies, N = Jumlah total individu spesies yang ditemukan Penghitungan indeks diversitas dan BMWP dilakukan dengan menggunakan software Spesies Diversity and Richness ® versi 2.65 (Pisces Conservation ltd.). Dari
56
tiga macam metrik di atas dilakukan uji korelasi sederhana Spearman dengan variabel lingkungan (kualitas sedimen) guna mengetahui sensitifitas dari masing-masing indek. Indek yang mempunyai nilai korelasi r > 0,5 dapat dijadikan kandidat dalam penyusunan indek gabungan yang didasarkan pada pendekatan konsep multimetrik seperti yang dilakukan dalam rangking kontaminasi logam. Penggabungan nilai atribut biologi kedalam rangkuman indek yang berbentuk grafik radar (triad), sebelumnya dilakukan normalisasi guna menetapkan rangking dari setiap stasiun pengamatan. Normalisasi nilai rangking berdasarkan indek gabungan (B) pada masing-masing stasiun adalah sebagai berikut: B=
Nilai indek biotik gabungan lokasi × 100 % Nilai indek biotik gabungan tertinggi
Nilai LC50 (lethal concentration) dihitung dari jumlah hewan Hydra yang mati selama 96 jam dan datanya dianalisis dengan menggunakan statistik probit. Penghitungan analisis probit dikerjakan dengan menggunakan software EPA probit analysis program version 1.5. Untuk menghasilkan nilai rangking tempat berdasarkan pada nilai LC50 yang digunakan dalam grafik radar (T) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: T =
Nilai LC 50 lokasi × 100 % Nilai LC 50 tertinggi
Penggabungan nilai rangking (kontaminasi kimia, struktur komunitas, dan uji toksisitas sedimen) pada setiap stasiun pengamatan digambarkan dalam suatu rangkuman indek yang berbentuk grafik radar guna menampakkan trend dari masingmasing parameter pada setiap stasiun pengamatan. Semakin besar kontaminasi logam di sedimen, gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata, dan toksisitas sedimen yang tinggi, maka gambar dari grafik radar akan mendekati pusat dari sumbu kuadran. Begitu juga sebaliknya, jika rendahnya kontaminasi logam diikuti dengan tingginya nilai indek gabungan (komunitas bentik makroavertebrata) dan rendahnya toksisitas sedimen, maka grafik radar akan semakin menjauhi dari sumbu pusat
57
kuadran. Skala yang digunakan dalam grafik kuadran dinyatakan dalam persentase (%). Analisis principal compenent analysis (PCA) diterapkan guna melihat kontribusi dari masing-masing logam berat terhadap toksisitas logam berat (LC50) dan perubahan struktur komunitas bentik makroavertebrata yang diwakili oleh indek gabungan. Pengerjaan analisis multivariat tersebut dilakukan dengan menggunakan software MVSP version 3.1 (kovach computer system). 3.5. Batasan Penelitian.
Pada penelitian ini, penulis membatasi penelitian hanya sampai pada analisis konsentrasi logam total yang terakumulasi di sedimen saja. Jenis logam yang dikaji pada penelitian ini, dibatasi 4 macam saja,yaitu Cu, Pb, Cd, dan Hg.
58
IV. Hasil dan Pembahasan 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Waduk Saguling merupakan salah satu bendungan yang terletak dalam Daerah Pangairan Sungai (DPS) Citarum. Dua bendungan lainnya yang terletak di bagian hilir dari Waduk Saguling yaitu Waduk Cirata dan Juanda (Jatiluhur). Air Waduk Saguling sebagian besar berasal dari DAS Citarum Hulu beserta tujuh anak sungai yaitu Sungai Cijambu, Cilanang, Cijenuk, Ciminyak, Cijere, Cihaur, dan Cipatik. Pemanfaatan air dari anak sungai tersebut di atas sebagian besar digunakan untuk irigasi, air baku PDAM, dan industri. Air Waduk Saguling mempunyai duga muka air normal sebesar 643 meter di atas permukaan laut. Waduk tersebut mempunyai luas sekitar 5600 ha dan isi waduk sebesar 875 juta m3 ketika ketinggian muka air normal (643 meter). PLTA Unit Pembangkitan Saguling memanfaatkan air Sungai Citarum yang mempunyai hulu di Gunung Wayang yang mempunyai ketinggian 2162 di atas permukaan laut. Sungai Citarum mengalir melalui Kodya dan Kabupaten Bandung yang memiliki 2450 industri dan 60% diantaranya adalah industri tekstil (Soewondo 2005).
4.2 Kontaminasi Logam di Sedimen.
Hasil kompilasi analisis logam rata-rata Cu, Cd, Hg, dan Pb di sedimen dari mulai bulan Juni, Juli, Agustus 2006 beserta parameter pendukungnya telah disajikan dalam Lampiran (1 dan 2) serta Gambar 6 dan 7. Gambar 6 dan 7 menunjukkan kontaminasi logam mulai Stasiun Nanjung hingga outlet Waduk Saguling (Stasiun Rajamandala) yang secara umum relatif tinggi. Konsentrasi logam setelah Stasiun Gunung Wayang berkisar 3 hingga 8 kali lipat untuk beberapa jenis parameter logam berat yang diamati. Tingginya kontaminasi logam yang terakumulasi di sedimen tidak terlepas dari beban polusi yang diterima pada masing-masing stasiun pengamatan. Sumber kontaminasi logam berat yang masuk ke Sungai Citarum dan Waduk Saguling mungkin sangat beragam dan komplek. Gerhardt et al. (2004) dan Paul and
59
Meyer (2001) menyebutkan adanya peningkatan aktivitas antropogenik di ekosistem air tawar pada umumnya akan meningkatkan konsentrasi logam beberapa kali lipat di atas konsentrasi latar belakangnya. Mwamburi (2003) menambahkan sumber logam di sedimen sebagian besar berasal dari buangan limbah industri dan perkotaan, emisi atmosfer, dan pelindihan bahan kimia dari lahan pertanian. Gambar 6 menunjukkan kontaminasi logam Cd mulai Stasiun Gunung Wayang hingga Stasiun intake structure. Di Stasiun Nanjung (0,263 mg/kg berat kering) dan Muara Cipatik (0,227 mg/kg berat kering) menunjukkan kontaminasi logam Cd paling besar diantara semua stasiun pengamatan. Kontaminasi logam Cd setelah Stasiun Nanjung mulai turun hingga Muara Cipatik. Setelah Stasiun Muara Cipatik konsentrasi logamnya lebih rendah hingga Stasiun Rajamandala (0,07 mg/kg berat kering). Konsentrasi rata-rata logam Cd di Stasiun Rajamandala relatif sama dengan Stasiun Gunung Wayang (0,08 mg/kg berat kering). Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) kontaminasi logam Cd di sedimen pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan (F = 17,803 dan p = 0,00001). Hasil uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan (p=0,05) untuk logam Cd. Angka di atas nilai standar deviasi menunjukkan beda nyata dengan stasiun tersebut. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Stasiun Gunung wayang Nanjung Trashboom Cihaur Cangkorah Cimerang Muara Cihaur Muara Cipatik Muara Ciminyak Muara Cijere Muara Cijambu Intake structure Rajamandala
Konsentrasi Cd Rata-rata ± (Standar deviasi) 0,07±0,07 2,5,78 0,263±0,26 1,3,4,5,6,7,9,10,11,12,13 0,107±0,11 2,7,8 0,107±0,11 2, 7,8 0,133±0,13 1,2,8,13 0,133±0,11 2,7,8 0,157±0,16 1,2,3,4,6,8,9,10,11,12,13 0,227±0,23 1,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 0,093±0,09 2,7,8 0,11±0,112,7,8 0,093±0,09 2,7,8 0,11±0,11 2,7,8 0,07±0,08 2,5,7,8
60
Tren nd kontaminnasi logam merkuri m (Hgg) di sedim men hampir mirip denggan l logam Cd seeperti yang tampak pada Gambar 6. 6 Kontaminaasi logam Hg H dari Stasiiun N Nanjung hin ngga muara Cihaur ham mpir 5 kali lipat besarnyya dari kontaminasi Cd di s stasiun yang g bersangkuttan. Konsenntrasi logam Hg setelah Stasiun Guunung Wayaang m meningkat hingga h menccapai 1,21 mg/kg m beratt kering di Stasiun Nannjung. Setellah S Stasiun Nan njung konseentrasi logam mnya lebih rendah hinggga Stasiunn Rajamandaala ( (0,04 mg/kg g berat keriing). Hasil analisis siddik ragam kontaminasi k logam Hg di adanya perbedaan konsentrasi logam Hg yang sanggat s sedimen menunjukkan m k s signifikan diantara d stasiiun pengamaatan lainnyaa (F= 12,49 dan p=0,000000). Hasil uji u p perbandinga an post hoc untuk logam m Hg dengann menggunaakan Duncann dapat dilihhat
Konsentrasi (mg/kg berat kering)
p pada Tabel 7. 7
1.80 1.60 1.40
1.21
1.20
03 1.0
1.00 0.80 0.50
0.60 0.40 0.20
0.26 0.07 0.01
0.57
0.55
23 0.2 0 0.11 0.16 0 0.11 0.11 0.130.14 0.09 0.11 0.09 0.11 0.08 8 0.00 0 0.00 0.00 0.00 0.02 0.04
Hg Cd
0.00
Staasiun Pengamaatan
G Gambar 6. Konsentrasi K raata-rata logam m berat Cd daan Hg (mg/kgg berat keringg) di sedimenn di setiap stasiun pengamatan..
61
Tabel 7. Hasil uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan (p=0,05) untuk logam Hg di sedimen. Angka di atas nilai standar deviasi menunjukkan beda nyata dengan stasiun tersebut. No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Stasiun Gunung wayang Nanjung Trashboom Cihaur Cangkorah Cimerang Muara Cihaur Muara Cipatik Muara Ciminyak Muara Cijere Muara Cijambu Intake structure Rajamandala
Konsentrasi Hg Rata-rata ± (Standar deviasi) 0,007±0,007 2,3,4,5,7 1,210±0,48 1,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 1,033±0,178 1,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 0,499±0,36 1,2,3,6,8,9,10,11,12,13 0,566±0,20 1,2,3,6,8,9,10,11,12,13 0,144±0 2,3,4,5,7 0,552±0,36 1,2,3,6,8,9,10,11,12,13 0±0 2,3,4,5,7 0,001±0,0012 2,3,4,5,7 0±0 2,3,4,5,7 0±0 2,3,4,5,7 0,017±0,009 2,3,4,5,7 0,038±0,007 2,3,4,5,7
Kontaminasi logam Pb dan Cu seperti yang terlihat pada Gambar 7 menunjukkan pola yang hampir mirip dengan kontaminasi logam sebelumnya, yaitu setelah Stasiun Gunung Wayang menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan di Stasiun Nanjung (42,6 mg/kg berat kering). Konsentrasi logam Pb setelah Stasiun Nanjung mulai lebih rendah dari Stasiun Trashboom Batujajar (19,79 mg/kg) hingga Stasiun Rajamandala (8,2mg/kg). Hasil analisis sidik ragam kontaminasi logam Pb di sedimen diantara stasiun pengamatan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan (F= 154,343 dan p=0,0000). Hasil uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan untuk logam Pb dapat dilihat dalam Tabel 8.
Konsentrasi logam Cu di sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan logam Pb, dengan kisaran yang cukup bervariatif dari 2 hingga 4 kali lipat. Gambar 7 menunjukkan konsentrasi logam Cu di Stasiun Nanjung masih menunjukkan tertinggi diantara lokasi lainnya, yang kemudian mengalami penurunan di Stasiun Batujajar (51,30 mg/kg berat kering). Konsentrasi logam Cu setelah Stasiun Batujajar meningkat kembali hingga di Stasiun Muara Cihaur (79,27 mg/kg berat kering). Setelah stasiun tersebut konsentrasi logam Cu-nya lebih rendah hingga di Stasiun Muara Ciminyak (43,97 mg/kg berat kering), dan sedikit meningkat kembali hingga
62
Stasiun Rajamandala (55,5 mg/kg berat kering). Hasil analisis sidik ragam kontaminasi logam Cu di sedimen menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan diantara stasiun pengamatan (F= 36,499, P<0,000001). Adanya beda nyata konsentrasi logam Cu pada masing-masing stasiun pengamatan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9 setelah dilakukan uji perbandingan post hoc dengan Duncan. Tabel 8. Hasil uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan (p=0,05) untuk logam Pb di sedimen. Angka di atas nilai standar deviasi menunjukkan beda nyata dengan stasiun tersebut. No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Stasiun Gunung Wayang Nanjung Trashboom Cihaur Cangkorah Cimerang Muara Cihaur Muara Cipatik Muara Ciminyak Muara Cijere Muara Cijambu Intake structure Rajamandala
Konsentrasi Pb Rata-rata ± (Standar deviasi) 5,733± 0,21 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 42,6± 21 1,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 19,78± 1,96 1,2,6,7,8,9,10,11,12,13 20,2± 1,931 1,2,6,7,8,9,10,11,12,13 19,7± 0,2 1,2,6,7,8,9,10,11,12,13 12,03± 3,1 1,2,3,4,5,7,10,11,12,13 16,78± 0,96 1,2,3,4,5,6,8,9,10,11,12,13 12,967± 0,57 1,2,3,4,5,7,10,11,12,13 10,77± 0,35 1,2, 3,4,5,7 8,57± 0,57 1,2, 3,4,5,6,7,8 8,533±0,35 1,2,3,4,5,6,7,8 9,93±0,21 1,2, 3,4,5,7,8 8,2±0,36 1,2, 3,4,5,6,7,8
63
Konsentrasi (mg/kg berat kering)
120 0.00 95.9 97
100 0.00
79.27
80 0.00
62.93 65.93
60 0.00
72.03 62.33 61.83 5 51.70
51.30 42.60
0 43.97 46.20
52.20
40 0.00 31.97 20 0.00
19.77 20.20 19.70 1 12.03
5.73
16.77 7
Cu Pb
12.97 10.77
8 57 8.53 9.93 8.60 8.5
0.00 0
Stasiun Penggamatan
G Gambar 7. Konsentrasi K r rata-rata logaam Pb dan Cu C pada sedim men (mg/kg berat b kering) di masing-masin m ng stasiun penngamatan. T Tabel 9. Hassil uji perbanndingan postt hoc dengann menggunakkan Duncan (p=0,05) unttuk logaam Cu di seddimen. Angkaa di atas nilaii standar deviiasi menunjukkkan beda nyata den ngan stasiun teersebut.
