ESAI-ESAI HUKUM
BAGIAN PERTAMA : PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
1
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
2
ESAI-ESAI HUKUM
REFLEKSI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DALAM BINGKAI PANCASILA1
Kita semua mengetahui bahwa tahun-tahun terakhir ini bahkan mungkin lebih dari satu dasawarsa, penghargaan kepada nilai-nilai dasar Pancasila semakin pudar, dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam lima sila pada Pancasila bahkan nyaris tidak digunakan lagi, lebih-lebih sejak bergulirnya era reformasi yang menghendaki pembaharuan di segala bidang. Hal ini tentunya sungguh sangat memprihatinkan. Kita akui bahwa telah terjadi aplikasi yang keliru terhadap pemahaman Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, khususnya pada era pemerintahan Orde Baru. Kita tidak mampu melaksanakan dengan baik esensi dari lima dasar negara tersebut dan bahkan menjurus dijadikannya Pancasila sebagai alat kekuasaan. Sehingga kita bisa mengerti apabila terjadi penolakan oleh kelompok-kelompok masyarakat terhadap Pancasila yang pada waktu yang lalu dijadikan sebagai satu-satunya asas tungal. Sementara itu, penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) di semua strata dilakukan di luar porsi kewajaran. Itulah yang kita alami dan kita ketahui selama ini. Padahal, seharusnya para penyelenggara negara tidak perlu menyalahartikan di dalam implementasi kelima dasar negara tersebut. Rumusan-rumusan indah dan bermakna telah digulirkan oleh founding fathers kita beberapa bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan, yang bersepakat untuk menjunjung Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kemanusiaan, membangun persatuan Indonesia, menerapkan sistem kehidupan bernegara atas 1
Makalah pada Seminar Nasional tentang Refleksi Negara Kesatuan Republik Indonesia Dalam Bingkai Pancasila, diselenggarakan oleh Universitas Pancasila, Jakarta, 18 Juni 2005
3
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
dasar musyawarah mufakat, dan menciptakan sebuah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalau sekarang kita belum dapat bangkit dari keterpurukan dan bahkan ikatan persatuan di antara sesama komponen bangsa makin memprihatinkan, kita harus bertanya adakah sesuatu yang salah, yang tidak pada relnya di dalam mengelola perjalanan bangsa ke depan. Oleh karena itu, marilah kita melakukan refleksi kembali terhadap pelaksanaan pandangan hidup serta ideologi bangsa. Kita akui di dalam satu sisi proses demokratisasi di Indonesia sudah sangat maju, jauh ke depan meninggalkan negara-negara lain. Keterbukaan, kebebasan menyampaikan pendapat sudah dimiliki oleh setiap warna negara, bahkan sampai-sampai masyarakat “akar rumput” pun sudah bisa berbicara dengan lantang, berdialog, dan lain sebagainya dalam menanggapi berbagai persoalan. Ini satu sisi keberhasilan. Tapi di sisi lain, banyak hal yang membuat kita prihatin. Gerakan-gerakan separatisme di beberapa daerah yang dapat mengganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia masih saja bermunculan dan belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Gerakan separatis di Papua dan di Maluku. Ini semua merupakan kendala besar di samping permasalahan bangsa yang lain. Pengertian sederhana dari refleksi di sini menurut saya adalah cermin atau pantulan. Sementara itu Saudara Abdulkadir Besar dalam bukunya “Pancasila, Refleksi Filsafati, Tansformasi Ideologi, Niscayaan Metoda Berfikir,”, mengatakan bahwa refleksi atau refleksian sebagai kata benda adalah kemampuan intelektual menusia yang tidak hanya bergerak dinamik, melainkan juga sadar mengenai gerakannya dan mampu menelusuri kembali untuk mengetahui dirinya dan efektifitas gerakannya. Dengan demikian, dikaitkan pengertian tersebut dengan tema seminar, di sini berarti kemampuan para intelektual manusia Indonesia termasuk Civitas Akademika di Republik Indonesia, tidak hanya perlu bergerak dinamis, tetapi sadar dan mampu untuk merefleksi diri bagaimanakah efektifitas mereka dan efektifitas bangsa Indonesia di dalam gerakannya untuk tetap mempertahankan NKRI di dalam bingkai dasar negara kita Pancasila. Sebagaimana kita ketahui, para bapak bangsa, pendiri Republik, selain menetapkan dasar negara Republik Indonesia Pancasila yang secara tersurat tercantum di dalam Preambule / Pembukaan UUD 1945, juga menetapkan di dalam Pasal 1 UUD 1945 tersebut mengenai bentuk dan kedaulatan negara. Pasal 1 ayat (1), Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Re4
ESAI-ESAI HUKUM
publik. Pasal 1 ayat (2), Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Walaupun sejak era reformasi UUD 1945 telah empat kali diamandemen oleh MPR, namun baik Preambule yang memuat dasar negara dan ketentuan di dalam UUD 1945 yang mengatur bentuk dan kedaulatan negara, tidak mengalami perubahan. Preambule ini tidak berubah dan tidak boleh berubah sampai kapanpun, sebab mengubah Preambule berarti membentuk negara baru, bukan negara yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Saudara Siswono Yudo Husodo belum lama ini menulis di Harian Kompas, yang mengatakan bahwa berbeda dengan beberapa negara lain, negara kebangsaan Indonesia terbentuk oleh adanya kesamaan sejarah masa lalu dan karena banyaknya bahasa, etnik, ras dan kepulauan yang mempersatukan kita semua dalam suatu negara kesatuan. Sebuah negara membutuhkan Weltanschaung atau landasan filosofi. Atas dasar Weltanschaung itulah disusun visi, misi, dan tujuan negara yang tertuang di dalam Preambule UUD 1945. Saudara Prof. Dr. Yuwono Sudarsono juga menulis dalam sambutan atas penerbitan buku saudara Abdulkadir Besar menyatakan, bahwa orang-orang Indonesia kelahiran tahun 1910-an dan 1920-an (Generasi yang memberikan dasar kebangsaan dan kenegaraan Indonesia yang kemudian mendirikan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945), berbeda dengan generasi kelahiran 1930-an, 1940-an, 1950-an, 1960-an, apalagi 1980-an ke atas tentang pandangan hidup mereka. Pandangan hidup dibentuk oleh ruang dan waktu serta “tanda-tanda zaman”, masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, sains dan teknologi yang berbeda-beda. Rekaman ingatan setiap golongan pun ditentukan oleh tiap peristiwa serta hal-hal yang dialami oleh generasi yang bersangkutan. Saya sependapat dengan beliau-beliau tersebut. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus kita harus menaruh hormat dan menghargai para bapak bangsa tersebut yang telah berjuang dengan gigih dengan darah dan pengorbanan yang tidak ternilai bagi kemerdekaan Indonesia. Tanpa adanya pengorbanan dan perjuangan beliau-beliau itu, kita belum tentu tahu kapan bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang merdeka dan bagaimana dasar dan bentuk negara Indonesia. Bentuk penghargaan yang patut kita lakukan yaitu dengan segala daya upaya tetap mempertahankan NKRI dari segala bentuk ancaman, tantangan dan hambatan yang bisa membuat NKRI menjadi terpecah-pecah. Setiap jengkal 5
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
dari NKRI wajib kita pertahankan dari segala unsur yang ingin mengambil keuntungan dari negara kita. Mempertahankan NKRI adalah harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh siapapun. Sudah hampir 60 tahun Negara Indonesia berdiri, dan sudah selama ini pula banyak peristiwa yang menimpa negara kita. Terutama di saat bencana alam menimpa wilayah Indonesia, khususnya bencana alam terbesar tsunami di Aceh dan daerah-daerah sekitarnya, membuat kita sadar ada sesuatu yang terlupakan atas bumi pertiwi kita ini. Selama ini kita disibukkan oleh berbagai masalah besar seperti masalah politik kaitannya dengan proses demokratisasi yang sedang berjalan, perekonomian nasional dengan berbagai tantangan dan kendala, masalah pudarnya nilai-nilai persatuan bangsa, serta menonjolnya kepentingan kelompok, sehingga lupa bahwa ada sesuatu yang nyaris terlupakan, yang justru menjadi obat penawar perekat persatuan bangsa. Oleh sebab itu, kita harus merefleksi ke belakang atas segala sesuatu yang menimpa bangsa dan negara kita. Saya juga setuju refleksi terhadap NKRI, haruslah refleksi terhadap pandangan hidup bangsa kita yaitu Pancasila, yang sekarang ini kurang dihargai di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui refleksi atas Pancasila diharapkan diperoleh solusi terbaik bagi pembangunan bangsa, segala bentuk ketimpangan yang menimpa bangsa akhir-akhir ini dapat kita perbaiki bersama, baik melalui jalur pendidikan yang dilakukan oleh Civitas Akademika atau jalur-jalur lainnya, seperti lembaga-lembaga negara termasuk lembaga perwakilan rakyat baik pusat maupun daerah, partai-partai politik, lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain. Setelah melakukan refleksi, kita melangkah kepada revitalisasi dan refungsionalisasi pemahaman Pancasila melalui pemahaman tentang Wawasan Nusantara yaitu cara pandang bangsa Indonesia terhadap satu kesatuan wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan ideologi, satu kesatuan politik, satu kesatuan budaya, satu kesatuan ekonomi yaitu perekonomian bagi kesejahteraan rakyat. Semua ini harus diperkuat oleh Ketahanan Nasional kita yaitu kualitas ketahanan bangsa atas segala ancaman, tantangan dan hambatan, baik oleh perangkat pertahanan negara maupun pertahanan rakyat semesta. Kalau kita melihat ke belakang, istilah Pancasila berasal dari zaman Majapahit, kata pancasila sendiri berasal dari bahasa Sansekerta. Ketika itu Mpu Prapanca menulis buku Negara Kertagama, yang mana Pancasila diartikan sebagai lima aturan tingkah laku yang harus ditaati. Menjelang Proklamasi 6
ESAI-ESAI HUKUM
Kemerdekaan Indonesia, oleh para bapak bangsa, Pancasila mulai digali dari budaya masyarakat bangsa. Nilai-nilai Pancasila yang semula merupakan filsafat hidup bangsa itu, kemudian diangkat menjadi filsafat dasar (ideologi) negara serta dijadikan sumber hukum bagi seluruh peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia. Unsur yang terdapat dalam Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Tata Pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan sosial) telah tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat di seluruh pelosok kepulauan Nusantara, namun belum dirumuskan secara tertata rapi dan tertulis. Bahkan dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular, digambarkan sikap kerukunan hidup umat beragama yang ditata melalui konsep Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, yang artinya “walau berbeda-beda satu jua adanya, sebab tidak ada agama yang tujuannya berbeda”. Pengembangan tentang makna Pancasila pasca kemerdekaan dilakukan oleh Muhamand Yamin, Prof Dr Mr Soepomo dan Ir Soekarno. Mereka inilah dapat dianggap sebagai pelopor untuk mengembangkan nilai Pancasila sebagai dasar negara kita. Misalnya Muhamad Yamin dalam melakukan upaya menggali dan mengembangkan makna Pancasila, menyampaikan pidatonya pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUBPKI) pada tanggal 29 Mei 1945, yang mengajukan adanya lima asas dasar bagi negara Indonesia Merdeka, yaitu 1) peri Kebangsaan, 2) peri Kemanusiaan, 3) peri Ketuhanan, 4) peri Kerakyatan, dan 5) peri Kesejahteraan Rakyat. Setelah Yamin berpidato, pidato tersebut disempurnakan dalam naskah tertulis mengenai Rancangan UUD Republik Indonesia, yang di dalam teks Pembukaannya, tercantum lima dasar negara yaitu 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kebangsaan Persatuan Indonesia, 3) Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Muhamad Yaminlah yang diminta Soekarno untuk melakukan perbaikan atas naskah Pembukaan yang diusulkan BPUPKI. Upaya untuk menggali Pancasila juga dilakukan oleh Prof Dr Mr Soepomo, dalam pidatonya 31 Mei 1945, tidak secara tegas merumuskan asas-asas dasar negara dalam butir-butir seperti yang dilakukan Muhamad Yamin, namun asasasas dasar negara itu tersirat dalam rangkaian kalimat dalam pidatonya, seperti 1) paham negara bersatu, 2) hubungan negara dan agama, 3) hubungan nega7
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
ra dengan perekonomian, dan 4) kepala negara dan badan permusyawaratan rakyat. Pada akhir pidatonya Soepomo menekankan untuk mendirikan Negara Indonesia merdeka atas dasar pengertian negara sebagai persatuan bangsa Indonesia yang tersusun atas sistem hukum yang bersifat integralistik. Menyambung pidato pendahulunya, maka pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan agar lima dasar falsafah negara negara itu sebagai Pancasila. Dasar pemikiran Soekarno menamakan Pancasila selain didasarkan pada kerangka berpikir historis materialisme, penamaan Pancasila sebagai dasar negara sebagai jawaban terhadap pertanyaan Ketua BPUPKI Dr Radjiman Widyodiningrat, atas dasar apa Indonesia akan kita dirikan? Jadi lengkaplah fragmentasi Pancasila yang semula disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular dikembangkan oleh para pendahulu kita seperti Ir Soekarno, Muhamad Yamin dan Prof Dr Mr Soepomo. Tanpa para pendahulu kita ini mungkin saja saat ini kita belum memiliki falsafah negara. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia, tentu saja bisa membuat negara lain tertarik untuk melirik Indonesia sebagai suatu komoditi yang patut dijual. Sudah banyak literatur dan para peneliti asing atau peneliti Indonesia yang menegaskan tentang kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia. Bahkan tidak sedikit orang yang menamai Indonesia sebagai the hidden black gold mine, sebab banyak kekayaan sumber daya alam terkandung di bumi Indonesia. Sebagai suatu negara, tentu negara tersebut harus dikembangkan, minimal negara tersebut harus memberikan kemakmuran kepada penduduk dan warga negara Indonesia yang hidup di Indonesia. Memberi kemakmuran adalah tugas kita bersama ini, hal ini sesuai dengan tujuan bernegara kita yang tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum. Upaya untuk mensejahterakan masyarakat tidak serta merta menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama. Oleh sebab itu salah satu bentuk euforia reformasi yang didengungkan pada tahun 1998, yaitu memberikan otonomisasi kepada daerah di Indonesia. Sehingga lahirlah UU di bidang Otonomi seperti UU tentang Pemerintahan Daerah dan UU tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dampak dari otonomisasi tersebut, maka sejak tahun 1999 berkembanglah sejumlah daerah baru, seperti bertambahnya provinsi menjadi 33 Provinsi dan 8
ESAI-ESAI HUKUM
saat ini hampir 420 Kabupaten/Kota. Tujuan dari pengembangan daerah tersebut menjadi daerah otonom dengan konsep desentralisasi adalah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri dengan memberikan kemakmuran bagi masyarakatnya. Kita tidak menutup mata bahwa dari otonomisasi terhadap daerah muncul ekses, antara lain ada sejumlah daerah berlomba-lomba untuk melepaskan diri dari daerah induknya. Belum lagi kekurang siapan daerah otonom baru dalam mengantisipasi desentralisasi terhadap daerah otonom baru tersebut. Hal yang perlu diingat juga dalam pembentukan daerah baru, bahwa adanya penyerahan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasi. Ekses yang perlu diperhatikan bahwa kekurang optimalan daerah dalam mengurus dan mengatur daerahnya sendiri (contoh kejadian busung lapar di sejumlah daerah), tidak berarti dengan serta merta Pemerintah Pusat dapat menarik otonomisasi tersebut. Kami rasa tindakan tersebut tidaklah tepat. Kalaupun daerah otonom kurang optimal dalam mengurus dan mengatur daerahnya sendiri, maka perlu revitalisasi dan refungsionalisasi desentralisasi melalui pengawasan terhadap pelaksanaan desentralisasi pada daerah tersebut. Dalam hal pembentukan daerah baru termasuk pemekaran daerah baru atau penggabungan daerah baru harus ditetapkan dengan UU. Tapi bukan berarti dapat dengan mudah membentuk daerah otonom baru dengan UU. Untuk itu perlu kearifan kita semua, terutama kepada penggagas daerah otonom baru, untuk tidak mudah mengusulkan pembentukan daerah baru, sebab konsekwensi dibentuknya daerah otonom baru akan berimplikasi kepada ketersediaan anggaran negara dan sumber daya manusia. Selama ini, upaya otonomisasi terhadap daerah otonom di Indonesia melalui konsep desentralisasi terus dilakukan. Kita bisa melihat banyaknya perubahan pada sejumlah daerah, termasuk kampus Universitas Pancasila ini, yang dulunya sebagai daerah pinggiran kota, dan saat ini daerah ini menjadi kota kampus (the campus city). Upaya pengembangan daerah melalui otonomisasi daerah dengan konsep desentralisasi, tetap bersandarkan pada konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita tidak menutup mata ada beberapa daerah otonom memiliki karakteristik tersendiri, karena UUD kita pun mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus (seperti 9
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Daerah Nanggroe Aceh Darusalam) atau daerah bersifat istimewa (seperti Daerah Istimewa Yogyakarta). Pengembangan daerah otonom melalui konsep desentralisasi, merupakan suatu bentuk aktualisasi, karena seperti saya sebutkan di atas bahwa Pancasila adalah hal yang bersifat abstrak dan makna Pancasila tersebut perlu dijabarkan dalam bentuk memberikan kemakmuran kepada rakyat di seluruh Indonesia melalui otonomisasi daerah melalui konsep desentralisasi. Upaya aktualisasi perlu terus kita dorong terutama kepada daerah-daerah otonom untuk mengatur dan mengurus daerah mereka sendiri. Di sisi lain aktualisasi Pancasila pada daerah otonom juga menjadi tanggung jawab kalangan perguruan tinggi, terutama dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada dharma kedua, kegiatan penelitian ilmiah dan dharma ketiga, kegiatan pengabdian masyarakat. Melalui aktualisasi yang dilakukan daerah otonom dalam mengurus daerahnya dan aktualisasi yang dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi, apabila disinergikan, maka Pancasila sebagai ideologi negara menjadi lebih bermakna, karena konsep yang ada di perguruan tinggi dapat diimplementasikan atau minimal dapat membantu daerah otonom untuk mengatur dan mengurus daerahnya dengan memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Untuk itu saya berharap melalui mimbar ini kalangan perguruan tinggi dapat mengaktualisasikan Tridharma Perguruan Tinggi untuk kepentingan daerah, sehingga makna Pancasila tidak lagi sekedar kata-kata tak bermakna.
10
ESAI-ESAI HUKUM
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENDUKUNG PENEGAKAN HUKUM DAN PROSES INTEGRASI NASIONAL1
A. Pengantar Pembentukan peraturan perUUan sebenarnya secara langsung ataupun tidak langsung berhubungan dengan salah satu fungsi Dewan yaitu fungsi legislasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 A ayat (1) Perubahan Pertama UUD Negara RI tahun 1945. Fungsi ini sendiri semakin kuat dengan adanya perubahan paradigma dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yang selama ini kekuasaan pembentukan UU berada di tangan presiden (eksekutif), tetapi sejak adanya Perubahan UUD 1945, kekuasaan membentuk UU beralih ke tangan DPR (Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945). Fungsi legislasi juga berhubungan dengan program legislasi nasional (prolegnas) sebagai suatu strategi pokok pembangunan. Keberadaan prolegnas sendiri sudah diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyebutkan “Pembangunan materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional melalui penyusunan materi hukum secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, khususnya penyusunan produk hukum baru yang sangat dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan 1
Makalah pada Lokakarya Menyongsong Prolegnas 2003 : Meningkatkan Pembentukan Peraturan PerUUan Dengan Program Legislasi Nasional Yang Lebih Berkualitas dan Terukur, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Cisarua, 28 Oktober 2002.
11
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
dan pembangunan nasional. Oleh karena itu perlu dilanjutkan penyusunan dan proses pelaksanaan program legislasi nasional secara terpadu yang meliputi penggantian peraturan perundang-undangan warisan kolonial dengan peraturan perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, penggantian peraturan perundang-undangan nasional yang bertentangan baik horizontal maupun vertikal satu dengan yang lainnya serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjawab tuntutan perkembangan jaman, dengan prioritas penyiapan materi hukum yang mampu mendukung pembangunan untuk menghadapi pasar bebas dunia dan persaingan global. Untuk itu fungsi lembaga terkait perlu ditingkatkan secara terpadu guna mempercepat proses pelaksanaan program legislasi nasional” Apabila kita amati bahwa mandat yang diperintahkan dalam GHBN secara jelas disebutkan bahwa prolegnas harus ditindaklanjuti dengan melakukan penggantian atas sejumlah peraturan perUUan yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini, baik penggantian terhadap perUUan yang bertentangan secara vertikal dan horizontal atau perUUan yang tidak dapat menghadapi kondisi pasar bebas dunia dan persaingan global. Upaya untuk mengoperasionalkan program legislasi nasional, telah dilakukan sejak tahun 2000 dengan telah disahkan UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, di dalam UU ini operasionaliasi prolegnas telah disusun dan dapat diketahui daftar UU yang akan dibentuk selama tahun 2000 – 2004. Dalam kerangka pembentukan UU, fungsi legislasi yang dilakukan DPR harus terintegrasi dengan ketentuan program legislasi nasional sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas. Upaya Dewan dalam mengantisipasi hal ini dengan dibentuknya Panitia Kerja (Panja) Penyusunan Prioritas RUU, melalui panja ini DPR dapat melakukan inventarisasi UU yang dibutuhkan setiap tahunnya, termasuk di dalam RUU yang berhubungan dengan penegakan hukum dan proses integrasi nasional. Upaya untuk membentuk UU baru, selain sejalan dengan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya, upaya ini sejalan dengan tujuan untuk mendemokratisasikan negara, yaitu dengan melakukan penegakan hukum di setiap bidang kehidupan manusia serta proses integrasi nasional. Hal ini dilakukan melihat pengalaman sejarah selama ini, dimana masalah penegakan hukum belum ditempatkan sebagai prioritas kehidupan manusia, sehingga terlihat hukum belum menjadi panglima dalam kehidupan manusia. Belum berjalannya penegakan hukum di Indonesia selama 12
ESAI-ESAI HUKUM
ini sejalan dengan sinyalemen dari Cardozo bahwa hukum harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat (Cardozo : 2000, 206 – 208). Selain itu upaya penegakan hukum secara konseptual terletak pada kegiatan untuk menyerasikan hubungan nilai yang terjabarkan di dalam kaedahkaedah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan pergaulan hidup di dalam masyarakat (Soerjono Soekanto : 1983, 4). Tidak berjalannya penegakan hukum selama ini, juga menyebabkan banyaknya kasus-kasus separatis di Indonesia. Ini menandakan bahwa upaya penegakan hukum selama ini belum dilakukan dengan baik. Bahkan ekses dari tidak berjalannya upaya penegakan hukum yaitu adanya upaya untuk “memerdekakan” atau ingin melepaskan diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pengalaman selama ini, dalam rangka upaya penegakan hukum dan proses integrasi nasional, titik tolak dalam penyusunan UU, difokuskan pada RUU yang mengarah kepada upaya penegakan hukum dan proses integrasi nasional. B. Peranan DPR Terhadap Peraturan Perundang-undangan Yang Mendukung Penegakan Hukum Lawrence Friedmann, pernah mengatakan bahwa ada tiga elemen dari sistem hukum yaitu structure, substance, dan legal culture. Apa yang diutarakan oleh Friedmann, sebenarnya secara tidak langsung telah dilakukan oleh DPR, khususnya oleh Badan Legislasi (Baleg). Structure sebagai elemen pertama dari sistem hukum telah dilakukan oleh DPR, karena berdasarkan Perubahan Pertama UUD Tahun 1945, disebutkan bahwa DPR memegang kekuasaan untuk membuat UU, DPR sebagai lembaga pembentuk UU sejalan dengan pengertian dari structure yaitu lembaga yang berwenang dalam membuat UU. Substance sebagai elemen kedua dari sistem hukum adalah materi atau bentuk dari peraturan perundang-undangan, hal ini sejalan dengan bentuk peraturan yang dibuat oleh DPR adalah UU, sedangkan legal culture bagian ketiga dari elemen sistem hukum adalah sistem hukum dan DPR dalam membentuk UU terkait dengan sistem hukum yang ada yaitu ketentuan prolegnas yang diatur dalam UU No 25 tahun 2000. Walaupun dalam pelaksanaan tugas DPR selama ini, orang sering mempertanyakan keberadaan pelaksanaan fungsi DPR, apakah pelaksanaan fungsi 13
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
DPR selama ini lebih menitik beratkan segi-segi politis semata saja. Kekhawatiran masyarakat tidak dapat disalahkan, karena DPR adalah lembaga politik, maka segi-segi politis tentu saja menjadi titik sentral bagi lembaga parlemen. Bicara tentang penegakan hukum, maka penegakan hukum itu sendiri dapat diklasifikasikan atas : 1) penegakan hukum yang didasarkan atas perundangundangan yang dibentuk antara DPR bersama dengan Pemerintah, 2) penegakan hukum yang didasarkan atas pelaksanaan UU, pelaksanaan mana dilakukan oleh aparatur hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim. Dari sisi kepentingan DPR, upaya penegakan hukum dapat dilakukan dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan Kekuasaan Kehakiman, sedangkan dari sisi lain, penegakan hukum dapat diawasi oleh DPR, melalui Komisi I dan Komisi II DPR. Upaya DPR dalam rangka penegakan hukum tidak dilakukan dengan serta merta, DPR mengkaji upaya penegakan hukum seksama, misalnya tentang penegakan hukum, kita berbicara tentang Peraturan, dalam Peraturan terdapat : 1) Siapa yang membuat peraturan, 2) Bentuk Peraturan dan 3) Isi dari peraturan. Dari konteks ini dan dari segi kepentingan DPR, terlihat bahwa peraturan yang dimaksudkan dalam kerangka penegakan hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR bersama dengan Pemerintah yang isi dari peraturan tersebut adalah peraturan yang bersifat universal dan peraturan tersebut harus datang dan diterima oleh masyarakat (buttom up). Implementasi dari kerangka penegakan hukum telah dilakukan oleh Baleg, sebab dari setiap masa reses DPR, Baleg melakukan kunjungan kerja ke provinsi atau daerah tertentu dengan melakukan sosialisasi RUU yang dibuat oleh Baleg DPR. Hal ini telah dilakukan sejak berdirinya Baleg tahun 2000. Upaya Baleg untuk mensosialisasikan ini dilakukan dengan mengunjungi perguruan tinggi setempat dan kelompok masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat setempat. Upaya DPR dalam pembentukan UU ini juga dihubungkan dengan amanat dari UUD Tahun 1945, dimana disebutkan adanya beberapa RUU dalam kerangka penegakan hukum yang harus dibentuk, yaitu antara lain : 1. UU yang berhubungan dengan Kepolisian Negara RI (Vide : Perubahan Kedua UUD 1945 jo Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/2000). 2. UU yang berhubungan dengan Komisi Yudisial (Vide : Perubahan Ketiga UUD 1945). 3. UU yang berhubungan dengan Mahkamah Konstitusi (Vide : Perubahan Ketiga UUD 1945). 14
ESAI-ESAI HUKUM
Dari ketiga amanat Perubahan UUD 1945 yang berhubungan dengan penegakan hukum, ketiga RUU tersebut telah disahkan. Sehingga upaya pembentukan RUU ini sudah sejalan dengan pendapat dari Lawrence Friedmann tentang sistem hukum. Upaya penegakan hukum tidak semata-mata hanya kepada pembentukan UU, tetapi bagaimana UU itu dapat diimpelementasikan ke masyarakat dan upaya untuk mengetahui sejauhmana UU tersebut diimplementasikan, maka DPR melakukan fungsi pengawasan atas UU tersebut. Apabila ada UU yang ternyata sudah tidak sesuai, DPR melakukan pengkajian terlebih dahulu atas kekurangan/kelemahan UU tersebut. Apabila pelaksanaan suatu UU terhambat oleh aparatur penegak hukumnya, DPR dapat memanggil instansi penegak hukum, untuk mengetahui alasan dari tidak berjalannya penegakan hukum oleh instansi penegak hukum tersebut. Kesemua upaya dalam kerangka penegakan hukum telah kami lakukan, walaupun mungkin masyarakat masih menilai belum maksimalnya DPR dalam melaksanakan fungsinya. C. Peranan DPR Terhadap Peraturan Peraturan perundang-undangan Yang Mendukung Integrasi Nasional Dalam kerangka proses integrasi nasional, titik tolaknya sebenarnya telah tampak sejak diundangkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Selanjutnya pada pasca Perubahan UUD 1945, disebutkan beberapa RUU yang berhubungan dengan proses integrasi nasional, yaitu antara lain ; 1. RUU tentang Batas Wilayah dan Hak-hak Negara Kesatuan Republik Indonesia2 (Vide : Perubahan Kedua UUD 1945), 2. RUU tentang Pengakuan Atas Satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau istimewa (Vide : Perubahan Kedua UUD 1945), 3. RUU tentang Warganegara dan Penduduk3 (Vide : Perubahan Kedua UUD Tahun 1945), 4. RUU tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, Lagu Kebangsaan Indonesia4 (Vide : Perubahan Kedua UUD 1945).
2
Telah diundangkan menjadi UU No 43 Tahun 20008 tentang Wilayah Negara.
3
Telah diundangkan menjadi UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
4
Telah diundangkan menjadi UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.
15
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Upaya DPR dalam melaksanakan kerangka integrasi nasional, selain bertumpu kepada RUU yang diamanatkan oleh Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, juga bertumpu kepada Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Melalui TAP MPR ini masalah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia harus diatur dalam bentuk UU. Masalah integrasi nasional menjadi masalah penting sebagai ekses bergulirnya masa reformasi sejak tahun 1998, dan dengan diberikannya otonomi daerah ke tingkat II melalui UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Ekses tidak langsung dari fase otonomi daerah ini yaitu terjadi separatisme daerah, ada sejumlah daerah yang membuat peraturan daerah yang menyimpang dari UU No 22 tahun 1999. Di sisi lain ekses dari reformasi yaitu munculnya gerakan separatis di sejumlah daerah, yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Kesemuanya ini adalah fakta yang kita lihat dan dari sejumlah fakta tersebut, orang selalu bertanya dimana dan sejauhmana tanggung jawab DPR dalam menyelesaikan masalah tersebut, terutama agar permasalahannya tidak terlepas dari kerangka NKRI. Saat ini DPR atau Baleg DPR sedang melakukan pengkajian terhadap permasalahan tersebut, melalui pengkajian ini diharapkan akan dapat solusi atau jalan keluar atas ekses dari otonomi daerah atau ekses dari masa reformasi ini, dengan dibentuknya sejumlah UU yang mendukung kerangka integritas nasional dengan terbentuknya otonomi daerah yang wajar, sehingga pengalaman lepasnya wilayah Timor Timur dari Indonesia tidak tertular ke daerah atau propinsi lainnya. Selain pengkajian yang sedang dilakukan, upaya DPR dalam rangka mendukung proses integrasi nasional, upaya DPR untuk mendukung integrasi nasional yaitu dengan pembentukan sejumlah provinsi baru yang ditetapkan dengan UU, seperti Provinsi Banten yang berasal dari Propinsi Jawa Barat; Provinsi Gorontalo yang berasal dari Provinsi Sulawesi Utara; Provinsi Bangka Belitung yang berasal dari Provinsi Sumatera Selatan dan terakhir Provinsi Kepulauan Riau yang berasal dari Provinsi Riau. Keempat provinsi baru tersebut merupakan jawaban atau solusi dari keinginan daerah yang ingin melepaskan diri dari provinsi induknya. DPR menyadari tindakan pembentukan provinsi baru ada hambatan dan kendalanya, tetapi semua hambatan dan kendala tersebut harus kami hadapi dan pilihan untuk membentuk provinsi baru merupakan jawabannya. 16
ESAI-ESAI HUKUM
Upaya untuk mendukung proses integrasi nasional tidak semata-mata hanya bertumpu kepada UU saja, tetapi bagaimana setiap UU yang telah disahkan dapat diterima oleh masyarakat dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, sebab bagaimanapun bagusnya suatu UU, semuanya tergantung kepada aparatur hukum untuk melaksanakannya dengan baik. Disamping itu harus diakui masih adanya kelemahan dalam pembentukan peraturan perUUan, khususnya dalam pembuatan UU. Kelemahan ini bukan hanya ada pada DPR, tetapi juga pada Pemerintah, yaitu dua institusi yang ditunjuk oleh UUD 1945 dalam pembuatan UU. Antara DPR dan Pemerintah belum terjalin koordinasi dalam mempersiapkan RUU yang termasuk prioritas, sehingga tidak terhindarkan tumpang tindih dari suatu RUU yang sama, tapi dipersiapkan naskahnya oleh masing-masing. D. Penutup Upaya DPR dalam kerangka pembentukan UU tidak terlepas dari fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPR. Di sisi lain pelaksanaan fungsi legislasi tidak dapat berdiri sendiri, karena fungsi legislasi terkait dengan fungsi lainnya, seperti fungsi pengawasan. Pembentukan UU harus tetap berpijak atas ketentuan prolegnas yang diatur dalam UU No 25 tahun 2000. Bagi DPR sendiri upaya untuk membentuk UU sudah merupakan suatu kewajiban sebagai konsekwensi dari kekuasaan pembentukan UU yang berada di tangan DPR sejak Perubahan Pertama UUD 1945, tetapi kekuasaan membentuk UU ini tidak mutlak sepenuhnya dapat dilakukan, DPR tetap harus membahasnya bersama Pemerintah dan sekaligus juga memerlukan peran serta masyarakat dalam pembentukan UU. Selain itu untuk mengoperasionalkan fungsi ini, setiap RUU yang dibuat oleh DPR (khususnya oleh Baleg), RUU tersebut disosialisasikan ke daerah atau ke perguruan tinggi setempat, melalui sosialisasi ini selain untuk mendapatkan penyempurnaan atas materi muatan yang terkandung dalam suatu RUU, sosialisasi ini juga sebagai tanggung jawab DPR kepada rakyat di bidang legislasi. Terhadap RUU yang berhubungan dengan kerangka penegakan hukum, tanggung jawab DPR di bidang legislasi hanya terbatas kepada materi muatannya, sedangkan terhadap tanggung jawab atas pelaksanaan suatu UU, menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Apabila di kemudian hari terjadi penyimpangan atas pelaksanaan suatu UU, DPR terlebih 17
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
dahulu mengkaji kekurangan/kelemahan atas suatu UU, jadi DPR tidak serta merta melakukan penggantian atas UU tersebut. Di bidang program integrasi nasional, pembentukan UU harus bertumpu kepada masa otonomi daerah, dengan memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya, dengan ketentuan bahwa peraturan daerah tidak boleh menyimpang dari ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. Upaya DPR dalam mengantisipasi kerangka integrasi nasional, khususnya dalam otonomi daerah, DPR baru melakukan pengkajian atas pelaksanaa otonomi daerah selama ini. Pada akhirnya dalam pembentukan UU perlu ditingkatkan koordinasi antara DPR dan Pemerintah untuk memperoleh hasil semaksinal mungkin.
18
ESAI-ESAI HUKUM
PROGRAM LEGISLASI NASIONAL1
A. Pengantar Program legislasi Nasional (prolegnas) secara sederhana dapat diartikan sebagai rencana kerja atas pembuatan UU untuk kepentingan masyarakat. Prolegnas juga dapat diartikan sebagai ukuran dari badan pembentuk UU (baik pemerintah dan/atau DPR) untuk menyusun, membentuk, membahas dan mengesahkan UU untuk kepentingan masyarakat. Sehingga masyarakat dapat mengukur seberapa jauh badan pembentuk UU melaksanakan tugasnya dalam membentuk UU. Kata program dalam prolegnas dapat diartikan sebagai rencana kerja yang disusun, diseminasi dan dapat dipertanggungjawabkan ke publik. Arti disusun ini mengandung pengertian adanya mekanisme di dalamnya, mekanisme bisa dilakukan dalam dua hal, 1) mekanisme yang dipersiapkan dari atas lalu diimplementasikan ke bawah (up to buttom) atau 2) mekanisme yang dipersiapkan dari bawah lalu diimplemenasikan ke atas (buttom up). Masing-masing mekanisme mempunyai kelebihan dan/atau kekurangan, sehingga menurut penulis penilaian mekanisme ini tergantung pada penilaian pribadi (subyektif). Pengalaman emprisis selama ini khususnya sebelum era reformasi (1998) mekanisme selalu dilakukan dengan ciri top down. Sehingga kita dapat melihat seberapa jauh pelaksanaan UU yang menggunakan ciri demikian. Hal ini juga sejalan sebagai konsekuensi bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945) dan disisi lain DPR periode 1967 – 1998 kurang melaksanakan fungsi legislasinya.
1
Makalah yang disampaikan penulis pada dalam Workshop Program Legislasi Nasional, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional, Jakarta 29 Mei 2002.
19
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Apabila dilihat dari minimnya DPR dalam menggunakan hak inisiatif, karena situasi politik dan ketatanegaraan ketika itu yang membuat DPR tidak dapat menggunakan salah satu haknya sebagai anggota yaitu hak inisiatif, tetapi di era DPR setelah 1992 – 1997, DPR telah dapat menggunakan hak inisiatifnya. Kata legislasi pada prolegnas dapat diartikan secara sederhana sebagai pembuatan undang-undang. Penulis berpendapat kata pembuatan dapat diartikan sebagai berikut : 1. diperintahkan oleh UUD Tahun 1945; 2. diperintahkan oleh Ketetapan MPR; 3. diperintahkan oleh UU yang lain; atau 4. adanya campur tangan dari pihak ketiga, misalnya adanya mandat yang diperintahkan oleh Letter of Intent, untuk membuat undang-undang tertentu. UUD 1945 secara harafiah sebenarnya telah membagi adanya 18 masalah yang perlu diatur dalam suatu UU, dan dari 18 masalah ini dapat dikelompokkan atas 3 yaitu 1) kelompok yang mengatur tentang pembagian kekuasaan; 2) kelompok yang mengatur hak asasi manusia dan 3) kelompok yang mengatur alat perlengkapan negara dan penetapan organisasi. Ketetapan MPR (TAP MPR) sebagai dasar pembentukan UU di Indonesia, tidak terlepas dari tugas MPR sebagai Lembaga Negara yang akan memberikan mandat kepada Presiden sebagai mandataris untuk menjalankan proses pemerintahan di Indonesia, termasuk dalam hal proses pemerintahan ini adalah proses untuk membentuk sejumlah UU yang dibutuhkan dalam proses pemerintahan di Indonesia. Implementasi dari TAP MPR dalam pembentukan UU dapat dilihat pertama kali dalam Ketetapan MPR NO IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam Bab IV mengenai Pola Umum Pelita Kedua telah digariskan arah dan kebijaksanaan pembangunan yang meliputi berbagai bidang pembangunan selama Pelita Kedua. Implementasi dari TAP MPR untuk membentuk suatu undang-undang khusus antara lain, misalnya Ketetapan MPR No IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999 – 2004, disebutkan perlunya dibentuk undang-undang yang mengatur lembaga independen di bidang pasar modal2. 2
Catatan penulis, saat ini telah dipersiapkan oleh tim asistensi (penulis salah satu anggota tim) yaitu UU tentang Perubahan atas UU Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang menjadi amanat dari Ketetepan TAP MPR No IV/MPR/1999.
