Edisi I | November - Desember 2015
M
asih sebagian kecil saja sekolah-sekolah di Indonesia yang sudah dapat memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan oleh Mendikbud Anies Baswedan pada akhir tahun yang lalu. Ini artinya, kualitas proses pembelajaran di ribuan kelas belum sesuai dengan standar nasional pendidikan kita. Salah satu faktornya tentu sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidik dan tenaga didik di Indonesia yang masih belum memenuhi kriteria kecakapan yang diharapkan. Tantangan terbesar bagi seorang guru sesungguhnya bukan terletak pada persoalan mengejar target kurikulum, mencapai standar pendidikan, ataupun menuntaskan semua kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. Lawan terbesar yang mesti ditaklukkan adalah iklim perubahan yang tengah terjadi di masyarakat dan dunia. Agar menjadi pendidik yang kompeten, setiap guru ditantang agar senantiasa sigap untuk menghadapi setiap perubahan-perubahan kondisi yang datang menghampiri. Keterampilan mengajar seorang guru pada akhirnya harus bisa masuk ke dalam dua dimensi waktu; masa kini dan masa depan. Efektivitas suatu pembelajaran bukan sekedar ditentukan oleh tingkat penguasaan siswa terhadap materi ajar semata, namun selanjutnya, guru harus bisa memastikan bahwa materi-materi yang saat ini tengah diajarkan bisa ditransformasi menjadi kompetensi yang dapat berguna bagi kehidupan peserta didik di saat mereka dewasa. Jadi aneh apabila pembelajaran hanya berorientasi pada tes ujian, bukan pada ujian kehidupan yang harus dihadapi peserta didik di masa mendatang. Agar optimal dalam mengajar, setiap pendidik yang efektif harus memenuhi prasyarat-prasyarat kompetensi sebagai seorang pengajar profesional. Setidaknya ada empat kecakapan yang mesti dimiliki agar dapat memenuhi kompetensi dalam mengajar yang efektif di masa depan. Pertama, penguasaan literasi digital; Internet dijadikan sebagai wahana belajar yang tidak berbatas untuk menguatkan penguasaan materi ajar yang diampu. Hal ini sangat efektif untuk mengatasi hambatan sulitnya mendapatkan buku-buku berkualitas di daerah. Literasi digital juga mendorong agar guru terbiasa untuk menulis, baik di blog ataupun di media sosial. Foto oleh: Andi Angger Sutawijaya
Kedua, penguasaan komunikasi efektif; Setiap guru semestinya adalah pembicara yang baik. Untuk itu, setiap guru harus melatih diri agar menguasai teknik-teknik efektif saat mentransmisi ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Ketiga, penguasaan metodologi pembelajaran; Bukan sekedar cara berkomunikasi yang baik, namun seorang pengajar profesional ditandai dengan penggunaan metode-metode yang efektif di kelas. Murid tidak hanya mudah dan nyaman untuk mengikuti pembelajaran, namun juga senantiasa tertantang untuk mencari pengetahuan baru secara mandiri di luar kelas. Bagaimanapun juga, guru harus memainkan peran yang menyenangkan sebagai fasilitator bagi perkembangan akademik siswa. Keempat, pemahaman psikologi yang shahih; Dimensi pendidikan yang tidak bisa diabaikan adalah kemauan dan kemampuannya dalam mengatasi problemaproblema belajar yang dihadapi oleh murid. Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah guru yang belum mengenal potensi siswa yang sebenarnya. Setiap anak pasti memiliki potensi dan bakat yang berbeda. Maka hendaklah guru itu bersikap sabar dan bijaksana. Dengan pemahaman yang benar tentang psikologi siswa, maka tidak akan ada siswa yang terciderai secara psikis ataupun gagal dalam belajar. Bila empat hal ini mampu dikuasai oleh sebagian besar guru kita, maka pendidikan kita tidak akan mungkin jalan di tempat terus. Selain itu, perlu adanya keseriusan pula dalam melakukan perbaikan menyeluruh dalam kualitas pendidikan kita. Dalam lingkup mikro, harus digagas strategi alternatif untuk melahirkan sekolah-sekolah berkualitas yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Untuk mewujudkan hal ini, maka Yayasan Pendidikan Dompet Dhuafa memiliki beberapa program-program pengembangan pendidikan di banyak daerah tertinggal. Semoga kita tidak pernah berhenti untuk selalu berikhtiar dalam membangun kualitas pendidikan Indonesia yang labih baik. Foto oleh: Andi Angger Sutawijaya
S
alam Hangat teman-teman pembaca, semoga senantiasa dilimpahkan kerberkahan ya -amiinn-. Pernahkah teman-teman mendengar MLM (Multi Level Marketing) dan cara kerjanya?. Cara kerja MLM juga
dapat kita terapkan dalam hal menyebarkan manfaat, melalui Multi Level Manfaat (MLM).
