BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam perspektif teori sosial sebuah wacana (diskursus) yang berkembang tentu saja dipengaruhi dan mempengaruhi suatu konteks tertentu. Wacana tidak lahir dari kehampaan melainkan dari kompleksitas relasi yang terjadi dalam masyarakat, bahkan menjadi representasi dari realitas dan apa yang terjadi di dalamnya, seabstrak apapun sebuah wacana itu.1 Sebagai produk dari dan di dalam realitas sosial, wacana sekaligus dipergunakan sebagai alat untuk memandang dan memahami realitas itu. Rose McCloskey menegaskan hal ini dengan
W
menyatakan bahwa wacana merupakan seperangkat keyakinan, praktek, dan pengetahuan yang membangun realitas dan menyediakan cara untuk memahami dunia. Dalam teori sosial kritis, gagasan mengenai wacana sekaligus mengisyaratkan bahwa semua bahasa bersifat sosial, dan
U KD
bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa wacana tidak lahir dari pengalaman individu yang independen, tetapi merupakan buah dari proses sosial yang sifatnya timbal-balik. Memang bahwa wacana dapat bersifat personal, tetapi itu tidak berarti bahwa ia lepas dari konteks makro, justru sebaliknya memahami wacana yang sifatnya personal itu harus diletakan dalam kerangka konteks yang lebih luas.3 Norman Fairclough memberi keterangan yang sangat jelas mengenainya. Ia menggunakan
©
istilah ‘wacana’ untuk menyebut bahasa, baik lisan (pemahaman) maupun tertulis. Menurutnya, wacana merupakan sebuah cara bertindak (mode of action) seseorang terhadap yang lain. Wacana juga dibentuk oleh struktrur sosial dan tidak hanya sekedar untuk merepresentasikan atau merefleksikan dunia, dalam hal ini entitas dan hubungan sosial, melainkan juga turut mengkonstruksi dan menyatukannya dalam kerangka makna.4 Dari sini ia melihat tiga fungsi wacana yaitu, untuk mengkonstruksi identitas sosial dan mengatur posisi subjek sosial, menciptakan hubungan sosial, serta membangun sistem pengetahuan dan kepercayaan. Ketiga fungsi diskursif ini sejalan dengan sifat fungsional bahasa, yaitu fungsi identitas yang berkaitan dengan bagaimana identitas sosial dibentuk, fungsi relasional yang berhubungan dengan 1
Theo van Leuween, Discourse and Practice: New Tools for Critical Discourse Analysis, (New York: Oxford University Press, 2008), h.5. 2 Rose McCloskey, “A Guide to Discourse Analysis”, Nurse Researcher Vol 16, 2008, h.24. 3 Rose McCloskey, “A Guide to Discourse Analysis”, h.25. 4 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, (Cambridge: Polity Press, 1993), h.64. 2
bagaimana hubungan sosial terjadi, dan fungsi ideasional mengenai bagaimana teks menandai dunia, serta proses, entitas, dan relasinya.5 James Paul Gee memberi komentar yang menarik mengenai hal ini. Menurutnya, sebuah tindakan juga merupakan wacana. Ia mengungkapkan bahwa wacana merupakan cara untuk mengkombinasi dan mengintegrasikan bahasa, tindakan, interaksi, cara berpikir, keyakinan, penilaian, dan dengan menggunakan berbagai simbol, alat, dan objek untuk memerankan identitas tertentu.6 Dalam konteks ini, ia memperluas pemahaman mengenai wacana baik dalam aspek tekstual (meliputi tertulis dan lisan) maupun aspek praktek (tindakan). Sebuah wacana yang berkembang dipandang mengandung berbagai unsur dan kepentingan. Kemunculannya tidak lepas dari pergulatan kepentingan demi tujuan melanggengkan
W
kepentingan tersebut. Kepentingan ini dianggap sebagai representasi dari kekuasaan atau kekuatan dominatif yang ada. Sebuah wacana yang dikonsumsi secara publik tentu memuat ideologi-ideologi baik sosial, politik, ekonomi, keagamaan, dll. yang tujuannya ialah
U KD
mempengaruhi komunitas. Kepentingan ideologis yang ditransfer melalui wacana ini berpotensi untuk menimbulkan perubahan sosial yang signifikan. Asumsi mengenai wacana inilah yang kemudian melahirkan berbagai studi analisa wacana, atau yang secara umum dikenal dengan Discourse Analysis dan secara khusus Critical Discourse Analysis yang mengungkapkan ideologi dan relasi kekuasaan di balik sebuah wacana.
