JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
EKSPLORASI POTENSI GURU DAN SISWA (Proses Pembuatan Seragam Batik Karya Siswa di SDN Sanden 2 Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Rahmad Santosa Jurusan Soiologi FISIP UNSOED Purwokerto
[email protected] Abstract This study aims to explore, empower and harness the potential of teachers and students. The method used is a class act. This research was conducted in TA 2012-2013, with samples in SDN 2 Sanden, Bantul, Yogyakarta Special Region. The target class action is fourth grade and fifth grade. Research priority action to obtain the product range, the process moves cyclically, between action, reflection and further action, always trying to explore the potential hidden in the environment of teachers and students, as well as teachers and students to minimize the problems that arise, to obtain the work produced. The results of this study indicate that the fourth and fifth grade students succeed; (1) making batik uniforms student work itself, (2) during the process of making a change in teacher-student interaction that leads to an interactive relationship, synergistic, and humanist, (3) developing the learning patterns of affective and psychomotor aspects of education that is intensive, and develop parameters qualitative. Keywords: action research, potential teachers and students, work A.
Pendahuluan Kebijakan pembangunan termasuk pendidikan yang menggunakan paradigma positivistik, serta dilakukan dalam waktu yang panjang pula potensi guru dan siswa kurang memiliki penyaluran yang wajar selama proses pembelajaran di sekolah (Santosa, 2010). Dalam kurun waktu tersebut, sekolah hanya sebatas pelaksana berbagai kebijakan dari lembaga supra sekolah, termasuk di dalamnya adalah proses pembelajaran, potensi guru dan siswa terbuang dengan
Ekspolorasi Potensi … (Rahmad Santoso, 51:60)
51
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
sia-sia, karena kuikulum yang diikuti oleh sekolah tidak memaksimalkan potensi guru dan siswa tersebut. Ketika paradigma pembangunan serta berbagai kebijakan yang mengiringinya bergeser dari sentralistik ke desentralisasi, maka berbagai kesempatan untuk memanfaatkan dan memberdayakan komunitas di tingkat bawah, atau akar rumput (grass roots) dari komunitas sekolah, dalam hal ini adalah siswa dan guru, sebenarnya mulai terbuka pula kesempatan tersebut. Namun demikian karena pemberdayaan di tingkat bawah (sekolah, siswa dan guru) tersebut merupakan perubahan budaya hubungan kerja dan kinerja, maka tidak serta merta ketika pintu perubahan kinerja tersebut dibuka, otomatis akan terjadi perubahan besar-besaran di tingkat guru dan siswa. Perubahan baru akan terjadi apabila dilakukan pendampingan bagi guru dan siswa untuk melakukan perubahan dan pemberdayaan dalam proses pembelajaran, kinerja dan berkarya. Dalam diri siswa sebenarnya tersimpan potensi untuk berkreasi dan berkarya yang orisinil, indah, luhur dan mulia, namun demikian karena tidak pernah terbahasakan. Dalam proses pembelajaran di sekolah, tidak atau paling tidak jarang memperoleh penyaluran, pelatihan, dan media penyaluran bakat dan kreativitas terssebut, sehingga ibarat mutiara yang tercebur dalam lumpur dan tidak pernah diangkat dan dibersihkan. Menurut Craft (2000), bahwa orisinalitas merupakan aspek yang penting pada kreativitas, perkembangan bahasa anak kecil, kaya dengan contoh orisinalitas, mereka seringkali membuat asosiasi antar deskriptor (hal yang digambarkan) yang baginya adalah orosinil. Suatu keadaan, bahwa potensi guru dan siswa, serta sinergisitas antara keduanya apabila diberdayakan dapat menghasilkan karya, namun demikian selama ini dibiarkan begiru saja, potensi guru dan siswa hanya sebatas potensi latent, untuk itu maka potensi latent tersebut perlu diberdayakan agar potensi latent tersebut menjadi potensi manifest dalam bentuk karya yang bermanfaat, di sampingitu memberikan fasilitas bagi guru dan siswa untuk dapat mengaktualisasikan potensi dari kreativitas yang orisinal tersebut. B. Tinjauan Pustaka Berpikir secara devergen dan konvergen merupakan dasar kreativitas, dimana dengan berpikir konvergen hanya memiliki satu solusi atas pesoalan, sedang berpikir devergen menemukan beberapa Ekspolorasi Potensi … (Rahmad Santoso, 51:60)