20
ESAI-ESAI HUKUM
Di sisi lainnya, ada juga serangkaian UU yang memerintahkan untuk membentuk UU lainnya yang berhubungan, misalnya UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pada Pasal 34 ayat (1) jo Penjelasannya, disebutkan perlu dibentuk suatu UU yang mengatur tentang Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK). Cikal bakal reformasi 1998, yaitu adanya campur tangan pihak asing (IMF) dalam bentuk Letter of Intent3, salah satu UU yang diperintahkan untuk segera dibuat dan harus diberlakukan yaitu UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering). Makna UU dalam legislasi dapat diartikan atas beberapa hal, antara lain, disebutkan : 1. bahwa untuk dapat membentuk suatu UU harus memenuhi unsur syarat a) formil dan b) syarat material. 2. bahwa setiap pembentukan UU memenuhi kaedah hukum a) yuridis; b) filosofis dan c) sosiologis. 3. bahwa setiap hasil dari pembentukan UU mengandung konsep hukum yang a) otonom; b) responsif dan c) represif. 4. bahwa setiap pembentukan UU harus memenuhi tujuan nasional suatu negara, misalnya tujuan nasional negara Indonesia terdapat pada GBHN . Syarat formil dari pembentukan UU harus memenuhi asas-asas hukum. Menurut Satjipto Rahardjo4, asas hukum dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum. Dengan demikian asas hukum ini menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai etis, moral dan sosial masyarakatnya. Selain asas hukum tersebut, dalam syarat formil lainnya yang harus diperhatikan antara lain ketentuan yang terdapat dalam Keputusan Presiden Nomor 188 tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU jo Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan 3
Lihat Sudirman Saad dan Tim Hasil Penelitian Sementara, Jakarta, 2002, hal III/12, disebutkan adanya 12 Letter of Intent.
4
Satjipto Rahardjo, “Peranan dan Kedudukan Asas-asas Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional”, Pembahasan Terhadap Makalah Sunaryati Hartono, dalam Seminar dan Lokakarya Ketentuan Umum Peraturan Perundang-undangan, Jakarta 19 – 20 Oktober 1988.
21
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
dan ketentuan yang didasarkan kepada Peraturan Tata Tertib DPR-RI5. Syarat material yang harus diperhatikan dalam pembentukan undang-undang, yaitu materi muatan apa saja yang perlu dimuat dan diatur dalam suatu undang-undang, pada umumnya materi muatan yang dimaksud adalah normanorma yang perlu diatur dalam suatu undang-undang, sedangkan menurut Prof Hamid SA Attamimi, ada 9 butir materi muatan dari UU, yaitu6 : 1. yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Ketetapan MPR. 2. yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD. 3. yang mengatur hak asasi manusia. 4. yang mengatur hak dan kewajiban negara. 5. yang mengatur pembagian kekuasaan negara. 6. yang mengatur organisasi pokok lembaga negara. 7. yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara. 8. yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehidupan kewarganegaraan. 9. yang dinyatakan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU. Dalam setiap pembentukan UU, kaedah hukum pembentukan UU biasanya dicantumkan dalam diktum dasar menimbang, menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, kaedah hukum secara yuridis bisa didasarkan 1) kepada kaedah hukum yang lebih tinggi, 2) kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang ditetapkan atau 3) kaedah tersebut menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya, sedangkan kaedah hukum secara sosiologis dapat didasarkan 1) adanya paksaan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima atau 2) kaedah hukum tersebut berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat, sedangkan kaedah hukum secara filosofis didasarkan kepada citacita hukum sebagai nilai positif tertinggi7. Hal lainnya yang memegang peranan penting dalam pembentukan UU yaitu adanya tipe hukum yang terkandung dalam suatu UU. Menurut Philip Nonet 5
Catatan penulis, menurut hasil penelitian disertasi penulis, sejak tahun 1945 – sampai sekarang terbentuk 17 Peraturan Tata Tertib DPR-RI, yang pada umumnya dalam Tatib tersebut diatur tentang tata cara pembentukan Rancangan Undang-undang.
6
Hamid SA Attamimi, “Materi Muatan Peraturan Pemerintah Perundang-undangan”, Majalah Hukum dan Pembangunan Jakarta, 1979, hal 219.
7
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta: CV Radjawali, 1982, hal 13.
22
ESAI-ESAI HUKUM
dan Philip Setznizk, setiap konsep hukum8, harus memenuhi tuntutan agar hukum dapat dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan sosial yang sangat mendesak dan terhadap masalah yang dicapai, ada 3 tipe hukum dalam setiap konsep hukum, pertama teori hukum responsif , yaitu teori hukum yang menempatkan hukum sebagai abdi kekuasaan represif, kedua teori hukum represif yaitu teori yang menempatkan hukum sebagai fasilitator dan respons terhadap kebutuhan sosial dan aspirasi sosial, ketiga dan teori hukum otonom adalah teori hukum yang menempatkan hukum sebagai institusi yang dibedakan dan mengharapkan hukum mampu untuk menjinakkan represif serta untuk melindungi kepentingan integritasnya9. Pembentukan legislasi nasional selalu berdasarkan arah dan tujuan dari suatu negara, dan di Indonesia arah dan tujuan suatu negara diatur dalam GBHN, Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta). Apabila diperhatikan dengan seksama semua rencana dari prolegnas sudah diatur baik dalam GBHN atau dalam Repeta. B. Prolegnas Saat Ini Cikal bakal dari prolegnas sudah disusun sejak Repelita III, terutama sejak adanya Simposium Pola Umum Perencanaan Hukum dan Penyusunan Program Legislatif tahun 1977 di Menado, yang kemudian dilanjutkan dengan rapatrapat kerja antara Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dengan Biro-biro Hukum Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen. Sejak itulah era prolegnas dimulai walaupun disadari kebutuhan akan UU sangat meningkat pesat bila dibandingkan dengan sejumlah daftar UU yang telah disusun dalam prolegnas. Era reformasi juga telah membuka mata kalangan DPR, khususnya ketika DPR periode 1997 – 1999, mulailah disusun prolegnas versi DPR10, dalam prolegnas ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR bidang Politik (Letjen Syarwan Hamid). Maksud dari dibentuknya prolegnas DPR adalah untuk meningkat8
Catatan penulis, konsep hukum disini menurut penulis termasuk juga konsep hukum dalam suatu undang-undang.
9
AAG Peters dan Koesrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, hal 158.
10
Catatan penulis, ketika itu penulis terlibat langsung dalam penyusunan prolegnas versi DPR, sebagai anggota Kelompok Kerja Prolegnas DPR-RI.
23
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
kan kinerja Dewan khususnya di bidang legislasi, sehingga hasil dari prolegnas DPR ketika itu telah dapat membentuk dan menyusun RUU usul inisiatif. Pasca reformasi 1998 menghasilkan anggota parlemen periode 1999 – 2004, dan pada periode inilah dibentuk suatu Baleg DPR-RI sebagai salah satu alat kelengkapan Dewan yang bersifat tetap. Kedudukan Baleg diperkuat dalam Peraturan Tata Tertib DPR-RI. Apabila dilihat tugas dari Baleg, maka eksistensi dari prolegnas sudah diakomodir sebagai salah satu tugas Baleg yaitu merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan RUU, baik yang datang dari Pemerintah maupun usul Inisiatif DPR, untuk masa keanggotaan DPR dan setiap tahun sidang11, yang kemudian eksistensi prolegnas mulai dirinci kembali sebagai salah satu tugas Baleg, yaitu merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan RUU untuk masa keanggotaan DPR dan setiap tahun anggaran dengan tahapan 1) menginventarisir masukan dari Fraksi, Komisi dan masyarakat untuk ditetapkan menjadi keputusan Baleg; 2) keputusan sebagaimana dimaksud pada angka (1) merupakan bahan konsultasi dengan Pemerintah; 3) hasil konsultasi dengan Pemerintah dilaporkan kepada Rapat Paripurna untuk ditetapkan12. Untuk mengantisipasi prolegnas DPR ini, maka Pimpinan Setjen DPRRI, sejak terbentuknya Baleg telah mempersiapkan sekretariat Baleg sebagai badan penunjang kinerja Baleg, selain itu dibentuk juga Tim Asistensi Program Prioritas RUU Tahun Anggaran 2000, 2001, 2002 dan 2003. Di pihak Baleg juga membentuk Panitia Kerja (Panja) Prioritas RUU. Hasil kerja tim asistensi dilaporkan ke tim panitia kerja, lalu dari rim panitia kerja di bawa ke paripurna Baleg, untuk disahkan sebagai dasar prioritas RUU dalam prolegnas DPR. Sejak terbentuknya tim asistensi dan tim panitia kerja prioritas RUU, maka hasil kerja tim inilah yang dijadikan dasar dalam penyusunan daftar ruu yang dimasukkan dalam UU No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000 – 2004 (Propenas). Untuk mensinergikan pekerjaan Baleg dengan apa yang telah diatur dalam UU Nomor 25 tahun 2000, maka setiap tahunnya diadakan Rapat Kerja antara Baleg dengan Pemerintah, dari rapat kerja ini dicapai kesepakatan daftar RUU yang akan diprioritaskan untuk dibentuk, dibahas untuk setiap tahun 11
Lihat Pasal 46 ayat (1) Peraturan Tata Tertib Nomor 16/DPR-RI/I/1999 - 2000
12 Lihat Pasal 41 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR-RI Nomor 03A/DPR-RI/I/2001-2002.
24
ESAI-ESAI HUKUM
anggaran. Sebagai catatan untuk tahun anggaran 2002 telah disepakati adanya 80 RUU yang akan dibentuk dan dibahas untuk tahun 2002. DPR menyadari bahwa dari jumlah RUU yang harus dibentuk untuk tahun 2000 – 2004 yaitu 120 RUU sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2000 dan kesepakatan tahun 2002, dimana harus segera dibentuk dan dibahas 80 RUU, maka untuk mengefektifkan fungsi legislasi DPR untuk mencapai produktifitas seperti diamanatkan dalam UU No 25 Tahun 2000 dan untuk menjawab rekomendasi MPR tentang perlunya kinerja Dewan ditingkatkan dalam fungsi legislasi, maka diadakanlah perubahan terhadap Peraturan Tata Tertib khususnya tentang tingkat pembicaraan RUU, yang saat ini menjadi hanya 2 tingkat pembicaraan RUU. C. Prolegnas Di Masa Mendatang Di masa mendatang prolegnas tidak lagi hanya sebatas daftar urutan prioritas UU yang akan dibentuk dan dibahas oleh DPR dan Pemerintah, tapi diharapkan isi dari prolegnas adalah sesuai dengan kebutuhan di masyarakat. Kebutuhan di masyarakat inilah menjadi sumber utama dalam penyusunan daftar RUU yang akan dibentuk dan dibahas untuk setiap tahun anggarannya. Eksistensi prolegnas tetap dipertahankan dan diimplementasikan dalam rencana pembangunan tahunan (Repeta) bidang perundang-undangan. Disisi lain makna Prolegnas dalam Repeta harus diikuti dengan serangkaian kegiatan dalam rangka pembentukan dan penyusunan draft RUU, melalui serangkaian kegiatan pengkajian, penelitian dan pembentukan naskah akademis RUU. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam penyusunan draft RUU, karena masyarakatlah sebagai pemakai utama dari suatu UU, sehingga sebagai pemakai utama, kiranya kepentingan masyarakatlah yang dijadikan norma yang akan diatur dalam suatu UU. Di masa mendatang, prolegnas bukan menjadi suatu perebutan kepentingan antara DPR dan Pemerintah, untuk itu prolegnas yang terdapat di dalam Propenas dan Repeta harus dapat dipertanggungjawabkan ke publik, karena publiklah sebagai pemegang stake holder.
25
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Daftar Bacaan 1. Attamimi, Hamid, SA, “Materi Muatan Peraturan Pemerintah Perundangundangan”, Majalah Hukum dan Pembangunan, 1979. 2. Ketetapan MPR-RI No IV/MPR-RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. 3. Peraturan Tata Tertib DPR-RI. 4. Peters, AAG dan Koesrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkmebangan Sosial, Buku ke-3, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1990. 5. Rahardjo, Satjipto, “Peranaan dan Kedudukan Asas-asas Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional”, makalah dalam Seminar dan Lokarya Ketentuan Umum Peraturan Perundang-undangan, Jakarta 19 – 20 Oktober 1988. 6. Saad, Sudirman, Laporan Hasil Penelitian Sementara Program Legislasi Nasional, Jakarta. 7. Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Dalam Masyarakat, Jakarta: CV Radjawali, 1982.
26
ESAI-ESAI HUKUM
PANDANGAN DPR-RI TERHADAP EVALUASI PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA1
A. Pengantar UUD 1945 pada Aturan Peralihan Pasal II menegaskan bahwa : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Badan negara yang dimaksud dalam Pasal II Aturan Peralihan ini adalah Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR-RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Peraturan yang dimaksud dalam Pasal II Aturan Peralihan ini adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia, baik peraturan tertulis maupun peraturan tidak tertulis. B. Peran DPR Dalam Menyikapi Evaluasi Perundang-undangan Peran DPR dalam menyikapi peraturan perundang-undangan selalu terkait dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPR, antara lain adalah melaksanakan pengawasan teradap pelaksanaan UU dan kebijakan Pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan Ketetapan MPR-RI. Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPR juga terkait dengan fungsi yang dimiliki oleh DPR sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Fungsi yang dimaksud adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi ini selalu terkait satu sama lain karena ketiga fungsi tersebut tidak dapat berdiri 1
Makalah pada Dissemination Workshop in “Future of Regulation in Indonesia, Jakarta 18 October, 2001.
27
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
sendiri. Ketiga fungsi ini sudah memiliki dasar hukum yang kuat yaitu dalam Perubahan Kedua UUD 1945, pada Pasal 20 A ayat (1). Peran serta DPR dalam menyingkapi evaluasi peraturan perundang-undangan, dilakukan oleh DPR dalam serangkaian rapat-rapat (Rapat Kerja2; Rapat Dengar Pendapat3 dan Rapat Dengar Pendapat Umum4), ataupun dalam kunjungan kerja yang dilakukan oleh anggota DPR di masa reses DPR. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan di gedung DPR dan di luar gedung DPR tersebut, DPR dapat memantau segala bentuk peraturan perundang-undangan yang ada selama ini dan dapat diketahui peraturan perundang-undangan apa yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat ataupun yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan atau perkembangan jaman. C. Apa Yang Dilakukan Oleh DPR Selama ini evaluasi terhadap perundang-undangan telah dilakukan oleh DPR, evaluasi dilakukan dalam kunjungan kerja DPR ke daerah dalam masa reses DPR, ataupun evaluasi perundang-undangan dilakukan oleh DPR, ketika DPR melakukan Rapat Kerja, Dengar Pendapat dan Rapat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Untuk menindaklanjuti evaluasi terhadap perundang-undangan, biasanya DPR membentuk tim kecil di tiap komisi atau di Badan Legislasi, untuk memantau perundang-undangan yang perlu dievaluasi. Hasil evaluasi ini biasanya dikonsultasikan kembali dengan pihak Pemerintah dalam setiap Rapat Kerja yang dilakukan oleh DPR pada setiap masa sidang. 2
Pasal 84 ayat (1) Tata Tertib DPR, Rapat Kerja adalah rapat antara Komisi, beberapa Komisi dalam Rapat Gabungan Komisi, atau Panitia Khusus dengan Pemerintah, dalam hal ini Presiden dan/ atau Menteri yang ditunjuk untuk mewakilinya, atas undangan Pimpinan DPR, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi , Pimpinan Rapat Gabungan Komisi, atau Pimpinan Panitia Khusus.
3
Pasal 85 Peraturan Tata Tertib DPR, Rapat Dengar Pendapat ialah Rapat antara Komisi, beberapa Komisi dalam Rapat Gabungan Komisi, atau Panitia Khusus dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya, baik atas undangan Pimpinan DPR maupun atas permintaan pejabat Pemerintah yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Rapat Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.
4
Pasal 86 Peraturan Tata Tertib DPR, Rapat Dengan Pendapat Umum ialah Rapat Komisi, beberapa Komisi dalam Rapat Gabungan Komisi, atau Panitia Khusus dengan perseorangan, kelompok, organisasi, organisasi atau badan swasta, baik atas undangan Pimpinan DPR maupun atas pemintaan yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Rapat Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.
28
ESAI-ESAI HUKUM
Hasil evaluasi perundang-undangan yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah, biasanya dituangkan dalam prolegnas. Untuk tahun 2000 – 2004, evaluasi perundang-undangan yang dilakukan oleh DPR, antara lain sebagai berikut: 1) Ditetapkannya UU tentang Penyempurnaan UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 2) Ditetapkannya UU tentang Penyempurnaan UU No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; 3) Ditetapkannya UU tentang Penyempurnaan UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; dll Di tahun 1999, DPR membentuk Baleg sebagai salah satu alat Kelengkapan Dewan. Kewenangan Baleg diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR-RI. Di tahun 2000, hasil evaluasi perundang-undangan yang dilakukan oleh DPR bersama Pemerintah, mulai dituangkan dalam UU No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, dimana diantara 120 program RUU yang dimuat dalam Propenas, 85 RUU adalah usulan dari Prolegnas DPR-RI. Review perundang-undangan mulai menonjol sejak adanya Perubahan Pertama UUD 1945, dimana kekuasaan membentuk UU berada di tangan DPR (Lihat Perubahan Pertama UUD 1945, Pasal 20 ayat (1), DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang). Review terhadap perundang-undangan dilakukan DPR mulai digiatkan kembali sejak tahun 1999 melalui Peraturan Tata Tertib DPR-RI, dan dalam Peraturan Tata Tertib DPR 20015 dalam Pasal 41 ayat (1), tugas Baleg yang terkait dengan evaluasi peraturan perundang-undangan antara lain “mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi UU, melalui koordinasi dengan Komisi”, dan “melakukan evaluasi terhadap program RUU”; dan ” membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR”. Untuk melaksanakan tugas Baleg khususnya yang terkait dengan evaluasi terhadap perundang-undangan, pada Pasal 41 ayat (2) disebutkan bahwa “Baleg dapat memberikan rekomendasi kepada Badan Musyawarah dan Komisi terkait mengenai penyusunan program dan urutan prioritas pembahasan rancangan undang-undang untuk satu masa keanggotaan DPR dan setiap Tahun Anggaran”; dan “memberikan rekomendasi kepada Badan Musyawarah dan/ atau Komisi yang terkait berdasarkan hasil pemantauan terhadap materi UU” 5
Peraturan Tata Tertib DPR-RI Tahun 2001 telah disahkan dalam Rapat Paripurna 16 Oktober 2001.
29
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Hasil nyata dari evaluasi perundang-undangan yang dilakukan oleh DPR dapat terlihat dengan adanya sejumlah RUU Usul Insiatif DPR yang mulai bergulir sejak tahun 1999 sampai saat ini dimana DPR telah menyusun beberapa RUU Usul Inisiatif, dimana RUU ini disusun berdasarkan evaluasi perundangundangan yang dibutuhkan di Indonesia. Untuk tahun 2001, DPR telah menyiapkan RUU Usul Inisiatif, antara lain : 1) RUU tentang Lembaga Kepresidenan; 2) RUU tentang Perkreditan Perbankan; 3) RUU tentang Kebebasan Mendapatkan Informasi6; 4) RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban7, dll. Pada saat ini juga sedang dijajaki kerjasama antara DPR dengan Komisi Hukum Nasional (KHN) untuk menyusun standar baku mekanisme pembahasan suatu RUU. D. Harapan Hal mengenai evaluasi perundang-undangan bukan saja menjadi tanggung jawab DPR semata atau bukan saja menjadi tanggungjawab dari Pemerintah, tapi menjadi tanggung jawab kita semua. Untuk dapat melakukan evaluasi perundang-undangan, evaluasi haruslah berdasarkan kepentingan masyarakat Indonesia, tuntutan di masyarakat, dan tuntutan perkembangan jaman yang cepat berubah. DPR juga berharap dengan adanya evaluasi perundang-undangan, maka akan tercipta perundang-undangan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan yang ada di dunia internasional. Perundang-undangan tersebut haruslah sesuai dengan perkembangan yang bersifat universal, sehingga pada waktu pelaksanaannya perundang-undangan tersebut juga dapat diimplementasikan dan tidak bersifat sesaat semata.
6
Telah diundangkan menjadi UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
7
Telah diundangkan menjadi UU No 13 Tahun 2008 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
30
ESAI-ESAI HUKUM
JENIS DAN INFORMASI YANG DIBUTUHKAN DPR-RI DALAM RANGKA PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI1
A. Pengantar Perubahan Ketiga UUD 1945, pada Pasal 20 A ayat (1) telah menegaskan adanya 3 fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Ketiga fungsi ini diatur juga dalam Peraturan Tata Tertib DPR dengan sebutan Tugas dan Wewenang. Di bidang legislasi, DPR hasil pemilu 1999, telah membentuk Badan Legislasi (Baleg) DPR, yaitu alat kelengkapan Dewan yang bersifat tetap yang bertugas antara lain untuk menyiapkan RUU RUU yang akan dipersiapkan oleh Baleg DPR adalah RUU berdasarkan program prioritas, yaitu yang diatur dalam UU No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004. Dalam propenas disebutkan adanya dibentuk 120 RUU pada tahun 2000 – 2004. Untuk menjalankan amanat fungsi legislasi sebagaimana disebutkan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dan UU No 25 tahun 2000, Baleg sejak tahun 2000 sampai sekarang telah menyusun daftar prioritas RUU yang akan dibentuk oleh DPR, dalam bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuinbang), Kesejahteraaan dan Politik dan Hukum. Masing-masing bidang dipimpin oleh Wakil Ketua Badan Legislasi.
1
Makalah yang disampaikan penulis pada Workshop Pelayanan Riset di bidang Legislatif, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional, Jakarta 31 Juli 2002.
31
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
B. Peranan Baleg Dalam Pembentukan RUU Peranan Baleg dalam menyiapkan RUU adalah sebagai konsekwensi dari adanya perubahan kewenangan pembentukan UU yang saat ini ada di tangan DPR (Perubahan Pertama Pasal 20 ayat (1) jo Pasal 117 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR). Upaya Baleg dalam mempersiapkan RUU, dilakukan oleh lingkungan intern DPR dan lingkungan ekstern DPR. Lingkungan intern DPR yang mempersiapkan RUU adalah dari 3 unsur: 1. Anggota Badan Legislasi DPR-RI. 2. Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) Setjen DPR-RI. 3. Tim Asistensi Badan Legislasi. Lingkungan ekstern DPR yang mempersiapkan RUU adalah dari : 1. Kalangan perguruan tinggi. 2. Lembaga Swadaya Masyarakat. 3. Perorangan. 4. Instansi Pemerintah. 5. Unsur swasta. Baleg menyadari upaya pembentukan RUU bukanlah pekerjaan yang mudah, selain diperlukan keahlian khusus dan pengalaman empiris di lapangan, juga perlu diketahui bahwa anggota DPR lebih menitik beratkan pekerjaan yang bersifat generalis, hanya sedikit saja dari anggota DPR yang menguasai hal yang bersifat spesialis. Untuk mengejar kekurangan ini, maka upaya Baleg dalam mempersiapkan draft RUU tentu tergantung pada lingkungan intern dan lingkungan ekstern. Adapun draft RUU yang dipersiapkan oleh para pihak tersebut, dipresentasikan dalam paripurna Baleg, dan Baleg membentuk Panitia Kerja (Panja) sesuai dengan bidang yang ada. Selain itu Panja Baleg membentuk pula Tim Asistensi yang bertugas untuk mendalami segala permasalahan yang terdapat dalam draft RUU, dan hasil kerja tim asistensi tersebut dipresentasika di hadapan anggota Panja dan diadakanlah perumusan kembali atas draft RUU tersebut. Hasil kerja Panja Baleg dilaporkan ke Pleno Baleg untuk diambil keputusan sebagai RUU yang akan diajukan Baleg ke Pimpinan DPR-RI.
32
ESAI-ESAI HUKUM
C. Jenis dan Informasi Yang Dibutuhkan 1) Terhadap RUU yang dipersiapkan oleh DPR Pada umumnya jenis dan informasi yang dibutuhkan oleh anggota DPR dalam menyusun RUU adalah informasi yang mudah dipahami dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini mengingat bahwa anggota DPR adalah anggota yang bersifat generalis, jarang ada anggota DPR yang menguasai masalah teknis tertentu. Upaya yang dilakukan oleh anggota DPR dalam mendapatkan informasi adalah dengan memanggil orang atau pihak-pihak tertentu yang menguasai secara teknis atau mempunyai pengalaman empiris atas suatu RUU. Pemanggilan ini dilakukan dalam bentuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Dalam RDPU, pada umumnya anggota akan menggali secara mendalam hal-hal yang akan diatur dalam suatu RUU. Selain itu pihak atau orang yang dipanggil dituntut untuk memberikan secara rinci dan hal-hal yang mendukung penjelasannya, misalnya praktek di luar negeri. Untuk mendukung fungsi legislasi ini, DPR juga mengadakan tatap muka dengan kalangan perguruan tinggi. Pengalaman selama ini, ketika Baleg menyusun draft RUU, Baleg setiap masa reses mengadakan kunjungan ke perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Melalui tatap muka dan diskusi dengan para pakar perguruan tinggi ini akan didapatkan masukan yang sangat berarti dari kalangan intelektual. Hasil dari kunjungan tatap muka ke perguruan tinggi dan hasil dari diskusi dalam RDPU, dipakai sebagai informasi tambahan untuk memperbaiki draft RUU yang sedang dipersiapkan oleh Tim Asistensi dan Tim Panja Baleg. Pengalaman praktek selama ini juga terlihat adanya peran serta dari masyarakat yaitu dengan memberikan informasi yang berhubungan dengan suatu masalah yang akan diatur dalam draft RUU. Hanya saja dari beberapa informasi yang diterima, ada informasi yang dapat dikategorikan sebagai informasi yang tidak dapat diterima, karena informasi tersebut hanya mengkritik suatu masalah dan tidak memberikan alasan yang jelas dan tidak ada solusi terhadap suatu masalah yang akan diatur dalam draft RUU, selain itu banyak juga informasi yang dianggap baik, karena memberikan penjelasan yang jelas dan memberikan solusi terhadap suatu masalah yang akan diatur dalam draft RUU. Jenis dan informasi ini juga tergantung dari draft RUU yang akan dibentuk oleh DPR, kalau RUU yang akan dibentuk adalah revisi, tentu saja informasi 33
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
yang diperlukan ada alasan atau argumentasi mengapa suatu masalah tersebut akan direvisi, selain itu juga dilihat pengalaman empiris di lapangan, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa masalah tersebut harus direvisi. Sebagai contoh adalah revisi terhadap UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam draft RUU disebutkan bahwa RUU Pasar Modal yang baru harus memiliki ketentuan yang bersifat global. Untuk RUU yang masih dikategorikan baru pertama kali diatur, tentu saja informasinya lebih detil dan dicari pengalaman praktis atas masalah tersebut yang akan diatur di beberapa negara, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa hal tersebut memang perlu di atur, sehingga Indonesia tidak tertinggal dibandingkan dengan pengaturan suatu masalah di luar negeri. Sebagai contoh draft RUU Perkreditan Perbankan. 2) Terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah Jenis dan informasi terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah, didapatkan ketika Pemerintah memberikan Keterangan Pemerintah atas suatu RUU yang disampaikan dalam rapat paripurna DPR. Sejak Pemerintah menyampaikan Keterangan Pemerintah tersebut, masing-masing fraksi dituntut untuk mencari informasi yang berhubungan dengan masalah yang diatur dalam RUU. Hal ini dilakukan sebagai bahan bagi fraksi dalam menyampaikan Pemandangan Umum Fraksi atas RUU sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR-RI. Sejak adanya Pemandangan Umum tersebut, masing-masing fraksi tetap akan mencari informasi tambahan lainnya, karena masing-masing fraksi dituntut untuk mencari permasalahan apa yang terkandung dalam RUU tersebut dan hasil inventarisasi fraksi atas masalah dicantumkan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU. Walaupun DIM RUU sudah tersusun, anggota DPR yang tergabung dalam Panitia Khusus (Pansus) RUU atau dalam Komisi DPR, tetap dituntut untuk mencari informasi dari masyarakat atau dari para pelaku yang terkait dengan RUU tersebut. Infomasi didapatkan dari laporan tertulis dari masyarakat atau para pelaku ataupun Pansus DPR atau Komisi DPR melakukan RDPU dengan pihak-pihak yang mengetahui permasalahan dalam RUU. Hasil informasi dari masyarakat baik yang diterima secara tertulis ataupun dalam tatap muka dalam RDPU tersebut dijadikan bahan yang sangat berharga bagi anggota DPR ketika melakukan pembahasan bersama RUU dengan Pemerintah. 34
ESAI-ESAI HUKUM
D. Penutup 1. Untuk melaksanakan fungsi legislasi, maka informasi merupakan bahan yang sangat penting dalam penyusunan dan pembahasan RUU. 2. Jenis dan informasi bukan saja tanggungjawab dari anggota DPR, tapi juga merupakan tanggungjawab dari masyarakat, kalangan perguruan tinggi dan pihak lainnya. 3. Hendaknya informasi tersebut adalah informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan informasi tersebut memberikan solusi yang tepat terhadap suatu masalah yang terdapat dalam RUU. Bahan Bacaan: 1. UUD Negara RI Tahun 1945. 2. UU No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004. 3. Peraturan Tata Tertib DPR- RI. 4. Laporan Kerja Badan Legislasi Tahun 2000 – 2002.
35
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
36
ESAI-ESAI HUKUM
PELAYANAN RISET DI BIDANG LEGISLATIF DALAM KERANGKA PENINGKATAN KINERJA LEMBAGA PENEGAK HUKUM1
A. Pengantar Sesuai dengan asal kata parlemen yaitu parle, yang artinya berbicara, maka kedudukan seorang anggota parlemen adalah berbicara yang menjadi kewenangannya. Di era reformasi saat ini seorang anggota parlemen dituntut untuk dapat berbicara dengan benar dan untuk dapat seorang anggota parlemen berbicara dengan benar, tentu diperlukan sejumlah data dan informasi dari hasil riset tertentu, sehingga ketika seorang anggota parlemen berbicara harus sudah berdasarkan data dan informasi yang diperoleh berdasarkan riset yang telah dilakukan. Tentu saja untuk mendapatkan data dan informasi dari hasil riset, pekerjaan ini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang anggota parlemen, karena pada umumnya anggota parlemen memiliki sejumlah staf atau parlemen suatu negara memiliki suatu lembaga riset untuk mendukung eksistensi dari anggota parlemen dalam menjalankan fungsinya. Eksistensi lembaga riset bagi anggota parlemen Indonesia menjadi semakin dominan dengan adanya perubahan kewenangan pembentukan Undang-undang yang saat ini berada di tangan DPR-RI sejak adanya Perubahan Pertama UUD 1945, yang pada Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU, sehingga dari ketentuan Pasal 20 ayat (1) ini telah memposisikan kekuasaan pembentukan UU menjadi tanggung jawab DPR-RI. 1
Makalah yang disampaikan penulis pada Pra Seminar Hukum Nasional, Jakarta 1 November 2002, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM dan Komisi Hukum Nasional.
37
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Upaya atas kewenangan DPR dalam hal pembentukan Undang-undang, sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1990, ketika itu DPR melalui Sekretariat Jenderal telah membentuk lembaga riset yang bertugas untuk membantu dalam pelayanan riset, termasuk pelayanan riset legislatif dan baru di tahun 1994 diadakan reorganisasi Sekretariat Jenderal DPR-RI melalui Keputusan Presiden Nomor 13 tahun 1994 jo Surat Keputusan Sekretaris Jenderal DPR-RI Nomor 175/Sekjen/1994 jo SK Sekretaris Jenderal DPR-RI Nomor 340/Sekjen/2000 dan baru pada tahun 1994 resmilah berdiri badan riset DPR-RI yang dinamakan Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I)2. Melalui lembaga P3I inilah yang diharapkan dapat membantu kinerja DPR dalam melaksanakan fungsi DPR di bidang anggaran, pengawasan dan pembentukan UU. Selain lembaga riset P3I, unsur pelayanan riset di bidang legislasi, juga dilakukan oleh Asisten Sekretaris Jenderal DPR-RI (Asses I) bidang Perundang-undangan, yang bertugas membantu DPR dalam menyiapkan bahan telaahan yang berkaitan dengan pengajuan RUU dan pemantauan pelaksanaan Undang-undang. Untuk mensinergikan mekanisme kerja antara P3I dan Asses I, maka dibentuklah Unit Pendukung Perancang UU3 yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Sekjen Nomor 46/Sekjen/2001. Melalui unit pendukung ini diharapkan kinerja DPR dalam bidang legislasi dapat ditingkatkan. Pentingnya pelayanan riset di bidang legislasi menjadi semakin berat, terutama setelah adanya Perubahan Pertama UUD 1945 dan adanya hasil pembahasan MPR terhadap laporan pelaksanaan tugas DPR pada Sidang Tahunan 2001 dan 2002, dimana MPR telah memberikan mandat atas tugas DPR di bidang legislasi, yang antara lain disebutkan bahwa fungsi legislasi perlu ditingkatkan produktifitasnya dalam hal pembuatan UU. Fungsi legislasi sendiri juga berhubungan dengan prolegnas sebagai suatu strategi pokok pembangunan. Keberadaan prolegnas sendiri sudah diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagaimana diperintahkan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1999. Dalam kerangka pembentukan UU, maka fungsi legislasi harus terintegrasi dengan ketentuan 2
P3I terdiri dari 40 orang peneliti yang terbagi atas bidang 1) Hukum, 2) Politik Dalam Negeri, 3) Ekonomi, 4) Hubungan Internasional dan 5) Kesejahteraan Sosial. Penulis pada tahun 1991 melakukan studi banding ke The Conggresional Research Service pada Parlemen Amerika Serikat.
3
Unit Perancangan Undang-undang merupakan jawaban atas amanat yang diberikan oleh MPR kepada DPR untuk meningkatkan fungsi legislasi.
38
ESAI-ESAI HUKUM
program legislasi nasional sebagaimana diatur dalam UU No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004. B. Peranan DPR Dalam Peningkatan Kinerja Lembaga Penegak Hukum Upaya DPR dalam rangka peningkatan kinerja fungsi legislasi, maka telah disusun oleh Badan Legislasi DPR rangkaian undang-undang yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja lembaga hukum. Adapun rancangan undang-undang yang akan dibentuk dalam kerangka peningkatan kinerja lembaga hukum, adalah antara lain : 1. RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI4, 2. RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 tahun 19995; 3. RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum6; 4. RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara7; 5. RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Agung8; 6. Rancangan Undang-undang tentang Komisi Yudisial9; 7. Rancangan Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi10. Walaupun dalam pelaksanaan tugas selama ini, orang sering mempertanyakan keberadaan pelaksanaan fungsi DPR, apakah pelaksanaan fungsi DPR selama ini lebih menitik beratkan segi-segi politis semata saja. Kekuatiran ma4
Telah diundangkan menjadi UU No 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
5
Telah diundangkan menjadi UU No 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU no 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
6
Telah diundangkan menjadi UU No 5 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.
7
Telah diundangkan menjadi UU No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
8
Telah diundangkan menjadi UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung.
9
Telah diundangkan menjadi UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
10
Telah diundangkan menjadi UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
39
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
syarakat tidak dapat dipersalahkan, karena DPR adalah lembaga politik, maka segi-segi politis tentu saja menjadi titik sentral bagi lembaga parlemen. Dalam kerangka peningkatan kinerja hukum maka tanggung jawab DPR di bidang legislasi, hanya terbatas kepada materi muatan UU, sedangkan terhadap tanggung jawab atas pelaksanaan suatu UU, menjadi tanggung jawab Pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Apabila di kemudian hari terjadi penyimpangan atas pelaksanaan suatu UU, DPR terlebih dahulu mengkaji atas kekurangan/kelemahan atas suatu UU, jadi DPR tidak serta merta melakukan penggantian atas UU tersebut. Pengkajian atau kekurangan/kelemahan pelaksanaan suatu UU juga telah dilakukan melalui serangkaian riset yang dilakukan oleh P3I, yang hasil risetnya dipakai untuk kepentingan anggota DPR dalam menjalankan fungsinya. Selain itu untuk mengetahui kekurangan dan/atau kelemahan dalam pelaksanaan penegakan hukum, DPR dapat menggunakan fungsi pengawasan, melalui fungsi pengawasan ini, DPR dapat memanggil instansi penegak hukum untuk mengetahui alasan tidak berjalannya kinerja lembaga hukum hukum tersebut. C. Penggunaan Data Dalam Tugas Legislasi Dalam kerangka pembentukan UU, maka kebutuhan akan data dan informasi dari hasil riset, merupakan hal yang sangat berperan penting bagi setiap anggota DPR, tanpa adanya ketiga hal tersebut, maka sangat mustahil seorang anggota DPR dapat menjalankan fungsi legislasinya. Pada umumnya jenis dari data dan informasi yang dibutuhkan oleh seorang anggota DPR dalam menyusun RUU adalah data dan informasi yang mudah dipahami dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini mengingat bahwa pada umumnya seorang anggota DPR adalah anggota yang bersifat generalis, jarang ada anggota DPR yang menguasai masalah teknis tertentu (spesialis). Seorang anggota DPR yang generalis karena anggota DPR tersebut hanya memahami permasalahan secara umum saja, sehingga ketika seorang anggota parlemen dituntut untuk memahami hal yang bersifat teknis dalam hal pembahasan RUU, maka adanya data dan informasi dari hasil riset legislatif yang bersifat teknis, dapat membantu ketika kami harus memahami permasalahan teknis yang diatur dalam materi muatan suatu RUU. Walaupun demikian juga ada juga seorang anggota parlemen yang bersifat spesialist di bidang tertentu, 40
ESAI-ESAI HUKUM
tapi ketika seorang anggota parlemen tersebut dituntut untuk memahami bahasa hukum yang terkandung dalam RUU atau ketika memasuki tahapan teknis perundang-undangan, eksistensi data dan informasi dari hasil riset legislatif di bidang teknik perundang-undangan, menjadi kebutuhan bagi setiap anggota parlemen. Upaya yang dilakukan oleh anggota DPR dalam mendapatkan data dan informasi adalah antara lain dengan memanggil orang atau pihak-pihak tertentu yang menguasai secara teknis atau mempunyai pengalaman empiris atas suatu RUU. Pemanggilan ini dilakukan dalam bentuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Dalam RDPU, pada umumnya anggota akan menggali secara mendalam hal-hal yang akan diatur dalam suatu RUU. Selain itu pihak atau orang yang dipanggil dituntut untuk memberikan keterangan secara rinci dan hal-hal yang mendukung penjelasannya, misalnya praktek di luar negeri. Untuk mendukung fungsi legislasi ini, DPR juga mengadakan tatap muka dengan kalangan perguruan tinggi. Pengalaman selama ini, ketika Baleg menyusun draft RUU, Baleg setiap masa reses mengadakan kunjungan ke perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Melalui tatap muka dan diskusi dengan para pakar perguruan tinggi ini akan didapatkan masukan yang sangat berarti dari kalangan intelektual. Hasil dari kunjungan tatap muka ke perguruan tinggi dan hasil dari diskusi dalam RDPU, dipakai sebagai informasi tambahan untuk memperbaiki draft RUU yang sedang dipersiapkan oleh Tim Asistensi dan Tim Panja Baleg. Pengalaman praktek selama ini juga terlihat adanya peran serta dari masyarakat yaitu dengan memberikan informasi yang berhubungan dengan suatu masalah yang akan diatur dalam draft RUU. Hanya saja dari beberapa data dan informasi yang diterima, ada data dan informasi yang dapat dikategorikan sebagai data dan informasi yang tidak dapat diterima, karena data dan informasi tersebut hanya mengkritik suatu masalah dan tidak memberikan alasan yang jelas dan tidak ada solusi terhadap suatu masalah yang akan diatur dalam draft RUU, selain itu banyak juga data dan informasi yang dianggap baik, karena memberikan penjelasan yang jelas dan memberikan solusi terhadap suatu masalah yang akan diatur dalam draft RUU. Data dan informasi ini juga tergantung dari draft RUU yang akan dibentuk oleh DPR, kalau RUU yang akan dibentuk adalah revisi, tentu saja informasi yang diperlukan ada alasan atau argumentasi mengapa suatu masalah tersebut 41
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
akan direvisi, selain itu juga dilihat pengalaman empiris di lapangan, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa masalah tersebut harus direvisi. Sebagai contoh adalah revisi terhadap UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal11, dalam draft RUU disebutkan bahwa RUU Pasar Modal yang baru harus memiliki ketentuan yang bersifat global. Untuk RUU yang masih dikategorikan baru pertama kali diatur, tentu saja data dan informasinya lebih detil dan dicari pengalaman praktis atas masalah tersebut yang akan diatur di beberapa negara, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa hal tersebut memang perlu di atur, sehingga Indonesia tidak tertinggal dibandingkan dengan pengaturan suatu masalah di luar negeri. Sebagai contoh draft RUU Perkreditan Perbankan. Data dan informasi dari hasil riset legislatif, dibuat secara sistematis oleh tim pendukung, sehingga dari data dan informasi tersebut dapat ditarik benang merah yang sesuai dengan permasalahan yang ada dalam draft RUU yang sedang dibahas. Hal ini kami lakukan, karena tidak semua data dan informasi yang ada di atas, ada hubungannya secara langsung dengan permasalahan yang ada dalam draft RUU. Data dan informasi yang berhubungan langsung dengan materi muatan RUU, kami diskusikan dengan sesama anggota parlemen atau dengan pihak pemerintah dalam tahapan tingkat pembicaraan RUU. Dari kegiatan ini oleh DPR dan Pemerintah akan didapatkan rumusan tertentu yang dimasukan sebagai materi muatan RUU. D. Penutup Di satu sisi anggota parlemen harus memenuhi tuntutan untuk melaksanakan fungsi legislasi dalam waktu tertentu, tapi di sisi lain anggota parlemen harus memperhatikan ketepatan substansi dari materi muatan RUU. Berhasil tidaknya pelaksanaan fungsi legislasi ini tergantung kepada kemampuan setiap anggota parlemen, karena disadari atau tidak adanya heterogennya anggota, karena pada umumnya anggota parlemen lebih bersifat generalis. Di sisi lain keberhasilan pelaksanaan fungsi legislasi juga tergantung kepada ketersediaannya data dan informasi dari hasil riset legislatif yang dipersiapkan tim riset DPR. Sistem data dan informasi harus dapat mendukung kinerja DPR dalam pelaksanaan fungsi DPR. 11
Draft RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, merupakan salah satu draft RUU yang sudah disiapkan oleh Badan Legislasi.
