EPISTEMOLOGI ISLAM (Sebuah Telisik Atas Dilema Aksiologis) Syihabul Furqon ABSTRAK DI ERA postmodern, semua tatanan epistemologis coba untuk dirobohkan. Hal itu karena epistemologi disinyalir menengarai terjadinya fondasionalisme naif dan representasionalisme naif. Sehingga kebenaran menjadi sesuatu yang utopis di tengah terjadinya kekeringan—baik itu spiritual dan atau pun intelektual. Untuk itu belakangan, pada masa ini yang dinamai masa postmodern, fondasi kebenaran—yang berlaku di Barat—dibongkar. Struktur makna dikembaikan pada metafor.1 Bahkan Pierce dan Bartes (filsuf strukturalis) menyatakan bahwa realitas sekarang ini adalah semacam kumpulan penanda-penanda. Sedangkan di ranah psikologis, massa mengalami ksrisis identitas akut yang dimanfaatkan pihak kapitalis.2 Era chaotik ini yang selanjutnya memaksa beberapa pemikir mengembalikan makna tidak pada otoritas, tapi kesadaran intersubjektif. Setidaknya itu yang tengah coba dirumuskan Barat. Yang menjadi titik permasalahannya kali ini adalah, bagai mana dengan keadaan epsietmologi Islam yang jika dilihat secara periodik, tentu saja tertinggal dari Barat. Pertanyaan yang coba ditelususri adalah; bagai mana Islam dengan epistemologinya mengurai masalah tersebut di atas? Prolog KRISIS, adalah titik dimana semua permasalahan berkumpul menjadi sebuah momen yang bersifat sensitif dan sangat rawan. Dalam keadaan krisis, situasi menjadi kacau dan semrawut. Sistem macam apa pun menjadi tanpa daya dan keadaan menjadi lepas kendali (chaos). Dan memang itulah persisnya yang sedang terjadi sejak permulaan abad 21 ini. Tak pelak lagi bahwa di dalam keadaan yang serba semrawut ini setiap segala sesuatu yang telah ada itu kemudian dipertanyakan ulang. Hal senada kemudian menjadi ciri atas modifikasi yang bersifat dekonstruktif terhadap sesuatu. Oleh karenanya menjadi pantas bahwa hari ini disebut era posmodern. Dengan demikian menjadi jelas bahwa era moderen telah berakhir dengan berakhirnya model “mengetahui sama artinya dengan memiliki.”3 Kini yang menjadi permasalahan selanjutnya—terutama di ranah kajian filsafat Islam— adalah ketertinggalan fase yang telah coba dibicarakan di atas. Karenanya belakangan menjadi hangat diperbincangkan dalam kajian filsafat Islam. Ini terutama penyebabnya adalah pergeseran 1
Mengenai hal ini, I. Bambang Sugiharto menandaskan dalam Jurnal Kebudayaan: Kalam: 1995. “Filsafat (Barat) telah mendapat serangan bertubi-tubi pada taraf terdasarnya. Posisi dan otoritasnya dalam susunan pengetahuan tengah mengalami krisis. Sebenarnya dari dahulu filsafat memiliki posisi yang ambigu. Di satu pihak, ia senantiasa mengelak dari segala bentuk kategori ilmu pengetahuan, di pihak lain ia terus menerus dijadikan sumber acuan dan inspirasi bagi pengetahuan. Kini ketidakjelasan dan otoritasnya kian tampil ke permukaan dan diperkarakan.” 2 Krisis (identitas), demikian Habermas, mulai muncul ketika struktur sosial menawarkan kemungkinan pemecahan masalah yang lebih kecil dibandingkan yang seharusnya tersedia bagi eksistensi atau sistem (identitas). Krisis dapat dianggap suatu gangguan terhadap integrasi sistem sosial tersebut. Merujuk pada esai Yasraf Amir Piliang dengan tajuk Merayakan Abnormalitas dalam Jurnal Kebudayaan: Kalam: 1995, hlm. 92. 3 Adalah model yang dikembangkan penulis dari kerangka cartesian “Cogito ergo sum” (aku berpikir karenanya aku ada). Hal ini sering disebut-sebut sebagai salah satu modus mengatahui dengan menegasi yang lain selain “aku” yang berpikir. Meskipun pada masanya sangat efektif untuk menekan perkembangan pengetahuan ke ranaha yang bersifat non-empirirk, menuju penalaran yang bersifat “jelas dan terpilah”. Hanya saja yang kemudian menjadi permasalahan dalam model epistemologi cartesian ini bersifat melulu “cogito tertutup” sehingga dalam perkembangan selanjutnya ini menjadi modus para penguasa yang memiliki sumber daya manusia dan finansial sebagai tunggangan eksploitasi.
