Syekh Siti jenar Versi Damar Shashangka Syekh Siti Jenar (Bagian: 1) Oleh : Damar Shashangka Konon, Seorang ulama Islam, bernama Syeh Abdul Jalil, datang ke Jawa dan bermukim di Bukit Amparan Jati ( Daerah Cirebon sekarang ). Disana, beliau bertemu dengan Syeh Dzatul Kahfi, seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan Jati. Ulama sepuh inilah guru dari Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara Santang, putra-putri dari Prabhu Silih Wangi, Raja Pajajaran. Setelah menetap berdekatan dengan Syeh Dzatul Kahfi, Syeh Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA. Banyak yang tertarik dengan ajaran beliau yang bernuansa spiritual murni. Sama sekali berbeda dengan para ulama-ulama lain yang juga mengurusi kenegaraan. Sibuk ingin mendirikan Kekhalifahan Islam. Di Pesantren Krendhasawa, para santri tidak menemui nuansa politik seperti itu. Ajaran tassawuf begitu kental. Nuansa kedamaian sangat terasa. Kehadiran Syeh Abdul Jalil, menyita perhatian Dewan Wali Sangha yang berpusat di Ampeldhenta ( Daerah Surabaya sekarang ). Sudah menjadi kesepakatan bersama, seyogyanya, para ulama yang menetap di Jawa, masuk menjadi anggota Dewan Wali. Syeh Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu. Beliau bersedia masuk menjadi anggota Dewan Wali Sangha. Begitu menjadi anggota Dewan Wali, beliau mendapat julukan Syeh Lemah Abang atau Syeh Ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang = Merah. Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat gelar seperti itu karena beliau tinggal didaerah Jawa bagian barat yang terkenal tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan, beda dengan tanah jawa bagian tengah dan bagian timur. Kata
KSITI yang artinya tanah, lama-lama berubah menjadi SITI. Maka terkenallah beliau dengan sebutan Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang atau Sunan Kajenar. Beliau bukan keturunan bangsawan. Kebanyakan, para ulama yang waktu itu dikenal dengan sebutan Wali, berasal dari kalangan bangsawan. Sebut saja Sunan Ampel, dia berdarah bangsawan Champa. Sunan Benang ( lama-lama berubah menjadi Bonang ), Sunan Darajat ( lama-lama berubah menjadi Drajat ), Sunan Lamongan, ketiganya putra Sunan Ampel, berdarah bangsawan Champa dan Tuban ( karena istri Sunan Ampel masih keturunan Kadipaten Tuban ), begitu juga Sunan Kalijaga ( berdarah Tuban), Sunan Giri ( berdarah Blambangan ), dll. Syeh Siti Jenar, tidak berdarah biru. Namun beliau memiliki ‘kecemerlangan’ melebihi para menak berdarah keraton. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu faktor sehingga beliau sama sekali tidak tertarik dengan tetek bengek urusan perpolitikan, selain memang ‘kesadaran’ beliau yang benar-benar tinggi. Konon, Syeh Siti Jenar adalah putra Syeh Datuk Sholeh yang bermukim di Malaka. Syeh Datuk Sholeh putra dari Syeh Datuk Isa. Syeh Datuk Isa putra Syeh Khadir Khaelani. Syeh Khadir Khaelani adalah putra Abdullah Khannuddin. Dan Abdullah Khannuddin putra Ashamat Khan atau Syeh Abdul Malik, yang konon tinggal di India sebelah barat yang sekarang wilayah Pakistan. ( Nah, bisa diketahui kan, kebijaksanaan beliau berasal dari mana? : Damar Shashangka ). Namun, status keanggotaan Syeh Siti Jenar didalam Dewan Wali Sangha tidak-lah berlangsung lama. Sebab, begitu melihat para ummat Islam yang semula benar-benar murni memperbaiki akhlaq, lama-lama terpengaruh gerakan militansi Islam yang mulai digalang oleh Sunan Giri, santri senior Sunan Ampel. Ditambah lagi, hal serupa juga tengah dilakukan oleh Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang. Kegiatan-kegiatan ruhani Islami, kini berubah diwarnai dengan latihan-latihan tempur. Fokus utama memperbaiki diri, kini berubah menjadi out action, menyalahkan fihak lain. Suasana damai antara penganut Islam, Hindhu dan Buddha, lama-lama
mulai goncang. Syeh Siti Jenar tidak menyukai hal ini. Dimana-mana, aksi sepihak dari ummat Islam membuat suasana menjadi panas. Penganut Hindhu dan Buddha yang selama ini merasa damai bersanding dengan penganut agama baru ini, mulai terusik. Syeh Siti Jenar, melayangkan surat protesnya ke Ampeldhenta. Namun Sunan Ampel meyakinkan, semua masih wajar dan tidak berlebihan. Namun, bagi Syeh Siti Jenar, apa yang dikatakan Sunan Ampel tidaklah sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ada seorang ulama yang menyuarakan hal serupa, dialah Sunan Kalijaga. Bersama Syeh Siti Jenar, Sunan Kalijaga mencoba membendung gerakan-gerakan ummat Islam yang kini berubah radikal. Mau tidak mau, diam-diam, ummat Islam terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang militan dan merasa dirinya paling benar karena katanya mengikuti anjuran Al-Qur’an dan Hadist secara kaffah di dipimpin Sunan Giri, Sunan Giri menyatakan, siapa saja yang menolak pergerakan ummat Islam yang tengah gencar-gencarnya saat ini, sama saja menjalankan ajaran bid’ah. Sunan Giri mengklaim, golongannya adalah golongan PUTIHAN (Kaum Putih), dan ummat Islam yang tidak sepaham dengan golongannya, di tuduh sebagai penganut bid’ah, golongan ABANGAN (Kaum Merah). Untuk mengukuhkan pengakuannya, pengikut Sunan Giri bahkan menyebarkan desas-desus bahwa Syeh Siti Jenar adalah seorang penganut ilmu sihir dari India. ( Jelas diceritakan dalam Babad Tanah Jawa, Syeh Siti Jenar mencuri dengar wejangan agama dari Sunan Bonang yang kala itu tengah mewejang Sunan Kalijaga. Syeh Siti Jenar konon berubah menjadi cacing tanah. Sunan Benang sendiri yang menambal bagian perahu yang sedikit berlobang kala hendak berlayar ke tengah laut untuk sekedar memberikan wejangan rahasia kepada Sunan Kalijaga. Sunan Benang menambalnya dengan segenggam tanah. Padahal, didalam tanah yang sudah tergenggam itu, ada Syeh Siti Jenar yang berwujud cacing. Sunan Benang tahu, tapi dia diam saja. Begitu selesai mewejang barulah Sunan Benang menyuruh cacing itu berubah menjadi manusia. Simbolisasi ini sangat jelas sekali, bahwasanya masuknya Syeh Siti Jenar ke Dewan Wali Sangha
adalah atas prakarsa Sunan Benang, disimbolkan dengan mengambil tanah berisi cacing. Dan Syeh Siti Jenar dianggap hanyalah rakyat jelata yang sama dengan cacing. Perahu melambangkan Dewan Wali. Di bagian jawa sebelah barat, ada kekosongan pimpinan ummat Islam. Syeh Dzatul Kahfi sudah sepuh. Pangeran Cakrabhuwana bukanlah seorang ulama, dia seorang politikus, ( Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, belum datang ke Cirebon. Dia masih di Mesir. Dengan datangnya ’sang rakyat jelata Syeh Siti Jenar’, kekosongan pemimpin agama bisa ditutupi, tak mengapa walau yang mengisi kekosongan adalah ’seekor cacing’. Cacing ini, rakyat jelata ini, berubah menjadi manusia atas anugerah Sunan Benang. Seorang rakyat jelata, kini disegani sederajat dengan para bangsawan, itu karena andil Sunan Benang. Dan sang cacing ini, sangat dekat dengan Sunan Kalijaga. : Damar Shashangka ) Simbolisasai ini jelas-jelas muncul dikemudian hari setelah Syeh Siti Jenar difatwakan sesat oleh Dewan Wali. Ada ungkapan diskriminatif di Jawa “ Wong ya pancene godhong Krokot, diunggahna nganti dhuwur ya tetep wae cukule melorot.” ( Namanya juga daun Krokot, walaupun diangkat setinggi mungkin, tumbuhnya tetep saja melorot kebawah. ) Ungkapan ini biasanya mencerminkan kekesalan seseorang yang telah berjasa mengangkat orang lain dari kesengsaraan namun kemudian lupa daratan. Dan manakala Syeh Siti Jenar, yang dulu bukan apa-apa, dan dimasukkan ke Dewan Wali oleh Sunan Benang, sehingga kedudukannya terangkat, namun dikemudian hari berani menentang Para Wali yang lain, maka kerluarlah ungkapan kekesalan secara simbolik ini. Namanya saja rakyat jelata, bagaimanapun juga, tetep saja kelakuannya seperti rakyat jelata, seperti cacing. Kurang lebih seperti itu. Padahal, tingkat ’spiritualitas’ seseorang tidak bisa diukur oleh pangkat dan derajatnya di masyarakat. Para Wali lupa. Karena mereka memang tengah terfokus pada duniawi. Pada Kekhalifahan semata. Namun, tidak demikian dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga, sangat menghormati Syeh Siti Jenar karena tingkat spiritualitasnya benar-benar tinggi.
