SENGKETA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH KERATON KASEPUHAN DI KOTA CIREBON (SUATU KAJIAN TERHADAP PUTUSAN MA NO. 1825 K/PDT/2002) DISPUTE OF OWNERSHIP OF LAND IN KASEPUHAN PALACE CIREBON (A STUDY ON MA DECISION NO. 1825 K / PDT / 2002) E-JOURNAL Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Drajat S2 Program Studi Magister Kenotariatan Oleh : Bakhrul Amal 11010214410026
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGOERO SEMARANG MARET 2016
1
SENGKETA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH KERATON KASEPUHAN DI KOTA CIREBON (SUATU KAJIAN TERHADAP PUTUSAN MA NO. 1825 K/PDT/2002) DISPUTE OF OWNERSHIP OF LAND IN KASEPUHAN PALACE CIREBON (A STUDY ON MA DECISION NO. 1825 K / PDT / 2002) E-JOURNAL Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Drajat S2 Program Studi Magister Kenotariatan Oleh : Bakhrul Amal 11010214410026 Pembimbing : Dr. Sri Wahyu Ananingsih SH. MHum.
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGOERO SEMARANG MARET 2016
2
3
4
ABSTRAK
Undang-Undang Pokok Agraria dibuat oleh Pemerintah Indonesia dengan semangat pembaharuan atas undang-undang terdahulu yang memuat begitu banyak ketidakadilan. Undang-Undang Pokok Agraria dilahirkan untuk mengakhiri berbagai macam persoalan di bidang pertanahan. Diantara persoalan yang coba diselesaikan oleh UUPA tersebut adalah mengakhiri dualisme peraturan dan kepastian hukum akan Hak Milik atas tanah. Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria memberikan konsekuensi pada beberapa bidang tanah yang sudah ada sebelum adanya Undang-Undang Pokok Agraria. Tanah yang dimaksud antara lain adalah tanah eks-keraton atau tanah swapraja. Dalam diktum IV Undang-Undang Pokok Agraria tanah tersebut atau tanah swapraja menjadi tanah negara semenjak diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria. Pihak keraton tidak berhak lagi atas tanah kekuasaannya semenjak sepakat bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada kepemilikan lagi atas tanah swapraja tersebut selain Pemerintah Pusat. Hal tersebut ternyata menimbulkan suatu persoalan. Pemerintah tidak bisa mengeksekusi seluruh tanah bekas tanah keraton meskipun diktum IV UndangUndang Pokok Agraria telah mengatakan demikian. Keraton Kasultanan Kasepuhan Cirebon adalah salah satu contohnya. Keraton Kasultanan Kasepuhan Cirebon memiliki tanah bekas keraton yang akan tetapi tanah tersebut bukan tanah swapraja. Keraton Kasultanan Kasepuhan Cirebon memiliki beberapa bukti yang menyebutkan bahwa tanah tersebut, pada masa Deandles, telah berubah alas hak menjadi tanah wewengkon yang setara dengan tanah adat. Hal itu terjadi karena tanah Keraton Kasultanan Kasepuhan Cirebon tidak lagi disebut sebagai kerajaan melainkan sebagai lembaga adat dan tradisi. Bukti selanjutnya adalah hasil kesimpulan dari penelitian panitia Landreform khusus untuk tanah Keraton Kasultanan Kasepuhan Cirebon yang menyebutkan tanah Keraton Kasultanan Kasepuhan Cirebon adalah tanah adat. Penelitian ini mencoba mengungkap hal baru dengan menggunakan metode socio-legal. Dari hasil keputusan Mahkamah Agung No. 1825 K/Pdt/2002 dan kenyataan historis setidaknya dapat ditemukan dua hal. Pertama adalah definisi antara tanah swapraja dan tanah adat yang memiliki arti berbeda. Kedua adalah kejernihan dalam melihat segala macam persoalan berdasarkan faktual yurudis dan juga faktual empiris. Tidak semua tanah bekas keraton dapat disebut dengan tanah swapraja karena perlu diperhatikan pula sisi historis daripada tanah itu sendiri, tanah Keraton Kasultanan Kasepuhan Cirebon adalah contohnya.
