Jurnatftngimieraan JaiiA VoC 3 iHo. I Juni 2006:64-76
EST1MASI AIR MAMPU CURAH MENGGUNAKAN DATA MODIS SEBAGAI INFORMASI CUACA SPAS1AL Dl PULAU JAWA Panvati Setiawan, Agus Hidayat, Totok Sugiharlo, Hasnaeni PendiH Pusbangja - LAPAN
ABSTRACT Study on the utilization of satellite data for precipitable water vapor over Java Island has beendone. MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) data of TERRA/AQUA satellites are used to estimate the precipitable water. As one of the dynamic atmospheric parameters, the precipitable water data is able to indicate the dryness or wetness of a certain region. Such data can be derived from MODIS data at the wavelength range of 0.865,1.24,0.905,0.936 and 0.940 \im. Verification of precipitable water from MODIS data is done by using radiosonde data at 2 climatology stations in Java island (Jakarta and Surabaya). The verification results illustrate that the standard deviation between MODIS precipitable water and radiosonde data for the period of August - October 2004, the standard deviation is ± 1.6 cm and the correlation coefficient is 0.88. In addition, It is found that the correlation between the MODIS precipitable water and the altitude is significantly polynomial model. Beside that, the precipitable water tends to decrease along with the increase of the altitude at 0-2000 m above the sea level. The precipitable water in West J a v a is higher t h a n in East Java, both in dry season and in rainy season. This condition can explain why the climate in West Java more wet than in East Java. We hope this research can be useful for spatial weather information in large area and in real time. ABSTRAK Penelitian mengenai pemanfaatan data satelit untuk precipitable water vapor {Air Mampu Curah) di Pulau Jawa telah dilakukan. Data satelit yang digunakan adalah Terra/Aqua dengan sensor MODIS {Moderate Resolution Imaging Spektroradiometet). Air Mampu Curah (AMQ sebagai salah satu parameter atmosferik dinamis dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat kekeringan atau kebasahan suatu daerah; diturunkan dari MODIS dengan menggunakan panjang gelombang 0.865, 1.24, 0.905, 0.936dan0.940 urn. Verifikasi AMC MODIS dilakukan dengan menggunakan data radiosonde di 2 stasiun yang ada di Pulau Jawa (Cengkareng dan Juanda-Surabaya). Hasil verifikasi AMC MODIS periode Agustus - Oktober 2004 mempunyai nilai simpangan baku sebesar ± 1.6 cm dan korelasi sebesar 0.88 terhadap AMC radiosonde. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara AMC terhadap ketinggian sangat baik dipresentasikan dalam bentuk model polynomial dengan korelasi lebih dari 0.9, baik di Jawa Barat maupun di JawaTimur, dimana AMC cenderung menurun dengan semakin tingginya topografi wilayah (0-2000 m dpi). Selain itu ternyata AMC di Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan dengan AMC di Jawa Timur baik pada musim kering maupun musim hujan. Hal ini dapat menjelaskan kondisi iklim Jawa Barat yang memang lebih basah dibandingkan Jawa Timur. Informasi AMC dari data MODIS ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi spasial mengenai kondisi tingkat kering dan basahnya suatu daerah secara real time dalam cakupan wilayah yang luas. Kata kunci: Air Mampu Curah, MODIS, Radiosonde, Verifikasi
64
'EstimasiAir Mampu Curah fflenggunaiyn
1. PENDAHULUAN Pemantauan kondisi cuaca dalam sekala luas dan real time dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan j a u h , salah satunya dengan satelit Terra/Aqua yang membawa sensor MODIS {Moderate Resolution Imaging Spektroradiometer). Satelit ini m a m p u meliput areal dengan luasan 2330 km. Selain itu satelit ini dilengkapi dengan 36 kanal dan mempunyai tiga jenis resolusi spasial, yaitu 2 5 0 m, 500 m, dan 1000 m. Satelit ini mempunyai kemampuan meliput tempat yang sama setiap 1-2 hari. Pemanfaatan data MODIS u n t u k pemantauan kondisi c u a c a di Indonesia belum banyak dilakukan. Salah satu kondisi atmosfer yang dapat d i t u r u n k a n dari data MODIS adalah precipitable water (Kaufman and Gao, 1992; Lim, et At, 2002; Gao a n d Kaufman, 2003; Gao, et AX 2003; Sobrino, et At, 2003;). Melalui pendekatan nilai precipitable water (Air Mampu Curah) di atmosfer dapat diketahui kondisi kelembaban udara d a n potensi terjadinya c u r a h hujan di s u a t u daerah. Berdasarkan u r a i a n di atas, maka penelitian ini dilakukan u n t u k mengkaji nilai Air Mampu Curah (AMC) dari data MODIS sebagai salah satu informasi c u a c a atmosfer di wilayah Pulau Jawa. