KESENJANGAN ANTARA NILAI-NILAI PENDIDIKAN SENI TARI KIPRAH GLIPANG DENGAN REALITA PADA SANGGAR ANDHIKA JAYA DI DESA PENDIL KECAMATAN BANYUANYAR KABUPATEN PROBOLINGGO
Yuliana Universitas Negeri Malang e-mail:
[email protected]
Abstrak:
Seni tari kiprah glipang tercipta karena kondisi sosial budaya masyarakat Desa Pendil, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo, Kesenian ini mengalami pasang surut kejayaannya yang diakibatkan oleh berbagai sebab. Pelaksanaan tari terdiri dari tahap persiapan, pementasan, dan penutup. Kesenian ini banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan Madura. Dalam tari kiprah glipang terdapat muatan nilai-nilai pendidikan, antara lain nilai religius, kepahlawanan, moral, sosial, estetika, kedisiplinan hingga nilai pengetahuan, namun terjadi kesenjangan antara nilai-nilai pendidikan tersebut dengan realita pada sanggar Andhika Jaya. Pembelajaran seni tari kiprah glipang mungkin dapat diaplikasikan dalam salah satu materi mata pelajaran muatan lokal di Probolinggo.
Kata Kunci: Nilai Pendidikan, Kesenian, Kiprah glipang
Probolinggo memiliki kebudayaan tradisional yang menjadi ciri khas daerah, yaitu seni tari jaran bodhak dan kiprah glipang. Kebudayaan sendiri dari pandangan antropologi dideskripsikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Hadi, 2006:19). Tari kiprah glipang menjadi kajian dalam penulisan skripsi ini karena tarian ini memiliki gerakan yang berbeda dengan tarian daerah Jawa lainya yakni gerakannya menunjukkan keberanian dari seorang prajurit, gerakannya dilakukan dengan lantang dan tegas. Kesenian tari kiprah glipang juga mengandung nilai-nilai pendidikan antara lain nilai kepahlawanan, nilai religi, dan
estetika. G.e Moore (dalam Ghoni 1982:23) mengungkapkan bahwa nilai sebagai sesuatu sifat empiris yang tidak dapat didefinisikan, sifat yang melekat pada halnya yang dapat ditangkap oleh manusia dengan jalan mengalaminya. Pembahasan dalam skripsi ini adalah tentang nilai-nilai pada tari kiprah glipang, karena nilai-nilai dalam tari kiprah glipang layak untuk dipelajari dan dilestarikan melalui pelajaran muatan lokal daerah setempat agar nilai-nilai pendidikan tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Alasan lain yakni kedekatan emosional, karena penulis berasal dari Probolinggo maka ingin mengkaji sesuatu yang ada di daerah Probolinggo dan penulis juga mengikuti latihan tari di sanggar Andhika Jaya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana sejarah awal mula terciptanya seni tari kiprah glipang di Probolinggo? (2) Bagaimanakah pelaksanaan seni tari kiprah glipang Probolinggo? (3) Bagaimana hubungan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam seni tari kiprah glipang dengan realita pada sanggar sanggar Andhika Jaya di Probolinggo? Dari rumusan masalah diatas, maka dapat diketahui tujuan dari penelitian, yaitu: (1) Mendeskripsikan sejarah awal mula terciptanya seni tari kiprah glipang di Probolinggo. (2) Mendeskripsikan pelaksanaan dari tari kiprah glipang Probolinggo. (3) Mendeskripsikan hubungan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam seni tari kiprah glipang dengan realita pada sanggar Andhika Jaya di Probolinggo. Menurut E.B Taylor (dalam Triprasetya 1998:28) kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kesenian tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan karena kesenian merupakan perwujutan yang nyata dari kebudayaan. Sehubungan dengan itu, kesenian sebagai unsur kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai hasil ciptaan manusia, tetapi dalam hal ini lebih dipandang sebagai suatu simbol, yaitu mengatakan sesuatu tentang sesuatu, berhadapan dengan makna dan pesan untuk diserapkan (Hadi, 2007:25). Kesenian adalah perwujudan dari nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi pola kehidupan masyarakat.