Kata Kunci :Undang-Undang Pokok Agraria, Tanah Swapraja, Keraton Kasepuhan Cirebon, Putusan Mahkamah Agung No. 1825 K/Pdt/2002
5
ABSTRACT
Basic Agrarian Law was made by the Government of Indonesia with the spirit of renewal on previous legislation which contains so much injustice. Basic Agrarian Law was born to end the various problems in the land sector. Among the issues resolved by UUPA try it is to end the duality of regulations and legal certainty would Properties on the land. The enactment of Act Agrarian consequences on plots of land that existed before the Basic Agrarian Law. The land in question include the ex-palace ground or ground of self-government. In dictum IV Basic Agrarian Law of the land or the autonomous land into state land since the enactment of the Agrarian Law. The palace no longer be eligible for the land of his rule since agreed to join in the Unitary State of the Republic of Indonesia. Therefore, there is no longer over land ownership in addition to the autonomous Central Government. It turned out to cause a problem. The government can not execute all the land of their former palace though dictum IV Basic Agrarian Law had said so. Soil Kasepuhan Keraton Cirebon Sultanate is one such example. Keraton Cirebon Sultanate Kasepuhan former palace which owns the land but the land is not the land of self-government. Keraton Cirebon Sultanate Kasepuhan have some evidence to suggest that the land, in those days Deandles, has turned into a land rights board wewengkon equivalent to customary land. It happens because the land Keraton Cirebon Sultanate Kasepuhan no longer be called a kingdom but rather as an institution of customs and traditions. Further evidence is the result of the conclusion of the study committee on land Landreform Keraton Cirebon Sultanate Kasepuhan mentioning Kasepuhan Cirebon Sultanate palace land is customary land. This research attempts to uncover new things by using socio-legal methods. From the results of the Supreme Court decision No. 1825 K / Pdt / 2002 and the historical reality can be found at least two things. The first is the definition between the autonomous land and customary land that have a different meaning. The second is clarity in seeing all sorts of problems based on factual and factual empirical yurudis. Not all the land of the former palace can be called the land of self-government as well as the historical side note than the land itself, the ground Keraton Cirebon Sultanate Kasepuhan is an example.
Keywords : Basic Agrarian Law, Land Swapraja, Kasepuhan Palace Cirebon, Supreme Court Decision No. 1825 K / Pdt / 2002
6
A. PENDAHULUAN 1. Latarbelakang Masalah Hukum Tanah Nasional mempunyai sifat komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan. Hukum Tanah Nasional tidak lagi dualisme tetapi unifikasi dengan asas yang disesuikan dengan Pasal 33 UUD 1945. Jenjang hirarki Hak dalam Hukum Tanah Nasional terdiri dari; Hak Bangsa Indonesia, sebagai hak atas tanah yang tertinggi (Pasal 1 UUPA). Hak Menguasai Negara yang beraspek publik dalam lingkup pengelolaan (Pasal 2 UUPA). Hak Ulayat Masyarakat Adat yang beraspek publik dan perdata (Pasal 3 UUPA). Dan, Hak Individu yang berada ranah perdata.1 UUPA mengatur juga mengenai Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak Pengelolaan Lahan (HPL), dan lainnya. Untuk memperoleh hak tersebut maka diterbitkanlah suatu aturan pendukung mengenai Pendaftaran Tanah, yakni Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Berkaitan dengan proses pengajuan Pendaftaraan Tanah, ada dua data yang dihimpun. Yaitu data fisik dan data yuridis. 1. Data Fisik mengenai tanahnya : lokasi, batas, luas bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:Penerbit Djambatan, 2008) hlm 228-229
7
2. Data Yuridis mengenai haknya : haknya apa, siapa pemegang haknya, ada atau tidak hak pihak lain atas tanah tersebut. 2 Selain mengatur mengenai hak-hak individu, Hukum Tanah Nasional pun memperhatikan tanah-tanah dalam kekuasaan daerah Keraton. Mengingat Indonesia pada waktu itu dikuasai oleh dua kepemimpinan, yakni Kerajaan Keraton dan Pemerintah Kolonial. Untuk tanah bekas kolonial sudah jelas di dalam UUPA langsung dinasionalisasi. Sedangkanuntuk tanah bekas keraton diatur dalam aturan tersendiri (sesuai Diktum IV UUPA). Tanah keraton tersebut dikenal dengan istilah tanah swapraja. Meskipun dalam diktum IV UUPA telah dijelaskan kalau tanah swapraja hapus dan penguasaannya beralih kepada Negara, namun hingga saat ini aturan yang merinci mengenai hal itu belum ada. Akibatnya, seringkali digunakanlahaturan yang membahas secara rinci mengenai tanah swapraja yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian. Ada beberapa prinsip dalam aturan tersebut : 1. Pasal 1 huruf (c) Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara, sebagaiyang dimaksudkan dalam Diktum Keempat huruf A Undang-Undang Pokok Agraria;
