Volume 21 No. 2, April 2013 z z z 1
Dari Redaksi
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Ucapan Terima Kasih dan Undangan Kami haturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya khususnya kepada seluruh penulis yang telah secara sukarela berbagi pengetahuan dan pengalaman berharganya untuk dimuat pada majalah ini. Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk menyumbangkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada majalah ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 maksimal 4 halaman A4 (sudah berikut foto-foto). Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International Indonesia Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161 tel: (0251) 8312189; fax./tel.: (0251) 832-5755 e-mail:
[email protected]
Salam redaksi, Air adalah sumber kehidupan. Ia akan terjaga dengan baik apabila lahan basah sebagai wadah dan sumber air juga terkelola dengan baik. Kerusakan lahan basah, akan berdampak timbulnya bencana alam, kelangkaan air bersih, dan hancurnya bumi yang kita pijak ini. Untuk itu, pengelolaan antara lahan basah, air dan bumi haruslah terpadu dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebagai suatu pengingat dan representasi komitmen bersama, Wetlands International Indonesia telah mengadakan peringatan ketiga hari besar tersebut secara bersamaan di wilayah pesisir Serang, Banten. Pesan yang dapat kita ambil adalah “kita minum dari air yang sama dan kita berdiri pada tanah yang sama. Bumi adalah ‘Ibu bagi kita semua’, mari kita rajut keharmonisan yang pernah ada, agar ‘Ibu’ masih bisa memberikan ‘susunya’ bagi kita semua”. Selamat Hari Lahan Basah Sedunia - Hari Air - Hari Bumi, 2013
Daftar Isi ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Fokus Lahan Basah Potensi ekosistem lahan basah Taman Wisata Alam Batuangus dalam menunjang kegiatan ekowisata
3
Konservasi Lahan Basah DEWAN REDAKSI: Pimpinan Redaksi: Direktur Program WII Anggota Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra Triana Ita Sualia “Artikel yang ditulis oleh para penulis, sepenuhnya merupakan opini yang bersangkutan dan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isinya”
Perangkap lumpur sederhana di Pesisir Desa Sawah Luhur, Serang, Banten
4
Berita Kegiatan LOKAKARYA: Kegiatan sertifikasi dan pengembangan budidaya udang berkelanjutan
6
Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia - Hari Air Internasional Hari Bumi, 2013
8
Kelompok Penghijauan Ma’e Welu, Desa Kotabaru terima dana CSR dari BUMN di Kab. Ende
10
Berita dari Lapang Strategi pengembangan ekowisata Danau Uter, Distrik Aitinyo, Kab. Maybrat
12
Wetland Expedition: “Outfall Progo observation and camping”
14
Flora dan Fauna Lahan Basah
2 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Capung (ODONATA): Sahabat dalam ekosistem kita
15
Dokumentasi Perpustakaan
19
Mengenal Jenis Mangrove: Kandelia candel
19
Fokus Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Potensi Ekosistem Lahan Basah Taman Wisata Alam Batuangus dalam menunjang kegiatan ekowisata Oleh: Wawan Gunawan1, Iswan Dunggio2, dan Febriany Iskandar3
PENDAHULUAN
T
aman Wisata Alam (TWA) Batuangus merupakan salah satu dari 123 TWA yang terdapat di Indonesia (Ditjen PHKA, Dephut, 2008). TWA Batuangus memiliki luas wilayah 635 Ha yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 1049/Kpts/Um/12/1981 pada tanggal 24 Desember 1981. Secara administratif pemerintahan TWA Batuangus terletak di Kabupaten Bitung, Propinsi Sulawesi Utara. Sedangkan secara administratif pengelolaan berada di wilayah kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara.
kawasan ini memiliki daya tarik tersendiri untuk dikembangkan menjadi daerah tujuan ekowisata. Salah satu potensi yang terdapat di TWA Batuangus yang dapat dikembangkan sebagai obyek ekowisata adalah berupa potensi ekosistem lahan basah yang terdiri atas ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang.
Gambar 2. Kondisi Perairan di Kawasan TWA Batuangus (Sumber foto: BKSDA Sulut)
Ekosistem Mangrove di Kawasan TWA Batuangus Gambar 1. Peta TWA Batuangus di Propinsi Sulawesi Utara (Sumber: BKSDA Sulut)
Meskipun luas kawasan TWA Batuangus tidak terlalu luas, namun
Ekosistem mangrove memiliki berbagai manfaat yang sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Demikian pula halnya dengan ekosistem mangrove yang terdapat di kawasan TWA Batuangus.
Inoue et al. (1999) menyebutkan bahwa secara ekologis ekosistem mangrove bermanfaat dalam menjaga garis pantai, memecah gelombang, melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi dan intrusi air laut; menghasilkan oksigen dan menyerap karbondioksida; menyediakan nutrisi perairan dan mengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran; menjadi kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, dan kepiting; menjadi habitat berbagai jenis satwa; dan sebagai sumber plasma nutfah. Sedangkan secara ekonomis ekosistem mangrove memiliki manfaat sebagai penyedia kayu bakar, arang kayu, bahan konstruksi/ kayu bangunan, chip, tanin, nipah, obatobatan, bahan makanan, sumber pakan ternak dan pupuk, lokasi penangkapan ikan, lokasi pembuatan tambak, lokasi pembuatan garam, dan lokasi kegiatan ekoturisme. Luasan mangrove di TWA Batuangus relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan luasan ekosistem mangrove di TWA Batuputih. Adapun potensi mangrove antara lain Carallia brachiata, Casuarina equisetifolia, Soneratia alba, Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. (Kinnaird et al, 1995). Jenis Soneratia alba memiliki sifat tumbuh pada areal yang sangat dipengaruhi oleh air laut, sehingga S. alba merupakan jenis-jenis ko-dominan pada areal pantai yang sangat tergenang. Tidak terkecuali pada wilayah sekitar TWA Batuangus. Komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka sangat bergantung pada substratnya. .....bersambung ke hal 16
Volume 21 No. 2, April 2013 z z z 3
Konservasi Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Perangkap Lumpur Sederhana
di Pesisir Desa Sawah Luhur, Serang, Banten dengan menggunakan karung-karung berisi tanah Oleh: Urip Triyanto & Triana
CAGAR ALAM PULAU DUA (CAPD)
C
APD terletak kira-kira 5 km dari Pelabuhan Karang Hantu, tempat awal masuknya para pedagang Belanda dan Portugis di Indonesia 4 abad lalu. Dengan latar belakang perdagangan inilah awal kolonialisasi bangsa Indonesia (Hindia Belanda) berawal. Pulau Dua awalnya merupakan pulau kecil yang dipisahkan selat sepanjang 500 meter dengan Pulau Jawa. Pulau ini dikenal sebagai Pulau Burung karena menjadi lokasi berbiaknya berbagai jenis burung air. Seperti yang dikemukakan salah seorang pemuka pelestarian burung jaman Hindia Belanda, Hoogerwerf, sekitar tahun 1936 Pulau Dua dihuni sekitar 71 jenis burung, termasuk 14 jenis berbiak, diantaranya Mycteria cinerea yang konon hanya tersisa 6000-an ekor di seluruh dunia (95% ada di Indonesia). Pada saat itu, masyarakat sekitar memanfaatkan telur-telur burung air di Pulau Dua untuk memenuhi kebutuhan protein. Meskipun sudah ada peraturan yang mengatur masalah perlindungan alam (Natuurmonumenten Ordonantie), namun pengambilan telur-telur burung air tidak serta merta berhenti. Kondisi yang terus berlangsung tersebut, telah menggugah dan mendorong suatu
4 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
organisasi perkumpulan pencinta alam Hindia Belanda untuk mengusulkan perlindungan burung-burung liar di kawasan Pulau Dua. Akhirnya pada tahun 1937, pemerintahan Hindia Belanda yang berpusat di Batavia menetapkan Pulau Dua sebagai kawasan lindung. Dengan demikian, tidak boleh adanya kegiatan manusia di dalam kawasan, kecuali untuk kegiatan penelitian. Dalam perjalanannya, Pulau Dua terus mengalami pelumpuran di sebelah selatan, selat pemisah lambat laun tertimbun lumpur yang kemudian terbentuklah daratan baru yang menyatukan Pulau Dua dengan Pulau Jawa (tahun 1978). Tanah timbul tersebut, sebagian diantaranya kemudan ditumbuhi komunitas mangrove baru, yaitu jenis Avicennia marina, bersambung dengan komunitas mangrove lama yang didominasi Rhizophora apiculata. Untuk meningkatkan perlindungan burung air di dalam kawasan, pada tahun 1984 dikeluarkanlah SK Menteri Kehutanan, yang menyatakan bahwa tanah timbul di selatan pulau dua menjadi tanah cagar alam, sehingga terjadi penambahan luas areal Cagar Alam dari 8 hektar menjadi 30 hektar.
