ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
2015
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir Editor : Dr. Sugiarta Wirasantoso, M.Sc Dr.-Ing. Widodo S Pranowo
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
2015
Judul Buku : KARAKTERISTIK SUMBERDAYA LAUT DAN PESISIR Editor :
Dr. Sugiarta Wirasantoso, M.Sc Dr.-Ing. Widodo S Pranowo Desain sampul dan Penata isi : Sari Novita, S.T Korektor : Agus Hermawan, S.Sos Dani Saepuloh, A.Md Sari Novita, S.T Jumlah Halaman: 153 + v halaman romawi Seri : Pengetahuan Sumberdaya Laut dan Pesisir No.2 Edisi/ cetakan: Cetakan 1, Desember 2015 Sumber foto sampul: Survei tahun 2012, Loka Penelitian Sumberdaya Kerentanan Pesisir, Balitbang KP Penerbit : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Komplek Bina Samudera Jl. Pasir Putih II Lantai 4, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430 – DKI Jakarta. www.p3sdlp.litbang.kkp.go.id Telp. : (021) 64700755 / Fax. : (021) 64711654, Email :
[email protected] ISBN : 978-602-9086-42-3 e- ISBN : 978-602-9086-43-0 Di cetak oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir @ 2015, hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip/memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA SAMBUTAN Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan merupakan proses yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusankeputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan Sumberdaya pesisir dan lautan. Daerah pesisir di Indonesia yang kebanyakan ditinggali oleh para nelayan, merupakan daerah yang belum sepenuhnya digali potensinya, hal ini berkaitan dengan para nelayan itu sendiri sekedar memanfaatkan hasil dari laut hanya untuk memenuhi harian mereka. Penelitian mengenai karakteristik Sumberdaya laut dan pesisir sangat membantu pertumbuhan sektor kelautan dan perikanan khususnya di daerah pesisir. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, telah melakukan kajian dan riset tentang karaketristik Sumberdaya laut dan pesisir di Indonesia bagian timur. Hasil riset tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk melanjutkan pertumbuhan sektor kelautan yang saat ini sedang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Saya berharap buku ini dapat menjadi jembatan sekaligus wadah untuk terus menghasilkan karya tulis lain yang dapat memberi kontribusi untuk kemajuan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Dr. Budi Sulistiyo, M.Sc.
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia Nya, sehingga buku pengetahuan sumberdaya laut dan pesisir seri 2 (dua) dengan judul Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir ini dapat kami selesaikan. Pada edisi kedua ini terdapat penjabaran mengenai pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) kaitannya dengan penentuan kawasan budidaya rumput laut di Kabupaten Sumbawa, serta penentuan kapasitas tempat evakuasi sementara pada mitigasi bencana tsunami, dan riset ketahanan masyarakat dalam menghadapi gempa dan tsunami khususnya di kota Pariaman. Disamping itu disampaikan pula mengenai sejarah gempa dan tsunami pulau Sumatera. Terdapat pula paparan terkait karakteristik lingkungan pada edisi ini, diantaranya adalah perairan sekitar
kawasan
Mandeh Sumatera Barat sebagai salah satu upaya untuk pengembangan wisata kapal karam MV Boelongan, serta analisa unsur logam berat pada perairan dan biota estuari Sunggai Manggar di Belitung timur berdasarkan kesesuaian baku mutu lingkungan. Pada kesempatan ini, kami sampaikan banyak terima kasih kepada pimpinan dan keluarga besar lingkup Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir serta beberapa pihak mitra instansi yang berpartisipasi dalam penyusunan Buku Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir ini. Kami berharap semoga buku ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat, dan motivasi kepada kami untuk penelitian-penelitian selanjutnya sehingga dapat menghasilkan manfaat demi kemajuan di bidang pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir. Jakarta, 14 Desember 2015 Tim Editor iv
Daftar Isi Kata Sambutan .................................................................................. iii Kata Pengantar ................................................................................... iv Daftar Isi .............................................................................................. v
1. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Di Pesisir Kecamatan Moyo Hilir Dan Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa Yulius, Agustin Rustam, Hadiwijaya L. Salim, Aida Heriati, Eva Mustikasari, Ardiansyah ..................................................................... 1 2. Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Penentuan Kapasitas Tempat Evakuasi Sementara Dalam Mitigasi Bencana Tsunami di Kota Pariaman Hadiwijaya L. Salim, Dini Purbani, Lestari C. Dewi , Udrekh Hanif .............................................................................................. 17 3. Ketahanan Masyarakat Pesisir Kota Pariaman Dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi Dan Tsunami Dini Purbani, Yulius, Lestari Cendikia Dewi, Devi Dwiyanti Suryono ......................................................................................... 31 4. Gempa Dan Tsunami Sumatera Dalam Sejarah Semeidi Husrin, Joko Prihantono .................................................. 55 5. Kapal Karam MV Boelongan Nederland di Kawasan Mandeh, Lingkungan Laut Sekitarnya, dan Kemungkinan Pengembangannya Nia Naelul Hasanah Ridwan, Gunardi Kusumah, Semeidi Husrin,Terry L. Kepel ..................................................................... 84 6. Kandungan Unsur Logam Berat Dalam Air dan Biota Estuari Sungai Manggar Belitung Timur Berdasarkan Kesesuaian Dengan Baku Mutu Lingkungan Fajar Yudi Prabawa ..................................................................... 134
v
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut di Pesisir Kecamatan Moyo Hilir dan Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa Yulius1, Agustin Rustam1, Hadiwijaya L. Salim1, Aida Heriati1, Mustikasari1, dan Ardiansyah2
Eva
1)
Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang, KP 2) Pengajar pada Departemen Geografi FMIPA, Universitas Indonesia
Abstrak Rumput laut merupakan salah satu komoditas Sumberdaya pesisir dan laut yang memilki nilai ekonomis yang tinggi, mudah dibudidayakan serta biaya produksi yang rendah. Kesesuaian kawasan perairan merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan rumput laut. Penelitian yang dilakukan di sekitar Kecamatan Moyo Hilir dan Kecamatan Lape ini bertujuan untuk menentukan kesesuaian kawasan untuk budidaya rumput laut menggunakan SIG. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis spasial (keruangan) dan analisis tabular terhadap kesesuaian kawasan dalam SIG. Hasil analisis spasial dan tabular terhadap kesesuaian kawasan untuk budidaya rumput laut berhasil ditentukan kawasan yang sesuai untuk budidaya rumput laut, menunjukkan bahwa lokasi yang sesuai adalah di perairan Kecamatan Lape dengan luas sekitar 269,27 km2 atau 48,31 % dari luas total wilayah kawasan pengembangan. Kata kunci : Sistem Informasi Geografis (SIG), budidaya rumput laut, Kecamatan Moyo Hilir, Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa.
Pendahuluan Rumput laut merupakan salah satu komoditas Sumberdaya laut yang memilki nilai ekonomis yang tinggi, mudah dibudidayakan serta biaya produksi yang rendah. Kebutuhan rumput laut diperkirakan terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk konsumsi langsung maupun industri makanan, farmasi dan kosmetik (Kordi, 2010). Kabupaten Sumbawa memilki letak georafis 116˚42‘00” – 118˚22‘00” BT dan 08˚08‘00” – 09˚07‘00” LS dan memiliki luas wilayah 10.475,70 Km² 1
(21,20 % NTB) dengan luas daratan 6.643,98 Km² (32,96% dari daratan NTB), serta dengan luas perairan pesisir dan lautan 3.831,72 Km² (13,14 % dari perairan NTB) sehingga sangat berpeluang dalam mengembangkan potensi pesisir dan lautan untuk berbagai kegiatan perikanan. Budidaya rumput laut salah satu kegiatan perikanan yang telah dikembangkan dalam rangka memanfaaatkan potensi perairan dan lautan yang telah ada di Kabupaten Sumbawa (Anonim, 2013). Pada tahun 2014 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sumbawa memilki target untuk produksi rumput laut sebesar 359.924 ton. Kecamatan Moyo Hilir dan Kecamatan Lape merupakan salah satu sentra pengembangan budidaya rumput laut yang ada di Kabupaten Sumbawa, untuk mencapai target yang diinginkan, pemerintah Sumbawa harus meningkatkan wilayah pengembangan rumput laut di daerah-daerah potensial. DKP Sumbawa, (2012) menjelaskan bahwa Labuhan Sangoro yang berada di Kecamatan Maronge merupakan salah satu wilayah pengembangan rumput laut, namun dari luas potensial lahan yaitu sekitar 1.343 Ha baru dimanfaatkan sekitar 880 Ha dengan jumlah petani pembudidaya yaitu 193 orang dan produktivitas lahan budidaya rumput laut di kawasan ini sebesar 46,57 ton/ha/tahun, yang artinya masih tersisa 463 Ha yang belum dimanfaatkan untuk pengembangan rumput laut (Anonim, 2014). Kegiatan usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Sumbawa merupakan jenis usaha budidaya yang cukup berkembang dengan baik, mengingat luas areal yang dapat dimanfaatkan cukup besar yaitu ± 58.784,39 ha. Sampai dengan tahun 2009 pemanfaatan potensi lahan (areal perairan) untuk usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Sumbawa sekitar 5.650 Ha dengan total produksi sebesar 27.056 ton (basah) (Anonim, 2013). Pada tahun 2014 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sumbawa memilki target untuk produksi rumput laut sebesar 359.924 ton, untuk mencapai target yang diinginkan, pemerintah Sumbawa harus meningkatkan wilayah pengembangan rumput laut di daerah-daerah potensial. Lokasi usaha budidaya rumput laut tersebar pada 7 kecamatan yaitu :1) Kecamatan Alas Barat, 2) Kecamatan Lab. Badas, 3) Kecamatan Moyo Hilir, 4) Kecamatan Lape, 5) Kecamatan Maronge, 6) Kecamatan Plampang, 7) Kecamatan Tarano.
2
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Perairan Teluk Saleh memiliki Sumberdaya alam pesisir dan laut yang beraneka ragam, sehingga untuk masa yang akan datang merupakan sumber ekonomi baru bagi pertumbuhan pembangunan di propinsi NTB (Radjawane, 2006). Teluk Saleh merupakan salah satu sentra pengembangan budidaya rumput laut yang ada di Kabupaten Sumbawa. Masyarakat pesisir di sekitar Teluk Saleh melakukan usaha budidaya rumput laut jenis Eucheuma Cottonii dengan jumlah biomassa sekitar 10 ton Km² dan nilai P/B ratio 15,34 tahun (Anonim, 2004). Pada pengembangan rumput laut, kelayakan lokasi perairan merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan rumput laut. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh faktor fisika (suhu, kecepatan arus, kecerahan) dan kimia (pH, salinitas, DO, Nutrien) dalam pertumbuhan rumput laut (Puja et al., 2001). Menurut Puja et al. (2001) salah satu kendala pengembangan budidaya rumput laut pada suatu perairan adalah belum tersediannya data dan informasi yang akurat tentang luasan lahan dan tingkat kelayakan lokasi untuk pengembang budidaya rumput laut. Padahal berhasil tidaknya kegiatan budidaya rumput laut sangat erat kaitannya dengan ketetapan dalam pemilihan dan penentuan lokasi yang tepat. Faktor oseanografi memegang peranan penting dalam prefensi lingkungan selain, topografi serta letak pulau tempat penanaman rumput laut (Barsanti dan Paolo Gualtiari, 2006). Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kesesuaian kawasan dalam Sistem Informasi Geografis (SIG). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kesesuaian kawasan untuk budidaya rumput laut melalui aplikasi SIG.
Kawasan Pesisir Kabupaten Sumbawa Penelitian ini dilaksanakan di kawasan pesisir Kecamatan Moyo Hilir dan Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 1) dan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2015.
3
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Bahan dan alat penelitian yang digunakan yaitu; peta kedalaman/batimetri laut Dishidros TNI-AL lembar peta Teluk Saleh bagian Barat sekala 1 : 50.000 nomor peta 266 tahun 1990 untuk orientasi di lapangan, multi parameter merek TOA-DKK untuk mengukur suhu, salinitas, DO, pH, flouting droudge untuk mengukur kecepatan arus, sedimen grab untuk mengambil sedimen dasar perairan, secchi disk untuk mengukur kecerahan, wave pole untuk mengukur tinggi gelombang, botol poliethilen untuk tempat sampel air, GPS untuk mendapatkan posisi geografis, kamera digital untuk pemotretan kondisi eksisting dan alat tulis. Data yang digunakan meliputi data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dengan cara melakukan survei dan observasi langsung di lapangan (Tabel 1).
4
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Tabel 1. Pengumpulan Data Primer No
Jenis Data
Teknik Pengumpulan
Alat yang digunakan
Lokasi Pengumpulan Data
1.
Data Suhu Perairan ( C)
Pengukuran
Multi untuk suhu
2.
Data Salinitas Perairan (‰)
Pengukuran
Multi parameter /Refraktometer
3.
Data pH Perairan
Pengukuran
Multi parameter /pH Meter
Perairan pesisir Kecamatan Moyo Hilir dan Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa
4.
Data Kecepatan (cm/detik)
Pengukuran
Current Meter untuk mengukur kecepatan arus
5.
Data Dasar Perairan (m)
Identifikasi
Sedimen Grab
6.
Data Kecerahan Perairan (%)
Pengukuran
Secchi disk untuk mengukur kecerahan perairan
7.
Data Dissolved Oxygen/DO (mg/L)
Pengukuran
Multi parameter /DO meter
8.
Data Nitrat (mg/L)
Pengambilan sampel dan Pengukuran
Poliethilen Analisis Laboratorium
dan
9.
Data Fosfat (mg/L)
Pengambilan sampel dan Pengukuran
Poliethilen Analisis Laboratorium
dan
10
Data Tinggi Gelombang (m)
Pengukuran
Wave Pole
o
Arus
parameter mengukur
Data sekunder diperoleh dari Bappeda Kabupaten Sumbawa, Dinas Tata Ruang Kabuapten Sumbawa, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabuapten Sumbawa, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sumbawa, dan Badan Informasi Spasial/Bakosurtanal (Tabel 2). Dari data sekunder banyak diperoleh gambaran kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan fisik yang terdapat di lokasi penelitian secara menyeluruh.
5
Tabel 2. Pengumpulan Data Sekunder No
1.
2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. 10 11
Jenis Data
Teknik Pengumpulan
Skala/ Resolusi
Data Biofisik dan Oseanografi Peta Kedalaman/Batimetri Inventarisasi 1:50.000 Laut, Teluk Saleh bagian Barat profil dasar nomor peta 266 (1990) daerah penelitian 1:50.000 Peta Rupa Bumi Indonesia 1:250.000 (1992) Peta Geologi Lembar Sumbawa, Nusatenggara (2012) Dokumen Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumbawa 2011 2031 Rencana Induk Kawasan Minapolitan Perikanan Kabupaten Sumbawa Laporan Akhir dari kegiatan Penyusunan Dokumen Awal Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sumbawa, Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabuapten Sumbawa tahun 2012 Laporan Akhir Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Teluk Saleh Laporan Akhir Profil Perikanan Budidaya Kabupaten Sumbawa Kabuapten Sumbawa Dalam Angka Tahun 2013 Hasil survei kawasan budidaya Teluk Saleh tahun 2009
Sumber Data Dishidros TNI-AL BIG / Bakosurtanal Puslitbang Geologi (P3G)– ESDM Dinas Tata Ruang Kabuapten Sumbawa BAPPEDA Sumbawa Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabuapten Sumbawa
Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Sumbawa BIG / Bakosurtanal
6
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Analisis Kesesuaian Kawasan (Spasial) Analisis kesesuaian kawasan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG), yaitu sistem informasi spasial berbasis komputer dengan melibatkan perangkat lunak Arc GIS 9.3. Pada analisis ini prinsipnya berupa basis data dari data primer maupun data sekunder dengan data aktual tahun 2015 dapat dirumuskan berdasarkan parameter yaitu : a. Parameter Fisika b. Parameter Kimia - suhu, - salinitas, - kecepatan arus, - pH, - dasar perairan, - DO, - kecerahan dan - nitrat dan - tinggi gelombang - fosfat Masing-masing komponen keruangan dijadikan peta tematik dengan skala 1:50.000, kemudian dioverlay-kan untuk mendapatkan peta komposit (peta hasil analisis dengan cara overlay antara seluruh tema peta dalam penentuan kawasan budidaya rumput laut yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram Analisis Integrasi SIG Kesesuaian Kawasan Untuk Budidaya Rumput Laut 7
Analisis Tabular Menurut Suwargana dkk (2006) kelas kesesuaian kawasan untuk budidaya rumput laut terbagi kedalam 3 (tiga) kelas, yaitu: 1. Kelas S1 (Sesuai) : Daerah ini tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti untuk suatu penggunaan secara lestari (total skor: >35) 2. Kelas S2 (Sesuai Bersyarat) : Daerah ini mempunyai faktor pembatas yang dapat mengurangi tingkat produksi atau keuntungan yang diperoleh (total skor: 25 - 35) 3. Kelas N (Tidak Sesuai) : Daerah ini sarankan untuk tidak digunakan, karena faktor pembatasnya bersifat permanen (total skor: <25) Penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut dilakukan dengan metode pembobotan. Parameter-parameter utama kesesuaian yang diperlukan untuk budidaya rumput laut disajikan pada Tabel 3.
8
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Tabel 3. Matriks Kesesuaian Kawasan Untuk Budidaya Rumput Laut No
Parameter
1.
Suhu ( C)
2.
Salinitas (‰)
3.
pH
4.
Kecepatan Arus (cm/detik)
5.
Dasar Perairan (m)
6.
Kecerahan (m)
7.
Dissolved Oxygen/DO (mg/L)
8.
Nitrat (mg/L)
9.
Fosfat (mg/L)
10.
Tinggi Gelombang (m)
o
Kisaran 27 – 30 25-<27 atau >30-32 < 25 atau >32 29 – 33 25 -<29 atau >33-37 < 25 atau >37 7 – 8,5 6,5-<7 atau >8,5-9,5 < 6,5 atau >9,5 20 – 40 10-20 atau 40-50 < 10 atau >50 Pasir Pasir Berlumpur Lumpur >5 3-4 <3 >4 2-4 <2 0,9 – 3,5 0,01-0,08 atau 3,6-4,4 < 0,1 atau > 4,5 0,051 – 1 0,021 - 0,05 < 0,021 atau > 1 0,2 - 0,3 0,1-0,19 atau 0,3-0,4 <0,1 atau > 0,4
Nilai (A) 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
Bobot (B) 1
1
1
2
1
2
2
2
1
2
Skor (AxB) 3 2 1 3 2 1 3 2 1 6 4 2 3 2 1 6 4 2 6 4 2 6 4 2 3 2 1 6 4 2
Keterangan: Angka Penilaian yaitu; 3 : Baik, 2 : Sedang dan 1 : Kurang Bobot berdasarkan pertimbangan pengaruh variabel dominan (Sumber: Hasil modifikasi dari Aslan. 1988; Utojo et al., 2007; Ariyati, 2007; Kangkan, 2006; Cornelia et al. (2005))
9
Peta Tematik dalam penentuan kawasan budidaya rumput laut Peta tematik hasil analisis dalam penentuan kesesuaian kawasan budidaya rumput laut dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) yang masing-masing komponen keruangan dijadikan peta tematik dengan skala 1:50.000. Peta tematik berdasarkan parameter fisika dan kimia seperti terlihat pada Gambar 3.
10
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Gambar 3. Peta Tematik dalam penentuan kawasan Budidaya Rumput Laut
Matrik hasil analisis tabular penentuan kawasan budidaya rumput laut Hasil kesesuaian kawasan untuk budidaya rumput laut dilakukan dengan metode pembobotan seperti terlihat pada lampiran tabel 1. Kesesuaian kawasan yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan kesesuaian aktual (actual suitability), yang tingkat kesesuaiannya hanya didasarkan pada data yang tersedia dan belum mempertimbangkan asumsi atau usaha perbaikan serta tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai kendala fisik atau faktor-faktor penghambat yang ada sehingga dapat mempengaruhi kelas kesesuaian budidaya rumput laut.
Analisis Spasial Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Berdasarkan hasil analisis kesesuaian kawasan secara spasial, diperoleh bahwa untuk kawasan budidaya rumput laut pada daerah penelitian, dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelas, yaitu: (1) kelas kesesuaian lahan dengan kategori S1 (Sesuai) dengan areal seluas 269,27 km2 (48,31%), dan (2) kelas kesesuaian
11
lahan dengan kategori S2 (Sesuai Bersyarat) dengan areal seluas 288,06 km2 (51,69%), seperti ditunjukan pada Tabel 4. Peta sebaran secara spasial kelas kesesuaian untuk kawasan budidaya rumput laut dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 4. Luas Kawasan Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut No Kelas Budidaya Rumput Laut Luas (km2) Persentase (%) 1 Sesuai (S1) 269,27 48,31 2 Sesuai Bersyarat (S2) 288,06 51,69 Luas Keseluruhan 557,33 100,00
Gambar 4. Peta Kesesuaian Kawasan Untuk Budidaya Rumput Laut Kawasan budidaya rumput laut dengan kriteria sesuai (S1), yaitu hampir sebagian besar parameter fisika dan kimia yang dikaji pada kawasan tersebut sesuai untuk budidaya rumput laut. Berdasarkan Tabel 4, serta penyajian secara spasial pada Gambar 4 diketahui bahwa kawasan yang sesuai merupakan daerah yang berada pada sepanjang perairan pesisir Desa Labuan Kuris, Kecamatan Lape. Pada kawasan tersebut memiliki nilai parameter fosfat (PO43-) tinggi, fosfat merupakan salah satu unsur hara yang berperan dalam proses 12
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
pertumbuhan dan metabolisme fitoplankton dan organisme akuatik lainya. Hasil pengukuran posfat pada lokasi penelitian menunjukan nilai yang melebihi baku mutu ditiap stasiunnya, yaitu berkisar 0,03-0,3 mg/L dengan rata-rata konsentrasi dari seluruh hasil pengukuran sebesar 0,074 mg/L. Nilai baku mutu fosfat yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah 0,051 – 1 (Cornelia et al., 2005). Tingginya nilai fosfat kemungkinan diakibatkan oleh tingginya beban pencemaran dari aktivitas disekitar lokasi penelitian. Nilai fosfat pada masing-masing stasiun secara umum terlihat menyebar secara merata (Gambar 5), hanya terdapat beberapa stasiun dengan kadar fosfat tinggi. Meskipun demikian, kadar posfat tersebut perlu dikurangi dengan cara membatasi buangan limbah ke perairan, khususnya limbah pertanian dan antropogenik.
Gambar 5. Distribusi parameter fosfat (PO43-) di lokasi penelitian, Mei 2015 Sama halnya dengan fosfat, nitrat merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi fitoplankton dan organisme akuatik lainnya. Pada perairan laut, nitrogen merupakan unsur pembatas bagi produktivitas primer di laut. Nitrogen yang dimanfaatkan oleh fitoplankton adalah dalam bentuk nitrat. Khusus di laut, unsur hara nitrat lebih banyak diperlukan dibandingkan unsur hara fosfat untuk pertumbuhan ideal fitoplankton (Winata, 2006). Berdasarkan pengukuran pada lokasi, konsentrasi nitrat pada lokasi penelitian berkisar 4,9-18 mg/L dan nilai rata-rata dari seluruh hasil pengukuran sebesar 8,4 mg/L (Gambar 6). Nilai nitrat pada seluruh stasiun tersebut telah melebihi baku mutu untuk budidaya rumput laut yaitu sebesar 0,9 – 3,5 mg/L. Nilai konsentrasi nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 60 dan 13
terendah pada stasiun 33. Namun, nilai pada masing-masing stasiun tersebut telah melebihi baku mutu. Apabila tidak ditanggulangi, dikhawatirkan akan memicu timbulnya blooming alga di perairan teluk.
Gambar 6. Distribusi parameter Nitrat (NO3-) di lokasi penelitian, Mei 2015 Hasil pengamatan lapangan jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan masyarakat di pesisir Kecamatan Moyo Hilir dan Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa adalah eucheuma cottonii. Rumput laut jenis ini memiliki kandungan karaginan kappa yang tinggi, berwarna hijau kekuningan, thallusnya berbentuk silinder dan bercabang, permukaan licin dan kenyal. Karaginan sebagai hasil olahan rumput laut dapat diolah menjadi bahan makanan dan minuman, pet-food, bahan baku industri farmasi serta kosmetik (Luhur et al., 2012).
Rekomendasi Berdasarkan hasil analisis spasial dan tabular terhadap kesesuaian kawasan untuk budidaya rumput laut berhasil ditentukan kawasan yang sesuai untuk budidaya rumput laut, menunjukkan bahwa lokasi yang sesuai adalah di perairan Kecamatan Lape dengan luas sekitar 269,27 km2 atau 48,31 % dari luas total wilayah kawasan pengembangan. Berdasarkan pengukuran kualitas air yang dilakukan di lokasi penelitian, menunjukan terdapat beberapa parameter yang masih melebihi baku mutu untuk budidaya rumput laut seperti nilai fosfat dan nitrat. Kondisi 14
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
tersebut diduga akibat dari aktivitas perekonomian oleh masyarakat sekitar yang menghasilkan limbah ke perairan. Selain itu, beberapa stasiun berlokasi dekat dengan muara sehingga mendapat masukan limbah dari daratan yang terbawa aliran sungai.
Persantunan Kami ucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, KKP atas bantuan dana untuk menyelesaikan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa atas bantuan sarana dan prasarana sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.
Daftar Pustaka Anonim. 2014. Majalah Minapolitan. Penerbit Dinas Kelautan Perikanan Sumbawa. Anonim. 2013. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sumbawa. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta. Anonim. 2004. Daya Dukung Kelautan dan Perikanan Selat Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh dan Teluk Ekas. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 122 hlm. Ariyati, R. W., L. Sya’rani, dan Endang Arini. 2007. Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Karimun Jawa dan Pulau Kemujan Sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis. UNDIP, Semarang. 45 hlm. Aslan. 1988. Rumput Laut. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Barsanti L dan Paolo Gualtiari, 2006. Algae Anatomy, Biochemistry, and Biotechnology. Taylor & Francis. New York. USA. Cornelia, M.I., Suryanto, H., Ambarwulan, W. 2005. Prosedur dan Spesifikasi Teknis Analisis Kesesuaian Budidaya Rumput Laut. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut. Bakosurtanal. Cibinong. Kangkan, A.L. 2006. Studi Penentuan Lokasi untuk Pengembangan Budidaya Laut Berdasarkan Parameter Fisika, Kimia dan Biologi di Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tesis. UNDIP, Semarang. 102 hlm. Kordi, K.M.G.H., 2010. Kiat Sukses Budi Daya Rumput Laut di Laut dan di Tambak. Penerbit ANDI. Yogyakarta. 15
Luhur, E.S., Witomo, C.M., Firdaus, M. 2012. Analisis Daya Saing Rumput Laut di Indonesia (Studi Kasus: Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara). Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 7(1) : 55 – 66. Puja, Y., Sudjiharno, Aditya, TW. 2001. Pemilihan Lokasi Budidaya. Dalam Teknologi Budidaya Rumput Laut, Kappaphycus allvarezii. Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Laut Lampung. Juknis seri No. 8, hlm 13-17. Radjawane, I.M, 2006. Sirkulasi Arus Vertikal Di Perairan Teluk Saleh Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Segara, Vol 2 (1): 10-15. Suwargana, N., Sudarsono, dan V. P. Siregar. 2006. Analisis Lahan Tambak Konvensional Melalui Uji Kualitas Lahan dan Produksi dengan Bantuan Penginderaan Jauh dan SIG. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital. 3 (1) : 1 – 13. Utojo, Malik. A. T., Hasnawi. 2007. Pemetaan Kelayakan Lahan Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut Di Teluk Sopura, Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Torani. Makassar. Winata, A.K. 2006. Fluktuasi Kadar Senyawaan Nitrogen Dan Fosfat Di Perairan Teluk Jakarta. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
16
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Penentuan Kapasitas Tempat Evakuasi Sementara Dalam Mitigasi Bencana Tsunami di Kota Pariaman Hadiwijaya L. Salim1, Dini Purbani1, Lestari C. Dewi1 dan Udrekh Hanif2 1
Peneliti pada P3SDLP, Balitbang KP Perekayasa pada BPPT
2
Abstrak Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan sebuah sistem geo-informasi yang dapat diaplikasikan di banyak bidang, diantaranya untuk penentuan kapasitas dan proyeksi tempat evakuasi tsunami. Kota Pariaman memiliki potensi kebencanaan tsunami yang cukup tinggi, karena posisinya yang langsung berhadapan dengan zona subduksi di Samudra. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kapasitas tempat evakuasi tsunami. Metode yang digunakan memadukan antara metode Sistem Informasi Geografis dengan metode proyeksi penduduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kota Pariaman telah terdapat 12 TES sehingga diperlukan usulan TES sebanyak 23 unit agar dapat meliputi semua wilayah Kota Pariaman. Kapasitas daya tampung TES usulan bervariasi mulai dari 415 hingga 2.249 jiwa. Adapun pada tahun 2060 diproyeksikan bahwa kebutuhan daya tampung TES berkisar antara 815 hingga 4.419 jiwa yang tercakup dalam kategori cukup tinggi, tinggi hingga sangat tinggi. Kata kunci : SIG, Tsunami, Tempat Evakuasi Sementara (TES), Kapasitas dan Proyeksi.
Pendahuluan Salah satu manfaat Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kemampuannya dalam mitigasi bencana (Johnson, 2000). Beberapa penelitian pernah dilakukan dalam aplikasi SIG untuk kebencanaan, diantaranya pernah dilakukan oleh Wadge, 1988; Chou, 1992; Shu-Quiang dan Unwim, 1992 yang memfokuskan penelitiannya pada pemodelan aspek fisik kebencanaan. Contoh penerapan analisis SIG lainnya misalnya dilakukan oleh Dangermond (1985), Dunn (1992) dalam Cova, T.J dan Richard L Church (1997) untuk menentukan rute evakuasi alternatif dan untuk keluar dari zona rawan. Contoh lainnya pernah dilakukan oleh de Silva et al. (1993) dalam Cova, T.J 17
dan Richard L Church (1997) yang melakukan pengelolaan data keruangan yang berasosiasi dengan decision support system dalam hal evakuasi. Kota Pariaman secara astronomis terletak antara 0° 33' – 0° 41' Lintang Selatan dan 100° 5' – 100° 12' Bujur Timur. Secara administratif Kota Pariaman merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Barat yang berbatasan dengan Samudera Hindia di bagian barat, dan dikelilingi oleh Kabupaten Padang Pariaman (Gambar 1).
Gambar 1. Peta petunjuk lokasi kajian Kota Pariaman terletak di pantai barat berhadapan langsung dengan Samudera Hindia yang sebagian merupakan bagian zona subduksi lempeng India-Australia dan Eurasia. Di sekitar Kota Pariaman juga terdapat zona patahan mendatar yang disebut Sumatera Fault Zone (SFZ), sehingga daerah ini memiliki potensi kuat memicu bencana geologi. Salah satu potensi bencana adalah gempa bumi dan tsunami. Gempa bumi terakhir di Kota Pariaman terjadi dua kali pada tahun 2009 dengan lokasi yang berbeda, yaitu dengan pusat di bawah laut dan di daratan yang terasa hampir di seluruh Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan suatu penelitian yang dapat mengurangi korban jiwa akibat bencana gempa maupun tsunami. Penelitian ini mengkaji kapasitas daya tampung Tempat Evakuasi Sementara (TES) dan diperkirakan dapat beroperasi hingga 50 (lima puluh) tahun yang akan datang. 18
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Maksud dari kajian ini adalah untuk menentukan kapasitas tempat evakuasi tsunami (TES) di Kota Pariaman sehingga dapat dijadikan informasi oleh Pemerintah Daerah setempat untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan tata ruang wilayah yang berwawasan mitigasi tsunami. Sedangkan tujuannya adalah : Menentukan kapasitas TES Membuat zonasi daerah pesisir yang terliput oleh TES Memproyeksikan kapasitas TES di masa yang akan datang
Kelengkapan data Data yang diperlukan antara lain : Peta Rawan Tsunami dari BNPB. Data tersebut digunakan untuk menentukan kawasan yang dianggap rawan tsunami berdasarkan ketetapan dari BNPB. Wilayah rawan tsunami inilah yang dianalisis untuk menentukan lokasi usulan TES. Peta Administrasi Kecamatan skala 1 : 25.000 terbitan Bakosurtanal. Peta dasar administrasi kecamatan digunakan sebagai boundary/batasan dari wilayah penelitian. Peta Jaringan Jalan skala 1:25.000 terbitan Bakosurtanal Syarat dalam menggunakan metode network analysis adalah ketersediaan aksesibilitas untuk menuju suatu target lokasi/tujuan. Data jaringan jalan ini digunakan sebagai landasan akses dalam menuju suatu target lokasi, dan dalam penelitian ini, target tujuan lokasi adalah TES. Data lokasi TES eksisting. Data lokasi TES ini diambil pada saat kegiatan survei lapangan. Data ini digunakan untuk mengetahui seberapa luas pemukiman di wilayah rawan tsunami yang mampu di jangkau oleh TES yang telah ada. Jika terdapat permukiman yang belum terjangkau oleh TES, maka ditentukanlah lokasi TES yang diusulkan, sehingga seluruh permukiman terjangkau oleh TES.
19
Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data terdiri dari : Arc View 3.2 Arc View 3.2 merupakan salahsatu perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG). Arc View memiliki kemampuan untuk memvisualisasikan, mengeksplor, melakukan queri dan analisis data spasial. Analisis yang dapat dilakukan diantaranya adalah analisis jaringan (network analysis) yang dapat menentukan sebuah area pelayanan (service area) di sekitar sebuah situs tertentu dalam hal ini lokasi TES berdasarkan jaringan jalan, waktu tempuh dan jarak. Selain itu Arc View dapat juga melakukan analisis spasial berupa buffering dan overlaying data spasial, sehingga bersama dengan network analysis dapat ditentukan wilayah jangkauan suatu TES di wilayah permukiman rawan tsunami. GPS Digunakan untuk merekam posisi koordinat dari suatu obyek. Dalam penelitian ini, GPS digunakan untuk men-plot-ing lokasi-lokasi TES yang telah ada saat kegiatan survei lapangan berlangsung.