Suatu konsepsi teologis atau doktrin keagamaan sebetulnya juga merupakan wacana. Ia tidak lahir secara magic, bukan juga sebagai suatu pewahyuan(revelation), dan karenanya bersifat
©
ahistoris. Gagasan teologis, dogma, bahkan Alkitab sendiri merupakan sesuatu yang lahir dalam proses pergumulan sejarah yang panjang. Leslie Houlden dalam respons kritisnya terhadap upaya mistifikasi gagasan-gagasan kristologis juga menegaskan hal ini. Menurutnya, pernyataan-pernyataan yang muncul tentang Yesus (terutama doktrin inkarnasi) sebetulnya adalah pernyataan-pernyataan yang telah melewati proses pergumulan yang panjang dalam pentas sejarah kekristenan, dan karena itu pernyataan itu adalah hasil dari pergumulan kekristenan dan bukan pernyataan yang diberikan secara langsung oleh figur historis Yesus.7 Apa yang dikemukakan oleh John Hick mengenai inkarnasi juga mengindikasikan hal ini,
5
Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.63-64. Paul James Gee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method, (New York: Routledge, 2005), h.21 7 Leslie Houlden, “The Creed of Experiences” dalam The Myth of God Incarnate, Ed. By John Hick, (London: SCM Press, 1977), h.125-133. 6
3
dimana ia menegaskan bahwa dogma inkarnasi pun bukanlah merupakan ajaran Yesus tetapi produk gereja8, bahkan Don Cupitt sepakat dengan asumsi serupa dengan menandaskan bahwa semua pernyataan yang disebutnya dengan ikon kristologis tidak lagi alkitabiah, melainkan telah melewati proses inovasi yang membuatnya tidak lagi otentik, karena sekedar merupakan warisan bapa-bapa gereja yang harus terus dipertahankan.9 Semua gagasan teologi yang lahir ini mempengaruhi realitas dimana ia ada dan berkembang, terutama konteks hubungan kekristenan dan agama-agama lain selama ini. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu wacana teologis bahkan Alkitab sendiri lahir sebagai produk dari suatu konteks historis tertentu dimana di dalamnya ada banyak unsur yang beragam, tentunya dengan ideologi-ideologi tertentu juga. Berdasarkan hal ini dan dari teori kritis di atas dapat dinyatakan bahwa gagasan teologis tidak sepenuhnya
W
bersifat religius. Bertolak dari pandangan inilah, maka saya tertarik untuk melihat wacana soteriokristologisatau paham keselamatan yang berkembang di kalangan pemuda Waai – Ambon.
U KD
Dalam pandangan komunitas ini, Yesus dilihat sebagai satu-satunya jalan keselamatan bagi semua orang, termasuk komunitas berkepercayaan lain. Tidak hanya demikian, dalam pemahaman mereka Yesus pun diyakini sebagai “sumber” dari keselamatan dan bukan sekedar agen. Dalam konteks inilah ciri kristomonis10 dari pandangan komunitas menjadi jelas. Konsekuensi dari wacana seperti ini ialah orang harus menjadi Kristen jika mau menerima keselamatan. Di sinilah penekanan terhadap pentingnya identitas religius menjadi nampak. Penitikberatan terhadap identitas religius ini sekaligus memperlihatkan bahwa praksis sosial
©
merupakan hal yang tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan identitas. Hal ini dipengaruhi olehpemahamantentang Yohanes 14:1-14, terutama deklarasi “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup”. Deskripsi hasil wawancara dalam bab II nanti akan memperlihatkan bagaimana hubungan intertekstualitas pandangan komunitas ini dengan teks Yohanes itu. Selain itu, pandangan mengenai keselamatan komunitas ini juga cenderung menitikberatkan pada dimensi futuris dimana hal itu dilihat sebagai suatu realitas yang tidak memiliki kaitan dengan kehidupan sosial masa kini di dunia ini, tetapi sebaliknya akan terjadi pasca kematian manusia. Berdasarkan observasi dan wawancara awal, ditemukan bahwa pandangan yang
8
John Hick, A Christian Theology of Religions, (Louisville: Westminster John Knox, 1995), h.87. Don Cupitt, “The Christ of Christendom” dalam “The Myth of God Incarnation”, Ed. By John Hick, (London: SCM Press, 1977), h. 134-146. 10 Kristomonisme ialah pandangan yang meletakan Yesus sebagai satu-satunya dan pusat atau sumber dari keselamatan. 9
4
dominan mengenai keselamatan ialah hal yang berhubungan sesudah kematian, dalam bahasa mereka, “di dunia lain” atau “bukan dunia yang berhubungan dengan dunia sekarang ini”. Dalam kesadaran bahwa dalam konteks pluralisme agama dewasa ini pandangan bahwa Yesus sebagai sumber atau satu-satunya jalan keselamatan dapat berpotensi membangun eksklusifisme beragama yang mungkin saja dapat bermuara pada konflik, maka dalam tesis ini saya akan melakukan kajian terhadap pandangan soterio-kristologis itu. Setelah itu akan dilanjutkan dengan upaya hermeneutis terhadap teks Yohanes 14:1-14. Teks ini dipilih karena ia seringkali dibaca secara harafiah, dan kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membenarkan pandangan dan sikap eksklusifisme beragama.Setelah itu, di bagian akhir saya akan melihat, bagaimana teks Yohanes dapat memberi kontribusi bagi konteks pluralisme di Indonesia. Oleh
W
karena itu ada tiga isu yang akan dieksplorasi ialah (1) bagaimana pandangan komunitas pemuda mengenai soterio-kristologis “Yesus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup” dikonstruksikan; (2) dari situ saya akan melakukan pengkajian hermeneutis terhadap wacana kristologis Yohanes
U KD
14:1-14; dan (3)melakukan dialog kritis antara wacana komunitas pemuda, Yohanes 14:1-14 dan wacana Hick, serta makna Yohanes 14:1-14 bagi konteks pluralisme agama. Dalam deskripsi dan upaya hermeneutis nanti saya akan menggunakan pendekatan Critical Discourse Analysis (CDA) yang ditawarkan oleh Norman Fairclough. Pemilihan atas pendekatan CDA Fairclough didasarkan pada pertimbangan bahwa pendekatan ini secara kritis mengungkapkan unsur dan pengaruh sosial yang ditimbulkan oleh suatu wacana, serta juga CDA sendiri dinilai (oleh Heather) sebagai suatu model yang tepat dan berguna bagi studi agama-agama dan
©
hubungan antar agama.11
Komunitas Waai menjadi fokus dalam penelitian ini atas dua pertimbangan, yakni pertama,
dalam konteks konflik Maluku tahun 2000 jemaat ini menjadi salah satu jemaat yang mengalami konflik secara langsung, terutama dengan komunitas Islamdi Tulehu dan Liang. Konflik ini tidak hanya berdampak pada relokasi pemukiman, melainkan juga memakan korban jiwa yang cukup banyak, menimbulkan kesulitan terhadap akses pendidikan, kesehatan dan pekerjaan, dan berbagai dampak destruktif lainnya.
