TATALOKA VOLUME 14; NOMOR 2; MEI 2012, 156-170 © 2012 BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP
T A T A L O K A
Pengendalian Pembangunan Perumahan di Kawasan Perbukitan Kota Semarang Housing Development Control in the Hill Area of Semarang City
Sunarti1 dan Ratna Aurelia1 Diterima: 3 April 2012
Disetujui: 8 Mei 2012
Abstrak : Sekitar awal tahun 2000 terjadi fenomena peningkatan pembangunan perumahan di kawasan perbukitan Kota Semarang. Pembangunan yang dilaksanakan oleh pengembang sebagian kurang memperhatikan peraturan dan kebijakan tentang penentuan lokasi perumahan. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan alternatif bentuk pengendalian pembangunan perumahan di kawasan perbukitan di Kota Semarang. Hasil penelitian ini adalah pengendalian pembangunan perumahan berbentuk pre action control dan post action control. Pre action control berupa perijinan harus sesuai dengan RTRW didukung dengan adanya zoning regulation, pengembang harus berbadan usaha, luasan kapling minimal 1 hektar, diperkuat dengan hasil AMDAL. Untuk post action control bentuk pengendaliannya berupa surat peringatan pertama, peringatan kedua dan apabila tidak diindahkan maka langsung diberikan peringatan keempat yaitu tindakan penghentian pelaksanaan pekerjaan atau pembongkaran. Rekomendasi dalam penelitian ini masing-masing pihak dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dan disyahkan oleh daerah. Key Words : Pengendalian, Perumahan di Perbukitan, Pengembang Abstract: Around the beginning of 2000, there was the phenomenon of increased residential development in the hills of Semarang. Development undertaken by the developer, had less attention to rules and policies regarding the determination of residential location. This study aims to formulate an alternative form of residential development control in the hills of Semarang. The results of this study is pre-shaped housing development control action and action to control post. Pre control action in the form of licensing should be accordance with the spatial supported by the zoning regulations, developers have incorporated a business, an area of at least 1 hectare plot of land, reinforced by AMDAL. The post-action control of its control of the first warning letter, the second warning and if not heeded the warnings given immediate cessation of all four of the action execution of work or demolition. The recommendations in this study each party in carrying out his duties in accordance with rules established and approved by the region. Keywords: Control, Housing in the Hills, Developers
1
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof Soedharto, SH – Tembalang, Semarang
Korespondensi:
[email protected]
156
157
Pengendalian Pembangunan Perumahan
Pendahuluan Saat ini, terdapat tren baru dalam pembangunan perumahan perkotaan di Kota Semarang yang menawarkan konsep hunian di bagian atas dengan keunggulan utama yaitu bebas banjir dan pemandangan indah Kota Semarang bagian bawah di malam hari (Housing Estate, November 2008). Selain itu adanya pemusatan pelayanan dan aktivitas baik pemerintahan, perdagangan dan bisnis di pusat kota menjadikan timbulnya kepadatan sangat tinggi yang membuat masyarakat memilih untuk mencari perumahan yang lebih tenang dan lebih sejuk sebagai tempat untuk melepas lelah. Adanya kecenderungan untuk memiliki hunian di Kota Semarang bagian atas membuat para pengembang mulai melirik kawasan tersebut untuk dijadikan lokasi perumahan. Namun sayangnya, para pengembang seringkali mengabaikan rencana tata ruang kota serta kaidah dalam pemilihan lokasi perumahan sehingga terdapat ketidakseimbangan antara kapasitas lahan dengan penggunaan lahan diatasnya yang mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti bahaya longsor (Suaramerdeka.com, 8 Februari 2006). Para pengembang pun seperti mempunyai keleluasaan untuk melakukan pengeprasan bukit (Suaramerdeka.com, 24 Februari 2003). Akibatnya pada rentang waktu tertentu terdapat masalah dengan masyarakat sebagai konsumen yang terkena dampak. Dengan keadaan topografi Kota Semarang yang berbukit-bukit dan rentan terhadap gerakan tanah serta adanya patahan di beberapa titik maka Kota Semarang cukup rawan terkena bencana dan memerlukan perencanaan yang matang dalam penentuan lokasi pembangunan perumahan (Suaramerdeka.com, 2 November 2006). Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah membuat alternatif bentuk pengendalian pembangunan perumahan di kawasan perbukitan Kota Semarang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam membuat kebijakan tentang cara melakukan pengawasan dan pengendalian pembangunan perumahan di kawasan perbukitan Kota Semarang. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran model concurrent. Model ini dipilih oleh peneliti karena peneliti menggabungkan data kualitatif dan kuantitatif untuk melakukan analisis komprehensif dari masalah penelitian yang ada (Creswell, 2003:16). Metoda kuantitatif yang dipergunakan lebih bersifat deskriptif, melalui distribusi frekuensi dari kriteria dan variabel yang digunakan, sedangkan metoda kualitatif digunakan untuk dapat mengeksplorasi dan mensintesis berbagai informasi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terhadap DTKP dan Bappeda sebagai pihak pemerintah yang melaksanakan perencanaan dan pengendalian pembangunan, bagi pengembang sebagai pihak yang melaksanakan pembangunan dan masyarakat sebagai pihak yang menempati perumahan di kawasan perbukitan serta observasi lapangan. Data sekunder dikumpulkan dari statistik, REI dan studi yang sudah pernah dilakukan.
Pengendalian Pembangunan Perumahan Di Kawasan Perbukitan Pengertian Pengendalian Menurut peraturan pemerintah no.39 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pengendalian adalah serangkaian kegiatan manajemen yang dimaksudkan untuk menjamin agar suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Sedangkan pengawasan (pemantauan) adalah kegiatan mengawasi perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul dan atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin.
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
158
Sunarti dan Aurelia
Sistem Pengendalian Berikut ini Sistem pengendalian pemanfaatan ruang dengan dasar-dasar Pengendalian Pembangunan (Putra, 2009) :
1.
Regulatory system
Yaitu pemanfaatan ruang yang didasarkan pada kepastian hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Regulatory system ini sudah diterapkan di Indonesia, tetapi dalam penerapannya belum berjalan dengan baik. Karena mental birokrasi pemerintah yang masih rendah, yang masih rawan terhadap penyuapan, korupsi, kolusi dan nepotisme.
2.
