EKOLOGI MAKAN BURUNG PANTAI DAN KAITANNYA DENGAN KONDISI LINGKUNGAN LAHAN BASAH WONOREJO, SURABAYA
NANANG KHAIRUL HADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekologi Makan Burung Pantai dan Kaitannya dengan Kondisi Lingkungan Lahan Basah Wonorejo, Surabaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016 Nanang Khairul Hadi NIM P052120161
iii
RINGKASAN NANANG KHAIRUL HADI. Ekologi Makan Burung Pantai dan Kaitannya dengan Kondisi Lingkungan Lahan Basah Wonorejo, Surabaya. Dibimbing oleh YENI ARYATI MULYANI dan YUSLI WARDIATNO. Lahan basah Wonorejo yang terletak di kawasan Important Bird Area (IBA) Pantai Timur Surabaya telah diketahui sebagai lokasi persinggahan bagi burung pantai yang melakukan migrasi. Aktivitas utama burung pantai selama berada di lokasi persinggahan adalah mencari pakan dan istirahat. Penelitian ini bertujuan untuk menggali infomasi mengenai komunitas burung pantai, aktivitas mencari makan, potensi pakan, dan kondisi lingkungan lahan basah Wonorejo. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2015 hingga Maret 2016. Lokasi penelitian berada di lahan basah Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya. Pengamatan burung pantai dilakukan di tambak dan hamparan lumpur dengan menggunakan metode konsentrasi. Pengambilan sampel makrozoobentos dan substrat dengan menggunakan metode core dan ayakan. Pengukuran kualitas air dilakukan secara langsung di lapangan dan analisis di laboratorium. Hasil penelitian mendapatkan 21 spesies burung pantai yang terdiri dari tiga famili. Famili yang paling mendominasi adalah Scolopacidae, Charadriidae, dan Recurvirostridae. Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan di hamparan lumpur (H’= 2,37 E= 0,59) lebih tinggi dibanding di tambak (H’= 2,18 E= 0,46). Jenis burung dengan kelimpahan tertinggi di tambak adalah Tringa nebularia (20%) dan Limosa limosa (20%), sedangkan di hamparan lumpur Tringa totanus (17%), Pluvialis fulva (14%) dan Calidris ferruginea (14%). Terdapat dua aktivitas utama burung pantai, yaitu makan dan beristirahat. Aktivitas makan lebih banyak dilakukan di hamparan lumpur (77,25%) dibanding di tambak (19,15%), sedangkan aktivitas istrahat/tidak makan lebih banyak dilakukan di tambak (80,84%) dibanding di hamparan lumpur (22,74%). Perilaku makan burung pantai yang termasuk kedalam kelompok visual terdiri dari 5 jenis, lebih visual 7 jenis, dan lebih tactile 9 jenis. Selain itu perilaku makan berdasarkan tipe pergerakan paruh yang lebih dominan pecking terdiri dari 5 jenis, jab 3 jenis dan probe 9 jenis. Terdapat 11 jenis makrozoobentos yang terdiri dari lima kelompok yaitu Crustacea, Bivalvia, Gastropoda, Coleoptera, dan Polychaeta. Nilai keanekaragaman makrozoobentos di tambak (H’= 0,63) lebih tinggi dibanding hamparan lumpur (H’= 0,40), namun nilai kemerataan di hamparan lumpur lebih tinggi (E= 0,37) dibandingkan di tambak (E= 0,27). Kepadatan makrozoobentos di hamparan lumpur didominasi oleh Bivalvia (97%) sedangkan di tambak didominasi oleh Crustacea (86%). Bivalvia dan Crustacea merupakan salah satu pakan utama burung pantai. Hasil analisis terhadap kualitas air pada kedua lokasi pengamatan secara umum masih dalam batas normal untuk mendukung kehidupan makrozoobentos. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kelimpahan burung pantai mempunyai korelasi sangat erat dengan kepadatan makrozoobentos (p < 0,01; r = 1,0). Kata kunci: burung pantai, ekologi makan, lahan basah Wonorejo, makrozoobentos
iv
SUMMARY NANANG KHAIRUL HADI. Feeding Ecology of Shorebirds and it’s Relation to the Environment Condition of Wonorejo Weltands, Suarabaya. Supervised by YENI ARYATI MULYANI dan YUSLI WARDIATNO. Wonorejo wetland is located in the Important Bird Area (IBA) of Surabaya East Coast, and it is known as a stopover site of migratory shorebirds. The main activities of shorebirds during stopover are feeding and resting. This study aims to explore information shorebirds species visiting Wonorejo wetlands, their foraging activity, potential food, and environmental conditions of Wonorejo wetlands. This study was conducted from November 2015 to March 2016. The research location is situated in Wonorejo wetlands, District of Rungkut, Surabaya. Observation of shorebirds were done at ponds and mudflats using concentration count. Sampling of macrozoobenthos and substrate using cores and sieve. Water quality measurements were carried out directly in the field and laboratory analysis. The results showed that there are 21 species of shorebirds of three families, Scolopacidae, Charadriidae, and Recurvirostridae. Scolopacidae was the most dominant family. The indices of diversity and evenness in the mudflats (H'= 2,37 E= 0,59) was higher than in ponds (H'= 2,18 E= 0,46). The species with the highest abundance in the ponds were Tringa nebularia (20%) and Limosa limosa (20%), whereas in the mudflats Tringa totanus (17%), Pluvialis fulva (14%) and Calidris ferruginea (14%) were the dominant species. Therea are two main activities observed were foraging and resting. Foraging was done more in mudflats (77,25%) than in ponds (19,15%), while resting activity was mostly done in ponds (80,84%) than in the mudflats (22,74 %). Feeding behavior of shorebirds are included in the visual group consisting of 5 species, more visual 7 species, and more tactile 9 species. In addition, feeding behavior based on the type of beak movement that more dominant pecking consists of 5 species, jab 3 species, and probes 9 species. Eleven species of macrozoobenthos that consists of five groups: Crustaceans, bivalves, gastropods, Coleoptera, and Polychaeta were recorded. The diversity index of macrozoobenthos in ponds (H’= 0,63) was higher than that in the mudflats (H'= 0,40), but the evennes index in the mudflats was higher (E= 0,37) compared to those in the ponds (E= 0,27). Macrozoobenthos density on mudflats was dominated by bivalves (97%), while in the ponds it was dominated by crustaceans (86%). Bivalves and crustacean are the main feed of shorebirds. Analysis of the water quality in the two observation sites shows that values of are within normal limits for the life of macrozoobenthos. The results of this study indicate that the abundance of shorebirds is closely correlated with the density of macrozoobenthos (p < 0,01; r = 1,0). Key words : feeding ecology, macrozoobenthos, shorebirds, Wonorejo wetlands
v
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
EKOLOGI MAKAN BURUNG PANTAI DAN KAITANNYA DENGAN KONDISI LINGKUNGAN LAHAN BASAH WONOREJO, SURABAYA
NANANG KHAIRUL HADI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc.F
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2015 sampai Maret 2016 ini adalah burung pantai, dengan judul Ekologi Makan Burung Pantai dan Kaitannya dengan Kondisi Lingkungan Lahan Basah Wonorejo, Surabaya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Yeni A. Mulyani, MSc dan Bapak Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Jarwadi B. Hernowo MScF selaku penguji luar yang telah banyak memberi saran dan masukan. Di samping itu, rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Mas Iwan ‘Londo’ Febrianto, ST, Cipto Dwi Handono, SSi, dan Mas Kamal ITS yang telah banyak membantu selama pengambilan data di lapangan. Terima kasih kepada Cak Malik dan Cak Ratno yang telah mendampingi selama di lapangan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kelompok petani tambak Trunojoyo khususnya Pak Dar, Pak Il, dan Pak Kan yang telah mengizinkan penulis untuk mengambil sampel di tambaknya dan juga Bu Rum yang telah banyak membantu dan menyediakan konsumsi selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016 Nanang Khairul Hadi
x
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Alat dan Bahan Pengambilan Data Burung Pantai Pengambilan Sampel Makrozoobentos Analisis Substrat Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Habitat Potensi Pakan Komunitas Burung Pantai Aktivitas Burung Pantai Pembahasan Kondisi Fisik Kimia Perairan Potensi Pakan Komunitas Burung Pantai Aktivitas Burung Pantai KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
xi xi xii 1 1 2 3 3 3 3 4 4 5 5 6 7 7 7 9 14 19 24 24 26 29 31 34 34 34 35
xi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Parameter fisika dan kimia yang diamati beserta metode/alat pengukurannya Hasil pengukuran faktor fisika kimia di habitat tambak dan hamparan lumpur di lahan basah Wonorejo Jenis-jenis makrozoobentos yang terdapat di lahan basah Wonorejo Nilai keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) makrozoobentos di tambak dan hamparan lumpur Daftar jenis burung pantai di lahan basah Wonorejo pada habitat tambak dan hamparan lumpur serta status migrasinya Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) burung pantai di tambak dan hamparan lumpur Proporsi aktivitas burung pantai di tambak dan hamparan lumpur Pengelompokan burung pantai berdasarkan perilaku makannya secara visual atau tactile Perilaku makan burung pantai berdasarkan tipe pergerakan paruh
5 8 10 11 17 17 21 23 24
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13
Peta lokasi penelitian burung pantai di lahan basah Wonorejo Kondisi tambak yang ditumbuhi pohon mangrove pada bagian tepi dan pematang Hamparan lumpur merupakan tanah terbuka yang sangat luas dan muncul ketika air luat sedang surut Proporsi kelompok makrozoobentos berdasarkan jumlah spesiesnya di lahan basah Wonorejo Proporsi kepadatan kelompok makrozoobentos di tambak dan hamparan lumpur Grafik kepadatan makrozoobentos di tambak dan hamparan lumpur Penyebaran makrozoobentos berdasarkan kedalaman Gajahan pengala dan biru-laut ekor hitam termasuk dalam famili Scolopacidae sedang beristirahat di tambak dalam kelompok besar Cerek jawa merupakan salah satu jenis dari famili Charadriidae dan merupakan jenis penetap Bagang bayam timur salah satu anggota famili Recurvirostridae yang banyak ditemukan di lokasi penelitian Persentase kelimpahan burung pantai di tambak dan hamparan lumpur Aktivitas burung pantai di lahan basah Wonorejo Proporsi aktivitas makan burung pantai di tambak dan hamparan lumpur
4 7 8 9 12 13 14
15 15 16 19 20 22
xii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Rata-rata kelimpahan burung pantai beserta standar deviasinya Tekstur substrat berdasarkan analisis 3 fraksi Daftar jenis makrozoobentos dan nilai kepadatannya Hasil perhitungan analisis korelasi Spearman
39 40 40 41
PENDAHULUAN Latar Belakang Burung pantai merupakan istilah yang digunakan bagi kelompok jenis burung air yang keberadaannya sangat bergantung pada ekosistem pantai. Secara taksonomis, burung pantai tergolong dalam 2 famili besar yaitu Charadriidae dan Scolopacidae dan beberapa jenis lainnya yang termasuk ke dalam famili Jacanidae, Rostratulidae, Haematopodidae, Recurvisrostridae, Burhinidae, Glareolidae, dan Phalaropidae. Jumlah jenis burung pantai di seluruh dunia telah teridentifikasi sebanyak 214 jenis; 65 jenis diantaranya tercatat di Indonesia (Howes et al. 2003). Sebagian besar burung pantai merupakan burung migran, yang menempuh jarak sangat jauh, mencapai puluhan ribu kilometer, untuk menghindari musim dingin di belahan bumi utara menuju belahan bumi selatan. Burung pantai yang bermigrasi ke wilayah Indonesia umumnya berasal dari belahan bumi utara (Tirtaningtyas dan Febrianto 2013). Dalam perjalanan migrasinya, burung pantai akan singgah pada beberapa tempat untuk beristirahat sambil mengisi ulang energi sebelum melanjutkan perjalanan atau kembali ke tempat asalnya untuk berbiak. Tempat-tempat yang disinggahi umumnya daerah pantai yang terdapat hamparan lumpur atau pantai berpasir yang datar dan luas. Selain itu, burung pantai juga singgah di lahan basah lainnya, seperti rawa, danau, sawah, dan tambak. Lahan basah Wonorejo (LBW) yang terletak di kawasan Important Bird Area (IBA) Pantai Timur Surabaya telah diketahui sebagai lokasi persinggahan bagi burung pantai yang melakukan migrasi (Rombang dan Rudyanto 1999). Berdasarkan laporan Nurdini (2010) setidaknya terdapat 53 jenis burung air, termasuk jenis burung pantai, yang tercatat di LBW. Fungsi LBW sebagai lokasi singgah burung pantai menjadi penting untuk dilestarikan, agar burung-burung tersebut dapat terus memanfaatkan LBW sebagai lokasi untuk beristirahat dan mencari makan selama periode musim migrasi. Lahan basah Wonorejo juga berperan sebagai sistem penyangga kehidupan Kota Surabaya. Keberadaanya sangat penting sebagai daerah resapan air dan pengendalian banjir. Selain itu lahan basah tersebut juga berfungsi sebagai daerah ekowisata, pelestarian mangrove, dan daerah penghasil sumberdaya perikanan melalui budidaya tambak. Namun di balik semua itu ancaman terhadap kawasan ini sangat tinggi. Alih fungsi lahan menjadi perumahan merupakan masalah utama. Jika tidak dilakukan pengendalian terhadap hal tersebut, maka dikhawatirkan luasan lahan basah akan terus berkurang. Selain itu pencemaran sungai yang berasal dari limbah domestik dan industri juga menghawatirkan. Hasil penelitian Hadiputra dan Damayanti (2013) menunjukkan adanya kandungan logam berat Cu pada makrozoobentos yang terdapat di ekosistem mangrove Wonorejo. Adanya pencemaran tersebut dapat menurunkan kondisi lingkungan perairan dan pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap burung pantai yang terdapat di LBW. Salah satu aktivitas utama burung pantai selama berada di LBW adalah mencari pakan dan istirahat. Keberadaan pakan sangat penting untuk mengisi ulang energi sebelum burung-burung tersebut kembali ke tempat asalnya untuk berbiak. Pakan utama burung pantai adalah hewan invertebrata yang bersifat bentik (makrozoobentos). Makrozoobentos yang menjadi pakan utama burung pantai
2
adalah Gastropoda, Bivalvia, Polychaeta, Crustacea, dan larva serangga (Masero et al. 1999; Howes et al. 2003; Placyk & Harrington 2004; Jing et al. 2007). Ekologi makan burung pantai mempelajari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku makan dan pemilihan jenis pakan burung pantai. Howes et al. (2003), Jing et al. (2007), Zou et al. (2008) dan Santos et al. (2009) mengungkapkan bahwa perilaku makan dan distribusi burung pantai dipengaruhi oleh ketersediaan makrozoobentohs. Selain itu, distribusi serta struktur komunitas makrozoobentos dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kondisi substrat, temperatur, salinitas, oksigen terlarut, dan bahan organik (Perus dan Bansdorff 2004). Kehadiran burung pantai di suatu lokasi lahan basah dapat dijadikan indikator dalam pengkajian mutu dan produktivitas lahan basah (Howes et al. 2003). Namun sampai saat ini, informasi mengenai komposisi serta ekologi makan burung pantai di LBW masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi burung pantai, potensi pakan, dan keterkaitan burung pantai dengan makrozoobentos. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan kawasan LBW. Rumusan Masalah Lahan basah Wonorejo merupakan areal lahan basah yang memiliki arti penting sebagai habitat singgah bagi burung pantai yang melakukan migrasi. Fungsi lahan basah Wonorejo adalah sebagai penyedia pakan bagi burung pantai, lokasi istirahat, dan areal untuk bersarang bagi jenis penetap. Bagi jenis burung pantai yang melakukan migrasi, keberadaan pakan sangat penting untuk mengisi ulang energi sebelum mereka kembali ke tempat asalnya untuk berbiak. Pakan merupakan kebutuhan dasar bagi burung pantai untuk hidup dan berkembangbiak. Pakan utama burung pantai adalah makrozoobentos. Burung pantai cenderung berkumpul serta terkonsentrasi pada daerah yang banyak terdapat mangsa dan dirasakan paling menguntungkan untuk dimakan. Aktivitas mencari pakan burung pantai sangat erat kaitannya dengan keberadaan pakan. Lokasi-lokasi yang digunakan oleh burung pantai dalam mencari pakan menandakan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat makrozoobentos. Keberadaan makrozoobentos dapat menandakan kondisi perairan atau lahan basah. Sehingga keberadaan burung pantai terutama ketika sedang mencari pakan dapat menandakan kondisi lingkungan lahan basah tersebut. Berkaitan dengan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana komposisi burung pantai di lahan basah Wonorejo? 2. Bagaimana aktivitas mencari makan burung pantai di lahan basah Wonorejo? 3. Bagaimana komposisi makrozoobentos sebagai pakan burung pantai yang terdapat di lahan basah Wonorejo? 4. Bagaimana hubungan antara burung pantai dengan makrozoobentos?