Kedua, dalam konteks pasca-konflik intensitas relasi
komunitas ini dengan komunitas agama lain semakin tinggi. Perjumpaan itu sering tidak terhindarkan dari ketegangan antar keduanya yang bermuara pada anarkisme dan kekerasan,
11
Dalam Frans Wijsen and Corry Nicolay, “Interreligious Worship in Friesland”, Studies in Interreligious Dialogue, Vol. 20/2010/1, h. 60. 5
misalnya kasus Waai – Liang yang terjadi pada September 2010 dimana terjadinya aksi pelemparan antara pemuda Waai dan Liang yang mengakibatkan terputusnya akses transportasi dan ekonomi selama beberapa waktu lamanya. Kedua konteks ini, baik konflik maupun pascakonflik, sangat mempengaruhi pemahaman orang terhadap yang lain dan sekaligus juga terhadap diri dan komunitasnya, sebab dalam situasi kritis seperti itu tentu saja orang sering membangun gagasan-gagasan teologis (kristologis) yang pro terhadap keadaannya. Oleh karena itu, pengkajian pada isu ini diharapkan pada akhirnya dapat memberi kontribusi untuk penghayatan iman komunitas pada satu pihak, dan di pihak yang lain mendorong terciptanya relasi interreligius yang harmonis berdasarkan penghayatan iman kristen.
W
1.2.Rumusan Masalah Suatu wacana yang berkembang tentu saja mempengaruhi realitas. Begitu halnya juga dengan konsep teologi yang terpelihara di dalam kekristenan, terutama wacana kristologis
U KD
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup”. Wacana ini tentu saja lahir sebagai produk dari realitas sosial tertentu dan dibentuk oleh banyak unsur yang masing-masing memiliki kepentingan. Bertolak dari hal ini, maka ada beberapa permasalahan yang akan dikaji di dalam tesis ini: 1. Apa dan bagaimana wacana soterio-kristologis pemuda Waai-Ambon mengenai “Yesus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup” dikonstruksikan? 2. Apa sebetulnya makna kristologi “Yesus sebagai jalan dan kebenaran dan hidup” dalam injil Yohanes 14:1-14?
©
3. Bagaimana relevansi teks Yohanes 14:1-14 bagi konteks Pluralisme Agama di Indonesia? 1.3.Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan utama yang dibangun dalam penelitian ini ialah bagaimana wacana soteriokristologis pemuda Waai mengenai “Yesus ialah jalan, kebenaran, dan hidup” dibentuk? Apa makna Yohanes 14:1-14 dan relevansinya bagi konteks pluralisme agama di Indonesia? 1.4.Tujuan Penelitian Bertolak dari pertanyaan penelitian di atas maka tujuan tesis ini ialah: 1. Melihat bagaimana pandangan pemuda Waai mengenai soterio-kristologis “Yesus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup” dan bagaimana itu dikonstruksikan. 6
2. Melakukan kajian hermeneutis terhadap wacana soterio-kristologis “Yesus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup” dalam Yohanes 14:1-14? 3. Melakukan dialog kritis terhadap wacana soterio-kristologis pemuda Waai , Yohanes 14:114, dan wacana soteriologi pluralisme John Hick, serta menemukan makna Yohanes 14:1-14 bagi konteks pluralisme agama. 1.5.Kegunaan Penelitian Penelitian ini akan menjadi penting karena dua alasan berikut: 1. Sebagai bagian dari korban konflik yang memiliki relasi yang intens dengan komunitas Islam sekitar, jemaat GPM Waai (terutama pemuda) memiliki pandangan tertentu yang akan
W
mempengaruhi pola relasi itu. Penelitian ini setidaknya akan menolong komunitas ini untuk mengembangkan sikap-sikap pluralisme yang berakar pada pandangan teologi/kristologi. 2. Memberi kontribusi bagi Gereja Protestan Maluku sebagai pertimbangan dalam rangka
U KD
membangun teologi pluralisme yang mendukung hubungan antar agama di Maluku. 3. Dengan menggunakan CDA, maka penelitian ini juga menjadi penting, karena CDA akan menolong untuk mengungkapkan pandangan-pandangan yang pro-kemapanan, dalam hal ini ialah struktur sosial. 1.6.Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini sangat bergantung pada judul tesis ini, yakni: “AKULAH
©
JALAN DAN KEBENARAN DAN HIDUP”, dengan sub Judul:Wacana Soterio-Kristologis Pemuda Waai-Ambon Pasca Konflik dan Yohanes 14:1-14: Sebuah Tinjauan Critical Discourse Analysis (Analisa Wacana Kritis). Dengan begitu, penelitian ini dibatasi untuk melihat bagaimana konsep soterio-kristologis pemuda Waai serta apa makna Yohanes 14:1-14 dan relevansinya. 1.7.Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini, ada beberapa proses yang dilakukan: 1. Melakukan penelitian lapangan untuk menemukan informasi yang mendalam mengenai pandangan kristologi pemuda Waai – Ambon dan konteks Waai secara umum. a. Teknik Pengumpulan Data 7
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan ialah wawancara pribadi dan focus group discussion. b. Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. c. Waktu Penelitian Waktu penelitian ialah Januari – Februari 2013. d. Sumber Data Yang menjadi sumber data primer ialah pemuda Waai yang berlatar belakang tradisi GPM, Pantekosta, dan Katolik.