Discretionary system
Pemanfaatan ruang yang proses pengambilan keputusannya didasarkan pada pertimbangan pejabat/lembaga perencanaan yang berwenang untuk menilai proposal pembangunan yang diajukan.
3. Zoning regulation/peraturan zonasi Pembagian lingkungan kota dalam zona-zona dan menetapkan pengendalian pemanfaatan ruang yang berbeda-beda (Barnett, 1982)
4. Development control/permit system
Mengatur kegiatan pembangunan yang meliputi pelaksanaan kegiatan pendirian bangunan, perekayasaan, pertambangan maupun kegiatan serupa lainnya dan atau mengadakan perubahan penggunaan pada bangunan atau lahan tertentu (Coon, James A., 2011). Memungkinkan tetap dilaksanakannya pembangunan sebelum terdapat dalam dokumen rencana. Beberapa jenis pengendalian yang bisa diterapkan sesuai dengan penyelenggaraan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, yaitu : Pengendalian yang bersifat pantangan atau pra pengendalian (pre action control) yaitu penekanan pada hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh aktor pembangunan berkenaan dengan ijin pemanfaatan ruang yang telah diterbitkan oleh pemerintah. Pengendalian yang bersifat pengarahan steering control atau feed forward control) yaitu instrument pengendalian pemanfaatan ruang yang ditetapkan untuk bisa mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dari standar atau kriteria teknis yang telah ditetapkan. Pengendalian bersifat persetujuan (yes-no control), yaitu pelaksanaan pemanfaatan ruang hanya dapat dilaksanakan bilamana telah memenuhi persyaratan spesifik dari suatu perijinan pembangunan yang telah diterbitkan. Pengendalian bersifat purna tindakan (post action control) yaitu pengendalian pemanfaatan ruang setelah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kewenangan Pemerintah dalam Pengendalian Pembangunan Pemerintah sebagai regulator dalam pembangunan tentunya memiliki landasan kewenangan terhadap pengendalian pembangunan. Berikut ini Landasan Kewenangan Pemerintah dalam Pengendalian Pembangunan : (1) Bundles of rights (hak atas lahan), yaitu kewenangan untuk mengatur hak atas lahan, hubungan hukum antara orang/badan dengan lahan, dan perbuatan hukum mengenai lahan. (2) Police power (pengaturan) yaitu kewenangan menerapkan peraturan hukum (pengaturan, pengawasan, dan pengendalian pembangunan di atas lahan maupun kegiatan manusia yang menghuninya) untuk menjamin kesehatan umum, keselamatan, moral, dan kesejahteraan. Seringkali dianggap sebagai „limitation of private property /individual rights‟. (3) Eminent domain (pencabutan hak atas lahan)
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
159
Pengendalian Pembangunan Perumahan
yaitu kewenangan tindakan mengambil alih atau mencabut hak atas lahan di dalam batas kewenangannya dengan kompensasi seperlunya dengan alasan untuk kepentingan umum. (4) Taxation yaitu kewenangan mengenakan beban atau pungutan yang dilandasi kewajiban hukum terhadap perorangan/kelompok atau pemilik lahan untuk tujuan kepentingan umum. (5) Spending power (Government Expenditure yaitu kewenangan membelanjakan dana publik untuk kepentingan umum (melalui APBN dan atau APBD). Pemerintah berkewajiban untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor-sektor industri, jasa, dan properti. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan akan ruang. Namun di lain pihak, pemerintah juga harus menjaga agar pertumbuhan pembangunan tidak “over” agar tidak terjadi hal yang buruk. Tentunya harus diupayakan jalan tengah yang terbaik agar pengendalian pembangunan dalam hal pemanfaatan ruang terus dilakukan oleh pemerintah.
Proses Pembangunan Perumahan oleh Pengembang Pengembang adalah individu atau pengusaha atau badan hukum yang bergerak dalam bidang usaha yang sangat spekulatif dalam hal pembangunan gedung untuk tujuan investasi. Konteks pekerjaan pengembang sangat dipengaruhi oleh segi ekonomi dari suatu proyek sehingga faktor-faktor ekonomi menjadi hal yang sangat penting bagi pelaksanaan dan keberhasilan proyek. Dalam hal penyediaan perumahan, pemerintah tidak dapat berperan sebagai penyedia tunggal karena pemerintah memiliki kemampuan yang terbatas terutama dalam hal pembiayaan. Pengembang memprakarsai proses pembangunan dengan menggunakan jasa konsultan untuk membantu menentukan kelayakan proyek, menyediakan dana dan mencari sember pembiayaan, menandatangani kontrak, mengurusi perijinan, mempunyai tanggung jawab akhir akan desain seluruh bangunan serta pemilihan konstruksi, bahkan tentang aturan kepemilikan, penyewaan dan pengelolaan fasilitas. Lihat gambar 1 berikut. Untuk memenuhi kebutuhan perumahan, terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan secara masak yaitu sistem permintaan (demand) dan penawaran (supply) perumahan. Dengan adanya sistem ini maka akan tercipta kegiatan jual beli produk perumahan. Pengembang sebagai supplier perumahan yang bekerja sama dengan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan perumahan ini memiliki motif yang berbeda. Bila pemerintah berusaha untuk memberikan kemudahan dan keterjangkauan harga untuk menghilangkan kekurangan hunian maka pengembang mempunyai pertimbangan yang sedikit berbeda karena tidak dipungkiri bahwa pengembang selalu mempertimbangkan keuntungan ekonomis.
