Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
Prolog erlakuan terhadap tubuh perempuan dalam sejarah bangsa-bangsa memperlihatkan, bahwa selama ini nyaris tidak ada tempat bagi perempuan untuk meletakkan tubuhnya pada posisi terhormat. Peninggalan artifak Yunani Kuno, berupa patung perempuan telanjang mengkonfirmasikan sebuah fenomena tubuh yang kehilangan hak privatnya. Setelah Yunani runtuh dan bermetamorfosa (ber- ubah) menjadi Romawi, nasib tubuh perempuan masih belum mendapat tempat yang menguntungkan. Kekaisaran Romawi, yang meliputi Eropa Utara dan Eropa Timur saat ini, memberlakukan undang-undang yang menempatkan perempuan sebagai harta benda milik laki-laki, yang dapat diperlakukan sekehendak hati, dan dikuasai hidup dan matinya. Kuasa atas tubuh perempuan itu dimiliki oleh ayah dan setelah menikah berpindah tangan kepada suami. Kekuasaan ini sangat mutlak, termasuk kewenangan untuk menjual, mengusir, menganiaya, bahkan membunuh. Padahal, kebudayaan Romawi saat itu telah mengenal agama Kristen dan jadi pengikut Isa al-Masih.
Dalam sebuah pertemuan konsili di abad ke-5 Masehi, gereja menyatakan perempuan tidak me- miliki ruh yang suci. Lalu, pada pertemuan konsili di abad berikutnya (ke-6 M), kalangan elite Kristen menyimpulkan perempuan hanya manusia yang tercipta untuk melayani kebutuhan laki-laki. Mimpi buruk bagi tubuh perempuan juga terjadi dalam tradisi Hindu Kuno. Pra abad ke-7 Masehi, tubuh perempuan masih dijadikan sesajen bagi para dewa. Hak hidup perempuan harus berakhir saat suaminya mati. Caranya, tubuh perempuan harus dibakar hidup-hidup bersama jenazah suaminya.
Dalam tradisi masyarakat Arab pra Islam (jahiliyah) tubuh perempuan tidak dianggap sebagai sesuatu yang memberikan martabat apa-apa kepada keluarga. Karenanya, dalam tradisi itu kelahiran anak perempuan dianggap sebagai peristiwa memalukan. Atas dasar itu pulalah pembunuhan atas bayi perempuan dianggap benar oleh tradisi saat itu. Alquran melukiskan tradisi itu sebagai berikut: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. (Dia) Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
1 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. (QS. Al-Nahl: 58-59) Sebagai suku nomaden (yang berpindah-pindah) masyarakat Arab umumnya tidak mengenal norma sosial terkait antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat ini tidak memiliki ketentuan keluarga yang tetap, undang-undang pernikahan, perceraian, hak penggunaan tubuh, dan seksualitas. Termasuk soal perbudakan dan pemaksaan pelacuran (QS. Al-Nur: 33), poligami tak terbatas, dan zina. Aturan yang dianut saat itu hanya mengikuti kecenderungan gaya hidup nomaden (berpindah-pindah) dan hedonistik (kesenangan) belaka dalam naungan gaya padang pasir. Husain Haekal, seorang sejarawan Muslim, berkesimpulan bahwa hubungan laki-laki dan perem- puan Arab saat itu hanyalah sebatas hubungan jantan dan betina.
Perzinaan, pornoaksi, atau sekadar bercumbu rayu dengan kata-kata adalah hal biasa yang dilakukan pemuda-pemudi kala itu. Diawali dengan mempertontonkan tubuh (tabarruj) dan “perhiasan” (dalam arti sesungguhnya maupun konotatif), mereka menggoda atau dipaksa menggoda para “pria hidung belang” di padang pasir. Dalam tingkat yang sangat akut, puisi-puisi erotik bahkan menjadi alat propa- ganda paling mujarab untuk memberikan semangat di medan tempur. Saat perang melawan pasukan Muslim di Uhud, Hindun isteri Abu Sofyan bersama perempuan jahiliyah lainnya mengumandangkan syair erotik itu dengan penuh semangat. Majulah, kami akan mendekapmu, Dan menggelar permadani indah, Tapi kalau engkau berbalik, kami akan meninggalkanmu, Kami tinggalkan kamu dan tak mau mencintaimu. Tidak hanya sampai di situ. Suasana kondusif bagi perempuan di padang pasir nyaris tidak ditemukan. Perempuan tidak dapat melakukan perjalanan sendiri tanpa ditemani laki-laki karena suasana ke- amanan yang tidak memungkinkan. Atas dasar situasi sosial seperti inilah di kemudian hari Nabi saw. bersabda, “Janganlah perempuan pergi tanpa didampingi mahramnya”. Konsep toilet yang saat itu belum dikenal, membuat para orang Arab terbiasa membuang hajat mereka di padang pasir. Celakanya, bagi perempuan yang keluar buang hajat akan diikuti dan diganggu oleh lelaki nakal, untuk sekadar mengintip, menghina, atau bermain-main. Insiden ini bahkan terjadi di Madinah sehingga Nabi saw. harus mencari solusi agar kebiasaan ini tidak berlanjut.
Salah satu solusi yang ditawarkan Alquran untuk melindungi perempuan dari street crime adalah perlindungan terhadap tubuh perempuan. Perlindungan tersebut dilakukan dengan cara memperkenalkan bahwa bagian tubuh yang dianggap aib (aurat) tidak boleh dipertontonkan. Penutupan aurat itu dilakukan dengan cara mengenakan kain panjang yang di kemudian hari dikenal dengan jilbab. Pada masanya solusi tersebut ternyata cukup efektif
2 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
meminimalisir kejahatan.
Efektivitas ajaran jilbab yang digunakan untuk melindungi tubuh perempuan disebabkan karena ma- syarakat Arab saat itu menilai bahwa perempuan yang mengenakan pakaian tertutup merupakan perempuan dari kalangan bangsawan yang terhormat dan dilindungi oleh sukunya. Dan sesungguhnya, model pakaian tertutup bagi perempuan bukan hal yang baru. Jauh sebelum Islam, model jilbab atau sejenisnya telah dikenal di banyak belahan dunia lainnya.