fase epistemologi moderen ke arah posmoderen, dan lantas timbul pertanyaan filsafat Islam persisinya berada di mana. Ini menjadi masalah penting yang harus segera dirumuskan ulang (paling tidak diperbincangkan sebagai wacana). Karena bagai manapun, di era posmoderen ini filsafat Islam harus menemukan pijakan yang tepat untuk segera meresap ke berbagai elemen kehidupan yang kian hybrid. Jika tidak, krisis menjadi sesesuatu yang tak terelakkan—seperti juga yang disadari ataupun tidak sedang berlangsung saat ini—dan menuntut tumbal intelektual maupun spiritual lebih banyak dari yang seharusnya bisa ditanggulangi oleh para sarnajanawan muslim. Ini jelas-jelas persoalan yang bersifat fundamental. Bagai mana tidak, yang terlibat di dalamnya adalah keseluruhan manusia. Bahkan Huston Smith dalam pendahuluan salah satu karyanya mengatakan; “krisis yang dihadapi dunia ketika memasuki ambang milenium baru terletak pada sesuatu yang lebih dalam ketimbang cara-cara mengorganisasikan sistem politik dan ekonomi. Dengan cara yang berbeda-beda, baik Timur maupun Barat harus menghadapi krisis bersama yang disebabkan oleh kondisi spiritual dunia modern. Kodisi itu dicirikan oleh rasa kehilangan, baik kepastian religius maupun pada Yang Transenden dalam cakrawala yang lebih luas. Hakikat kehilangan itu aneh, tetapi sesuangguhnya sangat logis. Ketika, bersamaan dengan tebitnya pandangan-dunia ilmiah, umat manusia mulai memandang dirinya sebagai pembawa makna tertinggi dalam dunia dan ukuran bagi segalanya, maka kehidupan mulai kabur dan kemuliaan harkat manusia memudar. Dunia kehilangan dimensi kemanusiawiannya, dan kita kehilangan kendali atas diri kita.”4 Paparan Huston Smith tersebut di atas begitu mengena terhadap permasalahan yang terjadi, khususnya di dunia filsafat Islam. Karena dengan tuntutan zaman, setiap forma atau landasan epistemologi demi keberlangsungan nilai-nilai kebaikan—terutama yang terkandung di dalam diri manusia—harus dilihat ulang duduk peranannya. Terutama sekali yang menjadi permasalahan adalah kenyataan bahwa di dunia Barat sendiri meski era moderen telah ditinggalkan, era posmoderen juga pada nyatanya bertumpu pada semacam fondasi moderen. Sehingga hal itu membingungkan banyak orang dan berimbas pada mentalitas. Sedangkan di tubuh Islam sendiri juga mengalami arah orientasi yang simpang siur. Karena islamisasi sendiri merupakan upaya untuk mengejar ketertinggalan arus zaman moderen yang diusung Barat, sedangkan hal itu berbentur dengan kenyataan Barat yang telah menganggap fase tersebut telah lewat. Di tengah kemelut dan krisis—yang memuat segala macam krisis, setiap orang, seperti dituturkan Huston Smith, menjadi kebingungan menentukan yang hakiki pada dirinya dan kekeringan spiritual kemudian terjadi imbas dari semakin membiasnya pegangan kepastian. Belum lagi hal semacam itu, pada beberapa orang, membuatnya mengamini dan merayakan keadaan serba tak menentu ini. Keadaan dimana manusia merayakan kebodohannya dan kekonyolannya (parodi). Mengenai Yang Hakiki Jika boleh dikelompokkan, Filsafat islam mendapat gilirannya belakangan untuk menunjukkan bahwa di atas segalanya yang menjadi persoalan falsafati ada pada wilayah ontologis. Karena bagaimana pun pembicaraan filsafat—baik Yunani atau pun Islam—berlandaskan pada yang bersifat dasariyah dan fundamental. Sederhanyanya kita semua—pada titik tertentu akan menemukan bahwa filsafat tanpa landasan ontologis menjadi sia-sia. Karena sejauh pembicaraan tentang filsafat dan juga perkembangannya selalu akan memuat alur gerak ontologis. Dan dari sana kita akan dapat 4
Huston Smith, Ajal Agama di tengah Kedigdayaan Sains?, pada pendahuluan.