Kubu Sunan Giri dan kubu Sunan Kalijaga, tidak pernah sepaham dimana-mana. Dan manakala Sunan Giri memberontak ke Majapahit dan ingin mendirikan Kekhalifahan Islam di Jawa, walaupun lantas bisa dihancurkan oleh Majapahit, Syeh Siti Jenar, menyampaikan protes keras. Bahkan beliau kemudian menyatakan, keluar dari Dewan Wali Sangha. Pada tahun 1475, Syarif Hidayatullah bersama ibunya Syarifah Muda’im, datang dari Mesir ke Cirebon. Syarifah Muda’im adalah nama muslim Dewi Rara Santang. Dia adalah adik kandung Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang. Mendengar kedatangan Syarif Hidayatullah, Sunan Giri segera mengirim utusan untuk memintanya bergabung bersama Dewan Wali Sangha yang berpusat di Ampeldhenta. Syarif Hidayatullah menyetujuinya. Lantas dia dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dengan adanya Sunan Gunung Jati, kekosongan kepemimpinan Islam di jawa bagian barat yang semula di jabat Syeh Siti Jenar, tertutupi sudah. Maka kini, ada dua kekuatan besar di Cirebon. Satu Syeh Siti Jenar dan yang kedua Sunan Gunung Jati. Pada awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Pimpinan Dewan Wali Sangha berpindah ke tangan Sunan Giri. Hubungan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri yang selama ini terkenal tidak bagus, begitu kepemimpinan Dewan Wali berganti, maka hubungan ini semakin meruncing. Bahkan, manakala terdengar bahwa Syeh Siti Jenar, mengajarkan Ilmu Tassawwuf tingkat tinggi kepada murid-muridnya, yang sesungguhnya semua wali juga paham akan Ilmu tersebut, oleh Sunan Giri, hal itu dijadikan alasan untuk mencari-cari kesalahan Syeh Siti Jenar. Syeh Siti Jenar, dipanggil menghadap ke Giri Kedhaton. Dan kisahnya tercatat dalam Pupuh ( Bait-Bait ) Tembang Jawa seperti dibawah ini : Sinom Pagurone Syeh Lemah Bang, Wejangane tanpa rericik, Lan wus atinggal sembahyang, Rose kewala liniling,
Meleng tanpa aling-aling, Wus dadya Paguron Agung, Misuwur kadibyannya, Denira talabul’ilmi, Wus tan beda lan sagunging aulia. Sangsaya kasusreng janma, Akeh kang amanjing murid, Ing praja praja myang desa, Malah sakehing ulami, Kayungyun ngayun sami, Kasoran kang Wali Wolu, Gunging Paguronira, Pan anyuwungaken masjid, Karya suda kang amrih agama mulya. Santri kathah keh kebawah, Mring Lemah Bang manjing murid, Ya ta Sang Syeh Siti Jenar, Sangsaya gung kang andasih, Dadya imam pribadi, Mangku sa-reh bawahipun, Paguroning Ilmu Khaq, Kawentar prapteng nagari, Lajeng karan Sang Pangeran Siti Jenar. Satedhaking Majalengka, Kalawan dharahing Pengging, Keh prapta apuruhita, Mangalap kawruh sejati, Nenggih Ki Ageng Tingkir, Kalawan Pangeran Panggung, Buyut Ngerang Ing Betah, Lawan Ki Ageng Pengging, Samya tunggil paguron mring Siti Jenar. Ing lami-lami kawarta, Mring Jeng Susuhunan Giri, Gya utusan tinimbalan, Duta wus anandhang weling,
Mangkat ulama’ kalih, Datan kawarna ing ngenu, Wus prapta ing Lemah Bang, Duta umarek mangarsa, Wus apanggih lan Pangeran Siti Jenar. Nandukken ing praptaning, Dinuteng Jeng Sunan Giri, Lamun mangkya tinimbalan, Sarenga salampah mami, Wit Jeng Sunan miyarsi, Yen paduka dados guru, Ambawa Imam Mulya, Marma tuwan den timbali, Terang sagung ing pra Wali sadaya. Prelu musyawaratan, Cundhuking masalah ilmi, Sageda nunggil seserepan, Sampun wonten kang sak serik, Nadyan mawi rericik, Apralambang pasang semu, Sageda salingsingan, Pangeran Siti Jenar angling, Ingsun tinimbalan Sunan Giri Gajah. Apa tembunge maring wang, Ature duta kekalih, Inggih maksih Syeh Lemah Bang, Pangeran Siti Jenar angling, Matura Sunan Giri, SYEH LEMAHBANG YEKTINIPUN, ING KENE ORA ANA, AMUNG PANGERAN SEJATI, Langkung ngungun duta kalih duk miyarsa. Andikane Syeh Lemah Bang, Wasana matus aris, Kados pundi karsandika, Teka makaten kang galih, Wangsulan kang sayekti,
Pangeran ngandika arum, Sira iku mung saderma, Aja nganggo mamadoni, INGSUN IKI JATINING PANGERAN MULYA. Duta kalih lajeng mesat, Lungane datanpa pamit, Sapraptaning Giri Gajah, Marek ing Jeng Sunan Giri, Duta matur wot sari, Dhuh pukulun Jeng Sinuhun, Amba sampun dinuta, Animbali Syeh Siti Brit, Aturipun sengak datan kanthi nalar. Terjemahan : Perguruan Syeh Lemah Bang, Wejangannya tanpa menggunakan perlambang ( simbolisasi dan langsung ke inti sarinya ilmu ), Sholat syari’at tidak dipentingkan, Inti sarinya saja yang dihayati, Sangat gamblang, jelas dan tidak ditutup-tutupi lagi, Sudah menjadi Perguruan Besar, Terkenal kehebatannya, Kedalaman Ilmu beliau, Sudah tak ada beda dengan para Aulia. Semakin terkenal ditengah masyarakat, Banyak yang datang menjadi murid, Berasal dari kota sampai ke pelosok pedesaan, Bahkan banyak para ulama, terpikat dan masuk menjadi pengikut, Kalahlah Delapan Wali yang lain, Karena kebesaran perguruannya, Masjid para wali ditinggalkan, Membuat surut pengikut para Wali yang katanya membawa agama paling mulia. Banyak para santri yang menjadi pengikut, Menjadi murid Syeh Lemah Bang, Adapun Sang Syeh Siti Jenar,
Semakin banyak yang mencintai, Beliau menjadi Imam tunggal, Jadi panutan para murid, Perguruannya mengajarkan Ilmu Khaq ( Ilmu Sejati ), Terkenal diseluruh wilayah negara, Beliau mendapat sebutan, Sang Pangeran Siti Jenar. Seluruh keturunan Majalengka ( Majapahit ), Termasuk keturunan dari Pengging, Banyak yang terpikat oleh beliau, Datang menimba ilmu pengetahuan sejati, Seperti Ki Ageng Tingkir, Juga Pangeran Panggung, Buyut Ngerang dari daerah Butuh, serta Ki Ageng Pengging, Menjadi satu paham dengan beliau. Lama-lama terdengar juga, Oleh Kangjeng Susuhunan Giri, Beliau segera memanggil utusan, Sang duta sudah mendapatkan pesan yang harus disampaikan, Berangkatlah dua orang ulama, Tidak diceritakan di perjalanan, Sudah sampai di Lemah Bang, Sang duta mendekat dihadapan, Setelah bertemu langsung dengan Pangeran Siti Jenar. Menyampaikan maksud kedatangannya, Diutus Jeng Sunan Giri, Bahwasanya Pangeran Siti Jenar diharapkan menghadap, Berangkat bersama kami, Sebab Jeng Sunan Giri telah mendengar, Bahwasanya paduka ( Pangeran Siti Jenar ) telah menjadi Guru Agung, Menjadi Imam Mulia, Oleh karena itu tuan dipanggil, Untuk bermusyawarah menyelesaikan kesalah pahaman dengan Para Wali semua. Berembug untuk menyatukan pemahaman,