Foto oleh: Dokumentasi Alumni
Konsep yang sama juga dilakukan oleh Ikatan Alumni Beastudi Etos wilayah Makassar.Melalui program "Alumni Menginspirasi", para alumni Makassar berbagi inspirasi kepada penerima manfaat aktif. Kegiatan ini berlangsung setiap sebulan sekali & bertempat di asrama etos. Selain untuk menginspirasi, alumni juga dapat bernostalgia sekaligus meningkatkan ikatan emosional antara penerima manfaat & alumni.
Foto oleh: Pradila Maulia
Kebermanfaatan dilakukan
terkumpul mencapai 23.850.000 (18
juga oleh Alumni Beasiswa Chevron
juta dlm bntuk pinjaman lunak, 5,8 juta
Dompet Dhuafa 2011 Rhandy
dalam bentuk infaq). Perolehan
Aditya. Bersama dua rekannya
sebesar itu digunakanuntuk
Rhandy menciptakan alat
membantu pembiayaan sewa asrama
pendeteksi penyakit jantung. Alat
putri Surabaya.
ini dipercaya bisa mendeteksi penyakit jantung kardiovaskular
Semua pencapaian tersbt
lewat deteksi pembuluh darah. Alat
memang belum besar, tetapi
tersebut juga sudah diliput oleh dr
setidaknya ini langkah pertama kami
OZ di Trans TV.
untuk terus menuju ke mimpi besar kami bahwa "suatu saat nanti,yg
Alumni Surabaya melakukan kegiatan penghimpunan donasi pada bulan Oktober 2015. Total dana yang
membiayai program kita nanti adalah alumni program kita sendiri".
S
ejarah pendidikan di Indonesia diawali dari perjuangan yang sangat panjang. Dipengaruhi oleh berbagai aspek baik itu aspek agama maupun aspek budaya, serta berbagai aspek politik yang ada sehingga karakter yang terbentuk dalam sistem pendidikan pun tidak lepas dari aspek-aspek tersebut. Ketika masa kolonial, pendidikan dikategorikan berdasarkan strata sosial dan ras. Seorang anak pribumi priayi tinggi diperbolehkan masuk ke sekolahsekolah khusus warga kulit putih, sementara anak-anak dari rakyat biasa hanya diperbolehkan masuk di sekolah rendahan. Adalah Sarekat Islam Semarang menjadi model pergerakan yang memberikan pendidikan kepada masyarakat yang berbeda dari model pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Model pendidikan yang dirancang oleh Tan Malaka pada tahun 1921 merupakan cara untuk mengimbangi keberadaaan Hollandsch-Indische School (HIS), sekolah menengah yang hanya ditujukan bagi segelintir kalangan pribumi. “Sekolah ini menjadi pesaing HIS, sekolah sekunder, terbuka dan terbatas untuk orang Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan dasar mereka di Sekolah Kelas II (Tweede Klasse),” kata sejarawan Harry Poeze, penulis biografi Tan Malaka, dalam pengantar brosur Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs.
Sumber Gambar: http://shadowness.com/
Tan Malaka memang lebih dikenal dari sisi aktifitas politik, sebenarnya Tan Malaka memiliki latar belakang pendidikan seorang guru di kweekschool di Bukit Tinggi dan melanjutkan pendidikan guru di Haarlem Belanda. Setelah lulus, Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anakanak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia tiba di sana pada Desember 1919; dan mulai mengajar anak-anak itu bahasa Melayu pada Januari 1920.