Gerbang masuk CAPD (Foto: Triana)
ANCAMAN YANG DIHADAPI CAPD Bersambungnya Pulau Dua ke daratan Jawa serta sifat burung air yang hanya berbiak di pulau dan mencari makan di Pantai Utara Jawa, menjadikan kehidupan burung-burung air tersebut sangat rentan. Kelangsungan hidup mereka justru sangat bergantung kepada berbagai kegiatan yang ditimbulkan oleh manusia (antropogenik), baik di lokasi berbiak maupun di lokasi mencari makan. Selain itu, ancaman lain yang dihadapi CAPD saat ini, adalah pengikisan pantai di bagian utara pulau akibat hantaman ombak laut.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
KEGIATAN PENANGKAPAN LUMPUR DI BAGIAN UTARA CAPD Selain kegiatan rehabilitasi yang telah dilakukan WI-IP sejak tahun 2008 di kawasan pesisir (daerah penyangga) Sawah Luhur, Serang, Banten, melalui berbagai kegiatan penghijauan dan pemberdayaan masyarakat, WI-IP juga berupaya melakukan perlindungan kawasan CAPD di bagian utara yang kondisinya terus mengalami abrasi pantai. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah melakukan penimbunan pantai (luar kawasan) dengan karung-karung berisi pasir/tanah di sepanjang garis pantai. Dengan pagar karung-karung ini, diharapkan sedimen/ lumpur yang terbawa ombak laut akan terperangkap di dalamnya, dan pada akhirnya akan membentuk daratan baru yang akan melindungi CAPD. Perkembangan kegiatan memerangkap lumpur Ide memerangkap lumpur dengan menggunakan karung-karung berisi
Konservasi Lahan Basah
Setelah 5 bulan pemasangan sand bags, didapati terjadinya penambahan endapan lumpur (yang terperangkap) setinggi 30 cm. Endapan lumpur tersebut telah ditumbuhi mangrove, mayoritas dari jenis avicennia yang tumbuh dari buah yang terbawa arus dan tumbuh di tanah timbul tersebut.
pasir/tanah muncul setelah teknik perangkap lumpur melalui pemasangan jaring sebelumnya hancur diterjang gelombang. Untuk menjaga agar lumpur yang sudah terperangkap jaring tidak terbawa arus kembali ke laut serta untuk melanjutkan kegiatan penangkapan lumpur, maka pada bulan November 2012, dilakukan pembangunan karung-karung pasir atau ‘sand bags’ oleh KPAPPD (Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua) dibantu Bapak Krom, asisten Bapak H. Madsahi (jagawana CA Pulau Dua). Kegiatan pembangunan sand bags ini merupakan bagian dari (didanai) program PfR (Partners for Resilience).
Untuk menjaga agar lumpur yang terperangkap tidak lepas kembali ke laut, dan untuk melanjutkan kegiatan yang cukup efektif dengan biaya yang tidak terlalu besar ini, maka WI-IP bersama-sama dengan kelompok masyarakat akan melanjutkan pemasangan sand bags sekitar 350 meter ke arah kanan dan kiri dari bangunan sand bags yang sudah terpasang sebelumnya.
Jumlah karung yang dipasang awalnya sebanyak 800 karung. Dipasang 4 tumpuk di sepanjang 100 meter garis pantai, dengan sistem pemasangan selang seling seperti pemasangan batu bata (untuk memudahkan air yang terperangkap keluar).
Mudah-mudahan dengan terbentuknya daratan baru di bagian utara CAPD ini, akan menjadi kekuatan perlindungan tambahan bagi kawasan CAPD. Mengapa tidak, jika pada suatu saat nanti tanah timbul ini ditetapkan masuk ke dalam kawasan CAPD, sehingga menambah luasan cagar alam. zz
Lumpur yang terperangkap karung-karung, membentuk tanah timbul baru (Foto: Triana)
Penggalian karung yang tertimbun lumpur (Foto: Urip T.)
Kondisi karung yang tertimbun masih dalam keadaan utuh (Foto: Urip T.)
Kedalaman karung yang tertimbun lumpur (Foto: Urip T.)
Volume 21 No. 2, April 2013 z z z 5
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
LOKAKARYA
Kebijakan Sertifikasi dan Pengembangan Budidaya Udang Berkelanjutan Bogor, 19 Maret 2013 Oleh: Ita Sualia, Ragil Satriyo dan Anggita Kalistaningsih
LATAR BELAKANG
K
eluarnya Kepres Nomor 39 Tahun 1980 tentang pelarangan trawl memacu perkembangan industri budidaya tambak udang di Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah untuk mendukung produksi udang budidaya diantaranya pembukaan hatchery udang pertama di Sulawesi Selatan pada tahun 1971, Program Intensifikasi Tambak (INTAM) tahun 1984, serta Industrialisasi Perikanan yang dicanangkan tahun 2012 dengan target penerimaan negara sekitar USD 0,6 milyar dari ekspor udang. Guna mencapai target tersebut, telah dilakukan revitalisasi 1000 hektar tambak di Kabupaten Serang, Tangerang, Karawang, Subang, Indramyu dan Cirebon. Seiring perkembangan ekonomi Global menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan dan dikeluarkannya Code of Conduct Responsible Fisheries oleh FAO pada tahun 1995, kecenderungan sertifikasi produk pangan juga mulai mempertimbangkan aspek pelestarian lingkungan, termasuk dalam hal produksi udang. Lokasi tambak udang yang sebagian besar berada di ekosistem mangrove membuat aktivitas produksi ini dianggap berkontribusi besar pada hilangnya ekosistem mangrove.
6 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Mangrove Capital Project yang diimplementasikan oleh Wetlands Internasional bertujuan untuk meningkatkan cara pengelolaan ekosistem mangrove oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat sehingga akan berkontribusi dalam mengubah persepsi terhadap mangrove, yang selama ini dinilai sebagai hutan bernilai ekonomi rendah menjadi pandangan bahwa ekosistem mangrove sebagai faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, terdapat integrasi yang lebih baik antara pelestarian ekosistem mangrove dalam rencana pembangunan, tata ruang dan sistem produksi. Jenis kegiatan yang dikembangkan Mangrove Capital Project mencakup: (1) Kajian dan pendokumentasian nilai ekonomis dari mangrove, mulai dari perlindungan pesisir dan kontribusi terhadap perikanan sampai dengan penyerapan karbon; (2) Analisis kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove untuk budidaya perikanan dan perlindungan pesisir berbasis mangrove; (3) Advokasi kebijakan pelestarian ekosistem mangrove dalam sistem produksi dan perlindungan pantai.