42
ESAI-ESAI HUKUM
Dalam kerangka peningkatan kinerja lembaga hukum, tanggung jawab DPR di bidang legislasi hanya terbatas kepada materi muatan yang terkandung dalam suatu RUU. Upaya untuk mendukung kinerja lembaga hukum, selain didasarkan atas kebutuhan perangkat peraturan perundang-undangan, hal yang perlu diperhatikan adalah sampai berapa jauh suatu UU dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat diterima oleh masyarakat terutama kepatuhan atas pelaksanaan UU oleh setiap orang, hal ini sesuai dengan prinsip equality before the law.
43
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
44
ESAI-ESAI HUKUM
PERANAN PUSAT PENGKAJIAN DAN PELAYANAN INFORMASI SEBAGAI PELAYANAN RISET LEGISLATIF1
A. Pengantar Dasar hukum pembentukan Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 13 tahun 1994 tentang Organisasi Sekretariat Jenderal DPR-RI jo Keputusan Sekretaris Jenderal DPR-RI Nomor 175/SEKJEN/1994 tentang Organisasi dan Tata Kerja Setjen DPR-RI. Embrio dari pembentukan lembaga P3I sudah sejak tahun 1990, ketika itu Pimpinan DPR-RI, Bp Kharis Suhud memandang perlu dibentuknya suatu lembaga riset penunjang lembaga parlemen Indonesia. Lembaga Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi mirip dengan lembaga riset sejenis di Amerika Serikat yang bernama Conggressional Research Service (CRS). Untuk mewujudkan lembaga P3I, Pimpinan Setjen DPR-RI mengadakan kerjasama dengan lembaga Universitas Indonesia, kerja sama ini dilakukan selama 4 (empat) tahun. Ketika itu direkrutlah 16 (enam belas) orang tenaga peneliti, yang dididik untuk melakukan penelitian dan pengkajian dalam rangka tugas Kedewanan. Setelah dipandang sudah cukup mampu, maka P3I mulai bekerja sendiri tanpa bimbingan dari UI dan setelah berkiprah 4 tahun, maka lahirlah Keppres Nomor 13 tahun 1994 sebagai dasar hukum terbentuknya lembaga Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) Setjen DPR-RI.
1
Makalah yang disampaikan penulis pada Workshop Pelayanan Riset oleh Kelompok Kerja C1, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional, Jakarta 30 Mei 2002.
45
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
B. Organisasi P3I Menurut SK Sekjen Nomor 175/Sekjen/1994, organisasi P3I terdiri dari: a) Bidang Pengkajian dan Analisis; b) Bidang Dokumentasi; c) Bidang Sarana dan Pelayanan Informasi; d) Unit Perpustakaan; d) Kelompok Jabatan Fungsional Peneliti, Pranata Komputer dan Pustakawan. Kalau diperhatikan organisasi diatas, maka bidang pengkajian dan analisis serta dokumentasi merupakan unsur penunjang lembaga riset, karena kedua bidang ini merupakan jabatan struktural, sedangkan yang secara langsung sebagai unsur pelayanan riset adalah kelompok peneliti, dan kelompok peneliti berada di bawah bidang pengkajian dan analisis. Bidang dokumentasi, perpustakaan dan bidang sarana pelayanan informasi bertugas mendukung pekerjaan dari para peneliti. Saat ini para peneliti terbagi dalam 5 tim/bidang, yaitu, 1) bidang hukum; 2) bidang politik dalam negeri; 3) bidang ekonomi; 4) hubungan internasional dan 5) bidang hubungan kesejahteraan sosial. Jumlah para peneliti saat ini adalah 40 (empat puluh) orang. C. Pelayanan Riset Legislatif Yang Dilakukan Oleh P3I Bentuk pelayanan riset yang dilakukan oleh para peneliti P3I dapat dilakukan secara aktif dan pasif. Pelayanan riset yang bersifat aktif dilakukan dengan melakukan pengkajian atas sejumlah RUU yang diprioritaskan dalam prolegnas, misalnya draft RUU Larangan Praktek Monopoli2, draft RUU Perlindungan Konsumen3, draft RUU Perjalanan Haji4, sedangkan yang dilakukan pada Program Pembangunan Nasional (Propenas) antara lain draft RUU Lembaga Kepresidenan, draft RUU Perkreditan Perbankan, draft RUU Mahkamah Konstitusi5, draft RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan6. Kegiatan pelayanan riset ini biasanya dilakukan dengan melibatkan kerja sama antara 5 tim yang ada di P3I.
2
Telah diundangkan menjadi UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
3
Telah diundangkan menjadi UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
4
Telah diundangkan menjadi UU No 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
5
Telah diundangkan menjadi UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
6
Telah diundangkan menjadi UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
46
ESAI-ESAI HUKUM
Pelayanan riset yang bersifat pasif dilakukan dengan cara memberikan tinjaun kritis terhadap draft RUU yang datangnya dari Pemerintah, Tinjauan kritis ini dilakukan dengan melakukan serangkaian pengkajian yang ada hubungannya dengan draft RUU, misalnya pengkajian atas draft RUU Tindak Pidana Pencucian Uang7. D. Bentuk Pelayanan Riset Legislatif Bentuk pelayanan riset dapat dilakukan secara ilmiah dan secara instant. Adapun bentuk pelayanan riset secara ilmiah dilakukan dengan mengkaji sejumlah draft RUU yang sedang dibahas atau mengkaji sejumlah draft RUU yang akan diajukan oleh DPR. Bentuk pelayanan riset juga dilakukan dengan melakukan penelitian yang ada hubungannya dengan draft RUU yang akan dibahas, misalnya penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Kota Besar Di Pulau Jawa, penelitian mana menjadi dasar dari pembentukan draft RUU tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu bentuk pelayanan riset ilmiah juga dilakukan dengan membentuk dan menyusun Naskah Akademis RUU, misalnya Naskah Akademis RUU tentang Lembaga Kepresidenan dan Naskah Akademis Mahkamah Konstitusi. Bentuk pelayanan riset yang sifatnya instant dilakukan dengan memberikan sejumlah kliping koran dan majalah yang ada hubungannya dengan draft RUU yang sedang dibahas atau kliping Koran dan majalah yang ada hubungannya dengan draft RUU yang akan dibahas. Selain memberikan kliping koran dan majalah, bentuk pelayanan riset yang sifatnya instant dilakukan dengan mencari informasi, data dan fakta di internet. E. Kegiatan Pelayanan Riset Legislatif Kegiatan pelayanan riset legislative sebenarnya sudah dapat diantisipasi oleh para peneliti P3I, dengan diketahuinya sejumlah RUU yang telah diterima oleh DPR atau sejumlah draft RUU yang akan menjadi RUU versi DPR ataupun dari RUU yang sedang dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah. Untuk menunjang kegiatan pelayanan riset legislative ini dilakukan dengan berbagai cara, antara lain diskusi dengan pakar yang berkaitan dengan draft RUU yang sedang atau yang akan menjadi RUU versi DPR, ataupun mencari 7
Telah diundangkan menjadi UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
47
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
penelusuran literature baik melalui perpustakaan yang ada di Indonesia, atau mencari penelusuran informasi melalui internet. Pengalaman selama ini kegiatan pelayanan riset legislative dapat berjalan sebagaimana mestinya, terutama banyak para pihak atau pakar yang dengan senang hati mau dipanggil untuk melakukan diskusi terbatas dengan para peneliti. Akhir-akhir ini ada kecenderungan diskusi pakar juga dilakukan para expertise internasional, yang mana mereka dengan senang hati untuk membantu dalam masalah-masalah tertentu. Selain itu oleh Pimpinan Sekjen DPR, para peneliti juga diberikan kesempatan untuk melakukan studi banding atas masalah tertentu di luar negeri, melalui studi banding ini diharapkan dapat mencari pengalaman tertentu dan wawasan di luar negeri. F. Penutup Untuk mengukur efektifitas pelayanan riset yang telah dilakukan oleh P3I dapat diukur dari sejauhmana para anggota DPR menggunakan jasa pelayanan riset yang diberikan oleh P3I atau sejauhmana para peneliti melakukan pengkajian atas sejumlah draft RUU yang datangnya dari Pemerintah. Selama ini efektifitas pelayanan riset diakui belum maksimal, baik dari sisi si pengguna yaitu para anggota DPR yang menggunakan jasa pelayanan riset yang ditawarkan oleh P3I ataupun kesiapan dari peneliti dalam mengkaji sejumlah draft RUU yang sedang dibahas di Panitia Khusus (pansus) atau yang sedang dibahas di Komisi-komisi DPR. Sejauh ini efektifitas pelayanan riset juga tergantung pada padatnya kinerja DPR, terutama pada akhir-akhir ini ketika DPR dituntut untuk lebih menggunakan ketiga macam fungsinya, sehingga ujung tombak dari penggunaan fungsi DPR yaitu dengan berjalannya pelayanan riset khususnya pelayanan riset legislatif yang dilakukan oleh P3I. Efektifitas pelayanan riset legislative ini juga tergantung pada masalah spesialisasi atas sejumlah draft RUU, karena pada umumnya para peneliti yang ada belum seluruhnya membagikan dirinya pada bidang spesialisi tertentu, tapi di sisi lain sudah ada para peneliti yang secara khusus menjadi spesialis di bidangnya, misalnya spesialis khusus di bidang anggaran negara atau spesialis masalah otonomi daerah atau spesialis atas hubungan antar negara.
48
ESAI-ESAI HUKUM
ASPEK HUKUM DALAM PENGEMBANGAN DESENTRALISASI PASCA UU NO 32 DAN 33 TAHUN 20041
A. Pengantar Nuansa reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, menjadi semakin menarik dengan diundangkannya UU yang berhubungan dengan otonomi daerah2. Imbas dari era otonomi, maka fungsi perencanaan yang ada pada suatu instansi pemerintah atau instansi daerah semakin berperan penting. Walaupun demikian harapan yang terlampau tinggi ternyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat di era otonomi daerah saat ini. Praktek tambal sulam atau praktek proyek instan membuat banyak terjadi kasus-kasus yang merugikan keuangan negara pada umumnya. Belajar dari pengalaman selama 7 (tujuh) tahun terakhir ini, maka tidak salah, kalau fungsi dari perencana menjadi sesuatu yang diharapkan saat ini, minimal dengan adanya tenaga perencana, pengalaman buruk selama ini dapat ditata ulang kembali sesuai dengan arah dan tujuan dari reformasi dan otonomi daerah. Bila kita perhatikan maka ada 3 hal penting yang perlu kita perhatikan, 1) Masalah Desentralisasi sebagai sasaran atau obyek dari masalah yang kita 1
Makalah yang disampaikan penulis pada Pelatihan Fungsional Penjenjangan Perencana Tingkat Pertama Bapeda DKI, Angkatan I, diselenggarakan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 20 Mei 2005.
2
Undang-undang yang berhubungan dengan Otonomi Daerah, antara lain, 1) UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, 2) UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 3) UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan 4) UU No 34 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
49
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
bicarakan hari ini, 2) Segi perencanaan, sebagai sarana untuk menuju kepada obyek, dan 3) Ilmu hukum sebagai arah untuk mencapai tujuan. Ketiga hal ini berhubungan erat satu sama lain, ketiganya berposisi seimbang sesuai dengan takarannya, dalam arti tidak ada yang dilebihkan atau yang dikorbankan, karena ketiga hal ini berhubungan satu sama lain bahkan bersinergi. Masalah ini menjadi menarik, khususnya bagi para “calon” perencana, karena dengan mengetahui secara dini, maka para perencana akan dapat lebih mudah untuk mendalami permasalahan dimaksud, khususnya di era otonomi daerah saat ini. Masalah ini juga menjadi sangat amat penting, khususnya dengan diundangkannya UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menegaskan bahwa pada tahun angggaran 2005 diusahakan bahwa anggaran negara harus berdasarkan berbasis kinerja3. Ini artinya dengan anggaran berbasis kinerja ini, menjadikan para perencana akan menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan anggaran negara yang berbasis kinerja4. Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana hukum akan memberi arah kepada sisi perencanaan dalam melaksanakan proses desentralisasi di era otonomi daerah. Hukum yang dimaksud adalah hukum yang sesuai dengan sisi perencanaan, dalam arti sisi perencanaan harus terlebih dahulu menetapkan perencanaan mana yang memerlukan sisi ilmu hukum, sehingga dengan ilmu hukum tersebut dapat memberikan makna kepada perencanaan dalam membidik obyeknya yaitu proses desentralisasi di era otonomi daerah. B. Perencanaan Sama seperti ilmu hukum, perencanaan juga mempunyai makna atau arti. Secara sederhana perencanaan dapat diartikan sebagai suatu proses secara teratur dan berkesinambungan atas suatu obyek khususnya suatu pekerjaan tertentu. Dalam hal lain, perencanaan dalam diartikan juga sebagai urusan administrasi, baik baik administrasi umum dan administrasi negara. Dalam hal lainnya, perencanaan diartikan sebagai sisi manajemen suatu usaha tertentu, dan perencanaan dapat diartikan juga sebagai suatu kegiatan yang tergantung 3
Lihat Penjelasan Umum dalam UU No 17 tahun 2003 serta format baru APBN TA 2005.
4
Dalam fomat bari APBN TA 2005 disebutkan bahwa sesuati dengan Pasal 15 ayat (5) UU No 17 tahun 2003, APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja, sedangkan format belanja negara dibedakan antara Belanja Pemerintah Pusat dan Belanja untuk Daerah.
50
ESAI-ESAI HUKUM
pada bidang tertentu, misalnya bidang keuangan, bidang organisasi dan bidang lainnya. Mungkin pengertian perencanan yang bersinggungan dengan ilmu hukum adalah perencanaan dalam bentuk proses suatu putusan administrasi yang dikeluarkan oleh pejabat publik5. Hal ini dimungkinkan karena seorang pejabat publik yang mengeluarkan putusan administrasi, putusan tersebut pasti berasal dari sisi perencanaan, sehingga apabila ada penolakan terhadap putusan pejabat publik tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perencanaan dari suatu putusan tersebut tidak berjalan dengan baik. Menurut penulis, dari kacamata hukum, perencanaan itu sendiri dapat diklasifikasikan sebagai 1) perencanaan yang bersifat makro (menyeluruh) dan 2) perencanaan yang bersifat mikro. Perencanaan yang bersifat makro dapat dilihat pada 1) Perencanaan Pembangunan Nasional6 sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, 2) APBN. C. Kepentingan Hukum Pada Perencanaan Sebelum membicarakan kepentingan hukum pada sisi perencanaan, maka sebaiknya kita mencari kesepakatan dahulu tentang hukum apa yang berhubungan dengan perencanaan. Banyak orang berpandangan (termasuk orang yang belajar ilmu hukum), bahwa hukum itu identik dengan 1) Undang-undang, 2) proses hukum di pengadilan. Padahal bagi orang yang “menekuni” bidang ilmu hukum, ada 10 pengartian dari hukum. Adapun pengartian dari hukum adalah7 : 1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan; 2. Hukum sebagai disiplin; 3. Hukum sebagai kaedah; 4. Hukum sebagai tata hukum; 5. Hukum sebagai petugas hukum; 5
Sejak diundangkannya UU No 1 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), setiap keputusan pejabat publik dapat digugat di peradilan TUN.
6
Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa perencanaan pembangunan nasional terditi atas perencanaan pembangunan nasional yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan Perencanaan Pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
7
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1983, hal. 28-29.
51
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
6. Hukum sebagai ketentuan dari penguasa; 7. Hukum sebagai proses pemerintahan; 8. Hukum sebagai pola perikelakukan; 9. Hukum sebagai jalinan nilai; dan 10. Hukum sebagai seni Berdasarkan kesepuluh pengartian hukum di atas, maka yang berhubungan dengan sisi perencanaan adalah : 1) Hukum sebagai tata hukum, 2) Hukum sebagai ketentuan dari penguasa, dan 3) hukum sebagai proses pemerintahan. Pengartian hukum tersebut yang berhubungan dengan otonomi daerah atau proses desentralisasi adalah 1) hukum sebagai tata hukum, 2) hukum sebagai ketentuan penguasa, 3) hukum sebagai proses pemerintahan. Apabila kita sudah menyamakan persepsi ini, maka baru kita bisa membicarakan kepentingan hukum pada proses perencanaan. Dalam bidang ilmu hukum, hal perencanaan merupakan bagian dari proses administrasi pemerintahan atau administrasi negara. Di kalangan hukum, perencanaan dimaksud adalah bagian dari Hukum Administrasi Negara. Secara sederhana dapat dikatakan pula, bahwa kepentingan dari hukum pada suatu perencanaan bisa bertitik tolak kepada 3 (tiga) hal : 1. hukum sangat dibutuhkan agar perencanaan dapat berhasil sesuai dengan apa yang direncanakan, misal perencanaan untuk mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi daerah, maka diperlukan perangkat peraturan daerah8. 2. hukum sangat dibutuhkan, agar perencanaan dapat memprediksi, keberhasilan suatu hal tertentu atau ketidak berhasilan suatu hal tertentu9. 3. hukum sangat dibutuhkan, untuk melegalkan atas suatu perbuatan atau tindakan yang diambil, misalnya dasar hukum untuk menarik pendapatan asli daerah adalah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda)10. D. Berperannya Hukum Berperannya hukum dapat terlaksana, bila kita telah sepakat tentang pengartian pada hukum yang akan kita gunakan. Misal untuk masalah desen8
Dalam konteks ilmu hukum, hal ini masuk wilayah sifat formil hukum.
9
Dalam konteks ilmu hukum, hal ini masuk wilayah sifat materiil hukum.
10
Dalam konteks ilmu hukum, hal ini masuk wilayah sifat formil hukum.
52
ESAI-ESAI HUKUM
tralisasi, maka arti hukum yang berhubungan dengan desentralisasi, adalah 1) hukum sebagai proses pemerintahan, 2) hukum sebagai tata hukum dan 3) hukum sebagai keputusan penguasa. Dalam desentralisasi terdapat penyerahan wewenang dan dalam proses penyerahan wewenang inilah berlaku ketiga arti hukum tersebut. Selain masalah pengartian atas hukum, maka yang perlu diperhatikan juga terhadap berperannya hukum atas suatu hal, yaitu berlakunya dua sisi hukum, dalam arti 1) hukum yang bersifat formil dan 2) hukum yang bersifat materiil. Hukum yang bersifat formil diartikan sebagai tata cara atau mekanisme dari sisi hukum, sedangkan hukum yang bersifat materiil adalah hukum itu sendiri. Dua sisi ini sangat penting, sebab tanpa adanya mekanisme atau tata cara, maka sulit akan dilaksanakan kepentingan hukum itu sendiri. Apabila dua sisi hukum ini kita praktekkan pada UU bidang otonomi daerah maka akan digambarkan pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Sisi Hukum pada UU Otonomi Daerah No
Sifat Hukum Hukum Formil
1.
Hukum Materiil V
2. V
3.
V
4. V 5.
V
6. V
UU Otda UU 22/99
UU 34/00
Pasal 7
Kewenangan daerah
Pasal 8
Harus disertai dengan penyerahan….
Pasal 10 ayat (1) s/d ayat (3)
Kewenangan daerah di bidang sumber daya
Pasal 10 ayat (4)
Diatur dalam PP
Pasal 11
Kewenangan daerah kabupaten dan kota….
Pasal 12
Diatur dalam PP
7. V 8.
UU 25/99
Keterangan
V
53
Pasal 2
Dibiayai atas beban APBD
Pasal 3
Sumber penerimaan daerah
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum No
Sifat Hukum Hukum Formil
Hukum Materiil
UU Otda UU 22/99
UU 25/99
Keterangan UU 34/00
9. V
Pasal 4
Terdiri dari :
10. V
Pasal 5
Diatur dengan UU
11.
V
Bagian III Dana Perimbangan
12. V
Pasal 6
13. V 14.
V
15. V 16. V 17.
V
Terdiri dari “ …
Pasal 7
APBN
Pasal 8
APBN
Pasal 9
APBN
Pasal 10
PP
Bagian IV Pinjaman Daerah
18. V
Pasal 11
….pinjaman dari sumber dalam negeri
19. V
Pasal 12
Persetujuan DPRD
Pasal 13
Larangan
20.
V
21. V
Pasal 14
22. V
Pasal 15
23.
V
PP
Bagian V Dana Darurat
24. V
Pasal 16
APBN
E. Peran Perencana Bagi perencana sejak digulirkannya otonomi daerah, khususnya diberlakukannya desentralisasi, maka peran perencana, khususnya perencana daerah menjadi sangat penting. Bila kepentingan sang perencana dihubungkan dengan teknis hukum, maka : 1. hukum sebagai dasar pijakan bagi perencana untuk melegalkan semua rancangan perencanaan yang telah dipersiapkan oleh tim perencana, 2. obyek pekerjaan (dalam hal ini yang berhubungan dengan desentralisasi) akan menjadi lebih terencana dengan diefektifkannya tim perencana.
54
ESAI-ESAI HUKUM
Implementasi dari perencanaan terhadap konsep desentralisasi sebagaimana diatur dalam UU Otonomi Daerah adalah sebagai berikut : Tabel 2 Konsep Perencanaan Terhadap UU Otonomi Daerah No
UU Otda UU No 22/99
Hal Yang Bisa Dilakukan
UU No 25/99
1. Pasal 8 (1)
Bentuk penyerahan
2.
Bentuk pembiayaan
3.
Sarana dan prasarana
4.
SDM
5. Pasal 10 (1)
Bentuk pengelolaan
6. Pasal 10 (2)
Operasionalisasi kewenangan daerah di laut
6. Pasal 11 (2) 7.
Tindak lanjut dari ketentuan ini Bagian Ketiga
Bagaimana menindak lanjuti ketentuan ini
F. Pengembangan Desentralisasi Menurut ketentuan Pasal 1 huruf e, disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila ketentuan desentralisasi ini kita elaborasi, maka dapat dikatakan sebagai berikut: 1. Penyerahan wewenang pemerintahan11 yang terbatas, karena tidak semua wewenang pemerintahan diserahkan ke pemerintah daerah12. 2. Adanya hubungan antara Pemerintah (Pusat) dengan Pemerintah Daerah sebagai daerah otonom. Ini menandakan adanya “ciri” atasan dan bawahan. 3. Daerah otonom yang dimaksud adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu13 berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyrakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
11
Menurut Hukum Administrasi Negara, wewenang pemerintahan yang dimaksud adalah fungsinya dalam bentuk kegiatan.
12 Menurut Pasal 10 ayat (3) UU No 32 tahun 2004, urusan pemerintahan yang tidak diserahkan meliputi 1) politik luar negeri, 2) pertahanan 3) keamanan, 4) yustisi, 5) moneter dan fiska nasional, dan 6) agama. 13
Pada umumnya setiap pembentukan daerah ditetapkan dengan UU dan dalam UU tersebut disebutkan batas-batas daerah tersebut. Contoh pembentukan daerah yang ditetapkan dengan UU, misalnya UU No 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi DKI Ibukota Negara Indonesia, Jakarta
55
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Desentralisasi yang dimaksud dalam ketentuan ini juga mengarah kepada sistem otonomi daerah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Otonomi daerah yang dimaksud dalam UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi bila dua pengertian dari desentralisasi dan otonomi daerah disatu padukan, maka dapat dikatakan sebagai suatu pengembangan desentralisasi, sebab desentralisasi yang dimaksudkan dalam UU ini harus berpijak kepada suatu otonomi daerah, dan sebaliknya suatu otonomi daerah tidak dapat berkembang begitu saja tanpa adanya suatu proses, yaitu proses desentralisasi. Pengembangan suatu proses desentralisasi dilakukan dengan adanya suatu bentuk penyerahan wewenang pemerintahan dari Pemerintah kepada Daerah Otonom. Wewenang yang diserahkan tersebut harus dikelola dengan baik melalui pengaturan dan pengurusan atas wewenang yang telah diserahkan tesebut. Hal yang selalu menjadi pertanyaan masyarakat, apakah daerah otonom sudah mengetahui secara jelas dan rinci atas setiap wewenang pemerintahan yang telah dilimpahkan kepadanya ? Pertanyaan sederhana ini bisa saja muncul, karena adanya 2 (dua) kutub yang bertentangan dan bergantungan, artinya bahwa semua wewenang pemerintahan telah diserahkan kepada daerah otonom atau dari diantara wewenang pemerintahan yang telah diserahkan tersebut, daerah otonom masih tidak merasa puas, sehingga mereka memperluas arti wewenang pemerintahan yang diserahkan. Sudah banyak kasus yang dapat kita lihat dalam konteks ini14. Berdasarkan dua sisi ini, maka dapat dikatakan bahwa desentralisasi yang telah ada sejak tahun 1999, masih bisa dikembangkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Bagi sang perencana, konteks perencanaan dalam kerangka desentralisasi dapat dilihat pada kalimat “……… untuk mengatur dan mengurus……..”. Kalimat inilah yang menjadi kunci bagi sang perencana untuk menyusun perencanaan 14
Lihat Perda yang dibatalkan Pemerintah Pusat atas sejumlah perda yang dikeluarkan oleh daerah. Salah satu dasar penolakannya pada umumnya didasarkan kepada memperluas arti wewenang pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom. Ini bisa saja terjadi karena secara sengaja dengan cara memperluas arti wewenang pemerintahan yang diserahkan, atau secara tidak sengaja, dimana daerah otonom tidak mengetahui secara persis berapa jumlah yang pasti atas wewenang pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Dalam praktek banyak daerah tidak menyerahkan Perda ke Pemerintah Pusat untuk ditindak lanjuti.
56
ESAI-ESAI HUKUM
yang matang dalam hal mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Berdasarkan pemahaman sederhana ini, maka dapat dikatakan bahwa pengembangan suatu desentralisasi, secara definitif telah diberikan oleh UU Otda kepada semua bidang, khususnya bidang hukum dan bidang perencanaan. Pengembangan desentralisasi berpulang kembali kepada pihak-pihak tersebut apakah mau atau dapat mengembangkan desentralisasi dimaksud. Oleh sebab itu sebenarnya sistem hukum telah menjadi arah bagi perencana untuk mengembangkan konsep desentralisasi yang telah diatur dalam UU Otda. Jadi apakah kesempatan ini mau akan kita gunakan. Terserah kepada pihak-pihak tersebut. Dalam sejumlah peraturan perundang-undangan telah disebutkan bahwa desentralisasi yang telah ada selama ini diupayakan untuk berkembang, Adapun tujuan dari pengembangan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, sehingga dapat diupayakan migrasi atau perpindahan penduduk ke kota-kota besar. Salah satu upaya pengembangan desentralisasi yaitu tergantung kepada penerimaan daerah, baik penerimaaan yang bersumber dari daerah tersebut atau penerimaan untuk daerah dari Pemerintah Pusat melalui Dana Perimbangan. Adapun struktur pengembangan desentralisasi dapat tergambarkan sebagai berikut : DESENTRALISASI ---------------→ PENGEMBANGANNYA MELALUI 1. PENDAPATAN DAERAH, DAN 2. PEMBIAYAAN PENDAPATAN DAERAH BERSUMBER : A. PENDAPATAN ASLI DAERAH, Yang bersumber dari : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), bersumber dari : a. Pajak Daerah, b. Retribusi Daerah, c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan d. Lain-lain PAD yang sah, meliputi :
57
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
1) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, 2) jasa giro, 3) pendapatan bunga, 4) keuntungan selisih nilai tukar terhadap mata uang asing, dan 5) komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. 2. Dana Perimbangan, terdiri atas : a. Dana Bagi Hasil, yang bersumber dari : 1) pajak, meliputi : a) PBB, b) BPHTB, c) Pph Pasal 25 d) Pph Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi e) Pph Pasal 21. 2) sumber daya alam, berasal dari : a) kehutanan, b) pertambangan umum, c) perikanan, d) pertambangan minyak bumi, e) pertambangan panas bumi. b. Dana Alokasi Umum, Dasar penetapan DAU : 1) Jumlah DAU sekurang-kurangnya 26& dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN. 2) DAU untuk daerah dialokasikan atas dasar : a) celah fiskal, b) alokasi dasar 3) Proporsi DAU antara daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara Provinsi, Kabupaten dan Kota. 4) Pemerintah merumuskan formula dan penghitungan DAU, 5) Hasil penghitungan DAU ditetapkan dengan Keppres, 6) Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan, masing-masing sebesar 1/12 dari DAU daerah yang bersangkutan. 7) Ketentuan lebih lanjut tentang DAU diatur dalam Peraturan Pemerintah. 58
ESAI-ESAI HUKUM
c. Dana Alokasi Khusus Dasar pemberian DAK : 1) Besaran DAK tiap tahun dalam APBN. 2) DAK dialokasikan kepada daerah TERTENTU untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. 3) Kegiatan khusus harus sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN 4) Pemerintah menetapkan kriteria DAK. 5) Adapun kriteria DAK, adalah : a) kriteria umum, b) kriteria khusus, c) kriteria teknis. 6) Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK, kecuali untuk daerah yang kemampuan fiskalnya tertentu. 7) Dana Pendamping dianggarkan dalam APBD, 8) Ketentuan lebih lanjut tentang DAK diatur dalam Peraturan Pemerintah. 3. Lain-lain pendapatan, terdiri atas : 1) Pendapatan Hibah dan 2) Pendapatan Dana Darurat PEMBIAYAAN Pembiayaan untuk pelaksanaan desentralisasi, bersumber dari : 1. sisa lebih perhitungan anggaran daeah, 2. penerimaan pinjaman daerah, 3. dana cadangan daerah, dan 4. hasil penjulanan kekayaan daerah yang dipisahkan. G. Penutup Diberlakukannya sistem otonomi daerah pada tahun 1999 telah menempatkan pengembangan daerah-daerah di Indonesia mengalami perubahan secara gradual. Ketidaksiapan semua pihak menempatkan banyaknya pengalaman buruk yang menimpa otonomi daerah. UU Otda sendiri secara sistematis telah memberikan peluang bagi pengembangan daerah, khususnya bagi pengembangan desentralisasi. 59
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Pengembangan desentralisasi tidak dapat dilakukan secara sendiri, hal ini tergantung kepada sub sistem lainnya, misalnya bergantung kepada sistem hukum yang ada dan sistem perencanaan bagi pengembangan desentralisasi. Permasalahannya selama ini kita tidak memahami apa yang dimaksudkan dengan desentralisasi secara detil. Konsep desentralisasi yang ada selama ini menimbulkan keistimewaan bagi daerah tertentu dengan mengorbankan daerah lainnya, sehingga timbulnya raja-raja kecil. Akibatnya bisa kita lihat adanya ekses dari desentralisasi. Kekurangan terhadap elastisitas desentralisasi dapat ditutupi dengan diberlakukannya UU No 17 tahun 2003 yang menegaskan adanya anggaran yang berbasis kinerja, dan dari sistem anggaran ini, mulai menempatkan sang perencana sebagai ujung tombak dalam pengembangan desentralisasi. Sistem telah diperbaharui secara perlahan, dan saat ini kembali berpulang kepada semua pihak yang ingin atau mau mengembangkan sistem ini, khususnya dalam pengembangan desentralisasi. Oleh sebab itu tidak berkelebihan para perencana yang ada di instansi pemerintah pusat atau daerah dapat ditingkatkan fungsinya, sebab tanpa memberi kesempatan kepada sang perencana, maka ekses otonomi daerah akan berulang kembali suatu saat nanti. UU No 17 tahun 2003 dan RAPBN TA 2005 telah menegaskan bahwa perencanaan menjadi kunci utama dalam pengembangan sistem di Indonesia, khususnya dalam pengembangan desentralisasi di masa otonomi daerah saat ini. Selamat berkarya bagi perencana. Daftar Bacaan 1. UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 2. UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional 3. UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 4. UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 5. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 1983. 6. Laporan penelitian tentang Perda-perda yang bermasalah.
60
ESAI-ESAI HUKUM
PROSES DAN ARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM PASCA AMANDEMEN KONSTITUSI DAN PARTISIPASI LSM DAN DAERAH DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM1
A. Pengantar Berdasarkan makalah yang penulis terima, ada beberapa kata kunci dan ada beberapa hal yang perlu ditanggapi atau dibahas oleh penulis, adapun kata kunci dimaksud yaitu antara lain : 1. Makna perencanaan. 2. Makna dari pembangunan hukum. 3. Konstitusi Indonesia dan amandemennya. 4. Pengartian hukum. 5. Adanya partisipasi publik. Dari kelima kata kunci di atas, ada beberapa hal yang perlu ditanggapi oleh penulis. B. Pengartian hukum Membicarakan hukum saat ini tidak akan pernah habis dan selesai, mengingat sejak manusia dilahirkan dan manusia kembali kekhaliknya, maka hukum tetap diperlukan. Selama ini hukum selalu menjadi “korban” atau hukum selalu 1
Makalah yang disampaikan penulis pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional, Jakarta 22 November 2005.
61
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
dipersalahkan oleh pihak tertentu, selama hukum tersebut belum memberikan keuntungan terhadap pihak tertentu tersebut. Di sisi lain, dari segi akademisi, banyak pihak yang selalu mencampur adukan suatu masalah hukum dengan masalah hukum lainnya atau menggabungkan suatu peristiwa hukum tertentu dengan peristiwa hukum lainnya, yang tujuannya untuk mencari pembenaran atau kepentingan semata2. Hal ini semata karena belum adanya persamaan persepsi di antara kita dalam membicarakan hukum itu sebenarnya. Menurut Soerjono Soekanto, membicarakan hukum harus dikembalikan kepada arti dari hukum tersebut. Menurut beliau ada 10 pengartian hukum, yaitu :a) hukum dalam arti ilmu pengetahuan, b) hukum dalam arti disiplin c) hukum dalam arti kaedah, d) hukum arti tata hukum, e) hukum dalam arti petugas, f) hukum dalam arti keputusan penguasa, g) hukum dalam arti proses pemerintahan, h) hukum dalam arti perilaku yang ajeg, i) hukum dalam arti jalinan nilai dan j) hukum dalam arti seni3. Sehingga kalau akan membahas hukum dalam perspektif yang benar, harusnya dikembalikan kepada hukum tersebut akan diartikan sebagai pengartian hukum yang mana. Selama belum menyamakan persepsi tentang arti hukum4, maka permasalahan hukum tidak akan habis-habisnya dan hukum akan selalu menjadi korban semata. Untuk itu mungkin kita perlu kembali merefleksi kebelakang, sebelum kita akan membicarakan hukum yang sebenarnya. Juga dalam kaitan ini mungkin yang perlu kita sepakati bahwa makna pembangunan hukum mana yang akan kita bahas. Selama belum adanya persamaan persepsi dengan pembangunan hukum, antara pihak eksekutif, legislatif, yudikatif dengan pihak masyarakat termasuk LSM, maka yang akan terjadi adalah sikap pembenaran semata antara para pihak tersebut. Kalau hal ini terus dlakukan terus, maka jangan harap pembangunan hukum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Melalui adanya persamaan persepsi tentang arti hukum yang akan dibicarakan antara para pihak, maka dikotomi hukum tidak akan terjadi atau anek2
Banyak contoh bisa dilihat, dimana masing-masing pihak menyatakan sebagai pihak yang benar, hal ini bisa kita lihat di beberapa media massa, misalnya adanya bantahan dari pihak satu ke pihak yang lain.
3
Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, 1995, hal 10
4
Contohnya, yaitu hubungan DPR dan DPD dalam mekanisme pembahasan suatu draft RUU atau perbedaan persepsi antara Badan Supervisi dan Bank Indonesia atau perdebatan antara KPK versus Ketua MA atau antara BPK dengan Kementerian Sekretariat Negara.
62
ESAI-ESAI HUKUM
dot hukum yang mengatakan bahwa bila ada 2 atau 3 orang sarjana hukum, akan menghasilkan pendapat hukum yang beragam. Mungkin dari konteks ini, maka kita harus susun, arti hukum dalam pembangunan hukum yang akan kita bicarakan pada hari ini. Melihat dari pemakalah Muchmad Fajrul Fallakh (MFF), maka penulis berpendapat bahwa yang disorot oleh MFF dalam makalahnya bertumpu kepada hukum dalam arti tata hukum (MFF merujuk pada UUD dan Amandemen UU SPPN, RPJPM, RPJP Nasional), hukum dalam arti keputusan penguasa (MFF merujuk pada Menteri menyiapkan rancangan awal RPJPM) dan hukum dalam arti proses pemerintahan (MFF merujuk pada terpilihnya presiden dan wakil presiden dalam pilpres presiden dan wapres). Penulis sependapat dengan MFF terhadap masalah yang disampaikan MFF dalam makalahnya, tetapi penulis berpendapat bahwa untuk melakukan pembangunan hukum pada 3 arti hukum dimaksud, memerlukan treatment yang berbeda. Di sisi lain penulis berpendapat untuk melakukan pembangunan hukum pada 3 arti hukum dimaksud tidak dapat dilakukan secara paralel, harus dilihat kasus demi kasus5. Sayangnya banyak pihak yang belum melihat pembangunan hukum dalam konteks yang benar, padahal selama ini pembenahan hukum telah dilakukan melalui model perencanaan yang dituangkan dalam sistem perencanaan nasional (termasuk disini sistem perencanaan pembangunan hukum)6. Oleh sebab itu untuk memberi makna pada arti hukum dalam pembangunan hukum, maka sudah sepatutnya model perencanaan yang telah ada selama ini, kita isi dengan kegiatan yang menunjang atas pembangunan hukum. Kalaupun selama ini model perencanaan pembangunan hukum yang sudah ada belum memuaskan semua pihak, maka seharusnya kita bersama-sama menyamakan persepsi untuk mengisi atas model perencanaan pembangunan hukum tersebut. Seandainya kita tidak puas, maka harus memberikan solusi atau 5
Lihat model dalam UU No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), Tahun 2000 – 2004 dan UU APBN, dimana disebutkan dalam Program, terdapat a) Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan b) Pelaksanaan, terdiri dari i) hasil yang dicapai, ii) permasalahan dan tantangan, dan iii) tindak lanjut.