Tan Malaka sangat mencintai
Tan Malaka juga menjadi guru
dunia pendidikan, karena dia sangat
bahasa Inggris sekaligus sebagai
menyadari bahwa untuk menjadi
kepala sekolah di Singapura. Selama
bangsa merdeka, pendidikan adalah
di Singapura proses belajar mengajar
modal utama. Kecintaan Tan Malaka
terganggu karena serangan pesawat
terhadap pengajaran digambarkan
tempur Jepang. Membuat para guru
Hary Poeze, ketika Tan Malaka harus
mempunyai tugas ekstra, yaitu
menjalani praktek mengajar di sekolah
melindungi murid dari serangan bom.
ekstern dia menampakkan bakat luar
Tentara sukarela dibentuk di sekolah
biasa dalam pedagogi, anak-anak sangat merasa sedih ketika Tan malaka harus meninggalkan mereka. Ketika mengajar Tan Malaka selalu meluangkan waktu untuk melatih baris berbaris yang sangat disukai mereka. Bahkan Selama di Tiongkok,
Tionghoa tempat Tan Malaka mengajar, dan banyak murid yang terlibat, terutama dalam penyadaran politik. Sekolah ditutup dan beralih fungsi menjadi tempat pelatihan tentara sukarela dan sebagai asrama. Tan Malaka tidak memberikan
Tan Malaka tidak ingin menyia-nyiakan
penjelasan lebih lanjut tentang sekolah
waktu, dia memanfaatkannya dengan
di Singapura tersebut.
mendirikan sebuah sekolah bahasa asing. Pada perkembangannya foreign
Bagi Tan Malaka untuk masa
language school tidak hanya semata-
depan suatu bangsa yang maju, harus
mata belajar bahasa asing tapi
dicapai melalui pendidikan. Karena
berkembang pada diskusi tentang
pendidikan merupakan perkakas
Politik, Ekonomi, dan Filsafat.
membebaskan rakyat dari
Pelajaran tambahan tersebut menjadi
keterbelakangan dan kebodohan,
daya tarik tersendiri bagi pemuda
karena itu sekolah-sekolah harus
Tiongkok untuk belajar disana. Tan
didirikan untuk rakyat. Pendidikan
Malaka juga menambahkan materi
untuk rakyat Indonesia harus berakar
pelajaran dengan jurnalisme, book keeping, untuk itu dia membutuhkan guru pembantu sehingga dibukalah penerimaan guru. Karena Tan Malaka memiliki misi politik, maka foreign language school pun harus ditinggalkan. Menurut Tan Malaka ketika foreign language school
kepada budaya Indonesia yang terus digali dan disampaikan dengan bahasa Indonesia. Begitu kuatnya pemikiran Tan Malaka soal perjuangan berlandaskan pendidikan, sehingga membuat
ditinggalkannya untuk melawat ke
Sekolah Sarekat Islam didirikannya
Singapura.
bukan hanya sekedar untuk mencetak juru tulis bagi kepentingan pemerintah
kolonial, tetapi sebagai bekal hidup
1.
Memberi senjata cukup, buat
mereka dan keterlibatan aktif bagi
pencarian penghidupan dalam dunia
pergerakan kemerdekaan Indonesia.
kemodalan (berhitung, menulis, ilmu
Dasar yang dipakai Tan Malaka adalah
bumi, bahasa Belanda, Jawa,
dasar kerakyatan dalam masa penjajahan. Sekolah Sarekat Islam yang didirikan Tan
Melayu, dan sebagainya) 2.
Memberi hak murid dalam
Malaka bukan bermaksud mencari
kehidupannya dengan jalan
keuntungan, seperti sekolah-sekolah
pergaulan (verenniging).
partikulir. Program sekolah rakyat ini
3.
Menunjukkan kewajibannya kelak
memungut biaya ringan bahkan gratis.
terhadap berjuta-juta kaum kromo
Prinsip yang dianut dan diterapkan si
(rakyat jelata).
sekolah sarekat Islam yaitu:
Menurut R. Kern,
Pada
seorang penasehat
perkembangan sekolah
pemerintah kolonial
SI, Bandung adalah
dalam masalah-
daerah kedua berdirinya
masalah pribumi,
Sekolah Sarekat Islam.
Kesuksesan sekolah
Pada masa ini terdapat
Sarekat Islam tersebut
300 orang murid, yang
dikarenakan hal berikut:
membuat Tan Malaka
(1) Kurangnya tempat
mengerahkan tenaga
bagi pribumi untuk
guru baru ke Bandung.
belajar di HIS. (2) Bakat
Setelah Tan Malaka
Tan Malaka dalam mengorganisir. (3)
ditangkap dan dibuang Sumber Gambar: http://5berita.com/
ke Eropa, sekolah SI
Penguasaan Tan
tidak hanya mendapat
Malaka dalam bidang
pemboikotan dari
pendidikan. (4) Bakat
pemerintah kolonial,
improvisasi Tan Malaka
tetapi juga perpecahan
dalam mengatasi
internal. Kepentingan
permasalahan
politik kelompok
penyelenggaraan
ideologis secara
pendidikan. (5) Biaya
perlahan menghacurkan
pendidikan rendah
sekolah yang didirikan
bahkan gratis. (6)
Tan malaka tersebut.