W
2. Deskripsi, Analisa dan Dialog Kritis a. Deskripsi Wacana Soterio-kristologis Pemuda Waai – Ambon Setalah data dikumpulkan, akan dilakukan deksripsi terhadap wacana soterio-
U KD
kristologis pemuda Waai. Data yang dideskripsikan ini juga menggunakan kerangka CDA Fairclough yang diadopsi oleh Frans Wijsen dalam penelitian interreligiusnya. b. Kajian Analisis atas Yohanes 14:1-14
Berdasarkan deskripsi di atas tadi, maka dalam tahap ini akan dilakukan kajian hermenutis terhadap Yohanes 14:1-14. Di sini penulis akan menggunakan pendekatan CDA yang dimulai dari (1) Analisis Linguistik, (2) Analisa Praktek Wacana, dan (3) Analisa Praktek Sosial.
©
c. Mendialogkan secara kritis antara Wacana Soterio-Kristologis Pemuda Waai, Wacana Yohanes 14:1-14, dan WacanaTeologi Pluralisme John Hick.
1.8.Sistematika Penyajian 1. Bab I. Bab ini terdiri dari beberapa sub bagian yaitu; pendahuluan (latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian), metodologi penelitian, dan kerangka teoritik. 2. Bab II. Bab ini terdiri dari deskripsi data mengenai wacana soterio-kristologis pemuda Waai. 3. Bab III. Bab ini berisi kajian analisiskritis terhadap wacana Yohanes 14:1-14.
8
4. Bab IV. Bab ini berisi (1) deksripsi pandangan teologi John Hick; (2) dialog kritis antara wacana pemuda Waai, wacana Yohanes 14:1-14, dan wacana John Hick; (3) kontribusi Yohanes 14:1-14 bagi pluralisme agama di Indonesia. 5. Bab V.Bab ini berisi kesimpulan akhir, signifikansi pendekatan CDA dalam studi teologi, dan beberapa pikiran rekomendasi. 1.9. Kerangka Teoritis Dalam penelitian ini saya akan bertumpu pada teori Norman Fairclough mengenai CDA yang akan memberi arah bagi pengkajian baik wacana pemuda maupun wacana teks Yohanes 14:1-14. Sedangkan untuk meninjau secara kritis pandangan soterio-kristologis pemuda Waai,
W
saya akan menggunakan pandangan John Hick mengenai keselamatan dalam perspektif teologi pluralisme. Untuk penafsiran terhadap teks saya akan menggunakan beberapa pendapat ahli tafsir
U KD
a. Critical Discourse Analysis– Norman Fairclouh
Sebagaimana telah disinggung di atas, sebuah wacana yang berkembang baik secara lisan ataupun tulisan sebetulnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial yang pada akhirnya akan kembali mempengaruhi realitas itu juga. Hal ini juga berlaku bagi teologi atau kristologi yang dikembangkan. Dari sini kemudian muncul berbagai pendekatan dalam ilmu sosial dan linguistik yang mencoba mengkaji wacana. Chris Setevenson memperlihatkan dua pendekatan dalam analisa wacana yang selama ini berkembang, yang
©
pertama pendekatan analisa wacana dalam tradisi para konstruktifis sosial dan dalam tradisi Foucauldian. Bagi kelompok konstruktifis sosial, tidak ada sesuatu di balik teks dan realitas pun tidak direpresentasikannya. Fokus analisa mereka pada apa yang dilakukan dengan wacana yang ada itu. Berbeda dengan teori konstruktifis sosial, kelompok Foucauldian menempatkan teks sebagai fokus dengan asumsi bahwa dunia dikonstruksi melalui wacana. Wacana tidak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi juga berpotensi untuk membentuk masyarakat dan di dalamnya ada relasi kekuasaan yang ter-manifest. Hal ini disebutnya sebagai “praktek wacana”.12
12
Chris Stevenson, “Theoritical and MethodologicalApproaches in Discourse Analysis”, Nurse Researcher No. 2004, h.19-21. 9
Tiga dimensi utama pendekatan CDA Fairclough ialah analisa teks, praktek wacana, dan praktek sosial. Teks tidak dapat dipisahkan dari praktek produksi dan interpretasi terhadapnya (praktek wacana), begitu juga dengan praktek sosial. Keberadaan suatu teks dianggap sebagai representasi dari suatu ideologi tertentu. Untuk menemukan ideologi tersebut analisis terhadap konteks saat teks itu diproduksi, situasi institusi, dan bagaimana peran sistem sosial yang ada diperlukan. Dalam melakukan analisa teks, Fairclough menggunakan kerangka linguistik yang sekaligus digunakan untuk menginterpretasi makna. Jika mengikuti kerangka linguistik, maka ada empat aspek yang perlu dilihat dalam hal ini, yakni kosakata (vocabulary), tata bahasa (grammar), kepaduan (cohesion), dan struktur teks (text structure). Kosakata
