UPACARA TEBUS KEMBAR MAYANG DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT PESISIRAN SUATU INTERPRETASI SIMBOLIK Mistaram
*
Abstrak Upacara tebus kembar mayang adalah salah satu produk budaya. Sampai saat ini upacara tersebut masih berlangsung di pedesaan dan dan dilakukan oleh masyarakat pesisiran, sebagai salah satu pranata sosial. Kegiatan tersebut melibatkan berbagai unsur masyarakat (manusia) dan merupakan kearifan lokal (local genius). Masyarakat pedesaan dan pesisiran adalah masyarakat yang masih kental dengan kegiatan tradisi, salah satunya adalah upacara tebus kembar mayang tersebut. Di dalam upacara itu terjadi suatu interaksi sosial antar manusia, dan upacara tersebut mempunyai makna simbolik. Makna simboliknya adalah suatu penuturan tentang hakekat hidup, bagi manusia dewasa yang memasuki gerbang keluarga dalam perkawinan.
Pendahuluan Upacara tebus Kembar Mayang adalah salah satu produk budaya, yang saat ini masih berlangsung, khusunya di daerah pedesaan dan pesisiran. Tebus kembar mayang adalah salah satu ritual dalam upacara perkawinan dalam keluarga, yang dilaksanakan sebelum upacara perkawinan itu berlangsung. Perkawinan merupakan puncak peristiwa percodohan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, melalui serentetan tindakan dari kedua belah pihak. Perkawinan di daerah pedesaan dan di masyarakat pesisiran masih kental dengan hubungan kekerabatan, bersifat gotong royong, saling membantu, dalam bentuk material maupun tenaga. Dalam proses perkawinan, aktivitas tersebut melibatkan keluarga dan masyarakat, serta lembaga tertentu, sehingga perkawinan itu syah, dan bisa disaksikan oleh masyarakat, secara hukum maupun adat. Dari perkawinan tersebut akan terjadi hubungan sosial antar perorangan, keluarga, dan masyarakat. Ada keterikatan, ada peran masing-masing individu dalam ikatan keluarga, dan hubungannya dengan masyarakat. Setiap individu dalam masyarakat secara langsung akan masuk dalam organisasi sosial masyarakat, baik secara aktif maupun pasif. Oleh karena itu, suatu perkawinan menimbulkan berbagai macam akibat, yang juga melibatkan banyak sanak keluaraga, termasuk suami dan isteri sendiri. Pada umumnya masyarakat, mempunyai peraturan yang kompleks, mengatur proses pemilihan pasangan dan akhirnya juga perkawinan. Upacara perkawinan merupakan suatu ritual perpindahan bagi setiap pasangan, seorang laki-laki dan perempuan dewasa secara ritual memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak-hak dan kewajiban baru. Ia juga menandakan adanya persetujuan masyarakat atas ikatan itu (Goode 1991:64). Masyarakat (society) merupakan satuan sosial yang ekivalen dengan kelompok dengan satu bahasa dan satu isolat kebudayaan. Menurut Betrand (dalam Wisadirana 2004), masyarakat merupakan hasil dari suatu periode perubahan budaya dan akumulasi budaya. Jadi masyarakat merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan, atau disebut juga sekelompok orang yang mempunyai kebudayaan yang sama, atau setidaknya mempunyai sebuah kebudayaan bersama. Kebudayaan tersebut dapat dibedakan dari yang dipunyai oleh kelompok satu dan lainnya, tinggal di satu daerah wilayah tertentu, mempunyai persamaan akan adanya persatuan di antara anggota-anggotanya. Masyarakat dan kebudayaan sebenarnya merupakan perwujudan dari perilaku manusia. Antara masyarakat dan kebudayaan, dalam kehidupan nyata keduanya tidak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan dwi tunggal, bagaikan dua mata uang. Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan *
Penulis adalah seorang dosen Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, saat ini sedang menyelesaikan studi di PPs UNNES.