melihat alur cabang yang kemudian menjadi titik permasalahan antara filsafat Yunani yang berkembang kemudian di barat, dan filsafat Islam yang merupakan perwujudan sisi lain dari filsafat Yunani. Meski memang baik dalam tradisi Yunani maupun Islam ada juga tradisi filsafat yang berkembang di timur, seperti Lao Tzu. Bagian terakhir ini—meskipun sangat menarik dan sama berperannya—memiliki alur ontologis yang sedikit berbeda dari dua pertama. Dalam tradisi Yunani, filsafat bermula dari pertanyaan-pertanyaan substansial (meski masih cenderung dalam ruang lingkup indrawi), seperti hakikat yang tampak. Di lain pihak, permasalahan yang nirindrawi seperi moralitas, idea dan sistem kepercayaan menjadi pokok yang dominan pada masa itu. Tapi paling tidak secara garis besar kita akan sepakat bahwa—terutama pada masa Plato—yang hakiki mulai diabstraksi sebagai yang tak terindra. Dalam artian ini bahwa yang hakiki adalah “sesuatu” yang melatar belakangi terjadinya atau mewujudnya sesuatu. Dan sesuatu itu tak tergambarkan sedemikian rupa sehingga kategori apa pun yang dilekatkan kepadanya hanya akan menjadikan proposisi agung ini menjadi tidak ajeg. Aristoteles menamainya ‘sebab final.’ Hal itu menimbulkan perdebatan diskursus mengenai yang hakiki. Dari sana pelbagai garis poposisi lanjutan kemudian ditarik. Hal ini jelas-jelas menjadi permasalahan yang tak terelakkan. Menjadi masalah karena dari perumusan yang hakiki dan bersifat kontemplatif tersebut kemudian memungkinkan seseorang melandasi diri dengan kerangka epistemologi 5 yang bersifat basolut. Sebelum masuk pada fase filsafat Islam lebih jauh, alangkah baiknya kita menelisik filsafat Barat sebagai kelanjutan filsafat Yunani pasca-Aristoteles. Pada mulanya alur filsafat tentang pembahasan yang hakiki (idea) telah merasuk pada sendi-sendi semangat zaman pencerahan. Terutama pada Hegel, sebagai yang menggagas alur sejarah sebagai alur yang bersifat idealis (selain kenyataan bahwa ajaran Kristen pada masa itu memiliki duduk perkara yang banyak ikut campur tangan pada perkembangan zaman di Barat meski memiliki alur dari filsafat abad pertengahan). Tetapi yang kemudian menjadi sorotan adalah Karl Marx yang mendudukkan filsafat Hegel (abstrak) ke ranah empirik (material). Tentu saja jauh sebelumnya Rene Descarteslah yang menempati kursi kehormatan sebagai bapak filsafat moderen yang telah—dengan semangat zaman pada saat itu dan kapasitas filosofis yang ia punyai—mengantarkan Barat pada fase yang lebih bisa dikatakan fase empirikal.6 Di atas menjadi jelas bahwa garis sejarah filsafat di Barat membawa permasalahan ontologisnya berubah haluan dari sesuatu yang berada pada tataran ide yang abstrak menjadi segala sesuatu yang bersifat material. Sedangkan pada filsafat Islam fase yang diambil menjadi sangat bersifat (dalam hal tertentu) bersifat Platonik. Hal itu bukan tanpa sebab, megingat bahwa Islam merupakan ajaran agama monoteistik, menjadi penting untuk selanjutnya para sarjana Islam melandasi sistem teologinya tersebut. Ini dicirikan oleh perkembangan dan semangat menggali pengetahuan di dalam Islam yang secara besar-besaran mengadopsi hampir segala sumber pengetahuan yang sedang berkembang pada masa itu. Dalam hal ini tidak terkecuali sistem logika Aristoteles dan landasan Platonik yang pada fase Al-Kindi dan Al-Farabi hingga Ibn Sina sangat berpengaruh.7 5
J. sudarminta, Epistemologi Dasar, terutama pada bagian penutup. Hal yang bersifat deterministik dalam mengetahui sesuatu sangatlah mungkin. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya—menggunakan istilah fenoenologi— horison tempat pusat subjek mengada (dalam hal ini mengetahui). Karena alih-alih merasa menamukan kebenaran mutlak baru, malah itu yang menjadi titik ketidak mutlakannya. Dengan demikian epistemologi apa pun yang timbul jika merasa kebal terhadap koreksi menjadi “nyaris” tanpa arti. 6 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, pembahasan yang membentang pada Buku III bagian I, meski gren narasi yang dipaparkan telah tersampaikan pada judul Buku III: Filsafat moderen. 7 M. T. Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, hal. 9.