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Stasiun Gunung wayang w Nanjung Trashboom m Cihaur Cangkorahh Cimerang Muara Cihhaur Muara Cippatik Muara Cim minyak Muara Cijeere Muara Cijaambu Intake struucture Rajamandaala
Konseentrasi Cu Rata-rata ± (Standar R ( devviasi) 2 ,12,13 31,97±1,58 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11, 95,97±4,37 1,1 3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 51,30±2,886 1,2, 4,5,6,7,12,13 62,93±2,776 1,2, 3,7,8,9,10,11 65,93±1,119 1,2, 3,7,8,9,10,11 72,03±6,3331,2, 3,,8,9,10,11,113 79,27±9.62 1,2, 3,4,5,8,9,10,11,12,13 51,7±0,335 1,2, 4,5,6,7,12,133 43,97±0,2251,2, 4,5,6,7,12,133 46,2±0,778 1,2, 4,5,6,7,12,133 52,2±2,88 1,2, 4,5,6,7, 12,133 62,37±2,222 1,2, 3,7,8,9,10,11,,12 55,5±13,99 1,2, 3,6,7,8,9,10,11
Penin ngkatan koonsentrasi logam l dari Stasiun Gunung G Waayang hinggga R Rajamandala a secara garris besar disebabkan olleh dua prooses yang paaling dominnan
64
yaitu oleh proses alami seperti yang berasal dari proses pelindihan aktivitas gunung berapi Tangkuban Perahu dan Patuha (Sriwana 1999) dan aktivitas antropogenik berupa buangan limbah industri dan domestik. Diperkirakan lebih dari 260 ton limbah rumah tangga dan industri yang masuk ke badan Sungai Citarum setiap harinya (Soewondo 2003). Menurut Salim (2004) menyebutkan persentase jenis limbah dominan selain limbah industri yang masuk ke Sungai Citarum meliputi: limbah domestik 70,94%, pertanian 17,51%, peternakan 3,16%, dan rumah sakit 0.04%. Senyawa logam berat sering digunakan sebagai bahan baku campuran pewarna industri tekstil, elektronika, dan elektroplating (Forstner 1983a). Diperkirakan ± 361 industri yang berdiri di sekitar DAS Citarum hulu berpotensi menimbulkan pencemaran logam berat dan bahan polutan lainnya ke perairan (Anonim 2004b). Tujuh kawasan industri yang dilalui oleh Sungai Citarum yang berpotensi menimbulkan pencemaran logam ke dalam Waduk Saguling meliputi: daerah Majalaya, Banjaran, Rancaekek, Deyeuh kolot, Ujung berung, Cimahi, dan Padalarang (Rachmatyah 2003). Salim (2004) menyebutkan beban pencemar logam berat yang masuk ke Sungai Citarum juga berasal dari limbah industri yang masuk dari anak Sungai Cikapundung dan Cisangkuy yang kedua sungai tersebut akan bergabung dengan Sungai Citarum. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji perbandingan post hoc dengan Duncan menunjukkan adanya beda nyata dari konsentrasi logam (Cd, Cu, Hg, dan Pb) yang terakumulasi di sedimen di beberapa stasiun pengamatan (Tabel 6 hingga 9). Hal ini diduga disebabkan oleh adanya perbedaan beban pencemar yang masuk pada masing-masing stasiun pengamatan tersebut. Kontaminasi logam di sedimen dihasilkan dari perbedaan jenis dan besarnya logam berat yang digunakan dan dilepaskan ke lingkungan oleh aktivitas antropogenik (Förtstner 1983a). Power and Chapman (1992) menyebutkan kemampuan yang tinggi dari sedimen untuk merespon dan merekam kejadian polusi yang terjadi di dalam ekosistem akuatik dari masa lampau hingga sekarang. Sebagai contoh daerah-daerah yang mendapat masukan utama dari lindih aktivitas gunung berapi, limbah industri dan perkotaan (misalnya Stasiun Nanjung dan Trashboom),
65
dan kawasan industri (Stasiun Cihaur, dan Cangkorah) akan memiliki kontaminasi logam di sedimennya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya yang beban polusinya masih didominasi oleh pertanian dan limbah domestik yang berasal dari perkampungan (misalnya Stasiun Cipatik, Cijere, dan Cijambu). Peningkatan logam di Stasiun Cihaur, Cangkorah, dan Cimerang diduga dari buangan industri yang berada di pinggir waduk yang membuang limbahnya secara langsung ke dalam Waduk Saguling (Misdi8 2006, komunikasi pribadi). Kontaminasi logam di Stasiun Ciminyak dan stasiun lainnya dalam Waduk Saguling mungkin berasal dari penumpukan sisa pakan buatan dari budidaya jaring apung, beban polusi dari anakanak sungai yang masuk ke stasiun tersebut, maupun berasal dari air Waduk Saguling sendiri yang sudah mengalami kontaminasi logam di kolom airnya dari Sungai Citarum (Mulyanto 2003). Hasil analisis % karbon organik pada sedimen dan distribusi partikel di Stasiun Nanjung (Tabel 2 Lampiran) juga mendukung peningkatan logam berat pada stasiun tersebut, dikarenakan konsentrasi karbon organik (4,547 %) dan % fraksi butiran halus silt dan clay tertinggi (38,50%) dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya konsentrasi bahan organik pada sedimen biasanya diikuti dengan peningkatan konsentrasi logam di sedimennya, karena kemampuan yang tinggi dari logam membentuk chelate dengan ligand organik (Brezonik et al. 1991). Kapasitas ikatan antara bahan organik dengan logam Zn, Pb, Cr, Cu, Hg, dan Cd pada sedimen berkisar 500-700 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan sedimen yang memiliki kandungan bahan organik yang lebih rendah (Warren and Zimmerman 1994; Mason and Sullivan 1998; Gonzales et al. 2000). Distribusi ukuran partikel juga turut menentukan konsentrasi logam berat di sedimen (Salomons and Forstner 1984;
Hornberger et al. 1997). Clay dan silt
mempunyai kemampuan untuk menyerap lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi butir pasir, karena luasnya area permukaan dan tingginya gaya elektrostatis dari permukaan partikel (Brezonik et al. 1991). Peningkatan konsentrasi logam berat dapat terjadi pada besar butir > 63 µm yang sumber logamnya didominasi oleh 8
PT. Indonesia Power, UBP Saguling, Bandung
66
tingginya konsentrasi mineral yang terdapat dalam bahan detritus, sedangkan pada ukuran butir < 2 µm konsentrasi logamnya dapat lebih rendah karena terjadi penurunan potensial adsorbsi dari substansi crystaline atau amorphous (Förstner 1983a). Aktivitas antropogenik lainnya yang berpotensi meningkatkan logam berat Pb di perairan Sungai Citarum juga berasal dari asap kendaraan bermotor dan pembakaran bahan bakar fosil. Logam Pb biasa ditambahkan ke dalam bahan bakar bensin guna meningkatkan nilai oktannya pada mesin kendaraan bermotor. Whittman (1983) telah merinci 10 macam logam yang dihasilkan dari emisi pembakaran bahan bakar fosil meliputi: kobalt (Co), khromium (Cr), tembaga (Cu), nikel (Ni), merkuri (Hg), kadmium (Cd), selenium (Se), arsen (As), seng (Zn), dan timah hitam (Pb). Odum (2000) menunjukkan konsentrasi logam Pb yang berasal dari debu jalanan dapat mencapai 100 - 67.800 ppm, sedangkan dari aliran permukaan 100 - 12.000 ppb. Hasil penelitian yang dilakukan di negara Amerika Serikat menunjukkan logam merkuri (Hg) yang dilepaskan ke atmosfer ± 263 ton per tahunnya. Sumber emisi logam merkuri di lingkungan umumnya berasal dari emisi pembakaran (aktivitas antropogenik) seperti: incenerator limbah perkotaan dan rumah sakit, dan penggunaan ketel-ketel uap pada berbagai macam industri (Anonim 2004a, Beckvar et al. 1996). Masuknya logam merkuri ke perairan Sungai Citarum diduga hasil dari pembuangan limbah industri misalnya elektronik, bahan densifektan, maupun rumah sakit. Dari penelitian yang dilakukan di Waduk Saguling, nampaknya ada kecenderungan dari setiap logam berat untuk berikatan dengan sedimen mengikuti pola hierarchi sebagai berikut Cu>Pb>Hg>Cd. Logam berat Cu konsentrasinya paling tinggi dan dominan untuk terakumulasi di sedimen, diikuti oleh logam Pb, Hg, dan yang terakhir adalah Cd. Tingginya logam berat Cu pada sedimen diduga disebabkan oleh seringnya logam tersebut digunakan dalam aktivitas antropogenik misalnya sebagai bahan baku pewarna tekstil, industri elektrik, penggunaan pupuk pertanian, fungisida, dan sebagainya (Förtstner and Whittmann 1983). Disamping itu
67
pengkayaan logam tersebut secara alami dapat dihasilkan dari proses dekomposisi tanaman dan hewan yang telah mati. Whittman (1983) menyebutkan logam Cu termasuk dalam jenis logam esensial yang dibutuhkan oleh hampir oleh semua makhluk hidup termasuk tumbuhan dan hewan guna mengatur proses metabolisme dalam tubuh terutama yang berhubungan dengan proses enzimatik. Keberadaan logam tersebut di tanah biasanya merupakan unsur logam normal penyusun mineralmineral tanah. Peningkatan logam Pb setelah Cu mungkin lebih banyak disebabkan oleh tingginya penggunaan logam tersebut sebagai bahan aditif dalam bahan bakar bensin premium maupun industri elektronik lainnya yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Ditinjau dari stabilitas kompleksasi antara logam pada partikel tanah yang ditetapkan oleh Irving-Williams (1948) dalam Förstner (1983b) menunjukkan jenis logam Pb > Cd, sehingga logam Pb lebih mudah mengendap dan terakumalasi di sedimen dibandingkan dengan logam Cd. Rendahnya logam Hg dan Cd pada sedimen mungkin berkaitan dengan regulasi penggunaan logam tersebut dalam aktivitas antropogenik sehari-hari, karena adanya pertimbangan khusus dari sisi aspek kesehatan bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (Boening 2000). Selain hal tersebut logam Hg memiliki titik didih yang lebih rendah daripada logam lainnya, sehingga logam tersbut mempunyai sifat mudah menguap (Förstner 1983b).
4.3 Status Polusi Logam Berat di Sedimen
Hasil penilaian status polusi logam berat total (Pb, Cu, Hg, dan Cd) dengan menggunakan indek polusi (W) dari Widianarko et al. (2000) menunjukkan Stasiun Gunung Wayang yang berfungsi sebagai konsentrasi latar belakang dikategorikan belum mengalami polusi. Stasiun Nanjung hingga Maroko dikategorikan telah terpolusi berat, Stasiun Cimerang tergolong terpolusi sedang, dan Stasiun Cipatik hingga Rajamandala menunjukkan status terpolusi ringan. Tingkat status polusi pada masing-masing stasiun pengamatan secara lebih rinci dapat dilihat dalam Tabel 6. Penilaian status polusi logam di sedimen dengan menggunakan indek polusi dari Widianarko (2000) pada penelitian ini bermanfaat dalam memprediksi besarnya
68
bobot bukti dari kontaminasi kimia (salah satu komponen triad) pada masing-masing stasiun pengamatan. Salah satu keuntungan penggunaan indek polusi tersebut di atas, yaitu dalam membandingkan antara konsentrasi logam pada daerah uji (test site) dengan konsentrasi latar belakangnya (reference site) mungkin memiliki kemiripan kondisi geokimianya maupun sejarah asal penyusun partikel sedimen itu sendiri. Sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat dan mendekati kondisi riil di lapangan. Norris and Norris (1995) menyebutkan dalam penyusunan indek polusi yang didasarkan
pada perbandingan daerah uji (test site) dengan konsentrasi latar belakang yang berfungsi sebagai reference site biasanya memiliki hasil yang lebih baik guna diterapkan pada skala lokal, regional, bahkan nasional yang kadangkala memiliki perbedaan karakter kondisi geomorfologinya. Hasil dari penelitian ini masih memiliki keterbatasan dalam hal prediksi kemungkinan logam tersebut bioavailable ke biota akuatik yang masih didasarkan pada konsentrasi logam berat total (mg/kg berat kering) yang tidak selalu mencerminkan toksisitas logam yang sebenarnya (Luoma and Carter 1991). Adanya fenomena ini dapat dilihat pada Gambar 17 yang menunjukan rendahnya kontaminasi logam tidak selalu diikuti dengan penurunan status toksisitas sedimennya (misalnya Stasiun Cijere, Cipatik, Raja Mandala dan intake/ Dam). Hal ini diduga disebabkan oleh adanya kontaminan lain yang turut berpengaruh dan mengatur kejadian toksisitas sedimen selain logam berat misalnya polutan organik (PCB, PAH), amoniak, nitrit, dan sebagainya. Faktor lain yang turut berpengaruh pada spesiasi logam dalam mengontrol bioavailability antara lain kondisi fisik dan kimia perairan misalnya: kekuatan ion, alkalinitas, kompleksitas ikatan/ ligan, ph, potensial redoks dan sebagainya (Brezonik et al. 1991). Pada penelitian ini diasumsikan bahwa semakin meningkatnya konsentrasi logam yang terakumulasi di sedimen, maka potensi/ kemungkinan logam tersebut untuk bioavailable semakin lebih besar. Disamping itu penggunaan konsentrasi logam berat total (mg/kg berat kering) pada sedimen lebih mudah dibandingkan dengan beberapa guideline kualitas sedimen guna prediksi kemungkinan logam berat tersebut bermasalah atau tidak bagi sebagian besar biota akuatik.
69
Tabel 10. Status polusi dari logam berat yang terakumulasi di sedimen dengan menggunakan indek polusi (Widianarko et al.2000). Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Stasiun Pengamatan Gunung Wayang Nanjung Trashboom Batujajar Cihaur Cangkorah Cimerang Maroko Cipatik Ciminyak Cijere Cijambu Intake structure Rajamandala
W 0 4 3 3 3 2 3 1 1 1 1 1 1
Status Polusi Belum terpolusi Terpolusi berat Terpolusi berat Terpolusi berat Terpolusi berat Terpolusi sedang Terpolusi berat Terpolusi ringan Terpolusi ringan Terpolusi ringan Terpolusi ringan Terpolusi ringan Terpolusi ringan
4.4 Perbandingan Kontaminasi Logam di Sedimen dengan Beberapa Guideline.
Berdasarkan dua guideline baku mutu logam Cd di sedimen dari Kementrian Lingkungan Ontario (Canada), dan Swedia Environment Protect Agency/SEPA menunjukkan adanya perbedaan kriteria dari kedua baku mutu tersebut. Menurut guideline dari Ontario (Cd: 0,6 mg/kg berat kering) konsentrasi Cd dari Stasiun Gunung Wayang hingga Rajamandala masih dikategorikan tidak ada pengaruh bagi biota akuatik, namun dalam SEPA (0,2 mg/kg berat kering) sudah digolongkan dalam pengaruh yang sangat rendah. Kontaminasi logam Hg dibandingkan dengan guideline SEPA menunjukkan kisaran yang sangat bervariatif dari konsentrasi yang sangat rendah (Hg: ≤0,05) misalnya di Stasiun Muara Cipatik, Muara Cijere, Muara Cijambu, Gunung Wayang, intake structure, dan Rajamandala. Kategori konsentrasi rendah (Hg: 0,05-0,15 mg/kg berat kering) berada di Stasiun Cimerang. Konsentrasi tinggi (Hg: 0,3-1 mg/kg berat kering) pada Stasiun Cihaur, Cangkorah dan Muara Cihaur, hingga konsentrasi yang sangat tinggi (>1mg/kg berat kering) yaitu Stasiun Nanjung dan Trashboom. Logam Hg di beberapa stasiun pengamatan misalnya: Stasiun Muara Cipatik, Muara Cijere, Muara Cijambu, Muara Ciminyak, Gunung Wayang, intake structure, dan
70
Rajamandala oleh Kementrian Lingkungan Ontario dikategorikan dalam tidak ada pengaruh hingga pengaruh terendah (Nanjung, Trashboom, Cihaur, Cangkorah, Cimerang, dan Muara Cihaur). Konsentrasi logam Pb di sebagian besar lokasi dalam Waduk Saguling oleh Kementrian Lingkungan Ontario masuk dalam kategori tidak ada pengaruh, kecuali untuk Stasiun Nanjung yang sudah dikategorikan pengaruh terendah (Pb: 23-31mg/kg berat kering). Kriteria dari SEPA konsentrasi tersebut dikategorikan rendah hingga sedang (Stasiun Nanjung) dengan nilai ambang batas guideline Pb: 5-100 mg/kg berat kering. Konsentrasi logam Cu di sebagian besar stasiun pengamatan yang berada dalam Waduk Saguling sudah masuk dalam kategori pengaruh terendah (Ontario: 25mg/kg berat kering). Menurut kriteria SEPA konsentrasi tersebut termasuk dalam konsentrasi sedang hingga tinggi (SEPA: 25-100 mg/kg berat kering). Lima guideline lain dari sediment effect concentration (SECs) meliputi: ERL, ERM, TEL, PEL, dan SEL menunjukkan stasiun-stasiun yang telah melebihi TEL (Cu: 35,7 mg/kg berat kering) yaitu Stasiun Nanjung hingga Rajamandala. Stasiun Muara Cihaur dan Cipatik telah melebihi nilai guideline ERL-Cu yaitu 70 mg/kg berat kering, dan khusus Stasiun Nanjung telah melebihi nilai SEL-Cu yaitu 86 mg/kg berat kering. Untuk logam Pb hanya di Stasiun Nanjung saja yang telah melebihi kedua nilai guideline di atas (TEL-Pb: 35 mg/kg berat kering dan ERL-Pb: 35 mg/kg berat kering). Adapun konsentrasi logam Hg di Stasiun Gunung Wayang, intake structure, Rajamandala, Muara Cipatik, Muara Cijere, dan Muara Cijambu masih berada di bawah kelima guideline tersebut di atas, sedangkan Stasiun Nanjung hingga Muara Cihaur sebagian besar telah melebihi guideline ERL-Hg, TEL-Hg, dan PELHg. Kontaminasi logam Cd di sedimen dibandingkan dengan lima guideline tersebut di atas, semuanya masih di bawah nilai dari lima guideline tersebut. Dari lima guideline tersebut di atas menunjukkan kontaminasi logam Cd di Waduk Saguling diprediksi sangat kecil menimbulkan gangguan ekologi maupun toksisitasnya pada biota akuatik.