2
Ibid, hlm 73
8
2. Dan Pasal 4 yang menyatakan bahwa Tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang dengan ketentuan diktum IV huruf A Undang-UndangPokok Agraria beralih kepada Negara, diberi peruntukan, sebagian untukkepentingan Pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karenadihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada
rakyatyang
membutuhkan,
menurut
ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan ini; Secara faktual yuridis, ternyata aturan di atas belumlah bisa diberlakukan secara maksimal. Di beberapa daerah, seperti di Cirebon, beberapa bidang tanah keraton atau tanah swapraja masih menjadi sengketa. Pihak rakyat, instansi Pemerintah, dan pihak Keraton memiliki tafsir sendiri yang memperkuat haknya. Akibatnya, seringkali dalam satu bidang
tanah
terdapat
dua
kepemilikan
yang
secara
hukum
mengakibatkan hilangnya kepastian hukum. Salah satu sengketa tersebut, mengenai sengketa kepemilikan Hak Atas Tanah dari Tanah Swapraja antara Keraton Kesultanan Cirebon dan Pemerintah, perihal kepemilikan sertipikat atas tanah yang dipunyai oleh Pemerintah
tanpa
sepengetahuan
pihak
keraton.
Pihak
Keraton
Kasultanan Kasepuhan menilai hal itu keliru karena tanah Keraton Kasultanan Kasepuhan bukanlah tanah swapraja melainkan tanah wewengkon. Hasil dari persidangan tersebut adalah Putusan Mahkamah Agung No. 1825 K/Pdt/2002, yang menyebutkan bahwa :
9
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; 2. Menyatakan Penggugat adalah pemegang hak turun-temurun atas tanahmilik adat dari keraton Kasepuhan seluas 4.478 M², yang terletak di Jalan Dr.Cipto Mangunkusumo, dahulu Jalan Darmaga Malang, yang terletak diKelurahan Pekiringan, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon, dengan batas-batassebagai berikut : i.
Sebelah Utara : Kantor Bukopin Cabang Cirebon;
ii.
Sebelah Barat : Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo;
iii.
Sebelah Selatan : Jalan Dr. Sutomo;
iv.
Sebelah Timur : Jalan Cempaka I;
3. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV telahmelakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa; 4. Menyatakan Sertipikat Hak Pakai No. 40 atas nama Pemerintah DaerahKodya Cirebon, tanggal 23 Juni 1998 dengan Surat Ukur No. 536,tanggal 16 Maret 1998, dengan luas 5.350 M² tidak mempunyai kekuatanhukum; 5. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II atau siapapun yang memperoleh hakdaripadanya untuk mengosongkan tanah sengketa tersebut di atas dandikembalikan kepada Penggugat dalam keadaan baik, bebas dan kosong; 6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya (Halaman 19 dari 20 halaman Putusan No. 1825 K/Pdt/2002);
10
Putusan ini, di satu sisi memperkuat kepemilikan tanah swapraja sebagai tanah turun-temurun keluarga Keraton tetapi di sisi yang lain, putusan ini tidak sesuai dengan ketentuan diktum IV UUPA serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Selain itu, adanya persoalan bahwa meskipun kenyataannya telah dikeluarkan Putusan Mahkaman Agung, hingga sekarang sengketa hak atas tanah tersebut belum juga berakhir. Atau dengan perkataan lain dalam praktik, putusan MA itu belum dapat diberlakukan secara efektif. Bukti akan hal itu, di beberapa titik lokasi Kecamatan Kesambi dan Kejaksan Kota Cirebon, terdapat satu bidang tanah dengan dua papan pemberitahuan (plang) penjelasan kepemilikan, yakni oleh instansi Pemerintah (dalam hal ini PT KAI) dan juga pihak Keraton Kasepuhan Cirebon. Berdasarkan pada uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji Putusan Mahkamah Agung No. 1825 K/Pdt/2002 dalam sebuah tesis. Adapun judul tesis “SENGKETA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH KERATON KASEPUHAN DI KOTA CIREBON (SUATU KAJIAN TERHADAP PUTUSAN MA No. 1825 K/PDT/2002)” 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan : 1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung NO. 1825 K/Pdt/2002?