3
Tujuan Penelitian 1. 2. 3. 4.
Tujuan dari penelitian ini adalah : Menduga komposisi jenis, indeks keanekaragaman dan kelimpahan burung pantai di lahan basah Wonorejo. Mendeskripsikan aktivitas mencari makan burung pantai di lahan basah Wonorejo. Menduga komposisi jenis, indeks keanekaragaman dan kepadatan makrozoobentos di lahan basah Wonorejo. Menganalisis hubungan antara burung pantai dengan makrozoobentos. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai informasi ilmiah mengenai ekologi makan burung pantai di lahan basah Wonorejo. 2. Sebagai masukan bagi pihak-pihak terkait dalam upaya konservasi habitat burung pantai dan pengelolaan kawasan lahan basah Wonorejo.
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan pada bulan November 2015-Maret 2016. Pengambilan data di lapangan dilakukan di lahan basah Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya. Titik pengamatan diletakkan di tambak dan hamparan lumpur. Identifikasi makrozoobentos dan analisis substrat dilakukan di Laboratorium Proling IPB. Analisis kualitas air dilakukan di Laboratrium Kualitas Lingkungan, Jurusan Teknik Lingkungan ITS.
4
Gambar 1 Peta lokasi penelitian burung pantai di lahan basah Wonorejo Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teropong binokuler dan monokuler Nikon, kamera DSLR dan lensa zoom 75-300 mm, GPS receiver Garmin map 65s, alat tulis, jam tangan, buku panduan identifikasi burung MacKinnon dan buku identifikasi burung air di kawasan Asia, Corer pipa paralon utuk mengambil sampel tanah atau sedimen (ukuran diameter 4 inci dan panjang 50 cm), ayakan ukuran 1 mm, pinset, kaca pembesar (loop), kantung plastik dan botol spesimen, serta alkohol 70%. Pengambilan Data Burung Pantai Pengambilan data burung pantai menggunakan metode konsentrasi (concentration count). Berdasarkan survei pendahuluan teramati 5 konsentrasi burung pantai di areal tambak dan 2 konsentrasi burung pantai di hamparan lumpur, sehingga pengamatn difokuskan pada ke 7 lokasi tersebut. Waktu pengamatan mengikuti jadwal pasang surut air laut. Pengamatan di hamparan lumpur dilakukan pada saat air sedang surut, dan pengamatan di areal tambak dilakukan pada saat air sedang pasang. Informasi mengenai jadwal pasang surut diperoleh dari aplikasi DGS Tide di perangkat android. Lama pengamatan untuk setiap konsentrasi burung kurang lebih 2 jam. Data yang dicatat selama pengamatan adalah jenis burung pantai, jumlah individu, dan aktivitas. Aktivitas yang dicatat adalah sedang makan/mencari makan atau tidak makan/istirahat. Aktivitas burung pantai ketika sedang makan juga diamati yaitu dengan mencatat cara menangkap mangsa berdasarkan tekniknya yaitu dengan mengandalkan penglihatan (visual), peraba
5
(tactile), atau kombinasi keduanya. Selain itu juga diamati perilaku makan berdasarkan tipe pergerakan paruh yaitu peck, jab, dan probe. Pengambilan Sampel Makrozoobentos Pengambilan makrozoobentos dilakukan dengan metode core dan ayakan (Howes et al. 2003). Jumlah stasiun pengambilan sampel yaitu sebanyak 9, dengan rincian 7 stasiun di areal tambak dan 2 stasiun di hamparan lumpur. Pengambilan sampel tanah/sedimen menggunakan corer dilakukan sampai kedalaman 10-40 cm. Pada setiap titik diambil sebanyak 6 core. Sedimen yang diperoleh dari masingmasing core kemudian dimasukkan kedalam ember dan dicampur dengan air. Sedimen yang telah tercampur dengan air kemudian diayak, sehingga partikel atau bentos yang ukurannya lebih besar dari 1 mm dapat disaring dan tertinggal dalam ayakan. Seluruh makrozoobentos yang tersaring kemudian dimasukkan dalam plastik spesimen dan diawetkan dengan menggunakan alkohol 70%. Selanjutnya makrozoobentos yang telah diawetkan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dan dianalisis. Analisis Substrat Pengambilan sampel substrat dilakukan dengan menggunakan core. Sampel kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengetahui tekstur atau fraksi sedimen. Pengukuran partikel sedimen menggunakan metode saringan bertingkat. Tekstur sedimen kemudian dikelompokkan menjadi beberapa kelas berdasarkan komposisi pasir, debu, dan liat. Selanjutnya sedimen tersebut dianalisis menggunakan segitiga tekstur tanah untuk melihat tipe sedimen. Pengukuran Fisik Kimia Perairan Pengukuran terhadap parameter fisika kimia perairan dilakukan secara langsung di lapangan dan dianalisis di laboratorium. Pengukuran parameter fisikakimia perairan yang dilakukan di lapangan mencakup suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO). Selanjutnya parameter fisika-kimia yang akan dianalisis di laboratorium adalah BOD dan tipe sedimen. Mengenai parameter dan metode yang digunakan dalam pengukuran fisik kimia perairan tersaji dalam Tabel 1. Tabel 1 Parameter fisika pengukurannya Parameter Fisika : a. Suhu b. Tipe sedimen Kimia : a. pH b. Salinitas c. Oksigen (DO) d. BOD
terlarut
dan
Unit o
kimia
yang diamati
Metode/alat
C %
Termometer Metode pipet bertingkat
psu mg/l
pH meter Refraktometer DO – meter
mg/l
Titrasi/metode inkubasi
beserta
metode/alat
Keterangan
dan
Lapangan saringan Laboratorium
Lapangan Lapangan Lapangan Winkler
& Laboratorium
6
Analisis Data Analisis data untuk menghitung keanekaragaman spesies burung pantai dan makrozoobentos dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (H’) dan indeks kemerataan (E) (Magurran 2004). Data kepadatan bentos dianalisis menggunakan rumus sebagai berikut : Ki =
10.000 𝑥 𝑁𝑖 𝐴
Keterangan : Ki = Kepadatan makrozoobentos jenis ke-i (ind/m2) Ni = Jumlah individu makrozoobentos jenis ke-i pada setiap corer (individu) A = Luas corer (cm2) 10.000 = Nilai konversi dari cm2 ke m2 Analisis kelimpahan burung dilakukan dengan menjumlahkan seluruh total perjumpaan dengan individu burung pada setiap lokasi pengamatan, kemudian dihitung nilai rata-ratanya dan kemudian disajikan dalam bentuk persentase. Aktivitas burung pantai dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk persentase berdasarkan jumlah individu burung yang teramati aktivitasnya, yaitu makan dan tidak makan/istirahat. Analisis aktivitas dilakukan pada setiap jenis burung pantai dan dipisah berdasarkan lokasi yaitu tambak dan hamparan lumpur. Hasil analisis aktivitas seluruh jenis burung pantai disajikan dalam tabel. Perilaku makan juga dianalisis secara deskriptif dengan mengelompokkan berdasarkan perilaku dalam menangkap mangsa lebih mengandalkan penglihatan (visual) atau peraba dengan menggunakan ujung paruh (tactile), atau kombinasi keduanya, pengelompokan tersebut mengacu pada Kober (2004). Analisis pengelompokan perilaku dalam menangkap mangsa dilakukan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan lalu diperkuat dengan studi literatur dan disajikan dalam bentuk tabel. Selain itu juga dianalisis dan dideskripsikan perilaku makan berdasarkan tipe pergerakan paruh yaitu pecking, jab, dan tactile yang mengacu pada Howes et al. (2003). Peck dapat diartikan sebagai pergerakan paruh yang ditujukan untuk mengambil suatu mangsa dari permukaan substrat. Jab adalah aktivitas pergerakan dimana hampir setengah bagian dari paruh terbenam dalam sedimen. Probe adalah aktivitas pergerakan dimana lebih dari setengah bagian paruh dibenamkan dalam sedimen. Analisis perilaku makan berdasarkan tipe pergerakan paruh ini dihitung berdasarkan jumlah individu burung yang sedang mencari makan, dari jumlah tersebut dikelompokkan kedalam tiga kategori yaitu peck, jab, dan probe, kemudian dibuat persentase pada setiap jenis sehingga dapat diketahui perilaku dominan masing-masing jenis burung pantai antara peck, jab, dan probe. Hubungan antara kelimpahan burung pantai dengan kepadatan makrozoobentos diperiksa menggunakan uji korelasi Spearman. Uji tersebut dianalisis menggunakan program SPSS versi 17 dengan selang kepercayaan 99%.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Habitat Tambak Habitat tambak berupa daerah terbuka dengan luasan sekitar 225 ha. Pada bagian tepi dan pematang tambak banyak ditumbuhi pohon mangrove jenis Api-api Avicennia sp, dan pada beberapa tambak juga terdapat jenis Rhizophora sp. Komoditas yang dibudidayakan di tambak adalah ikan bandeng Chanos chanos dan udang, namun saat ini umumnya petani membudidayakan bandeng. Sistem budidaya tambak masih secara tradisional, yaitu dengan mengandalkan pakan alami yang terdapat di tambak. Ketinggian air di tambak sekitar 10-20 cm pada bagian tengah, sedangkan pada bagian tepi umunya lebih dalam hingga mencapai 1 m (Gambar 2).
Gambar 2 Kondisi tambak yang ditumbuhi pohon mangrove pada bagian tepi dan pematang Hamparan Lumpur Habitat hamparan lumpur berupa hamparan tanah lumpur dengan luas sekitar 240 ha yang muncul ketika air laut sedang surut, sedangkan pada saat air pasang hamparan tersebut akan tergenang. Panjangnya mencapai 1 km dari daratan pada saat surut terjauh. Terdapat hutan mangrove di daerah pantai, serta areal revegetasi mangrove di depannya. Hamparan lumpur ini terbentuk akibat adanya endapan lumpur yang terbawa oleh dua aliran sungai yaitu sungai Avour dan sungai Londo/Wonokoromo. Hamparan lumpur ini terletak diantara kedua muara sungai tersebut. Ketinggian air pada saat pasang tertinggi berkisar antara 1-1,5 m (Gambar 3).