71
Negara Amerika dan Canada telah mengembangkan sebuah guideline kualitas sedimen yang lazim dikenal sebagai SECs antara lain: ERL dan ERM (Long et al. 1995), TEL, PEL, dan SEL (MacDonald et al. 1996; Smith et al. 1996) yang semuanya didasarkan pada basis data keberadaan logam yang secara empiris menimbulkan gangguan/ efek merugikan bagi biota air di lapangan maupun di laboratorium (Burton 2002). Nilai ERL mengindikasikan konsentrasi di bawah efek yang merugikan jarang terjadi, sedangkan nilai ERM mengindikasikan konsentrasi di atas dari efek merugikan sering terjadi. Probabilitas munculnya pengaruh yang merugikan terjadi antara 20-30% ketika konsentrasi logam berat tersebut melebihi dari nilai ERL, sedangkan 60-90% ketika melebihi nilai ERM (Anonim, 1999). TEL dan PEL hampir mirip dengan ERL dan ERM, akan tetapi kedua guideline tersebut disusun dan
dikembangkan untuk daerah Florida USA. Pada
penelitian ini sebagian besar masih mengadopsi beberapa guideline yang berasal dari luar negeri, dikarenakan standard baku mutu kualitas sedimen di Indonesia guna mendukung dan melindungi kehidupan biota akuatik sampai saat ini masih belum tersedia. Berdasarkan penjelasan di atas, lokasi (stasiun) yang mempunyai konsentrasi logam Cu (Stasiun Nanjung hingga Rajamandala), Pb (Stasiun Nanjung), dan Hg (Stasiun Nanjung hingga Muara Cihaur) yang melebihi nilai guideline Ontario, SEPA, SEL, ERL dan TEL menunjukkan di stasiun tersebut logamnya berpotensi toksik dan menimbulkan gangguan bagi organisme bentik makroavertebrata lebih besar. Penjelasan lebih rinci dari guideline SEC ini dapat dilihat dalam Giezy and Hoke (1990) dan Burton (2002) .
4.5 Rangking Tempat Berdasarkan Kontaminasi Logam di Sedimen
Hasil normalisasi konsentrasi logam berat Cu, Cd, Pb, dan Hg di sedimen yang digunakan untuk rangking tempat seperti yang disajikan dalam Gambar 8. Gambar 8 menunjukkan bahwa secara umum stasiun yang mempunyai nilai rangking tempat terkecil (6) merupakan daerah yang sedikit mengalami gangguan dari peningkatan aktivitas antropogenik (Gunung Wayang) yang ditandai dengan kecilnya kontaminasi logam di sedimen. Daerah yang mempunyai nilai di atas 20 (Stasiun
72
Nanjung, Trashboom, Cangkorah, Cihaur, Maroko, dan Cimerang) merupakan daerah yang paling tinggi mendapat pengkayaan logam berat. Lokasi yang mempunyai nilai rangking ≤ 20 (Stasiun Ciminyak, Cijere, Muara Cijambu, intake, dan Rajamandala) menunjukkan pengkayaan logam pada stasiun tersebut relatif lebih rendah. Gambar 8 menunjukkan rangking kontaminasi logam berat total (Cu, Cd, Pb, dan Hg) di sedimen dari Stasiun Nanjung hingga Rajamandala. Semakin ke arah kiri dari peta waduk (intake/ DAM), maka nilai rangking kontaminasi logamnya semakin lebih rendah. Rendahnya
kontaminasi logam diduga berkaitan erat dengan
perlambatan arus air sungai yang membawa bahan partikulat yang masuk dari Stasiun trashboom Batujajar hingga ke intake. Proses pengendapan bahan partikulat yang terjadi di sepanjang alur sungai akan berdampak pada pola penurunan logam yang terakumulasi pada sedimen. Fenomena di atas juga dapat dilihat dari trend penurunan logam dari Stasiun Nanjung hingga Stasiun Trashboom Batujajar yang diduga dari banyaknya bahan partikulat yang telah mengendap sebelumnya disepanjang alur sungai antara Stasiun Nanjung hingga Trashboom. Nilai rangking Stasiun Muara Cihaur/ Kp. Maroko dan trashboom mempunyai nilai yang sama tingginya, hal ini diduga dari adanya penambahan beban kontaminasi logam yang berasal dari daerah Trashboom sendiri maupun dari Stasiun Cihaur, Cangkorah, dan Cimerang yang merupakan daerah padat industri. Kontaminasi logam di Stasiun Muara Cipatik diduga berasal dari beban pencemar dari anak Sungai Cipatik itu sendiri, adapun untuk Stasiun Ciminyak, Cijere, Muara Cijambu, intake dan Rajamandala cenderung menunjukkan penurunan logam berat, hal ini diduga dari minimnya beban pencemar logam yang masuk pada anak sungai di lokasi tersebut maupun dari proses pengendapan sebelum masuk pada stasiun tersebut. Kondisi ini merupakan salah satu indikasi dari mekanisme proses pembersihan diri (self purification) melalui proses pengendapan bahan partikulat dari kolom air ke dasar perairan yang masih berlangsung dalam Waduk Saguling. Chapman (1996) menjelaskan proses pembersihan diri yang biasa terjadi pada perairan tergenang (danau atau waduk) biasanya melibatkan tiga zone perubahan yaitu zone riverine, transitional, dan lacustrine yang lebih oligotrofik.
73
Gambar 8. Tahap rangking dari besarnya kontaminasi logam total di setiap stasiun pengamatan. Semakin tinggi nilai rangking menunjukkan semakin besar tingkat kontaminasinya. 4.6 Hubungan Kontaminasi Logam di Sedimen dengan Komunitas Bentik Makroavertebrata
Interaksi kontaminasi logam berat dan bahan polutan lainnya di lapangan mungkin bersifat sangat komplek dalam memberikan pengaruh pada perubahan struktur komunitas bentik makroavertebrata. Namun demikian dampak keberadaan logam berat di sedimen terhadap komunitas bentik makroavertebrata telah banyak dikaji, karena efek negatif dari logam tersebut akan berpengaruh secara langsung pada seluruh tingkatan organisasi biologi dari level seluler (proses biokimia dan fisiologi) hingga penurunan keanekaragaman hayati (Luoma and Carter 1991). Pemaparan logam dari sedimen ke organime bentik makroavertebrata diduga berasal dari dua jalur yang berbeda yaitu terlarut dalam air pori-pori sedimen dan bahan partikulat sendiri yang tercerna beserta partikel makanan. Senyawa logam dalam bentuk terlarut dapat dengan mudah teradsorbsi pada jaringan eksoskeleton di beberapa jenis serangga atau hewan bentik lainnya yang sering mengadakan kontak langsung dengan sedimen (Timmermans et al. 1992). Pengaruh negatif yang ditimbulkan dari pemaparan logam ke organisme bentik makroavertebrata mungkin
74
berupa gangguan pada laju feeding, respirasi, proses reproduksi, embriogenesis, perkembangan larva, abnormalitas morfologi, histopatologi, perilaku, pengaturan ion (osmotik), dan fungsi organ tubuh lainnya yang semuanya itu akan berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup organisme bentik yang bersangkutan (Luoma and Carter 1991). Konsekuensi dari terganggunya struktur komunitas oleh bahan toksikan biasanya berupa hilangnya beberapa spesies yang tergolong sensitif dan perubahan dalam kelimpahan organisme yang bersangkutan pada komunitasnya, sehingga integritas biologi dari peraiaran tersebut biasanya akan mengalami penurunan (Ford 1989). Respon atribut biologi (bentik makroavertebrata) dalam mencerminkan tingkat gangguan ekologi yang terjadi di setiap stasiun pengamatan telah disajikan dalam Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan trend nilai indek diversitas Shannon-Wiener yang menurun drastis setelah Stasiun Gunung Wayang dari 3,4 hingga mencapai nilai 0,1 , 0,9, dan 0 berturut-turut pada Stasiun Nanjung, Cihaur, dan Cangkorah. Rendahnya indek diversitas di Stasiun Nanjung disebabkan oleh dominasi yang kuat dari kelimpahan satu hewan tertentu saja misalnya cacing Oligochaeta Limnodrilus sp (24.030 indv/m2). Di Stasiun Cihaur dan Cangkorah rendahnnya indek diversitas disebabkan oleh rendahnya jumlah komposisi taksa dan kelimpahan organisme bentik makroavertebrata yang menyusun komunitas stasiun tersebut (44 indv/m2 di Cangkorah).
Di Stasiun Cangkorah hanya tersusun oleh larva Chironomid
Kiefferulus sp. yang relatif rendah jumlah kelimpahannya. Setelah Stasiun Cangkorah nilai indek sedikit demi sedikit meningkat di Stasiun Cimerang hingga Rajamandala dengan kisaran 2,05 hingga 3,32. Indeks diversitas Shannon-Wiener merupakan indeks yang paling umum digunakan untuk menejemen lingkungan dan berfungsi sebagai alat bantu dalam menggambarkan stabilitas komunitas dan besarnya degradasi pada ekosistem akuatik (Reynoldson and Metcalfe-smith 1992, Berkman et al. 1988). Indeks tersebut menggabungkan tiga komponen utama dari struktur komunitas yaitu kelimpahan, jumlah taksa, dan evenness (kemerataan distribusi organisme diantara spesies). Rendahnya indeks tersebut biasanya mencirikan adanya stress dari komunitas yang
75
c cenderung menjadi m tidaak stabil. Inndeks tersebbut mencapaai maksimum m jika jumllah i individu pad da masing-m masing indiividu spesies terdistribuusi secara merata m (Norrris 1999). Zisck khe and Erricksen (20003) menyebuutkan nilai indek diverrsitas antaraa 3 h hingga 4 um mumnya menncerminkan kondisi sunngai yang beelum terpoluusi, sedangkkan n nilai indek di d bawah 1 umumnya u m mencerminka an kondisi suungai yang terpolusi t berrat. F Faktor lain yang memppengaruhi beesarnya indeek diversitass selain streess oleh poluusi a antara lain kecepatan k aruus, heterogenitas substraat, kedalamaan usaha sam mpling, metoode s sampling yaang diperguunakan, ukuuran sampel, durasi saampling, tinngkat resoluusi t taksonomi yang y digunaakan, dan waktu w kolekssi sampel (N Norris 19999, Washingtton 1984). Salah h satu kekuurangan pennggunaan inndek diversiitas dalam mencermink m kan s status polusii di perairann yaitu dalam m penghitunggan indek teersebut tidakk memasukkkan u unsur nilai toleransi daari masing-m masing hewaan bentik makroavereteb m brata terhaddap p pencemaran seperti indeek BMWP maupun m indeek biotik lainnnya. Adanyya pencemarran r ringan dari peningkatan p n nutrien didduga dapat menyebabka m an peningkattan nilai inddek d diversitasny a (Washinggton 1984). Oleh sebabb itu dalam mencerminkkan gangguuan y yang terjadi dalam ekossistem perairran, penggunnaan indek diversitas d Shhannon-Wienner p perlu dilaku ukan kombinnasi dengann indek biotik lainnya agar a hasil yang y diperolleh
Indek diversitas Shannon‐Wiener Indek diversitas Shannon‐Wiener
l lebih akurat dan terinteggrasi.
4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
3.4
3.3 2.6
2.7 2.4
3 3.0 2.9 2.1
2.4
0.9 0.5 0.1
0.0
Stasiun Pen ngamatan
G Gambar 9. Trend T nilai rata-rata r indek diversitass Shannon-W Wiener padaa setiap stasiiun . pengamatan p
76
Atribut biologi kekayaan taksa (Gambar 10) menunjukkan trend yang hampir mirip dengan atribut biologi indek diversitas. Di Stasiun Gunung Wayang masih memiliki indek kekayaan taksa yang tertinggi (14). Setelah Stasiun Gunung Wayang, indek kekayaan taksanya mengalami penurunan hingga Stasiun Cangkorah (1). Setelah Stasiun Cangkorah trend dari indek kekayaan taksa cenderung meningkat kembali dengan kisaran nilai yang cukup bervariasi dari 6 hingga 12 (dari Stasiun Cimerang hingga Rajamandala). Bode et al. (1996) telah menggunakan atribut biologi atau metrik kekayaan taksa dalam menentukan tingkat gangguan pada ekosistem sungai khususnya di daerah New York Amerika Serikat. Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Bode et al. (1996), Stasiun Gunung Wayang dikategorikan telah mengalami gangguan sedang, sedangkan stasiun lainnya dikategorikan telah mengalami gangguan berat. Rendahnya kekayaan taksa ini disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain perbedaan ekosistem (misalnya perairan mengalir dan menggenang), heterogenitas susbstrat, ketersediaan pakan, dan adanya polusi. Karena penelitian ini dilakukan di dalam Waduk Saguling dan hulu Sungai Citarum yang substrat dasarnya lebih didominasi oleh
pasir dan campuran clay dan silt, maka hanya bentik
makroavertebrata yang bertipe detritivor (pemakan detritus) saja yang biasanya mendominasi perairan tersebut dan akan berpengaruh pada rendahnya jumlah taksa yang ditemukan. Disamping itu dengan semakin bertambahnya beban polusi logam yang ada di sedimen, pada umumnya diikuti dengan berkurangnya jumlah kekayaan taksa dan kelimpahan beberapa taksa yang tergolong sensitif misalnya larva Ephemeroptera
(Baetis
sp.),
Hemiptera
(Coryphaeschna sp) dan sebagainya.
