perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
STUDI MEKANIKA KUANTUM PADA REAKSI PRIMA-1 DAN TURUNANNYA TERHADAP N-ASETIL SISTEIN
Disusun Oleh :
DEWI NURMALITASARI M0307006
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Kimia
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit user Maret,to2012
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta Telah Mengesahkan Skripsi Mahasiswa: Dewi Nurmalitasari M0307006, dengan judul “ Studi Mekanika Kuantum pada Reaksi PRIMA-1 dan Turunannya terhadap N-Asetil Sistein” Skripsi ini dibimbing oleh: Pembimbing I
Dr.rer.nat.Fajar. Rakhman W., M.Si NIP 19730605 200003 1001
Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi pada: Hari
: Senin
Tanggal
: 19 Maret 2012
Anggota Tim Penguji: 1. Dr. Desi Suci Handayani, M.Si
1. ............................
NIP 19721207 199903 1001 2. Yuniawan Hidayat, M.Si
2. ............................
NIP 19790605 200501 1001 Disahkan Oleh Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta Ketua Jurusan Kimia,
Dr. Eddy Heraldy, M.Si commit to200003 user 1002 NIP 19640305
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ”STUDI MEKANIKA KUANTUM PADA REAKSI PRIMA-1 DAN TURUNANNYA TERHADAP N-ASETIL SISTEIN” adalah benar-benar hasil penelitian sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat kerja atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 7 Maret 2012
DEWI NURMALITASARI
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
STUDI MEKANIKA KUANTUM PADA REAKSI PRIMA-1 DAN TURUNANNYA TERHADAP N-ASETIL SISTEIN DEWI NURMALITASARI Jurusan Kimia. Fakultas Matematia dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK PRIMA-1 (p53 Reactivation and Induction of Massive Apoptosis) dapat menginduksi reaktivasi p53 melalui pembentukan adduct, dengan pembentukan ikatan kovalen pada gugus thiol. Pembentukan adduct tersebut diasumsikan terjadi melalui konversi PRIMA-1. MQ (Methylene Quinuclidinone) adalah salah satu senyawa turunan PRIMA-1, yang secara eksperimen telah dipelajari untuk pembentukan tersebut. Untuk mempelajari mekanisme reaksi pembentukan tersebut, kami memodelkan pembentukan adduct tersebut dengan menggunakan NAC (N-Acetyl Cystein). Pembentukan adduct antara NAC dengan PRIMA-1 dimodelkan dengan reaksi substitusi nukleofilik pada salah satu gugus hidroksi PRIMA-1, sedangkan reaksi NAC dengan MQ dimodelkan dengan adisi nukleofilik pada karbon tak jenuh-α, β. Kalkulasi terhadap model tersebut dilakukan dengan menggunakan level teori MP2 dan basis set 6-31G(d). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa entalpi pembentukan adduct PRIMA-NAC jauh lebih besar dibandingkan adduct MQ-NAC, sehingga reaksi pembetukan adduct PRIMA-NAC lebih sulit terjadi. Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pembentukan adduct berlangsung melalui konversi PRIMA-1 menjadi MQ terlebih dahulu. Hasil penelitian kami juga mengarahkan pada dua tahap reaksi yang mungkin terjadi dalam pembentukan adduct MQ-NAC, yaitu pembentukan karbokation yang diikuti oleh serangan nukleofil pada karbokation MQ. Kata kunci: PRIMA-1, MQ, NAC, adduct, QM, substitusi nukleofilik, adisi nukeofilik
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
QUANTUM MECHANICAL STUDY ON THE REACTION OF PRIMA-1 AND ITS DERIVATIVE TO N-ACETYL CYSTEINE DEWI NURMALITASARI Department of Chemistry. Mathematic and Natural Science Faculty. Sebelas Maret University.
ABSTRACT PRIMA-1 (p53 Reactivation and Apoptosis Induction of Massive Apoptosis) induced reactivation of p53 through the adduct formation, a covalent bond formation, on thiol group. The formation was proposed the need of PRIMA-1 convertion. MQ (Methylene Quinuclidinone) was one of PRIMA-1 derivatives, which has been studied experimentally for the formation.In order to study the formation mechanism, we modeled the adduct formation using NAC (N-Acetyl Cystein). The adduct formation between NAC with PRIMA-1 modeled by nucleophilic substitution reaction at one of the hydroxyl groups, whereas its reaction with MQ modeled by nucleophilic addition at α, β-unsaturated carbon. Calculation of our model was done at MP2 level of theory and 6-31G(d) basis set. Results showed that the enthalpy of formation was much greater on PRIMA-NAC adduct than MQ-NAC adduct, thus PRIMA-NAC formation was much less probable. This result agreed with the experimental finding that PRIMA-1 was converted to MQ prior to the adduct formation. Additionally, our results reveal a possible two stages reaction of MQ-NAC adduct, formation of carbocation followed by NAC attacks on the MQ-carbocation. Keyword: PRIMA-1, MQ, NAC, adduct, QM, nucleophilic substitution, nucleophilic addition
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar Rahmaan:13) Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (A Lam Nasyrah:7-8) Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang (Imam Syafi’i) Seperti besi yang dapat menajamkan besi lain, begitu pula seharusnya manusia dapat menajamkan manusia lain (Anonim) We learn wisdom from failure mush more than from success. We discover what will do by finding out what will not do...and he who never made a mistake never made a discovery (Anonim)
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Teruntuk, Bapak & Ibu tercinta yang selalu menghiasi hari-hari penulis dengan milyaran kasih sayang Adikku Koko & Desi dengan segala tingkah polahnya yang selalu kurindukan 88_325, motivator dan inspirasi dalam hidupku Sahabat dan rekan2 terbaikku Kupersembahkan karya kecil ini untuk kalian commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji dan segenap syukur bagi Allah SWT yang telah menunjukkan jalan yang indah bagi penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana sains Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta. Atas segala karunia-Nya pulalah penulis menyadari bahwa segala sesuatu memiliki proses dan waktunya masing-masing. Dalam menyusun skripsi ini penulis menemui berbagai hambatan dan permasalahan yang beragam. Namun, atas bimbingan, kritikan, saran, dan dorongan semangat yang bermanfaat dari berbagai pihak, semua hambatan dan permasalahan tersebut dapat penulis atasi dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis, yaitu sebagai berikut. 1.
Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc., Ph.D., selaku dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta
2.
Dr. Eddy Heraldy, M.Si., selaku ketua jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta
3.
Drs. Patiha, MS., selaku pembimbing akademik
4.
Dr.rer.nat.Fajar R. Wibowo, M.Si., selaku pembimbing skripsi, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dari awal hingga akhir
5.
I.F. Nurcahyo, M.Si., selaku ketua laboratorium Kimia Dasar, yang telah memberikan akses bagi penulis melakukan penelitian di laboratorium Kimia Dasar bagian Komputasi Kimia
6.
Bapak Ibu dosen dan seluruh staf jurusan Kimia yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan yang baik bagi penulis
7.
Bapak, Ibu, Koko dan Desi dirumah, terimakasih atas doa, dukungan dan motivasi yang diberikan untuk segera menyelesaikan karya ini
8.
Computational Chemistry Comunity, terimakasih atas bantuan dan motivasi commit to user yang telah diberikan
viii
perpustakaan.uns.ac.id
9.
digilib.uns.ac.id
Teman-teman Kimia’07 dan semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, terimakasih atas semua dukungannya selama ini
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembaca.
Surakarta, 7 Maret 2012
Dewi Nurmalitasari
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL............................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN . ............................................................................ ii HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ iii HALAMAN ABSTRAK ...................................................................................... iv HALAMAN ABSTRACT ................................................................................... v HALAMAN MOTTO ......................................................................................... vi PERSEMBAHAN ............................................................................................... vii KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii DAFTAR ISI ....................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang..................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................. 3 1. Identifikasi Masalah ........................................................................ 3 2. Batasan Masalah ............................................................................. 5 3. Rumusan Masalah ........................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 6 BAB II LANDASAN TEORI .............................................................................. 7 A. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 7 1. Struktur PRIMA-1 dan MQ ............................................................. 7 2. Mekanisme Reaksi Substitusi Nukleofilik ...................................... 8 a. Substitusi Nukleofilik Unimolekuler (SN1) ................................ 10 b. Substitusi Nukleofilik Bimolekuler (SN2) .................................. 11 3. Mekanisme Reaksi Adisi Nukleofilik pada karbon tak jenuh-α,β .. 12 4. Struktur Sekunder Protein ............................................................... 14 commit to user 5. Quantum Mechanics (QM) .............................................................. 16
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Metode Komputasi .......................................................................... 18 a. Ab Initio....................................................................................... 18 b. Semi Empirik .............................................................................. 19 7. Basis Set .......................................................................................... 22 a. Minimal Basis Set........................................................................ 22 b. Split Valence Basis Set ................................................................ 23 c. Polarised basis set ...................................................................... 23 d. Diffuse basis set .......................................................................... 24 B. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 24 C. Hipotesis .............................................................................................. 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................................. 28 A. Metode Penelitian ............................................................................... 28 B. Tempat danWaktu Penelitian............................................................... 28 C. Alat dan Bahan yang Dibutuhkan ........................................................ 28 1. Alat.................................................................................................. 28 2. Bahan .............................................................................................. 28 D. Prosedur Penelitian…………………………………………..……. ... 28 1. Penyiapan Reaktan .......................................................................... 28 a. Persiapan Konfigurasi NAC ...................................................... 28 b. Persiapan Konfigurasi PRIMA-1 dan MQ.................................. 29 2. PenyiapanProduk ............................................................................ 29 a. Penyiapan Nukleofil NAC ......................................................... 29 b. Penyiapan PRIMA-1 dan MQ ................................................... 29 c. Scanning PRIMA-1 .................................................................... 29 d. Penggabungan PRIMA-1 dan NAC .......................................... 30 e. Penggabungan MQ dan NAC.................................................... 30 3. Penentuan Lokasi Transition State ................................................. 31 E. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ............................................. 31 1. Pengumpulan Data........................................................................... 31 2. Analisis Data ................................................................................... 32 commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 33 A. Penentuan Konfigurasi Reaktan .......................................................... 33 1. Penentuan Konfigurasi PRIMA-1 ................................................... 34 2. Penentuan Konfigurasi MQ ............................................................ 39 3. Penentuan Konfigurasi NAC .......................................................... 39 B. Penentuan Konfigurasi Produk ............................................................ 40 1. Penentuan Konfigurasi PRIMA-NAC ............................................ 41 2. Penentuan Konfigurasi MQ-NAC .................................................. 49 C. Penentuan Mekanisme Reaksi ............................................................. 52 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 63 DAFTAR PUSTAKA. ......................................................................................... 64 LAMPIRAN ........................................................................................................ 67
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Struktur PRIMA-1 dan MQ ............................................................ 7
Gambar 2.