Supaya tidak terjadi perpecahan, Agar tercapai kesepahaman, Jangan sampai timbul fitnah, Walaupun Ilmu yang diajarkan memakai metode berbeda, menggunakan kata-kata kiasan dan perlambang, Intisari-nya jangan sampai berbeda makna, Pangeran Siti Jenar berkata, Aku dipanggil Sunan Giri Gajah, ( Sunan Giri Gajah, salah satu nama lain Sunan Giri Kedhaton. Ada cerita simbolik mengenai hal ini.Konon, Sunan Giri tengah menggendong anaknya yang terus-terusan menangis. Karena tak juga berhenti, maka Sunan Giri menyabda sebuah batu menjadi gajah. Melihat batu berubah menjadi gajah. Anak Sunan Giri diam tangisannya. Namun, gajah tersebut kemudian berubah menjadi batu lagi Simbolisasinya, Sunan Giri didesak oleh para ulama-ulama yang lain untuk segera membentuk Kekhalifahan Islam. Sunan Giri menurutinya. Dan, diamlah desakan-desakan itu. Walaupun ternyata, kebesaran Giri Kedhaton yang seumpama besarnya seekor gajah, ternyata hanya sekejap saja. : Damar Shashangka ) Apa panggilan Sunan Giri kepadaku?, Kedua duta menjawab, Beliau memanggil Syeh Lemah Bang, Pangeran Siti Jenar berkata, Katakan kepada Sunan Giri, SYEH LEMAH BANG SESUNGGUHNYA, DISINI TIDAK ADA, YANG ADA PANGERAN SEJATI ( TUHAN YANG SESUNGGUHNYA ), Terkejut keheranan kedua duta. Mendengar kata-kata Syeh Lemah Bang, Lantas berkata, Bagaimana maksud anda ? Sampai bisa berkata demikian? Tolong berikan penjelasan kepada kami, Pangeran Siti Jenar berkata lembut, Kalian hanyalah utusan, Jangan membantah,
INGSUN (AKU) INI SESUNGGUHNYA PANGERAN MULYA ( TUHAN YANG MAHA MULIA ). Kedua utusan lantas keluar, Pergi tanpa berpamitan, Sesampainya di Giri Gajah, Mendekat kepada Jeng Sunan Giri, Utusan menghaturkan hasil tugasnya dari awal sampai akhir, Dhuh Yang sangat kami hormati dan yang menjadi junjungan kami, Kami sudah tuan utus, Memanggil Syeh Siti Brit ( Brit ; Merah ), Jawaban beliau memanaskan telinga dan tidak memakai nalar. ( Bersambung )
Sejarah Ma’arif Cilacap Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Cilacap Dalam Lintasan Sejarah Periode Rintisan Pertama Pada tahun 1980 an di Kabupaten Cilacap, khususnya warga nahdiyyin belum memiliki wadah lembaga pendidikan yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Sekolah/Madrasah masih berdiri sendiri-sendiri di bawah pengelolaan masing-masing yayasan. Sementara masyarakat nahdiyin memiliki ghirah yang tinggi terhadap peningkatan taraf pendidikan umatnya. Maka sangat didambakan akan berdirinya sebuah lembaga pendidikan yang berhaluan Aswaja yang dapat menaungi sekolah-sekolah/madrasah dan medukung peningkatan pendidikan. Atas dasar pemikiran tersebut, seorang tokoh pendidikan dari kalangan nahdiyin H. Bunyamin, B.A, mempunyai gagasan dan inisiatif tentang pendirian lembaga pendidikan yang diperlukan
masyarakat. Oleh karena itu, tepatnya pada hari Rabu Pahing, 15 Januari 1986, bertepatan dengan 04 Jumadil Ula 1406, beliau mendirikan lembaga pendidikan yang berhaluan Aswaja, untuk menaungi sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah di lingkungan NU, yaitu Pengurus Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Cilacap, di Maos Kidul Jalan Penatusan, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap di bawah pimpinan serta Ketua Pertama adalah H. Bunyamin, B.A, sendiri. Pendirian lembaga pendidikan ini mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat sekitar. Semakin meningkatnya pengakuan dari masyarakat sekitar, dipandang perlu meningkatkan status dengan mendapatkan legalitas dari organisasi induk agar mendapatkan legalitas pula dari pihak pemerintah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang diakui secara hukum. Karena lembaga pendidikan yang berhaluan Aswaja dan memiliki hubungan yang erat dengan Nahdlatul Ulama, maka meminta pengakuan dari PP Ma’arif sebagai salah satu Lembaga di NU yang mengurusi bidang pendidikan di tingkat pusat, untuk menjadi Pengurus Cabanag Lembaga Pendidikan Maarif NU Cilacap yang ada dibawah naungan PP LP Ma’arif Nahdlatul Ulama. Pengakuan ini diterima yang selanjutnya PC LP Ma’arif NU Cilacap adalah salah satu Lembaga Pendidikan yang memiliki akte dibawah PP LP Ma’arif Nahdlatul Ulama sejak tanggal 15 Januari 1986. Maka lengkaplah sudah PC LP Ma’arif NU Cilacap dengan mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan resmi menjadi sebuah Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan dibawah Pengawasan PP LP Ma’arif Nahdlatul Ulama serta dalam naungan Nahdlatul Ulama. Sebagai Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU di Kabupaten Cilacap, berpindah lokasi di Jl. Masjid I No. 36 Cilacap hingga sekarang. Semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi informatika dan Semakin majunya Lembaga Pendidikan PC LP Ma’arif NU Cilacap terus mengembangkan menejemen yang lebih efektif, efisien yang berbasis IT dan karena pentingnya membuat lini organisasi yang aktif dan mampu merepresentasikan
cita-cita NU dan secara aktif melibatkan diri dalam gerakangerakan social keagamaan untuk memberdayakan umat. Pada kesempatan ini secara singkat juga kami kemukakan urutan nama-nama ketua PC LP Maarif NU Cilacap dari periode 1-5 adalah, H. Bunyamin B. A, Drs. H. Mubasir Ismail, H. Jamaludin Ashar B.A, Drs. KH. Wasrof Wahyudin dan Munirianto, M.M. MPd, Pada periode 2012-2017, PC LP Ma’arif NU Cilacap menyadari bahwa lembaga ini merupakan aparat departemen PC NU Cilacap yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan pendidikan secara institusional dan memberikan fasilitas serta pelayanan dalam mendirikan satuan-satuan pendidikan mulai dari tingkat dasar dan menengah baik yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Nasional RI (dulu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI) maupun Departemen Agama RI. Hingga saat ini lembaga pendidikan PC LP Ma’arif NU Cilacap yang tersebar di seluruh Kabupaten Cilacap, mulai dari TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK cukup banyak. Tentang jumlah pastinya dan keberadaan masing-masing lembaga masih dalam proses pendataan.
