Jurnal Ilmiah IKIP MATARAM
eksistensi ketetapan MPR RI…
EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN DI INDONESIA Ismail Marzuki Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Mataram
e-mail:
[email protected] Abstrak: Sejak tahun 1960, MPRS telah menerbitkan berbagai produk hukum yang berupa Ketetapan MPRS, Keputusan MPRS, Resolusi dan keputusan Pimpinan MPRS. Pilihan bentuk putusan hukum Ketatapan MPR sebagaimana dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa kehadiran Ketetapan MPR dapat didasarkan pada dua hal, yaitu pertama, ketetntuan-ketentuan yang tersirat dalam UUD 1945. Adanya ketentuan-ketentuan yang tersirat yang sekaligus mengandung kekuasaan tersirat (implied power) diakui oleh sistem UUD. MPR menurut UUD 1945 mempunyai berbagai wewenang untuk melakukan tindakan atau membuat keputusan hukum seperti menetapkan GBHN, memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta mengubah UUD 1945. Keputusankeputusan hukum tersebut harus diberi bentuk hukum tertentu. Keputusan hukum MPR antara lain diberi nama ketetapan. Hal ini didasarkan pada bunyi Pasal 3 UUD 1945 yang menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara”. Karena menetapkan maka bentuknya diberi nama Ketetapan. Kedua, dasar kedua bagi bentuk hukum Ketetapan MPR adalah praktik ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan. Praktik atau kebiasaan ketatanegaraan merupakan salah satu sumber hukum tata negara yang terdapat pada setiap negara. Masuknya Tap MPR RI sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki dampak hukum (legal effec) dalam sistem ketatanegaraan Negara Indonesia. Sistem ketatanegaraan yang dimaksud terkait dengan kewenangan lembaga negara yang ada dalam melakukan pengujian (review) terhadap Tap MPR RI. Terjadi kekosongan hukum, sehingga tidak ada lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Tap MPR RI. Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang untuk melakukan judicial review undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, sementara judicial review peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang itu sendiri menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Namun apabila tetap berada dalam hierarki, maka akan terjadi lompatan dalam praktek pengujian undang-undang terhadap UUD NRI tahun 1945. Sehingga seolah-olah Tap MPR dianggap tidak ada, sementara dalam hierarki secara jelas berada di atas undang-undang. Hal ini berpotensi memunculkan ketidaktertiban hukum dan menjadi potensi laten bagi munculnya konflik kewenangan antar lembaga kenegaraan yang ada. Kata kunci: Eksistensi, Peraturan Perundang-undangan adalah lahirnya sebuah lembaga peradilan bernama Mahkamah Konstitusi yang diberikan PENDAHULUAN Reformasi pada tahun 1998 telah wewenang untuk melakukan pengujian undang– membawa banyak perubahan dalam kehidupan undang terhadap Undang–Undang Dasar sesuai ketatanegaraan Republik Indonesia. Salah Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan2: satunya adalah dengan adanya amandemen “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili terhadap UUD Negara Republik Indonesia pada tingkat pertama dan terakhir yang Tahun 1945. Amandemen UUD Negara putusannya bersifat final untuk menguji Republik Indonesia Tahun 1945 mempertegas undang–undang terhadap Undang–Undang Indonesia sebagai negara hukum. Selain itu Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga amandemen juga mengakibatkan perubahan Negara yang kewenangannya diberikan oleh dalam sistem ketatanegaraan dan sistem hukum Undang– Undang Dasar, memutus pembubaran di Indonesia.1 Salah satu perubahan yang terjadi 1
Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi., PT. Alumni, Bandung, 2008, Hal Viii
ISSN: 2355-6358
2
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI, 2006
9
Jurnal Ilmiah IKIP MATARAM
eksistensi ketetapan MPR RI…