Pertanyaannya kemudian, benarkah aurat, hijab, dan jilbab, yang saat itu dipraktikkan oleh masyarakat Muslim merupakan kewajiban agama yang mutlak (al-Wajib al-Dharuriy)? Lalu, bagaimanakah latar bela- kang sesungguhnya dari ayat-ayat terkait tubuh perempuan? Dan bagaimana memahami ayat tersebut dengan konteks kekinian? Tubuh Perempuan Aurat? Secara etimologis (kebahasaan), aurat berasal dari bahasa Arab: a‘wara yang berarti mencemarkan, membuat malu, atau mengkonotasikan dengan sesuatu yang jelek. A’wara merupakan derivasi (kata turunan) dari kata ‘awira yang berarti hilang perasaan. Apabila ‘awira ini dikaitkan dengan sifat penglihatan maka, ia berarti mata yang buruk, hilang cahaya penglihatannya, dan lenyap pandangannya. Dari akar kata ini, Nabi saw. pernah menceritakan bahwa salah satu ciri Dajjal adalah memiliki mata yang a’war (buta, rabun, dan buruk pandangannya). Dari akar kata yang sama muncul kata ‘aara yang berarti menimbun atau menutup sesuatu. Dari akar kata ini pulalah ‘uraa (dengan alif layyinah di belakangnya) berasal, ‘uraa berarti menunjukkan semua celah atau telanjang.
Dalam konteks tubuh, ‘aurat berarti celah, kekurangan, atau anggota tubuh yang memalukan jika terlihat, karenanya celah yang terbuka itu harus ditutup agar tidak memalukan. Aurat telah disadur ke dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata ini berarti bagian badan yang tidak boleh kelihatan (menurut hukum Islam), kemaluan, atau organ untuk mengadakan perkembangbiakan. Dalam Alquran kata ‘aurat disebut sebanyak empat kali. Dua dalam bentuk tunggal dan disebut sekaligus dalam satu ayat (QS. Al-Ahzab: 13). Sementara dua lainnya tersebut dalam bentuk jamak (QS. Al-Nur: 31 dan 58). Dalam QS. Al-Ahzab: 13, istilah ‘aurat digunakan untuk merujuk keadaan rumah yang ditinggal terbuka tanpa penjagaan. Sementara dalam QS. Al-Nur: 58, ‘auraat (yang tersebut dalam bentuk jamak) berarti celah waktu yang harus ditutup. Sedangkan makna ‘aurat yang berarti bagian tubuh perempuan yang harus ditutup dapat dilihat dalam surat Al-Nur ayat 31. Dalam pengertian ini, Allah berfirman:
3 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki- laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak laki-laki yang belum mengerti ‘auraatun/aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”. (QS. Al-Nur: 31)
Dalam ayat 30 dan 31 surat Al-Nur, Alquran memberikan pelajaran terkait etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Ayat 30 secara khusus berisi tentang apa yang harus dilakukan laki-laki dalam pergaulan tersebut. Sementara ayat berikutnya (31) merupakan panduan etika pergaulan bagi perempuan. Pada saat berbicara tentang etika pergaulan laki-laki, Alquran hanya berpesan agar laki-laki menjaga pandangan matanya dan menjaga kemaluannya. Sementara saat berbicara tentang etika perempuan dalam bergaul, Alquran berbicara empat kali lebih panjang dibanding saat berbicara dengan laki-laki.
Ada empat pesan terhadap perempuan beriman yang disampaikan dalam ayat tersebut. Pertama, pe- san untuk menundukkan pandangan saat berhadapan dengan lawan jenis; kedua, menjaga kemaluannya dari hal yang dilarang; ketiga, tidak menampakkan ziynataha/perhiasannya, kecuali yang memang biasaterlihat; keempat; mengenakan kain khimar/kerudung ke depan dada; dan kelima, tidak menghentakkan kaki dalam rangka memamerkan ziynatihinna/perhiasannya yang tersembunyi.
Namun, banyaknya pesan bagi perempuan di- banding laki-laki dalam satuan ayat ini tidak berarti ayat ini memberlakukan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Sebab, pada dua pesan pertama, menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, bersifat umum bagi laki-laki dan perempuan. Sementara, pesan ketiga, keempat, dan kelima, merupakan reaksi budaya atas tradisi jahiliyah. Sehingga, dalam pemahaman penulis, jika tradisi seperti tergambar pada pesan ketiga hingga kelima di atas telah terkikis, maka laki-laki dan perempuan telah memiliki kewajiban yang sama. Implikasi hukumnya, perintah ketiga hingga kelima dinyatakan tidak berlaku lagi, al- hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman. Di tengah-tengah perintah yang harus dilakukan dalam ayat di atas, tersebutlah pengecualian menampakkan ziynatahunna/perhiasan mereka (perempuan) di hadapan laki-laki mahram.
4 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
Selain mahram, membuka ziynah/perhiasan juga boleh dilakukan di hadapan laki-laki yang menjadi suaminya, pria tua yang tidak lagi punya hasrat terhadap perempuan, dan anak kecil laki-laki yang belum paham tentang aurat perempuan, awith-thiflilladziina lam yazh- haruu ‘alaa ‘aurotinnisaa’i. Dari penggalan ayat inilah pembahasan kata ‘aurat menjadi perbincangan.
Batasan aurat dalam diskursus tafsir selalu dikaitkan dengan frase ayat illa maa zhohara minha, kecuali bagian tubuh yang biasa terlihat. Para ulama berbeda pendapat terkait hal ini. Sebagian menafsirkan, bagian tubuh perempuan yang biasa terlihat adalah muka dan kedua telapak tangan, pendapat ini diadopsi oleh mazhab Maliki. Sebagian yang lain mengatakan hingga kedua telapak kaki sampai se- tengah betis. Mazhab Hanafi berpegang pada tafsiran ini. Yang paling ekstrim menganggap bahwa seluruh tubuh perempuan aurat dan “yang biasa terlihat” adalah apabila tersingkap angin. Pendapat terakhir ini masuk dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali.
Pembatasan aurat perempuan juga diklasifikasikan berdasarkan status sosial, budak atau merdeka. Ini karena konteks masyarakat saat itu masih ada sisa-sisa budak. Perempuan budak memiliki batasan aurat lebih longgar dari perempuan merdeka, yaitu sebagaimana aurat laki-laki antara pusar dan lutut.Aurat perempuan dalam shalat dan ihram juga dibedakan dengan aurat di luar shalat. Untuk aurat di luar shalat bagi perempuan merdeka menurut Imam Syafi’i, yang mazhabnya dianut mayoritas Muslim Indonesia, adalah seluruh tubuh. Sementara saat shalat dan ihram membuka wajah dan telapak tangannya. Bahkan, aurat perempuan juga dibedakan berdasarkan usia. Anak-anak dan orang tua renta, yang dianggap tidak dapat mendatangkan libido (hasrat seksual) bagi orang lain, memiliki batasan aurat lebih longgar dibanding perempuan “produktif”.