Berideologi anti kolonialisme.
Gerakan Kemerdekaan India dari kolonial Inggris pada masa itu. Mahatma Gandhi tewas dibunuh pada tanggal 30 Januari 1948 oleh seorang hindu yang marah kepadanya karena dianggap terlalu memihak kepada kaum muslim. Dan Gandhi dengan perannya, kini aku dengan peranku. Peranku disini mengajar dan belajar akan banyak hal dari keadaan. Mundur ke belakang, tadi malam adalah malam pertama aku menjadi perempuan mandar. Aku merasakan sekarang, bagaimana beratnya menjadi masyarakat terluar yang harus membayar pajak namun tak menuai dampak. Tiang-tiang listrik bagaikan bukit barisan, hanya tiangnya saja, bukan listriknya. Mama menceritakan, disini hidup mengandalkan generator umum yang beroperasi pukul 18.00-23.00 Waktu Indonesia Tengah. Setiap bulan mereka membayar iuran solar sebesar Rp. 70.000. Aku merasakan listrik dengan daya yang tidak stabil, bisa membuat rusak bahkan meledak barang elektronik menjadi andalan, kita tak punya pilihan selain berharap pemerintah datang dan membuat keajaiban. Setelah bercakap-cakap, aku dan Ka Woro partnerku berangkat. Sesampainya di sekolah, kami dikenalkan dengan guru-guru yang lain. Mereka masih duduk di bangkunya, ada yang asik dengan rokoknya, dan anak-anak berlarian di luar ruangan. Aku kira sesampainya di sekolah, aku bisa langsung mengajar, ingin menyudahi omongan namun pekewohku jauh lebih besar. Hingga pada akhirnya dua anak itu datang, sambil malu-malu ia mengatakan “Bapak, kami sudah boleh pulang”, aku beranjak dari tempat duduk ku dan mengatakan “Jangan, ayo kita belajar” ketika detik jam dinding menunjukan pukul sembilan. Anak-anak itu berlarian menuju kelasnya, duduk berebutan. Aku masuk dan guru yang lainnya ikut masuk. Aku kebagian mengajar kelas tiga. Muridku hanya sedikit saja, hanya tujuh orang. Aku ajari mereka membuat name tag, agar mudah aku mengingat.
Ada 6 perempuan dan satu laki-laki. Aku mengajarkan perkalian. Kita belajar bernyanyi, belajar menjadi rakyat yang tabah dengan segala sekat antara desa ini dan kota tempat aku dibesarkan, sungguh naas tak sesintipun ada kesamaan. Kelasku disekat dua, kelas sebelah terdengar riuh dan gurunya menjelaskan soal berorganisasi. Kelasku hening, aku sedang mencuri hatinya karena sedari tadi mereka lah yang selalu mencuri hatiku. Menjawab malu-malu, tapi semangatnya tanpa ragu. Aku tak mengenal banyak, aku pun masih belajar menjadi guru yang mentransfer ilmu dengan caraku. Sosiologi tak pernah mengajarkanku mendidik masyarakat, tapi aku diajarkan menjadi insan terdidik dengan belajar di masyarakat. Aku malu-malu. Suaraku diturunkan volumenya, karena jika terdengar, anak kelas sebelah yang bersekat papan akan meniru. Aku canggung mengajar disini, mungkin itu juga yang dirasakan guru dikelas sebelah yang jarak diantara kita hanya disekat papan. Usai kelas, anakanak berlarian menghampiriku. Kita berkenalan, mereka sungguh mudah mencari perhatian. Kita berfoto bersama dan membuat janji, siang nanti kita akan belajar tambahan. Mereka menanyakan pukul berapa harus datang dengan logat mandar. “Ibu, nanti kita datang jam 1 sore ya ibu?” ucap anak didik ku “Kalau jam 1 itu siang, kalau jam 5 baru sore” jawabku membenarkan perkara waktu, lantas mereka tertawa sambil berkata “iya bu, maaf salah hehe”. Dan benar, belum pukul satu mereka sudah datang, padahal aku baru saja menaruh tas dan ingin mengambil makan. Seusai makan, solat, berganti pakaian, kita kembali mengajar. Mengajar tambahan di rumah singgah ceria kami. Rumah Mamak bentuknya rumah panggung. Bagian atas berlantai papan, bagian bawah berlantai keramik.