Meski demikian, dengan semangat menggali ilmu pengetahuan yang tinggi, selain filsafat, ilmu-ilmu pasti juga dipelajari secara signifikan. Ini terlihat misalanya pada ilmu perbintangan awal yang merupakan perhitungan bulan hijriyah pada tradisi Islam.8 Bahkan Al-Khawarizmi dengan perhitungan matematisnya mengenai logaritma Algoritma/Algorisme sangat berpengaruh terutama di Barat. Titik Singgung Untuk menghindari kekaburan akan pokok bahasan yang akan diangkat penulis menghadirkan bagian yang menjadi landasan penguat atas jalur priodisasi ontologis. Pada dasarnya yang menjadi titik persoalan islamisasi mengalami kendala dalam ranah praktis adalah penempatan proporsi ontologis. Maksudnya adalah jika penempatan posisi ontologis lain, maka hasil yang akan didapat lain juga. Bahwa semangat zaman moderen di Barat menjadi tidak selaras dengan semangat Islamisasi yang dalam hal ini cetak biru dari semangat zaman moderen di barat. Di sini jelas kekeliruan menjadi yang tak terelakkan karena sedikit demi sedikit kutub ontologi Islam menjadi berubah arah. Adalah penting disadari bahwa di dalam semangat Islam yang paing utama adalah penyaksian akan Allah sebagai Yang Haqq. Karena, hakikat sesuatu—reality of think—pada akhirnya tergantung pada eksistensinya, dan pengetahuan atas sebuah objek pada puncaknya adalah pengetahuan terhadap status ontologisnya dalam rangkaian eksistensi universal yang menentukan seluruh atribut dan kualitasnya.9 Pada keyakinan akan Al-Haqq atau Allah, status ’Ada’ yang dilekatkan pada Tuhan haruslah memenuhi proporsi yang pas. Ibnu Sina membicarakan status ontologis akan ‘Ada’ Yang Haqq. Pembahasan Ibnu Sina mengenai wujud dibagi menjadi tiga—terlepas dari penalaran Aristotelian. Wujud sendiri dipecah menjadi dua kategori: Mumkin al Wujud dan Wajibul Wujud, yang kesemuanya dibahas dalam teori selanjutnya: Wahdatul Wujud. Pada dasarnya menurut pandangan Ibnu Sina, dan yang dikembangkan Mulla Shadra tujuh abad sesudahnya kemudian, segala eksistensi ‘Ada’ adalah merupakan manifestasi dari pancaran Tuhan. Jadi secara esensi dari dari setiap ekistensi itu merupakan pancaran dari satu wujud. Karena setiap eksistensi merupakan sebuah tingkatan dari cahaya wujud; bahwa terdapat kesatuan transenden Wujud (wahdat al-wujud) yang tersembunyi di balik tabir multiplisitas kuiditas—esensi—dan bentuk-bentuk partikular eksistensi.10 Mengenai tiga kategori mumkin dan wajibul wujud yang pertama, jika seseorang melihat kuiditas objek di dalam pikiran dan ia menyadari bahwa itu tidak bisa diterima oleh suatu eksistensi dengan cara apa pun, maka objek tersebut tidak bisa eksis atau tidak bisa ada. Sedangkan prinsip kedua, jika kuiditas sebuah objek berhadapan dengan ekistensi (keberadaan) dan non eksistensi (ketiadaan) dalam posisi yang sama, artinya bisa kontradiksi bisa’ ada’ dan bisa ‘tidak ada’ sebagaimana makhluk dalam Semesta yang serba mungkin dan tidak mungkin. Terakhir, jika kuiditas tidak bisa dipisahkan dari eksistensi, dan non-eksistensinya akan
8
Hal ini berpengaruh sangat luas di dunia Islam. Bahkan di madrasah sepanjang jazirah Arab dan Asia tenggara, termasuk Indonesia sangat memperhatikan sistem astrologi sebagai manifestasi terdekat dari perhitungan matematis. Bahkan ini sangat berpengauh pada Ibn Arabi sehingga Titus Burckhardt memaparkan sistem Atrologi Spiritual Ibn Arabi. 9 Hossein Nasr. Seyyed, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, hlm. 52. 10
Ibid. hlm. 55.