Reaksi substitusi oleh nukleofil netral dan anion ........................... 9
Gambar 3.
Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN1) ........ 10
Gambar 4.
Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2) .......... 12
Gambar5.
Mekanisme reaksi adisi nukleofilik pada senyawa karbonil tak jenuh-α, β .................................................................................. 13
Gambar6.
Kerangka dasar asam amino ........................................................... 14
Gambar7.
Sudut dihedral phi (φ) dan psi (ψ) pada backbone protein sekunder .......................................................................................... 15
Gambar8.
Sudut dihedral phi (φ) dan psi (ψ) pada konformasi α-heliks dan β-sheet dalam Ramachandran Plot .......................................... 16
Gambar9.
Struktur PRIMA-1 teroptimasi ....................................................... 34
Gambar10. Grafik hasil scanning terhadap salah satu gugus hidroksi PRIMA-1 ........................................................................................ 36 Gambar11. Konfigurasi PRIMA-1 sebelum dan setelah scanning .................... 37 Gambar 12. Konformasi PRIMA-1 hasil scanning pada gugus hidroksi PRIMA-1 teroptimasi ..................................................................... 38 Gambar 13. Struktur MQ teroptimasi ................................................................. 39 Gambar 14. Struktur NAC teroptimasi. .............................................................. 40 Gambar 15. Konfigurasi awal produk PRIMA-NAC dengan konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 330o termodifikasi ............................... 43 Gambar 16. Konfigurasi akhir produk PRIMA-NAC dengan menggunakan konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 330o termodifikasi ........... 44 Gambar 17. Struktur PRIMA-NAC (α-helix) teroptimasi dengan psi -124,19 .. . 46 Gambar 18. Struktur PRIMA-NAC (β-sheet) teroptimasi dengan psi 152,37 dan psi 174,75. ................................................................................ 47 Gambar19. Struktur MQ-NAC (α-helix) teroptimasi dengan psi -145,77 ......... 50 commit to user Gambar 20. Struktur MQ-NAC (β-sheet) teroptimasi dengan psi 175,41 .......... 51
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 21. Struktur adduct PRIMA-NAC β-sheet dan MQ-NAC β-sheet ..... 52 Gambar 22. Hasil optimasi geometri dari konfigurasi MQ dan NAC yang berdekatan ....................................................................................... 56 Gambar 23. Kurva reaksi pembentukan karbokation dari hasil perhitungan optimasi QST2 ................................................................................ 58 Gambar 24. Struktur transition state yang diperoleh dari perhitungan optimasi QST2 ................................................................................ 59
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Hasil kalkulasi single point terhadap energi dari konfigurasi reaktan dengan menggunakan variasi level teori dan basis set ....... 67 Lampiran 2. Hasil kalkulasi single point terhadap energi dari konfigurasi produk dengan menggunakan variasi level teori dan basis set........68 Lampiran 3. Hasil kalkulasi terhadap delta entalpi pembentukan produk dengan menggunakan variasi level teori dan basis set.....................69
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pengendalian pertumbuhan sel tidak terlepas dari peran p53 sebagai gen penekan tumor (tumor suppressor gen). P53 merupakan mediator yang penting dalam pertahanan siklus sel dan apoptosis (bunuh diri sel terprogram) sebagai respon terhadap suatu keadaan yang mengancam sel (cellular stress) seperti kerusakan DNA, aktivasi onkogen dan hipoksia (Bykov et al., 2002a, 2002b; Wiman, 2010). Proses apoptosis adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh p53 dalam pengendalian pertumbuhan sel. Protein p53 akan menginduksi terjadinya apoptosis ketika terjadi kegagalan pada proses perbaikan kerusakan DNA dan kerusakan sel yang lain, sebelum terjadi replikasi pada sel tersebut (Alberts et al., 2002). Mutasi pada p53 ditemukan dalam banyak kasus tumor pada manusia (dengan prosentase ± 50%) dan berimbas pada hilangnya fungsi p53 sebagai gen penekan tumor (Bykov et al., 2002a, 2002b). Keadaan tersebut dapat memicu kanker atau cacat lainnya dengan adanya kerusakan DNA yang tidak diikuti oleh penghentian replikasi sel (Bykov et al., 2002a). Terapi terhadap sel tumor yang membawa mutan p53 menunjukkan peningkatan resistensi terhadap kemoterapi (Bykov et al., 2002a, 2002b; Lambert et al., 2009). Pengembalian fungsi p53 termutasi berpotensi untuk memicu apoptosis massal yang dapat menghentikan pertumbuhan sel tumor secara efektif sehingga menjadikan p53 target yang cukup penting untuk terapi kanker (Lambert et al., 2009). Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengembalikan fungsi p53 termutasi melalui penempelan molekul kecil ataupun peptida pendek. Bukti-bukti menunjukkan bahwa fungsi p53 dapat dikembalikan dengan mengatur konformasi dari mutan p53 sehingga menyerupai wild type p53. Adapun senyawa yang digunakan dalam penelitian tersebut antara lain CP-31398, WR-1065, STIMA-1 (SH group Targeting and Induction of Apoptosis), PRIMA-1 (p53 reactivation commit todan userMIRA-1 (Mutant p53-dependent and induction of massive apoptosis), 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
Induction of Rapid Apoptosis 1) (Bykov et al., 2002a, 2002b; Lambert et al, 2009; Wiman, 2010). PRIMA-1 memiliki aktivitas yang menarik untuk menghambat pertumbuhan sel tumor manusia yang membawa mutan p53. Hasil penelitian Bykov (2002a) menunjukkan bahwa PRIMA-1 lebih efektif menghambat pertumbuhan sel tumor yang membawa mutan p53 dibandingkan dengan sel tumor yang membawa wild type p53. Senyawa dengan berat molekul kecil seperti PRIMA-1 dapat menghambat pembelahan sel yang mengekspresikan mutan p53. Hal ini memperkuat dugaan bahwa PRIMA-1 atau struktur analog PRIMA-1 mungkin akan menjadi senyawa yang mudah digunakan untuk pengembangan obat antikanker yang lebih efisien terhadap tumor yang membawa mutan p53 (Bykov et al., 2002a, 2002b). Interaksi antara PRIMA-1 dengan p53 menyebabkan terjadinya modifikasi pada struktur p53. PRIMA-1 dapat mengkonversikan mutan p53 ke dalam konformasi aktif dengan berikatan secara spesifik pada sekuen tertentu DNA (Bykov et al., 2002a, 2002b; Liang et al., 2009; Wiman, 2010) dan mempunyai aktivitas antitumor secara in vivo (Bykov et al., 2002a). Wiman (2010) telah menjelaskan bahwa adanya modifikasi yang terdapat pada sekuen sistein mutan p53 dapat mengembalikan konformasi dan fungsi mutan p53 mendekati wild typenya. Adanya modifikasi kovalen pada satu atau beberapa residu sistein mutan p53 diperkirakan mampu mengembalikan konformasi dan fungsi p53 mendekati wild type-nya sehingga dapat menginduksi apoptosis dalam sel yang mengekspresikan mutan p53 (Lambert et al., 2009). PRIMA-1 dapat dikonversikan menjadi senyawa turunannya yang diketahui mempunyai aktivitas sama dalam reaktivasi mutan p53, salah satunya adalah MQ (Methylene Quinuclidinone). Hasil penelitian Lambert (2009) menunjukkan bahwa pembentukan adduct melalui terbentuknya ikatan kovalen dengan gugus thiol sistein dalam N-Asetil Sistein (N-Acetyl Cystein atau NAC) lebih mungkin terjadi melalui konversi PRIMA-1 menjadi MQ. MQ mempunyai gugus aktif berupa ikatan rangkap yang mempunyai kecenderungan untuk membentuk adduct dengan gugus thiol sistein melalui reaksi adisi. Produk to user kemampuan untuk berikatan dekomposisi PRIMA-1 tersebutcommit juga memiliki
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
dengan mutan p53 dalam sel hidup (Lambert et al., 2009). Berdasarkan penelitiannya, Padmarini (2011) menyatakan bahwa hasil docking MQ yang dilakukannya terhadap Y220C, menunjukkan bahwa MQ dapat masuk ke dalam cavity Y220C dan berinteraksi dengan sistein. Sehingga penggunaan senyawa MQ dalam modifikasi mutan p53 diperkirakan mampu mengembalikan konformasi p53 mendekati wild type-nya. Identifikasi terhadap molekul kecil yang mampu mereaktivasi mutan p53, seperti PRIMA-1 dan turunannya membuka peluang untuk mengembangkan obat antikanker yang lebih efisien. Meskipun efek biologis PRIMA-1 dapat dijelaskan dengan baik, namun mekanisme reaksi yang menggambarkan interaksi antara molekul tersebut dengan mutan p53 belum diketahui. Sehingga dibutuhkan informasi yang dapat menjelaskan mekanisme reaksi tersebut untuk memfasilitasi desain rasional obat yang lebih berpotensi dan molekul yang spesifik untuk reaktivasi mutan p53. Oleh karena itulah perlu dilakukan penelitian mengenai kemampuan molekul tersebut untuk berikatan dengan mutan p53 melalui pembentukan ikatan kovalen dengan gugus thiol sistein dalam NAC.
B. Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Pembentukan ikatan kovalen antara PRIMA-1 dengan gugus thiol NAC diperkirakan terjadi melalui substitusi nukleofilik pada salah satu gugus hidroksi PRIMA-1. PRIMA-1 mempunyai dua gugus hidroksi yang dapat berputar bebas dan saling memberikan pengaruh. Keberadaan gugus hidroksi yang tidak tersubstitusi pada PRIMA-1 dapat memberikan halangan yang sterik cukup besar dan diperkirakan dapat memberikan kesulitan pada proses substitusi. Pengaruh halangan
sterik
dari
gugus
hidroksi
tersebut
dapat
diketahui
dengan
membandingkan senyawa turunan PRIMA-1 yang tidak memiliki gugus hidroksi. PRIMA-1 dapat dikonversikan menjadi senyawa turunannya, yaitu PRIMA-1MET dan MQ. PRIMA-1MET mempunyai satu gugus hidroksi sedangkan MQ tidak mempunyai gugus hidroksi, yang keberadaannya digantikan oleh ikatan rangkap. to user Keberadaan gugus hidroksi yang commit tidak tersubstitusi pada PRIMA-1 dan PRIMA-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
1MET diperkirakan akan memberikan kontribusi terhadap halangan sterik dan kemudahan dalam pembentukan ikatan kovalen dengan gugus thiol NAC. Pemodelan terhadap reaksi pembentukan ikatan kovalen antara PRIMA1 dan gugus thiol NAC dapat dilakukan dengan mengikuti mekanisme substitusi nukleofilik. Mekanisme reaksi substitusi tersebut dapat dipelajari menggunakan SN1 ataupun SN2 dengan memperhatikan leaving group ability dari gugus hidroksi PRIMA-1. Gugus hidroksi merupakan leaving group yang kurang baik sehingga pelepasan gugus tersebut tidak dapat terjadi secara langsung dan membutuhkan desakan dari suatu nukleofil untuk menyerang atom C pusat reaksi (atom C yang mengikat gugus hidroksi). Mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen pada gugus thiol NAC dapat dipelajari dengan mengetahui konformasi awal reaktan, transition state dan konformasi produk reaksi. Sebagian besar sistein pada protein p53 menempati struktur loop dan β-sheet. Perbedaan konformasi asam amino sistein dalam sebuah protein dapat mengarahkannya menempati kedudukan pada α-helix, β-sheet atau loop. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap konformasi produk reaksi yang dihasilkan, yaitu mendekati struktur α-helix, β-sheet atau loop. Dengan menganalogikan NAC sebagai sistein pada protein p53, konformasi produk reaksi akan diarahkan mendekati loop atau β-sheet. Metode dalam komputasi yang dapat digunakan untuk pemodelan molekul adalah MM (Molecular Mechanics) dan QM (Quantum Mechanics). Metode MM dapat menangani struktur dan dinamika protein, tetapi tidak dapat diterapkan pada reaksi kimia mengingat metoda MM tidak cukup teliti. Sedangkan metode QM biasanya digunakan untuk mengkaji sistem reaksi yang melibatkan pemutusan dan pembentukan ikatan. Perhitungan dengan metode QM secara eksplisit mampu mendeskripsikan interaksi elektrostatik yang melibatkan distribusi elektron, yang tidak didapatkan dalam perhitungan dengan metode MM sehingga dapat memberikan akurasi yang lebih baik. Metode yang dapat digunakan dalam perhitungan kimia kuantum adalah semi empirik, DFT (Density Functional Theory) dan ab initio. Metode semi commitperhitungan to user empirik biasanya digunakan untuk pada sistem organik dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
perhitungannya lebih cepat dari ab initio. Metode DFT tidak dapat diterapkan untuk sistem yang melibatkan interaksi lemah (weakly bound system) seperti Van der Waals dan memiliki akurasi yang kurang baik untuk sistem dengan ikatan hidrogen. Metode ab initio dapat menyediakan akurasi terhadap hasil perhitungan kuantitatif, namun pada level teori HF (Hartree Fock) mengabaikan korelasi elektron pada sistem. Perhitungan komputasi pada reaksi kimia melibatkan distribusi elektron, meliputi transfer muatan dan efek polarisasi dalam sistem sehingga dibutuhkan treatment terhadap sistem untuk memperlihatkan interaksi antar elektron yang terlibat reaksi dengan memasukkan electron correlation (korelasi elektron). Electron correlation (EC) terdiri dari tiga teori, yaitu Configuration Interaction (CI), Perturbasi Moller-Pleset dan coupled cluster (CC). CI dapat memperhitungkan interaksi antar orbital dari setiap konfigurasi yang berinteraksi. CC hampir sama dengan CI, tetapi dapat memperhitungkan interaksi elektron semua orbital dari konfigurasi yang berinteraksi . Perhitungan dengan CI maupun CC membutuhkan basis set yang besar dan memori yang lebih banyak. Perturbasi Moller-Pleset hampir sama dengan CI, tetapi dapat memperhitungkan adanya gangguan dari konfigurasi yang lain dengan adanya interaksi elektron pada orbital-orbital lainnya yang saling berinteraksi. Perturbasi Moller-Pleset terdiri dari beberapa level teori, yaitu: MP2, MP3, MP4, MP5. Penggunaan level teori yang sederhana seperti MP2 membutuhkan kapasitas memori yang lebih sedikit dan waktu komputasi yang lebih cepat. Peningkatan akurasi terhadap hasil perhitungan dapat ditentukan dengan menggunakan basis set yang sesuai dengan mempertimbangkan kondisi sistem.
2. Batasan Masalah 1. Senyawa turunan PRIMA-1 yang digunakan sebagai pembanding adalah MQ. 2. Mekanisme pembentukan ikatan kovalen antara PRIMA-1 dan NAC dimodelkan dengan mengikuti mekanisme SN2 sedangkan mekanisme pembentukan ikatan kovalen antara MQ dan NAC dimodelkan dengan commit to user mengikuti mekanisme adisi nukleofilik.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
3. Mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen pada NAC ditentukan dengan mengetahui konformasi transition state dan produk reaksi. Konformasi produk reaksi yang diambil adalah konformasi β-sheet. 4. Metode yang digunakan dalam komputasi untuk mendapatkan konfigurasi reaktan dan produk reaksi adalah semi empirik. Sedangkan metode yang digunakan untuk komputasi secara detail terhadap energi dari konfigurasi reaktan dan produk reaksi adalah ab initio dengan level teori MP2.
3. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kemudahan pembentukan ikatan kovalen pada reaksi antara NAC dengan PRIMA-1 yang mempunyai gugus hidroksi dibandingkan dengan MQ yang mempunyai ikatan rangkap ? 2. Apakah mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen dengan NAC dapat berlangsung melalui PRIMA-1 dan MQ?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kemudahan pembentukan ikatan kovalen pada reaksi antara NAC dengan PRIMA-1 yang mempunyai gugus hidroksi dibandingkan dengan MQ yang mempunyai ikatan rangkap. 2. Mengetahui apakah mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen dengan NAC dapat berlangsung melalui PRIMA-1 dan MQ
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai reaksi pembentukan ikatan kovalen antara NAC dengan PRIMA-1 maupun MQ serta mekanisme reaksinya yang sesuai dengan menggunakan pendekatan mekanika kuantum. Hal ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu kesehatan terutama di bidang pengobatan kanker.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Struktur PRIMA-1 dan MQ Senyawa
2,2-bis(hydroxymethyl)-1-azabicyclo[2,2,2]octan-3-one
atau
yang dikenal sebagai PRIMA-1 (p53 reactivation and induction of massive apoptosis) diketahui mempunyai aktivitas antitumor in vivo (Bykov et al., 2002a; Wiman, 2010). Penelitian Bykov (2002a) menunjukkan bahwa PRIMA-1 dapat menghambat pertumbuhan sel pada beberapa kasus tumor dan secara efektif menghambat pertumbuhan sel tumor yang membawa mutan p53. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari database National Cancer Institute (NCI), PRIMA-1 merupakan salah satu senyawa dengan berat molekul rendah yang dapat mengembalikan fungsi p53 sebagai tumor suppresor gen (Bykov et al., 2002a) melalui pengembalian konformasi mutan p53 agar menyerupai wild type-nya (Bykov et al., 2002a, 2002b; Liang et al., 2009). PRIMA-1 merupakan senyawa yang relatif cepat dikonversikan menjadi senyawa lain dibawah kondisi fisiologis (Wiman, 2010). Produk hasil dekomposisi PRIMA-1 diantaranya adalah PRIMA-1Met dan MQ. Berikut ini adalah struktur PRIMA-1 dan MQ, seperti ditunjukkan oleh Gambar 1. O
O
HO H2C
HO N
N
B
A
Gambar 1. Struktur PRIMA-1 dan MQ. A. Struktur PRIMA-1, B. Struktur MQ
Salah
satu
produk
dekomposisi
PRIMA-1,
MQ
(Methylene
Quinoclidinone) mempunyai gugus aktif berupa ikatan rangkap. Gugus aktif useradisi nukleofilik (Lambert et al., tersebut cenderung berpartisipasicommit dalam to reaksi
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
2009). MQ merupakan senyawa analog MIRA-1 (Mutant p53-dependent Induction of Rapid Apoptosis 1) yang mempunyai ikatan rangkap dua yang reaktif dan aktivitas biologis dalam menghambat pertumbuhan sel tumor yang mengekspresikan mutan p53. Ikatan rangkap dua tersebut dapat berperan sebagai akseptor Michael dalam reaksi adisi Michael (Wiman, 2010). PRIMA-1 atau struktur analognya dapat menjadi senyawa yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi obat antikanker yang digunakan dalam treatment pada tumor yang membawa p53 (Bykov et al., 2002a). Hasil penelitian Lambert (2009) menunjukkan bahwa PRIMA-1 dan PRIMA-1Met dapat membentuk adduct melalui pembentukan ikatan kovalen dengan gugus thiol sistein NAC. Hasil eksperimen Lambert (2009) mengindikasikan bahwa pembentukan adduct yang dominan dari PRIMA-1 dan PRIMA-1Met dengan NAC adalah melalui konversi PRIMA-1 dan PRIMA-1Met menjadi MQ. Sedangkan adduct lainnya diperoleh melalui substitusi pada gugus hidroksi PRIMA-1 atau gugus metoksi PRIMA-1Met.