6
Hal ini dketahui penulis ketika ikut serta dalam penyusunan dan pembahasan UU No 25 tahun 2000 dan UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005 – 2025, serta dalam penelitian disertasi penulis tentang APBN di Indonesia.
63
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
jawaban kira-kira hal apa saja yang bisa menjadi isi dari model perencanaan pembangunan hukum. Disinilah sumbang saran kita semua dalam merencanakan perencanaan pembangunan hukum, sebab tanpa partisipasi semua pihak, maka pembangunan hukum yang ada selama ini tidak bisa memuaskan semua pihak. C. Konstitusi dan amandemennya Sejak bergulirnya era reformasi tahun 1998 dan diikuti dengan diamandemennya konstitusi negara pada tahun 1999, maka kita dapat melihat terjadi perubahan pada struktur negara dan struktur di dalam masyarakat. Pada struktur negara kita bisa lihat munculnya lembaga negara baru7, atau lembaga/badan atau komisi yang dibentuk dengan UU8 atau lembaga/badan atau komisi yang dibentuk dalam UU9. Selain itu kita bisa lihat bahwa presiden dan wakil presiden yang terpilih melalui pemilihan presiden dan wakil presiden10. Efek dari amandemen baru dirasakan beberapa tahun ini, dan mungkin ketika diadakannya pembahasan amandemen terhadap UUD Tahun 1945, para legislator tidak atau belum memikirkan efek dari amandemen UUD Tahun 1945 ketika itu. Salah satu hal yang menarik dari efek amandemennya, dapat terlihat dengan ditiadakannya GBHN11 bagi presiden dan wakil presiden sebagai dasar untuk melakukan pemerintahannya. Seperti diketahui bahwa selama ini GBHN dijadikan model dan modal dasar bagi presiden dan wakil presiden dalam melaksanakan program perencanaan pembangunan12, dan saat ini model perencanaan pembangunan didasarkan pada UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), UU No 17 Tahun 2007 tentang
7
Antara lain Mahkamah Konstitusi (UU No 24 tahun 2003), Komisi Yudisial (UU No 22 Tahun 2004)
8
Antara lain Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (UU No 27 Tahun 2004),
9
Antara lain Badan Perlindungan Konsumen Nasional (UU No 8 Tahun 1999)
10
Lihat Pasal 6 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 jo UU No 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
11
Lihat pada UUD Tahun 1945 Pasal 3 disebutkan bahwa MPR menetapkan UUD dan GBHN, sedangkan pada amandemen ketiga pada Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD.
12 Ada beberapa model perencanaan
64
ESAI-ESAI HUKUM
RPJP Nasional Tahun 2005 - 2025 dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2000 - 2005. Efek dari ditiadakannya GBHN dengan diadakannya SPPN, RPJPN dan RPJPM, tampak dari komentar MFF yang mengatakan bahwa SPPN menggunakan pendekatan teknokratik dalam perencanaan pembangunan. Hal ini sahsahnya saja sepanjang semua pihak mengakui UU SPPN sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan. Amandemen juga meninggalkan masalah baru di bidang ketatanegaraan dan sistem administrasi pemerintahan, yaitu dengan munculnya sejumlah komisi, badan atau pusat. (Lihat tabel 1). Tabel 1 Lembaga pasca amandemen Lbg yg diperintahkan dibentuk menurut UUD NRI 45
Lbg yg dibentuk dlm UU, sbg mandat dr lbg yang diakui dlm UUD NRI 45
Komisi, Badan, Pusat yg dibentuk dgn UU
Komisi, Badan, Pusat, yg dibentuk dalam UU
Komisi yang dibentuk dengan Keppres
1 MPR
Kejagung
Komisi Kejaksaan
KPPU
BPKN
KHN
2 Lbg Kepresidenan
KPU
No Lembaga Negara yg diatur menurut UUD NRI 45
Komnas HAM Dewan Pers
3 Kementerian Negara
KPK
Balak Migas
4 DPR
LPS
Batur Migas
5 DPD
KKR
PPATK
6 BPK
BPPTL
7 MA
KPA
8 MK
KPI
9 Komisi Yudisial
Dewan Pengawas RRI
KON
10 TNI 11 Polri
Komisi Kepolisian
12 Bank Sentral
Badan Supervisi Sumber : draft buku Lembaga-lembaga pasca amandemen UUD 1945, oleh Ronny Bako (FH Universitas Pelita Harapan, 2005)
65
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Konsekuensi dari terbentuknya lembaga di atas tentu berimplikasi terhadap sistem keuangan negara di Indonesia, belum lagi tidak adanya kesetaraan dalam bidang administrasi, dan kedudukan protokoler di antara lembaga-lembaga tersebut. Hal ini bisa terjadi karena belum adanya kesamaan persepsi di antara lembaga tersebut13. Di sisi lain, masih banyak pihak yang belum menerima seutuhnya terhadap konstitusi yang ada saat ini. Masih ada pihak yang memandang bahwa konstitusi saat ini jauh dari harapan. Akibat dari belum diterimanya konstitusi saat ini sebagai dasar negara, maka tidak heran permasalahan yang ada di negara Indonesia tidak akan pernah habis-habisnya. Oleh sebab itu salah satu kunci untuk menempatkan hukum sebagai panglima, maka seharusnya apapun yang terdapat dalam konstitusi Indonesia saat ini harus diterima dengan lapang dada. Bahkan kita bisa melihat juga bahwa perencanaan negara saat ini seharusnya adalah perencanaan yang diusulkan oleh pasangan presiden dan wakil presiden dalam kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden. Tapi kalau kita lihat sistem perundang-undangan yang ada, maka perencanaan saat ini dipersiapkan untuk jauh ke depan selama 20 tahun, maka calon presiden dan wakil presiden mendatang, dipaksakan untuk mematuhi perencanaan yang diatur dalam UU SPSN dan UU RPJP Nasional. Jadi tampak tidak adanya konsistensi antara UUD Tahun 1945 dengan sistem perundang-undangan. Dalam konteks ini, mungkin penulis sependapat dengan MFF dalam makalahnya. Belajar dari pengalaman selama ini terhadap keberadaan konstitusi kita, maka dalam rangka pembenahan hukum, semua pihak menerima keberadaan konstitusi sebagai dasar negara dan terhadap implikasi dari diberlakukannya konstitusi ini, maka semua sistem dan sub sistem yang mendukung konstitusi, diperlukan keterpaduan satu sama lain, baik di antara sistem yang ada ataupun sub sistem yang ada mendukung sistem di atasnya. Tanpa keterpaduan ini, maka jangan berharap keterpurukan bangsa Indonesia dapat diperbaiki. D. Perencanaan di bidang hukum Dalam UU SPPN, RPJPM ataupun dalam UU RPJP Nasional dan UU APBN, sebenarnya penataan atas perencanaan bidang hukum sudah diatur seca13 Lihat komentar BPK yang menginginkan pembatasan terhadap system keuangan bagi lembagalembaga yang ada di Indonesia, atau komentar dari KPK yang menginginkan segala fasilitas yang diterima oleh pejabat negara atau lembaga yang ada di Indonesia, diberikan dalam bentuk uang.
66
ESAI-ESAI HUKUM
ra normatif. Bahkan bila kita lihat perjalanan sejarah selama ini, model perencanaan pembangunan hukum merupakan bagian dari model perencanaan pembangunan pada umumnya. Adapun model perencanaan pembangunan pada umumnya tergambar pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Model Perencanaan Pembangunan No Pemerintahan
Model Perencanaan
Tahun
Dasar hukum
1. Soeharto 1966 – 1998
GBHN
1967 – 1998
Tap MPR tentang GBHN Keppres tentang Repelita Keppres tentang Pelaksanaan APBN
2. Habibie 1998 – 1999
GBHN
1998 – 1999
Tap MPR No IV/MPR/ 1999 tentang GBHN
3. Abdurachman Wahid 1999 – 2001
GBHN
1999 – 2001
Tap MPR No IV/MPR/ 1999
Propenas
2000 – 2004
UU No 25 Tahun 2000
Visi dan Misi
2000 – 2020
Tap MPR No VII/MPR/ 2001
Propenas
2000 - 2004
UU No 25 Tahun 2000
Visi dan Misi
2000 – 2020
Tap MPR No VII/MPR/ 2001
SPPN
2004
UU No 25 Tahun 2004
5. Susilo Bambang Yudhoyono SPPN 2004
2004
UU no 25 Tahun 2004
4. Megawati 2001 – 2004
RPJP Nasional
2005 – 2025
UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional Tahun 2005 - 2025 Sumber : Kerangka Acuan Diskusi Hukum Atas RUU tentang RPJP Nasional, (Ronny Bako, 2005).
Jadi model perencanaan pembangunan yang bersifat umum, mengikat model perencanaan pembangunan lainnya, termasuk model perencanaan pembangunan hukum. Untuk itu disusunlah model perencanaan pembangunan untuk bidang hukum. (Lihat tabel 3)
67
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Tabel 3 Model perencanan pembangunan hukum No Dasar hukum Perencanaan bidang hukum 1 UU No Tahun 2004 Program pembentukan peraturan pertentang APBN Tahun undang-undangan Anggaran 2005 Program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya
Program Penuntasan kasus KKN serta pelanggaran HAM
2
3
Keterangan UU yang diagendakan tahun 2005 sebanyak 55 buah UU, tapi sampai saat ini yang baru diselesaikan sebanyak buah Lembaga peradilan sudah berdaya dengan adanya satu sistem lembaga peradilan di MA, tapi dalam kerangka penegakan hukum masih ada ego sentral di antara sesama lembaga penegakan hukum Masih minim, tapi ada beberapa kasus sdh bisa diajukan ke pengadilan. Masyarakat menginginkan semua orang yang diajukan ke pengadilan harus dihukum, kalau terjadi bahwa seseorang dihukum ringan atau dibebaskan, maka masyarakat menjadi antipati terhadap peradilan. Masih minim, orang masih belum sadar akan hukum. Mungkin perlu dihidupkan kembali Kadarkum Lihat Pasal 3
Program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum UU No 25 Tahun 2004 Perencanaan hukum masuk ke ruang tentang SPPN lingkup perencanaan pembangunan nasional UU No 17 Tahun 2007 Mewujudkan sistem hukum nasional Perlunya harmonisasi hukum tentang RPJP Nasional Tahun 2005 - 2025 Tegaknya supremasi hukum Perlunya kesamaan hukum bagi semua pihak Tegaknya supremasi HAM Perlunya kesamaan hukum bagi semua pihak
Jadi kalau diperhatikan berdasarkan sistem hukum dalam perundang-undangan, sebenarnya perencanaan hukum sudah cukup lumayan pengaturannya, tapi dalam implementasi perencanaan hukum masih minim. Hal ini bisa terjadi karena belum adanya sinkronisasi kelembagaan serta belum memadainya anggaran di bidang hukum, sebab anggaran perencanaan bidang hukum tidak semata-mata berada pada instansi yang berhubungan dengan lembaga hukum tersebut. 68
ESAI-ESAI HUKUM
Hal lain yang bisa diperhatikan, bahwa selama ini ternyata terhadap program perencanaan hukum, belum dapat diisi oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap program tersebut. Hal ini disebabkan masih kurangnya koordinasi di antara sesama lembaga yang berkentingan dengan perencanaan hukum serta masih tingginya ego di antara lembaga tersebut. Untuk itu fungsi dari MUSRENBANG yang dilakukan oleh Bappenas, harus digunakan sebaik mungkin oleh lembaga-lembaga tersebut untuk mengisi program yang berhubungan dengan perencanaan bidang hukum. Penulis sependapat dengan pemakalah MFF yang mengatakan bahwa reorientasi pembangunan hukum merupakan masalah yang krusial. Oleh sebab itu seharusnya kita tidak lagi berbicara tentang pembangunan hukum, tetapi melakukan restorasi bidang hukum dengan mengisi program perencanaan bidang hukum secara sistematis. Terhadap hal-hal yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi (misalnya kelembagaan atau personifikasi dalam lembaga tersebut), maka seharusnya kita berani mengatakan untuk membubarkan lembaga yang tidak capable tersebut atau mengganti personifikasi dalam lembaga tersebut secara menyeluruh atau melakukan fit and proper test secara terbuka terhadap calon personifikasi yang berhubungan dengan masalah hukum. Melalui kegiatan ini maka fungsi restorasi hukum akan tampak hasilnya di kemudian hari. Mungkin yang perlu dipertanyakan, 1) Adakah keinginan dari semua pihak (eksekutif, legislatif, yudikatif atau pihak tertentu) untuk berani mengatakan dan melakukan restorasi hukum? 2) Maukah lembaga tersebut yang kena restorasi, bersedia menerima untuk direstorasi ? 3) Siapkan masyarakat menghadapi hal ini semua ? E. Penutup Perencanaan bidang hukum harus bersumber pada perencanaan pembangunan pada umumnya. Oleh sebab itu untuk mengisi perencanaan pembangunan bidang hukum, peran serta masyarakat tetap diperlukan untuk mengisi perencanaan pembangunan bidang hukum. Dalam merencanakan hukum perlu difokuskan kepada permasalahan hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat dan kepentingan negara pada umumnya. Dalam mengisi pembangunan hukum tersebut harus didasarkan kepada kepentingan nasional, sehingga tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 dapat terealisasi. 69
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Sebagai pijakan untuk menentukan perencanaan bidang hukum, sebaiknya didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi hukum. Sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih dalam peraturan perundang-undangan. Semua pihak wajib tunduk kepada mekanisme perencanaan pembangunan bidang hukum, karena prinsip kedudukan sama di depan hukum. Sehingga tidak ada dikotomi di antara sesama lembaga negara atau dikotomi antara negara dengan rakyatnya. Akhirnya peran arti hukum dalam pembangunan hukum menjadi penting, karena untuk membangun bidang hukum harus didasarkan kepada arti dari hukum yang akan dibangun melalui proses perencanaan. Untuk itu perlu ada koordinasi antara bidang hukum dengan bidang pembangunan pada umumnya. Selain itu model perencanaan pembangunan harus mengedepankan hukum sebagai dasar dari perencanaan pembangunan pada umumnya.
70
ESAI-ESAI HUKUM
MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Pengantar Perubahan Ketiga UUD 1945 telah mengamanatkan untuk dibentuknya suatu lembaga negara baru yang bernama Mahkamah Konstitusi dan dalam Perubahan Ketiga tersebut memberikan mandat untuk mengatur Mahkamah Konstitusi dalam suatu UU dan dalam UU itu akan diatur : 1) kewenangan Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan masalah kepresidenan, pada Pasal 7 B ayat (1), (3), (4) dan (5); 2) kewenangan Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan masalah non kepresidenan, pada Pasal 24 C ayat (1); 3) kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, pada Pasal 24 C ayat (1); 4) hakim konstitusi dan tata cara pengajuannya, pada Pasal 24 C ayat (3); 5) kepribadian dari hakim konstitusi, pada Pasal 24 C ayat (5); 6) larangan melakukan perangkapan jabatan, pada Pasal 24 C ayat (5); 7) pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, pada Pasal 24 C ayat (6); dan 8) hukum acara yang berlaku di Mahkamah Konstitusi pada Pasal 24 C ayat (6) . Berdasarkan mandat yang berhubungan dengan Mahkamah Konstitusi, mungkin yang paling penting adalah kenyataan bahwa dibentuknya suatu mahkamah konstitusi tidak terlepas bahwa mahkamah konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman. Di satu sisi adanya perubahan paradigma baru, sebab sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, kekuasaan kehaki71
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
man hanya dilakukan oleh suatu mahkamah agung. Implementasi dari Pasal 24 UUD 1945 dielaborasi dengan UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 35 tahun 1999. Dari kedua UU tersebut dapat dipastikan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, yaitu sebagai Lembaga Negara (Pasal 1 UU Nomor 14 tahun 1985) dan sebagai Pengadilan Negara Tertinggi (Pasal 2 UU Nomor 14 tahun 1985). Bahkan berdasarkan Ketetapan MPR-RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara, disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah sebagai Lembaga Tinggi Negara. B. Konsep Kekuasaan Kehakiman Masalah kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU Nomor 14 tahun 1970 jo UU Nomor 35 tahun 1999. Sebagai konsekwensi dari Perubahan Ketiga UUD 1945 pada Pasal 24 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, sedangkan pada ayat (2) disebutkan “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya………….., dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebagai konsekwensi ini tentu saja keberadaan Mahkamah Konstitusi ada relevansi dengan UU di bidang kekuasaan kehakiman, dari UU No 14 Tahun 1970 jo UU No 35 Tahun 1999, disebutkan adanya parameter dari kekuasaan kehakiman di Indonesia. Adapun parameter dari kekuasaan kehakiman yang dapat dihubungkan dengan konsep Mahkamah Konstitusi adalah : Pertama, Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970 menyebutkan “semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan UU”. Jadi dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi harus dibentuk melalui UU. Ketentuan ini sudah sejalan dengan amanat yang disebutkan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 pada Pasal 24 C ayat (6), “pengangkatan dan pemberhetian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan UU”. Kedua, Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 14 tahun 1970, menyebutkan “ peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat menegakkan hukum dan keadilan yang 72
ESAI-ESAI HUKUM
berdasarkan Pancasila”, jo Pasal 4 ayat (2). Kalau ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (2), khususnya tentang konsep sederhana dan bila dihubungan dengan konsep yang akan diatur dalam Mahkamah Konstitusi, maka dapat disimpulkan sementara, yaitu: kalau ketentuan sederhana dihubungkan dengan Pasal 24 C ayat (1), maka Mahkamah Konstitusi dapat disebutkan sebagai peradilan yang sederhana, sebab disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final, tapi kalau dihubungkan dengan ketentuan pada Pasal 7 B ayat (1) sampai dengan ayat (7), dapat disimpulkan bahwa peradilan yang berhubungan dengan masalah kepresidenan, menjadi tidak sederhana, sebab disebutkan adanya Mahkamah Konstitusi harus memberikan putusan untuk menjawab pendapat DPR dalam waktu 90 hari, dan DPR akan melanjutkan putusan tersebut dalam mekanisme yang ada yaitu dengan menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR ayat (5) dan MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut (ayat 6) dan sebelum MPR mengambil putusan, Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR, lalu adanya keputusan MPR yang diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Sehingga dapat disimpulkan mekanisme ini tidak sederhana lagi, atau ada yang berpandangan bahwa mekanisme ini adalah mekanisme yang berhubungan dengan masalah kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh MPR. Ketiga, Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 4 ayat (2), disebutkan bahwa peradilan harus dilakukan cepat menegakkan hukum dan keadilan, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Kalau konsep cepat sebagaimana diamanatkan dalam kekuasaan kehakiman dan bila dibandingkan dengan prinsip dalam mahkamah konstitusi, maka dapat disimpulan sebagai berikut. Pasal 24 C ayat (1) disebutkan bahwa mahkamah konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, jadi dapat disimpulkan bahwa peradilan mahkamah konstitusi sudah sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat sebagaimana disebutkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Tapi bila prinsip peradilan yang cepat ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 7B maka konsep peradilan yang diatur dalam Pasal 7B adalah quasi peradilan dan tidak lagi sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat sebagaimana diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman. 73
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Keempat, pada Pasal 8 disebutkan “setiap orang, yang disangka, ditangkap, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah, sebelum adanya Putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuasaan hukum yang tetap” Dari Pasal 8 ini dapat disimpulkan adanya asas presumption of innonence. Kalau konsep ini kita kaitkan dengan prinsip yang terdapat dalam mahkamah konstitusi, adalah, bahwa ketentuan Pasal 7B dan 24 C ayat (1), sudah sesuai dengan prinsip presumption of innosence. Kelima, pada Pasal 8 disebutkan “setiap orang, yang disangka, ditangkap, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah, sebelum adanya Putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuasaan hukum yang tetap” Dari Pasal 8 ini dapat disimpulkan adanya asas setiap putusan harus berkekuatan hukum tetap (in kracht gewisjde). Tapi bila dikaitkan dengan prinsip adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka prinsip ini menjadi pertanyaan bagi konsep dalam mahkamah konstitusi, sebab ketentuan Pasal 24 C ayat (1) bisa sesuai dengan prinsip adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap sebab Pasal 24 C ayat (1) dapat disebutkan sebagai pure peradilan, tapi bila ketentuan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dikaitkan dengan Pasal 7 B, maka prinsip ini tidak berlaku, sebab apapun putusan dari Mahkamah Konstitusi untuk masalah kepresidenan belum tentu akan disepakati oleh DPR dan MPR, sebab ketentuan Pasal 7 B adalah wilayah kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR, sehingga apapun putusan dari Mahkamah Konstitusi bagi kasus kepresidenan belum tentu akan disepakati oleh DPR dan/atau MPR. Keenam, pada Pasal 8 menyebutkan adanya putusan menyatakan kesalahannya dan berkekuatan hukum tetap. Bila konstruksi ini dikaitkan dengan konstruksi yang ada di Mahkamah Konstitusi, maka dapat dilihat adanya konstruksi yang berbeda. Dalam Mahkamah Konstitusi disebutkan pada Pasal 24 C putusannya final, ini bisa menimbulkan penafsiran, apakah putusan hanya final saja, tidak final atau putusannya bersifat final and binding. Bila diperhatikan dalam sistem peradilan pada umumnya, setiap putusan hakim harus bersifat final and binding, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 8 yaitu adanya putusan pengadilan dan memperoleh kekuasaan hukum yang tetap. Pendapat penulis ini didasarkan konteks tertulis pada Pasal 24 C ayat (1), yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya final. Pada Pasal 7 B yang berkaitan dengan masalah kepresidenan, tidak menyebutkan bahwa putu74
ESAI-ESAI HUKUM
san Mahkamah Konstitusi harus bersifat final, tapi kalau diperhatian Pasal 7B ayat (4) menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR. Ini dapat ditafsirkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi haruslah adil dan tidak mensyaratkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi harus bersifat final. Pendapat penulis ini juga didasarkan pada konteks tertulis pada ayat (4). Ketujuh, Pasal 3 ayat (2), disebutkan bahwa “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Ini mensyaratkan bahwa peradilan harus menegakkan hukum dan keadilan, sehingga putusan peradilan harus dapat menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah dan putusannya harus dapat dieksekusi dan ada yang mengeksekusinya. Kalau konstruksi ini dihubungkan dengan Mahkamah Konstitusi, maka dapat dilihat adanya beberapa penafsiran. Bila dihubungkan dengan Pasal 24 C ayat (1), putusannya adalah final. Penafsirannya bisa terjadi apakah putusannya final and binding, karena tujuan dari putusan yang final and binding adalah dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga kalau putusannya tidak binding, maka tujuan dari putusan untuk menegakkan hukum dan keadilan tidak dapat dicapai. Bila konstruksi menegakkan hukum dan keadilan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 7 B, maka kontruksi yang terdapat dalam kekuasaan kehakiman tidak dapat sepenuhnya diterapkan pada Mahkamah Konstitusi. Hal ini bisa saja terjadi karena ketentuan Pasal 7 B adalah konstruksi kedaulatan rakyat dan masuk dalam lingkup quasi peradilan. Pasal 7 B hanya menegaskan bahwa putusan mahkamah konstitusi haruslah seadiladilnya (ayat 4). Kedelapan, Pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Ini menciptakan konstruksi bahwa peradilan harus dengan biaya ringan. Bila konstruksi biaya ringan dihubungkan dengan Mahkamah Konstirusi, maka dapat disimpulkan, bahwa ketentuan Pasal 24 C ayat (1) bisa menciptakan biaya ringan, karena Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya final, tapi konstruksi biaya ringan dihubungkan dengan Pasal 7 B, maka konstuksi biaya ringan tidak dapat diterapkan pada ketentuan Pasal 7B. Hal ini bisa terjadi karena konstruksi Pasal 7B adalah konstruksi kedaulatan rakyat dan masuk lingkup quasi peradilan.
75
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
C. Penutup Berdasarkan kedelapan hal di atas yang dihubungkan dengan konstruksi kekuasaan kehakiman, maka dapat disimpulkan sementara, bahwa ada bagian tertentu dari mahkamah konstitusi yang sudah sesuai dengan konstruksi kekuasaan kehakiman, ada bagian tertentu dari mahkamah konstitusi yang belum sesuai dengan konstruksi kekuasaan kehakiman dan ada bagian tertentu dari mahkamah konstitusi yang menjauhi konstruksi kekuasaan kehakiman. Belum sesuainya konstruksi mahkamah konstitusi dengan konstruksi kekuasaan kehakiman, karena mahkamah konstitusi dapat dipandang secara sebagian adalah quasi peradilan yang mencerminkan kedaulatan rakyat sebab berhubungan dengan masalah impeachment president, sedangkan bagian lain sudah sesuai dengan konstruksi kekuasaan kehakiman karena telah menerapkan pure peradilan. Selain itu untuk mensejajarjan prinsip mahkamah konstitusi sesuai dengan prinsip kekuasaan kehakiman, maka dipandang perlu untuk mengubah UU yang mengatur Kekuasaan Kehakiman, hal ini juga sebagai konsekwensi bahwa Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari Kekuasaan Kehakiman, selain itu dalam UU No 14 tahun 1970 jo UU No 35 tahun 1999, yang masuk wilayah kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya. Ketentuan yang diatur dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, baik yang mengamanatkan mahkamah konstitusi atau memberi mandat Mahkamah Konstitusi dalam suatu undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu ada ketentuan dalam Perubahan Ketiga menimbulkan beberapa pertanyaan atau menimbulkan beberapa penafsiran yuridis. Untuk itu dalam rangka untuk mengantisipasi sejumlah pertanyaan dan sejumlah penafsiran tersebut, dalam RUU tentang Mahkamah Konstitusi, semua elemen tersebut sudah dapat diantisipasi, sehingga nantinya semua kelemahan yang akan mengatur Mahkamah Konstitusi sudah dapat diselesaikan dan diatur secara tegas dalam RUU tentang Mahkamah Konstitusi.
76
ESAI-ESAI HUKUM
PERMASALAHAN HUKUM PADA RUU MAHKAMAH KONSTITUSI1
A. Pengantar Perubahan Ketiga UUD 1945 telah memberikan beberapa hal penting tentang Mahkamah Konstitusi. UUD 1945 secara tegas menyaratkan untuk dibentuknya RUU tentang Mahkamah Konstitusi, selain itu pengalaman empiris pasca Perubahan Ketiga UUD 1945 telah membuktikan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk dapat segera dibentuk dan dibuat agar dapat segera dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah. Usaha untuk membentuk RUU Mahkamah Konstitusi juga telah diamantkan dalam UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004 serta adanya kesepakatan antara DPR dan Pemerintah tanggal 25 januari 2002 yang pada prinsipnya bahwa RUU tentang Mahkamah Konstitusi akan segera dibahas pada tahun 2002. Usaha untuk membentuk draft RUU tentang Mahkamah Konstitusi telah kami siapkan sejak Desember 2001, dengan penyusunan draft RUU serta rangkaian pengkajian yang berhubungan dengan RUU ini serta adanya sosialisasi RUU ke Universitas Diponegoro dan Universitas Gajah Mada, yang telah kami lakukan pada awal April 2002, selain itu kami juga telah mendapatkan beberapa masukan dari beberapa pakar mahkamah konstitusi dari negara Jerman, Korea Selatan dan Thailand pada akhir Maret 2002. Sejak kami membahas draft RUU Mahkamah Konstitusi ini timbul beberapa permasalahan hukum yang perlu dicarikan jalan keluarnya atau solusi 1
Makalah yang disampaikan penulis pada Seminar RUU Mahkamah Konstitusi, yang diselenggarakan oleh P3I Setjen DPR-RI. Jakarta 22 April 2002
77
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
hukumnya. Adapun beberapa permasalahan atau catatan hukum dalam draft RUU Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut : B. Pengertian Mahkamah Konstitusi Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 tidak memberikan pengertian yang definitif tentang mahkamah konstitusi, akibatnya timbul beberapa permasalahan dalam membuat pengertian tentang Mahkamah Konstitusi. Pemahaman kami tentang mahkamah konstitusi sebenarnya suatu peradilan tertinggi yang mengadili sengketa di bidang tatanegara, khususnya di bidang konstitusi negara. Pengertian MK tidak dapat hanya diberikan pengertian hukum semata, perlu juga diberikan pengertian non hukum, misalnya dimasukkan juga pengertian MK dari sudut ilmu politik, karena bicara sengketa konstitusi tidak serta merta hanya sengketa tatanegara saja, disini juga ada permasalahan politik yang perlu dipikirkan dari kacamata hukum. C. Letak Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum Indonesia Bila diperhatikan letak dari mahkamah konstitusi harus dilihat dari sistem hukum secara utuh, tidak dapat dibuat pengertian sendiri, karena masalah konstitusi bukan masalah hukum semata, lihat dari isi dari suatu konstitusi yang mengatur semua permasalahan kenegaraan, tidak hanya hukum semata. Dalam sistem hukum Indonesia, masalah mahkamah konstitusi mungkin menjadi masalah yang menarik, perlu dipikirkan mahkamah konstitusi secara integralistik, karena dilihat dari kewenangannya, peradilan mahkamah konstitusi tidak hanya mengatur sengketa ketatanegaraan, ada masalah hukum lainnnya selain hukum ketatanegaraan. D. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dengan Mahkamah Agung Perubahan Ketiga UUD 1945, mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman selain dari Mahkamah Agung. Akibat dari pengertian ini timbul beberapa penafsiran, apakah kedudukan MA dan MK adalah sejajar, apakah MK juga adalah lembaga tinggi negara, sebab yang dimaksud dengan Lembaga Tinggi Negara hanyalah yang diatur dalam Ketetapan MPR-RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara. 78
ESAI-ESAI HUKUM
Kedudukan MK juga kami pertanyakan karena dari kewenangan yang menjadi tanggungjawab MK, MK berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Selain itu bagaimana hubungan antara MA dan MK, perlu diberikan batasan yang jelas sehingga tidak ada overlapping kewenangan antara MA dan MK di masa mendatang. E. Siapa Yang Dapat Menjadi Hakim Konstitusi Perubahan Ketiga UUD 1945 mensyaratkan adanya 9 orang hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR, Pemerintah dan MA. Permasalahan hukumnya adalah siapa yang berhak menjadi hakim konstitusi, mengingat MK adalah sistem peradilan yang bertugas memeriksa, mengadili dan memutus, maka yang berhak menjadi hakim adalah sama dengan hakim di lingkungan peradilan umum, yaitu hakim yang berpendidikan seorang sarjana hukum. Dalam Perubahah Ketiga disebutkan bahwa hakim konstitusi harus menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, apakah dua hal ini mensyaratkan adanya monopolinya para sarjana hukum untuk dapat menjadi hakim konstitusi. F. Apakah Hukum Tata Negara Mengenal Hukum Acara Perubahan Ketiga UUD 1945 mensyaratkan bahwa adanya hukum acara di bidang mahkamah konstitusi yang akan diatur dalam suatu undang-undang. Permasalahan hukumnya adalah apakah hukum tatanegara mengenal hukum acara, karena selama ini yang ada hukum acaranya adalah bidang peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Ini tidak berarti bahwa hukum tata negara tidak boleh membuat suatu hukum acara, melalui UU tentang Mahkamah Konstitusi-lah nantinya akan dibentuk suatu hukum acara khusus di bidang mahkamah konstitusi. Permasalahan hukum lainnya, bagaimana yang ideal tentang hukum acara di bidang mahkamah konstitusi, apakah hukum acaranya sama dengan hukum acara di bidang peradilan umum dan peradilan tata usaha negara, apakah ada beberapa prinsip umum yang bisa digunakan dalam mahkamah konstitusi, apakah dimungkinkan membentuk suatu prinsip khusus di bidang mahkamah konstitusi?
79
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
G. Bagaimana Hukum Formil Mengatur Mahkamah Konstitusi Pentingnyanya hukum formil dalam mahkamah konstitusi ada relevansinya dengan hukum acara yang perlu dibentuk dalam UU Mahkamah Konstitusi. Hukum formil dalam mahkamah konstitusi menjadi penting dan relevan mengingat ruang lingkup kewenangan dari mahkamah konstitusi sangat kompleks sekali. Contohnya, siapa yang bisa dikategorikan sebagai pemohon atas 6 kewenangan mahkamah konstitusi, apakah setiap orang dapat dikategorikan sebagai pemohon. Apabila kategori pemohon tidak dielaborasi, maka bisa dibayangkan bagaimana mahkamah konstitusi ini nanti akan bekerja, tentu sangat berat sekali dan tidak mungkin dapat dilakukan oleh hanya 9 orang saja. Apakah hukum formil juga perlu mengatur tentang siapa yang mengurus administrasi peradilan, seperti administrasi peradilan umum, apakah perlu dibentuk semacam panitera atau suatu kesekretariatan dalam mahkamah konstitusi. Kalau perlu dibentuk siapa yang dapat mendudukinya ? H. Bagaimana Hakim Konstitusi Melakukan Peradilan Sengketa Konstitusi Perubahan Ketiga UUD 1945 mensyaratkan bahwa MK adalah peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final. Ini berarti bahwa setiap sengketa konstitusi harus diputus secara final dan tidak ada banding atas hasil putusannya. Selain itu disebutkan bahwa MK melakukan memeriksa, mengadili dan memutus untuk sengketa konstitusi yang melibatkan presiden dan/ atau wakil presiden (Pasal 7 C), dan MK melakukan tindakan menguji UU terhadap UUD (Pasal 24 C ayat 1), memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran parpol, dan memutus hasil perselisihan pemilu. Permasalahan hukumnya, apakah dikenal adanya pembedaan dalam melakukan peradilan sengketa konstitusi, karena tindakan memeriksa, memutus dan mengadili hanya untuk masalah kepresidenan, tindakan untuk menguji hanya untuk menguji UU, dan tindakan untuk memutus untuk 3 kewenangan lainnya. Apakah perlu dibuat keseragaman untuk 6 kewenangan ini, atau perlu dibedakan dalam melakukan peradilan atas sengketa konstitusi. I. Bagaimana Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi Perubahan Ketiga UUD 1945 secara jelas mengatakan bahwa putusan MK adalah final. Pertanyaan apakah semua sengketa selalu diakhiri dengan tindakan adanya putusan? Apakah tidak dimungkinkan adanya perkara yang dito80
ESAI-ESAI HUKUM
lak karena tidak memenuhi syarat administrasi peradilan? Pertanyaan lainnya adalah bagaimana dengan eksekusi dari putusan MK, siapa yang melakukan eksekusi dari putusan MK, apakah dalam eksekusinya bisa berbeda dengan putusan MK, misalnya hakim konstitusi telah memutus bahwa presiden tidak terlibat pelanggaran hukum sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 7B, tetapi dalam eksekusinya di MPR, MPR berbeda pendapat dengan hasil putusan MK. J. Penutup Demikian sejumlah sedikit permasalahan hukum yang timbul ketika kami melakukan pembahasan demi pembahasan dalam penyusunan draft RUU tentang Mahkamah Konstitusi. Kami berharap dengan kedatangan para pakar hari ini dan adanya masukan dari peserta seminar diskusi hari ini dapat menyempurnakan penyusunan RUU tentang Mahkamah Konstitusi. Semoga harapan kami juga adalah harapan kita semua demi terciptanya sistem ketatanegaraan yang lebih baik di masa mendatang.
