perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
EKSTRAK ANTOCYANIN BUNGA SEPATU (Hibiscus rosa sinensis L) SEBAGAI FOTOSENSITIZER PADA SEL SURYA BERBASIS TITANIUM DIOKSIDA (TiO2)
Disusun oleh:
NOOR ASHFIA ROSYIDA M 0207007
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Fisika
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Januari, 2012 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan judul : Ekstrak Antocyanin Bunga Sepatu (Hibiscus Rosa Sinensis L) Sebagai Fotosensitizer Pada Sel Surya Berbasis Titanium Dioksida (TiO2) Yang ditulis oleh : Nama : Noor Ashfia Rosyida Nim
: M0207007
Telah diuji dan dinyatakan lulus oleh dewan penguji pada Hari
: Senin
Tanggal : 16 Januari 2012 Dewan Penguji : 1.
Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D ................................ NIP. 19680508 199702 1 001
2.
Sorja Koesuma, S.Si, M.Si ............................... NIP. 19720801 200003 1 001
3.
Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc, Ph.D ............................... NIP. 19610223 198601 1 001
4.
Drs. Harjana, M.Si, Ph.D ............................... NIP. 19590725 198601 1 001
Disahkan oleh: Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta Ketua Jurusan Fisika commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D NIP. 19680508 199702 1 001
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa isi intelektual saya yang berjudul “EKSTRAK ANTOCYANIN BUNGA SEPATU (Hibiscus rosa sinensis L) SEBAGAI FOTOSENSITIZER PADA SEL SURYA BERBASIS TITANIUM DIOKSIDA (TiO2)” adalah hasil kerja saya atas arahan pembimbing dan sepengetahuan saya hingga saat ini, isi skripsi tidak berisi materi yang telah dipublikasikan atau ditulis oleh orang lain atau materi yang telah diajukan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan di Universitas Sebelas Maret atau di Perguruan Tinggi lainnya, jika ada maka telah dituliskan di daftar pustaka skripsi ini dan segala bentuk bantuan dari semua pihak telah ditulis di bagian ucapan terimakasih. Isi skripsi ini boleh dirujuk atau difotokopi secara bebas tanpa harus memberitahu penulis.
Surakarta, 3 Januari 2012
NOOR ASHFIA ROSYIDA
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
EKSTRAK ANTOCYANIN BUNGA SEPATU (Hibiscus rosa sinensis L) SEBAGAI FOTOSENSITIZER PADA SEL SURYA BERBASIS TITANIUM DIOKSIDA (TiO2)
Noor Ashfia Rosyida Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret
Ekstrak antocyanin bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L) sebagai fotosensitizer pada sampel sel surya berbasis TiO2 telah dibuat. Pengujian UV – VIS menunjukkan ekstrak antocyanin yang dihasilkan memiliki kemampuan serapan di daerah cahaya tampak. Bubuk TiO2 pada penelitian ini dibuat dengan metode sol-gel dengan suhu kalsinasi 600°C dan dikarakterisasi menggunakan XRD dan XRF. Hasil XRD menunjukkan fase kristal bubuk TiO2 yang dihasilkan adalah anatase-rutile dengan ukuran partikel kristal 9,58 nm. Hasil XRF menunjukan kandungan bubuk TiO2 yang dibuat 98,67 wt%. Lapisan TiO2 dibuat dengan metode slip casting dengan ketebalan yang berbeda. Hasil SEM dari lapisan TiO2 menunjukkan ukuran dari rerata rongga (0,62 ± 0,04) μm. Sampel sel surya yang dibuat memiliki luas 2 cm2 direndam dengan dye antocyanin selama 24 jam. Sel – sel ini diuji dengan 2 pengujian, yaitu menggunakan rangkaian dan menggunakan Keithley. Dimana pengujian menggunakan rangkaian pada ketebalan lapisan TiO2 (4,8 ± 0,3) μm sel surya memiliki efisiensi paling tinggi yaitu 2,5 x 10-4 %. Sementara pengujian pada efisiensi paling tinggi dengan menggunakan Keithley system source 2602A dihasilkan oleh sel surya dengan lapisan TiO2 pada ketebalan (4,7 ± 0,3) μm, yaitu sebesar 3,0 x 10-3 %.
Kata kunci : sel surya TiO2 tersensitisasi dye, dye alami, lapisan TiO2 commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANTOCYANIN EXTRACT OF HIBISCUS (Hibiscus rosa sinensis L) AS A PHOTOSENSITIZER ON SOLAR CELLS BASED ON TITANIUM DIOXIDE (TiO2)
Noor Ashfia Rosyida Department of Physics, Faculty of Science Sebelas Maret University
ABSTRACT
Antocyanin extract of hibiscus (Hibiscus rosa sinensis L) as a photosensitizer in TiO2 dye sensitized solar cells based on TiO2 sample have been made. Testing by UV - VIS showed that antocyanin extract has the absorption ability in the visible region. TiO2 powder in this reasearch was prepared by sol-gel method with calcination temperature of 600 °C and characterized using XRD and XRF. XRD results showed that TiO2 powder crystal phase is anatase-rutile with the particle size of crystal of 9,58 nm. The characterization of TiO2 powder using XRF showed the number of TiO2 content of 98,67 wt%. TiO2 layer prepared by slip casting method with different thickness. SEM results of TiO2 layers showed the average cavity size of (0,62 ± 0,04) μm. Samples of solar cells made a 2 cm2 area with dye antocyanin soaked for 24 hours. These samples were tested with two test , circuit test and Keithley test. Where testing using the circuit, in TiO2 layer thickness of (4,8 ± 0,3) μm solar cells have the highest efficiency of 2,5 x 10-4 %. While testing using Keithley system source 2602A at a thickness of TiO2 layer (4,7 ± 0,3) μm, produces solar cells with a efficiency of 3,0 x 10-3 %.
Key words : TiO2 dye sensitized solar sel, organic dye, TiO2 layer
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Allah-lah yang menundukkan laut untukmu agar kapal – kapal dapat berlayar di atasnya dengan perintah-Nya, dan agar kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur. (QS. Al-Jasiyah:12) Tidak semua yang kita perhitungkan itu dapat dihitung, dan tidak semua yang kita hitung itu tidak dapat diperhitungkan. (Albert Einstein)
PERSEMBAHAN
Dengan rahmat Allah SWT, karya bersampul biru ini kupersembahkan kepada: 1. Mami dan bapakku, yang senantiasa mendoakanku, atas kepercayaan serta cinta kasih yang tiada surut untuk ananda. 2. Suamiku , Hafidz Arif Purwanto yang setahun ini menemaniku mengeja warna pelangi, antara langit JAWA – PAPUA. 3. Adikku tercinta, Vathoni Zida Ulhax yang dengan unik selalu memberiku semangat. 4. Almamater yang kubanggakan, UNS, izinkan aku memeluk pelangi dengan namamu.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala atas karunia dan hidayah – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Sains dari Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Sebelas Maret surakarta. Dalam penyusunan laporan ini, penulis tidak lepas dari bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1. Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc., Ph.D selaku Pembimbing Akademik dan Pembimbing I yang telah banyak memberikan hal – hal yang tidak terduga. Semoga Allah membalas kebaikan beliau. 2. Drs. Harjana, M.Sc., Ph.D selaku Pembimbing II yang telah memberikan kemudahan dan motivasi serta saran dalam penyelesaian skripsi. 3. Latifa dan Khoiruddin, terimakasih atas diskusi dan motivasinya. Merry Yuliani, Peny Rizky Riandini dan Sheptya Pritta Murni semoga persahabatan ini kekal abadi. 4. Keluarga baru di Solo, terimakasih atas segala kasih sayang, dan do’anya. 5. Angkatan 2007 atas kebersamaanya, serta seluruh rakyat Fisika FMIPA UNS mari terus berkarya untuk Indonesia tercinta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.Untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun demi hasil yang lebih baik lagi. Penulis juga berharap semoga laporan in dapat bermanfaat dan memberi tambahan ilmu bagi pembaca.
Surakarta, 3 Januari 2012
commit to user
vii
Noor Ashfia Rosyida
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iii HALAMAN ABSTRAK ............................................................................... iv HALAMAN ABSTRACT ............................................................................. v HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................... vi KATA PENGANTAR ................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................. viii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................ 1 1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah................................................................ 4 1.3. Batasan Masalah ..................................................................... 4 1.4. Tujuan Penelitian ................................................................... 5 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................. 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 6 2.1. Energi Surya .......................................................................... 6 2.2. Sel Surya ............................................................................... 7 2.2.1. Umum ....................................................................... 7 2.2.2. Prinsip Kerja Sel Surya ............................................. 8 2.2.3. Performa Sel Surya ................................................... 10 2.3. DSSC (Dye Sesitized Solar Cell) .......................................... 11 2.3.1. Umum ........................................................................ 11 2.3.2. Perkembangan DSSC................................................. 11 2.3.3. Prinsip Kerja DSSC .................................................. 13 commit to user 2.3.4. Material DSSC .......................................................... 15
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.3.4.1. Substrat ....................................................... 15 2.3.4.2. Titanium Dioxide (TiO2) ............................. 15 2.3.4.3. Dye .............................................................. 18 2.3.4. 3.1. Antocyanin .......................................... 18 2.3.4.4 Elektrolit ...................................................... 19 2.3.5. Fabrikasi DSSC ........................................................ 19 2.4. X-Ray Difraction (XRD) ...................................................... 20 2.5. X-Ray Fluorescense (XRF) .................................................. 23 2.6. Scanning Electron Microschopy (SEM) .............................. 23 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN ............................................... 24 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 24 3.2. Alat dan Bahan ...................................................................... 24 3.2.1. Alat penelitian ........................................................... 24 3.2.2. Bahan Penelitian ....................................................... 25 3.3. Diagram Penelitian ................................................................ 26 3.3.1. Persiapan .................................................................... 26 3.3.2.Pembuatan Bubuk TiO2 dengan Metode Sol Gel ....... 27 3.3.2.1. Karakterisasi Kandungan Bubuk TiO2 ............... 28 3.3.2.2. Karakterisasi Struktur Kristal Bubuk TiO2 ........ 29 3.3.3. Ekstraksi Dye Antocyanin Bunga Sepatu .................. 29 3.3.3.1.Karakterisasi Absorbansi Ekstrak Bunga Sepatu 30 3.3.4. Pembuatan Lapisan TiO2 ........................................... 31 3.3.4.1. Pembuatan Pasta TiO2 ......................................... 31 3.3.4.2. Pembuatan Lapisan TiO2 ..................................... 31 3.3.4.3. Karakterisasi Morfologi Lapisan TiO2 ................ 33 3.3.4.4. Perhitungan Ketebalan Lapisan TiO2 .................. 33 3.3.4.5. Karakterisasi Absorbansi Lapisan TiO2 dan Dye 34 3.3.5. Pembuatan Counter Elektroda .................................. 34 3.3.6. Fabrikasi DSSC ......................................................... 35 3.3.7.Pengujian Karakteristik I-V dan Efisiensi DSSC ....... 36 commit to user 3.3.7.1. Pengujian dengan Rangkaian ............................. 37
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.3.7.2. Pengujian dengan Keithley ............................... 38 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 39 4.1. Analisis Bubuk TiO2 dengan XRF ......................................... 39 4.2. Analisis Bubuk TiO2 dengan XRD ....................................... 40 4.3. Analisis Lapisan TiO2 dengan SEM ....................................... 44 4.4. Karakterisasi Absorbansi Ekstrak Bunga Sepatu ................... 40 4.5. Karakterisasi Absorbansi Lapisan TiO2 dan Dye ................... 45 4.7. Karakterisasi I-V Pada Sistem Sel Surya ............................... 46 4.6.1. Karakterisasi I-V dengan Rangkaian .............................. 46 4.6.2. Karakterisasi I-V dengan Keithley .................................... 49
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 55 5.1. Kesimpulan ............................................................................ 55 5.2. Saran....................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 57 LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................... 60
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Potensi Sumber Energi Baru Terbarukan..............................................1 Tabel 4.1. Kandungan Bubuk TiO2 Dengan Suhu Kalsinasi 600°C......................40 Tabel 4.2. Hasil Pengukuran Arus-Tegangan Sistem Sel Surya Berbasis ............48 Sensitizer Ekstrak Antocynin Bunga Sepatu dengan Rangkaian. Tabel 4.3. Hasil Pengukuran Arus-Tegangan Sistem Sel Surya Berbasis ............53 Sensitizer Ekstrak Antocynin Bunga Sepatu dengan Keithley.