menimbulkan absurditas dan kontradiksi maka ia adalah wujud niscaya (wajib al-wujud), atau Tuhan yang tida bisa tidak ada. Wujud adalah Esensi-Nya, dan Esensi-Nya adalah Wujud.11 Hal ini menjadi penting mengenai subjek kajian tentang ‘Wujud’ itu dalam cakupan epistemologi islam khususnya wilayah ontologis. Karena ‘ada’ secara keseluruhan mencakupi wilayah empiris dan metafisis. Kemudian itulah kenapa sebab saya menyebutkan bahwa tradisi Epistemologi Islam merangkul batasan metafisis yang ditinggalkan Barat. Selanjutnya, sumber otoritas tunggal itu meresap pada Al-Quran dan Sunnah. Jelas di sini yang menjadi modus segala tindak dan gerak adalah pada Yang Maha Tungal. Sumber nilai dan rujukan segala norma tertumpu pada kandungan Quran dan sumber konkret amaliyah sunnat berada pada Muhammad. Sehingga dengan demikian—jika dikerucutkan—tak ada modus segala sesuatu selain berasal dari Allah. Karena apa-apa yang kemudian terealisasikan adalah akibat turunan darinya. Hal ini bukan saja tercermin pada diri Muhammad Al-Amiin sebagai gambaran Islam yang berkonteks (berdarah-daging), tetapi juga meresap pada setiap ide-ide pemikiran pokok para filsuf Islam hingga saat ini. Berbeda dengan Barat yang nyaris mematok titik tumpu segala sesuatunya dengan bermoduskan pada yang tampak: materi. Sehingga apa-apa yang dihasilkan selalu memiliki modus praktis-pragmatis sebagai negosiasi nilai. Dengan demikian spektrum perbedaan yang terbentuk dan menjadi kisruh adalah penerapan ranah epistemologi yang salah. Karenanya keimanan dalam (Islam) ketika ditarik pada tataran yang bersifat pragmatis selalu akan mengalami kendala seperti berubahnya orientasi nilai. Dalam hal ini bukan ke arah yang hakiki dan dasariyah seperti Tuhan (Allah), melainkan pada yang murni kebendaan. Seperti juga yang terjadi di barat, Iman kian disomestifikasi pada benda. Keyakinan pada yang instrumental inilah sumber penyimpangan epistemologi yang terjadi di Islam. Padahal, di dalam fase yang lebih tinggi, al-Ghazali mengungkapkan bahwa sjatinya jika tiap segala sesuatu adalah potensialitas, maka ia menolak diam dan diobjektifikasi atau dianggap ajek. Ia senantiasa berubah dan tak bisa ditangkap dengan skala kuantifikasi, tapi ia hanya dimungkinkan untuk ditangkap oleh Intelek, Ruh, Jiwa yang juga merupakan sebuah potensialitas Ilahiyah.12 Jadi di dalam tradisi Islam, penegasan akan sesuatu hal yang material, itu ditentukan tolak-ukurnya oleh sesuatu yang hakiki dan fundamental. Di titik ini tentu saja berbeda dengan tradisi Barat yang notabene kurang mengindahkan aspek mistik dalam kehidupan. Sialnya intelektualitas Islam mengalami semacam keminderan dalam menghadapi gejolak zaman dan akhirnya pengadopsian sistem epistemologi Barat digalakkan. Hal ini menjadi dilematis dan tumpang-tindih yang efeknya adalah mengalami amnesia pada Yang Hakiki. Dilema Aksiologis a. Ranah Epistemologis Jika hal di atas sudah terjadi, maka yang akan kemudian terjadi—seperti juga telah terjadi di Barat—adalah semakin mengeringnya sumber nilai yang terkandung pada jiwa manusia. Selanjutnya dampak yang akan terjadi tidak tanggung-tanggung akan berpengaruh pada wilayah praktis. Pada mulanya Islamisasi memang menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar untuk egera terealisasikan. Akan tetapi di samping itu, secara tidak sadar Islamisasi menjadi sebuah gerakan 11
Ibid. hlm. 56. Catatan 49: pada poin ini metafisika sufi dapat menambahkan bahwa Esensi Tuhan (dzat) melampaui Wujud yang merupakan swa-penentuan (self determination) atau penetapan (affirmation) pertamanya dan pada saat yang sama merupakan Prinsip Semesta (Principle of Universe). Lihat juga F.Schuon, The Transcendent Unity of Religions (New York, 1953), hlm 53. 12 Lihat Al-Ghazali dalam Misykat Al-Anwar, hlm. 33-36.