81
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
82
ESAI-ESAI HUKUM
MENANTI TERWUJUDNYA RUU MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Pengantar Perubahan ketiga UUD 1945 telah mengamanatkan pembentukan Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, khususnya pada Pasal 7 jo Pasal 24 C, disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang yaitu : 1) memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum; 2) memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; 3) melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945; 4) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; 5) pembubaran partai politik; dan 6) perselisihan perhitungan pemilihan umum. Cikal bakal pengaturan kewenangan ini telah dirumuskan dalam draft RUU tentang Mahkamah Konstitusi, sedangkan peristiwa yang berkaitan dengan kewenangan ini sebenarnya telah terjadi selama ini. Misalnya tentang ide pembubaran partai politik yang sudah disidangkan oleh Mahkamah Agung, atau peristiwa saat ini yaitu tarik menarik tentang kewenangan tidak langsung yang diberikan oleh UU kepada KPP HAM Trisaksi dalam mengadili pelanggaran HAM kasus Trisaksi, atau kasus pemberhentian mantan presiden oleh MPR tahun 2000, hal-hal ini adalah contoh kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik apabila negara Indonesia sudah memiliki Mahkamah Konstitusi. Untuk menunjang perlunya keberadaan suatu Mahkamah Konstitusi seperti yang diamanatkan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, pada tanggal 25 Januari 2002, DPR-RI melalui Badan Legislasi DPR dan Kementerian Hukum 83
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
dan HAM cq Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah menyetujui daftar prioritas RUU yang akan dibentuk dan dibahas pada tahun 2002 dan salah satunya adalah RUU tentang Mahkamah Konstitusi yang akan dibahas pada tahun 2002. Perdebatan tentang materi RUU Mahkamah Konstitusi belum dilakukan baru pada taraf sosialisasi materi muatan, tetapi kalau dilihat dari sejumlah peristiwa saat ini yang ada diantaranya merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikannya, maka urgensi untuk secepatnya menyelesaikan draft ini menjadi suatu keharusan. Draft Mahkamah Konstitusi berisikan 85 pasal dan 7 Bab. Dalam draft ini diatur antara lain 1) fungsi, tugas dan wewenang; 2) tanggung jawab dan akuntabilitas; 3) susunan; 4) segi administrasi; dan 5) hukum acara. Kelima hal tersebut merupakan norma-norma yang diperlukan oleh mahkamah konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Perubahan Ketiga UUD 1945. Dalam draft RUU Mahkamah Konstitusi semua kewenangan yang diperintahkan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, diberikan elobarasi yang mendalam khususnya dalam hukum acara yang menjadi jantung bagi mahkamah konstitusi, sebab dalam hukum acara akan diatur kewenangan mahkamah konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang menjadi kewenangan mahkamah konstitusi. Walaupun kewenangan mahkamah konstitusi sudah dielaborasi dalam bagian hukum acara, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperdalam sebelum kembali agar dalam pelaksanaan hukum acara nantinya tidak mengalami stagnan. Elaborasi suatu materi muatan UU juga harus memperhatikan asas hukum, sebab asas hukum merupakan tiang utama bagi setiap pembentuk UU untuk membentuk suatu UU. Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum. Sehingga dengan adanya asas hukum ini akan menjadi sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai etis, moral dan sosial masyarakatnya. B. Siapa yang bisa menjadi hakim konstitusi Untuk dapat menjadi hakim konstitusi harus memenuhi persyaratan yang diukur dan persyaratan yang sulit diukur, yang dimaksud dengan syarat yang mu84
ESAI-ESAI HUKUM
dah diukur seperti : 1) warga negara ndonesia; 2) berusia sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan; 3) bertempat tinggal di wilayah republik Indonesia selama 5 tahun berturut-turut; 4) tidak pernah dipidana; 5) tidak pernah dinyatakan pailit; 6) mempunyai pengalaman 10 tahun berturutturut sebagai penegak hukum; akademisi dan profesional; 6) berpendidikan sekurang-kurangnya strata tiga (Doktor) dari universitas yang terakreditasi bagi calon dari kalangan akademisi, sedangkan syarat yang sulit diukur antara lain 1) memiliki integritas; 2) berwibawa, jujur, adil dan tidak tercela; 3) menguasai konstitusi dan ketatanegaraan; 4) setia kepada Pancasila dan UUD 1945 dan 5) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Persyaratan yang sulit diukur ini didasarkan sulit dapat dibuktikan secara materiil, sedangkan bila syarat yang mudah diukur maka dapat dibuktikan secara formil dan materil, misalnya untuk membuktikan calon berusia 40 tahun dapat dilihat kepada Akte Kelahiran calon yang bersangkutan. Perubahan Ketiga UUD 1945 telah mensyaratkan bahwa calon hakim konstitusi diajukan oleh 3 lembaga, yaitu 1) DPR; 2) Presiden dan 3) Mahkamah Agung. Ketiga lembaga inilah yang berwenang untuk mencalonkan hakim konstitusi. Masing-masing lembaga memiliki cara untuk menyeleksinya dan memiliki aturan main tersendiri, misalnya dalam DPR dikenal adanya Peraturan Tata Tertib DPR, yang salah satunya adanya hak DPR untuk mengajukan/menganjurkan jika ditentukan oleh suat peraturan perundang-undangan. Walaupun ketiga lembaga tersebut berwenang untuk mencalonkan seseorang untuk duduk menjadi hakim konstitusi, di era reformasi ini maka masalah keterbukaan merupakan unsur terpenting dalam kerangka good governance. Untuk itu setiap calon yang diajukan oleh masing-masing lembaga haruslah kredible artinya calon yang bersangkutan selain memahami kewenangan dari mahkamah konstitusi juga haruslah pribadi yang tidak tercela dan tidak pernah melanggar hukum. Dalam draft disebutkan bahwa dalam melaksanakan pemilihan calon hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan, partisipatif, akuntabel dan objektif. Sehingga kandidat dari calon hakim konstitusi dapat diketahui oleh publik dan dapat terseleksi secara transparan. Untuk memilih 9 orang putera terbaik dari penduduk Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat dari pekerjaannya yang bersinggungan dengan kepentingan orang perorangan atau kepentingan dari lembaga tinggi negara lainnya, seperti lembaga DPR dalam hal pembentukan UU atau lembaga 85
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
kepresidenan dalam hal presiden dan/atau wakil presiden akan “diturunkan” karena melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Untuk menjadi salah seorang dari 9 orang mahkamah konstitusi in tentu menjadi idaman dari orang perorangan tertentu, misalnya dari kalangan penegak hukum(hakim; jaksa dan polisi), karena kalangan penegak hukum dianggap sudah mahir dalam menangani hal yang bersifat formil dan materil dari suatu perkara; atau menjadi idaman dari kalangan akademis (dosen, peneliti) karena kalangan akademis sudah mahir dalam melakukan riset sebelum mengambil suatu keputusan, atau idaman dari kalangan non penegak hukum dan akademis, terutama yang sudah memiliki figur di masyarakat. Ketiga figur ini tentu sudah ada dimasyarakat, tetapi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang hakim konstitusi haruslah figur-figur yang memenuhi harapan masyarakat terutama figur yang dapat menyelesaikan permasalahan yang menjadi kewenangan lembaga mahkamah konstitusi. C. Apa yang diharapkan Secara teoritis dapat dikatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas, dalam arti diharapkan dengan adanya peraturan perundang-undangan dapat mengisi kekosongan hukum dalam segala interaksi kehidupan manusia pada umumnya. Demikian juga halnya dengan UU Mahkamah Konstitusi, diharapkan dengan adanya UU Mahkamah Konstitusi segala persoalan yang ada saat ini khususnya di bidang ketatanegaraan dan politik dapat diatasi dengan baik, sehingga tidak ada lagi segala macam penafsiran untuk menyelesaikan persoalan di bidang kenegaraan ini. Mengutip pendapat Prof Hamid Attamimi, dikatakan bahwa suatu UU merupakan wadah bagi sekumpulan materi yang meliputi antara lain hal-hal yang oleh hukum dasar diminta secara tegas-tegas ataupun tidak secara tegas untuk ditetapkan dengan suatu UU. Mengacu kepada pendapat Prof Attamimi ini, maka pembentukan suatu UU mahkamah konstitusi sudah jelas dasar hukumnya, sudah sesuai dengan teori dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Prinsip mendasar dari dibentuknya UU Mahkamah Konstitusi adalah menjalankan amanat atau perintah dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 yaitu membentuk suatu Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman. 86
ESAI-ESAI HUKUM
UUD 1945 telah menyebutkan secara jelas adanya kewenangan yang akan dijalankan oleh mahkamah konstitusi ini. Bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan adanya UU Mahkamah Konstitusi ini diharapkan akan menjadi pegangan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menjabat dan melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga tidak akan mudah lagi untuk dijatuhkan semasa periode jabatan kepresidenannya, sebab ada mekanisme formil sebelum Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan ditengah masa jabatannya. Di bidang kewenangan pengujian UU terhadap UUD 1945 merupakan kewenangan yang lebih banyak mengarah kepada kepentingan masyarakat luas, sebab kalau dipelajari selama ini banyak UU yang dibentuk atau UU yang diberlakukan kepada masyarakat luas, ada yang bertentangan dengan hirarkhi peraturan perundang-undangan atau ada juga UU yang merugikan kepentingan masyarakat luas dan hanya mementingkan kepentingan masyarakat kecil saja. Untuk itu melalui kewenangan ini diharapkan para pembentuk UU (termasuk DPR) akan lebih berhati-hati lagi dalam menyusun dan membentuknya sehingga tidak akan terjadi suatu UU digugat keberadaanya dan akan dinyatakan tidak sah oleh mahkamah konstitusi. Bagi masyarakat sendiri dengan adanya kewenangan ini, suatu UU diharapkan tidak lagi akan merugikan kepentingan masyarakat pada umumnya. Kewenangan di bidang sengketa antar lembaga negara, merupakan sengketa atas kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga negara, dan kalau dilihat dalam UUD 1945, lembaga negara yang dimaksud adalah Presiden, DPR, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Kelima lembaga negara inilah yang bisa mengajukan perkara ke mahkamah konstitusi apabila ada perebutan kewenangan. Perebutan kewenangan yang dimaksud tentu saja kewenangan atas tugas dan fungsi lembaga negara yang ada. Kewenangan untuk membubarkan partai politik menjadi menarik, mengingat pernah terjadi kasus ke mahkamah agung untuk membubarkan suatu partai politik. Hal yang menjadi pertanyaan, kalau Perubahan Ketiga UUD 1945 telah memberikan hak ini kepada mahkamah konstitusi, maka kewenangan yang ada di mahkamah agung untuk membubarkan suatu partai politik akan beralih ke mahkamah konstitusi sehingga dasar hukum yang memberikan kewenangan untuk membubarkan partai politik ke mahkamah agung akan menjadi gugur atau dasar hukum tersebut harus segera dicabut. Sehingga nantinya 87
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
tidak ada polemik lagi tentang siapa yang berhak untuk membubarkan suatu partai politik. Kewenangan untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum akan menjadi kewenangan mahkamah konstitusi, untuk itu diharapkan perdebatan tentang hasil pemilihan umum tidak akan terjadi lagi, dan pihak yang merasa dirugikan tentang hasil pemilihan umum dapat mengajukannya ke mahkamah konstitusi dan tentu saja pihak yang dimaksud adalah partai politik peserta pemilihan umum ketika itu. Akhirnya dengan diaturnya kewenangan ini sebagaimana diamanatkan oleh Perubahan Ketiga UUD 1945, semua permasalahan kenegaraan yang sudah membelengu republik ini selama ini, dapat diselesaikan dengan baik dan terhormat melalui jalur hukum dan tentu saja semua pihak yang berkepentingan dengan kewenangan mahkamah konstitusi dapat mendukung kinerja mahkamah konstitusi di kemudian hari.
88
ESAI-ESAI HUKUM
MAHKAMAH KONSTITUSI MASA KINI DAN MASA MENDATANG1
Salah satu hasil reformasi dalam amandemen UUD 1945, yaitu dibentuknya lembaga negara baru yang bernama Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK). MK sebagai lembaga negara merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD Tahun 1945. MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman menjalankan fungsi peradilan yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya final. Ketentuan MK sebagai fungsi peradilan termaktub dalam ketentuan Pasal 2 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan “Mahkamah Konstitusi……….. untuk menyelenggarakan fungsi peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, sedangkan ketentuan mengenai tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final termakub dalam ketentuan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003, yang menyebutkan”Mahkamah Konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final”. Berdasarkan ketentuan ini jelas bahwa MK merupakan lembaga tunggal yang tidak mempunyai peradilan yang berada di bawahnya dan tidak merupakan peradilan bawahan dari lemabga lain. Hal ini dapat jelas dibaca dalam UUD Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2), “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung,………. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi,”. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan ketunggalannya, MK adalah forum previllegiatum, untuk kasus-kasus yang menjadi kewenangannya. Untuk melengkapi amanat dalam konstitusi tersebut, maka telah dibentuk2 dan diundangkan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 1
Makalah sebagai syarat administrasi calon hakim konstitusi yang disampaikan ke Panitia Seleksi Bakal Calon Hakim Konstitusi usulan DPR-RI 12 Februari 2008.
2
Penulis termasuk salah seorang penyusun (sebagai Ketua Tim) draft dan Naskah Akademis RUU tentang Mahkamah Konstitusi
89
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Dalam UU No 24 Tahun 2003, jelas disebutkan 4 kewenangan MK dan 1 kewajiban MK. Adapun kewenangan MK yaitu, 1) menguji UU terhadap UUD Negara Tahun 1945, 2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945, 3) memutus pembubaran partai politik3, dan 4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum4. Bila dilihat keempat kewenangan ini, maka MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, maka dapat dikatakan sebagai bagian lembaga pengadilan hukum (the court of law) dan ini sejalan ketentuan Pasal 2 UU No 24 Tahun 2003, bahwa MK menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum. Adapun kewajiban MK mengenai masalah impeachment presiden dan/atau wakil presiden diatur dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) UU No 24 Tahun 2003 jo 7A, 7B ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945. Bila dibaca kewajiban MK tersebut, sejalan dengan ketentuan Pasal 2 UU No 24 Tahun 2003 bahwa MK berfungsi menyelenggarakan peradilan guna menegakkan keadilan, atau MK sebagai lembaga pengadilan keadilan (the court of justice). Walaupun demikian pengertian MK sebagai lembaga peradilan yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, masih tetap dapat diperdebatkan terhadap pembagian kewenangan dan kewajiban tersebut. Dalam hukum tatanegara, wewenang diartikan legal power (kekuasan hukum), yang karakternya eksklusif baik bersifat vertical ataupun horizontal. Eksklusifitas horizontal mengandung arti bahwa hanya badan atau lembaga yang secara tegas memiliki kewenangan tertentu. Misal MK mempunyai 4 kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dan kewenangan tersebut tidak dimiliki oleh lembaga negara yang lain. Eksklusifitas vertical mengandung arti bahwa sebagai lembaga yang berkedudukan secara berjenjang harus menghormati wewenang yang dapat menjalankan wewenang tersebut. Misal konsekwensi kewenangan MK dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945, maka dampak dari pembatalan suatu UU atau suatu ketentuan dalam UU, harus dihormati oleh Presiden dan DPR sebagai pihak yang membuat dan membahas suatu RUU.
3
Lihat UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang dalam Bab XVII tentang Pembubaran dan Penggabungan Parpol, Pasal 41 sampai dengan Pasal 45.
4
Lihat UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
90
ESAI-ESAI HUKUM
Legalitas MK mulai tampak dengan diundangkannya UU No 24 Tahun 2003 dan diangkatnya 9 orang hakim konstitusi dan mulai bekerjanya lembaga tersebut di pertengahan Agustus 2003. Tidak terasa masa jabatan hakim konstitusi akan berakhir dan ada beberapa hakim konstitusi harus diberhentikan dengan hormat karena telah berusia 67 tahun. Sehingga wajar saja saat ini ketiga lembaga Negara pengusul calon hakim konstitusi (DPR, Pemerintah dan Mahkamah Agung), mulai menjaring dan memilih calon hakim konstitusi melalui kegiatan fit and proper test. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 195 UU No 24 Tahun 2003, bahwa “pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif”. Ketentuan pasal ini berlaku untuk setiap lembaga negara yang mengusulkan calon hakim konstitusi. UU No 24 Tahun 2003 pada Bab IV bagian pertama telah menetapkan segala hal yang berhubungan dengan pencalonan tersebut baik mengenai hal yang diharapkan (das sollen) dari hakim konstitusi (Pasal 15) ataupun syarat formil sebagai seorang calon hakim konstitusi (Pasal 16) dan adanya pengaturan larangan bagi hakim konstitusi (Pasal 17). Hal yang diatur dalam ketentuan Pasal 15 merupakan pengaturan yang diharapkan (das sollen) dari seorang hakim konstitusi, walaupun dalam pelaksanaannya untuk mendapatkan seorang hakim yang ideal sangat sulit. Hal ini sejalan dengan tidak adanya parameter ada indikator untuk menentukan seorang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela atau untuk mendapatkan seorang yang adil atau seorang yang negarawan. Sepanjang seseorang tidak diberi kesempatan untuk menjadi hakim, maka ketentuan Pasal 15 hanya sebagai hiasan belaka. Dalam Pasal 16 mengatur syarat formil atau syarat administrasi yang diberlakukan terhadap setiap calon hakim konstitusi. Jadi keberadaan pasal ini mensyaratkan bahwa ia berposisi sebagai calon hakim konstitusi dan ada yang menafsirkan bila ada hakim konstitusi (incumbent) yang melamar sebagai calon hakim konstitusi, maka orang tersebut harus “cuti dahulu”. Hal mengenai cuti ini sudah dilaksanakan dalam pemilihan kepala daerah. Dalam penyusunan ketentuan ini para penyusun mensyaratkan bahwa syarat formil ini harus dapat dibuktikan dengan syarat materiil. Artinya bila disebutkan syarat berpendidikan sarjana hukum, maka harus dapat dibuktikan kesahihan sarjana hukum 5
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.
91
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
tersebut, misal adanya ijazah yang dilegalisir dari instansi yang berwenang. Atau syarat mengenai mempunyai pengalaman di bidang hukum selama 10 tahun, hal ini harus diparalelkan dengan system perencanaan hukum dan keahlian hukum, artinya seorang calon tidak diukur dari pengalaman di bidang hukum dalam arti normative, tapi pengalaman hukum tersebut harus dapat diukur dengan adanya output dan outcomes dari pengalamannya di bidang hukum. Jadi bila dibaca secara mendalam, pengaturan Pasal 16 harus diartikan secara formil dan materiil. Hal inilah menjadi kunci sukses dari kegiatan fit and proper test. Di antara tiga pihak yaitu DPR, Pemerintah ataupun MA yang akan memilih hakim konstitusi, maka pihak DPR lebih transparan dan partisipatif dalam menyeleksi para calon hakim konstitusi. Hal ini bisa dilihat dari pengumuman Ketua Komisi III di media masaa untuk menjaring putra-putri terbaik Indonesia untuk dapat dipilih sebagai hakim konstitusi. Tindakan ini merupakan bagian dari implementasi dari ketentuan Pasal 19 yang menetapkan bahwa pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Siapapun yang akan terpilih menjadi hakim konstitusi harus tetap bersandarkan kepada ketentuan yang diatur dalam UU No 24 Tahun 2003. Untuk mendapatkan personifikasi seorang hakim konstitusi, maka seorang calon bukanlah orang yang baru dibidang ketatanegaraan. Hal ini sejalan dengan kritikan Ketua Komisi III yang mensyaratkan seorang calon hakim harus menguasai bidang konstitusi dan hukum tatanegara sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Seorang calon hakim hendaklah orang yang familiar dengan masalah kenegaraan, sehingga pelaksanaan tugas dari seorang hakim konstitusi dapat lebih mudah bekerja dan berkarya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal lainnya yang juga perlu diperhatikan terhadap keberadaan MK adalah masa depan MK ini, sebab masa depan MK akan ditentukan oleh hakim konstitusi yang akan bekerja periode 2008 – 2013. Hal ini mengingat tantangan masalah kenegaraan saat ini semakin besar, ini disebabkan dengan adanya tuntutan reformasi dan iklim demokrasi yang menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan sekelompok orang. MK dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), sehingga wajar saja kewenangan dan kewajibannya terkait dengan keberadaan konstitusi sebagai lembaga negara. Hal ini terlihat nyata dengan diundangkannya UU No 24 Tahun 2003. 92
ESAI-ESAI HUKUM
MK sebagai lembaga peradilan, maka putusan MK belum tentu bisa memuaskan semua pihak, karena MK menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga wajar saja disatu sisi ada putusan MK yang melahirkan the landmark decision dan ada juga putusan MK yang membuat kontroversi di masyarakat. Kewajaran ini bisa saja terjadi mengingat usia lembaga ini baru berusia 5 tahun. Di sisi lain, ada juga putusan MK yang dikecam sekelompok pihak, misalnya UU yang sudah dibahas bersama dengan presiden, dengan mudah dapat dibatalkan (kasus UU Ketenagalistrikan) atau pasal atau ayat dalam UU dibatalkan (kasus UU Migas). Ada pandangan ketika MK membatalkan suatu UU atau pasal atau ayat dalam UU, seolah-olah menjadi MK sebagai lembaga yang superbody yang dapat membatalkan begitu saja ketentuan dalam UU atau ketentuan UU. Pandangan ini wajar karena MK seolah-olah mempunyai hak veto atas suatu UU. Akibat dari pembatalan suatu UU, maka terjadi dikotomi antara DPR dan MK. Pendikotomian ini terjadi mengingat anggota DPR dipilih dalam Pemilu dan mempunyai kewenangan untuk membentuk RUU dan membahas RUU bersama Pemerintah, dan disisi lain justru DPR yang memilih 3 calon hakim konstitusi. Ketika hakim konstitusi sudah terpilih, MK dapat membatalkan suatu UU yang merupakan salah satu kewenangan MK. Terhadap calon hakim konstitusi yang ada saat ini, maka ketentuan Pasal 16 dan 17 harus dapat dibaca secara komprehensif baik segi formil dan materiil dan ketentuan ini harus diberlakukan terhadap setiap calon secara adil tanpa memberikan keistimewaan terhadap calon tertentu. Belajar dari pengalaman dan kinerja MK selama ini, maka masyarakat berharap banyak terhadap keberadaan MK di masa mendatang, dan harapan ini tertumpu kepada sembilan orang hakim konstitusi yang akan melakukan kinerja barunya di tahun 2008 sampai tahun 2013. Kiranya para hakim konstitusi di era ini dapat belajar dari kasus yang terjadi di MK selama ini dan dapat memperbaiki kinerja dari MK sehingga MK dapat benar-benar menjadi suatu lembaga negara yang mengawal konstitusi. Akhirnya siapapun yang akan terpilih dalam kegiatan fit and proper test di Komisi III DPR-RI, kiranya dapat membuat suasana baru dan atmosfer baru di lingkungan MK, sehingga nantinya MK dapat benar-benar menjadi lembaga negara yang bisa menjadi pengawal konstitusi tidak hanya sebatas the court of justice dan the court of law. 93
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
94
ESAI-ESAI HUKUM
MAHKAMAH KONSTITUSI DAN INDEPENDENCE JUDICIARY DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS1
Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 yang disahkan dalam Sidang Tahuan MPR Tahun 2001 telah merubah susunan ketatanegaraan Republik Indonesia. Salah satu substansi perubahan yaitu dibentuknya suatu lembaga Negara baru yang bernama Mahkamah Konstitusi (MK). MK sebagai suatu lembaga Negara baru merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD Tahun 1945. MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman menjalankan fungsi peradilan yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir dan putusanya final. Ketentuan MK sebagai fungsi peradilan termaktub dalam ketentuan Pasal 2 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan “Mahkamah Konstitusi…… untuk menyelenggarakan fungsi peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, sedangkan ketentuan mengenai tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final termaktub dalam ketentuan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003, yang menyebutkan Mahkamah Konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final”. Berdasarkan ketentuan ini jelas bahwa MK merupakan lembaga tunggal yang tidak mempunyai peradilan bawahan dan lemabga lain. Hal ini dapat jelas dibaca dalam UUD Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2), “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung……. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan 1
Makalah yang disampaikan penulis pada Ujian Tertulis Calon Hakim Konstitusi di Komisi III DPRRI, 10 Maret 2008
95
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
ketunggalannya, MK adalah forum previllegiatum, untuk kasus-kasus yang menjadi kewenangannya. Untuk melengkapi amanat dalam konstitusi tersebut, maka telah dibentuk2 dan diundangkan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam UU No 24 Tahun 2003, jelas disebutkan 4 kewenangan MK dan 1 kewajiban MK. Adapun kewenangan MK yaitu, 1) menguji UU terhadap UUD Negara Tahun 1945, 2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI Tahun 1945, 3) memutus pembubaran partai politik3, dan 4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum4. Bila dilihat keempat kewenangan ini, maka MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, maka dapat dikatakan sebagai bagian lembaga pengadilan hukum (the court of law) dan ini sejalan ketentuan Pasal 2 UU No 24 Tahun 2003, bahwa MK menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum. Adapun kewajiban MK mengenai masalah impeachment presiden dan/atau wakil presiden diatur dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) UU No 24 Tahun 2003 jis 7A, 7B ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) UUD Tahun 1945. Bila dibaca kewajiban MK tersebut, sejalan dengan ketentuan Pasal 2 UU No 24 Tahun 2003 bahwa MK berfungsi menyelenggarakan peradilan guna menegakkan keadilan, atau MK sebagai lembaga pengadilan keadilan (the court of justice). Walaupun demikian pengertian MK sebagai lembaga peradilan yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, masih tetap dapat diperdebatkan terhadap pembagian kewenangan dan kewajiban tersebut. *** Sebagai konsekwensi dari pembentukan lembaga negara Mahkamah Konstitusi ini, maka sifat peradilan dari MK ini adalah lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Hal ini dapat dilihat dari pengejawantahannya dalam ketentuan Pasal 2 UU No 24 Tahun 2003, yang menyebutkan,” MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. 2
Penulis termasuk salah seorang penyusun (ketua tim) draft dan Naskah Akademis RUU tentang Mahkama Konstitusi.
3
Lihat UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang dalam Bab XVII tentang Pembubaran dan Penggabungan Parpol, Pasal 41 sampai dengan Pasal 45.
4
Lihat UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
96
ESAI-ESAI HUKUM
Sifat peradilan (judiciary) dari MK dapat dilihat dari kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final (lihat Pasal 10 ayat (1)) UU No 24 Tahun 2003. Kewenangan judiciary ini diberlakukan terhadap 4 kewenangan MK dan terhadap kewajibannya. Konsekwensi sebagai suatu lembaga negara, maka kewenangannya bebas dari intervensi lembaga negara manapun, hal ini juga sebagai konsekwensi dari bagian dari kekuasaan kehakiman, dimana kekuasaan kehakiman harus merdeka dari campur tangan lembaga negara manapun. Kebebasan yang merdeka dari MK juga sejalan dengan konsep negara hukum yang dianut suatu negara dan karena MK berada di Indonesia maka MK juga tunduk kepada hukum dasar yaitu UUD Tahun 1945, yang pada Pasal 1 ayat (3) jelas disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. *** Dalam hukum tatanegara, wewenang diartikan legal power (kekuasan hukum), yang karakternya eksklusif baik bersifat vertical ataupun horizontal. Eksklusifitas horizontal mengandung arti bahwa hanya badan atau lembaga yang secara tegas memiliki kewenangan tertentu. Misal MK mempunyai 4 kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dan kewenangan tersebut tidak dimiliki oleh lembaga negara yang lain. Eksklusifitas vertical mengandung arti bahwa sebagai lembaga yang berkedudukan secara berjenjang harus menghormati wewenang yang dapat menjalankan wewenang tersebut. Misal konsekwensi kewenangan MK dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945, maka dampak dari pembatalan suatu UU atau suatu ketentuan dalam UU, harus dihormati oleh Presiden dan DPR sebagai pihak yang membuat dan membahas suatu RUU. *** Hakim konstitusi Maruarar Siahaan5 mengatakan bahwa lahirnya Mk yang bertugas mempertahankan konstitusi secara imparsial dan independen dari cabang kekuasaan lainnya, yang memberi sanksi pada inkonsistensi tindakan terhadap konsitusi, diharapkan akan selalu mendasarkan putusannya pada hukum dan konstitusi ketimbang pada keberpihakan secara politik. Hal ini merupakan perkembangan besar dalam system ketatanegaraan kita. 5
Maruarar Siahaan, “Menegakkan Konstitualisme dan Rule of Law” dalam buku Menjaga Denyut Konstitusi, Jakarta, Konpress 2004, hal.103.
97
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Apa yang dikatakan Maruarar Siahaan dapat dilihat dari kinerja sejak tahun 2003 sampai saat ini. Sudah banyak pelaksanaan tugas tersebut, khususnya mengenai permohonan pengujian UU terhadap UUD. Bila dilihat dari putusan MK tersebut maka dapat dikatakan bahwa MK telah berfungsi menjalankan fungsi peradilan dengan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya final untuk kewenangan yang dimiliki oleh MK. Memang pelaksanana tugas selama ini belum semua kewenangan dilakukan MK, mengingat MK bersifat pasif dan hanya melaksanakan kewenangannya bila ada permohonan terhadap kewenangan MK. MK sebagai lembaga peradilan, maka putusan MK belum tentu bisa memuaskan semua pihak, karena MK menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga wajar saja disatu sisi ada putusan MK yang melahirkan the landmark decision dan ada juga putusan MK yang membuat kontroversi di masyarakat. Kewajaran ini bisa saja terjadi mengingat usia lembaga ini baru berusia 5 tahun. Sebagai contoh salah satu kewenangan MK adalah pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945. Ada beberapa kasus pengujian yang telah membatalkan UU (missal UU Ketenagalistrikan) atau UU yang dibatalkan pasal dan ayat dalam UU (missal UU Minyak dan Gas Bumi). Ada pandangan bahwa ketika MK membatalkan suatu UU atau suatu ketentuan dalam UU, seolah-olah MK menjadi suatu lembaga yang superbody yang dapat begitu saja membatalkan ketentuan dalam UU atau ketentuan UU. Pandangan ini wajar karena MK seolah-olah mempunyai hak veto atas suatu UU. Akibat dari pembatalan ini, maka terjadi dikotomi antara DPR dan Pemerintah yang membahas RUU dengan MK yang membatalkan suatu UU. Pendikotomian ini terjadi mengingat Anggota DPR dipilih dalam pemilu sedangkan hakim konstitusi dipilih dari DPR, Pemerintah dan MA. Berdasarkan konteks ketatanegaraan, apa yang dilakukan oleh MK dengan membatalkan suatu UU atau ketentuan dalam UU adalah hal yang wajar dan sesuai dengan koridor hukum, mengingat apa yang dilakukan oleh MK adalah sudah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. *** Bila dilihat dari pelaksanaan tugas dalam pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945, maka apa yang dilakukan oleh MK adalah sudah sesuai dengan independence of judiciary, mengingat MK melakukan kewenangannya sebagai bagian 98
ESAI-ESAI HUKUM
dari fungsi peradilan (judiciary). Di sisi lain yang perlu diperhatikan selama ini, ternyata pelaksanaan tugas MK masih dalam konteks koridor hokum. Konsekwensi dari pelaksanaan tugas MK di bidang kewenangannya, maka secara langsung dapat dikatakan bahwa MK secara kelembagaan telah berfungsi sebagai lembaga peradilan (judiciary) dan implementasi pelaksanaan tugas kewenangannya benar-benar merdeka karena tidak ada campur tangan dari pihak manapaun. Tujuan utama dari dibentuknya MK adalah sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman juga untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Sehingga penamaan MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) benar-benar dapat terlaksana. Daftar Bacaan 1. Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 2. UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 3. Menjaga Denyut Konstitusi, Refleksi 1 Tahun Mahkamah Konstitusi 4. Mahkamah Konstitusi Lembaga Negara Baru Pengawal Konstitusi
99
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
100
ESAI-ESAI HUKUM
BAGIAN KEDUA : PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
101
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
102
ESAI-ESAI HUKUM
KOMENTAR TERHADAP DRAFT RUU PENGURUSAN PIUTANG NEGARA1
A. Pengantar Pada pagi ini penulis diminta oleh Tim Kerja RUU tentang Pengurusan Piutang Negara, untuk mengomentari draft RUU tentang Pengurusan Piutang Negara. Melalui diseminasi ini mungkin saya bisa membandingkan dari kedua draft RUU yang ada dan penulis dalam mengomentari draft RUU ini, akan membagi dalam beberapa hal, antara lain : 1. Judul dari RUU, 2. Dasar menimbang dan dasar mengingat dari RUU. 3. Materi muatan pada Batang Tubuh RUU, dan 4. Penjelasan umum dan penjelasan pasal dari draft RUU. Dalam mengomentari keempat hal diatas, penulis mencoba untuk melihat kepada sistem hukum nasional2 di Indonesia dan beberapa teori3 yang berhubungan dengan permasalahan di atas serta pengalaman praktek4 selama ini. 1
Makalah yang disampaikan penulis pada Diseminasi RUU tentang Pengurusan Piutang Negara, Jakarta Rabu 28 Desember 2005, diselenggarakan oleh Tim Penyusunan RUU tentang Penyempurnaan UU No 49 Prp Tahun 1960.
2
Sistem hukum nasional dimaksud menekankan pada peraturan perundang-undangan nasional yang ada selama ini.
3
Teori dimaksud adalah teori yang berlaku di bidang privat serta tidak menutup kemungkinan teori yang ada relevansinya di bidang publik.
4
Pengalaman praktek misal pengalaman BPPN serta pengalaman PT (Persero) Perusahaan Pengelolaan Aset serta pengalaman pihak Ditjen Piutang Negara. Dalam kondisi ini, mungkin pengalaman penulis tidak banyak dibandingkan dengan pengalaman praktek dari rekan-rekan eks BPPN, PT PPA serta Ditjen Piutang Negara.
103
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
B. Judul RUU Tim kerja RUU memberikan judul terhadap draft RUU yaitu RUU tentang Pengurusan Piutang Negara. Penulis tidak tahu alasan mengapa dipilih judul ini, mungkin penulis berpandangan bahwa kata “pengurusan” selaras dengan kata “urusan” dari sejumlah peraturan5 yang berhubungan dengan piutang negara. Penulis berpendapat bahwa kata “urusan” bukanlah pengertian hukum yang sebenarnya, karena kata “urusan” lebih bermakna pada pengertian sehari-hari. Dalam ilmu perundang-undangan, sebaiknya digunakan terminologi hukum sehingga dapat dicegah penafsiran ganda. Penulis mengusulkan kata “pengurusan” dalam RUU ini, diganti dengan kata “pengelolaan”, karena kata pengelolaan lebih bermakna dan ada aspek hukumnya, yaitu hukum administrasi negara. Di sisi lain kata pengelolaan akan selaras dengan kalimat piutang negara, karena menurut penulis piutang negara harus dikelola menurut prinsip good governance Kata pengelolaan terhadap piutang negara sejalan dengan teori kontrak bahwa ketika kontrak itu disepakati maka kontrak itu harus dihormati sebagai UU bagi para pihak, termasuk kontrak dalam peristiwa perdata (misal hubungan antara kreditor dan debitur). Jadi sepanjang kontrak belum berakhir maka kewajiban antara para pihak terus mengikutinya. Demikian juga dalam hal peristiwa hukum piutang negara, piutang negara yang terjadi baik karena hubungan privat atau hubungan publik, harus dipandang sebagai hubungan hukum yang utuh antara para pihak. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa piutang negara yang tidak dapat tertagih karena tidak adanya makna hukum pengelolaan pada piutang tersebut, yang ada selama ini bahwa piutang negara dapat tertagih karena ada sifat pengurusan yang dipaksakan oleh pihak penagih (misal Ditjen Piutang Negara) terhadap pihak yang berhutang. Oleh sebab itu sejalan dengan tujuan dari dibentuknya UU ini, maka masalah peristiwa hukum piutang negara, bukanlah sesuatu yang diurus, tetapi harus merupakan suatu pengelolaan atas suatu piutang negara. Jadi dengan adanya UU ini nantinya, terhadap setiap peristiwa hukum tentang piutang (negara), maka masalah piutang tersebut harus dikelola sejak terjadinya hubungan hukum antara para pihak sampai piutang dapat tertagih. 5
Lihat UU No 49 Prp Tahun 1969 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, jo Keputusan Presiden No 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara, jo Keputusan Presiden No 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang Negara.
104
ESAI-ESAI HUKUM
Makna lain dari kata pengelolaan atas piutang negara, yaitu terhadap semua peristiwa hukum yang menyebabkan hutang piutang (makna dalam hukum privat) atau kewajiban (makna dalam hukum publik), harus dikelola menurut hukum, baik yang diamanatkan dalam perjanjian (hubungan hukum privat) sebagai UU bagi para pihak ataupun pengelolaan atas kewajiban antara para pihak (hubungan hukum publik). Melalui pengelolaan ini, maka diharapkan bagi semua pihak yang berhubungan dengan makna hutang piutang dan/atau kewajiban, akan lebih bertanggung jawa terhadap segi hukum yang mengikatnya baik yang diamanat sebagai perjanjian atau yang diamanatkan karena perintah UU. C. Dasar Menimbang Dalam ilmu perundang-undangan, maka dalam pembentukan dasar menimbang harus didasarkan pada dasar filosofis, yuridis dan sosiologis. Penulis berpendapat bahwa dasar menimbang dalam draft RUU belum mencerminkan dasar-dasar yang diatur dalam ilmu perundang-undangan. Mungkin setelah seluruh materi muatan RUU diselesaikan, maka dasar menimbang dalam draft RUU ini perlu disempurnakan kembali. Penulis berpendapat bahwa masalah piutang (negara) yang selama ini belum dikelola dengan baik serta belum adanya kesadaran dari para pihak dari adanya hubungan hukum antara para pihak tentang hak dan kewajibannya. Hal ini terjadi karena belum adanya aturan hukum yang memenuhi unsur keadilan antara para pihak, juga bisa terjadi karena para pihak sengaja untuk melakukan perlawanan hukum dengan cara menciderai perjanjian antara para pihak baik secara sengaja atau tidak sengaja. Hal yang perlu dipertimbangkan juga yaitu institusi yang mengurus urusan piutang negara. Selama ini masalah piutang (negara), dikonotasikan menjadi serta merta menjadi tanggung jawab Pemerintah (dalam hal ini unit kerja di Departemen Keuangan). Padahal masalah piutang (negara) tidak mutlak menjadi tanggung jawab instansi tersebut. Selain itu selama ini koordinasi antara instansi pemerintah dalam masalah pengurusan piutang negara belum berjalan dengan baik. Mungkin perlu dipikirkan adanya lembaga pemerintahan non struktural6 yang mengurus atau mengatur masalah piutang negara. Lembaga ini 6
Misalnya Komisi Kejaksaan yang diatur dalam UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI jo
105
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
mungkin lepas dari Departemen Keuangan dan berada di bawah Presiden7. Hal yang perlu diperhatikan bahwa UU No 49 Prp Tahun 1960 sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman serta tidak sejalan dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia yang mendasari kepada ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945. Selain itu selama ini ada beberapa institusi yang pernah mengurusi piutang negara8 atau institusi yang sedang mengurus piutang negara9. Oleh sebab itu perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi hukum dalam mengurus atau mengelola suatu piutang (negara). D. Dasar Mengingat Dalam draft RUU disebutkan bahwa sebagai dasar hukumnya adalah UUD 1945, padahal kalau diperhatikan bahwa saat ini yang berlaku adalah UUD Tahun 1945. Pemilihan tentang pasal-pasal yang mendukung keberadaan draft RUU ini perlu juga dikaji kembali, karena penyebutan Pasal 23 C kurang tepat, karena pasal ini mengatur masalah keuangan negara dan masalah piutang negara tidak identik dengan keuangan negara. Penulis berpendapat bahwa masalah piutang negara merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan warga negaranya, sehingga perlu adanya keseimbangan antara keduanya, dan lebih tepat dasar mengingat ini merujuk Pasal 23 D ayat (1)10 jo Pasal 28 H ayat (2)11 UUD Tahun 1945.
Peraturan Presiden RI No 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI. 7
Dalam draft versi DPR disebutkan perlu dibentuknya suatu lembaga non struktural yang bernama Komisi Pengelolaan Piutang Negara (KPPN).
8
Misalnya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) PP No 17 Tahun 1999.
9
Misalnya PT (Persero) Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) yang dibentuk dengan PP No 10 Tahun 2004, pada Pasal 2 ayat (2) butir c disebutkan bahwa pengelolaan aset negara tediri atas penagihan piutang.
10
Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 menyebutkan : “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
11
Pasal 28 H ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 menyebutkan : “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
106
ESAI-ESAI HUKUM
E. Materi Muatan Penulis berpendapat ada beberapa materi muatan yang perlu diperhatikan untuk dipertimbangkan kembali dalam penyusunan draft ini. Adapun materi muatan yang penulis kritisi adalah sebagai berikut : 1. Pengertian atas Piutang dan piutang negara. 2. Kategori piutang. 3. Para pihak yang berhubungan dengan masalah piutang dan piutang negara. 4. Jumlah atau besarnya piutang yang sebenarnya 5. Pihak yang bertanggung jawab dalam pengembalian piutang (negara). 6. Mekanisme dalam penarikan atau pengembalian piutang (negara). 7. Aspek hukum yang terjadi akibat dari penarikan atau pengembalian piutang (negara) Ad.1. Pengertian atas piutang dan piutang negara. Draft RUU ini akan mengatur piutang negara dan sebelum mengatur piutang negara, maka harus ditegaskan lebih dahulu perbedaan antara piutang12 dengan piutang negara, sebab tanpa adanya aturan yang tegas, bisa saja terjadi bahwa suatu piutang dapat menjadi bagian piutang negara. Penulis berpendapat hendaknya pengertian piutang dan piutang negara diatur dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, pada Pasal 1. Pengaturan tentang pengertian piutang dan piutang negara ini sangat penting, untuk mencegah penafsiran yang berbeda atas kedua hal tersebut. Di sisi lain dengan adanya pengertian yang tegas dapat membantu aparat penegak hukum untuk menegakkan UU ini di kemudian hari. Penulis berpendapat, bahwa ada kemungkinan piutang (negara) yang diatur dalam draft ini, merupakan bagian dari keuangan negara, tetapi menurut penulis bila dilihat ketentuan umum butir 1 dari UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, piutang negara tidak identik bagian dari keuangan negara, mungkin yang paling mendekati Pasal 2 UU No 17 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa keuangan negara meliputi, ,,,,,,, i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah.
12 Istilah piutang (receiving) meliputi semua klaim dalam bentuk uang, barang, dan jasa erhadap perorangan, organisasi atau debitur lainnya. Piutang timbul dari beberapa jenis transaksi di mana yang paling umum adalah penjualan barang ataupun jasa secara kredit.