Pemilihan tempat
Kelayakan
Pembiayaan
Pemasaran
Desain dan konstruksi
Pengelolaan dan kelangsungan hidup
Sumber : Catanese, 1992
Gambar 1. Proses Pembangunan Perumahan
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
160
Sunarti dan Aurelia
Karakteristik Perumahan di Kawasan Perbukitan Kota Semarang Pembangunan perumahan di Kota Semarang bagian atas mulai marak berlangsung pada tahun 2000 dan kemudian berlanjut sampai sekarang. Kota Semarang bagian atas ini meliputi Kecamatan Banyumanik, Ngaliyan, Tembalang, Gajahmungkur, Mijen, Semarang Selatan, Semarang Barat, Gunungpati dan Candisari dengan ketinggian serta tingkat kecuraman yang bervariasi. Fungsi Kota Semarang bagian atas selain sebagai daerah resapan fungsi lainnya adalah sebagai kawasan konservasi yang terletak pada titik-titik tertentu sehingga berbahaya jika dijadikan sebagai area terbangun. Menurut dokumen RP4D Kota Semarang, dan Perda No 14 tahun 2011 tentang RTRW terdapat tiga kategori rawan bencana yaitu gerakan tanah, patahan dan rawan longsor. Kawasan yang potensial terjadi gerakan tanah mayoritas berada di Kecamatan Gunungpati dan Banyumanik, kawasan yang potensial terjadi patahan berada di sepanjang Kecamatan Gunungpati, Banyumanik dan Mijen dan kawasan yang rawan longsor terutama lahan dengan kelerengan > 40% berada di Kecamatan Gajahmungkur, Candisari, Tembalang, Banyumanik, Gunungpati, Mijen dan Ngaliyan. Keseluruhan kecamatan yang menjadi kawasan rawan bencana tersebut merupakan kecamatan yang termasuk dalam di kawasan perbukitan Kota Semarang. Untuk lebih jelasnya lokasi rawan bencana dapat dilihat pada peta berikut
Gambar 2.Permukiman yang Berlokasi di Daerah Rawan Bencana
Faktor-Faktor Pemilihan Lokasi Perumahan di Kota Semarang Bagian Atas Dalam menentukan lokasi perumahan, pemerintah menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh masyarakat maupun pengembang. Aturan ini tertuang secara umum di dalam UU Penataan Ruang dan secara khusus terdapat di Perda No 14 Tahun
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
161
Pengendalian Pembangunan Perumahan
2011 tentang RTRW. Faktor-faktor pemilihan lokasi perumahan yang mempengaruhi pengembang dalam memilih lokasi perumahan adalah : Ketersediaan Lahan Kota Semarang bagian atas memiliki persentase luasan yang lebih besar daripada dataran rendah yaitu sebesar 66%. Oleh karena itu, pembangunan perumahan kemudian terkonsentrasi di barat dan selatan Kota Semarang yang notabene merupakan Kota Semarang bagian atas. Pemandangan / View Dalam membangun perumahan, pengembang selalu mempertimbangkan aspek estetika yang menjadi salah satu pertimbangan bagi konsumen dalam memilih perumahan. Aspek estetika antara lain penghijauan, keberadaan taman dan pemandangan. Dari ketiga hal tersebut, pemandangan rupanya menjadi poin penting dari kebanyakan pengembang perumahan di Kota Semarang bagian atas untuk dijadikan sebagai daya tarik. Keinginan Konsumen Dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan, pengembang selalu memperhatikan keinginan konsumen untuk kemudian diterapkan pada perumahan yang akan dibangun. Sebelum mulai membangun, pengembang melakukan survei kepada masyarakat untuk mengetahui apa saja yang menjadi kebutuhan konsumen, tren apa yang sedang berkembang dan prospek perumahan yang akan mereka bangun. Bebas Banjir dan Rob Menurut rencana tata ruang, dalam menentukan lokasi perumahan baik pengembang maupun perseorangan harus memperhatikan apakah lokasi yang akan dijadikan perumahan tersebut sudah bebas banjir, tanah longsor, pencemaran dan gangguan lainnya. Kota Semarang bagian atas tidak seluruhnya bebas banjir karena terdapat beberapa lokasi yang rawan tanah longsor dan gerakan tanah terutama di lahan yang memiliki kecuraman lebih dari 40%. Kesesuaian Dengan Rencana Tata Ruang Rencana tata ruang yang disusun oleh pemerintah digunakan untuk memberikan pedoman bagi masyarakat maupun pengembang yang ingin membangun perumahan agar kedepannya tidak terjadi bencana pada perumahan tersebut. Pada saat pengembang memutuskan untuk memilih suatu lokasi perumahan, mereka diharuskan untuk mengetahui apakah lokasi perumahan yang mereka pilih sudah sesuai dengan peruntukannya.Pemerintah mempunyai tugas dan wewenang untuk mengawasi dan mengendalikan para pengembang supaya perumahan yang dibangun tidak melenceng dari aturan yang berlaku. Dekat dengan Pusat Kota Perumahan di Kota Semarang bagian atas ini memiliki jarak dengan pusat kota antara 5 – 10 km. Menurut rencana tata ruang kota, kecamatan yang termasuk sub urban adalah kecamatan Genuk, Pedurungan, Tembalang, Banyumanik, Gunung Pati, Mijen, Ngaliyan dan Tugu. Sedangkan Kecamatan Semarang Utara, Semarang Timur, Semarang Barat, Semarang Selatan, Candisari, Semarang Tengah, Gajahmungkur dan Gayamsari termasuk daerah urban. Ini berarti sebagian dari perumahan di Kota Semarang bagian atas tersebut termasuk di daerah urban yang dekat dengan pusat kota. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pengembang memilih lokasi perumahan yang kelengkapan sarana prasarananya mencukupi sehingga mereka tidak terbebani dengan kewajiban membuat sarana dan prasarana baru seperti listrik, air PAM, telepon, jalan dan lainnya seperti di Semarang bawah yang sarana dan prasarananya terpenuhi. Biaya Pembangunan Biaya pembangunan terdiri atas biaya pembebasan lahan, biaya konstruksi, biaya bahan bangunan dan biaya tenaga kerja. Biaya pembebasan lahan adalah biaya yang harus
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
162
Sunarti dan Aurelia
dikeluarkan oleh pengembang untuk membeli tanah kepada pemilik tanah dan balik nama menjadi milik pengembang. Biaya konstruksi merupakan biaya pemasangan konstruksi terutama pada lahan yang membutuhkan teknik penanganan khusus karena memiliki kontur yang mengharuskan setiap unit rumah dipasang penahan/talud agar tidak bergerak. Tinggi rendahnya harga lahan berpengaruh pada biaya pembangunan dan harga jual per unit rumah pada perumahan tersebut. Motivasi untuk memperoleh Keuntungan Tidak dapat dipungkiri lagi profit yang didapat oleh pengembang merupakan salah satu aspek yang cukup serius diperhitungkan oleh pengembang karena mereka merupakan badan swasta yang memerlukan profit untuk membiayai dalam proses pembangunan. Keuntungan yang didapat tidak hanya bersifat materi saja tetapi terdapat keuntungan lain seperti nama baik dan kepercayaan dari masyarakat dan pemerintah terhadap pengembang.