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Perbandingan Spektra Energi Radiasi Sebagai Fungsi Panjang Gelombang dari Matahari untuk Kondisi Tepat di Atas Atmosfer Bumi,
BlackBody,
dan
Pada
Permukaan
Bumi ...............................................................................................7 Gambar 2.2. Struktur Sel Surya Silikon Sambungan p-n ...................................... 8 Gambar 2.3. Cara Kerja Sel Surya Silikon ............................................................ 9 Gambar 2.4. Bentuk Khusus dari Kurva I-V Solar Cell ...................................... 10 Gambar 2.5. Struktur dan Komponen DSSC....................................................... 13 Gambar 2.6. Skema Kerja dari DSSC................................................................. 14 Gambar 2.7. Struktur Kristal TiO2 Anatase........................................................ 16 Gambar 2.8. Struktur Kristal TiO2 Rutile............................................................ 16 Gambar 2.9. Posisi Pita Energi Semikonduktor................................................... 17 Gambar 2.10. Struktur Kimia Antocyanin........................................................... 19 Gambar 2.11. Struktur DSSC Menggunakan TCO.............................................. 20 Gambar 2.12. Struktur Sandwich DSSC.............................................................. 20 Gambar 2.13. Difraksi Sinar-X Pada Kristal........................................................ 21 Gambar 2.14. Prinsip Pengukuran dengan XRF.................................................. 22 Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian.................................................................. 26 Gambar 3.2. Alat dan Bahan Pembuatan TiO2 dengan Metode Sol-Gel............. 28 Gambar 3.3. Bunga Sepatu.................................................................................. 29 Gambar 3.4. Serbuk Bunga Sepatu Kering.......................................................... 30 Gambar 3.5. Hasil Ekstraksi Dye Antocyanin Bunga Sepatu.............................. 30 Gambar 3.6. UV-Vis Spektrometer Lambda 25................................................... 31 Gambar 3.7. Ilustrasi Ukuran Scoth Tape.............................................................32 Gambar 3.8. Proses Pemanasan Lapisan Tipis TiO2............................................ 33 Gambar 3.9. Lapisan TiO2 Setelah Melalui Perendaman.................................... 34 Gambar 3.10. Pembuatan Counter Elektroda dengan Jelaga Lilin...................... 35 Gambar 3.11. Penentuan Screen Area Counter Elektroda................................... 35 commit to user Gambar 3.12. Counter Elektroda.......................................................................... 35
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 3.13. Pemasangan Keyboard Protector untuk Mencegah Short.............. 36 Gambar 3.14. Struktur DSSC Pada Penelitian Ini................................................ 36 Gambar 3.15. Kontak Pada DSSC yang Dibuat.................................................... 37 Gambar 3.16. DSSC yang Telah Difabrikasi dengan Antocyanin Bunga Sepatu sebagai Sensitizer......................................................................... 37 Gambar 3.17. Rangkaian untuk Pengujian I-V DSSC.......................................... 38 Gambar 3.18. Pengujian I-V pada DSSC Menggunakan Keithley 2602A system source .......................................................................................... 39 Gambar 4.1. Grafik Hasil Uji XRF untuk TiO2 dengan Suhu 600°C................... 40 Gambar 4.2. Pola XRD Bubuk TiO2.................................................................... 43 Gambar 4.3. Morfologi Permukaan Lapisan TiO2 (A) pada Perbesaran 1000x, (B) pada Perbesaran 5000x................................................................... 44 Gambar 4.4. Spektra Absorbansi Dye Antocyanin Bunga Sepatu....................... 45 Gambar 4.5. Spektrum absorbans (a) dye antocyanin bunga sepatu; elektroda TiO2 setelah perendaman dengan ketebalan lapisan TiO2 (b) sampel A 1,3 ± 0,6 μm, (c) sampel B 2,7 ± 0,4 μm, (d) sampel C 3,8 ± 0,4 μm, (e) sampel D 4,8 ± 0,3μm..................................................................... 47 Gambar 4.6. Kurva Karakterstik Arus (I) dan Tegangan (V) hasil pengujian dengan rangkaian pada sel surya berbasis sensitizer ekstra antocyanin bunga sepatu variasi ketebalan lapisan TiO2 ................ 48 Gambar 4.7. Kurva karakterstik arus (I) dan tegangan (V) melalui pengujian dengan Keithley pada sel surya berbasis sensitizer ekstrak antocyanin bunga sepatu variasi ketebalan lapisan TiO2 ................ 53 Gambar 4.8. Kurva karakteristik arus – tegangan saat gelap dan terang.............. 54
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Penentuan Ketebalan Lapisan ...........................................................61 Lampiran 2. Data JCPDF Kristal TiO2 Fase Anatase dan Rutile ..........................64 Lampiran 3. Perhitungan Ukuran Partikel Dengan Rumus Schereer.....................65 Lampiran 4. Perhitungan Ukuran Rongga Hasil SEM...........................................66
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar belakang Energi fosil khususnya minyak bumi, merupakan sumber energi utama dan
devisa negara. Namun konsumsi energi listrik yang terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk menyebabkan berkurangnya cadangan energi fosil (khususnya minyak bumi) di Indonesia. Oleh karena itu penyediaan energi di masa depan merupakan permasalahan yang senantiasa menjadi perhatian, sebab bagaimanapun juga kesejahteraan manusia dalam kehidupan modern sangat terkait dengan jumlah dan mutu energi yang dimanfaatkan. Bertolak dari hal tersebut dan juga kesadaran untuk melestarikan lingkungan menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari alternatif penyedia energi listrik yang dapat mengurangi ketergantungan dari penggunaan energi fosil (khususnya minyak bumi) dengan memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat yang tentunya ramah lingkungan. Indonesia memiliki kekayaan alam melimpah yang diantaranya bisa digunakan sebagai sumber energi terbarukan, seperti yang tersaji dalam tabel 1.1. Tabel 1.1. Potensi Sumber Energi Baru Terbarukan di Indonesia (Kemenristek, 2006) Energi Non Fosil
Potensi
Kapasitas Terpasang
Tenaga Air
75,67 GW
4,2 GW
Panas Bumi
27,14 GW
0,852 GW
Micro Hydro
0,46 GW
0,084 GW
Biomassa
49,81 GW
0,302 GW
Tenaga Surya
4,80 kWh/m2/hari
0,008 GW
Tenaga Angin
9,29 GW
0,0005 GW
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
Dari beberapa sumber energi terbarukan yang tersaji pada tabel 1.1, tenaga surya merupakan sumber energi yang potensial bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa yaitu 6°LU 11°LS dan 95°BT - 141°BT sehingga tingkat radiasi matahari di Indonesia sangat tinggi yaitu sebesar 4,80 – 5,10 kWh/m2/hari dengan variasi bulanan ± 9% (Heriyanti, 2006). Selain itu energi matahari tidak bersifat polutif dan tidak dapat habis, yang mendukung untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan pengganti energi fosil. Dengan menggunakan efek fotovoltaik, cahaya matahari dapat diubah secara langsung menjadi energi listrik. Pirantinya dikenal dengan nama solar cell atau sel surya. Sel surya dapat dikategorikan menjadi dua macam menurut bahan penyusunnya, yaitu sel surya organik dan anorganik. Sel surya anorganik tersusun atas bahan anorganik tipe n dan tipe p, seperti silikon dan senyawa semikonduktor dimana strukturnya disusun oleh p-n junction. Generasi pertama sel surya, lapis tunggal dioda p-n junction dan generasi kedua sel surya yang menggunakan lapis ganda dioda p-n junction termasuk dalam kategori sel surya anorganik. Sel-sel tersebut biasanya terbuat dari silikon (Si). Sel surya berbasis silikon tersebut telah berhasil mendominasi pasar dengan mangsa pasar sekitar 82% dan efisiensi lab dan komersil berturut-turut yaitu 24,7% dan 15% . Meskipun demikian, keterbatasan suplai bahan baku silikon serta biaya produksi dan proses fabrikasi yang tinggi telah membatasi penggunaan piranti fotovoltaik konvensional ini. Hingga akhirnya, sel surya organik, sel surya generasi ketiga yang berbasis nanoteknologi mulai dikembangkan. Sistem ini pertama kali dikenalkan oleh Gratzel pada tahun 1991 yang dinamakan sel surya tersensitisasi dye atau dyesensitized solar cell (DSSC) (Halme, 2002). Sel-sel ini lebih sederhana dan lebih mudah dibuat dari material organik yang tidak mahal dan tidak sulit diperoleh di pasaran serta tidak memerlukan bahan dengan kemurnian tinggi, sehingga dapat menekan biaya produksi yang kemudian menjadi solusi dari kelemahan sel surya berbasis silikon. Berbeda dengan sel surya anorganik yang semua proses melibatkan bahan commit cahaya to user dan separasi muatan listrik tidak silikon itu sendiri, pada DSSC absorpsi
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
terjadi pada bahan yang sama. Absorpsi cahaya dilakukan oleh molekul zat warna atau dye dan separasi muatan oleh semikonduktor anorganik nanokristal yang memiliki celah pita besar. Salah satu semikonduktor yang sering digunakan adalah TiO2 (Titanium Oksida) yang memiliki struktur mesopori. Semikonduktor titania memiliki energi gap sebesar 3,2 eV dan menyerap sinar pada daerah ultraviolet. Material ini dipilih karena memiliki banyak keuntungan diantaranya murah, pemakaian luas, tidak beracun, serta banyak pula digunakan sebagai bahan dasar pembuatan produk-produk kesehatan serta sebagai pigmen cat (Gratzel, 2003). Gratzel pada tahun 1991 menemukan bahwa TiO2 yang disensitasi oleh zat warna atau dye dalam larutan elektrolit dapat menghasilkan arus listrik dengan efisiensi 7,1 %. Ketebalan lapisan TiO2 berpengaruh terhadap banyaknya dye yang dapat teradsorpsi. Semakin tebal lapisan TiO2 maka akan semakin banyak dye yang teradsorbsi karena seiring bertambahnya partikel TiO2 maka akan semakin banyak dye yang terikat pada partikel TiO2. Sehingga hal ini akan mempengaruhi kinerja dari sel DSSC yang dibuat. Penyerapan dye dilakukan dengan melakukan perendaman terhadap lapisan tipis TiO2 selama beberapa waktu tertentu (Meen et.al., 2009). Sejauh ini dye yang digunakan sebagai sensitizer dapat berupa dye sintesis maupun dye alami. Dye sintesis umumnya menggunakan organik logam berbasis ruthenium complex. Walaupun dengan menggunakan dye tersebut telah mencapai efisiensi 10%, namun ketersediaan dan harganya sangat mahal. Sedangkan dye alami dapat diekstrak dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, atau buah. Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosentizer pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Dye-sensitizer alami yang pernah digunakan dalam sistem DSSC diantaranya yaitu buah buni (Pangestuti, 2009), bunga rosella (Wongcharee et.al., 2006), kol merah (Maddu dkk, 2007) dan lain-lain. Zat warna alami tersebut telah terbukti mampu memberikan efek fotovoltaik walaupun efisiensi yang dihasilkan masih jauh lebih kecil dibandingkan zat warna sintetis. Meskipun demikian, zat warna organik sangat commit to user kompetitif untuk dijadikan sensitizer karena biaya produksinya yang murah dan
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
proses isolasinya juga lebih mudah, selain itu dye organik tidak mengandung logam-logam mulia seperti halnya dye Ruthenium. Karakteristik penting dari bahan dye yang digunakan yaitu mampu menyerap spektrum cahaya yang lebar dan cocok dengan pita energi titania. Senyawa antocyanin yang terdapat pada tumbuhan ternyata mampu dijadikan sebagai
sensitizer (Wongcharee et.al., 2006). Bunga sepatu (Hibiscus rosa
sinensis L) merupakan salah satu tumbuhan yang mengandung antocyanin yang terdapat pada bagian kelopak (Permana, 2010). Sehingga bisa dimanfaatkan sebagai dye-sensitizer pada sel surya jenis DSSC. Dalam penelitian ini akan dilakukan fabrikasi DSSC dengan pengujian karakteristik optik dan I-V dari dye antocyanin bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L), serta pengaruh variasi ketebalan lapisan tipis TiO2 terhadap efisiensi DSSC tersebut.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik absorbansi dari ekstrak bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L) yang akan digunakan sebagai dye? 2. Bagaimana pengaruh variasi ketebalan lapisan tipis TiO2 terhadap efisiensi
DSSC?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Membuat prototipe DSSC yang dapat mengkonversi energi surya menjadi energi listrik. 2. Menentukan karakteristik absorbansi (serapan) dye dari ekstrak bunga sepatu ( Hibiscus rosa sinensis L). 3. Menentukan efisiensi DSSC yang telah dibuat dengan variasi ketebalan lapisan tipis TiO2. commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.4
Batasan Masalah Penelitian ini diberi batasan sebagai berikut: 1. Dye pada penelitian ini merupakan hasil ekstraksi bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L). 2. Karakterisasi absorbansi pada dye ekstrak bunga sepatu menggunakan Spektrometer UV-Vis. 3. Pasta TiO2 dilapiskan pada FTO menggunakan metode slip casting pada fabrikasi DSSC, selanjutnya dilakukan penentuan ketebalan lapisan tipis TiO2 dengan metode by weight , pengujian karakteristik IV serta penentuan efisiensi DSSC yang melibatkan tiga faktor hasil kurva karakteristik I-V.
1.5
Manfaat Penelitian Teknologi
pembuatan
DSSC
(Dye-Sensitized
Solar
Cell)
yang
dikembangkan pada penelitian ini bisa menjadi kajian untuk penelitian lebih lanjut terutama mengenai ketebalan optimal dari lapis tipis TiO2 sehingga menghasilkan sel surya yang mempunyai performansi lebih baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Energi Surya Energi surya adalah radiasi yang diproduksi oleh reaksi fusi nuklir pada
inti matahari. Matahari mensuplai hampir semua panas dan cahaya matahari yang diterima bumi. Energi surya terpancar hingga ke bumi berupa paket-paket energi yang disebut foton. Dalam kaitannya dengan sel surya, terdapat dua parameter penting dalam energi surya: pertama intensitas radiasi, yaitu jumlah daya matahari yang datang kepada permukaan per luas area, dan karakteristik spektrum cahaya matahari (Smestad,et.al., 1998). Jumlah rata-rata sinar matahari di luar atmosfir bumi disebut sebagai solar constant. Pengukurannya dilakukan oleh beberapa satelit yang menunjukkan bahwa solar constant bernilai 1365 W/m2. Namun setelah disaring oleh atmosfir bumi beberapa spektrum cahaya hilang dan intensitas puncak radiasi menjadi 1000 W/m2.