Memasak dan mengurus rumah itu kewajiban suami Siapa bilang memasak dan mengurus rumah tangga itu kewajiban seorang istri? Itu adalah persepsi yang salah. Setidaknya, kalaupun itu betul, itu hanyalah tradisi orang Indonesia, yang menganggap bahwa kewajiban seorang Istri adalah “Dapur, Sumur, Kasur.” Mengapa? Karena dalam Islam menafkahi adalah kewajiban seorang suami, bukan istri! Tak ada satupun keterangan bahwa menafkahi itu adalah kewajiban seorang istri. Jadi, dari sini
saja sudah ada yang harus diluruskan. Nah, menafkahi itu apa? Pertama, memberi tempat bernaung yang layak. Merangkap di dalamnya merawat rumah hingga tetap nyaman untuk ditempati. Jadi, kalau rumah berantakan, suamilah yang wajib membersihkan dan merapikannya. Kalau ada piring kotor dan sampah menumpuk, tugas suamilah untuk membersihkan dan menjaganya tetap bersih. Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi! Kemudian, tugas selanjutnya adalah memberikan pakaian yang layak, termasuk di dalamnya merawat pakaian agar tetap layak pakai. Jadi, kalau pakaian istri sudah kotor, suamilah yang harus mencucinya. Kalau lusuh, ialah yang harus menyetrikanya. Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi! Kemudian, tugas selanjutnya adalah memberikan makanan yang halal dan thayyib kepada istrinya. Itu artinya halal, enak, sehat dan bergizi. Termasuk di dalamnya belanja kebutuhan sehari-hari, lalu memasak dan menghidangkan makanan untuk istrinya. Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi! Lalu, mengurus anak juga adalah tugas dari suami. Seorang ibu bahkan berhak untuk berhenti menyusui anaknya jika ia merasa berat dan kepayahan. Dan ayahnya hendaknya mencarikan seorang ibu susu untuk si bayi jika ingin menyempurnakan masa persusuannya. Anda tidak percaya? Saya kutipkan satu ayat di surat Al Baqarah: 233 Wa ‘alal mauluudi lahu rizquhunna wakiswa tuhunna bilma’ruufi Yang maknanya, “… dan kewajiban ayahlah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf…” Ini hanyalah satu contoh ayat yang menegaskan bahwa kewajiban suamilah semua tugas rumah tangga itu, meliputi di dalamnya membersihkan dan merawat rumah, memasak, mencuci, mengurus anak, dan yang semisalnya…. Lalu, apa dong tugas seorang istri? Dalam rumah tangga, tugas istri sebetulnya hanya satu, dan itu sangat mudah: nurut sama suami! Jadi, jika istri disuruh memasak, ia harus nurut!
Disuruh mencuci pakaian, ia harus nurut! Disuruh membereskan rumah, ia harus nurut! Disuruh mengurus anak, ia harus nurut! Nah, Lho…?! Mohon maaf sebelumnya. Ini memang sebuah guyonan, tapi esensinya adalah kebenaran. Di sinilah Islam mengajarkan prinsip keadilan serta keseimbangan. Mengangkat wanita pada derajat yang semestinya dan mendidik setiap suami untuk bertanggung jawab. Menikah bukanlah sekedar saling menuntut hak, tetapi juga berbagi kasih sayang. Seorang suami yang sadar bahwa istrinya telah mengerjakan semua tugas dan tanggung jawabnya, akan menjadikan sang suami menghormati dan makin menyayangi istrinya itu. Siapa lagi yang lebih dermawan dari seorang istri yang mengerjakan tugas-tugas suaminya tanpa meminta bayaran sedikitpun? Padahal itu bukan tugasnya sama sekali, dan secara aturan ia berhak meminta bayaran atas pekerjaannya itu. Pemahaman semacam itu akan menjadikan suami bersungguh-sungguh dalam bekerja serta menafkahi keluarganya, karena ia tahu bahwa di rumahnya seseorang yang berhati mulia telah menantinya dengan penuh kerinduan. Sungguh Allah akan meliputi mereka dengan barokah serta kasih sayang. Dan seorang istri yang bersungguh-sungguh
melaksanakan
pekerjaan rumah tangganya dengan penuh keikhlasan, telah menjadi manusia paling mulia dengan mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan suaminya. Semuanya ia lakukan atas dasar cinta dan ketaatan, dan pemahaman bahwa dalam pernikahan semuanya adalah tentang berbagi dan tolong menolong. Setiap pekerjaan yang ia lakukan dengan ikhlas akan dibalas oleh Allah dengan balasan yang berlipat-lipat ganda. Inilah yang seharusnya senantiasa kita terapkan dalam kehidupan rumah tangga kita. Saling menghargai dan mengingatkan dalam kebaikan. Allah mengingatkan kita dengan firmannya di surat Al Baqarah:237, Yang maknanya, “dan janganlah saling melupakan keutamaan di antara kalian! Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang
kalian kerjakan.” Wallahu A’lam Sumber: https://sisableng.wordpress.com/2009/11/28/memasak-dan-menguru s-rumah-itu-kewajiban-suami/
AL-Qur’an Digital Al-Qur’an Digital + (e-book)
Al Battani Penemu Jumlah Hari Al-Battani – Penemu Jumlah Hari dalam Setahun. Jumlah hari dalam setahun adalah 365 hari. Bagaimana jumlah ini bisa diperoleh, dan siapakah orang yang pertama kali menemukannya? Apakah penentuan jumlah itu asal-asalan saja atau dengan memperhitungkan banyak hal? Kenapa harus 365 hari, tidak dibuat 500 atau 1000 hari saja supaya mudah untuk diingat? Tentu anda penasaran, bukan??? Al-Battani adalah nama seorang ilmuwan yang disebut-sebut berjasa menemukan hitungan jumlah hari dalam setahun. Nama lengkap Al-Battani adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan Al-Battani. Orang Eropa menjuluki Al-Battani dengan sebutan Albategnius. Ia lahir pada tahun 858 M di dekat kota
Battan, Harran. Ia dikenal sebagai ahli astroomi dan matematika terbesar di dunia pada abad pertengahan.