(Abedus
identatus),
Aeshnidae
77
18 16
15
Kekayaan taxa
14
12
12 10 8
7
8
8
9
9 6
6
6 4 2
1
2
Njj
Bj
2 1
0 Gw
Chr Ckr Cmr Mrrk Mcpk Cmy Cjr
Cjb
Itkk Rjm
Stasiun Pen ngamatan
G Gambar 10 0. Trend nilai rata-ratta indek kekayaan k taaksa pada setiap s stasiiun pengamatan. Atrib but biologi indek BMW WP (Gambarr 11) menuunjukkan treend yang aggak b berbeda darii indek sebeelumnya. Graafik batang indek BMW WP memperliihatkan bahw wa S Stasiun Gun nung Wayanng masih memiliki m nillai indek BM MWP tertinnggi yaitu 20. 2 S Setelah Stassiun Gunungg wayang niilai indek menurun m drasstis pada Staasiun Nanjuung d Stasiun Batujajar yang mencappai nilai 0. Nilai dan N indek secara s bertahhap meningkkat d Stasiun Cihaur hinggga Stasiun Maroko yanng mencapaai nilai 14. Setelah dari S Stasiiun M Maroko nilaai indek cennderung turuun kembali hingga h menccapai nilai 3. 3 Peningkattan c cukup signiifikan mulaii tampak pada Stasiunn Ciminyak hingga Staasiun Cijam mbu d dengan nilaii indek dari 8 hingga 122. Setelah Staasiun Cijambbu nilai indeek mulai turrun k kembali darii mulai stasiuun intake strructure (7) hingga h Stasiuun Rajamanddala (5).
78
30
Indek BMWP Indek BMWP
25
24
20 13
15
14
13 3
10
12 8
7 5
5
2 0
0
Nj
Bj
2
3
0 Gw
Chr Ckr Cmr Mrk Mcpk Cm my Cjr
Cjb
Itk Rjm
Pengamatan Stasiun P
Gambar 11. Trend niilai rata-rata indek BMW WP pada setiaap stasiun peengamatan. Gam mbar 11 mennunjukkan adanya a peninngkatan konntaminasi loogam terutam ma p pada Stasiun n Nanjung hingga h Canggkorah diikuti dengan menurunnya m i indek BMW WP. B Berdasarkan n kriteria inddek BMWP,, maka stasiiun Gunung Wayang termasuk dalaam k kategori terrpolusi ringaan (16-50) dan semuaa stasiun peengamatan lainnya l dalaam k kategori terp polusi berat (0-15). Bebberapa hal yang y dapat mempengaru m uhi sensitifittas d besarny dan ya nilai indek BMWP selain dari adanya polusi yaitu perbedaan p tiipe p perairan daan keterbataasnya nilai toleransi dari d masing--masing oraanisme benttik m makroaverte ebrata yangg ditemukann. Penyusuunan indek BMWP pada p awalnnya d dikembangk kan untuk mendeteksi m a adanya penccemaran orgganik pada sungai s (Marttin 2 2004). Adan nya perbedaaan karakterisstik fisik, kim mia, maupunn biologi darri tipe perairran p pada umumn nya akan meenyebabkan perbedaan preference p d organism dari me bentik yaang h hidup di perrairan tersebbut. Beberappa famili darri organismee bentik maakroavertebraata y yang hidup di perairan mengalir tiidak dijumppai pada perrairan tergennang misalnnya N Nemouridae e, Perlodidaee dan sebagainya. Pengggunaan indeek BMWP untuk u perairran t tergenang (kolam, ( waduk, atau danau) munngkin mem merlukan moodifikasi attau k kalibrasi
nilai n
toleraansinya
darri
masing--masing
faamili
organnisme
benttik
m makroaverte ebrata yang ditemukan. d D Disamping i nilai toleeransi dari beberapa fam itu, mili
79
organisme bentik makroavertebrata yang ditemukan pada penelitian ini, tidak memiliki nilai skornya pada indek BMWP misalnya Coenagrionidae, Oxygastridae, Lymnaeidae dan sebagainya. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya nilai indek dan salah satu kelemahan dari indek BMWP, karena setiap taksa yang ditemukan mungkin mencirikan kondisi kualitas air tententu. Ketiga indek tersebut di atas selanjutnya dibuat menjadi indek biotik gabungan yang didasarkan pada pendekatan multimetrik. Hasil penggabungan indek tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12 menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan nilai indek gabungan yang hampir mirip dengan 2 indek sebelumnya (indek diversitas dan kekayaan taksa). Pada indek gabungan, Stasiun Gunung Wayang masih memiliki rangking tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu 27. Setelah Stasiun Gunung Wayang trend dari grafik menunjukkan adanya penurunan pada Stasiun Nanjung yang mempunyai nilai indek 3. Nilai indek setelah Stasiun Nanjung mulai menunjukkan adanya sedikit peningkatan dari Stasiun Batujajar (5) hingga Stasiun Cihaur (7). Di Stasiun Cangkorah nilai indek biotik gabungan mulai menurun kembali (5). Peningkatan yang signifikan terjadi dari Stasiun Cimerang hingga Stasiun Rajamandala dengan kisaran nilai indek yang bervariatif dari 11 hingga 17. Adanya peningkatan indek gabungan tersebut mungkin erat kaitannya dengan penurunan kontaminasi dari logam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Keran and Karr (1994) dan Reynoldson et al. (1997) menyebutkan setiap komponen atribut biologi (metrik) yang digunakan mengandung makna tersendiri dalam merespon perubahan komunitas dari adanya perubahan habitat, interaksi biologi, maupun oleh polusi. Dari ketiga indek (metrik) tersebut, setelah mengalami pembobotan atau normalisasi, maka memungkinkan adanya penggabungan indek ke dalam satu indek biotik tunggal, seperti yang dilakukan dalam penyusunan biokriteria dengan menggunakan konsep multimetrik. Penggunaan konsep multimetrik (indek gabungan) di Waduk Saguling ini sangat bermanfaat terutama dalam penggabungan informasi yang ada dari setiap metrik guna mendeteksi gangguan ekologi yang terjadi di dalam Waduk Saguling.
80
Indek biotik Gabungan Indek biotik Gabungan
30
27
25 19 9
20 15
13
13
17
19 13
13 11
10 5 5
7 5
3
0 Gw
Nj
Bj
Chr Ckr Cmr Mrk Mcpk Cm my Cjr
Cjb
Itk Rjm
Pengamatan Stasiun P
G Gambar 12 2. Trend niilai indek biotik b gabuungan dalam m mencerm minkan tingkkat gangguann di setiap staasiun pengam matan. Hasil penilaian tingkat t ganggguan komunitas bentik makroaverttebrata denggan m menggunaka an indek biootik gabungan yang menggadopsi darii kriteria MaacDonald et al. ( (2004),
memperlihatk m kan
bahwa
secara
keseluhannan
komuunitas
benttik
m makroaverte ebrata yang hidup di Waduk W Saguuling telah mengalami m g gangguan dari k kategori sed dang (30-37) hingga beraat (51-88). Kategori K sedaang dijumpaai pada Stasiiun C Ciminyak hiingga Cijam mbu, sedangkkan kategorii berat terdaapat pada Staasiun Nanjuung h hingga Cipaatik, intake, dan Rajamandala (Tabbel 7). Berattnya gangguuan komunittas b bentik mak kroavertebratta yang adda di Stasiuun Nanjungg hingga Cipatik C diduuga d dipengaruhi oleh tingginya kontam minasi logam m di sedimennnya (Gambbar 8). Adapun d stasiun intake dan Rajamandaala beratnyaa gangguann pada kom di munitas benttik m makroaverte ebrata selainn disebabkann oleh kontaaminasi logaam berat ituu sendiri, juuga d disebabkan oleh adanyya faktor lainnya l yanng turut meengatur dann memberikkan p pengaruh paada komunitas tersebut yang y pada penelitian p inii misalnya amoniak, a nitrrit, P PCB dan seb bagainya.
81
Tabel 11. Penilaian gangguan komunitas bentik makroavertebrata di Waduk Saguling yang didasarkan pada atribut biologi gabungan.
Stasiun
Gangguan Efek Biologi
Gunung Wayang Nanjung Batujajar Cihaur Cangkorah Cimerang Maroko Cipatik Ciminyak Cijere Cijambu Intake Rajamandala
Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi
(% Komunitas Bentik Makroavertebrata yang Terpengaruh) 0 88 81 74 81 51 51 51 30 37 30 59 51
Ke empat atribut biologi di atas, di uji dengan korelasi Spearman dengan konsentrasi logam berat dan variabel pendukungnya (DO, C-organik dan pH sedimen) pada masing-masing stasiun pengamatan. Hasil uji korelasi antara variabel di atas secara rinci telah disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8 menunjukkan tingkat sensitifitas dari masing-masing indek biologi dalam merespon besarnya kontaminasi logam dan beberapa variabel pendukung lainnya (C-organik, ph sedimen, DO). Indek diversitas Shannon-Wiener, kekayaan taksa, dan indek biotik gabungan/ multimetrik masih menunjukkan sensitifitas yang relatif tinggi (signifikan pada p = 0,05) dalam mendeteksi peningkatan kontaminasi logam Cu, Pb, Hg, dan persentase ukuran butir sedimen. Indek BMWP hanya sensitif terhadap kontaminasi logam Pb, Hg, dan persentase ukuran butir sedimen. Selain hal tersebut empat atribut biologi di atas ternyata kurang sensitif dalam mendeteksi pengkayaan logam Cd di sedimen.
82
Tabel 12. Hasil uji korelasi Spearman antara konsentrasi logam berat dan variabel pendukung lainnya dengan beberapa atribut biologi dari struktur komunitas bentik. Variabel Cd Pb Cu Hg DO % Clay % Pasir C-Org pH sed
Indek Diversitas
Indek BMWP
Kekayaan Taksa
Indek Gabungan
-0,1654
-0,2812
-0,1761
-0,2935
p = 0,589
p = 0,352
p = 0,565
p = 0,330
-0,778
-0,6011
-0,7363
-0,7468
p = 0,002*
p = 0,030*
p = 0,004*
p = 0,003*
-0,565
-0,3841
-0,6426
0,6694
p = 0,044*
p = 0,195
p = 0,018*
p = 0,009*
-0,8577
-0,577
-0,8023
-0,7708
p = 0,001*
p = 0,000*
p = 0,001*
p = 0,002*
0,3595
0,6
0,2502
0,2584
p = 0,228
p = 0,030*
p = 0,410
p = 0,394
-0,6287
-0,7469
-0,6307
-0,7044
p = 0,021*
p = 0,003*
p = 0,021*
p = 0,007*
0,63
0,7471
0,6308
0,7046
p = 0,000*
p = 0,000*
p = 0,000*
p = 0,000*
-0,32
-0,39
-0,38
-0,41
p = 0,28
p = 0,184
p = 0,2
p = 0,17
0,003
0,082
-0,12
0,002
p = 0,991
p = 0,782
p = 0,729
p = 0,999
Simbol * menunjukkan nilai korelasi yang signifikan pada selang kepercayaan 95%.
Hasil dari penelitian ini mengindikasikan adanya fenomena penurunan beberapa atribut biologi seperti indek diversitas, kekayaan taksa, Indek BMWP, dan indek biotik gabungan (Gambar 9, 10, 11, dan 12) akan diikuti dengan peningkatan kontaminasi logam berat di sedimen dan penurunan konsentrasi oksigen terlarutnya (Tabel 3 Lampiran). Adanya penurunan nilai dari beberapa atribut biologi di atas sangat dipengaruhi oleh perubahan komposisi taksa dan tingkat keseimbangan kelimpahan dari populasi bentik makroavertebrata yang ada. Adanya stress atau polusi pada umumnya menyebabkan penyederhanaan dari rantai makanan pada ekosistem akuatik yang biasanya diikuti dengan penurunan jumlah taksa dari komunitas bentik makroavertebrata. Cairns and Dickson (1971) menyebutkan introduksi polutan biasanya akan menurunkan jumlah spesies yang tergolong sensitif hingga organisme yang relatif toleran saja yang mampu tetap bertahan hidup. Adanya pergeseran komposisi taksa dan nilai kelimpahan dapat berpengaruh secara langsung
83
pada pergeseran nilai beberapa atribut biologi di atas seperti: indek diversitas dan kekayaan taksanya. Indek BMWP relatif hanya dipengaruhi oleh perubahan komposisisi taksa dan nilai toleransi dari setiap hewan yang merespon adanya kontaminasi polutan di perairan pada setiap stasiun pengamatan. Hasil analisis statistik dengan menggunakan NMDS (Gambar 13) didapatkan 2 nilai stress pada 2 sumbu utama (sumbu 1 dan 2) sebesar 0,28 dan 0,09. Dari 2 sumbu tersebut menunjukkan ada 6 pengelompokan (grup) komunitas bentik makroavertebrata di sepanjang lokasi titik sampling. Kelompok I merupakan komunitas bentik makroavertebrata yang hidup di daerah air yang relatif bersih yang berada pada reference site (Stasiun Gunung Wayang). Kelompok II adalah komunitas bentik makroavertebrata yang hidup di lokasi yang sudah mengalami pencemaran berat yang terletak di
Stasiun Nanjung, Kelompok III adalah komunitas bentik
makroavertebrata yang hidup di Stasiun Trashboom/ Batujajar yang merupakan bagian inlet dari Waduk Saguling. Kelompok IV berada di dalam Waduk Saguling yang terdiri dari 8 stasiun yaitu Stasiun Maroko, Cijere, Cipatik, Cimerang, Rajamandala, intake strukture, Cijambu, dan Ciminyak. Kelompok V terdiri dari Stasiun Cihaur dan Kelompok VI adalah Stasiun Cangkorah. Gambar 6 dan 7 menunjukkan bahwa kelompok II, III, V, dan VI merupakan Stasiun yang mengalami kontaminasi logam berat yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya.