11
2. Mengapa Putusan Mahkamah Agung NO. 1825 K/Pdt/2002 belum dapat efektif diberlakukan sehingga sampai saat ini masih menimbulkan sengketa? 3. Metodelogi Penelitian Penelitian tesis yang berjudul “Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah Keraton Kasepuhan Di Kota Cirebon (Suatu Kajian Terhadap Putusan MA No.1825 K/Pdt/2002)” menggunakan pendekatan socio-legal. Penedekatan socio-legal sendiri berangkat dari asumsi bahwa “pekerjaan teoritis tanpa konten empiris adalah kegiatan yang hampa, dan pekerjaan empiris tanpa teori yang mendukung sama dengan dangkal3 ”.Kenyataan mengenai aturan mengenai aturan Tanah Swapraja dan Putusan MA No.1825 K/Pdt/2002akan dikorelasikan dengan fakta empiris di lapangan. Maka dari itu akan terlihat duduk permasalahan sebagaimana yang seharusnya. Perspektif socio-legal berarti bahwa penelitian ini nantinya tidak eksklusif menilai hukum adalah manfaat dari sekedar sebuah aturan yang telah menjadi produk hukum (industri sendiri/the industry selfregulation), tetapi juga dilihat dari industri pengaturan diri sebagai sosial,proses organisasi. Dalam definisi pengaturan diri, yang diberikan oleh Van Driel (1989) dan Rajadan Lenox (2000) self-regulation juga dianggap sebagai proses sosial.4
3
Rob van Gestel, Hans-W. Micklitz & Miguel Poiares Maduro, Methodology in The New Legal World, (Italy:European University Institute Badia Fiesolana, 2012) hlm 7 4 Reza Banakar dan Max Travers, The Theory and Method in Socio-Legal Reseacrh, (Oxford:Hart Publishing, 2005) hlm 29
12
Lebih lanjut dikatakan oleh Reza Banakar dan Max Travers “Sosio legal studi ilmu hukum sebagai fenomena sosial dan merupakan subdisiplin sosiologi”. Keduanya kemudian mengutip Griffiths yang menjelaskan bahwa sosiologi hukum sebagai ilmu sosial empiris ditujukan pada desain teori yang berkaitan dengan kontrol sosial.5 Penelitian socio-legal menuntut peran aktif dari peneliti dalam upayanya memperoleh kebenaran. Penelitian socio-legal dapat pula mengumpulkan suatu data dari pengamatan yang sistematis. Seperti memahami perilaku responden atau lembaga yang merupakan fokus dari studi, atau dengan mempelajari catatan yang ada lainnya yang mencerminkan fenomena di bawah penyelidikannya6 . Alat dasar pengumpulan data untuk penelitian socio-legal, dengan demikian, adalah : ( i ) wawancara, ( ii ) kuesioner, ( iii ) jadwal, ( iv ) pedoman wawancara, ( v ) observasi, peserta atau non-peserta, dan ( vi ) bahan-bahan yang diterbitkan atau tidak diterbitkan (seperti laporan sensus, Laporan Pemerintah dan/atau Non-Governmental Instansi, dan bahkan litelatur sastra yang sesuai pada sosiologi hukum). Socio-legal tidak sama dengan penelitian empiris, utamanya penelitian yang biasa dikenal di lingkungan hukum dengan sebutan penelitan yuridis empiris. Cakupan penelitian socio-legal lebih luas daripada sekedar memahami dunia empiris yang berkaitan dengan hukum. Socio-legal berasumsi bahwa justru dengan pendekatan sosiologi atau antropologi, 5
Ibid, hlm 29 Khushal Vibhute dan Filipos Aynalem, Legal Research Methods-Teaching Material, (Chilot.wordpress, 2009) hlm 89-90 6
13
maka substansi hukumdapat lebih dijelaskan secara lebih mendasar. Pada saat ini beberapa pendekatan „terkini‟, seperti analisis wacana (discourse analysis), kajian budaya (cultural studies), feminisme dan aliran posmodernismemendapat tempat dalam penelitian socio-legal. B. PEMBAHASAN 1.
Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1825 K/Pdt/2002 Pertimbangan Hakim ini terkait pula pada kondisi politik dan sistem hukum di suatu negara. Indonesia sejauh ini masih menganut sistem Belanda yang sifatnya civil law, dan bukan common law. Artinya, pertimbangan hakim di Indonesia harus mengacu pada teks perundangundangan yang berlaku. Hal itu, dewasa ini, tidak lagi final namun bisa juga melihat realitas sosial sesuai dengan apa yang termaktub di dalam Pasal 28 Undang-Undang No 40 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa “ Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Pertimbangan Mahkamah Agung pada putusan Nomor 1825 K/Pdt/2002 sepertinya juga tidak terlalu mengacu pada teks perundangundangan. Ada semacam mixmethods dalam upaya penentuan putusan, yakni gabungan antara faktual yuridis dan faktual empiris. Faktual yuridis ini berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang sah. Sumbernya adalah peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Sedangkan faktual empiris adalah kenyataan di lapangan yang membawa petunjuk
14
mengenai kebenaran penerapan faktual yuridis. Sumbernya adalah kesaksian, sejarah, dan juga litelatur. Pertimbangan Mahkamah Agung pun memiliki suatu terobosan hukum. Mahkamah Agung memasukan suatu definis tentang perbedaan tanah swapraja dan tanah adat, yang artinya juga tidak semua tanah bekas keraton itu tanah swapraja. Penentuan bekas tanah itu, mengacu pada putusan Nomor 1825 K/Pdt/2002, harus dilihat dari aspek sejarah agar tidak menimbulkan ketidakadilan. Putusan Mahkamah Agung Berikut adalah alasan dan hasil pertimbangan itu : Bahwa alasan-alasan tersebut : -
Terdapat kekeliruan/ketidakcermatan Pengadilan Tingkat Tinggi Bandung dalam mengkaji rumusan Pasal 16 UndangUndang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Pasal 16 menyebutkan secara jelas mengenai tanah yang telah terdaftar. Penjelasan Pasal 16 tersebut, yang justru dalam menentukan hak-hak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 tidak boleh bertentangan dengan sistematika hukum adat. Selanjutnya di dalam Pasal 24, masih dikenal istilah hak-hak lama terhadap hak-hak atas tanah, maka begitu pula istilah tanah wewengkon/tanah Kagungan Sultan yang indentik dengan hak grant sultan masih dikenali dan diakui sebagai hak atas tanah yang sama status hukumnya dengan hak milik atau dapat dikonversi menjadi hak milik kepada pemegang
15
haknya. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dalam Pasal 6 ayat (2) memperkuat argumen pengakuan hak adat dengan bunyi “Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, Tingkat
selaras
Tinggi
perkembangan
Bandung
juga
jaman”.
Pengadilan
mengabaikan
putusan
Mahkamah Agung Nomor 558 K/Pdt/1997, tanggal 28 April 1999 yang secara tegas menyatakan dalam salah satu amar putusannya : “…yang menyatakan bahwa tanah wewengkon Keraton Kasepuhan sebagai hak turun-termurun diakui sebagai hak atas tanah" -
Pengadilan Tingkat Tinggi Bandung juga terbukti sangat kurang
referensi
dalam
memberikan
pertimbangan.