Perbedaan memahami batasan aurat di atas dengan demikian membuktikan, betapa teks terkait tidak memberikan batasan yang jelas tentang aurat. Sehingga, terbuka peluang yang sangat luas dalam melakukan penafsiran. Para penafsir dan ahli fiqh menggunakan kerangka paradigmatiknya masing-masing yang terkait “ruang” dan “waktu” saat menjelaskan batasan aurat. Mazhab Hanafi dikenal sebagai mazhab yang memiliki aturan yang lebih longgar soal batasan aurat ini. Barangkali, hal demikian ter- jadi karena mazhab ini hidup di tengah realitas sosial perkotaan. Dan karenanya, pemahaman mazhab Hanafi tentu saja di kemudian hari akan berbeda dengan pemahaman mazhab lain yang hidup di tempat yang berbeda. Kenyataan ini menunjukkan, pemahaman fiqh dan penafsiran terkait batasan aurat bukan sesuatu yang monolitik (satu tafsir). Hijab: Kewajiban Sahabat Pria Nabi saw Hijab berasal dari bahasa Arab yang bermakna penutup, hajaba-yahjubu-hijab. Ungkapan hajabahu dalam terma Arab berarti menutup atau melarang masuk. Hajaba sebagai bentuk verb (kata kerja) dari hijab juga berarti memisah antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata
5 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hijab berarti “dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain, dinding yang membatasi hati manusia dengan Allah, dinding yang mengha- langi seseorang dari mendapat harta waris”.
Dalam Alquran, hijab merupakan salah satu kosakata yang cukup banyak dijumpai. Penggunaan kata tersebut memiliki konteks sosial dan makna yang beragam. Bagi mereka yang tidak mau men- dengarkan seruan kebaikan yang disampaikan Alqur- an, mendeklarasikan diri hijab/terpisah dengan orang-orang yang mau mendengarkan (QS. Fush- shillat: 5). Hijab juga digunakan dalam rangka men- jelaskan teknis komunikasi antara manusia dengan Tuhan (QS. Al-Syuraa: 52). Hijab juga berarti pembatas antara Nabi dan orang-orang Musyrik (QS. Al-Isra’: 45). Kontemplasi Maryam binti ‘Imran (Ibunda Nabi Isa as.) dalam Alquran sebagai upaya hijab/menjauh antara dirinya dan lingkungan sekitar (QS. Maryam: 17). Penduduk surga dan neraka juga dibatasi oleh hijab (QS. Al-A’raf: 46). Bahkan, kuda yang hilang dari pandangan diistilahkan dengan tawarat bil hijab (QS. Shad: 32).
Sementara, hijab dalam pengertian pemisah antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam QS. Al-Ahzab: 53. Dalam konteks ayat ini, hijab lebih memiliki kedekatan arti dengan satir yang bermakna kain penutup yang digunakan sebagai batas dan penutup saat berkomunikasi. Pada ayat tersebut Allah swt. menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) mengawini isteri-isterinya selama- lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah”. Produk hukum yang lahir dari ayat di atas dapat dicatat, sebagai berikut. Pertama, etika memasuki ru- mah dan menghadiri jamuan makan yang diselengga- rakan Nabi; kedua, etika berbicara dengan isteri Nabi dengan hijab; ketiga, larangan menikahi istri-istri Nabi setelah Nabi wafat.
Bagi sebagian kalangan, ayat hijab dipahami sebagai sebuah kewajiban bagi seluruh
6 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
perempuan untuk melindungi sekujur tubuhnya dari pandangan laki-laki. Kalangan ini meyakini, pakaian niqab atau qina (kain penutup wajah) merupakan busana pa- ling islami yang dimaksud oleh ayat ini. Lebih jauh ayat ini digunakan sebagai upaya untuk mendomestifikasi (merumahkan) perempuan.
Menurut penulis pandangan tersebut kurang tepat dan kurang bijak. Sebab, keyword (kata kunci) yang pertama kali harus dilihat secara kritis dalam rangkaian ayat tersebut adalah fi’lu al-amr (kata kerja perintah) dari penggalan ayat, “wa idza sa’altumu hunna mata’an fas’alu hunna min wara’i hijab” (sean- dainya kalian {sahabat pria}memerlukan suatu keper- luan kepada {istri-istri Nabi} maka, mintalah dari balik tabir).
Kata ganti kedua yang digunakan dalam sa’al- tumuu dan fas’aluu merujuk kepada kata ganti laki-laki (jama’ mudzakkar) dan bukan perempuan (mu’annats). Sebab itu, yang mendapat perintah lang- sung dari etika ini adalah laki-laki. Jadi, tidak pas jika hijab diartikan sebagai kain penutup wajah dan tubuh. Sebab jika demikian, kaum laki-lakilah yang seharusnya menggunakan penutup wajah dan tubuh saat berbicara kepada perempuan.
Ayat tersebut turun terkait tradisi masyarakat muslim saat itu yang menggunakan rumah Nabi seba- gai tempat publik. Mereka masuk ke dalam rumah Nabi dengan cara nyelonong begitu saja, tanpa per- misi, dan langsung duduk-duduk ngobrol dengan Nabi dan istri-istrinya. Sikap “kurang ajar” itu merupakan sikap bawaan dari tradisi sebelumnya. Apalagi pengikut Nabi saat itu merupakan putra padang pasir yang masih minim etika dan kurang menjaga kehormatan rumah.