W
terutama berhubungan dengan kata-kata individu, tata bahasa dengan kombinasi kata-kata di dalam klausa dan kalimat, kepaduan berkaitan dengan bagaimana klausa dan kalimat berhubungan, dan struktur teks dengan sifat teks. Fairclough juga menambahkan bahwa
U KD
tiga aspek lain dalam analisa bahasa yaitu kekuatan ucapan (force), koherensi (coherence), dan intertekstualitas (intertextuality).13
Fokus terhadap tata bahasa dalam analisa bahasa menjadi penting sebab bahasa dibentuk dari klausa atau kalimat sederhana, sementara unsur yang paling utama dari klausa disebutnya ‘kelompok kata’ atau ‘frase’. Kombinasi frase yang membentuk klausa, dan klausa dengan klausa akan membentuk kalimat yang kompleks. Fairclough melihat klausa bersifat multifungsional dan karena itu klausa merupakan kombinasi ideasional,
©
interpersonal (identitas dan relasi) serta makna teks. Pilihan seseorang atas design atau
struktur suatu klausa sekaligus merupakan cara dimana ia menandai dan membentuk identitas sosial, hubungan sosial, pengetahuan, dan kepercayaan. Kajian tata bahasa akan diikuti dengan kajian kosakata. Identifikasi kosakata sebetulnya dapat dilakukan dalam banyak cara, hal ini karena satu kosakata dapat memiliki makna ganda dan tidak dapat dibatasi dalam pengertian kamus sebab kosakata itu sendiri akan berkaitan dengan wilayah, institusi, praktek, nilai, dan perspektif yang berbeda. Untuk merujuk pada analisa kosakata, Fairclough menggunakan istilah “susunan kata” (wording) yang sekaligus menandai proses leksikalisasi dan pengertian kata. Dalam analisa kosakata atau susunan kata, tiga fokus utamanya ialah; (1) susunan kata serta makna politis dan ideologisnya. Di sini yang dilihat
13
Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.73-78. 10
ialah bagaimana suatu isu dalam wilayah pengalaman tertentu “diistilahkan” kembali (reworded). (2) Fokus keduanya ialah terletak pada makna kata terutama bagaimana makna kata-kata itu dikemukakan dalam konteks yang lebih luas. Di sini ia juga melihat hubungan makna kata dengan bentuk hegemoni. (3) Fokus selanjutnya ialah pada metafor, pada kepentingan ideologis dan politis dari suatu metafor tertentu, dan konflik antar metaformetafor alternatif. Analisa tata bahasa dan kosakata diikuti dengan analisa kepaduan atau kohesi. Dalam analisa kohesi, orang harus melihat hubungan klausa dengan klausa yang membentuk kalimat, serta hubungan antar kalimat yang membentuk unit yang lebih besar dalam teks (misalnya paragraf). Hubungan ini dicapai dalam banyak cara: (1) melalui penggunaan
W
kosakata, pengulangan kata, penggunaan sinonim yang lebih dekat, (2) melalui perangkatperangkat yang merujuk atau mengganti (kata ganti, artikel tertentu, kata ganti penunjuk, dll.), (2) melalui kata penghubung (oleh karena itu, walaupun, dan, tapi, dll.). Fokus
U KD
terhadap kohesifitas merupakan cara dimana Foucault menunjuk pada skema retorik yang beragam berdasarkan kelompok pernyataan yang dikombinasikan (bagaimana deskripsi, deduksi, dan defenisi mencirikan arsitektur teks dihubungkan. Analisa struktur teks juga menjadi penting untuk melihat bentuk atau design sebuah wacana. Analisa ini juga meliputi bagaimana unsur-unsur atau episode dikombinasikan, bagaimana rangkaiannya, dll. Dari analisa struktur teks kita juga akan dapat melihat bentuk teks suatu teks ialah monolog ataukah dialog.