1
sebaliknya, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya (Wisadirana 2004:23-24). Masyarakat pesisiran adalah masyarakat pedesaan yang berada pada satuan wilayah daratan pesisir, yang berdekatan dengan laut. Kehidupan masyarakat pesisiran sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain sebagai nelayan, bagi masyarakat yang mempunyai sawah atau ladang, mereka juga melakukan kegiatan bercocok tanam. Masyarakat yang tinggal di desa pantai (pesisiran), sering melakukan kegiatan upacara ritual dengan cara melarung kepala kerbau dan tumpeng serta makanan lain berupa jajan pasar ke dalam laut. Masyarakat desa pantai sebagaimana pada umumnya mempercayai adanya penguasa sumberdaya laut (sing mbaurekso laut) yang dikenal oleh masyarakat pantai selatan dengan sebutan Nyi Roro Kidul, sedangkan untuk desa pantai utara diyakini dengan nama Nyi Dewi Lanjar. Di samping itu juga mereka meyakini adanya roh penunggu gunung-gunung atau pulau-pulau kecil yang ada di sekitar laut yang selalu mereka hormati (Wisadirana 2004: 61). Dalam rangkaian upacara perkawinan di daerah pesisiran, kembar mayang adalah salah satu property (ubo rampe) yang tidak pernah ditinggalkan. Dalam proses pembuatan kembar mayang melibatkan berbagai personil, dengan peran masing-masing. Seorang yang memimpin proses pembuatan kembar mayang adalah seseorang yang dianggap sesepuh ( yang dituakan, Ki Surayajati), yang mempunyai kemampuan untuk memproses pembuatan kembar mayang, menyerahkan kembar mayang kepada orang tua calon pengantin, dengan cara tebus kembar mayang. Dalam aktivitas tersebut ada hubungan sosiologis yang diatur dalam pranata-parana sosial pada budaya masyarakat pesisiran, yang disebut upacara “Tebus Kembar Mayang”. Kegiatan ini sampai saat ini masih berlangsung di daerah pedesaan dan pesisiran, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat pesisiran pantai Prigi, Trenggalek. Selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas tentang persiapan dan pembuatan kembar mayang di daerah pesisir pantai Prigi, kemudian mengenai makna simbolik apa saja yang terdapat pada upacara tebus kembar mayang itu, dan bagaimana hubungan struktur fungsional yang terdapat pada upacara tersebut. Persiapan dan Pembuatan Kembar Mayang Pada acara persiapan upacara perkawinan di daerah pesisiran pantai Prigi, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, pihak yang mempunyai hajat mengumpulkan sanak famili, tetangga dekat, dan tokoh masyarakat yang berada di lingkungannya. Orang yang mempunyai hajat mengutarakan kepada para undangan, bahwa ia akan mengawinkan anaknya. Untuk melaksanakan hal tersebut, ia meminta keluarga (kerabat), sanak famili, dan tetangga di lingkungannya untuk membantu pelaksanaan upacara perkawinan, dimulai dari persiapan, pelaksanaan, dan penutupannya. Sanak famili, kerabat, dan tetangga membentuk panitia, dan membagi tugas masing-masing, sesuai dengan kemampuannya. Kurang tiga hari dari hari perkawinan, mereka diundang lagi untuk rapat kesiapan, untuk menyiapkan bahan-bahan perlengkapan (uba rampe) dalam pelaksanaan perkawinan. Berikutnya, kurang satu hari sebelum hari “H”, semua persiapan sudah dipersiapkan, termasuk bahan-bahan untuk pembuatan kembar mayang dengan segala rangkaian upacaranya. Khusus penyiapan bahan-bahan untuk membuat kembar mayang, yang dipersiapkan adalah: janur kuning, daun beringin, daun puring, daun andong, dan bunga mayang. Janur kuning diambil dari pohon kelapa milik yang punya hajat, atau kepunyaan keluarga dan sanak famili. Janur kuning diambil pada pagi hari, oleh seorang pemuda yang mempunyai kepandaian untuk memanjat pohon kelapa. Janur dipotong dari pucuk pohon kelapa dan tidak boleh dijatuhkan ke tanah. Janur yang telah dipotong diikat dan diturunkan melalui tali dengan pelan-pelan, kemudian ditangkap oleh petugas yang telah siap di bawah pohon kelapa. Daun beringin, puring, dan andong diambil dari kebun atau dari kuburan, yang biasanya banyak ditanami tanaman puring dan andong. Sementara bunga mayang diambil dari pohon jambe (pinang). Mayang merupakan bunga yang belum mekar dan juga diambil oleh pemuda yang mempunyai kepandaian memanjat. Setelah lengkap bahan-bahan tersebut lalu diserahkan kepada yang Mempunyai hajat, disimpan di rumah, ditempatkan pada suatu tempat tertentu.
2
Proses pembuatan Kembar Mayang, dilaksanakan pada malam hari, yaitu malam midodareni (malam sebelum upacara perkawinan berlangsung). Pembuat kembar mayang dipimpin oleh seorang sesepuh desa (dukun temu temanten, Ki Wasitajati) yang mempunyai wawasan dan keterampilan untuk membuat kembar mayang. Ia sudah cukup tua umurnya, di atas lima puluh tahun dan tampak berwibawa. Pada prosesnya dibantu oleh cantrik, yaitu orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk membuat kembar mayang. Pada umumnya mereka adalah orang yang sudah menikah. Pembantu pembuat kembar mayang ini jumlahnya bisa empat orang, lima orang, atau tujuh orang, tergantung pada sumberdaya manusia pembuat kembar mayang yang terdapat di lingkungannya. Orang yang memimpin pembuatan kembar mayang tersebut harus dalam keadaan suci, pada siang harinya telah melakukan bersih diri, dengan mandi keramas. Pelaksanaan Upacara Tebus Kembar Mayang Pada saat akan dimulainya pembuatan kembar mayang, orang yang mempunyai hajat upacara perkawinan (ayah-ibu), meminta tolong kepada seseorang (Ki Surayajati) menghadap kepada orang tua yang menjadi pimpinan pembuatan kembar mayang (Ki Wasitajati), untuk membuatkan kembar mayang. Orang yang mempunyai hajat tersebut meminta kepada Ki Surayajati, secara tradisi dilakukan dengan percakapan sebagai berikut : Tuan Rumah Dhuh kadang Sarayajati / duhai saudara Sarayajati Punapa samya raharja / apakah anda juga selamat sejahtera Kadiparan pawartane / bagaimana kabar Sakecakna ngemya lenggah / silahkan duduk dengan nyaman Sarayajati Sowan kula nggih raharja / kedatanganku sehat-sehat saja Salam taklim mungi konjuk / salam hormat saya sampaikan Raharja gitrah paduka / kiranya keselamatan juga ada pada tuan