107
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Untuk mencegah penafsiran yang berbeda dikemudian hari dalam mengimplementasikan UU ini, maka perlu dipikirkan definisi hukum atas piutang dan piutang negara, sebab dalam teori ilmu hukum, ada perbedaan yang tegas antara piutang dan piutang negara, sebab keduanya memiliki peristiwa hukum yang berbeda. Ad.2. Kategori piutang. Dalam draft ini tidak mengatur secara tegas kategori piutang, tetapi lebih menekankan pihak yang mempunyai piutang (lihat Pasal 2 ayat (1)). Penulis berpendapat bahwa masalah hutang piutang adalah satu peristiwa hukum tersendiri dan seandainya UU ini ingin mengatur pengurusan piutang (negara) tersebut, maka disini ada peristiwa hukum lainnya. Perlunya kategori piutang disebabkan kata piutang dipadankan dengan kata hutang, sebab tanpa hubungan hukum hutang piutang, tidak mungkin terjadi suatu piutang. Di sisi lain perlunya kategori piutang karena ada sifat dari piutang itu sendiri, baik piutang yang terjadi karena hubungan hukum yang bersifat publik atau hubungan hukum yang bersifat privat. Dalam hubungan hukum publik bisa terjadi karena adanya kewajiban yang timbul berdasarkan UU13, sedangkan hubungan hukum privat bisa terjadi karena adanya perikatan atau perjanjian antara para pihak serta adanya tagihan akibat terjadinya perikatan dan/atau perjanjian antara para pihak. Dalam draft ini (Bab III) telah diatur masalah pengurusan piutang, tetapi menurut penulis sebelum piutang tersebut diurus, maka logikanya piutang yang akan diserahkan tersebut diklarifikasi14 lebih dahulu antara pihak yang berhutang dengan pihak yang berpiutang. Hal ini penting supaya tidak terjadi intervensi atau perlawanan dari pihak yang dirugikan atas pengurusan piutang tersebut. Dalam draft versi DPR piutang yang akan diurus atau dikelola harus dilakukan konsolidasi piutang melalui besarnya nilai utang, pengakuan piutang dan adanya peralihan piutang. Melalui konsolidasi ini, maka pekerjaan yang 13 Dalam UU Perpajakan, piutang bisa terjadi karena adanya kewajiban perpajakan dari setiap setiap wajib pajak kepada negara melalui Ditjen Pajak. 14
Dalam draft pada Pasal 7 ayat (1), sudah disebutkan secara tegasnya atas besarnya piutang negara terdiri dari sisa piutang pokok, bunga, denda, ongkos-ongkos dan/atau beban lainnya yang didasarkan atas perhitungan pada saat piutang tersebut dinyatakan macet.
108
ESAI-ESAI HUKUM
mengeksekusi piutang akan lebih dipermudah tanpa adanya intervensi dari para pihak yang dirugikan karena adanya pengurusan piutang tersebut. Ad.3. Para pihak yang berhubungan dengan piutang dan piutang negara. Masalah pengaturan piutang negara bila ditinjau dari sudut ilmu hukum, maka masalah piutang negara ini berdimensi jamak arah (lihat tabel di bawah), karena banyak pihak yang berhubungan dengan masalah piutang tersebut dan banyak pihak yang mempunyai kepentingan atas piutang tersebut. Untuk itu sebaiknya para pihak yang berhubungan dengan piutang diatur secara tegas, tidak semata-mata dari konteks piutang saja tetapi juga diatur tentang hutang piutang tersebut. Contoh : hubungan hukum antara Pihak I (wajib pajak) dengan Pihak II (Ditjen Pajak ) dalam peristiwa hukum tentang kewajiban perpajakan. Tabel 1 Peristiwa Hukum I No
Para Pihak
Hubungan Hukum
1.
Pihak I (wajib pajak)
2.
Pihak II (Ditjen Pajak) Idem
Peristiwa Hukum
Keterangan
Kewajiban perpajakan Kondisi Normal (kewajiban dilaksanakan)
Hubungan publik berdasarkan UU Perpajakan
Hak menerima kewajiban perpajakan Pihak I
Tabel 2 Peristiwa Hukum II No
Para Pihak
Hubungan Hukum
Peristiwa Hukum
Keterangan
Kewajiban perpajakan Kondisi tidak Normal (kewajiban tidak dilaksanakan)
1.
Pihak I (wajib pajak)
Hubungan publik berdasarkan UU Perpajakan.
2.
Pihak II (Ditjen Pajak) Hubungan publik berdasarkan UU No 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
109
Hak menerima kewajiban perpajakan Pihak I
Hak untuk menagih sesuai UU no 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Tabel 3 Peristiwa Hukum III No
Para Pihak
Hubungan Hukum
1.
Pihak I (wajib pajak)
Hubungan publik berdasarkan UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
2.
Pihak II (Ditjen Pajak) Idem
Peristiwa Hukum
Keterangan
Sengketa Pajak
Mengajukan ke Peradilan Pajak
Sengketa Pajak
Sebagai pihak yang bersengketa
Contoh II : Hubungan hukum antara subyek hukum (orang pribadi atau badan hukum) sebagai Pihak I dengan pihak perbankan sebagai Pihak II, dalam peristiwa hukum perjanjian kredit perbankan. Tabel 4 Peristiwa Hukum I No
Para Pihak
1.
Pihak I (debitur)
Kewajiban untuk Hubungan privat berdasarkan perjanjian hutang pokok dan bunga akad kredit
Hubungan Hukum
Peristiwa Hukum
2.
Pihak II (kreditur)
Idem
Keterangan Kondisi Normal (kewajiban dilaksanakan)
Hak menerima kewajiban dari Pihak I
Tabel 5 Peristiwa Hukum II No
Para Pihak
1.
Pihak I (debitur)
Hubungan privat Kewajiban untuk berdasarkan perjanjian membayar hutang pokok dan bunga
Hubungan Hukum
Peristiwa Hukum
2.
Pihak II (kreditur)
Idem
Keterangan Kondisi tidak Normal (kewajiban tidak dilaksanakan)
Hak menerima Hak untuk menagih kewajiban dari Pihak I Hak untuk mengurus
110
ESAI-ESAI HUKUM
Tabel 6 Peristiwa Hukum III No
Para Pihak
Hubungan Hukum
Peristiwa Hukum
Keterangan
1.
Pihak I (bank)
Hubungan publik berdasarkan UU
Kewajiban untuk menyerahkan piutang
Proses penegakan hukum
2.
Pihak II (Ditjen PULN)
Idem
Proses penegakan Hak mengurus hukum penagihan piutang dari Pihak I (peristiwa hukum 2) melalui Pihak I (peristiwa hukum 3)
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa perisitiwa hukum tentang piutang yang akan ditagih, tidak semudah untuk dapat diproses menurut hukum. Oleh sebab itu perlu dipikirkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengurusan piutang (negara) tersebut. Justru di mata hukum proses pengurusan piutang negara merupakan bagian dari proses penegakan hukum. Oleh sebab itu proses penegakan hukum tidak terjadi begiru saja, ada beberapa peristiwa hukum lainnya yang mendukung proses pengurusan piutang negara, sehingga sudah sepatutnya masalah peristiwa hukum yang mendukung proses penegakan hukum tersebut perlu diatur dalam RUU ini. Dalam draft pada Pasal 2 disebutkan beberapa pihak yang berhubungan dengan piutang15, tetapi menurut penulis ruang lingkup pengurusan piutang negara sudah masuk wilayah hukum peristiwa hukum 2, sehingga tidak mengakui atau belum mengatur wilayah hukum atas peristiwa hukum 1 sebagai pihak yang berkepentingan. Oleh sebab itu perlu dipikirkan para pihak yang merupakan bagian dari peristiwa hukum 1. Ad.4. Jumlah atau besarnya piutang Dalam konteks ilmu hukum, atas setiap peristiwa hukum yang timbul karena adanya hubungan hukum, maka menimbulkan efek lain, misalnya suatu kewajiban. Demikian pula dalam hutang piutang, maka biasanya para pihak menyadari bahwa akan timbul jumlah atau besarnya hutang piutang antara 15 Ruang lingkup pengurusan piutang negara meliputi pengurusan atas piutang a) Pemerintah Pusat dan Lembaga Negara, b) Pemerintah Daerah, c) BUMN, d) BUMD, e) badan-badan usaha yang penyertaan modal negara/daerah kuran atau sama dengan 50%, f) badan-badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki secara tidak langsung oleh negara/daerah.
111
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
para pihak tersebut. Dalam kondisi normal, dimana para pihak sadar akan hak dan kewajibannya, maka mengenai jumlah atau besarnya hutang piutang tidak akan menjadi masalah. Hal ini akan menjadi berbeda, apabila salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya, sehingga menimbulkan peristiwa hukum lainnya yaitu tentang jumlah atau besarnya hutang piutang. Oleh sebab itu pada umumnya pihak yang melalaikan kewajibannya tidak dengan serta merta akan mengakui jumlah atau besarnya hutang piutang tersebut. Biasanya pihak yang melalaikan kewajibannya akan mencari pembenaran atas hutang piutang yang timbul karena hubungan hukum tersebut. Di sisi lain pihak yang dirugikan biasanya akan menetapkan secara sepihak atas besarnya piutang yang akan ditagih kepada pihak yang mempunyai hutang. Untuk mencegah suatu peristiwa hukum yang namanya sengketa atas jumlah atau besarnya hutang piutang, maka seharusnya perlu diatur tentang mekanisme dalam penentuan hutang piutang. Melalui pengaturan mekanisme penentuan hutang piutang tersebut, maka pihak yang akan mengeksekusi pelaksanaan hutang piutang tersebut akan dibebaskan dari kerepotan dalam penentuan berapa jumlah atau besarnya piutang yang akan ditagih. Di sisi lain perlu adanya lembaga independen16 yang mempunyai kualifikasi dan sertifikasi dalam menentukan jumlah atau besarnya hutang piutang yang terjadi antara para pihak. Dalam draft RUU ini diatur tentang penetapan jumlah piutang negara (Bab VII), tetapi menurut penulis pengaturan mengenai jumlah piutang negara bersifat sepihak dan memaksa dan kurang aspek keadilannya. Khususnya mengenai adanya wawancara tentang kebearan adanya dan besarnya piutang negara. Mungkin disini bisa menimbulkan kolusi (mohon maaf) antara pihak yang mewawancari dengan pihak yang mempunyai hutang, sehingga bisa saja terjadi kerugian negara. Disisi lain bisa terjadi sengketa tata usaha negara, khususnya pada Pasal 26 dan 27, yaitu adanya peristiwa hukum dari si pejabat yang menerbitkan Surat Pemberitahuan Koreksi atau Perubahan Besaran Piutang Negara. Pada prinsipnya penulis setuju saja, tetapi perlu diharmoniasi dengan pengaturan sengketa tata usaha negara.
16
Dilakukan oleh profesi Penilai.
112
ESAI-ESAI HUKUM
Pada Bab XI tentang Penilaian atas barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik debitur dan/atau penjaminan utang. Menurut penulis pengaturan ini tetap perlu, tetapi yang paling diutamakan adalah penilaian terhadap hutang piutang tersebut. Melalui pengaturan penilaian atas hutang piutang akan dihasilkan suatu keadilan untuk semua pihak dan akan memudahkan dalam proses penegakan hukum bagi pihak yang akan mengeksekusi atas piutang tersebut. Ad. 5. Pihak yang bertanggung jawab dalam pengembalian piutang (negara). Dalam draft RUU ini maka pihak yang bertanggung jawab dalam pengembalian piutang negara dipegang kendalinya oleh Menteri Keuangan dan sesuai dengan distributive power yang dimilikinya, Menteri dapat menunjuk Pejabat untuk melaksanakan pengurusan piutang negara (Pasal 3 ayat (2)). Bila dibaca secara sederhana dan dibandingkan dengan pengertian dari pejabat (Pasal 1 butir 8), maka dapat ditarik kesimpulan adanya hubungan personifikasi antara Menteri dengan sang pejabat. Penulis berpendapat kalau hal ini akan diatur, maka seharusnya distributive power yang dimiliki oleh Menteri diserahkan kepada suatu lembaga (misal Ditjen Piutang negara), sehingga dengan distributive power tersebut, pihak Ditjen Piutang Negara dalam menggunakan kuasi administrasi kepada para pegawai di lingkungan Ditjen Piutang Negara. Di sisi lain dari sudut administrasi negara, maka hal mengenai Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI), biasanya dimiliki oleh kelembagaan dan unit yang berada di lembaga tersebut dan bukan dimiliki oleh pejabat. Dalam draft ini, tupoksi diberikan oleh UU ini langsung kepada si pejabat (lihat Pasal 3 ayat (3)). Mungkin pengaturan ini ingin menyerupai pengaturan yang terdapat pada UU No 19 Tahun 1997 pada Pasal 2 ayat (3)). Penulis berpendapat bahwa pihak yang bertanggung jawab dalam pengembalian piutang negara di Indonesia, perlu ditata kembali, sebab selama ini masih terjadi tumpang tindih antara kelembagaan tersebut serta masih kurangnya koordinasi antara lembaga tersebut. Menurut penulis pihak yang bertanggung jawab dalam pengembalian piutang negara seharusnya merupakan badan yang otonom dan bukan badan yang berada di dalam instansi pemerintah. Mung-
113
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
kin perlu dipikirkan untuk membentuk badan baru17 atau menggabungkan18 badan atau instansi yang ada selama ini, yang difokuskan untuk mengelola dan mengurus semua piutang negara. Seandainya ide untuk membentuk lembaga non strukural ini terjadi, maka sumber penerimaan negara dalam APBN bisa didapatkan dari lembaga non struktural ini dan yang terpenting segala hal yang berhubungan dengan hutang piutang dapat dikelola dengan baik dan dapat dicegah segala bentuk permaian yang mengarah untuk melalaikan kewajibannya atas hubungan hukum yang melahirkan suatu peristiwa hukum tertentu. Ad.6. Mekanisme dalam penarikan atau pengembalian piutang (negara). Materi muatan dalam penarikan atau pengembalian piutang negara, bila dilihat dari konteks ilmu hukum merupakan bagian dari hukum formil (hukum acara). Penulis setuju dengan pengaturan hal ini. Dalam draft ini diatur antara lain : 1. Masalah panggilan (Bab IV). 2. Surat Paksa (Bab VIII). 3. Penyitaan (Bab IX). 4. Pengosongan (Bab X). 5. Penilaian (Bab XI). 6. Penebusan (bab XII). 7. Pemeriksaan (Bab XIV). Menurut penulis pengaturan mengenai mekanisme dalam penarikan atau pengembalian piutang negara harus disusun secara sistematis dan terencana dalam draft ini. Hal lainnya yang mungkin juga terpenting adalah siapa yang melaksanakan mekanisme dalam penarikan atau pengembalian piutang negara. Apabila dibaca dalam draft ini, mekanisme ini dilakukan oleh si pejabat, menurut penulis hal ini kurang tepat, sebab seharusnya yang mengurusi masalah mekanisme adalah unit dari suatu organisasi dan bukan si personifikasinya. Di sisi lain dalam hal pengaturan mekanisme dalam penarikan atau pengembalian piutang negara harus dipadankan dengan tugas, wewenang dan fungsi dari pihak yang mempunyai kewenangan dan pihak dimaksud adalah suatu kelembagaan atau unit yang berada di lembaga tersebut dan bukan si pejabat. 17
Dalam draft versi DPR, badan dimaksud adalah KPPN.
18
Mungkin bisa digabungkan antara Ditjen PUPN dengan PT PPA (Persero).
114
ESAI-ESAI HUKUM
Hal yang perlu dipikirkan juga bahwa berbicara tentang mekanisme dalam penarikan atau pengembalian piutang negara, perlu diatur suatu mekanisme yang secara sederhana dapat dimengerti oleh semua pihak. Sehingga tudingan orang terhadap aturan administrasi yang mengatakan kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah, sudah tidak digunakan lagi di era modern ini. Ad.7. Aspek hukum yang terjadi akibat dari penarikan atau pengembalian piutang (negara) Dalam draft ini, masalah aspek hukum yang terjadi akibat dari penarikan atau pengembalian piutang (negara) sudah diatur, antara lain pada : 1. Piutang negara sementara belum dapat ditagih dan kadaluarsa ( Bab XX). 2. Penjualan barang jaminan yang telah diikat secara sempurna (Bab XXI), 3. Penatausahaan hasil pengurusan piutang negara (Bab XXII), 4. Pencegahan (Bab XXIII), 5. Penghapusan piutang negara (Bab XXIV), 6. Permintaan bantuan (Bab XXV). 7. Sanggahan (Bab XXVI). Penulis sependapat perlunya pengaturan di atas dalam draft ini, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pengaturan di atas merupakan pengaturan yang bersifat materiil, oleh sebab itu untuk mengatur hal yang bersifat materiil, sebaiknya pengaturan tersebut harus tuntas dan tidak menimbulkan masalah baru. Selain itu karena pengaturan materiil ini masuk wilayah ilmu perundangundangan, maka sebaiknya perlu dicari terminologi hukum yang sederhana dan pengaturan tersebut harus merupakan satu peristiwa hukum tertentu dan bukan gabungan dari beberapa peristiwa hukum. Penulis berpendapat bahwa pada Bab XX, terdapat 2 peristiwa hukum, sehingga keduanya harus dipisahkan antara peristiwa hukum tentang Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dan Kadaluarsa. Mengenai pengaturan kadaluarsa harus disesuaikan dengan pengaturan kadalursa yang diatur dalam KUH Perdata. Terhadap Bab XXI, penulis berpendapat perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan pengaturan mengenai obyek tanggungan dan barang jaminan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Jangan sampai pengaturan dalam UU ini membuat suatu pengertian teori hukum yang baru. 115
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Terhadap Bab XXII, penulis berpendapat juga tetap dilakukan sinkronisasi dan harmoniasi dengan pengaturan yang sudah ada, khususnya adanya penerimaan negara bukan pajak. Di sisi lain pencantuman beban bagi debitur sebesar 10%, bukanlah hal yang tepat, walaupun disebutkan paling tinggi 10%, seharusnya beban tersebut tidak perlu disebutkan sampai 10%, mengingat untuk menarik piutang tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi seandainya adanya kewajiban atas beban 10% ada pada debitur, maka pekerjaan untuk menari piutang negara semakin sulit. Terhadap Bab XXIII, penulis berpendapat juga tetap dilakukan sinkronisasi dan harrmonisasi dengan pengaturan yang sudah ada, khususnya pengaturan Pasal 89 ayat (1) bisa menjadi obyek sengketa di Mahkamah Konstitusi karena ada dugaan melanggar HAM sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Terhadap Bab XXIV, penulis berpendapat juga tetap dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan pengaturan yang sudah ada. Dalam Bab ini, terlihat hanya diatur segi materiil saja tentang penghapusan piutang negara, sedangkan mengenai segi formil dari penghapusan piutang negara, khususnya piutang belum diatur secara jelas. Padahal sejak era otonomi daerah, jumlah piutang daerah sudah semakin besar dan sulit dikontrol oleh pihak daerah. Untuk itu perlu diatur mekanisme atau hukum formil dalam penghapusan piutang negara. G. Penutup Pada prinsipnya penulis setuju untuk segera dibentuk UU tentan Pengurusan Piutang Negara untuk menggantikan UU yang sudah ada selama ini, selain UU yang ada sudah tidak sesuai, juga sejalan dengan pengaturan masalah keuangan negara pada umumnya, mengingat selama ini masalah piutang negara belum dikelola dengan baik. Untuk itu melalui diseminasi hari ini semua pihak termasuk penulis bisa mendapatkan proses pembelajaran dalam hal pengurusan piutang negara. Pentingnya pengaturan piutang negara juga untuk membantu sistem keuangan negara kita yang bertumpu kepada APBN, sehingga penerimaan negara yang selama ini dibebankan ke sektor perpajakan dan sektor migas, maka ada sektor penerimaan negara yang cukup potensil yaitu piutang negara. Sehingga untuk dapat menjadikan pengaturan pengurusan piutang negara sebagai peneri116
ESAI-ESAI HUKUM
maan negara, maka perlu diatur secara hukum formil dan hukum materiil segala hal yang berhubungan dan yang berkepentingan dengan pengurusan piutang negara. Hendaknya pengalaman selama ini bisa menjadi proses pembelajaran dalam menyusun pengaturan piutang negara. Bagi pihak penyusun draft ada beberapa hal yang perlu dipikirkan : 1. Hendaknya proses diseminasi tidak berhenti pada kegiatan hari ini, hendaknya penyelenggara dapat bersikap pro aktif kepada stake holders baik di pusat dan di daerah, sehingga tidak ada alasan dari masyarakat yang mengatakan tidak pernah diajak bicara tentang masalah ini. 2. Perlu juga dipikirkan kapan draft ini diserahkan ke DPR, mengingat dalam Prolegnas Tahun Anggaran 2006, tidak terdapat draft RUU tentang Piutang Negara. 3. Sejalan dengan hasil amandemen UUD 1945 serta adanya lembaga Dewan Perwakilan Daerah, perlu dipikirkan tanggung jawab daerah terhadap masalah ini, mengingat DPD mempunyai hak untuk memberikan pertimbangan terhadap UU yang berhubungan dengan keuangan dan otonomi daerah. 4. Perlu juga dipikirkan agar UU bisa berlangsung lama dan jangan sama ketika UU ini akan dijalankan ada para pemohon yang mengajukan hak uji terhadap UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Untuk itu perlu dilihat secara mendalam, materi muatan mana saja dalam UU ini yang bisa menyebabkan adanya pihak atau pemohon yang tidak setuju dengan keberadaan UU ini secara menyeluruh atau secara parsial. Daftar Bacaan 1. UUD Negara RI Tahun 1945. 2. UU No 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. 3. UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 4. UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 5. Draft RUU tentang Pengurusan Piutang Negara. 6. Draft RUU tentang Pengelolaan Piutang Negara (versi DPR). 7. PP No 10 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pengelolaan Aset. 8. KUH Perdata.
117
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
118
ESAI-ESAI HUKUM
VISI DAN MISI BAKAL CALON ANGGOTA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN PERIODE 2007 - 20121
Dasar Hukum: 1. UUD Tahun 1945: a. Pasal 23 F ayat (1) : “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden” b. Pasal 28 D ayat (3) “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. 2. UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan: a. Pasal 4 ayat (1) “ BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. b. Pasal 14 ayat (1): “ Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD” c. Penjelasan Pasal 14 ayat (1): “ Dalam memilih anggota BPK, DPR mempertimbangkan kesesuaian dan keseimbangan antara keahlian dan komposisi pembidangan tugas BPK” d. Pasal 14 ayat (2) : “Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama calon secara lengkap dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari Pimpinan DPR. 1
Makalah yang disampaikan penulis dihadapan Panitia Ad Hoc IV DPD RI Dalam Rangka Pemilihan Calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, DPD - RI, Kamis 22 Februari 2007.
119
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Visi: BPK Yang Bebas dan Mandiri, Pemeriksa Yang Jujur dan Profesional dan Hasil Pemeriksaan Yang Akuntabel Misi : 1. Mewujudkan BPK yang bebas dan mandiri 2. Mewujudkan BPK sebagai auditor tunggal di bidang keuangan Negara. 3. Mewujudkan system pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan global 4. Mewujudkan pemeriksa yang jujur dan profesional. 5. Mewujudkan hasil pemeriksaan dapat ditindaklanjuti oleh setiap lembaga, badan yang diatur dalam UU 6. Mewujudkan system keuangan Negara yang sesuai dengan prinsip clean government, bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menggambarkan visi dan misi dari bakal calon, maka di bawah ini di sampaikan gambaran singkat terhadap visi dan misi tersebut. A. Pengantar UUD Tahun 1945 pada Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khususnya pada Pasal 23 E, 23 F dan 23 G telah memposisikan kembali atas kedudukan dan kewenangan BPK dalam hal keuangan Negara. Tindak lanjut dari ketentuan UUD Tahun 1945 telah diatur dalam UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan serta UU terkait lainnya seperti UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Bila diperhatikan konsiderans menimbang dari UU No 15 Tahun 2006 jelas disebutkan ada beberapa unsur terpenting atas keberadaan BPK, yaitu : 1. BPK dibentuk sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan tanggung jawab atas keuangan Negara. 2. BPK adalah lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri dan professional. 3. Tujuan akhir dari dibentuknya BPK untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari kolusi, kolusi dan nepotisme. Untuk mengefektifkan ruang lingkup BPK, maka keberadaan BPK harus 120
ESAI-ESAI HUKUM
dilihat sebagai suatu system terpadu. Keterpaduan BPK tidak dapat dilihat hanya dari segi pemeriksaan semata, tetapi BPK harus dilihat juga dari segi : 1) kelembagaan, 2) personifikasi anggota BPK, 3) tugas utama BPK, 4) hasil kerja BPK dan 5) akuntabilitas BPK. Di antara system terpadu ini, banyak pandangan yang melihat BPK hanya dari segi kelembagaan dan pemeriksaan semata. Di satu sisi kedua hal ini dapat dibenarkan tetapi untuk mengefektifkan lembaga BPK, maka BPK harus dilihat harus dilihat secara system terpadu. B. Kelembagaan BPK Dalam system tatanegara Indonesia, BPK merupakan salah satu lembaga negara yang disebutkan secara eksplisit dalam UUD Tahun 1945. Hal keberadaan BPK sebagai lembaga negara makin dipertegas dalam UU No 15 Tahun 2006 yang pada Pasal 2 menyebutkan bahwa BPK merupakan salah satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Bahkan dalam penjelasan umum disebutkan bahwa kedudukan BPK sebagai lembaga negara pemeriksa keuangan negara perlu dimantapkan disertai dengan memperkuat peran dan kinerjanya. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal 1) kelembagaan, 2) pemeriksaan dan 3) pelaporan, sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh UUD Tahun 1945. Adanya kelembagaan BPK pasca amandemen UUD 1945, makin memperjelas posisi BPK untuk melakukan prinsip the check and balances dalam bidang pemeriksaan keuangan negara terhadap semua lembaga negara dan institusi yang mendapatkan anggaran negara dalam pelaksanaan kegiatan tugasnya. Sebagai suatu lembaga tentu BPK tidak dapat berjalan dengan sendiri tanpa adanya subsistem yang mendukung lembaga BPK. Subsystem tersebut antara lain personifikasi anggota BPK dan alat kerja BPK untuk mendapatkan hasil kerja sesuai dengan tugas dan kewenangan BPK yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Konsekwensi lain lembaga BPK dalam melaksanakan tugasnya, maka oleh UUD Tahun 1945 jo UU No 15 Tahun 2006 disebutkan kelembagaan BPK berkedudukan di Ibukota negara dan BPK memiliki perwakilan di setiap provinsi. Hal ini merupakan konsekwensi dari penggunaan anggaran negara yang berada di seluruh provinsi di Indonesia.
121
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Secara kelembagaan UU No15 Tahun 2006 menjalankan tugas secara bebas dan mandiri, dan untuk menjaga kebebasan dan kemandiriannya, BPK berkewajiban antara lain: a. menjalankan pemeriksaan sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, b. mematuhi kode etik pemeriksa, dan c. melaksanakan system pengendalian mutu. Untuk mendukung BPK secara kelembagaan, maka BPK berkewajiban untuk menyusun standar pemeriksaan keuangan negara C. Keanggotaan BPK Keanggotaan BPK merupakan roh dari BPK itu sendiri, sebab dengan keanggotaan dari BPK eksistensi BPK akan menjadi nyata, yang mana melalui keanggotaan BPK tersebut dapat menggerakkan BPK sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Dalam UUD Tahun 1945, hal tentang keanggotaan BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Hanya saja dalam UUD Tahun 1945 tidak disebutkan jumlah keanggotaan BPK. Hanya dalam Pasal 23G ayat (2) disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai BPK diatur dengan UU. Berdasarkan ketentuan ini, maka dalam UU No 15 Tahun 2006 disebutkan bahwa jumlah anggota BPK yang semula 7 (tujuh) orang menjadi 9 (sembilan) orang. Mengenai pemilihan keanggotaan BPK tidak disebutkan secara jelas dasar pemilihan jumlah anggota BPK sebanyak 9 orang. Hanya dalam Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa susunan BPK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua dan 7 orang anggota BPK. Konsekwensi dari penambahan jumlah 2 (dua) orang anggota BPK yang semula dari 7 orang menjadi 9 orang, Sehingga relevan dengan kegiatan fit and proper test yang dilakukan oleh Komisi XI DPR-RI dalam beberapa hari mendatang. Upaya untuk mendapatkan seorang anggota BPK tidak mutlak kewenangan DPR semata, sebab dalam UUD Tahun 1945 Pasal 23 F ayat (1) disebutkan bahwa Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Ini dapat diartikan bahwa pemilihan anggota BPK dilakukan secara bertingkat dan berjenjang, yaitu adanya peran dari DPR untuk memilih dan pemilihan tersebut juga harus memperhatikan per122
ESAI-ESAI HUKUM
timbangan dari DPD. Jadi wajar saja kegiatan hari ini yang dilakukan oleh DPD terhadap bakal calon sebagai bagian dari tugas konstitusional DPD untuk mendapatkan suatu pertimbangan yang memadai terhadap bakal calon anggota BPK. Hal yang cukup menarik dari sifat keanggotaan BPK pasca UU No 15 Tahun 2006, para anggota BPK harus bekerja keras sesuai dengan keahlian mereka di bidang pemeriksaan atau di bidang yang mendukung kearah pemeriksaan. Untuk itu wajar saja dalam pemilihan 2 (dua) orang calon anggota BPK, para calon anggota haruslah orang yang memahami khasanah lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dan orang yang mempunyai pengetahuan di bidang keuangan negara. Pemilihan anggota BPK hendaknya disandarkan kepada kepentingan negara pada umumnya dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap bakal calon, mengingat konstitusi Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mempeoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Untuk mendapatkan seorang anggota BPK yang professional dan paripurna, hendaknya aturan tentang larangan yang diatur dalam Pasal 28 UU No 15 Tahun 2006 sudah diberlakukan sebelum seorang bakal calon menjadi anggota BPK. Hal ini penting mengingat seorang anggota BPK haruslah seorang yang tidak partisan dan untuk menjaga netralitas seorang anggota BPK dalam menjalankan tugasnya. Selain itu untuk mencegah perasaan emosional dengan lingkungan sebelum ia menjadi anggota BPK, apabila dilakukan pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.. D. Tugas Utama BPK UUD Tahun 1945 pada Pasal 23 E secara eksplisit menegaskan tugas utama BPK yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan Negara ke DPR, DPD dan DPRD. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 E terdapat peristiwa hukum yang berkaitan dengan tugas utama BPK: 1. BPK melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara. 2. BPK melakukan pemeriksaan atas pertanggungjawaban pengguna keuangan negara. 3. BPK berkewajiban melaporkan hasil pekerjaan pemeriksaannya ke DPR, DPD dan DPRD. 123
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Untuk melakukan pemeriksaan sebagai tugas utama BPK, UU No 15 Tahun 2006 pada Pasal 6 ayat (2) menegaskan pemeriksaan yang dilakukan BPK harus dilakukan berdasarkan UU, yaitu antara lain UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Jadi secara normative hukum sudah jelas tugas pemeriksaan BPK tersebut. Bahkan dalam ayat (3) ruang lingkup pemeriksaan BPK mencakup; 1) pemeriksaan keuangan, 2) pemeriksaan kinerja dan 3) pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Bahkan dalam ayat (5) ditegaskan kembali adanya keseimbangan prinsip pemeriksaan, dimana BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan obyek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara. Di sisi lain, tugas BPK dilakukan hanya terhadap pihak-pihak yang mengelola keuangan negara baik secara langsung ataupun tidak langsung. Adapun pihak yang mengelola keuangan negara yang akan diperiksa oleh BPK disebutkan pada Pasal 6 ayat (1) yaitu : 1. Pemerintah Pusat, 2. Pemerintah Daerah, 3. Lembaga Negara lainnya, 4. Bank Indonesia, 5. Badan Usaha Milik Negara, 6. Badan Usaha Milik Daerah, 7. Lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara. Sifat pengelolaan keuangan negara baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh 7 (tujuh) pihak di atas, sebagai konsekwensi 7 (tujuh) pihak tersebut menikmati keuangan negara yang masuk ke kas mereka. Sehingga wajar saja peran dari BPK sangat dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sifat pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK terhadap 7 (tujuh) pihak tersebut selain merupakan mandat dan amanat konstitusi yang diserahkan ke BPK, juga merupakan bagian dari system ketatanegaraan di Indonesia yaitu adanya prinsip the checks and balances di antara lembaga negara di Indonesia. Sebagai suatu system menurut hukum adminsitrasi negara, maka tugas BPK dilengkapi oleh sejumlah kewenangan yang mengikat BPK dalam menjalankan tugasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan 10, sedangkan pada Pasal 11 disebutkan terhadap hal-hal yang sifatnya tidak mengikat penuh, maka BPK dapat memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pihak yang diperiksa. 124
ESAI-ESAI HUKUM
E. Hasil Kerja BPK UUD Tahun 1945 pada Pasal 23E ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa hasil kerja BPK dalam melakukan pemeriksaan diserahkan ke DPR, DPD dan DPRD, selain itu hasil pemeriksaan tersebut akan ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan UU. Bahkan dalam UU No 15 Tahun 2006 hasil kerja BPK dipertegas kembali pada Pasal 7 ayat (1) untuk diserahkan ke DPR,DPD dan DPRD dan pada Pasal 8 disebutkan untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK menyerahkan hasil pemeriksaan tertulis kepada Presiden, Gubernur, Buipatii/Walikota untuk ditindaklanjuti. UU No 15 Tahun 2006 sudah mengarahkan hasil kerja BPK secara tuntas, dari sekedar pemeriksaan sampai dengan menindaklanjuti hasil pemeriksaan kepada pihak yang diperiksa serta menjadikan hasil pemeriksaan terhadap dugaan tindak pidana untuk diserahkan kepada aparat penegak hukum. Bahkan dalam ayat (5) disebutkan bahwa BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat dan hasilnya diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, DPRD serta Pemerintah. F. Akuntabilitas BPK Sifat akuntabilitas terhadap hasil kerja BPK tidak disebutkan dalam UUD Tahun 1945, tetapi dalam UU No 15 Tahun 2006 sifat akuntabilitas terdapat pada Pasal 7 ayat (5) yang menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Ini menandakan sifat akuntabilitas yang bersifat aktif. Hanya saja dalam UU No 15 Tahun 2006 tidak disebutkan hasil pemeriksaan BPK terhadap para penyelenggara lainnya seperti pihak Pemerintah atau lembaga negara lainnya selain DPR, DPD dan DPRD. Hanya disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1), untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BPK menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Seharusnya sifat akuntabilitas ini juga berlaku terhadap hasil pemeriksaan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan lembaga lainnya. Akuntabiltas BPK lainnya juga tampak dari ketentuan Pasal 11 butir c, dimana BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Ini mencerminkan akuntabilitas yang bersifat pasif, karena ketentuan ini dapat diberlakukan kalau diminta atau kalau terjadi proses 125
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
peradilan yang membutuhkan pandangan dari BPK. Di sisi lain sifat akuntabilitas BPK terhadap kinerja BPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, dengan mengijinkan akuntan publik melakukan audit terhadap kinjera BPK dan untuk menjaga mutu pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan standar, sistem, pengendalian mutu, BPK dapat ditelaah oleh BPK negara lain. G. Penutup Sebagai suatu salah satu negara demokrasi baru, tentu eksistensi negara Indonesia ditentukan oleh system yang berlaku di negara ini, baik system yang secara normatif telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan ataupun dalam system hukum yang berlaku yaitu adanya prinsip the checks and balances antara lembaga. Secara normative hukum pengaturan pemeriksaan dan pengelolaan keuangan negara telah menempatkan BPK sebagai satu-satunya lembaga yang ditunjuk UUD Tahun 1945 untuk melakukan tugas di bidang keuangan negara. Sebagai suatu system pengaturan tentang pemeriksaan dan pengelolaan keuangan negara telah diatur dalam sejumlah UU di bidang keuangan negara antara lain UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara UUD Tahun 1945 telah menempatkan BPK sebagai salah satu lembaga negara yang menjalankan tugas dan kewenangannya. Tindak lanjut pengaturan tentang BPK telah diatur dalam UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK. Konsekwensi dari pengaturan tugas BPK harus ditindaklanjuti dengan pemilihan 2 (dua) orang anggota BPK yang baru. Siapapun yang terpilih menjadi anggota BPK ataupun anggota BPK yang sudah ada sekarang berkewajiban menjalankan tugas konstitusional yang telah ditetapkan dalam UUD Tahun 1945. Akhirnya beban yang diemban oleh BPK yang dijalankan oleh para anggota BPK hendaknya dilakukan sesuai dengan tugas dan kewenangan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk menunjang eksistensi BPK, maka diharapkan adanya peran serta dari masyarakat, para pejabat negara ataupun siapa saja yang berkepentingan untuk membangun negara Indonesia untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD Tahun 1945. 126
ESAI-ESAI HUKUM
AYO MEMBAYAR PAJAK1
A. Pengantar Sulitnya untuk menggalang penerimaan negara melalui sektor perpajakan mulai tampak dengan adanya target setiap tahunnya yang diperintahkan oleh Pemerintah kepada Ditjen Pajak untuk menggalang penerimaan pajak untuk APBN setiap tahunnya. Di satu sisi kewajiban penerimaan negara ini dianggap sebagai beban bagi Ditjen Pajak untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Di sisi lain kewajiban penagihan pajak tersebut menjadi beban bagi masyarakat khususnya bagi para wajib pajak. Upaya penggalangan perpajakan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak, bukanlah pekerjaan yang mudah dan murah, perlu ada kerjasama yang baik antara aparat Ditjen Pajak dengan masyarakat pada umumnya. Sumber penerimaan pajak sebenarnya ada di depan mata kita. Sebagai contoh kita bisa melihat banyaknya mobil baru yang berseliweran di jalan raya, atau kita bisa lihat di sejumlah pemukiman di Jakarta atau di pinggiran Jakarta, rata-rata pada satu rumah terdapat minimal 2 kendaraan bermotor. Jadi sebenarnya sumber intensifikasi dan ekstensifikasi sudah ada di depan mata aparat Ditjen Pajak. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, kalau kita amati pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur, keramaian terjadi di sejumlah pertokoan atau mal-mal di Jakarta. Sebutlah misalnya kompleks pertokoan di Pondok Indah atau di Kelapa Gading, kita bisa lihat perputaran uang yang ada di kompleks pertokoan tersebut, atau maraknya orang menikmati santap siang di sejumlah rumah makan atau rumah saji. Jadi dari ilustrasi tersebut, maka tidak ada alasan bagi Ditjen Pajak untuk tidak dapat merealisir target penerimaan negara melalui perpajakan. 1
Makalah yang disampaikan penulis pada Lomba Penulisan Pajak Tahun 2005 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia.