8
Gambar 3 Hamparan lumpur merupakan tanah terbuka yang sangat luas dan muncul ketika air luat sedang surut Kondisi Fisik Kimia Perairan Substrat merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi kehidupan makrozoobentos. Setiawan (2008) menyatakan bahwa tekstur atau tipe substrat merupakan salah satu parameter sedimen yang berpengaruh terhadap kehidupan bentos, jenis sedimen tersebut sangat menentukan kepadatan dan komposisi hewan bentos. Hal ini didukung oleh Jumilawaty (2012) bahwa tekstur sedimen mempengaruhi kehadiran dan kelimpahan spesies makrozoobentos. Hasil analisis substrat di tambak rata-rata didominasi oleh fraksi debu (78,66%) pasir (17,50%) dan liat (3,83%) sedangkan di hamparan lumpur didominasi oleh fraksi debu (89,58%) pasir (7,92%) dan liat (4,99%). Sehingga substrat di tambak termasuk dalam tipe lempung berdebu sedangkan di hamparan lumpur termasuk tipe debu. Tekstur debu ukurannya lebih halus dan lunak, sedangkan lempung berdebu lebih kasar dan padat. Tabel 2 Hasil pengukuran faktor fisika kimia di habitat tambak dan hamparan lumpur di lahan basah Wonorejo Parameter pH Suhu (°C) Salinitas (0/00) DO (mg/l) BOD (mg/l) Substrat
Tambak 8,7 32,9 8,2 8,2 13,2 Lempung berdebu
Hamparan Lumpur 7,9 31,1 15,0 6,6 4,0 Debu
Terdapat beberapa parameter lain yang juga diduga berpengaruh terhadap kehidupan makrozoobentos, yaitu salinitas, pH, suhu, DO, dan BOD (selengkapnya di Tabel 2). Hasil pengukuran di lapangan nilai pH di tambak dan hamparan lumpur masih masuk dalam kategori baik yaitu masing-masing 8,74 dan 7,91. Suhu air rata-
9
rata di tambak 32,9oC dan di hamparan lumpur 31,1oC. Nilai salinitas di hamparan lumpur lebih tinggi dibanding di tambak (masing-masing 15 dan 8,2). Tingginya nilai salinitas di hamparan lumpur karena letaknya di pantai dan langsung dipengaruhi air laut. Kadar oksigen terlarut (DO) di tambak lebih tinggi dari hamparan lumpur (masing-masing 8,2 mg/l dan 6,6 mg/l). Namun kadar DO pada kedua lokasi tersebut masih tergolong baik. Nilai BOD di hamparan lumpur lebih rendah dari tambak (masing-masing 4 mg/l dan 13,2 mg/l). Semakin rendah nilai BOD maka kondisinya semakin baik. Potensi Pakan Komposisi dan Keanekaragaman Makrozoobentos Pakan utama burung pantai adalah makrozoobentos. Hasil sampling selama penelitian tercatat 11 jenis makrozoobentos yang terdiri dari Crustacea (4 spesies), kemudian Bivalvia, Gastropoda, Coleoptera (masing-masing 2 spesies) dan Polychaeta (1 spesies) (Tabel 3). Crustacea merupakan kelompok hewan air yang terdiri dari jenis-jenis udang, lobster, dan kepiting. Terdapat 4 jenis yang termasuk dalam kelompok Crustacea yaitu Corophium sp, Hyale sp, Gammarus sp, dan Mysis sp. Bivalvia merupakan kelompok kerang-kerangan dengan ciri khas yaitu memiliki sepasang cangkang. Terdapat 2 jenis yang tergolong dalam kelompok Bivalvia yaitu Lithopaga sp dan jenis dari famili Margaritiferidae. Gastropoda merupakan kelompok siput, ditemukan dua jenis yaitu Nassarius sp dan Nerita sp. Coleoptera adalah kelompok insekta yang fase larvanya hidup di dasar perairan, terdapat dua jenis yaitu Berosus sp dan Agabus sp. Polychaeta merupakan kelompok cacing yang hidup pada sedimen lembut, ditemukan satu jenis yaitu Nereis sp. Crustacea, Polychaeta, dan Coleoptera banyak ditemukan di daerah tambak, sedangkan Bivalvia dan Gastropoda banyak ditemukan di hamparan lumpur. Polychaeta 9%
Coleoptera 18%
Crustacea 37%
Gastropoda 18% Bivalvia 18%
Gambar 4 Proporsi kelompok makrozoobentos berdasarkan jumlah spesiesnya di lahan basah Wonorejo
10
Jenis-jenis makrozoobentos yang terdapat di lahan basah Wonorejo cukup berbeda antara tambak dan hamparan lumpur. Kelompok Crustacea, Polychaeta, dan Coleoptera hanya ditemukan di daerah tambak, sedangkan Bivalvia dan Gastropoda hanya ditemukan di hamparan lumpur (Tabel 3). Hal ini sangat terkait dengan kondisi perairan dan substrat antara kedua lokasi pengamatan cukup berbeda. Kondisi perairan di tambak cukup tenang, tidak terdapat arus, salinitas lebih rendah, air yang terdapat di tambak berasal dari sungai Avour dan sungai Londo, pergantian air hanya terjadi saat awal tanam bibit dan pada saat panen. Kondisi substrat di tambak lebih padat dibanding hamparan lumpur. Jenis-jenis dari kelompok Crustacea banyak ditemukan di tambak yang genangan airnya cukup dalam. Coleoptera ditemukan di tambak yang terdapat hutan mangrove di bagian tepinya. Polychaeta ditemukan pada tambak yang kondisi substratnya lunak. Kondisi periaran di hamparan lumpur langsung dipengaruhi oleh air laut, terletak di daerah pasang surut dan merupakan derah pertemuan antara air laut dan air tawar karena letaknya di dekat muara sungai, sehingga lokasi ini kaya aliran energi. Namun juga sangat rentan terhadap pencemaran yang terbawa oleh aliran sungai karena dapat terpengaruh secara langsung. Salinitas lebih tinggi dibanding tambak, serta kondisi substratnya lebih lembut/lunak. Kelompok Bivalvia banyak ditemukan di sekitar muara sungai Avour dengan kondisi substrat yang lunak, sementara Gastropoda ditemukan di bagian tengah hamparan lumpur pada substrat yang lebih keras. Tabel 3 Jenis-jenis makrozoobentos yang terdapat di lahan basah Wonorejo Kelompok Crustacea
Polychaeta Coleoptera Bivalvia Gastropoda
Nama Ilmiah Corophium sp. Hyale sp. Gammarus sp. Mysis sp. Nereis sp. Berosus sp. Agabus sp. Margaritiferidae Lithophaga sp. Nassarius sp. Nerita sp.
Tambak √ √ √ √ √ √ √ -
Hamparan Lumpur √ √ √ √
Nilai keanekaragaman makrozoobentos di tambak (H’= 0,63) lebih tinggi dibandingkan di hamparan lumpur (H’= 0,40). Namun nilai kemerataan di hamparan lumpur lebih tinggi (E= 0,37) dibandingkan tambak (E= 0,27) (Tabel 4). Jumlah spesies di tambak lebih banyak (7 spesies) dibanding hamparan lumpur (4 spesies), namun total kepadatan makrozoobentos lebih tinggi di hamparan lumpur (73.368 individu/m2). Secara umum indeks keanekaragaman makrozobentos di lahan basah Wonorejo tergolong rendah. Hal ini dapat menandakan bahwa perairan di lahan basah Wonorejo mengalami tekanan ekologi dan penurunan kualitas perairan,
11
sehingga perairan di lokasi tersebut sudah tidak stabil. Kondisi tersebut juga diperkuat dengan nilai kemerataan yang juga rendah, dari nilai kemerataan dapat dilihat bahwa dalam komunitas makrozoobentos di lokasi penelitian terdapat jenis yang mendominasi. Tabel 4 Nilai keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) makrozoobentos di tambak dan hamparan lumpur
Jumlah Spesies Kepadatan (Jumlah Individu/m2) H' E
Tambak
Hamparan Lumpur
7 27.385 0,63 0,27
4 73.368 0,40 0,37
Kepadatan Makrozoobentos Total kepadatan makrozoobentos di hamparan lumpur sebanyak 73.368 individu/m2 atau sebesar 72,82% dari total kepadatan makrozoobentos pada kedua lokasi, sedangkan di tambak sebanyak 27.385 individu/m2 atau sebesar 27,18%. Kepadatan makrozoobentos yang terdapat di hamparan lumpur terdiri dari Bivalvia (97%) dan Gastropoda (3%), sedangkan di tambak terdiri dari Crustacea (86%), Polychaeta (10%), dan Coleoptera (4%) (Gambar 5).
Polychaeta 10%
Coleoptera 4%
Tambak
Crustacea 86%
12
Gastropoda 3%
Hamparan lumpur
Bivalvia 97%
Gambar 5 Proporsi kepadatan kelompok makrozoobentos di tambak dan hamparan lumpur Jenis makrozoobentos dengan nilai kepadatan tertinggi di lokasi tambak adalah Mysis sp (22.932 Individu/m2), sedangkan di hamparan lumpur adalah Lithophaga sp (66.248 Individu/m2) (Gambar 6). Mysis sp banyak ditemukan di tambak dengan karateristik air yang dalam. Mysis sp adalah jenis udang kecil yang umumnya hidup di daerah air tawar atau air payau. Lithophaga sp banyak ditemukan di hamparan lumpur khususnya yang dekat dengan muara sungai Avour. Cara hidupnya dengan membenamkan diri pada substrat lunak. Lithophaga sp adalah jenis kerang ukuran medium yang termasuk dalam famili Mytilidae yang umumnya hidup di daerah laut atau pesisir. 25000
22.932
Tambak
Ind/m2
20000
15000
10000
5000
2.675 127
127
381
Corophium sp.
Hyale sp.
Gammarus sp.
889
254
0
CRUSTACEAE
Mysis sp.
Nereis sp. Berosus sp. Agabus sp. POLYCHAETA
COLEOPTERA
13
70000
66.248
Hamparan lumpur
60000
Ind/m2
50000 40000 30000 20000 10000
4.572 1.274
1.274
0 Margaritiferidae
Lithophaga sp.
BIVALVIA
Nassarius sp.
Nerita sp.
GASTROPODA
Gambar 6 Grafik kepadatan makrozoobentos di tambak dan hamparan lumpur Penyebaran Makrozoobentos Berdasarkan Kedalaman Penyebaran makrozoobentos berdasarkan kedalaman sangat tergantung dengan kedalaman dan tekstur sedimen. Kedalaman sedimen di tambak rata-rata sekitar 10-15 cm pada bagian tengah, sedangkan pada bagian tepi lebih dalam hingga mencapai 25-30 cm. Pada bagian tengah tambak tekstur sedimen lebih padat sedangkan pada bagian tepi lebih lunak karena sering dilakukan pengerukan secara berkala oleh petani tambak. Kedalaman sedimen di hamparan lumpur pada bagian yang dekat dengan muara sungai berkisar antara 25-30 cm, sedangkan pada bagian tengah atau yang jauh dari muara sungai rata-rata sekitar 20-25 cm. Tekstur sedimen di hamparan lumpur lebih lunak dan halus, namun pada bagian tengah lebih padat. Hasil analisis terhadap penyebaran makrozoobentos berdasarkan kedalaman dapat diketahui bahwa jumlah jenis dan kepadatan makrozoobentos semakin berkurang seiring bertambahnya kedalaman. Makrozoobentos pada kedua habitat lebih banyak ditemukan pada kedalaman 0-10 cm. Pada kedalaman 20-30 cm tidak ditemukan makrozoobentos. Polychaeta ditemukan di kedalaman 0-10 cm (90%) dan 10-20 cm (10%) serta Bivalvia juga ditemukan pada kedalaman 0-10 cm (80%) dan 10-20 cm (20%), sedangkan kelompok lainnya yaitu Crustacea, Coleoptera, dan Gastropoda seluruhnya ditemukan pada kedalaman 0-10 cm (Gambar 7). Penyebaran berdasarkan kedalaman ini menunjukkan bahwa makrozoobentos yang terdapat di lokasi penelitian berpotensi mudah ditangkap oleh burung pantai yang sedang mencari makan karena sebarannya lebih banyak pada lapisan atas substrat.
14
Tambak 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Corophium sp.
Hyale sp.
Gammarus sp.
Crustacea
Mysis sp.
Nereis sp. Polychaeta
0 cm - 10 cm
Berosus sp.
Agabus sp.
Coleoptera
10 cm - 20 cm
Hamparan lumpur 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Margaritiferidae
Lithophaga sp.
Nassarius sp.
Bivalvia
Nerita sp.
Gastropoda 0 cm - 10 cm
10 cm - 20 cm
Gambar 7 Penyebaran makrozoobentos berdasarkan kedalaman Komunitas Burung Pantai Komposisi dan Keanekaragaman Spesies Burung Pantai Selama penelitian tercatat sebanyak 21 spesies burung pantai yang terdiri dari tiga famili (Tabel 5). Famili dengan jumlah jenis tertinggi adalah Scolopacidae (14 Spesies), kemudian disusul Charadriidae (5 Spesies) dan Recurvirostridae (2 Spesies). Famili Scolopacidae dikenal memiliki jumlah jenis cukup banyak yang terdiri dari trinil, kedidi, biru-laut, gajahan, dan berkik (Gambar 8). Jenis-jenis dari famili Scolopacidae persebarannya sangat luas. Umumnya hidup di lahan basah terbuka, daerah pantai, hamparan lumpur, rawa, dan tambak.
