SUJUD SAHWI Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
Pendahuluan Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad yang telah menyampaikan risalah dengan jelas, serta kepada keluarga, para sahabat beliau, dan siapa saja yang mengikuti petunjuk beliau sampai hari akhir. Sesungguhnya banyak di antara kaum muslimin yang belum mengerti tentang masalah hukum-hukum yang berkenaan dengan sujud sahwi dalam shalat. Sebagai contoh ada di antara mereka yang tidak melakukan sujud sahwi di saat yang seharusnya mereka melakukan, dan ada pula yang sebaliknya, mereka melakukannya di saat yang tidak diperlukan. Sebagian di antara mereka juga tidak mengetahui dengan pasti kapan dilakukannya, apakah sebelum atau setelah salam. Oleh sebab itu mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan sujud sahwi merupakan hal yang sangat urgen bagi semua orang, terutama mereka yang dipercaya untuk menjadi imam shalat di suatu tempat. Berangkat dari urgensi ini, saya berkeinginan untuk menuliskan sedikit tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah sujud sahwi. Tentu dengan harapan agar Allah memberikan manfaat kepada segenap pembaca melalui tulisan saya ini. Dengan memohon taufik dan hidayah-Nya saya akan memulai uraian saya.
Definisi Sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan sebanyak dua kali untuk menutup kesalahan dalam shalat yang disebabkan karena lupa. Ada 3 hal yang mendorong dilakukannya sujud sahwi yaitu kelebihan, kekurangan, atau keraguan di dalam shalat.
A. Kelebihan dalam shalat Apabila seseorang dengan sengaja menambah sesuatu dalam shalatnya baik berupa gerakan berdiri, duduk, rukuk, atau sujud maka shalatnya dianggap batal (misalnya jika melakukan rukuk dua kali dalam satu rakaat dengan sengaja, pen). Sedangkan bila dia melakukannya karena lupa dan baru menyadarinya setelah gerakan tambahan tersebut berlalu atau sudah terlewati maka tidak ada yang perlu dilakukan kecuali hanya bersujud dua kali setelah salam dan shalatnya pun dianggap sah. Namun jika dia teringat ketika sedang melakukan gerakan tambahan tersebut, maka dia harus menghentikan gerakan tersebut dan langsung menuju gerakan yang seharusnya kemudian menutup shalatnya dengan sujud sahwi setelah salam. Contoh : Seseorang melakukan shalat Zhuhur lima rakaat karena lupa. • Jika ia menyadari tambahan tersebut ketika sedang duduk tasyahud akhir (di rakaat kelima), maka hendaknya dia menyelesaikan tasyahudnya kemudian salam, kemudian sujud sahwi dua kali lalu salam kembali. •
Jika dia menyadarinya setelah shalat selesai, maka yang harus dilakukan adalah melakukan sujud sahwi dua kali dan diakhiri dengan salam.
•
Jika dia menyadarinya pada saat berdiri di rakaat terakhir (rakaat kelima), maka dia harus menghentikannya dan langsung duduk tasyahud. Kemudian sujud sahwi dua kali dilakukan setelah salam.