Ayat di atas berbicara tentang etika khusus saat memasuki rumah Nabi. Etika tersebut disebut Alqur- an dengan istilah hijab, sebuah upaya membatasi ketidak-sopanan yang selama ini terjadi. Alquran memerintahkan kepada kaum muslim untuk meminta izin terlebih dulu dan menunggu di luar sebelum memasuki rumah Nabi. Dari sini maka, makna hijab sesungguhnya dapat diartikan dengan dinding luar atau pintu rumah Nabi yang barangkali saat itu hanya terbuat dari tirai sederhana. Seakan perintah itu berbunyi, “jika kalian memerlukan sesuatu entah itu makanan, minuman, bertanya, atau apapun, ma- ka tunggulah di depan pintu terlebih dulu dan jangan asal masuk”. Begitulah kira-kira. Selain itu, turunnya surat ini juga disinyalir untuk merespon desas-desus yang menyatakan, bebe- rapa sahabat ingin menikahi istri-istri Nabi Muhammad saw. setelah kewafatan Nabi. Sebab itu, segera saja ayat ini mencegah niat mereka dengan melarang praktik pernikahan itu. Larangan menikahi janda secara khusus hanya berlaku bagi janda Nabi saw. dan tidak pada janda yang lainnya. Dan karena la- rangan menikahi janda Nabi terdapat dalam satu
7 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
rangkaian ayat dengan perintah ber-hijab, maka dapat dipahami, kewajiban ber-hijab juga bersifat khusus dan bukan kewajiban semua muslim. Jilbab: Tubuh Perempuan, Pakaian, dan Status Sosial Jilbab merupakan kosakata asli bahasa Arab. Dalam bahasa Arab jilbab adalah bentuk tunggal, sedang bentuk jamaknya, jalabib. Jilbab berasal dari akar kata jalaba yang berarti menghimpun dan membawa. Jilbab merujuk pada pakaian yang dikenakan perempuan pada masyarakat Arab jauh sebelum Islam. Bahkan, jilbab dikenakan juga oleh bangsa selain Arab. Di Indonesia jilbab telah diserap menjadi kosa kata bahasa Indonesia dengan arti, baju kurung yang longgar, dilengkapi dengan kerudung yang menutupi kepala, sebagian muka, dan dada.
Sampai di sini para ulama bersepakat. Namun, terkait bagaimana bentuk jilbab, para ulama berselisih soal itu. Dalam Alquran kata jilbab dengan bentuk mufrad (tunggal) tidak ditemukan. Sementara dalam bentuk jama’ (plural), jalabib, terlihat jelas dalam firman Allah swt. berikut: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak- anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penya- yang”. (QS. Al-Ahzab: 59) Al-Shobuniy mendefinisikan, jilbab adalah jubah yang membungkus seluruh tubuh perempuan tanpa kecuali. Sedikit lebih lunak, dalam tafsir al- Jalalain, jilbab dimaknai sebagai pakaian yang menutupi seluruh tubuh kecuali satu mata.19 Pendapat tentang jilbab yang menyisakan satu mata ini juga dianut oleh Abidah al-Sam’ani. Suatu ketika, Ibnu Jarir al-Thabariy menanyakan tentang maksud ayat “yudniyna ‘alaihinna min jalabiybihinna” (hendak- nya perempuan mengulurkan jilbab mereka), kepada al-Sam’ani. Kemudian dijawab dengan isyarat menutup kepala dan wajah kecuali mata kirinya. Sementara pada kesempatan berbeda, Ibnu ‘Abbas dan Qatadah berpendapat, bahwa yang terbuka dari jilbab adalah kedua mata.
Dalam diskursus fiqh batasan jilbab terkait erat dengan batasan aurat tubuh perempuan. Bagi para ulama yang menyatakan, aurat perempuan seluruh tubuh, maka jilbab yang digunakan harus menutup seluruh tubuh tanpa terkecuali. Demikian juga bila batasan aurat yang dikecualikan adalah satu mata atau dua mata maka, jilbab-pun menyesuaikan. Juga jika batasan aurat terkecuali wajah dan kedua telapak tangan maka, wajah dan telapak tangan dibiarkan terbuka.
8 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
Sementara dalam diskursus tafsir, pemaknaan jilbab terkait dengan istilah teknis lain yang juga digunakan Alquran. Khimar misalnya, yang tersebut dalam QS. Al-Nur: 31 dengan bentuk plural (khu- mur), diartikan dengan pakaian yang menutup bagi- an kepala, bahu, hingga dada.21 Tampaknya, tafsir al-Jalalain berubah-ubah soal batasan aurat yang harus dijilbabi. Dalam tafsir QS. Al-Nur: 31 dikesankan bahwa khumur memiliki arti pakaian yang menutup selain muka dan dua tapak tangan (tafsir terkait kata ziynatahunna). Sebab itu, busana muslimah harus menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sementara saat berbicara ayat jalabib, QS. Al-Ahzab: 59, ia mengesankan bahwa yang harus dijilbabi adalah seluruh tubuh kecuali satu mata.
Sementara Al-Shobuniy “bersikeras” dengan pemahamannya tentang kewajiban menutup seluruh tubuh perempuan. Baik pada QS. Al-Nur: 31 atau QS. Al-Ahzab: 59. Alasannya, lagi-lagi karena perem- puan dapat menimbulkan “fitnah”. Bahkan, dia menafsirkan khumur dengan al-Maqoni’ yang memi- liki kesamaan kata dengan Qina’ (selendang penutup muka). Sementara jalabib ditafsirkan dengan al- Miyla’ah (jubah panjang) yang juga menutup wajah. Sehingga jika dua tafsiran Al-Shobuniy itu digabung- kan maka perempuan wajib menggunakan busana double tertutup. Pertama, berupa baju panjang, dan kedua selendang panjang. Kedua-duanya harus menutup wajah.
Namun, Al-Shobuniy sama sekali tidak menjelas- kan korelasi seputar khumur dan jalabib dan istilah teknis Arab lainnya, sehingga pemahaman atas key- word (kata-kata kunci) di atas menjadi kabur. Al- Shobuniy juga tidak merinci korelasi asbabun nuzul kedua ayat sehingga waktu turunnya tidak diketahui, apakah QS. Al-Nur: 31 lebih dahulu turun dibanding QS. Al-Ahzab: 59, atau sebaliknya?! Berdasarkan fakta-fakta historis yang penulis kutip dari Husein Haekal, QS. Al-Ahzab: 59 lebih dulu turun daripada QS. Al-Nur: 31. Kedua ayat ini berikut ayat-ayat lain yang berbicara tentang al-adab al-ijtima’iyyah (sopan santun bermasyarakat) khususnya yang berkaitan dengan relasi sosial laki-laki perempuan yang turun dalam suasana antara perang Badar dan Khandaq (tahun 2-5 H).