Percakapan meminta bantuan untuk mencarikan Kembar Mayang Tuan Rumah Nuwun mangke ta Kyai Sarayajati, labet saking anggen kula tinangisan dening anak kula gendhuk Nuning ingkang samedya nambut salining akrami. Keparenga kula ngresaya dhateng panjenengan, mugi kersa jumangkah angupadi sekar Adi Mancawarni, ingkang kaprah sinebut Kembar Mayang. (maaf Kyai Sarayajati, oleh karena saya ditangisi anak perempuan saya Nuning yang akan segera menikah; ijinkan saya mohon bantuanmu, kiranya engkau bersedia mencarikan bunga Adi Mancawarni/indah berwarnawarni yang biasanya disebut Kembar Mayang) Sarayajati Dhuh kadang kula ingkang satuhu mahambeg berbudi dharma, sewu mboten kanyana bilih kula kapiji nindakaken ayahan ingkang dhahat handukara. Sanadyan makaten, labet anggen kula setya ing kadang, mboten sanes kula hanaming sendika anglampahi. Namung pepuji panjenengan ingkang kula suwun mugi sadaya saged kasembadan. (duhai saudaraku yang berbudi baik, sama sekali saya tidak mengira bila saya mendapat tugas yang sulit. Walaupun demikian, karena kesetiaanku terhadap sahabat, tak lain saya hanya menyanggupinya. Tetapi doamu yang kupinta, mudah-mudahan semuanya dapat terlaksana) Tuan Rumah Inggih Kyai, sapengker panjenengan kula nedya manungku puja manages Gusti ingkang Maha Welas mugi saged kasembadan ingkang sinedya. Kyai Sarayajati, kangge sarana panjenengan sarowang kula aturi udana ingkang kedah kaasta.
3
(baiklah Kyai, setelah kepergianmu, saya akan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kasih, semoga dapat tercapai yang diinginkan. Kyai Sarayajati, untuk sarana, engkau sekalian saya beri sesuatu sebagai syarat yang harus diterima) Sarayajati Nuwun inggih. / Baiklah Kaparenga kula badhe makarya. / Perkenankan saya akan bekerja
Setelah percakapan selesai, barulah proses pembuatan kembar mayang dimulai, dan Ki Surayajati memulai memegang janur, dan berdoa terlebih dahulu; doanya adalah sebagai berikut “Bismillahi Rohmannirohiim, ingsun jumeneng Allah, mbeber cahya, mbuwang wangkel, mbeber asale ingsun, kabul saking kodrat Allah” (Suwardi, 1993:117). Setelah berdoa, maka semua anggota dan pemimpin upacara membagi tugas untuk membuat rangkaian janur yang dihias menjadi berbagai unsur kembar mayang. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: (1) candi-candian, (2) babok, (3) rawis ges, (4) pete-pete, (5) manuk-manukan, (6) kipas, dan (7) kitiran. Setiap unsur tersebut masing-masing berjumlah 4 (empat) biji. Setelah semua unsur kembar mayang tersebut selesai dibuat, akhirnya dirangkai menjadi 4 (empat) buah kembar mayang. Semua janur yang telah dirangkai ditancapkan pada gedebog (batang pisang) pisang raja, dan dilengkapi dengan berbagai daun dan bunga mayang. Kira-kira pukul 12.00 malam hari, maka upacara tebus kembar mayang dilakukan. Drama satu babak, dengan menghadirkan orang yang bernama Ki Wasitajati (yang dianggap sebagai wakil dari Kahyangan yang mempunyai Kembar Mayang). Kembar mayang akan diserahkan kepada Ki Sarayajati dengan urutan dan pembicaraan sebagai berikut Ki Wasitajati Priyagung kang nembe prapta / Pembesar yang baru datang Samya pinanggih basuki / semuanya mendapatkan keselamatan Sampunya satata lenggah / setelah teratur duduk Kapareng hanila krami / dipersilahkan berbicara Ki Sarayajati Kula pun Sarayajati / Hamba Sarayajati Wandene sowan kautus / adapun saya menghadap disuruh Kadang kang hamengku karya / saudaraku yang mempunyai hajat Ngupadi Kang Mancawarni / mencarikan Yang Berwarna-warni Kang winastan sekar Adi Kembar Mayang / yang disebut bunga Kembar Mayang Yang Indah
Percakapan berikut merupakan pembicaraan yang dilakukan antara Ki Wasitajati dan Ki Sarayajati dalam upacara Nebus Kembar Mayang. Di dalam percakapan ini terdapat uraian mengenai makna Kembar Mayang. Ki Wasitajati Sasampunipun midhanget wijiling pangandika panjenengan ingkang rinonce sekar kala wau, nama begja kemayangan tumraping panjenengan sakadang, jalaran menapa ingkang panjenengan upadi menika, tetela wonten ing ngriki dumunungipun. Inggih menika wonten ing ngarsa panjenengan menika. (Setelah mendengar tutur katamu yang terhias nyanyian tadi, sangatlah beruntung engkau semuanya, sebab apa yang engkau cari itu, ternyata di sini adanya. Yakni yang terdapat di depanmu) Ki Sarayajati Mapan kaleresan Kyai, bilih ingkang kula upadi pranyata cumondhok wonten ngriki. Nanging mangke rumiyin Kyai, kula kaparenga nyuwun pirsa. Kados pundi larah-larahipun dene Sekar Adi Kalpataru Dewandaru Jaya Daru menika ngantos cumondhok wonten ing ngriki?.