Proses pengumpulan dan pengolahan data TES Data yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain adalah data TES yang telah ada maupun yang diusulkan, sehingga diperoleh data total TES yang meliputi seluruh permukiman di daerah rawan tsunami di Kota Pariaman. Data lain adalah data penggunaan lahan terutama wilayah permukiman, dan data kependudukan berupa jumlah penduduk dan luas wilayah administrasi pada daerah rawan tsunami. Data total TES baik yang telah tersedia maupun usulan dilakukan buffering sejauh 541 meter. Angka 541 meter tersebut mengacu pada Institute of Fire Safety and Disaster Preparedness Japan dalam Budiarjo (2006) dan FEMA (2008). Angka tersebut memperhatikan waktu dan kecepatan evakuasi terhadap bahaya tsunami. Hasil buffering tersebut kemudian di-overlay-kan dengan sebaran permukiman sehingga diperoleh wilayah permukiman yang terjangkau TES. Adapun kapasitas daya tampung TES dapat diketahui dengan cara mengkalikan luas permukiman yang terjangkau dengan TES dengan densitas penduduk di wilayah tersebut yang diperoleh dari pembagian antara jumlah penduduk dengan luas permukiman di suatu kecamatan. 20
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Untuk mengetahui proyeksi kapasitas TES pada 50 tahun yang akan datang digunakan persamaan proyeksi penduduk. Usia 50 tahun ini memperhatikan kekuatan umur bangunan maksimal (Kemen PU, 2009). Persamaan proyeksi yang digunakan adalah sebagai berikut :
Pn = Po ( 1 + r )n
Dimana : Pn = jumlah penduduk yang akan diketahui pada tahun ke-n, dalam hal ini tahun ke 50 Po = Jumlah penduduk pada saat perhitungan r o = Laju pertumbuhan penduduk
Selanjutnya hasil proyeksi tersebut kemudian dikelaskan untuk memperoleh gambaran tingkat kebutuhan daya tampung. Pengkelasan berdasarkan pada persebaran data menjadi 3 (tiga) kelas yaitu Sangat Tinggi, Tinggi dan Cukup Tinggi. Rangkaian pengerjaan dalam menentukan kapasitas TES di Kota Pariaman secara skematik digambarkan dalam diagram alir berikut :
Gambar 2. Alur kerja penentuan kapasitas TES 21
Persebaran TES Berdasarkan data dari Bappeda Kota Pariaman menunjukkan bahwa Kota Pariaman telah memiliki 12 (dua belas) unit TES (Gambar 3). Ke-12 unit TES tersebut belum meliputi seluruh permukiman di daerah rawan tsunami di Kota Pariaman, sehingga untuk melengkapinya diperlukan usulan beberapa unit TES.
Gambar 3. Persebaran Lokasi TES Eksisting di Kota Pariaman TES merupakan bangunan vertikal yang mempunyai ketinggian minimum yang aman terhadap tsunami (FEMA, 2008). Hasil kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012) menunjukkan bahwa diperlukan penambahan sebanyak 23 (dua puluh tiga) unit TES agar dapat mencakup seluruh wilayah permukiman di daerah rawan tsunami di Kota Pariaman. Penentuan lokasi telah mempertimbangkan kecepatan evakuasi dan datangnya tsunami ke suatu lokasi sekitar 541 meter. Hal tersebut mengacu pada Institute of Fire Safety and Disaster Preparedness Japan dalam Budiarjo (2006). Dengan demikian idealnya terdapat sebanyak 33 (tiga puluh tiga) unit TES di Kota Pariaman. Adapun dalam penelitian ini hanya mengkaji TES usulan, sedangkan TES yang telah ada diasumsikan telah dikaji kelayakannya sebagai daya tampung maupun kebutuhan di masa yang akan datang. Data 23 unit TES tersaji pada Tabel 1.
22
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Tabel 1. Lokasi dan Cakupan TES di Kota Pariaman No. Nama TES 1 U1 2 U2 3 U3 4 U4 5 U5 6 7 8
U6 U7 U8
9 10 11 12
U9 U 10 U 11 U 12
13
U 13
14
U 14
15 16 17
U 15 U 16 U 17
18 19 20
U 18 U 19 U 20
21
U 21
22 23
U 22 U 23
Lokasi Desa
Keterangan
Padang Birik-Birik, Balai Nara Naras Hilir, Manggung Campago Selatan Apar Pauh Barat, Kampung Pondok
Korong Nareh 1 0 34 37 Korong Nareh Hilia 0 35 26 Korong Padang Birik-Birik 0 33 46 Korong Tanjungkaba 0 35 31 Korong Kampungsago, Pauah, 0 36 45 Ampalu 2 Alai Galombang Korong Jatihilia, Jatimudiak 0 36 56 Pasir, Kampung Perak Korong Pariaman, Lohong 0 37 47 Kampung Baru, Jalan Baru, Korong Taratak, Cimparuah 0 37 45 Ujun Lohong, Karan Aur Korong Koto Marapak 0 38 01 Taluk, Karan Aur Korong Taluka, Pasa Hilalang 0 38 55 Marabau Korong Marabau 0 38 06 Palak Aneh Korong Kampuang Tangah, 0 38 43 Parak Naneh Marabau, Padang Cakur Korong Kampuang Tangah, 0 38 29 Parak Naneh Marunggi Korong Padang Tampak, 0 39 05 Munggu Panjang Taluk Korong Karan, Binasi 0 39 32 Marabau, Padang Cakur Korong Padang Cakua 0 38 26 Campago Selatan, Padang Korong Padang Birik-Birik 0 33 45 BirikMarunggi Korong Parak Kadondong 0 40 02 Marunggi Korong Koto Marapak 0 39 24 Marunggi Korong Simp Ampek, Koto 0 38 49 Marapak Pasir, Kampung Perak Korong Kampuang Baru, 0 37 50 Kampuang Pondok Pasir, Kampung Perak, Lohong Korong Lohong, Karangaur 0 38 14 Jalan Kerata Api, Ujung Batung Korong Simpang Paneh, 0 37 35 Toboh, Lapai
(Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012)
23
LS
BT 100 05 58 100 06 20 100 06 00 100 06 54 100 07 06 100 08 18 100 07 09 100 08 23 100 08 06 100 08 04 100 09 03 100 09 59 100 09 41 100 09 23 100 08 39 100 08 45 100 05 38 100 09 05 100 09 30 100 09 35 100 07 38 100 07 30 100 08 48
Secara spasial, persebaran lokasi usulan TES tersaji pada gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa lokasi TES tersebar di seluruh Kota Pariaman, terutama di daerah rawan tsunami. Pola sebaran TES merata hampir mengikuti sebaran permukiman dan jaringan jalan. Interval antar TES bervariasi dengan jarak terjauh mencapi 541 meter dari lokasi TES di sekitarnya.
Gambar 4. Persebaran Lokasi TES Usulan di Kota Pariaman
Kapasitas TES dan Proyeksinya Data dari BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa Kota Pariaman memiliki jumlah penduduk sebesar 91.989 jiwa. Hasil analisis geografis diketahui bahwa permukiman di Kota Pariaman seluas 1.414,5 Ha, sehingga kepadatan penduduknya sekitar 65 jiwa/ha. Dengan angka kepadatan tersebut, kemudian dapat diketahui daya tampung suatu TES dengan cara mengkalikan antara luasan cakupan TES (ha) dengan densitas penduduk (jiwa/ha) seperti tersaji pada Tabel 2. Adapun jumlah penduduk yang terpapar bahaya tsunami berjumlah sebanyak 28.805 jiwa atau sebesar 31,3 % dari total jumlah penduduk yang berada di Kota Pariaman.
24
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Tabel 2. Luas Cakupan TES, kapasitas dan proyeksinya di Kota Pariaman No.
Nama TES
Ha
KAPASITAS (Jiwa)
PROYEKSI (Jiwa)
1 U1 21,421 1392 2735 2 U2 23,675 1539 3024 3 U3 6,379 415 815 4 U4 7,095 461 906 5 U5 30,688 1995 3920 6 U6 15,379 1000 1965 7 U7 31,606 2054 4036 8 U8 34,605 2249 4419 9 U9 18,607 1209 2376 10 U 10 23,109 1502 2951 11 U 11 10,959 712 1399 12 U 12 30,470 1981 3892 13 U 13 15,140 984 1933 14 U 14 25,587 1663 3268 15 U 15 8,866 576 1132 16 U 16 9,895 643 1263 17 U 17 10,573 687 1350 18 U 18 8,869 576 1132 19 U 19 21,699 1410 2770 20 U 20 20,042 1303 2560 21 U 21 23,979 1559 3063 22 U 22 18,987 1234 2425 23 U 23 25,557 1661 3264 (Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012 dan pengolahan data) Tabel 2 menunjukkan bahwa TES U3 merupakan TES dengan kapasitas daya tampung terendah, sedangkan TES U8 tertinggi. TES U3 berada dan meliputi Korong Padang Birik-Birik, Desa Campago Selatan. Sedangkan TES U8 meliputi Korong Taratak dan Cimparuah, dan melayani desa Kampung Baru, Jalan Baru dan Desa Ujun. TES U3 terletak di sebelah utara daerah penelitian berada 25
sekitar 500 meter dari perbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman. Lokasinya yang berada di sekitar perbatasan dan relatif jauh dari kota diduga menyebabkan kepadatan permukiman di sekitar TES U3 rendah. TES U8 berada di Kecamatan Pariaman Tengah terletak di sekitar pusat kota. Daerah ini terutama sebagai lahan permukiman, diantaranya sebagai kawasan jasa dan perdagangan (Gambar 5).
Gambar 5. Penggunaan Lahan dan Pola Ruang di Kota Pariaman Hasil perhitungan menggunakan persamaan proyeksi diperoleh perkiraan kebutuhan daya tampung pada 50 tahun yang akan datang (Tabel 2). Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa pada 50 tahun yang akan datang, TES U8 merupakan TES dengan kebutuhan daya tampung terbanyak di Kota Pariaman yaitu sekitar 4.419 jiwa. Adapun TES U3 tetap merupakan TES dengan proyeksi daya tampung terendah yaitu sekitar 815 jiwa. Berdasarkan pada kebutuhan daya tampung di masa depan, diketahui terdapat 3 (tiga) kelas kebutuhan yaitu : Sangat tinggi (lebih dari 3.218 jiwa), Tinggi (2.017 – 3.218 jiwa), dan Cukup tinggi (kurang dari 2.017 jiwa). Secara spasial, daerah yang termasuk kelas sangat tinggi tersebar di sekitar pusat kota pada wilayah yang terpapar bahaya tsunami dimana terdapat jumlah penduduk terbanyak. Sebarannya mengikuti pola penggunaan lahan 26
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
permukiman dan jaringan jalan. Kebutuhan yang cukup tinggi tersebar menjauhi pusat kota, yaitu di sekitar perbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman dan diantara daerah-daerah pusat kecamatan. TES dengan kebutuhan sangat tinggi memiliki jarak bervariasi dari garis pantai mulai dari 100 meter hingga lebih dari 4 km ke arah pedalaman. Hal tersebut dimungkinkan karena lokasi TES tersebut berada di permukiman yang mengikuti pola jaringan jalan. Sebagian besar TES yang sangat dekat dengan garis pantai (kurang dari 300 meter) berkategori Tinggi. Sedangkan kategori cukup tinggi berjarak mulai dari 100 meter hingga 2,75 kilometer (Gambar 6).
Gambar 6. Persebaran Kebutuhan Daya Tampung TES 50 tahun yang akan datang
27
Rekomendasi Kota Pariaman sangat rawan terhadap berbagai bencana geologi terutama gempa bumi dan tsunami. Gempa bumi terakhir di Kota Pariaman terjadi dua kali pada tahun 2009 dengan lokasi yang berbeda, yaitu dengan pusat di bawah laut dan di daratan yang terasa hampir di seluruh Provinsi Sumatera Barat. Terdapat sebanyak 23 (dua puluh tiga) unit TES di Kota Pariaman yang tersebar di daerah rawan tsunami. Pola sebaran TES merata hampir mengikuti sebaran permukiman dan jaringan jalan. Interval antar TES bervariasi dengan jarak terjauh mencapi 541 meter dari lokasi TES di sekitarnya. Hasil perhitungan daya tampung menunjukkan bahwa TES U3 merupakan TES dengan kapasitas daya tampung terendah terletak di sebelah utara daerah penelitian dan berada sekitar 500 meter dari perbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman. Lokasinya yang berada di sekitar perbatasan dan relatif jauh dari kota diduga menyebabkan kepadatan permukiman di sekitar TES U3 rendah. Sedangkan TES U8 memiliki daya tampung tertinggi berada di Kecamatan Pariaman Tengah terletak di sekitar pusat kota yang sebagian besar merupakan lahan permukiman, kawasan jasa dan perdagangan. Pada 50 tahun yang akan datang, TES U8 merupakan TES dengan kebutuhan daya tampung terbanyak di Kota Pariaman yaitu sekitar 4.419 jiwa. Adapun TES U3 tetap merupakan TES dengan proyeksi daya tampung terendah yaitu sekitar 815 jiwa. Di Kota Pariaman terdapat 3 (tiga) kelas kebutuhan daya tampung yaitu : Sangat tinggi (lebih dari 3.218 jiwa), Tinggi (2.017 – 3.218 jiwa), dan Cukup tinggi (kurang dari 2.017 jiwa). Secara spasial, daerah dengan kebutuhan sangat tinggi tersebar di sekitar pusat kota dengan jarak bervariasi mulai dari 100 meter hingga lebih dari 4 km dari garis pantai. Adapun sebarannya mengikuti pola penggunaan lahan permukiman dan jaringan jalan. Sedangkan daerah dengan kebutuhan yang cukup tinggi tersebar menjauhi pusat kota, yaitu di sekitar perbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman dan diantara daerah-daerah pusat kecamatan. Sebagian besar TES yang sangat dekat dengan garis pantai (kurang dari 300 meter) berkategori Tinggi. Sedangkan kategori cukup tinggi berjarak mulai dari 100 meter hingga 2,75 kilometer.
28
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Saran Penelitian ini merupakan sebuah studi awal pendugaan daya tampung TES dan proyeksinya hingga 50 tahun yang akan datang. Diperlukan beberapa penelitian lebih lanjut yang memperhatikan aspek migrasi penduduk, penambahan jaringan jalan dan regulasi pemerintah daerah yang terkait dengan mitigasi bencana tsunami.
Persantunan Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Budi Sulistiyo selaku Kapuslitbang SDLP yang memfasilitasi penelitian ini. Terima kasih juga diucapkan kepada Kepala BPBD dan Kepala Diskanla Kota Pariaman beserta jajarannya, atas diberikannya kemudahan dalam menggunakan data yang diperlukan. Kepada saudara Ardiansyah penulis ucapkan terima kasih atas bantuan pengolahan datanya.
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik, 2010, Hasil Sensus Penduduk 2010 Kabupaten Padang Pariaman Angka Sementara. Budiarjo, A, 2006, Evacuation Shelter Building Planning for Tsunami- prone Area; a Case Study of Meulaboh City, Indonesia.- Master thesis, International Institute for Geo- information Science and Earth Observation, Enschede, 112 pp. Cova, T, J & Church, R.L.,1997, Modelling community evacuation vulnerability using GIS, Internatioal Journal Geographical Information science, 11,( 8) pp 763- 784 Dangermond, J., 1985, Network allocation modelling for emergency planning. Proceedings of the Conference on Emergency Planning: Emergency Planning, Simulation Series, Volume 15, Number 1, edited by J. M. Carroll (La Jolla: Society for Computer Simulation), pp. 101- 106. de Silva, F., Pidd, M., and Eglese, R., 1993, Spatial decision support systems for emergency planning: an operational research/geographical information systems approach to evacuation planning. In Proceedings of the 1993 Simulation Multiconference on the International Emergency Management and Engineering
29
Conference (San Diego: The Society for Computer Simulation), pp. 130-133. Dunn, C. E., 1992, Optimal routes in GIS and emergency planning applications. Area, 24, pp 259-267. FEMA, 2008, Guidelines for Design of Structures for Vertical Evacuation from Tsunamis, FEMA P646, June. Johnson, R., 2000, GIS Technology for Disasters and Emergency Management, An Esri White Paper May 2000 Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012, Analisis Kebijakan Penataan Wilayah Pesisir Provinsi Sumatera Barat Berbasis Mitigasi Bencana, Laporan Akhir, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Kementerian PU, 2009, Pedoman Perencanaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Rawan Tsunami, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2009, Maret.
30
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Ketahanan Masyarakat Pesisir Kota Pariaman Dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi Dan Tsunami Dini Purbani, Yulius, Lestari Cendikia Dewi, Devi Dwiyanti Suryono Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak Kota Pariaman tahun 2009 mengalami gempa bumi dua kali dengan kekuatan gempa (Mw) 7,9 dan 6,2 (USGS, 2009). Dampak dari gempa bumi 2009 menyebabkan terjadi korban jiwa dan kerusakan harta benda. Kota Pariaman berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia yang sangat rentan akan bencana gempa bumi dan tsunami, maka penelitian perlu dilakukan di Kota Periaman untuk mengukur ketahanan masyarakat dengan menggunakan CCR (Coastal Community Resilience) atau Ketahanan Masyarakat Pesisir. Metode CCR terdiri dari 8 parameter yaitu : Tata Pemerintahan, Sosial Ekonomi dan Mata Pencaharian, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir, Tata Guna Lahan dan Bangunan, Pengetahuan Risiko, Peringatan dan Evakuasi, Respon Darurat dan Pemulihan. Data Ketahanan Masyarakat Pesisir diperoleh dari hasil wawancara secara purposive sampling kepada 6 responden seperti kepala sekolah, kepala desa, sekretaris desa, tokoh agama, sesepuh masyarakat dan tokoh pemuda. Metode ini diterapkan di 7 lokasi penelitian yang berada di pesisir Kota Pariaman antara lain: Desa Naras Satu, Desa Ampalu, Desa Kampung Baru, Desa Karan Aur, Desa Marabu, Desa Taluak dan Desa Pasir Sunur. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai tertinggi Tata Pemerintah (3,125) berada di Desa Marabau, Sosial Ekonomi dan Mata Pancaharian (2,528), Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (2,313), Pengelolaan Pemanfaatan Lahan dan Rancangan Sktuktural (2,542), Tanggap Darurat dan Bencana (2,854) dan Pemulihan (2,889) berada di Desa Kampung Baru dan nilai Pengetahuan risiko (2,778) diperoleh di Desa Marabau dan Kampung Baru. Kata kunci: Bencana gempa bumi dan tsunami, ketahanan masyarakat pesisir, Kota Pariaman.
31
Pendahuluan Kota Pariaman yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia merupakan wilayah yang rentan bencana, terhadap gempa bumi dan tsunami. Hal ini disebabkan karena Kota Pariaman, yang secara administrasi berada di Propinsi Sumatera Barat, terletak dekat Sumatera Fault Zone (SFZ) dan juga zona penujaman Lempeng Indo-Australia di bawah Lempeng Eurasia, sehingga rentan gempa bumi. Sepanjang pesisir Kota Pariaman rentan akan bencana gempa bumi dan tsunami. Pada tahun 2009 Kota Pariaman mengalami gempa bumi dua kali dengan kekuatan gempa (Mw) 7,9 dan 6,2 (USGS, 2009). Dampak yang ditimbulkan terjadi korban jiwa 46 jiwa, luka berat 64 jiwa dan luka ringan 363 jiwa (BPK - RI 2010). Beberapa gempa yang dirasakan sampai ke Kota Pariaman antara lain gempa bumi di Aceh tahun 2004 dengan kekuatan 9,2 SR, di Nias tahun 2005 dengan kekuatan 8,7 SR, di Bengkulu tahun 2007 dengan kekuatan 7,9 SR (Natawidjaja, 2007). Sejarah gempa bumi yang terjadi di Kota Pariaman menjadi dasar pentingnya usaha mitigasi bencana yang merupakan bagian dari manajemen penanggulangan bencana. Usaha mitigasi bencana terdapat dalam UU No. 24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana pasal 27, 46, dan 48. Pada garis besarnya, isi pasal 27, 46 dan 48, antara lain mengatur kegiatan penanggulangan bencana untuk mengurangi risiko bencana dan tindakan penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang tertimpa bencana. UU No 27/ 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Bab X Mitigasi Bencana, Pasal 56 hingga 59, mengatur bahwa dalam menyusun rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah daerah berkewajiban memuat mitigasi bencana dalam bentuk fisik atau non fisik. Antisipasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Pariaman adalah dengan menerbitkan Peraturan Daerah Kota Pariaman nomor 3 tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 32, Ayat 1, yaitu mitigasi untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana dan Ayat 2, yaitu kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan melalui: a. Pelaksanaan penataan ruang, b. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan; Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. 32
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Tindakan selanjutnya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Pariaman tahun 2011 membentuk forum masjid pengurangan bencana. Forum ini sudah memberikan penyuluhan ke 40 masjid dari tahun 2011 sampai 2014. Tahun 2012 BPBD Kota Pariaman telah melatih relawan di 20 desa Kota Pariaman secara berkelanjutan dan telah menghasilkan 400 relawan. Kegiatan ini dilaksanakan dari tahun 2011 sampai 2014. Pada tahun 2013 dan 2014 dibentuk Desa Tangguh Bencana. Pada tahun 2012 BPBD membentuk forum pengurangan risiko bencana. Selanjutnya tahun 2013 BPBD Kota Pariaman mengadakan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Bencana Alam diikuti oleh siswa-siswa dari SMAN 1 Pariaman, SMAN 2 Pariaman dan SMAN 3 Pariaman (http://sumbar.antaranews.com). Tujuan dari diklat adalah untuk melatih siswa dalam pengetahuan bencana, pengoperasian peralatan bencana dan membuat tenda posko pertolongan korban bencana. Tahun 2012 BPBD Kota Pariaman mengadakan pelatihan penyelamatan dari gempa bumi dan tsunami yang diikuti oleh 5.000 siswa dari 9 sekolah yaitu: SMK 2 Pariaman, SMK 3 Pariaman, SMK 4 Pariaman, SMP 1 Pariaman, SMP 7 Pariaman, SMP 9 Pariaman, SMA 3 Pariman, SMA 4 Pariaman, Madrasah Tsanawiyah Modern Pariaman. Selain aktivitas pelatihan bencana alam, BPBD Kota Pariaman juga telah memasang sirene INATEWS di kantor BAPPEDA Kota Pariaman, Masjid Pasir Sunur, Masjid Desa Naras Satu dan di lapangan Desa Taluak yang diusulkan sebagai shelter. Pemasangan sirene INATEWS dilaksanakan pada akhir tahun 2008. Program INATEWS merupakan program hasil kerjasama antara German dan Indonesia yang dilaksanakan sejak tahun 2008. (http://www.gitews.de/ fileadmin/documents/content/wp6000/GTZ-IS_GITEWS_Newsletter_0309_Indonesia.pdf. 2008). Berbagai aktivitas dalam menghadapi bencana telah dilakukan oleh BPBD Kota Pariaman namun sampai saat ini belum diketahui parameter apa yang dominan dalam ketahanan masyarakat pesisir (coastal community resilience). Parameter yang digunakan terdiri atas tata pemerintahan, sosial ekonomi dan mata pencaharian, pengelolaan Sumberdaya pesisir, tata guna lahan dan bangunan, pengetahuan risiko, peringatan dan evakuasi, respon darurat dan pemulihan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketahanan masyarakat pesisir yang berperan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.
33
Tata pemerintahan adalah suatu proses yaitu lembaga pemerintah, organisasi, masyarakat atau kelompok-kelompok mempunyai tujuan bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan, bersama-sama berkoordinasi membuat keputusan yang baik sehingga dapat memenuhi keinginan masyarakat secara bijaksana sesuai norma-norma budaya dan hukum. Sosial ekonomi dan mata pencaharian merupakan kombinasi antara hubungan aktifitas ekonomi, kehidupan sosial dan kemampuan masyarakat untuk dapat melaksanakan kehidupan. Kekuatan ekonomi dan keragaman mata pencaharian dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan bencana, mempercepat proses pemulihan dan mengadaptasi perubahan dapat meminimalkan kerentanan di masa depan. Pengelolaan Sumberdaya pesisir adalah suatu rencana pengelolaan, seperti halnya suatu proses untuk mengembangkan dan menerapkan rencana pengelolaan. Pengelolaan Sumberdaya pesisir melindungi sumber tenaga untuk ketahanan masyarakat dalam kaitan dengan Sumberdaya alam, Sumberdaya ekonomi, kualitas lingkungan yang dapat melindungi dari tekanan alam. Pengelolaan tata guna lahan dan desain struktural dapat digunakan untuk mengurangi dampak potensial tsunami dan bencana pesisir. Sistem pengelolaan tata guna lahan yang paling efektif memiliki rencana tata guna lahan yang didukung oleh kebijakan, mencegah tata guna lahan tertentu terjadi di spesifik area dan mendorong pengembangan di lokasi yang lebih diinginkan. Perencanaan dan desain bangunan harus sesuai dengan kebutuhan konstruksi bangunan dan infrastruktur. Banyak masyarakat mengadopsi kode bangunan seperti Uniform Building Code (UBC) atau International Building Code (IBC) yang secara khusus didesain untuk mengatasi gempa bumi dan banjir. Namun, building code tersebut tidak dapat menahan tsunami sehingga ini merupakan tanggung jawab dari masyarakat yang berisiko tsunami. Oleh karena itu masyarakat harus bersikap waspada jika terjadi tanda-tanda tsunami. Pengetahuan risiko merupakan pemahaman mengenai risiko bencana di wilayah pesisir. Hal ini disebabkan wilayah pesisir rentan akan bencana seperti banjir pasang laut, abrasi, tsunami dan pencemaran. Pengetahuan risiko dapat juga berasal dari kearifan lokal seperti yang terjadi di Pulau Simeuleu, masyarakat di pulau tersebut sudah memahami jika terjadi tanda air laut surut secara tiba-tiba menandakan akan terjadi tsunami, atau mereka 34
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
mengenal smong yang berarti tsunami maka segera lari ke bukit. Mereka telah mengenal kata smong sejak kejadian gempa bumi dahsyat tahun 1907. Peringatan dan evakuasi adalah komponen penting dalam pengelolaan bencana. Sistem peringatan yang dipadukan dengan rencana evakuasi dapat menginformasikan dengan baik untuk tanggap dalam menyelamatkan hidup. Tiga komponen penting dalam sistem peringatan antara lain: sistem rancangan dan rencana yang meliputi elemen-elemen kerangka kerja yang menggambarkan peran masing-masing tingkat pemerintahan dan media, teknologi informasi yang sesuai seperti rencana diseminasi peringatan dan prosedur pelaksanaan standar, prosedur untuk menguji dan mengevaluasi semua aspek menyangkut diseminasi peringatan dan sistem evakuasi pada suatu basis rutin yang diperlukan oleh karakteristik dan teknologi yang digunakan. Tanggap darurat merupakan manajemen yang diperlukan dalam mekanisme tanggap darurat yang efektif kepada masyarakat untuk memulihkan kembali dengan cepat setelah bencana. Dalam kejadian bencana, prosedur tanggap darurat yang efektif dapat mengurangi hilangnya korban jiwa dan investasi dalam pelaksanaan pemulihan. Pemulihan bencana adalah proses kegiatan untuk mengembalikan dan meningkatkan pelayanan dasar, lingkungan, tempat tinggal dan standar kehidupan dari orang-orang yang terpengaruhi oleh bencana dan mengurangi dampak dari bencana di masa depan dengan restorasi dan aktivitas rekonstruksi.
Analisis Coastal Community Resilience Penelitian dilakukan di Kota Pariaman pada 31 Maret sampai dengan 16 Juli 2014. Lokasi penelitian berada di Desa Naras Satu, Desa Ampalu, Desa Kampung Baru, Desa Karan Aur, Desa Taluak, Desa Marabau, dan Desa Pasir Sunur (Gambar 1). Wilayah administrasi Kota Pariaman sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan V Koto Kampung Dalam (Kabupaten Padang Pariaman), sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Nan Sabaris (Kabupaten Padang Pariaman), sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan VII Koto Sungai Sariak (Kabupaten Padang Pariaman) dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Mentawai.
35
Wilayah administrasi Kota Pariaman sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan V Koto Kampung Dalam (Kabupaten Padang Pariaman), sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Nan Sabaris (Kabupaten Padang Pariaman), sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan VII Koto Sungai Sariak (Kabupaten Padang Pariaman) dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Mentawai.
Gambar 1. Lokasi Penelitian. Bahan dan alat penelitian yang digunakan adalah Peta Topografi Kota Pariaman lembar 0715-33 Pariaman skala 1: 50.000. Alat yang digunakan selama survei antara lain GPS Hand Held Oregon 520 untuk mendapatkan posisi geografis, kamera digital untuk pemotretan saat wawancara dengan masyarakat dan alat tulis. Data yang digunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa data jumlah penduduk di setiap wilayah, mata pencaharian masyarakat dan tingkat pendidikan masyarakat yang diperoleh dari Dinas Kependudukan Kota Pariaman. Data primer adalah hasil wawancara dengan penduduk setempat. Metode yang digunakan adalah purposive sampling, yang ditujukan kepada 6 responden seperti kepala sekolah, kepala desa, sekretaris desa, tokoh agama, sesepuh masyarakat dan tokoh pemuda.
36
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Wawancara kepada masyarakat dilakukan menggunakan metode Modul Coastal Community Resilience (CCR) yang diperoleh dari USAID. Pengukuran ketahanan masyarakat pesisir berbentuk pertanyaan yang disampaikan kepada masyarakat dan bersifat purposive sampling, responden terdiri dari Kepala Sekolah, guru, murid sekolah, penjaga sekolah, Kepala Desa, Sekretaris Desa, Sesepuh Desa dan Tokoh Pemuda. Parameter yang diukur seperti yang diuraikan di bagian pendahuluan. Sistem CCR menggambarkan langkah kunci untuk meningkatkan ketahanan. Langkah tersebut meliputi: Standar pengukuran ketahanan untuk mengakses kekuatan, kelemahan dan ketidaktahuan, Penilaian ketahanan untuk menentukan garis dasar dan untuk memonitor perubahan waktu, Perencanaan ketahanan untuk menentukan garis dasar dan untuk memonitor perubahan waktu, Perencanaan ketahanan untuk mengembangkan strategi dan aksi untuk mengatasi perselisihan dan prioritas, Pelaksanaan strategi dan tindakan untuk meningkatkan ketahanan dan Monitoring kemajuan untuk mengukur perubahan dalam ketahanan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara diolah melalui beberapa proses. Responden memilih jawaban yang sudah disediakan kemudian setiap jawaban pertanyaan memiliki nilai kisaran 1 sampai dengan 4. Pertanyaan dibagi menjadi 8 parameter yang terdiri dari 1. Tata Pemerintahan, 2. Sosial Ekonomi dan Mata Pencaharian, 3. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir, 4. Pengelolaan Tata Guna Lahan dan Desain Struktural, 5. Pengetahuan Risiko, 6. Peringatan dan Evakuasi, 7. Respon Darurat dan 8. Pemulihan Bencana. Hasil dari penilaian dari 8 parameter kemudian dibuat nilai standar pengukuran ketahanan seperti tertera pada Tabel 1.
Nilai 3<x<4 2<x<3 1<x<2 0<x<1 0 N/A
37
Tabel 1. Nilai standar pengukuran ketahanan. Keterangan Sangat baik (76-100 % dipenuhi, berkelanjutan) Baik (51-75 % dipenuhi) Sedang (26-50 % dipenuhi, sedang dalam proses) Kurang (1-25 % dipenuhi, kendala utama) Tidak ada (0 % dipenuhi, tidak mengatasi) Tidak dapat digunakan untuk masyarakat ini
Profil Desa Naras Satu Desa Naras Satu berjarak 497 m dari garis pantai dengan jumlah penduduk 2.435 jiwa (http://pariamankota.bps.go.id. 2014). Responden dari Desa Naras Satu adalah kepala desa, tokoh masyarakat dengan profesi wiraswasta, ketua kelompok siaga bencana desa tangguh, PNS dan ketua pemuda honorer PU. Hasil penilaian tingkat ketahanan masyarakat di Desa Naras Satu dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 2. Tabel 2. Tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Naras Satu. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Parameter Tanggap Darurat Bencana Sistem Peringatan dan Evakuasi Tata Pemerintahan Pemulihan Pengetahuan Risiko Pengelolaan Pemanfaatan Lahan dan Rancangan Struktural Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Sosial Ekonomi dan Mata Pencaharian
Nilai 2,771 2,600 2,444 2,444 2,333 2,083
Standar Penilaian Baik Baik Baik Baik Baik Baik
1,771 1,625
Sedang Sedang
2,771
Gambar 2. Grafik tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Naras Satu.
38
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Hasil perhitungan terhadap tingkat ketahanan masyarakat di Desa Naras Satu, parameter yang dominan adalah parameter tanggap darurat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Naras Satu bersifat adaptif terhadap bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Desa Narah Satu ditetapkan sebagai Desa Tangguh Bencana sejak tahun 2011 (http://sumbar.antaranews.com/berita/95962/18-desa-di-pariamanberpredikat-siaga-bencana.html. 2014). Desa Tangguh Bencana telah dilatih untuk bisa memetakan risiko bencana, termasuk langkah penanggulangannya. Perencanaan penanganan bencana dapat dikategorikan baik dengan tersedianya lahan untuk pembangunan Tempat Evakuasi Sementara (TES) seluas 3.000 m2. Kesiapan instansi pemerintah baik dengan adanya kerja sama antara BPBD Kota Pariaman dengan para relawan seperti Kelompok Siaga Bencana Desa Tangguh, Forum Masjid Peduli Bencana. Kedua forum tersebut bertujuan mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana. Jika terjadi bencana stok makanan obat-obatan dan keperluan lain yang tersedia sangat cukup sehingga warga dapat dibantu, keberadaan stok selalu dipantau oleh BPBD Kota Pariaman. Distribusi stok ke korban bencana berjalan dengan baik. Pelaksanaan pelatihan dan simulasi tanggap darurat bencana dilakukan oleh BPBD Kota Pariaman seperti tsunami drill meliputi evakuasi menuju TES dengan latihan lari dan pemasangan tenda. Kerja sama antar organisasi dalam operasi tanggap darurat bencana sangat baik seperti dengan Dinas Sosial, Dinas Perumahan Rakyat, Dinas Pekerjaan Umum dan instansi lain. Penyebaran informasi bencana baik melalui sirene Tsunami Early Warning System (TEWS), menggunakan tradisi lokal dengan meniupkan trompet jika terjadi bencana disamping itu BPBD Kabupaten Padang Panjang menginformasikan melalui SMS kepada warga Naras Satu, sehingga warga dapat segera evakuasi menuju ke TES terdekat.
Profil Desa Ampalu Desa Ampalu berjarak 515 m dari garis pantai, dengan jumlah penduduk 1.921 jiwa (http://pariamankota.bps.go.id 2014). Responden di Desa Ampalu adalah Kepala Sekolah SDN 15 Ampalu, kepala dusun, guru sekolah SDN 15, relawan BPBD, tokoh masyarakat, dan kepala desa. Hasil penilaian tingkat ketahanan masyarakat diperoleh parameter yang dominan hingga yang kurang dominan seperti dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 3. 39
Tabel 3. Tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Ampalu. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Parameter Pemulihan Pengetahuan Risiko Sistem Peringatan dan Evakuasi Tanggap Darurat Bencana Tata Pemerintahan Pengelolaan Pemanfaatan Lahan dan Rancangan Struktural Sosial Ekonomi dan Mata Pencaharian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Nilai 2,611 2,611 2,467 2,417 2,319 2,125
Standar Penilaian Baik Baik Baik Baik Baik Baik
1,938 1,771
Sedang Sedang
2,611 2,61 1
Gambar 3. Grafik tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Ampalu. Hasil analisis terhadap tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Ampalu menunjukkan bahwa parameter yang dominan adalah pemulihan dan pengetahuan risiko. Jika terjadi bencana, masyarakat Desa Ampalu memiliki respon yang cepat dalam proses mengembalikan dan meningkatkan pelayanan dasar, lingkungan, tempat tinggal dan standar kehidupan dari orang-orang yang terpengaruhi oleh bencana dan memikirkan semua peluang untuk mengurangi dampak bencana di masa depan. Sejak Tahun 2011, Desa 40
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Ampalu menjadi Desa Siaga Bencana yang berarti lebih terfokus pada proses tanggap darurat. Program pemulihan disiapkan dengan menyediakan sarana dan prasarana seperti akses jalan yang mudah menuju TES SDN 15 Ampalu. Jalur menuju TES tersebut sudah dilengkapi rambu-rambu evakuasi. Kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana dilakukan dengan simulasi mitigasi bencana pada 21 Agustus 2014, yang diselenggarakan oleh BPBD Kota Pariaman. Informasi bencana diperoleh secara lisan yang disampaikan oleh BPBD Kota Pariaman kepada masyarakat seperti di sekolah SD, SMP, SMA, dan SMK dan pada saat sholat jum’at. Penyampaian informasi bencana bukan hanya secara lisan namun juga disampaikan melalui sirene yang dipasang di kantor desa. Jika terjadi bencana, masyarakat Desa Ampalu bersifat tanggap dalam pemulihan dengan tersedianya para relawan BDBD Kota Pariaman yang membantu para korban bencana.