Kegiatan yang telah dilakukan oleh Mangrove Capital Project dalam upaya mendukung pelestraian ekosistem mangrove kaitan dengan budidaya tambak diantaranya : Review kebijkan sertifikasi udang dan pengembangan tambak ramah lingkungan di Indonesia. Sebagai langkah awal, WIIP telah berkunjung ke beberapa stakeholder untuk mengidentifikasi berbagai kebijakan terkait pengembangan tambak di ekosistem mangrove. Kebijakan tersebut kemudian dikaji dan dituangkan dalam sebuah laporan berjudul “Analisis Kebijakan Sertifikasi Udang dan Pengelolaan Tambak Berkelanjutan”. Laporan ini akan digunakan sebagai acuan untuk (a) memahami status industri budidaya udang di Indonesia, termasuk hasil-hasil pembelajaran di masa lalu dan saat ini, (b) memandu pengembangan program advokasi kebijakan Proyek Mangrove Capital, serta (c) memilih mitra dan lokasi advokasi kebijakan di tingkat lokal. Laporan analisa kebijakan ini juga akan disebarluaskan ke berbagai pihak agar pelaku budidaya udang dapat memanfaatkannya sebagai acuan dalam bertindak guna menciptakan budidaya udang berkelanjutan, baik secara ekonomi dan lingkungan.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita Kegiatan
Suasana workshop (Foto: Ragil S.)
Menghubungi para “pelaku kunci”. Sejalan dengan penyiapan dokumen “Analisis Kebijakan Sertifikasi Udang dan Pengelolaan Tambak Berkelanjutan”, WI-IP juga telah mengidentifikasi sejumlah pelaku kunci yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pengembangan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove untuk budidaya tambak udang.
WORKSHOP Menindaklanjuti kedua kegiatan tersebut di atas, Wetlands International - IP telah menyelenggarakan sebuah lokakarya bertema “Kebijakan sertifikasi dan pengembangan budidaya udang berkelanjutan” pada bulan Maret 2013 lalu, dengan mengundang para pelaku kunci dengan tujuan untuk : 1. Mendapat masukkan (termasuk kritikan) terhadap isi dokumen “Analisis Kebijakan Sertifikasi Udang dan Pengembangan Tambak Udang Berkelanjutan;
2. Mengetahui berbagai kegiatan pengembangan kebijakan terkait pemanfaatan ekosisitem mangrove untuk budidaya tambak yang sedang dikembangkan oleh pelaku kunci; 3. Mendapat masukan tentang efektivitas jalannya suatu kebijakan; 4. Mengidentifikasi prioritas kegiatan yang dapat difasilitasi oleh Mangrove Capital. Output yang diharapkan Output yang diharapkan dari workshop ini antara lain : 1) Masukan draft analisis kebijakan Sertifikasi Udang dan pengembangan tambak berkelanjutan 2) Prioritas kegiatan advokasi kebijakan yang dapat difasilitasi oleh Mangrove Capital.
TINDAK LANJUT Tindak lanjut dalam kegiatan Mangrove Capital : 1. WIIP akan memperbaiki Dokumen Analisis Kebijakan Sertifikasi Udang dan Pengembangan Tambak Berkelanjutan dan jika diperlukan dokumen akan disebarkan kepada stakeholder terkait 2. Adanya diskusi lebih lanjut antara WIIP dengan Sub Direktorat Sertifikasi Kementerian KKP terkait konsekuensi produk kebijakan dari keluarnya Revisi Kepmen KKP tentang CBIB 3. WIIP akan berkoordinasi dengan Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan untuk upaya pelestraian ekosistem mengrove di lokasi-lokasi Revitalisasi Tambak di Pantura Jawa. zz
Volume 21 No. 2, April 2013 z z z 7
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia Hari Air Internasional - Hari Bumi, 2013 Sawah Luhur, Kec. Kasemen, Serang-Banten, 27 April 2013 Oleh: Triana
P
eringatan Hari Lahan Basah Sedunia tahun 2013 ini, dilakukan bersama-sama dengan peringatan dua Hari Besar lainnya, yaitu Hari Air Internasional dan Hari Bumi. Peringatan ketiga Hari Besar tersebut dilangsungkan pada tanggal 27 April 2013, di kawasan pesisir (pertambakan), Sawah Luhur, Kec. Kasemen, Kota Serang, Banten, yang merupakan kawasan penyangga Cagar Alam Pulau Dua. Peringatan melibatkan tidak kurang dari 150 peserta dari berbagai kalangan, yaitu: Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua, siswa-siswi dari 5 SD di wilayah Sawah Luhur, Aparatur Kelurahan Sawah Luhur, Seksi Konservasi Wilayah I Serang, Bidang KSDA, Ditjen. PHKA, Dinas BLH Kota Serang, Ditjen. Perikanan Budidaya, Ditjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen. PHKA, Wetlands International – IP, Media elektronik, serta masyarakat luas. Seluruh kegiatan yang dilangsungkan terlaksana atas kerjasama antara Wetlands International – Indonesia Programme, Ditjen. PHKA dan Yayasan Lahan Basah Indonesia, dengan dukungan pendanaan dari Program PfR (Partners for Resilience). Rangkaian utama peringatan a.l. Presentasi, Lomba menggambar tingkat SD, Lomba memancing, dan penanaman mangrove.
8 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Seluruh rangkaian kegiatan diharapkan akan menjadi pengingat dan penyemangat untuk kita berbuat lebih bijak dan nyata dalam memelihara lingkungan lahan basah. Lahan basah jika dipelihara dengan baik, tentu akan memberikan manfaatnya bagi kita khususnya dalam menyediakan air bersih sebagai sumber vital kehidupan. Bumi yang kita pijak saat ini sedang mengalami kerusakan dan ancaman, akibat yang ditimbulkan oleh berbagai aktifitas manusia yang
tidak ramah lingkungan. Pemanasan global yang terus meningkat, mengakibatkan iklim dengan cepat berubah tanpa dapat diperhitungkan lagi. Harus ada upaya-upaya penyeimbang agar bumi tidak cepat hancur. Hutan mangrove yang terbentuk akan menyerap emisi gas rumah kaca di udara. Langkah nyata yang telah dilakukan WI-IP bersama-sama para mitranya dalam merehabilitasi pesisir Sawah Luhur, diharapkan akan turut andil dalam mereduksi dan menghambat laju pemanasan global.
Hari Lahan Basah Sedunia, 2 Februari 2013 “Lahan Basah Peduli AIR” Air adalah sumber kehidupan, seluruh mahluk hidup sangat bergantung kepada adanya air. Air yang menjadi sumber vital tersebut, tentu harus terus dijaga dan dipelihara ketersedian maupun kualitasnya. Lahan basah, sebagai suatu ekosistem adalah sumber penyedia air. Dengan peran dan fungsinya sebagai penyerap maupun pemasok air, maka lahan basah perlu dan wajib dipelihara dan dikelola dengan baik, benar dan berkesinambungan. Kerusakan atau hilangnya lahan basah, juga akan menghilangkan peran dan fungsi di dalamnya, seperti mencegah banjir, mencegah kebakaran (hutan), mencegah intrusi air laut, sumber penyedia air bersih, mencegah pemanasan global, sumber mata pencaharian, dsb. Adalah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk melestarikan, mengelola dan memanfaatkan lahan basah dengan bijak. Bila kita peduli pada kehidupan kita dan generasi penerus kita, maka kita wajib peduli pada kelestarian lahan basah yang ada di sekitar kita !! Selamat Hari Lahan Basah Sedunia ...
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita Kegiatan
Dokumentasi kegiatan:presentasi (kiri); lomba menggambar (tengah); penanaman mangrove (kanan). (Foto: Hidayat S.)