Lonner dan Malpass (dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004) mengungkapkan bahwa nilai melibatkan keyakinan umum tentang cara bertingkah laku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dan tujuan atau keadaan akhir yang diinginkan atau yang tidak diinginkan. Jadi nilai adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh manusia tentang baik buruknya suatu sikap yang dijadikan pedoman hidup manusia dalam bermasyarakat. Pendidikan adalah segala usaha orang untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah kedewasaan. Jadi nilai pendidikan merupakan batasan segala sesuatu yang mendidik kea rah kedewasaan, bersifat baik sehingga berguna bagi kehidupan (Wardani, 2011). Menurut Parson (dalam Ritzer,2008: 263) kesenian yang termasuk bagian dari unsur kebudayaan adalah sistem simbol yang terpola dan tertata yang merupakan sasaran orientasi aktor, aspek sistem kepribadian yang diinternalisasikan, dan polapola yang terinstitusionalkan dalam sistem sosial. Sebagaimana menurut Parson, kesenian adalah salah satu tingkah laku manusia merupakan sistem yang hidup yang terdiri dari berbagai sistem yang saling terkait. sistem-sistem tersebut yakni organisme behavioral, sistem kepribadian, sistem sosial dan sistem sosial kultur. Empat imperatif fungsional bagi sistem “tindakan” dalam teori fungsional struktural Parson dikenal dengan skema AGIL. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara menyeluruh atau utuh. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu memberikan gambaran, melukiskan dan memaparkan data yang kemudian dianalisis dan disimpulkan. Peneliti bertindak sebagai instrumen utama terlibat secara langsung dari keseluruhan proses penelitian mulai dari awal sampai akhir penelitian. Lokasi penelitiannya lebih tepatnya yaitu pada kelompok kesenian di sanggar Andhika Jaya milik Bapak Suparmo di Desa Pendil Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo. Sumber data diperoleh dari bahan pustaka dan dari para informan antara lain Bapak Suparmo, Nasir, para penari dan dari dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka, wawancara (menggunakan
instrument wawancara), observasi dan dokumentasi. Pada proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif, yakni analisis dilakukan pada tahap pengumpulan data, reduksi, penyajian, hingga tahap kesimpulan dan verivikasi. Terakhir adalah proses pengecekan keabsahan data yang dilakukan dengan cara ketekunan pengamatan dan Triangulasi. Hasil Penelitian Glipang berasal dari kata gholiban dari bahasa arab yang artinya “kebiasaan”. Kebiasaan ini adalah kebiasaan dari keluarga Bapak Soeparmo dalam menciptakan kesenian, karena keluarga ini merupakan keluarga yang berdarah seni. Namun karena perubahan artikulasi yang dipakai oleh masyarakat Desa Pendil yang mayoritas penduduknya menggunakan bahasa Madura, maka kata “Gholiban” berubah menjadi “Glipang”. Masyarakat Kabupaten Probolinggo lebih mengenal kesenian ini dengan nama glipang. Tari Kiprah Glipang merupakan sebuah tarian yang menggambarkan olah keprajuritan ketika akan menuju ke medan perang. Tarian ini menunjukkan begitu gagah beraninya para prajurit yang mau melakukan peperangan dengan Belanda. Awal mula munculnya tari kiprah glipang