Identifikasi Kerusakan Bangunan di lokasi Rawan Bencana Perumahan yang terletak di kawasan perbukitan tidak semuanya berada di lokasi yang rawan bencana. Pembangunan perumahan yang dibangun oleh pengembang di kawasan perbukitan ada beberapa pengembang yang membangun di kelerengan lebih dari 25 – 40 %. Perumahan yang berlokasi di perbukitan yang memiliki kelerengan > 40 % merupakan kawasan dengan fungsi resapan. Selain itu perumahan di kawasan perbukitan ada yang termasuk di kawasan rawan bencana longsor, gerakan tanah/patahan hal ini sangat membahayakan bagi penghuninya. Responden yang disurvei adalah perumahan yang termasuk di kawasan rawan bencana dan masih dihuni oleh penghuninya. Salah satu sampel perumahan yang mengalami longsor cukup parah adalah Bumi Manyaran Permai (BMP). Perumahan ini didirikan pada tahun 80-an dengan memiliki luas kawasan sebesar 83,691 m² (http: //semarang.go.id) Kondisi tanah pada Bumi Manyaran Permai memiliki jenis tanah lempung dengan warna kehitam-hitaman dan dibawah tanah lempung tersebut terdapat tanah lumpur. Dengan kondisi tanah tersebut menjadikan daerah perumahan BMP termasuk dalam daerah yang rawan bencana berupa patahan juga gerakan tanah. Selain kondisi tanah yang labil, tanah longsor juga disebabkan tidak ada saluran pembuangan air yang permanen di perumahan dan gerusan di aliran Sungai Kreo yang berlebihan. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan Bapak RT 07, kriteria masyarakat memilih lokasi BMP karena harga unit rumah yang lebih murah dibandingkan dengan perumahan yang lain ditambah akses dekat dengan jalur utama dan juga oleh faktor kenyamanan karena lokasi BMP berhawa sejuk dibandingkan pada perumahan lain khususnya bila dibandingkan dengan daerah Kota Semarang bagian bawah. Pada dasarnya masyarakat telah menyadari bahwa lokasi perumahan yang akan dipilih yaitu BMP terletak pada kondisi lereng curam yang berpotensi terjadi gerakan tanah. Prasarana jalan lokal mengalami keretakan dan menjadi miring, sedangkan pada daerah tepi jurang jalan roboh ke bawah sehingga jalan menjadi hilang. Sedangkan untuk jaringan listrik, telepon dan jaringan PDAM menjadi terputus pada blok yang berada di dekat tebing (RT 07). Untuk rumah kerusakan terjadi pada tembok dinding, lantai rumah yang mengalami retak serta rumah menjadi miring, bahkan terdapat beberapa rumah ada yang hilang karena terbawa gerakan tanah dan roboh karena pondasi dari rumah tersebut tidak sanggup lagi menahan beban rumahnya akibat pergerakan tanah. Jumlah rumah yang masih dihuni yang mengalami kerusakan akibat terkena dampak pergerakan tanah berjumlah 19 unit rumah dan rumah yang tidak berpenghuni karena bangunan rumahnya sebagian telah roboh berjumlah 18 unit.
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
163
Pengendalian Pembangunan Perumahan
Analisis Upaya Masyarakat di Daerah Rawan Bencana Hingga sejauh ini bentuk upaya perbaikan serta pengendalian perumahan yang berasal dari pemerintah Kota terdapat 2 (dua) bantuan dana yang telah diberikan terhadap adanya bencana pergerakan tanah pada lokasi Perumahan Bumi Manyaran Permai. Dana bantuan pertama diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang pada tahun 2009, digunakan untuk membangun tanggul penahan arus sungai yang berada di bawah Bukit Manyaran Permai. Pembuatan tanggul tersebut bertujuan untuk mengurangi hantaman arus air pada sungai Kreo yang cukup deras, sehingga tanah yang berada disampingnya tidak ikut tergerus karena terkenanya arus tersebut. Namun tanggul yang dibuat tidak sepanjang bantaran sungai di BMP, melainkan hanya seperempat pembuatan tanggul, hal ini disebabkan dana terbatas. Bantuan kedua berasal dari dana provinsi, dimana bantuan ini digunakan untuk mengadakan grouting (penutupan pori-pori tanah dengan semen). Grouting ini bertujuan agar tanah yang memiliki pori-pori terisi dengan semen, agar air tidak merembes ke tanah yang nantinya dapat menyebabkan tanah menjadi seperti lumpur sehingga terjadi pergerakan tanah. Pada perencanaannya grouting yang dilakukan terdiri dari 3 tahap, tahap pertama dekat tebing/jurang, tahap kedua blok yang berada diatas dekat tebing dan groating tahap terakhir pada atasnya blok sebelumnya yang telah di grouting. Namun hingga saat ini grouting yang telah berjalan baru sampai tahap pertama, karena keterbatasan biaya untuk pendanaan pelaksanaan grouting berikutnya. Selain itu terdapat bantuan dana kontingensi yang di terima oleh masyarakat BMP, dimana telah 4 kali BMP mendapat dana kontingengsi. Dana ini digunakan oleh masyarakat hanya untuk memperbaiki saluran drainase karena saluran yang ada mengalami kerusakan berupa retak dan pecah. Dana kontingensi yang diberikan oleh pemerintah ini tidak cukup sehingga hasil sawadaya masyarakat sebesar Rp. 13.000.000 untuk menutupi kekurangan biaya pembangunan. Dana kontingensi yang diberikan pemerintah hanya berkisar 3 hingga 4 juta rupiah. Beberapa tindakan yang dilakukan masyarakat untuk meminimalisir pergeseran tanah, upaya/ tindakan tersebut di kawasan perumahan BMP antara lain: Penanaman pohon di sekitar tebing, dilakukan masyarakat sejak tahun 2000. Penanaman pohon merupakan hasil dari rembug RT/RW setempat. Namun dalam perkembangannya masyarakat enggan untuk menanam pohon secara swadaya lagi, karena pohon yang ditanam ditebangi oleh masyarakat luar BMP untuk dijadikan kayu bakar. Penutupan bahu jalan dengan plester. Tujuan pemlesteran ini agar air dari rumah tangga atau air hujan tidak langsung masuk meresap ke tanah. Hal tersebut dikarenakan kondisi tanah di BMP ini memiliki pori-pori yang cukup banyak sehingga bila air masuk maka tanah akan menjadi lumpur. Koneksi saluran limbah rumah tangga dengan pralon. Pada blok perumahan yang terletak pada bagian dekat tebing/jurang lebih tepatnya di RT 07, blok perumahan tersebut khusus membuat saluran pembuangan air rumah tangga yang terkoneksi antara 1 sama lain setiap rumah dengan menggunakan pralon. Koneksi saluran yang dibuat memiliki maksud untuk mengurangi aliran air yang masuk ke tanah melainkan diarahkan menjadi satu pada suatu pipa yang membuang ke saluran drainase.