4
(kebetulan sekali Kyai, jika yang saya cari ternyata terdapat di sini. Tetapi sebentar Kyai, perkenankan saya bertanya. Bagaimanakah kejadian yang sesungguhnya bahwa bunga Adi Kalpataru Dewandaru Jaya Daru ini sampai berada di sini?) Ki Wasitajati Kyai, makaten menika tiyang gesang naming sumendhe wonten pangarsanipun Gusti Ingkang Maha Agung. Wondene larah-larahipun makaten, Kyai: duk rikala Raden Danang Jaya badhe dhaup kaliyan Kusumaning Ayu Wara Sembadra ngantos ndadosaken ponang gara-gara. Sakala Sang Hyang Jagad Giri Nata kepareng sinewaka lenggah manungkul ing Bale Marcu Kudhamanik, utusan para hapsari Hari Bawana cacah pitu, inggih menika Prabasini, Irim-irim, Tunjung Biru, Gagar Mayang, Warsini, Lengleng Sari, miwah Lengleng Mandanu. Para hapsari cacah pitu kapurih angronce Sekar Adi, ingkang kedah langkung kasebat Kalpataru Dewandaru ingkang wus limrah sinebut Mayang utawi Kembar Mayang. Sasampunipun purna anggenipun angronce sekar kadhawuhan tumurun ing ngarca pada kinen paring nugraha dhateng Satriya Tama ingkang sampun kathah labet saha labuhanipun tumrap para Dewa. (Kyai, begitulah hidup orang itu hanya terletak pada kehendak Tuhan Yang Maha Besar. Adapun asalmuasalnya begini, Kyai: Ketika Raden Arjuna akan menikah dengan Kusumaning Ayu Wara Sembadrasampai mengakibatkan huru-hara. Seketika itu Sang Hyang Jagad Giri Nata berkenan di balai penghadapan duduk tertunduk di Bale Marcu Kuhamanik, menyuruh para bidadari Hari Bawana berjumlah tujuh, yakni Prabasini, Irim-irim, Tunjung Biru, Gagar Mayang, Warsini, Lengleng Sari, serta Lengleng Mandanu. Para bidadari bertujuh diminta agar merangkai Sekar Adi yang harus disebut Kembar Mayang. Sesudah mereka selesai merangkai bunga, mereka disuruh turun ke dunia dan agar mereka memberkannya sebagai anugerah kepada satria utama Arjuna, yang telah banyak berbakti kepada para dewa) Ki Sarayajati Lajeng menapa sedaya reroncening sekar Adi Mancawarna punika wonten naminipun, Kyai ? (lalu apa semua rangkaian bunga Adi Mancawarna itu ada namanya, Kyai?) Ki Wasitajati Wonten Kyai, inggih menika : Oyotipun sinebat bayubajra Delenging wandira sinebat kayu purwa sejati Pangipun sinebat keblat papat Ronipun sinebat pradapa mega rumembe Sekaripun sinebat Dewandaru Jayadaru, dene Uwohipun sinebat Daru tuwin kilat. Oyot ingkang winastan bayubajra menika minangka pasemoning kekiyatan, liripun makaten kedah kiyat lahir saha batosipun, amrih gesangipun saged teguh santosa. Wit ingkang sinebat kayu purwa sejati, dados pasemon: wiwitaning agesang mangun bebrayan kiyat santosaning batos, bebrayanipun saged ayem tentrem. Pang ingkang sinebat keblat papat, menika pasemoning jumangkahing panganten anggenipun ngupadi boga wastra kabetahaning gesang pinaringan gampil. Dene ronipun sinebat pradapa remembe, gegambaranipun gumelaring antariksa ingkang katingal peteng pratandha badhe tumuruning toya jawah, toya menika salah satunggaling kabetahan, tumrap para titah, ingkang jangkepipun agni, angin, bantala sarta her. (Ada Kyai, yakni: akarnya disebut bayubajra/angin-topan; pohon beringin disebut kayu purwa sejati; cabangnya disebut keblat papat/mata angin; daunnya disebut pradapa mega rumembe/lung awan mengurai; bunganya disebut dewondaru Jayadaru, sedangkan buahnya disebut daru/bintang dan kilat; akar yang dinami bayubajra tersebut sebagai lambang kekuatan, artinya bahwa harus kuat lahir dan batin agar kehidupannya dapat kuat sentosa. Pohon yang disebut kayu purwa sejati, menjadi lambang permulaan hidup membangun rumahtangga kuat perkasa batin, keluarganya dapat tenteram. Cabang yang disebut keblat papat, melambangkan langkah pengantin ketika mencari sandang pangan kebutuhan hidup diberi kemudahan. Sedangkan daun yang disebut pradapa remembe, menggambarkan luasnya antariksa yang terlihat gelap pertada akan turun hujan, hujan itu salah satu kebutuhan bagi semua makhluk, sebagai pelengkapnya api, angin, tanah dan air). Ki Sarayajati Kyai, kados sampun purna sadaya dhawuh panjenengan. Mila kaparenga sekar badhe kula boyong, kangge sarana dhaupipun panganten, manawi kedah tinebus pinten kerta ajinipun Kyai?. (Kyai, tampaknya telah selesai seluruh penjelasanmu. Oleh karena itu mohon bunga akan saya bawa, untuk sarana pernikahan pengantin, jika harus diganti berapakah kira-kira harganya Kyai?) Ki Wasitajati
5