tidak lepas dari sejarah Mbah Sanderi yakni kakek buyut dari Bapak Soeparmo (pencipta tari kiprah glipang) . Pemuda yang berasal dari Desa Omben Sampang Madura bermigrasi ke daerah di Kabupaten Probolinggo. Alasan Mbah Sanderi meninggalkan tanah kelahirannya yaitu Pulau Madura karena mengalami perselisihan dengan anggota keluarganya. Di wilayah Jawa Timur Kabupaten Probolinggo tepatnya di Desa Pendil, Mbah Sanderi menetap dan memulai kehidupan barunya. Mbah Sanderi mengajarkan seni (tarian topeng gethak) dan ilmu bela diri kepada masyarakat Desa Pendil Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo terutama pada anaknya sendiri. Kesenian itu tidak diterima dengan baik oleh sebagian besar masyarakat Desa Pendil karena kesenian topeng gethak ini menggunakan alat musik berupa gamelan. Sehingga masyarakat Pendil yang mayoritas beragama Islam menganggap bahwa musik gamelan merupakan alat musik yang identik dengan agama Hindu-Budha sehingga dilarang dimainkan oleh orang yang beragama Islam. Agar keseniannya diterima
masyarakat setempat, Mbah Sanderi mengubah alat musiknya (gamelan) dengan menggunakan alat musik Terbang Gending. (rebana) yang ukurannya besar. Begitu juga dengan tariannya, yang semula dari tari topeng gethak diubah menjadi kesenian hadrah, terbang gendhing, saman, dan rudat. Beliau mewariskan ilmu bela diri dan keseniannya kepada anaknya yang bernama Sari Truno. Pada masa penjajah Belanda banyak dibangun pabrik gula di Kabupaten Probolinggo. Pada waktu itu petani selalu diberlakukan dengan tidak adil. Mbah Sari Truno membuat perkumpulan dari masyarakat Desa Pendil untuk mengajarkan ilmu bela diri yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk melawan Belanda. Perkumpulan itu oleh Mbah Sari Truno dinamakan perkumpulan kesenian tari. Kesenian yang diciptakan oleh Mbah Sari Truno yang berlatar belakang dari ketidak puasan terhadap penjajahan Belanda diturunkan kepada putri satu-satunya, yakni Ibu Asiah yang merupakan ibu dari Bapak Soeparmo. Ibu Asiah mengajarkan kesenian itu kepada Bapak Soeparmo, dari situlah kemudian Bapak Soeparmo menciptakan kesenian baru yang dinamakan Glipang pada tahun 1950. Menurut bapak Soeparmo tari kiprah glipang diciptakan oleh beliau dan Ibu Asiah (ibu Bapak Soeparmo) pada tahun 1950. Sedangkan sanggar “Andhika Jaya” dibentuk pada tahun 1953. Kesenian tari glipang pada tahun 1950an sampai tahun 1995 sering digunakan pada acara pernikahan, sunatan, dan acara selamatan Desa. Pada tahun 1980an kesenian glipang mulai muncul pada acara pemerintahahan. Pada tahun 1964 rombongan seniman glipang mengalami kecelakaan yang menyebabkan meninggalnya para seniman kiprah glipang. Pada tahun 1995 kesenian tari kiprah glipang sanggar “Andhika Jaya” menerima surat keputusan dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Probolinggo dengan nomor 431/318/433.23/1995 tentang pencabutan nomor induk sanggar “Andhika Jaya”. Sejak kejadian itu sanggar “Andhika Jaya” lumpuh total dan pertunjukan kesenian ini merosot drastis hingga sekarang. Bapak Soeparmo menjelaskan bahwa pada tahun 2002, beliau mendaftarkan hak cipta kepada pemerintah untuk menghindari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang dapat merubah bentuk dan citra kesenian glipang.