Al-Battani Al-Battani belajar astronomi dan matematika dari ayahnya, Jabir Ibnu Sin’an. Kemudian melanjutkan studinya untuk memperdalam kedua disiplin ilmu tersebut di kota Rakka, di tepi sungai Efrat. Pada akhir abad sembilan, Al-Battani pindah ke Samarra untuk bekerja hingga meninggal dunia tahun 929 M. Al-Battani berhasil menghitung jumlah hari dalam setahun (dalam tahun masehi) berdasarkan penghitungan waktu yang digunakan bumi untuk mengelilingi matahari, yakni 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik. Jadi, penentuan jumlah hari dalam setahun bukanlah asal-asalan saja, melainkan berdasarkan perhitungan yang cermat dan matang. Kita tidak bisa sembarangan menentukannya, karena sistem kalenderium itu juga berguna untuk meramal atau menentukan musim. Perubahan musim ditentukan oleh posisi matahari terhadap bumi. Pada bulan mei misalnya, matahari berada di utara khatulistiwa. Angin bergerak dari selatan (yang dingin) menuju utara (yang lebih panas) melewati gurun Australia yang kering. Akibatnya, setiap bulan Mei, di Indonesia terjadi musim
kemarau. Kalau perhitungannya tidak tepat, peramalan musim juga keliru. Misalnya, pada bulan mei, tidak selalu juga terjadi kemarau. Hasil perhitungan Al-Battani di atas mendekati perhitungan menggunakan peralatan canggih yang digunakan para ilmuwan di abad ini. Sebagai ilmuwan astronomi, Al-Battani banyak menulis buku tentang astronomi dan trigonometri, termasuk sistem perhitungan almanak dan kalenderium seperti yang diulas di atas. Almanak yang diciptakan oleh Al-Battani diakui merupakan sistem perhitungan astronomi yang paling akurat, yang sampai kepada kita sejak abad pertengahan. Pada abad pertengahan, orang-orang Eropa menggunakan sistem ini sampai abad pencerahan. Dalam pembukuan Almanak, Al-Battani berkata “Ilmu astronomi merupakan bagian dari ilmu dasar yang sangat bermanfaat. Melalui ilmu astronomi, manusia mengetahui hal-hal penting. Dilihat dari manfaat dan kegunaannya dalam kehidupan manusia, astronomi menjadi ilmu yang sangat penting untuk diketahui”. Pada tahun 1899, di kota Roma dicetak sebuah buku berjudul AzZaujush Shabi li Batani (Almanak versi Al-Battani) yang disunting oleh Carlo Nallino dari manuskrip yang disimpan di perpustakaan Oskorial, Spanyol. Karya lain Al-Battani yang terkenal adalah Syarh al-Makalat al-Arba’I li Batlamius. Karya ini berisi uraian dan komentar tajam terhadap pemikiran Ptolemy yang tertuang dalam “Tetrabilon” nya. Al-Battani mengubah teori Ptolemy, serta meralat perhitungan orbit bulan dan beberapa planet. Dia membuktikan bahwa orbit benda langit berbentuk elips, dan membuktikan perubahan posisi matahari menjadi penyebab perubahan musim. Ilmuwan Eropa, Duntho (1749 M), memanfaatkan penemuan Al-Battani tentang orbit elips dari benda langit untuk memetakan pergerakan bulan. Sementara penemuan Al-Battani dibidang trigonometri, termasuk
konsep sinus, kosinus, tangen, dan kotangen, masih digunakan hingga saat ini. Al-Battani meninggal dunia pada tahun 929 M.
Referensi : http://70penemu.blogspot.com/2012/02/al-battani-penemu-jumla h-hari-dalam.html#axzz3J1YPsmod
Seratus Tokoh Berpengaruh File ini hasil kompilasi dari situs Islam media.isnet.org Kompilasi menjad file zip/chm : Pakdenono – www.pakdenono.com oleh Michael H. Hart
100 tokoh Siapakah yang paling berpengaruh dalam sejarah? Hart menyusun daftar urut (peringkat) seratus tokoh dengan argumentasi yang meyakinkan, tetapi juga mengundang perdebatan. Apa alasan Hart menempatkan Nabi Muhammad pada peringkat pertama? Mengapa pula Nabi Isa menempati peringkat ke-3, sedangkan Isaac Newton peringkat ke-2, John F. Kennedy termasuk ke dalam seratus tokoh, tetapi mengapa Mahatma Gandhi tidak? Siapa yang lebih berpengaruh, Karl Marx atau Kong HuCu? `Umar bin Khattab atau Alexander yang Agung?
Seratus Tokoh penuh dengan argumentasi, penuh pula dengan humor, diterjemahkan dengan gaya kocak Mahbub Djunaidi. Download ebook – CHM format – 1,2 MB Download Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah [ebook] DOWNLOAD (mediafire)
Orang yang Pandai ان اﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ اﻟﺬى أرﺳﻞ رﺳﻮﻟﻪ ﺑﺎﻟﻬﺪى ودﻳﻦ اﻟﺤﻖ ﻟﻴﻈﻬﺮه ﻋﻠﻰ اﻟﺪﻳﻦ . أرﺳﻠﻪ ﺑﺸﻴﺮا وﻧﺬﻳﺮا وداﻋﻴﺎ اﻟﻰ اﻟﻠﻪ ﺑﺎذﻧﻪ وﺳﺮاﺟﺎ ﻣﻨﻴﺮا.ﻛﻠﻪ . ﺷﻬﺎدة اﻋﺪﻫﺎ ﻟﻠﻘﺎﺋﻪ ذﺧﺮأ.أﺷﻬﺪ ان ﻻ اﻟﻪ اﻻ اﻟﻠﻪ وﺣﺪه ﻻ ﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪ اﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ وﺳﻠﻢ. ارﻓﻊ اﻟﺒﺮﻳﺔ ﻗﺪرا.واﺷﻬﺪ ان ﻣﺤﻤﺪا ﻋﺒﺪه و رﺳﻮﻟﻪ أﻣﺎ.وﺑﺎرك ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ وﻋﻠﻰ أﻟﻪ وأﺻﺤﺎﺑﻪ وﺳﻠﻢ ﺗﺴﻠﻴﻤﺎ ﻛﺜﻴﺮا ﻓﻴﺎأﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس اﺗﻘﻮاﻟﻠﻪ ﺣﻖ ﺗﻘﺎﺗﻪ وﻻﺗﻤﻮﺗﻦ اﻻ وأﻧﺘﻢ ﻣﺴﻠﻤﻮن.ﺑﻌﺪ. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Pada kesempatan ini pertama-tama khatib ingin mengajak diri khotib dan jama’ah semua untuk meningkatkan taqwa. Sesungguhnya taqwa itu Bermula dari mengindar laranglarangannya. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Teringat ketika kita masih kecil, maka orang tua kita sering mendoakan kita menjadi orang yang pandai atau pintar. Memang kepandaian merupakan satu hal yang menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Tapi apakah kepandaian itu? Mungkin dari kita ada yang menghitung berdasarkan IQ. Tapi kasihan juga orang yang ditakdirkan dilahirkan dengan IQ yang rendah, mereka tidak akan pernah menjadi orang pintar. Bahkan kepintaran dijadikan iklan obat anti masuk angin.