yang nyaris mengadopsi—bukan saja semangat Barat—tapi juga seluruh sistem nilai yang terkandung di dalamnya. Ini jelas-jelas menjadi pekerjaan rumah bagi para sarjana muslim untuk mengatasi disorientasi yang selanjutnya akan terjadi ketika Islamisasi dilakukan. Jika tidak segera diatasi, ini akan menjadi kekacauan—selain secara praktis—juga secara epistemologis. Kekacauan ini disebabkan oleh hilangnya visi hierarkis terhadap pengetahuan seperti yang dijumpai dalam sistem pendidikan Islam tradisional.13 Ini tentu saja sebabnya adalah pengadopsian para sarjana muslim pada sistem Barat yang begitu saja tanpa mengindahkan aspek-aspek yang secara fundamental menjadi landasan pendidikan Islam. Pengadopsian kurikulum pengajaran dari Barat yang mewarnai Islamisasi pengetahuan ini akan berdampak pada terputusnya garis intelektual yang berbasis pada tradisi di dunia Islam mengingat bahwa sistem Barat sangatlah tidak mengindahkan hal itu. Karena dalam tradisi Islam, ada suatu hierarki dan kesaling-hubungan antar berbagai disiplin yang memungkinkan relasi kesatuan (keesaan) dalam kemajemukan, bukan hanya dalam wilayah iman dan pengalaman keagamaan tetapi juga dalam dunia pengetahuan. Sehingga subjek (ranah pengetahuan) ini merupakan kunci bagi sistem pendidikan Islam untuk mencegah para pendidik muslim kontemporer melepaskan mata objektif atas kekacauan dan kerancuan yang berkecamuk dalam kurikulum pendidikan saat ini, dengan peniruan buta terhadap model-model Barat yang seringkali terbaur dengan model-model yang tetap hidup dalam sistem madrasah.14 Selanjutnya harus digaris bawahi bahwa pada dasarnya yang menjadi pembedaan di wilayah pengetahuan adalah kenyataan cara pandang tentang ilmu yang berbeda. Dalam Islam, ilmu (al ‘Ilm) dipahami sebagai “pengetahuan tentang sesuatu apa adanya”15 dan pengetahuan seperti ini dibedakan dengan opini (ra’y), yaitu pengetahuan yang diperoleh oleh berdasarkan kesan indra atau pengetahuan yang belum teruji. Dari sudut ini, ilmu hampir dapat disamakan dengan sains sebagai pengetahuan yang sistematis. Meskipun begitu, perlu juga diketahui perbedaannya yang mencolok; sementara sains (di Barat) pada akhirnya dibatasi pada bidangbidang fisik-empiris, ilmu tidak meliputi hanya bidang-bidang fisik, tetapi juga bidang non fisik, seperti matematika dan fisika.16 Dengan itu duduk perkara semangat keilmuan yang dianut baik di Barat dan dalam Islam menjadi terpisah. Dilema epistemologis ini juga secara langsung saling hubung dengan cara pandang dunia muslim tentang realita. Jika pada mulanya keseluruhan kosmik itu hanya termanifestasi oleh Allah dan memuat ketunggalan di dalamnya, maka besar kemungkinan garis demarkasi akan ditarik dari kerangka moderen Barat. Dari hal itu, keterpilahan titik subjek dengan dunia menjadi sangat jelas. Bahwa subjek sebagai satu paket dan realitas menjadi paket lain yang berlainan. Ini jelas berbeda dengan Islam yang menganggap keseluruhan realitas (pada taraf yang paling hakiki) adalah tunggal. Ini sebelumnya dibicarakan dalam skema Ibn Sina, Suhrawardi dan bahkan Ibn al Arabi atau Al Ghazai sekali pun tentang manifestasi dalam gerak inteleksi (al ‘aql) yang berawal pada Yang Tunggal, hingga terciptalah keseluruhan realitas eksternal yang fisik.