Hari Air Internasional, 22 Maret 2013 “Tahun Kerjasama Air Internasional” Peringatan Hari Air Dunia ditetapkan setiap tanggal 22 Maret, atas dasar Resolusi PBB Nomor 147/1993. Setiap tahunnya PBB menentukan tema peringatan yang berbeda-beda, sesuai dengan fokus kerja yang direncanakan. Tahun ini dicanangkan tema “Tahun Kerjasama Air Internasional” Kondisi Air Saat Ini Air bersih menjadi barang yang semakin langka dan sangat mahal bagi sebagian warga dunia. UN Water merilis data bahwa sekitar 780 juta manusia di dunia tidak bisa mengakses air bersih. Disamping itu, tedapat 2.5 miliar manusia tidak dapat mengakses sanitasi yang layak. Air tidak merata dalam ruang dan waktu, siklus hidrologi sangat kompleks dan gangguan terhadapnya memiliki efek ganda. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia, lingkungan kita, pembangunan sosial-ekonomi dan pengurangan kemiskinan, semua sangat bergantung pada air. Dengan sifatnya yang tidak dibatasi oleh batas-batas administratif, wilayah dan negara, melalui tema kali ini kita semua disadarkan betapa pengelolaan air dan sumber-sumbernya tidak dapat dikelola secara sendirisendiri. Diperlukan kerjasama dan sinergitas yang erat antar lintas sektoral, wilayah maupun bangsa-bangsa di dunia. Mulailah mendukung kerja sama air dengan berbuat sesuatu yang kecil namun bermanfaat. Berhemat air, tidak mengotori badan air dengan sampah, menanam dan merawat tanaman di sekitar lingkungan kita, mungkin bisa berkontibusi untuk lestarinya air di bumi kita.
Hari BUMI, 22 April 2013 “Wajah Perubahan Iklim” Manusia tergantung atas segala sumberdaya yang dikandung bumi, sebaliknya bumi sangat memerlukan sentuhan dan perlakuan arif manusia agar dapat terus menyediakan fungsi dan manfaatnya. Sejak manusia pertama menapakan kakinya di bumi, hubungan itu berjalan harmonis. Namun, dalam sejarah perkembangannya, nilai-nilai yang saling menguntungkan sudah mulai pudar. Manusia seiring dengan perubahan budaya, pola hidup serta kebutuhan yang terus meningkat, cenderung “memeras” dan mengeksploitasi bumi demi mewujudkan keinginan duniawinya. Akibatnya bumi semakin merana dan terdegradasi. Bumi semakin letih menopang beban gedung-gedung tinggi menjulang. Bumi semakin sakit menghirup udara kotor (limbah) yang dikeluarkan kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik, Bumi semakin hancur akibat penggalian tambang dimana-mana, dan Bumi semakin panas terkena dampak perubahan iklim akibat penggundulan hutan dan gas-gas hasil industri. Lalu, bagaimana kita bisa berpikir logis, jika keadaan panas, udara terkontaminasi polusi kendaraan
dan pabrik? Lalu akankah kita semua berpangku tangan atas apa yang telah terjadi dan menimpa bumi yang kita diami? Sebenarnya banyak yang dapat kita lakukan seiring jalannya kehidupan. Tahun demi tahun, bulan, hari bahkan detik per detik adalah waktu-waktu yang sangat berharga dalam memelihara bumi. Komitmen kita semua untuk berfikir, melangkah dan berkarya bersama dalam menggapai kondisi lingkungan yang lebih baik adalah suatu kekuatan bahkan kebutuhan yang harus segera direalisasikan. Tiada satu katapun yang bisa menampik bahwa kita bernafas dari udara yang sama, kita minum dari air yang sama dan kita berdiri pada tanah yang sama. Bumi adalah “Ibu bagi kita semua”, mari kita rajut keharmonisan yang pernah ada, agar “Ibu” masih bisa memberikan “susunya” bagi kita semua. STOP Pemanasan Global ! Selamat Hari BUMI, 22 April 2013 ...
Selamat Hari Air Internasional ...
Volume 21 No. 2, April 2013 z z z 9
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Kelompok Penghijauan Ma’e Welu Desa Kotabaru terima dana CSR dari BUMN di Kab. Ende Oleh: Didik Fitrianto
Penyerahan bantuan dana penanaman dari Bank BRI kepada Kelompok Penghijauan Ma’e Welu
K
erusakan lingkungan yang terjadi di kawasan pesisir pantai utara Kabupaten Ende khususnya Desa Kotabaru menjadi keprihatinan semua pihak, abrasi yang terus menggerus setiap saat menjadikan Dusun Bele yang ada di Desa Kotabaru semakin terisolasi. tidak hanya akses jalan yang rusak parah tetapi pemukiman masyarakat pun semakin terkikis, anak-anak tidak bisa pergi ke sekolah, dan kegiatan ekonomi terganggu karena alat transportasi tidak bisa masuk maupun keluar dari Dusun Bele saat air laut pasang. Kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan terjadi terus-menerus, perlu adanya sebuah upaya untuk mencegah dan mengurangi dampak dari bencana tersebut. Wetlands Internasional melalui program Partner for Resilience merintis untuk melakukan upaya perbaikan lingkungan kawasan pesisir Desa Kotabaru dengan
10 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
melakukan rehabilitasi tanaman mangrove dan tanaman pantai. Perlu diketahui terjadinya abrasi dan naiknya air laut ke daratan yang terjadi di Dusun Bele tidak hanya oleh faktor alam tetapi disebabkan juga oleh kerusakan lingkungan dengan hilangnya puluhan hektar hutan mangrove karena penebangan untuk alih fungsi baik untuk pertanian maupun tambak garam.
sebanyak 20.000 anakan dengan jenis rhizopora dan ceriops. selain melakukan kegiatan rehabilitasi KP Ma’e Welu juga melakukan kegiatan pengembangan usaha alternatif kelompok untuk menguatkan ekonomi anggotanya, dengan dana yang diberikan oleh WI-IP melalui mekanisme Biorights saat ini KP Ma’e Welu mengembangkan usaha ternak kambing.
Kelompok Penghijauan Ma’e Welu kelompok yang dibentuk dan difasilitasi oleh WI-IP dalam program PfR yang beranggotakan 20 orang terdiri dari anak muda, kaum perempuan, dan tokoh masyarakat mulai bekerja untuk merehabilitasi kawasan pesisir. Dengan pelatihanpelatihan yang sudah diberikan oleh WI-IP, Kelompok Penghijauan Ma’e Welu sudah melakukan kegiatan penanaman dengan jenis tanaman pantai sebanyak 5.000 pohon dan membuat persemaian mangrove
Kerja keras kelompok dan penguatan kapasitas yang diberikan oleh WI-IP kepada kelompok secara terus menerus selama hampir satu tahun secara bertahap sudah mulai kelihatan hasilnya, kawasan pesisir sudah direhabilitasi dengan tanaman pantai dan mangrove dan kelompok memilki kegiatan usaha ekonomi alternatif. Selain itu, WI-IP juga membantu menghubungkan kelompok dengan Dinas-dinas terkait dan lembaga-lembaga lainnya. Salah satu yang sudah berjalan dengan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita Kegiatan
Bele membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan penanaman mangrove sehingga kawasan pesisir yang terkena abrasi nantinya bisa diselamatkan. Apabila kelompok-kelompok tersebut berhasil menanam dan merawat pahon mangrove Bupati Ende akan memberikan hadiah.
Kegiatan penanaman oleh Kelompok masyarakat bersama pemerintah setempat dan swasta (Foto: Didik F.)
baik adalah kerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD), BPBD dan BUMN-BUMN yang ada di Kabupaten Ende. Kerjasama dengan lembaga-lembaga tersebut sangat penting untuk melakukan kerja bersama dalam kegiatan rehabilitasi dan Pengurangan Resiko Bencana/PRB, juga untuk mencarikan sumber dana alternatif untuk kegiatan kelompok.