Persiapan yang paling utama yang dilaksanakan para seniman khususnya para penari pada jauh-jauh hari sebelum hari pertunjukan adalah latihan, merias wajah atau biasa disebut Make-up dengan karakter seorang prajurit yang gagah dan garang, selanjutnya pemakaian kostum yang terdiri dari baju berwarna merah muda, dengan rompi hitam diluarnya, odeng (ikat kepala), sabuk blandang di pinggang yang berwarna hitam, sampur warna kuning dan pancor (selendang batik) yang diikatkan di pinggang, celana ¾ berwarna biru serta satu gungseng yang diletakkan di kaki kanan. Pada bagian belakang kostum terdapat satu keris yang ditaruh di pinggang belakang. Tahap pelaksanaan diawali dengan memainkan alat-alat musik pengiring tari kiprah glipang yang kemudian dilanjutkan dengan tarian. Alat musik yang digunakan adalah 2 ketipung (kendang) yang diberi nama ketipung lakek (laki-laki) dan binik (perempuan), seronen (terompet), jidur, thong-thong dan kecrek. Alat-alat musik tersebut mempunyai makna dan fungsi tersendiri. Tari kiprah glipang mempunyai beberapa jenis gerakan sebagai berikut: jelen telasan, jelen sogge’en, gerakan siku/gerakan tangan, gerakan penghormatan, nongang salang, langit dan bumi, suweng, kembang tali, kembengan (pencak silat), dan gerakan penghormatan terakhir. Pembahasan Sejarah adalah suatu peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Hampir segala sesuatu yang ada di dunia memiliki asal usul terbentuknya atau rentetan kejadian suatu peristiwa yang biasa disebut dengan sejarah, begitu juga dengan seni tari kiprah glipang. Kiprah glipang memiliki dua arti sekaligus yakni kebiasaan bekerja yang pertama adalah kebiasaan dari keluarga Bapak Soeparmo dalam bekerja menciptakan kesenian, karena keluarga ini merupakan keluarga yang berketurunan darah seni. Kebiasaan bekerja yang kedua adalah kebiasaan pada zaman dahulu adalah bekerja membela Negara dari penjajahan Belanda yang dituangkan melalui bentuk kesenian tari dengan mengespresikan “prajurit” atau pahlawan yang menuju ke medan perang melawan Belanda. Dari segi teoritis seni tari kiprah glipang merupakan bagian dari tradisi lisan. Seni tari kiprah glipang memiliki kesejarahan yang berasal dari cerita rakyat. asal mula dimulai dengan transmigrasi penduduk dari Madura salah satunya
adalah Mbah Sanderi. Pada abad ke 19 banyak orang-orang Madura yang bermigrasi ke Jawa Timur dan berlangsung selama berabad-abad. Proses ini melalui berbagai saluran, seperti perdagangan, pelayaran, penangkapan ikan (Tirtoatmodjo dalam Sapto, 1999:33-34). Penguasa pelabuhan Probolinggo dan Panarukan melaporkan bahwa penumpang-penumpang yang datang di pelabuhan pada tahun 1917 adalah 32.940 jiwa dan 1.529 jiwa pada tahun 1918 (Kuntowijoyo, 2002:80). Selain memiliki perselisihan dengan anggota keluarganya. Yakni yang diakibatkan memperebutkan kesenian topeng ghetak antara Mbah Sanderi dengan salah satu saudaranya,yang menjadi alasan lain kepindahan Mbah Sanderi adalah untuk mencari nafkah di luar daerah Madura. Mengingat kondisi Pulau Madura dari dulu hingga sekarang yang sempit dan tidak subur (gersang), serta sedikitnya sumber daya alam sangat membatasi penduduknya untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari bersama keluarganya. De Jonge (dalam Sapto, 1999:34) menerangkan bahwa sejak awal abad ke-19 ketika di Probolinggo dibuka perkebunan-perkebunan tebu dan tembakau baik oleh pihak swasta maupun pemerintah banyak orang Madura yang bekerja mencari nafkah sebagai tenaga kasar. Mbah Sari Truno (anak Mbah Sanderi) yang mewarisi kesenian dari Mbah Sanderi disegani oleh masyarakat, oleh antekantek Belanda dipekerjakan sebagai mandor di Pabrik Gula Gending. Pabrik itu terletak di sebelah desa Pendil yakni di Desa Sebaung. Belanda memperlakukan para pekerjanya secara tidak adil, para pekerja di perkebunan tebu hanya mendapat upah antara 35-40 sen, sedangkan yang menjadi buruh-buruh upahan, kuli, tukang angkut barang menerima imbalan yang lebih kecil yaitu 25-30 sen (Kuntowijoyo, 2002:78). Mbah Sari Truno berniat untuk melawan Belanda dengan cara membuat perkumpulan dengan masyarakat dan mengajarkan ilmu pencak silat yang dimilikinya dalam bentuk seni tari agar tidak diketahui oleh Belanda. Kesenian yang diciptakan diwariskan kepada putri semata wayangnya yakni Ibu Asiah. Beliau merupakan ibu dari Bapak Soeparmo. Bersama-sama Bapak Soeparmo beliau menciptakan kesenian kreasi baru. Bapak Soeparmo menyempurnakan unsur gerakan-gerakan dalam tarian yang kemudian diberi nama tari glipang pada tahun 1950.