Analisis Upaya Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Pembangunan Perumahan di Kawasan Perbukitan Upaya pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam penelitian ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bappeda dan DTKP Kota Semarang. Bappeda berperan sebagai perencana dan DTKP yang banyak terkait dengan bidang pengendalian yang meliputi penertiban dan pengawasan. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
164
Sunarti dan Aurelia
Bappeda, perencanaan perumahan dan kawasan permukiman mengacu RTRW yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam konsep tata ruang, perencanaan perumahan dan kawasan permukiman dibagi menjadi 3 tipologi yaitu tipologi kepadatan tinggi, kepadatan sedang dan kepadatan rendah. Perencanaan di kawasan perbukitan termasuk untuk daerah yang kepadatan sedang dan rendah. Kepadatan rendah yaitu di Kecamatan Gunung Pati Mijen dan Ngaliyan. Untuk kepadatan sedang di Kecamatan Banyumanik dan Tembalang, dengan ketentuan tersebut maka KDB ditentukan maksimal 60 %. Untuk BWK di Mijen, Ngaliyan dan Gunungpati kapling minimal 120 m2, dengan harapan kapling yang ada tidak habis dibangun untuk bangunan, namun masih ada ruang terbukanya. Pengendalian bangunan yang lebih banyak berperan adalah DTKP. Berdasarkan hasil wawancara dengan DTKP bahwa pelaksanaan pembangunan perumahan tidak dibedakan antara bangunan di kawasan perbukitan atau di Semarang bawah. Pembangunan perumahan harus memenuhi beberapa persayaratan dalam pengajuan perijinan. Salah satu syarat perijinan yang harus dipenuhi pengembang yang diperbolehkan membangun perumahan adalah pengembang harus berbadan usaha, kawasan perumahan yang akan dibangun luas lahannya lebih dari 1 hektar. Banyak pengembang yang membangun dengan luas kurang dari 1 hektar dengan jumlah rumah yang hanya sedikit dan tidak dilengkapi dengan fasilitas dan prasarana yang memadahi. Hal ini akan menjadi beban bagi pemerintah daerah dalam penyediaan sarana dan prasarananya. Lahan di kawasan perbukitan memiliki kontur yang berbeda-beda dan terdapat kawasan yang merupakan kawasan yang termasuk galian C yang digunakan untuk lokasi kawasan perumahan. Hal ini membutuhkan perencanaan yang berbeda, padahal banyak pengembang yang membangun di kawasan tersebut tanpa adanya perencanaan khusus. Padahal perencanaan di kawasan galian C belum termasuk dalam RTRW, sehingga kawasan tersebut masih bebas untuk digunakan. Hal ini sangat merugikan bagi pemerintah daerah dan merupakan keuntungan besar bagi pihak-pihak penguasa ilegal. Kawasan galian C merupakan kawasan penambangan yang perlu dikelola oleh ESDM, namun harus ada koordinasi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait agar perencanaan juga terakomodasi dalam RTRW. Untuk lahan yang kemiringannya > 40 % merupakan daerah konservasi/hijau atau daerah penyangga, sehingga tidak boleh didirikan untuk bangunan. Selain itu apabila kawasan tersebut merupakan kawasan run of maka harus dibuatkan embung untuk menampung air atau sebagai daerah resapan. Mekanisme pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Semarang salah satunya melalui perijinan, serta pemberian insentif dan disinsentif. Proses pembangunan yang diajukan oleh pengembang di kawasan perbukitan terutama untuk daerah-daerah yang rawan bencana, sebelum perijinan diberikan pemerintah meminta kajian-kajian tentang lingkungan, tes tanah bahkan kalau memungkinkan ada pengetesan struktur tanah dan kajian tentang AMDAL. Kawasan kuning (perumahan dan permukiman) dalam RTRW tidak terinci secara rinci jenis bangunan yang akan dibangun diatasnya, jadi pengembang masih bisa leluasa untuk menentukan jenis bangunannya. Pedoman perencanaan (RTRW) ini didukung dengan adanya RP4D (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah)/RP3KP. Untuk lebih detail lagi perlu adanya zoning regulation yang berupa regulasi atau aturan yang dilengkapi dengan peta lokasi rinci setiap blok dalam suatu kawasan. Dengan adanya pedoman perencanaan dan aturan yang jelas dan sudah diperdakan dapat mengurangi bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pengembang, karena didalam aturan tersebut didalamnya ada sanksi yang harus ditegakkan. Beberapa hal yang pernah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam memberikan sanksi kepada pengembang yang sudah pernah dilakukan adalah tidak memberi ijin pembangunan perumahan, selain itu memberikan peringatan, bentuk peringatan yang sangat berat adalah penghentian pekerjaan atau pembongkaran. Sebelum pembongkaran
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
165
Pengendalian Pembangunan Perumahan
sudah ada surat peringatan, mulai dari Surat Peringatan (SP) 1, SP 2 dan SP 4 yang merupakan surat perintah penghentian pekerjaan. Apabila pengembang masih melakukan pembangunan dilokasi yang dilarang maka dapat direkomendasikan disegel atau dibongkar. Pengembang yang pernah melakukan pelanggaran adalah perumahan Candi Golf, Perumahan Bukit Sari walaupun skala sanksi yang diberikan belum terlalu besar. Kawasan perumahan yang mengalami longsor adalah Perumahan Ayodya di Gombel, dan Ngesrep Barat, Bukit Regency. Kecamatan Gunungpati pada sub analisis di atas yaitu Perumahan Bumi Manyaran Permai (BMP) juga mengalami longsor baik rumah, jaringan jalan dan pipa jaringan air bersih yang ambrol. Kawasan perumahan di kawasan perbukitan yang banyak mengalami longsor adalah perumahan yang dibangun oleh masyarakat secara swadaya. Hal ini disebabkan karena tidak tertibnya masyarakat dalam membangun dan tidak mengajukan perijinan, sehingga pemerintah sulit untuk mengawasi dan menertibkan pembangunanya. Untuk perumahan yang dibangun pengembang tidak terlalu banyak, namun harus adanya pengendalian agar tidak bertambah banyak yang membangun dikawasan yang tidak layak untuk suatu hunian. Bentuk insentif dan disinsentif yang diberikan kepada pengembang di Kota Semarang belum ada aturan yang jelas, namun pemerintah daerah Kota Semarang sudah melakukan hal ini kepada pengembang. Jenis insentif yang diberikan adalah memberikan keringanan retribusi. Sedangkan bentuk disinsentif yaitu kompensasi dengan memberikan ruang publik untuk fasilitas pelayanan umum di masyarakat. Bentuk disinsentif lainnya dapat berupa halhal yang bisa meningkatkan kualitas ruang yang ada di lingkungan perumahan tersebut untuk meningkatkan kepentingan publik, seperti pembuatan resapan air. Pembuatan resapan air atau embung harus proporsional apalagi pada waktu sebelum dibangun untuk kawasan perumahan di daerah tersebut merupakan daerah tangkapan air. Jadi disinsentif ini dapat berupa pelayanan publik untuk masyarakat ataupun hal lain untuk kepentingan pemerintah daerah.