15
Gambar 8 Gajahan pengala dan biru-laut ekor hitam termasuk dalam famili Scolopacidae sedang beristirahat di tambak dalam kelompok besar Famili Charadriidae secara global sebenarnya juga memiliki jumlah jenis yang cukup banyak, namun di lokasi penelitian hanya ditemukan 5 jenis. Hal ini diduga karena terkait dengan kesesuaian habitat, jenis-jenis dari famili Charadriidae umumnya memiliki ukuran kaki yang lebih pendek dibandingkan famili Scolopacidae, sehingga lebih menyukai daerah kering seperti gosong lumpur, tambak kering, dan daerah pantai (Gambar 9). Sedangkan kondisi habitat di lokasi penelitian lebih banyak daerah yang tergenang dibandingkan daerah yang kering. Famili Recurvirostridae memiliki jumlah jenis yang lebih sedikit dibanding dua famili lainnya, dan di Indonesia diketahui hanya terdapat dua jenis. Kedua jenis tersebut ditemukan di lokasi penelitian. Famili Recurvirostridae umumnya hidup di daerah rawa, tambak, dan area tergenang lainnya. Ukuran kakinya sangat panjang sehingga cocok untuk berjalan di habitat berair atau tergenang (Gambar 10).
Gambar 9 Cerek jawa merupakan salah satu jenis dari famili Charadriidae dan merupakan jenis penetap
16
Gambar 10 Bagang bayam timur salah satu anggota famili Recurvirostridae yang banyak ditemukan di lokasi penelitian Berdasarkan status migrasinya, 19 jenis burung pantai yang ditemukan adalah jenis migran, sedangkan 2 jenis lainnya, gagang bayam timur Himantopus leucocephalus dan cerek jawa Charadrius javanicus, merupakan jenis penetap (Tabel 5). Jenis migran yang ditemukan umumnya berasal dari belahan bumi utara, kecuali gagang bayam belang Himantopus himantopus yang kemungkinan melakukan migrasi lokal, karena jenis tersebut tidak berbiak di lokasi penelitian. Nilai keanekaragaman burung pantai di hamparan lumpur lebih tinggi (H’= 2,37) dibanding tambak (H’= 2,18) dan nilai kemerataan di hamparan lumpur juga lebih tinggi (E= 0,59) dibanding tambak (E= 0,46) (Tabel 6). Jumlah spesies di tambak lebih banyak (19 spesies) dibandingkan di hamparan lumpur (18 spesies) (Tabel 6), namun total individu lebih banyak di hamparan lumpur (4428 individu) dibandingkan di tambak (3066 individu). Jenis yang hanya ditemukan di tambak diantaranya gagang bayam belang Himantopus himantopus, berkik ekor lidi Gallinago stenura, dan trinil semak Tringa glareola, sedangkan jenis yang hanya ditemukan di hamparan lumpur adalah trinil bedaran Xenus cinereus dan biru-laut ekor blorok Limosa lapponica.
17
Tabel 5 Daftar jenis burung pantai di lahan basah Wonorejo pada habitat tambak dan hamparan lumpur serta status migrasinya Nama Lokal
Nama Ilmiah
Tambak
Hamparan Lumpur
Status Migrasi
Charadriidae Cerek jawa
Charadrius javanicus
√
√
R
Cerek kalung kecil
Charadrius dubius
√
√
M
Cerek kernyut
Pluvialis fulva
√
√
M
Cerek pasir besar
Charadrius leschenaultii
√
√
M
Cerek pasir mongolia
Charadrius mongolus
√
√
M
Recurvirostridae Gagang bayam belang
Himantopus himantopus
√
-
M
Gagang bayam timur
Himantopus leucocephalus
√
√
R
Scolopacidae Berkik ekor lidi
Gallinago stenura
√
-
M
Biru laut ekor blorok
Limosa lapponica
-
√
M
Biru laut ekor hitam
Limosa limosa
√
√
M
Gajahan pengala
Numenius phaeopus
√
√
M
Kedidi golgol
Calidris ferruginea
√
√
M
Kedidi leher merah
Calidris ruficollis
√
√
M
Kedidi besar
Calidris tenuirostris
√
√
M
Kedidi jari panjang
Calidris subminuta
√
√
M
Trinil bedaran
Xenus cinereus
-
√
M
Trinil kaki hijau
Tringa nebularia
√
√
M
Trinil kaki merah
Tringa totanus
√
√
M
Trinil pantai
Actitis hypoleucos
√
√
M
Trinil rawa
Tringa stagnatilis
√
√
M
Trinil semak
Tringa glareola
√
-
M
Keterangan : M: Migran, R: Penetap
Tabel 6 Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) burung pantai di tambak dan hamparan lumpur Jumlah Spesies Total Individu H’ E
Tambak 19 3066 2,18 0,46
Hamparan Lumpur 18 4428 2,37 0,59
Kelimpahan Burung Pantai Tercatat total 7.494 individu burung pantai selama penelitan. Dari jumlah tersebut sebanyak 93,19% merupakan burung pantai migran dan hanya 6,8% burung pantai penetap. Dari jumlah tersebut juga dapat diketahui sebanyak 72,41% merupakan kelompok famili Scolopacidae, 25,19% famili Charadriidae, dan
18
selebihnya 2,3% merupakan famili Recurvirostridae. Hasil analisis korelasi menggunakan uji Spearman menunjukkan bahwa kelimpahan burung pantai mempunyai korelasi yang sangat erat dengan kepadatan makrozoobentos (p < 0,01) dengan koefisien korelasi sebesar 1,0. Jenis paling dominan dengan kelimpahan individu paling tinggi di tambak adalah trinil kaki hijau Tringa nebularia (20%) dan biru laut ekor hitam Limosa limosa (20%), kemudian disusul oleh trinil kaki merah Tringa totanus (18%), sedangkan di hamparan lumpur paling tinggi adalah trinil kaki merah Tringa totanus (17%) kemudian disusul cerek kernyut Pluvialis fulva (14%) dan kedidi golgol Calidris ferruginea (14%) (Gambar 11). Trinil kaki merah dan biru laut ekor hitam hidup secara berkelompok. Jumlah individu dalam satu kelompok berjumlah sekitar 80-100 individu dan umumnya ketika beristirahat mereka bergabung dengan kelompok lainnya, sehingga jumlahnya bertambah banyak.
Lainnya Actitis hypoleucos 3% 2%
Tambak Tringa totanus 18%
Calidris ferruginea 2%
Calidris ruficollis 2% Charadrius javanicus Himantopus 10% leucocephalus Lainnya : 3% Tringa stagnatilis 1,2% Charadrius mongolus 0,9% Calidris subminuta 0,4%
Tringa nebularia 20%
Calidris tenuirostris 0,3% Limosa limosa 20%
Charadrius dubius 0,2% Charadrius leschenaultii 0,2%
Himantopus himantopus 0,06% Tringa glareola 2% Pluvialis fulva 4%
Numenius phaeopus 14%
Gallinago stenura 0,03%
19
Hamparan lumpur Tringa totanus 17%
Calidris ferruginea 14% Calidris ruficollis 12%
Tringa stagnatilis 4%
Lainnya :
Tringa nebularia 1,1% Pluvialis fulva 14%
Numenius phaeopus Limosa 8% limosa Limosa lapponica 4% 4%
Xenus cinereus 0,8% Charadrius Charadrius javanicus 0,7% leschenaultii Actitis hypoleucos 0,6% 6% Calidris subminuta 0,3% Charadrius Charadrius dubius 0,1% mongolus Calidris tenuirostris 0,1% 11% Himantopus lainnya leucocephalus 4% 2%
Gambar 11 Persentase kelimpahan burung pantai di tambak dan hamparan lumpur Jenis burung pantai dengan kelimpahan individu paling rendah di tambak adalah berkik ekor lidi Gallinago stenura, gagang bayam belang Himantopus himantopus, cerek kalung kecil Charadrius dubius, cerek pasir besar C. leschenaultii, dan trinil pantai Actitis hypoleucos, sedangkan di hamparan lumpur adalah cerek kalung kecil Charadrius dubius, kedidi besar Calidris tenuirostris, trinil pantai Actitis hypoleucos, dan cerek jawa C. javanicus. Aktivitas Burung Pantai Aktivitas burung pantai di LBW dapat digolongkan menjadi dua, yaitu makan dan beristirahat. Aktivitas makan lebih banyak dilakukan di hamparan lumpur (77,25%) dibanding di tambak (19,15%), sedangkan istirahat lebih banyak dilakukan di tambak (80,84%) dibanding di hamparan lumpur (22,74%) (Gambar 12). Aktivitas makan di hamparan lumpur umumnya terjadi ketika kondisi air laut sedang surut, sedangkan aktivitas istirahat di tambak dilakukan pada saat kondisi air sedang pasang. Selain itu, terdapat beberapa burung pantai juga melakukan aktivitas makan di tambak. Terdapat 19 jenis burung pantai yang mencari makan di hamparan lumpur, sedangkan hanya terdapat 10 jenis yang mencari makan di tambak. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar jenis burung pantai yang terdapat di lahan basah Wonorejo lebih menyukai mencari makan di daerah pasang surut yaitu hamparan lumpur.
20
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10%
0% Hamparan Lumpur Makan
Tambak Tidak makan/Istirahat
Gambar 12 Aktivitas burung pantai di lahan basah Wonorejo Terdapat beberapa burung pantai yang aktivitas makannya lebih dominan dibanding aktivitas lainnya atau berstirahat. Pada lokasi tambak beberapa jenis burung pantai yang aktivitas makannya lebih dominan diantaranya adalah cerek jawa (88,21%), cerek kalung kecil (100%), Gagang bayam belang (100%), kedidi golgol (100%), kedidi leher merah (100%), Trinil pantai (100%), dan kedidi jari panjang (100%). Pada lokasi hamparan lumpur yang aktivitas makannya lebih dominan diantaranya adalah cerek jawa (100%), cerek kalung kecil (100%), Gagang bayam timur (100%), berkik ekor hitam (80%), kedidi golgol (81,51%), kedidi leher merah (81,82%), trinil bedaran (100%), trinil kaki hijau (100%), trinil pantai (100%), trinil rawa (89,38%), kedidi besar (71,43%), dan kedidi jari panjang (100%) (selengkapnya di Tabel 7). Burung pantai yang mencari makan di hamparan lumpur umumnya berkumpul pada bagian yang dekat dengan muara sungai Avour. Pada bagian ini kondisi substrat umumnya lebih lunak, sehingga jenis-jenis burung berparuh panjang seperti trinil, gajahan, biru-laut, kedidi lebih mudah menusukkan paruhnya untuk mencari mangsa. Pada saat mencari makan di hamparan lumpur, burung pantai cenderung berkelompok dalam jumlah yang besar. Aktivitas makan di tambak banyak dilakukan di tambak-tambak yang baru panen, dengan kondisi substrat masih basah dan lunak, selain itu juga pada beberapa tambak dengan kondisi air yang tidak terlalu dalam. Pada saat mencari makan di tambak, burung pantai relatif menyebar dan tidak berkumpul pada satu titik. Cukup berbeda dengan strategi makan yang dilakukan di hamparan lumpur yaitu dengan cara berkelompok. Ketika mencari makan di tambak yang baru panen, terutama pada substrat yang mulai kering dan mengeras, burung pantai teramati lebih sering menangkap mangsa di permukaan (pecking). Namun terdapat juga yang teramati menusuk-nusukkan paruhnya pada substrat yang masih lembut atau dekat dengan genangan air (probe).
21
Tabel 7 Proporsi aktivitas burung pantai di tambak dan hamparan lumpur
Nama lokal
Nama ilmiah
Cerek jawa
Charadrius javanicus
Cerek kalung kecil
Charadrius dubius
Cerek kernyut
Pluvialis fulva
Cerek pasir besar
Charadrius leschenaultii Charadrius mongolus
Cerek pasir mongolia Gagang bayam belang Gagang bayam timur
Tambak Tidak Makan Makan % % 11,79 88,21
229
100 0
0
5
100
0
n
Hamparan lumpur Tidak Makan makan n % % 0 6 100 0
3
121
100 47,37
52,63
475
100
6
63,64
36,36
121
0
100
2
62,07
37,93
290
100
0
2
-
-
-
54,84
45,16
62
100
0
20
0
100
1
-
-
-
4,46
95,54
157
20
50
70,81
346
Berkik ekor lidi
Himantopus himantopus Himantopus leucocephalus Gallinago stenura
Biru laut ekor blorok
Limosa lapponica
-
-
-
Biru laut ekor hitam
Limosa limosa
0
100
320
Gajahan pengala
Numenius phaeopus
0
100
419
80 29,19
Kedidi golgol
Calidris ferruginea
100
0
45
81,51
18,49
503
Kedidi leher merah
Calidris ruficollis
29
81,82
18,18
110
Xenus cinereus
100 -
0
Trinil bedaran
-
-
100
0
8
Trinil kaki hijau
Tringa nebularia
10,51
89,49
352
0
62
Trinil kaki merah
Tringa totanus
0
100
534
100 52,66
47,34
507
Trinil pantai
Actitis hypoleucos
41
100
0
21
Tringa stagnatilis
100 23,81
0
Trinil rawa
76,19
42
113
Trinil semak
Tringa glareola
24,32
75,68
37
89,38 -
10,62 -
-
Kedidi besar
Calidris tenuirostris
0
100
8
71,43
28,57
7
Kedidi jari panjang
Calidris subminuta
100
0
15
100
0
14
Terdapat beberapa jenis burung pantai yang aktivitas makannya lebih banyak dilakukan di hamparan lumpur, namun terdapat juga yang lebih banyak dilakukan di tambak. Beberapa spesies burung pantai yang lebih sering mencari makan di hamparan lumpur diantaranya adalah Calidris tenuirostris, Tringa stagnatilis, Tringa totanus, Tringa nebularia, Xenus cinereus, Calidris ferruginea, Numenius phaeopus, Limosa limosa, Limosa lapponica, Charadrius mongolus, C. leschenaultii, dan Pluvialis fulva. Beberapa jenis burung pantai yang lebih sering mencari makan di tambak diantaranya adalah Tringa glareola, Actitis hypoleucos, Himantopus himantopus, Himantopus leucocephalus, Charadrius dubius, dan C. javanicus (Gambar 13). Berkik ekor lidi Gallinago stenura merupakan jenis yang hanya sekali teramati pada saat terbang. Aktivitas makannya tidak sempat teramati sehingga informasi mengenai aktivitas makan tidak ada.