Landasan hukum masalah ini : Hadits Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat Zhuhur lima rakaat. Kemudian dikatakan kepada beliau, “Apakah shalatnya (memang sengaja) ditambah?” Beliau menjawab, “Benarkah itu?” Para sahabat mengatakan, “Anda tadi shalat sebanyak 5 rakaat.” Lalu beliau pun sujud sahwi dua kali kemudian salam. Dalam riwayat lain dikatakan, kemudian beliau duduk menghadap kiblat dan sujud dua kali kemudian salam. (Hadits riwayat Al-Jama’ah). Salam yang dilakukan sebelum shalat sempurna Melakukan salam sebelum waktunya termasuk dalam kategori kelebihan dalam shalat 1 . Jika hal ini dilakukan dengan sengaja maka shalatnya dianggap batal. Apabila dia mengerjakannya karena lupa dan baru menyadarinya setelah shalat usai dan sudah terlewat dengan jangka waktu yang lama, maka dia perlu untuk mengulang shalatnya dari awal. Namun jika dia teringat setelah shalat usai dan baru berlalu sebentar kira-kira 2-3 menit misalnya, maka dia harus melanjutkan shalat dan menyempurnakan rakaat yang kurang, kemudian sujud sahwi dilakukan setelah salam. Landasan hukum masalah ini Hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Zhuhur atau Ashar bersama para sahabat, kemudian beliau salam setelah rakaat kedua dan keluar menuju pintu masjid dengan tergesa-gesa. Para sahabat pun bertanya-tanya, “Apakah shalatnya memang diqashar?” Saat itu Nabi sedang berdiri dengan bersandar di tiang masjid dan sepertinya dalam keadaan marah. Kemudian ada salah seorang yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah tadi Anda lupa atau memang sengaja mengqashar shalat?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya kepada yang lainnya, “Benarkah perkataan orang ini?” Mereka pun menjawab, “Benar.” Kemudian beliau pun melanjutkan shalat dan menyempurnakan (dua) rakaat yang tertinggal dan mengakhiri dengan sujud sahwi setelah salam. (Muttafaqun ‘alaihi).
B. Kekurangan dalam shalat Kekurangan rukun shalat Jika seseorang meninggalkan rukun shalat yang berupa takbiratul ihram baik sengaja maupun tidak, maka tidak ada shalat baginya karena shalat yang dilakukan tidak dianggap. Jika rukun yang ditinggalkan adalah selain takbiratul ihram dan dilakukan secara sengaja maka shalatnya pun batal. Tetapi apabila tidak sengaja atau lupa maka: • jika dia menyadari kekurangan tersebut setelah sampai pada rakaat berikutnya di bagian rukun yang tertinggal tersebut atau setelahnya, maka rakaat sebelumnya -di mana terdapat rukun yang tertinggal- tidak dianggap dan digantikan oleh rakaat setelahnya •
jika dia menyadarinya sebelum sampai pada rukun yang tertinggal tersebut di rakaat berikutnya, maka dia harus menghentikan gerakannya dan langsung menuju rukun tertinggal yang seharusnya dilakukan kemudian melanjutkan sampai shalat selesai. Rakaat yang terdapat rukun tertinggal tadi tidak dianggap dan digantikan oleh rakaat yang setelahnya
Kedua kondisi di atas mengharuskan sujud sahwi yang dilakukan setelah salam 2 .
1
Bentuk kelebihannya adalah adanya tambahan salam yang tidak pada tempatnya karena sebenarnya shalat belum usai. 2 Sujud sahwi dilakukan setelah salam karena kasus ini termasuk dalam kategori kelebihan dalam shalat, meski sepintas lalu tampak seperti kekurangan dalam shalat. Bentuk kelebihannya adalah adanya tambahan rakaat yang tidak dianggap dan tergantikan oleh rakaat yang setelahnya, pen.