52
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
kemungkinan atas masing-masing pertanyaan (Saputra, dkk, 2012). Kreativitas merupakan „being imaginative and inventive, bringing into existence, making, originating‟, atau menjadi imajinatif/penuh daya khayal dan inventif atau penuh daya cipta, masuk dalam eksistensi mencipta, melahirkan/memurnikan (Concise Oxford Dictionary, 9th, Edition 1995). Komandegan potensi berpikir konvergen dan devergen yang merupakan potensi kreasi siswa yang utama, perkembangannya terkendala oleh kebijakan pembelajaran yang berparadigma positivistik, dan sentralistik. Kebijakan demikian ini berpengaruh pada proses pembelajaran di sekolah, dan karena telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, maka kebijakan pendidikan yang positivistik tersebut telah melahirkan pembelajaran yang positivistik pula, sehingga telah membentuk pola pikir dan pola tindak yang sukar untuk dirubah, atau memerlukan waktu yang panjang, karena harus dimulai dari pembongkaran pola pikir lama untuk selanjutnya membangun pola pikir baru dan merubah proses pembelajaran. Danim (2006), menyatakan bahwa lembaga pendidikan formal memiliki kecenderungan untuk berpikir dan bertindak stagnatif dan konservatif, dengan demikian maka memperbaharui pendidikan termasuk di dalamnya adalah merubah perilaku belajar manusia (human learning). Aspek tersebut merupakan dapat dijadikan triger untuk melakukan perubahan mendasar di bidang pendidikan, yang nantinya akan berpengaruh pada aspek pendidikan yang lain dan meluas. Untuk mendongkrak fungsi progresif pendidikan menuntut aplikasi efektif model pembelajaran sebagai pilar utama institusi persekolahan, sehingga perubahan proses pembelajaran merupakan sentral pengembangan sosial masyarakat pendidikan. Gutmann (1999), bahwa sehubungan dengan politik pendidikan yang paling substansial adalah masalah distribusi kewenangan yang memungkinkan dapat mengarahkan individu dapat memformulasikan ide-ide yang dimilikinya. Pengembangan demokrasi pendidikan memungkinkan dikembangkannya kesadaran reproduksi sosial, serta berbagai komponen sosial yang lain dan dapat mempengaruhi upaya perbaikan pendidikan dapat diberdayakan, yang mengarah pada pengembangan nilai-nilai moral dan karakter siswa, apabila hal demikian ini didorong untuk dikembangkan di sekolah dapat memberikan berbagai solusi dari berbagai proble pendidikan yang menghinggapi dunia atau lembaga pendidikan. Ekspolorasi Potensi … (Rahmad Santoso, 51:60)
53
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
Gagasan demokratisasi pendidikan memungkinkan berbagai permasalahan dan potensi guru dan siswa yang selama ini tidak memperoleh penyaluran yang wajar mendapat kesempatan untuk di kembangkan, dan berbagai permasalahan sekolah dapat diatasi. Potensi dan permasalahan pendidikan yang terdapat di tingkat sekolah merupakan kasus unik yang hanya dapat dipahami oleh komunitas sekolah itu sendiri dan tidak akan mampu diselesaikan berdasarkan desain dari luar kamunitas sekolah dan lembaga supra sekolah, baik dari dinas maupun dari pusat sekalipun, maka sudah saatnya sekolah (guru dan siswa) diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kepribadiannya. Prasodjo dan Hidayati (2005), menyatakan bahwa pada dasarnya anak merupakan generasi yang unggul tidak akan tumbuh dengan sendirinya, maka sesungguhnya memerlukan lingkungan yang subur yang sengaja diciptakan untuk itu yang memungkinkan potensi mereka dapat tumbuh secara optimal. Suasana tersebut meliputi suasana pembelajaran yang penuh kasih sayang, terdapat penghargaan atas potensi anak, memberi rangsangan untuk segala aspek perkembangan anak, termasuk afektif, kognitif dan psikomotorik. Dalam keadaan demikian berkembang pula kecerdasar emosional atau emotional Questions (EQ), seperti pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan memotivasi diri, bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi. C. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan, riset aksi (action research), adalah penelitian yang berorientasi pada penerapan tindakan dengan tujuan peningkatan mutu atau pemecahan masalah pada suatu kelompok subjek yang diteliti dan mengamati tingkat keberhasilan atau akibat tindakannya, untuk kemudian diberikan tindakan lanjutan yang bersifat penyempurnaan tindakan atau penyesuaian dengan kondisi dan situasi, sehingga diperoleh hasil yang lebih baik (Sulipan, 2011). Dengan metode tersebut lebih sesuai untuk menggerakkan orang lain, baik individu maupun kelompok, karena peneliti bergerak antara aksi dan refleksi secara terus menerus, dengan subjek tindakan adalah komunitas pendidikan (sekolah), yakni guru dan siswa, untuk di eksplore potensi yang dimiliki guru dan siswa dengan hasil akhir diperoleh produk (karya) berupa pakaian seragam batik karya siswa. Ekspolorasi Potensi … (Rahmad Santoso, 51:60)
54
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
Penelitian tindakan ini dilakukan di kelas empat dan lima Sekolah Dasar Negeri 2 Sanden, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan demikian karena penelitian ini dilakukan untuk memberdayakan kelas, maka metode penelitian ini dinamakan penelitian tindakan kelas (PTK). Adapun yang menjadi subjek dari penelitian ini adalah seluruh komunitas pendidikan di sekolah, yakni guru, kepala sekolah, dewan sekolah, serta orang tua/wali siswa. D. Hasil Penelitian Penelitian dengan menggunakan metode penelitian tindakan, yang dalam hal ini adalah tindakan kelas, dengan demikian dalam prosesnya selalu bergerak secara siklis, antara aksi-refleksi, dan aksi lanjutan. Dengan demikian untuk mencapai atau memperoleh produk yang akan dijangkau, harus dilalui dengan beberapa tahapan atau siklus tersebut. 1. Siklus Pertama “Membangkitkan raksasa tidur” Proses ini diawali dengan proses penyadaran bahwa di dalam komunitas sekolah, terdapat potensi besar yang dimiliki oleh guru, siswa, dan juga lingkungan (alam, sosial dan kultural), yang belum dinsinergikan. Proses penyadaran tersebut diawali dengan perubahan pola pikir (mind sets), dengan jalan membalik paradigma guru, yakni dari paradigma positivistik menjadi fenomenologis, pengenalan paradigma fenomenologis di kalangan guru ini untuk selanjutnya mampu merubah mind sets guru, yang nantinya merubah cara pandang guru terhadap siswanya, merubah pendekatan proses pembelajaran, serta merubah pola interaksi guru-siswa, serta merubah kinerja guru. Dengan perubahan tersebut kemudian semakin disadari behwa ternyata pada diri guru, siswa, serta lingkungan terdpat potensi besar, apabila disinergikan dapat menghasilkan karya yang sangat bermanfaat, baik bagi siswa, guru, sekolah dan lingkungan. Potensi besar tersebut ibaratnya seperti “raksasa tidur”, yang selama ini dibiarkan mendengkur, tanpa menhasilkan karya apapun, pembiaran ini semakin disadari bahwa hal tersebut merupakan bentuk pemborosan bagi sekolah, siswa, orang tua dan negara, yang dapat mendatangkan kerugian material, mental, kulturan dan sosial.
Ekspolorasi Potensi … (Rahmad Santoso, 51:60)
55
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
2. Siklus kedua, “berkarya kita bisa” Setelah dilakukan refleksi bersama dengan komunitas pendidikan di sekolah, yakni guru, kepala sekolah, dewan pendidikan dan wali siswa, selanjutnya tumbuh kesadaran baru dari komunitas guru, serta elemen sekolah yang lain, maka pada siklus kedua guru mulai mendeseminasikan atau mentransformasikan pada siswa, pada tahap ini siswa dibangun kesadarannya bahwa potensi siswa yang selama ini belum termanfaatkan, dimotivasi untuk membeuat karya bersama guru, sehingga karya tersebut memiliki manfaat baik bagi siswa, guru, sekolah dan orang tua siswa. Siklus kedua dilakukan, merupakan implikasi dari perubahan mind set guru dalam memahami perubahan paradigma pembelajaran dari positivistik ke fenomenologi, dimana dalam paradigma fenomenologi terhadap pengakuan, bahwa individu (siswa) merupakan aktor yang aktif dan kreatif, sehingga dibutuhkan ketulusan guru untuk mengakui dan menghargai ide, kreasi dan karya siswa, apapun bentuk karya siswa yang dihasilkan. Hal demikian itu bukan menjadi kebiasaan guru selama guru masih menggunakan paradigma