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi awal kondisi c u a c a secara spasial u n t u k kemudian dianalisis d a n dikembangkan lebih lanjut g u n a m e m u d a h k a n perencanaan, pelaksanaan, d a n pendugaan hasil pada berbagai kegiatan, khususnya di Pulau J a w a . 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Uap air dan Kelembaban Udara Uap air m e r u p a k a n perwujudan air dalam bentuk gas. Jumlah kandungan uap air di u d a r a dapat disebut dengan kelembaban udara yang dapat diekspresikan dalam j u m l a h / k a n d u n g a n aktualnya di atmosfer, a t a u konsentrasinya di
u d a r a , serta dari rasio j u m l a h aktual u a p air t e r h a d a p j u m l a h u a p air yang dapat membuat jenuh u d a r a (kelembaban nisbi). Kandungan u a p air di atmosfer rata-rata h a n y a k u r a n g dari 2 % dari total volume atmosfer. Di daerah lintang menengah k a n d u n g a n u a p air bervariasi a n t a r a 0 - 3 %, dan dapat mencapai 4 % di daerah tropika b a s a h . Sedangkan kerapatan u a p air yang m e r u p a k a n j u m l a h m a s s a u a p air yang dikandung oleh u d a r a dapat diekspresikan dalam s a t u a n g r a m / m 3 . J i k a s e m u a u a p air di u d a r a pada s u a t u waktu terkondensasi dan j a t u h sebagai hujan, m a k a u a p air tersebut dapat dinyatakan sebagai precipitable water (Air Mampu Curah). J u m l a h u a p air yang terkandung p a d a massa udara merupakan indikator potensi atmosfer u n t u k terjadinya presipitasi (American Geophysical Union, 2002; Handoko, 1995). Keberadaan u a p air di atmosfer dapat dijelaskan dari siklus hidrologi yang terdiri dari proses evaporasi dari p e r m u k a a n , proses kondensasi menjadi bentuk awan, kemudian j a t u h ke b u m i melalui presipitasi. J u m l a h u a p air di atmosfer dipengaruhi oleh variasi s u h u dari ketinggian, d a n kondisi geografl setempat. Dengan kata lain k a n d u n g a n u a p air di atmosfer dapat dilihat dari penyebarannya secara vertikal atau horizontal. Sebaran vertikal dari s u h u u d a r a dan u a p air di atmosfer dapat dijelaskan p a d a Gambar 2 - 1 . Uap air akan m e n u r u n terhadap ketinggian atmosfer, dimana s u h u u d a r a menjadi rendah. Semakin tinggi s u h u udara, m a k a kapasitas u n t u k m e n a m p u n g u a p air semakin besar. Sebaliknya, ketika u d a r a bertambah dingin, kapasitas u n t u k m e n a m p u n g u a p air semakin rendah, gumpalan awan semakin besar, dan kemudian akan j a t u h sebagai hujan (American Geophysical Union, 2002; Asdak, 2002; Handoko, 1995). Sebagian besar dari total u a p air di atmosfer terdapat di antara permukaan laut hingga 1.5 km di a t a s p e r m u k a a n 65
JurnatQenginieraanJauhVoL 3 No. 1 Juni 2006:64-76
laut, kemudian sebanyak 5 - 6 % u a p air terdapat di a t a s ketinggian 5 km dari permukaan laut, 1 % di stratosfer sekitar 12 km di atas permukaan laut (American Geophysical Union, 2002).
an lapisan t e k a n a n u d a r a , yaitu 1000, 925, 850, 700, 600, 500, 400, 300, 200, 150, 100, 50, 40, 30, 20, dan 10 m b (Prasasti, 2004). Pada penelitian ini digunakan data radiosonde di Pulau Jawa, yaitu stasiun Cengkareng-Jakarta (6.117° LS, 106.65° BT) d a n s t a s i u n Juanda-Surabaya (7.367° LS, 112.77° BT). U n s u r cuaca yang d i g u n a k a n dalam perhitungan AMC dari radiosonde adalah s u h u u d a r a , kelembaban u d a r a , d a n t e k a n a n u d a r a melalui p e r s a m a a n Butler (1998) sebagai berikut: h = mwPo H / p k T o dengan