Profil Desa Kampung Baru Desa Kampung Baru berjarak 822 m dari garis pantai dengan jumlah penduduk 3.576 jiwa (http://pariamankota.bps.go.id 2014). Responden di Desa Kampung Baru adalah Kepala Sekolah SMPN 2 Kampung Baru, tokoh masyarakat, guru sekolah SMPN 2, penjaga sekolah, kepala desa dan sekerataris desa. Hasil pengolahan data tingkat ketahanan masyarakat diperoleh parameter yang dominan hingga yang kurang dominan, dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 4. Tabel 4. Tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Kampung Baru. No Parameter Nilai Standar Penilaian 1 Pemulihan 2,889 Baik 2 Tanggap Darurat Bencana 2.854 Baik 3 Sistem Peringatan dan Evakuasi 2,833 Baik 4 Pengetahuan Risiko 2.778 Baik 5 Tata pemerintahan 2.667 Baik 6 Pengelolaan Pemanfaatan Lahan 2.542 Baik dan Rancangan Struktural 7 Sosial Ekonomi dan Mata 2.528 Baik Pencaharian 8 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir 2,313 Baik 41
2,889
Gambar 4. Grafik tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Kampung Baru. Hasil analisis terhadap tingkat ketahanan masyarakat di Desa Kampung Baru menunjukkan bahwa parameter pemulihan mendominasi dari semua parameter. Jika terjadi bencana, masyarakat Desa Kampung Baru memiliki respon yang cepat dalam proses mengembalikan dan meningkatkan pelayanan dasar, lingkungan, tempat tinggal dan standar kehidupan dari orang-orang yang terpengaruhi oleh bencana dan memikirkan semua peluang untuk mengurangi dampak bencana di masa depan. Program pemulihan dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana seperti akses jalan yang mudah menuju TES SMPN 2 dan SMAN 1. Tersedia rencana secara kelompok maupun perorangan dalam pemulihan bencana seperti simulasi pengurangan risiko bencana di sekolah-sekolah, melakukan sosialisasi wilayah Desa Kampung Baru yang sangat rentan bencana. Di samping itu juga terdapat bantuan hibah dari IBU Foundation yang bertugas bergerak cepat dalam pemulihan korban bencana seperti pemasangan tenda, memberikan bantuan makanan dan mengobati korban bencana (www.betterplace.org/de/projects/ 42
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
2069-medikamente-fur-erdbebenopfer-aufsumatra/news/9584 2009). Bentuk lain pemulihan adalah perbaikan rumah akibat bencana yang disponsori oleh BPBD Kota Pariman sebesar 5 juta untuk kategori ringan, 10 juta untuk kategori rusak menengah, 15 juta untuk kategori rusak berat dan 20 juta untuk membangun kamar. Kesiapan masyarakat dalam merespon bencana di Desa Kampung Baru sudah siap seperti segera menuju TES di SMPN 2, SMAN 1, atau menuju bukit. Kesiapan penduduk Desa Kampung Baru terbentuk karena pernah melakukan tsunami drill atau simulasi sosialisasi pengurangan risiko bencana tahun 2010. Sistem peringatan dan evakuasi diperoleh dari radio dan sirene yang disampaikan oleh BPBD Kota Pariaman. Masyarakat Kota Pariaman yang tergolong miskin mendapat bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM).
Profil Desa Karan Aur Desa Karan Aur berjarak 524 m dari garis pantai dengan jumlah penduduk 2.303 jiwa (http://pariamankota.bps.go.id 2014). Responden Desa Karan Aur adalah staf Dinas PU, pegawai kantor desa, Kepala Desa Karan Aur, koordinator PNPM. Hasil pengolahan tingkat ketahanan masyarakat diperoleh parameter yang dominan hingga yang kurang dominan, dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 5. Tabel 5. Tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Karan Aur No Parameter Nilai Standar Penilaian 1 Tanggap Darurat Bencana 2.708 Baik 2 Pemulihan 2.444 Baik 3 Pengetahuan Risiko 2.417 Baik 4 Sistem Peringatan dan Evakuasi 2.367 Baik 5 Tata Pemerintahan 2.361 Baik 6 Pengelolaan Pemanfaatan Lahan 2.250 Baik Dan Rancangan Struktural 7 Sosial Ekonomi dan Mata 2.083 Baik Pencaharian 8 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir 1.857 Kurang
43
2,708
Gambar 5. Grafik tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Karan Aur. Hasil analisis terhadap tingkat ketahanan masyarakat di Desa Karan Aur, menunjukkan parameter tanggap darurat bencana mendominasi dari semua parameter. Tanggap darurat bencana dapat memulihkan masyarakat dari rasa kekhawatiran akibat kejadian bencana. Rencana dan mekanisme tanggap darurat bencana berbasis pada komunitas masyarakat agar membangkitkan masyarakat terhindar dari bencana. Pada saat kejadian bencana, program tanggap darurat bencana yang proaktif terhadap masyarakat dalam bentuk pertolongan seperti bantuan makanan dan pengobatan dapat mengurangi korban materi dan jiwa. Program tanggap darurat bencana yang telah dilakukan seperti pelatihan selama 5 hari untuk para warga yang berminat untuk menjadi relawan. Pemerintah setempat telah mendirikan TES di Kantor walikota lama yang dapat menampung warga 2.000 jiwa sebagai bentuk perencanaan penanganan bencana dan kesiapan instansi pemerintah dalam menghadapi bencana. Bentuk sistem peringatan dini yang disepakati masyarakat adalah sirene.
44
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Ketersediaan stok kebutuhan dasar makanan bagi korban jika terjadi bencana masih dirasa kurang. Pendistribusian makanan menurut para warga berjalan baik. Pada saat terjadi bencana seperti gempa bumi 2009 terjadi kerja sama antar organisasi seperti BPBD Kota Pariman dengan LSM setempat. Penyebaran informasi bencana berjalan baik melalui RRI dan sirene Ina TEWS. Jika terjadi bencana, masyarakat memiliki Sumberdaya alternatif untuk membangun kembali desanya dengan mengandalkan Sumberdaya manusia dan Sumberdaya modal. Pemerintah mempunyai program pemberdayaan masyarakat berupa Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Kredit Mikro Pertanian. Gerakan P2KP merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan peningkatan diversifikasi pangan dan merupakan salah satu kunci sukses pembangunan pertanian di Indonesia. (Sumber: http://bkp.pertanian.go.id/proksi-9-p2kp.html 2013). Sistem pengelolaan Sumberdaya pesisir sebagai upaya dalam mitigasi bencana non struktural dilakukan melalui cara konservasi penghijauan pantai dengan menanam cemara laut, batang pinago, ketaping, waru dan kalamuntuang.
Profil Desa Taluak Desa Taluak berjarak 869 m dari garis pantai dengan jumlah penduduk 3.302 jiwa (http://pariamankota.bps.go.id 2014). Responden Desa Taluak adalah Kepala Desa yang juga sebagai reporter dan penyiar Radio Dara FM 88,8 Kota Pariaman, perangkat desa, Ibu Rumah Tangga yang aktif di PKK, pemudi, relawan, Kader Posyandu, Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dan tokoh masyarakat. Dari hasil pengolahan diperoleh parameter yang dominan hingga yang kurang dominan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 6. Tabel 6. Tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Taluak No 1 2 3 4 5 6
45
Parameter Pemulihan Pengetahuan Risiko Tanggap Darurat Bencana Tata Pemerintahan Sistem Peringatan Dan Evakuasi Pengelolaan Pemanfaatan Lahan Dan Rancangan Struktural
Nilai 2,722 2,444 2,354 2,194 2,117 2,083
Standar Penilaian Baik Baik Baik Baik Baik Baik
7 8
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Sosial Ekonomi Dan Mata Pencaharian
1,938 1,917
Sedang Sedang
2,722
Gambar 6. Grafik tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Taluak. Hasil analisis terhadap tingkat ketahanan masyarakat di Desa Taluak menunjukkan bahwa parameter pemulihan mempunyai nilai yang tertinggi dari parameter yang lain. Sejak tahun 2011, Desa Taluak menjadi Desa Siaga Bencana yang berarti lebih terfokus pada proses tanggap darurat. Parameter Tata Pemerintahan berupa program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan, kesejahteraan rakyat, rehabilitasi. Aplikasi parameter tata pemerintah seperti sarana pendidikan tersedianya SDN 03, SDN 12, SMK 4, SMKS Perbankan. Pembangunan sarana masyarakat terdapat program air minum dan sanitasi masyarakat yang dibangun tahun 2010. Penyedia sarana kesehatan masyarakat menggunakan Posyandu Lingkungan Desa (Polindes) dan Puskesmas. Parameter sarana komunikasi menggunakan orari dan handy talk. Parameter sosial ekonomi dan mata pencaharian terdapat kredit mikro nagari sejumlah 100 juta untuk jangka 10 bulan. Lembaga swadaya 46
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
masyarakat telah melaksanakan program pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat seperti dibawah naungan Dinas Koperasi Industri dan Perdangangan (Koperindag) Kota Pariaman. Langkah yang dilakukan antara lain memajukan perdagangan dibidang pengrajinan, pembuatan perahu nelayan dan melakukan pelatihan pembinaan koperasi (http://www.harianhaluan.com/index.php/berita/rubrik-daerah/27982-dinaskoperindag. 2013) Parameter pengelolaan Sumberdaya pesisir dengan menanam ketaping dan cemara laut. Aplikasi parameter pengelolaan pemanfaatan lahan dan rancangan strukturtural telah ada program Sanimas (Sanitasi Masyarakat) yang dilaksanakan oleh Kemen PU bertujuan untuk menjaga kebersihan di sekitar pantai. Sistem peringatan dan evakuasi belum dikenal oleh masyarakat sehingga masyarakat mengetahui dari pengumuman masjid. Tata pemerintahan dinilai baik dengan keberadaan sarana pendidikan diantaranya SDN 03, 03, SDN 12, SMK 4, SMKS, sarana kesehatan diantaranya program air minum dan program Sanitasi Masyarakat (Sanimas) pada 2010, Posyandu Lingkungan Desa (Polindes) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), serta fasilitas listrik desa. Sarana tersebut menggambarkan bahwa parameter pemanfaaatan lahan dan rancangan struktural dinilai baik. Parameter sosial ekonomi dan mata pencaharian dinilai sedang. Pada desa ini terdapat fasilitas kredit mikro nagari sejumlah 100 juta untuk 10 bulan. Koperasi Industri dan Perdagangan (Koperindag) membantu masyarakat dalam mengembangkan usaha kerajinan, perikanan (pengadaan perahu) dan pembuatan rumah (http://www.harianhaluan.com/index.php/berita/rubrikdaerah/27982-dinas-koperindag. 2013). Pada umumnya mata pencaharian mereka berdampak buruk apabila terjadi bencana. Mereka belum tertanam budaya menabung untuk antisipasi bencana. Parameter pengelolaan Sumberdaya pesisir di Desa Taluak dinilai sedang, misalnya pemanfaatan Pantai Kata sebagai tempat wisata dirasa kurang optimal Usaha perlindungan pantai telah ada dengan menanam ketaping dan cemara laut. Pengetahuan risiko bencana di Desa Taluak dinilai baik. Selain karena pengalaman yang pernah terjadi, pengetahuan mereka didapat dari informasi yang disebarkan oleh 20 relawan, yang telah mengikuti pendidikan tentang bahaya bencana.
47
Sistem peringatan dan evakuasi dinilai baik, yaitu berupa pengumuman masjid dan komunikasi dengan orari dan handy talky. Rute evakuasi sudah ada dan diketahui oleh masyarakat serta diajarkan dalam kurikulum sekolah. Parameter tanggap darurat bencana dinilai baik. Masyarakat sudah menyadari bahwa potensi bencana di wilayahnya sangat besar. Namun mereka melihat bahwa perencanaan penanganan bencana belum baik, termasuk diantaranya kesiapan instansi pemerintah, kecukupan stok kebutuhan dan sistem pendistribusian kebutuhan dasar masih dirasa kurang. Parameter pemulihan mencapai nilai baik. Program pemulihan dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana seperti akses jalan yang mudah menuju lokasi TES. Lokasi TES di Desa Taluak berupa lahan kosong dengan luas 1 ha. Lokasi shelter berada di Dusun Pasar Hilalang
Profil Desa Marabau Desa Marabau berjarak 980 m dari garis pantai dengan jumlah penduduk 2.651 jiwa (http://pariamankota.bps.go.id. 2014). Responden di Desa Marabau adalah Kepala Desa Marabau, tokoh agama, penjaga sekolah, petani, sesepuh desa, siswi kelas 11, sekreatris desa, petani, dan ketua lembaga pemberdayaan masyarakat. Hasil pengolahan tingkat ketahanan masyarakat diperoleh parameter yang dominan hingga yang kurang dominan yang dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 7.
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 7. Tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Marabau. Parameter Nilai Standar Penilaian Tata Pemerintahan 3,125 Sangat Baik Sistem Peringatan dan Evakuasi 2,950 Baik Pemulihan 2,833 Baik Tanggap Darurat Bencana 2,792 Baik Pengetahuan Risiko 2,778 Baik Pengelolaan Pemanfaatan Lahan 2,125 Baik Dan Rancangan Struktural Pengelolaan Sumberdaya Pesisir 2,000 Baik Sosial Ekonomi dan Mata 1,729 Sedang Pencaharian
48
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
3,125
Gambar 7. Grafik tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Marabau. Hasil analisis terhadap tingkat ketahanan masyarakat di Desa Marabau menunjukkan bahwa parameter Tata Pemerintahan mempunyai nilai yang paling tinggi diantara parameter yang lain. Tata Pemerintahan dalam pemberdayaan masyarakat dengan membuat shelter. Komunikasi dan informasi disiarkan oleh Radio Broadcast Damai. Kota Pariaman pernah mengalami gempa tahun 2009 dan untuk menampung para korban, masjid di Kota Marabau dijadikan sebagai tempat penampungan dan dapur umum selama 30 hari. Parameter lainnya seperti parameter sosial ekonomi dan mata pencaharian/pekerjaan sehari-hari memiliki Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang menyediakan dana sebesar 1 milyar rupiah untuk 1 dusun. Parameter selanjutnya yaitu pengelolaan Sumberdaya pesisir terdapat kontribusi bantuan dari KKP seperti 49
mesin kapal perahu untuk kelompok diberikan tahun 2013, perahu fiber diberikan tahun 2008. Parameter berikutnya sistem peringatan dan evakuasi pernah dilakukan uji coba sirene pada tahun 2009 dan 2013 sebanyak 3 kali. Rute evakuasi telah disosialisasikan kepada masyarakat dengan tersedianya rambu-rambu. Parameter sistem peringatan dini dan evakuasi dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah atau pelajaran khusus materi pelajaran diperoleh dari Taruna Siaga Bencana (Tagana). Parameter yang sudah disimulasikan seperti tanggap darurat bencana sudah diaplikasikan kepada masyarakat terutama untuk anak SD.
Profil Desa Pasir Sunur Desa Pasir Sunur berjarak 172 m dari garis pantai dengan jumlah penduduk 326 jiwa (http://pariamankota.bps.go.id. 2014). Responden Desa Pasir Sunur diberikan kepada Kepala Desa Marunggih dan petani, tokoh agama dan pensiunan guru SD, sekretaris desa, nelayan dan ibu rumah tangga, guru SDN 11 Marunggi dan mahasiswa. Hasil pengolahan data tingkat ketahanan masyarakat diperoleh parameter yang dominan hingga yang kurang dominan dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 8.
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 8. Tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Pasir Sunur. Parameter Nilai Standar Penilaian Pengetahuan risiko 2.528 Baik Pemulihan 2.5 Baik Sistem Peringatan dan Evakuasi 2.383 Baik Tanggap Darurat Bencana 2.125 Baik Tata Pemerintahan 2.111 Baik Pengelolaan Pemanfaatan Lahan 1.917 Sedang dan Rancangan Struktural Pengelolaan Sumberdaya Pesisir 1.604 Sedang Sosial Ekonomi dan Mata 1.542 Sedang Pencaharian
50
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
2,528
Gambar 8. Grafik tingkat ketahanan bencana masyarakat di Desa Pasir Sunur. Hasil analisis terhadap tingkat ketahanan masyarakat di Desa Pasir Sunur menunjukkan bahwa parameter Pengetahuan Risiko mendominasi parameter yang lain. Masyarakat mengetahui adanya risiko bencana diperoleh secara mudah dari informasi yang disampaikan oleh BPBD Kota Pariaman dan dari masjid Pasir Sunur melaui media pengeras suara. Pengetahuan tsunami diperoleh dari para orang tua warga seperti kejadian gempa bumi tahun 2009. Upaya masyarakat dusun Pasir Sunur dan Dusun Pasir Sigadung (Desa Marunggi) untuk menghindari tsunami menuju Desa Santo dengan topografi berbukit. Selain itu dapat juga menuju masjid Al Mukmin yang dirancang untuk TES. Masyarakat dengan mudah dapat mengakses informasi tentang risiko bencana dari BPBD Kota Pariaman. Pendidikan bahaya gempa bumi dan tsunami diberikan melalui pengajian di masjid atau di perumahan dan pertemuan antar warga juga dalam bentuk kegiatan olah raga yang dilakukan bersama. Aplikasi parameter pemulihan seperti akses mudah menuju permukiman dengan tersedianya sarana jalan, masyarakat pada umumnya siap menghadapi bencana dengan menuju shelter 51
seperti ke masjid Al Mukmin atau menuju bukit ke Desa Santo. Selanjutnya untuk aplikasi parameter tata pemerintahan terdapat program pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat seperti tersedianya mesin perahu, alat tangkap dan modal kerajinan tangan (anyaman tikar). Parameter penyediaan sarana kesehatan masih terbatas belum tersedianya puskesmas. Puskesmas ada di Desa Marunggi, sehingga masyarakat berobat ke bidan yang berada di wilayahnya. Parameter sarana komunikasi dan informasi sudah tersedia sirene namun pengeras suara tidak berfungsi. Parameter sosial ekonomi dan mata pencaharian/pekerjaan sehari-hari terdapat dana bantuan dari PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan) dalam jumlah cukup banyak, yang dapat digunakan untuk modal usaha masyarakat Desa Pasir Sunur. Setelah diketahui nilai skor dari setiap desa lokasi penelitian maka dibuat peta sebaran seperti tertera pada Gambar 9.
Gambar 9. Peta ketahanan bencana masyarakat di Kota Pariaman.
52
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Rekomendasi Hasil perhitungan terhadap tingkat ketahanan masyarakat di 7 desa menunjukkan parameter tertinggi yang berbeda di setiap desa. Parameter tertinggi untuk Tanggap Darurat Bencana adalah Desa Naras Satu (2,771) dan Desa Karan Aur (2,708), Parameter tertinggi untuk Pemulihan adalah Desa Ampalu (2,611), Desa Kampung Baru (2,889) dan Desa Taluak (2,722), Parameter tertinggi untuk Tata Pemerintah adalah Desa Marabau (3,125), dan Parameter tertinggi untuk Pengetahuan Risiko adalah Desa Pasir Sunur (2,528). Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa desa di wilayah pesisir Kota Pariaman pada umumnya sudah dapat beradaptasi dengan bencana alam yang kerap terjadi agar selalu siap dalam menghadapi bencana. Pemda setempat, BPBD Kota Pariaman agar secara terus menerus meningkatkan kewaspadaan dan melatih masyarakat untuk siap menghadapi bencana dengan pelatihan tsunami, ilmu pengetahuan tentang bencana dan usaha rakyat dalam meningkatkan kesejahteraan akibat bencana.
Daftar Pustaka [BPK-RI] Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (2010). Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Kegiatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Untuk Masa Tanggap Darurat Pada Pemerintah Kota Pariaman Tahun Anggaran 2009 Di Pariaman. [DKP-RI] Depertemen Kelautan dan Perikanan (2009). Modul Pelatihan Penanggulangan Bencana Berbasis Kemitraan Ketahanan Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Bencana (Coastal Community Resilience). www.betterplace.org/de/projects/2069-medikamente-fur-erdbebenopfer-auf sumatra/news/9584 (2009). Diakses tanggal 19 Agustus 2015. http://bkp.pertanian.go.id/proksi-9-p2kp.html (2013). Diakses tanggal 19 Agustus 2015 http://www.harianhaluan.com/index.php/berita/rubrik-daerah/27982-dinaskoperindag (2013). Diakses tanggal 19 Agustus 2015. http://www.gitews.de/fileadmin/documents/content/wp6000/GTZIS_GITEWS_Newsletter_03-09_Indonesia.pdf (2008). News Letter No. 08 Oktober-Desember 2008 Peningkatan Kapasitas Masyarakat Lokal Kerjasama Indonesia-Jerman untuk Sistem Peringatan Dini Tsunami. Diakses tanggal 18 Agustus 2015. 53
http://www.sumbar.antaranews.com (2014). BPBD Pariaman Latih Simulasi Bencana 5.000 Siswa. Diakses tanggal 18 Agustus 2015. http://www.sumbar.antaranews.com (2014). 18 Desa di Pariaman Berpredikat Siaga Bencana Diakses tanggal 18 Agustus 2015. http://pariamankota.bps.go.id (2014). Data Penduduk Kota Pariaman 2014. Diakses tanggal 18 Agustus 2015. Indonesia, Republik (2007). Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Indonesia, Republik (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Natawijadja, D.H. (2007). Gempa bumi dan Tsunami di Sumatra dan Upaya untuk Mengembangkan Lingkungan Hidup yang Aman dari Bencana Alam. Peraturan Daerah Kota Pariaman, Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Bencana. [USGS] United Geological Survey Earthquake. (2009) Magnitude 7,6 Southern Sumatera Indonesia http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/recenteqsww/Quakes/us200 9mebz.php/ Diakses tanggal 10 Maret 2013.
54
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Gempa dan Tsunami Sumatera Dalam Sejarah Semeidi Husrin1), Joko Prihantono2) 1 2
Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP Pusat Penelitian Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Pendahuluan Tsunami dapat terjadi dimana saja di daerah yang berbatasan dengan lautan lepas. Walaupun tsunami sering terjadi di daerah yang memiliki patahan paling aktif, tsunami yang banyak menelan korban jiwa terkadang terjadi di daerah yang memiliki patahan kurang aktif seperti kawasan di Lautan Atlantik dan Lautan Hindia. Tsunami Portugal yang terjadi pada tahun 1755 diakibatkan oleh gempa lepas pantai di lautan Atlantik yang membunuh ribuan orang sepanjang pantai Portugal. Tsunami Aceh tahun 2004 yang menelan korban jiwa lebih dari 200 ribu jiwa merupakan salah satu kejadian yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh banyak pihak karena daerah ini (lepas pantai Sumatera bagian Utara hingga Myanmar) relatif jarang mengalami gempa bumi yang diikuti tsunami (Subarya et al., 2006). Selain itu, tsunami juga tidak selalu dihasilkan oleh gempa bumi. Letusan gunung di bawah laut (contohnya: Letusan Krakatau tahun 1883), tanah longsor di pesisir berbukit (contohnya: Longsor di Teluk Lituya tahun 1958), dan hantaman meteor dari angkasa luar adalah faktor-faktor lainnya yang berpotensi menimbulkan tsunami di pesisir. Oleh karena itu, mengingat tsunami yang dapat menjalar dengan cepat di lautan lepas tanpa banyak kehilangan energinya, daerah-daerah pesisir di lautan luas seperti Lautan Hindia, Pasifik dan Atlantik sangat rentan terkena dampak dari tsunami. Wilayah Indonesia merupakan salah satu wilayah langganan gempa bumi dan tsunami. Latief et al. (2000) menyebutkan bahwa sejak tahun 1600 1999 telah terjadi 105 kali kejadian tsunami di Indonesia dimana 90% dari total kejadian disebabkan oleh gempa bumi dan sisanya disebabkan oleh kejadian letusan gunung berapi bawah laut dan tanah longsor. Dari seluruh total kejadian tsunami, kawasan Maluku dan Banda (kawasan Timur Indonesia) menempati tingkat frekwensi kejadian lebih dari 50%. Namun, dari segi total kerugian (contohnya: korban jiwa) kawasan Barat Indonesia mengalami kerugian tertinggi akibat kejadian letusan Gunung Krakatau pada tahun 1833. Kerugian akibat tsunami di wilayah Barat Indonesia tentu saja 55
akan semakin besar bila ditambah dengan kejadian-kejadian gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2004, Tsunami Pangandaran pada tahun 2006 dan tsunami Mentawai pada tahun 2010. Kejadian gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada wilayah Barat dari Busur Sunda (Western Sunda Arc) telah menjadi fokus berbagai studi mengingat skala dan kejadian serupa dengan gempa bumi dan tsunami Aceh 2004 diperkirakan akan terjadi lagi di sepanjang wilayah ini (Natawidjaya et al., 2006). Wilayah Busur Sunda barat ini meliputi seluruh Pulau Sumatera dari Selat Sunda di Selatan hingga Kepulauan Andaman di Utara (Latief et al., 2000). Menurut studi serupa, daerah Sumatera Barat, khususnya Kota Padang dan sekitarnya yang merupakan kota terbesar di pesisir Sumatera bagian Barat merupakan salah satu daerah yang sangat rentan terkena bencana gempa bumi dan tsunami di masa yang akan datang (Wisemann et al. (2011), Huang et al. (2009) dan Sieh et al. (2008)). Wilayah Pulau Simelue di Provinsi Aceh dan sekitarnya juga menjadi perhatian para peneliti yang tertarik dengan proses-proses alam karena melimpahnya tanda-tanda fisik dan proses geologi yang terlihat dari karakteristik bebatuan, lapisan sedimen dan pepohonan. Legenda "smong" yang lahir di Pulau Simelue merupakan salah satu bukti nyata akan keampuhan dari pengetahuan lokal untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami. Smong dipercaya telah menyelamatkan banyak jiwa di Pulau Simelue karena sebagian besar penduduk di pesisir langsung berlari ke bukitbukit menghindari tsunami segera setelah bumi berguncang pada Desember 2004. Selain itu, legenda "Teteu" juga hadir di Kepulauan Mentawai. Berbeda dengan smong, "Teteu" tidak berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana Tsunami Mentawai yang terjadi pada Oktober 2010, sehingga ratusan korban jiwa melayang (Gambar 1).
56
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Gambar 1: Dampak dari bencana tsunami Mentawai 2010, hutan yang rusak dan karang yang terangkat menyimpan informasi sejarah kebencanaan saat ini dan masa lalu (Sumber foto: Widjo Kongko). Tsunami berasal dari bahasa jepang, “tsu” dan “nami”. “Tsu” berarti pelabuhan dan “Nami” berarti gelombang. Artinya tsunami adalah gelombang besar yang kerap melanda dan manghancurkan pelabuhan-pelabuhan di Jepang terutama setelah kejadian gempa bumi. Istilah tsunami juga dijumpai dalam bahasa lokal di Indonesia. Tentu saja hal ini terjadi karena Indonesia merupakan salah satu negara yang juga langganan terkena bencana tsunami. Dalam kosakata Bahasa Indonesia tradisional, misalnya, masyarakat lokal di provinsi Lampung menyebut gelombang tsunami sebagai gelombang “Klebuklebu” dimana kata tersebut mulai dikenal warga sejak kejadian letusan Gunung Krakatau yang diikuti oleh gelombang tsunami. Masyarakat di Pulau Simeulue telah mengenal bahaya gelombang tinggi setelah kejadian gempa bumi dan tsunami 1907 dengan istilah “Smong” yang berarti lautan yang masuk ke darat (Mc. Adoo, et al., 2006). Sementara itu, masyarakat Pulau Jawa diyakini menambahkan mitos berbau mistis Nyi Roro Kidul untuk menggambarkan bencana tsunami yang kerap melanda wilayah Selatan Pulau Jawa.
57
Dari berbagai sumber
Gambar 2. Beberapa rekaman kejadian tsunami di Pulau Sumatera (dari berbagai sumber).
58
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Tsunami merupakan rangkaian gelombang panjang yang dihasilkan karena adanya gangguan di bawah laut pada massa air. Statistik menunjukan bahwa gempa bumi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya tsunami dengan frekwensi lebih dari 72% (Mc. Creery, 2007) dan sisanya disebabkan oleh faktor lain seperti letusan gunung berapi, longsor dan hantaman meteor. Pergerakkan tiba-tiba yang terjadi di bawah laut menyebabkan seluruh kolom air terhentak dan menjalarkan energi yang terkandungnya dalam bentuk perubahan dan pergerakkan muka air ke segala arah. Di laut dalam, amplitudo tsunami sangatlah kecil dan sangat sulit dikenali dengan mata telanjang. Namun demikian, tsunami menjadikan laut dalam membawa energi yang sangat besar dan menjalar dengan cepat. Penjalaran gelombang tsunami di laut dalam dapat diwakili oleh teori gelombang linear di perairan dangkal (linear shallow water wave theory) sehingga kecepatan gelombang tsunami hanya bergantung pada gravitasi dan kedalaman perairan. Contohnya, untuk kejadian Tsunami Aceh tahun 2004 dimana kedalaman garis patahan (fault line) gempa sekitar h = 4000 m, maka kecepatan rambatan tsunami menurut persamaan (1) dapat mencapai 700 km/jam (~200 m/detik) dan melambat hingga ~10 m/detik pada kedalaman h 10 m sejalan dengan merambatnya tsunami ke perairan dangkal. Hal inilah yang menyebabkan Sri Lanka dihantam tsunami Aceh hampir bersamaan dengan pantai Barat Thailand (~ 2 jam setelah gempa bumi terjadi) padahal Sri Lanka berjarak tiga kali lebih jauh dari jarak garis patahan ke pantai Barat Thailand (Rossetto et al., 2007). Saat tsunami menjalar di perairan dangkal, proses pendangkalan (shoaling) dan pembelokan (refraction) dapat memperbesar tinggi gelombang dan memperpendek periode gelombang. Selain itu, di perairan sekitar pantai (nearshore), gelombang lebih ‘merasakan’ efek gesekan permukaan bawah laut yang menyebabkan panjang gelombang memendek, tinggi gelombang meninggi dan kecepatan gelombang melambat. Berkaca pada sejarah gempa dan tsunami di Sumatera, Indonesia merupakan wilayah yang paling sering "kecolongan" dengan berbagai bencana yang terjadi di masa lampau dan masa kini. Kejadian tsunami Aceh tahun 2004 jelas bukan kejadian yang pertama. Kejadian gempa dan tsunami serupa dari sudut paling Utara hingga paling Selatan Pulau Sumatera pernah terjadi sebelumnya (Gambar 1). Tsunami yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh fenomena gempa bumi, tetapi juga akibat letusan gunung api bawah laut dan longsoran bawah laut. Catatan gempa dan tsunami di Sumatera mulai 59
muncul ke permukaan setelah berbagai kegiatan penelitian di bidang geologi dan oseanografi semakin intensif dilakukan baik itu oleh pihak dalam maupun luar negeri. Paparan selanjutnya akan menjelaskan tentang konsep, kejadian tsunami dan pelajaran dari kejadian tsunami di masa lampau dan yang akan datang.
Ancaman dari Selat Sunda hingga Laut Andaman "Gelegar suara langit memekak daun telinga. Bumi berguncang dahsyat, awan pekat nampak menjulang tinggi ke langit. Hujan abu vulkanik dan batu-batu panas menerjang setiap sudut Selat Sunda. Siang hari yang seharusnya cerah berubah manjadi kegelapan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dentuman dahsyat dari perut bumi menghancurkan 2/3 dari tubuh Gunung Krakatau dan mendorong air laut hingga ke daratan dalam hitungan menit. Dalam sekejap, Pesisir Lampung dan Banten terendam tsunami hingga 35 m dan lebih dari 30000 jiwa pun melayang". Sepenggal kisah dalam paragraf di atas yang tercatat dalam berbagai catatan sejarah, surat kabar dan publikasi ilmiah menggambarkan kedahsyatan bencana meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883 di Selat Sunda dan diikuti dengan bencana tsunami. Ledakan Gunung Krakatau bahkan terdengar hingga Sri Lanka dan Pesisir Barat Australia. Guncangan runtuhan gunung yang menghunjam lautan menimbulkan bencana tsunami yang untuk pertama kalinya terekam dengan baik oleh sejarah Nusantara dan Dunia. Pada masa di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang berkembang, rambatan gelombang tsunami ini terekam ke belahan dunia lainnya hingga mencapai Kepulauan Inggris dan Pesisir Kanada. Bencana alam di penghujung abad 19 tersebut begitu hebatnya sehingga selain menghancurkan pesisir Lampung dan Banten, dampak dari letusan Gunung Krakatau juga mengakibatkan anomali iklim dunia hingga beberapa tahun setelah letusan. Perubahan iklim dunia terjadi karena terbawanya material vulkanik yang menembus lapisan-lapisan atmosfer bumi (Gambar 3).
60
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
a
b
c
Gambar 3. a) Lokasi dan keadaan kepulauan Krakatau saat ini, b) Litograf tentang letusan Gunung Krakatau tahun 1883 (Symons, G. J, 1888) dan c) Batu karang yang terangkut tsunami (Woodbury, W. B, 1885). Meletusnya Gunung Krakatau merupakan salah satu fenomena sejarah yang menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat modern terutama yang berada di sekitar Pulau Sumatera. Pulau Sumatera dan sekitarnya menyimpan informasi kebencanaan (gempa bumi, gunung api dan tsunami) yang terekam olen berbagai fenomena fisik dan non-fisik seperti bebatuan, 61
karang, dan lapisan-lapisan sedimen serta dongeng - dongeng atau karya sastra masa lampau yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai dasar kewaspadaan akan bencana yang akan datang. Sejarah dunia mencatat, selain kejadian letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 dan Gempa/Tsunami Aceh 2004 yang merupakan salah satu bencana terbesar umat manusia, Pulau Sumatera juga pernah mengalami bencana dahsyat yang mengubah iklim bumi yaitu Letusan Super Gunung Api Toba (sekarang menjadi Danau Toba, Sumatera Utara) yang terjadi pada 73000 tahun yang lalu (Williams et al., 2009) dan Letusan Krakatau pada abad ke-6 Masehi (Keys, 2000). Kelalaian dan ketidakmampuan dalam mambaca sejarah alam dan pengetahuan lokal telah menyebabkan manusia manjadi tidak berdaya ketika bencana Gempa dan Tsunami Aceh tahun 2004 menghantam pesisir Sumatera Bagian Utara dan seluruh pesisir di Samudera Hindia. Seakan mengulang kejadian letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, Tsunami Aceh 2004 menelan korban jiwa lebih dari 200.000 jiwa di mana sebagian besar korban berasal dari Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD).