Kyai, sekar mancawarna menika mboten kenging tinebus kanti redana aji, nanging cekap liniru ing sarana. Pinebusing wonten warni cacah tiga : 1. Sadak lawe sejodho; 2. Klasa bangka inggih tilam lampus; 3. Kedah kawangsulaken. (Kyai, bunga aneka warna ini tidak boleh diganti dengan uang, melainkan cukup ditukar dengan sarana. Penggantian berupa tiga hal: pertama sadak/alat semacam tusuk benang sejodoh, kedua tikar tegar yakni kasur mati, dan ketiga harus dikembalikan). Ki Sarayajati Udana ingkang angka satunggal lan kalih kula udanani samangke ugi, nanging ingkang angka tiga, badhe kula aturaken sasampunipun dhaup pinanganten paripurna. (Persyaratan pertama dan kedua saya penuhi sekarang juga, tetapi yang ketiga akan saya sampaikan setelah selesai pernikahan pengantin) Ki Wasitajati Caranipun mangsulaken boten dhateng ngriki Kyai, ananging sasampunipun sekar kaginaken kawangsulaken dhateng margi catur. Tegesipun dalan prapatan. (Cara pengembaliannya tidak kemari Kyai, melainkan setelah bunga digunakan dikembalikan dt jalan empat. Artinya perempatan jalan). Ki Sarayajati Sampun terang trawaca dhawuh panjenengan Kyai, kaparenga kula sakadang nyuwun pamit, sekar mancawarna kula boyong Kyai !. (Sudah sangat jelas keteranganmu Kyai, perkenankan saya dan semua teman mohon diri, bunga anekawarna saya bawa Kyai) Ki Wasitajati Inggih Kayi ! Namung kewala kangge hamimbuhi tatag saha teteging penggalih, panjenengan kula kantheni kadang kula pun Priangga Rumeksa ingkang sawega hambengkas pringga bebaya ning margi.Murih yuwana ingkang samya pinanggiha. (Baiklah Kyai, hanya saja untuk menambah kemantapan hati, biar saudaraku Priangga Rumeksa ikut bersamamu, yang selalu siap memberantas rintangan bahaya di perjalanan. Agar selamat sejahtera semuanya yang ditemui)
Percakapan yang terjadi di rumah Pemilik Hajat Ki Sarayajati Panjengan Bapak (ayahnya Nuning) sekaliyan garwa, anggen kula sinaraya ngupadi sekar mancawarna sampun saged kasembadan. Sumangga kula aturi nampi khanti suka renaming penggalih. (Bapak beserta isteri, saya yang disuruh mencari bunga anekawarna telah berhasil. Silahkan diterima dengan senang hati) Pemilik Hajat Inggih kadang Surayajati ingkang pantes sinudarsana. Sekar adi mancawarna kula tampi, salajengipun sekar badhe kula papanaken wonten sangajengipun bale asri, saha ing benjing kinarya sarana jejangkeping dhauping pinanganten. Lajeng panjenengan sarowang kula aturi leren sawatawis, sarwi amirsani pagelaran seni budya adi luhung, inggih menika ringgit purwa. Sumangga !.1) (Ya rekan Surayajati yang pantas diteladani. Bunga indah anekawarna saya terima, selanjutnya bunga akan saya taruh di depan tempat pelaminan, dan besok dipakai sarana pelengkap pernikahan mempelai. Kemudian engkau dan teman-temanmu saya persilahan istirahat sejenak, sambil menyaksikan pergelaran seni klasik, yakni wayang kulit. Silahkan!)
6
Ki Sarayajati Inggih, inggih, mangestokaken dhawuh.2) (Ya, ya, saya menurut )
Interaksi dan Interpretasi Simbolik Di dalam ilmu sosiologi, dikenal dengan paradigma interaksionalisme simbolik, yang diketengahkan oleh Blumer (dalam Ritzer 1980) yang telah diterjemahkan oleh Alimandan (1992), dijelaskan secara sederhana bahwa individu-individu atau unit-unit tindakan yang terdiri atas sekumpulan orang tertentu, saling menyesuaikan atau saling mencocokkan tindakan mereka satu dengan yang lainnya melalui proses interpretasi. Dalam hal aktor yang bertindak kelompok, maka tindakan kelompok itu adalah tindakan kolektif dari individu yang tergabung dalam kelompok itu. Bagi teori ini individu, interaksi, dan interpretasi merupakan tiga terminologi kunci dalam memahami kehidupan sosial (Alimandan 1992 : 61-62). Di dalam ilmu antropologi, antropologi simbolisme, yang diketengahkan oleh Geertz (dalam Saifuddin 2005) atau seringkali disebut antropologi interpretatif, berupaya mengorientasi kembali antropologi kebudayaan dari strategi menemukan eksplanasi kausal bagi perilaku manusia menjadi strategi untuk menemukan interpretasi dan makna dalam tindakan manusia. Geertz yakin bahwa antropologi harus didasari oleh realitas konkret, tetapi dari realitas ini antropologi menemukan makna bukan prediksi yang didasarkan pada data empiris (Saifuddin 2005 : 296-297). Dari dua teori tersebut, dapat digunakan untuk menganalisis hasil kebudayaan, yaitu upacara tebus kembar mayang dalam upacara perkawinan masyarakat pesisiran, sebagai berikut. Pertama, interaksi simbolik yang terjadi dalam upacara tebus kembar mayang di masyarakat pesisiran merupakan gambaran hubungan struktural keluarga, di mana anak yang akan dikawinkan terjadi interaksi di dalam keluarga dan antar manusia di masyarakat. Di dalam menyiapkan upacara perkawinan, terjadi interaksi simbolik, antara keluarga dengan masyarakat, yaitu hubungan struktural-fungsional, dan hubungan kekerabatan yang dapat digambarkan sebagai berikut. Yang Punya Hajat
Ketua Panitia
Sekretaris
Seksi-Seksi Seksi-Seksi
Gb.1 : Pola Interaksi antar unsur (yang punya hajat dengan panitia)
7
Di dalam proses pembuatan kembar mayang, juga terjadi interaksi simbolik, antara orang tua pengantin, Ki Wasitajati, dan Ki Surayajati yang dapat digambarkan sebagai berikut. Ki Wasitajati (orang yang mampu membuat kembar mayang)
Garis Cakrawala Yang Punya Hajat (Orang Tua Calon Pengantin Perempuan)
Ki Surayajati (orang yang disuruh menghadap kepada Ki Wasitajati