Kemenangan kaum muslim di Badar merupakan pukulan telak bagi koloni Yahudi dan orang-orang munafik yang status sosialnya merasa terancam oleh umat Islam. Rasa phobia (takut) yang begitu besar terhadap Nabi saw. membuat mereka mencari sasaran lain, dan mereka memilih “mengganggu” perempuan Islam. Targetnya, membuat instabilitas Madinah. Terkait persoalan ini, sempat terjadi beberapa insiden kecil hingga pertumpahan darah. Demi menjaga stabilitas keamanan, Alquran memberikan solusi agar perempuan muslimah menggunakan jilbab sebagai tanda bahwa perempuan jilbab tidak boleh diganggu. Perempuan
9 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
berjilbab berarti perem- puan merdeka yang haknya dilindungi oleh Islam dan tatanan sosial masyarakat Arab. Jadi, ayat jilbab (QS. Al-Ahzab: 59) merupakan reaksi atas kondisi sosial-politik saat itu.
Sedangkan ayat khumur (QS. Al-Nur: 31), turun terkait kondisi internal umat. Alquran ingin menje- laskan bahwa kelakuan masyarakat jahiliyyah dahulu tidak perlu dilakukan di Madinah. Yang diinginkan Alquran dalam ayat ini adalah diferensiasi (pembedaan) terkait etika berbusana. Lalu, hubungan laki- laki perempuan dalam ayat ini mulai ditata. Caranya, laki-laki-perempuan harus mampu mengendalikan diri mereka dan tetap menjaga sopan santun.
Perempuan jahiliyah biasa berjalan di hadapan laki-laki dengan bertelanjang dada tanpa penutup sambil memamerkan perhiasan di leher mereka. Me- reka memakai jilbab namun, jilbab itu hanya dililit- kan di belakang leher sehingga bagian sensual dada mereka tetap terlihat. Demikian Ibnu Katsir meng- gambarkan erotisme perempuan jahiliyah dalam tafsirnya. Karenanya, Alquran mengecam tindakan tidak etis itu, sekaligus menyodorkan contoh jilbab gaya baru yang lebih sopan dari jilbab jahiliyah. Mengapa jilbab? Karena mode itulah yang paling dimengerti dan dikenal dalam budaya Arab saat itu. Buktinya, Alquran juga menyebut istilah jalabib dan khumur untuk menjelaskan pakaian jahiliyyah. Para ulama tafsir sepakat mengatakan, busana jilbab (khumur dan jalabib) pada saat itu juga menjadi busana pembeda antara perempuan merdeka dan budak. Pakaian yang membedakan status sosial perempuan. Jika pemahaman ayat jilbab hanya sebatas pada pembedaan status sosial saja maka akan ada kesan ambiguitas. Satu sisi ingin menghilangkan perbudakan dan di sisi lain mempertahankan perbu- dakan melalui cara berpakaian. Karenanya, menurut penulis titik tekan ayat di atas bukan saja pada mode berbusana saja namun pada tuntutan moral untuk menggunakan pakaian yang sopan. Sebab kesopanan bersifat relatif maka standarnya sendiri tidak kaku. Sehingga, apapun model pakaiannya, jika telah memenuhi standar kesopanan maka ia adalah jilbab. Pada titik ini jilbab tidak lagi dipahami sebagai pakaian tertutup namun pada pakaian budaya berstandar kesopanan. Istilah jilbab sendiri dalam arti penutup busana muslimah penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Untuk istilah hijab, sebagaimana telah di- urai sebelumnya, tampaknya telah terjadi pergeseran makna dari sekadar kain pembatas komunikasi antara laki-laki muslim dengan para istri Nabi saw. menjadi istilah busana muslimah.
10 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
Berdasarkan penelitiannya, Fadwa El Guindi memaparkan, jilbab atau yang serupa dengannya, bukanlah monopoli Islam. Dalam banyak kebudaya- an dunia, fakta pakaian tertutup pada perempuan sudah ada berabad-abad jauh sebelum Islam. Bahkan, agama-agama besar seperti Yahudi dan Kristen memiliki tradisi “jilbab” bagi golongan perempuan tertentu. Guindi pun menambahkan, “jilbab” dalam perspektif agama-agama maupun budaya dunia memiliki persepsi dan makna simbol yang saling berbeda. Katholik dengan Bizantium sebagai basis tradisinya mempersepsikan “jilbab” sebagai lambang ke-perempuan-an sejati dan kesalehan. Demikian pula Yahudi, kurang lebih memberlakukan pemahaman yang sama atas konsep “jilbab” dan harem perem- puan. Hanya saja konsep pemahaman atas harem dan “jilbab”, sebagaimana menstruasi dan melahirkan, memiliki keterkaitan dengan kutukan terhadap perempuan akibat dosa Eva (Hawa) yang menggoda Adam hingga terusir dari Surga. Berbeda dengan itu, Islam tidak pernah mengkaitkan dosa kutukan perempuan dengan menstruasi, kehamilan, melahir- kan, atau pemingitan (jilbab). Dalam Islam masing-masing memiliki konteksnya sendiri yang tidak saling terkait. Sementara itu, jilbab dalam konteks masyarakat Islam Timur Tengah kontemporer memiliki makna perlawanan sendiri. Di Mesir sejak 1973 timbul istilah ziyyul islamiy yang dipelopori para anak muda. Bagi para perempuan-nya, ziyyul islami merupakan identitas diri dan simbol kemenangan dan rasa percaya diri Mesir atas Israel, yang sebelumnya di tahun 1967 Mesir kalah. Pengalaman Aljazair berbeda, maraknya jilbab di sana adalah upaya pembangkangan dan penolakan atas kolonialisasi Perancis di negara itu. Sebelumnya, Perancis saat menjajah Aljazair memberlakukan kontrol dan pelepasan jilbab muslimah dengan berbagai cara, salah satunya dengan menghormati perempuan yang tidak mengenakan jilbab dan menghina pemakainya. Targetnya, menghancurkan kebudayaan nasional Aljazair. Namun, rupanya Perancis salah hitung karena ternyata jilbab justru membangkitkan semangat perlawanan kultural perempuan Aljazair, dengan menjadikan jilbab sebagai simbol nasionalisme. Demikian pula di Iran saat Revolusi Islam, pun tidak jauh berbeda.
Indonesia memiliki konteks sendiri terhadap jilbab. Istilah jilbab baru populer digunakan di Indonesia sekitar tahun 1980-an. Sebelumnya istilah yang digunakan adalah kerudung. Kemunculan jilbab dan popularitasnya bersamaan dengan maraknya pelarangan menggunakan simbol-simbol Islam di sekolah-sekolah dan instansi pemerintah. Penerimaan jilbab secara luas semakin terjadi saat Soeharto (Presiden RI kala itu) merubah kebijakan politiknya dari kesan anti Islam menjadi “ijo royo royo”, sebuah istilah yang digunakan untuk kebijakan pro Islam, pada sekitar tahun 1990-an.