Gambar 4. Jejak tsunami Sumatera di Sri Lanka di masa lampau diabadikan dalam wujud patung sang putri raja, Vihara Devi. Tsunami dari Sumatera dapat mencapai Sri Lanka dalam 2 jam (simulasi tsunami dari USGS). Kejadian tsunami Aceh 2004 kembali menyadarkan Bangsa Indonesia khususnya yang berada di daerah pesisir Sumatera bagian Barat dan juga seluruh negara di dunia bahwa kawasan Samudera Hindia merupakan daerah yang rawan akan bencana gempa dan tsunami. Sri Lanka yang merupakan negara paling menderita akibat bencana tsunami Aceh setelah Indonesia 62
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
sama sekali tidak pernah membayangkan akan mendapat kiriman tsunami dari Pulau Sumatera. Padahal sejarah Sri Lanka mencatat bahwa negeri ini pernah dilanda tsunami di masa Kerajaan Kelaniya (abad ke-2 SM) di mana diceritakan peran sang Putri raja bernama Vihara Maha Devi berkorban untuk meredam murka para dewa yang menyebabkan tsunami. Sosok sang putri raja diabadikan di salah satu candi di salah satu distrik Kota Colombo, ibukota Sri Lanka (Gambar 4).
SEBELUM
SEBELUM
Gambar 5. Dampak langsung kejadian gempa dan tsunami Aceh 2004 dan Gempa Nias pada tahun 2005 seperti perubahan pada rona alam, gerusan pada tanah dan pengangkatan/penurunan muka tanah (sumber foto: Widjo Kongko). Setelah kejadian gempa bumi dan tsunami Aceh 2004, gempa bumi susulan yang terkadang diikuti oleh tsunami terus terjadi di sepanjang lepas pantai barat Sumatera hingga saat ini seperti terlihat pada Tabel 1 dan Gambar 6. Frekwensi gempa yang cukup tinggi tersebut merupakan konsekuensi dari letak Pulau Sumatera yang berada di perbatasan dua lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia secara konstan bergerak relatif ke arah utara mendesak lempeng Sunda yang merupakan sub-bagian dari Lempeng Eurasia dengan kecepatan 50 s.d 70 mm/tahun. Lempeng Indo-Autralia yang berupa Kerak Samudera (Oceanic Crust) memiliki densitas lebih tinggi dibanding Lempeng Sunda (Indo-Australia) yang berupa Kerak Benua (Continental Crust) sehingga Lempeng Indo-Australia cenderung bergerak menunjam dibawah Lempeng Sunda (subduksi). Pertemuan dua lempeng tersebut membentuk palung di dasar laut yang disebut dengan Palung Sunda (Sunda Trench), 63
dimana palung tersebut dimulai dari lepas pantai barat Pulau Sumatera hingga selatan Jawa-Bali-NTT. Subduksi tersebut sering disebut sebagai “Megathrust” atau sesar anjak besar yang aktif, dimana Lempeng Sunda dianggap sebagai dinding gantung (hanging wall) dan Lempeng Indo-Australia yang menunjam sebagai dinding kaki (foot wall)-nya. Subduksi di Barat Sumatera termasuk Megathrust oblik dimana gelinciran sesarnya memiliki komponen tegak (dip-slip) dan komponen mendatar (strike-slip). Tabel 1. Kejadian gempa bumi dan tsunami pasca gempa bumi dan tsunami Aceh 2004 di sekitar Pulau Sumatera dengan kekuatan gempa lebih dari 6 (disarikan dari http://earthquake.usgs.gov dan sumbersumber lainnya) No
Tanggal
Lokasi gempa
Kekuatan Tsunami gempa1)
Keterangan Lepas pantai barat Sumatera Utara Lepas pantai barat Sumatera Utara, korban jiwa 1.313
1
01 Januari 2005
5.09 N92.30E
6.7
-
2
28 Maret 2005
2.074°N97.013°E 8.6
-
3
10 April 2005
1.660°S 99.540°E 6.7
-
Kepulauan Mentawai
4
14 Mei 2005
0.586°N, 98.401°E 6.8
-
Pulau Nias
5
19 Mei 2005
1.965°N, 96.976°E 6.9
-
Pulau Nias
6
05 Juli 2005
1.836°N, 97.034°E 6.7
-
Pulau Nias
7
19 September 2005 2.220°N, 96.763°E 6.5
-
Pulau Simeulue
8
16 Mei 2006
0.081°N, 97.073°E 6.8
-
Pulau Nias
9
06 Maret 2007
0.512°S,100.524°E 6.4
-
10 12 September 2007 4.520°S,101.374°E 8.5
< 60 cm
11 12 September 2007 2.506°S,100.906°E 7.9
-
12 20 September 2007 2.025°S,100.136°E 6.7
-
13 25 Oktober 2007
3.838°S,100.909°E 6.8
-
14 20 Februari 2008
2.778°N, 95.978°E 7.4
-
Sumatera bagian selatan, 67 korban jiwa Sumatera bagian selatan, 25 korban jiwa Kepulauan Mentawai Sumatera bagian selatan Sumatera bagian selatan Pulau Simeuleu, 2 korban jiwa
64
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
15 25 Februari 2008
2.352°S,100.018°E 7.2
-
Kepulauan Mentawai
16 16 Agustus 2009
1.486°S, 99.469°E 6.7
-
Kepulauan Mentawai
17 30 September 2009 0.725°S, 99.856°E 7.6
-
18 01 Oktober 2009
2.508°S,101.484°E 6.6
-
19 06 April 2010
2.36° N 97.132° E 7.7
<10 cm
20 09 Mei 2010
3.747°N, 96.013°E 7.2
-
21 25 Oktober 2010
3.484°S,100.114°E 7.7
>6m
22 06 September 2011 2.81 N-97.85 E
6.72)
-
23 11 Januari 2012
2.32 N - 92.82 E
7.62)
-
24 11 April 2012
2.31 N 92.67 E
8.6
-
Sumatera bagian selatan, 1117 korban jiwa Sumatera bagian selatan Sumatera bagian Utara Sumatera bagian utara Kepulauan Mentawai Sumatera bagian utara, 2 orang korban jiwa3) Lepas Pantai Pulau Simeuleu4) Lepas Pantai Pulau Simeulue
Keterangan: 1) Skala gempa USGS 2) Skala Richter 3) http://www.tribunnews.com/2011/09/06/dua-orang-tewas-digoyang-gempaaceh, diakses pada 22 januari 2012 4) Badan Meteorologi, Kebumian dan Geofisika BMKG, www.bmkg.go.id.
65
Gambar 6. Gempa bumi susulan yang terkadang diikuti oleh tsunami terjadi di sepanjang lepas pantai barat Sumatera (disarikan dari http://earthquake.usgs.gov dan sumber-sumber lainnya). Gambar 7 menunjukkan mekanisme dari suatu sesar aktif, dimana suatu patahan memiliki blok yang disebut dinding gantung (hanging wall) dan dinding kaki (foot wall). Hanging wall adalah blok yang terletak di atas bidang patahan, sedangkan foot wall adalah blok yang terletak dibawah bidang patahan. Sesar yang memiliki arah gelincir relatif naik/turun disebut dip-slip, sedangkan yang memiliki arah gelincir relatif mendatar disebut strike slip. Arah gelincir ditunjukkan oleh sudut yang dinamakan rake. Selain itu sudut kemiringan bidang patahan disebut dip yang dihitung dari arah horisontal/lateral. Sedangkan arah bidang patahan disebut strike yang ditentukan dari arah utara bumi. Istilah strike, dip, rake, secara visual ditunjukkan Gambar 7b. Lempeng Indo-Australia tidak bergerak mulus ketika menunjam di bawah Lempeng Sunda, akan tetapi terdapat proses saling mengunci (interlocking) dibagian-bagian tertentu antara kedua lempeng yang mengakibatkan terbangunnya tegangan yang cukup tinggi seiring 66
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
bertambahnya waktu. Pada saat terjadi proses interlocking, sebagian pantai kepulauan di Barat Sumatera akan tenggelam dan ketika tegangan yang terus terbangun tersebut tidak dapat diimbangi lagi oleh kekuatan saling mengunci "interlocking", maka energi regangan yang tersimpan selama proses interlocking tersebut akan terlepas dan mengakibatkan Pulau-pulau di Barat Sumatera akan terangkat secara tiba-tiba yang menimbulkan gempa bumi berkekuatan tinggi serta kemungkinan diikuti dengan tsunami seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 2004. Gambar 8a dan 8b memperlihatkan proses terjadinya gempa bumi di sepanjang subduksi yang kemungkinan akan diikuti pula dengan kejadian tsunami. a)
b)
Gambar 7. Kartun yang menjelaskan istilah-istilah dalam sesar aktif. Kejadian gempa dengan magnitudo (Mw) lebih dari 8 yang juga diikuti tsunami di Sumatera Barat terekam dengan baik melalui bantuan pembacaan lapisan keberlangsungan hidup tertinggi atau highest level of survival (HLS) dari mikroatol (Natawidjaja et al. (2006) and Sieh et al. (2008). Istilah Mikroatol digunakan untuk menjelaskan bentukan alam dan memahami akumulasi strain tektonik di tepi pantai. Mikroatol tersebut akan hidup dan tumbuh ketika terendam di dalam air dan akan mati ketika terangkat ke atas dan tidak digenangi air. Namun mikroatol tersebut akan tumbuh lagi jika terendam air, dengan demikian jika mikroatol tersebut dipotong melintang maka akan terlihat perlapisan-perlapisan yang menunjukkan waktu dia tumbuh dan mati. Karang-karang ini tumbuh dan berkembang di bawah muka surut terendah. Saat gempa terjadi, muka air surut terendah mengalami perubahan. Perubahan-perubahan ini terekam jelas pada sistem mikroatol tersebut sehingga kita bisa menentukan kapan terjadi penurunan atau kenaikan muka bumi akibat terjadinya gempa bumi dimasa yang lampau. Rincian menyeluruh mengenai metodologi penentuan kapan terjadinya 67
penurunan atau kenaikan muka bumi dari mikroatol dapat ditemukan pada Zachariasen et al. (1999) dan Natawidjaja et al. (2006).
a
Aceh
LEMPENG EURASIA (KERAK BENUA)
b
Samudera Hindia
Kep. Mentawai
Selat Mentawai
Padang Bukit Barisan
Sumatera megathrust
Padang
Menurun perlahan
Palembang
terkunci LEMPENG INDO-AUSTRALIA (KERAK SAMUDERA)
Lampung
c
Samudera Hindia
Kep. Mentawai
LEMPENG EURASIA (KERAK BENUA)
Selat Mentawai
Tsunami
Padang Bukit Barisan
Tsunami Naik tiba-tiba
LEMPENG INDO-AUSTRALIA (KERAK SAMUDERA) LEMPENG INDO-AUSTRALIA (KERAK SAMUDERA)
terlepas
LEMPENG EURASIA (KERAK BENUA)
Gambar 8. Karakteristik tektonik Pulau Sumatera dan sekitarnya. Kejadian gempa dan tsunami yang terjadi di Kota Padang pada tahun 1797 dan 1833 sebagaimana disebutkan dalam Latief et al. (2000) meninggalkan jejak yang dapat dibaca pada mikroatol di sepanjang pesisir Sumatera Bagian Barat dan Kepulauan Mentawai (Natawidjaja et al., 2006). Kejadian gempa pada tahun 1797 merupakan gempa terdahsyat (Mw=8.6) yang terjadi sepanjang sejarah Kota Padang karena diikuti pula dengan gelombang tsunami yang memporak-porandakan kapal-kapal dan bangunanbangunan di sepanjang Muara Sungai Batang Arau. Bahkan, beberapa kapal kecil terbawa gelombang tsunami hingga beberapa kilometer ke daratan. Ketinggian gelombang tsunami di kota Padang yang terjadi saat itu diperkirakan sekitar 5 – 10 m (Natawidjaja et al.,2006). Sementara itu, pada tahun 1833 gempa bumi yang berkekuatan nyaris serupa dengan gempa tahun 1797 menghancurkan sebagian besar Kota Bengkulu di mana tinggi gelombang diperkirakan berkisar antara 3 – 4 m. Bengkulu mengalami kerusakan lebih parah dibandingkan Padang karena lokasi epicenter yang lebih ke Selatan dibanding kejadian sebelumnya pada tahun 1797. Rangkaian gempa yang terjadi di masa lalu dan kejadian gempa (Mw = 8.4) yang terjadi pada September 2007 memperlihatkan kesesuaian dengan apa yang terekam pada mikroatol. Rekaman pada mikroatol memperlihatkan bahwa dalam 700 tahun terakhir daerah barat Sumatera mengalami gempa dahsyat (kadang diikuti tsunami) dengan periode ulang sekitar 200 tahunan (Sieh, et al., 2008). Gempa yang terjadi pada tahun 2007 teridentifikasi
68
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
sebagai bagian dari rangkaian siklus gempa tersebut. Namun, dari hasil analisis lebih lanjut, gempa yang terjadi pada tahun 2007 ternyata belum mengeluarkan seluruh energi yang terpendam oleh patahan yang mengalami penguncian (interlocking) dari dalam. Potensi energi yang masih terpendam ini diperkirakan mampu menghasilkan gempa dengan kekuatan sekitar Mw=8.8 (Sieh, et al., 2008). Jika hal ini terjadi, maka sebagian besar daerah pesisir Sumatera Barat diperkirakan akan mengalami gelombang tsunami seperti apa yang sudah terjadi di Banda Aceh (Borrero et al. (2006), Huang et al. (2009), dan Wisemann et al. (2011)).
Gambar 9: Microatolls memberikan informasi kejadian gempa bumi dimasa lalu (Natawidjaja, 2006).
Gempa dan Tsunami Sumatera di Masa Depan? a)
Tsunami akibat celah seismik (seismic gaps) Sumatera Beberapa skenario kejadian tsunami di Sumatera Bagian Barat mengemuka seiring dengan meningginya aktifitas seismik (kejadian gempa bumi) yang memicu banyaknya penelitian mengenai aktifitas seismik di daerah ini pasca tsunami Aceh 2004. Dalam proses prediksi suatu kejadian tsunami, salah satu aspek yang sangat penting adalah pengetahuan tentang kejadian tsunami yang pernah terjadi sebelumnya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, mikroatol merupakan salah satu sarana yang dapat dijadikan sebagai indikator kejadian gempa dan tsunami dimasa lampau. Dari hasil penelitian mikroatol tersebut, siklus besar gempa bumi di zona subduksi sumatera (megathrust supercircles) berhasil terindentifikasi (Sieh et al., 2008). Dari hasil bacaan lapisan keberlangsungan hidup tertinggi atau highest level of survival (HLS) dari mikroatol (Natawidjaja et al.(2006) and Sieh (2008)) didapat informasi bahwa pada 700 tahun 69
terakhir, kejadian gempa bumi dahsyat di zona subduksi sumatera memiliki periode ulang sekitar 200 tahun. Selain kejadian gempa bumi tahun 1797 dan 1833, kejadian gempa bumi serupa diperkirakan pernah terjadi pada tahun 1600-an. Kejadian gempa bumi pada tahun 2007 di lokasi yang sama, semakin memperkuat klaim siklus kejadian gempa 200 tahun. Namun demikian, walaupun gempa bumi tahun 2007 melengkapi celah seismic (seismic gap) yang selama ini telah diperkirakan akan “meledak”, diketahui bahwa energi yang dikeluarkan belumlah tuntas. Hal ini dapat terlihat dari rekaman slip pada mikroatol dimana slip yang terjadi akibat kejadian tahun 2007 hanya sebagian kecil dari total slip pada kejadian gempa bumi tahun 1797-1833 (Sieh et al., 2008). Gambar 10a memperlihatkan skema perbandingan potensi slip yang telah terjadi pada tahun 1797-1833 dan slip yang terlepas akibat kejadian gempa bumi tahun 2007 disepanjang Megathrust dari barat Bengkulu (SE) sampai dengan barat Padang (NW). Dengan melihat Gambar 10a dan 10b akan memudahkan dalam mengetahui potensi seismik gap di Barat Sumatera. Berdasarkan Gambar 10b dapat diketahui secara berurutan bahwa gempa yang terjadi di megathrust barat sumatera akhir-akhir ini terjadi dimulai dari barat Aceh pada tahun 2004, disusul kemudian pada tahun 2005 di Nias yang letaknya di Tenggara segmen gempa Aceh 2004. Namun setelah gempa Nias, gempa selanjutnya pada tahun 2007 hingga 2010 terjadi di sebelah barat Bengkulu dan bukan terjadi di sebelah tenggara segmen Nias (barat Padang). Dengan demikian gempa yang pernah terjadi pada tahun 1797 dan 1833 di segmen megathrust sebelah barat Padang belum meledak dan melengkapi adanya seismic gap di daerah tersebut yang harus diwaspadai, dimana sewaktu-waktu segmen gempa tersebut dapat meledak dan diikuti tsunami. Berdasarkan Gambar 10b kemungkinan gempa yang mungkin terjadi di segmen sebelah barat Padang akan menimbulkan gempa yang besar dibandingkan gempa disebelah barat Bengkulu jika potensi slip yang terakumulasi seperti pada Gambar 10b tersebut terjadi secara sekaligus.
70
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
a)
b)
Gambar 10. a) Potensi slip pada celah seismik di zona subduksi sumatera (Sieh et al., 2008), dan b) Kejadian gempa besar di sepanjang megathrust sumatera (M. Muzli et al, 2010). Konsensus Padang tahun 2008 yang diprakarsai oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan mengusulkan skenario gempa bumi resmi untuk kawasan Sumatera Barat dan sekitarnya. Skenario ini berdasarkan hasil-hasil penelitan dari Natawidjaja et al. (2008) dan Chlieh et al. (2008) di mana elemen patahan yang diperhitungkan pada celah seismik zona subduksi Sumatera berjumlah 348 patahan. Gambar 11a dan 11b memperlihatkan gambaran patahan yang telah dikurangi dengan parameter gempa Bengkulu 12 September 2007 berdasarkan Lorito et al. (2008) sehingga jumlahnya menjadi 201 sub-patahan. Sumber gempa tersebut terdiri dari 201 sub-fault dengan total magnitudo (Mw) = 8.87359, total seismik momen (Mo) = 2.57265e+22 Nm, maximum pengangkatan = 3.2783 m, dan maksimum penurunan = -1.35536 m (Pranowo, 2010).
71
Sumber gempa bumi berdasarkan Chlieh et al. (2008) dan Natawidjaja et al., (2009) telah banyak digunakan untuk memprediksi kejadian tsunami dan kemungkinan dampaknya di pesisir Sumatera Barat. Skenario-skenario tersebut, misalnya digunakan sebagai dasar pembuatan peta bencana rendaman tsunami Kota Padang akibat tsunami melalui Last-Mile Project (Taubenböck et al., 2009) seperti telihat pad Gambar 11c (BPBD, 2010). Borerro et al (2006) menambahkan beberapa skenario terburuk yang mungkin terjadi selain dari skenario di atas untuk menggambarkan kemungkinan dampak rendaman tsunami di pesisir Sumatera Barat menggunakan model numerik MOST. Sementara itu, Huang et al (2009) menggunakan skenario gempa bumi berdasarkan Natawidjaja et al., (2009) untuk menggambarkan dampak rendaman tsunami di Kota Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat menggunakan model numerik COMCOT. Schlurmann et al. (2010) menggunakan skenario serupa untuk memperkirakan peta rendaman di Kota Padang menggunakan model numerik TUNAMI dan ANUGA. a)
b)
c)
Gambar 11. a) Skenario sumber gempa bumi berdasarkan a) Chlieh et al. (2008) dan b) Natawidjaja et al., (2009) dan Perkiraan rendaman tsunami di Kota Padang (BPBD, 2010)
72
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
b)
Tsunami akibat Patahan Anjak Belakang Mentawai Pada tanggal 15 Februari s.d 6 Maret 2008 dilakukan pelayaran dengan nama PreTi-Gap atau Pre-Tsunami Investigation of Seismic Gap yang merupakan kolaborasi dari Institute Physique du Globe de Paris/IPG-Paris dengan LIPI, PPGL, BPPT, dan KKP. Survei tersebut dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII dengan tujuan untuk studi gempa dari megathrust 12-13 September 2007 di sebelah barat Bengkulu. Survei yang dilakukan adalah mengambil data multibeam batimetri dan data seismik multi kanal 2D (seismic multichannel 2D). Hasil yang diperoleh dari survei tersebut adalah ditemukan escarp atau tebing curam di perairan sebelah timur yang sejajar dengan pantai Kepulauan Mentawai (perairan Barat Bengkulu sampai dengan timur P. Siberut). Selain itu hasil interpretasi data seismik multi kanal menunjukkan adanya sesar anjak belakang (backthrust) dengan sudut kemiringan ke arah Barat daya memotong bagian tepian Timur laut dari Kepulauan Mentawai dan punggungan terangkat yang terekam pada peta batimetri menegaskan bahwa Patahan Mentawai bukan murni sebagai patahan geser kanan akan tetapi juga memiliki komponen patahan anjak belakang (Permana et al., 2010). Hasil studi data-data geodesi dari jaringan GPS di pulau Sumatera (SuGar atau Sumatera GPS Arrays) yang digabung dengan kecenderungan mekanisme gempa serta aktifitas seismik di pulau Sumatera mempertegas hasil temuan survei PreTi-Gap tahun 2008 dimana gempa bumi di area barat Sumatera kemungkinan disebabkan oleh adanya Patahan Anjak Belakang Mentawai (Mentawai backthrust) yang selama ini tidak pernah aktif (Gambar 12). Patahan belakang Mentawai ini menjadi aktif diduga karena terpicu oleh aktifitas sumatera megathrust pada dekade terakhir (Wisemann et al., 2011). Skala gempa bumi yang mungkin terjadi akibat aktifitas Patahan belakang Mentawai ini diperkirakan sekitar Mw = 6.5. Namun demikian, studi ini masih permulaan, studi lebih dalam masih diperlukan termasuk pemodelan kemungkinan rendaman tsunami di pesisir Sumatera Barat dan Kepulauan Mentawai jika gempa bumi di lokasi ini benar-benar terjadi.
73
Gambar 12. Mentawai backthrust (Wisemann, et al., 2011). c)
Tsunami akibat longsor di Selat Mentawai Berdasarkan hasil pelayaran menggunakan kapal riset RV Sonne pada tahun 2006, diketahui bahwa pada sebelah barat Kota Padang, sekitar 70 km lepas pantai, terdapat bukti-bukti bahwa sejarah longsoran mungkin pernah terjadi di lokasi ini (Brune et al., 2010). Sebagaimana sudah menjadi hal yang alami bahwa guncangan bumi dapat menyebabkan tanah longsor. Selain itu bukti adanya longsoran di timur Siberut juga ditemukan pada survei PreTiGap tahun 2008 (Permana et al., 2010) dengan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 13. Guncangan akibat aktifitas megathrust dan Patahan Anjak belakang Mentawai diperkirakan akan sangat berpengaruh pada kestabilan lereng setinggi lebih dari 100 m yang terdapat di lokasi ini. Setiap pergerakan sesar 74
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
anjak disisi Cekungan Mentawai dapat memicu gerakan tanah atau longsoran bawah laut dapat membangkitkan tsunami lokal yang mengakibatkan kerusakan di daratan Sumatera seperti di Padang, Painan atau Bengkulu bagian utara dan Kepulauan Mentawai. Oleh karena itu, adalah sangat penting untuk merencanakan sistim peringatan tsunami khusus dikawasan tersebut dengan tujuan untuk melakukan mitigasi resiko bencana tsunami di kawasan pantai barat Sumatera (Permana et al., 2010). Dengan demikian, kemungkinan kejadian tsunami mungkin saja terjadi. Apabila longsoran ini terjadi, dengan menggunakan model ANUGA, kejadian tsunami lebih dari 3 m diperkirakan akan melanda Padang (Gambar 14).
Gambar 13. Peta batimetri perairan sebelah timur laut pantai Sipora (kanan) dan peta batimetri perairan sebelah timur laut Pulau Siberut (gambar kiri dan tengah). Dimana warna merah adalah daerah dangkal yang dekat dengan Pulau (Permana et al, 2010).
75
Gambar 14. Prediksi simulasi tsunami akibat longsor di Selat Mentawai (Brune et al., 2010). d)
Krakatau masih mengancam Setelah letusan terakhir pada tahun 1883, Gunung Krakatau ternyata masih hidup dan mengancam pesisir Selat Sunda. Kejadian letusan pada tahun 1883 yang menghancurkan duapertiga tubuh Gunung Krakatau ternyata melahirkan sang anak gunung api beberapa puluh tahun kemudian. Kemunculan gunung api yang menyembul dari dasar lautan pertama kali terlihat pada tahun 1927 dan selanjutnya dikenal sebagai Anak Krakatau. Seiring waktu, Anak Krakatau terus tumbuh dan berkembang. Pada tahun 1979 gunung ini telah mencapai volume 2,35 km3. Artinya, untuk mencapai volume awal saat gunung ini meletus pada tahun 1883 yang mencapai 18 km3, sang anak krakatau membutuhkan waktu sekitar 398 tahun atau sekitar tahun 2325 (Bakosurtanal, 2006). Akan terulangnya Letusan Krakatau diperkuat dengan fakta-fakta ilmiah yang memperlihatkan bahwa Gunung Krakatau juga pernah meletus sebelum 1883. Walaupun masih diagukan kebenarannya, Kitab Pararathon juga menyinggung kejadian letusan Krakatau di masa lampau (Keys, 2000). 76
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Tingginya aktifitas perekonomian dan padatnya konsentrasi penduduk di Sekitar Selat Sunda tentu saja menjadi perhatian tersendiri mengingat ancaman nyata dari Letusan Krakatau. Provinsi Lampung di Sumatera dan Provinsi Banten di Jawa Barat merupakan salah satu penopang ekonomi nasional. Peran kedua provinsi ini sangat penting dalam menghubungkan Sumberdaya alam yang melimpah di Sumatera dan industri manufaktur di Jawa. Kehadiran Krakatau di Selat Sunda dan pelajaran di masa lampau dapat dijadikan sebagai pijakan bagi penataan dan pembangunan di sekitar Selat Sunda yang lebih mempertimbangkan aspek kebencanaan.
Rakata kecil
Rakata kecil
Sertung
Gambar 15. Evolusi Gunung Krakatau dan Anakrakata (USGS dan Googleearth).
Sadar bencana Sejak kejadian Gempa bumi dan Tsunami Aceh 2004, Sumatera telah menjadi fokus berbagai studi penelitian (nasional dan internasional) mengingat skala dan kejadian serupa diperkirakan akan terjadi lagi di sepanjang Busur Sunda. Wilayah Busur Sunda Barat ini meliputi seluruh Pulau Sumatera dari Selat Sunda di Selatan hingga Kepulauan Andaman di Utara. Menurut studi serupa, daerah Sumatera Barat, khususnya Kota Padang dan sekitarnya yang merupakan kota terbesar di pesisir Sumatera bagian Barat merupakan salah satu daerah yang sangat rentan terkena bencana gempa bumi dan tsunami di masa yang akan datang.
77
Aceh menjadi terkenal karena bencana tsunami 2004 sementara Kota Padang telah menjadi pusat perhatian dunia internasional karena lokasinya yang terletak pada zona subduksi aktif, tingginya konsentrasi penduduk di daerah pesisir dan tidak adanya sitem pertahanan fisik. Berbagai pembangunan berorientasi kebencanaan telah berlangsung di kedua kota ini dan sekitarnya. Pembangunan kembali Aceh dengan segala aspeknya yang memperhitungkan bencana gempa dan tsunami 2004 telah melahirkan wajah Kota Banda Aceh yang baru. Berbagai bangunan dan monumen yang berfungsi sebagai pengingat gempa dan tsunami 2004 telah didirikan seperti museum tsunami, monumen kapal PLTD, dsb. Selain itu, tata ruang kota juga dirombak total untuk mengakomodasi terulangnya bencana serupa di masa yang akan datang. Bangunan-bangunan tinggi yang berfungsi sebagai evakuasi vertikal juga banyak dijumpai di sudut - sudut Kota Banda Aceh. Secara terpisah, pusat studi mitigasi tsunami atau dikenal sebagai Tsunami Disaster Mitigation Research Centre (TDMRC) didirikan di ground zero Kota Banda Aceh untuk lebih meingkatkan kesadaran dan pemahaman akan bencana gempa dan tsunami. Tentu saja, upaya-upaya non fisik juga gencar dijalankan oleh pemerintah pusat maupun daerah seperti pendidikan dini mitigasi bencana di bangku sekolah dari mulai Taman Kanak-kanak hingga SLTA. Di Kota Padang, proyek mitigasi tsunami interrnasional seperti 'Lastmile Project' telah berhasil membuat peta rawan tsunami, menentukan jalur evakuasi dan memberikan rekomendasi-rekomendasi teknis untuk mengurangi dampak negatif apabila gempa dan tsunami benar-benar terjadi. Beberapa upaya yang telah diimplementasikan diantaranya: dikeluarkannya peta resmi daerah evakuasi tsunami Kota Padang pada Bulan September tahun 2010 oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang, pelebaran jalan menuju daerah aman, pembangunan beberapa shelter (vertical evacuation buildings), dan pemasangan tanda-tanda menuju rute evakuasi tsunami. Dalam konteks mengurangi korban jiwa akibat bencana, upaya-upaya di atas akan menjadi sia-sia jika masyarakat tidak mampu menjalankan prosedur penyelamatan diri yang efisien. Selain masih minimnya infrastruktur evakuasi tsunami, pengetahuan masyarakat akan bencana tsunami di daerah di mana mereka tinggal terlihat masih sangat kecil. Pekerjaan rumah yang sangat besar masih harus dipikul setiap elemen masyarakat di daerah-daerah 78
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
yang rawan bencana. Setiap individu harus mampu menjawab pertanyaanpertanyaan dasar secara cepat jika kejadian gempa dan tsunami terjadi. Mereka harus mengetahui 1) Di mana kita berada, 2) Ke mana kita harus lari (tempat aman) 3) Bagaimana (dengan cara apa) kita menuju tempat yang aman, dan 4) Berapa lama untuk mencapai ke tempat aman. Empat pertanyaan tersebut harus betul-betul tertanam pada setiap individu di daerah rawan bencana sepanjang Pesisir Barat Sumatera. Setiap orang yang tinggal dan/atau bekerja di daerah yang termasuk dalam peta rawan tsunami tentu harus melipatgandakan kewaspadaan karena jika gempa megathrust terjadi, tsunami diperkirakan akan melanda pesisir Sumatera bagian Barat dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama (~ 30 menit). Berjalan atau berlari menuju tempat-tempat yang aman seperti bangunan shelter dan menjauhi pantai merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan setiap individu. Usaha - usaha tersebut terdengar begitu mudah diucapkan namun sangat sulit untuk diterapkan seperti yang terjadi pada rangkaian gempa di Sumatera pada tahun 2007, 2009, 2010 dan 2012. Namun, jika setiap individu setiap saat melatih diri untuk mengenal daerah masing-masing dengan baik dan dibantu oleh pihak-pihak yang berwenang untuk terus-menerus memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya kesadaran akan bencana gempa dan tsunami, niscaya di masa yang akan datang dampak negatif dari bencana ini bisa jauh dikurangi dan bencana kemanusiaan seperti kejadian Aceh 2004 tidak akan terulang lagi.
79
a)
b)
Gambar 16. Gedung TDMRC di Banda Aceh dan salah satu bangunan sekolah di Padang yang berfungsi sebagai shelter.
Persantunan Ucapan terimakasih disampaikan kepada seluruh anggota tim penelitian Kerentanan infrstruktur strategis terhadap bencana tsunami di Sumatera Barat yang dibiayai oleh DIPA LPSDKP 2012. Ucapan terima kasih secara khusus juga untuk Dr. Widjo Kongko atas diskusi dan foto-foto pada tulisan ini dan Aprizon Putera yang telah menyiapkan peta-peta pada tulisan ini.
Daftar pustaka Bakosurtanal (2006). "Karakatau, Laboratorium Alam di Selat Sunda", Ekspedisi Krakatau 2006, Pusat Survei Sumberdaya Laut, Bakosurtanal. Cibinong. Borrero, J. C., K. Sieh, M. Chlieh, and C. E. Synolakis, (2006). Tsunami inundation modeling for western Sumatra, Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 103, 19673–19677. Brune, S., Babeyko, A. Y., Gaedicke, C., Ladage, S. (2010). Hazard assessment of underwater landslide-generated tsunamis: a case study in the Padang region, Indonesia. Natural Hazards, 53, 2, 205-218 Chlieh, M., J. P. Avouac, K. Sieh, D. H. Natawidjaja, and J. Galetzka, (2008). Heterogeneous coupling of the Sumatran megathrust constrained by geodetic and paleogeodetic measurements, J. Geophys. Res. B: Solid Earth, 113.