Intensitas sinar matahari ke bumi bervariasi karena orbit bumi
mengitari matahari adalah elips. Data energi surya untuk kepentingan ekonomis umumnya direpresentasikan dalam insolation yang memiliki satuan kWh/hari/m2. Sedangkan hubungan antara insolation dengan intensitas radiasi ditunjukkan oleh persamaan 2.1.
1 𝑖𝑛𝑠𝑜𝑙𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 =
1 24
× 103 ×
𝑊
(2.1)
𝑚2
Sebagai contoh untuk nilai insolation 6 kWh/hari/m2, maka nilai intensitas radiasi adalah 250W/m2. Radiasi surya yang dipancarkan dari fotoshpere matahari pada temperatur 6000K, yang memberikan distribusi spektrumnya mirip dengan distribusi spektrum black body. Dengan melalui atmoshpere bumi, radiasi surya mengalami commit to user
6
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pelemahan oleh berbagai partikel diantaranya molekul udara, debu dan lain-lain sehingga menghasilkan spektrum gambar 2.1.
Gambar 2.1. Perbandingan spektra energi radiasi sebagai fungsi panjang gelombang dari matahari untuk kondisi tepat di atas atmosfer bumi, black body, dan pada permukaan bumi.( Septina, 2010). 2.2.
Sel Surya
2.2.1. Umum Sel surya atau Photovoltaic (PV) cell adalah sebuah peralatan yang mengubah energi matahari menjadi listrik oleh efek fotovoltaik. Photovoltaic merupakan kajian bidang teknologi dan riset yang berhubungan dengan aplikasi energi surya sebagai sel surya. Photovoltaic berasal dari Bahasa Yunani yang merupakan kombinasi kata light, photo, dan voltaic dari nama Alessandro Volta (Pagliaro dalam Wijayanti, 2010). Sebagaimana telah diketahui bahwa cahaya tampak maupun yang tidak tampak memiliki dua buah sifat yaitu berperilaku sebagai gelombang dan dapat sebagai partikel yang disebut sebagai foton. Penemuan ini pertama kali diungkapkan oleh Einstein pada tahun 1905. Energi yang dipancarkan oleh sebuah cahaya dengan panjang dan frekuensi foton satu gelombang 𝜆 dirumuskan dengan persamaan :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
𝐸 = ℎ. 𝑐/𝜆
8 digilib.uns.ac.id
(2.2)
Dengan h adalah tetapan Plancks (6.62×10-34 J.s) dan c adalah kecepatan cahaya vakum (3,00×108 m/s). Persamaan di atas juga menunjukkan bahwa foton dapat dilihat sebagai partikel energi atau sebagai gelombang dengan panjang gelombang dan frekuensi tertentu. 2.2.2. Prinsip kerja sel surya Prinsip kerja sel surya adalah berdasarkan konsep semikonduktor p-n junction. Sel terdiri dari lapisan semikonduktor doping-n dan doping-p yang membentuk sambungan (junction) p-n, lapisan antirefleksi, dan substrat logam sebagai tempat mengalirnya arus dari lapisan tipe-n (elektron) dan tipe-p (hole). Hal ini dapat dilihat pada struktur sel surya Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Struktur sel surya silikon sambungan p-n (Halme, 2002). Material semikonduktor dapat dibedakan atas dua jenis yaitu yang memiliki celah pita energi langsung (direct bandgap) dan celah pita energi tidak langsung (indirect bandgap). Silikon adalah material semikonduktor dengan indirect bandgap, dimana energi minimum pada pita konduksi dan energi maksimum pada pita valensi terjadi pada harga momentum kristal yang berbeda . Sehingga diperlukan adanya energi foton yang lebih besar dari enegi gap agar terjadi transisi langsung dari pita valensi ke pita konduksi. Namun demikian transisi dapat terjadi pada harga energi lebih rendah, yaitu dengan memberi commityang to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengotor pada silikon. Pengotor akan menciptakan sebuah tingkatan energi diantara pita konduksi dan pita valensi. Proses pemberian pengotor tersebut dinamakan doping. Silikon didoping dengan unsur golongan V sehingga terdapat kelebihan elektron valensi, sebagai semikonduktor tipe – n. Pada sisi lain semikonduktor tipe-p diperoleh dengan doping unsur golongan III sehingga elektron valensinya defisit satu dibanding atom sekitar. Ketika dua tipe material tersebut mengalami kontak maka kelebihan elektron tipe-n berdifusi ke tipe-p sehingga area doping-n akan bermuatan positif sedangkan area doping-p akan bermuatan negatif. Medan elektrik yang terjadi antara keduanya mendorong elektron kembali ke daerah-n dan hole ke daerah-p. Pada proses ini telah terbentuk sambungan p-n. Dengan menambahkan kontak logam pada area p dan n maka telah terbentuk dioda.
Gambar 2.3. Cara kerja sel surya silikon (Halme, 2002).
Ketika sambungan disinari foton dengan energi yang sama atau lebih besar dari lebar pita energi material tersebut akan menyebabkan eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi dan akan meninggalkan hole pada pita valensi. Elektron dan hole ini dapat bergerak dalam materi sehingga menghasilkan pasangan elektron-hole. Apabila ditempatkan hambatan pada terminal sel surya, maka elektron dari area-n akan kembali ke area-p sehingga menyebabkan perbedaan potensial dan arus akan mengalir. Skema kerja sel surya silikon ditunjukkan pada Gambar 2.3.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
2.2.3. Performa Sel Surya Performa pada sel surya dapat dilihat berdasarkan efisiensi konversi energi cahaya ke energi listrik. Efisiensi konversi energi secara keseluruhan diperoleh dari kurva arus - tegangan (I-V) yang melibatkan 3 parameter sel surya : 1. Arus hubung pendek (short circuit current, Isc) yang secara ideal sama dengan arus yang dihasilkan cahaya dan dapat juga disebut short circuit current density, Jsc yang melibatkan daerah aktif sel. 2. Tegangan (open circuit voltage, Voc) dan 3. Fill factor (FF) Tiga parameter tesebut dihitung dari kurva karakteristik arus - tegangan (I-V) dari sel surya. Pada kurva I-V sumbu vertikal menunjukkan arus dan sumbu horizontal menunjukkan tegangan (voltase). Kurva karakteristik I-V ditunjukkan pada gambar 2.4.
Gambar 2.4. Bentuk kurva I-V solar cell (Kartini dalam Heriyanti, 2006) Kurva I-V melewati 2 titik penting yaitu ketika sel dalam kondisi short circuit, arus maksimum atau arus short circuit (Isc) dihasilkan, sedangkan pada kondisi open circuit tidak ada arus yang dapat mengalir sehingga tergangannya maksimum, disebut tegangan open-circuit (Voc). Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik daya maksimum atau Maximum Power Point (MPP). Imax dan Vmax adalah arus dan tegangan untuk energi maksimum yang terjadi ketika hasil kali arus dan tegangan bernilai maksimum. Tidak ada energi yang dihasilkan ketika terjadi Voc ataupun Isc. Energi commit to user maksimum terjadi di daerah antara kedua titik tersebut. Titik saat terjadi energi
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
maksimum menunjukkan efisiensi maksimum dalam sistem sel surya yang mengubah cahaya menjadi listrik. Sedangkan fill factor (FF) merupakan ukuran perbandingan luas persegi kurva I-V, yaitu ukuran kuantitatif kualitas sistem sel surya yang dinyatakan dengan persamaan 2.3 :
𝐹𝐹 =
𝑉𝑚𝑎𝑥 . 𝐼𝑚𝑎𝑥 𝑉𝑜𝑐 . 𝐼𝑠𝑐
(2.3)
Dengan menggunakan fill factor maka maksimum daya dari sel surya didapat dari persamaan (Halme, 2002) : 𝑃𝑚𝑎𝑥 = 𝑉𝑂𝐶 . 𝐼𝑆𝐶 . 𝐹𝐹
(2.4)
Sehingga efisiensi sel surya yang didefinisikan sebagai daya yang dihasilkan dari sel (𝑃𝑚𝑎𝑥 ) dibagi dengan daya dari cahaya yang datang (𝑃𝑐𝑎ℎ𝑎𝑦𝑎 ) :
𝜂=
2.3.
𝑃 𝑚𝑎𝑥 𝑃 𝐶𝑎 ℎ 𝑎𝑦𝑎
(2.5)
DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell)
2.3.1. Umum Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) terdiri dari sebuah working electroda (elektrode kerja), sebuah counter electrode (elektroda lawan) dan elektrolit. Zat warna dari kompleks ruthenium melekat pada pori nanokristal dari film semikonduktor, misalnya TiO2 yang merupakan elektroda kerja. Sebuah kaca konduktif platina sebagai counter electrode dan larutan I3-/I- sebagai elektrolit (Halme, 2002). DSSC atau Sel Gratzel ini sangat menjanjikan karena dibuat dengan material dengan biaya murah dan pembuatannya tidak membutuhkan peralatan yang rumit. Efisiensi DSSC dengan bahan organik terdiri dari ruthenium (II) polypyridyl complex seperti N3 dye mencapai 10% (Gratzel, 2003).
2.3.2. Perkembangan DSSC DSSC pertama kali ditemukan oleh Gratzel pada tahun 1991. DSSC commit to material user merupakan terobosan pertama penerapan organik dalam teknologi sel
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
surya sejak sel surya silikon. Penemuan Gratzel tersebut berhubungan dengan penerapan prinsip efisiensi kompleks ruthenium untuk mengaktifkan film semikonduktor, yang sangat sensitif di daerah cahaya tampak (visible region). Semikonduktor yang digunakan oleh Gratzel adalah titania (TiO2) yang dilapiskan pada substrat. Efisiensi sel surya Gratzel mencapai 7,1 %. Sejak penemuan Gratzel tersebut, DSSC menjadi salah satu topik penelitian yang intensif dilakukan oleh peneliti di seluruh dunia untuk meningkatkan performa dari DSSC. Selain dye sintesis, dye alami dari carotenoid (Gao, 2000) , klorofil (Amao dalam Noor, et.al., 2011) dan antocyanin (Wongcharee, et.al., 2006) juga berpotensi menjadi dye alami pada DSSC. Hao dkk (2006) membandingkan DSSC yang menggunakan dye sintesis dan dye alami. Dye alami yang digunakannya adalah dye dari antocyanin, carotenoid, dan juga clorophyl. DSSC dengan dye dari ekstrak Rosa xanthina dan black rice yang mengandung antocyanin, menghasilkan daya maksimum dan fill factor berturut – turut sebesar 163 μW dan 0,52 serta 327 μW dan 0,52. DSSC dengan dye dari ekstrak Erythrina dan Capsicum yang mengandung carotenoid, menghasilkan daya maksimum dan fill factor berturut – turut sebesar 207 μW dan 0,55 serta 58 μW dan 0,63. Sementara DSSC dengan dye dari ekstrak Kelp yang mengandung eksrak klorofil menghasilkan daya maksimum 118 μW dan fill factor 0,62. Pada akhirnya dye sintesis dari Ruthenium pyridin ring menghasilkan daya maksimum 2787 μW dan fill factor 0,67 jauh lebih besar dibandingkan dye alami. Walaupun dye sintesis menghasilkan daya output yang lebih baik, ketersediaan dan harganya yang sangat mahal menjadikan dye alami tetap kompetitif sebagai sensitizer pada DSSC. Penelitian Maddu dkk (2007) yang menjadikan ekstrak kol merah sebagai sensitizer karena mengandung antocyanin, melakukan variasi lama perendaman elektroda kerja pada dye dalam upaya mengetahui pengaruh lama rendaman terhadap efisiensi DSSC. Ternyata sampel dengan perendaman 24 jam memiliki efisiensi 0,055 % lebih besar dibandingkan sampel dengan perendaman 1jam yang efisiensinya 0,0023%. Nilai efisiensi tersebut diperoleh dengan pengukuran DSSC commit to user menggunakan rangkaian berbeda dengan penelitian Noor dkk (2011) yang
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menggunakan Keithley 2400 electro meter. Noor dkk (2011) melalukan penelitian dengan mencampur dye dari ekstrak antocyanin black rice dan ekstrak klorofil dari daun pandan. Dye hasil campuran antocyanin dan klorofil yang ternyata mampu meningkatkan efisiensi DSSC, yang diperoleh sebesar 0,42 % lebih baik daripada DSSC dengan dye ekstrak antocyanin black rice sebesar 0,37 % dan dengan DSSC dengan dye ekstrak klorofil daun pandan sebesar 0,24 %. Sementara Sari dkk (2011) menyimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi dan nilai absorbansi ekstrak Sansevieria trifasciata yang mengandung antocyanin, klorofil maupun carotenoid , dan juga semakin besar ketebalan lapisan TiO2 akan menaikkan nilai efisiensi DSSC. Sampai saat ini, masih terus dilakukan penelitian terkait dengan peningkatan efisiensi DSSC dengan melakukan variasi pada material DSSC.
2.3.3. Prinsip Kerja DSSC Pada susunan paling sederhana, DSSC terdiri dari kaca konduktif transparan dilapisi dengan nanocristalline TiO2 (nc-TiO2), molekul dye berkait dengan permukaan nc-TiO2, sebuah elektrolit seperti I-/I3-, dengan illuminasi pada sel mampu menghasilkan tegangan dan arus (Halme, 2002). Dimana struktur dan komponen dari DSSC disajikan pada gambar 2.5.