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Hak uji konstitusionalitas merupakan salah satu upaya untuk membatasi kekuasaan negara dan bertujuan untuk melindungi hak asasi warga negara dengan cara menilai apakah suatu undang–undang bertentangan dengan Undang– Undang Dasar. Selanjutnya pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 24A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan3: “Mahkamah Agung mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang“. Munculnya wewenang menguji (uji material) terhadap peraturan perundangundangan yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan– kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan aturan yang berlaku secara umum.4 Oleh karena itu penataan peraturan perundang–undangan harus dilakukan sehingga uji materi memilki tolok ukur yang jelas. Pembentukan peraturan perundang– undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas mengatur wewenang dan lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan uji materi terhadap peraturan perundang-undangan. Pengujian undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, dan pengujian peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang masing-masing menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi RI dan Mahkamah Agung RI. Namun dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, muncul satu permasalahan ketatanegaraan yang terkait dengan keberadaan (eksistensi) Ketetapan MPR RI (Tap MPR). Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Pasal 7 ayat (1) bahwa Jenis dan hierarki peraturan perundang–undangan terdiri : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Peraturan Pemerintah e. Peraturan Presiden f. Peraturan Daerah Provinsi, dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 7 ayat (1) tersebut secara jelas memperlihatkan Ketetapan MPR (Tap MPR) RI berada di bawah UUD NRI Tahun 1945 dan di atas undang-undang. Permasalahan yang muncul adalah kenapa Ketetapan MPR RI masuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan serta lembaga apa yang memiliki kewenangan melakukan pengujian Ketetapan MPR RI terhadap UUD NRI Tahun 1945 atau kewenangan pengujian undangundang terhadap Ketetapan MPR RI. Munculnya permasalahan karena dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya tidak ada yang mengatur kewenangan tersebut (blank of norm).
3
4
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI, 2006
ISSN: 2355-6358
METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu melakukan pengkajian bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. 2. Pendekatan Pendekatan dalam sebuah penelitian mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam mempermudah mempelajari, menganalisa dan memahami permasalahan yang sedang diteliti. Di dalam penelitian hukum, terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan Dian Rositawati, Judicial Review, ELSAM, Jakarta, 2005, Makalah, Hal 2
10
Jurnal Ilmiah IKIP MATARAM tersebut peneliti akan mmendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Dalam penelitian ini agar memenuhi kriteria ilmiah dan dapat mendekati kebenaran, maka metode pendekatan yang digunakan adalah : a. Pendekatan Perundang–undangan (Statuta Approach) Merupakan pendekatan yang mengkaji tentang asas–asas, norma–norma hukum dan peraturan perundang–undangan baik yang berasal dari Undang–Undang Dasar, TAP MPR, undang–undang, dokumen, buku– buku, dan sumber– sumber resmi yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) Merupakan pendekatan yang dilakukan dengan cara mengetahui latar belakang sejarah lahirnya sebuah peraturan perundang-undangan. Menurut perspektif sejarah, ada dua macam penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan yaitu penafsiran menurut sejarah hukum dan penafsiran menurut sejarah penetapan peraturan perundang-undangan.
eksistensi ketetapan MPR RI…
HASIL DAN PEMBAHASAN Sejak tahun 1960, MPRS telah menerbitkan berbagai produk hukum yang berupa Ketetapan MPRS, Keputusan MPRS, Resolusi dan keputusan Pimpinan MPRS. Pilihan bentuk putusan hukum Ketatapan MPR sebagaimana dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa kehadiran Ketetapan MPR dapat didasarkan pada dua hal, yaitu pertama, ketetntuan-ketentuan yang tersirat dalam UUD 1945. Adanya ketentuan-ketentuan yang tersirat yang sekaligus mengandung kekuasaan tersirat (implied power) diakui oleh sistem UUD. MPR menurut UUD 1945 mempunyai berbagai wewenang untuk melakukan tindakan atau membuat keputusan hukum seperti menetapkan GBHN, memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta mengubah UUD 1945. Keputusan-keputusan hukum tersebut harus diberi bentuk hukum tertentu. Keputusan hukum MPR antara lain diberi nama ketetapan. Hal ini didasarkan pada bunyi Pasal 3 UUD 1945 yang menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara”. Karena menetapkan maka bentuknya diberi nama Ketetapan. Kedua,