Gambar 13. Hasil pengelompokan komunitas bentik makroavertebrata dengan ordinasi NMDS
84
Prediksi adanya variabel lingkungan yang mengatur pengelompokan stasiun di atas, dilakukan ordinasi langsung dengan menggunakan CCA. Hasil uji multikolinearitas dari beberapa variabel lingkungan (logam berat dan variabel pendukung lainnya) menunjukkan ada beberapa variabel yang saling berautokorelasi. Variabel yang saling berautokorelasi tersebut antara lain: logam Hg dengan Pb berkorelasi positif dengan nilai koefisien korelasi pearson product momentnya r = 0,9821, dan pasir dengan clay berkorelasi negatif dengan r = -0,9095. Variabel yang saling berautokorelasi tersebut harus dipilih salah satu guna memudahkan dalam analisis ordinasi CCA. Logam Pb dan pasir yang dipilih untuk dimasukkan dalam ordinasi CCA. Pemilihan variabel pasir dibandingkan dengan clay didasarkan pada pertimbangan seringnya susbtrat pasir yang biasanya memiliki jumlah komposisi taksa dan kelimpahan organisme bentik makroavertebrata yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan substrat clay (Minshall 1996). Pemilihan logam Pb didasarkan pada pertimbangan tingginya kontaminasi logam tersebut di sedimen dibandingkan dengan logam Hg. Hubungan adanya pengelompokan komunitas bentik dengan variabel lingkungan (Logam berat, oksigen terlarut, dan distribusi partikel substrat) telah ditampilkan dalam suatu grafik triplot ordinasi CCA (Gambar 14 dan 15). Hasil ordinasi CCA pada 3 sumbu pertamanya diperoleh besarnya 3 nilai eigenvalue kanoniknya berturut-turut sebesar: 0,7423, 0,3947, 0,123 dengan besarnya informasi varian kumulatif yang terjelaskan sebesar 67,75%. Pada Gambar 14 terlihat adanya garis vektor yang panjang dari variabel DO mengarah pada Stasiun Gunung Wayang. Disamping itu garis vektor lainnya (logam Cu, Cd, Pb) bersebrangan dari Stasiun Gunung Wayang yang mendekati sudut 1800. Hal ini mengindikasikan bahwa pada Stasiun Gunung Wayang lebih dicirikan oleh konsentrasi oksigen yang tinggi (6,454 mg/l) dengan kontaminasi logam pada sedimennya yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya yang searah dengan garis vektor variabel logam yang bersangkutan. Komunitas bentik makroavertebrata yang menyusun Stasiun Gunung Wayang seperti Baetis sp., Abedus identatus, Amphiagrion sp., Lymnaea stagnalis, Procladius
85
sp., Polypedilum sp., Haemonais waldvogelli, dan Stephensoniana sp. cenderung menyukai hidup pada perairan yang relatif bersih dan sensitif terhadap kontaminasi logam yang terakumulasi di sedimen. Garis vektor lainnya yaitu Pb dan Cu (Gambar 14) mengarah dan mendekati Stasiun Nanjung. Kondisi ini mengindikasikan adanya pengkayaan yang tinggi dari kedua logam tersebut pada Stasiun Nanjung dengan konsentrasi Pb yang mencapai (42,6 mg/kg berat kering), Hg (1,210 mg/kg berat kering) dan Cu (95,70 mg/kg berat kering). Cacing Oligochaeta Limnodrilus sp. yang mendominasi stasiun tersebut nampaknya relatif toleran dengan adanya peningkatan ketiga jenis logam berat tersebut. Stasiun Batujajar, Cangkorah, dan Cihaur lebih dicirikan oleh konsentrasi logam Pb dan Hg yang masih relatif tinggi berturut-turut yaitu Pb: 19,77 ; Hg:1,033 mg/kg berat kering, Pb: 19,7 ; Hg: 0,566 mg/kg berat kering, dan Pb: 20,2 ; Hg: 0,499 mg/kg berat kering. Adapun organisme bentik makroavertebrata pada Stasiun Batujajar didominasi oleh populasi cacing Oligochaeta Dero digitata. Organisme bentik di Stasiun Cangkorah dan Cihaur (Gambar 15) jumlah dan komposisinya hanya sedikit sekali didominasi oleh larva Chironomidae Kiefferulus sp. Di Stasiun lainnya seperti: Cimerang, Maroko, Cipatik, Ciminyak, Cijere, Cijambu, dan intake structure lebih dicirikan oleh variabel logam Cu yang relatif tinggi yaitu berkisar antara 72-51,7 mg/kg berat kering dan konsentrasi oksigen di dasar sedimennya yang rendah (0,26-1mg/l). Pada beberapa stasiun tersebut lebih didominasi oleh populasi cacing Oligocahaeta Branchiodrillus hortensis, Dero obtusa, Dero (aulophorus) gravelyi, siput Bellamya javanica, dan Larva Diptera Chironomidae Kieferullus. Pada Stasiun Rajamandala logam berat Pb dan Cd relatif lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya di dalam Waduk Saguling, namun konsentrasi logam Cu-nya masih tergolong relatif tinggi (61,83 mg/kg). Dominasi organisme bentik pada Stasiun Rajamandala adalah cacing Branchiura sowerbyi dan lintah Glossiphonia sp. Pada stasiun tersebut cenderung dicirikan oleh variabel oksigen terlarut di dasar yang relatif lebih tinggi (3,266 mg/l) dibandingkan dengan stasiun lainnya yang berada di dalam waduk.
86
Gambar 14. Grafik triplot hasil ordinasi CCA pada sumbu 1 dan 2
Gambar 15. Grafik triplot hasil ordinasi CCA pada sumbu 1 dan 3
87
Hasil ordinasi dengan menggunakan CCA (Gambar 14 dan 15) menunjukkan ada beberapa hewan yang relatif sensitif dipengaruhi oleh kontaminasi logam pada sedimen antara lain: Ephemeroptera (Baetis sp.), Hemiptera (Abedus identatus), Capung (Amphiagrion), Moluska (Lymnaea stagnalis), Diptera Chironomidae (Procladius, Polypedilum sp.), Crustacea (Atyaephyra desmaresti) dan Cacing Oligochaeta (Haemonais waldvogelli dan Stephensoniana sp.). Hewan-hewan tersebut sebagian besar hidup pada kondisi perairan yang relatif bersih, kandungan oksigen yang relatif tinggi (6,454 mg/l), minimnya kontaminasi logam pada sedimennya, dan sering berasosiasi dengan tanaman air seperti Hydrilla sp. yang banyak tumbuh pada genangan air di Stasiun Gunung Wayang. Williams (1979) menyebutkan larva insekta dari ordo Ephemeroptera, Hemiptera, Diptera (Chironomidae), dan Odonata lebih sering dijumpai pada air yang tergenang dan relatif belum mengalami pencemaran. Cacing Oligochaeta Limnodrilus sp yang banyak dijumpai pada Stasiun Nanjung sangat toleran terhadap peningkatan logam berat, C-organik pada sedimen, dan penurunan oksigen terlarut. Tingginya populasi cacing Limnodrilus sp. mengindikasikan hewan tersebut bersifat opportunistic yaitu dengan memanfaatkan kondisi kualitas air yang buruk dengan minimnya hewan predator untuk berkembang biak secara pesat dengan menerapkan strategi r (Milbrink, 1980). Lang (1985) menambahkan kelimpahan total dari cacing Oligochaeta akan cenderung meningkat hingga mencapai 100% sejalan dengan meningkatnya eutrofikasi maupun defisit oksigen terlarut. Survey di lapangan dan di laboratorium menunjukkan cacing Oligochaeta Tubificidae mampu mentolerir keberadaan konsentrasi logam berat di sedimen yang cukup tinggi (Chapman et al. 1980). Wentsel et al. (1977) yang melakukan studi di Danau Palestina menunjukkan cacing Limnodrilus sp. masih mampu bertahan hidup pada sedimen yang terkontaminasi oleh logam Cd, Zn, dan Cr yang sangat tinggi yaitu 970, 1400, dan 2100 mg/kg berat kering. Pada konsentrasi tersebut sebagian besar larva Chironomidae dan organisme bentik makroavertebrata lainnya yang sudah tidak mampu lagi bertahan hidup. Keberadaan larva Diptera Chironomidae Kiefferulus sp., dan beberapa moluska Gastropoda seperti Bellamya javanica, Melanoides
88
(melanoides) sp., dan Pila scutata kadangkala populasinya tergolong tinggi, meskipun konsentrasi logam di sedimennya masih relatif tinggi. Larva Diptera Chironomidae yang ditemukan di sedimen dalam Waduk Saguling, nampaknya mempunyai strategi adaptasi morfologi dengan adanya ingsang pada bagian ventroposterior abdomen dari hewan tersebut. Adapun larva Chironomidae yang ditemukan pada perairan yang relatif bersih (Stasiun Gunung Wayang) semuanya tidak memiliki ingsang pada bagian ventro-posterior abdomennya. Fenomena ini diduga dari proses adaptasi morfologi dan fisiologi beberapa jenis Chironomidae guna membantu untuk mendapatkan oksigen agar tetap mampu bertahan hidup dalam kondisi perairan yang buruk misalnya dengan adanya ingsang dan hemoglobin (Ward 1992). Gerhardt et al. (2004) menyebutkan nympha Ephemeroptera dan Crustacea secara umum sensitif terhadap kontaminasi logam berat. Cairns and Dickson (1971) yang tidak secara spesifik merinci jenis dari macam polutannya, telah menggolongkan Cacing Oligochaeta, larva Chironomidae, lintah, dan Moluska termasuk dalam hewan yang toleran terhadap polusi. Winner et al. (1980) mengkategorikan larva Chironomidae dan cacing Oligochaeta Tubificidae umumnya bersifat toleran terhadap kontaminasi logam berat. Hasil pengamatan konsentrasi oksigen terlarut (DO) di dasar pada tahun pada beberapa lokasi Waduk Saguling menunjukkan kisaran 0,23 hingga 3, 268 mg/l. Penurunan DO ini merupakan salah satu indikasi tingginya perombakan bahan Corganik oleh mikroba yang banyak menghabiskan kandungan oksigen terlarut di dasar perairan (Harsono et al. 2003, Milbrink 1980). Shakla and Srivastava (1992) menambahkan golongan larva insekta Ephemeroptera dan Plecoptera sangat rentan terhadap perubahan kandungan oksigen terlarut dan membutuhkan oksigen terlarut antara: 6-7 mg/l, Trichoptera: 5-6 mg/l, Crustacea; 3-5 mg/l, dan Chironomidae: 1-3 mg/l. Dalam kaitannya antara konsentrasi oksigen terlarut dengan bioavailability logam di sedimen, Chapman et.al (1998) menjelaskan kondisi perairan yang mendekati anaerob dan relatif tingginya bahan organik di dasar sedimen umumnya menyebabkan logam berat tersebut kurang bersifat bioavailable, karena sebagian besar logam tersebut akan terikat oleh senyawa H2S membentuk endapan MeS dan
89
bahan organik lainnya. Adanya senyawa H2S ini di dasar perairan Waduk Saguling telah diketahui keberadaannya yaitu berkisar antara; 0 - 0,0199 mg/l dengan konsentrasi rata-rata 0,0034 mg/l (Anonim 2005). Dalam kondisi-kondisi tertentu saja misalnya terjadinya mekanisme turn over/umbalan yang berdampak pada perubahan potensial redoks dan perubahan pada pH di sedimen, maka logam tersebut akan dilepaskan dari acid volatile sulphide (AVS) dalam bentuk Me
2+
, Me(H2O)x
2+
, dan
Me(OH)+ yang mungkin logam tersebut bersifat toksik bagi sebagian besar komunitas bentik makroavertebrata yang hidup di dasar perairan Waduk Saguling. 4.7 Toksisitas Sedimen
Hasil pengujian toksisitas sedimen (LC50) dengan menggunakan hewan Hydra sp. yang di paparkan air pori-pori sedimen seperti yang tampak pada Gambar 16. Gambar 16 tersebut menunjukkan air pori-pori sedimen dari Stasiun Gunung Wayang tidak menunjukkan gejala toksisitas dari hewan Hydra sp (nilai LC50 > 100% v/v). Gejala toksisitas dari hewan Hydra sp. mulai nampak dari Stasiun Nanjung hingga Rajamandala dengan tingkat LC50 yang bervariasi diantara stasiun pengamatan. Pada Stasiun Nanjung hingga Cipatik memiliki nilai LC50 yang lebih rendah (lebih toksik) dibandingkan dengan stasiun lainnya di dalam Waduk Saguling. Pada Stasiun Ciminyak dan Cijambu status toksisitas dari air pori-pori sedimen mulai menunjukkan penurunan (peningkatan nilai LC50), akan tetapi pada stasiun lainnya (Cijere, intake, dan Rajamandala) toksisitasnya masih relatif tinggi. Nilai LC50 di Stasiun Ciminyak menunjukkan konsentrasi 84,09 % yang mengindikasikan adanya kematian dari hewan uji 50% terjadi ketika konsentrasi dari air pori-pori sedimennya 80%. Dari kriteria toksisitas sedimen yang dihasilkan oleh MacDonald et al. (2004), maka semua stasiun pengamatan dalam Waduk Saguling sudah masuk dalam kategori terpolusi berat karena pada konsentrasi 100% air pori-pori sedimen semua biota ujinya mengalami kematian (100%). Hasil penelitian ini juga menunjukkan potensi yang besar dari hewan Hydra untuk digunakan sebagai biota uji, karena memiliki sensitifitas yang tinggi dan mudahnya hewan tersebut dikultur dalam laboratorium (Blaise and Takashi 1997).
90
Nilai LC 50 (konsentrasi % v/v)
90
84.09
*
80 70 56.12
60 50 40 30
20.31
20 10
0
1 17.68
17.61
7.56 5.76 7.66 6.6 64 3.9 95 5.76
66 7.6
0 Gw
Njj
Bj
Chr Ckr Cmr Mrrk Mcpk Cmy Cjr
Cjb
Itkk Rjm
Stasiun Pen ngamatan
G Gambar 16. Hasil uji toksisitas seddimen dengan menggunnakan hewann Hydra yaang dipaparkann dengan airr pori-pori sedimen s darii Waduk Saaguling. Tannda asterik (*) menunjukkkan konsentrrasi LC 50 dii atas > 1000% v/v (tiddak toksik). Hasil uji toksisittas sedimen dengan mennggunakan air a pori-pori sedimen yaang d dipaparkan pada hewann Hydra meenguatkan teentang kebeeradaan berbbagai senyaw wa p polutan yang terlarut paada air pori--pori tersebuut bersifat tooksik ke bioota air (Hyddra s sp.). Menuru ut Giesy et al., (1990) penggunaan p n uji bioassaai dengan ekkstrak air poorip pori sedimeen lebih realistis dibanddingkan denngan mengggunakan uji sedimen uttuh ( (whole sediiment), hal ini dikarenaakan pemapparan berbaggai macam polutan yaang t terikat di sedimen biasaanya uptakennya paling mudah m ke biiota air dalam m bentuk faase t terlarutnya. Pada penelittian ini, wallaupun secarra statistik (P PCA dan koorelasi pearsson p product mom ment) mengiisyaratkan keeberadaan loogam berat Cu, C Pb, dan Hg H di sedim men b berkorelasi dengan tokksisitas Hydrra, namun tidak menuttup kemunggkinan adannya b bahan pencemar lainnyya yang turrut mengatuur dalam keejadian tokssisitas tersebbut m misalnya: am moniak, meetan, sulfida, dan sebaggainya yang pada penellitian ini tiddak d dapat ditunju ukkan. Selam ma ekstrak sedimen s dann uji bioassaii tersebut dillakukan dalaam k kondisi aerrob, maka memungkinnkan logam m–logam yaang semulaa terikat dan d
91
mengendap sebagai MeS akan berubah menjadi Me
2+
, Me(H2O)x
2+
, dan Me(OH)+
dalam kondisi aerob, karena ion sulfidanya telah menguap (volatile) selama perlakuan. Kematian biota uji Hydra yang ditunjukkan dalam bentuk tulip maupun disintegrasi selama uji bioassai diduga karena ion-ion logam tersebut berikatan dengan reseptor–reseptor khusus dari hewan tersebut yang menyebabkan gejala stress (pemendekan tentakel) hingga berujung pada kematian.