2. Mekanisme Reaksi Substitusi Nukleofilik Reaksi substitusi nukleofilik merupakan reaksi penggantian gugus pergi (leaving group) dalam suatu substrat, yang digantikan oleh nukleofil. Substrat merupakan senyawa yang mengalami reaksi substitusi atau pusat berlangsungnya reaksi substitusi. Reaksi substitusi berlangsung dengan adanya pemutusan satu ikatan kovalen dan pembentukan satu ikatan kovalen baru pada substrat. Mekanisme reaksi ini terjadi melalui pelepasan leaving group yang mengambil dua elektron dari ikatan kovalennya dan pengikatan nukleofil yang memberikan dua elektronnya untuk membentuk ikatan kovalen baru dengan substrat (Achmadi, 2003). Secara umum, reaksi substitusi ini dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Nu : Nukleofil netral Nu : Nukleofil anion
digilib.uns.ac.id 9
+
R:L substrat
+ R : Nu produk
+
:L gugus pergi
+
R:L substrat
R : Nu produk
+
:L gugus pergi
Gambar 2. Reaksi substitusi oleh nukleofil netral dan anion
Pemahaman terhadap nukleofil dan leaving group dapat dijelaskan berdasarkan sifat kebasaan (basicity) yang berkaitan dengan leaving ability. Nukleofil merupakan basa keras sedangkan leaving group merupakan basa lunak. Nukleofil adalah basa lewis yang mempunyai kecenderungan yang cukup kuat untuk mendonorkan pasangan elektron bebasnya (lone pair electron) (Morrison and Boyd, 1983). Nukleofil dapat bersifat netral maupun bermuatan negatif (anion). Nukleofil yang paling sering dijumpai adalah oksigen, nitrogen, sulfur, halogen dan nukleofil karbon (Achmadi, 2003). Sedangkan leaving group merupakan gugus yang memiliki kecenderungan untuk lepas dengan menarik pasangan elektron dari ikatan kovalennya (Morrison and Boyd, 1983). Leaving group ability ditentukan oleh kebasaan, anion basa keras merupakan leaving group yang buruk dibandingkan dengan anion basa lunak. Leaving group ability yang baik dimiliki oleh kelompok golongan halogen dalam senyawaan alkil halida, yang meningkat seiring naiknya keasaman. Iodida merupakan leaving group yang paling baik dari kelompok halogen (Carey, 2000). Sedangkan ion hidroksi adalah salah satu anion basa keras yang bersifat sebagai nukleofil kuat tetapi merupakan leaving group yang buruk (Isaac, 1995; Morrison and Boyd, 1983). Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik pada karbon dengan hibridisasi sp3 (saturated carbon) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu SN1 dan SN2. Perbedaan dari kedua mekanisme tersebut ditentukan dari banyaknya langkah yang dibutuhkan dalam proses pemutusan dan pembentukan ikatan kovalen serta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
faktor penentu laju reaksinya (Achmadi, 2003; Carey, 2000; Isaac, 1995; March, 1968; Morrison and Boyd, 1983). a. Substitusi Nukleofilik Unimolekuler (SN1) SN1 merupakan reaksi substitusi yang berlangsung secara unimolekur. Angka 1 menunjukkan orde reaksi substitusi tersebut dimana laju reaksi hanya ditentukan oleh substrat sebagai pusat reaksi. Reaksi dengan mekanisme tersebut berlangsung melalui dua tahap, yaitu pembentukan karbokation dan serangan nukleofil pada karbokation yang terbentuk. Dengan kata lain, proses pemutusan ikatan kovalen antara substrat dengan leaving group tidak berlangsung secara bersamaan dengan pembentukan ikatan kovalen baru pada substrat. Reaksi tersebut biasanya berlangsung pada atom karbon tersier (RR’R”C-) (Carey, 2000). Tahap pertama dari reaksi SN1 adalah pembentukan intermediet karbokation melalui pelepasan ikatan kovalen dengan leaving group. Tahap ini juga dikenal sebagai proses ionisasi atau disosiasi substrat (Achmadi, 2003; March, 1968). Tahap pertama merupakan tahap penentu laju reaksi yang bergantung pada kemudahan pembentukan karbokation. Karbokation yang terbentuk
pada
tahap
rearrangement
pertama
membentuk o
o
bersifat
karbokation
akhiral
dan
dapat
dengan
stabilitas
mengalami yang
tinggi
o
(karbokation 3 >2 >1 ). Tahap kedua adalah serangan nukleofil terhadap karbokation yang terbentuk pada tahap pertama (Achmadi, 2003; Carey, 2000), seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.
C
lambat L
+
:Nu
+
karbokation
substrat
C
C+
cepat
gugus pergi
dan
C Nu
karbokation
:L
C Nu
nukleofil
commit to user Gambar 3. Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN1)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
Gambar 3 menunjukkan bahwa karbokation terhibridisasi sp2, mengikat 3 subtituen secara kovalen membentuk geometri planar (Achmadi, 2003; Carey, 2000). Ketiga subtituen tersebut terletak pada bidang yang sama dan bidang tersebut simetri sehingga pada saat tahap kedua berlangsung, nukleofil dapat menyerang karbokation dari depan atau belakang bidang. Produk yang diperoleh dari reaksi ini merupakan rasemat yang mempunyai konfigurasi retensi apabila serangan nukleofil dari depan bidang dan konfigurasi inversi apabila serangan nukleofil dari belakang bidang. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi SN1 tidak bersifat stereospesifik seperti reaksi SN2 (Carey, 2000). b. Substitusi Nukleofilik Bimolekuler (SN2) SN2 adalah reaksi substitusi nukleofilik yang berlangsung secara bimolekuler. Angka 2 menunjukkan bahwa mekanisme tersebut berlangsung bimolekuler. Reaksi bimolekuler melibatkan dua molekul yang berinteraksi secara langsung (Isaac, 1995). Reaksi dengan mekanisme ini berlangsung melalui satu langkah dimana proses pemutusan ikatan kovalen berlangsung secara bersamaan dengan pembentukan ikatan kovalen yang baru pada substrat (Gambar 4). Sehingga laju reaksi akan ditentukan oleh 2 molekul yang berinteraksi, yaitu substrat dan nukleofil (Achmadi, 2003; Carey, 2000; Isaac, 1995; March, 1968; Morrison and Boyd, 1983). Reaksi SN2 berlangsung pada atom karbon sebagai pusat reaksi. Atom karbon yang dapat berperan sebagai pusat reaksi SN2 adalah gugus metil, atom C primer (RCH2-) dan atom C sekunder (RR’CH-) (Carey, 2000; Isaac, 1995). Pada saat reaksi SN2 berlangsung, nukleofil akan menyerang substrat pada posisi yang searah dengan lepasnya leaving group. Nukleofil akan menyerang dari sisi belakang ikatan kovalen atom C substrat - leaving group (Achmadi, 2003; Isaac, 1995; Morrison and Boyd, 1983) membentuk sudut 180o terhadap leaving group (March, 1968). Atom C pusat mengikat tiga substituen membentuk konformasi coplanar pada saat keadaan transisi. Disamping itu, atom C pusat juga mengikat nukleofil dan leaving group secara parsial (Achmadi, 2003; Carey, 2000; March, 1968), to user membentuk senyawa pentavalentcommit dengan bentuk geometri trigonal bipiramid
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
(Carey, 2000), seperti ditunjukkan oleh Gambar 4. Senyawa tersebut mempunyai ikatan yang relatif pendek dengan nukleofil, sedangkan ikatan pada leaving group relatif panjang dan lemah. Oleh karena itulah, ikatan pada leaving group akan putus dan ikatan kovalen yang baru dengan nukleofil akan terbentuk secara bersamaan pada akhir reaksi. Produk reaksi yang dihasilkan mengalami perubahan bentuk geometri dari trigonal bipiramid menjadi tetrahedral dengan terbentuknya empat ikatan kovalen pada atom C pusat (Carey, 2000).