127
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Secara teoritis apa yang sudah tampak di depan mata sangat mudah untuk dilakukan, tetapi untuk menjalankan hal tersebut bukanlah pekerjaan mudah. Selama ini banyak pengamat perpajakan selalu mengkritik pekerjaan atau tugas yang diemban oleh Ditjen Pajak. Untuk mengimplementasikan tugas yang mulia tersebut, perlu aturan dan sistem yang terpadu di antara sesama petugas pajak, dan di sisi lain perlu juga dipikirkan prinsip reward and punishment terhadap petugas pajak ataupun terhadap masyarakat atau pembayar pajak. Sehingga tidak berkelebihan upaya untuk menggalang pembayaran pajak masih tergantung kepada sistem peraturan perundang-undangan. Bila diperhatikan sejak tahun 1984 ketika reformasi perpajakan dimulai, maka intensitas Ditjen Pajak untuk membuat UU baru dan peraturan pelaksanaannya termasuk instansi pemerintah yang cukup aktif dalam membentuk peraturan perpajakan. Walaupun demikian sebagus apapun peraturan perpajakan yang dibentuk oleh Ditjen Pajak, semua tergantung kepada implementasi dari peraturan tersebut. Minimal peraturan perpajakan mudah dipahami atau users friendly bagi masyarakat, sehingga upaya untuk menggalang membayar pajak dapat dilakukan seefektif mungkin dan seefisien mungkin. B. Kesadaran Masyarakat Jumlah penduduk Indonesia pada akhir tahun 2004 mencapai 225 juta jiwa dan tidak ada 10% dari penduduk Indonesia yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Bahkan dari survei yang dilakukan pada akhir tahun, dikatakan belum semua penduduk Indonesia mengetahui akan adanya kewajiban perpajakan. Padahal reformasi perpajakan sudah bergulir sejak tahun 1984 dan saat ini Pemerintah sedang mempersiapkan kumpulan draft RUU Perpajakan yang akan segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR. Minimnya kesadaran masyarakat akan kewajiban perpajakan menandakan bahwa reformasi perpajakan yang bergulir sejak tahun 1984 belum mencapai akar permasalahan di bidang perpajakan, yaitu pajak belum menjadi suatu kewajiban kenegaraan bagi masyarakat dan penduduk Indonesia. Selama ini kewajiban perpajakan selalu dijadikan beban yang dipikul masyarakat. Beban dimaksud bahwa masyarakat harus membayar kewajiban perpajakan secara langsung, sukarela dan tanpa paksaan. Usaha memobilisir penerimaan negara melalui sektor perpajakan sebenarnya tergantung kepada bagaimana Ditjen Pajak melakukan motivasi kepada 128
ESAI-ESAI HUKUM
masyarakat agar mau mendaftar diri secara sukarela dan mau taat asas untuk membayar kewajiban perpajakannya tanpa paksaan. Upaya memobilisir ini penting karena tanpa mengenal peraturan perpajakan, jangan harap orang mau secara sukarela membayar kewajiban perpajakannya. Selama ini motivasi yang dilakukan oleh Ditjen Pajak hampir dikatakan belum berhasil, padahal potensi perpajakan sudah tertampang di depan kita sehari-hari. Bahkan bila kita amati dimusim liburan panjang atau di akhir tahun, banyak orang Indonesia yang mengadakan wisata ke luar negeri. Bahkan di Singapore, di jalan Orchard Road, kita bisa lihat suasana Indonesia di wilayah negara Singapore. Ini suatu tindakan yang sangat ironis. Apapun yang dilakukan oleh orang Indonesia tersebut, sebenarnya tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Ini memang suatu fenomena yang menarik di tengah bangsa kita sedang giat menarik penerimaan negara perpajakan, tampak sejumlah penduduk Indonesia melakukan darmawisata ke luar negeri. Tendensi ini menunjukkan bahwa masih minimnya kesadaran orang Indonesia untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Apabila diadakan inspeksi mendadak (sidak) terhadap orang Indonesia yang suka berbelanja, maka hampir dapat dipastikan bahwa 90% orang Indonesia belum sadar akan kewajiban perpajakannya. Bahkan kalaupun 10% penduduk sudah menjalankan kewajiban perpajakannya, maka dapat diduga bahwa 90% dari penduduk yang menjalankan kewajiban perpajakannya, dilakukan dengan tidak benar atau belum memahami peraturan tersebut. Jadi berdasarkan fenomena yang ada di sekitar kita dan fenomena yang tampak di luar negeri, Maka dapat dipastikan kelemahan mendasar pemerintah dalam menggalakkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, terletak pada kelemahan Ditjen Pajak sebagai tim motivator pemerintah untuk mengajak peran serta masyarakat dan penduduk Indonesia akan kewajiban perpajakannya. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjalankan kewajiban perpajakan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak sebagai tim motivator, tetapi juga terletak bagaimana Ditjen Pajak mengimplementasikan peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai peraturan yang users friendly. Bila diperhatikan seksama sejak reformasi perpajakan sejak tahun 1984 sampai tahun 2004, maka selama kurun waktu 20 tahun, ternyata peraturan perpajakan belum bersifat users friendly. Banyak contoh di lapangan, menunjukkan 129
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
bahwa masyarakat dan wajib pajak merasa kebingungan untuk menjalankan kewajiban perpajakan. Ada tendensi selama 20 tahun ini, peraturan bersifat memaksa (imperatif), jarang sekali dibuka kemungkinan dari peraturan perpajakan yang bersifat memilih (fakultatif). Padahal kalau kita lihat ternyata sumber daya manusia di Ditjen Pajak sebenarnya cukup memadai untuk membuat peraturan yang users friendly. Bagi masyarakat sendiri khususnya bagi setiap wajib pajak, tidak ada niatan untuk melakukan pembangkangan terhadap peraturan perpajakan. Tetapi ajakan untuk membangkang itu terjadi karena tidak users friendly-nya peraturan perpajakan tersebut. Ada nada sinis di kalangan masyarakat yang sebenarnya ingin membayar pajak, tetapi karena peraturan yang tidak bersahabat tersebut, mengakibatkan masyarakat enggan untuk membayar pajak. Sebagai suatu kewajiban perpajakan, maka seharusnya kewajiban tersebut diperhadapkan (vis a vis) dengan tanggung jawab negara terhadap masyarakat, khususnya terhadap pembayar pajak yang setia (the good tax payers). Fakta selama ini membuktikan bahwa masih sering terjadi kekecewaan dari pembayar pajak setia yang ternyata, kewajiban perpajakan yang dilakukannya tidak diimbangi oleh kewajiban negara terhadap masyarakatnya (khususnya bagi pembayar pajak yang setia). Selama ini para pembayar pajak setia hanya dituntut untuk menjalankan kewajibannya, sedangkan apa yang seharusnya menjadi haknya sering terabaikan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Bahkan niat baik dari the tax payers sering tidak dipercaya oleh aparat Ditjen Pajak. Sehingga tidak ada artinya lagi dogma hukum perpajakan yaitu prinsip the self assement, yang didengungkan oleh UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Berdasarkan hal ini maka sudah sepantasnya bahwa kalangan masyarakat ataupun kalangan the tax payers enggan untuk melaksanakan kewajban perpajakannya. Walaupun demikian maka tidak seharusnya para the tax payers atau warga masyarakat tidak melakukan kewajiban perpajakannya. Di negara maju, maka berdirinya suatu negara atau terselenggaranya suatu negara yang sejahtera dan makmur, sangat tergantung kepada sistem perpajakan negara dan peran serta masyarakat. Tanpa dua kata kunci ini mustahil dapat tercipta suatu negara yang sejahtera dan makmur. Kunci utamanya terletak kepada kewajiban masyarakat untuk menjalankan kewajiban perpajakannya. Jadi kalau selama 60 tahun negara Indonesia belum sejahtera dan belum mak130
ESAI-ESAI HUKUM
mur, sebenarnya biang keladinya terletak kepada belum adanya kewajiban perpajakan yang memadai. Peristiwa dan fenomena di atas membuktikan bahwa bagaimana mungkin negara Indonesia sejahtera dan makmur karena sistem perpajakannya belum memungkinkan adanya kesadaran masyarakat untuk menjalankan kewajiban perpajakannya. C. Potensi perpajakan Potensi perpajakan selama ini dimiliki oleh masyarakat, khususnya para subyek hukum, yaitu orang pribadi dan badan hukum yang memiliki penghasilan atau memiliki harta kekayaan. Secara kasat mata seharusnya 50% penduduk Indonesia adalah subyek hukum yang memiliki potensi perpajakan. Jadi kalau saat ini yang membayar pajak hanya 15%, maka kemana saja penduduk Indonesia selama ini, apakah 35% penduduk Indonesia tidak dianggap sebagai subyek hukum? Seandainya benar 35% penduduk Indonesia tidak subyek hukum, jadi selama ini yang suka shopping atau yang memiliki sifat konsumerisme adalah bukan subyak hukum. Upaya menggalang suatu potensi perpajakan sebenarnya bukanlah pekerjaan yang sulit. Potensi perpajakan dapat dilakukan secara diukur. Misalnya suatu keluarga yang memiliki harta benda dan harta kekayaan, minimal dia memiilki sepeda motor atau memiliki kartu kredit atau kartu debit. Jadi keluarga tersebut dapat diukur sebagai suatu potensi perpajakan. Selama ini suka atau tidak suka, potensi perpajakan selalu diabaikan begitu saja. Padahal potensi perpajakan dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya kebiasaan orang Indonesia yang menggunakan hari Sabtu, Minggu atau hari libur untuk melakukan perjalanan di dalam kota, luar kota atau ke luar negeri. Ini membuktikan bahwa potensi perpajakan itu adalah hal yang nyata dan dapat diukur siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai subyek hukum yang pantas dijadikan wajib pajak. Di lain sisi potensi perpajakan kita selalu statis. Hal ini dapat kita lihat dari pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), yang dari tahun ke tahun luas halaman dan luas tanah tidak pernah berubah. Justru masyarakat yang harus secara aktif melaporkan apabila ada perubahan terhadap bangunannya, misalnya kalau rumahnya direnovasi, maka otomatis terjadi perubahan terhadap PBB yang harus dibayarnya pada masa pajak tahun depan.
131
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Potensi pajak selama ini seolah-olah sebagai sesuatu yang tidak dapat diukur atau nisbi. Padahal obyek pajak yang akan ditagih tergantung kepada potensi perpajakan yang dimiliki oleh masyarakat atau penduduk, khususnya oleh subyek hukum. Jadi tidak beralasan apabila dikatakan sejumlah pihak bahwa tidak ada potensi perpajakan di masyarakat. Pada umumnya potensi perpajakan yang ada dimasyarakat, selalu mengalami perubahan ke atas, artinya si subyek hukum pasti mengalami perubahan atas gaya hidupnya, contoh dari yang tidak punya motor atau mobil, maka pada tahun berikutnya ada pertambahan atas kekayaannya. Tingginya potensi perpajakan yang dimiliki oleh masyarakat selama ini karena kebiasan hidup masyarakat Indonesia yang suka mengkonsumsi suatu produk barang atau jasa, baik yang didapatkan melalui uang tunai atau secara cicilan. Berdasarkan data kependudukan tahun 2004, 70% penduduk Indonesia hidup di Pulau Jawa dan hampir 50% tingal di wilayah perkotaan. Jadi bila dihitung secara matematika, seharusnya terdapat potensi perpajakan di kota besar khususnya di Pulau Jawa sebesar 75 juta jiwa. Di asumsikan kalau setiap penduduk tersebut mau menjalankan kewajiban perpajakannya, maka sudah jelas berapa besar penerimaan negara dari penduduk tersebut. Potensi perpajakan juga bisa didapatkan dari orang yang bekerja dan pada umumnya orang Indonesia tidak tergantung kepada satu sumber pekerjaan. Misalnya di beberapa instansi pemerintah, pada setiap tahun selalu dibentuk tim kerja untuk proyek tertentu dan orang-orang yang duduk di tim tersebut akan mendapat honor dan atas honor tersebut dikenakan PPh final sebesar 15%. Bila Ditjen Pajak melakukan inventarisasi terhadap sejumlah Surat Keputusan (SK) yang dibuat oleh Kepala Lembaga tersebut, maka sudah jelas berapa pajak potensi perpajakan yang bisa didapatkan pada instansi-instansi tersebut. Penulis berpendapat demikian, karena berdasarkan hasil pembahasan terhadap RAPBN selama ini, ternyata banyak instansi pemerintah yang membuat sejumlah tim kerja untuk pekerjaan tertentu dan ada dugaan terhadap PPh final tersebut, tidak disetorkan ke kas negara secara benar dan utuh. Tentunya hal ini masih bersifat dugaan semata, tetapi walaupun bersifat dugaan, sebenarnya dengan adanya pembentukan tim kerja atas proyek tertentu, maka potensi perpajakan terhadap kegiatan tersebut sudah jelas. Pengalaman penulis selama ini khususnya ketika mengikuti pembahasan RAPBN di DPR selama ini, ternyata terhadap setiap mata anggaran yang diang132
ESAI-ESAI HUKUM
garkan pada APBN kita selama ini, unsur potensi perpajakannya jelas dan nyata. Sehingga seharusnya bagi Ditjen Pajak dapat memperkirakan hal apa saja yang dapat menjadi potensi perpajakan atas APBN. D. Peran serta masyarakat Pada tulisan di atas disebutkan bahwa untuk mencapai suatu negara yang sejahtera dan makmur, salah satu kuncinya adalah peran serta masyarakat. Hal peran serta masyarakat menjadi penting dan menarik, karena seharusnya sudah saatnya dilakukan perubahan paradigma (the new paradigm), dari konsep kewajiban perpajakan menjadi peran serta masyarakat. Perlunya suatu paradigma baru, karena selama ini masyarakat selalu dijadikan obyek penagihan perpajakan. Padahal belum tentu masyarakat sebagai obyek mendapatkan kedudukan yang seimbang (the equal treatment) sebagai konsekwensi sifat kewajiban perpajakan tersebut. Upaya untuk mengubah pendulum kewajiban perpajakan menjadi peran serta masyarakat, bertujuan untuk mengajak peran serta masyarakat, bahwa dalam hal pembangunan negeri ini, tidak semata menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Perubahan pendulum ini penting, karena maju atau mundurnya suatu bangsa tidak semata menjadi tangggung jawab negara. Mungkin kita bisa belajar dari sejumlah negara maju, misalnya negara Amerika Serikat yang selalu mengagungkan pendapat JF Kennedy yang mengatakan don’t ask what can government do for the people, but what you can do for your country. Pendapat ini menjadi menarik karena untuk menjadi suatu bangsa yang besar, tidak semata hanya menjadi tanggung jawab negara atau pemerintah. Jadi negara akan menjadi maju, sejahtera dan makmur karena adanya peran serta masyarakat dalam membangun negerinya melalui sektor perpajakan. Peran serta masyarakat harus dibangun sedini mungkin dan diperkenalkan kepada setiap warganegara dan penduduk yang tinggal di suatu negara. Prinsip kesempatan yang sama bagi semua warga menjadi penting, karena warga diajak bahu membahu untuk membangun negeri ini melalui prinsip kesetaraan. Peran serta masyarakat harus diajarkan dan diperkenalkan kepada warga sejak bangku sekolah sampai orang tersebut dewasa mempunyai pekerjaan atau mempunyai usaha tertentu. Melalui prinsip peran serta masyarakat, setiap warga diajak untuk memiliki suatu negara (having the same country). Sehingga warga atau penduduk benar-benar merasakan hidup sebagai warga negara. 133
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Perasaan memiliki suatu negara merupakan kunci utama dari peran serta masyarakat. Sebenarnya sudah ada beberapa contoh yang selama ini dilakukan oleh Ditjen Pajak, misalnya tulisan jalan ini dibangun melalui pajak yang anda bayarkan. Bentuk kampanye ini ingin mengajak masyarakat bahwa suatu infrastruktur diadakan melalui peran serta masyarakat. Jadi bentuk kampanye ini seharusnya lebih banyak diperkenalkan kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui kemana saja pajak yang dibayarkannya selama ini. Sebenarnya perasaaan memiliki suatu negara didasarkan kepada aspek historis dan filosofis yang melahirkan negara ini. Misalnya dari aspek historis, juga mengetahui bahwa negara ini digapai untuk merdeka melalui perjuangan fisik oleh pahlawan kita selama ini. Jadi dengan mendengungkan perasaan memiliki negara ini, berarti kita menghayati perjuangan fisik yang telah dilakukan oleh pahlawan kita selama ini. Jadi dengan peran serta masyarakat, negara yang dibangun melalui perjuangan fisik dapat dilanjutkan melalui pembangunan yang didanai melalui pajak yang dibayarkan oleh warga dan penduduk di Indonesia. Segi filosofis dari perasaan memiliki negara ini, didasarkan bahwa negara yang kita bentuk harus melalui perubahan dan kemajuan. Tanpa adanya kemajuan dan perubahan atas suatu bangsa, dapat diartikan bahwa tidak ada lagi arti dari negara tersebut. Peran serta masyarakat melalui perasaan memiliki negara ini harus bersifat dinamis dan berjalan dan alat atau kendaraan untuk menjalankan peran serta masyarakat adalah sistem hukum dalam suatu negara, dan sistem hukum suatu negara sangat tergantung kepada lembaga-lembaga yang ada dan peraturan perundang-undangannya. Oleh sebab itu tanpa adanya sistem hukum, peran serta yang dibentuk akan berjalan statis, dan tentunya kita tidak berharap demikian. E. Sistem hukum Sistem hukum adalah kunci pelengkap atas peran serta masyarakat. Tanpa sistem hukum tentunya peran serta masyarakat tidak dapat berjalan sebagaimana yang direncanakan. Sistem hukum dan peran serta masyarakat diandaikan sebagai sisi mata uang (kepala dan ekor), kedua sisi mata uang saling mendukung. Tanpa dukungan antara keduanya maka apa yang diharapkan tidak akan tercapai. Pengalaman selama 20 tahun sejak reformasi perpajakan tahun 1984, sistem peraturan perundang-undangan bidang perpajakan sudah lebih dari cukup. 134
ESAI-ESAI HUKUM
Walaupun kita harus menyadari masih terjadi kelemahan terhadap sistem peraturan perundang-undangan yang ada. Kelemahan tersebut bisa diperbaiki secara bertahap, karena di dunia ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang sempurna, karena peraturan harus bersifat dinamis mengikuti perkembangan jaman yang ada. Konsep ini juga seharusnya diterapkan pada sistem perpajakan yang ada di Indonesia. Dalam sistem hukum terkandung selain sistem peraturan perundang-undangan juga lembaga yang mendukung sistem peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya peraturan perundangan-undangan bidang perpajakan maka lembaga yang berkepentingan adalah Ditjen Pajak. Menurut penulis kelemahan terbesar dalam sistem perpajakan di Indonesia selama ini, yaitu tidak mandirinya Ditjen Pajak untuk melakukan aktitifasnya. Kedudukan Ditjen Pajak masih bagian dari birokrasi pemerintahan. Bicara birokrasi pemerintahan, maka berarti satu instansi pemerintah masih tergantung dengan instansi pemerintahan lainnya. Padahal untuk menjalankan sistem perpajakan yang amat dinamis ini diperlukan suatu lembaga yang kuat, mandiri. Upaya untuk memodernisasi Ditjen Pajak telah dilakukan oleh Dirjen Pajak selama ini, tetapi penulis berpendapat bahwa upaya modernisasi Ditjen Pajak masih tambal sulam dan belum menyeluruh dan komprehensif. Untuk itu diperlukan terobosan besar dan sensasional untuk menjadikan Ditjen Pajak sebagai bagian dari upaya mengarah ke paradigma baru. Penulis berpendapat sepatutnya upaya untuk memodenisasi Ditjen Pajak tidak boleh dilakukan secara tambal sulam. Seharusnya Ditjen Pajak melepaskan diri dari birokrasi pemerintahan, yaitu melepaskan diri dari Departemen Keuangan dan menjadi Lembaga Negara baru yang kedudukannya di bawah Presiden. Pengalaman di negara maju, maka instansi pajak haruslah instansi yang mandiri dan bukan bagian dari birokrasi pemerintahan. Hal ini didasarkan kepada beban pekerjaan yang akan dikerjakan instansi pajak adalah beban yang sangat berat, sehingga diperlukan kendaraan yang dinamis dalam bentuk suatu lembaga yang independen dan bukan bagian dari sistem pemerintahan. Bila diperhatikan khususnya di era amandemen UUD 1945, saat ini sudah banyak lembaga negara baru yang mandiri dan independen yang mempunyai tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi) dari lembaga tersebut. Jadi tidak salah kalau Ditjen Pajak melepaskan diri dari instansi Departemen Keuangan. Tentu dapat 135
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
diperkirakan akan terjadi pro dan kontra atas tindakan ini. Upaya perlunya melepaskan diri Ditjen Pajak dari unsur Departemen Keuangan, sebenarnya bukanlah hal yang baru dan tindakan ini bukan tindakan yang tabu, tetapi untuk mencapai hal yang lebih besar kiranya tindakan ini adalah hal yang tepat. Banyak alasan atau argumentasi yang bisa diperdebatkan, tetapi pengalaman selama ini juga membuktikan bahwa kedudukan dan sifat Ditjen Pajak sering terhambat bahkan terlambat dalam mengantisipasi suatu kondisi, karena masih tergantungnya Ditjen Pajak dengan instansi pemerintahan lainnya. Sehingga diandaikan sebagai mobil, maka mobil tersebut sering terlambat start dengan seribu satu alasan. Melalui peningkatan status Ditjen Pajak menjadi lembaga penerimaan negara di sektor perpajakan, maka upaya memobilisasi penerimaan perpajakan akan lebih efektif. Sejumlah koridor hukum yang ada dapat ditembus, misalnya kewajiban rahasia perbankan yang menjadi senjata pamungkas dunia perbankan akan ditembus dalam hal-hal tertentu. Juga sejumlah pekerjaan rumah yang menanti kantor pajak ini dapat dilakukan dengan lebih baik. Misalnya upaya pemberian tax amnesty dapat dilakukan dengan lebih efektif. Tanpa adanya perubahan paradigma dalam sistem hukum, maka upaya tambal sulam yang dilakukan selama ini akan berjalan di tempat. Sehingga saat ini diperlukan suatu terobosan besar dan berani, sehingga upaya penerimaan negara sektor perpajakan dapat benar-benar dipertanggungjawabkan. F. Penutup Prinsip pajak untuk membangun suatu bangsa dan negara tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah semata, khususnya Ditjen Pajak. Tanggung jawab ini menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah dan masyarakat. Untuk meningkatkan kerjasama antara menjalankan tanggung jawab ini, diperlukan perubahan paradigma, yaitu dari prinsip kewajiban perpajakan bagi wajib pajak, menjadi peran serta masyarakat dalam menjalankan sistem perpajakan. Perlu dilakukan perubahan mendasar terhadap kantor Ditjen Pajak, yang dari bagian pemerintah (Departemen Keuangan), menjadi suatu lembaga yang mandiri dan independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Perlu dilakukan pembentukan peraturan perundang-undangan yang sederhana, yang sifatnya users friendly, sehingga masyarakat akan mengetahui hal apa saja yang menjadi dasar sistem perpajakan di negara ini. 136
ESAI-ESAI HUKUM
Terhadap uang yang didapatkan sebagai pajak yang dibayarkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan kepada publik dan terhadap infra struktur yang dibangun dari uang hasil pajak, harus diberitahukan kepada publik, sehingga perasaan memiliki negara ini dapat ditanamkan sedini mungkin.
137
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
138
ESAI-ESAI HUKUM
HARAPAN PADA RUU PAJAK PENGHASILAN
A. Pendahuluan TIdak terasa reformasi perpajakan khususnya pajak penghasilan akan memasuki fase baru pada awal tahun 2009 mendatang. Hal ini sejalan dengan sedang dibahasnya RUU Pajak Penghasilan antara Pemerintah dengan DPR saat ini. Banyak pihak terutama pemerintah cq Ditjen Pajak berharap dengan materi muatan RUU PPH tersebut dapat diselesaikan pada tahun ini, sebab APBN selama ini bertumpu pada penerimaan pajak, khususnya pajak penghasilan. Bisa kita bayangkan seandainya pembahasan RUU PPH tidak dapat diselesaikan pada tahun ini, bisa mengganggu penerimaan negara dari sektor perpajakan pada APBN mendatang. Reformasi pajak penghasilan dilakukan sejalan dengan perkembangan jaman saat ini, dimana UU PPH tahun 2000 sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman serta maraknya inovasi pekerjaan tertentu yang menghasilkan penghasilan dalam bentuk lain yang dilakukan orang perorangan dan badan usaha tertentu dan ternyata penghasilan tersebut tidak didukung oleh instrumen pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam UU PPH tahun 2000. Walaupun demikian tidak berarti UU PPH 2000 belum memberikan sumbangan yang berarti, tapi banyak hal dalam UU PPH 2000 telah memberikan sumbangan yang signifikan bagi penerimaan Negara perpajakan dalam APBN sejak tahun 2001 sampai saat ini. Pajak adalah tanggung jawab masyarakat, selain itu bagi Wajib Pajak yang telah menjalankan kewajiban perpajakannya dengan prinsip self assessment, tentu perlu diberikan penghargaan (reward) dibandingkan dengan masyarakat yang belum memiliki NPWP atau wajib pajak yang belum menjalankan kewajiban 139
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
perpajakannya dengan benar sesuai dengan UU Perpajakan yang ada selama ini. RUU PPH ini akan menegaskan kembali akan prinsip-prinsip perpajakan yang berlaku secara universal selama ini. Selain itu RUU PPH ini diharapkan akan menaikkan tax ratio di Indonesia yang selama ini masih di bawah 15%, masih jauh dibandingkan di sejumlah Negara di ASEAN yang tax ratio sudah di atas 20%. Bila dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai 200 juta jiwa, maka tidak sebanding dengan penduduk Indonesia yang sudah memiliki NPWP. Seandainya 30% saja masyarakat sadar akan kewajiban perpajakannya, maka seharusnya APBN akan surplus. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan saat ini yang masyarakatnya belum sepenuhnya menjalankan kewajiban perpajakannya. Keenganan masyarakat untuk menjalankan kewajiban perpajakannya tidak boleh disalahkan begitu saja. Ada pandangan minor kepada perpajakan selama ini, antara lain 1) aturan perpajakannya belum mudah dimengerti oleh masyarakat awam, 2) banyak aturan perpajakan tidak diatur dalam UU PPH, tapi lebih banyak diatur dalam sejumlah aturan teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan DIrektur Jenderal Pajak, 3) kurang ramahnya petugas perpajakan dalam menjalankan tugasnya, dan lain-lain. Pemerintah juga menyadari hal-hal diatas, maka tidak heran sudah banyak perubahan dilakukan oleh pemerintah dalam membenahi system administrasi perpajakan, antara lain 1) adanya perubahan kantor perpajakan yang lebih terintegrasi, 2) adanya renumerasi bagi pegawai pajak, 3) pemberian sanksi ringan sampai sanksi pemecatan bagi pegawai pajak yang menyalahgunakan kewenangannya. Adanya perubahan yang dilakukan pemerintah akan semakin lengkap dan paripurna apabila RUU PPH ini dapat diselesaikan pada tahun ini. Tanpa instrument hukum dalam bentuk UU, maka perubahan yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan ada artinya. Oleh sebab itu masyarakat berharap banyak akan selesainya RUU PPH ini dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. B. Materi muatan RUU PPH yang sedang dibahas saat ini akan merubah beberapa hal yang telah diatur dalam UU PPH tahun 2000 yang dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman saat ini. Selain itu RUU PPH merupakan salah satu RUU yang termasuk dari RUU yang sudah direncanakan dalam Prolegnas 140
ESAI-ESAI HUKUM
tahun 2007 – 2008. Adapun materi muatan yang akan dirubaha antara lain 1) Pengasilan tidak kena pajak (PTKP), 2) Tarif PPH untuk orang perorangan dan badan hukum, 3) PPH final, 4) Keuntungan bagi masyarakat yang memiliki NPWP, 5) Kerugian bagi masyarakat yang belum memiliki NPWP. Berhubung belum selesainya pembahasan RUU PPH tersebut, maka sejumlah materi muatan tersebut harus dilihat dalam konteks UU PPH 2008 secara global, sebab materi muatan dalam UU PPH tersebut saling berhubungan satu sama lain. Sehingga penulis belum dapat memberikan pendapat yang pasti atas sejumlah materi muatan tersebut. Hal ini mengingat pembahasan secara rinci materi muatan ada dalam rapat panitia kerja (panja) yang bersifat tertutup, maka penulis tidak berhak mengomentari materi muatan tersebut dalam tulisan atau opini ini. C. Tujuan RUU PPH Tujuan dari RUU PPH ini selain untuk mengikuti perkembangan jaman, RUU PPH ini akan mengajak peran serta masyarakat Indonesia untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warganegara Indonesia. Fenomena ini sejalan fenomena yang ada di sejumlah negara yang menjadikan sektor perpajakan menjadi tulang punggung Negara dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bernengara. Selain itu bila kita baca Pembukaan dalam UUD Tahun 1945 disebutkan bahwa tujuan bernegara salah satunya adalah memberikan kesejahtaraan kepada masyarakat Indonesia. Untuk mencapai tujuan bernegara ini maka pemerintah dituntut untuk memberikan kesejahtaraan melalui sejumlah program yang ada dalam APBN. Program-program dalam APBN dimungkinkan bila tersedianya anggaran Negara melalui penerimaan Negara dari sektor perpajakan. Di sisi lain RUU PPH ini akan mengajak masyarakat untuk lebih bertanggung jawab kepada negara melalui kewajiban perpajakan yang diatur dalam UU PPH. Sekedar mengingatkan pendapat dari John F Kennedy, yang pernah mengatakan jangan pernah menanyakan apa yang negara berikan kepada masyarakat, tapi apa yang masyarakat bisa berikan kepada negara. Pendapat terkenal dari John F Kennedy menjadi ikon perpajakan di sejumlah Negaranegara maju, sebab tanpa peran serta dan kewajiban masyarakat, hampir mustahil suatu negara dapat membangun negaranya.
141
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka konsep sunset policy yang sudah diatur dalam UU KUP akan menjadi batu penjuru dalam menjaring WP-WP baru. Melalui aturan hukum sunset policy ini diharapkan akan didapatkan WP baru dan dapat meningkatkan tax ratio menjadi di atas 15%. Konsep sunset policy ini akan mendukung kampanye perpajakan di televise tentang APA KATA DUNIA. Sehingga tidak heran pada awal bulan Juli mendatang, pemerintah melalui DIrektorat Jenderal Perpajakan akan mengkampnyekan konsep sunset policy secara besar-besaran di masyarakat Indonesia. D. Manfaat RUU PPH Manfaat utama dari RUU PPH ini sebenarnya secara langsung adalah untuk kepentingan APBN. Selain itu RUU PPH akan memberikan keadilan kepada masyarakat yang sudah memiliki NPWP dan masyarakat yang belum memiiki NPWP. Dalam RUU PPH ini, maka dapat dilihat adanya prinsip keadilan akan menjadi keuntungan besar bagi masyarakat yang sudah memiliki NPWP. Hal ini sejalan dengan adanya perkembangan masyarakat saat ini, misalnya banyaknya mobil dan motor mewah yang berseliweran di jalan raya, banyaknya masyarakat memiliki kartu kredit, maraknya pembangunan pertokoan dan perumahan dan lain sebagainya. Bila dilihat fenomena tersebut, maka sudah seharusnya masyarakat yang memiliki mobil dan rumah mewah memiliki NPWP. Bagi masyarakat yang belum memiliki NPWP selalu bertanya, apa yang mereka dapatkan selama ini dari perpajakan, toh mereka sudah membayar pajak tidak langsung ketika membeli sejumlah kebutuhan pokok mereka, seperti BBM dan alat rumah tangga. Pandangan masyarakat ini ada benarnya dan tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Seharusnya pemerintah juga menunjukkan manfaat apa yang bisa diterima oleh masyarakat atas penerimaan negara perpajakan tersebut. Misalnya adanya pendidikan gratis, pengobatan gratis dan kemudahan masyarakat dalam melakukan kegiatan usahanya. Manfaat itu yang belum kelihatan dan belum diatur dalam system administrasi perpajakan selama ini. Apabila pemerintah mampu menunjukkan manfaat dari system perpajakan, maka masyarakat pasti akan mau menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar sesuai dengan UU Perpajakan. Untuk itu sudah sepatutnya pemerntah membenahi system perpajakan, tidak semata hanya bertumpu kepada aturan perpajakannya, tetapi mengatur kepada kemanfaatan dari adanya kewajiban perpajakan yang akan dijalankan oleh masyarakat. 142
ESAI-ESAI HUKUM
Untuk mendukung manfaat perpajakan tersebut, maka salah satu yang amat penting adalah membenahi administrasi perpajakan, yaitu dengan menempatkan direktorat perpajakan lepas dari kementerian keuangan, dengan menempatkan direktorat perpajakan menjadi lembaga yang mandiri dan independen dan berada langsung di bawah presiden. Adanya pembenahan kantor perpajakan di bawah presiden akan menjadikan administrasi perpajakan lebih mudah dan sudah sepatutnya. Mungkin kita perlu melihat sejumlah negara maju yang menempatkan kantor perpajakan yang mandiri dan independen. Adanmya kemandirian kantor perpajakan akan menjadikan system perpajakan lebih modern dan lepas dari rantai birokrasi dan birokratisasi. E. Penutup Kalimat APA KATA DUNIA yang selama ini menjadi ikon perpajakan dalam iklan atau kampanye perpajakan yang ada di televise selama ini akan mendapatkan justifikasi hukum dalam RUU PPH ini. Selain itu yang juga diperhatikan dalam RUU PPH mendatang, yaitu adanya sosialisasi terhadap UU PPH ini, sebab tanpa sosialisasi atas UU PPH, mustahil UU PPH ini akan berjalan secara maksimal. Untuk itu kiranya semua pihak nantinya mau mendukung keberadaan UU PPH, minimal masyarakat mau memiliki NPWP dan bagi masyarakat yang sudah memiliki NPWP mau menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar sesuai aturan perpajakan. Selain itu pemerintah dituntut untuk lebih arif dan bijaksana dalam menerapkan aturan perpajakan ini tanpa membedakan pihak tertentu, mengingat dogma hukum the equality before the law juga berlaku dalam prinsip perpajakan. Akhirnya kita berharap agar tujuan dan manfaat perpajakan yang tertuang di atas dapat terealisir, mengingat kewajiban perpajakan tidak semata menjadi kewajiban pemerintah tapi lebih menjadi kewajiban masyarakat untuk membangun masyarakat dan negara yang kita cintai ini.
143
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
144
ESAI-ESAI HUKUM
AKHIR PENANTIAN PEMBAHASAN RUU PPH1
Pada hari Kamis 17 Juli 2008, akhirnya Pansus RUU PPH telah menyelesaikan seluruh tahapan pembahasan RUU PPH bersama dengan Pemerintah setelah bekerja hampir 1 tahun. Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan Pansus dalam tingkat Panja, Timus dan TImsin, telah dihasilkan beberapa pengaturan yang baru untuk menggantikan beberapa pengaturan dalam UU No 17 Tahun 2000. Bila diamati hasil pembahasan RUU tersebut, ternyata banyak hal yang sangat fundamental di bidang pajak penghasilan yang dihasilkan dalam pembahasan tersebut. Bahkan ada yang mengatakan apa yang diatur dalam RUU PPH ini cukup mengejutkan bagi masyarakat, karena di satu sisi pemerintah berani menawarkan sejumlah insentif kepada wajib pajak dengan konsekwensi adanya sejumlah potensial lost yang akan ditanggung oleh pemerintah pada tahun 2009 mendatang. Di sisi DPR juga berani mengusulkan sejumlah perubahan mendasar terhadap usulan draft RUU yang diajukan oleh pemerintah. Hal ini tampak dari daftar isian masalah (DIM) yang disampaikan oleh 10 fraksi yang terlibat dalam pembahasan RUU PPH selama ini. Mudah-mudahan pada akhir bulan Agustus mendatang RUU PPH dapat disahkan sebagai UU dalam Rapat Paripurna DPR pada Masa Sidang I Tahun Sidang 2008/2009. Hal yang cukup menarik dari hasil pembahasan RUU PPH ini, ternyata secara keseluruhan materi muatan yang baru ternyata sejalan dengan roh dari RUU ini sebagaimana disinggung dalam Penjelasan Umum RUU PPH, bahwa penyempurnaan RUU PPH didasarkan kepada a) untuk meningkatkan rasa keadilan dalam pengenaan pajak, b) lebih memberikan kemudahan kepada WP, 1
Telah diterbitkan di Koran Investor Indonesia, 21 Juli 2008
145
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
c) lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan, d)) lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi dan tranparansi dan e) menunjang kebijaksanaan pemerinah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia Bila dilihat atas sejumlah materi muatan baru dalam RUU PPH ini didasarkan atas sejumlah kategori sebagai berikut : 1. RUU PPH ingin mempertegas adanya prinsip self assessment kepada setiap wajib pajak, dengan konsekwensi adanya sejumlah insentif kepada wajib pajak yang tetap menerapkan prinsip self assessment dan adanya sejumlah disentif kepada wajib pajak yang tidak menerapkan prinsip self assement. 2. RUU PPH sejalan dengan best practices di bidang pengenaan pajak penghasilan 3. RUU PPH ingin mempertegas adanya prinsip keadilan bagi setiap wajib pajak yang mendapatkan penghasilan yang lebih dibandingkan wajib pajak yang belum mendapatkan penghasilan yang lebih. 4. RUU PPH berusaha mencegah perilaku kegiatan wajib pajak yang mencoba menerobos hal yang belum diatur dalam ketentuan UU PPH selama ini, dengan memberikan pembatasan atas hal yang belum diatur selama ini. Misalnya ada wajib pajak yang mendapatkan keuntungan dengan cara mendirikan suatu SPV atau perusahaan sejenis lainnya di luar negeri dan mencari keuntungan melalui SPV tersebut di Indonesia. Permainan one dollar company (sebutkan untuk SPV) tentu menyalahi prinsip self assesment 5. RUU PPH berusaha untuk mencari siapa aktor intelektual yang menikmati hal yang belum diatur dalam UU PPH yang nyata-nyata tidak sesuai dengan tingkat kepatutan dalam berbisnis. 6. Adanya penyempurnaan tata bahasa sesuai dengan kaedah bahasa yang benar yang ditetapkan oleh Pusat Bahasa. 7. Adanya pelimpahan kewenangan dalam bentuk delegasi dan sub delegasi yang diberikan oleh RUU PPH kepada Menteri Keuangan yang disesuaikan dengan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Beberapa catatatan RUU PPH juga memperluas obyek pajak PPH yang ada dalam UU No 17 Tahun 2000, dengan menambah obyek PPH antara lain 1) Penghasilan berbasis 146
ESAI-ESAI HUKUM
syariah dan 2) Surplus Bank Indonesia. Terhadap penambahan 2 obyek PPH ini, penulis berpendapat, sebab bila penghasilan berbasis syariah dikenakan sebagai obyek PPH, maka hal ini tidak pas dengan prinsip syariah yaitu adanya bagi hasil berdasarkan kaedah hukum Islam. Penulis sendiri tidak mengetahui latar belakang tentang pengaturan hal ini. Penulis juga berpendapat bahwa bila surplus Bank Indonesia akan dikenakan PPH, maka mungkin hal ini juga tidak sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 62 ayat (5) UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengatakan bahwa Surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan. Memang dalam perubahan UU No 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia disebutkan surplus bank Indonesia diserahkan kepada Pemerintah, mungkin ketika surplus Bank Indonesia diserahkan ke pemerintah tersebut sudah dikenakan PPH sebagaimana dimaksud dalam RUU PPH ini. RUU PPH juga mengakomodasi praktek selama ini yang dilakukan oleh perseorangan atau badan hukum dalam aktifitas mereka sehari-hari. Praktek yang dilakukan mereka ada yang bersifat baik, seperti pemberian beasiswa pendidikan, sumbangan bencana alam, dan ada juga praktek yang tidak baik, seperti membeli asset perusahaan mereka yang telah diambil oleh pemerintah atau penegak hukum karena suatu hal tertentu atau membeli asset perusahaan tertentu dengan menggunakan perusahaan one dollar company (SPV). Kedua praktek ini diakui ada selama ini dan oleh pemerintah kedua hal ini diakomodasi, seperti pemberian beasiswa, sumbangan sumbangan bencana alam sebagai bukan obyek pajak. Terhadap sumbangan beasiswa dan bencana alam dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Terhadap kegiatan yang menggunakan one dollar company, RUU PPH akan mengejar keuntungan yang diterima oleh SPV tersebut serta actor intelektual yang menggunakan SPV tersebut sebagai hal yang tidak sesuai dengan prinsip self assesment dan dapat dikenakan disentif. RUU PPH telah menetapkan tariff PPH untuk WP dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap sebesar 28% dan dapat diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010. Penulis berpendapat bahwa pengenaan tariff PPH ini secara pukul rata mempunyai 2 sisi, pertama adanya homogenitas untuk semua WP Dalam negeri dan BUT tanpa memandang besar kecilnya kegiatan badan usaha tersebut, bila hal ini dilakukan berarti aspek keadilan tidak tampak pada semua WP dan BUT. Semua dianggap sama dan sebangun dan wajib dikenakan PPH yang merata. Kedua, bila prinsip ini akan dilakukan, dari segi administrasi perpajakan 147
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
lebih mudah untuk melakukannya bagi WP dan BUT serta fiskus dapat mudah menghitung dan mengadministrasikannya. Tinggal sekarang kita melihat dari sudut kacamata yang mana, dari segi administrasi atau dari segi keadilannya. Memang RUU PPH sudah menetapkan dari segi administrasi perpajakannya, dan tentu kita harus menghormati apa yang telah diputuskan dalam rapat panja tersebut. Salah satu insentif yang diberikan RUU PPH yaitu di bidang pasar modal, yaitu adanya tariff PPH yang berbeda dibandingkan Perseroan Terbatas yang tidak menjual sahamnya di pasar modal. Di satu sisi insentif ini merupakan salah satu cara agar pelaku usaha mau menjual sahamnya ke public. Tapi di sisi lain bila ini dilakukan perlu adanya kerja keras dari Direktorat Jendral BAPEPAM LK Departemen Keuangan RI dan Bursa Efek Indonesia untuk memonitor emiten yang menjual sahamnya. Hal ini tidak mudah sebab untuk mengetahui adanya 40% saham yang disetor dan diperdagangkan di bursa bukanlah sesuatu yang mudah. Tapi pengaturan ini cukup menarik dan menggiurkan bagi emiten dan calon emiten di masa mendatang. Penutup Banyak hal baru dalam RUU PPH ini yang akan diterapkan pada tahun 2009 mendatang, tentu terhadap pengaturan hal-hal yang baru menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mensosialisasikannya ke masyarakat. Sosialiasasi pengaturan ini penting sebab pengaturan dalam RUU PPH dari bahasa peraturan harus disampaikan ke masyarakat dalam bahasa verbal (lisan) agar mudah dimengerti oleh masyarakat. Untuk itu sosialisasi peraturan RUU PPH harus dilakukan melalui visualisasi ke masyarakat. Contoh iklan masyarakat tentang apa kata dunia merupakan contoh dari visualisasi UU Pajak perlu dilanjutkan. Kunci utama dari berhasilnya RUU PPH juga tergantung kepada sejauhmana Ditjen Pajak mendapatkan hasil dari ketentuan the sunset policy yang sedang giat disosialisasikan kemasyarakat sejak awal bulan Juli ini dan akan berakhir pada bulan Desember mendatang. Untuk itu mungkin perlu dipikirkan konsep the sunset policy dibarengi dengan sejumlah insentif dan disentif yang telah diatur dalam RUU PPH ini, agar ada sinergitas antara RUU PPH dan UU KUP. Akhirnya keberhasilan RUU PPH tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah cq Ditjen Pajak, tetapi juga menjadi tanggung jawab kita bersama, 148
ESAI-ESAI HUKUM
sebab tanpa adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat tujuan bernegara yang telah ditetapkan dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 akan sulit terlaksana. Oleh sebab itu mungkin perlu kita ingat pendapat dari John F Kennedy yang pernah berujar, “Jangan Anda Tanya Apa Yang Bisa Diberikan Oleh Pemerintah Kepada Masyarakat, Tetapi Apa Yang Masyarakat Bisa Berikan Kepada Negara Ini”. Oleh sebab itu maju mundurnya negara yang kita cintai ini tergantung kepada kita semua dan tanggung jawab kita bersama untuk dapat melakukan melalui pembayaran pajak penghasilan dengan prinsip self assessment. Ayo kita wajib membayar pajak.