80
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Huang, Z., Qiu, Q., Sieh, K, Megawati, K., Natawidjaja, DH., Wang, X. (2009). Numerical simulations of tsunami inundation for the city of Painan, Indonesia - Effects of coastal vegetations and man-made structures, Presented paper on SCSTW3 2009. Keys, David Patrick (2000). Catastrophe: an investigation into the origins of the modern world. New York: Ballantine Pub. ISBN 0-345-40876-4. Latief, H., Puspito, NT., Imamura, F., (2000), Tsunami catalogue and zones in Indonesia, Journal of natural disaster science, Vol. 22, nr. 1, 2000, 2543. Lorito, S., Romano, F., Piatanesi,A., and Boschi, E., (2008). Source process of the September 12, 2007, mw8.4 southern Sumatra earthquake from tsunami tide gauge record inversion. Geophys. Res. Lett.,35:L02310,doi:10.1029=2007GL032661. M. Muzli , J. Saul , G. Asch , R. Wang , F. Tilmann. (2010): "Coseismic displacement of the 2010, Mw 7.8 Mentawai earthquake obtained from strong motion data". Poster EGU 2011 Martin A.J. Williams, Stanley H. Ambrose, Sander van der Kaars, Carsten Ruehlemann, Umesh Chattopadhyaya, Jagannath Pal, Parth R. Chauhan (2009) Environmental impact of the 73 ka Toba super-eruption in South Asia Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, Volume 284, Issues 3–4, 30 December 2009, Pages 295–314 Mc. Adoo, B. G., Dengler, L., Prasetya, G. and Titov, V. (2006), Smong: How an Oral History Saved Thousands on Indonesia’s Simeulue Island, Earthquake Spectra, Volume 22, No. S3, 9pp, June 2006; © 2006, Earthquake Engineering Research Institute Mc. Creery, C., (2007): Introduction to Using DARTs in Tsunami Warning Center Operations. Training Seminar on Introduction to the Deepocean Assessment and Reporting of Tsunamis (DART) Tsunameter 2007, Jakarta, Indonesia Natawidjaja DH, Sieh K,Ward SN, Cheng H, Edwards RL, et al. (2004). Paleogeodetic records of seismic and aseismic subduction from central Sumatran microatolls, Indonesia. J. Geophys. Res. 109:B002398
81
Natawidjaja, D., Sieh, K., Chlieh, M., Galetzka, J., Suwargadi, B., Cheng, H., Edwards, R.L., Avouac, J.P., Ward, S., (2006). Source parameters of the great Sumatran megathrust earthquakes of 1797 and 1833 inferred from coral microatolls. Journal of Geophysical Research, VOL 111, B06403, doi:10.1029/2005JB004025. Natawidjaja, D., K. Sieh, W. Kongko, A. Muhari, G. S. Prasetya, and I. Meilano, (2009) Scenario for future megathrust tsunami event in the Sumatran subduction zone, in Proceedings of the Asian Oceania Geo-sciences Society (AOGS) Meeting, Singapore. Permana, H., Singh, S., C., Hananto, N., Chauhan, A., Denolle, M., Handryana, A., Sumirah, Djaja, A. W., Rohendi, E., Sudjana, C., Prihantono, J. And Wardhana, D.D. 2010. Submarine Mass Movement and Localized Tsunami Potentiality of Mentawai Basin, Sumatera, Indonesia. Bulletin of The Marine Geology, Vol. 25 No. 2. Hal : 53 – 63 Pranowo, W. S., (2010). Adaptif Mesh Refinement Applied to Tsunami Modelling : TsunaFLASH., Desertation, Universitas Bremen, Jerman Rossetto, T., Peiris, N., Pomonis, A., Wilkinson,S.M., Del Re, D., Koo, R., Gallocher, S., (2007): ‘The Indian Ocean Tsunami of December 26, 2004: Observations in Sri Lanka and Thailand’, Natural Hazards. 42 (1). 105-124 Schlurmann, T., Kongko, W., Goseberg, N., Natawidjaja, D.H., Sieh, K., (2010). Near-field tsunami hazard map Padang, West Sumatra: Utilizing high resolution geospatial data and reseasonable source scenarios, Coastal Engineering Sieh, K., Natawidjaja,D. H., Meltzner, A.J., Shen, C-C., Cheng, H., Li, K-S., Suwargadi, B., Galetzka, J., Philibosian, B., Edwards, R.L. (2008). Earthquake Supercycles Inferred from Sea-Level Changes Recorded in the Corals of West Sumatra, Science Vol. 322. no. 1674 .DOI: 10.1126/science.1163589. Subarya, C., M. Chlieh, L. Prawirodirdjo, J.-P. Avouac, R. McCaffrey, Y. Bock, K. Sieh,A.J. Meltzner, and D.H. Natawidjaja (2006). Plate boundary deformation associated with the great Aceh-Andaman earthquake. Nature, Vol 440, 2 March 2006, doi:10.1038/nature04522 Symons, G.J. (1888). ''The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena'' (Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society). Thrubner & co., London 82
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Taubenböck, H., Goseberg, N., Setiadi, N., Lӓmmel, G., Moder, F., Oczipka, M., Klüpfel, H., Wahl, R., Schlurmann, T., Strunz, G., Birkmann, J., Nagel, K., Siegert, F., Lehmann, F., Dech, S., Gress, A., and Klein, R., (2009), “LastMile” preparation for a potential disaster – Interdisciplinary approach towards tsunami early warning and an evacuation information system for the coastal city of Padang, Indonesia, Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 9, 1509–1528, 2009 Williams, M.A.J, Ambrose, S.H, Van der Kaars, S., Ruehlemann, C., Chattopadhyaya, U., Pale, J., Chauhan, P.R. (2009). Environmental impact of the 73 ka Toba super-eruption in South Asia. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, Volume 284, Issues 3–4, 30 December 2009, Pages 295–314 Wiseman, K., Banerjee, P., Sieh, K., Bürgmann, R and Natawidjaja, DH., (2011), Another potential source of destructive earthquakes and tsunami offshore of Sumatra, Geophysical Research Letters, Vol. 38, L10311, doi:10.1029/2011GL047226. Woodbury, W. B. (1885). Coral block thown onto the shore of Jawa after the Krakatau eruption of 1883. Fotografi. Tropen Museum of the Royal Tropical Institute. Amsterdam Zachariasen, J., K. Sieh, F. Taylor, R. Edwards, and W. Hantoro, 1999, Submergence and uplift associated with the giant 1833 Sumatran subduction earthquake: Evidence from coral microatolls: Journal of Geophysical Research 104, 895-919.
83
Kapal Karam MV Boelongan Nederland di Kawasan Mandeh, Lingkungan Laut Sekitarnya, dan Kemungkinan Pengembangannya Nia Naelul H. R1, Gunardi Kusumah2, Semeidi Husrin3, Terry L. Kepel4 1
Peneliti Arkeologi Maritim di Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP 2 Peneliti Geologi Lingkungan di Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP 3 Peneliti Oseanografi - Tsunami di Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP 4 Peneliti Ekologi Kelautan di Pusat Penelitian Sumberdaya laut dan Pesisir, Balitbang KP
Pendahuluan Berdasarkan data arkeologis dan historis, dapat diketahui bahwa kawasan di pesisir barat Sumatera Barat sudah mempunyai peranan penting sejak masa Prasejarah hingga masa Perang Dunia II di Indonesia. Sejak masa sebelum masa kolonial Belanda di Indonesia, daerah-daerah yang berada di wilayah tersebut merupakan pelabuhan-pelabuhan transit bagi kapal-kapal dagang karena sejak dahulu wilayah pesisir barat Sumatera Barat merupakan salah satu penghasil komoditas rempah-rempah seperti lada dan juga komoditas barang tambang seperti emas dan perak yang terkenal di masa itu. Dengan demikian, aktivitas pelayaran-perdagangan internasional di wilayah pesisir barat Sumatera Barat telah ada sejak masa Portugis, VOC, hingga kolonial Belanda. Berdasarkan sumber literatur, pada masa Perang Dunia II atau yang dikenal juga dengan Perang Asia Pasifik, kawasan pesisir barat Sumatera juga ikut berperan penting dan menjadi medan pertempuran antara pasukan Sekutu yang di antaranya adalah Amerika, Belanda, dan Australia, dengan pasukan Poros As yang terdiri atas Jepang, Jerman, dan Italia. Sejumlah kapal milik negara-negara yang terlibat dalam Perang Asia Pasifik tersebut diketahui tenggelam karena dibombardir oleh pesawat tempur Jepang di wilayah perairan barat Sumatera Barat, di antaranya adalah: SS Elout, SS Buyskes, dan MV Boelongan Nederland (Bakker, 1945; www.wrecksite.au; Reid, 1993). 84
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Bangkai kapal karam di Teluk Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan, yang saat ini kami anggap sebagai kapal kargo milik Belanda, MV Boelongan Nederland, telah diteliti sejak tahun 2006 oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batu Sangkar (BP3 Batu Sangkar)1, Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati2, dan juga oleh Direktorat Peninggalan Bawah Air pada tahun 2010. Pada tahun 2007, situs ini dicatat dalam daftar inventaris BPCB Batu Sangkar No. 14/BCB-TB/A/14/2007. Meskipun penelitian dan survei secara arkeologis telah dilakukan oleh ketiga instansi tersebut, kami dari Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir (LPSDKP) – Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2012 telah berupaya untuk mengkaji kembali bangkai kapal karam MV Boelongan Nederland tersebut beserta lokasi perairannya untuk mengetahui tingkat kerentanannya terhadap dinamika perairan dan kondisi lingkungan fisik perairan di sekitarnya termasuk menganalisis berbagai faktor alam yang mengancam kelestarian warisan budaya bawah air tersebut termasuk diantaranya adalah faktor ancaman dampak perubahan iklim seperti perubahan suhu, derajat keasaman, salinitas air laut, dan lain sebagainya. Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar acuan untuk konsep pelestarian selanjutnya dan juga sebagai dasar untuk penetapan Kawasan Konservasi Maritim yang menjadi salah satu mandat Kementerian Kelautan dan Perikanan3, serta sebagai bahan kajian untuk mengembangkan warisan budaya bawah air di Kawasan Mandeh ini sebagai destinasi wisata bahari yang lestari sehingga dapat mendukung pembangunan daerah secara terpadu dan berkelanjutan.
1
Sekarang menjadi BPCB Batu Sangkar Sekarang menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir (P3SDLP). 3 Per Men KP 17/2008 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Kawasan Konservasi Maritim”adalah Daerah Perlindungan Adat dan Budaya Maritim yang mempunyai nilai arkeologi historis khusus, situs sejarah kemaritiman, dan tempat ritual keagamaan atau adat, dan sifatnya sejalan dengan upaya konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam peraturan tersebut, pada pasal 8 ayat 2, dijelaskan bahwa yang dimaksud “Daerah Perlindungan Budaya Maritim” adalah “Tempat tenggelamnya kapal yang mempunyai nilai arkeologihistoris khusus; situs sejarah kemaritiman yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya yang perlu dilindungi bagi tujuan pelestarian dan pemanfaatan guna memajukan kebudayaan nasional; dan tempat ritual keagamaan atau adat”. 2
85
Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh tim LPSDKP mencakup: konsultasi publik dan koordinasi dengan instansi terkait (di antaranya adalah dengan BPCB Batu Sangkar; Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pesisir Selatan; Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Pesisir Selatan; Badan Tenaga Nuklir Nasional; dan BAPPEDA Kabupaten Pesisir Selatan), studi literatur (historis, penelitian terdahulu, metode), pengumpulan data sekunder berupa data iklim, hidro-meteorologi, oseanografi, data pustaka, peta (Peta Batimetri Dishidros Lembar 231, Lembar 241, dan Lembar 242), RTRW setempat, dan penelitian terdahulu. Pengumpulan data primer dilakukan melalui 4x survei lapangan yang dilaksanakan pada Bulan Juni, Juli, dan Desember yang terdiri atas kegiatan penyelaman untuk melakukan dokumentasi dan pengamatan visual terhadap deteriorasi bangkai kapal karam, pengukuran dimensi kapal karam, wawancara dengan masyarakat lokal, instansi, dan stakeholder untuk mengetahui kondisi cuaca, sejarah lokasi setempat, dan lain-lain. Dilakukan juga pengukuran parameter fisik perairan/kualitas air (ph, salinitas, DO, temperatur, dan lain-lain) pengambilan data oseanografi arus dan pasang surut dengan Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) dan Tide Gauge. Dikarenakan lokasi bangkai kapal karam terletak di mulut Sungai Mandeh, maka kami juga melakukan pengambilan data sedimen dengan menggunakan 9 buah penambat sedimen atau sediment trap yang tersebar di lokasi titik kapal karam, di muara Sungai Mandeh dan di Muara Sungai Nyalo yang diperkirakan menyumbang sedimen ke lokasi kapal karamuntuk mengetahui laju sedimentasi yang terjadi di lokasi situs MV Boelongan Nederland tersebut.
Kawasan Mandeh Di Kabupaten Pesisir Selatan Kawasan Mandeh merupakan kawasan wisata unggulan di Kabupaten Pesisir Selatan4 dengan jenis wisata yang ditawarkan adalah wisata bahari. Hal 4
Kabupaten Pesisir Selatan merupakan gerbang masuk di wilayah selatan Provinsi Sumatera Barat yang pada saat ini merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yang menjadi unggulan dalam bidang kelautan dan perikanan dan juga merupakan destinasi unggulan kegiatan kepariwisataan. Pesisir Selatan adalah salah satu daerah tujuan wisata utama yang ditetapkan pemerintah pusat di wilayah Indonesia bagian Barat dikarenakan daerah ini memiliki beragam daya tarik wisata potensial, meliputi wisata alam, wisata bahari, wisata minat khusus, dan wisata budaya/sejarah. Hal ini tidak terlepas dari keindahan alam, peninggalan sejarah serta berbagai ragam budaya yang
86
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
tersebut dikarenakan kawasan ini mempunyai banyak sebaran pulau, teluk, dan tanjung berpanorama indah yang dapat menarik banyak turis. Di Kawasan Mandeh ini pula lah terletak warisan budaya bawah air bangkai kapal karam MV Boelongan Nederland. Kawasan Mandeh terletak di Nagari Nanggalo, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, yang berbatasan langsung dengan Kota Padang. Lokasi ini disebut sebagai Kawasan Mandeh karena salah satu kampung yang ada di kawasan ini bernama Kampung Mandeh, yang berada di bagian tengah Teluk Carocok Tarusan. Area yang masuk dalam ruang lingkup Kawasan Mandeh yaitu Kampung Mandeh, Pulau Sironjong Besar, dan Pulau Cubadak. Kawasan Mandeh ini berjarak sekitar 56 km dari kota Padang dan 17 km dari Painan (ibukota Kab. Pesisir Selatan). Kawasan Mandeh ini mempunyai luas lebih kurang 18.000 ha dan melingkupi 7 jorong dengan 3 nagari dengan mata pencaharian penduduknya adalah bertani, beternak, dan sebagai nelayan pembudidaya keramba jaring apung (KJA) dan nelayan tangkap. Lingkungan alam perairan di Kawasan Mandeh relatif tenang karena kawasan ini dikelilingi oleh Pulau Traju, Pulau Setan Besar, dan Kecil, serta Pulau Cubadak. Diantara pulau-pulau ini, Pulau Cubadak merupakan pulau terbesar di Kawasan Mandeh5. Di sisi Utara, Kawasan Mandeh dilingkari oleh Pulau Bintangor, Pulau Pagang, dan Pulau
terdapat hampir di seluruh daerah. Pengembangan wisata bahari Pesisir Selatan telah menjadi salah satu produk usaha dan destinasi yang penting. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung, baik wisatawan mancanegara, nusantara maupun wisatawan lokal dengan peningkatan arus kunjungan 16 % per tahun.Dengan demikian, Kabupaten Pesisir Selatan diharapkan dapat mengelola secara optimal segala potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang dimilikinya termasuk untuk kepentingan pariwisata Sumatera Barat sehingga dapat menjadi motor penggerak perekonomian untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat (www.antarasumbar.com/eng/index;http://www.pesisirselatan.go.id/,ww.bps.go.id/ KabupatenPesisir Selatan, Peta RTRW Kab. Pesisir Selatan). 5 Di Pulau Cubadak, terdapat sebuah resort terkenal yang selalu didatangi wisatawan yang telah dikelola lebih dari 20 tahun oleh pengusaha asal Italia dan Perancis yaitu Cubadak Paradiso Village Resort (www.cubadak-paradisovillage.com/paradiso.htm). Pulau Cubadak merupakan lokasi yang sangat indah, tenang, strategis, dan sangat dekat dengan titik situs kapal karam Mandeh. Pengelola resort juga menyediakan layanan untuk menyelam dan kegiatan snorkeling dan juga telah mencoba untuk memetakan lokasi penyelaman untuk melihat keindahan karang dan biota laut lainnya serta titik-titik situs kapal karam. Tim kami juga mendapatkan informasi yang sangat memadai dari pengelola resort ini mengenai keberadaan kapal karam di Teluk Mandeh dan mereka juga yang pada awalnya menduga bahwa kapal karam tersebut kemungkinan adalah MV Boelongan Nederland.
87
Marak yang berdampingan dengan Pulau Sikuai Island di Kota Padang (RTRW Kab. Pesisir Selatan 2010-2020).
Gambar 1. Perairan Kawasan Mandeh di sekitar Pulau Cubadak Kawasan Mandeh memang telah menjadi tujuan utama kebijakan sektor pariwisata kebaharian yang dimasukkan kedalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPPNAS) bersama Biak dan Bunaken. Seluas 8.632 ha lahan di Desa Mandeh akan disediakan untuk pengembangan dan pembangunan resort pariwisata. Resort itu menjadi bagian dalam rencana induk pengembangan pariwisata (RIPP) Sumbar 2006-2010. Pengembangan tersebut didukung posisi desa di Teluk Mandeh yang memiliki potensi untuk resort pariwisata khususnya bidang bahari dan didukung sarana prasarana yang cukup memadai. Pada saat ini, sedang dilakukan pembangunan jalan beraspal hotmix sejauh 30 kilometer yang menghubungkan Desa Mandeh dengan Kota Padang. Aktifitas dan fasilitas resort pariwisata yang dapat dikembangkan di desa itu adalah, menyelam, selancar, berperahu, memancing, berburu, bersepeda, dan jogging 88
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
(http://pesisirselatan.go. id/index). Pengembangan kawasan ini sebagai obyek wisata unggulan Pesisir Selatan telah ada dalam rencana zonasi pengembangan kawasan wisata pemerintah daerah setempat sejak tahun 2005. Apabila situs kapal karam Teluk Mandeh akan dikembangkan sebagai obyek wisata selam, maka situs tersebut akan menjadi satu paket wisata dengan wisata panorama dan paralayang Bukit Langkisau. Di sepanjang pantai dari Kampung Sungai Pisang sampai ke Kampung Carocok memiliki kawasan yang cukup landai dan berpasir putih dan dihiasi dengan pohon pelindung seperti kelapa, Waru, Nangka dan sebagainya. Obyek wisata Kawasan Mandeh ini telah dijuluki The Paradise in The South. Tujuh kampung dari 3 nagari yang ada di Kawasan Mandeh itu merupakan kawasan pengembangan wisata yaitu Kampung Mudiak Air, Simpang Carocok, Pulau Karam, Sungai Nyalo, Sungai Tawar, Sungai Pinang dan Teluk Raya. Penduduk di sekitar kawasan Mandeh terkenal dengan keramahannya dan cepat berbaur dengan masyarakat pendatang. Pemerintah daerah mengakui bahwa potensi wisata yang dimiliki kawasan ini sangat banyak namun selama ini belum terkelola secara profesional dan optimal sehingga perkembangannya masih terbilang lamban. Pemerintah daerah berjanji akan melakukan kerjasama dengan masyarakat setempat sehingga akan terdapat keterpaduan antara pemerintah dengan masyarakat dalam mengelola obyek wisata di lokasi tersebut (Biro Perekonomian Prov. Sumbar, 2010).
Kapal Karam MV Boelongan Nederland Situs tenggelamnya kapal memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan juga nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan sebagai obyek penelitian untuk menggali pengetahuan yang terkandung di dalamnya yang terkait erat dengan pengembangan karakter daerah dan bangsa untuk memperkokoh jati diri bangsa, dan juga untuk dijadikan sebagai obyek pariwisata bahari yaitu jenis wisata minat khusus berupa wisata selam (wreck diving) yang implikasinya adalah untuk melestarikan kapal-kapal karam tersebut sekaligus mengembangkannya sehingga dapat memberikan peluang pengelolaan dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan (Soesilo dan Budiman, 2006: 347; Ardiwidjaja, 2006 & 2007). Secara administratif,bangkai kapal yang karam di Teluk Mandeh ini terletak di Kampung Mandeh, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan. Lokasi titik kapal karam ini terletak sekitar 470 m dari daratan 89
Mandeh dan sekitar 1.5 nm (nautical miles) dari Cubadak Paradiso Village Resort.
Gambar 2. Titik Lokasi Kapal Karam di Kawasan Mandeh Menurut informasi nelayan setempat dan pemilik Cubadak Paradiso Village Resort, Mr. Nanny Casalegno, kapal karam tersebut adalah kapal kargo Belanda yang tenggelam akibat dibombardir oleh pesawat tempur tentara Jepang pada waktu Perang Dunia II. Dari hasil penelitian silang antara informasi masyarakat tersebut dengan hasil pengukuran dimensi kapal di lapangan dan di-cross check lagi dengan data literatur yang didapatkan dari sejumlah website, misalnya www.wrecsite.au dan arsip-arsip lama di kantor Arsip Nasional Belanda di The Hague, kami mengambil kesimpulan bahwa kapal karam tersebut adalah MV Boelongan Nederland yang tenggelam pada tahun 1942. Ukuran dimensi bangkai kapal karam hasil dari kegiatan pengukuran in-situ dengan teknik penyelaman sangat sesuai dengan spesifikasi dimensi kapal MV Boelongan Nederland yang didapatkan dari sejumlah referensi. Kapal lain yang tenggelam di alur itu dalam periode yang sama, SSBuijskes dan SS Elout, memiliki dimensi lebih besar. Di dalam data arsip, disebutkan bahwa MV Boelongan Nederland yang dibuat pada tahun 1915 tersebut berdimensi 72,6 x 11,63 x 3,7 m dengan tonase kapal seberat 1053 gross ton.
90
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Gambar 3. Kegiatan Penyelaman untuk Mengukur Dimensi Kapal karam Tabel 1. Spesifikasi Dimensi Kapal MV Boelongan Nederland GENERAL Nationality:
Dutch
Purpose:
Transport
Type:
Cargo Ship
Propulsion:
Motor Vessel (Diesel)
Date Built:
1915
Status:
Unknown DETAILS
Weight (Tons): 1053 Grt Dimensions :
72,6 X 11,63 X 3,7 M
Engine:
6cyl Werkspoor Diesel Engine
Power:
750 B.H.P.
Speed:
8.25 Knots ABOUT THE LOSS
91
Cause Lost:
Air Raid
Date Lost:
28/01/1942 [Dd/Mm/Yyyy]
Builder:
Gebroeders Pot N. V., Bolnes
Owner:
Koninklijke Paketvaart Mij. (Kpm), Amsterdam
(Sumber: www. wrecksite.eu)
Gambar 4. Kapal MV Boelongan Nederland (Sumber: www.wrecksite.au) Di dalam arsip perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Mij (KPM) dan arsip pemerintah Belanda yang terdapat di Kantor National Archive di The Hague, disebutkan bahwa kapal MV Boelongan Nederland yang dinakhodai oleh Kapten ML. Beverling tenggelam karena dibom oleh pesawat tempur Jepang pada serangan udara tahun 1942 di Kampung Mandas Taroesan di dekat Padang.
92
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Gambar 5. Arsip Kapal MV Boelongan Nederland di National Archive, The Hague, Belanda Bangkai kapal secara keseluruhan masih relatif utuh dengan kerusakan di beberapa bagian dan sebagian badan kapal telah terbenam di dalam substrat lumpur. Bangkai kapal tersebut berada di kedalaman 17 hingga 29 meter di perairan Teluk Mandeh. Bangkai kapal karam ini terbuat dari material besi dan bagian-bagian kapalnya seperti lambung, lubang palka, jendela-jendela, haluan, dan buritan masih dapat terlihat dan masih dapat diidentifikasi. Berdasarkan hasil pengamatan LPSDKP, BPCB Batu Sangkar (2008 & 2010), dan Direktorat Bawah Air (2007), terlihat bahwa bangkai kapal karam ini secara fisik hampir patah dua pada bagian lambung. Di bagian dindingdinding kapal dan lambung bagian depan sebagian rusak berat dan terlihat adanya bekas lubang hasil pengeboman oleh pesawat udara. Kapal ini terdiri dari 2 lantai, antara lantai 1 dan lantai 2 dipisahkan oleh jendela-jendela. Kapal ini mempunyai 2 tiang besar yang terbuat dari besi dan sudah patah dan rubuh ke arah ke belakang (buritan) dan posisinya membujur dari arah timur ke barat. Dinding kabin anjungan tampak rebah ke atas dek di kedalaman sekitar 20 meter. Bagian kiri dan kanan kapal masih terlihat 93
banyak tiang-tiang besi yang tinggi melengkung yang diperkirakan sebagai tempat untuk menggantungkan sekoci (life boat). Dari hasil survei dan pengukuran dimensi kapal melalui kegiatan penyelaman diketahui bahwa kapal ini memiliki ukuran panjang ± 75 meter, lebar badan kapal di bagian haluan ± 10 m, lebar badan kapal di bagian tengah adalah ± 11 meter, lebar badan kapal di bagian buritan ± 13 m, tinggi haluan kapal dari permukaan dasar laut adalah ± 8 m, sementara itu tinggi kapal di bagian tengah ± 4 m. Tinggi kapal terukur belum mewakili ukuran sesungguhnya karena sebagian badan kapal terbenam sedimen. Posisi bangkai kapal adalah miring ke kiri, sementara itu orientasi kapal bagian depan (haluan) pada sisi barat daya. Adapun buritannya terletak di arah timur laut yang mengindikasikan kapal itu sedang menuju selatan. Bagian-bagian badan kapal diperlihatkan pada gambar-gambar berikut.
Gambar 6. Jendela Dek Atas di Bagian Lambung yang telah Rubuh
94
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Gambar 7 & 8. Pagar Dek Atas di Bagian Haluan dan Haluan Kapal Rekonstruksi badan kapal secara kasar dan tanpa skala telah dilakukan berdasarkan hasil observasi visual melalui beberapa kali kegiatan penyelaman di lokasi bangkai kapal karam tersebut. Sketsa hasil menggambar manual kemudian diolah kembali dengan menggunakan program autocad sehingga didapatkan hasil rekonstruksi badan kapal karam tampak samping dan tampak atas.
95
Gambar 9. Sketsa Kapal Karam Berdasarkan Observasi Visual
Gambar 10. Rekonstruksi Badan Kapal Tampak Atas dan Samping
96
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Melalui teknik fotomosaik dan videogrammetri, citra yang dipotret oleh kamera bawah air dan video lalu diolah secara pixel by pixel dan dapat dibuat profil tiga dimensinya. Data dokumentasi video kapal karam dijadikan sebagai bahan untuk membuat sketsa gambar badan kapal yang relatif terlihat utuh setelah diolah terlebih dahulu. Proses pembuatan sketsa badan kapal tersebut dimulai dari mengcapture beberapa scene video sehingga menjadi sebuah gambar berformat JPEG. Dengan melakukan fotomosaik dengan menggunakan software adobe photoshop CS 6, gambar-gambar tersebut kemudian digabungkan hingga kemudian membentuk setengah badan kapal bagian sebelah kanan. Berasumsi bahwa badan kapal pada umumnya selalu simetris, yaitu antara badan sebelah kiri dan kanan adalah sama, maka proses selanjutnya cukup dengan melakukan proses mirror yaitu memutar badan kapal sebelah kanan yang sudah jadi ke arah sebaliknya hingga terbentuk badan kapal sebelah kiri. Selanjutnya, kedua gambar badan kapal tersebut digabungkan sehingga terbentuk sebuah sketsa badan kapal yang utuh.
Gambar 11. Hasil Videogrammetri dan Proses Mirror Foto Badan Kapal Visibility atau jarak pandang di lokasi kapal karam selama dilakukan penyelaman berkisar antara 2 – 10 m atau bervariasi dari mulai jarak pandang buruk hingga sangat baik pada kisaran sekitar 10 m. Hal tersebut terkait erat dengan pemilihan waktu penyelaman yang tepat. Waktu yang baik untuk melakukan penyelaman adalah sekitar pukul 8 hingga 11 WIB dikarenakan pada waktu-waktu tersebut, air laut sedang pasang naik sehingga air laut 97
tersebut dapat menahan masukan sedimen yang berasal dari muara Sungai Mandeh. Visibility akan menurun dan air menjadi keruh ketika pasang telah surut dan air tawar serta sedimen lumpur dari sungai memasuki area titik kapal karam. Sementara itu, kondisi arus yang dirasakan selama penyelaman di bawah air cukup tenang dan tidak pernah ada arus kuat di lokasi tersebut. Substrat dasar perairan adalah lumpur yang kemungkinan besar berasal dari Sungai Mandeh dan Sungai Nyalo dikarenakan posisi kapal karam tersebut berada persis di mulut Sungai Mandeh. Pada survei yang dilakukan oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati tahun 2006, di lokasi bangkai kapal karam ditemukan sejumlah artefak berupa 3 buah botol kaca berwarna hijau tua yang bertuliskan Malaya Brewers Ltd, sejumlah fragmen kayu yang setelah dianalisis di laboratorium merupakan sejenis kayu jati, dan sejumlah fragmen keramik (Dillenia, 2006).
Latar Historis Kapal MV Boelongan Nederland Perang Dunia II yang terjadi pada tahun 1939 hingga 1945 antara pasukan Sekutu dengan pasukan poros Jerman-Jepang-Italia tidak hanya memukul Eropa dan Afrika tetapi juga mempengaruhi wilayah Asia Pasifik, sehingga perang ini juga dikenal sebagai Perang Asia Pasifik. Perang ini berpengaruh besar pada gerakan kemerdekaan di beberapa negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tujuan dari invasi Jepang ke Hindia Belanda atau Indonesia adalah untuk menguasai Sumberdaya alam, terutama minyak, untuk mendukung potensi perang Jepang dan mendukung industrinya. Pada saat itu, Jawa dirancang sebagai pusat pasokan untuk semua operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama. Indonesia, yang sebelumnya berada di bawah kendali pemerintah Belanda berubah menjadi koloni Jepang karena Belanda secara resmi menyerahkan Indonesia kepada Jepang pada tahun 1942 berdasarkan Perjanjian Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Sejak saat itu, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang (Ricklefs, 1998; http://id.wikipedia.org/wiki/ Sejarah_Nusantara). Pada tanggal 18 Maret 1942, Jepang mengambil alih Padang di Sumatera Barat. Pada saat itu, Tentara-16 Jepang mengendalikan Pulau Jawa, Tentara-25 mengendalikan Sumatera Barat, sementara Angkatan Laut Jepang menguasai Indonesia Timur dan berkantor pusat di Makassar (Ricklefs, 1998). Jumlah pertempuran antara pasukan Jepang dengan Sekutu di perairan Indonesia dari mulai Pulau Sumatera hingga ke Maluku dan Papua 98
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
selama Perang Dunia II menyebabkan banyaknya Sumberdaya arkeologi laut di perairan Indonesia dalam bentuk tinggalan kapal karam dan puing-puing pesawat. Berdasarkan arsip KPM, MV Boelongan Nederland adalah milik KPM yang merupakan perusahaan pelayaran yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1888 dan mulai beroperasi pada tahun 1891. KPM telah membuat pantai barat Sumatera sebagai wilayah utama layanan selain Batavia (Asnan: 2007). Sejak 1850, Pemerintah Belanda membuka hubungan pengiriman langsung antara Padang dengan Batavia yang terus berlanjut sampai akhir Perang Dunia II. KPM pada waktu itu disubsidi oleh pemerintah Hindia Belanda dan merupakan perusahaan pelayaran istimewa untuk melayani transportasi maritim di seluruh wilayah Hindia Belanda. Perusahaan pelayaran ini melayani transportasi penumpang dan barang di bidang sipil dan pemerintah. Bagi pemerintah Hindia Belanda, kapal-kapal KPM tidak hanya memiliki makna sebagai alat transportasi saja melainkan juga sebagai alat pemersatu koloni mereka. Kapal-kapal KPM termasuk kapal MV Boelongan Nederland juga kadang-kadang digunakan untuk tujuan militer oleh pemerintah Hindia Belanda. Di Tropen Museum, terdapat banyak koleksi foto kapal MV Boelongan Nederland yang pada waktu itu sering digunakan oleh pejabat kolonial Belanda ketika mengunjungi istana Kesultanan Bulungan, Darul Aman, di ujung utara pantai timur Kalimantan. MV Boelongan Nederland sebelum kedatangan Jepang sering terlihat di perairan Bulungan sebagai kapal transportasi pejabat kolonial, namun memasuki tahun 1940-an, kapal itu diidentifikasi sedang berada di luar Kalimantan. Salah satu peristiwa penting terkait dengan kapal Boelongan Nederland adalah tenggelamnya kapal KPM Van Imhoff, yang isinya sebagian besar adalah para tahanan Jerman. Van Imhoff adalah kapal ketiga yang berangkat dari kota Sibolga, Sumatera. Pada tanggal 18 Januari 1942, dengan berat 3.000 ton, kapal tersebut akan berlayar ke India, sebagian besar kru adalah orang-orang Jerman yang ditahan oleh Belanda. Penahanan itu dilakukan karena pada tanggal 10 Mei 1940, pasukan Jerman menyerbu Belanda, dan pada hari yang sama Belanda di Indonesia membalas dengan menangkap sebanyak 2.436 orang Jerman untuk kemudian ditahan. Kebanyakan dari mereka adalah anggota pemerintahan kolonial, bersama dengan keluarga mereka, ahli
99
budaya, insinyur, dokter, ilmuwan, ahli minyak, diplomat, misionaris, pedagang, pelaut, dan sejumlah seniman (Zarkasy, 2010). Van Imhoff kemudian menuju ke kamp terbesar di Sumatera Utara, dengan kapten bernama Bongvani, mengangkut 477 tahanan Jerman yang dijaga ketat oleh tentara bersenjata dan 62 awak 48 kapal. Anehnya, sebagai kapal tahanan, kapal ini tidak dilengkapi dengan simbol palang merah, sehingga diperkirakan bahwa kapal ini akan sengaja diumpankan untuk dihancurkan oleh Jepang yang tidak lain adalah sekutu Jerman sendiri. Pada hari berikutnya, tanggal 19 Januari 1942, sesuai perkiraan Belanda, kapal Van Imhoff dibombardir dari udara oleh Jepang, pasukan Belanda yang ada di kapal tersebut kemudian menarik sekoci dan meninggalkan tawanan Jerman yang dibunuh oleh sekutu mereka sendiri, sebelumnya orang-orang Belanda di kapal tersebut telah menghancurkan pompa air dan jaringan komunikasi kapal, mereka juga dengan sengaja memecahkan dayung dari sisa sekoci yang mereka tinggalkan. Akibatnya, banyak tahanan Jerman yang meninggal, sementara itu orang-orang Jerman yang selamat mencoba berenang dan memanjat sisa sekoci yang ditinggalkan oleh tentara Belanda dan awak Van Imhoff, akan tetapi banyak dari mereka yang memilih untuk bunuh diri. Keesokan harinya, pada tanggal 20 Januari 1942, kapal MV Boelongan Nederland mendekat ke arah puing kapal Van Imhoff, beberapa tahanan yang selamat mencoba naik kapal tersebut, tetapi orang-orang Belanda di kapal Boelongan meninggalkan mereka di laut ketika mengetahui bahwa para korban tersebut adalah orang-orang Jerman, bahkan beberapa orang Jerman telah naik ke kapal tapi kemudian mereka dibuang kembali ke laut. Harian Kompas menyebutkan bahwa Horst H Geerken dalam buku berjudul A Magic Gecko: Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno (2011) menjelaskan, pada 20 Januari 1942, Boelongan terlihat di lokasi tenggelamnya Van Imhoff II. Namun, karena yang tersisa hanya sekoci berisi tawanan Jerman, Boelongan Nederland kemudian berputar haluan tanpa memberikan pertolongan. Keputusan Kapten Berveling diduga terkait peta Perang Dunia II saat Jerman tergabung dalam poros kekuatan bersama Jepang dan Italia. Di sisi lain, Belanda ikut kubu Sekutu yang di antaranya digerakkan Inggris dan Amerika Serikat. Sebelumnya, Jerman memorak-porandakan Rotterdam di Belanda dengan pengeboman pada Mei 1940. Boelongan yang berperan sebagai pengiring Van Imhoff diduga kembali ke selatan menuju Padang untuk terus ke Pesisir Selatan mengarah ke Batavia atau Australia. Ini 100
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
terbukti dari posisi kapal itu saat tenggelam yang seperti menuju ke arah selatan (Kompas, 14 Januari 2013). Hal ini kemudian menjadi awal bencana bagi kapal MV Boelongan Nederland. Sekutu Jerman, tentara Jepang, ternyata membayar perlakuan orang-orang Belanda di kapal MV Boelongan tersebut. Ketika mereka melihat kapal itu di perairan sekitar Padang beberapa hari setelah tragedi Van Imhoff, Jepang kemudian langsung membom kapal tersebut untuk membayar kematian orang-orang Jerman. Dengan demikian, kapal megah MV Boelongan Nederland yang pernah menjadi simbol kekuasaan kolonial Belanda di Kerajaan Bulungan pada waktu itu akhirnya tenggelam dan hilang (Zarkasyi, 2010; www.wrecksite.eu, http: // www. arendnet. com; http: // www. bogor. indo.net.id/ indonesia.tuguperingatan jerman). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Kompas terhadap penduduk di Nagari Mandeh dapat diketahui kejadian detil insiden pengeboman kapal Belanda tersebut yang terjadi pada hari Rabu tanggal 28 Januari 1942 selepas waktu dzuhur. Salah satu penduduk, yaitu Anas Malin Randah (usia 83), yang ketika itu masih berusia remaja tengah bersantai di pondok perladangan di atas kawasan perbukitan. Ayahnya waktu itu masih menanam padi di ladang saat satu skuadron pesawat tempur Jepang seperti meraung-raung di atas kepalanya. Anas mengatakan jumlah pesawat tempur tersebut adalah 12. Tak lama berselang, bunyi bom seperti bersahut-sahutan. Anas beserta tiga kakak dan seorang adiknya bergegas menuju ke goa batu untuk berlindung. Anas masih mampu merekam jalannya serangan. Pesawat tempur Jepang itu membombardir kapal Belanda. Serangan berlangsung sekitar tiga jam hingga sore menjelang. Delapan pesawat tempur baru menggantikan peran 12 pesawat sebelumnya. Serangan ditutup oleh enam pesawat berikutnya. Kapal Boelongan tenggelam setelah dibom pada bagian haluan, buritan, dan persis di cerobong asapnya. Anas pun melihat sejumlah awak kapal yang meninggalkan kapal dengan sekoci. Boelongan tenggelam dengan posisi mendatar. Saat dibom, Boelongan pada posisi terbuka di Teluk Mandeh, yang jaraknya sekitar 200 meter dari daratan terdekat dan sekitar 70 kilometer dari Kota Padang. Anas mengatakan bahwa kawasan perairan ini merupakan salah satu rute pelayaran pantai barat Sumatera yang sangat ramai pada masa silam. Anas ingat kapal Boelongan berada di kawasan itu sejak sekitar sepekan sebelumnya. Kapal itu mula-mula masuk dari pintu muara di Nagari Sungai Nyalo Mudik Aie yang bertetangga dengan Teluk 101
Mandeh. Lalu, Boelongan berlindung di Teluk Dalam di antara Pulau Cubadak dan Pulau Taraju yang masih di kawasan perairan Mandeh. Serangan cepat Jepang tak disangka-sangka Belanda. Periode Desember 1941-Februari 1942 memang ditandai dengan serangan udara yang dilakukan Jepang secara bertubi-tubi (Kompas, 14 Januari 2013).