Gelombang kedua jilbabisasi di Indonesia muncul sesaat setelah Era Reformasi dicanangkan.
11 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
Salah satu isu reformasi yang diperjuangkan adalah Otonomi Daerah. Di saat inilah, entah atas dasar pemahaman keagamaan murni atau soal kepentingan politik lain, isu jilbab menjadi trend dan dibakukan menjadi Peraturan Daerah. Pada era inilah ideologisasi jilbab mulai bertaburan seiring dengan isu pemberlakuan atau formalisasi syariat Islam. Di beberapa daerah terkesan, indikator utama berlakunya syariat Islam di daerah tersebut adalah jilbab. Lihat saja konsideran Peraturan-peraturan Daerah (Perda) yang memuat aturan jilbab, misalnya Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung No. 2 Tahun 2003, Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999, atau bandingkan dengan Qanun Nangroe Aceh Darussalam.
Sebab itu, dari berbagai pandangan panjang soal jilbab di atas, jilbab pada tataran praktisnya tidak terbatas pada selembar kain yang menutup tubuh perempuan. Jilbab memiliki makna beragam sesuai dengan pengalaman historis perempuan yang berbeda. Selembar kain beragam makna. Tubuh Perempuan, Jilbab, dan HAM Jika diamati secara kritis, isu terkait perlindungan atas tubuh perempuan biasanya selalu muncul beserta ide penerapan syariat Islam. Di berbagai daerah di Indonesia, misalnya, pemunculan “Perda Syariat” selalu diiringi dominasi perempuan sebagai obyek hukum. Seakan indikator utama keberhasilan penerapan “syariat Islam” di satu daerah adalah aturan terkait tubuh perempuan.
Sebut saja Perda Anti Pelacuran Kota Tangerang yang mengklaim, perempuan yang keluar di atas jam 21.00 (sembilan malam) adalah pelacur. Karenanya, demi menjaga keamanan dan ketertiban kota, Pemerintah setempat “membina” mereka dengan cara ditangkap. Begitu juga Indramayu, salah satu Kabu- paten di utara pulau Jawa Barat pada 1999 pernah menelurkan perda tentang Prostitusi dan Pelacuran. Anehnya, dalam perda ini, orang (perempuan) yang diduga pelacur dilarang berjalan-jalan di tempat publik.
Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Kabupaten Sawahlunto mengeluarkan perda tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah, yang dihukumi wajib. Perda ini berlaku bagi masyarakat muslim secara umum yang berdomisili di daerah tersebut, mulai dari pelajar, mahasiswa, karyawan, dan masyarakat secara luas. Jika persoalan “syariatisasi” tubuh perempuan di atas timbul akibat dari persepsi terhadap sensualitas tubuh perempuan yang dianggap “membahayakan” publik maka, di sisi lain perempuan yang ingin melindungi tubuhnya dengan jilbab juga mendapat “tantangan” yang cukup memberatkan. Sebut saja kasus yang terjadi pada Winie Dwi Mandella, seorang petugas medis Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga Bekasi
12 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
yang dipecat lantaran mengenakan “jilbab ninja” saat menjalankan tugas pada medio November 2008 lalu. Winie dianggap oleh manajemen rumah sakit telah mengenakan pakaian yang bisa menghalangi tugasnya sebagai perawat. Peristiwa yang dialami Winie bukan peristiwa pertama yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya, di tahun 2007 panitia seleksi calon anggota Paskibraka di Kabupaten Kediri Jawa Timur melarang peserta seleksi mengenakan jilbab. Demikian pula RS. Kebonjati Bandung juga mengeluarkan instruksi melarang pegawai medisnya mengenakan jilbab. Masih di tahun yang sama, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta juga memperketat larangan mengenakan jilbab bagi para mahasiswinya.
Sementara pada tahun 2003, dua mahasiswi AKPER (Akademi Perawat) Banjarmasin bernama Hadis dan Dewi juga dilarang dan dipecat dari institusi belajarnya lantaran mengenakan jilbab. Bahkan, sekitar dua dekade lalu peristiwa serupa juga pernah terjadi. Di tahun 1983 seorang siswi SMAN 68 Jakarta Pusat dilarang mengikuti pelajaran sekolah lantaran mengenakan jilbab.
Peristiwa di atas mengingatkan penulis pada saat bersekolah dulu, di mana setiap siswi yang mengenakan jilbab diharuskan melipat jilbab mereka ke belakang telinga dan menunjukan telinga saat difoto untuk mengikuti ujian akhir sekolah. Fenomena yang dianggap oleh sebagian kelompok Islam sebagai “islamopobia” ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di belahan dunia lain gerakan pelarangan jilbab dan menutup aurat juga terjadi di banyak tempat. Sebut saja Turki, sekalipun negara ini berpenduduk mayoritas muslim dan sempat menjadi ibukota monarki Islam terbesar selama berabad-abad namun, di tahun 2007 mengeluarkan aturan yang melarang mahasiswi mengenakan jilbab di kampus.
Sementara di belahan Eropa lain, delapan dari enam belas Negara Bagian di Jerman menetapkan larangan mengenakan jilbab di tempat-tempat publik. Di Perancis, Presiden Jacques Chirac mengeluarkan larangan jilbab bagi perempuan muslimah. Pada 2006 di Belanda, Geert Wilders, seorang anggota parlemen sayap kanan Belanda melontarkan gagasan agar jilbab juga dilarang di Belanda. Gagasan Wilders mendapat respon sehingga di tahun yang sama larangan tersebut berwujud pada undang-undang yang melarang penggunaan Burqa secara nasional di Belanda.
Bahkan di negara Timur Tengah seperti Tunisia terjadi hal yang sama. Di tahun 1981 Presiden Tuni- sia, Habib Bourguiba, meratifikasi UU nomor 108 yang melarang perempuan muslimah di Tunisia mengenakan jilbab di lembaga-lembaga pemerintahan. Puncaknya, pemerintah Tunisia bahkan ‘mengharamkan’ perempuan berjilbab ‘masuk’ dan dirawat di rumah sakit negara. Bahkan, pada September 2006, pemerintah Tunisia menggelar sebuah operasi peng-
13 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
amanan dengan merazia toko-toko yang di dalamnya menjual boneka berjilbab, Fulla.