(2-1)
h adalah j u m l a h AMC (mm) m w adalah massa u a p air (mw = 18.016) Po adalah tekanan u a p air di p e r m u k a a n (mb) H adalah ketinggian u a p air ( diasumsikan 1.5 km) adalah massa jenis air (p= 1000 kg/m 3 ), k adalah konstanta Boltzmann (5.67 10-8 w / m 2 ) To adalah s u h u p e r m u k a a n (K) p
Gambar 2 - l : S k e m a lapisan troposfer, stratosfer, d a n tropopause. Penyebaran s u h u ( C) d a n u a p air (gr/kg) secara vertikal di atmosfer. Skala nilai u a p air adalah logaritmik, sedangkan skala vertikal merupakan nilai tekanan atmosfer (milibar) d a n ketinggian atmosfer (km), (American Geophysical Union, 2002). 2 . 2 Penurunan Nilai Air Mampu Curah dari Radiosonde Radiosonde merupakan seperangkat alat elektronik yang terdiri dari sensor-sensor pengukur t e k a n a n u d a r a (barometer arenoid), s u h u (termistor) dan kelembaban (hygrometer) yang diterbangkan oleh balon seberat 500 gram dengan kecepatan 0.5 m / s . Unsur cuaca yang dapat diketahui dari radiosonde adalah tekanan udara, s u h u udara, kelembaban udara, arah angin, kecepatan angin, d a n s u h u titik embun. Data-data tersebut diturunkan berdasarkan ketinggi66
p e r s a m a a n (2-1) dapat disederhanakan menjadi p e r s a m a a n (2-2) berikut: h « P o / 3 To
(2-2)
T e k a n a n u a p air di p e r m u k a a n dapat d i t u r u n k a n dari nilai kelembaban nisbi di p e r m u k a a n dengan Persamaan (2-3) (Liebe, 1989 dalam Butler, 1998). Po = 2.409 10 1 2 RH 04 e-22.64e
^-3)
dengan RH adalah kelembaban nisbi (%) 0 adalah invers suhu (0= 300/To, To dalam K) 2 . 3 Penurunan Nilai Air Mampu Curah dari Data MODIS Metoda penginderaan jauh pada prinsipnya didasarkan pada pendeteksian absorbsi radiasi matahari oleh u a p air. Radiasi matahari yang dimaksud adalah radiasi matahari yang direflektansikan setelah ditransmisikan ke permukaan bumi dan dipantulkan kembali ke atmosfer. Total jumlah uap air vertikal dari data satelit dapat diturunkan dari
'Estimasijlir Mampu Curah Menggunakan (Data MODIS (<Parwati Setiawan et.aC.)
Tabel2-1: POSISI DAN RENTANG KANAL (BANDWIDHT) DARI KANAL IR MODIS YANG DIGUNAKAN DALAM MENGUNGKAP UAP AIR Kanal MODIS
Posisi (|um)
Bandwidht (jum)
2 5 17 18 19
0.865 1.240 0.905 0.936 0.940
0.040 0.020 0.030 0.010 0.050
Sifat Window (non absorbsi) Window (non absorbsi) absorbsi absorbsi absorbsi
nilai rasio a n t a r a spektral radiasi matahari yang direflektansikan dan diabsorsi oleh u a p air (kanal absorbsi) terhadap spektral radiasi yang direfelektansikan d a n tidak diabsorspsi oleh uap air (kanal non-absorbsi). Radiasi matahari a n t a r a 0.86 d a n 1.24 pm p a d a perlintasan m a t a h a r i - p e r m u k a a n bumisensor {sun-surface-sensor) ditentukan oleh absorbsi u a p air atmosfer, pemencaran aerosol atmosferik d a n p a n t u l a n permukaan. Pemencaran radiasi akibat aerosol p a d a wilayah 1 pm dapat diabaikan dan konsentrasi aerosol diasumsikan kecil sehingga tidak diperlukan dalam m e n u r u n k a n j u m l a h kolom u a p air (Kaufman and Gao, 1992; Gao and Kaufman, 2003).
Tabs (0.94|um) * p*(0.940|um)/ p*(0.865|um) (2-4) dengan Tabs adalah transmitans pada kanal absorbsi p* adalah reflektansi terukur pada sensor
MODIS kanal 2, 5, 17, 18 d a n 19 dengan tengah panjang gelombang 0.865, 1.24, 0.905, 0.936 dan 0.940 \im digunakan dalam mengungkap j u m l a h kandungan u a p air (Tabel 2-1). Kanal 0.865 |jm dan 1.24 |um merupakan kanal yang tidak diserap oleh u a p air, sedangkan kanal 0.905 |um, 0.935 pm, d a n 0.940 |um merupakan kanal yang diserap oleh u a p air. Di a n t a r a kanal-kanal absorbsi, kanal 18 u m u m n y a k u a t diserap u a p air, sehingga lebih peka jika diaplikasikan di daerah yang kering. Sedangkan k a n a l 17 lebih lemah diserap uap air, sehingga lebih peka jika diaplikasikan di daerah b a s a h (Kaufman and Gao, 1992).