Pemberian Dana CSR BUMN di Kab. Ende Kepada KP Ma’e Welu Dalam rangka melakukan kegiatan tanam perdana dan peringatan hari nusantara, WI-IP menjalin kerjasama dengan DKP, KKMD dan BUMN Kab. Ende untuk melakukan penanaman mangrove bersama di Desa Kotabaru pada tanggal 15 Desember 2012. Dengan mengusung tema ‘Dengan Menanam Mangrove Kita Bangkitkan Wawasan dan Budaya Bahari Melalui Peran SDM dan Iptek Menuju Ende Lio Sare Pawe’ kegiatan tanam perdana tersebut dihadiri oleh Bapak Bupati Ende, Don Wangge dan dihadiri oleh SKPD, Perguruan Tinggi, Pelajar SMA, SMP dan SD di Kotabaru,
Camat Kotabaru, Kepala Desa Sekecamatan Kotabaru, Mosalaki, TSBK, LSM lokal, dan masyarakat. Bupati Ende Bapak Don Wangge dalam sambutannya menyampaikan keprihatinannya karena kawasan pesisir yang ada di Desa Kotabaru semakin parah. Menurut beliau pada jaman dahulu pesisir pantai di Dusun Bele masih sangat jauh kelaut, tapi saat ini daratan itu sudah hilang mencapai 100 M. Hutan bakau yang dulu lebat sekarang sangat berkurang akibat penebangan dan pembukaan lahan, hewan-hewan seperti kera pun sekarang sudah tidak ada lagi, untuk itu kegiatan penanaman mangrove ini bisa dijadikan momentum bagi masyarakat Dusun Bele untuk kembali menghijaukan kawasan pesisir dengan tanaman mangrove. Bupati Ende juga memperingatkan kepada masyarakat di Dusun Bele untuk tidak lagi memotong tanaman mangrove untuk keperluan apa pun, termasuk kayu mangrove yang sudah kering dilarang untuk diambil. Apabila ada masyarakat yang merusak atau menebang satu pohon diwajibkan untuk mengganti dengan 100 anakan mangrove. Selain itu agar masyarakat yang ada di Dusun
Pada acara tersebut diserahkan bantuan oleh BUMN kepada Kelompok Penghijauan Ma’e Welu untuk kegiatan penanaman, antara lain dari Bank BRI, Bank BNI, PLN, dan Bank Mandiri. Dari Bank BRI memberikan dana sebesar RP. 12.500.000, Bank BNI 500 anakan, Bank Mandiri 200 anakan, PLN 100 anakan. Selain dari BUMN, Dinas DKP Kab. Ende juga memberikan bantuan dana sebesar Rp. 12.500.000, total dana yang diberikan oleh BUMN dan DKP kepada kelompok Ma’e Welu sebanyak Rp. 28. 325.000. Dana tersebut akan dimanfaatkan oleh kelompok untuk kegiatan rehabilitasi dan pengembangan mata pencarian alternatif. Yang lebih membanggakan lagi Bank BRI pada tahun 2013 nanti akan memberikan bantuan untuk pengadaan bibit 5.000 anakan mangrove dan bantuan KUR (Kredit Usaha Rakyat) kepada kelompok sebesar Rp. 60.000.000. Tidak hanya Bank BRI, Bank BNI melalui kepala cabangnya juga akan memberikan bantuan dana untuk pengadaan bibit mangrove sebanyak 5.000 anakan pada tahun anggaran 2013. Usaha rehabilitasi kawasan pesisir tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, perlu kerjasama dengan semua elemen. WIIP melalui program PfR di 2 kabupaten di Sikka dan Ende sudah membangun jaringan antar lembaga baik pemerintah daerah, LSM Lokal, BUMN, Media dan Perguruan Tinggi untuk mempercepat perbaikan lingkungan di kawasan pesisir. Bantuan yang diberikan oleh BUMN yang ada di Kab. Ende kepada KP Ma’e Welu adalah bentuk nyata ‘Linking and Learning’ dalam program PfR yang dilakukan oleh WIIP. zz
Volume 21 No. 2, April 2013 z z z 11
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Strategi Pengembangan Ekowisata Danau Uter, Distrik Aitinyo, Kab. Maybrat Oleh: Alfred Antoh, S.Hut, M.Si*
LATAR BELAKANG
S
ebagian besar kawasan danau menyimpan kekayaan sumberdaya alam hayati dengan nilai estetika yang khas. Kondisi ini memberikan implikasi, baik terhadap besarnya potensi maupun kendala dalam pengembangan kawasan danau. Idealnya kawasan danau dan sekitarnya sebagai suatu ekosistem memiliki fungsi utama konservasi, yang harus terjaga kelestariannya. Perlu dukungan berbagai pihak yang terkait dalam menjaga kelangsungan danau, agar segala manfaat yang diberikan danau dapat dirasakan secara berkesinambungan. Namun fakta menunjukkan bahwa danau kadang menjadi ’terkalahkan’ oleh pembangunan-pembangunan praktis yang didasarkan atas kepentingan perekonomian semata, seperti kegiatan alih-fungsi kawasan danau menjadi daerah terbangun. Tekanan dan ancaman tersebut, dapat dialami danau secara langsung atau pada daerah-daerah pendukung seperti kawasan hutan (pegunungan) yang memiliki peran dalam menjaga volume dan debit air perairan danau. Kerusakan tersebut kemudian diperparah dengan dibukanya areal HPH pada kawasan hutan yang merupakan kawasan Daerah Aliran Sungai yang memiliki fungsi hidrologi yang sangat besar terhadap kelangsungan siklus hidrologi perairan danau.
12 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Peta Lokasi Penelitian
Pada penataan kawasan danau disadari perlu adanya barrier alami yang salah satu fungsinya adalah untuk mempertahankan fungsi hidrologis serta untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan di sekitar danau. Dengan demikian penataan kawasan danau adalah hal yang sangat dibutuhkan dan perlu untuk segera dilaksanakan. Diharapkan penataan ruang tersebut mengakomodasi berbagai kepentingan (multifungsi). Penyusunan strategi pengembangan ekowisata perlu didukung dengan data-data yang memadai terutama upaya inventarisasi potensi yang dimiliki oleh danau baik secara fisik, kimia, biologi maupun kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat setempat yang memadai dalam mengembangkan danau menjadi lebih bermanafaat bagi masyarakat di sekitarnya baik secara konservasi maupun juga dapat memberikan dampak peningkatan langsung bagi
kesejahteraan mereka. Salah satu output yang dapat diharapkan adalah pengembangan sektor jasa pariwisata atau lebih di kenal eco-tourism. Terwujudnya kegiatan tersebut perlu diawali dengan adanya suatu kajian yang lebih komperhensif dengan pendekatan yang lebih mantap dalam upaya pengembangan kawasan, khususnya Danau Uter di Distrik Aitinyo Kabupaten Maybrat.
DANAU UTER Danau Uter teletak di Distrik Aitinyo Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat. Wilayah ekologi Danau Uter dibedakan atas tiga satuan fisiografi lahan. (1) Hamparan perbukitan terjal sampai sangat terjal. (2) Hamparan perbukitan landai sampai sangat curam. (3) Hamparan datar sampai landai, dataran alluvium. Satuan fisiografi hamparan perbukitan terjal sampai sangat terjal memiliki kelerengan lebih dari 26 %.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Ketinggian di atas permukaan laut 320 m dpl hingga 500 m dpl. Satuan fisiografi landai sampai sangat curam memiliki kelerengan 8 - 26 %. Ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 160-320 m dpl. Sedangkan dataran alluvium memiliki kelerengan <8% dengan ketinggian diatas permukaan laut hingga mencapai 130 - 160 meter. Luas berdasarkan kelompok kemiringan lahan dan persentase terhadap luas wilayah disajikan pada Tabel-1 berikut : Tabel 1. Luas dan persentase kemiringan lahan di Wilayah ekologi Danau Uter Kemiringan Lahan Landai (2-8%) SangatCuram (16 – 25%) Terjal (26-40%) Sangatterjal (41-60%) Total
Ha
%
26.047,18
91.40
2.106,14
7.39
311,97
0.12
33,86
1.09
28.499.16
100.00
PENATAAN RUANG DALAM WILAYAH EKOWISATA Penataan ruang kawasan yang memungkinkan untuk pengembangan yaitu : 1. Penentuan kawasan yang sesuai untuk pengembangan ekowisata. 2. Penataan kembali tempat-tempat yang sesuai peruntukan bagi masyarakat untuk pemukiman. 3. Menetapkan jumlah pengunjung yang diperbolehkan masuk ke dalam kawasan. 4. Membangun kembali kawasankawasan yang sesuai bagi kegiatan-kegiatan wisata dan tempat tinggal bagi para pengunjung 5. Menginformasikan dan melakukan upaya sosialisasi langsung ke masyarakat
Berita dari Lapang
Penataan ruang dalam wilayah ekowisata
PENGEMBANGAN KAPASITAS MASYARAKAT Pengelolaan kawasan perlu didukung oleh penyusunan rencana pengembangan sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan memberi manfaat langsung bagi terlaksananya pengelolaan kawasan. Untuk itu, perlu ada kapasitas masyarakat di sekitar kawasan melalui 2 (dua) tahap : 1. Pengembangan sosial budaya. Rencana pengembangan sosial budaya masyarakat ditempuh melalui:
• Pembangunan fasilitas pendidikan.