Kondisi Lingkungan Laut Situs Mv Boelongan Nederland Situs kapal karam dan muatannya harus dilindungi dan dikelola secara bertanggung jawab dan berkelanjutan karena memiliki sifat terbatas (finite), baik jumlah maupun jenisnya; sangat rapuh (fragile); tidak dapat diperbaharui (non renewable resources); sangat rentan terhadap kerusakan (susceptible from damage); dan keberadaannya sering terancam punah bukan hanya oleh faktor aktivitas manusia (perburuan harta karun, penangkapan ikan, pertambangan, pembangunan infrastruktur, polusi, pergerakan/lalu lintas kapal), melainkan juga oleh faktor perubahan lingkungan alam (natural factors) termasuk perubahan iklim UNESCO menyebutkan bahwa warisan budaya bawah air tidak hanya terancam oleh aktivitas manusia, tetapi juga oleh perubahan lingkungan yang disebabkan oleh gempa bumi, badai, variasi temperatur, perubahan arus dan erosi pantai. Biasanya, sebuah situs yang terkubur di bawah sedimen akan mencapai keadaan anaerob yang stabil dengan tingkat oksigen dan cahaya yang rendah yang mengurangi proses degradasi material yang disebabkan oleh bahan kimia, faktor fisik dan biologis. Akan tetapi, perubahan dinamika fisik-mekanik laut seperti perubahan pasang surut dan adanya perubahan angin yang menstimulasi perubahan arus dan gelombang dapat mendorong aktivitas pengangkutan sedimen yang berdampak pada pengeksposan atau penimbunan situs bawah air oleh sedimen (erosi, abrasi, scouring, sedimentasi). Gelombang abnormal yang dihasilkan oleh gempa bumi bawah laut juga dapat mengganggu keseimbangan sebuah situs, menghapus sedimen di atasnya dan mengekspos situs tersebut ke permukaan air dan mengeksposnya terhadap bakteri. Pada saat ini, juga banyak terdapat situs bawah air yang terekspos ke udara akibat perubahan permukaan laut (sea level changing) dan menyebabkan situs-situs tersebut rusak dan hancur. Perubahan iklim dapat menstimulasi ancaman biologis terhadap situs kapal karam di antaranya adalah dampak jamur, bakteri dan woodborers atau 102
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
shipworm. Bakteri pembusuk dapat mengancam kayu di situs bawah air baik di laut maupun situs di air tawar (danau, sungai). Serangan dari woodborers sepertiTeredo navalis juga menimbulkan ancaman biologis yang cukup besar untuk elemen kayu yang terendam. Serangan shipworm ini dapat merusak kayu dalam beberapa bulan. Perubahan iklim juga menjadi pemicu adanya proses kimiawi yang secara signifikan dapat mengganggu integritas sebuah situs arkeologi bawah air atau situs kapal karam, misalnya korosi besi dan logam lainnya dikarenakan ketersediaan oksigen di situs meningkat dan adanya perubahan derajat keasaman air. Aktivitas bakteri pada kayu dapat membentuk mineral, seperti pirit, yang merugikan kayu karena pH laut yang semakin rendahsehingga menyebabkan adanya hidrolisis selulosa (UNESCO, http:// www. unesco.org /new/en /culture/ themes/underwater-culturalheritage /protection/heritage-in-danger). Iklim di Kawasan Mandeh tergolong iklim tropis. Perbedaan musim kemarau dan hujan tak terlihat jelas. Suhu rata-ratanya 26°C sampai 33°C. Curah hujan terjadi pada bulan-bulan Oktober sampai Desember dan puncaknya di Bulan November. Sementara itu, musim kemarau terjadi dari Bulan Mei hingga Juli.Kawasan Mandeh mempunyai topografi wilayah berupa daerah perbukitan yang berbatasan langsung dengan pantai dan secara geologis merupakan daerah rawan gempa bumi. Hal ini terkait dengan kondisi fisik Pulau Sumatera sebagai Great Sumatera Fault di sepanjang pesisir Sumatera yang saling mendesak sehingga terjadi gerakan di lempeng besar dan micro plate. Kondisi tersebut menjadikan wilayah ini rentan terhadap bencana alam seperti tanah longsor dan gempa bumi yang berpotensi menyebabkan gelombang tinggi atau tsunami (Biro Perekonomian Prov. Sumbar, 2010). Kawasan Mandeh dan sekitarnya merupakan kawasan teluk dengan riak ombak yang tenang serta terlindung dari gelombang atau arus besar dari Samudera Hindia. Kawasan ini sering menjadi tempat berlindung bagi kapal-kapal besar jika terjadi badai di tengah samudera.
Ekosistem Pesisir dan Laut Kawasan Mandeh Ekosistem pesisir yang terdapat di Kawasan Mandeh terdiri dari ekosistem pantai berpasir, ekosistem mangrove, ekosistem lamun (seagrass) dan ekosistem karang. Tutupan hutan mangrove di Kecamatan Koto XI Tarusan yaitu sejumlah 37,3 % dan merupakan yang tertinggi di Kab. Pesisir Selatan. Jenis mangrove di lokasi ini di antaranya adalah Rzhizophora 103
apiulata, Rhizopra stylosa, Brugeria gyanomizha, Ceripos tagal, Avicennia sp dan Nypa fruticans, dengan ketebalan berkisar antara 40 - 50 meter. Potensi padang lamun terdapat di beberapa pulau dan desa yaitu Desa Mandeh, Sungai Nyalo, Pulau Cubadak, Sironjong Besar dan Pulau Setan dengan jenis lamun yaitu: Enhalus acoroides dan Thalasia hemprichii. Persentase tutupan lahan lamun di pantai barat Mandeh sebesar 28,37 persen yang penyebarannya tidak terlalu luas. Jenis rumput laut yang terdapat di kawasan ini adalah jenis Grasillaria sp dan Gellidum sp. (RTRW Kabupaten Pesisir Selatan 2010 - 2030). Yang patut disayangkan adalah bahwa jumlah tutupan terumbu karang yang mengalami kerusakan di Kawasan Mandeh Koto XI Tarusan sangatlah besar yaitu lebih dari 85,25 %. Sejumlah spesies invertebrata memang masih dapat diamati selama kegiatan penyelaman di lokasi titik kapal karam MV Boelongan Nederland, misalnya sea fans, pipe coral, bubble coral, barrel sponges. Sementara itu, di beberapa bagian dek kapal karam MV Boelongan, yang rata-rata berada pada kedalaman sekitar 20 meter, tampak dipenuhi juga oleh spons laut. Sebagian besar spesies ikan karang tropis dapat dilihat di perairan tersebut, misalnya ikan kerapu (groupers), trigger fishes, clown fishes, oriental sweet lips, trevallies, barracuda dan lain-lain. Nudibranch berwarna-warni banyak ditemukan juga di lokasi tersebut beserta bintang laut, mentimun laut, dan juga pleurobranches.Keanekaragaman biota laut banyak ditemukan di lokasi kapal karam, di antaranya adalah: Surgeon Fish, Snappers, Butterfly Fish, kerapu (Groupers), Angelfish, dan Sea Urchin. Pada saat penyelaman, tim melihat adanya ikan grouper berukuran besar sepanjang 2 m yang berenang-renang keluar masuk ruangan-ruangan kapal karam tersebut.
Karakteristik Sedimentasi Sedimentasi di suatu lingkungan pantai terjadi karena terdapat suplai muatan sedimen yang tinggi di lingkungan pantai tersebut. Suplai muatan sedimen yang sangat tinggi yang menyebabkan sedimentasi itu hanya dapat berasal dari daratan yang dibawa ke laut melalui aliran sungai. Pembukaan lahan di daerah aliran sungai yang meningkatkan erosi permukaan merupakan faktor utama yang meningkatkan suplai muatan sedimen ke laut. Selain itu, sedimentasi dalam skala yang lebih kecil dapat terjadi karena
104
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
transportasi sedimen sepanjang pantai (http:// wahyuancol. wordpress. com/2008/06/06/sedimentasi). Pengaruh sedimentasi terhadap situs tinggalan kapal karam sebenarnya dapat dilihat dari dua sisi. Menurut UNESCO, sedimentasi dapat dilihat sebagai salah satu metode in-situ preservation (pelestarian serta penyelamatan dengan membiarkan situs tetap pada lokasi dan kondisi awal) yang baik, karena sedimentasi lumpur yang pada akhirnya dapat menimbun bangkai kapal itu merupakan perlindungan alami yang baik dari aktivitas pencurian atau kerusakan akibat mikro-organisme lain. Namun bila situs kapal karam tersebut akan dimanfaatkan sebagai lokasi wisata bahari, maka sedimentasi tersebut dalam periode waktu tertentu dapat menyebabkan seluruh struktur kapal terbenam lumpur sehingga pada akhirnya situs kapal karam tersebut tidak dapat dijadikan lagi sebagai obyek wisata penyelaman wreck diving. Berdasarkan hasil evaluasi dengan pemerintah daerah setempat serta menilai bahwa potensi tersebut dapat dijadikan nilai tambah daerah sebagai lokasi wisata bahari, juga dalam mendukung peningkatan potensi industri wisata bahari, maka perlu dilakukan kajian terhadap karakteristik sedimentasi yang terjadi di wilayah Teluk Mandeh terutama terhadap lokasi situs kapal karam. Dengan demikian, kami telah menempatkan sedimen trap diletakkan pada sejumlah stasiun yaitu di titik kapal karam, di muara Sungai Mandeh, Sungai Mandeh, dan juga di Sungai Nyalo. Berdasarkan pengamatan sewaktu melakukan penyelaman di lokasi kapal karam MV Boelongan Nederland, sebagian badan kapal itu sekarang terlihat terbenam oleh lapisan sedimen berupa lumpur. Berdasarkan hasil studi pustaka, sebenarnya wilayah perairan Mandeh tidak memiliki kasus sedimentasi yang secara signifikan mengancam perairan maupun ekosistem pesisirnya. Akan tetapi pada saat ini, terdapat kegiatan pembangunan jalan baru yang merupakan akses menuju Nagari Mandeh yang sebelumnya rusak berat. Namun, pembangunan jalan baru yang tengah dikerjakan justru menghancurkan ekosistem perairan di sepanjang lokasi tersebut. Pembangunan badan jalan baru selebar 8 (delapan) meter itu telah merusak ekosistem perairan di sekitarnya. Pada sepanjang ruas perbaikan jalan yang tengah dikerjakan tampak warna perairan laut yang kecoklatan (Kompas, 7 Januari 2013). Perubahan warna dari biru menjadi kecoklatan itu diduga kuat karena adanya proses sedimentasi akibat material tanah yang luruh ke hamparan hutan bakau dan perairan di bawahnya. Ini terjadi menyusul 105
aktivitas pemotongan bukit dan badan jalan yang tengah dibangun. Hal ini menjadi dasar dalam penelitian bahwa memang telah terjadi perubahan tingkat laju sedimentasi yang ditransportasikan oleh DAS sungai di wilayah ini yang berakhir di muara perairan Mandeh. Dari puncak Bukit Langkisau, hampir seluruh kawasan perairan di Carocok Tarusan termasuk Teluk Mandeh terlihat dengan sangat indah dan menarik. Dari puncak Bukit Langkisau juga kami melihat adanya aktivitas dan proses pembangunan jalan dan sarana rekreasi yang mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan di sekitar wilayah pesisir Kawasan Mandeh dan terlihat juga adanya indikasi proses sedimentasi yang cukup signifikan di wilayah pantai. Hal tersebut dapat terlihat secara visual yaitu dengan adanya perbedaan warna yang sangat mencolok antara air laut yang berwarna biru dengan air yang berwarna coklat dari muara sungai.
Gambar 12 & 13. Proyek Pembangunan Jalan di Kawasan Mandeh & Perbedaan Warna Air dikarenakan Proyek Pembangunan Jalan Kisaran nilai laju sedimentasi dari penambat sedimen yang dipasang di lokasi Sungai Mandeh adalah sebesar 60,85 sampai 62,16 g.m-2.hari-1. Sementara itu, tingkat laju sedimentasi yang didapatkan dari Sungai Nyalo bernilai rata-rata 48,86 g.m-2.hari-1. Dengan memperhitungkan hari hujan yang terjadi pada saat pengambilan contoh sedimen, dapat diketahui bahwa sedimen yang disumbangkan ke perairan Mandeh dan sekitarnya lebih banyak disumbang dari Sungai Mandeh.
106
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Gambar 14. Pengambilan Sediment Trap di Muara Sungai Mandeh Proses sedimentasi di perairan pesisir tersebut terjadi perlahan namun berlangsung terus menerus selama aliran suplai muatan sedimen yang tinggi dari daratan terus berlangsung. Perubahan laju sedimentasi dapat terjadi bila terjadi perubahan kondisi lingkungan fisik di daerah aliran sungai terkait. Pembukaan lahan yang meningkatkan erosi permukaan dapat meningkatkan laju sedimentasi. Bila sedimentasi semata-mata karena tranportasi muatan sedimen sepanjang pantai, laju sedimentasi yang terjadi relatif lebih lambat bila dibandingkan dengan sedimentasi yang mendapat suplai muatan sedimen dari daratan. Selain itu, proses transportasi sedimen yang terjadi di wilayah perairan Mandeh akan dipengaruhi oleh gaya arus yang bekerja di perairan tersebut. Berdasarkan data pengukuran laju sedimentasi dari penambat sedimen, didapatkan hasil bahwa laju sedimentasi di wilayah perairan Mandeh yang berdekatan dengan lokasi kapal karam adalah 15,33 g.m-2.hari-1. Berdasarkan analisis pasang surut harmonik dengan memanfaatkan komponen–komponen utama pasut, dapat diinterpretasikan bahwa pada musim kering (musim Timur) arus yang terukur didominasi oleh kekuatan pasang surut dimana kecepatan arah u (timur-barat) tampak lebih terwakili karena memang arah ini lebih dominan dipengaruhi oleh karakteristik pasut setempat. Selain itu, kecepatan arus arah vertikal sangat tidak signifikan, yang mendukung dugaan bahwa kondisi perairan di sekitar Pulau Cubadak relatif selalu bersih karena faktor mixing/turbulensi perairan yang relatif kecil. 107
Suplai Sedimen
Arah arus musim Timur
Gambar 15. Karakteristik Arus dan Dugaan Suplai Sedimen Dominan pada Musim Timur Berdasarkan hal di atas, maka diinterpretasikan terjadi hubungan yang erat antara suplai sedimen dari Sungai Mandeh dan arus yang bekerja terhadap sedimen yang berpengaruh terhadap laju sedimentasi di lokasi kapal karam, terutama saat Musim Timur. Dengan kondisi perairan Mandeh yang semi tertutup dari perairan terbuka, maka diduga sedimen yang disumbang dari sungai-sungai tersebut sebagian besar terperangkap dan mengendap di wilayah perairan tersebut. Selain itu, faktor mixing atau turbulensi arus yang relatif kecil tetap membuat perairan di sekitarnya mengalami kekeruhan, terutama dari sedimen melayang berukuran sangat halus, disamping itu, aktivitas manusia/nelayan dengan budidaya Keramba Jaring Apung yang berlokasi di sekitar Kawasan Mandeh juga akan turut menyumbang semakin menurunnya kualitas fisik perairan. Berbeda dengan hasil pengukuran pada musim kering, distribusi arus pada musim hujan (Musim Barat) didominasi arah utara – selatan atau sejajar dengan garis pantai di lokasi pengukuran (Cubadak Paradiso Village). Namun demikian rentang kekuatan arus tidak jauh berbeda dengan arus pada saat musim kering yaitu dibawah 0.03 m/s. Sementara itu, hasil analisis dengan 108
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
parameter harmonik pasut menunjukkan bahwa arus arah utara-selatan (kecepatan arah v) sangat dipengaruhi oleh faktor pasang surut. Sementara itu, arah arus timur-barat (kecepatan arah u) tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor pasang-surut.
Suplai Sedimen
Arah arus musim Barat
Gambar 16. Karakteristik Arus dan Dugaan Suplai Sedimen Dominan pada Musim Barat Pada Musim Barat, suplai sedimen yang berasal dari Sungai Nyalo diinterpretasikan menyumbang material sedimen yang signifikan ke wilayah perairan Mandeh. Suplai sedimen juga bisa berasal dari Sungai Mandeh, namun dengan laju sedimentasi yang lebih rendah. Kondisi transportasi sedimen dari sungai ke laut dan di perairan mungkin berbeda bila dibandingkan pada Musim Timur, diduga bila suplai sedimen terjadi dari Sungai Nyalo, maka arus dari perairan terbuka, yang kemungkinan akan masuk ke wilayah perairan melalui pintu selat yang sempit di utara, akan mendorong sedimen ke selatan (ditunjang dengan data arus yang berarah Utara-Selatan di dalam perairan). Namun sedimen juga akan terhambat oleh arah arus yang masuk ke dalam perairan dari pintu selatan, bila ini terjadi maka sedimen yang tertransportasi kemungkinan akan lolos sebagian kecil dan sisanya akan terendapkan dengan sebaran yang lebih luas dan merata di wilayah perairan bila dibandingkan pada Musim Timur.
109
Karakteristik Arus Parameter oseanografi yang signifikan sebagai penyebab adanya sedimen dasar, pembawa sedimen tersuspensi maupun massa yang lain seperti temperatur, pH, dan lain-lain adalah Arus. Analisis data oseanografi arus hasil dari pengukuran in-situ peralatan Acoustic Doppler Current Profiller (ADCP) Aquadopp dengan sistem bottom-mounted dilakukan untuk mengetahui dinamika perairan di lokasi sekitar kapal karam dan pengaruhnya terhadap keberadaan dan kelestarian kapal karam tersebut. Pengukuran arus laut dilakukan 2 (dua) kali pada musim panas selama 31 hari yaitu dari tanggal 15 Juni – 16 Juli 2012 dan musim penghujan selama 24 hari yaitu dari tanggal 5 – 29 Desember 2012 pada kedalaman sekitar 20 m di sekitar dermaga Cubadak Paradiso Resort di Pulau Cubadak, pada titik koordinat 010 13’01.9” LS dan 1000 24’05.1” BT.
Gambar 17. Pemasangan ADCP di Bawah Air Kawasan Mandeh a.
Data Musim Panas/Kering Data yang terukur saat musim panas (Juni-Juli) terlihat contohnya pada Gambar 18 yang memperlihatkan data kompas, tekanan, dan suhu perairan. Data kompas terlihat stabil, hal ini menunjukkan bahwa instrumen berada dalam kondisi stabil selama rentang waktu pengukuran (tidak ada pergeseran ruang). Data tekanan memperlihatkan bahwa kedalaman perairan berada pada kisaran ~ 18,7 m yang berfluktuasi mengikuti karakteristik 110
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
pasang surut. Data suhu perairan memperlihatkan fluktuasi yang cukup signifikan. Hal ini dapat dijelaskan oleh turunnya hujan pada hari-hari tertentu yang mengakibatkan perubahan suhu cukup signifikan. Rata-rata suhu perairan selama rentang waktu pengukuran berkisar ~ 29.8 oC, kecuali pada tanggal 24 Juni – 5 Juli 2012 dimana suhu berfluktuasi hingga 30.2 oC. Current and sensor data 20
Pressure
Temperature
Pressure (m)
29.5 10 29.0 5 28.5 0
Heading
Pitch
Temperature (degC)
30.0 15
Roll 10 0
200
-10
100
-20 -30
0 22 Jun 2012
1 Time
8
15
Gambar 18. Data Tekanan, Suhu, dan Kompas ADCP pada Musim Kering Dari data yang terekam, terlihat jelas bahwa kekuatan arus lebih didominasi pergerakan arus dari arah barat-timur terutama arus yang berada dekat permukaan. Arus yang terukur didominasi oleh kekuatan pasang surut, hal ini dapat terlihat dengan analisis pasang surut harmonik dengan memanfaatkan komponen- komponen utama pasut. Kecepatan arah u (timurbarat) tampak lebih terwakili karena faktanya memang arah ini lebih dominan dipengaruhi oleh karakteristik pasut setempat. Kecepatan arus arah vertikal sangat tidak signifikan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kondisi perairan Kawasan Mandeh di sekitar Pulau Cubadak relatif selalu bersih karena faktor mixing/turbulensi perairan yang relatif kecil.
111
Tilt (deg)
Heading (deg)
300
Tabel 2. Statistik Umum Pengukuran Arus untuk Cell 2, 5 dan 7 Cell2, h = -15 m Parameter statistik
u [m/s]
Mean
Cell 5, h = -10 m
v [m/s]
u [m/s]
cell 7, h = -5 m
v [m/s]
u [m/s]
v [m/s]
-0.014
-0.006
-0.013
-0.007
-0.010
-0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
-0.010
0.000
-0.010
-0.010
-0.010
0.000
Mode
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
Standard Deviation
0.038
0.031
0.041
0.035
0.043
0.035
Sample Variance
0.001
0.001
0.002
0.001
0.002
0.001
Kurtosis
0.522
11.879
0.099
0.262
0.497
0.772
Skewness
0.152
-0.752
0.064
-0.050
-0.069
0.006
Range
0.320
0.650
0.300
0.240
0.410
0.340
Minimum
-0.150
-0.430
-0.170
-0.140
-0.220
-0.190
Maximum
0.170
0.220
0.130
0.100
0.190
0.150
Standard Error Median
Sum Count Confidence Level(95.0%)
-40.900
-18.140
-38.810
-20.150
-29.830
-4.330
2957.000
2957.000
2956.000
2956.000
2955.000
2955.000
0.001
0.001
0.001
0.001
0.002
0.001
data predicted
0.1 u(cm/s)
u velocity [m/s]
Linear Least Square Regression (Using 21 Constituents)
0
-0.1
9.858
9.8582
9.8584
9.8586
9.8588 time
9.859
9.8592
9.8594
9.8596 5
x 10
0.2 data data Residual current
0.05
predicted
0.1 u(cm/s) u(cm/s)
v velocity [m/s]
(Observed-Predicted) Linear LeastResidual Square data Regression (Using 21 Constituents)
0 -0.050 -0.1
-0.1
-0.2 9.857
9.858
9.8582
9.858
9.8584
9.859
9.8586
9.86
9.861
9.8588 time
9.859
9.862
9.8592
9.863
9.8594
9.864
9.8596 5
9.865
x 109.866
Residual data (Observed-Predicted) time
5
x 10
Gambar 19. Perbandingan Arus Hasil Prediksi dengan Komponen Pasut dan Residual current data 1.5 0.05 S2 Hasil Pengukuran u(cm/s) Amplitudes of Tidal Constituents plitudes of Tidal Constituents
0.1
0
T2
-0.051 -0.1
0.5
-0.15 9.857
0 10.2
L2 La4 9.859 K2
9.858
9.86
0.6 S2 T2
0.6 0.4 L2 La4 K2
0.2 v2 N2
9.862
M3
0.4
0.8
9.861
9.863
9.864
9.865
9.866
time
N2 v2 Mu2M2 2N2
Q1O1P1 M1K1J1
0.8 1 Period of Tidal Constituent (days)
5
x 10 M4 MS4S4
M6
1.2
1.4
1.6
112
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0) East velocity (m/s) 7/15/2012 11:30:00 PM
Prof 27 Prof 1756
16
Prof 349 Prof 2033
Prof 599 Prof 2901
Prof 1173
Prof 1466
14
Distance (m)
12
10
8
6
4
2 -0.20
-0.15
-0.10
-0.05
0.00 0.05 East velocity (m/s)
0.10
0.15
0.20
North velocity (m/s) 7/15/2012 11:30:00 PM
Prof 27 Prof 1756
16
Prof 349 Prof 2033
Prof 599 Prof 2901
Prof 1173
Prof 1466
14
Distance (m)
12
10
8
6
4
2 -0.20
-0.15
-0.10
-0.05
0.00 0.05 North velocity (m/s)
0.10
0.15
0.20
Gambar 20 & 21. Profil Kecepatan Arah Timur – Barat dan Utara – Selatan untuk 9 Profil Waktu yang Berbeda Up velocity (m/s) 7/15/2012 11:30:00 PM
16
Prof 27 Prof 1756
Prof 349 Prof 2033
Prof 599 Prof 2901
Prof 1173
Prof 1466
14
Distance (m)
12
10
8
6
4
2 -0.20
-0.15
-0.10
-0.05
0.00 0.05 Up velocity (m/s)
0.10
0.15
0.20
Gambar 22. Profil Kecepatan Arah Vertikal (Atas-Bawah) untuk 9 Profil Waktu yang berbeda 113
b. Data Musim Hujan Alat ukur ADCP ditempatkan pada lokasi/titik yang sama sebagaimana pada saat pengukuran di musim kering. Oleh karena itu, rekaman tekanan menunjukkan variasi data yang serupa dengan hasil pengukuran pada saat musim kering (18,7 m). Pada musim penghujan, penurunan rata-rata suhu jelas terlihat dan fluktuasi suhu selama pengukuran tidak signifikan. Rata-rata suhu perairan di musim penghujan sekitar 29,4 oC (Gambar 23). Current and sensor data Pressure
Temperature 36
15
34
10
32
5 30 0
Heading
Pitch
Temperature (degC)
Pressure (m)
20
Roll 0 -10
250 -20 200 -30 8 Dec 2012
15
22 Time
Gambar 23. Data Tekanan, Suhu Dan Compass ADCP Pada Musim Hujan Berbeda dengan hasil pengukuran pada musim kering, distribusi arus pada musim hujan didominasi arah utara – selatan atau sejajar dengan garis pantai di lokasi pengukuran (Cubadak Paradiso Village). Namun demikian, rentang kekuatan arus tidak jauh berbeda dengan arus pada saat musim kering yaitu dibawah 0.03 m/s. Sementara itu, hasil analisis dengan parameter harmonik pasut menunjukkan bahwa arus arah utara-selatan (kecepatan arah v) sangat dipengaruhi oleh faktor pasang surut. Sementara itu, arah arus timur-barat (kecepatan arah u) tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor pasang-surut (gambar 19-21). Profil kecepatan arus untuk ketiga komponen kecepatan dapat dilihat pada gambar 63, 64 dan 65. Terlihat jelas bahwa dominasi arus arah utaraselatan sangat signifikan dibanding arah timur-barat. Serupa dengan kondisi pada saat musim kering, kecepatan arus arah vertikal sangat kecil. Hal ini 114
Tilt (deg)
Heading (deg)
300
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
merupakan salah satu indikasi yang mendukung jernihnya perairan di pantai Pulau Cubadak. Data arus yang diperoleh melalui pengukuran ADCP di Cubadak telah mewakili kondisi cuaca yang berbeda (musim kering dan musim hujan). Secara umum kondisi pola dan sebaran arus permukaan tidak mengindikasikan fenomena arus yang ekstrim bisa merusak atau menghancurkan secara mekanik situs bawah air MV Boelongan Nederland.
Karakteristik Pasang Surut Analisis data pasang surut perairan sekitar Cubadak dan Kawasan Mandeh dilakukan untuk mengetahui dinamika perairan di lokasi sekitar kapal karam dan pengaruhnya terhadap keberadaan dan kelestarian kapal karam.Data pasang surut sangat penting untuk menentukan elevasi. Pengukuran pasang surut dilakukan di dermaga terluar resort Cubadak selama 24 hari pada titik koordinat 01o 13.054 LS, 100o 24.050 BT. Berdasarkan hasil analisis data yang tersedia, nilai konstituen pasut (amplitude dan beda fasa) untuk Perairan Cubadak dan sekitarnya diperlihatkan pada Gambar 24 dan Tabel 3. Terlihat bahwa konstituen pasut yang dominan di Perairan Cubadak adalah K1, M2, O1, M4, S2, M6, 3MK7, 2MS6 dan SK3. Kesemuanya memiliki signal-to-noise ratio, SNR > 1. Van der Stok (1897) dalam Pedoman Pendidikan Survei Hidrografi (1989) mengklasifikasikan tipe pasang surut berdasarkan perbandingan antara jumlah amplitudo komponen (A) diurnal K1 dan O1 dengan jumlah amplitudo komponen semi – diurnal M2 dan S2. Dengan didapatnya nilai amplitudo dari tiap komponen pasang surut di lokasi kawasan Mandeh dan Cubadak maka dapat ditentukan tipe pasang surut di lokasi tersebut dengan perbandingan: A( K1) A(O1) 0.1766 0.0387 F 0.491 A( M 2) A( S 2) 0.3922 0.083
115
Tabel 3. Konstituen Pasut Utama untuk Perairan Pulau Cubadak dan Sekitarnya amplitude amplitude tide freq (cph) (m) error (-) constants
No. 1 *K1 0.041781 2 *M2 0.080511 3 *O1 0.038731 4 *M4 0.161023 5 *S2 0.083333 6 *M6 0.241534 7 *3MK7 0.283315 8 *2MS6 0.244356 9 *SK3 0.125114 10 *M10 0.402557 11 MSF 0.002822 12 M8 0.322046 13 2SM6 0.247178 14 MS4 0.163845 15 S4 0.166667 16 2SK5 0.208447 17 M3 0.120767 18 2MK5 0.202804 snr: signal-to-noise ratio cph: cycle per hour
0.1766 0.3922 0.0844 0.0202 0.1255 0.0017 0.0016 0.0014 0.0103 0.0007 0.0312 0.0007 0.0008 0.0058 0.0047 0.0007 0.0019 0.0004
0.018 0.08 0.018 0.009 0.083 0.001 0.001 0.001 0.01 0.001 0.035 0.001 0.001 0.008 0.007 0.001 0.007 0.001
phase (deg)
phase error (-)
273.96 177.21 273.46 76.73 231.73 338.11 112.55 86.57 313.16 144.42 158.16 23.68 224.41 200.46 179.84 269.1 107.42 169.93
7.28 12.57 12.23 27.14 41.44 38.68 44.59 48.74 59.03 75.35 97.63 73.13 80.77 94.28 99.27 144.51 220.63 212.78
snr 96 24 21 4.9 2.3 2.2 2 1.5 1.1 1 0.78 0.65 0.6 0.47 0.4 0.21 0.071 0.064
Cubadak Tides Characteristics 2.5 Original Time series Tidal prediction from Analysis Original time series minus Prediction
Elevation (m)
2 1.5 1 0.5 0 -0.5 -1 340
345
350
355
360
365
Days in Des 2012
0
Analyzed lines with 95% significance level Significant Constituents Insignificant Constituents 95% Significance Level
SF
0.1
0.15
0.2
0.25 frequency (cph)
K7
10 M
8 M
5 K25 SK 0.05
2M
0
3M
3 M -3
10
M 2 6 2S MS M 6 6
-2
10
M S4 S4
SK 3
M
4
M
Amplitude (m)
-1
10
S2
O 1 K 1
M
2
10
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0.45
0.5
Greenwich Phase (deg)
360 Analyzed Phase angles with 95% CI Significant Constituents Insignificant Constituents
270 180 90 0 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25 frequency (cph)
0.3
0.35
0.4
Gambar 24. Hasil Analisis Pasut untuk Perairan Pulau Cubadak 116
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Dengan demikian, maka tipe pasang surut perairan Cubadak dan sekitarnya dapat dikategorikan sebagai pasang surut campuran cenderung ganda (Mixed Predominantly Semi Diurnal) dimana dalam sehari terjadi dua kali pasang surut, tetapi tinggi dan interval waktunya tidak sama. Perbedaan ini mencapai maksimum bila deklinasi bulan telah melewati maksimumnya. Tenggang rata – rata pasang purnama adalah 2(M2+S2). Hasil analisis elevasielevasi penting untuk perairan Pulau Cubadak dapat dilihat pada Tabel 4 dengan Tunggang pasang di daerah ini 1.56 m. Tabel 4: Elevasi Penting Perairan Pulau Cubadak dan Sekitarnya
Teluk Mandeh yang berlokasi tidak terlalu jauh dari Pulau Cubadak dipastikan memiliki karakteristik pasut yang sama dengan pasut di Pulau Cubadak. Oleh karena itu, hasil analisis pasut di Pulau Cubadak ini dapat digunakan langsung untuk analisis karakteristik perairan di lokasi kapal karam di Teluk Mandeh. Lebih jauh lagi, karakteristik perairan di Teluk Mandeh dapat diperoleh dengan lebih detail dengan bantuan pemodelan hidrodinamika (misal Mike21 atau delft3D) di mana pengukuran pasut di Cubadak dapat dijadikan sebagai salah satu titik validasi pemodelan.