Pengadilan Tingkat Tinggi Bandung mengaburkan istilah tanah negara yang sudah jelas-jelas ada pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara. “Tanah Negara ialah tanah yang dikuasai penuh oleh negara, yang berarti atas tanah tersebut tidak ada satupun hak lama/baru yang melekat”. Tanah negara bisa diperoleh dengan melihat Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yakni melalui penyerehan. Jadi, selama tanah tersebut tidak
16
dilepaskan atau diserahkan haknya kepada negara, maka tanah itu adalah milik daripada pemiliknya. Selain itu, tanah adat yang kini menjadi hak milik Dr. H. Pra. Maulana Pakuningrat, S.H. adalah benar-benar tanah adat (kesaksian Peneliti Tanah Dra. Hj. Nani Sri Wuryati yang menjabat juga sebagai Kasi Hak-Hak Atas Tanah). -
Kedua hal di atas telah cukup bukti untuk menyatakan bilamana
Pengadilan
Tingkat
Tinggi
Bandung
telah
melanggar asas pembuktian Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg.,1865 BW), di mana kedua belah pihak diberi beban pembuktian yang sama atau mendengar kedua belah pihak yang berperkara (Horen van Beide Partijen) yang konkritnya Pengadilan
mengadili
menurut
hukum
dengan
tidak
membedakan orang (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970); -
Semua alasan di atas bagi Mahkamah Agung dapat dibenarkan, oleh karena judex facti/ Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum pembuktian, dengan pertimbangan sebagai berikut :
-
Bahwa atas dasar bukti-bukti P.1, P.2, P.11, P.12, P.13, P.14 dan P.15 terungkap bahwa tanah seluas 4.478 M² adalah tanah milik adat yang terdaftar atas nama PPA. Bambang Suryadiningrat, yang asal-usul tanah tersebut semula tanah
17
“Wewengkon Keraton Kasepuhan” menjadi tanah milik adat turun-temurun Sultan Kasepuhan Cirebon. Sebaliknya buktibukti para Tergugat tidak dapat membuktikan tentang adanya tanah bengkok; -
Bahwa para Tergugat selain tidak dapat membuktikan dalildalilnya, khususnya sejarah asal-usul tanah tersebut dengan menyebutkan tanah sengketa berasal dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan yang dilimpahkan kepada Departemen Dalam Negeri, ternyata tidak didukung dengan “bukti pelimpahan” maupun bukti pelepasan hak;
-
Bahwa proses pembuatan sertipikat (pemberian Hak Pakai) bukti T.IV.6 tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1255, tanggal 4 Mei 1992;
2.
Realitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1825 K/Pdt/2002 Terkait dengan persoalan putusan sengketa dari kasus hak atas tanah Keraton Kasultanan Kasepuhan dan Pemerintah Kota Cirebon keputusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap. Keputusan hakim termasuk dalam kategori dokumen yang menjadi bagian dari komoponen instrumental. Putusan Hakim, dalam penjelasan Jimly Asshiddiqie, adalah bagian dari komponen normatif yang terverifikasi. Dalam realitas pelaksanaannya, aturan tersebut meskipun ketetapan terkuat belum ditaati secara maksimal dan menyeluruh. Pemerintah Kota
18
Cirebon, dikatakan oleh sumber Keraton Kasultanan Kasepuhan, pernah mengajukan PK (Putusan PK No. 311 PK/PDT/2009) kemudian dijatuhi putusan yang sama dengan kasasi. Pemerintah Kota Cirebon tetap tidak menerapkan perintah hukum terkuat tersebut. Pemerintah Kota Cirebon justeru melalui Walikota Cirebon mengirimkan surat bahwa belum menyetujui upaya penerbitan sertipikat dikarenakan menunggu instruksi Kementrian Dalam Negeri. Padahal, secara sah dan meyakinkan keputusan Hakim Mahkamah Agung telah mengikat. Selain daripada itu, PT Kereta Api Indonesia juga melakukan hal serupa terhadap tanah Keraton Kasultanan Kasepuhan yang telah memiliki dasar hukum tetap itu. PT Kereta Api Indonesia berdalih dengan membawa dokumen perencanaan (groundbreaking) bagi PT Kereta Api Indonesia yang ada di Belanda. Dalih tersebut sebenarnya tidaklah tepat dikarenakan peta yang dimiliki PT Kereta Api Indonesia adalah peta perencanaan pembangunan masa depan, bukan peta Hak Kepemilikan yang dibuktikan dengan sertipikat. Hingga saat ini Keraton Kasultanan Kasepuhan merasa kesulitan untuk memperoleh sertipikat hak milik atas tanah turun temurunnya (wewengkon).