PENATAAN KAWASAN KHUSUS Pembangunan kawasan ekowisata danau perlu memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Untuk menata kawasan yang sesuai, memerlukan suatu perencanaan yang lebih khusus dan sesuai, seperti :
• Rencana perlindungan sumber air
(intake) di hulu danau. • Rencana perlindungan bagi vegetasi yang tumbuh di daerah-daerah yang curam agar tidak terjadi aktivitas penebangan. • Rencana perlindungan terhadap vegetasi yang bernilai ekonomi tinggi. • Rencana perlindungan bagi tempattempat pemijahan ikan dan udang.
• Menyediakan sarana pelayanan kesehatan
• Penguatan kelembagaan adat • Membangun sarana keagamaan
• Membina dan meningkatkan kegiatan seni budaya
• Membangun sarana olah raga 2. Peningkatan pelayanan publik Rencana peningkatan sarana publik, meliput :
• Pembangunan jaringan jalan yang memadai
• Pembangunan drainase • Penyediaan alat trasportasi yang memadai
• Perbaikan fasilitas umum
KESIMPULAN Terdapat dua hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah : 1. Perlu dukungan pengembangan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan agar mampu mendukung pengelolaan kawasan untuk kegiatan ekowisata. 2. Tersusunnya zona-zona yang di sepakati bagi pengembangan kawasan yang sesuai peruntukan guna mendukung rencana pengembangan ekowisata di danau Uter Distrik Aitinyo Kabupaten Maybrat. zz *
[email protected]
Volume 21 No. 2, April 2013 z z z 13
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Wetland Expedition: “Outfall Progo Observation and Camping” Oleh: Fehri Helta Permana* dan Dedi Irawan*
S
esuai komitmennya untuk terus menjaga agar lingkungan tetap alami, kali ini bertepatan dengan Hari Lahan Basah Sedunia yang diperingati setiap tanggal 2 Februari, Greentech mengadakan sebuah kegiatan lingkungan yang diberi nama WetLand Expedition: “Outfall Progo Observation and Camping”. Kegiatan ini bertujuan untuk mengobservasi kondisi lingkungan di sekitar muara sungai Progo yang saat ini kondisinya sudah mulai tidak alami. Selain itu sangat memungkinkan untuk mengamati berbagai makhluk hidup yang saat ini habitat di muara sungai tersebut sudah mulai berubah. Kegiatan yang dilakukan antara lain: penebaran benih ikan, penanaman pohon, bird watching atau pengamatan burung, observasi lingkungan, clean up pantai, hunting foto, serta pada malam hari diadakan camping tepat di pinggir pantai. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan dalam waktu 2 hari, yaitu mulai hari Sabtu taggal 2 Februari 2013 dan berakhir pada hari Minggu, 3 Februari 2013, dan diikuti oleh 21 peserta dari berbagai kampus. Dengan waktu yang mepet, tenaga cukup terkuras untuk mempersiapkan tanaman, benih ikan, hingga mengurus izin di lokasi. Dimulai hari Jumat, kami berkunjung ke rumah dosen pembimbing kami, Bpk. M. Kundarto, untuk berkonsultasi. Beliau sangat mendukung seluruh ide kegiatan kami, bahkan atas bantuan beliau, kegiatan kami akhirnya mendapat dukungan dana untuk pengadaan tanaman dari pihak Wetland International Indonesia. Selanjutnya, kami bergegas menuju Desa Poncosari untuk mengurus izin kegiatan, dan alhamdulillah Pak Sukijan, tokoh setempat, langsung memberikan ijin.
14 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Tim ekspedisi
Hari H pun tiba. Sebelum memulai kegiatan pertama, kami membeli sekitar 200 batang bibit pohon ketapang, salah satu jenis pohon yang cukup kuat ditanam di muara sungai. Bibit-bibit pohon tersebut kami bawa dengan menggunakan sepeda motor ke Muara Kali Progo yang letaknya kurang lebih 30 KM dari lokasi bibit. Kami sampai di Muara Progo tepat pukul 5 sore, molor beberapa menit dari waktu yang telah direncanakan, hehee. Tanpa membuang waktu, kami langsung menuju pinggir muara untuk melakukan kegiatan pertama, yaitu penebaran sekitar 5 Kg benih ikan, dengan harapan bakal berkembang biak dan menjaga habitat sungai agar tetap banyak ikannya.
Sukijan. Sebelum menginjak ke acara selanjutnya, tak lupa kami beres-beres atau hanya sekedar menaruh barang kami di tempat penginapan, kemudian dilanjutkan dengan makan malam. Malam hari, meskipun angin laut yang dingin menusuk di tubuh kami, kami tetap beranjak ke pantai untuk mengadakan camping. Suasana di pinggir pantai memang menggoda kami tuk sekedar ngobrol-ngobrol maupun ngopi di pinggir pantai. Tepat pukul 04.00 pagi, kami mulai terbangun oleh sayup-sayup suara adzan subuh. Kami pun bergegas menuju Masjid setempat untuk melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Di masjid sudah cukup ramai, karena memang kebetulan saat itu sedang diadakan khataman AlQuran. Setelah sholat dan beristirahat sejenak, kamipun segera berjalan menuju lokasi yang akan dilakukan penanaman, cukup menguras keringat.
Matahari mulai turun seolah olah tenggelam di lautan, sementara kami masih asyik melanjutkan kegiatan selanjutnya yaitu bird watching. Lumayan banyak burung yang masih berkeliaran di sekitar muara, salah satunya adalah Burung Blekok (dalam Akhirnya, sekitar 200 tanaman kami bahasa jawa). Burung ini masih suka tanam bersama-sama di sekitar muara Kali Progo. Tentunya dengan harapan hinggap di dataran di tengah sungai. akan tumbuh dan mampu menjaga Malam pun datang menghampiri kami. iklim Muara Sungai yang saat ini mulai Kami segera bergegas menuju lokasi berubah. zz menginap yang disediakan oleh Pak
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita dari Lapang
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada:
Dokumentasi Foto-Foto
• Allah SWT yang atas rahmatNya sehingga kegiatan kami dapat berlangsung dengan lancar • WetLand International Indonesia yang telah memberikan bantuan pengadaan tanaman • Bpk. Muhammad Kundarto yang telah memberikan masukan serta mempromosikan kegiatan kami • Bpk. Sukijan yang telah memberikan ijin kegiatan di desa Poncosari serta memberikan tempat untuk menginap • Cantigi Indonesia yang mensupport tenda dome • Dedi Irawan yang dengan semangat mempersiapkan kegiatan ini dari awal hingga akhir. • Fehri Helta yang mereportase kegiatan • Nerdha Yusandipta yang turut membantu persiapan • Anisa Novitasari yang bersedia memasak kopi • Moh. Rony Yahya yang mencarikan bibit tanaman • Eko Wijiantoro dan Rio Dharma yang mencari benih ikan • Nikki Jangkung dan Rahmat yang dengan giat menanam pohon • Rico Fernandez, Ega Chandra, dan Anton Industri yang mendokumentasikan kegiatan • Matheus, Mpok Ijah, Deca, Icha, Sigit, Bondan, Suliwa, dan beberapa personal yang belum disebutkan. * Green Technology (
[email protected]) ** Green Technology (
[email protected])
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Flora & Fauna Lahan Basah
Capung (ODONATA)
Sahabat dalam ekosistem kita Oleh: Amelia Zuliyanti Siregar*
C
apung dalam bahasa Jawa disebut kinjeng/gantrung/ kutrik, bahasa Sunda adalah papatong, di Sumatera Utara disebut anakni siri-siri; Sumatera Barat: sipasin, anak sipatuang; dan di Banjarmasin dikenal dengan nama Kasasiur. Capung adalah kelompok serangga yang mudah dikenali karena beberapa jenis diantaranya sering terlihat beterbangan di sekitar
pemukiman, terutama yang berdekatan dengan habitat perairan seperti lahan pertanian, sawah, sungai, kolam, danau, hutan mangrove yang menyukai cuaca cerah dan terik matahari. Ada dua jenis capung yang kita temui di alam, yaitu capung biasa (dragonfly) dan capung jarum (damselfly), keduanya termasuk dalam ordo Odonata. Sangat mudah membedakan kedua
jenis capung ini. Capung jarum tubuhnya lebih kecil dan ramping, terbang dengan lemah dengan luas jelajah terbatas, saat hinggap sayapnya tegak menyatu di atas punggungnya. Manakala capung biasa tubuhnya cenderung besar, terlihat lebih kokoh, terbang cepat, saat hinggap dengan sayap yang terbuka atau terbentang ke samping. .....bersambung ke hal 18
Volume 21 No. 2, April 2013 z z z 15
Fokus Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 3
Potensi Ekosistem Lahan Basah TWA Batuangus ......... S. alba cenderung untuk mendominasi daerah berpasir, sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang lebih berlumpur. Meskipun demikian, Sonneratia akan berasosiasi dengan Avicennia jika tanah lumpurnya kaya akan bahan organik. Disamping potensi vegetasi mangrove, TWA Batuangus juga memiliki potensi fauna seperti Kera Hitam Sulawesi/Yaki/Monyet Hitam Berjambul (Macaca nigra), Burung Rangkong/Julang Emas (Rhyticeros cassidix), Tangkasi (Tarsius spectrum), Maleo (Macrochepalon maleo), Kuskus (Ailurops ursinus) Biawak (Varanus salvator), Ular Daun Woka, Ular Patola (Phyton reticulatus), Kadal Terbang (Draco reticulates).