positivistik, sehingga dalam siklus ini sekaligus membangun budaya kinerja guru dari positivistik ke fenomenologi. Perubahan aktivitas dan kebiasaan siswa juga dibangun dalam siklus kedua ini, karena berhubungan pula dengan kebiasaan siswa yang dalam interaksi pembelajaran hanya berjalan satu arah, yakni dari guru ke siswa yang telah menjadi kebiasaan guru-siswa dalam kurun waktu yang panjang. Sebuah kreasi dan karya pada dasarnya tidak ada yang salah, maka siswa dibangkitkan semangatnya untuk tidak takut berkarya, tidak takut salah dan memiliki bersemangat untuk berkreasi. Dengan demikian untuk membangkitkan siswa berkarya, maka proses pembangkitannya dari dua sisi, yakni dari sisi guru didorong untuk mulai menghargai karya siswa, sementara dari sisi siswa didorong untuk tidak takut berkreasi dan berkarya, serta tidak takut salah dalam berkreasi tersebut. Pemahaman dan peyadaran yang intensif dan terus menerus dari sisi siswa dan guru tersebut pada saat berikutnya mampu membangkitkan kesadaran baru. Proses ini membutuhkan waktu yang relatif panjang, serta diperlukan pendampingan baik terhadap guru, siswa, dewan sekolah, dan juga wali siswa. Walaupun dengan membangun interaksi interpersonal serta kesejawatan, akhir mampu
Ekspolorasi Potensi … (Rahmad Santoso, 51:60)
56
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
dibangun dan dikembangkan kesadaran, semangat dan kemauan baru, bahwa “berkarya kita bisa”. 3. Siklus ketiga “membatik itu mudah” Ketika kesadaran baru sudah mulai terbangun, baik dari kalangan guru, siswa, dewan sekolah, serta wali siswa, semangat untuk berkarya juga sudah mulai tumbuh, maka dalam siklus ketiga guru dan siswa diajak untuk membuat karya, hasil diskusi dengan siswa dan guru dipilih karya yang dibuat adalah membuat seragam batik karya siswa. Pemilihan tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan; (1) seragam merupakan kebutuhan sekolah dan siswa, (2) seragam batik dengan membeli mendidik siswa untuk berperilaku konsumtif; (3) seragam batik karya sendiri mendidik kemandirian dan percaya diri; (4) menuangkan kemampuan menggambar di kertas dan alat gambar, ke dalam kain dengan alat batik’ dan (5) simpulan dari siswa ternyata “membatik itu mudah” . 4. Siklus keempat “aku bangga dengan karyaku” Pada dasarnya anak (siswa) adalah suka sekali untuk berkarya, kreativitasnya unik, dan banyak variasiya, hal ini terjadi pada siklus yang keempat yakni diajak mewujudkan gagasan dalam sebuah karya. Walaupun baru diajak membatik di kertas, dalam arti membuat motif batik dikertas gambar, sesuai dengan kreativitasya masing-masing, maka siswa banyak yang merasakan, bahwa membatik itu mudah. Kesulitan yang sering muncul adalah ketika siswa dipaksa mewujudkan kreativitas orang lain yang bukan menjadi kreativitasnya, sehingga siswa merasa asing, mengalami kesulitan, karya yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan dari guru, akhirnya dianggap anak tidak mampu berkarya. Setelah berhasil membuat batik dengan pola dan gambar kreasi siswa sendiri, menjadi lebih mudah ketika diajak untuk menuangkan karya batik tersebut ke dalam kain, walaupun dalam ukuran kecil, hanya sebesar sapu tangan, hal ini dimaksudkan agar siswa yang sudah memiliki ketrampilan membatik di kertas gambar tersebut memiliki kemampuan membatik di dalam kain, sehingga pengetahuan, semangat dan ketrampilan membatik dapat diwujudkan dalam sebuah karya, sehingga anak merasa bangga dengan karya tersebut, selama ini yang diperkirakan oleh guru dan siswa, bahwa membuat batik itu adalah pekerjaan pabrik, anak belum saatnya memiliki kemampuan Ekspolorasi Potensi … (Rahmad Santoso, 51:60)
57
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
