EVALUASI KINERJA STRUKTUR RANGKA PEMIKUL MOMEN KHUSUS BERCOAKAN 40% DI WILAYAH BERESIKO GEMPA TINGGI DI INDONESIA Ima Muljati, Benjamin Lumantarna
1
PENDAHULUAN
Bentuk denah dan konfigurasi bangunan sangat menentukan perilaku bangunan pada saat menerima beban gempa. Menurut Paulay dan Priestly (1992), bangunan dengan bentuk beraturan, sederhana dan simetris (Gambar 1a) lebih disukai dalam desain ketahanan gempa dibandingkan bangunan yang tidak beraturan (Gambar 1b). Bangunan tidak beraturan mudah mengalami puntir akibat pusat massa dan pusat kekakuan yang tidak berimpit. Bagian-bagian tertentu dapat mengalami konsentrasi tegangan yang dapat mengarah pada keruntuhan berkelanjutan pada bagian yang lain. Selain itu, bangunan tidak beraturan juga dapat mengalami respon yang tak terduga akibat pengaruh ragam yang lebih tinggi (higher mode effect).
a. Bangunan Beraturan
b. Bangunan Tidak Beraturan Gambar 1 Denah Bangunan
SNI 03-1726-02 tentang perencanaan bangunan tahan gempa membedakan desain bangunan untuk bangunan beraturan dan tidak beraturan. Bangunan beraturan harus memenuhi persyaratan pasal 4.2.1, dan boleh direncanakan menggunakan analisis statik. Sebaliknya bangunan tidak beraturan harus meninjau pengaruh gempa rencana sebagai pembebanan dinamik, dan analisisnya dilakukan dengan metode response spectrum atau time history. SNI 03-2847-2002 mengenai tata cara perencanaan struktur beton bertulang untuk bangunan gedung, dalam pasal 23 mengklasifikasikan beberapa sistem penahan gempa menurut tingkat daktilitasnya. Di antara sistem-sistem yang ada, Sistem Rangka Penahan Momen Khusus (SRPMK) adalah sistem yang memiliki daktilitas yang paling tinggi. SRPMK memiliki persyaratan yang lebih detail dalam hal kuat nominal lentur dan geser untuk elemen balok dan kolom, pendetailan tulangan lentur dan geser, serta ketentuan mengenai hubungan balok-kolom. Persyaratan ini akan mempengaruhi kinerja bangunan secara keseluruhan ketika menerima beban gempa. Dalam perencanaan berbasis kinerja (performance based design), ada beberapa standar yang dapat dipakai untuk menentukan kinerja struktur pada berbagai macam level gempa. Salah satunya adalah Asian Concrete Model Code (ACMC) (International Committee on Concrete Model Code, 1999). ACMC menggunakan tiga level kinerja Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
1
struktur untuk tiga macam level gempa yang berbeda. Parameter yang digunakan untuk mengukur level kinerja struktur adalah simpangan antar tingkat (drift) dan damage index. Besarnya batasan drift dan damage index yang dipergunakan oleh ACMC dapat dilihat pada matriks kinerja pada Tabel 1.