Contoh kasus pertama 3 : Seseorang lupa membaca Al-Fatihah di rakaat kedua dan baru teringat ketika dia sedang membaca Al-Fatihah di rakaat ketiga. Maka yang harus dilakukan adalah tetap melanjutkan bacaannya sampai rakaat ketiga selesai. Kemudian rakaat kedua tadi terhapus, dan rakaat ketiga dianggap sebagai rakaat kedua. Lalu shalat diakhiri dengan sujud sahwi setelah salam. Contoh kasus kedua : Seseorang lupa dan hanya bersujud sekali di rakaat pertama kemudian langsung bangkit menuju rakaat kedua. Ini berarti dia telah meninggalkan dua rukun sekaligus yaitu duduk di antara dua sujud dan sujud kedua. Lalu dia baru menyadari kesalahan ini ketika sedang bangun dari rukuk (i’tidal) di rakaat kedua. Maka yang harus dilakukan adalah segera menghentikan i’tidalnya dan langsung menuju pada rukun yang tertinggal tadi yaitu duduk di antara dua sujud dan sujud kedua. Kemudian rakaat pertama tadi dianggap batal dan digantikan oleh rakaat yang kedua ini. Lalu dia menyelesaikan shalatnya dan mengakhiri dengan sujud sahwi setelah salam. Contoh lain : Seseorang yang lupa mengerjakan sujud kedua pada rakaat pertama. Dia baru menyadarinya ketika sedang duduk di antara dua sujud pada rakaat kedua. Maka dia hanya perlu untuk melanjutkan gerakannya sampai shalat usai, sementara rakaat pertama tadi terhapus dan digantikan oleh rakaat kedua. Kemudian shalat diakhiri dengan sujud sahwi setelah salam. Kekurangan salah satu di antara wajib-wajib shalat 4 Apabila seseorang meninggalkan salah satu di antara hal-hal yang wajib dalam shalat dengan sengaja maka shalatnya dianggap batal. Apabila wajib shalat ditinggalkan karena terlupa maka: • jika dia menyadarinya sebelum beranjak dari posisi semula 5 , maka dia hanya perlu untuk menyempurnakan yang terlupa tadi dan tidak perlu melakukan sujud sahwi di akhir shalat •
jika dia menyadarinya setelah beranjak dari posisi semula tetapi belum sempurna menuju gerakan setelahnya, maka hendaknya segera kembali untuk mengerjakan wajib shalat yang terlupa tersebut, kemudian sujud sahwi setelah salam di akhir shalat 6
•
jika dia menyadarinya setelah sampai pada gerakan setelahnya, maka dia tidak perlu kembali untuk mengerjakan wajib shalat yang terlupa melainkan tetap melanjutkan shalat hingga usai. Kemudian shalat diakhiri dengan sujud sahwi sebelum salam
Contoh : Seseorang yang lupa untuk mengerjakan tasyahud awal7 . • Jika dia menyadarinya ketika masih dalam posisi duduk istirahat 8 maka dia hanya perlu untuk melanjutkan tasyahud awal dan tidak perlu melakukan sujud sahwi di akhir shalat. •
3
Jika dia menyadarinya setelah beranjak dari duduk istirahat namun belum sempurna berdiri, maka dia hendaknya kembali duduk dan membaca doa
Contoh pertama ini adalah tambahan dari penerjemah, bukan dari penulis asli. Di dalam shalat terdapat rukun, wajib, dan sunnah shalat. Rincian masing-masingnya dapat dibaca pada bukubuku fiqih shalat. 5 Yaitu posisi di mana wajib shalat tersebut dilakukan. 6 Karena ada tambahan gerakan kembali ke posisi semula. 7 Tasyahud awal termasuk salah satu di antara wajib-wajib shalat dan bukan merupakan rukun shalat. 8 Dia tidak langsung berdiri setelah sujud kedua di rakaat kedua melainkan duduk istirahat terlebih dahulu. 4
tasyahud awal. Kemudian dilanjutkan sampai shalat usai dan ditutup dengan sujud sahwi setelah salam. •
Jika dia menyadarinya setelah dalam posisi berdiri sempurna, maka dia tidak perlu untuk kembali duduk dan langsung melanjutkan shalatnya hingga selesai. Shalat diakhiri dengan sujud sahwi sebelum salam.
Landasan hukum masalah ini Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan yang lainnya, dari Abdullah bin Buhainah radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan shalat Zhuhur bersama para sahabat. Beliau langsung bangkit selepas rakaat kedua tanpa mengerjakan tasyahud awal, dan para sahabat pun ikut berdiri. Ketika mereka sedang menunggu salam di rakaat terakhir, beliau bertakbir untuk mengerjakan sujud sahwi sebelum menutup shalatnya dengan salam.