117
Kualitas Air Kualitas air dapat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan atau kelestarian situs kapal karam dikarenakan dari kondisi kualitas air inilah (terutama parameter suhu, pH, dan salinitas) nantinya dapat diketahui mengenai cepat atau lambatnya potensi terjadinya kerusakan pada badan kapal yang terbuat dari bahan logam dikarenakan oleh faktor korosi. Hasilnya nanti dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengambil tindakan dalam mengurangi kecepatan laju korosi pada bangkai kapal karam tersebut sebagai salah satu upaya preservasi in-situ. Pengambilan sampel air laut di muara Sungai (Sei) Mandeh dilakukan di 4 (empat) lokasi yang berbeda, yaitu di muara 1 dan 2 Sei Mandeh (4), muara 3 dan 4 Sei Mandeh (5), lokasi kapal karam (6) serta lokasi dimana ADCP dipasang/dibenamkan (7). Pengukuran kualitas air yang dilakukan di laboratorium terbagi atas pengukuran kualitas fisik dan kandungan komponen kimiawi. Hasil analisis laboratorium ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Parameter Kualitas Air Hasil Analisis Laboratorium
118
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Selain analisis di laboratorium, pengukuran kualitas fisik perairan juga dilakukan secara in-situ dengan menggunakan peralatan multi parameter. Hasil pengukuran in-situ tersaji pada Tabel 6. Pengukuran in-situ dilakukan di muara 1 dan 2 Sei Mandeh (4), muara 3 dan 4 Sei Mandeh (5), lokasi kapal karam (6) serta muara Mungai Nyalo (8). Di lokasi kapal karam, dilakukan pengukuran sebanyak dua kali yaitu pada Juni 2012 (6) serta Desember 2012 (6*). Tabel 6. Hasil Pengukuran In-situ dengan WQC TOA DKK Lokasi Parameter Satuan 4 5 6 6* pH 7.35 7.5 8.02 7.69 DO mg/L 2.2 1.9 2.94 26.3 Conductivity 2.58 3.39 4.71 no data Suhu oC 29.3 29.2 30.2 30.6 Salinitas o/oo 16.3 21 31.4 no data Turbidity mg/L 1.0 6.3 0 0 Sigma T 7.8 11.5 19 no data
8 7.62 8.61 3.14 31.8 19.8 no data no data
Kualitas Fisik Perairan Suhu perairan di Teluk Mandeh berkisar antara 29,2 – 31,8oC. Nilai suhu ini termasuk nilai alami dalam baku mutu perairan untuk biota laut dan wisata bahari yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2004 dimana suhu perairan di Indonesia umumnya berkisar antara 27 – 32 ˚C . Suhu merupakan salah satu faktor pembatas bagi ekosistem dan biota laut, dimana perubahan suhu dapat mempengaruhi proses fisika, kimia dan biologi di badan air. Adanya peningkatan suhu perairan dari kisaran suhu alami dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2 dan CH4 (Haslam, 1995 dalam Margano, 2006). Dilihat dari hasil pengukuran yang didapat, suhu perairan merupakan suhu alami sehingga tidak mengganggu ekosistem, biota yang hidup di dalamnya, maupun kelestarian tinggalan kapal karam. Kisaran pH atau derajat keasaman di lokasi penelitian sebesar 7.25 7.83. Nilai yang lebih rendah cenderung berada lebih ke muara (lokasi 4 dan 5) sedangkan nilai pH makin naik ke arah laut. Hal ini terjadi karena di daerah
119
muara menerima pasokan air tawar yang lebih banyak sehinggi membuat pH menjadi lebih rendah. Makin ke arah laut, makin memperlihatkan pengaruh air laut yang biasanya mempunyai pH lebih dari 8. Nilai pH hasil pengukuran in-situ sedikit berbeda dengan pengukuran laboratorium terutama pada lokasi kapal karam yang diukur pada bulan Juni 2012. Pada saat itu, nilai pH menunjukkan nilai pH air laut. Namun demikian, pada pengukuran di Bulan Desember 2012, nilai pH turun menjadi 7,69. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh pengaruh air tawar dari sungai yang mencapai lokasi tersebut karena tingginya presipitasi pada Bulan Desember sehingga membuat peningkatan volume air sungai.Kisaran pH di atas di lokasi kapal karam masih merupakan pH alami perairan laut. Diketahui pH perairan di Indonesia berkisar antara 6.0 – 8.5. Kementerian Lingkungan hidup menetapkan bahwa nilai pH untuk wisata bahari adalah berkisar antara 7 – 8,5. Naik turunnya pH terutama dipengaruhi oleh masukan air tawar. Air laut mempunyai kemampuan menyangga perubahan pH yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Kisaran pH masih berada pada batas normal untuk kehidupan biota laut seperti karang, lamun dan mangrove sesuai dengan Kep-51/MENKLH/2004. Nilai salinitas hasil pengukuran laboratorium cenderung memperlihatkan ciri salinitas air laut yang tidak terpengaruh oleh air tawar walaupun salinitas lebih rendah terukur di lokasi muara. Nilai salinitas berkisar antara 32,05 – 33,2 o/oo. Apabila dibandingkan dengan nilai baku mutu air laut untuk biota pada Kep-51/MENKLH/2004 untuk salinitas, beberapa biota laut dapat beradaptasi dengan kondisi salinitas yang sangat rendah, seperti mangrove. Salinitas perairan terumbu karang di Indonesia umumnya adalah 31 ‰. Salinitas di lokasi kapal karam dengan nilai 31,4 o/oo masih merupakan salinitas alami dimana salinitas di perairan laut Indonesia pada umumnya berkisar antara 30 – 35 o/oo. Kekeruhan hasil pengukuran di lokasi penelitian kapal karam, dan muara sungai berkisar 0 –6,3 mg/L. Kekeruhan di lokasi kapal karam berkisar antara 0 dan 1,0 mg/L. Semakin jauh ke masuk ke dalam sungai dari arah muara nilai kekeruhan menjadi naik yaitu 6,3 mg/L. Nilai kekeruhan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk wisata bahari adalah 5 ntu dan untuk biota laut adalah <5. Nilai kekeruhan di lokasi kapal karam masih di bawah ambang batas nilai baku mutu KLH sehingga masih sesuai untuk kepentingan wisata bahari. Kekeruhan dan total padatan terlarut saling terkait dimana jika TDS tinggi maka kekeruhan akan tinggi dan kecerahan 120
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
rendah. Hal ini akan berpengaruh pada penetrasi cahaya matahari yang masuk dalam perairan yang kemudian berlanjut dalam proses fotosintesis. Tingkat kecerahan dan jarak pandang di lokasi kapal karam Teluk Mandeh pada bulan Juni dan Desember berkisar antara 2 – 10 m. Variasi kecerahan air dan jarak pandang ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya pengaruh sedimentasi dan waktu pasang surut air laut. Adanya sejumlah sungai yang bermuara ke Teluk Mandeh akan membawa partikelpartikel lumpur dan limbah-limbah dari darat ke perairan laut. Faktor kecerahan dan tingkat visibility di lokasi kapal karam kemungkinan besar dipengaruhi oleh sedimen dari Sungai Mandeh dan Sungai Nyalo. Pada saat air laut pasang naik yaitu di pagi hari hingga kurang lebih pukul 10 WIB, kecerahan air tinggi dikarenakan sedimen dari sungai belum masuk ke laut karena tertahan oleh pasang naik. Tingkat kecerahan akan semakin menurun pada siang hari dikarenakan pada saat pasang surut, akan terdapat masukan sedimen yang dibawa oleh air sungai yang masuk ke laut. Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan Nilai Baku Mutu untuk kecerahan adalah sebesar > 6 m untuk pariwisata bahari. Dengan demikian, lokasi kapal karam ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan sebagai tempat wisata bahari berupa wisata selam. Warna perairan merupakan warna perairan alami berdasarkan pengamatan secara visual. Warna perairan didapat berdasarkan absorbsi cahaya oleh perairan yaitu hijau kebiruan. Perairan tidak berbau walaupun di lokasi ini terlihat adanya lapisan yang sangat tipis dari minyak limbah kapal dikarenakan kadang-kadang banyak terdapat kapal nelayan yang menangkap ikan di sekitar lokasi perairan ini. Secara umum kecerahan perairan cukup baik hingga 10 m untuk perairan tersebut. Substrat perairan berdasarkan pengamatan visual merupakan substrat lumpur.
Kualitas Kimiawi Perairan Parameter selanjutnya adalah Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut dan Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis. Kedua parameter ini sering dijadikan tolak ukur dalam penilaian kualitas lingkungan. Sumber oksigen di laut biasanya dari atmosfir (udara) sebagai hasil difusi serta dari hasil fotosintesis organisme autotrof. Oksigen ini kemudian dimanfaatkan oleh biota laut termasuk mikroorganisme untuk metabolismenya. Dalam kondisi alami, kesetimbangan oksigen terlarut ini 121
akan terjaga melalui proses yang terjadi secara terus-menerus. Apabila terjadi gangguan seperti masuknya bahan organik secara berlebihan maka akan memicu meningkatnya mikroorganisme. Peningkatan ini diikuti oleh peningkatan kebutuhan jumlah oksigen terlarut. Dengan kondisi pasokan oksigen yang tetap tapi terjadi peningkatan kebutuhan, maka otomatis jumlah kandungan oksigen akan menurun. Nilai DO yang ideal untuk biota laut dan dianggap cukup baik untuk wisata bahari menurut Kep-51/MENKLH/2004 adalah di atas 5 mg/L. Kisaran nilai DO yang terukur di keempat lokasi adalah sebesar 5,4 – 6,24 mg/L. Hal ini berarti bahwa kandungan oksigen terlarut di wilayah Teluk Mandeh cukup tinggi untuk menunjang kehidupan biota laut dan untuk kepentingan wisata bahari. Apabila dibandingkan dengan kriteria pencemaran berdasarkan kandungan oksigen yang dikeluarkan oleh Lee et al (1978) maka wilayah ini masuk pada kategori tercemar ringan (Tabel 7). Dibandingkan dengan pengukuran in-situ, oksigen terlarut di lokasi 4, 5, 6 dan 8 sangat rendah dengan kisaran nilai sebesar 1,9 – 8,61 o/oo. Nilai paling tinggi adalah di lokasi 6* pada pengukuran bulan Desember 2012 sebesar 26,3 o/oo. Tabel 7. Kualitas Air Berdasarkan Kandungan DO (Lee et al., 1978 dalam Marganof, 2007) No
Kadar Oksigen (mg/L)
1
>6,5
2 3 4
4,5 – 6,4 2,0 – 4,4 <2
Status Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
BOD atau kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme laut untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di suatu perairan. Nilai BOD ini biasanya digunakan untuk melihat tingkat penurunan kualitas air melalui penurunan kadar oksigen terlarut. BOD yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat penggunakan oksigen oleh mikroorganisme dalam mengurai material organik. Dalam penentuan kadar BOD baku digunakan BOD5. BOD5 ini menunjukkan kadar oksigen terlarut yang digunakan oleh mikroorganisme dalam mengurai 122
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
material organik dalam jangka waktu 5 hari pada suatu volume air tertentu pada suhu 20oC. Nilai BOD5 tertinggi yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk biota laut adalah sebesar 20 mg/L dan 10 mg/L untuk wisata bahari. Apabila batas maksimum ini dibandingkan dengan hasil pengukuran, maka nilai yang ada di wilayah Teluk Mandeh masih jauh di bawah nilai yang disarankan oleh KLH, yaitu berkisar antara 2,48 – 3,71 mg/L. Namun apabila dibandingkan dengan nilai klasifikasi Lee et al (1978), maka perairan ini berada pada kondisi tercemar ringan (Tabel 8). Tabel 8. Kualitas Air Berdasarkan BOD5 (Lee et al, 1978 dalam Marganof, 2007) No
Kadar Oksigen (mg/L)
1 2 3 4
≥2,9 3,00 – 5,00 5,10 – 14,90 ≤15
Status Tidak tercemar Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
Nitrat (NO3-N) adalah salah satu bentuk senyawa unsur nitrogen yang penting bagi metabolisme organisme autotrof. Nitrat terbentuk berdasarkan hasil oksidasi senyawa ammonia menjadi nitrit, selanjutnya dari nitrit menjadi nitra,t dimana proses ini sering disebut nitrifikasi. 2NH3 + 3O2 2NO2- + 2H+ + 2H2O 2NO2- + O2 2NO3Nilai nitrat yang terukur di wilayah Teluk Mandeh adalah sebesar 1,15 – 1,4 mg/L. Nilai tertinggi terukur di muara sungai sedangkan terendah di lokasi kapal karam. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh masukan bahan organik dari daratan ke wilayah perairan. Nilai nitrat berdasarkan Kep51/MENKLH/2004 adalah sebesar 0,008 mg/L. Selain nitrat, ammonia juga adalah salah satu bentuk senyawa nitrogen yang terdapat di laut. Ammonia terbentuk dari proses fiksasi gas nitrogen serta ammonifikasi nitrogen organik selama proses dekomposisi material organik. Selain itu, ammonia berasal dari sekresi organisme serta masukan limbah organik dari daratan (limbah domestik, industri dan pupuk). Ammonia bersifat toksik pada biota laut karena mengganggu proses 123
pengikatan oksigen dalam darah. Nilai batas maksimum ammonia untuk biota laut menurut Kep-51/MENKLH/2004 adalah sebesar 0,3 mg/L. Nilai hasil pengukuran di Teluk Mandeh menunjukkan bahwa kadar ammonia berada pada tingkatan rendah dengan kisaran 0,05 – 0.12 mg/L. Dengan demikian, kadar ammonia di teluk ini tidak bersifat toksik bagi biota yang ada. Salah satu bentuk senyawa fosfor yang ada di perairan adalah fosfat dalam bentuk ortofosfat. Forsfor punya peran yang penting dalam proses metabolisme biota melalui proses pembentukan protein dan transfer energi. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, kandungan fosfat yang baik untuk biota laut adalah sebesar 0,015 mg/L. Nilai fosfat yang terukur di Teluk Mandeh di atas nilai yang ditetapkan oleh Kemen LH kisaran antara 0,14 – 0,35 mg/L. Hal ini mengindikasikan adanya masukan buangan industri ataupun limbasan (run off) pertanian yang berupa pupuk. Tingginya kadar fosfat di perairan dapat memicu terjadinya eutrofikasi. Senyawa sulfida (H2S) di perairan biasanya merupakan hasil respirasi bakteri anaerob disamping gas metana (CH4). Bakteri anaerob meningkat apabila terjadi penurunan kadar oksigen terlarut di air (DO) yang menyebabkan penurunan bakteri aerob. Seperti bakteri aerob, bakteri anaerob juga mengurai komponen organik dalam kondisi tanpa oksigen. Nilai sulfida yang disarankan oleh KLH adalah sebesar 0,01 mg/L. Kandungan sulfide di Teluk Mandeh berkisar antara 0,005 – 0,09 mg/L. Kadar sulfida yang tinggi terukur di dua lokasi yang berada di muara masing-masing dengan nilai 0,05 mg/L dan 0,09 mg/L. Sedangkan kadar yang rendah berada di dua lokasi lainnya yang terletak agak jauh dari muara. Beberapa bahan pencemar yang sering dijadikan indikator kualitas perairan adalah senyawa fenol, poliaromatik hidrokarbon (PAH), poliklor bifenil (PCB), surfaktans (deterjen), minyak dan lemak serta pestisida. Untuk nilai ambang, KLH sudah menetapkan nilai baku mutunya untuk wisata bahari dan biota laut. Senyawa fenol biasanya juga dikenal sebagai asam karbolat atau benzenol adalah senyawa hidrokarbon aromatic yang bersifat asam dan toksik. Senyawa ini banyak dipakai dalam industri baik sebagai bahwan dasar ataupun bahan yang diperlukan dalam proses produksi. Contoh penggunaan fenol adalah dalam industri farmasi seperti untuk antiseptik, obat aspirin dan sebagainya. Sisa senyawa ini dari hasil industri dapat terbawa sampai ke perairan. Di perairan, senyawa ini mudah larut dan dapat menurunkan 124
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
kualitas perairan. Efek buruk senyawa ini adalah gangguan kesehatan seperti pada fungsi paru-paru, ginjal, hati dan zat pemicu kanker. Kisaran senyawa fenol di lokasi pengambilan sampel berturut-turut dari yang terkecil sebesar 0,0037 mg/L di lokasi 6 (kapal karam); 0,0118 mg/L di lokasi ; 0,0153 mg/L di lokasi 4 dan 0,0248 di lokasi 5. Dibandingkan dengan nilai baku mutu, kandungan tertinggi senyawa fenol di lokasi 5 sudah melebihi ambang batas yang bernilai 0,002 mg/L. Bahan pencemar perairan lainnya adalah dikenal sebagai PAH dan PCB. PAH adalah kelompok senyawa yang berukuran besar dan memiliki banyak cincin aromatic dalam struktur senyawanya. Beberapa contoh senyawa PAH adalah naphthalene, fluorene, pyrene, dan lain-lain. Senyawa ini bersifat toksik dan karsinogen atau penyebab kanker. Sumber pencemaran senyawa PAH ini biasanya dari industri, kendaraan bermotor ataupun tumpahan minyak dari kapal pengangkut dan kilang minyak. Di perairan Teluk Mandeh tidak teridentifikasi adanya kandungan senyawa PCB sedangkan PAH terukur sangat rendah dengan kisaran 0,0006 mg/L di lokasi 7; 0,0008 mg/L di lokasi 4 dan 0,0014 mg/L di lokasi 5. Bahkan di lokasi 6, PAh tidak teridentifikasi. Nilai ini sangat rendah apabila dibandingkan dengan nilai baku mutu KLH sebesar 0,003 mg/L. Surfaktan adalah senyawa kimia yang banyak digunakan dalam detergen atau bahan pembersih lainnya. Komposisi surfaktan dapat mencapai 15-40 % dari total bahan yang digunakan. Selain dapat merusak kulit, senyawa ini juga mempunyai efek karsinogen. Di perairan, tingginya konsentrasi detergen dapat menyebabkan eutrofikasi. Kandungan surfaktan (detergen) di Teluk Mandeh adalah sebesar 0,2 mg/L di lokasi 6 dan 7, lokasi 4 sebesar 6 mg/L serta 8 mg/L di lokasi 5. Nilai konsentrasi detergen di lokasi 4 dan 5 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai baku mutu. Hal ini mengindikasikan adanya pencemaran di daerah muara yang berasal dari daratan. Kandungan minyak dan lemak di Teluk Mandeh berturut-turut adalah sebesar 0,305 mg/L di lokasi 6; 0,4525 mg/L di lokasi 7; 0,825 mg/L di lokasi 4 serta paling tinggi di lokasi 5 sebesar 0,967 mg/L. Konsentrasi di lokasi 6 dan 7 masih jauh di bawah baku mutu yaitu 1 mg/L sedangkan di lokasi 4 dan 5 hampir sama dengan nilai baku mutu. Kandungan pestisida berturut-turut adalah 0,018 µg/L di lokasi 7; 0,026 µg/L di lokasi 4 serta 0,03 di lokasi 5. Sedangkan di lokasi 6 tidak 125
teridentifikasi adanya pestisida. Selain di lokasi 6, semua lokasi mempunyai kandungan pestisida yang lebih tinggi dari baku mutu. Dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pada umumnya kualitas air di lokasi-lokasi muara Sungai Mandeh dan Nyalo mempunyai kualitas air yang lebih rendah dibandingkan dengan lokasi yang terletak lebih jauh dari daerah muara. Dari nilai kandungan beberapa bahan pencemar menunjukkan bahwa lokasi muara mengalami pencemaran ringan. Hal ini mengindikasikan adanya masukan bahan pencemar dari daratan melalui air sungai ke laut. Dari hasil pengukuran dan analisis kondisi hidrologi, dapat diketahui bahwa kondisi suhu rerata, salinitas rerata, oksigen terlarut, fosfat, nitrat, pH, dan kecerahan di lokasi kapal karam Teluk Mandeh relatif masih baik dan cocok untuk berbagai kepentingan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam Kep-02/MNLH/I/1988 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1988). Secara umum, kondisi kualitas air (kecerahan air, pH, dan temperatur) di lokasi tinggalan kapal karam MV Boelongan Nederland tidak mengindikasikan kondisi alam yang ekstrim yang dapat mengakibatkan laju pelapukan atau penghancuran secara kimiawi terhadap situs kapal karam tersebut.
Pengembangan sebagai Destinasi Pariwisata Bahari dan Kawasan Konservasi Maritim Indonesia hingga saat ini belum mengembangkan sistem zonasi yang dapat dijadikan pedoman untuk memperjelas peruntukkan potensi lahan suatu kawasan atau areal bagi pengembangan situs kapal karam, misalnya untuk pengembangan pariwisata bahari dan juga untuk melindungi situs sebagai kawasan konservasi. Situs kapal karam sebenarnya dapat menjadi obyek wisata selam bagi para pencinta olahraga selam seperti di Liberty Wreck - Tulamben Bali, dan Manado. Dikarenakan situs kapal karam biasanya menjadi pusat kehidupan biota laut karena kapal karam dapat berfungsi sebagai artificial reef, maka situs kapal karam dapat membentuk satu ekosistem tersendiri yang subur, unik, dan menarik untuk diselami. Dikarenakan bangkai kapal karam MV Boelongan Nederland memiliki nilai sejarah yang perlu diapresiasi serta dapat dijadikan sebagai daerah tujuan wisata dan juga merupakan artificial reef yang terintegrasi dengan ekosistem laut di sekitarnya, maka kita perlu memberikan perlindungan hukum dengan menetapkan situs tersebut sebagai Situs Warisan Budaya 126
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
(berdasarkan UU No 11/2010 tentang Perlindungan Benda Cagar Budaya), memberikan perlindungan hukum dengan menetapkan situs ini sebagai Kawasan Konservasi Maritim (Berdasarkan Keputusan Menteri No 17/2008 tentang Zona Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), meningkatkan kerjasama pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, pemangku kepentingan lainnya; program peningkatan kesadaran masyarakat, pemahaman masyarakat, dan peningkatan kapasitas, dan menjembatani kesenjangan sosial dan ketidakharmonisan antara masyarakat dan pelaku sektor bisnis swasta. Lokasi situs kapal karamMV Boelongan Nederland di Kawasan Mandeh ini dapat segera diusulkan sebagai kawasan konservasi maritim. Penentuan zonasi terintegrasi (integrated zoning system) perlindungan bawah laut sesungguhnya tidak semudah menentukan zonasi suatu kawasan arkeologis di daratan yang didasarkan pada sebaran temuan artefak yang ada. Pada dasarnya zonasi untuk perlindungan bawah laut harus sesuai dengan prinsip yang diterapkan terkait dengan pelestarian in-situ obyek arkeologi bawah air, akan tetapi pada saat ini kita tidak perlu sepenuhnya mengadopsi prinsip pelestarian in-situ yang ditetapkan oleh UNESCO dikarenakan alasan sosial-ekonomi dan budaya setempat di Indonesia. Apabila lokasi temuan bawah air merupakan tempat tenggelamnya obyek atau kapal kuno yang harus dilindungi dan dimanfaatkan sepenuhnya sebagai obyek penelitian dan wisata bahari, maka obyek tersebut dilarang untuk diubah dan diangkat. Untuk itu, zonasi yang diperlukan di Kawasan Mandeh adalah mencakup Zona 1 (Core Zone) berfungsi sebagai zona inti proteksi dan preservasi yang mencakup area titik kapal karam dan sekitarnya, misalnya dengan diameter ¼ km. Zona ini harus ditentukan sebagai kawasan perlindungan utama yang harus bebas sepenuhnya dari kegiatan eksploitasi penangkapan ikan oleh nelayan, eksploitasi pengangkatan artefak secara ilegal, aksi vandalisme, dan juga harus terbebas dari lalu lalang kapal nelayan dan transportasi. Luasnya zona ini ditentukan berdasarkan kepentingan preservasi, kepentingan visual (menjaga jarak pandang), dan kepentingan pariwisata selam (daya tampung pengunjung penyelam). Zona 2 (Buffer Zone) berfungsi sebagai zona penyangga yang berfungsi memberikan ruang untuk pelestarian lingkungan alam sekitarnya serta memberikan ruang apabila sewaktu-waktu diperlukan untuk perluasan area preservasi in-situ dimana di lingkungan sekitar situs kapal karam ini 127
nantinya dapat digunakan sebagai area untuk menerapkan metode-metode dan upaya-upaya preservasi in-situ untuk mencegah erosi, sedimentasi, naik turunnya permukaan, dan lain-lain, misalnya dengan teknik penanaman artificial grass, sandbagging, dan lain-lain. Untuk Kawasan Mandeh, zona penyangga ini dapat ditetapkan kurang lebih sejauh diameter ¼ km. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dan aktivitas eksploitasi lainnya dapat dilakukan di luar zona inti perlindungan situs kapal karam dan zona penyangga atau yang disebut juga zona pemanfaatan (Use Control Zone). Meskipun zona ini merupakan zona pemanfaatan, akan tetapi, tetap perlu terjaga dan terawasi agar tetap teratur dan tidak ada aksi penngkapan ikan yang merusak seperti dengan penggunaan dinamit atau racun sianida. Upaya pembudidayaan ikan dengan keramba jaring apung (KJA) juga sebaiknya tidak berada di wilayah sekitar zona-zona tersebut dikarenakan budidaya KJA dalam skala besar akan mengganggu stabilitas lingkungan perairan di sekitar kapal karam yang dapat merubah kualitas air di lokasi perairan tersebut sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh negatif terhadap kelestarian kapal karam. Kawasan perlindungan kapal karam ini harus diawasi dan dikendalikan secara ketat dan kontinyu sehingga tidak ada penyimpangan dari ketentuan perlindungan dan tidak ada kerusakan pada obyek baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun pengaruh alam lingkungan sekitarnya. Kegiatan pengawasan dan pengendalian yang bersifat penegakan hukum dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang di antaranya adalah Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut RI, dan Polisi Perairan. Sementara itu, monitoring rutin yang terkait dengan upaya mencegah kerusakan situs dari faktor alam dapat dilakukan oleh instansi riset, direktorat teknis, dan pihak pemerintah daerah setempat. Kegiatan perlindungan dengan pembuatan zonasi dan menetapkannya sebagai kawasan konservasi maritim adalah dalam rangka mempertahankan situs kapal karam tersebut agar tidak hilang atau rusak karena kegiatan manusia maupun aktivitas alam. Pembuatan zonasi untuk melindungi kelestarian kapal karam ini selain merupakan upaya menetapkan situs ini sebagai Kawasan Konservasi Maritim juga merupakan pendekatan kontemporer dalam kegiatan Cultural Resources Management yang saat ini telah digalakan di berbagai wilayah di seluruh dunia (Mundardjito, 2008).
128
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Situs kapal karam dapat dijadikan sebagai museum bawah air untuk kepentingan rekreasi dan sebagai tempat pelatihan dan pendidikan yang mengandung aspek edukasi bagi pengunjung. Meskipun pemanfaatan situs kapal karam sebagai museum bawah air akan membutuhkan penganggaran dana yang cukup besar, akan tetapi hal tersebut merupakan salah satu alternatif pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan (sustainability development). Selain itu, situs kapal karam juga dapat menjadi obyek wisata ziarah yang pada saat ini sudah mulai menjadi trend, terutama di kalangan bangsa Jepang yang banyak berkunjung ke tempat-tempat para leluhurnya yang meninggal di lokasi-lokasi pertempuran pada masa perang Dunia II misalnya di Samalona Sulawesi Selatan dan di Biak serta Raja Ampat di Papua. Lokasi situs kapal karam di Teluk Mandeh dapat digunakan sebagai tujuan wisata bahari untuk wisata penyelaman kapal karam yang memiliki nilai ekonomi karena beberapa alasan seperti kondisi teluk yang cukup landai, kondisi laut yang tenang, tidak bergelombang, dan terlindung karena berada di dalam teluk serta dikelilingi oleh pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Cubadak, Sironjong, dan Taraju. Kawasan ini juga memiliki air laut yang cukup jernih sehingga visibilitas di bawah air cukup baik dan situs juga terletak pada lokasi yang memiliki pemandangan yang indah dengan suasana yang tenang dan damai sehingga sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Suhu laut sekitar 29 - 30˚ C yang konstan sejauh 30 meter ke bawah air ini menjamin air laut di wilayah tersebut mengandung cukup nutrisi yang memungkinkan pengembangan keanekaragaman ekosistem hayati yang kaya. Iklim yang tidak ekstrim sepanjang tahun memungkinkan wisatawan untuk pergi menyelam di setiap waktu sepanjang tahun. Selain itu, kondisi arus juga tidak kuat di lokasi situs kapal karam dikarenakan zona ini cukup terlindung. Faktor penunjang lainnya adalah adanya Cubadak Paradiso Resort dan kawasan wisata Bukit Langkisau yang sering dikunjungi oleh wisatawan asing. Namun demikian, dalam upaya pengembangannya sebagai lokasi atraksi menyelam di masa depan, perlu dibuat sejumlah aturan untuk para wisatawan dan juga masyarakat sekitar sehingga mereka tidak akan mengganggu pelestarian situs.
Rekomendasi Lokasi situs kapal karam MV Boelongan Nederland dapat dijadikan sebagai salah satu proyek percontohan In-Situ Preservation yang sangat sesuai dengan Konvensi UNESCO 2001. Selain itu, situs bawah air ini dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Maritim seperti yang diamanatkan oleh Per Men KP 17/2008. Lokasi situs di Kawasan Mandeh ini dapat dijadikan
129
sebagai lokasi tujuan wisata bahari yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Secara umum kondisi pola dan sebaran gelombang, arus, pasang surut, di lokasi perairan Kawasan Mandeh dan sekitarnya tidak mengindikasikan fenomena alam yang ekstrim yang dapat merusak atau menghancurkan secara fisik - mekanik situs kapal karam MV Boelongan Nederland. Faktor-faktor kualitas air seperti suhu, pH, salinitas, DO, dan BOD juga memperlihatkan kondisi alami yang masih sesuai dengan nilai baku mutu air laut untuk wisata bahari dan biota laut yang disyaratkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Akan tetapi, proses sedimentasi yang bersumber dari muara Sungai Mandeh dan Sungai Nyalo yang terletak di Teluk Mandeh cukup berdampak terhadap warisan budaya bawah air kapal karam MV Boelongan Nederland. Sedimentasi yang cukup tinggi pada lokasi kapal karam MV Boelongan Nederland di Teluk Mandeh menjadikan adanya perubahan lingkungan fisik situs yang cukup signifikan dan dapat mempengaruhi keberadaan kapal karam tersebut. Hal ini dapat dikaji lebih lanjut untuk menentukan kecepatan tingkat sedimentasi dan mengetahui seberapa lama tinggalan kapal karam tersebut akan tertimbun oleh sedimen lumpur dari sungai. Kajian mengenai faktor kerentanan lingkungan perairan terhadap kelestarian situs bawah air ini merupakan langkah awal untuk upaya-upaya optimasi pelestarian dan pemanfaatan Sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir sekaligus juga sebagai dasar untuk mengambil langkah pengembangan warisan budaya bawah air tersebut untuk kepentingan generasi yang akan datang dan diharapkan juga akan meningkatkan kehidupan perekonomian di wilayah tersebut dari sektor pariwisata bahari. Keberadaan situs bawah air ini menjadi sangat penting dan dapat dijadikan sebagai obyek penelitian lebih lanjut dan mendalam dan juga penting untuk proses pembelajaran dari berbagai aspek dan berbagai disiplin ilmu dilihat dari kondisi situs, kondisi temuan, dan kondisi perairan.
Persantunan Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Drs. Teguh Hidayat, M.Hum (Balai Pelestarian Cagar Budaya Batu Sangkar) dan Drs. Ali Arman Lubis, MT (Badan Tenaga Nuklir Nasional) selaku narasumber kegiatan penelitian LPSDKP mengenai kapal karam di Teluk Mandeh. Ucapan terima kasih juga 130
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
disampaikan kepada pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Batu Sangkar; Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pesisir Selatan; Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pesisir Selatan; Bappeda Kabupaten Pesisir Selatan, Kantor UPTD Pelabuhan Carocok Tarusan, masyarakat di Nagari Mandeh, Carocok Tarusan, dan Sungai Nyalo, serta kepada pihak Manajemen Cubadak Paradiso Village Resort (Mr. Nanny Casalegno, Mrs. Federica, Mr. Marco dan Mrs. Dominique) yang telah mengizinkan kami untuk memasang berbagai instrumen kelautan untuk penelitian kami di lokasi resort mereka. Dalam kesempatan ini,kami juga ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Bapak Samsuardi dan tim penyelam dari Yayasan Minang Bahari, Bapak Harfiandri (Universitas Bung Hatta), Mas Ingki Rinaldi (Kompas Media) yang selalu setia memberitakan semua kegiatan kami, rekan-rekan di kantor LPSDKP dan P3SDLP, serta semua pihak yang telah membantu kelancaran kegiatan penelitian dan penulisan untuk buku ini.
Daftar Pustaka Ardiwidjaja Roby, 2006, ”Sumberdaya Benda Berharga asal Muatan Kapal karam (BMKT) di Indonesia”, dipresentasikan pada Seminar Nasional Pelestarian Pusaka Indonesia, September 2006, Jakarta. ----------, 2007, “Pemanfaatan Benda Arkeologi Bawah Air (Shipwreck): Satu Peluang Peningkatan Daya Tarik Wisata Selam”, dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Sumberdaya Arkeologi Laut, Mei 2007, Jakarta. Bakker, H., Th., 1945, De KPM in Oorlogstijd: 1939 – 1945, KPM, Rotterdam. Balai Pelestarian Cagar Budaya Batu Sangkar, 2008, Laporan Survei Peninggalan Maritim Pantai Sumatera Barat 17 s.d 21 November 2008. ---------, 2010, Laporan Dokumentasi Peninggalan Bawah Air Shipwreck Kawasan Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan. Biro Perekonomian Provinsi Sumatera Barat, 2010, Laporan Perkembangan Pariwisata Tahun 2010 di Sumatera Barat. Direktorat Peninggalan Bawah Air, 2007, “Survei dan Pemetaan Situs Peninggalan Bawah Air di Perairan Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat”,Laporan Kegiatan, Jakarta.
131
Gusti Asnan, 2007, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Penerbit Ombak, Yogyakarta. Indroyono Soesilo dan Budiman, 2006, “Melacak Harta Karun di Dasar Samudera”, IPTEK: Menguak Laut Indonesia, PT. Sarana Komunikasi Utama, Jakarta, hal 344 – 347. Ira Dillenia dkk., 2006, Identifikasi dan Inventarisasi Sumberdaya Arkeologi Laut di Kabupaten Pesisir Selatan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kompas, 14 Januari 2013, Boelongan, Sepenggal Perjalanan Masa Silam. Marganof, 2007, “Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat”. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. M.C. Ricklefs, 1999, Sejarah Indonesia Modern, UGM Press, Yogyakarta. Muhammad Zarkasy, 2010, Hikayat Kapal Boelongan Nederland, www.Muhammad_Zarkasyi.Blogspot.com,15 Juli 2010. Mundardjito, 2008, “Konsep Cultural Resources Management dan Kegiatan Pelestarian Arkeologi di Indonesia”, dalam Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI, 13 – 16 Juni 2008, Solo. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Reid, Struan, 1993, The Silk and Spice Routes Exploration by Sea, UNESCO, London. RTRW Kabupaten Pesisir Selatan 2010 – 2030. Sumber Website http://www.arendnet.com, diakses tanggal 10 Oktober 2012. http://www.bogor.indo.net.id/indonesia.tuguperingatanjerman, diakses tanggal 14 November 2012. http://www.cubadak-paradisovillage.com, diakses tanggal 28 Juni 2012. http://eksposnews.com/view/12/24561/Investor-asal-Jerman-TertarikKembangkan-Wisata-Mandeh-Sumbar.html, Jum'at, 25 November 2011, Investor asal Jerman Tertarik Kembangkan Wisata Mandeh Sumbar) diakses tanggal 2 Oktober 2012.
132
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
http://pesisirselatan.go.id/index.phpmod=artikel&id, Desa Mandeh Dikembangkan untuk Resort Pariwisata. Minggu, 22/06/2008, diakses tanggal 2 Oktober 2012. http://www.antara-sumbar.com/eng/index.php diakses tanggal 2 Oktober 2012. http://www.minangkabautourism.info, diakses tanggal 17 September 2012. http://wahyuancol.wordpress.com/2008/06/06/sedimentasi diakses tanggal 17 September 2012 http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara, diakses tanggal 17 September 2012. http://www.unesco.org/new/en/culture/themes/underwater-culturalheritage/ protection/heritage-in-danger, diakses tanggal 3 Desember 2012. http://www.wrecksite.eu, diakses tanggal 17 September 2012.