Tabel 1 Matriks Kinerja Struktur versi ACMC Earthquake Performance Level Damage Control Limit State
Safety Limit State
Minor (43 years)
Moderate (72 years)
Severe (475 years)
Max. Drift
0.5%
1.0%
2.0%
Max.Damage Index
0.10 – 0.25
0.25 – 0.40
0.40 – 1.00
Earthquake Design Level
Serviceability Limit State
Basic Objective
Essential Objective
Safety Objective
Unacceptable
Pola keruntuhan yang diharapkan terjadi pada saat bangunan dikenai beban gempa rencana adalah beam side sway mechanism (Gambar 2a). Pola keruntuhan ini mensyaratkan sendi-sendi plastis hanya boleh terjadi pada ujung-ujung balok dan pada ujung bawah kolom lantai dasar. Untuk mencapai pola keruntuhan ini maka kolom harus didesain lebih kuat daripada balok-balok yang merangkainya (strong column weak beam). Oleh sebab itu kuat nominal kolom harus diperbesar dengan cara dikalikan dengan suatu overstrength factor (OF). SNI 03-2847-2002 menggunakan overstrength factor sebesar 1.2 dan dituliskan sebagai berikut: Mc
6/5
Mg
(1)
dimana : Mc = jumlah momen pada pusat hubungan balok-kolom, sehubungan dengan kuat lentur nominal kolom yang merangka pada hubungan balok-kolom tersebut. Mg = jumlah momen pada pusat hubungan balok-kolom, sehubungan dengan kuat lentur nominal balok-balok yang merangka pada hubungan balok-kolom tersebut. Besarnya overstrength factor menurut SNI 03-2847-1992 kurang lebih 1.625, sedangkan SNI 03-2847-2002 menggunakan angka yang lebih kecil yaitu hanya sebesar 1.2. Berkurangnya overstrength factor ini menimbulkan pertanyaan apakah beam side sway mechanism benar-benar terjadi pada saat bangunan dikenai beban gempa rencana. Hal senada pernah dikemukakan oleh Paulay (1986) melalui kritikannya terhadap ACI 31883 appendix A (Section A.4.2.2) yang juga menggunakan overstrength factor sebesar 1.2. Paulay menyatakan bahwa dengan faktor tersebut, bangunan dapat mengalami pola keruntuhan yang berbahaya yaitu soft story mechanism (Gambar 2b). Paulay mengemukakan beberapa argumen untuk mendukung pendapatnya, antara lain bahwa Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
2
ketika sendi plastis terjadi pada ujung-ujung balok, maka akan ada pertambahan kuat nominal lentur balok akibat strain hardening dan tulangan pelat yang seringkali tidak diperhitungkan. Lebih lanjut Paulay juga mengatakan bahwa ketika terjadi beban gempa yang kejadiannya tiba-tiba dan cukup singkat, pola distribusi momen nominal balok ke kolom bisa berbeda dengan yang diharapkan. Sendi plastis pada kolom dapat terjadi di bawah join, sedangkan kolom di atas join hanya mengalami momen yang sangat kecil.
a. Beam Side Sway Mechanism
b. Soft Story Mechanism
Gambar 2 Mekanisme Keruntuhan Beberapa penelitian mengenai kecukupan overstrength factor yang digunakan oleh SNI 03-2847-2002 sudah banyak dilakukan, baik pada bangunan beraturan maupun tidak beraturan. Untuk bangunan beraturan, penelitian Pudjisuryadi and Lumantarna (2008), Lumantarna et al (2007), Chandra dan Arden (2006) serta Kusardi dan Rudolf (2006) menunjukkan bahwa bangunan memiliki kinerja struktur yang cukup baik jika diukur dari parameter drift dan damage index. Walaupun demikian, overstrength factor sebesar 1.2 ternyata tidak cukup konservatif untuk menjamin terjadinya mekanisme strong column weak beam. Beberapa sendi plastis masih terbentuk pada beberapa kolom-kolom yang tidak diharapkan. Berbeda halnya dengan bangunan beraturan, penelitian pada bangunan tidak beraturan dengan coakan 40% menghasilkan kinerja yang kurang baik. Bangunan mengalami drift dan damage index yang berlebihan. Selain itu beberapa kolom masih mengalami sendi plastis sehingga mekanisme strong column weak beam tidak sepenuhnya terjadi. (Nondolesmono dan Susanto, 2008). Ketiga penelitian tersebut mengabaikan persyaratan waktu getar alami fundamental yang ditentukan dalam pasal 5.6 SNI 03-1726-2002. Hal ini dilakukan untuk menghindari penggunaan tulangan minimum akibat dimensi balok dan kolom yang terlalu besar. Untuk melengkapi hasil penelitian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap bangunan tidak beraturan, khususnya yang didesain dengan memperhatikan persyaratan pembatasan waktu getar alami fundamental pada pasal 5.6 SNI 03-17262002.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
3
2
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan: Mengetahui dan mengevaluasi kinerja bangunan tidak beraturan dengan coakan 40% di wilayah 6 peta gempa Indonesia, yang didesain sebagai SRPMK menurut SNI 03-2847-2002. Mengevaluasi kecukupan overstrength factor sebesar 1.2 yang dipergunakan untuk menjamin mekanisme strong column weak beam menurut SNI 03-28472002.