C. Keraguan dalam shalat Keraguan yang dimaksud adalah apabila seseorang tidak dapat menentukan secara pasti mana yang benar di antara dua hal. Di dalam semua bentuk ibadah, ada tiga keadaan di mana keraguan dapat diabaikan dan tidak perlu diperhatikan. Tiga keadaan tersebut adalah: 1. jika keraguan tersebut hanyalah berupa perasaan saja yang tidak ada hakikatnya, contohnya adalah was-was. 2. jika keraguan tersebut terjadi pada seseorang yang memang setiap kali mengerjakan segala ibadah tidak pernah terlepas dari keraguan dan selalu merasa ragu-ragu. 3. jika keraguan terjadi setelah ibadah selesai, kecuali jika seseorang merasa yakin akan adanya kesalahan pada ibadah yang telah dia lakukan. Contoh : Seseorang yang telah usai mengerjakan shalat Zhuhur merasa ragu apakah tadi dia mengerjakan tiga atau empat rakaat. Dalam kondisi ini hendaknya dia mengabaikan keraguannya dan tidak perlu untuk memikirkannya kembali. Lain halnya jika dia merasa yakin kalau tadi hanya mengerjakan tiga rakaat, maka dia harus menambah satu rakaat kemudian sujud sahwi setelah salam, seperti rincian penjelasan sebelumnya. Adapun keraguan yang timbul selain pada tiga keadaan di atas, maka keraguan tersebut tidak dapat diabaikan dan perlu untuk diselesaikan. Keraguan yang terjadi pada diri seseorang di dalam shalat ada dua macam: 1. Keraguan di mana seseorang mampu untuk condong kepada salah satu dugaan – meskipun tidak bisa yakin sepenuhnya-. Dalam hal ini dia harus memilih apa yang lebih dia yakini kemudian melanjutkan shalatnya dan menutupnya dengan sujud sahwi setelah salam. Contoh: Seseorang yang sedang mengerjakan shalat Zhuhur merasa ragu-ragu apakah saat ini berada di rakaat kedua atau ketiga. Akan tetapi dia lebih condong bahwa saat ini sedang berada di rakaat ketiga meski tidak yakin sepenuhnya. Maka dia harus segera mengakhiri keraguannya dengan cara menganggap bahwa sekarang adalah rakaat ketiga kemudian menyesaikan shalatnya dan menutupnya dengan sujud sahwi setelah salam. Landasan hukum masalah ini : Hadits yang terdapat pada Shahih Bukhari Muslim dan kitab lainnya, dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalat maka hendaknya ia bersungguh-sungguh untuk memilih yang paling
mendekati kebenaran. Kemudian hendaknya ia menyelesaikan shalatnya dan bersujud dua kali setelah salam.” 2. Keraguan di mana seseorang tidak sanggup untuk condong kepada salah satu pilihan, maka dia harus memilih yang lebih pasti yaitu yang paling sedikit. Kemudian ia melanjutkan shalat dan menutupnya dengan sujud sahwi sebelum salam. Contoh: Seseorang merasa ragu di pertengahan shalat Ashar apakah sedang berada di rakaat kedua atau ketiga. Dia tidak mampu untuk condong kepada salah satu dugaannya tersebut. Maka dia harus mengambil yang lebih sedikit yaitu rakaat tersebut dianggap sebagai rakaat kedua. Kemudian dia melanjutkan shalatnya dengan dua rakaat dan menutup shalatnya dengan sujud sahwi sebelum salam. Landasan hukum masalah ini : Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalat dan tidak mengetahui apakah sedang berada di rakaat ketiga atau keempat, maka hendaknya ia segera membuang keraguannya dengan cara mengambil yang lebih pasti (yaitu rakaat yang paling sedikit) lalu bersujud dua kali sebelum salam. Jika ternyata ia mengerjakan lima rakaat (setelah mengambil yang paling sedikit) maka kesalahannya telah tertutup dengan sujud sahwi. Namun jika ternyata ia mengerjakan tepat empat rakaat maka setidaknya (sujud sahwinya) dapat menjadi penghinaan bagi syaitan.” Contoh lain yang berhubungan dengan keraguan dalam shalat Seorang makmum memasuki shaf ketika imam sedang dalam posisi rukuk. Ia pun segera bertakbiratul ihram dalam posisi berdiri tegak kemudian langsung rukuk. Ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi : • orang tersebut yakin bahwa dia mendapatkan rukuk imam sebelum imam bangkit maka dia dianggap telah mendapatkan rakaat meski tidak membaca Al-Fatihah. •
orang tersebut yakin bahwa imam telah bangkit dari rukuk sebelum ia rukuk dengan sempurna maka ia dianggap tidak mendapatkan rakaat dan harus menyempurnakan rakaat yang kurang setelah imam salam.