22
Calidris subminuta
Calidris tenuirostris Tringa glareola
Tringa stagnatilis Actitis hypoleucos Tringa totanus Tringa nebularia Xenus cinereus Calidris ruficollis Calidris ferruginea Numenius phaeopus Limosa limosa Limosa lapponica Gallinago stenura Himantopus leucocephalus Himantopus himantopus Charadrius mongolus Charadrius leschenaultii Pluvialis fulva Charadrius dubius Charadrius javanicus 0%
10%
20%
30%
40%
Hamparan lumpur
50%
60%
70%
80%
90% 100%
Tambak
Gambar 13 Proporsi aktivitas makan burung pantai di tambak dan hamparan lumpur Perilaku Makan Perilaku mencari makan yang dilakukan oleh burung-burung pantai yang terdapat di lahan basah Wonorejo cukup berbeda. Kober (2004) menyebutkan bahwa dalam mencari makan terdapat jenis burung pantai yang lebih mengandalkan indra penglihatan (visual), indra peraba (tactile), dan terdapat juga yang mengandalkan keduanya (visual dan tactile). Berdasarkan hasil pengamatan terdapat beberapa jenis burung pantai yang lebih mengandalkan penglihatannya seperti jenis-jenis cerek yaitu cerek jawa, cerek kalung kecil, cerek kernyut, cerek pasir besar, dan cerek pasir mongolia. Jenis burung pantai yang mengandalkan indra peraba yaitu paruh atau ujung paruh yang sensitif dalam hal ini dikenal sebagai tactile tidak terdapat di lokasi penelitian. Umumnya yang mencari makan dengan teknik tactile adalah jenis-jenis dari genus Limnodromus sp atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai trinil-lumpur. Jenis tersebut umumnya mencari makan di
23
daerah lumpur atau substrat lunak dengan cara menusuk-nusukkan paruhnya ke susbtrat dan mendapatkan makanan yang terdapat di dalam substrat tersebut. Jenis Limnodromus sp tidak ditemukan di lokasi penelitian. Terdapat juga jenis burung pantai yang mengandalkan keduanya (visual dan tactile). Meskipun mengandalkan keduanya, namun terdapat beberapa jenis yang lebih dominan visual dibanding tactile dan sebaliknya terdapat jenis yang lebih dominan tactile dibanding visual. Sehingga dalam pengelompokan ini dibagi menjadi dua, yaitu lebih visual dan lebih tactile. Jenis-jenis yang masuk dalam kelompok burung pantai yang mengandalkan keduanya (visual dan tactile) namun lebih dominan visual diantaranya adalah berkik ekor lidi, trinil bedaran, trinil kaki hijau, trinil kaki merah, trinil pantai, trinil rawa, dan trinil semak. Jenis-jenis yang lebih dominan tactile diantaranya gagang bayam belang, gagang bayam timur, birulaut ekor blorok, biru-laut ekor hitam, gajahan pengala, kedidi golgol, kedidi leher merah, kedidi besar, dan kedidi jari panjang (Tabel 8). Tabel 8 Pengelompokan burung pantai berdasarkan perilaku makannya secara visual atau tactile Visual Cerek jawa Cerek kalung kecil Cerek kernyut Cerek pasir besar Cerek pasir mongolia
Keduanya Lebih Visual Lebih Tactile Berkik ekor lidi Gagang bayam belang Trinil bedaran Gagang bayam timur Trinil kaki hijau Biru-laut ekor blorok Trinil kaki merah Biru-laut ekor hitam Trinil pantai Gajahan pengala Trinil rawa Kedidi golgol Trinil semak Kedidi leher merah Kedidi besar Kedidi jari panjang
Tactile -
*Pengelompokan berdasarkan Kober (2004)
Selain perilaku makan yang mengandalkan visual atau tactile, terdapat juga perilaku makan burung pantai yang didasarkan pada pergerakan paruh. Howes et al. (2003) menyatakan setidaknya terdapat tiga tipe pergerakan paruh yaitu peck, jab dan probe. Peck dapat diartikan sebagai pergerakan paruh yang ditujukan untuk mengambil suatu mangsa dari permukaan substrat. Jab adalah aktivitas pergerakan dimana hampir setengah bagian dari paruh terbenam dalam sedimen. Probe adalah aktivitas pergerakan dimana lebih dari setengah bagian paruh dibenamkan dalam sedimen. Beberapa jenis burung pantai yang perilaku makannya lebih dominan pecking diantaranya adalah cerek jawa, cerek kalung kecil, cerek pasir besar, cerek pasir mongolia, dan trinil pantai. Jenis yang lebih dominan jab diantaranya adalah trinil kaki hijau, trinil kaki merah, dan kedidi besar. Jenis yang lebih dominan probe diantaranya adalah gagang-bayam belang, gagang-bayam timur, biru-laut ekor blorok, biru laut ekor hitam, gajahan pengala, kedidi golgol, trinil bedaran, dan trinil rawa (Tabel 9).
24
Tabel 9 Perilaku makan burung pantai berdasarkan tipe pergerakan paruh Nama Lokal Cerek jawa Cerek kalung kecil Cerek kernyut Cerek pasir besar Cerek pasir mongolia Gagang bayam belang Gagang bayam timur Berkik ekor lidi Biru laut ekor blorok Biru laut ekor hitam Gajahan pengala Kedidi golgol Kedidi leher merah Trinil bedaran Trinil kaki hijau Trinil kaki merah Trinil pantai Trinil rawa Trinil semak Kedidi besar Kedidi jari panjang
Nama Ilmiah Charadrius javanicus Charadrius dubius Pluvialis fulva Charadrius leschenaultii Charadrius mongolus Himantopus himantopus Himantopus leucocephalus Gallinago stenura Limosa lapponica Limosa limosa Numenius phaeopus Calidris ferruginea Calidris ruficollis Xenus cinereus Tringa nebularia Tringa totanus Actitis hypoleucos Tringa stagnatilis Tringa glareola Calidris tenuirostris Calidris subminuta
Pecking 86,5 75 17,8 70,1 75 0
Jab 9,6 25 35,6 23,4 22,2 0
Probe 3,8 0 46,7 6,5 2,8 100
n 208 8 225 77 180 2
0 0 0 0 0 29,4 0 0 0 72,6 0 33,3 0 31,0
14,8 0 0 15,8 31,9 54,6 0 64,6 74,9 21,0 32,4 55,6 80 55,2
85,2 100 100 84,2 68,1 16,0 100 35,4 25,1 6,5 67,6 11,1 20 13,8
54 7 40 101 455 119 8 99 267 62 111 9 5 29
*Pengelompokan berdasarkan Howes et al. (2003)
Pembahasan Kondisi Fisik Kimia Perairan Karateristik substrat di lokasi penelitian secara umum didominasi oleh fraksi debu dan pasir. Pada hamparan lumpur ukuran sedimen lebih halus dibanding tambak sehingga masuk dalam tipe debu atau berlumpur. Sedimen lumpur yang berada di hamparan lumpur diduga berasal dari endapan yang terbawa oleh sungai dan air laut. Sungai merupakan sumber air tawar yang mengikat partikel lumpur dalam bentuk suspensi. Ketika partikel tersuspensi bercampur dengan air laut di estuari menyebabkan partikel lumpur menggumpal, membentuk partikel yang lebih berat dan besar serta mengendap dan membentuk dasar lumpur yang khas. Tingginya fraksi debu atau lumpur di hamparan lumpur karena letaknya berada pada lokasi yang arusnya lemah. Pada arus lemah, lumpur halus akan cepat mengendap. Nybakken (1992) menyebutkan bahwa pengendapan partikel bergantung pada arus dan ukuran partikel. Partikel yang lebih besar mengendap lebih cepat dari partikel yang lebih kecil dan arus yang kuat mempertahankan partikel tersuspensi lebih lama dari pada arus lemah. Pada lokasi tambak kondisi substrat lebih kasar dan padat sehingga masuk dalam tipe lempung berdebu.
25
Sedimen yang terdapat di tambak berasal dari endapan yang terbawa oleh air sungai yang masuk ke tambak pada saat air laut pasang. Para petani tambak secara rutin memasukkan air ke tambak pada saat tambaknya sedang aktif. Pada saat panen, air di tambak dikuras dan akan diisi kembali ketika akan memasukkan bibit ikan atau udang. Substrat di tambak lebih keras diduga karena adanya komposisi fraksi pasir yang lebih tinggi dibanding hamparan lumpur. Selain itu, pengerasan terjadi karena pada saat panen kondisi tanah dibiarkan kering selama satu minggu bahkan lebih, sehingga sedimen lumpur mengering dan menjadi padat. Tipe substrat pada kedua lokasi pengamatan merupakan habitat yang sesuai bagi makrozoobentos. Jumilawaty (2012) menyatakan bahwa tipe sedimen lempung berdebu dan tipe substrat yang lunak dan berlumpur sangat cocok bagi kehidupan makrozoobentos. Karakteristik substrat sangat mempengaruhi kepadatan dan komposisi makrozoobentos, sehingga secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi kepadatan burung pantai yang mencari makan di lokasi tersebut. Salinitas di hamparan lumpur lebih tinggi dibanding di tambak. Hal tersebut terjadi karena hamparan lumpur terletak di dekat pantai dan terpengaruh langsung oleh air laut, sedangkan tambak berada di tengah-tengah daratan dan jarang terpengaruh air laut. Selain itu, pengaruh air tawar di daerah tambak lebih tinggi. Masukan air tawar berasal dari air hujan yang tertampung di tambak dan juga air tawar yang berasal dari sungai. Masukan air tawar di hamparan lumpur lebih banyak berasal dari aliran sungai karena letaknya dekat dengan muara. Effendi (2003) menyebutkan bahwa pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai. Fluktuasi salinitas di daerah sekitar muara sebenarnya lebih tinggi, karena sangat bergantung pada musim, topografi estuari, pasang surut, dan jumlah masukan air tawar. Nybakken (1992) menyebutkan pada daerah estuari memiliki fluktuasi salinitas yang maksimum. Pengukuran salinitas pada penelitian kali ini dilakukan pada saat musim hujan, dan pada saat air laut mulai pasang. Hasil tersebut mungkin akan berbeda jika dilakukan pada musim dan kondisi pasang surut yang berbeda. Derajat keasaman (pH) merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi struktur komunitas dan penyebaran makrozoobentos (Sanchez et al. 2006). pH merupakan faktor pembatas bagi organisme akuatik. Nilai pH di kedua lokasi yaitu berkisar antara 7,91-8,74. Secara umum nilai pH di lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan makrozoobentos. Effendi (2003) menyebutkan bahwa sebagian besar biota akuatik, termasuk makrozoobentos sangat sensitif terhadap perubahan pH dan lebih menyukai pH sekitar 7-8,5. Suhu pada suatu badan air sangat dipengruhi oleh waktu dalam hari, penutupan awan, musim, aliran serta kedalaman badan air (Effendi 2003). Suhu air di lahan basah Wonorejo berkisar antara 30-34oC, dengan suhu rata-rata di tambak 32,96oC dan di hamparan lumpur 31,15oC. Suhu air di hamparan lumpur lebih rendah diduga karena adanya aliran air yang berasal dari sungai Avour serta kondisi kedalaman air lebih dalam dibanding di tambak, sedangkan di tambak kondisi airnya tergenang, tidak terdapat aliran air, serta kedalaman airnya dangkal sehingga suhu air lebih tinggi. Namun, kisaran dan suhu rata-rata yang diperoleh di lokasi penelitian ini masih mendukung bagi kehidupan makrozoobentos. Batas suhu
26
maksimal toleransi untuk keseimbangan populasi makrozoobentos yaitu sekitar 32oC. Kadar oksigen terlarut (DO) dapat dipengaruhi oleh dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik (Effendi 2003). Nilai DO di tambak lebih tinggi dibanding di hamparan lumpur. Hal tersebut diduga karena hamparan lumpur terletak dekat muara sungai Avour sehingga banyak mendapat masukan bahan organik yang terbawa oleh aliran sungai yaitu berupa limbah hasil dari kegiatan industri maupun rumah tangga. Adanya bahan organik yang tinggi berdampak terhadap turunnya kadar oksigen terlarut dalam air karena proses dekomposisi yang relatif tinggi. Selain itu, di sekitar tambak masih banyak terdapat tegakan pohon mangrove sehingga suplai oksigen dari alam lebih besar dan kontinyu. Namun, kadar DO pada kedua lokasi masih tergolong baik untuk mendukung kehidupan makrozoobentos. Hasil pengukuran kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD) menunjukkan nilai BOD tertinggi di tambak yaitu 13,2 mg/l, sementara di hamparan lumpur 4 mg/l. Hal ini diduga karena terdapat bahan organik atau mikroba dalam jumlah yang tinggi. Menurut Effendi (2003) nilai BOD suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, keberadaan mikroba serta kandungan bahan organik. Bahan organik yang terdapat di tambak diduga berasal dari sungai yang terbawa masuk ke tambak pada saat pengisian air dan juga akibat adanya penambahan pupuk organik yang dilakukan oleh petani tambak untuk menumbuhkan lumut dan plankton sebagai pakan alami ikan bandeng. Nilai BOD dapat digunakan untuk menilai kualitas air, semakin tinggi nilai BOD maka semakin rendah kualitas air. Sehingga dapat diketahui bahwa berdasarkan nilai BOD kualitas air di hamparan lumpur lebih baik dibanding di tambak. Berdasarkan Kep. MENLH No.51 tahun 2004 menetapkan ambang batas maksimum kandungan BOD bagi kehidupan biota laut adalah 20 mg/l. Potensi Pakan Komposisi dan Keanekaragaman Makrozoobentos Terdapat 11 jenis makrozoobentos yang terdiri dari lima kelompok yang terdapat di lokasi penelitian yaitu Crustacea, Bivalvia, Gastropoda, Polychaeta, dan Coleoptera. Hasil ini lebih sedikit jika dibandingkan hasil penelitian Jumilawaty (2012) yang menemukan 26 jenis makrozoobentos di pantai timur Sumatera Utara yang terdiri dari empat kelompok yaitu Bivalvia, Crustacea, Gastropoda dan Polychaeta dan hasil penelitian Fitriana (2006) yang menemukan 20 jenis mkrozoobentos di hutan mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali yang terdiri dari empat kelompok yaitu Polychaeta, Crustacea, Gastropoda, dan Pelecypoda. Perbedaan terhadap jumlah jenis yang ditemukan diduga karena adanya pengaruh kondisi lingkungan perairan, perbedaan metode sampling, jumlah titik sampel, serta luas areal penelitian. Terdapat empat kelompok makrozoobentos yang ditemukan di lokasi penelitian. Howes et al. (2003) menyatakan bahwa dari sekian banyak makrozoobentos hanya sebagian saja yang dapat dijadikan sebagai makanan yang menguntungkan bagi burung pantai, beberapa yang utama adalah kelompok Bivalvia, Gastropoda, Crustracea, Polychaeta. Hasil ini menunjukkan bahwa