Yang menarik dalam Islam, kepandaian itu dapat diraih oleh setiap orang, walaupun IQ nya tidak tinggi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’) Jadi ada dua parameter orang yang pandai yaitu orang yang sering bermuhasabah dan melakukan amal untuk persiapan setelah meninggal. Muhasabah Muhasabah dari kata hisab yang berarti perhitungan atau melakukan evaluasi. Kesibukan aktifitas kita terkadang melupakan kita untuk mengevaluasi sejauh mana progres aktifitas dan menilik hal apa yang kurang dan perlu diperbaiki. Padahal evaluasi itu perlu dilakukan, agar kita bisa bernafas dan menata ulang kehidupan kita. Al Quran menyuruh kita untuk muhasabah [QS. Al-Hasyr 18]: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” Sahabat Umar r.a. berkata: ”Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.” Pernyataan sahabat Umar r.a. diatas bermakna bahwa semakin sering kita melakukan muhasabah maka semakin lebih sering
memperbaiki diri dan semakin ringan hisab di yaumil akhir. Oleh karena itu, muhasabah bisa dilakukan tiap hari, pekanan, bulanan atau tahunan. Muhasabah tidak hanya bermanfaat untuk akhirat tapi juga untuk kehidupan dunia. Bill Gates, seorang milyuner, selalu menyempatkan untuk beristirahat seminggu atau “think week” dalam enam bulan sekali dari kepenatan di perusahaannya, Microsoft. Dia akan beristirahat disuatu tempat yang sunyi dan membaca buku sekitar 18 jam sehari. Dari kesempatan untuk berkontemplasi tersebut, muncul ide-ide segar dalam pengembangan software. Beramal untuk Bekal Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan. Orang yang pandai bukan hanya bisa bekerja atau mengumpulkan harta, tetapi orang yang juga beramal sholeh untuk hari kemudian. Orang tersebut akan sibuk beraktifitas dan juga berinfaq atau membantu sesama agar mendapatkan pahala di hari akhir. Dalam surat Al Qashash 77, Allah SWT berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” Bahkan dalam ayat ini disebutkan keutamaan terhadap bekal di dunia, dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia. Beginilah pola hidup yang patut ditiru sehingga terjadi keseimbangan dalam kehidupan kita agar kebahagiaan di dunia dan akhirat bisa diraih. Secara ringkas, kepandaian yang hakiki dapat dicapai oleh
setiap orang. Kepandaian itu dapat digapai dengan melakukan muhasabah secara berkala dan beramal untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Semoga kita mendapatkan petunjuk dari Allah SWT untuk menjadi seorang muslim yang pandai. Demikianlah khotabah kali ini semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin ya rabbal ‘aalamiin ِﺑ َﺎر َك َ اﻟﻠﻪُ ﻟِﻲ ْ وَﻟَﻜ ُﻢْ ﻓ ِﻲ ْ اْﻟﻘُﺮ ْآنِ اْﻟﻌَﻈ ِﻴ ْﻢ ِوَﻧَﻔَﻌَﻨِﻲ وَإﻳَّﺎﻛ ُﻢْ ِﺑﻤَﺎ ِﻓﻴ ْﻪِ ﻣِﻦ َ اْﻵﻳﺎَت ُوَاﻟﺬﻛ ْﺮ ِاﻟْﺤ َﻜ ِﻴ ْﻢِ وَﺗَﻘَﺒَّﻞ َ ﻣِﻨِّﻲ وَﻣِﻨْﻜ ُﻢْ ﺗِﻼ َوَﺗَﻪ ُإﻧَّﻪُ ﻫُﻮَ اﻟﺴ َّﻤِﻴ ْﻊُ اْﻟﻌَﻠِﻴ ْﻢ Unduh, Orang yang Pandai
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i 1. Tempat Lahir, Silsilah Perjalanan Hidup Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah imam ketiga dari empat mazhab menurut urutan kelahirannya. Beliau adalah “Nashirul Hadits,” pembela hadits dan “mujaddid”, pembaharu abad kedua hijriyah.1. Menurut kebanyakan ahli sejarah bahwa Syafi’i dilahirkan di Ghaza, Palstina, tahun 150 H (767 M). namun ada yang mengatakan lahir di Asqalan, yaitu daerah yang kurang lebih 3 farsakh (8 km atau 3,5 mil) dari Ghaza, dan perjalanan dua tiga hari dari Baitul Maqdis. Ada juga yang mengatakan lebih jauh dari itu yaitu di Yaman. Imam Nawawi berkata, “Menurut jumhur, Syafi’i lahir di Ghaza.” Diriwayatkan bahwa Syafi’i lahir pada malam hari bertepatan dengan wafatnya Abu Hanifah. Jika riwayat ini benar, maka itu adalah kejadian yang menakjubkan, yakni lahirnya seorang imam bertepatan pada wafatnya imam yang lain. Nama lengkap beliau adalah Abu Adbullah Muhammad bin Idris bin Abas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’id bin Ubaidillah bin Abi Yazid bin Hasyim bin Mutlalib bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Asy-Syafi’i lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil. Kemudian ibunya membawanya ke Mekkah. Ia hidup sebagai anak yatim yang fakir dari keturunan bangsawan tinggi, keturunan yang paling tinggi di masanya, Asy-Syafi’i hidup dalam keadaan sangat sederhana. Namun, kedudukannya sebagai putra bernasab mulia menyebabkan ia terpelihara dari perangai buruk, selalu berjiwa besar, dan tidak menyukai kehinaan diri. Pada usia 2 (dua) tahun imam Syafi’i dibawa ibunya ke Mekkah dari Guzzah yang merupakan tanah tumpah darah asli bagi nenek moyang imam Syafi’i. Pada usia yang relatif muda imam Syafi’i telah mampu
menghafal al-Qur’an. Disamping kecerdasannya dalam menghafal alQur’an ia juga rajin menghafal al-Hadits yang ia dengar. Kemudian dicatat dan dibukukan dalam percetakan sehingga ia dikenal sebagai orang yang cinta ilmu dan ahli hadits. Imam Syafi’i hidup di tengah-tengah masyarakat Mekkah kemudian pindah ke kota Madinah. Kedua kota ini adalah bumi Hijaz yang merupakan tempat perbendaharaan sunnah (Hadits). Kota ini tidak begitu ramai dengan berbagai kebudayaan sebagaimana kota-kota lainnya. Kesederhanaan tatanan masyarakat tidak banyak menimbulkan problematika kehidupan masyarakat, dan untuk menyelesaikan masalah pun langsung mendasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits, maka wajar lah apabila imam Syafi’i ini lebih cenderung pada aliran Hadits. Pada awalnya Imam Syafi’i cenderung kepada syair, sastra dan belajar bahasa Arab sehari-hari. Tapi dengan demikian Allah justru menyiapkannya untuk menekuni fiqh dan ilmu pengetahuan. Terdapat beberapa riwayat yang menyebabkan Imam Syafi’i seperti itu diantaranya adalah : Suatu hari, di masa mudanya ketika ia berada di atas kendaraan. Di belakangnya terdapat sekretaris Abdullah AlZubairi. Lalu Syafi’i membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris itu memukulkan cambuknya layaknya seorang pemberi nasehat dan berkata, “Orang seperti anda mencampakkan kepribadiannya seperti ini? Bagaimana perhatian anda terhadap fiqh?” hal ini mempengaruhi dirinya dan membangkitkan semangatnya untuk bergegas belajar kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji, Mufti Mekkah. Syafi’i menuntut ilmu di Mekkah dan mahir di sana. Ketika