3
BANGUNAN YANG DITINJAU
Sebagai studi kasus, penelitian ini menggunakan bangunan tidak beraturan 6- dan 10lantai, 5- bentang @ 8 m, dengan coakan sudut sebesar 40% di wilayah 6 peta gempa Indonesia. Bangunan direncanakan sebagai gedung perkantoran. Denah struktur dapat dilihat pada Gambar 3.
y+ 8.00
6
8.00
5
8.00
4
8.00
3
8.00
2
x+ 8.00
A
8.00
B
8.00
C
8.00
D
1
8.00
E
F
Gambar 3 Denah Struktur
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
4
4
DESAIN DAN ANALISIS
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam desain: Bangunan dimodelkan sebagai struktur 3D menggunakan program ETABS v.9.07 (CSI, 2005). Beban mati dan beban hidup untuk gedung perkantoran sesuai dengan Peraturan Pembebanan Indonesia untuk Gedung 1983. Pada bagian eksterior bangunan terdapat dinding yang terbuat dari pasangan bata dengan tebal 15 cm. Seluruh bangunan menggunakan mutu beton fc’ 30 MPa, tulangan longitudinal dan transversal memakai mutu baja fy 400- dan 240-MPa. Bangunan berdiri di atas tanah lunak di wilayah 6 peta gempa Indonesia menurut SNI 03-1726-2002. Pembatasan waktu getar alami fundamental yang disyaratkan dalam SNI 031726-2002 pasal 5.6 ditinjau untuk preliminary design dimensi balok dan kolom. Evaluasi kinerja batas layan maupun kinerja batas ultimit seperti yang disyaratkan pada SNI 03-1726-2002 pasal 8.1 dan 8.2 juga tetap dilakukan. Faktor keutamaan gedung, I diambil sebesar = 1.00 (gedung perkantoran). Desain penulangan balok dan kolom menggunakan perencanaan desain kapasitas menurut SNI 03-2847-2002. Tulangan terpasang adalah tulangan teoritis hasil perhitungan tanpa dilakukan pembulatan, sehingga tidak ada faktor kelebihan bahan. Persyaratan penggunaan inersia efektif untuk elemen balok maupun kolom yang disyaratkan dalam SNI 03-1726-2002 pasal 5.5. tidak ditinjau, karena kekakuan pelat lantai yang sebenarnya pengaruhnya cukup signifikan untuk peningkatan kekakuan balok tidak diperhitungkan saat menghitung kekakuan balok. Dimensi balok dan kolom hasil desain ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Dimensi Elemen Struktur Data Jumlah Lantai Tinggi Antar Tingkat Balok Induk Lantai 1 Lantai 2 Lantai 3 Lantai 4 Lantai 5 Kolom Lantai 6 Lantai 7 Lantai 8 Lantai 9 Lantai 10 Periode Elastis Bangunan Tebal Pelat Lantai
Bangunan I 6 lantai
Bangunan II 10 lantai
3,5 m 2 400 x 800 mm 800 x 800 mm
2
900 x 900 mm
2
750 x 750 mm
2
850 x 850 mm
2
700 x 700 mm
2
800 x 800 mm
2
750 x 750 mm
2
700 x 700 mm
2
0,88 detik
1.49 detik 200 mm
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
5
Kinerja struktur bangunan dianalisis menggunakan dua metode, yaitu : Analisis statis pushover nonlinear (ATC-40, 1997) menggunakan program ETABS v.9.07 (CSI, 2005) dengan pola pembebanan sesuai dengan respons struktur ragam pertama (mode 1). Analisis dinamis time history nonlinear menggunakan program RUAUMOKO 3D (Carr, 2001) dengan gempa El-Centro 15 Mei 1940 N-S yang dimodifikasi sesuai wilayah 6 peta gempa Indonesia dengan periode ulang 50, 200, dan 500 tahun. Hubungan momen-kurvatur untuk elemen-elemen balok dan kolom ditentukan dengan program ESDAP (Lidyawati dan Pono, 2003) yang dibuat mengikuti algoritma dari King (1986). Parameter yang dipakai untuk mengukur kinerja struktur meliputi mekanisme terbentuknya sendi-sendi plastis, drift dan damage index.