Analisis Pengendalian Pembangunan Perumahan di Kawasan Perbukitan Pembangunan perumahan yang diselenggarakan oleh pengembang di kawasan perbukitan Kota Semarang semakin menjamur, hal ini disebabkan pengembang mengikuti keinginan pasar. Konsumen sebagian besar menginginkan huniannya nyaman, bebas banjir, tidak macet dan sarana prasarananya lengkap. Kawasan perbukitan di Kota Semarang bagian atas dari kriteria lokasi perumahan yang diinginkan sebagian besar konsumen tersebut hampir terpenuhi. Pengembang menarik konsumen untuk membeli rumah yang dibangun dengan iming-iming fasilitas dan bonus yang diberikan. Setiap bangunan rumah yang ditawarkan oleh pengembang ke konsumen habis terjual, karena dipacu dengan kondisi ekonomi yang semakin stabil. Hal ini menyebabkan pengembang berlomba mencari lokasi perumahan di kawasan perbukitan untuk dijadikan kawasan hunian. Pembangunan perumahan di kawasan perbukitan akhirnya tidak terkendali menempati lahan kosong atau tegalan-tegalan dengan kontur yang terjal di kawasan perbukitan tanpa memperhitungkan resiko yang akan terjadi. Kawasan perbukitan yang direncanakan untuk kepadatan sedang dan rendah dalam implementasi pembangunannya ada beberapa pengembang yang membangun tanpa memperhitungkan hal tersebut. Beberapa kawasan perumahan yang dibangun developer di lokasi rawan longsor dan gerakan tanah menyebabkan penghuni mengalami kerugian yang besar. Upaya pencegahan dan penanggulangan mereka lakukan dengan pembuatan tanggul, penanaman pohon dan dengan grouting, dengan biaya secara swadaya dan sebagian ada yang bantuan dari pemerintah. Pengembang banyak yang tidak memperhatikan setelah bangunan diserahkan ke penghuni dan ditempatinya dengan jangka waktu yang cukup
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
166
Sunarti dan Aurelia
lama. Penghuni berusaha memperbaiki sendiri dan bahkan tidak sedikit yang akhirnya meninggalkan bangunan tersebut. Untuk mengurangi resiko yang terjadi maka dalam pembangunan perumahan oleh developer, pemerintah harus tegas dan teliti pada waktu pengembang mengajukan ijin dalam pembangunan perumahan harus disesuaikan dengan rencana tata ruang yang sudah diperdakan. Pembangunan perumahan di kawasan perbukitan yang mempunyai resiko terhadap lokasi-lokasi rawan bencana dan gerakan tanah harus dikendalikan, karena untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keamanan bagi penghuni yang menempatinya. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengawasan dan penertiban terhadap implementasi rencana sebagai tindak lanjut dari penyusunan rencana atau adanya produk rencana, agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Berdasarkan dari analisis di atas bahwa pembangunan perumahan yang diselenggarakan oleh developer di Kota Semarang sebagian besar sudah sesuai dengan tata ruang, namun ada beberapa pengembang yang melanggar aturan yang telah diperdakan. Pembangunan perumahan di kawasan perbukitan ditetapkan sebagai kawasan untuk kepadatan sedang dan rendah. Kawasan perbukitan sebagian ada yang termasuk daerah rawan longsor dan gerakan tanah, yaitu wilayah yang kondisi permukaan tanahnya mudah longsor karena terdapat zona yang bergerak akibat adanya patahan atau pergeseran batuan induk pembentuk tanah. Kondisi ini apabila pengembang membangun di kawasan tersebut harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku agar tidak terjadi bahaya yang membahayakan bagi penghuninya. Dalam sistem pengendalian pemanfaatan ruang hendaknya ditegaskan tentang halhal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh aktor pembangunan berkenan dengan jenis usaha dan atau kegiatan yang ingin dibangun, serta penekanan pada upaya pencegahan terjadinya penyimpangan dan bukan pada kegiatan ambil tindakan pada penyimpangan yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut maka beberapa jenis pengendalian yang bisa diterapkan sesuai dengan penyelenggaraan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, yaitu : Pengendalian yang bersifat pantangan atau pra pengendalian (pre action control) yaitu penekanan pada hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh aktor pembangunan berkenaan dengan ijin pemanfaatan ruang yang telah diterbitkan oleh pemerintah. Pengendalian yang bersifat pengarahan steering control atau feed forward control) yaitu instrument pengendalian pemanfaatan ruang yang ditetapkan untuk bisa mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dari standar atau kriteria teknis yang telah ditetapkan. Pengendalian bersifat persetujuan (yes-no control), yaitu pelaksanaan pemanfaatan ruang hanya dapat dilaksanakan bilamana telah memenuhi persyaratan spesifik dari suatu perijinan pembangunan yang telah diterbitkan. Pengendalian bersifat purna tindakan (post action control) yaitu pengendalian pemanfaatan ruang setelah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Contoh tindakan penertiban atau pengenaan denda dan sanksi sesuai dengan tingkat penyimpangan yang terjadi. Berkaitan dengan hal ini dikenal juga adanya pengendalian atas penyimpangan atau management by exception, yaitu hanya penyimpangan yang cukup besar dan telah terbukti yang perlu dikoreksi atau ditindak, sementara penyimpangan kecil yang tidak menimbulkan dampak penting tidak perlu dilakukan tindakan koreksi. Pengendalian pembangunan perumahan di kawasan perbukitan Kota Semarang, apabila dikaitkan dengan jenis-jenis pengendalian tersebut diatas, maka dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis pengendalian yaitu pengendalian yang bersifat pantangan atau pra pengendalian (pre action control) dan pengendalian yang bersifat purna
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
167
Pengendalian Pembangunan Perumahan