Nu :
nukleofil
+
C
L
Nu
substrat
C
L
keadaan transisi
Nu
C
produk
+
:L
gugus pergi
Gambar 4. Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2) Gambar 4 menjelaskan bahwa reaksi SN2 merupakan reaksi yang bersifat stereospesifik, yaitu reaksi yang menghasilkan produk dengan konfigurasi yang secara stereokimia berbeda dengan reaktan (produk adalah enantiomer reaktan) (Morrison and Boyd, 1983). Atom C sebagai pusat reaksi bersifat optis aktif. Serangan nukleofil dari belakang atom pusat mengarahkan reaksi substitusi berjalan dengan konfigurasi inversi (Walden Inversi) (Achmadi, 2003; Carey, 2000; Morisson and Boyd, 1983). 3. Mekanisme Reaksi Adisi Nukleofilik pada karbon tak jenuh-α, β Adisi nukleofilik merupakan reaksi pemutusan ikatan rangkap oleh nukleofil, yang terjadi pada rantai karbon tak jenuh (unsaturated). Ikatan rangkap pada karbon-karbon alkena biasanya bersifat non polar. Adanya ikatan rangkap yang terkonjugasi dengan gugus karbonil seperti pada keton yang memiliki atom karbon tak jenuh-α, β, akan memberikan polaritas terhadap ikatan rangkap tersebut. Oksigen pada gugus karbonil yang memiliki elektronegatifitas lebih besar dibandingkan atom karbon cenderung bermuatan parsial negatif, sedangkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
muatan parsial positif diemban oleh karbon-β dan karbon karbonil (Pudjaatmaka, 1999). Sistem dengan ikatan rangkap terkonjugasi gugus karbonil pada keton tak jenuh -α, β, akan mengarahkan reaksi adisi nukleofilik berlangsung melalui conjugate addition menyerupai reaksi adisi 1,4 pada diena terkonjugasi. Mekanisme reaksi adisi nukleofilik pada ikatan rangkap yang terkonjugasi dengan gugus karbonil pada umumnya berlangsung mengikuti mekanisme reaksi Michael Reaction atau Michael addition. (March, 1968; Laue & Plagens, 2005; Pudjaatmaka, 1999). Reaksi Michael addition berlangsung melalui dua tahap reaksi. Tahap pertama yaitu serangan nukleofil pada ikatan rangkap karbon-α, β menghasilkan karbanion melalui pemutusan ikatan rangkap. Nukleofil membawa pasangan elektronnya menuju atom karbon-β yang terlibat dalam ikatan rangkap, memaksa elektron π pada ikatan rangkap tersebut menuju atom karbon lainnya membentuk karbanion yang dapat beresonansi, seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Karbanion dapat beresonansi dengan gugus karbonil membentuk anion pada atom oksigen. Tahap kedua adalah serangan substituen bermuatan positif pada spesi yang bermuatan negatif (March, 1968) Y
Y
C
C
C
O
C
Y
C
C
O
C
C
Y
H
C
C
C
O
C
O
HY Y
C
C
C
OH
Gambar 5. Mekanisme reaksi adisi nukleofilik pada senyawa karbonil tak jenuhα, β Reaksi Michael addition berlangsung melalui rearrangement karbanion pada ikatan rangkap yang terkonjugasi dengan karbonil dan mengarahkan pada tautomerisasi pembentukan enolat dan keton (March, 1968; Laue & Plagens, commit to user 2005, Pudjaatmaka, 1999).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
Reaksi samping yang juga kompetitif adalah adisi 1,2 pada ikatan rangkap gugus karbonilnya, terutama untuk sistem terkonjugasi seperti aldehid tak jenuhα, β. Reaksi adisi 1,2 berlangsung melalui serangan nukleofil pada karbon karbonil, menghasilkan spesi bermuatan negatif yang tidak dapat beresonansi. Sedangkan pada senyawa keton tak jenuh-α, β, nukleofil cenderung tidak menyerang pada atom karbon karbonil. Adanya sterik pada gugus karbonil mengarahkan nukleofil menyerang pada atom karbon parsial positif yang terintangi (jauh dari karbonil) bukan pada karbon karbonil. Serangan nukleofil pada atom karbon-β menghasilkan karbanion yang dapat beresonansi. Sehingga produk yang dihasilkan cenderung lebih stabil (March, 1968; Pudjaatmaka, 1999).
4. Struktur Sekunder Protein Asam amino tersusun dari atom karbon pusat yang bersifat khiral yaitu atom C alfa (Cα). Atom pusat tersebut mengikat gugus karbonil (COOH), gugus amino (NH2), atom hidrogen dan gugus tertentu (sebagai rantai samping), seperti ditunjukkan oleh Gambar 6. Asam amino essensial terdiri dari 20 jenis dan semuanya memiliki struktur yang sama kecuali pada rantai sampingnya. Rantai samping memberikan karakteristik tertentu pada suatu asam amino sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam penggolongan asam amino (Nelson and Cox, 2004; Berg et al., 2002). Asam amino dapat bergabung dengan asam amino lainnya melalui pembentukan ikatan amida atau ikatan peptida. Ikatan tersebut terbentuk melalui ikatan kovalen antara gugus karboksil suatu asam amino dengan gugus amino dari asam amino lainnya, yang diikuti oleh pelepasan molekul air (H2O). Ikatan peptida ini menghubungkan beberapa asam amino membentuk rangkaian polipeptida penyusun protein (Nelson and Cox, 2004).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
rantai samping R H
OH
C N
gugus amino
gugus karboksilat
C H
O
H
Gambar 6. Kerangka dasar asam amino
Struktur protein dapat digolongkan menjadi empat tingkatan yaitu struktur primer, struktur sekunder, struktur tersier dan struktur kuarterner (Nelson and Cox, 2004; Berg et al., 2002). Struktur primer merupakan struktur yang terbentuk dengan adanya ikatan peptida antara atom C karbonil dan atom N amino dari residu asam amino yang tersusun berurutan membentuk rantai polipeptida. Residu asam amino merupakan satu unit asam amino yang menyusun rantai polipeptida. Struktur primer dapat ditentukan dengan mengetahui jenis dan urutan residu asam amino penyusun rantai polipeptida (Berg et al., 2002). Struktur sekunder merupakan struktur yang terbentuk dengan adanya perubahan pada backbone polipeptida membentuk pola lipatan berulang (Nelson and Cox, 2004). Pola lipatan berulang ini terbentuk dikarenakan adanya rotasi bebas dari dua ikatan kovalen pada backbone polipeptida, yaitu ikatan yang berada disekitar Cα dengan N gugus amino dan Cα dengan C karbonil. Rotasi disekitar kedua ikatan kovalen tersebut menghasilkan sudut dihedral yang spesifik (Berg et al., 2002; Murray et al., 2003), seperti ditunjukkan oleh Gambar 7. R
H
O
H
C
N
C N
C
H
O
H
C H
R
R
C N
C
H
O
Gambar 7. Sudut dihedral phi (φ) dan psi (ψ) pada backbone protein sekunder
Gambar 7 menunjukkan adanya rotasi pada backbone protein. Sudut commit to user dihedral yang terbentuk dari rotasi disekitar ikatan Cα dengan N adalah phi (ɸ).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
Sedangkan sudut dihedral yang terbentuk dari rotasi disekitar ikatan Cα dengan C karbonil adalah psi (Ψ) (Berg et al., 2002; Murray et al., 2003). Besar sudut dihedral tersebut berkisar antara -180° dan +180°. Rotasi-rotasi ini menentukan masing-masing bentuk struktur protein sekunder. Struktur sekunder memiliki 3 bentuk umum, yaitu: alfa (α) heliks, beta (β) sheet (kombinasi dari sejumlah beta strand) dan loop (juga disebut reverse turns atau coil). Rotasi pada backbone dari konformasi α-heliks mempunyai nilai phi -57o dan psi -47o. Sedangkan untuk konformasi β-sheet mempunyai nilai phi dan psi positif (Murray et al., 2003). Spesifikasi sudut dihedral yang mendefinisikan dua tipe struktur sekunder α-heliks dan β-sheet telah ditentukan dalam Ramachandran Plot seperti ditunjukkan oleh Gambar 8.
Gambar 8. Sudut dihedral phi (φ) dan psi (ψ) pada konformasi α-heliks dan β-sheet dalam Ramachandran Plot Perbedaan kedua struktur tersebut juga ditentukan oleh ikatan hidrogen yang terbentuk antara C karbonil dan NH amino pada backbone polipeptidanya. Struktur α-heliks mempunyai konformasi spiral dengan terbentuknya ikatan hidrogen antara C karbonil residu pertama dengan NH amino residu kelima dalam satu rantai polipeptida. Sedangkan struktur β-sheet mempunyai konformasi membentuk rantai paralel atau antiparalel dengan bentuk zig-zag atau berkelokkelok. Konformasi tersebut terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara C karbonil residu pertama pada suatu rantai polipeptida dengan NH amino residu commit to user kedua pada rantai polipeptida lain yang berdekatan (Berg et al., 2002).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
5. Quantum Mechanics (QM) Quantum Mechanics (QM) atau mekanika quantum merupakan deskripsi matematik yang digunakan untuk menyelesaikan fungsi gelombang dengan menggunakan persamaan Schrodinger. Teori QM dapat digunakan untuk memprediksikan banyak sifat sebuah atom atau molekul secara tepat. Dalam praktiknya, persamaan QM telah digunakan untuk menyelesaikan sistem satu elektron. Teori QM menggunakan fungsi gelombang dan operator Hamiltonian untuk menghitung energi sistem. Fungsi gelombang merupakan fungsi posisi elektron dan nuclear untuk mendeskripsikan sebuah elektron sebagai sebuah fungsi gelombang. Fungsi gelombang ini dapat digunakan untuk mendeskripsikan probabilitas elektron pada lokasi tertentu, tetapi tidak dapat memprediksikan secara tepat letak dari elektron tersebut (Young, 2001). Operator Hamiltonian memberikan pengaruh terhadap nilai energi total sistem dengan memperhatikan kontribusi energi kinetik elektron dan inti, daya tarik elektron terhadap inti, tolakan interelektronik dan internuclear (Cramer, 2004). Metode mekanika kuantum merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam permodelan molekul (Leach, 2001). Metode QM digunakan untuk pembelajaran secara detail terhadap struktur dan reaktivitas dari berbagai sistem. QM mampu merepresentasikan elektron secara eksplisit dalam sebuah perhitungan sehingga memungkinkan untuk mengetahui sifat-sifat elektronik yang terkait dengan distribusi elektron seperti momen dipol dan densitas muatan. Metode ini biasanya digunakan dalam investigasi reaksi kimia yang melibatkan pemutusan dan pembentukan ikatan (Field, 2002; Dolenc and Koller, 2006; Leach, 2001). QM dapat digunakan untuk menghitung energi relatif suatu konformasi dan energi barier-nya. Metode QM dalam simulasi kimia digunakan untuk mendeskripsikan situs aktif dimana reaksi kimia atau eksitasi elektronik terjadi. Keuntungan dari sistem yang diberikan treatment dengan metode tersebut adalah interaksi elektrostatik dapat dideskripsikan secara realistis (Thiel, 2009). Alasan lain yang mendasari penggunaan QM dalam simulasi kimia adalah perubahan struktur elektronik yang commit dan to user melibatkan interaksi pertukaran muatan pengaruh polarisasi tidak diabaikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
(Liu et al., 2001). Oleh karena itulah, treatment dengan metode QM dapat memberikan prediksi dengan akurasi yang lebih baik terhadap struktur dan energi dari kelompok yang terlibat reaksi dalam sistem molekuler yang besar (Field, 2001; Liu et al., 2001). Namun, kelemahan dari metode tersebut adalah komputasinya cukup mahal untuk pembelajaran sistem yang cukup besar, seperti biomolekul (Dolenc and Koller, 2006).