27
makrozoobentos di lokasi penelitian hampir seluruhnya potensial bagi burung pantai. Crustacea merupakan kelompok yang memiliki jumlah jenis paling banyak di lokasi penelitian dan seluruhnya ditemukan di daerah tambak. Hal tersebut karena Crustacea memiliki sebaran yang sangat luas dan umumnya mendominasi pada komunitas fauna benthik pada kebanyakan ekosistem mangrove (Kennish 1990). Daerah tambak yang berada di lahan basah Wonorejo sebelumnya merupakan ekosistem mangrove yang dikonversi menjadi pertambakan, namun masih banyak terdapat sisa-sisa hutan mangrove serta pohon-pohon mangrove di pinggiran tambak. Persebaran Bivalvia dan Gastropoda hanya di hamparan lumpur. Hal ini sangat terkait dengan kondisi substrat yang lebih lunak di hamparan lumpur yang sangat cocok sebagai habitat jenis-jenis dari kelompok Bivalvia dan Gastropoda. Nilai keanekaragaman makrozoobentos pada kedua lokasi pengamatan yaitu tambak (H’= 0,63) dan hamparan lumpur (H’= 0,40) tergolong rendah (H’<1,00). Fitraiana (2006) menyebutkan bahwa pada nilai keanekaragaman makrozoobentos yang rendah menandakan bahwa pada kedua lokasi tersebut miskin, produktivitasnya rendah, tekanan ekologi yang berat dan ekosistem tidak stabil. Nilai keanekaragaman makrozoobentos paling tinggi adalah di tambak. Hal tersebut diduga karena kondisi habitat dan substrat yang lebih beragam dibandingkan di hamparan lumpur. Odum (1993) menyebutkan bahwa kondisi substrat di dasar perairan akan menentukan komposisi jenis dan kelimpahan makrozoobentos. Pada penelitian kali ini pengambilan contoh makrozoobentos dilakukan pada tujuh tambak yang kondisinya cukup berbeda, terutama kondisi substrat, tutupan tajuk, luas tambak, ketinggian air, posisi tambak dekat dengan sungai atau tidak. Selain itu diduga tekanan faktor lingkungan di tambak lebih rendah dibanding hamparan lumpur. Pada hamparan lumpur berbagai tekanan seperti kondisi salinitas yang berfluktuasi, serta banyaknya bahan organik dan bahan pencemar yang mungkin terbawa oleh aliran sungai yang bermuara di dekat hamparan lumpur. Kober (2006) menyebutkan bahwa fluktuasi salinitas pada daerah pasang surut menyebabkan rendahnya jumlah spesies yang hidup di daerah tersebut. Hanya jenis-jenis makrozoobentos tertentu yang dapat beradaptasi terhadap fluktuasi tersebut dan dapat bertahan hidup di hamparan lumpur. Selain itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa adanya bahan organik dan bahan pencemar yang terbawa oleh arus sungai dan mungkin terakumulasi di daerah estuari mempengaruhi kandungan oksigen terlarut, yaitu mengurangi kadar oksigen dalam air. Sehingga hanya jenis-jenis makrozoobentos yang bisa beradaptasi yang dapat bertahan. Nilai indeks kemerataan makrozoobentos di tambak (0,27) dan hamparan lumpur (0,37) juga relatif rendah karena nilainya mendekati 0. Nilai kemerataan yang rendah menggambarkan bahwa kondisi periaran di lahan basah Wonorejo secara umum tidak stabil, telah terganggu, dan mengalami tekanan. Dari nilai tersebut juga dapat diketahui bahwa sebaran jumlah individu pada setiap jenis tidak merata dan terdapat jenis yang mendominasi. Kelompok Bivalvia jenis Lithopaga sp merupakan jenis yang paling mendominasi di hamparan lumpur dan kelompok Crustacea jenis Mysis sp yang paling mendominasi di tambak.
28
Kepadatan Makrozoobentos Kelompok Bivalvia paling mendominasi di hamparan lumpur. Hal ini terkait dengan tipe substrat dan kondisi perairan. Diduga kedua jenis Bivalvia yang terdapat di hamparan lumpur merupakan jenis yang mampu beradaptasi terhadap berbagai tekanan di habitat tersebut. Bivalvia termasuk kedalam filter feeder yang memperoleh makanannya dengan cara menyaring material yang tersuspensi di dalam air, baik berupa zat organik maupun plankton. Kebanyak filter feeder cara hidupnya dengan mengubur diri di dalam sedimen dan menonjolkan organ pencari makan di permukaan sedimen. Bivalvia yang terdapat di hamparan lumpur hidup secara berkelompok dan pada saat pengambilan sampel menggunakan corer jumlah yang tertangkap cukup melimpah sehingga nilai kepadatannya sangat tinggi. Sebaran vertikal Bivalvia yang terdapat di hamparan lumpur paling tinggi jumlahnya berada pada kedalaman 0-10 cm, lebih dari 10 cm jumlahnya sangat sedikit bahkan jika lebih dalam sudah tidak terdapat Bivalvia tersebut. Ukuranya juga bervariasi, mulai ukuran yang sangat kecil (<1 cm) hingga ukuran sedang. Kondisi itulah yang diduga menyebabkan burung pantai banyak mencari makan di hamparan lumpur. Selain karena jumlahnya yang banyak, potensi pakan yang berada di hamparan lumpur lebih banyak pada lapisan substrat atas sehingga lebih memudahkan bagi burung pantai untuk mendapatkan mangsa tersebut. Khususnya bagi jenis-jenis burung pantai perilaku makannya mencari mangsa di dalam substrat seperti trinil, gajahan, biru-laut, gagang-bayam, dan kedidi. Jenis Bivalvia yang paling mendominasi adalah Lithophaga sp. Crustacea paling mendominasi di tambak. Hal ini diduga terkait dengan kondisi perairan. Jenis Crutacea yang banyak ditemukan di tambak umumnya adalah jenis yang biasa hidup di air tawar dan air payau. Nilai salinitas di tambak cukup rendah dibanding hamparan lumpur dan pada saat pengambilan data kondisinya lebih sering hujan sehingga air tambak banyak mendapat masukan air tawar yang berasal dari air hujan. Selain itu pada saat musim hujan, hampir semua tambak tergenang dan kondisi tersebut sangat manguntungkan bagi jenis-jenis Crustacea karena sebagian besar ditemukan pada tambak yang cukup dalam. Burung pantai yang mencari makan pada tambak yang tergenang umumnya dalah jenis yang berkaki panjang seperti gagang-bayam timur, trinil-kaki hijau, dan trinil semak. Pada saat mencari makan, jenis-jenis tersebut sering teramati menusukkan paruhnya kedalam air, diduga mereka sedang menangkap jenis-jenis Crustacea yang berada dalam air. Jenis Crustacea yang paling mendominasi adalah Mysis sp yaitu udang berukuran kecil. Penyebaran Makrozoobentos Berdasarkan Kedalaman Analisis penyebaran makrozoobentos berdasarkan kedalaman dilakukan untuk memperoleh data penyebaran mangsa burung pantai yang dapat disesuaikan dengan perilaku makan serta kemampuan mangambil mangsa di kedalaman berdasarkan ukuran paruh. Beberapa burung pantai dengan ukuran paruh yang pendek umumnya menangkap mangsa yang terdapat di permukaan atau pada sedimen yang tidak terlalu dalam, sedangkan yang berparuh panjang umumnya dapat mengambil mangsa yang terdapat di dalam sedimen hingga kedalaman 20 cm.
29
Berkurangnya jumlah jenis dan individu (kepadatan) makrozoobentos seiring bertambahnya kedalaman diduga dipengaruhi oleh kondisi substrat dan kandungan bahan organik. Kondisi substrat di tambak dan hamparan lumpur semakin dalam kondisinya semakin padat dan liat, kecuali substrat pada bagian tepi muara sungai Avour yang relatif lebih lunak yang didominasi oleh pasir dan debu halus sehingga memungkinkan bagi Bivalvia untuk menempati substrat yang lebih dalam. Kadungan bahan organik merupakan salah satu yang mempengaruhi persebaran vertikal makrozoobentos. Endapan yang dibawa air tawar dan air laut akan membentuk sedimen dan kaya akan bahan organik yang menjadi cadangan makanan bagi organisme estuari (Dahuri 2005). Polychaeta dan Bivalvia ditemukan pada kedalaman 0-20 cm, namun jumlah paling banyak pada kedalaman 0-10 cm. Kedua kelompok tersebut cara hidupnya dengan membenamkan diri di dalam substrat. Keduanya merupakan mangsa potensial bagi burung pantai dengan ukuran paruh panjang yang perilaku makannya dengan cara menangkap mangsa di dalam substrat (probe) seperti jenis gajahan, biru-laut, dan trinil. Gastropoda yang ditemukan adalah jenis yang hidup di permukaan substrat, sehingga kelompok ini menjadi mangsa potensial bagi jenis burung pantai berparuh pendek yang perilaku makannya dengan cara mengejar dan menangkap mangsa yang terlihat di permukaan substrat (pecking) seperti jenis cerek. Crustacea dan Coleoptera yang ditemukan merupakan kelompok yang hidup pada lapisan atas substrat. Cara hidup jenis-jenis dari kelompok Crustacea dan Coleoptera yang ditemukan yaitu dengan cara membuat lubang kecil pada substrat hingga kedalaman 5 cm sehingga kedua kelompok ini berpotensi sebagai mangsa dari jenis burung pantai yang perilaku makannya dengan cara menusukkan paruhnya pada lapisan atas substrat seperti jenis kedidi, cerek kernyut, gagang bayam, dan beberapa jenis trinil. Komunitas Burung Pantai Komposisi dan Keanekaragaman Spesies Burung Pantai Selama penelitian tercatat sebanyak 21 spesies burung pantai yang terdiri dari tiga famili. Jumlah ini lebih banyak dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Firdaus dan Aunurohim (2015) yang menemukan 7 jenis burung pantai di Wonorejo. Jumlah tersebut juga lebih banyak jika dibandingkan dengan hasil penelitian di lokasi lain oleh Iqbal et al. (2012) yang menemukan 7 jenis burung pantai di Pulau Bangka, Sumatera dan 20 jenis di pantai timur Sumatera Utara (Iqbal et al. 2010). Perbedaan jumlah spesies yang ditemukan diduga dipengaruhi oleh perbedaan waktu pengamatan, musim migrasi, kondisi lahan basah, ketersediaan tempat untuk beristirahat dan mencari makan, potensi pakan, serta kondisi lingkungan seperti curah hujan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Firdaus dan Aunurohim di ekosistem mangrove Wonorejo menemukan jumlah yang lebih sedikit karena waktu pengamatan yang dilakukan tidak pada saat puncak migrasi. Penelitian tersebut dilakukan pada bulan April-Juni, sedangkan puncak musim migrasi umumnya terjadi pada bulan Oktober-November. Selain itu lokasi pengamatan dan metode yang digunakan juga berbeda. Famili Scolopacidae merupakan famili yang paling mendominasi di lokasi penelitian. Fimili Scolopacidae merupakan famili yang memiliki jumlah jenis yang
30