13
Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, pada awal pengantar oleh S. H. Nasr. Hlm. 11. 14 Ibid. hlm. 11. 15 Lihat juga Islam sebagai agama samawi yang termanifestasi di bumi sebagaimana adanya. Hal ini terntegrasi di dalam spirit keislaman sendri yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai cermin nilai-nilai propetik dari pancaran Ilahiyah. Ini juga tercermin dalam perkataan Frithjof Schuon dalam bukunya Memahami Islam, “Islam adalah pertemuan antara Allah sebagaimana adanya dengan manusia sebagaimana adanya.” Secara garis besar hal ini dapat diringkas menjadi sebuah folmulasi di dalam inti dari Syahadat ummat Islam. 16 Mulyadhi Kartanegara, menyibak Tirai Kejahatan: Pengantar Epistemologi Islam, terutama pada bagian penutup.
Kosmos dipandang sebagai paduan utuh yang melingkupi seluruh Wujud; sehingga masyarakat manusia harus mengingat kekuasaan Ilahi.17 b. Ranah Praktis Problematika Islamisasi di atas masihlah pada taraf psinsipil (teoritis). Sedangkan pada tataran praktis-empiris hal ihwal Islamisasi menjadi sangat kisruh. Dikatakan kisruh karena orientasi ummat muslim menjadi bergeser dari yang murni Ilahiyah menjadi ‘agak’ meterialis. Tatanan praktis ini hingga sekarang menjadi problem yang menggurita. Dikatakan ‘agak’ materialis bukan tanpa sebab. Pasalnya, modus ini sangat diwarnai dengan kepentingan kelangsungan hidup. Karena jargon yang telah mengakar tunjang di tengah masyarakat sekarang adalah bahwa tanpa materi, kelangsungan hidup menjadi tergadaikan. Seakan-akan dengan demikian kehidupan berlangsung hanya dari sistem kausalitas bendawi. Spirit Islam menjadi kabur. Karena sistem negosiasi manjadi “nyaris” pragmatis (meski belakangan dilabeli sistem syari’ah). Nah, dengan demikian menjadi jelas bahwa Islamisasi menghadapi dilemanya sendiri. Sedang ayatisasi, seperti juga sedang digalakkan, menjadi semacam modus pengesahan yang parsial. Karena tidak jarang ketika hal ini dilakukan di banyak tempat, hanya menjadi tameng dan kepentingan sebagian golongan. Ini tidak terelakkan dan menjadi masalah serius saat ini. Seperti juga masalah di atas, selanjutnya juga ada labelisasi. Pada tingkatan ini permasalahan menjadi sangat bernuansa finansial. Tentu saja dengan demikian ini menjadi semacam kerangka modus yang berbasis syariat. Alih-alih menjadikan segala sesuatu berwarna Islam, malah membuka kesempatan kapitalisasi yang bercokol dalam basis syariat. Ini lucu mengingat bahwa Islamisasi pada akhirnya hanya menjadi tunggangan mereka yang berkepentingan dan para pemodal yang akhirnya dapat menancapkan akar di dalam Islam. Selanjutnya menjadi jelas bahwa implementasi Islamisasi menjadi sangat tanggung di tengah kecamuk semangat kepentingan yang ruhnya tertinggal di belakang. Islam, semakin kesini kian menjelma menjadi agama candu, seperti yang dikatakan Marx18 meski dalam cangkang yang berbeda. Jika pada masa Marx agama menjadi candu karena hanya mengiming-imingi sesuatu yang transenden tanpa sama sekali mengindahkan yang immanen. Sehingga menjadikan manusia pasif dan tidak banyak berbuat. Jaminan-jaminan yang bersifat transenden juga merasuk dalam sendi Islamisasi. Seseorang, misalnya dalam ranah ekonomi, akhirna hanya akan membeli barang kebutuhan sesuai dengan label. Bahkan mungkin ada yang membeli barang yang tidak dibutuhkannya, tapi lebih karena kebutuhan label sebagai jaminan. Seperti label halal yang secara langsung meniscayakan sesuatu yang sah dan diterima Allah tanpa terkecuali. Ini jelas-jelas kejahatan yang berbasis syariat yang terkonstitusi. Seakanakan dengan begitu Tuhan hadir dalam label dan memberikan jaminan, padahal manusia dengan sejumlah kepentinganlah yang mengorientasikan hal itu. Pada pembicaraan awal, hal semacam ini telah digolongkan dalam ranah posmoderen. Yakni berubahnya orientasi seseorang dari yang hakiki menjadi yang sarat cangkang dan tidak berarti. Bedanya, jika posmoderen ditengarai oleh terjadinya kekeringan spiritual sehinga menggugah beberapa pemikir untuk mengembalikan segala sesuatu pada nilai-nilai yang hakiki. Sedangkan di Islam, kekeringan spiritual baru akan dimulai dengan besar-besaran. Dengan demikian masalah Islamisasi menjadi sesuatu yang paradoksal di dalam dirinya. Di satu sisi