Gambar 2.5. Struktur dan komponen DSSC (Halme, 2002) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
Absorbsi cahaya dari DSSC dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan dilakukan pada semikonduktor TiO2. Dengan struktur pori yang nano maka permukaan dari TiO2 menjadi luas sehingga memperbanyak dye yang terabsorbsi dan akan meningkatkan efisiensi. Meskipun hanya selapis dye, dapat mengabsorbsi kurang dari 1% dari cahaya yang datang (Gratzel, 1991). Saat penyusunannya, molekul dye menjadi sebuah lapisan dye yang tebal. Lapisan tersebut mampu meningkatkan kemampuan optis DSSC. Kontak langsung antara molekul dye dengan permukaan elektrode semikondutor dapat memisahkan muatan dan berkontribusi pada pembangkit arus. Prinsip kerja DSSC digambarkan dengan gambar 2.6, pada dasarnya prinsip kerja dari DSSC merupakan reaksi dari transfer elektron. Proses pertama dimulai dengan terjadinya eksitasi elektron pada molekul dye akibat absorbsi foton. Elektron tereksitasi dari ground state (D) ke excited state (D*). 𝐷 + 𝑒 − → 𝐷∗
(2.6)
Elektron dari exited state kemudian langsung terinjeksi menuju pita konduksi (ECB) TiO2 sehingga molekul dye teroksidasi (D+). Dengan adanya donor elektron oleh elektrolit (𝐼 −) maka molekul dye kembali ke keadaan awalnya (ground state) dan mencegah penangkapan kembali elektron dye yang teroksidasi. 2𝐷 + + 3𝑒 − → 𝐼3− + 2𝐷
(2.7)
commit user DSSCto(Sastrawan dalam Wijayanti, 2010) Gambar 2.6. Skema Kerja dari
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
Setelah mencapai elektroda TCO, elektron mengalir menuju counterelektroda melalui rangkaian eksternal. Counter elektroda yang biasa digunakan berupa kaca konduktif (TCO) yang dilapisi oleh lapisan karbon atau platina. Elektron yang sampai di elektroda lawan akan mereduksi senyawa elektrolit (I3menjadi I-), seperti persamaan 2.8. 𝐼3− + 2𝑒 − → 3𝐼 −
(2.8)
Iodin ini digunakan untuk mendonor elektron kepada dye yang teroksidasi, sehingga terbentuk suatu siklus transport elektron. Dengan siklus ini terjadi konversi langsung dari cahaya matahari menjadi listrik. 2.3.4. Material DSSC 2.3.4.1. Substrat Substrat yang digunakan pada DSSC yaitu jenis TCO (Transparent Conductive Oxide). TCO merupakan substrat yang tidak mengubah sifat suatu material, bekerja sebagai kolektor arus dan juga material atau badan dari sel surya. Resistansi TCO akan meningkat, ketika dipanaskan pada suhu tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama. Jenis TCO mempengaruhi kestabilan saat kenaikan temperatur diatas suhu pendeposisian optimum. Fluorine-doped tin oxide (Sn:F atau FTO) sangat stabil, sehingga pengurangan substrat kaca lebih terbatas daripada dekomposisi panas pada lapisan konduktif, sedangkan Indium Tin Oxide (ITO) menunjukkan adanya sifat konduktif yang hilang pada pemanasan suhu yang lebih dari 200oC (Kruger dalam Sila, 2011). 2.3.4.2. Titanium Dioxide (TiO2) TiO2 merupakan bahan semikonduktor yang bersifat inert, stabil terhadap fotokorosi dan korosi oleh bahan kimia (Hoffmann, et.al., 1995). Mempunyai energi celah pita lebar yaitu 3,2 eV (yang merupakan selisih absolut dari posisi tingkat energi pita konduksi 4,5 eV dengan posisi tingkat energi pita valensi -7,7 eV), sehingga bersifat transparan di daerah cahaya tampak. Aplikasi TiO2 sebagai semikonduktor telah banyak dilaporkan, diantaranya untuk manufaktur elemen commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
optik. Selain itu TiO2 berpotensial pada aplikasi divais elektronik seperti DSSC, sensor gas, dan lain-lainnya (Marchand, 2004). TiO2 dengan struktur nanopori yaitu ukuran pori dalam skala nano akan meningkatkan kinerja sistem karena struktur nanopori mempunyai karakteristik luas permukaan yang tinggi sehingga akan memperbanyak jumlah dye yang terabsorb yang implikasinya jumlah cahaya yang terabsorb juga meningkat. TiO2 memiliki tiga fase kristal yaitu anatase, rutile dan brookite. Namun hanya anatase dan rutile yang memegang peranan penting dalam aktivitas fotokatalitik. Anatase diketahui sebagai fase kristal titania yang paling bersifat fotoaktif. Anatase secara termodinamik kurang stabil dibanding rutile, tetapi pembentukannya terjadi pada temperatur
yang lebih rendah. Aktivitas
fotokatalitik TiO2 tergantung pada sifat fase anatase, yang dipengaruhi oleh morfologi, luas permukaan, kristalinitas dan ukuran partikel. Struktur rutile dan anatase dapat digambarkan sebagai rantai oktahedral TiO6. Kedua struktur kristal dibedakan oleh distorsi oktahedral dan pola susunan rantai oktahedralnya. Anatase bersifat metastabil dan akan berubah menjadi rutile pada suhu diatas 915°C. Anatase mempunyai struktur kristal tetragonal dimana Ti-O oktahedral sharing 4 sudut, adapun struktur kristal dari anatase maupun rutile ditunjukkan pada gambar 2.7 dan 2.8.
Gambar 2.7 Struktur kristal TiO anatase (Heriyanti, 2006) 2
Gambar 2.8. Struktur kristal TiO rutile (Heriyanti, 2006) 2
commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bentuk titania yang stabil adalah rutile, dimana bentuk lain titania berubah pada suhu tinggi. Rutile mempunyai struktur kristal mirip dengan anatase, dengan pengecualian bahwa Ti-O oktahedral sharing 4 sisi bukan 4 sudut. Penataan tersebut menghasilkan terbentuknya rantai yang tersusun dalam four fold symetri. 4+
2-
Tiap atom Ti dikelilingi secara oktahedral oleh 6 atom O . Pada struktur rutile setiap oktahedral dikelilingi oleh 10 oktahedral tetangga, sedangkan pada struktur anatase setiap oktahedral dikelilingi oleh 8 oktahedral lainnya. Oktahedral pada rutile mengalami sedikit distorsi orthorombik, sedangkan distorsi orthorombik pada anatase cukup besar sehingga relatif tidak simetri. Jarak antara atom Ti-Ti pada anatase lebih besar dari rutile (3,79 Å pada anatase dan 2,96 Å pada rutile). Struktur anatase memiliki band gap sebesar 3.2 eV, nilai tersebut setara dengan energi gelombang cahaya tampak dengan panjang gelombang 413 nm. Dibandingkan dengan pita energi beberapa jenis semikonduktor lainnya, pada gambar 2.9 terlihat bahwa fermi level TiO2 jauh lebih dekat ke level pita konduksi jika dibandingkan dengan pita valensi. Sehingga TiO2 merupakan semikonduktor tipe-n dan cenderung bermuatan negatif. Hal inilah yang mendasari TiO2 cocok digunakan sebagai media penghantar elektron dari dye ke elektroda .
(eV)
Gambar 2.9. Posisi pitacommit energi to semikonduktor (Gratzel, 2001) user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.3.4.3. Dye Fungsi absorbsi cahaya dilakukan oleh molekul dye yang terabsorbsi pada permukaan TiO2. Dye yang umumnya digunakan dan mencapai efisiensi paling tinggi yaitu jenis ruthenium complex. Walaupun DSSC menggunakan ruthenium complex telah mencapai efisiensi yang cukup tinggi, namun dye jenis ini cukup sulit untuk disintesa dan ruthenium complex komersil berharga mahal sehingga para peneliti berlomba-lomba membuat adanya alternatif lain pengganti dye jenis ini yaitu dye alami yang dapat diekstrak dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, atau buah (Maddu dkk, 2007). Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosentizer pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Dyesensitizer alami yang pernah digunakan dalam sistem DSSC diantaranya yaitu bunga rosella (Wongcharee et.al.,2006), buah bunni (Pangestuti, 2009) dan kol merah (Maddu dkk, 2009). Zat warna alami tersebut telah terbukti mampu memberikan efek photovoltaic walaupun efisiensi yang dihasilkan masih jauh lebih kecil dibandingkan zat warna sintetis. Meskipun demikian, zat warna organik sangat kompetitif untuk dijadikan sensitizer karena biaya produksinya yang murah dan proses isolasinya juga lebih mudah. Karakteristik penting dari bahan dye
yang digunakan
yaitu mampu
menyerap spektrum cahaya yang lebar dan cocok dengan pita energi titania. Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitizer berupa ekstrak klorofil (Amao dalam Noor dkk, 2011), carotenoid (Gao, 2000) atau antocyanin (Wongcharee et.al., 2006). 2.3.4.3.1. Antocyanin Antocyanin merupakan salah satu pigmen yang bisa digunakan sebagai dye selain klorofil dan β-Carotene, yang mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai pewarna dalam bunga, buah dan sayuran yang berwarna biru, ungu, violet, magenta dan kuning. Antocyanin adalah komponen yang bisa digunakan sebagai fotosensitizer pada daerah sinar tampak. Serapan maksimum dari ekstrak antosianin berkisar didaerah antara 510-548 nm bergantung pada buah atau pelarut yang digunakan (Heriyanti, 2006). Pigmen ini commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdapat salah satunya pada bunga sepatu (Permana, 2010). Adapun rangka struktur kimia dari antocyanin ditunjukkan pada gambar 2.10.
Gambar 2.10. Struktur molekul antocyanin dan ikatan antara molekul antocyanin dan TiO2 partikel (Hao, 2011)
2.3.4.4. Elektrolit Elektrolit merupakan salah satu bagian terpenting dari sel surya. Fungsi elektrolit dalam sistem DSSC adalah untuk menggantikan kehilangan elektron pada ground state dari dye akibat eksitasi elektron dari ground state ke excited state karena penyerapan cahaya tampak oleh dye. Elektrolit juga berfungsi sebagai pembawa elektron antara fotoelektroda dan electroda counter pada DSSC. Pada umumnya pembuatan sel DSSC menggunakan pasangan redoks I- (iodine) dan I3(triiodine) sebagai elektrolit, karena sifatnya yang stabil dan mempunyai reversibility yang baik. 2.3.5. Fabrikasi DSSC Cara paling umum dalam fabrikasi DSSC di laboratorium yaitu menggabungkan dua kaca dengan lapisan yang berbeda dengan struktur sandwich, sebagai substrat dan superstrat, yang salah satunya yaitu lapisan TiO2 dimana cahaya masuk dan yang lainnya yaitu counter electroda yang dilapisi katalis misalnya lapisan karbon atau platina (gambar 2.11). Untuk meminimalisasi biaya produksi pada skala massal, satu sel bisa dideposisikan secara langsung antara kaca dengan luas permukaan yangcommit tinggi. to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.11. Struktur DSSC menggunakan TCO (Wang et.al., 2007) Selain itu Kay dan Gratzel pada tahun 1996 mengembangkan tiga lapisan struktur sel monolithic (Gambar 2.12), untuk mengadaptasi proses produksi sel surya lapisan tipis sehingga lebih mudah mencapai tahap komersialisasi. Pada struktur monolithic, semua lapisan dari sel dapat dideposisikan masing-masing diatas yang lainnya pada satu kaca yang dilapisi ITO, sedangkan satu kaca lain yang berlawanan hanya berfungsi sebagai pelindung dan enkapsulasi.
Gambar 2.12. Struktur Sandwich DSSC (Halme, 2002)
2.4. X-Ray Diffraction (XRD) XRD merupakan alat karakterisasi yang dapat menghasilkan sinar X dan commit to user kristal, sistem kristal (kubik, digunakan untuk mengidentifikasi struktur
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tetragonal,
ortorombik,
rombohedral,
heksagonal,
monoklinik,
triklinik),
menentukan kualitas kristal (single crystal, polycrystal, amorphous), menentukan simetri kristal, menentukan cacat kristal (dislokasi), mencari parameter kristal (parameter kisi, jarak antar atom, jumlah atom per unit sel), dan analisis kimia. Sinar X dihasilkan dari sepasang elektroda yang terdapat didalam tabung sinar X. Elektron dihasilkan dari pemanasan elektroda bertegangan rendah (katoda) yang terbuat dari filamen tungsten. Elektron dipercepat dengan kecepatan yang sangat tinggi ke arah anoda. Elektron-elektron kehilangan energi karena terjadi tumbukan dengan anoda dan menghasilkan sinar-X dalam jumlah kecil (kurang dari 1%) dan yang lainnya terhambur menjadi panas (Suryanarayana dalam Setyowati, 2006). Penggambaran proses difraksi meliputi tiga hal yaitu hamburan (scattering), interferensi dan difraksi. Sinar X yang mengenai bidang kristal akan dihamburkan ke segala arah (gambar 2.13). Sinar-sinar pantul yang sefase yang berbeda lintasan sebesar kelipatan bulat dari panjang gelombang akan menimbulkan interferensi saling menguatkan. Pemantulan dan interferensi bergabung menjadi difraksi. Difraksi akan saling menguatkan jika terpenuhi persamaan Bragg sebagai berikut: 2d sin θ = n λ
(2.9)
adalah panjang gelombang, d adalah jarak antar atom dalam bidang kristal, adalah sudut difraksi dan n adalah bilangan bulat. Sinar Datang
E θ d
Sinar Pantul
1
A
θ
nλ = 2d sinθ
C
2
D
B commit to user Gambar 2.13. Difraksi Sinar X Pada Kristal.