Tari kiprah glipang memiliki kesejarahan yang cukup panjang, terjadi pasang surut kejayaan yang diakibatkan berbagai sebab. Pada tahun 1953-1963 kesenian ini berkembang pesat di kalangan masyarakat. Kesenian ini sering ditampilkan pada acara pernikahan dan hajatan. Fase kemunduran terjadi pada tahun 1964, kelompok kesenian sanggar Andhika Jaya mendapatkan musibah. Rombongan mengalami kecelakaan yang mengakibatkan meninggalnya para seniman kiprah glipang. Hal lain yang menyebabkan vakumnya kesenian tari kiprah glipang adalah adanya peristiwa Gestapu (gerakan tiga puluh September) yang identik dengan sebutan PKI pada tahun 1965. Pembantaian juga dilakukan pada anggota LEKRA yang di dalamnya terdapat banyak seniman-seniman, selain itu juga terjadi tradisi mengganyang dan melarang karya-karya seni bagi orang-orang yang terlibat dalam persoalan politik (Kompas, 1968:151). Pada tahun 1980an selain dipentaskan pada acara pernikahan, khitanan dan acara bersih desa, kesenian kiprah glipang mulai muncul pada acara yang diadakan oleh instansi pemerintahan seperti, pekan seni, festival tari, penyambutan tamu pemerintah, bahkan pada acara ulang tahun kemerdekaan RI di Istana Merdeka. Pada tahun 1980an kiprah glipang berjaya lagi hingga akhirnya diturunkan surat keputusan dari Bupati Kabupaten Probolinggo mengenai pencabutan SK sanggar Andhika Jaya pimpinan Bapak Soeparmo, hingga pada akhirnya Bapak Soeparmo mendaftarkan hak cipta pada tahun 2000. Pada tahun 2006 seni tari kiprah glipang mulai digunakan lagi di acara-acara pemerintahan saja. Selain latihan, pada waktu pra pertunjukan persiapan yang dilakukan diantaranya adalah merias wajah atau make-up dan busana. Tata rias dan busana merupakan salah satu faktor pendukung pertunjukan yang berfungsi sebagai pemoles akhir sebuah koreografi secara global, karena istilah pertunjukan identik dengan istilah penampilan (Towok, 2005: 121). Setelah semua persiapan dilakukan pertunjukan dimulai dengan memainkan alat-alat musik yang menjadi iringan tari – kiprah glipang. Iringan adalah bagian utama yang mendukung sebuah garapan untuk mengiringi gerak, terutama untuk mewujudkan sebuah irama, karakter dan suasana dalam pertunjukan kesenian tradisional secara utuh (Towok, 2005: 120). Sebuah tari
harus didukung penuh oleh iringan musik agar mendapat kesatuan irama dengan gerakan. Gerakan, alat musik maupun syair memiliki keterkaitan dengan kesenian yang berasal dari daerah lain yakni tari topeng ghetak yang berasal dari Sampang Madura. Bentuk gerakan suweng merupakan salah satu gerakan yang terdapat dalam tari kesenian sintung yang berasal dari Madura. Gerakan tari sintung merupakan modifikasi gerakan hadrah, samman, ruddat dan gambus(Irmawati, 2004:116). Kelengkapan tari kiprah glipang memiliki kesamaan dengan unsur kesenian dari Madura, diantaranya adalah alat musik seronen, odeng, syair yang berbahasa madura, maupun dari gerakannya. selain dilihat dari sejarah masyarakat Madura bertransmigrasi ke Probolinggo sejak zaman Majapahit, kesamaan dalam kesenian menjadi salah satu dasar pemikiran bahwa Probolinggo merupakan daerah peranakan Madura. Tari kiprah glipang tergolong ke dalam tari kelompok atau kolosal. Tari kolosal adalah jenis tari yang disajikan dalam bentuk kolosal (banyak orang) (Rahem, 2011: 7). Tari bukan hanya mengajarkan gerakan dan pertunjukan semata, namun yang tidak kalah penting adalah apa yang ada didalam gerakan tari itu sendiri (Taeni, 2005:46). Tari tidak hanya produk ciptaan manusia, tetapi dalam hal ini tari dipandang sebagai suatu lambang dalam bentuk gerakan untuk menyampaikan sesuatu, yakni pesan yang ada didalamnya. Pada seni tari kiprah glipang terdapat nilai-nilai pendidikan yang ingin disampaikan