dasar kedua bagi bentuk hukum Ketetapan MPR adalah praktik ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan. Praktik atau kebiasaan ketatanegaraan merupakan salah satu sumber hukum tata negara yang terdapat pada setiap negara. 5 Untuk melakukan tindakan atau membuat keputusan hukum terhadap wewenang yang dimilikinya tersebut, MPR membutuhkan wadah atau bentuk hukum tertentu. Bentuk hukum yang dikeluarkan oleh MPR adalah Ketetapan MPR (Tap MPR) dan Keputusan MPR.6 Ketetapan MPR (Tap MPR) adalah Putusan majelis yang berisi hal-hal bersifat penetapan, mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam majelis, sedangkan Keputusan MPR adalah Putusan Majelis yang berisi aturan/ketentuan intern dan mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis.7 Produk Hukum dari putusan MPR bentuknya adalah Keputusan dan Ketetapan. Pada Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2000 bentuk putusan MPR ditambah satu lagi yaitu perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, semua produk pengambilan keputusan melalui persidangan MPR, disebut sebagai putusan yang dapat berbentuk keputusan, ketetapan dan perubahan Undang-Undang Dasar. 8 Demikian pula dengan hakikat Ketetapan MPR di masa-masa setelah tahun 2004, harus dipahami berbeda pengertiannya dari Ketetapan MPR di masa lalu yang berisi norma hukum yang bersifat regeling (mengatur). Penyebabnya adalah karena MPR hasil Pemilu 2004 dan seterusnya merupakan lembaga (tinggi) negara yang mempunyai status kelembagaan yang berbeda kewenangan-kewenangan konstitusionalnya dibandingkan dengan MPR sebelumnya. Jika Ketetapan MPR/S sebelum hasil Pemilu 2004 berisi norma hukum yang bersifat mengatur (regeling), maka Ketetapan MPR setelah Pemilu 2004 hanya berisi norma hukum yang bersifat administratif (beschikking). 9 Masuknya Tap MPR RI ke dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia disebabkan karena masih ada beberapa Tap MPR yang masih berlaku dan menjadi dasar pembentukan undang-undang di
5
8
6
9
Ibdi. Hal. 171 Ibid. Hal. 170 7 Sekterariat Jendral MPR RI, Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2006.
ISSN: 2355-6358
Ibid. Ibid.
11
Jurnal Ilmiah IKIP MATARAM Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Tap MPR RI No. 1/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Tap MPRS dan Tap MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Tanggal 7 Agustus 2003 sebagai berikut : Ketetapan MPR RI No. 1/MPR/2003 menyatakan : Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan masing-masing sebagai berikut : 1. Tap MPRS Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh Ketentuan dan Ketetapan MPRS Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. 2. Tap MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 Tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan pemerintah berkewajiban mendorong keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai hakikat Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Tap MPR RI Nomor V/MPR/1999 Tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur tetap berlaku sampai dengan terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Tap MPR RI Nomor V/MPR/1999. Pasal 4 Tap MPRS dan Tap MPR RI sebagimana dimaksud di bawah ini tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. 1. Tap MPRS RI Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Penganngkatan Pahlawan Ampera
ISSN: 2355-6358
eksistensi ketetapan MPR RI… tetap berlaku dengan menghargai Pahlawan Ampera yang telah ditetapkan dan sampai terbentuknya undang-undang tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan. 2. Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut. 3. Tap MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18, 18A, dan 18B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Tap MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. 5. Tap MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. 6. Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sampai terbentuknya undangundang yang terkait. 7. Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Republik Indonesia sampai terbentuknya undang-undang yang terkait dengan penyempurnaan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 10 ayat (2) dari Ketetapan tersebut yang disesuaikan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8. Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. 9. Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. 10. Tap MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut. 11. Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut.