3
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan gambar 2.13 selisih lintasan sinar pantul 1 dan 2 adalah : ∇= AB + BD – AE
(2.10)
Dengan AB = BD =
𝑑 sin 𝜃
dan AE = AD. cosθ = 2 d
𝑐𝑜𝑠 2 𝜃 sin 𝜃
(2.11)
Dengan d merupakan jarak antara 2 bidang pantul yang berdekatan dan θ sudut antara sinar datang dan bidang pantul. Subtitusi persamaan (2.11) dalam persamaan (2.10) di dapatkan :
∇=
2𝑑 (1−𝑐𝑜𝑠 2 𝜃) sin 𝜃
= 2 d sin θ
(2.12)
2.5. X- Ray Fluorescence (XRF) XRF (X-ray fluorescence) spectrometry merupakan teknik analisa nondestruktif yang digunakan untuk identifikasi serta penentuan konsentrasi elemen yang ada pada padatan, bubuk ataupun sample cair. Metode XRF secara luas digunakan untuk menentukan komposisi unsur suatu material. Karena metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih untuk kontrol material. Prinsip pengukuran dengan XRF dapat digambarkan seperti Gambar 2.14.
Gambar 2.14. Prinsip pengukuran dengan XRF (Gosseau, 2009) commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Apabila sinar-X primer yang berasal dari tabung X ray atau sumber radioaktif mengenai sampel, sinar-X dapat diabsorpsi atau dihamburkan oleh material. Proses dimana sinar-X diabsorpsi oleh atom dengan mentransfer energinya pada elektron yang terdapat pada kulit yang lebih dalam disebut efek fotolistrik. Selama proses ini, bila sinar-X primer memiliki cukup energi, elektron akan terpental atau pindah dari kulit yang di dalam dan menimbulkan kekosongan. Kekosongan ini menghasilkan keadaan atom yang tidak stabil. Apabila atom kembali pada keadaan stabil, elektron dari kulit luar pindah ke kulit yang lebih dalam dan proses ini menghasilkan energi sinar-X tertentu dan berbeda antara dua energi ikatan pada kulit tersebut. Emisi sinar-X dihasilkan dari proses yang disebut X Ray Fluorescence (XRF). Proses deteksi dan analisa emisi sinar-X disebut analisa XRF. Pada umumnya kulit K dan L terlibat pada deteksi XRF. Sehingga sering terdapat istilah Kα dan Kβ serta Lα dan Lβ pada XRF. Jenis spektrum X ray dari sampel yang diradiasi akan menggambarkan puncak-puncak pada intensitas yang berbeda (Viklund, 2008).
2.6. Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang dianalisis. SEM memiliki perbesaran dari 10 x – 3000000 x , dengan resolusi antara 1 – 10 nm. Prinsip kerja dari SEM ini adalah dengan menggambarkan permukaan benda atau material dengan berkas elektron yang dipantulkan. Sebuah pistol elektron memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan anoda, lensa magnetis akan memfokuskan elektron menuju sampel, sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil pemindai (scanning coil). Ketika elektron mengenai sampel maka sampel akan memantulkan elektron (elektron sekunder ke segala arah) yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor/CRT.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Material Jurusan Fisika dan Laboratorium Pusat Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan MaretDesember 2011. Pembuatan bubuk TiO2 dilakukan di Laboratorium Pusat Sub Lab Biologi dan Sub Lab Fisika. Karakterisasi absorbansi larutan dye bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L) dan lapisan TiO2 yang telah direndam dye, serta pengujian karakteristik I-V baik dengan rangkaian maupun Keithley dilaksanakan di Laboratorium Material Jurusan Fisika. Sementara karakterisasi kandungan bubuk TiO2, struktur kristal, dan morfologi lapisan TiO2 dilaksanakan di Laboratorium Terpadu FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat sintesa dan karakterisasi. Alat-alat sintesa yang digunakan meliputi : 1. Timbangan Digital METLER TOLEDO AL204 2. Hot Plate IKA® C-MAG HS-7 3. Spatula Kaca 4. Gelas Beker 50 ml 5. Pengaduk Magnetik 6. Gelas Ukur 10 ml 7. Kertas Saring whatman no.42 8. Corong 9. Aluminium Foil 10. Pipet Tetes Kaca 11. Botol Kaca 5 ml 12. Ultrasonic cleaner
commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
13. Hair Dryer 14. Illuminator 15. Furnace 16. Oven 17. Solar Power Meter Tes 1333R 18. Kaca Preparat 19. Kaca konduktif jenis FTO(Flourin- doped Tin Oxide) 20. Multimeter 21. Resistor 22. Cawan krus 75 ml Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk karakterisasi yaitu: 1. UV-Vis Spektrometer Lambda-25 2. Diffractometer D8 Advance (XRD) 3. XRF Bruker AXS S2 Ranger 4. SEM Quanta 250 FEG 5. Keithley 2602A system source 3.2.2. Bahan Penelitian Semua bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai derajat kemurnian pro analisis (pa). Bahan-bahan yang digunakan meliputi : 1. Bunga sepatu ( Hibiscus rosa sinensis L) 2. Aquades 3. Asam sitrat 4. Ethanol dari MERCK 5. Block copolymer Pluronic PE 6200 (PE08-PPO30-PEO8, massa molar = 2450 g/mol) dari BASF 6. Methanol dari MERCK 7. Larutan Elektrolit dengan PEG 8. Keyboard Protector ( sebagai gasket) 9. Karbon 10. TiCl4 (Titanium tetrachloride)commit dari MERK to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.3. Diagram Penelitian Secara umum alur penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.1. Persiapan
Pembuatan bubuk TiO2 dengan metode sol gel
Ekstraksi dye antocyanin
Dihasilkan bubuk TiO2
Didapatkan larutan dye antocyanin
Karakterisasi XRD XRF Karakterisasi Absorbansi
Pembuatan lapisan tipis TiO2 dengan metode slip casting
Karakterisasi SEM
UV – VIS
Pembuatan Counter Elektroda
Fabrikasi DSSC
Analisa dan kesimpulan
Pengujian Karakteristik I-V
Pengujian Efisiensi
Gambar 3.1. Diagram alir penelitian. 3.3.1. Persiapan Persiapan yang dilakukan adalah persiapan alat dan bahan yang akan digunakan untuk membuat bubuk TiO2. Selain itu, dalam proses persiapan juga dilakukan pembersihan alat-alat yang akan digunakan penelitian, terutama untuk membuat bubuk TiO2. Alat-alat tersebut dibersihkan dengan menggunakan methanol, kemudian dikeringkan dengan hair dryer. Selain proses persiapan pembuatan bubuk TiO2, dilakukan pula pembersihan kaca konduktif jenis FTO untuk pengujian sampel dengancommit methanol menggunakan ultrasonic cleaner. to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pembersihan kaca konduktif menggunakan ultrasonic cleaner bertujuan agar kaca terbebas dari material-material yang tidak mampu dibersihkan dengan air saja. Kaca konduktif yang bersih mempengaruhi hasil pengujian dari sampel yang akan dilapiskan pada kaca konduktif tersebut. 3.3.2. Pembuatan Bubuk TiO2 dengan Metode Sol-Gel . Nanopori TiO2 disintesis dengan menggunakan metoda sol-gel dengan bantuan block copolymer/Pluronic P2243-250G sebagai template untuk membentuk struktur nanopori. Proses sol-gel adalah teknik pengendapan larutan kimia (sol) yang bertindak sebagai prekusor untuk suatu jaringan terpadu (gel) sehingga mengandung fase cair dan padat. Kelebihan proses ini adalah tahap pembentukan jaringan polimer anorganik dapat terjadi pada temperatur relatif rendah atau pada temperatur kamar (Schmidt dalam Wibowo, 2006). Beberapa alat dan bahan untuk pembuatan TiO2 dengan metode sol-gel ditunjukkan oleh gambar 3.2 dengan angkah-langkah eksperimennya dijelaskan sebagai berikut : 1. Block copolymer Pluronic PE 6200 sebanyak 3 gram dilarutkan pada ethanol sebanyak 30 gram kemudian diaduk selama 30 menit oleh pengaduk magnetik. 2. Pada larutan tersebut ditambahkan secara perlahan-lahan prekursor TiCl4 sebanyak 5.7 gram kemudian diaduk selama 30 menit, sehingga rasio molar TiCl4:ethanol:block copolymer adalah 1:21,7:0,0408. 3. Larutan kemudian dilakukan proses aging pada temperatur 40°C selama 7 hari pada cawan petri sampai terbentuk dry-gel. 4. Dry-gel yang terbentuk kemudian dikalsinasi ( proses pemanasan dengan suhu tinggi namun masih di bawah titik lebur) pada temperatur 600°C selama 4 jam dengan kecepatan pembakaran 5-6°C/menit untuk mendapatkan bubuk TiO2.
commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 3.2. Alat dan bahan pembuatan TiO2 dengan menggunakan metode sol gel. 3.3.2.1. Karakterisasi Kandungan Bubuk TiO2 Nanopori TiO2 diuji jumlah kandungan unsur TiO2 menggunakan XRF (XRay Fluorecence) Bruker AXS S2 Ranger. Spektroskopi XRF adalah teknik analisis unsur yang membentuk suatu material dengan dasar interaksi sinar-x dengan material analit. Metode fluoresensi sinar-X merupakan peristiwa atomatom pada permukaan sampel akan ditumbuk dengan sinar-X yang berasal dari sumber sinar-X, interaksi ini menyebabkan terjadinya efek fotolistrik pada atom-atom di permukaan bahan tersebut, dimana pada interaksi ini elektron dalam orbital kulit K akan terlempar dan terjadi kekosongan elektron pada kulit tersebut. Kekosongan elektron ini akan diisi oleh elektron dari orbital diatasnya. Perpindahan elektron tersebut diikuti dengan melepaskan sinar-X karakteristik sesuai dengan atom yang mengalami proses tersebut. Analisis kandungan unsur dalam bahan ditentukan atas dasar sinar-X karakteristik yang terdeteksi. Teknik ini banyak digunakan dalam analisa unsur karena membutuhkan jumlah sample yang relative kecil (sekitar 1 gram). Sampel yang digunakan biasanya berupa serbuk hasil penggilingan atau pengepresan menjadi bentuk film. Karakterisasi dengan XRF digunakan karena mempunyai akurasi yang tinggi yang dapat mengetahui
unsur-unsur
yang
terkandung
dalam
bubuk
TiO2
beserta
komposisinya. Sehingga, dari hasil karakterisasi XRF dapat ditentukan kelayakan commit to user bubuk TiO yang telah dibuat. 2
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.3.2.2. Karakteristik Struktur Kristal Bubuk TiO2 Namun karena karakterisasi dengan metode XRF belum mampu digunakan untuk menentukan struktur kristal dari atom yang membentuk material tersebut, yang dalam hal ini adalah bubuk TiO2, maka dibutuhkan karakterisasi lain yang mampu melengkapi parameter karakteristik dari bubuk TiO2 yang telah dibuat. Difraktometer merupakan suatu peralatan yang digunakan untuk mempelajari struktur bahan. Identifikasi mineral yang terkandung dalam suatu bahan dan lain-lainya dengan mengamati pola difraksi yang dihasilkan oleh bahan tersebut. Dalam penelitian ini, penentuan struktur kristal nanopori TiO2 yang telah dibuat menggunakan metode difraksi sinar X dengan alat XRD Bruker D8 Advance. XRD Bruker menggunakan radiasi Cu Kα (1,5406 A) pada tegangan 40 kV, dan arus sebesar 40 mA. Hasil difraktometer dibandingkan dengan data JCPDF (Joint Committee Powder Difraction File) TiO2.
3.3.3. Ekstraksi Dye Antocyanin Bunga Sepatu (Hibiscus rosa sinensis L) Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain.
Gambar 3.3. Bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L).
commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 3.4. Serbuk bunga sepatu kering. Dye yang akan digunakan kali ini menggunakan pewarna alami dari bunga sepatu (gambar 3.3), yang diekstraksi menggunakan dengan pemanasan. Pertama kali bunga sepatu dicuci kemudian diambil bagian mahkotanya, dijemur dibawah sinar matahari selama 7 hari. Setelah itu bunga sepatu dihaluskan dengan blender, hasilnya seperti yang terlihat pada gambar 3.4. Setelah itu diekstraksi dengan campuran ethanol, asam sitrat dan aquades yang perbandingannya 10 : 5% : 10 untuk 1 gram bubuk bunga sepatu, dan diaduk dengan magnetic stirrer selama 30 menit pada suhu 60oC. Kemudian dilakukan penyaringan larutan sehingga didapatkan dye alami yang dibutuhkan (gambar 3.5). Hasil ekstraksi kemudian dijaga dalam botol gelap untuk mencegah penguapan dan degradasi dye.
Gambar 3.5. Hasil ekstraksi dye antocyanin bunga sepatu. 3.3.3.1. Karakterisasi Absorbansi Ekstrak Bunga Sepatu Hasil ekstraksi dye dalam bentuk larutan diuji absorbansinya dengan Spektrometer UV-Vis. Spektrometer UV-Vis ditunjukkan pada gambar 3.6. Pengujian larutan antocyanin dilakukan untuk mengetahui kemampuan absorbansi commit to user sampel yang dihasilkan dari proses ekstraksi antocyanin. Sampel diuji pada
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
panjang gelombang 350 nm sampai 800 nm. Pelarut dimasukkan pada kuvet hingga kuvet terisi pada batas kuvet, dan dilakukan baseline correction untuk menghilangkan background noise yang muncul saat uji sampel. Sebagai larutan pembandingnya digunakan salah satu dari zat pelarut ekstraksi antocyanin.