5
EVALUASI KINERJA STRUKTUR
Analisis pushover (PO) dan time history (TH) menghasilkan drift seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Angka 50, 200, dan 500 di belakang notasi PO dan TH menunjukkan periode ulang gempa (dalam tahun) yang merepresentasikan gempa kecil, sedang dan besar. Drift maksimum yang dialami setiap bangunan dicatat dan ditampilkan dalam Matriks Kinerja Struktur seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Di sini terlihat bahwa semua bangunan dalam fase plastis telah mengalami drift yang lebih besar dari yang disyaratkan ACMC untuk semua level gempa.
6
10 9
5
8
Lantai
Lantai
4
3 2
1 0
0.00
2.00
4.00
6.00
7 PO50 6 PO200 5 PO500 4
PO50 PO200 PO500
3 TH50
TH50
2 TH200 1 TH500 0
TH200
0.00
Drift (%)
TH500 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
Drift (%)
Gambar 4 Drift Bangunan 6- dan 10-lantai (%) Tabel 3 Matriks Kinerja Struktur Berdasarkan Drift (%) Level Gempa
Bangunan
Minor (50 th)
6-lantai 10-lantai 6-lantai 10-lantai 6-lantai 10-lantai
Moderate (200 th)
Severe (500 th)
Drift Maksimum (%)
Serviceability Limit State PO TH 0,35
Performance Level Damage Control Safety Limit State Limit State PO TH PO TH 1,83 0,63 1,03 1,24
Unacceptable Limit State PO TH
2,55 2,26 0.50
1.00
2.00
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
2,14 3,74 3,82 5,1 5,24
> 2,00
6
Analisis pushover dan time history menginformasikan bahwa sendi plastis terbanyak dan damage index terbesar terjadi pada portal-3. Hal ini wajar terjadi karena portal-3 merupakan portal yang mengalami konsentrasi tegangan terbesar akibat adanya coakan bangunan. Tabel 4 dan 5 menunjukkan lokasi sendi-sendi plastis pada portal-3 untuk bangunan 6- dan 10-lantai. Analisis time history berhasil mendeteksi adanya kerusakan yang berarti pada kaki-kaki kolom bangunan 6-lantai (bertanda lingkaran) pada gempa 200- dan 500-tahun (Tabel 4). Besarnya damage index tidak dapat disajikan dalam tulisan ini karena keterbatasan halaman. Damage index selengkapnya dapat dilihat pada Winarto dan Anotama (2009). Jika ditinjau dari lokasi sendi plastis yang terjadi, semua bangunan sudah menunjukkan mekanisme yang diharapkan, yaitu beam side sway mechanism. Sendi-sendi plastis mula-mula terjadi pada ujung-ujung balok, dan kemudian pada kaki kolom lantai dasar. Akan tetapi pushover berhasil mendeteksi terjadinya sendi plastis pada kolom lantai-2 pada portal-1 bangunan 6-lantai dan portal-6 bangunan 10-lantai untuk gempa 500tahun (Tabel 6, bertanda kotak). Sedangkan time history mendeteksi terjadinya beberapa sendi plastis pada kolom bangunan 6-lantai di semua portal. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun mekanisme beam side sway mechanism terjadi namun tidak semua kolom memenuhi kriteria strong column weak beam.
Tabel 4 Lokasi Sendi Plastis Portal-3, Bangunan 6-Lantai Level Gempa
Pushover
Time History
Minor (50 th)
Moderate (200 th)
Severe (500 th)
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
7
Tabel 5 Lokasi Sendi Plastis Portal-3, Bangunan 10-Lantai Level Gempa
Pushover
Time History
Minor (50 th)
Moderate (200 th)
Severe (500 th)
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
8
Tabel 6 Kolom-kolom yang Mengalami Pelelehan, Gempa 500-tahun Pushover
Portal-1
Portal-6
Time History
Portal-1
Portal-2
Tabel 6 (Lanjutan)
Portal-4
Portal-5
Portal-6
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
9
Berdasarkan damage index yang terjadi pada sendi-sendi plastis maka dibuatlah matriks kinerja struktur seperti pada Tabel 7. Analisis pushover tidak dapat memberikan angka damage index secara eksak seperti halnya time history, melainkan dalam kisaran nilai dalam batasan maksimum setiap limit state.