Muslim bin Khalid Az-Zanji memberikan peluang untuk berfatwa, Syafi’i merasa belum puas atas jerih payahnya selama ini. Ia menuntut ilmu terus dan akhirnya pindah ke Madinah dan bertemu Imam Malik di sana. Sebelumnya ia telah mempersiapkan diri membaca kitab alMuaththa (karya Imam Malik) yang sebagian besar telah dihafalkannya. Ketika Imam Malik bertemu dengan Syafi’i, Malik berkata, “Sesungguhnya Allah SWT. telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan dengan perbuatan maksiat. Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa bersamanya hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. selama itu pula ia mengunjungi ibunya di Mekkah. Kemudian pada tahun 195 H Imam Syafi’i mengembara ke Baghdad, yang merupakan kota yang sudah maju peradaban masyarakatnya pada waktu itu. Di kota ini Imam Syafi’i menetap beberapa tahun lamanya sebelum ia melakukan perjalanan ke kota lainnya, yaitu Mesir pada tahun 199 H dan ia memilih kota ini sebagai tempat tinggalnya. Di Baghdad ia belajar Ilmu Fiqh Madzhab Hanafi, yang terkenal dengan madzhab Ahlul Ro’yi, sebagaimana di Hijaz yang tradisional. Kemudian ia cenderung kepada sifat itu, maka di kota Irak pun ia cenderung pada kondisi Irak, yaitu kota yang terkenal dengan AhluRa’yu. Imam Syafi’i telah mendengar berita yang menyatakan kebesaran ulama’ di Irak seperti Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan, maka ia berkehendak untuk bertemu dengan mereka. Di kota ini ia berguru kepada Muhammad Ibn Hasan seorang tokoh ahli Fiqh. Maka terkumpullah pada diri Syafi’i beberapa ilmu dari para ahli Hadits dan Ra’yu. Syafi’i banyak mengambil manfaat dari beberapa kitab Muhammad Ibn Hasan dari pelajaran Fiqh Irak dan perdebatannya dengan beberapa ulama’ fiqh di sana. Dari sini, ia bisa mempersiapkan diri mengkompromikan fiqh madinah dan fiqh Irak, atau fiqh
tekstual dan fiqh kontekstual, sehingga membantunya meletakkan dasar-dasar ushul fiqh, dan kaidah fiqh (qawaid al-fiqhiyah), menjadikan ia terkenal, disebutsebut namanya dan terangkat derajatnya. Pengetahuan Syafi’i terbentuk dari beberapa sumber. Antara lain, guru, bacaan dan belajarnya, serta perjalanannya ke Yaman, Kufah, Bashrah, Makkah, Baghdad, dan Mesir. Ada juga dari perdebatan yang serius di masanya antara para pakar teologi dan filsafat, pakar fiqh dan ulama’ hadits dan sebagainya, serta pemikiran dan perenungannya terhadap ilmu dan lingkungan yang kesemuanya itu sangat dominan dalam membentuk wawasannya yang sangat luas. Dengan bekal pengetahuannya, beliau melangkah untuk menyampaikan berbagai kritik dan kemudian mengambil jalan keluarnya sendiri. Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan gurunya (Imam Malik). Perbedaan ini berkembang sedemikian rupa sehingga beliau menulis buku yang berjudul “Khilaf al-Malik” yang sebagian besar kritik terhadap pendapat (fiqh) madzhab gurunya itu, beliau juga terjun dalam perdebatan-perdebatan sengit dengan madzhab Hanafi dan banyak mengeluarkan kritik sebagai koreksi terhadapnya. Kritik-kritik imam Syafi’i terhadap dua madzhab tersebut akhirnya ia muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa dari kedua madzhab (ahli hadits dan ahli ra’yu) yang benarbenar orisinil. Namun demikian yang paling menentukan orisinilitas madzhabnya ini adalah kehidupan empat tahunnya di Mesir. Memang banyak kota di mana imam Syafi’i mengembangkan atau menggali ilmu, seperti kota Yaman, Persi, Baghdad dan lain-lain. Tetapi di Mesir inilah Imam Syafi’i sampai meninggalnya dipergunakan untuk menulis sebagian besar bukubukunya, bahkan juga untuk merevisi bukubuku yang pernah ditulisnya. Di kota ini pula ia meletakkan dasar-dasar madzhab barunya
yang dikenal dengan kaul jadid. Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa fiqh Syafi’i adalah fiqh yang lahir karena kondisi masyarakatnya sehingga dengan adanya dua kota yang merupakan tempat yang paling mempengaruhi teori imam Syafi’i dengan didukung keadaan yang berbeda itu pula, maka fiqh Syafi’i juga dibedakan menjadi dua macam yakni madzhab kaul kadim dan madzhab kaul jadid. Madzhab kaul kadim adalah pendapat imam Syafi’i ketika di Irak dan kaul jadid adalah pendapat imam Syafi’i di Mesir. Dengan perpaduan pemikiran imam Syafi’i akibat pengaruh dari corak pendidikan dan pengalaman dari beberapa negara tersebut, Imam Syafi’i mengkombinasikan dan mengkomparasikan serta mendiskusikan fiqh negara Hijaz dan Irak. Kemudian ia menjadi terkenal dengan sebutan ahli hadits dan ahli ra’yu. Dalam madzhab fiqhnya, Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an sebagai imam (dasar utama) dalam mengambil hukum. Beliau berkata, “sunnah sejajar kedudukannya dengan al-Qur’an karena as-Sunnah berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.” Karena itu menurut beliau asSunnah ditempatkan sebagai dasar kedua setelah alQur’an. Misalnya beliau sependapat dengan Imam Malik (ahlu al-Hadits) dalam hal menempatkan al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam, karena menurutya as-Sunnah sebagai dasar hukum yang kedua. Dilain fihak Imam Syafi’i sepakat dengan madzhab Hanafi (Ahlu al-Ra’yu) dalam kecenderungannya memakai ijtihad atau rasio. Namun Imam Syafi’i memberikan suatu batasan bahwa dasar ijtihad atau ra’yu tersebut hendaklah berbentuk qiyas (analogi). Dalam pemakaian qiyas ini imam Syafi’i memberikan ketentuanketentuannya. Beliau sependapat dengan Imam Malik
dalam mengambil ijma’ sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi beliau memberikan persyaratan-persyaratan yang ketat, sehingga ijma’ bukan semata-mata hasil pikiran tanpa ketentuan yang pasti. 2. Guru-guru Imam Syafi’i Imam Syafi’i menerima fiqh dan Hadits dari banyak guru yang masing-masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempattempat yang berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya yang Mu’tazili yang memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil mana yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan. Imam Syafi’i menerima ilmunya dari Madinah, Iraq dan ulama-ulama Yaman.