Gambar 3. Ekosistem Mangrove di Kawasan TWA Batuangus (Sumber foto: BKSDA Sulut)
16 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan TWA Batuangus Berdasarkan klasifikasi ekosistem, terumbu karang di TWA Batuangus, merupakan hewan yang tidak memiliki tulang belakang (invertebrata) yang termasuk filum coleonterata. Terumbu karang merupakan hewan yang hidupnya bersimbiosis dengan zoocantela yang menempel pada bagian permukaan karang, atau biasa disebut polip, namun ada ciri-ciri khusus terumbu karang yang bersimbiosis dengan zoocantela, diantarnya: 1) Karang Hermatifik, merupakan kelompok karang penghasil terumbu, berkoloni, dan bersimbiosis dengan zoocantela, dan yang mengekresikan CaCO3, contohnya Acropora sp. 2). Karang Ahermatifik, merupakan kelompok karang yang bukan penghasil terumbu, soliter, dan tidak bersimbiosis dengan zoocantela, dan memiliki tekstur tubuh yang lunak, contohnya Millipora sp.
PROSPEK PENGEMBANGAN KEGIATAN EKOWISATA DI KAWASAN TWA BATUANGUS Saat ini pengembangan ekowisata di TWA Batuangus belum berjalan dengan baik karena beberapa permasalahan, sbb: 1. Permasalahan kelembagaan a. Kurangnya kordinasi dalam pengelolaan TWA Batuangus b. Minimnya kapasitas dan jumlah SDM pengelola c. Minimnya sarana dan prasarana penunjang 2. Permasalahan ekosistem Saat ini pada beberapa lokasi di Kawasan TWA Batuangus telah terjadi pembukaan lahan akibat perkebunan tradisional maupun pengambilan kayu bagi berbagai kegiatan dan kebutuhan. Keadaan yang demikian menunjukan Kawasan TWA Batuangus telah mengalami degradasi ekosistem
Gambar 4. Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan TWA Batuangus (Sumber foto: BKSDA Sulut)
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
3. Permasalahan sumberdaya hayati a. Terancamnya habitat satwa, akibat adanya kegiatan pembukaan lahan oleh penduduk sekitar. Selain itu aktifitas pengambilan kayu perahu dan daun woka juga menyebabkan terdegradasinya habitat satwa. b. Penurunan Populasi dan Keanekaragaman Jenis Satwa, akibat aktivitas perburuan yang dilakukan oleh masyarakat, yang biasaya pendatang. Berdasarkan survey para peneliti, telah terjadi penurunan jumlah populasi yaki (Macaca nigra) dan bahkan untuk populasi Maleo (Macrocephalon maleo) hanya terdapat 7 (tujuh) pasang ekor pada tahun 1996. Bukan hanya penurunan jumlah spesies, penurunan keanekaragaman jenis satwa juga terjadi pada kawasan ini. c. Kurangnya Data Dasar. Identifikasi mengenai spesiessesies penting yang menjadi spesies kunci dirasa sangat perlu guna menunjang pengelolaan kawasan Berdasarkan permasalahan tersebut dapat terlihat bahwa persoalan degradasi ekosistem akibat pembangunan dan intervensi manusia
yang paling menonjol. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, maka pengembangan ekowisata perlu digalakkan berdasarkan potensi yang dimilikinya. Pengembangan ekowisata di TWA Batuangus difokuskan pada eksplorasi terhadap potensi sumberdaya alam yang tersebar hampir di seluruh TWA Batuangus. Strategi yang dilakukan adalah pembuatan jalur-jalur ekowisata yang terintegrasi dengan pengembangan ekowisata CA Tangkoko-Dua Saudara yang memiliki nilai jual tinggi. Agar pengelolaan ekowisata tertata dengan baik maka diperlukan langkah-langkah untuk mendukung pengembangan ekowisata di TWA Batuangus, yaitu sebagai berikut: 1. Perlu adanya peraturan yang mengatur kegiatan ekowisata di kawasan TWA Batuangus 2. Pembatasan jumlah pengunjung ke kawasan TWA Batuangus untuk mengurangi dampak negatif kegiatan ekowisata terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang ada 3. Kegiatan ekowisata harus dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan TWA Batuangus, melalui keterlibatan secara langsung dalam kegiatan ekowisata
Fokus Lahan Basah
4. Kegiatan ekowisata di TWA Batuangus jangan sampai merusak budaya masyarakat setempat 5. Adanya pengembalian dana dari keuntungan kegiatan ekowisata bagi pelestarian kawasan TWA Batuangus 6. Perlunya peranan dari berbagai pihak dalam mendukung kegiatan ekowisata di TWA Batuangus (BKSDA Sulut, Pemda setempat, operator ekowisata, travel agent, LSM) agar kegiatan ekowisata dapat berjalan dengan baik.
PENUTUP Melalui kegiatan ekowisata ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi pengunjung terhadap kawasan TWA Batuangus sekaligus dapat memberikan pengalaman yang berkesan kepada pengunjung yang mengunjungi kawasan tersebut. Kegiatan ekowisata ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan TWA Batuangus, sehingga tekanan berupa eksploitasi terhadap sumberdaya alam secara langsung yang terdapat di kawasan TWA Batuangus dapat berkurang. zz Staf pada Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam E-mail:
[email protected] 2) Staf Pengajar pada Universitas Gorontalo, E-mail:
[email protected] 3) PEH pada Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, email:
[email protected] 1)
Gambar 5. Pemandangan Indah ke Arah Perairan dari Kawasan TWA Batuangus. (Sumber foto: BKSDA Sulut)
Volume 21 No. 2, April 2013 z z z 17
Flora & Fauna Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 15
Capung (ODONATA) ......... Menurut Orr (2005), terdapat limabelas famili Odonata dari Malaysia, terdiri dari 10 famili Zygoptera dan lima famili Anisoptera. Dalam urutan klasifikasi, jumlah jenis dari suku Libellulidae paling banyak dibanding suku lainnya, diperkirakan ada sekitar 1000 jenis di seluruh dunia (Orr 2004). Ukuran panjang tubuh bervariasi dari kecil hingga sedang (20–60 mm) dengan panjang sayap 10 – 53 mm. Beberapa jenis dinamakan capung peluncur, karena gerakan awal maupun di sela-sela terbangnya seolah-olah meluncur. Capung peluncur dikelompokkan dalam 2 marga yaitu marga Orthetrum dan marga Pantala (Orr, 2005). Capung peluncur marga Orthetrum sebarannya luas, meliputi daratan Eropa, Afrika dan Asia, sedang di Indonesia ada sekitar 17 jenis (Lieftinck 1984) diantaranya adalah Orthetrum sabina dan Pantala flavescens. Capung ini tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku hingga Papua.