Tabel 7 Matriks Kinerja Struktur Berdasarkan Damage Index Level Gempa
Bangunan
Minor (50 th) Moderate (200 th) Severe (500 th)
6-lantai 10-lantai 6-lantai 10-lantai 6-lantai 10-lantai
Serviceability Limit State PO TH * * 0.23
Performance Level Damage Control Safety Limit State Limit State PO TH PO TH 0.58 * *
1.47 0.54 * *
Damage Index Maksimum (%)
0.50
Unacceptable Limit State PO TH
1.00
2.49 0.75 2.00
> 2.00
* berada pada kisaran nilai tersebut
Hasil analisis pushover cenderung under-estimate dibandingkan time history setelah terjadi non-linear pada bangunan (terjadi sendi-sendi plastis pada kolom). Sifat nonlinear tersebut menyebabkan bangunan menjadi tidak first mode dominant sebagaimana disyaratkan dalam analisis pushover. Selain itu, modal patricipation factor untuk ragam pertama kurang dari 80% seperti yang terlihat pada Tabel 8. Tabel 8 Modal Participation Factor Ragam 1 2 3 4
Bangunan 6-lantai 39,72 39,58 5,5 5,49
10-lantai 38,92 38,64 5,19 5,15
Program Dynaplot menampilkan mode shape bangunan 6- dan 10-lantai sepanjang satu detik pertama untuk pembebanan gempa 50-tahun pada Gambar 5. Di sini terlihat bahwa kedua bangunan sudah tidak first mode dominant.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
10
10
6
t=0.9s t=1.0s
5 t=0.8s
t=0,4 s
t=0.2s
4
t=0.1s
Lantai
Lantai
t=0.7s
8
3
t=0.8s
t=0.3s
t=0.2s
t=1.0s
6
4
2
t=0.1s
2
1
0
0
-0.01 m
Simpangan Lantai
-0.03 m
Simpangan Lantai
Gambar 5 Displacement History (Mode Shape) Bangunan 6- dan 10-lantai
Analisis time history menunjukkan bangunan 6- dan 10-lantai mengalami efek torsi akibat adanya eksentrisitas antara pusat massa dan pusat kekakuan (Gambar 6). Hal ini menyebabkan portal eksterior (portal-1 dan portal-6) mengalami kerusakan yang parah seperti halnya portal-3 yang mengalami konsentrasi tegangan akibat adanya coakan. Syarat pembatasan waktu getar alami fundamental (SNI 1726-02 pasal 5.6) menyebabkan dimensi struktur menjadi lebih besar dan banyak elemen kolom yang terdesain dengan tulangan minimum. Dengan demikian nilai overstrength factor yang terpakai menjadi lebih besar dari 1.2. Meskipun demikian kolom-kolom masih mengalami pelelehan (mayoritas kolom eksterior) walaupun masih dalam fase awal (Tabel 4 dan 5). Secara umum kinerja bangunan pada penelitian ini lebih baik daripada bangunan pada penelitian Nondolesmono dan Susanto (2008) yang mengabaikan syarat periode dalam desainnya.
Gambar 6 Torsi pada Bangunan 6- dan 10-lantai
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
11
6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan evaluasi kinerja struktur bangunan 6- dan 10-lantai dengan coakan 40% di wilayah 6 peta gempa Indonesia yang didesain sebagai SRPMK menurut SNI 03-28472002, secara umum dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Bangunan mengalami tidak mengalami mekanisme keruntuhan yang diharapkan, yaitu beam side sway mechanism. Beberapa sendi plastis masih terbentuk pada kolom yang tidak direncanakan plastis, walaupun damage index-nya masih relatif kecil. Sebagai hasilnya, kriteria strong column weak beam tidak sepenuhnya terjadi. Dengan demikian overstrength factor kolom sebesar 1.2 sebagaimana ditentukan dalam SNI 03-2847-2002 perlu ditinjau kembali. Kinerja bangunan tidak terlalu baik karena mengalami drift dan damage index yang berlebihan jika diukur dengan matriks kinerja struktur versi ACMC. Persyaratan periode bangunan sebagaimana ditentukan dalam pasal 5.6 SNI 031726-2002 memberikan kontribusi yang cukup baik untuk meningkatkan kinerja bangunan walaupun masih belum seperti yang diharapkan menurut standar ACMC. Selain itu, dimensi balok dan kolom menjadi terlalu besar dan kurang realistis diterapkan dalam praktek desain.