tindakan (post action control). Adapun persyaratan atau usaha pemerintah dalam pengendalian perumahan di kawasan perbukitan Kota Semarang khususnya yang dilakukan oleh pengembang adalah sebagai berikut : Pengendalian yang bersifat pantangan atau pra pengendalian (pre action control) yaitu dengan cara : Rencana pembangunan perumahan yang akan dilakukan oleh penyelenggara pembangunan dapat disetujui apabila sesuai dengan rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan (Perda Kota Semarang No. 14 tahun 2011 yaitu tentang RTRW Kota Semarang 2011-2031). Pengembang yang mengajukan ijin pembangunan harus merupakan badan usaha yang memiliki dasar hukum. Luas area untuk kawasan perumahan yang dibangun minimal 1 hektar karena harus dilengkapi sarana dan prasarana Kawasan perbukitan yang memilki run off yang tinggi maka harus dibangun embung atau resapan air sehingga tidak menimbulkan dampak bagi kawasan sekitarnya atau kawasan yang berada di lokasi yang lebih rendah. Dalam Perda No 14 Tahun 2011 sudah ditetapkan bahwa : rencana embung pada Sub Sistem Drainase Sungai Babon meliputi Embung Bulusan di Kelurahan Bulusan, Embung Undip di Kelurahan Tembalang, Embung Gedawang di Kelurahan Gedawang dan Embung Rowosari di Kelurahan Rowosari. Untuk kawasan rawan bencana dalam perijinan dilengkapi dengan hasil AMDAL dan dapat dilengkapi dengan kajian tentang lingkungan, tes tanah dan pengetesan struktur tanah.
Pengendalian bersifat purna tindakan (post action control) Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah setelah pembangunan kawasan perumahan tersebut dilakukan, maka tindakan yang dilakukan adalah dengan penertiban terlebih dahulu pemeriksaan dan penyidikan apabila melanggar maka diberi surat peringatan. Surat peringatan pertama sifatnya masih ringan, kemudian ada surat peringatan kedua dan peringatan keempat yang merupakan pelanggaran yang terberat. Surat peringatan keempat ini merupakan tindakan penghentian pekerjaan atau dilakukan pembongkaran bangunan. Berdasarkan dari hasil analisis bentuk pengendalian pembangunan perumahan di kawasan perbukitan Kota Semarang dapat dilihat pada gambar 3. Dalam pengendalian kegiatan yang dilakukan terdiri dari pengawasan dan penertiban. Adapun faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam kegiatan pengawasan pembangunan perumahan di kawasan perbukitan adalah sebagai berikut : (1) Penetapan larangan untuk berbagai usaha dan atau kegiatan, kecuali berbagai usaha dan atau kegiatan penunjang kawasan lindung yang tidak mengganggu fungsi alam dan tidak mengubah tentang alam serta ekosistem alam (2) Pengaturan berbagai usaha dan atau kegiatan yang tetap dapat mempertahankan fungsi lindung (3) Pencegahan berbagai usaha dan atau kegiatan yang mengganggu fungsi lindung (4) Pengawasan kegiatan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan bencana alam agar pelaksanaan kegiatannya tetap mempertahankan fungsi lindung kawasan. Sedangkan kegiatan penertiban yang dilakukan untuk pembangunan perumahan khususnya di kawasan perbukitan agar mendukung kesesuaian dengan rencana tata ruang adalah : (1) Penerapan ketentuan yang berlaku tentang AMDAL bagi berbagai usaha dan atau kegiatan yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup. (2) Penerapan ketentuan-ketentuan untuk mengembalikan fungsi kawasan lindung yang telah terganggu kepada fungsi lindung secara bertahap dan kontinyu. (3) Penegakan peraturan yang mewajibkan dilaksanakannya kegiatan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
168
Sunarti dan Aurelia
rehabilitasi daerah bekas penambangan pada kawasan lindung yang dijadikan lokasi kegiatan penambangan bahan galian. Pengendalian pembangunan dapat terlaksana apabila suatu daerah memiliki kriteria pelaksanaan pengendalian pembangunan. Kehandalan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang bagi suatu kawasan dapat diperhatikan dari kriteria-kriteria sebagai berikut : Telah tersedia sistem pengendalian pemanfaatan ruang yang dapat meninformasikan secara akurat pelaksanaan pemanfaatan ruang di lapangan Telah ditempuh mekanisme perijinan yang sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku serta ketentuan dan persyaratan perijinan lainya Telah dilakukan pemantauan dan evaluasi secara kontinyu terhadap pelaksnaaan program-program pembangunan yang telah direncanakan dalam dokumen rencana tata ruang Telah dilakukan koreksi dan tindakan perbaikan terhadap penyimpangan pemanfaatan ruang di lapangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku Telah diterapkan instrumen berupa insentif dan disinsentif terhadap suatu arahan kegiatan agar senantiasa sesuai dengan rencana tata ruang Telah diterapkan sanksi denda terhadap aktor pembangunan yang melanggar pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pembangunan di kawasan perbukitan yang berada di lokasi rawan bencana harus dikendalikan dalam bentuk pre action control, sehingga tidak membahayakan lingkungan dan masyarakat sebagai pihak konsumen yang akan menempati rumah sebagai huniannya. Pengendalian pembangunan perumahan dapat dilakukan dengan adanya kerjasama antara masyarakat, pengembang dan developer. Masyarakat dapat bertindak sebagai pengawas di lapangan terhadap kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh developer dan pemerintah berperan sebagai pihak yang mempunyai wewenang untuk mengendalikan kegiatan pembangunan yang berlokasi di kawasan rawan bencana. Sebagai dasar dalam memutuskan perijinan adalah kesesuaian dengan rencana tata ruang (RTRW) yang telah diperdakan. Sedangkan persyaratan lain dapat diatur dalam ketentuan-ketentuan khusus masing-masing daerah, hal ini dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai kepentingan dalam pemberian ijin pembangunan. Rencana yang lebih rinci dapat disusun dalam RDTRK yang dibuat aturannya dalam bentuk zoning regulation. Apabila zoning regulation sudah disusun, maka sebagai dasar perijinan selain dari RTRW didukung lebih kuat dengan zoning regulation. Dalam zoning regulation ini sudah ada aturan mengenai ketentuan-ketentuan teknis pengaturan zona.