6. Metode Komputasi QM dapat digunakan untuk menjelaskan tahapan dalam pembelajaran reaksi kimia, meliputi tahap pemutusan dan pembentukan ikatan, dimana tahapan tersebut berlangsung cepat atau sebaliknya. Metode QM dapat memprediksikan struktur dan energi dari kelompok reaksi dalam sistem molekuler yang besar secara akurat (Field, 2001). Di samping itu, QM dapat digunakan dalam pencarian struktur transisi (Leach, 2001). Ada beberapa teori kuantum untuk treatment sistem molekuler, diantaranya adalah ab initio dan semi empirik (Leach, 2001). a. Ab Initio Perhitungan
ab
initio
dapat
dilakukan
dengan
sederhana
menggunakan level teori Hartree-Fock (HF). Perhitungan dengan level teori HF didasarkan pada pendekatan medan pusat (central field approximation), dimana tolakan kolombik elektron-elektron dihitung sebagai rata-rata dari efek tolakan, bukan sebagai interaksi elektron-elektron secara eksplisit (Knowles et al, 2000; Young, 2001). Biasanya hasil perhitungan HF lebih besar dibandingkan dari energi yang sebenarnya dan cenderung mendekati nilai limitnya dengan adanya peningkatan basis set yang digunakan (Leach, 2001; Young, 2001). Dalam teori HF, probabilitas untuk menemukan elektron di suatu daerah dalam atom didefinisikan sebagai jarak dari inti bukan jarak terhadap elektron lainnya (Young, 2001). Kelebihan dari metode ini adalah penyelesaian persamaan Schrodinger yang lebih mudah dengan menggunakan persamaan satu elektron. Kekurangan dari perhitungan HF adalah tidak menyertakan korelasi elektron di dalamnya (Cramer, 2004; Dorsett and White, to user2001). 2000; Hinchliffe, 2000; Leach,commit 2001; Young,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Koreksi terhadap HF dapat dilakukan dengan menggunakan teori yang menyertakan korelasi elektron (electron correlation) untuk memperlihatkan interaksi antar elektron. Teori yang menyertakan Electron Correlation (EC) terdiri dari tiga, yaitu Configuration Interaction (CI), Perturbasi Moller Pleset dan Coupled Cluster (CC). CI dapat memperhitungkan interaksi antar orbital dari setiap konfigurasi yang berinteraksi. CC hampir sama dengan CI, tetapi dapat memperhitungkan interaksi elektron semua orbital dari konfigurasi yang berinteraksi . Perhitungan dengan CI maupun CC membutuhkan basis set yang besar dan memori yang lebih banyak. Perturbasi Moller-Pleset hampir sama dengan CI, tetapi dapat memperhitungkan adanya gangguan dari konfigurasi yang lain dengan adanya interaksi elektron pada orbital-orbital lainnya yang saling berinteraksi (Leach, 2001). Teori Perturbasi Moller-Plesset memberikan penyelesaian terhadap permasalahan yang terdapat dalam HF dengan adanya koreksi pada fungsi gelombang HF melalui penambahan perturbasi untuk menghitung korelasi elektron. Terdapat beberapa tingkatan teori Perturbasi Moller-Plesset berdasarkan jumlah korelasi yang ditambahkan, diantaranya teori Perturbasi Moller-Plesset orde 2 (MP2), orde 3 (MP3), orde 4 (MP4) dan orde 5 (MP5) (Cramer, 2004; Dorsett and White, 2000; Hinchliffe, 2000; Leach, 2001; Young, 2001). Perhitungan dengan MP5 jarang dilakukan karena biaya komputasinya cukup mahal. Untuk beberapa sistem, energi hasil perhitungan dengan MP2, MP3 dan MP4 dapat menjadi lebih rendah dan dekat dengan energi totalnya (Leach, 2001; Young, 2001). Metode Perturbasi Moller-Plesset biasanya digunakan untuk kalkulasi single point terhadap geometri yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan teori pada level yang rendah. Perhitungan dengan Moller-Plesset merupakan cara yang populer dilakukan untuk memasukkan korelasi elektron dalam perhitungan mekanika kuantum, terutama pada level teori MP2. Beberapa perhitungan Moller-Plesset bersifat spesifik, yaitu menggunakan level teori dengan basis set tertentu. Salah satunya adalah perhitungan dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
teori Moller-Plesset orde 2 (MP2) yang menggunakan basis set 6-31G* (Leach, 2001). b. Semi Empirik Perhitungan semi empirik secara umum memiliki kesamaan dengan perhitungan HF yaitu dengan melibatkan sebuah fungsi gelombang dan Hamiltonian. Perhitungan dengan metode ini biasanya hanya menggunakan basis set minimal, tidak memasukkan core elektron, dan beberapa integral dua elektron dihilangkan (Young, 2001). Pada perhitungan semi empirik, beberapa integral yang digunakan dalam perhitungan HF diabaikan dan secara eksplisit lebih fokus terhadap elektron valensi dalam sistem (Leach, 2001). Koreksi terhadap penghilangan beberapa integral dilakukan dengan parameterisasi, yaitu dengan menyesuaikan hasilnya dengan hasil eksperimen atau perhitungan ab initio. Kelebihan metode ini adalah perhitungannya lebih cepat dibandingkan dengan ab initio (Dorsett and White, 2000; Young, 2001). Kekurangannya adalah penentuan akurasi perhitungan bergantung pada parameter yang telah diset (Young, 2001). Perhitungan semi empirik memberikan gambaran yang baik terhadap sistem organik, dimana sedikit unsur digunakan secara ekstensif dan molekulnya berukuran sedang (moderate size) (Young, 2001). Namun metode ini kurang akurat untuk perhitungan pada sistem yang disertai ikatan hidrogen, transisi kimia dan senyawa nitrat (Dorsett and White, 2000). Beberapa metode semi empirik dapat dikelompokkan berdasarkan parameterisasi atau treatment yang diberikan terhadap interaksi elektron-elektron, yaitu: ZDO (Zerodifferential Overlap), CNDO (CompleteNeglect of Differential Overlap), INDO (IntermedietNeglect of Differential Overlap), NDDO (Neglect of Diatomic Differential Overlap), MINDO/3, MNDO (ModifiedNeglect of Differential Overlap), AM1 (Austin Model 1), PM3 (Parameterized Model 3) dan SAM1(Semi Ab-Initio Model1) (Leach, 2001). Perhitungan
dengan
ZDO
menggunakan
pendekatan
dengan
memberikan nilai 0 terhadap overlap diantara pasangan orbital yang berbeda commit tometode user (Leach, 2001). CNDO merupakan yang mengimplementasikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
pendekatan ZDO (Leach, 2001) dengan menggunakan basis set minimal (orbital tipe Slater) (Young, 2001). INDO merupakan modifikasi dari CNDO dengan memasukkan differential overlap monoatomik untuk integral satu pusat (one-centre integral) yaitu dengan memasukkan fungsi basis pusat untuk atom yang sama (Leach, 2001). Sedangkan NDDO merupakan pengembangan dari INDO, hanya saja mengabaikan differential overlap diantara orbital pada atom yang berbeda (Dorsett and White, 2000; Leach, 2001) . MINDO/3 merupakan modifikasi dari INDO dengan memasukkan fungsi interaksi core-core ke dalam integral tolakan elektron-elektron (Leach, 2001). MNDO merupakan modifikasi dari MINDO dengan berdasarkan pada NDDO sehingga menghasilkan term tolakan core-core yang berbeda melalui treatment yang diberikan pada ikatan OH dan NH secara terpisah. AM1 dikembangkan dengan menyelesaikan permasalahan pada MNDO terkait dengan nilai yang over estimate untuk tolakan antara atom yang dipisahkan oleh jarak, dengan menggunakan nilai pendekatan dari jumlah Van der Waals radii dalam sistem dan modifikasi term core-core dengan fungsi Gaussian. PM3 menggunakan persamaan yang mendekati metode AM1 tetapi terdapat modifikasi pada parameterisasinya dengan menggunakan prosedur J J P Stewart (Leach, 2001). Sedangkan SAM1 merupakan pengembangan ab initio dan semi empirik. Metode ini masih mengabaikan beberapa integral yang digunakan dalam perhitungan HF tetapi integral yang dimasukkan dalam perhitungan lebih banyak dari metode semi empirik lainnya dengan mengikutsertakan orbital d (Young, 2001). SAM1 menggunakan basis set standar STO-3G untuk mengevaluasi integral tolakan elektron, jumlah parameter yang digunakan tidak lebih besar dari AM1 dan lebih sedikit dibandingkan PM3 (Leach, 2001). SAM1 memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan PM3 dan AM1 tetapi membutuhkan memori CPU dan waktu perhitungan yang lebih lama (Young, 2001). Metode semi empirik yang sering digunakan dalam perhitungan mekanika kuantum adalah MNDO, AM1 dan PM3 (Dolenc and Koller, 2006). commit to akurat user untuk sistem terkonjugasi dan Kelemahan dari MNDO adalah kurang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
sistem intermolekuler yang melibatkan ikatan hidrogen (Leach, 2001). PM3 dan AM1 memberikan hasil perhitungan untuk sistem organik dengan akurasi yang lebih baik
dibandingkan MNDO. Secara umum
AM1 dapat
memprediksikan energi dan geometri lebih baik dibandingkan MNDO tetapi tidak sebaik PM3 (Cramer, 2004; Young, 2001).