Gambar 3.6. UV-Vis Spektrometer Lambda-25 3.3.4. Pembuatan Lapisan TiO2 3.3.4.1. Pembuatan Pasta TiO2 Langkah awal dalam pembuatan lapisan tipis TiO2 adalah membuat pasta TiO2. Dalam pembuatan pasta ini meliputi: 1. Menimbang bubuk TiO2 sebanyak 1 gram. 2. Malarutkan bubuk TiO2 ke dalam ethanol sebanyak 2,5 ml di gelas beker. 3. Mengaduk campuran tadi selama 30 menit dengan hot plate stirrer untuk mendapatkan homogenisasi pasta TiO2. 4. Pasta siap digunakan untuk pembuatan lapisan tipis TiO2. Pasta yang dihasilkan dari proses ini tidak dapat disimpan lama, karena akan mengeras dan menjadi agregat. 3.3.4.2. Pembuatan Lapisan TiO2 Setelah pasta TiO2 berhasil dibuat, langkah selanjutnya adalah mendeposisikannya pada kaca konduktif FTO. Deposisi pasta TiO2 dilakukan dengan metode slip casting. Metode slip casting adalah metode penumbuhan commit to user lapisan tipis dengan meratakan pasta pada screen area ukuran tertentu. Pada
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penelitian ini ukuran screen area yang digunakan adalah 2 cm x 1 cm. Setelah TiO2 dan kaca konduktif siap, kemudian dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:. 1. Metakkan kaca FTO pada permukaan yang bersih dan rata ( misal : kertas) dengan sisi konduktif berada di atas. Untuk mengecek sisi yang konduktif menggunakan ohmmeter dengan menempelkan probe-nya pada permukaan kaca. 2. Menimbang dan mencatat massa kaca konduktif FTO sebagai m1 3. Tutup tiga sisi kaca FTO menggunakan scotch tape seperti yang diperlihatkan pada gambar 3.7.
2 cm 1 cm
Gambar 3.7. Ilustrasi ukuran scotch tape. 4. Kemudian mendeposisikan pasta TiO2 di atas FTO secukupnya, dan dengan cepat ratakan pasta TiO2 dengan menggunakan spatula kaca yang bersih ke seluruh permukaan FTO dengan ketebalan yang merata. 5. Setelah pendeposisian, sample didiamkan sesaat agar lapisan TiO2 kering. 6. Melepaskan scotch tape secara perlahan supaya tidak ada lapisan yang terkelupas. 7. Mengulangi langkah no.1 sampai dengan no.6 sebanyak 4 kali variasi ketebalan, yang mana dapat dikontrol dengan adanya scotch tape. 8. Lapisan tipis dipanaskan pada suhu 450oC masing-masing sebanyak empat buah selama 10 menit dengan menggunakan hot plate seperti gambar 3.8. 9. Menimbang massa lapisan tipis yang sudah jadi dan mencatatnya sebagai m2.
commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 3.8. Proses pemanasan lapisan tipis TiO2. 3.3.4.3 Karakterisasi Morfologi Lapisan Tipis TiO2. Karakterisasi morfologi dari lapisan tipis TiO2 dapat diketahui dengan menggunakan metode Scanning Electron Microscopy (SEM) Quanta 250 FEG dengan resolusi 1,2 nm dan pembesaran hingga 400000 kali. SEM bekerja berdasarkan prinsip scan sinar elektron pada permukaan sampel, yang selanjutnya informasi yang didapatkan diubah menjadi bentuk gambar. Pada proses operasinya SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi. Metode ini digunakan untuk mengkarakterisasi morfologi (analisa bentuk dan ukuran) lapisan tipis. Dari hasil SEM dapat dianalisa untuk menentukan tekstur dari lapisan yang dihasilkan. 3.3.4.4. Perhitungan Ketebalan Lapisan Tipis TiO2. Metode penimbangan atau by weight atau gravimetri ini digunakan untuk menghitung ketebalan dari lapisan tipis yang telah dibuat dengan memperhatikan luas screen area dan masssa. Dengan mengasumsikan homogenitas kerataan permukaan lapisan dipenuhi, ketebalan lapisan dapat dihitung dengan rumus berikut : 1. Menghitung massa lapisan tipis. 𝑚 = 𝑚2 − 𝑚1
(3.1)
2. Dengan mengetahui massa jenis TiO2 dari referensi , yaitu 3,84 gr/cm3 (Weast dalam Tjahjanto, 2001) , maka didapatkan volume.
commit to 𝑚 user 𝜌= 𝑉
(3.2)
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Dari volume, dapat ditentukan tebal lapisan tipis tersebut. 𝑉 = 𝐴 ×𝑡
(3.3)
dengan A = luas screen area lapisan tipis.
3.3.4.5. Pengujian Absorbansi Lapisan TiO2 dan Dye Lapisan tipis yang telah terbentuk, kemudian direndam dalam larutan dye selama 24 jam. Setelah sebelumnya dipanaskan 60°C untuk membuka pori sehingga lebih efektif dalam proses penyerapan larutan dye. Lapisan yang sudah melalui proses perendaman 24 jam (gambar 3.9), selanjutnya diuji absorbansinya dengan menggunakan spektrometer UVVIS.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui terikat tidaknya kromofor
larutan dye dengan lapisan TiO2. Selain itu juga dimaksudkan agar mengetahui pengaruh variasi ketebalan lapisan terhadap tingkat absorbansi dye.
Gambar 3.9. Lapisan TiO2 setelah melalui proses perendaman.
3.3.5. Pembuatan Counter Elektroda Counter elektroda berfungsi sebagai elektroda lawan yang mempercepat kinetika reaksi proses reduksi pada FTO. Langkah-langkah pendeposisian counter elektroda adalah sebagai berikut: 1. Kaca konduktif FTO dipersiapkan sebanyak 4 buah. 2. Kemudian dilakukan pengecekan untuk menentukan bagian yang konduktif. 3. Dengan luas screen area yang sama dengan elektroda kerja yaitu 2 x 1 cm2 pada bagian konduktif diberi jelaga lilin (gambar 3.10). commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Tepi kaca dibersihkan menggunakan cotton bud dan pasikan terbentuk lapisan carbon dengan ukuran 2cm x 1 cm (gambar 3.11). 5. Terakhir, counter elektroda yang sudah jadi (gambar 3.12) dipanaskan pada suhu 250°C selama 10 menit agar karbon dan kaca TCO membentuk kontak yang baik.
Gambar 3.10. Pembuatan counter elektroda dengan jelaga lilin.
Gambar 3.11. Penentuan screen area counter elektroda.
Gambar 3.12. Counter elektroda. 3.3.6. Fabrikasi DSSC Setelah seluruh komponen DSSC siap, maka dilakukan pembuatan DSSC dengan langkah sebagai berikut: 1. Lapisan tipis TiO2 yang telah dibuat direndam dalam dye selama 24 jam.
commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Sampel yang sudah selesai direndam dibersihkan dengan aquades kemudian dkeringkan. 3. Pasang keyboard protector seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.13. Pemasangan keyboard protector ini dimaksudkan agar larutan elektrolit tidak sampai keluar area aktif lapisan TiO2. Selain itu pemasangan ini dimaksudkan juga untuk mencegah adanya short oleh larutan elektrolit pada DSSC.
Gambar 3.13. Pemasangan keyboard protector untuk mencegah short. 4. Teteskan larutan elektrolit ± 2 tetes diatas lapisan tipis TiO2 yang telah direndam dalam dye selama 24 jam tersebut. 5. Kaca FTO dengan elektroda kerja dan counter elektroda carbon disusun seperti gambar 3.14.
Conter elektroda carbon
Kaca FTO
Lapisan tipis TiO2 Antocyanin dye
Kaca FTO
Gambar 3.14. Struktur DSSC pada penelitian ini. 6. Jepit susunan di atas, untuk kontak pada DSSC dibuat dengan menggunakan penjepit kertas pada tepi elektroda lawan dan elektroda kerja seperti pada gambar 3.15. Sedangkan gambar 3.16 merupakan sistem DSSC pada penelitian ini. commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 3.15. Kontak pada DSSC yang dibuat (Heriyanti, 2006)
Gambar 3.16. DSSC yang telah difabrikasi dengan dye antocyanin bunga sepatu sebagai sensitizer.
3.3.7. Pengujian Karakteritik I-V dan Efisiensi DSSC 3.3.7.1 Pengujian dengan Rangkaian Pengujian efisiensi DSSC bertujuan untuk mengetahui performa DSSC yang kita buat. Dari uji ini kita dapat melihat seberapa besar energi cahaya yang dapat dikonversikan oleh DSSC menjadi energi listrik. Secara umum pengujian ini adalah sebagai berikut: 1. Hubungkan DSSC yang telah dibuat parallel dengan voltmeter. 2. Hubungkan juga amperemeter dan variabel resistor secara seri, kemudian hubungkan rangkaian antara amperemeter dan resistor tersebut secara parallel dengan DSSC (gambar 3.17). 3. Buat tabel dengan variabel hambatan (R), tegangan (V), dan arus (I). 4. Ukur Voc dengan tanpa memberikan hambatan serta memutus sementara amperemeter dan catat besar tegangannya. 5. Ukur Ioc dengan memutus sementara hubungan ke voltmeter lalu catat arus yang mengalir di amperemeter. commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6. Hubungkan kembali voltmeter dan ukur nilai tegangan dan arus dengan memvariasi hambatan sebanyak bisa divariasi. Catat setiap arus dan tegangan setiap variasi hambatan dilakukan. 7. Dari data yang diperoleh diplot membentuk kurva I-V dan hitung nilai FF serta efisiensi DSSC dengan persamaan 2.3 dan 2.5.
Gambar 3.17.Rangkaian Untuk Pengujian I-V DSSC.
3.3.7.2. Pengujian dengan Keithley Pengujian
DSSC
dengan
Keithley
dimaksudkan
untuk
mendapatkan pengujian efisiensi dari DSSC yang lebih efektif. Terdapat 2 macam kurva karakteristik I-V yang didapat dari pengujian ini, yaitu saat kondisi gelap dan terang. Hal ini akan menunjukkan ada tidaknya sifat fotokonduktivitas DSSC. Pada kondisi terang DSSC disinari dengan lampu dengan intensitas
1746 W/m2. Pengukuran intensitas cahaya
dengan solar power meter TES 1333R. Sedangkan pengukuran I-V dilakukan dengan menggunakan seperangkat Keithley 2602A system source yang ditunjukkan oleh gambar 3.18.
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 3.18. Pengujian I-V pada DSSC dengan menggunakan Keithley 2602A system source. Uji I-V pada kondisi gelap ditutup dengan kotak yang dilapisi dengan alumunium foil. Sehingga setelah uji ini didapatkan perbedaan konduktivitas antara uji DSSC pada kondisi terang dan pada kondisi gelap. Dari grafik karakteristik I-V kondisi terang yang didapatkan dapat ditentukan nilai FF maupun efisiensinya dengan persamaan 2.3 dan 2.5.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Bubuk TiO2 dengan XRF Metode XRF digunakan untuk menganalisis unsur logam dalam suatu bahan baik secara kualitatif (identifikasi unsur/senyawa/zat dalam suatu sampel) maupun kuantitatif (penetapan banyaknya jumlah unsur dalam sampel), dimana analisis unsur permukaan dapat mewakili kandungan unsur dalam bahan. Analisis kandungan dan komposisi bubuk TiO2 menggunakan XRF Bruker AXS S2 Ranger. Alat XRF Bruker AXS S2 Ranger siap digunakan setelah melakukan reset kalibrasi dan quality check. Reset kalibrasi dilakukan untuk mengetahui nilai dari standar copper (Cu) sebesar 8039 eV dan resolusi sebesar 0,49; sedangkan quality check dilakukan untuk mengetahui kondisi detektor sehingga dapat bekerja dengan baik. Pengukuran standar menggunakan tegangan 35 kV dan kuat arus 50 μA.