Sebagian besar permukaan lahanan ditutupi oleh tanah, bebatuan, vegetasi, salju a t a u es. Reflektansi dari p e r m u k a a n d a r a t a n k e b a n y a k a n tidak konstan. Berdasarkan penelitian Condit (1970) dalam Kaufman and Gao (1992) dapat diketahui bahwa p e r m u k a a n yang bebatuan, t a n a h - t a n a h yang kaya ion besi dan tanah yang mengandung mineral mempunyai nilai reflektansi yang semakin linear pada spektral radiasi a n t a r a 0.8 dan 1.25 |um. Sehingga, p e r s a m a a n (2-4) u m u m n y a tidak berlaku d a n digunakan nilai perbandingan 3 kanal, dengan kombinasi 1 kanal absorbsi d a n 2 kanal non-absorbsi. Adapun nilai transmitans menggunakan perbandingan 3 kanal dapat dinyatakan sebagai berikut:
Transmitans u a p air atmosfer yang tepat dapat d i t u r u n k a n dengan
melakukan perbandingan reflektans p e r m u k a a n a n t a r a kanal absorbsi d a n kanal non-absorbsi, dengan mengabaikan pengaruh variasi reflektansi p e r m u k a a n . J i k a reflektansi p e r m u k a a n tidak beru b a h (konstan) dengan b e r u b a h n y a panjang gelombang, m a k a perbandingan 2-kanal sudah dapat menurunkan transmitans u a p air. Sebagai contoh, t r a n s m i t a n s p a d a kanal 19 (0.94 |iim) dapat diperoleh dengan menggunakan p e r s a m a a n berikut.
Tabs (Ao) = p*(Xo)/Cip*(A.i)+ C2p*(M Ci = A,2~A^) / A.2-A-1, d a n C2
=
(2-5)
X0-A1 / A,2-A,i
67
Jurna(
dengan Tabs adalah t r a n s m i t a n s p a d a kanal absorbsi p* adalah reflektansi terukur pada sensor Xo adalah nilai tengah panjang gelombang kanal absorbsi (kanal 17, 18, 19) A,i,A,2 adalah nilai tengah panjang gelombang kanal non-absorbsi (kanal 2, 5). Teknik perbandingan 3 kanal dapat digunakan u n t u k m e n u r u n k a n j u m l a h k a n d u n g a n u a p air di atmosfer p a d a d a e r a h p e r m u k a a n l a h a n a n yang bebas awan, sedangkan teknik perbandingan 2 kanal digunakan p a d a wilayah sunglint di laut, serta di awan. Wilayah laut yang bebas dari awan d a n sunglint menyerap k u a t spektral radiasi p a d a panjang gelombang yang lebih dari 0.8 pm, terlebih lagi di laut dalam dimana reflektansi spektral Infra Merah Dekat sangat rendah sehingga dapat diabaikan. Oleh k a r e n a n y a p e n u r u n a n j u m l a h k a n d u n g a n u a p air di laut tidak dapat dilakukan. Pada pendugaan nilai aktual u a p air di awan yang berinteraksi dengan radiasi matahari, perlu diketahui ketinggian p u n c a k awan. P e n u r u n a n ketinggian awan dengan menggunakan data remote sensing passive sangat sulit dilakukan, sehingga u n t u k m e n u r u n k a n j u m l a h k a n d u n g a n u a p air di awan digunakan a s u m s i ketinggian awan berada p a d a ketinggian p e r m u k a a n laut (Gao and Kaufman, 2003). Kaufman d a n Gao dalam penelitiannya t a h u n 1992 d a n 2003 mengenai p e n u r u n a n u a p air dari satelit, juga menganalisis korelasi a n t a r a nilai t r a n s mitans u a p air dengan j u m l a h AMC. Korelasi tinggi h u b u n g a n a n t a r a t r a n s mitans u a p air pada kanal 19 (0.940 pm) dengan Air Mampu C u r a h didapatkan dalam bentuk eksponensial (Gao and Kaufman, 2003). Adapun grafik hubungan antara transmitans uap air yang diperoleh dari metode perbandingan 2 kanal, dengan AMC dapat dilihat p a d a Gambar 2-2 berikut.
68
0
5 10 PRECIPITABLE WATER (CM)
15
Gambar 2-2: Simulasi nilai rasio reflekt a n s dari 2 kanal (kanal absorbsi/kanal non-absorbsi) sebagai fungsi dari j u m l a h Air Mampu Curah iprecipitoble water) p a d a jalur matahari-permukaan sensor (Gao and Kaufman, 2003) Dalam kondisi atmosferik yang sama, serapan spektral radiasi oleh u a p air pada 3 kanal absorbsi masing-masing mempunyai sensivitas yang berbedabeda. Spektral radiasi p a d a kanal 18 umumnya kuat diserap u a p air, sehingga lebih peka di daerah yang kering. Sedangkan kanal 17 lebih lemah diserap u a p air, sehingga lebih peka di daerah basah. Rata-rata j u m l a h AMC p a d a s u a t u kondisi atmosfer dapat d i t u r u n k a n berdasarkan persamaan (2-6) berikut (Kaufman a n d Gao, 1992; Gao and Kaufman, 2003; Sobrino and Li, 2004): W = fi Wi + f2 W2 + f3 W 3
(2-6)
dengan Wi, W 2 , d a n W3 =AMC yang dari kanal \xm), kanal |um), d a n (0.940 jim).