Kesimpulan Pengendalian pembangunan perumahan di kawasan perbukitan Kota Semarang berdasarkan dari hasil analisis diklasifikasikan menjadi dua yaitu pengendalian yang sifatnya masih dalam tahap pengajuan perijinan atau pre action control dan pengendalian yang sifatnya sudah terjadi atau post action control. Pengendalian pre action control, yaitu pengendalian berkenaan dengan ijin pemanfaatan ruang yang telah diterbitkan oleh pemerintah. Pengembang pada saat mengajukan perijinan lokasi harus sesuai dengan rencana tata ruang. Persayaratan lainnya adalah pengembang harus berbadan usaha, luasan kawasan perumahan minimal 1 hektar, menyediakan embung bagi pengembang yang berlokasi di kawasan resapan air dan diperkuat dengan AMDAL. JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
169
Pengendalian Pembangunan Perumahan
Pengendalian yang sifatnya post action control atau pengendalian yang sifatnya purna kegiatan pembangunan, apabila pengembang melakukan pelanggaran maka penertiban yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Apabila pelanggaran yang sifatnya ringan hanya berupa surat peringatan saja, mulai dari peringatan pertama, kedua atau yang terberat adalah surat peringatan keempat yang merupakan penghentian pelaksanaan pekerjaan atau pembongkaran. Usaha masyarakat yang sudah menempati lokasi perumahan yang rawan bencana longsor adalah dengan pembangunan tanggul dan talud serta penanaman pohon sebagai penahan longsor dilokasi yang rawan longsor. Sedangkan masyarakat yang tinggal di lokasi rawan gerakan tanah adalah menutup pori-pori tanah yang lebar dengan dimasuki semen dikenal dengan istilah grouting, selain itu untuk prasarana jalan terutama bagian bahu jalan banyak yang diplester dan usaha lainnya adalah membuat koneksi saluran limbah antar tetangga dengan pralon yang kemudian disalurkan ke tempat pembuangan yang terpusat. Hal ini dilakukan karena untuk mengurangi air yang masuk ke dalam tanah, jika air masuk ke dalam tanah maka akan menjadi lumpur sehingga tanah dapat bergeser yang menyebabkan keretakan bangunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembang membangun perumahan di kawasan perbukitan di Kota Semarang adalah ketersediaan lahan di kawasan perbukitan yang cukup luas dibandingkan di daerah Semarang bawah, view dari daerah perbukitan sangat menarik, keinginan pasar dari konsumen, bebas banjir dan rob, kesesuaian dengan rencana tata ruang untuk fungsi hunian, dekat dengan pusat kota, ketersediaan sarana dan prasarana, biaya pembangunan yang tidak terlalu besar, motivasi untuk memperoleh keuntungan.
PRE ACTION CONTROL
PENGENDALIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN KAWASAN PERBUKITAN
SYARAT PERIJINAN : - Sesuai dengan RTRW - Pengembang berbadan usaha/hukum - Luas areal perumahan minimal 1 Hektar - Pembangunan Embung - Kajian AMDAL
Tidak Terpenuhi
BATAL
Terpenuhi
DIIJINKAN
DI
POST ACTION CONTROL
PENERTIBAN : - PEMERIKSAAN - PENYIDIKAN
SURAT PERINGATAN : - Surat Peringatan (SP) I - Surat Peringatan (SP) III - SP IV : Penghentian atau pembongkaran pekerjaan.
Sumber: Analisis, 2011
Gambar 3. Bentuk Pengendalian Pembangunan Perumahandi Kawasan Perbukitan Kota Semarang
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012
170
Sunarti dan Aurelia
Kehandalan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang suatu kawasan dapat dilakukan jika daerah memiliki sistem pengendalian pemanfaatan ruang yang dapat menginformasikan secara akurat pelaksanaan pemanfaatan ruang di lapangan, memiliki mekanisme perijinan yang sesuai dengan rencana tata ruang dan persyaratan perijinan lainya, melaksanakan pemantauan dan evaluasi secara kontinyu terhadap pelaksanaan program, melaksanakan koreksi dan tindakan perbaikan terhadap penyimpangan pemanfaatan ruang di lapangan, menerapkan instrumen berupa insentif dan disinsentif, serta dapat tegas menerapkan sanksi terhadap aktor pembangunan yang melanggar.
Daftar Pustaka Anonim. 2008. Semarang, Kebanyakan Rumah di Perbukitan. Available at: www.housing-estate.com. Diakses pada Tanggal 13 Maret 2009 Anonim. 2003. Daerah Rentan Gerakan Tanah Jadi Perumahan. Available at: www.suaramerdeka.com. Diakses pada Tanggal 29 Maret 2009 Anonim. 2006. Wilayah Sekaran Masuk Zona Merah Perumahan. Available at: www.suaramerdeka.com. Diakses pada Tanggal 26 Maret 2009 Anonim. 2006. Pemkot Diminta Kendalikan Perumahan di Daerah Rawan Longsor. Available at: www.suaramerdeka.com. Diakses pada Tanggal 29 Maret 2009 Barnett, Jonathan (1982). An Introduction to Urban Design. New York: Harper & Row. Catanese, Anthony J. dan James C. Snyder. 1992. Perencanaan Kota. Jakarta: Penerbit Erlangga Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Sage Publication Inc, California. Coon, James A. Local Government Technical Series.2011. Guide to Planning and Zoning Laws of New York State.Publication Date: June 2011.New York State Department Of State 99 Washington Ave Albany, New York 12231-0001http://www.dos.ny.gov http://semarang.go.id/simpeda05/Simperek/Pemukiman/Komplek%20Perumahan/Komplek%20Perumahan 1.htm Peraturan Pemerintah No.39 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Putra, 2009. Pengendalian Pembangunan dalam Pemanfatan Ruang. http://putracenter.net/2009/02/20 Peraturan Daerah Kota Semarang No. 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031. RP4D (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah) Kota Semarang.2008.Bappeda Kota Semarang.Kegiatan Rencana Kebijakan, Strategi dan Program Perumahan Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
JURNAL TATA LOKA; VOLUME 14; NOMOR 2;MEI 2012