©
Analisa kedua dalam CDA Fairclough ialah analisis Praktek Wacana (Discursive
Practice). Asumsi dasar analisa ini ialah bahwa suatu teks dalam bentuknya yang sekarang tentu saja telah melewati proses produksi, distribusi, dan konsumsi (termasuk interpretasi). Semua proses yang menghasilkan berbagai wacana yang beragam tentu tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor sosial (terutama konteks sosial). Fairclough memberi contoh artikel suatu majalah tentu diproduksi di dalam rutinitas kolektif yang kompleks, melalui suatu tim yang terdiri dari anggota-anggota yang berbeda, serta melalui suatu tahapan produksi yang berbeda pula. Analisa produksi diperuntukan untuk melihat bagaimana wacana itu dibangun dan siapa yang turut terlibat dalam mengembangkannya (baik personal maupun kolektif). Sementara analisa konsumsi berkaitan dengan bagaimana wacana yang sama berkembang dan dikonsumsikan oleh komunitas. Sama seperi produksi, konsumsi bisa 11
bersifat individual maupun kolektif. Sebagian teks-teks yang dikonsumsi dapat direkam, dicatat, dipelihara, dibaca kembali, dst. Sebaliknya ada juga yang setelah itu tidak lagi dapat dipergunakan melainkan dibuang. Analisa terakhir dalam proses analisis terhadap praktek wacana ialah analisa distribusi untuk melihat bagaimana proses sebuah wacana (teks) dapat sampai kepada orang dalam konteks yang berbeda.14 Fairclough juga mengindikasikan bahwa interpretasi teks tidak dapat dilepaskan dari analisa konteks. Konteks di sini ialah konteks teks. Dalam kaitan dengan analisa konteks teks, ia menjelaskan tentang kekuatan (force) suatu pernyataan. Baginya, kekuataan suatu teks merupakan bagian dari komponen yang sifatnya aksional. Berdasarkan analisa ini kita dapat melihat sifat sebuah statement di dalam teks, apakah termasuk kategori memberi
W
perintah, mengajukan pertanyaan, janji, keyakinan, dll. Jika ada yang melihat koherensi sebagai suatu ciri teks, maka Fairclough melihatnya sebagai ciri interpretasi. Teks yang koheren ialah teks yang memiliki bagian-bagian yang
U KD
menyatu (episode dan kalimat) tentu yang berhubungan dengan teks secara keseluruhan dan membentuk “makna”. Fairclough juga melihat aspek intertekstualitas. Secara mendasar, intertekstualitas ialah ciri dari suatu teks yang punya hubungan dengan teks-teks lain, yang mungkin dibatasi dan muncul secara eksplisit. Teks yang muncul sebelumnya sebetulnya punya pengaruh terhadap suatu teks yang ada, dimana terjadi saling menanggapi serta adanya antisipasi terhadap teks yang muncul kemudian. Dalam analisa intertekstual, ada empat aspek yang turut mendapat perhatian (1) kutipan langsung ataupun tidak langsung,
©
(2) bahasa publik ataupun personal, (3) intertekstualitas yang manifest (meliputi representasi wacana, pengandaian, negasi, ironi, dan metawacana), serta (4) interdiskursus (meliputi genre, tipe aktifitas, gaya, dan wacana). Analisa yang sangat penting dalam pendekatan Fairclough ialah Analisis Praktek Sosial
(Social Practice). Analisa ini diperlukan untuk melihat hubungan wacana dengan ideologi dan kekuasaan, dan meletakkan wacana dalam pandangan kekuasaan sebagai hegemoni, serta pandangan mengenai evolusi hubungan kekuasaan sebagai perjuangan hegemonis. Untuk kepentingan ini, Fairclough mengikuti kerangka pikir Althusser dan Gramsci. Dalam menganalisa suatu wacana, perhatian harus diarahkan terhadap: pertama, ideologi. Pandangannya mengenai ideologi sangat dipengaruhi oleh Althusser yang memberi dasar 14
Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.78-86. 12
bagi perdebatan mengenai hal ini (sekalipun pada akhirnya tidak sepenuhnya pandangan Althusser mengenai ideologi diadospsinya, terutama asumsi bahwa ideologi secara umum ialah perekat sosial yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat). Mengenai ideologi, Fairclough mengemukakan tigas asumsi dasar; (i) ideologi sebagai material berada di dalam praktek institusi yang membantu untuk menginvestigasi praktek wacana sebagai suatu bentuk material ideologi. (ii) Ideologi turut berkaitan dengan pandangan mengenai keberadaan subjek. (iii) Alat-alat negara yang sifatnya ideologis (institusi seperti pendidikan dan media) berada di dalam perjuangan ideologis. Fairclough sendiri melihat bahwa ideologi ialah petunjuk atau konstruksi dari realitas sosial (dunia fisik, hubungan sosial, dan identitas sosial) yang dibangun di dalam beragam
W
dimensi bentuk atau makna praktek wacana, dan turut berkontribusi terhadap produksi, reproduksi, atau transformasi hubungan dominasi. Pandangan ini mirip dengan pandangan Thompson yang melihat penggunaan bahasa dan bentuk-bentuk simbolik lainnya sebagai
U KD
yang bersifat ideologis sebab turut membangun dan mendorong hubungan kekuasaan. Dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa Fairclough berupaya untuk menyingkapkan warisan-warisan ideologis yang termanifestasi di dalam wacana yang tujuannya cenderung untuk
memperkuat
hubungan-hubungan
kekuasaan
serta
melanggengkan
dan
mentransformasikannya. Singkatnya, dalam suatu wacana tentu ada kepentingankepentingan yang ter-manifest melalui ideologi.15
Fairclough juga meyakini bahwa ideologi terselip di dalam bahasa dalam cara serta
©
tingkatan yang beragam. Oleh karena itu, untuk menemukan ideologi, baginya, kita harus berupaya mengidentifikasi apa yang dibahasakannya sebagai locations of ideology (tempat
ideologi). Ideologi suatu wacana umumnya dapat ditemukan di dalam; (1) Struktur dalam wilayah ini fokus harus diarahkan terhadap kode-kode tertentu, struktur, serta formasi wacana. Identifikasi akan hal ini tidaklah cukup, dan karena itu perlu juga melihat (2) peristiwa atau ‘event’ yang menyoroti ideologi sebagai suatu proses, transformasi, dan perubahan. Struktur (urutan wacana) menjadi penting sebab identifikasi terhadapnya akan membantu kita menemukan akibat dari suatu proses di masa lampau serta kondisi saat ini, sedangkan analisa peristiwa akan menolong untuk mereproduksi dan mentransformasi struktur yang dikondisikan. Ada yang melihat juga bahwa ideologi berada di dalam teks.