banyak yang umumnya ditemukan di daerah hamparan lumpur, rawa, pantai atau di lahan basah terbuka (MacKinnon et al. 2010). Hasil penelitian di pantai timur Sumatera Utara yang dilakukan oleh Iqbal et al. 2010 juga menemukan jenis burung pantai paling banyak dari famili Scolopacidae yaitu sebanyak 17 jenis serta hasil penelitian Jumilawaty (2012) yang juga menyebutkan famili paling mendominasi adalah Scolopacidae. Namun penelitian lain yang juga dilakukan oleh Iqbal et al. 2012 di Pulau Bangka Sumatera yang paling banyak adalah jenis burung panta dari famili Charadriidae atau jenis-jenis cerek. Hal tersebut diduga sangat terkait dengan kondisi habitat dan substrat yang terdapat di Pulau Bangka lebih banyak daerah pasir dengan substrat yang lebih kasar/keras. Kondisi tersebut merupakan habitat yang cocok untuk jenis-jenis cerek atau famili Charadriidae. Sebagian besar burung pantai yang terdapat di lokasi penelitian merupakan burung migran dan hampir seluruhnya berasal dari bumi bagian utara. Menurut Tirtaningtyas dan Febrianto (2013) sebagian besar burung pantai melakukan migrasi dari lokasi berkembang biaknya di belahan bumi utara menuju belahan bumi selatan. Hal tersebut sebagai bentuk adaptasi untuk bertahan hidup saat di belahan bumi utara mengalami musim dingin yang ekstrim. Nilai keanekaragaman burung pantai di hamparan lumpur lebih tinggi dibanding di tambak. Hal ini diduga terkait dengan kondisi habitat serta ketersediaan pakan yang lebih banyak di hamparan lumpur. Tian et al. (2008) menyebutkan bahwa keanekaragaman jenis burung pantai sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pasang surut, tutupan lahan, dan ketersediaan makrozoobentos Pada saat air laut sedang surut, hamparan lumpur akan muncul berupa tanah terbuka yang luas. Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi burung pantai untuk mendarat guna mencari makan atau beristirahat. Kepadatan bentos di hamparan lumpur lebih tinggi, hal tersebut diduga yang menyebabkan burung pantai berkumpul dalam jumlah banyak di lokasi tersebut. Ketersediaan pakan dalam jumlah yang tinggi sangat menguntungkan untuk burung pantai karena lebih mudah untuk mendapatkan mangsa. Selain itu, diduga hamparan lumpur merupakan tempat yang aman bagi burung pantai dari serangan predator, karena pada tanah terbuka yang luas seluruh pergerakan yang dapat mengancam lebih mudah teramati sehingga mereka memiliki kesempatan untuk menghindar atau terbang pindah ke tempat lain Kelimpahan Burung Pantai Total individu yang tercatat di di lokasi penelitian sebanyak 7.494 individu. Jumlah tersebut lebih sedikit jika dibandingkan jumlah total individu burung pantai di pantai timur Sumatera Utara khususnya di Pantai Ancol dan Bagan Percut (masing-masing 15.540 individu dan 7.852 individu), namun lebih banyak jika dibandingkan dengan di Tanjung Balai (4.477 individu) (Iqbal et al. 2010). Jenis yang paling mendominasi dengan kelimpahan individu paling tinggi adalah trinil kaki hijau Tringa nebularia, biru-laut ekor hitam Limosa limosa, trinil kaki merah Tringa totanus, cerek kernyut Pluvialis fulva dan kedidi golgol Calidris ferruginea. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Iqbal et al. (2010) pada tiga lokasi di pantai timur Sumatera Utara juga menemukan beberapa jenis tersebut dengan total kelimpahannya cukup banyak, yaitu biru laut ekor hitam Limosa
31
limosa sebanyak 2.700 individu, trinil kaki merah Tringa totanus sebanyak 4.500 individu, dan cerek kernyut Pluvialis fulva sebanyak 400 individu, sedangkan dua lainnya yaitu trinil kaki hijau Tringa nebularia dan kedidi golgol Calidris ferruginea dalam jumlah yang lebih sedikit (masing-masing 50 individu dan 7 individu). Hasil analisis korelasi menyebutkan bahwa kelimpahan burung pantai berkorelasi dengan kepadatan makrozoobentos. Howes et al. (2003) menyatakan bahwa burung pantai cenderung berkumpul pada daerah yang banyak terdapat pakan makrozoobentos. Jumilawaty (2012) juga menyebutkan bahwa sebaran burung pantai terutama pada saat mencari makan sangat ditentukan oleh kelimpahan makrozoobentos. Aktivitas Burung Pantai Aktivitas makan burung pantai banyak dilakukan di hamparan lumpur. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Jumilawaty (2012) yang menyebutkan bahwa aktivitas makan burung air di Percut Sei Tuan Sumatera Utara lebih banyak dilakukan di hamparan lumpur. Willems (2010) menyebutkan bahwa hamparan lumpur yang terletak di daerah pasang surut merupakan lokasi penting bagi burung pantai dalam mencari makan. Adanya aliran energi yang cukup tinggi di area hamparan lumpur karena letaknya yang berdekatan dengan muara sungai menyebabkan tingginya biota air yang hidup di area tersebut khususnya makrozoobentos yang merupakan pakan utama burung pantai. Pada saat mencari makan, burung pantai di lokasi penelitian cenderung berkelompok dalam jumlah besar. Menurut Howes et al. (2003) burung pantai yang mencari makan dengan cara berkelompok lebih menguntungkan, karena mangsa yang terganggu akan lebih mudah ditemukan. Jenis yang berkelompok umunya terdiri dari kedidi golgol, kedidi leher merah, trinil rawa, trinil kaki merah, gajahan pengala, trinil kaki hijau, cerek pasir mongolia, dll. Namun terdapat juga yang teramati lebih sering mencari makan sendiri-sendiri atau tidak bergabung dalam kelompok, seperti trinil pantai, cerek kernyut, dan cerek jawa. Aktivitas makan di hamparan lumpur paling banyak dilakukan oleh kedidi golgol. Hampir dalam setiap kali pengamatan jenis-jenis kedidi selalu ditemukan dalam aktivias mencari makan. Marchant et al. (1986) menyatakan bahwa jenisjenis kedidi perilaku makannya sangat aktif yaitu dengan cara mematuk-matukkan paruhnya pada substrat atau berburu mangsa yang terlihat. Kedidi pada umunya merupakan spesies generalis yang memangsa berbagai jenis makrozoobentos (Folmer 2012). Makrozoobentos yang ditemukan di hamparan lumpur adalah bivalvia dan gastropoda, diduga kedua kelompok tersebut merupakan mangsa utama dari jenis kedidi yang sedang mencari makan di lokasi tersebut. Pada lokasi tambak, jenis yang paling banyak mencari makan adalah cerek jawa. Umunya cerek jawa mencari makan di area tambak yang baru panen, atau tambak kering yang tidak aktif. Pakan utama cerek adalah crustacea kecil (Kober 2004). Keberadaan crustacea sangat penting karena pergerakannya mudah dideteksi bagi jenis cerek yang berburu mangsa dengan mengandalakan penglihatan (visual). Hasil dari analisis potensi pakan juga menunjukkan bahwa crustacea banyak ditemukan di daerah tambak. Jenis-jenis crustacea yang ditemukan di tambak umumnya adalah
32
jenis udang kecil yang cara hidupnya berada di atas substrat dan juga menggali lubang pada lapisan atas substrat. Beberapa jenis burung pantai lebih sering ditemukan mencari makan di hamparan lumpur. Hal ini diduga sangat terkait dengan keberadaan pakan, kemudahan untuk ditangkap, dan strategi makan dari jenis burung tersebut. Smith et al. (2012) menyebutkan bahwa dalam mencari makan, burung pantai lebih memilih tempat yang paling menguntungkan dan tidak memilih secara acak. Jenis burung pantai yang lebih sering mencari makan di hamparan lumpur secara umum dodiminasi oleh famili Scolopacidae, meskipun beberapa jenis dari famili Charadiidae juga sering ditemukan namun jumlahnya sedikit. Strategi makan dari famili tersebut umumnya menangkap mangsa yang terdapat di dalam substrat, mulai dari kedalaman 0-20 cm tergantung pada ukuran paruh, namun bagi anggota Scolopacidae yang berukuran lebih kecil seperti jenis kedidi biasanya juga menangkap mangsa yang terdapat di permukaan. Jika dihubungkan dengan ketersediaan pakan di hamparan lumpur umumnya didominasi oleh Bivalvia dan Gastropoda. Bivalvia merupakan mangsa potensial bagi jenis-jenis berparuh panjang seperti Tringa stagnatilis, Tringa totanus, Tringa nebularia, Xenus cinereus, Numenius phaeopus, Limosa limosa, dan Limosa lapponica. Jenis-jenis trinil (Tringa sp) dapat menangkap Bivalvia yang hidup di dalam substrat hingga kedalaman 10 cm, sedangkan jenis-jenis dengan ukuran paruh sangat panjang seperti gajahan dan biru-laut dapat menangkap Bivalvia hingga kedalaman 20 cm. Bivalvia banyak ditemukan di dalam substrat pada kedalaman 0-10 cm dan lebih sedikit pada kedalaman 10-20 cm. Gastropoda yang ditemukan di hamparan lumpur merupakan jenis yang hidup pada permukaan substrat. Gastropoda merupakan mangsa potensial bagi jenis burung pantai famili Charadriidae yang mencari makan di permukaan seperti Charadrius mongolus, C. leschenaultii, dan Pluvialis fulva. Jenis-jenis tersebut lebih sering ditemukan mencari makan di hamparan lumpur. Gastopoda yang dimangsa oleh burung pantai umunya yang berukuran kecil dengan kondisi cangkang masih lunak. Selain itu, terdapat beberapa jenis burung pantai yang lebih sering mencari makan di tambak. Jenis burung pantai yang lebih sering mencari makan di tambak terdiri dari famili Scolopacidae, Charadriidae, dan Recurvirostridae. Anggota dari Scolopacidae yang lebih sering mencari makan di tambak adalah Tringa glareola dan Actitis hypoleucos. Kedua jenis trinil ini memiliki perilaku makan yang hampir sama yaitu berburu mangsa secara soliter pada tambak kering, tambak berair dangkal, dan pinggiran tambak. Kedua jenis dari famili Recurvirostridae Himantopus himantopus dan Himantopus leucocephalus yang ditemukan di lokasi penelitian memiliki kebiasaan yang sangat mirip, bahkan Marchant et al. (1986) menyebutkan bahwa kedua jenis ini sebenarnya masih tergolong dalam satu spesies yang sama. Kedua jenis ini umumnya mencari makan pada daerah tambak tergenang, berjalan secara lambat sambil menusuk-nusukkan paruhnya kedalam air atau substrat lunak. Angggota dari famili Charadriidae yang sering mencari makan di tambak adalah Charadrius dubius dan C. javanicus. Jenis C. dubius sebenarnya adalah jenis yang sangat jarang ditemukan ketika penelitian, namun pada saat ditemukan aktivitasnya sedang makan. Jenis cerek tersebut ditemukan mencari makan pada daerah tambak yang hampir kering. Jenis C. javanicus merupakan jenis penetap yang banyak mencari makan pada daerah tambak kering atau tambak baru
33
panen. Perilaku makannya sama seperti jenis cerek lainnya yaitu dengan mengejar dan menangkap mangsa di permukaan karena lebih mengandalkan visual. Ketersediaan pakan di tambak didominasi oleh Crustacea, kemudian Coleoptera. Crustacea yang ditemukan di tambak merupakan jenis udang kecil yang cara hidupnya dengan membuat lubang dangkal pada substrat atau bersembunyi dibalik lumut dan kayu mati yang berada di dasar. Keberadaan Crustacea diduga menjadi salah satu faktor bagi burung pantai yang mencari makan di tambak, selain itu, cara hidupnya yang berada di lapisan atas substrat diduga sangat memudahkan untuk ditangkap. Perilaku Makan Perilaku makan yang dikelompokkan berdasarkan cara mencari makan dengan mengandalkan penglihatan (visual) atau peraba dengan ujung paruh (tactile) atau kombinasi keduanya dapat menggambarkan pola ketersediaan pakan. Dimana jenis-jenis yang lebih mengandalkan visual seperti cerek umumnya menangkap mangsa yang terdapat di permukaan substrat (Marchant et al. 1986). Mangsa yang berada di permukaan mudah terlihat dan jenis-jenis yang mengandalkan visual akan langsung mengejar dan menangkap mangsa tersebut. Karakteristik dari kelompok visual ini adalah ukuran mata besar, paruh pendek dan kokoh, dan umumnya pelari cepat. Perilaku makannya dengan cara mengejar-ngejar mangsa atau dengan berdiam diri menunggu mangsa muncul ke permukaan lalu menyambarnya dengan cepat (Kober 2004). Beberapa jenis burung pantai yang temasuk dalam kelompok yang mencari makan dengan mengandalkan keduanya (visual dan tactile) namun lebih pada visual, kebanyakan terdiri dari jenis-jenis trinil. Burung pantai yang termasuk dalam kelompok ini umumnya mencari makan di dalam dan permukaan substrat. Seringkali teramati sedang mengejar mangsa, atau memburu mangsa yang baru masuk ke dalam sedimen pada daerah pasang surut yang dekat dengan batas air. Selain itu juga tidak jarang teramati sedang mencari makan di dalam sedimen dengan menusukkan paruhnya. Pada saat mencari makan di dalam sedimen, jenisjenis dalam kelompok ini juga selain penglihatan juga mengandalkan ujung paruhnya yang sensitif untuk menemukan mangsa. Sementara itu, kelompok yang juga mengandalkan keduanya namun lebih dominan tactile jumlahnya paling banyak dan terdiri dari jenis gagang-bayam, biru laut, gajahan, dan kedidi. Pada kelompok ini, perilaku makannya lebih dominan munggunakan peraba yaitu ujung paruh dalam mencari mangsa. Umumnya jenis ini mencari makan di dalam substrat dengan cara menusukkan paruhnya secara berulang-ulang (Marchant et al. 1986). Dari pembagian kelompok perilaku ini dapat diketahui bahwa jenis burung pantai di lahan basah Wonorejo lebih banyak yang mencari mangsa di dalam sedimen dengan dengan mengandalkan indra peraba (tactile). Berdasarkan tipe pergerakan paruh dalam perilaku mencari makan yaitu yang paling banyak adalah probe, jab, kemudian peck. Probe adalah aktivitas pergerakan paruh dimana lebih dari setengah bagian paruh dibenamkan dalam sedimen, sedangkan jab hanya setengah bagian paruh yang dibenamkan pada sedimen. Hal ini menandakan bahwa keberadaan pakan banyak terdapat di bagian tengah dan dalam sedimen. Jenis-jenis berparuh panjang seperti biru-laut dan gajahan lebih banyak menangkap mangsa di dalam sedimen untuk mencari