4.8 Intepretasi Triad
Hasil kombinasi komponen triad yang digambarkan dalam grafik radar (Gambar 17) menunjukkan Stasiun Gunung Wayang memiliki segitiga sama sisi yang seimbang yang menunjukkan rendahnya kontaminasi logam berat di sedimen diikuti dengan rendahnya toksisitas sedimen (besarnya nilai LC50) dan relatif tingginya indek biotik gabungan dari komunitas bentik makroavertebrata. Berdasarkan gambaran ketiga komponen triad yang ada di Stasiun Gunung Wayang, maka dapat diprediksi bahwa kontaminasi logam pada stasiun tersebut memiliki bioavailability yang paling rendah. Sedangkan segitiga yang tertarik pada salah satu sisi maupun yang mengecil mendekati sumbu pusat grafik radar, menunjukkan adanya suatu ketidak seimbangan atau besarnya gangguan yang terjadi pada salah satu komponen triad tersebut. Semakin mengecil atau mendekati pusat grafik dari segitiga tersebut, menunjukkan kontaminasi logam yang semakin besar dengan gangguan pada komunitas bentik yang semakin jelas maupun tingginya status toksisitas sedimennya (rendahnya nilai LC50). Di Stasiun Nanjung, Batujajar, Cangkorah, Cihaur, Cimerang, dan Maroko mempunyai segitiga yang mengecil mendekati pusat
sumbu grafik. Hal ini
menunjukkan adanya kejelasan tingginya kontaminasi logam pada sedimen akan diikuti dengan besarnya gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata dan tingginya toksisitas sedimen. Di Stasiun Ciminyak menunjukkan adanya peningkatan kualitas dari sedimen diikuti dengan penurunan toksisitas sedimen maupun gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata. Adapun stasiun lainnya mulai menunjukkan adanya sedikit perbaikan dalam hal peningkatan struktur komunitas bentik
92
makroavretebrata dan rendahnya kontaminasi logam total, namun masih memiliki nilai toksisitas yang masih relatif tinggi. Grafik radar tersebut menunjukkan pada Stasiun Nanjung, Batujajar, Cangkorah, Cihaur, Cimerang, dan Maroko menunjukkan adanya kejelasan indikasi kontaminasi logam di sedimen pada stasiun tersebut bersifat bioavailable. Hal yang sama juga terjadi di Stasiun Ciminyak, adanya penurunan kontaminasi logam juga diikuti dengan peningkatan metrik komunitas bentik makroavertebrata dan penurunan toksisitas sedimennya. Pada stasiun lainnya, adanya
kejadian
toksisitas
maupun
perubahan
pada
komunitas
bentik
makroavertebrata diduga disebabkan oleh faktor lainnya yang turut berkontribusi dalam memberikan pengaruh pada kejadian toksisitas maupun gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata.
Gambar 17. Gabungan dari komponen triad yang digambarkan dalam suatu grafik radar. Abjad B merupakan rangking dari indek biotik gabungan dari komunitas bentik makroavertebrata, L merupakan nilai rangking besarnya kontaminasi logam gabungan (total) di sedimen, T merupakan nilai rangking uji toksisitas sedimen dari dari hewan Hydra sp.
93
Hasil analisis multivariat dengan menggunakan PCA menunjukkan dari dua sumbu utama dihasilkan nilai eigenvalue berturut–turut sebesar 5,624 dan 1,6 dengan persentase informasi kumulatif yang terjelaskan sebesar 72,24%. Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa hampir semua variabel dapat terjelaskan secara sempurna kecuali variabel % dari clay. Tabel 18 menunjukkan adanya korelasi negatif yang kuat dan signifikan (p=0,05) antara variabel kekayaan taksa (TR), indek gabungan biotik (IG), dan LC50 dengan peningkatan logam Cu, Pb, dan Hg, sedangkan dengan logam Cd relatif kecil. Grafik biplot PCA (Gambar 18) menunjukkan ada 4 grup yang terjadi di sepanjang sumbu 1. Pembagian grup dari grafik biplot PCA sekilas menunjukkan tingkat kontaminasi dari yang paling ringan (Gunung Wayang) yang terletak di sebelah paling ujung kiri hingga yang memiliki kontaminasi paling tinggi yang terletak di sebelah ujung kanan (Stasiun Nanjung). Peningkatan kontaminasi logam tersebut diikuti dengan peningkatan gangguan pada komunitas bentik maupun status toksisitas sedimennya secara gradual dari yang paling rendah (Stasiun Gunung wayang), sedang (Stasiun Ciminyak, Cijambu, Cijere, intake, Rajamandala), hingga tinggi (Stasiun Maroko, Cihaur, Cangkorah, Batujajar, dan Nanjung). Grafik tersebut juga menunjukkan stasiun-stasiun yang memiliki status toksisitas dan tingkat gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata dari yang rendah hingga sedang (sebelah kiri) cenderung dicirikan oleh rendahnya kontaminasi logam Pb, Cu, dan Hg pada sedimennya. Adapun sebaliknya pada stasiun yang memiliki status toksisitas yang tinggi (nilai LC50 yang rendah) dan tingkat gangguan pada struktur komunitas bentiknya yang tinggi (nilai indek biotik gabungan dan kekayaan taksa yang rendah) lebih dicirikan dengan tingginya kontaminasi ketiga logam tersebut di atas. Berdasarkan gambaran di atas dapat diperoleh informasi, bahwa secara statistik menunjukkan adanya kontaminasi dari ketiga logam di sedimen (Pb, Cu dan Hg) pada Waduk Saguling yang mampu mempengaruhi komunitas bentik makroavertebrata maupun toksisitas sedimennya dan besar kemungkinan logam tersebut bersifat bioavailable ke biota air. Kombinasi antara grafik radar dan analisis multivariat PCA yang dihasilkan
dari penelitian ini sangat membantu dalam hal prediksi bioavailability dari masing-
94
masing logam berat pada komponen triad lainya (struktur komunitas dan uji bioassai) di setiap stasiun pengamatan. Kedua grafik tersebut mengindikasikan hampir semua stasiun pengamatan (kecuali Stasiun Gunung wayang dan Ciminyak) kandungan logam berat Cu, Hg, dan Pb pada sedimennya bersifat bioavailable ke perairan. Adapun untuk logam Cd masih belum cukup bukti secara statistik menunjukkan gejala toksisitas pada hewan Hydra (p>0,05) maupun gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata. Selain hal tersebut keberadaan logam tersebut masih di bawah guideline kualitas sedimen (SEC) yang telah dibahas sebelumnya. 4.9 Pengelolaan Waduk Berdasarkan Konsep Triad
Hasil pendekatan multimetrik dan konsep triad dalam menilai status polusi logam di sedimen seperti pada Gambar 8 dan 17, sangat membantu dalam proses pengelolaan waduk, khususnya yang berkaitan dalam pemiilihan dan prioritas lokasi yang akan dilakukan remediasi (perbaikan). Pada tempat-tempat yang mempunyai tingkat kontaminasi yang tinggi, gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata yang besar, serta memiliki toksisitas yang tinggi, perlu mendapat perhatian khusus. Chapman (2007) memberikan perhatian /bobot yang lebih besar pada komponen komunitas bentik makroavertebrata dibandingkan dengan uji bioassai maupun analisis kimia, karena adanya kontaminasi kimia tidak selalu diikuti dengan perubahan pada struktur komunitas maupun toksisitasnya. Disamping itu kelemahan dalam uji bioassai terletak pada perbedaan kondisi percobaan dengan kondisi alami di lapangan dan biota uji yang digunakan seringkali lebih sensitif dibandingkan dengan biota aslinya (indigenous). Jika kedua parameter triad di atas (analisis kimia dan uji bioassai) positif dan gangguan pada komunitas bentiknya masih negatif, maka perairan tersebut masih dinyatakan dalam status kontaminasi dan belum dikategorikan polusi (Chapman 2007). Berdasarkan pendapat Chapman (2007) di atas, maka stasiun–stasiun yang mengalami gangguan ekologi yang berat seperti Nanjung, Batujajar, Cihaur, Cangkorah, Cimerang, Maroko, Cipatik, intake, dan Rajamandala perlu mendapat perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun lainnya. Pengelolaan waduk khususnya yang berkaitan dengan budidaya ikan dengan
95
menggunakan jaring apung sudah selayaknya penempatan jaring apung tersebut pada lokasi yang mempunyai resiko paling kecil untuk terpaparkan logam berat misalnya di Stasiun Ciminyak. Berdasarkan hal tersebut, maka prospek ke depan dari penggunaan konsep triad ini adalah untuk pengembangan guideline kualitas sedimen seperti SEC (Anonim 1992). Tabel 13. Nilai korelasi Pearson dari beberapa variabel kualitas sedimen dengan indek biotik dan uji toksisitas sedimen yang digunakan dalam analisis multivariat PCA. Tanda angka yang bercetak tebal menunjukkan kuatnya korelasi dan signifikan pada selang kepercayaan (p < 0,05). Variabel Cd Pb Cu Hg Clay %C TR IG LC50
Cd 1 0,73 0,61 0,45 0,14 0,77 -0,4 -0,4 -0,41
Pb
Cu
Hg
Clay
%C
TR
IG
LC50
1 0,74 0,82 -0,06 0,56 -0,68 -0,75 -0,5
1 0,56 0,01 0,45 -0,59 -0,68 -0,68
1 -0,05 0,28 -0,67 -0,71 -0,5
1 0,17 -0,24 -0,2 -0,31
1 -0,09 -0,17 -0,15
1 0,9 0,77
1 0,84
1
Gambar 18 Grafik biplot PCA yang menggambarkan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan kontaminasi logam pada sedimen beserta variabel pendukungnya.
96
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2006 ini, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain: 1. Kontaminasi logam di sedimen pada Waduk Saguling menunjukkan adanya beda nyata yang sangat signifikan diantara stasiun pengamatan yaitu Cd (F= 17,803 dan p = 0,00001), Pb (F= 154,343 dan p < 0,01), Cu (F= 36,499, P=0,000001), dan Hg (F= 12,49 dan p=0,00000). 2. Konsentrasi logam berat di sedimen dibandingkan dengan beberapa guideline dari: kementrian lingkungan Ontario, SEPA, ERL, ERM, PEL, SEL, dan TEL, secara umum menunjukkan kontaminasi logam Hg, Pb, dan Cu yang paling berpotensi menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan, sedangkan logam Cd masih di bawah ambang batas dari sebagian besar guideline tersebut di atas. 3. Adanya peningkatan logam Pb, Cu, dan Hg di sedimen pada Waduk Saguling akan diikuti dengan penurunan beberapa atribut biologi (indek) yaitu BMWP, diversitas, kekayaan taksa, dan gabungan. Namun indek tersebut di atas relatif kurang sensitif dalam mendeteksi besarnya kontaminasi logam Cd, C-organik, maupun ph sedimen. 4. Hasil uji bioassai sedimen dengan menggunakan hewan Hydra sp. menunjukkan di Stasiun Gunung Wayang masih belum dikategorikan toksik, sedangkan toksisitas tinggi dijumpai pada semua stasiun pengamatan dalam Waduk Saguling. 5. Dari kombinasi grafik radar triad dan PCA mengindikasikan hampir semua stasiun pengamatan kandungan logam berat Cu, Hg, dan Pb pada sedimennya bersifat bioavailable ke perairan. Adapun untuk logam Cd masih belum cukup bukti secara statistik (r < 0,5) menyebabkan gejala toksisitas pada hewan Hydra maupun gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata.
97
6.2. Saran
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui lokasi-lokasi yang mempunyai resiko ekologi paling besar terhadap pemaparan logam yang paling tinggi (misalnya Stasiun Nanjung, Batujajar, Cangkorah, Cihaur, dan Maroko) perlu segera mendapat perhatian dan penanganan lebih lanjut oleh PT. Indonesia Power, agar dampak negatif yang ditimbulkan dapat diminimalisasi. Relokasi jaring apung dapat dipilih sebagai salah satu alternatif dalam meminimalkan resiko dari terpaparnya logam berat pada ikan budidaya misalnya di Stasiun Ciminyak. Pengurangan beban limbah yang masuk ke Waduk Saguling misalnya pada stasiun Cangkorah harus segera dilakukan pembuatan IPAL yang memadai sebelum dibuang ke dalam Waduk Saguling.
98
DAFTAR PUSTAKA
Allen H.E. 1993. The Significance Of Trace Metal Speciation for Water, Sediment, and Soil Quality Criteria and Standards. The Sci. of Tot. Environ. Supple. 12: 23-45. Ankley G.T., M.K.Schubauer-Berigan, and J.R. Dierkes. 1991. Predicting The Toxicity of Bulk Sediments to Aquatic Organisms with Aqueous Test Fractions: Pore Water Vs Elutriate. Environmental Toxicology and Chemistry 10: 1359-1366. [Anonim]. 1986. Quality Criteria for Water 1986, United States Environmental Protection Agency. EPA 440/5-86-001. Washington. [Anonim]. 1992. Sediment Classification Methods Compendium. EPA 823-R-92-006. Washington. [Anonim]. 1999. Sediment Quality Guidelines Developed for The National Status and Trends Programs. NOAA. [Anonim]. 2004. Booklet Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling. [Anonim]. 2004a, Background Information on Mercury Sources and Regulations, US-EPA, Great Lakes Pollution Prevention and Toxics Reduction, http://www.epa.gov/grtlakes/bnsdocs/mercsrce/merc_srce.html# Producing %20or%20Supplying%20Mercury [14 Juli 2004]. [Anonim]. 2004b. Menkimbangwil Serahkan Instalasi Pengolahan Air Limbah Senilai Rp. 27,48 Milyar. http://www.pu.go.id/humas/mei/kbw 2404005 .htm [14 Juli 2004]. [Anonim]. 2005. Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Air Waduk Saguling. Triwulanm II. Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Lembaga Penelitian–Universitas padjajaran, Bandung. Armitage P.D., D. Moss, J.F. Wright, and M.T. Furse. 1983. The Performance of a New Biological Water Quality Score System Based on Macroinvertebrates
99
Over a Wide Range of Polluted Running-Water Sites. Water Research 17: 333-347. Barbour M.T., J. Gerritsen, B.D. Snyder, and J.B. Stribling. 1999. Rapid Bioassessment Protocols for Use in Streams and Wadeable Rivers: Periphyton, Benthic Macroinvertebrates and Fish. Second Edition. EPA 841-B-99-002. US-EPA. Office of Water Washington. D.C. Beckvar N., J. Field, S. Salazar, and R. Holf. 1996. Contaminants in Aquatic Habitat at Hazardous Waste Sites: Mercury, NOAA Technical Memorandum NOS ORCA 100. Seattle. Washington. Benhard T. 2000. Metal Bioavailability in The Navy’s Tiered Ecological Risk Assessment Process. USA. Berkman H.E., C.F. Rabeni, and T.P. Boyle. 1988. Biomonitors of Stream Quality in Agricultural Areas: Fish Versus Invertebrates. Environmental Management 10(3): 413-419. Besser J.M., Kubitz J.A., C.G. Ingersoll, W.E. Braselton, and J.P. Giesy. 1995. Influences on Copper Bioaccumulation, Growth, and Survival of The Midge, Chironomus tentans, in Metal-Contaminated Sediments. Journal of Aquatic Ecosystem Health 4: 157-168. Besser J.M., J.P. Giesy, J.D. Kubitz, D.A. Verbrugge, T.G. Coon, and W. E. Braselton. 1996b. Assessment of Sediment Quality in Dredged and Undredge Areas of The Trenton Channel of The Detroit River, Michigan USA Using The Sediment Quality Triad. J.Great Lakes Res. 22(3): 683696. Bisthoven L.J., J.P. Postma, P. Parren, K.R. Timmermans, and F. Ollevier. 1998. Relation Between Heavy Metal in Aquatic Sediments in Chironomus Larvae of Belgian Lowland Rivers and Their Morphological Deformities. Can. J. Fish Aquat. Sci. 55: 688-703. Blackmore, L.C., P.L. Searle, and B.K. Daly. 1981. Methods for Chemicals Analysis of Soils. N.Z. Soil Bureau Sci. Rep. 10 A. Soil Bureau. Sower Hutt. New Zealand.