kepada masyarakat yaitu: nilai religi, kepahlawanan atau cinta tanah air, moral, sosial, estetika, kedisiplinan dan nilai pengetahuan. Semua nilai-nilai pendidikan tersebut tersirat pada gerakan, syair dan proses belajar atau latihan. Namun nilai-nilai tersebut tidak diaplikasikan dengan baik oleh para anggota sanggar Andhika jaya. Terjadi kesenjangan antara nilai-nilai pendidikan dengan realita pada sanggar andhika jaya, karena tujuan untuk menyampaikan nilai-nilai pendidikan pada fungsi pencapaian tujuan (goad attainment ) dan fungsi pemeliharan nilai (latensi) dalam skema AGIL Talcott Parsons tidak terlaksana. Teori AGIL dalan fungsionalisme struktural Talcott Parsons tidak ada di dunia nyata, namun merupakan alat untuk
menganalisis dunia nyata. Pembelajaran seni tari kiprah glipang mungkin dapat diaplikasikan dalam pendidikan formal, yakni salah satu materi dalam mata pelajaran muatan lokal di Probolinggo. Perlu diberi penjelasan terlebih dahulu tentang sejarah dan makna dari setiap gerakan yang terkandung dalam tari kiprah glipang dalam mengajarkan tari kiprah glipang kepada anak didik agar tidak terjadi suatu kesenjangan antara nilai-nilai pendidikan dengan tindakan yang akan dilakukan para anak didik. Kesimpulan dan Saran Kiprah glipang memiliki dua arti sekaligus yakni kebiasaan bekerja yang pertama adalah kebiasaan dari keluarga Bapak Soeparmo dalam bekerja menciptakan kesenian. Arti yang kedua yaitu kebiasaan masyarakat Desa Pendil yang selalu berlatih Ilmu bela diri untuk melawan penjajahan Belanda. Sejarah tari kiprah glipang diawali dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Pendil Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo. Masyarakat tidak puas dengan adanya penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. Sehingga Mbah Sari Truno ingin melakukan perlawanan dengan cara mengajarkan ilmu bela diri yang dimiliki kepada masyarakat secara sembunyi-sembunyi melalui bentuk kesenian. Kondisi sosial budaya masyarakat desa Pendil yang identik dengan lokus pesantren, maka kesenian yang dibentuk oleh Mbah Sari Truno mengalami perubahan-perubahan sehingga terbentuklah tari kiprah glipang oleh Ibu Asia dan Bapak Soeparmo. Tari kiprah glipang mengalami kevakuman yang diakibatkan oleh suatu kecelakaan yang dialami oleh para seniman pada tahun 1964 dan peristiwa Gestapu pada tahun 1965. Pada tahun 1970an merupakan kejayaan bagi kesenian ini. Pelaksanaan tari kiprah glipang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan, pementasan, dan penutup. Persiapan yang dilakukan yakni latihan terlebih dahulu. Sebelum tarian dimulai, anggota melakukan doa bersama dan dilanjutkan oleh penampilan para pengrawit untuk mengundang kehadiran penonton. Barulah tarian dimulai. Gerakan tari kiprah glipang terdiri dari jelen telasan,jelen sogge’en, gerakan siku, gerakan penghormatan, gerakan nonggang salang, langit dan bumi, suweng,
kembang tali, kembengan, dan gerakan penghormatan terakhir. Kesenian ini banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan Madura. Pembelajaran dalam seni tari tidak lepas dari muatan pendidikan nilai, antara lain nilai religius, kepahlawanan, moral, sosial, estetika, kedisiplinan hingga nilai pengetahuan, namun terjadi kesenjangan antara nilai-nilai pendidikan tersebut dengan realita pada sanggar Andhika Jaya. Pembelajaran seni tari kiprah glipang dalam lembaga pendidikan formal, dapat dimasukkan kedalam mata pelajaran muatan lokal di daerah Probolinggo, yang terdapat pada Standart isi dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pembelajaran muatan lokal sebagai salah satu upaya dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah Probolinggo, serta agar bisa menunjang kekreatifan siswa