133
Kandungan Unsur Logam Berat Dalam Air dan Biota Estuari Sungai Manggar Belitung Timur Berdasarkan Kesesuaian Dengan Baku Mutu Lingkungan. Fajar Yudi Prabawa Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak Pulau Belitung merupakan “pulau logam”, kaya akan kandungan logam terkenal sejak jaman penjajahan Belanda sebagai sumber logam Timah, Besi (Fe) serta logam lain yang berasosiasi dengannya seperti Tembaga (Cu), Seng (Zc), Timbal (Pb), Cadmium (Cd), Merkuri (Hg), Arsen (As) dan sebagainya. Belitung secara geologi terbentuk melalui proses vulkanik, wilayahnya didominasi batuan asal aktifitas gunung berapi di masa lampau. Saat ini gunung sudah mati, dan isinya yang kaya akan bahan tambang logam terus tererosi memenuhi ruang sekitar daratan pulau hingga tertransport ke laut dan tersebar oleh arus laut. Kandungan logam inilah yang mengisi perairan di darat dan sungai, sehingga juga mempengaruhi kualitas air dan biotanya. Juga berpengaruh kepada kesehatan masyarakat di lokasi penelitian, kota Manggar dan sekitar yang mengkonsumsi biota tersebut. Maka dilakukanlah survei riset mengidentifiksi kandungan logam dalam perairan dan biota untuk kemudian diacu kepada dua aturan Baku Mutu Lingkungan yang ada. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat pengkonsumsi biota dan air Sungai Manggar serta stakeholder. Kata kunci: Pulau Logam Belitung, unsur logam berat di perairan Belitung, baku mutu lingkungan logam berat untuk konsumsi, kawasan tambang logam.
Pendahuluan Kabupaten Belitung Timur dikelilingi zona pesisir, ditambah jejaring sungai memenuhi sebagian wilayahnya dengan akses akhir beberapa muara sungai besar di pesisir. Ibukota Belitung Timur adalah Manggar. Secara geografis terletak antara 107o45’ BT sampai 108o18’ BT dan 02o30’ LS sampai 03o15’ LS dengan luas daratan mencapai 250.691 Ha atau kurang lebih 134
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
2.506,91 km2. Batas administrasi wilayah, meliputi: batas utara dengan Laut Cina Selatan, batas timur dengan Selat Karimata, batas selatan dengan Laut Jawa, serta batas barat dengan Kabupaten Belitung (http://belitungtimurkab.go.id/).
Pulau Bangka
Manggar
Pulau Belitung Manggar
Gambar 1. Peta lokasi penelitian: Estuari Sungai Manggar, Kabupaten Belitung Timur Lingkup kondisi Geologi Lingkungan Belitung Timur, secara geologi wilayah ini didominasi litologi batuan Sedimen berupa pasir tufan dan berseling dengan endapan fluviomarin di pesisir (peta Geologi). Membahas kualitas dan kandungan isi sungai tak lepas dari sumber materialnya yaitu area darat. Oleh sebab itu disamping mengambil sampel di badan sungai, perlu pula dilakukan pendataan dan sampling air di kawasan yang diduga sebagai sumber terdekatnya. Karena Hidrologi adalah bagian dari lingkup Geologi Lingkungan, termasuk kandungan zat material di dalam airnya. ZonaTelitian: Sungai Manggar
Gambar 2. Peta Geologi Lingkungan Lingkungan Pulau Belitung (Direktorat Geologi tata Lingkungan) dan denah Run Off air permukaan 135
Dalam sejarahnya pulau Bangka dan Belitung sudah sejak jaman Belanda ditambang logamnya berupa: timah dan besi (Gambar 3).
Gambar 3. Proses penambangan timah dan kaolin di Belitung: sangat membutuhkan air dan buangan limbah pemrosesan mengandung logam tinggi yang dibuang kembali ke sungai. Air hujan sebagai faktor utama pelarut dan pentransport kandungan darat ke sungai. Limpasan air hujan di darat membawa kandungan logam daratan menuju alur sungai lalu masuk ke tubuh sungai induk menuju muara sebelum di transport ke laut (Gambar 2). Terdapat perbedaan kandungan logam tertransport air hujan dari daratan yang masih alami dengan air limpasan hujan berasal dari kawasan darat yang telah digali atau ditambang. Sebagai upaya inventarisasi kondisi eksisting sumberdaya pesisir di Kabupaten Belitung Timur, serta pentingnya kejelasan kondisi kualitas air dan biota Sungai Manggar terhadap kesehatan masyarakat Manggar, maka penelitian di lokasi ini dirasa penting.
Pengambilan sampel pesisir kawasan estuari Sungai Manggar Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data-data sebagai berikut: 1). Data spasial Citra Satelit Landsat, Google Earth. Peta Geologi Lingkungan (Puslitbang Geologi Tata Lingkungan). 2). Data Lapangan Data Lapangan merupakan data primer, yang langsung diambil di lokasi penelitian meliputi pengukuran parameter air dan pengambilan sampel air sungai, danau di perairan darat dan sampel biota. Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yang diharapkan dapat mewakili lokasi penelitian. Lokasi penelitian dilakukan 136
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
di pesisir kawasan estuari Sungai Manggar dan perairan darat sekitar Sungai Manggar (Gambar 1). Analisa logam berat dilakukan pada bulan Oktober 2013, parameter yang diamati arsen (As), timah hitam (Pb), tembaga (Cu) dan merkuri (Hg) pada stasiun yang merupakan sumber bahan pencemar dari bekas lahan penambangan di daratan berupa danau bekas penambangan sebanyak 4 stasiun yaitu stasiun 261, 262, 363, 256 dan 6 stasiun pengambilan sampel di Sungai Manggar: stasiun 123, 146, 99, 358, 136, 102. Selain itu dilakukan analisa logam berat yang sama pada kepiting sebagai salah satu biota ekonomis penting di Manggar terkait dengan bahan tercemar terakumulasi di biota (bioakumulasi) pada waktu pengambilan sampel biota (kepiting) yaitu bulan Oktober 2013. Metode pengambilan data primer dengan mengambil sampel air sungai dan biota kepiting bakau (Schilla sp) di sekitar estuari Sungai Manggar dan juga di perairan darat sekitar Sungai Manggar lokasi pertambangan timah dan kaolin. Cuplikan contoh air yang akan dianalisis senyawa logam berat, terlebih dahulu dilakukan asidifikasi di lapangan dengan menambahkan asam nitrat pekat pada contoh air sampai pH < 2. Cuplikan contoh air yang telah diasidifikasi, ditentukan konsentrasi As, Pb, Cu dan Hg dengan menggunakan Spektrofotometer HACH DREL 2000, sesuai dengan prosedurnya masingmasing (Maramis et al., 2006). Stasiun pengamatan, pengukuran dan pengambilan sampel ditentukan koordinatnya secara purposive sampling yang merepresentasi area estuari Sungai manggar dan area perairan darat kawasan tambang. Sampel air sungai dan air area darat tambang diasidifikasi sebagai treatment pengawet dan sampel biota dianalisa di laboratorium kualitas air. Hasilnya dikomparasi dengan mengacu kepada dua perangkat aturan Baku Mutu Lingkungan yaitu dipilih: Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
137
Hasil yang diperoleh dari proses pengolahan data, baik dari data sekunder maupun data lapangan diharapkan dari penelitian ini adalah informasi mengenai penilaian faktor kandungan unsur diluar air sungai dan diluar biota terlebih khususnya kandungan unsur logam berat beserta keterdapatannya di lokasi.
Potensi kontaminasi logam berat Litologi kawasan Belitung Timur yang bersaling pasir timah (Sr), kandungan Hg, Pasir (Fe), Tembaga (Cu) dan Kaolin Ca) pengaruhi kandungan pada substrat tanah. Kandungan logam ini mempengaruhi perairan darat sekitar dan juga tertransport ke sungai. Ini menjadi potensi komtaminasi logam berat yang patut diwaspadai. Maka diadakanlah riset untuk antisipasi dampak kandungan logam berat ini pada masyarakat.
Area Muara/ Estuari
Area Tambang
Gambar 4 . Peta plot titik survei Sungai Manggar bulan Oktober 2013 Basis data untuk keperluan pendataan kondisi air dan biota sungai yaitu: 1. Geologi 2. Geologi lingkungan 3. Ekologi air dan biota 4. Peta citra satelit
138
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Variabel-variabel data tersebut dipilih karena peranannya yang penting dalam mengidentifikasi berbagai parameter sungai, air sungai, dan biota yang hidup di dalamnya. Serta dalam penentuan titik sampling air sungai berdasar jenis litologi di daratan sumber dan kesesuaian lahan. Kegiatan survei dan pengambilan sampel dilakukan pada bulan Oktober saat awal musim hujan, setelah lama musim kemarau.
Analisis 1. Pengeplotan titik strategis dalam rangka penentuan titik sampling sepanjang hulu sungai hingga muara. 2. Kompilasi hasil analisa laboratorium sampel air sungai dan biota sungai dengan baku mutu lingkungan menurut peraturan yang ada. Di dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai, sungai yang berfungsi sebagai wadah pengaliran air selalu berada di posisi paling rendah dalam landskap bumi, sehingga kondisi sungai tidak dapat dipisahkan dari kondisi Daerah Aliran Sungai (PP 38 Tahun 2011). Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang berasal dari daerah tangkapan sedangkan kualitas pasokan air dari daerah tangkapan berkaitan dengan aktivitas manusia yang ada di dalamnya. Perubahan kondisi kualitas air pada aliran sungai merupakan dampak dari buangan dari penggunaan lahan yang ada. Perubahan pola pemanfaatan lahan menjadi lahan pertanian, tegalan dan permukiman serta meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi hidrologis dalam suatu Daerah Aliran Sungai. Selain itu, berbagai aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian akan menghasilkan limbah yang memberi sumbangan pada penurunan kualitas air sungai. Berbagai aktivitas penggunaan lahan di wilayah DAS Sungai Manggar seperti aktivitas permukiman, perkebunan dan industri pertambangan diduga telah mempengaruhi kualitas air Sungai Manggar. Aktivitas permukiman dan pertanian menyebar meliputi segmen tengah DAS. Aktivitas manusia pada umumnya berkembang dengan pesat di wilayah pesisir. Sebagai akibatnya kualitas perairan pesisir turun secara drastis dalam beberapa dekade terakhir, terutama daerah pesisir yang berdekatan dengan daerah urban (Kay & Arder, 1995). Keberadaan logam 139
berat di perairan dapat berasal dari berbagai sumber, tumpahan limbah kimia, pembuangan limbah industri, limbah domestik, drainase air, limbah pertanian, dan bahan bakar dari kapal perikanan. Logam berat merupakan unsur pencemar perairan yang bersifat toksik, berpotensi menjadi racun bagi organisme hidup dan harus terus diwaspadai keberadaaannya (Storelli et al., 2005). Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu logam berat tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup di lingkungan dan terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi. Timbal (Pb) umumnya ditambahkan pada bahan bakar minyak untuk meningkatkan nilai oktan. Pengaruh keracunan logam Pb terhadap kesehatan diantaranya : rasa logam pada mulut, garis hitam pada gusi, gangguan GI, anorexia, muntah-muntah, kolik, perubahan kepribadian, kelumpuhan, anemia, albuminuria dan lain-lain. Timbal banyak digunakan dalam industri misalnya sebagai zat tambahan bahan bakar, pigmen timbal dalam cat yang merupakan penyebab utama peningkatan kadar Pb di lingkungan (Lu, 1995). Keberadaan kadmium di alam berhubungan erat dengan hadirnya logam Pb dan Zn. Dalam industri pertambangan Pb dan Zn, proses pemurniannya akan selalu memperoleh hasil samping kadmium yang terbuang dalam lingkungan (Palar, 2004). Dengan memperhatikan konsentrasi unsur logam berat tersebut diperkirakan kondisinya akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas khususnya industri yang menggunakan logam berat sebagai bahan baku maupun bahan tambahan dengan limbah yang dihasilkan tidak diolah sebelum dibuang ke laut. Timbal (Pb) dan kadmium (Cd) merupakan logam beracun bagi organisme laut, dimana peningkatan input ke perairan sangat dipengaruhi kegiatan manusia (antropogenik).
140
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Kualitas perairan logam terlarut Tabel 1. Kandungan Logam Berat pada biota kepiting Sungai Manggar mengacu KepmennegLH 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air & Pengendalian Pencemaran Air. No
Parameter
Baku Mutu (BM)
Satuan
Sampel Kepiting
Metode/Alat
APHA, ed. 22, 2012, 3113-B APHA, ed. 22, 2 Tembaga (Cu) mg/kg 0,02 250,32 2012, 3111-B APHA, ed. 22, Timah Hitam mg/kg 0,03-1 45,85 3 2012, 3111-B (Pb) APHA, ed. 22, 4 Air Raksa (Hg) µg/kg 0,001-0.005 334,81 2012, 3112-B Warna merah menandakan kandungan logam berat yang melebihi NAB (Nilai Ambang Batas) Warna biru menandakan nilai standar baku mutu (BM) 1
Arsen (As)
mg/kg
0,05-1
8,630
Logam terlarut yang dianalisa di laboratorium adalah Merkuri (Hg), Arsen (As), Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb). Keberadaan logam berat ini dalam perairan di lokasi penelitian Sungai Manggar konsentrasinya memiliki nilai ambang batas untuk biota yang hidup di dalamnya sesuai KepmennegLH no 82 tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah No 492. Tabel 2. Kandungan Logam Berat pada biota kepiting Sungai Manggar menurut PP 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Sampel Kepiting
Metode/Alat
0,01
8,630
APHA, ed. 22, 2012, 3113-B
mg/L
2
250,32
APHA, ed. 22, 2012, 3111-B
Timah Hitam (Pb)
mg/L
0,01
45,85
APHA, ed. 22, 2012, 3111-B
Air Raksa (Hg)
µg/L
0,001
334,81
APHA, ed. 22, 2012, 3112-B
NO.
Parameter
Satuan
Baku Mutu (BM)
1
Arsen (As)
mg/L
2
Tembaga (Cu)
3 4
141
Arsen pada sampel kepiting Sungai Manggar jauh melebihi NAB dan deteksi limit acuan baku mutu menurut kedua perangkat acuan : Peraturan Pemerintah RI Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum yang sebesar 0,01 mg/l, dan KepmennegLH no 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air sebesar 0.05-1 mg/l, nilai kandungan Arsen pada sampel sebesar: 8,630 mg/kg. Timbal pada sampel juga jauh melebihi NAB dan deteksi limit acuan kedua PP. Maksimal nilai kandungan Timbal pada KepmennegLH 82/2001 sebesar 0.01 mg/l dan PP 492/2010 sebesar 0.01 mg/l, nilai kandungan Timbal pada sampel sebesar: 45,85 mg/kg. Tembaga pada sampel juga jauh melebihi NAB acuan kedua PP. Maksimal nilai kandungan Tembaga pada KepmennegLH 82/2001 sebesar: 0,02-2 mg/l dan pada PP 492/2010 sebesar 2 mg/l, nilai kandungan Tembaga pada kepiting sebesar: 250,32 mg/kg. Air Raksa pada sampel jauh melebihi NAB dan deteksi limit acuan. Maksimal nilai kandungan Air Raksa pada KepmennegLH 82/2001 sebesar: 0,001-0,005 mg/l dan pada PP 492/2010 sebesar 0,001 mg/l, nilai kandungan Air Raksa sebesar: 334.81 mg/kg. Sementara mengacu standar SNI untuk Cemaran Pangan untuk air minum relatif sama dengan KepmennegLH 82/2001 sebesar 0,5 mg/l dan untuk golongan daging hewan jenis Crustacea batas maksimum kadar Arsen sebesar 1 mg/kg, kandungan pada sampel biota sebesar 8,630 mg/kg. Merkuri/Raksa (Hg) pada air alami maksimal sebesar 0,001 mg/l dan pada daging Crustacea kepiting sebesar 1mg/kg sedang nilai kandungan Air Raksa pada sampel kepiting sebesar: 334.81 mg/kg. Timbal, batas maksimum cemaran pada pangan di SNI pada air alami batas maksimum sebesar 0,01 mg/l dan pada Crustacea sebesar 0,5 mg/kg, kandungan Timbal pada sampel: 45,85 mg/kg. Semua komponen kimia logam berat pencemar pada sampel kepiting melampaui batas standar maksimum keamanan pangan menurut SNI 2009. 142
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Tabel 3. Hasil analisa kandungan logam berat Sungai Manggar dengan ketentuan Peraturan Pemerintah RI Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Nomor Sampel NO
Parameter
I
KIMIA
1
Arsen (As)
mg/L
0,01
2
Tembaga (Cu)
mg/L
2
3
Timah (Pb)
mg/L
0,01
4
Air Raksa (Hg) µg/L
0,001
Hitam
Satuan BM
123
146
99
258
136
102
Metode/ Alat
APHA, ed. 22, 2012, 3113-B APHA, ed. 22, 0,009 0,025 0,012 0,005 0,018 0,009 2012, 3111-B APHA, ed. 22, 0,355 0,427 0,533 0,347 0,359 0,386 2012, 3111-B APHA, ed. 22, <0,020 <0,020 0,028 <0,020 <0,020 <0,020 2012, 3112-B 2,769
1,688 1,420 2,356 1,237
1,230
Hasil analisa laboratorium kualitas air Sungai Manggar di kawasan estuari, khususnya pada unsur logam berat untuk Arsen mengacu PP 492/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, semua sampel air Sungai Manggar kadar Arsen melebihi ambang batas baku mutu 0,01 mg/l, sebesar 1,230-2,769 mg/l. Kadar Tembaga masih sampel air Sungai Manggar semuanya di bawah batas baku mutu sebesar 2 mg/l dengan kisaran 0,0050,01 mg/l. Untuk Timah Hitam atau Timbal (Pb) batasan baku mutu sebesar 0,01 mg/l dan semua sampel air Sungai Manggar melebihi ambang batas baku mutu dengan kisaran 0,347-0,533 mg/l. Air Raksa/Merkuri (Hg) pada PP 492/2010 sebesar 0,001mg/l pada sampel semua di bawah 0,02 mg/l tak terdeteksi karena diluar Deteksi Limit. Mengacu standar SNI untuk Cemaran Pangan untuk air minum relatif sama dengan KepmennegLH 82/2001 untuk
Arsen sebesar 0,5 mg/l,
kandungan pada semua sampel air Sungai Manggar melebihi ambang batas SNI sebesar 1,230 – 2,769 mg/l. Merkuri/Raksa (Hg) pada air alami maksimal sebesar 0,001 mg/l dan pada sampel air Sungai Manggar untuk semua sampel air sebesar < 0,02 mg/l melebihi Deteksi Limit (DL) sehingga tak terdekteksi. 143
Timbal, batas maksimum cemaran pada pangan di SNI untuk air alami batas maksimum sebesar 0,01 mg/l dan pada sampel air Sungai Manggar sebesar 0,347 mg/l - 0,533 mg/l, artinya kandungan Timbal semua sampel di atas standar maksimum cemaran pangan SNI. Tabel 4. Hasil analisa kandungan logam berat Perairan Darat Tambang dengan ketentuan Peraturan Pemerintah RI Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum NO
I 1 2 3 4
Parameter
KIMIA Arsen (As) Tembaga (Cu) Timah Hitam (Pb) Air Raksa (Hg)
Satuan
mg/L mg/L mg/L µg/L
BM
0,01 2 0,01 0,001
Nomor Sample
Metode/Alat
(261/ 262)
3 Kaolin (263)
256
0,254 0,035 0,022 0,099
<0,002 6,057 0,048 0,032
0,563 0,005 0,246 <0,020
APHA, ed. 22, 2012, 3113-B APHA, ed. 22, 2012, 3111-B APHA, ed. 22, 2012, 3111-B APHA, ed. 22, 2012, 3112-B
Secara umum, kadar logam berat dalam sampel air perairan darat di sekitar tambang/kolong timah dan kaolin melebihi ambang batas baku mutu lingkungan pada PP 492/2010. Nilai signifikan dalam melampaui nilai ambang batas baku mutu terdapat pada sampel 3 Kaolin di area pertambangan Kaolin pada logam berat Tembaga(Cu) sebesar 6,057 mg/l dibanding baku mutu sebesar 2 mg/l.
144
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Tabel 5.
Hasil analisa kandungan logam berat dengan ketentuan KepmennegLH RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air pada sampel air Sungai Manggar Nomor Sampel
NO. Parameter Satuan
BM
Metode/Alat 123
I
KIMIA
1
Arsen (As)
2 3 4
mg/L
0,05-1 2,769
146
99
258
1,688
1,420
2,356
Tembaga mg/L 0,02 0,009 0,025 0,012 (Cu) Timah mg/L 0,03-1 0,355 0,427 0,533 Hitam (Pb) Air Raksa 0,001µg/L <0,020 <0,020 0,028 (Hg) 0.005
136
102
APHA, ed. 2012, 3113-B APHA, ed. 0,005 0,018 0,009 2012, 3111-B APHA, ed. 0,347 0,359 0,386 2012, 3111-B APHA, ed. <0,020 <0,020 <0,020 2012, 3112-B 1,237 1,230
Pada sampel air Sungai Manggar, kandungan Arsen pada semua sampel melebihi ambang batas baku mutu KepmennegLH 82/2001 0,05-1 mg/l dengan kisaran 1,230-2,769 mg/l. Namun tidak pada Tembaga dengan baku mutu 0,02 mg/l, semua sampel kadarnya dibawah baku mutu. Kadar Timbal pada semua sampel air sungai melebihi baku mutu 0,03-1 mg/l dengan kisaran 0,355-0,533 mg/l. Merkuri sangat kecil dibawah deteksi limit, baku mutu 0,001-0,005 mg/l.
145
22, 22, 22, 22,
Tabel 6. Parameter pada sampel perairan darat kolong Nomor Sample NO.
Parameter
Satuan
2 tambang timah kolong (261/262)
3 Kaolin (263)
0,05-1
0,254
<0,002
0,563 APHA, ed. 22, 2012, 3113-B
BM
Metode/Alat 256
I
KIMIA
1
Arsen (As)
2
Tembaga (Cu) mg/L
0,02
0,035
6,057
0,005 APHA, ed. 22, 2012, 3111-B
3
Timah Hitam mg/L (Pb)
0,03-1
0,022
0,048
0,246 APHA, ed. 22, 2012, 3111-B
4
Air Raksa (Hg)
0,0010.005
0,099
0,032
<0,020 APHA, ed. 22, 2012, 3112-B
µg/L
µg/L
Rerata logam berat pada sampel perairan kawasan tambang timah dan kaolin kadarnya melebihi ambang baku mutu KepmennegLH 82/2001 dengan kadar signifikan Tembaga sebesar 6,057 mg/l pada sampel 263 tambang Kaolin dibanding baku mutu sebesar 0,02 mg/l.
146
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Kompilasi Logam Berat Hasil Analisa Laboratorium Air Sungai Manggar dengan Baku mutu Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Perairan Sungai Manggar
Perairan Darat Sekitar Tambang
Gambar 5. Grafik kandungan logam berat Sungai Manggar hasil analisa laboratorium mengacu PP82/2001
147
Logam Berat Hasil Analisa Laboratorium Air Sungai Manggar dengan Baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Perairan Sungai Manggar
Perairan Darat Sekitar Tambang
Keterangan:
Standar DL Baku Mutu
Kurang dari Baku Mutu
Melebihi Baku Mutu
Gambar 6. Grafik kandungan logam berat Sungai Manggar hasil analisa laboratorium mengacu PP492/2010
148
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Logam berat dari lima jenis di atas adalah termasuk golongan logam inorganik yang keberadaannya secara alami sangat rendah (trace metal). Dimana terbagi atas kelompok logam berat yang bersifat esensial (yang dibutuhkan biota) yaitu Cu dan non esensial Hg, As, Cd dan Pb. Elemen esensial maupun non esensial dalam perairan perlu diketahui karena jika terjadi peningkatan konsentrasinya dalam perairan dapat bersifat toksin bagi biota bahkan manusia.
Relasi Tingginya kadar logam berat pada air sungai dan perairan darat serta pada biota sungai dengan lingkungan. Seperti sebelumnya telah dipaparkan di awal bahwa Pulau Belitung adalah “Pulau Logam” maka tentu kandungan logam terlarut dalam air sungainya secara umum lebih tinggi dibanding daerah lain yang bukan berlitologi logam. Ditambah faktor antropogenik dari kegiatan manusia disitu yaitu aktifitas penambangan, dimana tanah digali, diaduk, diproses cuci maupun kimiawi lalu limbahnya dibuang kembali ke lokasi atau ke sungai terdekat, maka kandungan logam pada litologi tanah akan mudah keluar dan turut terbawa aliran air hujan dan alur sungai menuju sungai utama. Pada survei bulan Oktober lalu, tim memutuskan untuk mengukur parameter air di 6 stasiun pengambilan sampel di Sungai Manggar: stasiun 123, 146, 99, 358, 136, 102. Lokasi pengambilan sampel untuk perairan darat di kawasan tambang di sekitar hulu: kolong tambang timah dan kaolin yang ada di sekitar hulu sungai Manggar stasiun 261, 262, 363, 256 di kolong Desa Tambak di utara yang sisi timur kawasan kolong ini berbatasan langsung dengan area muara sungai Manggar bagian utara dan di sebelah barat dari Jembatan Mekarjaya, barat kota Manggar yang berbatasan dengan tubuh Sungai Manggar di sisi barat. Artinya hulu Sungai Manggar bagian barat dan utara dikelilingi kawasan tambang logam baik masih aktif maupun sudah tak digarap lagi. Ini jelas menguatkan hipotesa tim bahwa source atau sumber dari tingginya kontaminan logam berat terlarut pada air sungai dan biotanya adalah dari kawasan tambang di sekitar hulu (Gambar 6)
149
Area Tambang
Area Muara/ Estuari
Gambar 7. Sampel di Hulu, kawasan pertambangan sebagai sumber utama logam berat Hasil analisa laboratorium kandungan logam berat pada sampel air dari kolong tambang timah dari sampel yang diambil bulan Oktober saat mendadak turun hujan pada pagi harinya, sementara lama tak turun hujan, menunjukkan kandungan logam berat rerata rendah namun pada logam tertentu nilainya didapati sangat tinggi. Sementara hasil analisa logam berat pada sampel dari kolong Kaolin relatif sama namun dengan tingginya konsentrat Tembaga/Cu hingga diatas ambang batas baku mutu aturan yang ada yaitu sekitar 6 mg/l. Ini menunjukkan bahwa sumber dominan dari tingginya pasokan logam berat di Sungai Manggar berasal dari kawasan kolong Kaolin. Rendahnya kandungan logam pada sampel kedua kawasan kolong adalah karena saat pengambilan sampel sedang musim kemarau, penambangan jauh berkurang karena kurang air yang amat diperlukan dalam penambangan bahan galian jenis ini. Faktor berikutnya, logam mengeras karena kering setelah lama alami musim kemarau jadi tak mudah lepas dari kumpulan tanah dan batuan induknya. Berbeda saat musim hujan, air selalu 150
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
turun membasahi tanah sehingga kekerasan tanah menurun dan akhirnya partikel logamnya larut bersama air hujan dan tertransport ke alur sungai (Gambar 2). Ini yang menyebabkan tingginya konsentrat logam terlarut saat musim hujan dibanding disaat musim kemarau.
Rekomendasi Berdasarkan penelitian yang dilakukan Oktober 2013 terlihat air sungai Manggar, perairan darat sekitar sungai dan biota sungai tercemar dengan adanya limbah baik domestik maupun dari ‘kolong’ tambang di sekitar hulu sungai dan estuari Sungai Manggar. 1. Biota sungai Manggar, terutama kepiting bakau menurut klasifikasi baku mutu kesesuaian air menurut KepmennegLH RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dan SNI Cemaran Pangan 2009: tercemar berat. Semua parameter logam berat pada sampel kepiting: Hg, Pb, Cu dan As sangat tinggi melampaui nilai ambang batas Baku Mutu Lingkungan mengacu kedua perangkat hukum. Statusnya: sangat tercemar bila dirujuk dengan ketentuan konsumsi manusia pada Peraturan Pemerintah nomor 492 tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum sehingga tidak layak dan berbahaya untuk dikonsumsi. 2. Sumber logam berat pada perairan darat dan Sungai Manggar dan sungai lain adalah dari tanah dan batuan Pulau Belitung yang penuh logam, kandungan terbesarnya berasal dari kawasan tambang kolong yang terdapat di sekitar Sungai Manggar. 3. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang pencemaran logam berat Pb, As, Hg, Zn dan Cd di perairan Sungai Manggar, diperlukan data time series selama satu tahun. Pengamatan dilakukan mulai dari hulu (sungai) hingga ke hilir, sehingga dapat menduga secara tepat sumber pencemaran logam berat berasal. Dalam pengamatan ini seyogyanya dilakukan pengukuran parameter air sungai dan air di danau kolong sekitar hulu sungai dan dilakukan analisa sampelnya pada setiap bulan dalam kurun waktu satu tahun pada titik yang sama. Pengambilan sampel lebih detil diperlukan, yaitu pada saat mengambil air untuk sampel dilakukan dua hingga tiga kali pengambilan sampel pada satu stasiun yaitu pada air permukaan dan pada kolom air lebih dalam sekitar lebih dari 50 cm dan pada kolom air dekat dasar sungai. 151
4.
Hasil dari pengamatan, pengukuran dan penelitian detil time series selama setahun penuh ini amat penting dalam mendata tinggi rendahnya konsentrasi elemen-elemen kontaminan pada tubuh air sungai maupun air darat, demikian pula konsentrasi kontaminan pada biota sungai. Dari sini akan dapat dipetakan tinggi-rendah konsentrasi kandungan elemen kontaminan pada tiap bulannya.
Persantunan Ucapan terimakasih kepada Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Belitung Timur, Badan Lingkungan Hidup Daerah Belitung Timur, BAPPEDA Kabupaten Belitung Timur, para nara sumber, masyarakat dan tim survei.
Daftar Pustaka Affan, J.M. 2012. Identifikasi lokasi untuk pengembangan budidaya keramba jaring apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di perairan pantai timur Bangka Tengah. Depik, 1(1):78-85. April 2012. DIM, PT Dazya Ina Mandiri. 2012. Laporan pelingkupan KLHS dalam penyusunan RPJMD Kep. Bangka Belitung Tahun 2012 – 2017. ESP. Danida. E. Rochyatun, Edward dan A. Rozak. Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn, Ni, Cr, Mn & Fe dalam Air Laut dan Sedimen di Perairan Kalimantan Timur, Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 2003 No. 35 : 51 – 71. G. Alaa, M. Osman and W. Kloas. Water Quality and Heavy Metal Monitoring in Water, Sediments, and Tissues of the African Catfish Clarias gariepinus (Burchell, 1822) from the River Nile, Egypt. Journal of Environmental Protection, 2010, 1, 389-400. http://www.googleearth.com. 2012, diakses tanggal 17 November 2012. http://belitungtimurkab.go.id/ . 2012. Profil daerah Belitung Timur, diakses tanggal 17 November 2012. John A. Ludwig, James F. Reynolds. Statistical Ecology: A Primer on Method and Computing. Jhon Wiley and Sons.Inc.New York .337 p. KepmennegLH No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air , Pengendalian Pencemaran Air L. Legendre and P. Legendre, 1983. Numerical Ecology. 152
Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir (ISBN 978-602-9086-42-3/e-ISBN 978-602-9086-43-0)
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. UI-Presss, Jakarta. Maramis, A.A., A. Ign. Kristijanto, dan S. Notosoedarmo. 2006. Sebaran Logam Berat dan Hubungannya dengan Faktor Fisika-Kimiawi di Sungai Kreo, Dekat Buangan Air Lindi TPA Jatibarang, Kota Semarang. Akta Kimindo Vol. 1 No. 2: 93-98. Palar H. 2004. Pencemaran & toksikologi logam berat. Rineka Cipta. Jakarta. Pagoray H. 2001. Kandungan Merkuri dan Kadmium Sepanjang Kali Donan Kawasan Indutri Cilacap. Frontir. 33:1-9. P.J. Puri, M.K.N. Yenkie, S. P. Sangal, N.V. Gandhare and G. B. Sarote. Study Regarding Lake Water Pollution with Heavy Metals in Nagpur City (India). International Journal of Chemical, Environmental and Pharmaceutical Research [ijCEPr], 2011, Vol. 2, No.1, 34-39. Peraturan Kementerian Kesehatan nomor 492 tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. R. C. Kay and J. Arder. Coastal Planning and Management, Spon Press. Melbourne, Victoria Australia. 1999, pp 375. Radiarta, I.N., T.H. Prihadi, A. Saputra, J. Hariyadi, O. Johan. 2006. Penentuan lokasi budidaya ikan KJA menggunakan analisis multikriteria dengan SIG di Teluk Kapontori, Sulawesi Tenggara. Jurnal Riset Akuakultur, 1 (3): 303-318. R. Dako. Tumpang Sari: Pengembangan Tambak yang Ramah Lingkungan. Warta Teluk Tomini, Program Teluk Tomini (SUSCLAM), 2010, 8 hal. Sanusi, Harpasis. 2006. Kimia Laut, Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. SNI Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan, 2009, Badan Standardisasi Nasional. Storelli MM, Storelli A, D’ddabbo R, Marano C, Bruno R, Marcotrigiano GO (2005). Trace elements in loggerhead turtles (Caretta caretta) from the eastern Mediterranean Sea: Overview and evaluation. Environ. Pollut. 135: 163-1. Widianingsih., Retno Hartati., Asikin Djamali dan Sugestiningsih. 2007. Kelimpahan dan sebaran horizontal fitoplankton di perairan pantai timur Pulau Belitung. Ilmu Kelautan Maret 2007. Vol 12 (1): 6 -11. 153
Ringkasan Pada edisi kedua buku Seri Pengetahuan Sumberdaya Laut dan Peisisr dengan judul Karakteristik Sumberdaya Laut dan Pesisir ini, tim kelompok peneliti dari Pusat Penelitian Sumberdaya Laut dan Pesisir (P3SDLP), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, memaparkan hasil penelitian dominan di Wilayah Sumatera barat kaitannya dengan bencana gempa dan tsunami yang melanda Indonesia pada tahun
2004
silam. Diantaranya Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk penentuan kapasitas tempat evakuasi sementara dalam mitigasi bencana tsunami oleh Hadiwijaya, dkk. Serta aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk kesesuaian wilayah budidaya rumput laut di Kabupaten Sumbawa oleh Yulius, dkk. Disamping itu dipaparkan pula oleh Nia Naelul, dkk mengenai potensi pengembangan wisata Kapal Karam MV Boelangan Nederland dikawasan Mandeh, Sumatera Barat. Lokasi tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu proyek percontohan In-Situ
Preservation yang sangat sesuai dengan Konvensi UNESCO
2001.
Dapat ditetapkan pula sebagai Kawasan Konservasi Maritim, serta lokasi tujuan wisata bahari yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
ISBN 978-602-9086-42-3
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Komplek Bina Samudera Jl. Pasir Putih II Lantai 4, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430 – DKI Jakarta. www.p3sdlp.litbang.kkp.go.id Telp. : (021) 64700755 / Fax. : (021) 64711654, Email :
[email protected]
e-ISBN 978-602-9086-43-0