Kembali ke Indonesia, puncak dari perdebatan tubuh perempuan ditandai dengan kelahiran UU tentang Pornografi pada 30 Oktober 2008 lalu. UU ini menuai banyak pro-kontra. Bagi mereka yang pro, UU ini merupakan senjata dan alat perlindungan bagi segenap komponen bangsa. Bagi para pendukungnya pula UU ini dianggap sebuah mantra yang dapat melumpuhkan aksi eksploitasi perempuan. Sebab, perempuan dianggap obyek paling dominan dari sebuah karya pornografi. Menurut mereka perempuan yang diberi karunia dengan sensualitas tubuh merupakan lahan garapan paling subur industri pornografi. Bagi para penentangnya, UU Pornografi ini dianggap semakin membenarkan stereotype (pelabelan negatif) bahwa sensualitas perempuan merupakan sumber masalah moral. Alih-alih menyelamatkan eksploitasi tubuh perempuan, UU ini justru dianggap malah menjadikan perempuan sebagai obyek hukum. Subyektivitas penilaian atas tubuh perempuan melalui UU ini dapat dibenarkan. Belum lagi soal lain terkait dengan aspek budaya dan tudingan otoritarian negara yang ingin menyeragamkan kebhinekaan bangsa menambah daftar argumen penolakan UU ini di hadapan publik.
Sikap anti atas jilbab maupun pemaksaan atas jilbab yang ditunjukkan beberapa kasus di atas jelas sama-sama tidak arif. Harusnya, pelaksanaan yang berkaitan dengan pilihan hidup perempuan dapat diselesaikan oleh perempuan bersangkutan tanpa harus menggunakan negara yang memiliki daya paksa. Dalam kasus yang terjadi di Eropa, sebagaimana disampaikan Yusuf Qaradhawi, peristiwa pelarangan hak individu dalam menggunakan jilbab merupakan pelanggaran atas dasar konstitusi mereka sendiri: fraternity (persaudaraan), liberty (kebebasan), egality(persamaan). Sementara dalam kasus di Indonesia yang menggunakan daya paksa negara untuk men- jilbab-kan perempuan, justru melanggar UUD ’45 Pasal 29. Dalam pasal ini, warga negara (laki-laki dan perempuan) memiliki hak yang sama untuk menganut dan menjalankan keyakinan agamanya, karenanya itu adalah hak bukan kewajiban. Dalam skala internasional, sikap pemaksaan terhadap perempuan merupakan pelanggaran kesepakatan internasional yang pernah dibahas dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Dan karenanya, pelanggaran atas hak tersebut merupakan pelang- garan atas Hak Asasi Manusia (HAM). Penutup Persoalan aurat, hijab, maupun jilbab semestinya dilihat dalam perspektif budaya. Perspektif budaya itu tidak lepas dari latar belakang turunnya sebuah ayat. Penglihatan secara seksama atas aspek di atas akan melahirkan pemahaman yang up to date (terkini) sekaligus memberikan solusi sosial yang lebih arif. Apalagi Alquran tidak turun dalam ruang hampa. Alquran bersentuhan langsung dengan praktik sosial dan kemasyarakatan saat itu. Sebab itu, gagasan keagamaan yang disampaikan Alquran merupakan gagasan perlawanan atau
14 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
gagasan yang meluruskan budaya masyarakat yang ada saat itu. Dalam konteks jilbab dan hijab misalnya, ayat ini tidak ujug-ujug (mendadak) turun memberikan perintah, tetapi merupakan bagian dari dinamika kultural dan kritik terhadap budaya jahiliyah.
Kesalahan penafsiran terhadap ayat di atas biasanya terjadi akibat pemukulrataan (generalisasi) atas realitas dan konteks turunnya ayat, tanpa mendudukkan terlebih dulu problem dan alasan turunnya secara proporsional. Generalisasi ini terlihat misalnya dalam penafsiran ayat hijab yang kemudian serta merta dipahami sebagai kewajiban bagi seluruh perempuan. Padahal, khitab (lawan bicara) dari ayat bukan perempuan, dan realitas yang membuat ayat itu turun terkait erat dengan peristiwa khusus dan eksklusif.
Jika latar belakang sosial-historis ayat itu dipahami secara utuh, maka konsep perlindungan tubuh perempuan yang terungkap dalam ayat aurat, hijab, dan jilbab, tidak semestinya dipahami sebagai alat untuk membungkam atau memenjarakan perempuan. Sebab ternyata, konteks penjara bagi tubuh perempuan tidak relevan dengan semangat umum Alquran, khususnya saat ayat tersebut turun. Untuk itu, setiap upaya formulasi hukum mau tak mau harus mempertimbangkan tradisi. Aneka pertimbangan ahli fiqh dalam penentuan batas aurat, seperti ungkapan “menghindari kesulitan”, atau “demi kebutuhan”, atau “khawatir akan fitnah”, tidak terlepas dari situasi keseharian dan karena itu sangat relatif, berbeda antar tempat dan waktu. Mengingat determinasinya dalam setiap penafsiran teks menyangkut aurat, maka aurat sejatinya tak terma- suk dalam nomenklatur (bahasa) agama, tetapi sosial- budaya.