15
Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.86-91. 13
Fairclough menolak asumsi ini dengan menyatakan bahwa tidak mungkin kita menemukan ideologi di dalam teks (mungkin maksudnya ialah tulisan?) sebab makna baru dapat diperoleh melalui interpretasi yang mungkin berbeda juga sesuai kepentingan ideologis. Pertanyaan lain yang mendasar juga ialah dalam ciri serta tingkatan seperti apa suatu ideologi ditanam. Fairclough melihat hal ini dengan menunjuk pada ‘makna’ atau ‘makna kata’ (terkadang disebut dengan isi dan bukan bentuk). Baginya, makna suatu teks atau wacana sangat ideologis. Aspek-aspek makna yang juga turut mengandung ideologi ialah pengandaian, metafora, dan koherensi teks. Sekalipun begitu, perbedaan yang besar antara isi, makna dan bentuk tidak harus selalu terjadi, sebab makna suatu teks sangat berhubungan dengan bentuk teks tersebut. Bukan hanya makna, bentuk, dan isi, tapi juga
W
gaya (style) suatu teks bisa mengandung ideologi tertentu. Fairclough akhirnya menyatakan bahwa tidak semua wacana mengandung ideologi diskriminatif. Kandungan ideologis suatu wacana tergantung pada sejauh mana suatu
U KD
wacana memberi kontribusi dalam menopang dan merekonstruksi hubungan-hubungan kekuasaan. Ideologi yang dibangun tentu berakar di dalam masyarakat dan dicirikan dalam relasi dominasi kelas, gender, kultur, kelompok dan sebagainya. Ia juga melihat bahwa subjek dalam wacana ditampilkan secara ideologis, namun di pihak lain subjek ini sendiri memiliki kepentingan lain.
Hal yang kedua ialah dalam analisa praktek sosial ialah analisa hegemoni. Di sini Fairclough turut dipengaruhi oleh pandangan Gramsci (1971). Ia melihat bahwa hegemoni
©
merupakan kepemimpinan atau dominasi atas berbagai wilayah publik dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik, kultural, dll. Hegemoni mendorong terjadinya perjuangan untuk mencapai kepentingan tertentu. Perjuangan hegemoni dapat terjadi dalam lingkungan yang lebih luas, meliputi institusi masyarakat sipil seperti pendidikan, keluarga, bahkan juga institusi agama (mis. gereja), dll. Dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi terjadi juga perjuangan hegemonis. Oleh karena itu, dalam analisa wacana diperlukan upaya untuk melihat relasi-relasi hegemoni yang ada.16
16
Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.91-96. 14
b. Pandangan Keselamatan dalam Perspektif Pluralisme Agama – John Hick Dalam perspektif teolog agama-agama, dalam hal ini John Hick, pandangan mengenai keselamatan dalam konteks plralisme dewasa ini harusnya dimulai dengan observasi terhadap realitas moralitas manusia pada umumnya yang menunjukkan bahwa kualitas moral suatu penganut tradisi tertentu seperti kekristenan tidaklah lebih baik dari yang lainnya, atau juga sebaliknya oleh karena kenyataan menunjukkan bahwa di dalam keduanya sama-sama ada yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, tidak dapat disimpulkan bahwa kekristenan lebih superior dari tradisi-tradisi lain secara moral. Dalam praksis penganut agama-agama lain sendiri esensi dari pengajaran Yesus bisa dijumpai; memberi makan yang lapar dan minum pada yang haus, menerima orang asing, memberi
W
pakaian bagi yang telanjang, mengunjungi yang sakit dan terpenjara (Mat. 25:31-46) merupakan praksis-praksis moral yang dikehendaki oleh Yesus. Praksis-praksis seperti ini tidak partikular hanya dalam kekristenan saja, melainkan bersifat universal dan ditemukan
U KD
di agama-agama lain juga. Bahkan, dalam banyak hal pun orang Kristen sendiri terbukti tidak lebih baik dari para penganut agama lain. Jika demikian, maka bagi Hick, pemahaman mengenai keselamatan yang konvensional harus diubah ke pandangan yang universal, sebab pertanyaan yang paling menggelisahkan di sini ialah bahwa “apakah penganut agama lain yang secara moral baik bisa diselamatkan?”17
Hick melihat bahwa konsep keselamatan yang selama ini dikembangkan ialah berdasarkan pada peristiwa Yesus di Salib. Jika keselamatan dideskripsikan dan
©