Gambar 4.1. Grafik hasil uji XRF untuk TiO2 dengan suhu 600oC. Spectra yang diperlihatkan dari spectrogram XRF yang diperoleh adalah commit user puncak-puncak dari setiap unsur yang toterdeteksi sebagaimana tersaji dalam
40
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.1, yang merupakan hubungan antara energi unsur (keV) dan intensitas cacahan perdetik (cps/count per second). Bubuk TiO2 dengan suhu kalsinasi 600oC hasil sintesa tampak pada line energy sebesar 4,51 keV. Serta memiliki jumlah kandungan TiO2 sebesar 98,67 wt%, meskipun juga terdapat unsur lain seperti P2O5, SO3, Cl, K2O, CaO, Fe2O3, SnO2, dan CeO2 yang besarnya kurang dari 0,5 % (wt) sebagaimana terlihat dalam tabel 4.1. Hal ini disebabkan adanya kandungan debu atau unsur lain yang sampel ketika sampel berada di dalam oven maupun furnace. Tabel 4.1. Kandungan Bubuk TiO2 Dengan Suhu Kalsinasi 600°C Unsur
Komposisi (wt %)
P2O5
0,45
SO3
0,10
Cl
0,20
K2O
0,32
CaO
0,09
TiO2
98,67
Fe2O3
0,01
SnO2
0,02
CeO2
0,09
4.2. Analisis Bubuk TiO2 Dengan XRD Proses aging pada pembuatan bubuk TiO2, menghasilkan gel yang memiliki bentuk amorf, dimana belum terbentuk struktur kristal, sehingga diperlukan perlakuan panas pada rentang temperatur 400 - 700OC untuk membentuk struktur kristal anatase (Menzies, 2005). Bubuk TiO2 pada suhu kalsinasi 600oC memiliki jumlah partikel dengan bentuk kristal anatase paling banyak, sehingga bubuk TiO2 dengan suhu kalsinasi 600oC baik untuk digunakan dalam pembuatan sel surya (Sila, 2011). Untuk itulah sebelum difabrikasi menjadi sel surya, bubuk TiO2 hasil sintesis, yangtopada commit userpenelitian ini menggunakan suhu
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
kalsinasi 600°C dikarakterisasi dengan metode difraksi sinar-X (XRD) untuk mengamati kristalografinya. Karakterisasi XRD dilakukan dengan menggunakan alat XRD Bruker D8 Advance. XRD Bruker menggunakan radiasi Cu pada tegangan 40 kV, dan arus sebesar 40 mA. Analisis dilakukan dengan membandingkan puncak – puncak pada sampel dengan puncak-puncak standar dari JCPDF database. Hasil karakterisasi XRD berupa pola difraksi (difraktogram) yang terdiri dari puncak – puncak TiO2, seperti yang ditunjukan gambar 4.2. Puncak – puncak karakteristik TiO2 yang muncul sangat jelas dan tajam, hal ini menunjukkan bahwa bubuk TiO2 hasil sintesis memiliki kristalinitas yang cukup baik, dengan orientasi prefer atau puncak tertinggi pada sudut 2θ = 25,2508° yang bersesuaian dengan bidang [101] pada JCPDF no. 21-1272 pada lampiran 2 . Puncak karakteristik TiO2 ini merupakan puncak kristal anatase. Sebagaimana diketahui bahwa fase anatase adalah fase kristal pada TiO2 yang paling efektif (Septina, 2007). Pola difraktogram yang diperoleh juga dapat digunakan untuk menentukan ukuran partikel kristal TiO2 berdasarkan FWHM (Full Width at Half Maximum) pada berbagai puncak dengan menggunakan persamaan Scherrer, 𝑘𝜆
D= 𝛽𝑐𝑜𝑠𝜃
(4.1)
𝜆 adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan (𝜆Cu = 0,15406 nm) ; k adalah konstanta Scherrer = 0,9 ; 𝛽 adalah puncak dari setengah intensitas/FWHM (Full-Width Half Maximum) ; dan 𝜃 adalah sudut difraksi (Cullity,1956) . Dari hasil perhitungan diperoleh ukuran partikel dalam kristal TiO2 sekitar 9,58 nm. Dalam aplikasinya pada sistem sel surya ini, ukuran partikel TiO2 berukuran nanometer ini dapat menampung jumlah molekul dye lebih banyak karena terdapat pori yang besar. Sebaliknya jika ukuran partikelnya besar (mikrometer), volume pori menjadi lebih kecil sehingga hanya mampu menampung sedikit dye. Berarti dengan jumlah yang besar molekul dye yang teradsorbsi pada permukaan partikel TiO2 menyebabkan peluang penyerapan foton lebih besar sehingga meningkatkan jumlah elektron terinjeksi ke dalam partikel TiO2 sehingga dapat meningkatkancommit performa dari sel surya. to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada gambar 4.2 juga menunjukkan bubuk TiO2 hasil sintesis mengandung banyak anatase dan sedikit rutile yang mana keberadaannya ditunjukkan oleh dua puncak yang sangat halus. Dengan fase anatase yang mendominasi, bisa diartikan sistem tidak memiliki derajat keasaman yang tinggi. Derajat keasaman yang tinggi menyebabkan bertambahnya jumlah atom karbon pada pelarut dan mempengaruhi struktur kristal yang cenderung membentuk fase rutile (Luo dalam Septina, 2007). Proses kristalisasi juga dipengaruhi oleh kelembaban terhadap lingkungan selama proses aging, dimana komposisi larutan yang sama namun mengalami proses aging berbeda dapat menghasilkan komposisi fase anatase-rutile yang juga berbeda. Terbentuknya fase bikristal anatase-rutile dikarenakan kelembaban yang relatif rendah sehingga interaksi
20
30
40 50 60 Sudut 2 Theta (derajat)
70
A (215)
A (116) A (220)
A (204)
A (105) A (211)
A (200)
R (101) A (004) R (200)
Intensitas (Counts)
A (101)
sistem dengan H2O juga rendah, hal tersebut menyebabkan larutan bersifat asam.
80
Gambar 4.2. Pola XRD Bubuk TiO2. 4.3.Analisis Lapisan TiO2 dengan SEM Morfologi dan topografi lapis tipis TiO2 dapat diketahui melalui analisis SEM. Dimana hasil karakterisasi SEM ditunjukkan oleh gambar 4.3. Secara visual commit to user lapisan TiO2 yang dibuat dengan mengunakan metode slip casting sudah homogen
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
namun tidak rata. Hal ini disebabkan proses penghalusan (penggerusan) bubuk TiO2 hasil sintesa yang kurang maksimal. Penggunaan metode slip casting dalam pendeposisian suspensi TiO2 pada substrat kaca juga mempengaruhi kurang meratanya hasil yang diperoleh, karena alat yang digunakan untuk meratakan suspensi TiO2 menggunakan batang pengaduk/spatula kaca berbentuk silinder. Selain itu kekuatan mekanik dari lapisan TiO2 yang dihasilkan tidak begitu kuat. Hal ini dapat dibuktikan dengan melakukan gesekan atau goresan sedikit saja pada kaca FTO maka lapisan akan terlepas dari substrat kaca. Fenomena tersebut dikarenakan karakter pelekatan lapisan TiO2 yang baru bersifat interaksi fisika pada permukaan kaca. Penyebab lain juga dikemukakan oleh Heriyanti (2006) bahwa viskositas suspensi juga berpengaruh pada kekuatan mekanik lapisan yang dihasilkan. Lapisan dengan viskositas suspensi yang tinggi akan menghasilkan lapisan yang retak – retak dan mudah terlepas dari substrat kaca. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk menghasilkan interaksi yang kuat antara lapisan TiO2 dan kaca TCO.
A
1000 x
B
5000 x
Gambar 4.3. Morfologi permukaan lapisan TiO2 (A) pada perbesaran 1000 x , (B) pada perbesaran 5000 x.
Pada gambar 4.3 (B) dengan perbesaran yang lebih tinggi dapat dilihat bahwa morfologi dari permukaan lapisan TiO2 berongga – rongga. Ukuran dari rerata rongga – rongga tersebut adalah 0,62 ± 0,04 μm. Morfologi dari lapisan commit to user tipis yang berongga – rongga tersebut akan memperbesar luas permukaan lapisan
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
TiO2, yang mana hal tersebut memberikan keuntungan pada saat proses adsorbsi zat warna, karena zat warna akan terserap efektif dengan adanya rongga – rongga. Selain itu permukaan yang berongga – rongga mempermudah penyebaran larutan elektrolit dalam lapisan TiO2 elektroda sel surya (Heriyanti, 2006).
4.4.Karakterisasi Absorbansi Ekstrak Bunga Sepatu. Absorbansi merupakan kuantitas yang menyatakan kemampuan bahan dalam menyerap (mengabsorbsi) cahaya. Senyawa organik mampu mengabsorbsi cahaya sebab senyawa organik mengandung elektron valensi yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (Wijayanti, 2010). Antocyanin merupakan salah satu zat warna alami yang berpotensi dimanfaatkan sebagai fotosensitizer. Karakteristik absorbansi antocyanin dalam mengabsorbsi ini menjadi hal yang penting dalam pemanfaatannya, yaitu sebagai dye pada sistem DSSC. Oleh karena itu perlu dilakukan uji absorbansi hasil ekstraksi bunga sepatu. Spektrum absorbans diukur pada rentang panjang gelombang 380 nm – 800 nm, dimana warna dari ekstrak larutan bunga sepatu ini adalah merah.
8 7 Absorbansi
6 5 4 3 2 1 0 380
480
580
680
780
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 4.4. Spektra absorbansi dye antocyanin bunga sepatu.
Hasil karakterisasi spektrum absorbans yang ditunjukkan pada gambar 4.4 memperlihatkan bahwa spektrum serapan ekstrak antocyanin cukup lebar yang commit to user mencakup dari panjang gelombang 450 nm – 580 nm dengan puncak absorbsi
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
maksimum ( λmaks) sekitar 520 nm. Hal ini berarti bahwa ekstrak antocyanin mampu menyerap spektrum warna biru sampai kuning. Dengan demikian, ekstrak antocyanin sangat signifikan dan dominan menyerap spektrum warna hijau (500 nm – 550 nm), ini bersesuaian dengan warna ekstrak yang kemerahan (Maddu, 2007). Dengan demikian ekstrak antocyanin bunga sepatu dapat digunakan sebagai dye dalam sistem DSSC karena mampu menyerap sinar tampak. 4.5.Karakterisasi Absorbansi Lapisan TiO2 dan Dye Ketebalan lapisan TiO2 berpengaruh terhadap banyaknya dye yang dapat teradsorpsi. Semakin tebal lapisan TiO2 maka akan semakin banyak dye yang teradsorbsi karena seiring bertambahnya partikel TiO2 maka akan semakin banyak dye yang terikat pada partikel TiO2. Sehingga hal ini akan mempengaruhi kinerja dari sel DSSC yang dibuat. Penyerapan dye dilakukan dengan melakukan perendaman terhadap lapisan tipis TiO2 selama beberapa waktu tertentu (Meen et.al., 2009). Dimana dalam penelitian ini , dilakukan perendaman selama 24 jam. Pengujian ini selain bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi ketebalan terhadap absorbansi dari dye dalam bentuk padatan atau lapisan tipis juga untuk memastikan terjadinya ikatan antara kromofor dye dari antocyanin dengan TiO2. Pengukuran ansorbansi dilakukan pada rentang panjang gelombang 380 nm – 800 nm. Ketebalan lapisan tipis TiO2 divariasi sebanyak empat sampel, yaitu a, b, c dan d dengan nilai ketebalan berturut turut 1,3 ± 0,6 μm; 2,7 ± 0,4 μm; 3,8 ± 0,4 μm; dan 4,8 ± 0,3 μm yang ditentukan dengan metode by weight. Pada gambar 4.5 terlihat bahwa seiring dengan bertambahnya ketebalan, bertambah besar pula konsentrasi molekul antocyanin yang terabsorbsi pada permukaan partikel TiO2. Terlihat juga spektrum dye antocyanin pada lapisan tipis TiO2 mengalami pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih besar akibat perubahan warna dye antocyanin setelah terabsorbsi pada lapisan TiO2, yaitu dari warna kemerahan menjadi keunguan. Perubahan warna ini sebagai akibat terjadinya ikatan antara kromofor dye antocyanin dengan TiO2. Serapan atau absorsi pada permukaan lapisan TiO2 ini membentuk quinoidal yang mengakibatkan permukaan TiO2 terlihat commitmenjadi to user berwarna ungu dan hanya sedikit
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengandung bentuk flavilium sebagai penyebab warna merah (Dai dkk dalam Maddu, 2007).
8 7 Absorbansi
(a)
6 (b)
5
(d)
(c)
(e)
4 3 2 380
480
580
680
780
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 4.5. Spektrum absorbans (a) dye antocyanin bunga sepatu; elektroda TiO2 setelah perendaman dengan ketebalan lapisan TiO2 (b) sampel a 1,3 ± 0,6 μm, (c) sampel b 2,7 ± 0,4 μm, (d) sampel c 3,8 ± 0,4 μm, (e) sampel d 4,8 ± 0,3 μm.
4.6.Karakterisasi I-V Pada Sistem Sel Surya 4.7.1 Karakterisasi I-V dengan Rangkaian Karakterisasi arus (I) dan tegangan (V) dilakukan pada sampel berbentuk prototipe sel surya yang terdiri dari substrat TCO yang telah terdeposisi oleh lapisan TiO2, dye bunga sepatu, larutan elektrolit polimer yang mengandung mediator redoks, dan elektroda counter berupa kaca FTO yang dilapisi karbon yang berasal dari jelaga lilin. Sumber cahaya yang digunakan adalah OHP light dengan intensitas sebesar 734 W/m2. Luas penampang prototipe sel surya TiO2 tersensititasi dye sebesar (2 x 1) cm2 atau 2 cm2. Prototipe sel surya dibuat sebanyak 4 sampel menggunakan bubuk TiO2 yang dikalsinasi pada suhu 600oC, dengan ketebalan sampel a, b, c, dan d berturut – turut adalah (1,3 ± 0,6) μm, (2,7 commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
± 0,4) μm, (3,9 ± 0,4) μm dan (4,8 ± 0,3) μm, dimana masing-masing direndam dalam larutan dye selama 24 jam. Kurva karakterisasi arus (I) dan tegangan (V) dapat digunakan untuk mengetahui tingkat performa dari sel surya. Pertama, arus short-circuit (Isc), yaitu nilai arus terbesar yang mengalir ketika rangkaian dihubung singkat, dimana tegangan antar ujung besarnya nol. Kedua, nilai tegangan terbesar open-circuit (Voc), yaitu tegangan yang dihasilkan ujung-ujung elektroda dimana arus bernilai nol. Ketiga, daya maksimum (Pmax), didapatkan dari hasil kali maksimum antara arus dan tegangan. Keempat, Fill Factor (FF) memperlihatkan seberapa jauh kurva karakterisasi arus (I) dan tegangan (V) mendekati bentuk ideal, dimana besarnya kurang dari 1 (positif).