100
Blaise, C., and K. Takashi. 1997. Acute Toxicity Assessment of Industrial Effluents with A. Microplate Based Hydra attenuata assay. Environ Toxicol Water Qual. 12: 53-60. Bode, R.W., M.A. Novak, and L.E. Abele. 1996. Quality Assurance Workplan for Biological Stream Monitoring in New York State. NYS Department of Environmental Conservation. Albany. New York. Boening, D.W. 2000. Ecological Effects, Transport, and Fate of Mercury: a General Review. Chemosphere 40: 1335-1351. Brahmana, S.S. and A. Firdaus. 1997. Eutrophication in Three Reservoirs at Citarum River, Its Relation to Beneficial Uses. Proceeding Workshop on Ecosystem Approach to Lake and Reservoir Management. hlm 199-211. Bray, RH. and L.T. Kurtz. 1945. Determination of Total Organic and Available Form of Phosphorus in Soil. Soil Sci. 59: 39-45. Brezonik, P.L., S.O. King, and C.E. Mach. 1991. The Influence of Water Chemistry on Trace Metal Bioavailability and Toxicity to Aquatic Organism. Di dalam: Newman MC. and Mintosh AW. editor. Metal Ecotoxicology concepts and Application. Lewis Publishers. Michigan. USA. hlm 1-26. Burton, J.A. 2002. Sediment Quality Criteria in Use Around The World. Limnology 3: 65-75. Burton, J.A., and C.G. Ingersoll. 1994. Evaluating the Toxicity of Sediments. The ARCS Assessment Guidance Document. EPA/905-B94/002. U.S. Environmental Protection Agency. Chicago. Cairns, Jr.J. and K.L.Dickson 1971. A Simple Method for The Biological Assessment of the Effects of Waste Discharge on Aquatic Bottom Dwelling Organism. Journal Water Pollution Control Federation 43(50): 755-765. Cairns, Jr.J., A.G. Heath, and B.C. Parker. 1975. The Effects of Temperature Upon The Toxicity of Chemicals to Aquatic Organisms. Hydrobiologia 47 (1): 135-171.
101
Calmano, W., W. Ahlf, and U. Fostner. 1997. Sediment Quality Assessment: Chemical and Biological Approach. Springer-verlag. Berlin Heidelberg. Germany. hlm 1-35. Canfield, T.J., N.E. Kimble, W.G. Grumbaugh, F.J. Dwyer, C.G. Ingersoll, and J.F. Fairchild. 1994. Use of Benthic Macroinvertebrate Community Structure and Sediment Quality Triad to Evaluate Metal Contaminated Sediment in The Upper Clark Fork River. Montana. Environ. Toxic. Chem. 13: 19992012. Chapman, D. 1996. Water Quality Assessment. E & Fn Spon. London. UK. Chapman, P.M. 1996. Presentation and Intepretation of Sediment Quality Triad Data. Ecotoxicology 5:327-339. Chapman, P.M., F. Wang, C. Janssen, G. Persoone, and H.E. Allen. 1998. Ecotoxicology of Metals in Aquatic Sediments: Binding and Release, Bioavailability, Risk Assessment, and Remediation. Can. J. Fish Aquat. Sci. 55: 2221-2243. Chapman, P.M. 2007. Determining When Contamination is Pollution-Weight of Evidence Determination for Sediment and Effluents. Environment International 33: 492-501. Chapman, P.M., L.M. Churcland, P.A. Thompson, and E. Michnowsky. 1980. Heavy Metal Studies with Oligochaetes. In Proceedings of the First International Symposium on Aquatic Oligochaete Biology. Sydney. British Colombia. Canada. Aquatic Oligochaete Biology. hlm 477-502. Davies, S.P. and L. Tsomides. 1997. Methods for Biological Sampling and Analysis of Maine’s Inland Water. Maine Department of Environmental Protection. Augusta-Maine. Ford, J. 1989. The Effects of Chemical Stress on Aquatic Species Composition and Community Structure in Ecotoxicology: Problems and Aproaches. Di dalam: L.M. Harwell, J. Kelly, and K. Kimball, editors. New York. Springer–Verlag. hlm 9-32.
102
Fὅrtstner, U. 1983a. Metal pollution assessment from Sediment Analysis. in Metal Pollution In Aquatic Environment. Springer Verlag. Berlin Heidelberg. Germany. hlm 110-196. Fὅrtstner, U. 1983b. Metal Transfer Between Solids and Aqueous Phases. in Metal Pollution In Aquatic Environment. Springer Verlag. Berlin Heidelberg. Germany. hlm 197-269. Fὅrtstner, U. and G.T. Whittmann. 1983. Toxic Metal. In Metal Pollution in Aquatic Environment. Springer Verlag. Berlin Heidelberg. Germany. hlm 3-68. Gerhardt, A., L.J. De Bisthoven, and A.M.V.M. Soares. 2004. Macroinvertebrtae Response to Acid Maine Drainage: Community Structure and On-line behavioral taoxicity bioassay. Environmental Pollution 130: 263-274 Giesy, J.P., and R.A. Hoke. 1989. Freshwater Sediment Toxicity Bioassessment: Rationale for Species Selection and Test Design. J. Great Lakes Res 15(4): 539-569. Giesy, J.P., and R.A. Hoke 1990. Freshwater sediment Quality Criteria: Toxicity Bioasessment: Chapter 9, in R. Baudo, J.P. Giesy, H. Muntau: Sediments: Chemistry and Toxicity of In-Place pollutants. Lewis Publishers Inc. Ann Arbor Boca Raton Boston. Michigan. hlm 265-348. Giesy, J. P., and R. A. Hoke. 1991. Bioassessment of The Toxicity of Freshwater Sediment. Verh. Internat. Verein. Limnol. 24: 2313-2321. Giesy J.P., J.R. Cornell, and L.G. Robert. 1990. Benthic Invertebrate Bioassay with Toxic Sediment and Pore Water. Environ. Toxic. Chem. 9: 233-248. Gonzales, A.E., M.T. Rodriguez, J.C.J. Sanchez, A.J.F. Espinoza, and F.J.B. De la Rosa. 2000. Assessment of Metals in Sediments in a Tributary of Guadalquiver River (Spain): Heavy Metal Partitioning and Relation Between Water and Sediment System. Water Air Soil Pollut.121:11–29 Graham, E.R. 1948. Determination of Soil Organic Matter by Means a Photoelectric Colorimeter. Soil Sci. 65 : 181-187. Harsono, E., T. Tarigan, S. Sunanisari, F. Sulawesty, H. Wibowo, S. Nomosatrio, Y. Mardiyati, dan E. Mulyana. 2003. Pengelolaan Ekosistem dan
103
Produktivitas Das Citarum: Pengembangan Model Kualitas Air Waduk Saguling, Cirata, Jatiluhur. Sari Laporan Penelitian Tahun 2003. http://www.geotek.lipi.go.id/georefs/sari2003/ LapPen2003_PPDAS.htm [13 Agustus 2004] Hart, B.T., W.V. Dok, and N. Djuangsih. 2002. Nutrient Budget for Saguling Reservoir, West Java, Indonesia. Water Research 36: 2152-2160. Harkey, G.A., P.F. Landrum, and J.K. Stephen. 1994.Comparison of Whole Sediment, Elutriate and Pore Water Exposure for Use in Assessing Sediment-Associated Organic Contaminant in Bioassay. Environ. Toxic.Chem. 13 (8): 1315-1329. Hollert H., M. Dürr, H. Olsman, K. Haldin, B.V. Bavel, W. Brack, M. Tysklind, M. Engwall, and T. Braunbeck. 2002a. Biological and Chemical Determination of Dioxin-Like Compound in Sediment by Means of Sediment Triad Approach in the Catchment Area of the River Neckar. Ecotoxicology 11: 323-336. Hollert H., S. Heise, S. Pudenz, R. Bruggemann, W. Ahlf, and T. Braunbeck. 2002. Application of a Sediment Quality Triad and Different Statistical Approaches (Hasse Diagram and Fuzzy Logic) for the Comparative Evaluation of Small Stram. Ecotoxicology 11: 311-321. Hornberger, M.I., J.H. Lambing, S.N. Luoma, and E.V. Axtmann. 1997. Spatial and Temporal Trends of Trece Metals in Surface Water, Bed Sediment, and Biota of The Upper Clark Fork Basin. Montana. 1985-95. USGS. Open File Report 97-669. Menlo Park, California. Keran, B.L., and J.R. Karr. 1994. A Benthic Index of Biotic Integrity (B-IBI) For River of The Tennesse Valley. Ecol. Appl. 4: 768-785. Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. HarperCollins Publishers, New York. Landrum, P.F., and Robbins. 1990. Bioavailability of Sediment-Associated Contaminant to Bnethic Invertebrates: Chemistry and toxicity of in Place Pollutants. Lewis Publishers. Boca Raton. hlm 237-263. Lang, C. 1985. Eutrophication of Lake Geneva Indicated by the Oligochaete Communities of The Profundal. Hydrobiologia 126: 237-243.
104
Legendre, P., and L. Legendre. 2003. Numerical Ecology. Second Edition. Elsevier. Netherland. Leslie,
H.A., T.I. Pavluk, A. Bij de Vaate, and S.M.H. Kraak. 1999. Triad Assessment of the Impact of Chromium Contamination on Benthic Macroinvertebrates in the Chusovaya River (Urals, Russia). Arch. Environ. Contam. Toxicol. 37: 182–189.
Liu, W., Z. Luan, and H. Tang. 1999. Use Of The Sediment Quality Triad to Assess Metal Contamination in Freshwater Superficial Sediments from the Le An River, China. Water, Air, and Soil Pollution 113: 227–239. Long, E.R., and C.J. Wilson. 1997. On The Identification of Toxic Hot Spot Using Measure of The Sediment Quality Triad. Marine Pollution Bulletin 34(6): 373-374. Long, E.R., and P.M. Chapman. 1985. A Sediment Quality Triad: Measures of Sediment Contamination, Toxicity, and Infaunal Community Composition in Pudget Sound. Mar. Pollut. Bull. 16: 405-415. Long, E.R., L.J. Field, and D.D. MacDonald. 1998. Predicting Toxicity in Marine Sediments with Numerical Sediment Quality Guidelines. Environmental Toxicology and Chemistry 17(4): 714-727. Long, E.R., D.D. MacDonald, S.L. Smith, and F.D. Calder. 1995. Incidence of Adverse Biological Effects Within Ranges of Chemical Concentrations in Marine and Estuarine Sediment. Environmental Management 19(1):81-97. Ludwig, J.A., and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. John Wiley and Sons. New York. Luoma, S.N., 1995. Prediction of Metal Toxicity in Nature from Bioassay: Limitation and Research Needs. Di dalam: A. Tessier and D.R. Tuner, editor: Metal Speciation and Bioavailability in Aquatic System. John Wiley & Sons Ltd. hlm 609-659. Luoma, SN., and J.L. Carter. 1991. Effect of Trace Metal on Aquatic Benthos. Di dalam M.C. Newman and A.W. McIntosh (eds): Metal Ecotoxicology:
105
Concepts and Applications. Lewis Publishers. Chelsea. Michigan. hlm 261-300. Luoma, S.N., and E.A. Jenne. 1976. Estimating Bioavailaility of Sediment-Bound Trace Metals With Chemicals Extractans. Di dalam: Hemphill DD. Trace Substance in Environmental Health. University of Missouri. Columbia. 343-351. Luoma, S.N., and K.T. Ho. 1993. Appropriate Uses of Marine and Estuarine Sediment Bioassays, Di dalam: Calow P., editor. Handbook Ecotoxicology. Vol 1. Blackwell Scientific Publications. Oxford. 193-225. Mac Donald, D.D, R.S. Carr, F.D. Calder, E.R. Long, and C.G. Ingersoll. 1996. Development and Evaluation of Sediment Quality Guidelines for Florida Coastal Water. Ecotoxicology 5 : 253-278. MacDonald, D.M., R.S. Carr, D. Eckenrod, H. Greening, S. Grabe, C. G. Ingersoll, S. Janicki, T. Janicki, R. A. Lindskong, E. R. Long, R. Pribble, G. Sloane, and D. E, Smorong. 2004. Development, Evaluation, and Application of Sediment Quality Target for Assessing and Managing Contaminated Sediments in Tampa bay, Florida. Arch. Environ. Contam. Toxicol. 46:147-161. Maher, W., G.E. Batley, and I. Lawrence. 1999. Assessing The Health of Sediment Ecosystem: Use of Chemical Measurements. Freshwater Biology 41:361372. Mamboya, F.A. 2007. Heavy Metal Contamination and Toxicity: Studies of Macroalgae From the Tanzanian Coast. Stockholm University. Stockholm. 49 hal. Manahan, S.E. 2005. Environmental Chemistry. Eight Edition. CRC Press. Florida. 782 hal. Manolakos, E., H. Virani, and V. Novotny. 2007. Extracting Knowledge on The Links Between The Water Body Stressors and Biotic Integrity. Water Research 41: 4041- 4050.
106
Martin, R. 2004. Origin of The Biological Monitoring Working Party System, www. cies.staffs.ac.uk./rscrbmwp.htm.3k [21 Agustus 2005]. Marvin, C., L. Grapentine and S. Painter. 2004. Application of A Sediment Quality Index to The Lower Laurentian Great Lakes. Environmental Monitoring and Assessment 91: 1–16. Mason, R.P. and K.A. Sullivan. 1998. Mercury and Methyl-Mercury Transport Through an Urban Watershed. Water Res. 32:321–330. Matthaei, C. D., C. J. Arbukle, and C. R. Townsend. 2000. Stable Surface Stones as Refugia for Invertebrates During Disturbance in a New Zealand Stream. J. N. Am. Benthol Soc.19(1): 82-93. Milbrink, G.1980. Oligochaete Communities in Pollution Biology : the European Situation with Special Reference to Lakes in Scandinavia. In Proceedings of the First International Symposium on Aquatic Oligochaete Biology. Sydney. British Colombia. Canada.. Aquatic Oligochaete Biology. 433455. Minshall, G.W. 1996. Aquatic Insect-Substratum Relationships. Chapter 12. Ecology of Aquatic Insects. 358-400. Mulyanto, S. 2003. Rekapitulasi Penelitian Kualitas Air Waduk PLTA Saguling Tahun 1994-2003. PT. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling. 32 hal. Mwamburi, J. 2003. Variations in Trace Elements in Bottom Sediments of Major Rivers in Lake Victoria’s Basin, Kenya. Lakes & Reservoirs: Research and Management 8: 5–13. Norris, R. H. 1999. Environmental Indicators: Recent Development in Measurement and Application for Assessing Freshwater. in: A. Holt, K. Dickinson, and G.W. Kearsley (eds): Environmental Indicators. Proceeding of The Environmental Indicator Symposium. University of Otago. Dunedin. New Zealand. 1-43. Norris, R. H., and M. C. Thoms. 1999. What Is River Health ?. Freshwater Biology 41: 197-209.
107
Norris, R.H. and K.R. Norris. 1995. The Need for Biological Assessment of Water quality: Australian Perspective. Australian Journal of Ecology 20: 1-6.