•
orang tersebut ragu-ragu apakah ia mendapatkan rukuk imam atau tidak (mungkin karena ia rukuk bersamaan dengan bangkitnya imam), maka ia harus berusaha untuk memilih dugaan yang terkuat –apakah dia mendapatkan rukuk imam atau tidak- kemudian mengambilnya, lalu menutup shalatnya dengan sujud sahwi setelah salam. Tetapi bila dia tidak sanggup untuk condong kepada salah satu dugaannya, maka ia harus mengambil yang lebih pasti yaitu anggapan bahwa dia tidak mendapatkan rukuk imam. Kemudian ia menyempurnakan rakaat yang kurang dan menutup shalatnya dengan sujud sahwi sebelum salam. Perhatian : Dalam kondisi seperti ini, sujud sahwi hanya dikerjakan apabila orang tersebut masbuq atau tertinggal satu rakaat atau lebih. Bila orang tersebut tidak kehilangan satu rakaatpun, maka tidak perlu sujud sahwi 9 .
Tentang masalah keraguan dalam shalat, ada dua pendapat di antara para ulama. Pendapat pertama mengatakan, seseorang yang ragu dalam shalat lalu mengatasi keraguan tersebut baik dengan cara memilih yang terkuat atau memilih yang paling sedikit –sesuai dengan rincian sebelumnya-, ternyata kemudian dia merasa yakin dan hilang sama sekali keraguannya dan dapat menyimpulkan bahwa keputusan yang
9
Karena selama imam tidak sujud sahwi, maka makmum yang tidak tertinggal satu rakaat pun tidak perlu mengerjakan sujud sahwi apapun alasannya.
diambil sesuai dengan keadaan yang seharusnya, maka dia tidak perlu sujud sahwi karena keraguan, yang merupakan penyebab sujud sahwi, telah lenyap. Sedangkan pendapat kedua mengatakan, sujud sahwi tetap dilakukan sebagai bentuk penghinaan bagi syaitan sebagaimana perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “…jika ternyata ia mengerjakan tepat empat rakaat maka setidaknya (sujud sahwinya) dapat menjadi penghinaan bagi syaitan.” Karena bagaimanapun juga, keraguan sempat terjadi dalam shalatnya meskipun akhirnya hilang, dan inilah pendapat yang lebih kuat. Contoh : Seseorang ragu-ragu di dalam shalat apakah saat ini berada di rakaat kedua atau ketiga dan tidak sanggup untuk condong kepada salah satunya, lalu dia memilih yang lebih pasti yaitu yang paling sedikit. Beberapa saat kemudian hilanglah keraguan tadi dan dia merasa yakin kalau tadi dia memang benar berada di rakaat kedua. Menurut pendapat pertama di atas, dia tidak perlu mengerjakan sujud sahwi karena keraguan telah hilang. Sedangkan menurut pendapat kedua yang kami anggap lebih kuat, dia harus mengerjakan sujud sahwi sebelum salam di akhir shalatnya.