Karakteristik arus (I) dan tegangan (V) untuk
sel yang dibuat dari bubuk TiO2 yang disintesis dengan metode sol-gel pada suhu kalsinasi 600°C dan dye antocyanin bunga sepatu dengan variasi ketebalan lapisan TiO2 diperlihatkan pada gambar 4.6. 3
Arus (μA)
2.5 2 SAMPEL A
1.5
SAMPEL B
1
SAMPEL C
0.5
SAMPEL D
0 0
100
200
300
400
Tegangan (mV)
Gambar 4.6. Kurva Karakterstik Arus (I) dan Tegangan (V) hasil pengujian dengan rangkaian pada sel surya berbasis sensitizer ekstrak antocyanin bunga sepatu variasi ketebalan lapisan TiO2 Pada gambar 4.6 sampel A, B, C, dan D menunjukkan sel surya yang mendapatkan perlakuan yang sama yaitu menggunakan bubuk TiO2 dengan kalsinasi 600°C dan direndam dalam larutan dye antocyanin bunga sepatu selama commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
24 jam. Perbedaannya terletak pada ketebalan lapisan TiO2 yang ditentukan dengan metode by weight. Nilai ketebalan dari sampel A, B, C, dan D berturut – turut adalah (1,3 ± 0,6) μm, (2,7 ± 0,4) μm, (3,8 ± 0,4) μm, dan (4,8 ± 0,3) μm. Elektron sistem sel surya dihasilkan dari elektron zat warna yang tereksitasi karena mendapatkan sinar pada daerah cahaya tampak yang kemudian diinjeksi ke dalam pita konduksi semikonduktor TiO2. Terjadinya injeksi elektron zat warna ke dalam pita konduksi semikonduktor TiO2 dipermudah dengan adanya interaksi atau ikatan zat warna dengan TiO2, jika tidak terjadi interaksi atau ikatan maka sistem sel surya akan mati karena sulitnya menginjeksi sehingga tidak ada arus yang mengalir. Sistem sel surya dikatakan mati apabila arus yang dihasilkan sistem pada saat tegangan bernilai 0 (Isc) adalah 0. Faktor lain yang menyebabkan sel surya mati adalah terjadinya short karena kontak langsung dengan elektroda kerja (working electroda) dengan elektroda lawan (counter electroda). Hal ini bisa terjadi bila larutan elektrolit tidak bisa terdistribusi merata pada seluruh permukaan elektroda kerja - elektroda lawan. Dari kurva I-V yang dihasilkan pada masing – masing sampel dengan luas permukaan 2 cm x 1 cm dan intensitas sumber sebesar 734 W/m2 dapat ditentukan nilai arus short circuit (Isc), tegangan open circuit (Voc), fill factor (FF), dan efisiensinya sebagaimana tersaji dalam tabel 4.2. Tabel 4.2. Hasil Pengukuran Arus – Tegangan Sistem Sel Surya Berbasis Sensitizer Ekstrak Antocyanin Bunga Sepatu dengan Rangkaian. Sampel
Isc
Voc
FF
EF
(μA)
(mV)
A
2,01
281
0,476
1,8 x 10-4
B
2,21
284
0,478
2,0 x 10-4
C
2,25
290
0,491
2,2 x 10-4
D
2,4
314
0,482
2,5 x 10-4
(%)
Hasil pengujian karakteristi arus – tegangan pada sistem sel surya berbasis commit to user sensitizer ekstrak antocyanin bunga sepatu dengan variasi ketebalan lapisan yang
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
disajikan pada tabel 4.2. menunjukkan bahwa semakin tebal lapisan TiO 2 maka efisiensinya juga meningkat, hal ini disebabkan karena ketebalan elektroda TiO2 terkait dengan kapasitas menyimpan dye, semakin tebal lapisan secara kasar berarti dye yang tersimpan juga akan semakin banyak. Namun menurut Jabbari (2011) dengan meningkatnya ketebalan lapisan maka kecepatan charge transfer akan berkurang, ini mempengaruhi efisiensi sel selanjutnya. Hasil penelitian Jabbari (2011) penurunan efisiensi pada sel surya terjadi pada ketebalan lapisan antara 13 μm – 15 μm. Sementara penelitian ini belum bisa menghasilkan ketebalan lapisan diatas 10 μm, hal ini dikarenakan metode pembuatan lapisan tipis yang menggunakan metode slip casting dimana kontrol ketebalan lapisan menggunakan scotch tape pada ketiga sisi tepi substrat kaca, sehingga belum mampu mengkaji pengaruh ketebalan lapisan terhadap kecepatan change transfer. Pada tabel 4.2 terlihat bahwa semua sampel sistem sel surya dapat menghasilkan arus, meskipun arus yang dihasilkan masih sangat kecil. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya faktor hambatan dalam yang besar, proses rekombinasi (reaksi balik elektron yang sudah terinjeksi oleh dye yang teroksidasi) yang tidak diinginkan, dan konstruksi pengukuran yang belum sempurna. Untuk itulah kurva I-V yang berasal dari rangkaian dengan memvariasi hambatannya perlu dibandingkan dengan kurva I-V yang dihasilkan dengan pengujian menggunakan Keithley 2602A system source.
4.7.2. Karakterisasi I-V dengan Keithley Salah satu kelemahan metode slip casting untuk pembuatan lapisan TiO2 adalah konsistensinya dalam kontrol ketebalan. Dalam pengalaman pada penelitian ini, pengulangan pembuatan sampel dengan perlakuan yang sama belum tentu akan menghasilkan ketebalan yang sama pula. Oleh karena itu pada pengujian karakteristik I-V sistem sel surya dengan menggunakan Keithley 2602 A ini, sampel yang digunakan memiliki ketebalan yang berbeda dari sampel yang diuji dengan metode rangkaian, namun selisihnya sangat kecil. Dengan demikian tetap bisa dibandingkan hasil dari pengujian dengan dua metode ini. commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berbeda dari pengukuran arus – tegangan dengan rangkaian yang mendapatkan kurva I-V dengan memvariasikan hambatan, pada pengukuran I-V menggunakan Keithley 2602A system source, sistem sel surya bertindak sebagai photodioda. Pengambilan data dilakukan dengan memasukkan nilai tegangan (drain voltage) -0,5 – 1 Volt. Dimana akan diamati dua perlakuan pada sel surya, yaitu tanpa cahaya, dimana sel surya berada dalam kondisi gelap dan dengan disinari cahaya dari OHP light berintensitas 1746 W/m2 atau dalam kondisi terang. Gambar 4.7 menunjukkan karakteristik kurva I-V pada sel surya TiO2 tersensitisasi dye dengan ekstrak antosianin bunga sepatu sebagai fotosensitizer pada ketebalan yang berbeda (a) 1,4 ± 0,5 μm (b) 2,9 ± 0,4 μm (c) 3,9 ± 0,4 μm (d)
I (Ampere)
4,7 ± 0,3 μm. 1E-04
Gelap Terang
8E-05 6E-05 4E-05
0.003
2E-05
0.0025
-2E-05 0
0.002
0.2
-4E-05
0.0015
-6E-05 0.001
-8E-05
0.0005 0 -1 0 -0.0005
Voc = 0,2839172
-8E-19
V (Volt) 1
2
commit to user
I sc = 5.1E-05
0.4
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I (Ampere)
(b)
gelap terang
0.0005
5E-05
0.0004
3E-05
0.0003
1E-05
0.0002
-1E-05 0
0.0001
-0.0001
0.1
0.2
-3E-05
0 -1
7E-05
0
1
2
V (Volt)
-5E-05
-0.0002 -0.0003
gelap
I (Ampere)
(c)
terang
8E-05 6E-05
0.0014
4E-05
0.0012
2E-05
0.001
V oc = 0,374379
-7E-19
0.0008
-2E-05 0
0.0006
0.5
-4E-05
0.0004
-6E-05
0.0002
-8E-05 V (Volt)
0 -1 0 -0.0002
1E-04
1
2
-0.0004
commit to user
I sc = 5,6E-05
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(d) I (Ampere)
Gelap Terang
0.0005 0.0004
0.0025 0.002
0.0003
0.0015 0.0002 0.001 1E-04
0.0005 0 -1 0 -0.0005
1
V(Volt) 2
V oc = 0,389463
-1E-18 0 -0.0001
0.5
I sc = 0,00008
-0.001
Gambar 4.7. Kurva karakterstik arus (I) dan tegangan (V) melalui pengujian dengan Keithley pada sel surya berbasis sensitizer ekstrak antocyanin bunga sepatu variasi ketebalan lapisan TiO2 . Pada gambar 4.7 dapat diketahui bahwa 4 sampel yang dibuat memiliki sensitivitas terhadap cahaya. Kenaikan arus pada tiap sampel berbeda, sampel (d) memiliki kenaikan arus yang lebih besar dibandingkan dengan ketiga sampel lainnya. Hal ini menunjukkan sampel (d) memiliki sensitivitas cahaya yang paling tinggi. Dari tinggi rendahnya kenaikan arus juga dapat diketahui bahwa ketebalan lapisan TiO2 sangat berpengaruh, yaitu dengan bertambahnya ketebalan lapisan TiO2, maka kenaikan arus juga bertambah besar yang berlaku pada rentang ketebalan 1 μm – 5 μm (pada penelitian ini). Adanya penyinaran oleh sumber cahaya pada permukaan sampel akan meningkatkan pasangan elektron-hole. Pasangan elektron-hole akan terpisah oleh medan listrik yang kemudian akan berkontribusi terhadap peningkatan arus (Rahmawati, 2011). Oleh karena itu, padatogambar commit user 4.7 terlihat adanya peningkatan
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
arus ketika sampel dalam kondisi terang dibandingkan dengan kondisi gelap. Namun kondisi berbeda ditemui pada sampel (b), pada sampel (b) grafik antara kondisi terang dan gelap yang dihasilkan berhimpit. Hal tersebut dikarenakan kekuatan mekanik dari lapisan TiO2 masih lemah, mudah lepas dari FTO sehingga kualitas sampel (b) kurang baik.
Gambar 4.8. Kurva karakteristik arus – tegangan saat gelap dan terang. Sesuai dengan gambar 4.8 maka kurva I – V yang dihasilkan dari pengujian dengan Keithley 2602 A dapat ditentukan ditentukan nilai arus short circuit (Isc), tegangan open circuit (Voc), fill factor (FF), dan efisiensinya. Hasil pengukuran Isc dan Voc serta FF dan efisiensi disajikan dalam tabel 4.3. Tabel 4.3. Hasil Pengukuran Arus – Tegangan Sistem Sel Surya Berbasis Sensitizer Ekstrak Antocyanin Bunga Sepatu dengan Keithley. Sampel
A
Isc
Voc
(A)
(V)
0,000051 0,2839172
FF
EF (%)
0,376
1,6 x 10-3
B
-
-
-
-
C
0,000056
0,374379
0,399
2,4 x 10-3
D
0,000080 0,389463 0,335 commit to user
3,0 x 10-3
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Karena kondisi dari sampel B yang kurang baik dan kurva I-V yang dihasilkan tidak sesuai dengan gambar 4.7, maka nilai Isc, Voc, FF, maupun EF tidak dapat ditentukan. Namun demikian dari hasil yang disajikan pada tabel 4.3 sudah bisa diketahui bahwa efisiensi sel surya meningkat seiring dengan bertambahnya ketebalan lapisan TiO2. Secara umum kesimpulan dari hasil pengujian karakteristik arus – tegangan dengan Keithley maupun dengan rangkaian sama. Hanya saja, penggunaan Keithley dirasa lebih efektif dibanding dengan rangkaian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN 1. Telah selesai difabrikasi prototipe sel surya berbasis Titanium Dioksida (TiO2) dengan ekstrak antocyanin bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L) sebagai fotosensitizer. 2. Ekstrak antocyanin dari bunga sepatu memiliki spektrum serapan dari rentang panjang gelombang 450 nm – 580 nm, dengan puncak absorbansi maksimum (λmaks) sekitar 520 nm. Sehingga ekstrak antocyanin dari ekstrak bunga sepatu dapat diaplikasikan sebagai fotosensitizer dalam DSSC karena mampu menyerap cahaya tampak. 3. Pengujian efisiensi sampel sel surya dilakukan dengan rangkaian dan Keithley dengan variasi ketebalan pada lapisan TiO2. Dari pengujian menggunakan rangkaian dengan ketebalan sampel (1,3 ± 0,6) μm; (2,7 ± 0,4) μm, (3,8 ± 0,4) μm; dan 4,8 ± 0,3 μm diperoleh efisiensi berturut – turut 1,8 x 10-4 %, 2,0 x 10-4 %, 2,2 x 10-4 % dan 2,5 x 10-4 %. Sementara dari pengujian menggunakan Keithley dengan ketebalan sampel (2,9 ± 0,4) μm; (3,9 ± 0,4) μm , dan (4,7 ± 0,3) μm diperoleh efisiensi berturut – turut adalah 1,6 x 10-3 %, 2,4 x 10-3 %, dan 3,0 x 10-3 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tebal lapisan TiO2 maka efisiensinya juga meningkat, hal ini disebabkan karena ketebalan elektroda TiO2 terkait dengan kapasitas menyimpan dye, semakin tebal lapisan berarti dye yang tersimpan juga akan semakin banyak.
5.2. Saran 1. Penelitian tentang sensititasi dye alami ekstrak bunga sepatu perlu dilakukan pengujian dengan perbedaan konsentrasi pada larutan ekstrak dye. commit to user
56
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut tentang perbandingan metode pembuatan lapisan TiO2 agar diperoleh ketebalan yang sama saat pengulangan pembuatan lapisan dengan rentang ketebalan yang lebar. 3. Perbandingan penentuan ketebalan dengan metode by weight perlu dibandingkan dengan SEM. 4. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk menghasilkan interaksi yang kuat antara lapisan TiO2 dan kaca TCO. 5. Pengujian pada rentang ketebalan lebih besar perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh mobilitas muatan yang melintasi sistem sehingga didapatkan ketebalan optimun guna peningkatan efisiensi sel surya.
commit to user