34
Polychaeta, Bivalvia, dan Crustacea yang berukuran kecil. Sementara itu, jenis dengan ukuran paruh lebih pendek seperti jenis-jenis kedidi dan trinil lebih banyak menangkap mangsa yang berada pada lapisan atas sedimen yang sangat padat jumlah makrozoobentosnya, terutama di hamparan lumpur. Perilaku tersebut dilakukan oleh burung pantai sebagai bentuk adaptasi untuk mengurangi persaingan dengan jenis lain dalam memperebutkan sumberdaya yang sama dalam satu lokasi atau daerah feeding ground (Howes et al. 2003).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Komunitas burung pantai yang terdapat di lahan basah Wonorejo terdiri dari 21 spesies burung pantai dari tiga famili, yaitu Scolopacidae, Charadriidae, dan Recurvirostridae. Nilai keanekaragaman dan kemerataan burung pantai di hamparan lumpur (H’= 2,37 E= 0,59) lebih tinggi dibanding di tambak (H’= 2,18 E= 0,46). Kelimpahan individu burung pantai lebih tinggi di hamparan lumpur (4428 individu) dibanding di tambak (3066 individu). 2. Terdapat 11 jenis makrozoobentos yang berpotensi sebagai pakan burung pantai. Komunitas makrozoobentos tersebut terdiri dari kelompok Crustacea, Bivalvia, Gastropoda, Polychaeta, dan Coleoptera. Nilai keanekaragaman makrozoobentos di tambak (H’= 0,63) lebih tinggi dibanding hamparan lumpur (H’= 0,40), namun nilai kemerataan di hamparan lumpur lebih tinggi (E= 0,37) dibandingkan tambak (E= 0,27). Total kepadatan makrozobentos di hamparan lumpur lebih tinggi (72,82%) dibanding di tambak (27,18%). 3. Aktivitas mencari makan burung pantai lebih banyak dilakukan di hamparan lumpur dibanding di tambak. Hamparan lumpur merupakan daerah penting bagi burung pantai sebagai tempat mencari makan. Terdapat 5 jenis yang termasuk kedalam kelompok perilaku makan visual, 7 jenis yang termasuk kelompok lebih visual dan 9 jenis yang termasuk dalam kelompok lebih tactile. Selain itu burung pantai yang ditemukan lebih dominan perilaku probe dan jab, dibanding peck dalam menangkap mangsa. 4. Kelimpahan burung pantai mempunyai korelasi yang sangat erat dengan kepadatan makrozoobentos. Keberadaan burung pantai dalam jumlah banyak pada saat mencari makan di hamparan lumpur dapat menunjukkan bahwa di lokasi tersebut kepadatan makrozoobentos cukup tinggi. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai komunitas makrozoobentos yang terdapat di hamparan lumpur pada jangkauan yang lebih luas dengan membagi zona berdasarkan perbedaan kondisi substrat dan pengambilan data dilakukan setiap bulan sehingga dapat diketahui pola ketersediaan dan sebaran makrozoobentos sepanjang tahun. 2. Analisis mengenai kandungan bahan organik dan bahan pencemar pada aliran sungai Avour dan Sungai Londo juga cukup penting dilakukan untuk
35
mengetahui seberapa besar ancaman bagi kehidupan makrozoobentos dan burung pantai yang terdapat di Wonorejo. 3. Perlu dilakukan pengelolaan terhadap lahan basah Wonorejo sebagai habitat singgah burung pantai migran, dengan cara tidak merubah fungsi lahan basah menjadi kawasan perumahan, menjaga ekosistem mangrove yang tersisa, dan mengendalikan pencemaran di perairan Wonorejo.
DAFTAR PUSTAKA Dahuri R. 2005. Keanekaragaman Hayati Laut. Jakarta : Penerbit Gramedia Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius Firdaus PAJ, Aunurohim. 2015. Pola persebaran burung pantai di Wonorejo, Surabaya sebagai kawasan Important Bird Area (IBA). Jurnal Sains dan Seni ITS Vol.4 (1): 2337-3520. Fitriana YR. 2006. Keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobentos di hutan mangrove hasil rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Boidiversitas Vol. 7 (1): 67-72 Folmer E. 2012. Self-organization on Mudflats [thesis]. Netherland : University of Groningen. Hadiputra MA, Damayanti A. 2013. Kajian potensi makrozoobentos sebagai bioindikator pencemaran logam berat tembaga (Cu) di kawasan ekosistem mangrove Wonorejo pantai timur Surabaya. Prosiding. Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII, Program Studi MMT-ITS. Howes J, Bakewell D, Noor YR. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Bogor: Wetlands International – Indonesia Programme. Iqbal M, Giyanto, Abdillah H. 2010. Wintering shorebirds migrate during January 2009 along the east coast of North Sumatra Porvince, Indonesia. Stilt 58: 18-23. Iqbal M, Takari F, Irawan D, Faisal R, Firaus A, Syafrizal, Ridwan A. 2012. The shorebirds of Bangka Island, Sumatra, Indonesia. Stilt 61: 51-54. Jing Z, Kai J, Xiojing G, Zhijun M. 2007. Food supply in intertidal area for shorebirds during stopover at Chingming Dongtan, China. Acta Ecologica Sinica 27(6): 2149-2159 Jumilawaty E. 2012. Kesesuaian Habitat dan Distribusi Burung Air di Percut Sei Tuan Sumatera Utara [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kennish MJ. 1990. Ecology of Estuaries Volume 2, Biological Aspects. Florida: CRC Press Inc.
36
Kober K. 2004. Foraging Ecology and Habitat Use of Wading Birds and Shorebirds in the Mangrove Ecosystem of the Caete Bay, Northest Para, Brazil [dissertation]. Bremen : Bremen University. Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Malden: Blackwell Publishing. Marchant J, Prater T, Hayman P. 1986. Shorebirds: an Identification Guide. Boston : Houghton Mifflin Company Masero JA, Gonzalez MP, Basadre M, Otero-Saavedra M. 1999. Food supply for waders (Aves: Charadrii) in an estuarine area in the Bay of Cadiz (SW Iberian Peninsula). Acta Oecologica 20(4): 429-434 Nurdini L. 2010. Studi Kelimpahan dan Keanekaragaman Burung Air dan Sumber pakannya di Tambak Wonorejo, Surabaya [skripsi]. Surabaya : Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Diterjemahkan oleh M. Eidman, DG. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. Jakarta : PT. Gramedia Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Perus J , Bonsdorff E. 2004. Long-term changes in macrozoobenthos in the Aland Archipelago, Northern Baltic Sea. Journal of Sea Research 52: 45-56. Placyk JS, Harrington BA. 2004. Prey abundance and habitat use by migratory shorebirds at coastal stopover site in Connecticut. J. Field Ornithol. 75(3): 223-231 Rombang WM, Rudyanto. 1999. Daerah Penting bagi Burung di Jawa dan Bali. Bogor : PKA/Birdlife International Indonesia Programme. Sanchez MI, Green AJ, Alejandre R. 2006. Shorebird predation affects density, biomass, and size distribution of benthic chironomids in salt pans: an exclosure experiment. North American Benthol. Soc 25(1): 9–18. Santos CD, Saraiva S, Palmeirim JM, Granadeiro JP. 2009. How do waders perceive buried prey with patchy distribution? The role of prey density and size of patch. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 372 (2009): 43-48 Setiawan B. 2008. Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan Perairan Hilir Sungai Musi [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Smith RV, Stafford JD, Yetter AP, Horath MM, Hine CS, Hoover JP. 2012. Foraging ecology of fall-migrating shorebirds in the Illinois River Valley. PloS ONE 7(9). Tian B, Zhou Y, Zhang L, Yuan L. 2008. Analyzing the habitat suitability for migratory birds at the Chongming Dongtan Nature Reserve in Shanghai, China. Estuarin, Coastal and Shelf Science 80: 296-302
37
Tirtaningtyas FN, Febrianto I. 2013. Burung Pantai : Panduan Lapangan Pengenalan di Pantai Cemara, Jambi. Bogor: Wildlife Conservation Society-Indonesia Program. Willems T. 2010. Feeding Ecology of Shorebirds: Habitat Preference and Tidal Constraints [thesis]. Belgium: Department of Biology, Faculty of Sciences, Ghent University. Zou F, Zhang H, Dahmer T, Yang Q, Cai J, Zhang W, Liang C. 2008. The effect of benthos and wetland area on shorebird abundance and species richness in coastal mangrove wetland of Leizhou Peninsula, China. Forest Ecology and Management 255 (2008): 3813-3818
38
LAMPIRAN
39
Lampiran 1 Rata-rata kelimpahan burung pantai beserta standar deviasinya Nama Lokal Charadriidae Cerek jawa Cerek kalung kecil Cerek kernyut Cerek pasir besar Cerek pasir mongolia Recurvirostridae Gagang bayam belang Gagang bayam timur Scolopacidae Berkik ekor lidi Biru laut ekor blorok Biru laut ekor hitam Gajahan pengala Kedidi golgol Kedidi leher merah Kedidi besar Kedidi jari panjang Trinil bedaran Trinil kaki hijau Trinil kaki merah Trinil pantai Trinil rawa Trinil semak
Nama Ilmiah
Tambak (n=20)
Hamparan Lumpur (n=10) Rata-rata SD
Rata-rata
SD
Charadrius javanicus Charadrius dubius Pluvialis fulva Charadrius leschenaultii Charadrius mongolus
17,7 3,5 13,4 3,5 9,3
18,6 0,5 9,5 0,5 6,2
4,6 3,5 89 40,4 68,4
1,0 0,5 74 29,8 25,2
Himantopus himantopus
2
0
-
-
6,4
3,5
10,6
1,8
1 300 42,4 25 28,5 5 5 35,7 110,8 3,8 6,5 6,9
0 20 35,2 20 4,5 1 0,8 10,9 101,7 2,1 2,6 5,0
41,5 43 53,1 85 77,9 3,5 7 5,4 7 108 4,1 26,7 -
62,6 8,8 49,4 47,6 51,7 0,5 1 2,6 3,9 95,2 1,2 16,3 -
Himantopus leucocephalus Gallinago stenura Limosa lapponica Limosa limosa Numenius phaeopus Calidris ferruginea Calidris ruficollis Calidris tenuirostris Calidris subminuta Xenus cinereus Tringa nebularia Tringa totanus Actitis hypoleucos Tringa stagnatilis Tringa glareola
40
Lampiran 2 Tekstur substrat berdasarkan analisis 3 fraksi Plot Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 SM1 SM2 Cr1 Cr2
Pasir 12,67 18,60 21,13 9,42 25,69 6,21 9,64 16,77 31,51
Fraksi (%) Debu 85,21 77,62 73,60 88,12 68,76 91,91 87,25 80,98 62,94
Tipe Substrat Liat 2,12 3,78 5,27 2,46 5,55 1,88 3,11 2,25 5,55
Debu Lempung berdebu Lempung berdebu Debu Lempung berdebu Debu Debu Debu Lempung berdebu
Lampiran 3 Daftar jenis makrozoobentos dan nilai kepadatannya Kelompok
Nama Ilmiah
CRUSTACEAE Corophium sp. Hyale sp. CRUSTACEAE Gammarus sp. CRUSTACEAE CRUSTACEAE Mysis sp. POLYCHAETA Nereis sp. COLEOPTERA Berosus sp. COLEOPTERA Agabus sp. BIVALVIA Margaritiferidae BIVALVIA Lithophaga sp. GASTROPODA Nassarius sp. GASTROPODA Nerita sp. Total
kepadatan bentos : (ind/m2)
Tambak Lempung berdebu 127 127 381 22.932 2.675 889 254 27.385
Hamparan Lumpur Debu 4.572 66.248 1.274 1.274 73.368
41
Lampiran 4 Hasil perhitungan analisis korelasi Spearman
42
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lumajang pada tanggal 4 Januari 1988 dari ayah Ahmad Chadik dan ibu Suti’ah. Penulis adalah putra ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan SMA di SMA Darul Ulum 2 Unggulan BBPT Jombang dan lulus pada tahun 2006. Kemudian menempuh program S1 di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2012 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai tenaga lepas dalam bidang penelitian dan survei burung sejak tahun 2012. Selama menempuh program S2, penulis pernah aktif menjadi pengurus pada Forum Mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan “Ecologica PSL IPB” periode 2013-2014. Selain itu pada tahun 2014 pernah mengikuti Seminar Nasional “Pengarusutamaan Lingkungan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Tantangan dalam Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Program Studi PSL. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Keanekaragaman Burung Pantai di Lahan Basah Wonorejo, Surabaya pada Jurnal Biologi Tropis Vol 16 No 2 (2016). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Master Sains penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Ekologi Makan Burung Pantai dan Kaitannya dengan Kondisi Lingkungan Lahan Basah Wonorejo, Surabaya” dibawah bimbingan Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, MSc dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, MSc.