Gb.2 : Interaksi simbolik antara manusia biasa dengan manusia yang mempunyai kemampuan tertentu (Ki Surayajati) dengan pembuat kembar mayang (Ki Wasitajati) yang berada di Kahyangan
Interaksi simbolik yang terjadi di masyarakat sewaktu melaksanakan hajat perkawinan, yaitu interaksi antara pihak yang punya hajat dengan panitia pelaksana. Sedangkan panitia pelaksana telah membagi tugas (fungsional) dengan seksi-seksi di bawahnya, di antaranya: (a) seksi penyiapan kelengkapan properti upacara, (b) seksi penerima tamu, (c) seksi konsumsi, (d) seksi penerima sumbangan, dan (e) seksi tatalaksana upacara. Secara struktural semua seksi diberi tanggung jawab pribadi secara penuh pada tugas yang dibebankannya. Semua seksi berfungsi ganda, artinya pada saat mereka telah selesai tugas utamanya, secara guyub (gotong royong) akan membantu seksi lainnya, dan saling melengkapi. Semua seksi bertanggung jawab kepada ketua panitia, dan ketua panitia bertanggung jawab kepada yang punya hajat. Interaksi simbolik yang terdapat pada upacara tebus kembar mayang, dapat diuraikan sebagai berikut. a. Ki Surayajati, adalah orang yang dipercaya oleh yang punya hajat, untuk menghadap kepada Ki Wasitajati, agar bersedia membuatkan kembar mayang. Ki Surayajati, adalah sosok orang yang mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan Dewa (ki Wasitajati), dan menerima tugas dengan penuh tanggung jawab. Berikutnya Ki Surayajati berangkat untuk menemui Ki Wasitajati untuk meminta Kembar Mayang. b. Setelah Kembar Mayang itu selesai, Ki Surayajati meminta penjelasan pada Ki Wasitajati tentang makna yang terkandung di dalam Kembar Mayang, dengan demikian ia kelak dapat menjelaskannya kepada yang punya hajat.. c. Ki Wasitajati menjelaskan semua makna simbolik tersebut kepada Ki Surayajati, yakni sebagai berikut. (1) Akarnya bernama “bayubajra”, yang mempunyai makna simbolik, bahwa untuk melakukan perkawinan/pernikahan harus disiapkan kekuatan lahir-batin, supaya kehidupannya menjadi bahagia.
8
(2) Batangnya disebut “kayu purwa sejati”, yang mempunyai makna simbolik, bahwa untuk memulai berumah tangga (menikah) itu harus mempunyai kekuatan lahirbatin, menyatu-padu, agar kehidupan keluarga (baru) bisa tenteram dan bahagia. (3) Rantingnya disebut “kiblat papat” (empat arah), mempunyai lambang yang bermakna bahwa pengantin (keluarga baru) agar mempunyai kemudahan dalam mencari sarana hidup/kebutuhan hidup (sandang-pangan, papan, dan lain-lain). (4) Daunnya disebut “pradapa rumembe”, merupakan lambang yang mempunyai makna kehidupan di bumi dan langit, dengan gemerlapan bintang-bintang. Pada suatu saat ada awan tebal yang menandakan akan turun hujan lebat. Hujan air (her) itu adalah salah satu kebutuhan manusia yang vital. Sebab keberadaan manusia itu terdiri dari “agni, angin, bantala, her”, yaitu api (panas), angin (udara), bantala/siti (tanah), dan her (air). Interaksi simbolik ini disampaikan oleh Ki Surayajati kepada yang punya hajat pada waktu upacara tebus kembar mayang, dan orang tua pengantin harus menyampaikan kepada mempelai berdua, yang biasanya disampaikan oleh pembawa acara pada waktu upacara temu kemanten (panggih). Untuk menuju ke jenjang keluarga diperlukan persyaratan psikologis dan fisik, agar mampu mengarungi hidup bahagia lahir dan batin. 1. Interpretasi simbolik dalam upacara tebus kembar mayang terdapat dalam (a) kembar mayang sebagai produk budaya rupa, (b) upacara tebus kembar mayang sebagai kegiatan tradisi, yang melibatkan berbagai unsur manusia, dan (c) lirik atau teks pembicaraan dalam upacara tebus kembar mayang, yang ketiganya mempunyai makna simbolik. (a) Kembar mayang sebagai produk budaya rupa. Kembar mayang dibuat dari “janur” yang ditambah dengan berbagai daun-daun (daun apa-apa), bunga mayang, dan batang “pisang raja”. Janur tersebut dironce, menjadi beberapa unsur, yaitu : (1) candhi-candhian, (2) babok, (3) rawis ges (rujak rawis), (4) pete-pete (sim-siman), (5) manuk-manukan, (6) kitiran, (7) kipas, (8) payung-payungan, (9) uler-uleran, (10) kembang temu, (11) pecut-pecutan, dan (12) kembang manggar. Setiap unsur tersebut masing-masing berjumlah 4 (empat) biji. Sebagai produk budaya rupa bisa dilakukan analisis interpretasi simbolik, yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
Nama produk Kembar Mayang
Unsur bahan Janur
Nama unsur Pokok Candhicandhian Babok
Rawis Ges (rujak rawis)
Interpretasi simbolik Janur berasal dari kata jane dan nur, diartikan asal cahaya Daringan (tempat menyimpan harta benda), agar pengunaannya teratur, hemat, dan cermat. Babok adalah induk, yang dihiasi dengan kliwiran,. Makna simboliknya tetap menghargai orang tuanya, walaupun mereka telah membangun keluarga baru. Merupakan bentuk jamak dari rujak sing cemawis”(makanan rujak yang telah disiapkan), artinya berbagai jenis makanan dengan berbagai bahan dan rasa, yang menimbulkan rasa sedap.