KEANEKARAGAMAN CAPUNG DI SUMATERA UTARA Beberapa jenis capung jarum dapat berperan sebagai predator di lahan pertanian, khususnya sawah padi, yaitu jenis Ischnura senegalensis, Agriocnemis pygmaea, Ischnura delicata, dan Ceriagrion coromandelianum yang dapat menekan populasi hama penggerek daun dan hama penggerek batang padi (Krishnasamay et al. 1984). Capung dari jenis Orthetrum sabina, Crocothemis servilea, Pantala flavescens, dan Diplocoides nubulosa sangat efektif digunakan sebagai predator pada hama padi Lepidoptera (Kandibane et al. 2005; Krishnasamay et al. 1984). Hasil identifikasi keanekaragaman capung yang dikumpulkan pada pertanaman padi di Desa Manik Rambung, Sumatera Utara, ditemukan sekitar 23 spesies, 16 genus dan 3 famili, yaitu Famili Coenagrionidae: Argiocnemis rubescens, Agriocnemis femina, A. pygmaea, Ischnura senegalensis, Calopteryx calamineum, Pseudagrion microcephalum, P. pruinosum dan P. rubriceps; Famili Gomphidae: Ichtinogomphus decoratus dan Gomphidia
18 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Agriocnemis femina
Agriocnemis pygmaea
Argiocnemis rubescens
Ceriagrion calamineum
Neurothemis fluctuans
Orthreum sabina
N.ramburii
O. testaceum
Jenis-jenis capung yang berperan sebagai predator pada hama-hama tanaman padi
abbotti; Famili Libellulidae: Brachydiplax chalybea, Crocothemis servilia, Diploides trivialis, Neurothemis fluctuans, N.ramburii, N.terminata, Orthetrum sabina, O.testaceum, Pantala flavescens, Potamarcha congener, Rhytonia plutonia, Tholymis aurora dan T.tillarga.
MANFAAT CAPUNG DALAM EKOSISTEM Jenis-jenis capung predator yang ditemukan pada lahan padi di Desa Manik Rambung, Sumatera Utara, antara lain jenis Agriocnemis pygmaea, A. femina, Ishnura senegalensis, Orthetrum sabina, Pantala flavescens dan spesies lainnya yang memakan hama-hama dominan tanaman padi, seperti Nephotetix, Nilaparvata lugens, Sogatella furcipera, Scircophaga innotata, Chilo supressalis, Nymphula depunctalis,
Valanga, Oxya, Lepidoptera dan hama-hama padi lainnya (Folsom 1980; Watanabe 1989; Baehaki, 1992; Che Salmah 1996; Anna and Bradley 2007; Phillip-Karen 2009). Nimfa capung sering diidentifikasi memakan jentik-jentik nyamuk, telur kodok, lintah, dan ikan-ikan kecil lainnya (capung tertentu dapat dikategorikan sebagai pakan ikan). Selain itu capung berfungsi sebagai biondikator suatu lingkungan yang tercemar karena capung sangat menyukai lingkungan air yang bersih dan kategori serangga yang anti polutan, bahkan ada sebahagian masyarakat kita yang mengkonsumsi capung sebagai sumber protein tambahan (Aswari, 2012). zz *Postgraduate Student Universiti Sains Malaysia & Fak. Pertanian USU
[email protected],
[email protected]
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Anonim. 2012. Laporan dari Inventarisasi Satwa di Ujung Pangkah Gresik. Subbalai PPA JATIM I. 10 pp. Anonim. 2012. Rekomendasi Kebijakan: Instrumen Free, Prior Informed Consent (FPIC) bagi Masyarakat Adat dan atau Masyarakat Lokal yang akan Terkena Dampak dalam Aktivitas REDD di Indonesia. UN-REDD. 10 pp. Kuswantoro. 2012. Laporan Pelatihan HVCA (Kerjasama PMI Kab. Sikka dengan WI-IP), Desa Talibura, 27 Agustus – 2 September 2012 (DRAFT). Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.
Paimin, I.B. Pramono, Purwanto dan D.R. Indrawati. 2012. Sistem Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. xii + 87 pp. Rahadian, A. 2012. Kajian Biofisik untuk Aplikasi Hybrid Engineering dalam Upaya Rehabilitasi Ekosistem Mangrove dan Pengurangan Risiko Bencana di Teluk Banten. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor. Razali, A.R. 2012. Selayang Pandang Pesisir dan Laut Aceh. Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh. 140 pp.
Dokumentasi Perpustakaan
Tisnawati, V., Y.A. Mala , J. Utami and {et.al}. 2012. Buku Informasi Penelitian Wisata Geologi, Hidrologi, Manajemen, Masyarakat sekitar Hutan Pengindraan Jauh dan SJG Flora Fauna & Budidaya. Balai Taman Nasional Alas Purwo. 70 pp. Utami, J., G. Hariyanto dan M.F. Yanuarefa. 2012. Panduan Lapang Mamalia. Taman Nasional Alas Purwo. Taman Nasional Alas Purwo. vii + 78 pp. Witoelar, R. 2011. Soulviews Climate Change. Dewan Nasional Perubahan Iklim. 95 pp. Yanuarefa, M.F., G. Hariyanto and J. Utami. 2012. Panduan Lapang Herpetofauna (Amfibi dan Reptil) Taman Nasional alas Purwo (amfibi dan Reptil). Balai Taman Nasional Alas Purwo. 128 pp.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Mengenal Jenis Mangrove Kandelia candel bunga
Masuk dalam Family HIZOPHORACEAE. Nama lokal antara lain: berus-berus, beras-beras, beus, pulut-pulut, pisang-pisang Laut. Pohon berbentuk semak atau pohon kecil, dengan ketinggian mencapai 7 meter. Umumnya tanpa akar nafas. Kulit kayu berwarna keabu-abuan hingga coklat-kemerahan, permukaan halus dan memiliki lentisel.
daun
Daun: Tepi daun mengkerut kedalam, letaknya sederhana dan bersilangan. Daun berbentuk elips-bulat memanjang, dengan ujung membundar hingga sedikit runcing.
buah/ hipokotil
Bunga : Tandan bunga bercabang dua, memiliki 4 dan kadang-kadang 9 bunga berwarna putih, panjangnya 1,5-2 cm. Kelopak bunga: tabung daun kelopak bunga melebihi bakal buah dan memiliki cuping sejajar yang melengkung ketika bunga mekar penuh. Daun mahkota: panjangnya 14 mm. Benang sari: banyak dan berbentuk filamen. Buah : Berwarna hijau berbentuk oval, panjang 1,5-2,5 cm. Hipokotil silindris panjangnya 15-40 cm. Ekologi : Tumbuh secara sporadis pada pematang sungai pasang surut. Menempati relung yang sempit. Penyebarannya: Timur Laut Sumatera, Kalimantan Barat dan Utara. India, Burma, Thailand, Indo Cina, Cina, Taiwan, Jepang Selatan dan Malaysia. Kelimpahan : Sangat terbatas dan jarang. Manfaat : Utamanya untuk kayu bakar.
Volume 21 No. 2, April 2013 z z z 19
20 z z z Warta Konservasi Lahan Basah