149
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
150
ESAI-ESAI HUKUM
PROBLEMATIK KEGIATAN TRANSFER PRICING1
A. Pengantar Fenomena kegiatan transfer pricing di Indonesia akhir-akhir ini akan menjadi perhatian dari Ditjen Pajak. Hal ini tidak terlepas akan adanya kewajiban perpajakan melalui pelaporan SPT Tahun Pajak 2009 yang akan dilakukan pada akhir Maret 2010 mendatang. Di satu sisi kita bisa memahami adanya target penerimaan pajak yang harus dilakukan oleh Ditjen Pajak untuk kepentingan APBN setiap tahunnya, tetapi di sisi lain kegiatan transfer pricing tetap berjalan seolah-olah tidak aturan yang dilanggar oleh badan usaha yang melakukan kegiatan transfer pricing. Transfer pricing dapat diartikan secara sederhana sebagai bentuk rekayasa keuangan yang dilakukan oleh orang yang memahami bagaimana kegiatan transfer pricing dapat dilakukan. Bagi sementara pihak kegiatan transfer pricing adalah sesuatu yang wajar karena tidak aturan yang khusus dilanggarnya. Tetapi di sisi lain dampak dari kegiatan transfer pricing bisa merugikan pihak lain, khususnya penerimaan negara melalui APBN. Dampak langsung dari kegiatan transfer pricing dari sudut pandang perpajakan bisa membuat penerimaan negara dari sektor perpajakan bisa berkurang atau bahkan tidak tercapai. Menurut pendapat saya pribadi, niat pelaku untuk melakukan kegiatan transfer pricing sudah dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hukum, apalagi bila kegiatan transfer pricing dapat dibuktikan merugikan pihak lain terutama merugikan pihak negara, maka dari segi pemidanaan maka pelaku transfer pricing sudah termasuk pemberatan suatu tindak pidana. 1
Telah diterbitkan pada Koran Investor Indonesia, Senin 8 Februari 2010.
151
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Untuk membuktikan adanya suatu kegiatan transfer pricing bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena banyak faktor yang harus diperhatikan agar pelaku dan dampak dari transfer pricing tersebut dapat memenuhi unsur suatu perbuatan tindak pidana. Biasanya pelaku kegiatan transfer pricing memahami pembukuan perusahaan dan/atau orang yang memahami aturan dan peraturan suatu negara dan negara lain. Jadi pelaku kegiatan transfer pricing adalah kalangan intelektual dan bukan orang awam pada umumnya, sehingga pelaku transfer pricing dapat dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crimes). B. Bagaimana dugaan transfer pricing dapat dilakukan Salah satu factor terpenting bagaimana kegiatan transfer pricing dapat dilakukan, biasanya dimulai dengan adanya kesamaan kegiatan usaha (kegiatan usaha sejenis) baik secara langsung ataupun tidak langsung, dalam satu negara ataupun pada dua negara yang berbeda. Misalnya tuan A memiliki kegiatan usaha sejenis pada badan usaha yang berbeda baik dalam satu negara ataupun pada dua negara yang berbeda. Oleh sebab itu wajar kalau dunia perbankan saat ini mengatur adanya pemegang saham tunggal hanya pada satu bank. Hal ini untuk menghindari adanya conflic of interest dari pemegang saham bila sebagai pemegang saham pada dua badan usaha yang berbeda. Hal lainnya yang juga bisa memunculkan adanya kegiatan transfer pricing adanya satu orang sebagai pemegang saham pada lebih dari satu badan usaha, baik dalam satu negara ataupun pada dua atau lebih negara. Misalnya tuan A sebagai pemegang saham pada dua badan usaha sejenis pada satu negara atau pada negara yang berbeda. Jumlah persentase saham yang dimiliki oleh tuan A tidak perlu dilihat berapa banyak saham yang dimiliki, karena secara psikologis bila seseorang memiliki saham pada usaha sejenis pada badan usaha yang berbeda baik pada suatu negara yang sama atau pada negara yang berbeda, maka secara manusiawi pasti ada hubungan emosional di badan usaha yang berbeda. Hubungan emosonial ini pasti akan membuat dia sebagai pemegang saham untuk menggerakkan atau memajukan kedua badan usaha tersebut dimana dia mempunyai saham. Dalam ilmu hukum bila suatu kegiatan usaha sejenis dari badan usaha yang berbeda maka dapat dikatakan adanya hubungan terafiliasi. Sedangkan bila ada dua badan usaha sejenis dimiliki oleh pemegang saham yang sama, maka dapat dikategorikan sebagai hubungan istimewa. Sayangnya pengertian hubu152
ESAI-ESAI HUKUM
ngan terafiliasi dan hubungan istimewa diartikan berbeda dalam system hukum Indonesia. Bila syarat hubungan terafiliasi dan/atau adanya hubungan istimewa sudah terpenuhi secara mutlak ataupun secara terpisah, disinilah awal dari niat untuk melakukan suatu kegiatan transfer pricing. Bila kedua syarat ini terpenuhi ataupun salah satu syarat terpenuhi, maka sangat mudah untuk membuktikan adanya niat untuk melakukan kegiatan transfer pricing. Dalam kacamata hukum bila sudah ada niat, maka dapat dikategorikan sebagai bentuk salah satu pelanggaran hukum. Langkah berikutnya bila kedua syarat ataupun salah satu syarat terpenuhi, maka untuk melanggengkan suatu kegiatan transfer pricing dilakukan melalui “permainan” harga jual suatu produk ke negara tujuan. Biasanya permainan harga jual bisa dilakukan oleh adanya hubungan terafiliasi ataupun adanya hubungan istimewa oleh pelaku di antara badan usaha yang melakukan praktek dagang. Permainan harga jual dilakukan dengan menjual di bawah harga pasar ataupun di bawah harga internasional. Di sinilah bukti konkret adanya kegiatan transfer pricing. Permainan harga jual bisa dilakukan karena pihak pemerintah jarang memantau harga jual produk di pasaran internasional, dan biasanya yang mengetahui harga jual produk di pasaran internasional adalah para usahawan. Disinilah letak kelemahan negara yang bisa dipakai sebagai celah hukum oleh suatu badan usaha. Setelah proses penjualan dengan harga di bawah harga pasar, maka biasanya badan usaha tersebut akan membukukan dalam pembukuannya berdasarkan harga jual yang mereka lakukan, dan badan usaha di luar negeri yang menerima obyek tersebut akan menjual kembali obyek tersebut dengan harga pasar. Jadi sebenarnya selisih antara harga jual dengan harga pasar yang dinikmati oleh badan usaha di luar negeri menjadi pemasukan bagi badan usaha tersebut. C. Sistem Hukum di Indonesia Terjadinya kegiatan transfer pricing tergantung kepada system hukum yang ada di suatu negara, dan pada umumnya kegiatan transfer pricing sangat tergantung kepada system perpajakan, system perdagangan dan system perseroan yang ada di antara negara. Justru pihak yang mengetahui bagaimana kegiatan transfer pricing dilakukan, biasanya pihak tersebut memahami bagaimana system hukum di antara negara tersebut. Misalnya sang pelaku memahami system hukum di 153
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
negara A dengan system negara hukum di negara B. Walaupun dalam praktek system hukum di antara dua negara tidak harus sama. Justru dengan adanya pengaturan yang berbeda atas hal yang sama pada kedua system hukum tersebut membuat terjadinya celah hukum. Sehingga adanya celah hukum tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang melakukan kegiatan transfer pricing tersebut. Sistem hukum di Indonesia mengatur hal yang sama pada pengaturan yang berbeda. Misalnya pengaturan tentang badan usaha dan pemegang saham diatur dalam UU tentang Perseroan Terbatas, sedangkan pengaturan tentang perdagangan diatur dalam peraturan perundang-undangan, apalagi kita belum memiliki UU yang mengatur tentang Perdagangan. Di sisi lain yang mengatur tentang perpajakan diatur dalam UU perpajakan. Bila dilihat dari ketiga pengaturan tersebut tampak adanya ketidakharmonisan pengaturan pada hal yang sama. Inilah yang juga dipakai sebagai celah hukum dalam melakukan kegiatan transfer pricing. Misalnya dalam hal pengaturan tentang pemegang saham di Indonesia, dalam system hukum di Indonesia ternyata daftar pemegang saham masih bersifat tertutup. Kita tidak bisa mengetahui daftar para pemegang saham di Indonesia secara terbuka. Di sisi lain perubahan daftar pemegang saham juga tidak bisa dilakukan dalam waku cepat (the real time). Sehingga kelemahan ini bisa dipakai sebagai salah satu cara untuk melakukan kegiatan transfer pricing. D. Sistim Perpajakan Indonesia Sistem perpajakan yang telah ada sejak tahun 1984 adalah self assessment, dimana setiap pajak diberi hak oleh UU untuk melaporkan perpajakannya secara mandiri. UU Perpajakan memberikan kepercayaan yang penuh (full commitment) kepada wajib pajak untuk mengisi, membayar dan melaporkan perpajakannya kepada Ditjen Pajak. Di sisi lain Ditjen Pajak akan percaya penuh kepada wajib pajak yang melaporkan kewajiban perpajakannya, tetapi UU juga memberikan hak kepada Ditjen Pajak apabila mempunyai data atau informasi lain atas wajib pajak apabila ditemukan bukti awal kalau wajib pajak menyalahi prinsip self assessment tersebut, sehingga UU memberi hak kepada Ditjen Pajak untuk menagih kekurangan pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh wajib pajak. Dalam UU perpajakan di Indonesia, yang dinamakan wajib pajak adalah subyek pajak yang diatur dalam UU Perpajakan. Dalam hal wajib pajak yang 154
ESAI-ESAI HUKUM
ada hubunganya dengan transfer pricing adalah badan dan orang pribadi. Badan yang dimaksud adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha, sedangkan orang pribadi adalah pribadi tertentu yang memiliki saham pada badan usaha. Jadi yang melakukan kegiatan transfer pricing adalah orang pribadi yang memahami bagaimana kegiatan transfer pricing akan dilakukan, sedangkan badan usaha adalah pihak yang melakukan kegiatan transfer pricing secara langsung ke badan usaha yang ada di luar negeri. UU Perpajakan juga mengatur bahwa setiap wajib pajak wajib melaporkan semua penghasilannya di seluruh dunia (world wide income), termasuk penghasilan yang diterima di luar negeri atau penghasilan yang diterima akibat kegiatan usaha yang dilakukan di luar negeri, sehingga yang bersangkutan menerima penghasilan atas kegiatan tersebut. Jadi seandainya ada pemegang saham menerima keuntungan dari praktek perdagangan di luar negeri, maka wajib pajak tersebut wajib melaporkannya dalam SPT tahunannya. Dalam UU No 36 Tahun 2008 cikal bakal adanya kegiatan transfer pricing diatur melalui adanya hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f, Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (3) sampai dengan ayat (3d). Sayangnya hubungan istimewa ini dianggap ada apabila memenuni unsur Pasal 18 ayat (4). Seandainya hubungan istimewa tidak dibatasi oleh ketentuan Pasal 18 ayat (4), maka dapat dengan mudah diketahui hubungan istimewa yang dilakukan oleh wajib pajak. Untuk mencegah terjadinya suatu kegiatan transfer pricing, sebenarnya UU No 36 Tahun 2008 telah mengatur peranan Ditjen Pajak untuk membuat Advance Pricing Agreement (APA) antara wajib pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual yang wajar atas suatu produk yang dihasilkan oleh wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak tersebut. Maka sepanjang APA belum dilakukan oleh Dirjen Pajak, maka fenomena kegiatan transfer pricing akan sulit dibendung. Jadi seandainya terjadi dugaan kegiatan transfer pricing tersebut, maka tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan kepada para pelaku kegiatan transfer pricing tersebut. E. Peran Ditjen Pajak Untuk membongkar adanya kegiatan transfer pricing tersebut, maka ujung tombaknya adalah pihak Ditjen Pajak melalui aparatur perpajakan. Peranan dari Ditjen Pajak untuk membongkar kegiatan transfer pricing semakin dominan, 155
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
mengingat sumber utama penerimaan negara di Indonesia dalam APBN adalah berasal dari pendapatan perpajakan. Jadi seandainya kegiatan transfer pricing ini dibiarkan, maka potensial loss dari kegiatan perpajakan bisa mencapai 30%. Bisa kita bayangkan kalau kegiatan transfer pricing tersebut bisa dicegah, maka pendapatan negara akan makin bertambah. Peranan DItjen Pajak untuk mencegah atau membongkar kegiatan transfer pricing bukanlah pekerjaan mudah, karena sangat tergantung kepada beberapa sub system yang ada. Misalnya DItjen Pajak diberi ruang dan waktu untuk mengetahui para pemegang saham yang melakukan kegiatan usahanya di luar negeri. Seandainya DItjen Pajak diberi ruang dan waktu untuk mengetahui daftar pemegang saham atas suatu badan usaha, maka dapat dicegah adanya permainan dari orang pribadi sebagai wajib pajak yang mempunyai saham di dua atau lebih badan usaha pada kegiatan usaha yang sama. Hal lainnya yang perlu dilakukan oleh DItjen Pajak, agar segera membuat APA dengan sejumlah badan usaha yang mempunyai kegiatan usahanya di luar negeri, dengan mengajak para usahawan untuk duduk bersama untuk mengatur hal ini. Setelah adanya pemahaman yang sama antara Ditjen Pajak dengan para usahawan tersebut, maka Dirjen Pajak dapat segera membuat APA dengan masing-masing wajib pajak tersebut. Mengingat bahwa terjadinya transfer pricing melibatkan antar negara, maka seharusnya segera dibuat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara negara Indonesia dengan negara-negara tujuan ekspor. Hal ini mengingat bahwa wajib pajak selalu berdalih sudah membayar pajak di negara asal atau di negara tujuan, sehingga tidak perlu lagi membayar pajak yang sama di dua negara yang berbeda. Seandainya sudah ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ini antara dua negara, maka wajib pajak bisa melihat apakah adanya pajak berganda untuk obyek pajak yang sama. Hal lainnya yang perlu dipikirkan saat ini yaitu menempatkan pejabat pajak Indonesia sebagai atase perpajakan di sejumlah negara, seperti atase perdagangan, atase kebudayaan ataupun pendidikan yang ada di beberapa negara, seperti di negara Amerika Serikat, Belanda dan sebagainya. Adanya atase perpajakan ini, maka sang atase dapat memantau lalu lintas perdagangan barang yang di dalamnya terdapat komponen kewajiban perpajakannya. Minimal dengan adanya atas perpajakan di luar negeri dapat membantu.
156
ESAI-ESAI HUKUM
F. Penutup Kegiatan transfer pricing tidak dapat dihindarkan dalam praktek perdagangan saat ini sepanjang system yang mencegah kegiatan transfer pricing belum dibakukan. Tetapi banyak hal yang bisa dilakukan saat ini, misalnya dengan segera membuat APA antara dirjen pajak dengan wajib pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktek penyalahgunaan transfer pricing. Hal lainnya yang bisa segera dilakukan oleh pemerintah, dengan menempatkan atase perpajakan di sejumlah negara, minimal di negara tujuan ekspor, yang bertugas memantau praktek perdagangan di antara wajib pajak dengan badan usaha di negara dimana atase perpajakan ditempatkan. Tanggung jawab lainnya yang bisa dilakukan oleh Ditjen Pajak untuk membuat P3B dengan sejumlah negara ekspor, minimal dengan adanya P3B dapat dihindari terjadinya pajak berganda yang merugikan wajib pajak yang melakukan kegiatan ekspor. Hal yang agak sulit dilakukan adalah mencari adanya hubungan istimewa di antara badan usaha baik di dalam negeri maupun di luar negeri, ataupun mencari adanya hubungan terafiliasi di antara badan usaha. Untuk itu perlu adanya kerja sama di antara kementerian keuangan dengan Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu perlu juga dibuat daftar harga jual aas produk yang diekspor berdasarkan harga internasional yang bersifat the real time. Untuk itu perlu adanya kerja sama di antara kementerian keuangan dengan kementerian perdagangan dan kementerian perindustrian. Jadi sekarang semuanya berpulang kepada niat pemerintah khususnya ditjen pajak untuk membuat action plan untuk mencegah terjadinya praktek transfer pricing.
157
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
158
ESAI-ESAI HUKUM
KONSEPSI HUKUM TENTANG KEPELABUHAN1 (Studi Kasus HPL pada Pelabuhan X)
A. Pengantar Masalah kepelabuhan diatur dalam UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU ini menggantikan UU No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang sudah tidak sesuai dengan perkembangn saat ini. Masalah kepelabuhan diatur dalam Bab VII tentang Kepelabuhan pada Pasal 67 sampai dengan Pasal 115. Materi muatan yang terdapat dalam UU No 17 Tahun 2008 lebih komprehensif bila dibandingkan pada UU No 21 Tahun 1992, termasuk materi muatan yang berhubungan dengan kepelabuhan. Di sisi lain hal tentang kepelabuhan begitu kompleks, hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal : 1. Ada beberapa materi muatan akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ada beberapa materi muatan yang memberikan kemungkinan diatur dalam suatu Perjanjian. Untuk menggambarkan hal tentang kepelabuhan, maka dibagi dalam Kepelabuhan secara makro dan kepelabuhan secara mikro. B. Kepelabuhan Secara Makro Secara makro maka hal tentang kepelabuhan digambarkan atas 8 hal mendasar, yaitu 1. Pelabuhan terkait dengan masalah Kepelabuhan. 2. Kepelabuhan terkait dengan Tatanan Kepelabuhan Nasional, sebagai system 1
Makalah yang disampaikan penulis pada diskusi terbatas di PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara, Jakarta 15 Januari 2009.
159
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
3. 4. 5. 6. 7. 8.
dalam kepelabuhan nasional di Indonesia, yang terbagi atas 8 sub system kepelabuhan nasional. Hal tentang Tatanan Kepelabuhan Nasional ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Tatanan Kepelabuhan Nasional diwujudkan dalam 4 hal. Tatanan Kepelabuhan Nasional disusun dalam kerangka perencanaan yang didasarkan kepada 4 hal. Ada 4 tujuan dari tatanan kepelabuhan nasional. Penetapan Tatanan Kepelabuhan Nasional harus memperhatikan banyak hal. Tatanan kepelabuhan nasional memuat 3 hal.
C. Kepelabuhan Secara Mikro Kepelabuhan secara mikro membicarakan antara lain : 1. Peran dari pelabuhan. 2. Fungsi dari pelabuhan. 3. Jenis Pelabuhan. 4. Hirarkhi pelabuhan. 5. Rencana Induk Pelabuhan Nasional. 6. Lokasi pelabuhan. 7. Rencana Induk Pelabuhan. 8. Penyelenggara kegiatan di pelabuhan. 9. Kegiatan pemerintahan di pelabuhan. 10. Kegiatan pengusahaan di pelabuhan 11. Penyelenggara pelabuhan. 12. Otoritas Pelabuhan (OP). 13. Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP). 14. Badan Usaha Pelabuhan (BUP) 15. Pembangunan Pelabuhan 16. Pengoperasian Pelabuhan 17. Tanggung jawab Ganti Kerugian. 18. Terminal Khusus. 19. Terminal untuk kepentingn sendiri 20. Penarifan. 21. Pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. 22. Peran pemerintah daerah. 160
ESAI-ESAI HUKUM
D. Tanggapan Membicarakan hal tentang kepelabuhan menurut UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sudah diarahkan kepada pengaturan yang lebih komprehensif. Untuk menindaklanjuti masalah kepelabuhan, UU No 17 Tahun 2008 memberikan amanat untuk mengatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini tidak terlepas bahwa membicarakan kepelabuhan tidak hanya sekedar sisi administrasi dari kepelabuhan, juga membicarakan operasionalisasi pelabuhan serta terbukanya pihak non pemerintah untuk melakukan kegiatan usaha di sekitar pelaubuhan. UU No 17 Tahun 2008 juga ingin mengurangi campur tangan pemerintah dalam menjalankan system kepelabuhan, dengan memberikan kebebasan kepada pihak untuk menjalankan system kepelabuhan. Hal ini dapat dilihat dari adanya kewajiban untuk membuat perjanjian tentang hal tertentu antara para pihak. Kewajiban untuk membuat suatu perjanjian dalam suatu UU selama ini tidaklah hal yang lazim. Melalui UU ini maka kewajiban untuk membuat suatu perjanjian merupakan suatu terobosan baru dalam ilmu perundangundangan. Beberapa pengertian/definisi dalam UU No 17 Tahun 2008 tidak jauh berbeda dengan pengertian/definisi yang diatur dalam UU No 21 Tahun 1992 dan PP No 69 Tahun 2001. Disisi lain hal tentang kepelabuhan juga disusun berdasarkan suatu system perencanaan kepelabuhan dengan adanya kewajiban untuk menetapkan tatanan kepelabuhan nasional oleh Menteri Perhubungan serta kewajiban untuk menyusun rencana induk kepelabuhan nasional dan rencana induk pelabuhan untuk setiap rencana pembentukan suatu pelabuhan. Pengaturan pembentukan tatanan kepelabuhan nasional dan rencana induk pelabuhan sudah disinkronisasikan dan diharmonisasikan dengan beberapa peraturan perundangundangan. Untuk itu tindak lanjut dalam pembentukan penyusunan tatanan kepelabuhan nasional, rencana induk pelabuhan nasional serta rencana induk pelabuhan harus memperhatikan hal tersebut. UU No 17 Tahun 2008 ingin menegaskan bahwa semua pelabuhan yang ada di Indonesia dan pelabuhan yang akan dibangun di Indonesia harus memiliki peran dari pelabuhan tesebut2. UU No 17 Tahun 2008 serta PP No 69 2
Lihat pengaturan tentang peran dari pelabuhan.
161
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
Tahun 2001 juga ingin menegaskan bahwa adanya suatu pelabuhan harus menjalankan salah satu fungsi dari pelabuhan tersebut3. UU No 17 Tahun 2008 membedakan jenis pelabuhan. Hal ini terkait dengan karakteristik Negara Indonesia sebagai Negara kepulauan. Pengaturan tentang jenis pelabuhan berbeda dari pengaturan dalam UU No 21 Tahun 19924. Hal tentang hirarkhi pelabuhan hanya berlaku untuk pelabuhan laut saja. Hal ini terkait dengan fungsi dari pelabuhan laut tersebut. Ini juga penting agar dalam pembangunan pelabuhan laut mendatang menyesuaikan dengan hirarkhi pelabuhan laut. Rencana induk pelabuhan nasional merupakan master plan atau pedoman dalam penetapan lokasi pelabuhan, pembangunan pelabuhan, pengoperasian pelabuhan, pengembangan pelabuhan dan penyusunan rencana induk pelabuhan. Melalui penetapan rencana induk pelabuhan nasional ini, akan mensinergikan pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia untuk masa kini dan masa mendatang. Lokasi pelabuhan merupakan tempat dari suatu pelabuhan yang ditentukan berdasarkan kondisi geografis dan lokasi pelabuhan merupakan bagian dari tanan kepelabuhan nasional dan rencana induk pelabuhan nasional. Rencana induk pelabuhan merupakan hal yang penting bagi suatu pelabuhan untuk masa kini dan masa mendatang. Selain itu melalui rencana induk pelabuhan dapat disesuaikan dengan rencana tata ruang5 dan dapat mengurangi pelabuhan yang tidak terdaftar (pelabuhan tikus) serta dapat mengurangi tindak pidana penyelundupan. Pengaturan tentang penyelenggaraan kegiatan di pelabuhan ingin menjadikan pelabuhan sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang terbuka. Hal ini sejalan dengan persaingan pelabuhan yang ada di dunia saat ini. Untuk menghidupkan suatu pelabuhan maka diadakan kegiatan pemerintahan di pelabuhan serta diimbangi dengan adanya kegiatan pengusahaan di pelabuhan.
3
Lihat pengaturan tentang fungsi dari pelabuhan.
4
Dalam UU No 21 Tahun 1992, jenis pelabuhan terdiri dari pelabuhan umum dan pelabuhan khusus.
5
Lihat UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
162
ESAI-ESAI HUKUM
Untuk menjalankan kinerja pelabuhan, maka fungsi pemerintahan dijalankan di pelabuhan melalui beberapa sub fungsi pemerintahan6, seperti fungsi dalam kepabeanan, keimigrasian dan karantina. Fungsi pemerintahan ini lebih bersifat administratif. Fungsi pemerintahan yang bersifat operasional dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan. Otoritas pelabuhan merupakan lembaga pemerintah yang menjalankan 3 fungsi, dan OP dibentuk untuk pelabuhan yang bersifat komersil. Sifat komersial dari pelabuhan yang dijalankan oleh OP, dapat dilakukan sendiri dan dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak lain melalui suatu perjanjian. Pihak lain dimaksud adalah Badan Usaha Pelabuhan (BUP), tetapi BUP ini sifatnya terbatas, yaitu pada pada kegiatan usaha khusus pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya. Pengaturan tentang kerjasama antara OP dan BUP merupakan justifikasi yang terjadi selama ini di pelabuhan. Unit penyelenggara pelabuhan(UPP) merupakan lembaga pemerintah yang menjalankan 4 fungsi dan dibentuk untuk pelabuhan yang belum komersil. Pengaturan tentang kegiatan pengusahaan di pelabuhan diarahkan kepada kegiatan pengusahaan yang bersifat terbuka UU No 17 Tahun 2008 mengatur tentang : a. pembangunan pelabuhan dan pengoperasian pelabuhan. b. tanggung jawab atas ganti kerugian. c. dimungkinkannya terminal khusus. d. penarifan sebagai konsekwensi beroperasinya kegiatan di pelabuhan. e. pelabuhan bagi perdagangan luar negeri. f. peran dari Pemerintah Daerah. E. Studi Kasus Pelabuhan X UU No 17 Tahun 2008 memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk membangun pelabuhan yang disesuaikan dengan tatanan kepelabuhan nasional dan pelabuhan tersebut harus memiliki rencana induk pelabuhan. Pembangunan pelabuhan disesuaikan dengan peran dan fungsi dari pelabuhan serta lokasi dari dibangunnya pelabuhan tersebut.
6
Lihat pengaturan tentang kegiatan pemerintahan di pelabuhan.
163
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
UU No 17 Tahun 2008 mengatur tentang operasionalisasi dari pelabuhan. UU No 17 Tahun 2008 menegaskan adanya penyelenggara pelabuhan yaitu Otoritas Pelabuhan (OP) untuk pelabuhan secara komersil dan Unit Penyelenggara Pelabuhan untuk pelabuhan yang belum komersil. OP adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi a) pengaturan, b) pengendalian dan c) pengawasan7. OP dibentuk oleh Menteri dan OP bertanggung jawab kepada Menteri8. OP harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU ini berlaku9. Aparat OP merupakan pegawai negeri sipil10 yang mempunyai kemampuan dan kompetensi di bidang kepelabuhan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan11. OP berperan sebagai wakil pemerintah untuk memberikan konsesi atas bentuk lainnya kepada BUP untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian12. OP mempunyai tugas dan tanggung jawab13 dan OP mempunyai wewenang14. Adanya keharusan OP untuk berkoordinasi dengan Pemda15. OP diberi hak pengelolaan16 sesuai dengan ketentuan peraturan pe7
Pasal 1 angka 26 UU No 17 Tahun 2008
8
Pasal 82 ayat (1) UU No 17 Tahun 2008
9
Pasal 348 UU No 17 Tahun 2008.
10
Pegawai negeri sipil terdiri dari a) PNS, b) Anggota TNI, c) Anggota Polri, dan PNS terdiri dari PNS Pusat dan b) PNS Daerah, lihat Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
11
Pasal 86 UU No 17 Tahun 2008
12 Pasal 82 ayat (4) UU No 17 Tahun 2008. 13 Pasal 83 ayat (1) UU No 17 Tahun 2008. 14
Pasal 84 UU No 17 Tahun 2008.
15 Pasal 82 ayat (6) UU No 17 Tahun 2008. 16
Hak pengelolaan adalah hak atas tanah negara yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk a) merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah yang bersangkutan, b) menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, c) menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka 6 tahun dan d) menerima pemasukan dan/atau uang wajib tahunan (Peraturan Mendagri No 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah; bandingkan dengan Peraturan Mendagri 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian, Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya, yang dimaksud dengan hak pengelolaan dalam peraturan ini adalah hak pengelolaan yang berisi wewenang untuk a) merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah yang bersangkutan, b) menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya, c) menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut yang meliputi segi-segi peruntukkan, penggunaan,
164
ESAI-ESAI HUKUM
rundang-undangan17. Pemberian hak pengelolaan kepada OP menurut UU ini didasarkan bahwa OP adalah lembaga pemerintah, hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa hak pengelolaan dapat diberikan kepada a) a) departemen dan jawatan pemerintah dan b) badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah. OP diberi hak pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku18. Hak pengelolaan dapat berasal dari a) pengkonversian dari tanah negara dan b) Menteri Agraria19 Hak pengelolaan dapat diberikan kepada a) departemen dan jawatan pemerintah dan b) badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah20 dan c) badan/badan hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang bergerak dalam kegiatan usaha yang sejenis dengan perusahaan industri dan pelabuhan21 F. Permasalahan 1. Apakah sudah ada perusahaan yang akan membangun pelabuhan ? 2. Apakah bentuk dari perusahaan tersebut, a) perusahaan swasta murni atau b) perusahaan kerja sama perusahaan swasta dan BUMN. 3. Apakah sudah ada rencana induk pelabuhan tersebut?
jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah tesebut kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; bandingkan dengan PP No 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan, pada Pasal 1 disebutkan bahwa hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaannnya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah untuk keperluan a) pelaksanaan tugasnya, b) menyerahkan bagianbagian tanah tersebut kepada pihak ketiga, dan/atau c) kerjasama dengan pihak ketiga. 17
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria jo Peraturan Mendagri No 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian, Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya.
18
Pasal 85 UU No 17 Tahun 2008.
19
Peraturan Menteri AgrariaNo 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan Pelaksanaan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya.
20 Peraturan Mendagri No 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah 21
Peraturan Mendagri No 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya.
165
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
4. Apakah rencana induk pelabuhan tersebut sudah sesuai dengan rencana induk pelabuhan nasional dan tatanan kepelabuhan nasional? 5. Di mana lokasi pelabuhan akan dibangun ? 6. Jenis pelabuhan apa yang akan dibangun ? 7. Apakah sudah ada pembentukan Otoritas Pelabuhan oleh Menteri ? 8. Siapa yang berhak mendapatkan hak pengelolaan ? a) Apakah Otoritas Pelabuhan atau b) BUMN atau c) perusahaan patungan yang dibentuk. G. Penutup 1. UU No 17 Tahun 2008 memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua pihak untuk dapat berperan serta dalam masalah kepelabuhan. 2. Perlu tindak lanjut dalam mensikapi sejumlah Peraturan Pemerintah untuk segera dibentuk paling lambat 1 tahun sejak UU ini berlaku. 3. Menteri Perhubungan perlu segera membentuk Otoritas Pelabuhan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini berlaku. 4. Pembentukan pelabuhan perlu disinkronkan dengan ketentuan UU ini. 5. Hal tentang hak pengelolaan atas tanah diberikan kepada otoritas pelabuhan sebagaimana dimaksud dengan UU No 17 Tahun 2008, tetapi sejauh Otoritas Pelabuhan belum dibentuk oleh Menteri Perhubungan, maka hak pengelolaan dapat diberikan kepada a) departemen dan jawatan pemerintah dan b) badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah. 6. Apabila ada pihak yang merasa keberatan tentang hak pengelolaan atas tanah, karena bertentangan dengan ketentuan UUD Tahun 1945, dapat mengajukan pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi.
166
ESAI-ESAI HUKUM
DAFTAR ISTILAH
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Direktur Jenderal Mahkamah Konstitusi Nomor Pokok Wajib Pajak Pajak Penghasilan Panitia Khusus Program Legislasi Nasional Program Pembangunan Nasional Rapat Dengar Pendapat Umum Rapat Kerja Rancangan Undang-Undang Sekretariat Jenderal Special Purpose Vechile Tim Perumus Tim Sinkronisasi Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang
167
Baleg DPR-RI Ditjen MK NPWP PPH Pansus Prolegnas Propenas RDPU Raker RUU Sekjen SPV Timus Timsin UUD 1945 UUD Tahun 1945
UU
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
168
ESAI-ESAI HUKUM
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap Tempat/tanggal lahir Status perkawinan Email Pekerjaan NIP Jabatan Pangkat Kepakaran
: DR Ronny Sautma Hotma Bako, SH, MH. : Jakarta Maret 1962 : Menikah :
[email protected] : PNS Setjen DPR-RI Tahun 1990 : 19620312 199003 1 003 : Peneliti Utama (Golongan IV D) TMT 1 Oktober 2009, jo Keputusan Presiden No 88/M/Tahun 2010 : Pembina Utama Muda (Golongan IV C), TMT 1 Oktober 2008 jo Keputusan Presiden No 65/K Tahun 2008. : Hukum Konstitusi (17.01.03)
Pendidikan Tinggi : 1. Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, lulus 1987, jurusan Hukum Perdata. 2. Magister Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, lulus 1994, jurusan Hukum Ekonomi. 3. Doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, lulus 2003, jurusan Hukum Kenegaraan. Pendidikan Keahlian : 1. Ilmu Perundang-undangan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (merangkap sebagai tutor). 2. Hukum Kontrak Fakultas Hukum Universitas Indonesia (merangkap sebagai tutor). 169
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
3. Hukum Pasar Modal dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (bersertifikat) 4. Hukum Persaingan Usaha dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (bersertifikat) 5. Pemegang Brevet A, B dan C Perpajakan dari Yayasan Bina Artha (bersertifikat) 6. Pendidikan Keahlian Profesi Advokat dari Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) (bersertifikat) KEGIATAN YANG DILAKUKAN DI DPR : 1. Ketua tim pengkajian bidang hukum. 2. Ketua tim penelitian bidang hukum. 3. Tim Pendamping pada sejumlah Pansus RUU. 4. Ikut Panitia Kerja yang dibentuk BURT, antara lain : a. Panja tentang Renstra DPR-RI; b. Panja tentang Arah dan Kebijakan Anggaran DPR Tahun 2011; c. Panja tentang Kehumasan DPR; d. Panja tentang Peliputan Wartawan Atas Kegiatan di DPR. 5. Anggota Tim Analis KIP di PPID Setjen DPR-RI 6. Tim Kerja yang dibentuk Setjen antara lain : a. Tim tentang Koordinasi Penelitian; b. Tim tentang Redaktur Majalah Kajian; c. Tim tentang P2JP Instansi Setjen DPR-RI; d. Tim tentang Standar Operating Prosedur (SOP) Setjen; e. Tim tentang Evaluasi LAKIP Setjen DPR; f. Tim tentang Renstra Setjen DPR-RI; g. Tim tentang Pelaksanaan KIP di DPR dan Setjen DPR-RI. KEGIATAN DI LUAR DPR : 1. Peneliti tamu pada Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM. 2. Staf pengajar (Program S1, S2 dan S3) pada Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. (Nomor Induk Dosen Nasional 312036201) 3. Dosen tamu pada Fakultas Hukum Universitas Nommensen Medan.
170
ESAI-ESAI HUKUM
4. Dosen pembimbing bagi mahasiswa Indonesia di luar negeri, seperti di National University of Singapura (NUS) dan Australian National University (ANU). 5. Narasumber masalah hukum pada sejumlah kantor hukum dalam negeri dan luar negeri. 6. Narasumber masalah hukum pada sejumlah media massa. 7. Pembawa makalah tentang hukum pada sejumlah DPRD.
171
Sekumpulan Karangan Bidang Hukum
172