Sujud sahwi bagi makmum Seorang imam ditunjuk untuk diikuti gerakan-gerakan shalatnya termasuk di antaranya jika dia melakukan sujud sahwi baik sebelum atau setelah salam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, oleh karena itu janganlah kalian menyelisihinya…” sampai pada ucapan beliau, “…dan jika dia sujud maka sujudlah kalian.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Akan tetapi tentu saja tidak semua makmum dapat mengikuti sujud sahwi imam dengan serta merta. Hanya makmum yang tidak masbuq saja yang dapat mengikuti dengan serta merta sujud sahwi imam baik yang dikerjakan sebelum atau setelah salam. Sedangkan makmum masbuq tidak mungkin mengikuti dengan serta merta sujud sahwi imam yang dilakukan setelah salam, karena dia harus menyempurnakan terlebih dahulu rakaat yang tertinggal baru kemudian mengakhirinya dengan sujud sahwi setelah salam seperti yang dilakukan oleh imam. Contoh : Ada seorang makmum masbuq yang menggabungkan diri ke dalam shaf shalat berjama’ah di rakaat terakhir. Saat itu karena suatu hal, imam memiliki tanggungan untuk melakukan sujud sahwi setelah salam. Ketika shalat berakhir dan imam melakukan salam, maka makmum masbuq tadi harus berdiri untuk melengkapi rakaat yang tertinggal sementara imam dan makmum lain yang tidak masbuq mengerjakan sujud sahwi setelah salam. Setelah dia selesai melengkapi rakaat yang tertinggal, baru kemudian menutupnya dengan sujud sahwi setelah salam meskipun dia sendiri tidak melakukan kesalahan. Contoh lain dalam shalat berjama’ah: Seorang imam lupa lalu salam sebelum waktunya. Dia baru teringat kesalahan tersebut sesaat setelah shalat usai dan dia pun segera berdiri untuk menyempurnakan rakaat yang kurang. Pada saat imam salam (karena lupa) tadi, ada beberapa makmum masbuq yang sudah terlanjur berdiri untuk melanjutkan rakaat yang tertinggal. Maka dalam kondisi ini, para makmum masbuq tadi dapat memilih satu di antara 2 pilihan sebagai berikut: • tetap melanjutkan rakaat yang tertinggal (sementara imam dan makmum lain melanjutkan kekurangan rakaat) kemudian melakukan sujud sahwi setelah salam •
langsung bergabung kembali dengan jama’ah dan mengikuti apa yang dikerjakan imam (yang sudah kembali berdiri dan melanjutkan shalatnya) sampai selesai. Kemudian setelah imam salam, mereka berdiri untuk melanjutkan rakaat yang
tertinggal (sementara imam melakukan sujud sahwi setelah salam bersama dengan makmum yang tidak masbuq) dan mengakhiri dengan sujud sahwi setelah salam. Memilih alternatif yang kedua ini dipandang lebih utama dan lebih berhati-hati. Jika kesalahan terjadi bukan pada imam melainkan pada makmum yang tidak masbuq, maka tidak ada kewajiban sujud sahwi bagi makmum tersebut. Karena jika ia mengerjakan sujud sahwi berarti ia menyelisihi imam, padahal makmum diperintahkan untuk menjaga agar tidak menyelisihi imam. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lupa mengerjakan tasyahud awal, para sahabat pun tidak mengerjakannya dan langsung berdiri menuju rakaat selanjutnya dalam rangka menjaga agar tidak menyelisihi imam. Akan tetapi jika kesalahan terjadi pada makmum yang masbuq, maka dia berkewajiban untuk melakukan sujud sahwi. Contoh : Ada salah seorang makmum yang lupa untuk mengucapkan Subhaana rabbiyal ‘azhiim ketika rukuk, sedangkan dia tidak tertinggal satu rakaat pun. Maka tidak ada kewajiban baginya untuk sujud sahwi. Namun jika dia masbuq atau ada rakaat yang tertinggal, maka dia harus mengakhiri shalatnya dengan sujud sahwi sebelum salam seperti rincian penjelasan sebelumnya. Contoh lain: Seorang makmum shalat Zhuhur bersama imam. Ketika imam bangkit dari rakaat ketiga menuju rakaat keempat, makmum tadi lupa dan mengira bahwa rakaat tadi adalah rakaat terakhir sehingga dia duduk tasyahud. Setelah dia melihat imam dan makmum lain berdiri, dia pun ikut berdiri. Jika dia tidak masbuq maka tidak ada kewajiban sujud sahwi baginya. Tetapi apabila dia adalah makmum masbuq maka dia berkewajiban untuk sujud sahwi setelah salam, karena adanya kelebihan atau tambahan gerakan duduk tasyahud yang tidak semestinya tadi.