Kita belajar di rumah, aku mengajarkan cara membaca. Sungguh, ternyata sulit, tapi lebih sulit jika aku membiarkan mereka tak bisa mengeja barang sedikir. Dua orang, anak kelas satu dan anak kelas tiga. Arsya dan Tino, keduanya teramat membuatku beruntung pernah mengeyam pendidikan yang jauh lebih baik di Jawa. Siang berlalu, sudah menunjukan pukul empat. Aku masuk ke kamarku, berefleksi ternyata benar kata Mas Budi, apalah artinya perjuangan tanpa sadar bahwa ini semua dibatasi waktu. Menghitung hari, entah kapan aku pulang. Aku putuskan mencari sinyal. Ku gantung handphoneku di pinggir jendela, agak lama karena aku belum terbiasa mencari sinyal hingga akhirnya aku berkali-kali ganti kartu dan putus asa. Malam cepat sekali datang, tak ada yang bisa kami kerjakan kecuali ngecash gadget yang kami miliki, kamera, netbook, handphone, powerbank dan berkali-kali kekhawatiran itu datang, sampai kapan barang-barang canggih ini tahan dengan ketidastabilan daya dari generator umum ini. Kututup malam dengan rasa syukur yang besar.
“
Terimakasih Allah atas kesempatan yang mahal, untuk pertama kali mulut ku di bungkam, jika terbiasa mengeluh dan mengkritik, sedikit-sedikit nge'tweet mention pemerintah yang bersangkutan, kini semua fasilitas itu hilang, yang ada hanyalah aku dan Allah sebagai Tuhan, tanpa sinyal, tanpa listrik, aku masih memiliki 3 pekan untuk menjali kehidupan di tanah Mandar
”
Foto oleh: Andi Angger Sutawijaya
Saat Guru jadi pilihan hidup Maka jalan terjal nan panjang telah menanti Di seberang cakrawala sana Jalan itu terus saja memanjang Sampai alam pun berganti dimensi Amboii... Mampukah jalan sepi ini untuk dititi? Saat Guru jadi pilihan hidup Maka tiap-tiap tutur adalah hikmah Selalu kelakuan jadi panutan Dan satu-satunya kekayaan adalah semesta pikiran Aidaa... Berat kali alur-alur ini Laksana rimba raya yang tak berujung tak bertuan Menoleh akan tersesat Mundur berarti khianat Tak boleh lupa ini amanat Bukan rehat-rehat pelipur penat
Aduhai Gurunda... Bangun dan merdekalah! Saat Guru jadi pilihan hidup Merdekakan dirimu! Merdekakan kelas-kelas ajarmu! Bebaskan hati dari bujukan goda Perteguh niat agar selamat Sertifikasi tak boleh mendorongmu mati muda Tanpa itu, dirimu tetaplah mulia Nestapamu adalah kelak pintu surga bagimu Tunggulah sebentar, Sampai Sang Pemilik semua hari membukakannya (Dari Selat Malaka, di Timur Swarna Dwipa, 1 Desember 2015)
“
Rina, setelah lulus SD kamu
Aku paling senang Pak Suroso
lanjut sekolah kemana?”
mengajar di kelas kesenian. Kami
tanya guruku. Pertanyaan
diajarkan tangga lagu, membaca not,
terakhir yang masih ku ingat
dan menyanyi sesuai dengan notasi.
sampai sekarang dari sosok
Semua lagu yang diajarkan beliau
guru terbaikku. Pak Suroso,
adalah lagu-lagu wajib nasional.
namanya. Guru yang
Makanya hingga hari ini, aku masih
mengajariku sejak di kelas 4
hafal lagu-lagu wajib nasional seperti
hingga aku lulus, di SDN 01
Gugur Bunga, Indonesia Pusaka,
Panjang Utara, Bandar
Rayuan Pulau Kelapa, Dari Sabang
Lampung. Fisiknya yang tambun
sampai Merauke. Mungkin hari ini
dan suaranya yang besar
anak-anak Indonesia sudah tidak
mungkin bisa membuat anak-
hafal lagi karena lebih tergiur
anak takut diajarnya. Ternyata
menghafal lagu-lagu tema kekinian.
salah, Pak Suroso bagiku sosok yang penyabar, bersahaja, dan lembut terhadap anak-anak. Mengapa aku simpulkan demikian? Karena hingga hari ini, aku mencoba untuk bernostalgia kembali dimasa SD, tak ada satu pun peristiwa yang membekas yang menunjukkan peringai buruk dari beliau. Aku hanya bisa mengingat kebaikannya, senyumnya, dan suaranya. Sesekali beliau suka meletakkan salah satu tangannya di pinggang, tapi bukan marah. Gaya tolak pinggang beliau manandakan beliau tengah asyik ngobrol dengan salah satu rekan kerjanya.