tersebut, guru serasa tidak mampu membimbingnya, tetapi akhirnya setelah dapat berkarya, banyak siswa yang hampir tidak percaya bahwa siswa mampu berkarya yang sangat membanggakan dan siswapun berpendapat bahwa “aku bangga dengan karyaku”. 5. Siklus kelima “anakku, anak kita, mampu berkarya”. Kemampuan menuangkan karya rupa (menggambar) dengan bahan batik (malam) dan alat batik (canthing), sudah dikuasasi siswa, yakni setelah belajar membatik dalam ukuran kecil, maka ketika ketrampilan dan pengetahuan tersebut dituangkan dalam media yang lebih besar, tidak menghadapi kesulitan yang berarti lagi. Siswa berhasil membuat sergam batik karya sendiri, dengan pola dasar didesain oleh guru (sekolah), demikian juga warna dasar dibuat sama (seragam), hal ini dimaksudkan agar terdapat pola dan warna dasar yang seragam, sehingga dapat dikatakan sebagai pakaaian seragam. Selain pola dan warna dasar, siswa diberi kesempatan untuk megembangkan seni dan kreativitasnya sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, bakat, serta ketrampilannya, sehingga selain menampakkan sergam batik khas sekolah yang bersangkutan, juga mampu menampilkan dan mengangkat karakter masing-masing siswa yang dituangkan dalam pembuatan batik tersebut. Dalam siklus ini pembuatan batik dilakukan setelah kain dalam bentuk baju, karena apabila dibatik dalam bentuk kain, akan menyulitkan penjahit dalam meletakkan pola yang seragam serta dalam bentuk keserasian. Selama proses pembuatan batik tersebut, berkembang pola interaksi guru-siswa yang lebih intensif, rasa kebersamaan antar siswa, tumbuhnya rasa percaya diri, serta berbagai karakter siswa, nilai keutamaan yang tidak dapat dinilai secara kuantitatif yang selama ini tidak dikembangkan menjadi berkembang lebih positif. Ketika sergam batik sudah selesai, dan ditunjukkan di hadapan orang tua (wali) siswa, dewan sekolah, serta lembaga pendidikan supra sekolah, baru percaya bahwa; “anakku, anak kita, mampu berkarya”. E. Penutup Penelitian tindakan kelas (PTK) atau classrooms action research (CAR), yang berusaha mengekplorasi potensi siswa dan guru dengan jangkauan produk adalah membuat seragam batik karya siswa, dilakukan dengan lima siklus, namun demikian proses yang terjadi bergerak antara tiga tema utama yang menjadi kesimpulan dari Ekspolorasi Potensi … (Rahmad Santoso, 51:60)
58
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
penelitian ini, yakni: 1) Komunitas pendidikan di tingkat sekolah dipahamkan serta di sadarkan bahwa dalam diri guru dan siswa masih tersimpan potensi yang selama ini belum dimanfaatkan, sehingga dapat dimanfaatkan dalam bentuk karya. 2) Karya siswa dan guru tersebut adalah membuat seragam batik karya siswa sendiri, telah berhasil dibuat, dengan mengelola interkasi guru-siswa, maka potensi yang terdapat dalam guru-siswa tersebut dapat dimaksimalkan. 3) Selama proses interkasi selama belajar bersama membuat batik tersebut telah berkembang nilai-nilai keutamaan dan kemuliaan yang sangat mendukung pengembangan karakter baik siswa maupun guru. 4) Harapan guru, siswa, serta pemangku pendidikan di tingkat sekolah adalah bahwa proses pemberdayaan tersebut tidak sebatas pada pembuatan batik saja, tetapi juga untuk mata pelajaran serta nilai-nilai keutamaan yang lain.
Daftar Pustaka Craft, Anna, 2000, Membangun Kreativitas Anak (Creativity Across the Primary Curriculum), London. Danim, Sudarwan, 2006. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Gutmann, Amy, 1999, Democratic Education, Princeton University Press, New Jersey Prasodjo, Mangoen, Setiono dan Hidayati, Nur, Siti, 2005. Anak Masa Depan Dengan Multi Intelegensi, Pradipta Publishing, Yogyakarta Santosa, Rahmad, 2010., Metode Pembelajaran Fenomenologis, Membangun Paradigma Baru Pendidikan di Indonesia, Disampaikan dalam Seminar “Pendidikan Karakter Berbasis Nilai” dilaksanakan atas Kerjasama Balitbangda Kalimantan Selatan dengan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Tanggal 29 Juli 2010.
Ekspolorasi Potensi … (Rahmad Santoso, 51:60)
59
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
Saputro, Yanty, Hadi,. Sabana, Setyawan., Sunarto, Priyanto, dan Syarief, Ahmad, 2012, Bahasa Rupa Sebagai Pengantar BerbahasaBagi Anak Usia Dini Dalam Memotivasi Perkembangan Kreativitasnya dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Makalah Sseminar Nasional Tranformasi Sosial dan Budaya, Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman. Sulipan, H., 2011. Penelitian tindakan (Action research). http://sekolah.8k.om/rich_text_8.html. Tanggal 5-07-2012
Ekspolorasi Potensi … (Rahmad Santoso, 51:60)
60