diturunkan 17 (0.905 18 (0.936 kanal 19
<Estimasijlir!Mampu Curah Menggunakan (Data fMCXDIS
fi, f2, d a n f3
=merupakan fungsi pembobot masing-masing kanal berdasarkan sensivitas transmitans (Ti) di setiap kanal (i) terhadap AMC (W), yang dapat digambarkan I dalam p e r s a m a a n (2-7)
fi=Tii/(rn+Ti2+TiJ) ;Tii=|ATi/Aw'|
(2-7)
2.4 Tahapan Proses Pengolahan Data Adapun tahapan proses pengolahan data pada penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir Gambar 2-3 sebagai berikut: 2.4.1 Pengolahan awal data MODIS Koreksi radiometrik yang dilakukan pada data MODIS adalah koreksi duplikasi baris, atau biasa disebut dengan Bowtie Correction. Koreksi ini dilakukan u n t u k menghilangkan duplikasi d a t a p a d a baris-baris tertentu, terutama yang j a u h dari nadir. Koreksi dilakukan dengan menggunakan Modul MODIS (MODIS Tools) pada software ENVI 3.5 terhadap
(Parwati Setiawan et.aQ
data resolusi 250 m (kanal 1 dan 2), resolusi 500 m, dan resolusi 1000 m (kanal 17, 18, 19). Koreksi geometrik d i l a k u k a n dengan mengekstrak titik kontrol GCP dari data MODIS LIB m e n g g u n a k a n Modul MODIS p a d a software ENVI 3.5. Karena u n t u k perhitungan Air Mampu Curah menggunakan 2 resolusi spasial yang berbeda (250 m d a n 1000 m), m a k a digunakan GCP {Ground Control Point) dari data 1000 m sebagai acuan. Transformasi koordinat (Warping) dilakukan dengan menggunakan metode Triangulation dan resampling data dengan m e t o d e t e t a n g g a t e r d e k a t (Nearest Neighbour). 2.4.2 Pengolahan lanjut data MODIS a. Merubah nilai kanal menjadi reflektansi T a h a p a n pertama yang dilakukan sebelum mengkalkulasi d a t a dengan algoritma-algoritma u n t u k m e n u r u n k a n k a n d u n g a n u a p air di atmosfer d a n nilai indeks vegetasi adalah m e r u b a h nilai data di setiap kanal menjadi nilai reflek-
Gambar 2-3: Diagram alir pengolahan data 69
JurnaC
tansi. Metode yang dilakukan u n t u k memb u a t reflektansi terkoreksi dari data digital 16 bit adalah dengan metode koreksi atmosfer (Simplified Atmospheric Correction) yang dalam prosesnya memerlukan informasi jarak matahari-bumi, posisi s u d u t matahari (zenith) dan basis data DEM (Digital Elevation Model) dengan resolusi kasar sebesar 5' (8,3333 km). Koefisien-koefisien Gain (G) dan Intercept (I) setiap kanal u n t u k transformasi data menjadi radians a t a u reflektansi dapat dilihat pada atribut data MODIS LIB format HDF d e n g a n m e n g g u n a k a n software ENVI. Formula u n t u k menghitung data 16 bit integer dari Scaled Integer (SI) yang mewakili nilai DN (Digital Number) di setiap kanal menjadi reflektansi (p) adalah sebagai berikut: p = G*SI + I
(2-8)
b. Memisahkan darat, laut, d a n awan Pemisahan darat d a n laut didasark a n p a d a reaksi laut yang menyerap tinggi spektrum radiasi p a d a gelombang Infra Merah Dekat (Gao d a n Kaufman, 2003). Sedangkan pemisahan awan dilakukan berdasarkan metoda Saunders d a n Kriebel (1988) dalam Sobrino, et al. (2003) yang m e n g e m u k a k a n bahwa awan d a p a t diidentifikasi dengan b a t a s a n b a t a s a n seperti berikut: T 32 < 295 K; pi > 0.31; 0.95 < p 2 /pi<1.16; |T3i - 3 2 | < 1.2 (2-9) (T32 : Brightness Temperature kanal 32; pi = reflektansi kanal 1; p 2 = reflektansi kanal 2). Nilai