17
S.H.Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, dalam kata pengantar oleh Giorgio De Santillana. Andi Muawiyah Ramli, Peta Pemikiran Kalr Marx (materialisme Dialektis dan Materialisme Historis), terutama pada bab I. 18
semangatnya mencerminkan sisi aktual (moderen), tapi di lain pihak Barat telah jauh meninggalkan fase itu dan mengupayakan yang hakiki menjelma kembali. Kembali Ke Serambi Nyaris bisa dikatakan jauh panggang dari api apa yang diupayakan sebagai modus Islamisasi jika hal itu tidak mencerminkan semangat fundamental yang tertanam dalam tubuh Islam sendiri. Hasilnya menjadi kekacauan yang menjelma—disamping memang ada semangat Islamisasi yang benar-benar untuh ingin manampakkan Islam sebagai agama yang aktual—jika sendi-sendi inti dari Islam tidak diketahui benar. Kecemasan ini telah jauh diramalkan Huston Smith, seperti yang dipaparkan pada awalawal tulisan ini. Hal serupa juga dikhawatirkan S. H. Nasr, bahwa pencaplokan begitu saja sistem Barat dengan modus apa pun seperti ayatisasi19 atau pun labelisasi tanpa mengindahkan prinsipprinsip dasar keislaman hanya akan membiaskan semangat Islam itu sendiri. Dan pada akhirnya hanya akan menjadikan Islam terlihat sebagai agama yang main-main dengan kepentingan. Masalah moral mejadi tak tertangguhkan, keadilan dan bahkan ekonomi menjadi benih berbahaya dalam semangat yang salah kaprah. Akhirnya di sini dapat ditarik kerangka simpulan yang bersifat sementara. Bahwa yang paling fundamental harus ditekankan (terutama dalam Islamisasi) adalah semangat Islam yang terefleksikan dalam kerangka epistemologi yang utuh sebagai sebuah kesatuan kosmis yang terintegrasi pada sendi kehidupan. Dan, tentu saja ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu kritik yang dialektis hermeneutis (ijtima’ wal ijtihad) yang tanpa pretensi.[]
19
Dalam hal ini usaha Maurice Bucaille untuk menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran sangat aktual dalam dunia sains dan menunjukkan bahwa kebenaran-kebenarannya dipertanggungjawabkan secara ilmiah demi mengupayakan natidjah (kesimpulan) yang mendukung Ayatisasi meski secara tidak langsung, harus dibedakan terlebih dahulu. Lihat Maurice Bucaille, Bibel, Quran dan Sains Moderen.
Bibliografi:
Murthahhari. Murthadha, Mengenal Epistemologi, Lentera. Jakarta, 2001 Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Mizan. Bandung, 1998. Hossein Nasr. Seyyed, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, Ircisod. Jogjakarta, 2006 Al-Ghazali , Misykat Al-Anwar, terjemah penerbit Mizan. Bandung, 1985.
Hossein Nasr. Seyyed, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam:buku pertama, Mizan. Bandung, 2003 Hossein Nasr. Seyyed, Sains Dan Peradaban, Pustaka. Bandung, 1996. Gulsyani Mahdi, Filsafat-Sains Menurut Al-Quran, Mizan. Bandung, 1996. Bucaille Maurice, Bibel, Quran dan Sains Modere, Bulan Bintang. Jakarta, 2002. M. T. Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, Mizan. Bandung, 2003. Smith Huston, Ajal Agama di tengah Kedigdayaan Sains?, Mizan. Bandung, 2003. Burckhardt Tittus, Astrologi Spiritual Ibn Arabi, Risalah Gusti. Surabaya, 2001. Kartanegara. Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Mizan. Bandung, 2003. Schuon Frithjof, Memahami Islam, Pustaka. Bandung, 1994. Sudarminta. J, Epistemologi Dasar: pengantar filsafat pengetahuan, Kanisius. Jogyakarta, 2002. Hardi. Hardono, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Kanisius. Jogyakarta, 2010. Descartes. R, Diskursus Metode, IRCiSoD. Yogyakarta, 2003. Russell Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar. Jogjakarta, 2007. Muawiyah Ramly Andi, Peta Pemikiran Karl Marx (Materialisme Dialektis Dan Materialisme Historis), LkiS. Jogja, 2009. Bagus. Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia. Jakarta, 2000.