Akhirnya, ayat-ayat itu seakan berbicara pada kita, sebagai berikut, “Wahai semua laki-laki dan perempuan, kalian harus pandai menjaga pandangan kalian agar tidak saling mengganggu dan kalian semua harus menghindari perbuatan tercela. Kare- nanya, kalian harus mengenakan pakaian sopan yang menutupi sebagian tubuh kalian. Batasan tubuh kalian yang harus ditutup itu disesuaikan dengan kon- disi di mana kalian tinggal. Jangan berlebihan dan jangan pula mengikuti jahiliyah yang eksploitatif terhadap perempuan”. Wallahu a’lam bi al-shawab. [] Daftar Bacaan Alquran al-Karim Ahmadi, Wahid, (ed), Keakhwatan 2: Bersama Tarbiyah Mempersiapkan Akhawat Menjadi Da’iyah, Jakarta: Inter Media, 2003 Alatas, Alwi, dan Desliyanti, Fifrida, Revolusi Jilbab: Kasus Pelanggaran JIlbab di SMA Negeri Se-Jabotabek 1982-1991, Jakarta: al-I’tishom, 2001, Cet. ke-1 Ali, Muhammad Ibn Muhammad, Hijab: Risalah Tentang Aurat, Yogjakarta: Pustaka Sufi,
15 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
2002, Cet. ke-1 Arani, Amiruddin, dan Qodir, Faqihuddin Abdul, (ed), Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Jakarta: Rahima, 2005 Al-Asymawi, Muhammad Sa’id, Kritik Atas JIlbab, tr. Novrianto Kahar dan Oppie Tj, Jakarta: JIL, 2003, Cet. ke-2 Baidowi, Ahmad, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Alquran dan Para Mufassir Kontemporer, Bandung: Nuansa, 2005, Cet. ke-1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Cet. ke-10 Ad-Dieb, Ahmad Mahmud, Wanita Itu Aurat, terj. Media Eka Putra, Jakarta: Cendikia, 2002, Cet. ke-1 Al-Dimyathiy, Muhammad Abu Bakar Syatho’, I’anah al-Thalibin ‘ala Hilli Alfadzi Fathil Mu’in, Beirut: Dar al-Fikr,1993 El Guindi, Fadwa, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, terj. Mujiburrahman, Jakarta: Serambi, 2003, Cet. ke-1 Fachruddin, Fuad Mohd, Aurat dan Jilbab Dalam Pandangan Mata Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991, Cet. ke-2 Ghanim, Muhammad Salman, Kritik Ortodoksi: Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan Feminisme, terj. Kamran Asad Irsyadi, Yogjakarta: LKIS, 2004, Cet. ke-1 Al-Ghifari, Abu, Kudung Gaul: Berjilbab Tapi Telanjang, Bandung: Mujahid Press, 2005, Cet. ke-16 Haekal, Muhammad Hussein, Sejarah Hidup Muham- mad, terj. Ali Audah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, cet. ke-5 Hassan, A, Wanita Islam, Bangil: Percetakan “Persa- tuan”, 1989 Al-Jalalain, Jalaluddin al-Mahalliy dan Jalaluddin al- Suyuthiy, Tafsir Alquran al-‘Adzim, Semarang: Toha Putera, tth Al-Jaziriy, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, tth Kartika, Sandra, (ed), Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan: Panduan Bagi Jurnalis, Jakarta: LSPP, 1999 Lings, Martin, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Jakarta: Serambi, 2008, Cet. ke-7 Maududi, Abul A’la, Al-Hijab, terj. Achmad Noer Z,Bandung: Gema Risalah Press, 1995, Cet. ke-8 Mustaqim, Abdul, Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarki: Telaah Kritis Penafsiran Dekonstruksi Riffat Hassan, Yogjakarta: Sabda Persada, 2003, Cet. ke-1 Al-Qaradhawi, Yusuf, Larangan Berjilbab: Studi Kasus di Perancis, terj. Abdul Hayyie al-Kattanie, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet. ke-1 Al-Qashir, Fada Abdul Razak, Wanita Muslimah: Antara Syariat Islam dan Budaya Barat, terj. Mir’atul Makkiyyah, Yogjakarta: Darus Salam, 2004, Cet. ke-1 Sabiq, Al-Syeikh al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983 Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-18 Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan,1998, cet. ke-7 Al-Shobuniy, Muhammad ‘Ali, Rawai’u al-Bayan: Tafsir Ayat al-Ahkam min Alquran, Mekah: Kulliyyat al-Syari’at wa al-Dirasat al-Islamiyyat, tth
16 / 17
Tubuh Perempuan Dalam Kajian: Menimbang Ulang Makna Hijab, Jilbab, dan Aurat : Suplemen 8/Ed.27 Ditulis oleh Ahmad Dicky Sofyan Selasa, 04 Mei 2010 02:54 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:06
Syariati, Ali, Rasulullah SAW Sejak Hijrah Hingga Wafat, Bandung: Pustaka Hidayah, 2006, Cet. ke-1 Wadud, Amina, Quran Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tafsir, terj. Abdullah Ali, Jakarta, Serambi: 2001, Cet. ke-1 Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute, 2006, Cet. ke-2 Biografi Penulis Ahmad Dicky Sofyan, S.Th.I., lahir diJakarta 6 Mei 1982. Ia memulai pendidikan agamanya secara otodidak dengan membaca buku-buku keagamaan milik engkong-nya. Secara formal, pendidikan keagamaannya ditempuh di Pondok Pesantren (PP) dan Madrasah Tsanawiyah (Mts) Al-Hamidiyah Depok pada 1994-1997. Saat jadi santri di Al-Hamidiyah, dia sem- pat merasakan asuhan dari pendiri sekaligus pengasuh pertama Pesantren, Almarhum KH. Achmad Syaichu. Dengan bekal pengalaman dan ilmu yang didapat di Al-Hamidiyah, pada tahun 1997-2000, Dicky, demikian panggilan akrabnya, kembali melanjutkan pendidikan di PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo, Jawa-Timur. Saat mondok, pria jangkung yang ramah senyum ini mengaji kepada Almarhum KH. Abdul Wahid Zaini, salah seorang tokoh nasional dari kalangan nahdliyyin saat itu. Pada tahun 2000-2007, dia meneruskan pendidikan tinggi strata 1 (S1) di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir-Hadis IAIN Syarif Hidayatullah, Jakar- ta (kini UIN atau Universitas Islam Negeri). Rentang waktu tujuh tahun inilah, selain kuliah ia juga mewa- kafkan sebagian waktunya untuk berbagai aktifitas kemahasiswaan, sosial, dan kemasyarakatan.
Dia tercatat pernah menjadi Ketua Umum Pemuda Masjid dan beberapa kali menjadi Sekertaris dan Tim Ahli BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh) di Masjid Jami’ Nurul Islam Bekasi (2001-2004). Setelah malang-melintang di dunia mahasiswa, pada tahun 2005 terpilih sebagai Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ca- bang Ciputat. Dia juga pernah menjadi peserta Mad- rasah Rahima untuk aktifis Mahasiswa 2006-2007. Pada 2008 ia sempat menjadi jurnalis di salah satu tabloid di Jakarta. Di tahun yang sama, ia menjadi peneliti program Indonesia Democracy Index (IDI) yang dilakukan oleh UNDP, Bappenas, dan JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat). Kini, suami dari Yulis Setia Tri Wahyuni (staff program di Indonesian Parliamentary Center), dan ayah dari Muhammad Alfath Cakra Malaka ini, dapat di hubungi di 08111875815 atau
[email protected] [ ]
17 / 17