Foto oleh: Rina Fatimah
Memang dibanding dengan guru-guru yang lain, Pak Suroso memang jago bernyanyi. Beliau memiliki suara bariton yang enak didengar. Wajar saja, kelas kami selalu tampil bagus ketika paduan suara upacara bendera. Dan aku selalu terpilih menjadi dirigennya. Sampai hari ini, jika di kantorku ada acara-acara resmi, aku selalu ditunjuk menjadi dirigennya.
Tak hanya pelajaran yang kami peroleh, sikap toleransi karena
Pelajaran yang paling aku sukai semasa SD dulu yakni matematika. Agak aneh saja kalau ada anggapan pelajaran matematika, pelajaran yang paling menakutkan dan momok bagi anak-anak. Bersyukur, kesabaran Pak Suroso mengajar kami, membuat kami paham. Tips yang paling kuingat yang diajarkan oleh Pak Suroso yakni bagaimana menyelesaikan soal cerita. Pertama baca soal cerita dengan perlahan, jangan terburuburu. Kedua tulislah apa saja yang perlu diketahui dari soal tersebut. Ketiga tulislah apa yang ditanya dari soal. Setiap mengerjakan soal cerita, beliau selalu mengingatkan kami akan tiga langkah pengerjaan. Kalau masih bingung dengan pertanyaannya, silakan baca soalnya dan lihat kembali tulisan diketahuinya. Begitulah tips Pak Suroso untuk menyelesaikan soal cerita.
perbedaan keyakinan juga diajarkan oleh beliau. Pak Suroso beragama Katolik, sebagian besar murid yang diajarkan beliau beragama Islam. Pulang sekolah, aku dan teman-teman ikut les di rumah Pak Suroso. Ssssstttt…bukan sembarangan les yang dijadikan sebagai pendokrak nilai raport yah. Les diberikan Pak Suroso, murni untuk anak-anak yang masih ingin belajar lebih. Seingat aku, tidak ada soal ulangan yang dibocorkan atau nilaiku jadi tambah bagus. Les dimulai pukul 1 siang, istirahat saat adzan ashar, dan kembali lagi sampai jam 4 sore. Kebetulan, jarak antara rumahkurumah pak Suroso tidak terlalu jauh. Aku selalu mengendarai sepeda mini. Saat natalan, kami semua diundang ke rumah beliau mencicipi kue natalan buatan istrinya. Yah namanya masih anak-anak, aku sikat aja. Lagipula kuenya enak.
Tahun lalu, aku berkesempatan
Namun, sayangnya
tugas di Lampung. Sudah ada niatan
kesempatanku untuk berkunjung ke
ingin berjumpa dengan beliau. Aku
rumah beliau harus diurungkan.
tanya kepada Ibu Dahlia kepala
Karena pkerjaanku di Lampung belum
sekolah SDN Bumi Waras 1, Bandar
juga rampung. Akhirnya…aku hanya
Lampung yang sekolahnya
bisa berkesempatan mampir melihat
mendapatkan pendampingan dari
SD ku dulu. 25 November, Hari Guru.
kantorku, “Bu, kenal dengan Pak
Aku ingin mengucapkan terima kasih
Suroso yang tinggal di Panjang?
untuk guru terbaikku, Pak Suroso.
Dulunya mengajar di SDN 01 Panjang
Kesabaran dan kasih sayangmu
Utara?” tanyaku. “Kenal…beliau
masih lekat di dalam hatiku. Suaramu
sekarang sudah menjadi kepala
hingga hari ini masih jelas ditelingaku.
sekolah tapi bukan di sekolah itu lagi.
Rasanya aku ingin kembali ke masa
Agak jauh dari rumahnya” jawab ibu
14 tahun yang lalu, saat aku duduk di
Dahlia. Syukurlah, aku jawab dalam
kelas 4 SD. Semoga engkau selalu
hati. Semoga esok hari ada
diberi kesehatan dan terus dalam
kesempatan berkunjung.
lindungan Tuhan, amiiin.
Foto oleh: Andi Angger Sutawijaya