9
Pete-pete (simsiman) Manuk-manukan
Kipas Kitiran
Payungpayungan Uler-uleran
Kembang Temu
Pecut-pecutan Daun
Daun Beringin
Puring
Andong
Mayang Batang Pisang Raja
Kembang mayang Tunas
Ikatan batin (cinta kasih yang saling mengikat) antara pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan Burung yang gesit, yang tidak dibekali apa-apa, tetapi mampu mencari makan untuk hidup sehari-hari, yang selalu percaya diri. Untuk mencari angin, menghilangkan rasa resah, gerah, hingga sejuk penuh semangat Perputaran yang cepat, artinya mencari nafkah dengan gesit tidak mengenal lelah, ibarat hidup untuk selamanya Sebagai pengayoman dari hujan atau panas, dan mengayomi keluarga Perubahan bentuk dari ulat sampai kupu-kupu, mempunyai makna simbolik bahwa manusia lahir, kecil, dan menyusahkan orang tua, tetapi setelah besar menjadi indah. Perbedaan pendapat dalam keluarga pasti terjadi, dan harus segera ditemukan, agar menjadi harmonis. Cambuk kehidupan, memberi motivasi kepada tujuan untuk hidup berkeluarga yang sejahtera. Memberikan perlindungan keluarga, dan lingkungan, agar kehidupannya bisa teduh (ngrembuyung) Dari kata empu yang ing/nyaring, mempunyai makna bila berbicara harus yang terpilih, seperti yang dilakukan oleh para empu. Daun yang lurus, dan tumbuh terus ke atas, artinya harus mengerti (Jawa: dhong) pada permasalahan keluarga, masyarakat, nusa, bangsa, dan agama Harum kehidupannya, yang bisa menghasilkan nira, bertingkah laku yang manis (baik). Menjadi raja pada saat perkawinan, menjadi tauladan selanjutnya. Bertindak jujur, adil, dan menyejahterakan keluarga, tidak hanya saat itu, tetapi seperti tunas yang terus tumbuh dan berbuah.
10
Dari bentuk keseluruhan kembar mayang, bila ditinjau dan dianalisis secara struktur, dapat digambarkan sebagai berikut .
Bila ditinjau dari bentuk keseluruhannya, Kembar mayang dapat distrukturkan menjadi bentuk segitiga sama kaki, yang menuju ke atas. Garis ke atas menunjukkan bahwa manusia selalu mencari Yang Maha Kuasa untuk berbakti, dan meminta rezeki yang halal. Garis horisontal menunjukkan hubungan antar manusia di masyarakat, sebagai implementasi dari makna simbolik dalam kembar mayang.
Atas
Tengah
Bawah
Bagian atas, menunjukkan bahwa manusia harus berhati-hati, cermat, hemat, tawakal, dan selalu berdo’a kepada Tuhan YME. Bagian tengah, merupakan warna kehidupan di masyarakat, yang penuh dengan variasi, yang harus dihadapi, dan dicapai dengan motivasi tinggi. Bagian bawah, merupakan fondasi kehidupan, selalu tumbuh, kokoh, dan tahan dari goncangan hidup.
Gb 3. Bentuk keseluruhan dan struktur kembang mayang
b) Sebagai tradisi, upacara tebus kembar mayang mempunyai makna simbolik di dalamnya. Tradisi ini bisa hidup bilamana ada pendukung dan pemakainya. Mengingat isi makna simbolik (intepretasi simbolik) di dalamnya mempunyai “nilai pendidikan” yang kompleks, maka tradisi ini perlu dilestarikan. Nilai pendidikan yang terdapat di dalamnya adalah: 1. Mengembangkan sikap toleransi, demokratis, dan hidup rukun dalam masyarakat yang majemuk. 2. Mengembangkan pengetahuan, sikap, imajinasi, dan keterampilan melalui proses pembuatan kembar mayang. 3. Menanamkan pemahaman tentang dasar-dasar kemandirian untuk bekerja dan berkarya.