7. Basis Set Basis set merupakan sekumpulan fugsi matematika yang digunakan untuk menggambarkan bentuk orbital di dalam atom (Dorsett and White, 2000; Young, 2001). Basis set dapat dikategorikan menjadi dua berdasarkan fungsi yang digunakan, yaitu: STO (menggunakan persamaan Slater) dan GTO (menggunakan persamaan Gaussian). STO adalah fungsi yang digunakan untuk menyelesaikan persamaan Schrodinger untuk atom hidrogen. Saat ini perhitungan banyak dilakukan dengan menggunakan basis set GTO, tetapi basis set STO terkadang digunakan untuk perhitungan dengan akurasi tinggi (Young, 2001). Term basis set dalam perhitungan mekanika kuantum menggunakan kumpulan contracted gaussian untuk mempresentasikan orbital atom, yang dioptimasi untuk mengetahui sifat-sifat kimia sistem. Jenis basis set bervariasi tergantung ukuran dan deskripsi terhadap elektronnya pada orbital atom yang berbeda. Basis set yang lebih besar menyediakan range basis fungsi lebih banyak dan lebih besar serta dapat menghasilkan akurasi fungsi gelombang yang lebih baik. Namun basis set tersebut membutuhkan memori yang lebih besar (Dorsett and White, 2000). a. Minimal Basis Set Minimal basis set merupakan basis set terkecil. Basis set ini menggunakan sebuah contraction untuk mendefinisikan semua orbital di dalam atom (Leach, 2001). Contraction merupakan jumlah dari satu hingga sembilan fungsi Gaussian primitif (Young, 2001). Minimal basis set merupakan kombinasi linier STO dengan n GTO atau dinotasikan dengan STO-nG, dengan variasi nilai n= 2-6 (Hinchliffe, 2000; Leach, 2001; Young, 2001). Minimal commit to userNotasi STO-3G mengindikasikan basis set yang populer adalah STO-3G.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
bahwa perkiraan bentuk orbital STO dilakukan dengan menggunakan sebuah single contraction dari tiga orbital GTO (Young, 2001). Basis set ini dapat digunakan untuk memberikan gambaran kualitatif terhadap geometri molekuler (Leach, 2001) dan ikatan kimia pada struktur yang sederhana (Dorsett and White, 2000). Namun tidak dapat mendeskripsikan distribusi elektronik (Leach, 2001) sehingga tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam perhitungan energi molekuler yang konsisten dan membutuhkan akurasi tinggi (Dorsett and White, 2000). b. Split Valence Basis Set Split valence basis set merupakan basis set dengan penambahan basis fungsi (1 contracted gaussian ditambah beberapa fungsi Gaussian primitif) yang dialokasikan untuk setiap orbital valensi atom. Basis set ini dikarakterisasi berdasarkan jumlah fungsi Gaussian primitif yang dialokasikan untuk setiap orbital valensi atom (Dorsett and White, 2000). Pople dan coworker mengembangkan basis set ini dengan menambahkan fungsi Gaussian yang digunakan untuk menggambarkan elektron kulit dalam dan luar. Basis set tersebut terdiri dari 3-21G, 4-31G dan 6-31G. Basis set 6-31G merupakan basis set yang sangat populer untuk perhitungan pada molekul organik. 6-31G mendeskripsikan adanya sebuah contracted gaussian yang terdiri dari 6 fungsi Gaussian primitif untuk orbital atom kulit dalam, sebuah contracted gaussian yang terdiri dari 3 Gaussian primitif untuk valensi kulit dalam dan sebuah Gaussian primitif untuk valensi kulit luar (Dorsett and White, 2000; Leach, 2001) c. Polarised basis set Fungsi polarisasi ditambahkan pada split valence basis set untuk mendeskripsikan ikatan kimia yang disertai dengan penggantian muatan yang jauh dari inti (Dorsett and White, 2000). Fungsi polarisasi tersebut ditambahkan pada kulit valensi eletron dan dinotasikan dengan * atau (d) dan ** atau (d, p). Notasi 6-31G* atau 6-31G(d) mendeskripsikan adanya penambahan 6 fungsi Gaussian primitif tipe-d terhadap basis set 6-31G untuk commit to user basis set 6-31G(d, p) atau 6atom non hidrogen (heavy atom). Sedangkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
31G** mendapatkan penambahan satu set fungsi gaussian tipe-p untuk atom H atau He (Leach, 2001; Dorsett and White, 2000). Polarisasi
digunakan
dalam
sistem,
dimana
atom
bebasnya
mendapatkan induksi polarisasi oleh medan listrik eksternal atau pada saat pembentukan molekul (Hinchliffe, 2000). Fungsi polarisasi ini digunakan karena dapat memberikan hasil dengan akurasi lebih baik untuk geometri dan vibrational frequencies (Young, 2001). Penambahan orbital p untuk hidrogen biasanya digunakan pada sistem dimana hidrogen sebagai bridging atom (Leach, 2001; Dorsett and White, 2000). d. Diffuse Basis Set Diffuse basis set merupakan basis set split valence yang mendapatkan tambahan fungsi difusi. Fungsi difusi adalah fungsi primitif yang ditambahkan untuk menggambarkan bentuk fungsi gelombang yang jauh dari inti. Penambahan tersebut dinotasikan dengan single plus (+) atau double plus (++). Penambahan single plus mendeskripsikan adanya penambahan fungsi Gaussian tipe s dan p (misalkan 3-21+G) digunakan untuk atom selain hidrogen. Sedangkan penambahan efek difusi untuk atom hidrogen dan atom yang lebih besar dinotasikan dengan penambahan double plus (++) (Dorsett and White, 2000; Leach, 2001). Diffuse basis set biasanya digunakan untuk sistem yang mempunyai densitas distribusi elektron cukup besar dan terletak jauh dari inti pusat, seperti lone pair electron, anion dan excited state (Hinchliffe, 2000; Leach, 2001; Young, 2001). Basis set tersebut dapat digunakan untuk mendeskripsikan interaksi pada jarak yang jauh seperti interaksi Van der Waals (Young, 2001) dan perpindahan elektron yang lemah pada kulit terluar (Hinchliffe, 2000). Efek difusi yang diberikan dapat mengubah energi relatif pada beberapa geometri yang bergabung dengan sistem (Young, 2001). Sehingga dapat digunakan untuk perhitungan afinitas elektron, afinitas proton, barier inversi, dan sudut ikatan dalam anion (Dorsett and White, 2000). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
B. Kerangka Pemikiran PRIMA-1 dan MQ dapat bereaksi dengan NAC membentuk senyawa berupa adduct melalui pembentukan ikatan kovalen pada gugus thiol NAC. NAC mempunyai gugus thiol yang dapat bertindak sebagai nukleofil. Perbedaan konformasi pada PRIMA-1 dan MQ mengarahkan pada pemodelan reaksi pembentukan ikatan kovalen yang berbeda. Pembentukan ikatan kovalen antara PRIMA-1 dan NAC terjadi melalui substitusi nukleofilik pada salah satu gugus hidroksi PRIMA-1 yang merupakan bad leaving group. Pelepasan gugus hidroksi tersebut tidak dapat terjadi secara langsung, tetapi berlangsung dengan adanya desakan dari nukleofil pada sisi yang berseberangan dengan gugus tersebut. Sehingga pembentukan ikatan kovalen antara PRIMA-1 dengan gugus thiol NAC dapat dimodelkan dengan mekanisme SN2. MQ merupakan turunan PRIMA-1 yang tidak mempunyai gugus hidroksi, tetapi mempunyai ikatan rangkap yang reaktif. Pembentukan ikatan kovalen antara MQ dan NAC diperkirakan terjadi melalui adisi nukleofilik. Ikatan rangkap pada MQ merupakan ikatan rangkap terkonjugasi dengan gugus karbonil sehingga mempunyai dua atom karbon parsial positif, yaitu karbon karbonil dan atom karbon-β. MQ mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi dengan gugus karbonil yang dapat dianalogikan sebagai keton yang mempunyai karbon tak jenuh-α, β. Sehingga pemodelan reaksi adisi nukleofilik pada ikatan rangkap MQ akan mengikuti mekanisme reaksi adisi Michael (Michael addition), yang berlangsung melalui serangan nukleofil NAC pada karbon-β. PRIMA-1 mempunyai dua gugus hidroksi yang dapat berputar bebas dan saling memberikan pengaruh. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi kemudahan substitusi gugus hidroksi PRIMA-1 sebagai leaving group oleh nukleofil NAC pada saat reaksi berlangsung. Hal ini dikarenakan adanya halangan sterik yang terdapat pada senyawa PRIMA-1, terutama dari rotasi gugus hidroksi PRIMA-1 yang tidak tersubstitusi. Kemudahan substitusi nukleofil pada leaving group dapat ditentukan
dengan
menggunakan
konfigurasi
PRIMA-1
yang
secara
termodinamika mempunyai halangan sterik kecil. Konfigurasi PRIMA-1 tersebut commit to user dapat diperoleh dengan mengkondisikan adanya rotasi pada gugus hidroksi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
PRIMA-1 yang akan disubstitusi sementara gugus hidroksi lainnya tetap dikondisikan bebas (tidak dibuat rigid). Sehingga akan diperoleh konfigurasi PRIMA-1 yang mempunyai halangan sterik kecil dengan mempertimbangkan posisi hasil rotasi dari kedua gugus hidroksi tersebut. Pemodelan mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen antara NAC dengan PRIMA-1 dan MQ dapat dipelajari dengan mengetahui konfigurasi reaktan, transition state dan produk reaksi. Konfigurasi reaktan dan produk yang mendekati initial geometri-nya dapat diperoleh melalui optimasi geometri. Optimasi geometri dapat menjadi perhitungan dengan waktu komputasi yang lama sehingga efisiensi dari perhitungan tersebut ditentukan dengan menggunakan metode semi empirik pada teori PM3. Perhitungan secara detail terhadap energi dari konfigurasi yang diperoleh dari optimasi geometri dilakukan melalui kalkulasi single point dengan tingkat akurasi yang dapat ditentukan. Perhitungan energi pada konfigurasi reaktan dan produk melibatkan korelasi elektron dan induksi polarisasi. Sehingga akurasi hasil kalkulasi single point ditentukan dengan menggunakan level teori MP2 dan basis set dengan tambahan fungsi polarisasi yaitu 6-31G(d). Konformasi β-sheet dari produk yang dihasilkan pada reaksi antara PRIMA-1 dan MQ dengan NAC dapat ditentukan dengan menyesuaikan nilai psi (torsi antara Cα - N gugus amino yang terikat pada karbonil) dan phi (torsi antara C karbonil - Cα) pada rantai polipeptida yang merujuk pada Ramachandran Plot. Namun, produk reaksi antara PRIMA-1 dan MQ dengan NAC hanya tersusun dari satu asam amino sehingga hanya dapat ditentukan nilai psi-nya. Penentuan konformasi produk reaksi tersebut dapat dilakukan dengan melihat psi yang terbentuk antara Cα dengan atom O hidroksi pada gugus karbonil NAC yang dianalogikan sebagai psi yang terbentuk antara Cα – N. Penentuan reaksi yang berlangsung pada pembentukan ikatan kovalen dengan NAC dapat diketahui dengan membandingkan kemudahan pembentukan adduct dari reaksi antara PRIMA-1 dengan NAC dan MQ dengan NAC. Kemudahan pembentukan adduct antara kedua produk reaksi tersebut dapat commit to user diketahui dengan membandingkan delta entalpi pembentukan kedua adduct, yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
diperoleh dari hasil kalkulasi single point. Mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen tersebut dapat ditentukan dengan mengetahui konfigurasi transition state dan tahapan reaksi. Konfigurasi transition state dapat diperoleh dengan menggunakan optimasi QST2 dengan menggunakan level teori MP2 dan basis set 6-31G+(d) sehingga tahapan reaksi dari reaktan hingga produk dapat ditentukan.