didefenisikan sebagai pengampunan dan penerimaan oleh Allah melalui kematian Yesus di kayu salib, maka memang kita akan terjebak ke dalam semacam tautologi yang menekankan posisi kekristenan sebagai satu-satunya agama yang mengenal dan memberitakan keselamatan itu, sebab Yesus sebagai dasar iman Kristen dilihat sebagai sumber keselamatan. Baginya, keselamatan harusnya diihat sebagai suatu realitas yang terungkap dan termanifestasi di dalam relasi kehidupan manusia setiap hari dan ditandai dengan “perubahan” atau “transformasi”. Yang dimaksudkan dengan transformasi di sini ialah pergeseran dari “egosentrisme” atau self-centeredness menuju ke the Realcenteredness. Egosentrisme sendiri merupakan akar dari seluruh kejahatan manusia,
17
John Hick, “ A Pluralist View”, dalam Four Views on Salvation in a Pluralistic World, Eds. By Dennis L. Okhlom dan Timothy R. Philips, (Grand Rapids: Zondervan, 1995), h. 42. 15
sedangkan the Real-centeredness menempatkan Allah sebagai yang utama. Pengutamaan the Real akan berdampak pada “buah-buah roh”. Inilah yang kemudian akan mempengaruhi perubahan yang signifikan dalam realitas.18 Jacques Dupuis mengatakan bahwa Hick menggunakan istilah the Real untuk menunjuk kepada Realitas Terakhir yang dalam tradisi Kristen dikenal dengan nama Allah. Substitusi istilah itu memiliki tujuan supaya merangkul semua pandangan agama-agama mengenai tujuan akhir semua agama-agama.19 Jika keselamatan dimanifestasi di dalam “transformasi” realitas, maka Hick berkesimpulan bahwa keselamatan dapat juga dijumpai di dalam agama-agama lain, bahkan mungkin juga di luar tradisi-tradisi teistik, yang menempatkan transformasi kualitas sebagai yang diprioritaskan. Kriteria yang paling umum untuk melihat manifestasi keselamatan kehidupan nyata manusia.
W
sekarang bukan lagi teori-teori teologis melainkan realitas yang dapat diamati dalam Oleh karena itu, keselamatan bukan lagi merupakan suatu
“transaksi yuridis” di “sorga” ataupun suatu harapan-harapan di luar kehidupan sekarang
U KD
ini, tetapi merupakan perubahan yang holistik dalam struktur kehidupan realitas, baik spiritual, moral, sosial, dan politik yang telah dimulai sekarang. Istilah keselamatan (salvation) sendiri dinilai Hick sebagai istilah Kristen yang sejajar dengan penebusan (redemption) dalam Yudaisme; ketaatan total kepada Allah (total submission to God) yang dilihat sebagai pemberi hidup bagi manusia (dalam Islam); pembebasan (liberation), pencerahan (enlightment), dan kebangkitan (awakening) dalam agama-agama Timur. Semua istilah yang beragam yang menggambarkan keselamatan ini
©
bertujuan untuk menjelaskan hal yang sama, yakni the Real-centeredness yang menghendaki transformasi dalam praksis. Dengan demikian, sekali lagi bahwa keselamatan juga dapat dijumpai dalam agama-agama lain. Dengan menyoroti the Real sebagai yang utama, maka Hick kembali menempatkan Allah sebagai sumber keselamatan. Ia menggunakan beragam istilah untuk menyebut Allah di samping the Real, mis. the Ultimate, the Transcendent, dan Ultimate Reality. Penggunaan istilah-istilah yang beragam ini ialah untuk menegaskan bahwa Allah melampaui apa yang dipikirkan oleh manusia. Ia meminjam pendapat para bapa gereja dan teolog tradisonal maupun kontemporer yang sama-sama menekankan bahwa pandangan
18 19
John Hick, “A Pluralist View”, h. 43. Jacques Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, (Maryknoll: Orbis Books, 1998), h. 308. 16
yang dikonstruksikan selama ini belumlah cukup apalagi sepenuhnya dapat memahami realitas yang transenden itu, karena ia merupakan Notum Ignotum (yang dikenal dan tidak dikenal)20. Sebagai yang dikenal ia merepresentasikan dirinya melalui figur-figur tertentu yang menjadi mediator dalam agama-agama, dan di pihak yang lain ia tetap menjadi the Real a se – Allahpada diri-Nya tidak bisa dikenal secara utuh. Oleh karena itu, setiap penganut agama hanya perlu menyembah Allah melalui figur yang dijumpai di dalam agamanya. Pandangan Hick mengenai keselamatan sebagai transformasi sosial tidak hanya menegaskan posisi Allah sebagai sumber keselamatan, tetapi juga bahwa dimensi keselamatan itu sendiri bersifat presentis, yakni sesuatu yang bukan di luar realitas duniawi
©
U KD
melainkan praksis.
W
sekarang ini, serta mengambil wujudnya bukan dalam rumusan teologi atau identitas sosial,
20
Paul F. Knitter, “Foundations for a Multifaith Pluralistic Theology”, dalam Toward a Planetary Theology, Ed. By. Jose Maria Vigil, (Montreal: Dunamis Publisher, 2010), h. 77. 17