untuk menciptakan suatu karya seni baru. Sebelum mengajarkan tari kiprah glipang kepada anak didik perlu dijelaskannya sejarah dan makna yang terkandung dalam gerakan dan syair tari kiprah glipang, sehingga anak didik lebih serius dan menjiwai dalam mempelajarinya. Dengan begitu nilai-nilai yang terkandung dalam tari kiprah glipang dapat direalisasikan. Dari kesimpulan hasil kajian diatas penulis ingin memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi Pemerintah Pemerintah Probolinggo (khususnya Dinas Budaya dan Pariwisata) hendaknya lebih serius dalam mempromosikan keunikan dari seni tari kiprah glipang dan lebih serius dalam mengusahakan hak paten seni tari ini sebagai salah satu kesenian yang dimiliki oleh Probolinggo. 2. Bagi Sanggar Tari Kepada para sanggar tari supaya tidak merubah gerakan-gerakan asli dari tari kiprah glipang dan melatih anak didiknya lebih serius lagi dengan mengajarkan gerakan-gerakan yang benar supaya gerakannya lebih tepat dan terarah. Para sanggar hendaknya tidak hanya melatih bentuk gerakannya saja, memberitahukan sejarah, nama gerakan, serta makna itu juga penting diketahui oleh para penari.
4. Bagi Jurusan Sejarah Kepada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UM diharapkan dengan adanya permasalahan ini yang merupakan salah satu bagian mata kuliah tertentu dijadikan referensi dan lebih memahami serta mengerti ruang lingkup kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya Jawa Timur. Diharapkan dapat membantu mahasiswa jurusan sejarah dalam mengembangkan pengetahuannya di dalam perkuliahan. 3. Bagi Masyarakat Bagi masyarakat Probolinggo diharapakan untuk ikut membantu dalam melestarikan dan memperkenalkan kesenian tari kiprah glipang. Seni tari kiprah glipang merupakan salah satu kebudayaan daerah merupakan sumber dari kekayaan budaya Nasional. Bagi masyarakat juga diharapkan agar lebih menghargai kebudayaan sendiri (Nasional), karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaan sendiri. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema ini dapat membahas tentang konflik yang terjadi antara pemerintah Jabupaten Probolinggo dengan pihak sanggar Andhika Jaya mengenai tari kiprah glipang dan penyebab vakumnya kesenian ini akibat peristiwa Gestapu (Gerakan 30 September).
Daftar Rujukan Dayakisni Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press. Ghoni, Djunaidi. 1982. Nilai Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Hadi, Sumandyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta. Buku Pustaka. Irmawati, Rosida. 2004. Kesenian Tradisional Madura. Surabaya. SIC. Kompas. 1968. Beberapa Catatan Kebudayaan. Dalam Budiman, A, Kebebbasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005. (hlm 151). Jakarta: Pustaka Alvabet. Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 18501940. Jakarta: Mata bangsa.
Raheh, A dkk. 2011. Repertoar: Materi Bahan Ajar Seni Tari Nusantara (Robby Hidayat, Ed). Yogyakarta: Kendil. Ritszer, George&Douglas Goodman. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Sapto Ari. 1999. Gerilya Kota di Probolinggo 1947-1949. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: UI. Taeni. 2005. Menengok Jagad Tari Sunda: 50 Thun Kiprah Kepenarian Indra Wati Lukman dan 37 Tahun Studio Tari Indra. Bandung: Etno Teater. Towo, D.N. 2005. Indrawati Lukman Dalam Perkembangan Seni Tari Tradisional. Dalam Taeni (Ed.), Menengok Jagad Tari Sunda: 50 Thun Kiprah Kepenarian Indra Wati Lukman dan 37 Tahun Studio Tari Indra (hlm.117-121). Bandung: Etno Teater. Tri Prasetyo, Joko dkk. 1998. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Wardani. 2011. Nilai-Nilai Pendidikan, (Online), (http://griyawardani.com), diakses pada tanggal 26 Juni 2012.