Achmad
Jazuli,
dari
Pihak
Keraton
Kasultanan
Kasepuhan, menilai bahkan yang terbaru muncul sengketa antara warga dengan PT Kereta Api Indonesia dengan tanpa melibatkan Keraton Kasultanan Kasepuhan sebagai pihak yang terkait, dan pihak yang memiliki hak. Selain itu adapula penerbitan sertipikat atas tanah oleh
19
Badan Pemerintahan yang berdasarkan Hak Pengelolaan (pengurusan) yang diberikan pihak Keraton Kasultanan Kasepuhan kepada salah satu perorangan. C. SIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Penilitian ini memberikan banyak masukan baru terhadap khazanah keilmuan hukum, utamanya yang terkait dengan tanah swapraja. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1825 K/Pdt/2002 setidaknya berisi dua hal. Pertama adalah mengenai pendefinisian ulang mengenai makna tanah bekas keraton dengan pendekatan sejarah. Definisi itu dibagi menjadi tanah yang sifatnya tanah adat dan tanah swapraja. Tanah adat jelas bukanlah objek dari diktum ke IV UUPA. Tanah adat mendapat perlindungan hukum sendiri dan tidak bisa serta merta diambil haknya oleh tanah negara seperti tanah swapraja. Tanah bekas Keraton Kasultanan Kasepuhan secara faktual yuridis maupun sejarah jelas adalah bagian dari tanah adat. Kesimpulan selanjutnya adalah ternyata keputusan hakim itu masih bisa untuk ditangguhkan apabila kehendak penguasa, dalam hal ini Pemerintah Kota Cirebon, tidak ingin menaatinya. Realitas putusan Mahkamah
Agung berkaitan
dengan
tanah
Keraton
Kasultanan
Kasepuhan ini menunjukan bahwa politik lebih besar pengaruhnya dibanding hukum. Ini preseden buruk bagi keberlanjutan hukum Indonesia yang padahal secara asas menganut istilah Negara Hukum.
20
2. Saran Putusan Hakim, apalagi bila sudah berkekutan hukum tetap atau inkraht, haruslah ditaati. Tidak ada kekuatan hukum yang lebih kuat selain daripada putusan yang sudah inkraht. Putusan Mahkamah Agung No. 1825 K/Pdt/2002 terkait tanah Keraton Kasultanan Kasepuhan ini bisa dijadikan pula sebagai yuriprudensi bagi kasus sengketa lain yang berkaitan dengan tanah Keraton Kasultanan Kasepuhan. Tujuannya tentu agar tidak lagi menimbulkan permasalahan ke depan yang berlarut-larut. Fakta bahwa Keraton Kasultanan Kasepuhan adalah termasuk bagian daripada keraton di Nusantara itu benar. Akan tetapi menyamaratakan bahwa semua yang menjadi bekas tanah keraton adalah tanah swapraja adalah hal yang keliru. Di Indonesia begitu banyak keraton dengan masing-masing corak dan pemerintahannya sendiri. Putusan Mahkamah Agung No. 1825 K/Pdt/2002 mengenai Keraton Kasultanan Cirebon yang berangkat dari penguatan basis sejarah rasanya perlu diterapkan untuk sengketa-sengketa di tempat lainnya. Hal ini berkaitan dengan tujuan daripada Negara Indonesia dalam mendistribusikan keadilan.
21
DAFTAR PUSTAKA Avakian, Bob, 2010 Constitution for the New Socialist Republic in North America, The Bob Aviakan Institute, Chicago. Foucault, Michel, 1972, The Archaelogy of Knowledge, Pantheon Books, New York. Harsono, Boedi, 2008 Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta. Irianto, Sulistyowati, 2012 Kajian Sosio Legal, Pustaka Larasan, Denpasar. Latif, Yudi, 2012, Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka, Jakarta. Limbong, Bernard, 2012 Hukum Agraria Nasional, Pustaka Margaretha, Jakarta. Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Travers, Max, 2005, The Theory and Method in Socio-Legal Reseacrh, Hart Publishing, Oxford. Unger, Roberto, 2012, Teori Hukum Kritis, Penerbit Nusa Media, Bandung. JURNAL Ahmad Ubbe, Putusan Hakim Sebagai “Rekayasa Sosial” dalam Upaya Pembangunan Hukum Nasional, Artikel. Bakhrul Amal, Kesejahteran Sosial dan Penegakan Hukum Progresif, 2014, Semarang yang dibacakan dan dijadikan bahan materi kajian untuk ulang tahun HIPIIS Jawa Tengah, 2014. Brian Bix, 2012, Radbruch's Formula and Conceptual Analysis, American Journal of Jurisprudence, Vol. 56, University of Minnesota Law School. Heather Leawods, 20120, Gustav Radbruch: An Extraordinary Legal Philosopher, Jurnal volume 2 Re-Engineering Patent Law: The Challenge of New Technologie. Jur. A. Hamzah, 2003, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman. Seminar Pembangunan Hukum VII dengan tema Pembangunan Hukum dalam Era Berkelanjutan. PERUNDANG-UNDANGAN - Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 - Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. - Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
22