12
Jurnal Ilmiah IKIP MATARAM Ketetapan MPR RI No. 1/MPR/2003 Pasal 2 dan Pasal 4 tersebut memperlihatkan bahwa masih ada Tap MPR RI yang berlaku dan menjadi aturan penting dalam rangka menjaga keutuhan, persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat. Beberapa diantara Tap MPR RI yang masih berlaku menjadi dasar hukum untuk lahirnya sebuah undang-undang. Oleh karena itu, dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, Tap MPR RI berkedudukan di atas undang-undang. Sementara dasar keberlakuan Tap MPR RI itu sendiri diatur dalam peraturan peralihan UUD NRI Tahun 1945, sehingga karena itu kedudukan Tap MPR RI berada di bawah UUD NRI tahun 1945. Masuknya Tap MPR RI sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundangundangan di Indonesia memiliki dampak hukum (legal effec) dalam sistem ketatanegaraan Negara Indonesia. Sistem ketatanegaraan yang dimaksud terkait dengan kewenangan lembaga negara yang ada dalam melakukan pengujian (review) terhadap Tap MPR RI. Terjadi kekosongan hukum, sehingga tidak ada lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Tap MPR RI. Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang untuk melakukan judicial review undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, sementara judicial review peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang itu sendiri menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Keberadaan Tap MPR RI dalam UU Nomor 12 tahun 2011 perlu ditinjau kembali. Apakah harus tetap berada di dalam ataukan dikeluarkan dari hierarki, terlebih sejak tahun 2004, tidak ada lagi Tap MPR RI yang bersifat mengatur (regeling). Apabila Tap MPR RI dikeluarkan dari hierarki peraturan perundangundangan, maka akan berdampak kepada terciptanya tertib hukum dalam sistem hukum Indonesia dan tidak menimbulkan kerancauan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Namun apabila tetap berada dalam hierarki, maka akan terjadi lompatan dalam praktek pengujian undang-undang terhadap UUD NRI tahun 1945. Sehingga seolah-olah Tap MPR dianggap tidak ada, sementara dalam hierarki secara jelas berada di atas undangundang. Hal ini berpotensi memunculkan ketidaktertiban hukum dan menjadi potensi laten bagi munculnya konflik kewenangan antar lembaga kenegaraan yang ada.
ISSN: 2355-6358
eksistensi ketetapan MPR RI… KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Keberadaan Ketetapan MPR dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan menimbulkan ketidaktertiban dalam sistem hukum Indonesia, khususnya yang terkait dengan kewenangan pengujian Tap MPR tersebut terhadap UUD NRI Tahun 1945 dan undang-undang terhadap Tap MPR. Saran Untuk menghindari terjadinya ketidakteraturan dalam sistem hukum Indonesia khususnya yang berkaitan dengan kewenangan pengujian terhadap Ketetapan MPR, disarankan supaya semua Tap MPR RI dijadikan sebagai undangundang. Dengan demikian Tap MPR dapat dikeluarkan dari hierarki peraturan perundangundangan. Oleh karena itu, UU Nomor 12 tahun 2011 harus diganti dengan peraturan perundangundangan yang lainnya. DAFTAR PUSTAKA A. Buku dan Karya Tulis Ilmiah Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum; Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta. A Baso Ence, Irianto, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi., PT. Alumni, Bandung. Asshiddiqie,Jimly, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. ______________, 2010, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. ______________, 2010, Negara Hukum Indonesia, Ceramah Umum dalam Rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya, Jakarta. ______________, 2011, Perihal Undang – Undang, Rajawali Pers, Jakarta. ______________, 2011, Keliru TAP MPRMasuk Peraturan Perundang – undangan, DetikNews. ______________, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekteratariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. Daryanto, 1998, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Apollo, Surabaya, hlm. 600.
13
Jurnal Ilmiah IKIP MATARAM Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimiliki hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Handoyo, B. Hestu Cipto, 2008, Prinsipprinsip legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogjakarta, Jogjakarta. Ibrahim,Johnny, 2005,Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normative, Bayu Media Publishing,Surabaya. Lubis,Solly, 2009, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Mandar Maju,Bandung. Mahmud Marzuki, Peter, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Mahfud MD, Moh, 2011, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Ranggawidjaja, Rosjidi, 1998, Pengantar Ilmu Perundang–Undangan Indonesia, Cv. ,Mandar Maju, Bandung. Rositawati, Dian , 2005, Makalah Judicial Review, ELSAM, Jakarta. Soehino, 2000, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta. Syahrul, 2009, Kewenangan Mahkamah Dalam Menguji Peraturan Daerah Di Indonesia,Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram, Mataram, hlm. 34 Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, 2010, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. RajaGrafindo, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro, Wirjono, 1977, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakjat, Jakarta. Yuliandri, 2010, Asas–Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta B. Peraturan Perundang – Undangan Indonesia, Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia, Ketetapan MPR RI No. 1/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS dan TAP MPR Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Indonesia, Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2003 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
ISSN: 2355-6358
eksistensi ketetapan MPR RI… Indonesia, Undang–Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Indonesia, Undang–Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan
14