Kesimpulan Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sujud sahwi terkadang dilakukan sebelum salam dan terkadang setelahnya. Sebab-sebab dilakukannya sujud sahwi sebelum salam antara lain: 1. Adanya kekurangan dalam shalat sebagaimana hadits dari Abdullah bin Buhainah radliyallahu ‘anhu yang menjelaskan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan sujud sahwi sebelum salam ketika beliau lupa untuk duduk tasyahud awal. Bunyi hadits selengkapnya terdapat pada penjelasan sebelumnya. 2. Adanya keraguan dalam shalat dan tidak mampu untuk condong kepada salah satu dugaan, seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu ‘anhu tentang orang yang ragu apakah sedang berada di rakaat ketiga atau keempat. Kemudian Nabi memerintahkan untuk sujud sahwi sebelum salam. Lafaz hadits selengkapnya sudah tercantum pada penjelasan yang telah lewat. Sebab-sebab dilakukannya sujud sahwi setelah salam antara lain: 1. Adanya kelebihan atau tambahan dalam shalat seperti yang dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat Zhuhur sebanyak lima rakaat. Kemudian setelah para sahabat menanyakan hal ini, beliau pun bersujud sebanyak dua kali setelah salam. Termasuk juga dalam kategori kelebihan atau tambahan adalah salam yang dikerjakan sebelum waktunya karena terlupa. Bentuk kelebihannya adalah salam
yang tidak semestinya tadi. Maka yang harus dilakukan setelah menyadari kesalahan tersebut adalah segera bangkit untuk melanjutkan rakaat yang kurang kemudian menutup shalatnya dengan sujud sahwi setelah salam, seperti yang sudah dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah sebelumnya. 2. Adanya keraguan dalam shalat akan tetapi mampu untuk condong kepada salah satu dugaan, sebagaimana hadits dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk bersungguhsungguh dalam memilih salah satu dugaan, kemudian melanjutkan shalatnya berdasar dugaan tadi dan mengakhirinya dengan sujud sahwi setelah salam. Apabila di dalam shalat terkumpul kedua jenis sebab tersebut, yaitu sebab yang mengharuskan sujud sebelum salam dan sebab yang mengharuskan sujud setelah salam, maka para ulama berpendapat untuk memilih sujud sahwi sebelum salam dengan alasan, penyebab sujud sebelum salam dianggap lebih kuat dibanding penyebab sujud setelah salam. Contoh : Seseorang sedang shalat Zhuhur. Dia lupa untuk duduk tasyahud awal di rakaat kedua akan tetapi dia justru duduk tasyahud awal di rakaat ketiga karena menyangka rakaat ketiga adalah rakaat kedua. Setelah menyelesaikan tasyahud awalnya itu, dia baru sadar akan kesalahannya. Maka yang harus dilakukan adalah menyempurnakan satu rakaat lagi dan menutup shalatnya dengan sujud sahwi sebelum salam. Orang tersebut telah melakukan dua jenis penyebab sujud sahwi sekaligus. Dia telah meninggalkan tasyahud awal di rakaat kedua yang mengharuskan untuk sujud sebelum salam, dan menambah dengan duduk tasyahud awal di rakaat ketiga yang mengharuskan sujud setelah salam. Maka berdasar pandangan para ulama, dia harus menutup shalatnya dengan sujud sahwi sebelum salam. Wallahu a’lam Semoga Allah membimbing kita dan juga kepada kaum muslimin pada umumnya agar dapat memahami Kitab-Nya dan sunnah-sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam serta dapat mengamalkan ajaran-ajarannya baik dalam hal aqidah, ibadah, maupun muamalah. Saya juga memohon kepada Allah yang Maha Pemurah agar diberikan akhir yang baik untuk kita semua. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, para keluarganya, dan seluruh sahabatnya.
Ditulis oleh seorang hamba yang sangat membutuhkan ampunan Rabbnya. 4 Rabiul Awal 1400 H
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.