b a t a s tersebut bisa beru b a h - u b a h u n t u k setiap akuisisi data yang berlainan, sehingga h a r u s dicari nilai yang paling sesuai u n t u k deteksi awan setiap tanggal akuisisi. c. Menghitung Air Mampu Curah (AMC) Perhitungan Air Mampu C u r a h dibagi m e n u r u t p e n g g u n a a n metode rasio 3 kanal d a n 2 kanal. Metode rasio 3 kanal digunakan u n t u k menghitung Air Mampu C u r a h di d a r a t a n , sedangkan di awan d a n laut yang ber-sun. glint m e n g g u n a k a n metode rasio 2 kanal. Adapun formula-formula yang digunakan 70
u n t u k memperoleh Air Mampu C u r a h adalah (Gao dan Kaufman, 2003): Ti =pi/p4; T2 = P2/P4; T 3 = p 3 /p4 Ti T2 T3 Wi W2
= pi/(0.8933 p 4 +0.1066p 5 ) ; = p 2 /(0.8106 p 4 + 0 . 1 8 9 3 p 5 ); - p a / (0.8p4+0.2p5) (2-11) =14468 e-i°-754Ti . Wa = 26.306 e 5 867T2 ; = 26.306 e-5-867T2 (2-12)
W = fi Wi + f2 W2 + f3 W3 f _
(2-10)
Pi (P1 + P 2 + P 3 ) '
f
_ X
Pi (P1+P2+P3)'
(2-13) f _ '
Pi (P1+P2+P3)'
dengan W
a d a l a h Tinggi kolom Air Mampu Curah (cm) Wi, W 2 , W 3 adalah Air Mampu C u r a h kanal 17(0.905 pm), k a n a l 18 (0.936|am), dan kanal 19 (0.940 \xra) fi, f2, f 3 a d a l a h fungsi pembobot masing-masing kanal W* adalah Air Mampu Curah dalam optical path (matahariper-mukaan-sensor) Ti (1,2, 3) adalah Transmitans kanal 17 (0.940 (am), 18 (0.936 \xm), d a n 19 (0.940 \im) P(i, 2, 3,4, 5) adalah reflektans kanal 17 (0.940 urn), 18 (0.936 urn), 19 (0.940 |im), 2 (0.865-urn),dan 5 (1.240 (im). 2.4.3 Verifikasi Metode yang digunakan u n t u k verifikasi hasil pengolahan AMC dari data MODIS adalah dengan menggunakan metode regresi dan korelasi terhadap hasil estimasi AMC dari data MODIS dengan acuan hasil perhitungan AMC dari data radiosonde. Selain itu juga dilakukan analisis AMC pada berbagai topografi wilayah berdasarkan data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dengan resolusi spasial 90 m di wilayah Pulau Jawa. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Verifikasi Air Mampu Curah (AMC) dari Data MODIS dengan Data Radiosonde Sesuai dengan penyebaran u a p air secara vertikal yang lebih banyak
'Estimasijiir Mampu Curah Mengguna^an (Data 9A.ODIS
berada pada ketinggian antara permukaan laut hingga 1.5 km di atas p e r m u k a a n laut, a t a u p a d a t e k a n a n atmosfer a n t a r a 1013 mb-850 mb (American Geophysical Union, 2000; Butler, 1998), maka analisis AMC dari data radiosonde dilakukan pada ketinggian tersebut. Sehingga dalam analisis verifikasi nilai AMC dari MODIS terhadap AMC dari radiosonde digunakan asumsi bahwa hasil estimasi AMC dari MODIS diperoleh pada ketinggian vertikal antara 1013 mb - 850 mb. Hasil analisis verifikasi AMC di Pulau J a w a periode Agustus - Oktober 2004 menyebutkan bahwa AMC yang diestimasi dari data MODIS rata-rata mempunyai nilai simpangan baku sebesar ± 1 . 6 cm terhadap AMC dari radiosonde. Gambar 3-1 m e n u n j u k k a n h u b u n g a n linier a n t a r a AMC dari MODIS (x) terhadap AMC dari radiosonde (y) dengan faktor koreksi sebesar 0.9943. Meskipun korelasi antara AMC dari data MODIS terhadap AMC dari radiosonde cukup tinggi, yaitu sebesar 88 %, namun hanya sekitar 78 % dari keragaman AMC MODIS yang dapat dipresentasikan oleh model persamaan tersebut u n t u k mendekati nilai AMC sebenarnya.