Novotny, V., and H. Olem. 1994. Water Quality, Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold. New York. 1054 hal. Paul, M.J. and J.L. Meyer. 2001. Stream in the Urban Landscape, Annu. Rev. Ecol. Syst. 32:333–365 Power, E. A., and P. M. Chapman. 1992. Assessing Sediment Quality. In: A. Burton (Eds): Sediment Toxicity Assessment. Lewis Publishers. 1-16. Prica, M., B. Dalmajica, S. Roncevic, D. Kremar, and M. Bacelic. 2007. A Comparison of Sediment Quality Results with Acid Volatile Sulfide (AVS) and Simultaneously Extracted Metal (SEM) Ratio in Vojvodina (Serbia) Sediments. Sci.Total Environ. 20: 1-10. Qu, W., and P. Kelderman. 2001. Heavy Metal Contents in The Delft Canal Sediment and Suspended Solid of The River Rhine: Multivariate Analysis for Source Tracing. Chemosphere 45:919-925. Reynoldson, T.B. and J.C. Metcalfe-Smith. 1992. An Overview of The Assessment of Aquatic Ecosystem Health Using Benthic Invertebrates. Journal Of Aquatic Ecosystem Health 1: 295-308. Reynoldson, T.B., R.H. Norris, V.H. Resh, K.E. Day, and D.M. Rosenberg. 1997. The Reference Condition: A Comparison Of Multimetric And Multivariate Approaches To Assess Water Quality Impairment Using Benthic Macroinvertebrates. J. N. Am. Benthol. Soc. 16(4): 833-852. Riba, I., J. M. Forja, A. Go´mez-Parra, and T. A. DelValls. 2004. Sediment Quality in Littoral Regions of the Gulf of Ca´Diz: A Triad Approach to Address the Influence of Mining Activities. Environmental Pollution 132: 341-353. Salim, H. 2004. Cegah Kasus Buyat Terjadi di Citarum. http://www.pikiran-rakyat. com/cetak/0704/28/0102.htm
108
Salomons, W. and U. Förstner. 1984. Metals in The Hydrocycle. Springer-Verlag. 349 hal. Shakla, S.K. and P.R. Srivastava. 1992. Introduction: in Water Pollution and Toxicology. Commonwealth Publishers New Delhi, 1-47. Smith, S.L., D.D. MacDonald, K.A. Kennleyside, C.G. Ingersoll, and J. Field. 1996. A Premilinary Evaluation of Sediment Quality Asssessment Values for Freshwater Ecosystems. J. Great Lakes Res. 22 : 624-638. Smoley, C. K. 1992. Methods for The Determination of Metals in Environmental Samples. Method 200.2. US- EPA. Cincinnati. Ohio. 281 hal. Soewondo, P. 2003. Laporan Hasil Pemeliharaan Lingkungan Hidup (Penelitian Kualitas Air Waduk Saguling) Triwulan IV tahun 2003. Institut Teknologi Bandung. LPPM. Bandung. 57 hal Soewondo, P. 2005. Laporan Hasil Tes Suspended Load pada Waduk Saguling tahun 2005. Institut Teknologi Bandung. LPPM. Bandung. 39 hal Sorensen, M. T., J. M. Conder, P. C.Fuchsman, L. B.Martello, and R. J.Wenning. 2007. Using a Sediment Quality Triad Approach to Evaluate Benthic Toxicity in Lower Hackensack River, New Jersey. Arch. Environ.Contam.Toxicol 53: 36-49. Sriwana, T. 1999. Polusi Vulkanogenik: Akumulasi Unsur Kimia dan Penyebarannya di Sekitar Kawah Putih, G. Patuha Bandung. Makalah Seminar di Puslit Limnologi-LIPI. Cibinong. 5 hal. Sudarso, Y. , I. M. Fanie, M. Badjoeri, dan S. Aisyah. 2001. Studi Bioavailabilitas Logam Berat pada Ikan Budidaya Jaring Apung di Waduk Saguling. Limnotek 8 (1): 35-53. Timmermans, K.R., W. Peeters, and M. Tonkes. 1992. Cadmium, Zinc, Lead, and Copper in Chironomus riparius (meigen) Larvae (Diptera, Chironomidae): Uptake and Effects. Hydrobiologia 241: 119-134. Trotier, S., C. Blaise, T. Kusui, and E. M. Johnson. 1997. Technical Methods Section, Acute Toxicity Assessment of Aqueous Samples Using a Microplate
109
Based Hydra attenuata Assay. John Wiley & Sons Inc. CCC 10534725/97/030265-07. 256-271. Ward, J. V. 1992. Aquatic Insect Ecology. 1. Biology and Habitat. John Wiley & Sons Inc. Canada. 438 hal. Warren L.A. and Zimmerman A.P. 1994. Suspended Particulate Oxides and Organic Matter Interactions in Trace Metal Sorption Reactions in A Small Urban River. Biogeochemistry 23:21–34. Washington, H. G. 1984. Diversity, Biotic, and Similarity Indices: a Review with Special Relevance to Aquatic Ecosystem. Water Res. 18(6): 653-694. Wentsel, R., A. Mc Intosh and V. Anderson. 1977. Sediment Contamination and Benthic Macroinvertebrtae Distribution in a Metal Impacted Lake. Environ. Pollut. 14: 187-192. Whittman, G. T. W. 1983. Chapter B. Toxic Metal. in : U. Förstner and G.T.W. Whittman: Metal Pollution in The Aquatic Environment. Springer-Verlag. Germany, 3-68. Widianarko, B., R. A. Verweij, A. M. Van Gestel, and N. M.Van Straalen. 2000. Spatial Distribution of Trace Metal in Sediments from Urban Streams of Semarang, Central Java, Indonesia. Ecotoxicology and Environmental Safety 46: 95-100. Williams, D.D. 1979. Aquatic Habitat of Canada and Their insects. Mem. Ent. Soc. Can.108: 211-234. Winner, R. W., M. W Bossel, and M. P. Farrell. 1980. Insect Community Structure as an Index of Heavy Metal Pollution in Lotic Ecosystems. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 37, 647-655. Zisckhe, J. A. and G. Ericksen. 2003. Analysis of Benthic Macroinvertebrate Communities in The Minnesota River Watershed. Diane Waller. United States fish and Wildlife Service. La Crosse. Wisconsin. 82 hal.
110
Lampiran 1: Nilai rata-rata konsentrasi logam berat di sedimen pada setiap stasiun pengamatan yang dibandingkan dengan beberapa guidelines dari beberapa negara.
Stasiun Gunung wayang Nanjung Trashboom Cihaur Cangkorah Cimerang Muara Cihaur Muara Cipatik Muara Ciminyak Muara Cijere Muara Cijambu Intake structure Rajamandala Kementrian Lingkungan Ontario Canadaa
SEPA
c
ERLb ERM b TELb PELb SELb
Konsentrasi rata-rata logam berat total pada sedimen (mg/kg berat kering) Cd Pb Cu Hg 0,07 5,733 31,97 0,007 0,263 42,6* 95,97* 1,210 * 0,107 19,78 51,30 1,033 0,107 20,2 62,93* 0,499 * 0,133 19,7 65,93 0,566 0,133 12,03 72,03* 0,144 * 0,157 16,78 79,27 0,552 * 0,227 12,967 51,7 0 0,093 10,77 43,97* 0,001 0,11 8,57 46,2* 0 0,093 8,533 52,2* 0 * 0,11 9,93 62,37 0,017 0,07 8,2 55,5* 0,038 0,6 23 15 0,1 1
31
25
0,12
10
250
114
2
≤ 0,2
≤5
≤ 10
≤ 0,05
0,2-0,7 0,7 - 2 2-5
5 - 30 30 -100 100-400
10-25 25-50 50-100
0,05- 0,15 0,15-0,3 0,3 - 1
>5
> 400
>150
>1
5 9 0,6 3,53 10
35 110 35 91,3 250
70 390 35,7 197 86
0,15 1,3 0,17 0,486 2
Kriteria
Tidak ada pengaruh menunjukkan Pengaruh terrendah Ambang batas dari kisaran toleransi Konsentrasi sangat rendah Konsentrasi Rendah Konsentrasi sedang Konsentrasi tinggi Konsentrasi sangat tinggi
Keterangan: a
Guideline untuk mengklasifikasikan sedimen dari Great lakes dan perairan secara umum di Ontario Canada (Giesy and Hoke 1990), b Sediment Quality Guidelines (SQG) untuk logam berat (Burton 2002), * nilai konsentrasi di atas dari TEL atau ERL dan SEL. NA merupakan singkatan dari not aplicable, c Swedish Environmental Protection Agency (SEPA 1991)
111
Lampiran 2: Hasil analisis karbon organik dan fraksi butiran dari sedimen di setiap stasiun pengamatan.
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Lokasi
Gunung Wayang Nanjung Batujajar Cihaur Cangkorah Cimerang Maroko Cipatik Ciminyak Cijere Cijambu Intake Rajamandala
Fraksi Butiran Sedimen Dalam Satuan % Pasir pH Karbon Clay & Sangat Sangat Halus Sedang Kasar Organik dasar Silt Halus Kasar [%] 63 – 125 – 250 – 500µm 1– <63µm 125µm 250µm 500µm – 1mm 2mm 0.820
7.278
4.63
37.16
40.00
11.31
6.91
-
4.547 1.087 1.833 2.147 1.187 2.61 3.19 2.2 2.40 1.487 1.47 0.983
6.594 6.598 8.52 9.116 8.304 7.78 7.48 7.62 8.268 7.776 7.74 7.43
38.50 19.37 19.07 19.07 18.58 6.58 16.94 4.47 23.37 4.08 16.58 24.79
28.24 22.04 22.12 22.12 24.30 32.83 30.56 27.07 34.23 31.19 28.14 69.94
20.65 34.01 35.03 35.03 31.03 35.86 29.26 43.54 32.17 39.16 25.01 4.03
12.20 22.85 21.89 2189 24.02 23.11 22.10 23.91 9.96 24.17 26.57 1.08
0.41 1.73 1.89 1.89 2.08 1.63 1.14 1.01 0.28 1.40 3.71 0.16
-
112
Lampiran 3: Hasil pengukuran kualitas air di dasar secara langsung di lapangan Nama lokasi
Kedalaman
St 1. Gunung Wayang
1.5
St 2. Nanjung
5
0 St 3. Batujajar 5
0 St 4.Cihaur 5
0 St 5. Cangkorah 5
St 6. Cimerang
0
ph 6.58 6.59 6.59 6.61 6.6 7.27 7.28 7.28 7.28 7.28 7.12 7.13 7.13 7.13 7.13 6.57 6.58 6.6 6.6 6.64 8.31 8.31 8.31 8.31 8.31 8.49 8.5 8.52 8.54 8.55 8.74 8.71 8.8 8.7 8.66 9.06 9.09 9.1 9.14 9.19 8.13 8.11
Cond (µS/cm) 0.114 0.115 0.113 0.118 0.12 0.352 0.352 0.351 0.351 0.351 0.419 0.419 0.418 0.418 0.418 0.568 0.568 0.567 0.567 0.567 0.458 0.458 0.458 0.458 0.458 0.586 0.586 0.586 0.586 0.586 0.592 0.59 0.59 0.59 0.59 1.02 0.9 1.02 0.902 1.02 0.362 0.361
DO (mg/l) 6.53 6.33 6.36 6.47 6.58 2.34 2.33 2.31 2.3 2.29 3.15 3.17 3.16 3.15 3.1 2.38 2.56 2.55 2.51 2.49 1.47 1.44 1.42 1.43 1.44 0.27 0.27 0.25 0.25 0.18 0.26 0.3 0.11 0.21 0.24 2.3 0.26 0.22 0.33 0.46 3.1 3.39
Temp (0 C) 19.8 19.8 19.8 19.8 19.8 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 17.8 17.8 17.8 17.8 17.8 22.9 22.9 22.9 22.9 22.9 27.3 27.3 27.3 27.3 27.3 26.1 26.1 26.1 26.1 26.1 27.3 27.3 27.3 27.3 27.3 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.1 26.9
Sal (%) 0 0 0 0 0 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.01 0.01
Turb (NTU) 2 3 4 3 4 260 240 249 258 263 26 27 26 27 29 52 55 54 51 51 38 36 38 47 46 128 122 127 130 127 42 45 39 41 39 40 38 37 38 38 8 8
113
5
0 St 7. Maroko 5
0 St 8. Cipatik 5
0 St 9.Ciminyak 5
0 St 10. Cijere 5
8.11 8.09 8.07 8.29 8.3 8.3 8.31 8.32 8.11 8.11 8.11 8.11 8.11 7.8 7.76 7.73 7.71 7.9 7.94 7.96 7.99 7.99 7.99 7.56 7.51 7.53 7.5 7.3 8.46 8.26 8.33 8.35 8.42 7.67 7.63 7.67 7.63 7.52 8.59 8.59 8.56 8.4 8.5 8.32 8.26 8.2
0.361 0.361 0.362 0.581 0.581 0.581 0.581 0.581 0.329 0.329 0.329 0.329 0.329 0.431 0.431 0.431 0.431 0.431 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.207 0.207 0.207 0.207 0.207 0.197 0.197 0.197 0.197 0.197 0.227 0.227 0.227 0.227 0.227 0.205 0.205 0.205 0.205 0.205 0.253 0.253 0.253
3.54 3.53 3.81 0.24 2.21 0.2 0.19 0.16 6.51 6.54 6.61 6.58 0.54 0.41 0.34 0.37 0.31 0.38 5.51 5.9 5.888 5.96 5.96 0.71 0.7 0.7 0.7 0.7 9.1 9.04 9.05 9.16 9.31 0.26 0.26 0.26 0.26 0.26 10.56 10.66 10.65 10.57 10.54 0.46 0.45 0.44
26.8 26.8 26.8 25.8 25.8 25.8 25.8 25.8 27 27 27 27 27 25.2 25.2 25.2 25.2 25.2 26.8 26.8 26.8 26.8 26.8 25.4 25.4 25.4 25.4 25.4 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 24.7 24.7 24.7 24.7 24.7 27.5 27.5 27.5 27.5 27.5 24.9 25 24.9
0.01 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 11 9 20 24 22 23 24 7 6 7 8 7 28 27 24 23 26 32 31 34 27 31 37 36 33 34 35 22 27 22 22 21 52 35 43 37 40 29 27 32 27 32 25 27 28
114
0 St 11. Cijambu 5
0 St 12. Intake 5
0 St 13. Rajamandala 5
8.3 8.26 8.15 8.15 8.15 8.15 8.15 7.78 7.79 7.78 7.77 7.76 8.15 8.15 8.15 8.15 8.15 7.85 7.77 7.73 7.7 7.65 7.57 7.56 7.56 7.55 7.55 7.43 7.43 7.43 7.43 7.43
0.253 0.253 0.227 0.227 0.227 0.227 0.227 0.252 0.252 0.252 0.252 0.252 0.238 0.238 0.238 0.238 0.238 0.253 0.253 0.253 0.253 0.253 0.323 0.323 0.323 0.323 0.323 0.323 0.323 0.323 0.323 0.323
0.42 0.41 8.23 8.28 8.25 8.38 8.39 1.05 1.02 1 0.98 0.95 7.67 7.69 7.62 7.6 7.5 0.6 0.59 0.58 0.59 0.6 4.9 4.9 4.9 4.9 4.9 3.32 3.26 3.25 3.25 3.26
24.9 24.9 26.7 26.7 26.7 26.7 26.7 25.4 25.4 25.4 25.4 25.4 26.4 26.4 26.4 26.4 26.4 24.3 24.3 24.3 24.3 24.3 26 26 26 26 26 26.3 26.3 26.3 26.3 26.3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
29 30 14 13 14 15 19 30 25 33 26 25 19 16 18 15 18 20 33 35 23 26 10 11 10 10 10 23 22 22 21 22
115
Lampiran 4. Lokasi sampling Stasiun Gunung Wayang
Lampiran 5. Lokasi sampling Stasiun Nanjung
Lampiran 6. Lokasi sampling Stasiun Trash Boom Batujajar
116
Lampiran 7. Lokasi sampling Stasiun Cihaur
Lampiran 8. Lokasi sampling Stasiun Cangkorah
Lampiran 9. Lokasi sampling Stasiun Cimerang
117
Lampiran 10. Lokasi sampling Stasiun Muara Cihaur / Maroko
Lampiran 11. Lokasi sampling Stasiun Muara Cipatik
Lampiran 12 . Lokasi sampling Stasiun Ciminyak
118
Lampiran 13. Lokasi sampling Stasiun Cijere
Lampiran 14. Lokasi sampling Stasiun Cijambu
Lampiran 15. Lokasi sampling Stasiun intake/ Dam
119
Lampiran 16. Lokasi sampling stasiun Rajamandala
120