ulama-ulama
Makkah,
Semula Imam Syafi’i berguru pada syekh Muslim bin Khalid AzZanji dan beberapa imam Makkah. Kemudian setelah umur 13 tahun ia pergi ke Madinah dan berkumpul dengan Imam Malik sampai beliau wafat. Imam Syafi’i juga mempunyai banyak guru yang ia temui di kotakota besar ketika ia berkelana. Diantaranya ialah gurunya di Makkah, Muslim bin Khalid AzZanji, Sufyan bin Uyainah, Sa’id bin Salim Al-Qaddah, Dawud bin Abdurrahman Al-Athar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Dawud. Gurunya di Madinah antara lain, Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi, Ibrahim bin Yahya Al-Asami, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ Al-Shani. Gurunya di Yaman, Muththarif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf, Hakim Shan’a (ibukota Republik Yaman), Umar bin Abi Maslamah AlAuza’i Dan Yahya Hasan.
Gurunya di Irak antara lain, Muhammad bin Al-Hasan, Waki’ bin Jarra Al-Kufi, Abu Usammah Hamad bin Usamah Al-Kufi, Ismail bin Athuyah Al-Basyri dan Abdul Wahab bin Abdul Majid AlBasyri.11 Imam Syafi’i menerima pelajaran dari tokoh berbagai mazhab. Ia menerima fiqh Malik dari Malik sendiri, Maliklah gurunya yang merupakan bintang, mempelajari fiqh Auza’I dari Umar ibn Abi Salamah, mempelajari Fiqh Al-Laits dari Yahya ibn Hassan dan mempelajari fiqh Abu Hanifah dari Muhammad ibn al-Hassan. Bahkan ia mempelajari fiqh pada tokoh-tokoh Mu’tazilah, walaupun dalam masalah I’tiqad mereka tidak menempuh ahlul hadits. Justru semua inilah yang memperluas bidang fiqihnya, memperbanyak materi dan mempertebal kamus pengetahuannya. Dengan demikian Imam Syafi’i dapat mengumpulkan fiqh Makkah, Fiqh Madinah, Fiqh Syam, Fiqh Mesir dan Fiqh Irak. 3. Murid-murid Imam Syafi’i Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa imam Syafi’i mempunyai banyak guru. Begitu juga murid-muridnya, mereka tersebar di Makkah, Mesir dan sebagian di Baghdad Irak, merekalah yang menyebarkan madzhab gurunya. Diantara murid yang ada di Makkah, antara lain: Abu Bakar alHumaidi, Ibrahim bin Muhammad Abbas, Abu Bakar Muhammad bin Idris dan Musa bin Abi al-Jarud. Murid Syafi’i di Irak, antara lain : alHasan bin Muhammad al-Za’farani (wafat : 260 H), Abu Husain al-Karabisi (wafat : 295H), Imam Ahmad bin Hambal (wafat : 241 H) dan Dawud ad-Dhahiri (wafat : 505 H). Sedangkan muridnya yang di Mesir antara lain : al-Bughaisti (wafat : 270 H), al-Mazani (wafat : 269 H) dan ar-Rabi’ah (wafat : 270 H). Generasi penerus dan penyebar madzhab Imam Syafi’i adalah : Abu Ishaq as-Saerazi (wafat : 478 H) adalah pengarang kitab
“alMuhadzdzab”, Imam Ghazali (wafat : 505 H) pengarang kitab “Ihya ‘Ulumuddin” dan “al-Mustahfa”, dan al-Wazid ‘Izzudin ibn Abdi Salam (wafat :660 H0 adalah pengarang kitab “Qawa’id alAhkam Fi Masail alAhkam”, Muhyiddin an-Nawawi (wafat : 676 H) yang mengarang kitab Fiqh diantaranya “Majmu’ Syarah Muhadzab” dan “Minhaj athThalibin”, Taqiyuddin as-Shabuni (wafat : 765 H), Jalaluddin as-Suyuti (wafat : 791 H), pengarang kitab “Asybah wan Nadhair” dan kitab “Tanwirul Hawalaik” syarah kitab al-Muwaththa’ Imam Malik dan masih banyak lagi yang lainnya. 4. Karya-karya Imam Syafi’i Menurut Qadli Imam Abu Muhammad bin Husain bin Muhammad alMaruzi murid Imam Syafi’i, mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah mengarang kitab sebanyak 113 kitab, baik dalam bidang hadits, ilmu fiqh dan ushulnya, tafsir, sastra dan lain-lain. Yaqut menyebutkan dalam kitab “Mu’jam al-Udaba’ juz 17”, puluhan kitab Imam Syafi’i. Yang dimaksud kitab di sini bukanlah kitab yang ada seperti sekarang ini, melainkan beberapa bab masalah fiqh yang kebanyakan telah termuat dalam kitabnya al-Umm. Dan kitab-kitab tersebut bisa dijadikan sebagai pegangan dan pengetahuan yang dapat di nikmati sampai sekarang, diantaranya adalah: a. Ar-Risalah Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah ushul fiqh, yang di dalamnya diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi’i dalam mengistinbath hukum. Ar-Risalah merupakan kitab Ushul fiqh yang pertama. Akan tetapi sebagai penulis ar-Risalah itu sendiri adalah murid Syafi’i yaitu ar-Rabi’ ibn Sulaiman (270 H), dan Rabi’ inilah yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang Ar-Risalah (karena Syafi’i tidak menulisnya secara langsung). Di dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i membahas tentang ketentuanketentuan nash kitab dan masalah nasikh mansukh, kecacatan dalam hadits, syarat-syarat penerima hadits ahad yang meliputi
hadits mursal sebagai hujjah hukum, ijma’ ijtihad istihsan serta qiyas. b. Al-Umm Al-Umm adalah kitab yang ditulis sendiri oleh Imam Syafi’i. Kemudian diriwayatkan oleh ar-Rabi’. Segala yang termuat dalam kitab al-Umm adalah pendapat Imam Syafi’i, itulah hujjah dalam mazhabnya.Kitab ini berisi hasil-hasil ijtihad Imam Syafi’i yang telah dikodifikasikan dalam bentuk dan jilid-jilid yang membahas masalah Thaharah, Ibadah, Amaliah sampai pada masalah peradilan seperti Jinayah, Muamalah, Munakahat dan lainnya. c. Ikhtilaf al-Hadits Disebut Ikhtilaf al-Hadits karena di dalamnya mengungkapkan perbedaan para ulama’ dalam persepsinya tentang hadits mulai dari sanad sampai perawi yang dapat dipegang termasuk analisanya tentang hadits yang menurutnya dapat dipegang sebagai hujjah. d. Musnad Di dalam kitab Musnad isinya hampir sama dengan yang ada dalam kitab Ikhtilaf al-Hadits, kitab ini juga memaparkan persoalan hadits, hanya saja terkesan bahwa yang ada dalam kitab ini adalah hadits yang dipergunakan Imam Syafi’i khususnya yang berkaitan dengan fiqh kitab al-Umm, di mana dari segi sanadnya telah dijelaskan secara jelas dan rinci. Referensi : http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptia in-gdl-s1-2006-mohammadar-1591-bab3_219-2.pdf