Gambar 3-1: Plot nilai AMC (cm) dari d a t a radiosonde (y) di Cengkareng dan J u a n d a terhadap AMC (cm) dari MODIS (x) p a d a ketinggian 1013 - 850 m b (1.5 km di atas permukaan laut) periode bulan Agustus-Oktober 2004
(<Parwati Setiawan et.aC)
3.2 Pengaruh Topografi Wilayah terhadap Air Mampu Curah Daerah analisis dibagi menjadi 2 wilayah, yaitu wilayah J a w a Barat dan J a w a Timur. Pembagian wilayah ini didasarkan p a d a kerapatan jaringan data stasiun klimatologi, sehingga dapat m e m u d a h k a n dalam melakukan analisis verifikasi. Adapun lingkup area yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 3-2 berikut. Berdasarkan analisis AMC dari data MODIS p a d a berbagai topografi wilayah di Pulau J a w a dapat diketahui bahwa secara u m u m AMC akan menurun dengan semakin tingginya topografi wilayah. Hal ini berkaitan dengan semakin rendahnya suhu udara terhadap naiknya ketinggian, dimana p a d a s u h u u d a r a yang rendah m a k a kapasitas u d a r a u n t u k m e n a m p u n g u a p air lebih sedikit dibandingkan dengan u d a r a yang bers u h u tinggi. Hasil analisis ini sesuai dengan teori penyebaran u a p air secara vertikal yang dikemukakan oleh American Geophysical Union (2000). Sementara itu, analisis AMC dari data MODIS dilakukan juga berdasarkan adanya perbedaan kondisi iklim yang signiflkan a n t a r a J a w a Barat yang lebih b a s a h dengan J a w a Timur yang lebih kering. Hasil analisis menunjukkan bahwa AMC di J a w a Barat lebih tinggi dibandingkan dengan AMC di J a w a Timur (Gambar 3-3), baik pada musim kering (Agustus-Oktober 2005) m a u p u n m u s i m hujan (Januari - Februari 2005). Pada Gambar 3-3 dapat dijelaskan bahwa pada musim kering, distribusi AMC di J a w a Barat berkisar a n t a r a 2.2 - 11.9 cm sedangkan J a w a Timur 2.3 - 9.6 cm. Sedangkan pada musim hujan, distribusi AMC di J a w a Barat 6.9 - 12.6 cm d a n Jawa Timur 6.0-11.3. Terlebih berdasarkan hasil pengolahan data s u h u ratarata dari stasiun pengamat iklim selama Periode 1994-2000, kondisi s u h u u d a r a rata-rata di J a w a Barat lebih rendah (24.7°C) dibanding J a w a Timur (25.7°C). Kondisi demikian menyebabkan daerah J a w a Barat lebih b a s a h dibanding J a w a Timur. 71
JurnaCPenginderaanJauti'Vot 3 No. 1 Juni 2006:64-76
72
"EstimasiJLirMampu Curah Menggunafcan 1>ata MODIS
((Parwati Setiawan et.aC.)
Gambar 3-3:Perbandingan AMC wilayah J a w a Barat d a n J a w a Timur p a d a ketinggian 0 - 2000 m dpi periode bulan Agustus - Oktober 2004 dan J a n u a r i Februari 2005
Gambar 3-4: Contoh sebaran AMC (cm) dari data MODIS tanggal 4 Oktober 2004 di wilayah Jawa Barat b e r d a s a r k a n topografi wilayah
Gambar 3-5: Contoh Sebaran AMC (cm) dari data MODIS tanggal 4 Oktober 2004 di wilayah J a w a Timur berdasarkan topografi wilayah. 73
lJurnaCcPengincCeraanJaufi'VoC. 3 No. 1 Juni 2006:64-76
Gambar 3-6: Variasi AMC bulanan (Agustus & Oktober) di daerah J a w a Barat berdasarkan ketinggian wilayah Adapun sebaran AMC secara horizontal di wilayah J a w a Timur dan J a w a Barat dalam b e n t u k spasial dapat dilihat pada Gambar 3-4 dan Gambar 3-5. Terlihat p a d a ketinggian yang sama, yaitu 0 - 200 m dpi, di wilayah Jawa Barat memiliki AMC yang berkisar a n t a r a 814 cm (Gambar 3-4), sedangkan AMC di wilayah J a w a Timur berkisar a n t a r a 5 9 cm (Gambar 3-5). Hubungan a n t a r a AMC terhadap ketinggian sangat baik dipresentasikan dalam b e n t u k model polynomial dengan korelasi lebih dari 0.9, baik di J a w a Barat m a u p u n di Jawa Timur. Berdasarkan variasi waktu periode bulan AgustusOktober 2004, hasil ekstraksi AMC di daerah contoh studi J a w a Barat p a d a Gambar 3-6 m e n u n j u k k a n perbedaan a n t a r a bulan Agustus d a n Oktober, terutama p a d a ketinggian 0-500 m dpi, kemudian cenderung s a m a nilainya dengan semakin tingginya topografi wilayah. Hal ini salah satunya disebabkan oleh banyaknya variasi jenis penggunaan lahan pada ketinggian 0 - 500 m di daerah J a w a Barat. Sementara itu di wilayah J a w a Timur (Gambar 3-7) terlihat bahwa rata-rata variasi nilai AMC selama bulan 74
Gambar 3-7: Variasi AMC bulanan (Agustus 8& Oktober) di daerah J a w a Timur berdasarkan ketinggian wilayah Agustus dan Oktober relatif sama. Variasi kelembaban di daerah tropika b a s a h seperti Indonesia, baik rata-rata harian m a u p u n b u l a n a n relatif tetap sepanjang t a h u n , u m u m n y a lebih dari 60 %, berbeda dengan variasi kelembaban di daerah lintang tinggi yang relatif lebih besar karena variasi s u h u hariannya yang juga besar (Handoko, 1995). 3.4 Aplikasi Informasi AMC MODIS di Lahan Pertanian Pada Gambar 3-8 disajikan contoh informasi spasial dari aplikasi MODIS di daerah Jawa Timur. Dengan menambahkan informasi areal pertanian, misalnya areal sawah yang diperoleh dari hasil analisis penggunaan lahan dari data satelit dengan resolusi spasial yang lebih tinggi dari MODIS, seperti Landsat, m a k a dapat diketahui kondisi AMC pada areal sawah. Contoh lain yang lebih aplikatif jika hasil estimasi AMC dit a m b a h k a n dengan hasil interpretasi fase pertumbuhan padi sawah (Dirgahayu, 2004), sehingga dapat segera dilakukan upaya-upaya penyelamatan t a n a m a n , misalnya saja pencegahan terhadap kondisi kekeringan p a d a kondisi AMC tertentu selama beberapa periode waktu.