11
Sikap toleransi, dalam proses penyiapan, pembuatan, dan penggunaan kembar mayang, adalah kegiatan yang saling membantu dan bergotong royong. Ini tercermin dimulai dari pembentukan panitia pelaksana perkawinan sampai pada pelaksanaannya. Semua seksi berfungsi saling menghargai, saling membantu, sehingga pelaksanaan kegiatan upacara perkawinan berlangsung dengan baik. Sikap demokrasi tercermin dalam pembagian tugas dan tanggung jawab dalam kepanitiaan, dan saat proses pembuatan kembar mayang. Mereka telah membagi pekerjaan sesuai dengan petunjuk dari Ki Wasitajati, sehingga proses pembuatannya menjadi cepat, dan sesuai dengan model atau unsur kembar mayang, yang dipercayakan kepada semua pembantu pelaksana, sehingga rasa toleransi dan percaya diri bisa dibangun. Sikap hidup rukun dalam masyarakat majemuk dapat tercermin dalam kegiatan upacara perkawinan, yaitu kegiatan saling menghargai dalam satu komunitas pada waktu pembuatan kembar mayang, serta dalam bekerjasama untuk melaksanakan kegiatan upacara perkawinan, perjamuan dalam hajatan, dan secara mandiri setiap personil dapat bekerja dengan baik. Mengembangkan pengetahuan, sikap, imajinasi, dan keterampilan tercermin dalam proses pembuatan kembar mayang dan upacara tebus kembar mayang. Makna simbolik yang dituangkan dalam prosesi upacara tebus kembar mayang, berisikan tuntunan hidup dan kehidupan di masyarakat, serta merupakan pengetahuan bagi orang-orang yang menyaksikan upacara tersebut, termasuk bagi anggota pelaksana hajatan. Pengembangan sikap dan imajinasi untuk menerjemahkan makna simbolik pada percakapan dalam upacara tebus kembar mayang, juga memberikan wawasan pengetahuan bagi orang yang menyaksikan upacara tersebut. Mengembangkan ketrampilan untuk merajut dan meronce janur, dari lembaran menjadi rangkaian unsur-unsur kembar mayang, adalah kemampuan ketrampilan dalam mengolah bahan menjadi produk kembar mayang. Menanamkan pemahaman tentang dasar-dasar kemandirian untuk bekerja dan berkarya, tercermin pada penuturan makna simbolik kembar mayang yang diutarakan pada saat upacara tebus kembar mayang, yaitu pada saat Ki Wasitajati menjelaskan makna pada unsur-unsur kembar mayang dalam bahasa Jawa. c) Teks dalam pembicaraan pada saat pelaksanaan upacara tebus kembar mayang, yaitu teks yang dituturkan oleh Ki Wasitajati kepada Ki Surayajati, sebagaimana telah dikemukakan di depan intinya adalah: 1. untuk melakukan perkawinan/pernikahan harus disiapkan kekuatan lahir-batin, supaya kehidupannya menjadi bahagia. 2. untuk memulai berumah tangga (menikah) diperlukan kekuatan lahir-batin, menyatu-padu, agar kehidupan keluarga (baru) bisa tenteram dan bahagia. 3. harapan agar pengantin (keluarga baru) mendapatkan kemudahan dalam mencari sarana hidup/kebutuhan hidup. 4. air dipandang sebagai salah satu kebutuhan manusia yang vital, dan keberadaan manusia itu terdiri atas unsur-unsur api, angin, tanah, dan air. Penutup Dari tinjauan berdasarkan interpretasi simbolik dalam upacara tebus kembar mayang, dapat disimpulkan bahwa kegiatan budaya sebagai tradisi tersebut sarat akan tuntunan, terutama secara khusus diperuntukkan orang tua yang akan menikahkan putranya, dan juga kepada mempelai berdua. Untuk memasuki jenjang perkawinan, banyak hal yang perlu dipersiapkan dan 12
dipertimbangkan, agar tujuan bahtera hidup baru tersebut bisa bahagia lahir batin, berkecukupan, mendapat kemudahan untuk mengais rejeki yang halal. Memasuki hidup baru dengan status berkeluarga baru, berarti masuk dalam lingkaran sosial kemasyarakatan, yang di dalam masyarakat ada pranata-pranata sosial yang berlaku.
Daftar Pustaka Asya’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional Dinas P&K Jawa Timur. 2001. Upacara Adat Jawa Timur, Jilid 3. Surabaya: Din P&K Goode, W.J. 1991-2004. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara Graham, H. 2005. Psikologi Humanistik (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ihromi, T.O. 2000. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Ind. Mistaram. 1989. Batik Sarong Gajah Mada. Malang: Puslit IKIP Malang Mulyana,R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta Ritzer,G. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Rajawali Saifuddin, A.F. 2005. Antropologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media. Sobur, A. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarta Suwardi. 1993. Bentuk Kembar Mayang Tradisional Jawa Serta Pemahaman Masyarakat terhadap Makna Simboliknya. Skripsi S1 Jur. Senirupa Malang Sztompka, P. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial (terjemahan). Jakarta: Prenada Media Van Peursen, C.A. 1985. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Wisadirana, D. 2004. Sosiologi Pedesaan. Malang:UMM Press. 1
2
Bila yang punya hajat menyelenggarkan pagelaran Wayang Kulit Percakapan dalam tebus kembar mayang dikutip dari “ Upacara Adat Jawa Timur” Jilid 3, Tahun 2001: hal.19-24
13