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian mengenai evaluasi kinerja struktur beton bertulang tahan gempa yang didesain sesuai SNI 03-2847-2002 dan SNI 03-1726-2002 di Jurusan Teknik Sipil Universitas Kristen Petra, Surabaya. Penulis mengucapkan terima kasih atas kontribusi aktif dari seluruh tim yang terlibat yaitu: Cokro Yudi Winarto, S.T., Henoch Anotama, S.T., dan Pamuda Pudjisuryadi, S.T., M.Eng.
DAFTAR PUSTAKA Applied Technology Council, ATC 40. (1997). Seismic evaluation and retrofit of concrete buildings. California. Badan Standarisasi Nasional. (2002). Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung, SNI 03-1726-2002. Badan Standarisasi Nasional. (2002). Tata Cara Perencanaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung, SNI 03-2847-2002. Carr, Athol J. (2001). RUAUMOKO, Inelastic Dynamic Analysis, 3-Dimensional Version, New Zealand: University of Canterbury. Chandra,J. dan Arden,W. (2007). Kinerja Bangunan Tahan Gempa yang Didesain Menurut SNI 03-2847-1992 dan SNI 03-2847-2002 di Wilayah 6 Peta Gempa Indonesia, Tugas Akhir no. 11301502/SIP/2007, Universitas Kristen Petra, Surabaya. Computer and Structures, Inc., (2005). ETABS v 9.07, Extended Three dimensional Analysis Of Building System. Berkeley, California, USA: Author International Committee on Concrete Model Code. (1999). Asian Concrete Model Code Level 1 & 2 Documents. Tokyo: Author.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
12
King, D.J. (1986). Computer Program for Concrete Column Design. University of Canterbury – New Zealand. Kusardi,E.K. dan Rudolf,S. (2007). Evaluasi Overstrength Factor Kolom untuk SRPMK menurut SNI 03-2847-2002 Studi Kasus Bangunan 5 Bentang di Wilayah 6 Peta Gempa Indonesia, Tugas Akhir no. 11011527/SIP/2007, Universitas Kristen Petra, Surabaya. Lidyawati and Pono, G.B.W. (2003). Penyempurnaan Program Komputer untuk Desain Beban Lentur dan Aksial serta Analisa Momen Kurvatur Penampang Beton Bertulang. Undergraduate Thesis, Petra Christian University, Surabaya, Lumantarna, B.,et al. (2007). Seismic Performance of Special Moment Resisting Frames Designed in Accordance to the Indonesian Concrete and Earthquake Codes. International Conference on Modern Design, Construction, and Maintenance of Structures, Hanoi. Nondolesmono, N. dan Susanto,B.H. (2008). Evaluasi Overstrength Factor Kolom SRPMK Menurut SNI 03-2847-2002 Studi Kasus Bangunan dengan Coakan 40% di Wilayah 6 Peta Gempa Indonesia, Tugas Akhir no. 11011590/SIP/2008, Universitas Kristen Petra, Surabaya. Paulay, T. (1986). A Critique of the Special Provisions for Seismic Design of the Building Code Requirements for Reinforced Concrete (ACI 318-83). American Concrete Institute Journal, 83-29, pp 274-283. Paulay,T. and Priestly,M.J.N. (1992). Seismic Design of Reinforced Concrete and Masonry Buildings, John Wiley & Sons, Inc., New York. Pudjisuryadi, P. and Lumantarna, B. (2008). Evaluation of Columns’ Flexural Strength of Special Moment Resisting Frame in Accordance to Indonesian Concrete and Earthquake Codes. International Conference on Earthquake Engineering and Disaster Mitigation, Jakarta. Winarto,C.Y. dan Anotama,H. (2009). Kinerja Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus pada Bangunan Tidak Beraturan Sesuai SNI 03-2847-2002. Studi Kasus: Bangunan Beton Bercoakan Sudut 40% di Wilayah 6 Peta Gempa Indonesia, Tugas Akhir no. 11011630/SIP/2009, Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Makalah ini disampaikan dalam rangka diseminasi informasi melalui Seminar HAKI. Isi makalah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, dan tidak mewakili pendapat HAKI.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
13