'EstimasiAfMampu Curah 'Mtn^unat^n
5 KESIMPULAN DAN SARAN Secara u m u m Air Mampu Curah (AMC) yang diestimasi dari data MODIS m e n g g u n a k a n kanal Infra Merah Dekat dapat digunakan u n t u k monitoring kondisi cuaca di Pulau Jawa. Penyebaran AMC dari MODIS berdasarkan ketinggian mempunyai korclasi sangat tinggi (r = 0.9), dimana AMC cenderung menurun dengan semakin ungginya topografi suatu wilayah. Nilai AMC u n t u k d a e r a h J a w a Barat lebih tinggi dari p a d a d a e r a h J a w a Timur, baik pada musim k e m a r a u m a u p u n musim hujan. Hal ini m e n u n j u k k a n bahwa daerah Jawa Barat cenderung memiliki iklim yang lebih basah dibandingkan daerah J a w a Timur. Penelitian ini akan lebih aplikatif jika diteliti lebih lanjut guna mengestimasi u n s u r cuaca seperti kelembaban nisbi d a n c u r a h hujan dari Air Mampu Curah yang dihasilkan dari MODIS, sehingga dapat diperoleh informasi cuaca spasial yang real time dalam cakupan wilayah yang luas. D AFT AR RUJUKAN Asdak, C, 2002. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai Gadjah Mada University Press. American Geophysical Union, 2002. Water vapor in the climate system. Florida Ave., N.W., Washington, DC 20009. Butler, B, 1998. Precipitable Water at KP 1993 - 1998. National Radio Astronomy Observatory. Dirgahayu, D, 2 0 0 4 . Identifikasi tingkat kehijauan tanaman padi menggunakan EV1 (Enhanced Vegetation Index) MODIS 250 m. Proceeding PIT
• -•-"« •;•'' Sctiauv : tUaC)
MAPIN ke 13 2 2 - 2 3 Desember, Jakarta. Gao, B. C. and Y.J. Kaumian, 2003. Water vapor retrievals using moderate resolution imaging spectroradiometer (MODIS) near-infrared channels. J. Geophys Research. Vol. 108, No. D 1 3 , 4389: 1 - 10. Gao, B.C.; P. Yang; G. Guo; S.K. Park; W.J. Wiscombe; and B. Chen, 2003. Measurements of water vapor and high clouds over the Tibetan Plateau with the Terra MODIS Instrument IEEE Trans. Geosci. Remote Sens. Vol. 41,No.4: 8 9 5 - 9 0 0 Handoko, 1995. Klimatologi Dusar. Pustaka Jaya. Kaufman, Y.J, a n d B.C. Gao, 1992. Remote sensing of water vapor in the near IR from EOS/MODIS. IEEE Trans. Geosci. Remote Sens. Vol. 30, No. 5: 8 7 1 - 8 8 4 . Lim, A.; C.W. Chang; S.C. Liew; and L.K. Kwoh; 2002. Computation of atmospheric water vapor map from MODIS data for cloud-free pixels. Centre for Remote Imaging, Sensor and Processing (CRISP). National Univ of Singapore. Prasasti, I, 2004. Model ekstraksi data NOAA - TOVS/NOAA - KLM -ATOVS untuk pendugaan jeluk dan peluang curah hujan uMayah. Laporan Akhir Riset Unggulan Kemandirian Kedirgantaraan (RUKK). LAPAN. Sobrino, J.A.; J . E . Kharraz; a n d Z.L. Li, 2003. Surface temperature and water vapor retrieval from MODIS data. Int. J. Remote Sens, Vol. 24, No. 24: 5161-5182.
75
! JurnaCcpenginderaan Jauh VoL 3 9fo. 1 Juni 2006:64-
Lampiran 1. Contoh citra satelit MODIS - TERRA yang telah dikroping untuk Pulau Jawa
Lampiran 2. Contoh informasi spasial Air Mampu Curah dan fase pertumbuhan padi di Lahan Sawah dari Data MODIS