C. Hipotesis 1. Reaksi pembentukan ikatan kovalen pada adduct PRIMA-NAC yang berlangsung melalui reaksi substitusi nukleofilik pada gugus hidroksi PRIMA-1 yang merupakan bad leaving group, lebih sulit terjadi bila dibandingkan dengan reaksi pembentukan adduct MQ-NAC yang berlangsung melalui adisi nukleofilik pada MQ yang mempunyai ikatan rangkap. 2. Mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen dengan NAC tidak dapat berlangsung melalui PRIMA-1 secara langsung, melainkan dengan konversi PRIMA-1 menjadi MQ.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental laboratoris. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar bagian Komputasi Kimia jurusan Kimia FMIPA UNS selama 6 bulan mulai bulan Juni 2011 sampai November 2011.
C. Alat dan Bahan yang Dibutuhkan 1. Alat Seperangkat komputer dengan spesifikasi : CPU dengan processor AMD Phenom (tm) II X 6 1055 T processor, RAM 8 GB dan Hardisk 2 X 500 GB. Software yang digunakan, yaitu: Gaussian 03, Molden, dan Chimera.
2. Bahan Struktur PRIMA-1 (.pdb), struktur MQ dan NAC hasil optimasi geometri dengan Gaussian 03.
D. Prosedur Penelitian 1. Persiapan Reaktan a. Persiapan Konfigurasi NAC Struktur 2 dimensi senyawa NAC dipersiapkan kemudian konfigurasi awal NAC dibuat secara 3 dimensi dengan program Molden, disimpan dalam format .com dan dilakukan optimasi geometri. Optimasi geometri terhadap konfigurasi tersebut dilakukan dengan Gaussian 03, menggunakan metode semi empirik pada teori PM3. Langkah selanjutnya adalah mengambil konfigurasi akhir NAC hasil optimasi geometri yang tersimpan dalam format commit to .com. user Kemudian dilakukan kalkulasi .log dan menyimpannya dalam format 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
single point terhadap konfigurasi akhir NAC yang diperoleh dari optimasi geometri untuk menghitung energinya. b. Persiapan Konfigurasi PRIMA-1 dan MQ Struktur PRIMA-1 yang tersimpan dalam format .pdb diubah ke dalam format .com kemudian ditambahkan atom hidrogen dan dilakukan optimasi geometri. Struktur 2 dimensi senyawa MQ dipersiapkan kemudian struktur 3 dimensinya dibuat dengan program Molden, disimpan dalam format .com dan dilakukan optimasi geometri. Optimasi geometri terhadap PRIMA-1 dan MQ dilakukan dengan Gaussian 03 menggunakan metode semi empirik, teori PM3. Konfigurasi akhir dari PRIMA-1 dan MQ hasil optimasi geometri, yang tersimpan dalam format .log diambil dan disimpan dalam format .com. Kemudian dilakukan kalkulasi single point terhadap konfigurasi akhir PRIMA-1 dan MQ yang diperoleh dari optimasi geometri untuk menghitung energinya.
2. Persiapan Produk a. Persiapan Nukleofil NAC Konfigurasi akhir NAC dihilangkan atom hidrogennya yang terikat pada gugus thiol, kemudian disimpan dalam format .pdb. b. Persiapan PRIMA-1 dan MQ Konfigurasi akhir PRIMA-1 dihilangkan salah satu gugus hidroksinya kemudian disimpan dalam format .pdb. Sedangkan konfigurasi akhir MQ ditambahkan atom hidrogen pada atom karbon yang memiliki ikatan rangkap alkena sehingga dihasilkan karbokation primer. Molekul tersebut kemudian disimpan dalam format .pdb. c. Scanning PRIMA-1 Scanning dilakukan dengan memutar salah satu gugus hidroksi PRIMA-1 yang akan disubstitusi oleh thiol NAC. Pemutaran gugus hidroksi tersebut dilakukan dengan optimasi modredundant, menggunakan jumlah putaran sebanyak 36 langkah dan sudut putar 10o. Setelah didapatkan entalpi dari setiap commit to user putaran, kemudian grafik sudut putar vs entalpi dibuat dan ditentukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
konfigurasi PRIMA-1 yang memiliki entalpi terendah (minimum). Konfigurasi tersebut diambil, disimpan dalam format .com dan digunakan untuk menentukan arah masuknya gugus thiol dalam proses penggabungan molekul. d. Penggabungan PRIMA-1 dan NAC Molekul PRIMA-1 dan NAC hasil modifikasi yang disimpan dalam format .pdb divisualisasikan dalam Chimera, kemudian digabungkan dan disimpan dalam format .pdb. Molekul hasil penggabungan tersebut divisualisasikan dalam Molden dan disimpan dalam format .com. Kemudian molekul tersebut dimodifikasi dengan mengubah molekul NAC menjadi rigid dan mengubah torsi yang dibentuk oleh gugus thiol NAC (disesuaikan seperti konfigurasi dari hasil scanning). Struktur hasil modifikasi tersebut digunakan sebagai konfigurasi awal produk, kemudian dilakukan optimasi geometri dengan Gaussian 03 menggunakan metode semi empirik pada teori PM3. Konfigurasi akhir produk hasil optimasi geometri, yang tersimpan dalam format .log diambil, disimpan dalam format .com dan ditentukan nilai psi-nya untuk memperoleh konformasi β-sheet. Apabila nilai psi < 130o, kemudian konfigurasi tersebut dimodifikasi dengan mengubah molekul PRIMA-1 dan NAC menjadi rigid dan dilakukan scanning terhadap gugus hidroksi NAC hingga diperoleh nilai psi > 130o. Energi dari konformasi PRIMA-NAC β-sheet dihitung dengan kalkulasi single point menggunakan level teori MP2, basis set 6-31G(d). Kemudian delta entalpi pembentukan PRIMA-NAC dihitung. e. Penggabungan MQ dan NAC Penggabungan molekul MQ dan NAC dilakukan dengan prosedur yang sama dengan PRIMA-1. Struktur dari kedua molekul tersebut, yang disimpan dalam format .pdb divisualisasikan dalam Chimera, kemudian digabungkan dan disimpan dalam format .pdb. Molekul hasil penggabungan divisualisasikan dalam Molden dan disimpan dalam format .com, sebagai konfigurasi awal produk. Kemudian Optimasi geometri dilakukan terhadap konfigurasi tersebut dengan Gaussian 03 menggunakan metode semi empirik pada teori PM3. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
Konfigurasi akhir produk hasil optimasi geometri, yang tersimpan dalam format .log diambil, disimpan dalam format .com dan ditentukan psi nya untuk memperoleh konformasi β-sheet. Apabila nilai psi < 130o, kemudian konfigurasi tersebut dimodifikasi dengan mengubah molekul MQ dan NAC menjadi rigid dan dilakukan scanning terhadap gugus hidroksi NAC hingga diperoleh nilai psi > 130o. Energi dari konformasi MQ-NAC β-sheet dihitung dengan kalkulasi single point menggunakan level teori MP2, basis set 631G(d). Kemudian delta entalpi pembentukan MQ-NAC dihitung.
3. Penentuan Lokasi Transition State Penentuan lokasi transition state dilakukan terhadap konfigurasi produk (MQ-NAC dan PRIMA-NAC) yang mempunyai delta entalpi pembentukan kecil. Konfigurasi produk MQ-NAC atau PRIMA-NAC dengan konformasi β-sheet (psi >130o)
yang tersimpan dalam format .com dimodifikasi dengan
menambahkan konfigurasi dari reaktan (MQ atau PRIMA-1 dan NAC). Modifikasi juga dilakukan dengan mengubah jarak ikatan atom C MQ atau PRIMA-1 yang berikatan dengan atom S gugus thiol NAC dan menambahkan redundant pada kedua atom tersebut, sedangkan redundant yang lain dibuat bebas. Struktur dari kedua produk yang telah dimodifikasi tersebut kemudian disimpan dalam format .com dan dilakukan optimasi QST2 menggunakan teori MP2 basis set 6-31G(d). Hasil optimasi QST2 yang tersimpan dalam file dengan format .log, divisualisasikan dalam Molden kemudian diambil konfigurasi struktur transition state- nya dan disimpan dalam format.com.
E. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 1. Pengumpulan Data Data yang diambil adalah gambar konfigurasi senyawa hasil optimasi geometri dan entalpi yang diperoleh dari hasil kalkulasi single point. Gambar senyawa yang diambil adalah konfigurasi akhir reaktan (PRIMA-1, MQ dan NAC), produk (PRIMA-1-NAC dan MQ-NAC) dan transition state. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Sedangkan data entalpi yang diambil adalah entalpi dari reaktan dan produk reaksi.
2. Analisis Data Mekanisme
reaksi
dapat
ditentukan
dengan
mempertimbangkan
kemudahan pembentukan produk reaksi yang ditinjau secara termodinamika. Kemudahan pembentukan produk reaksi ditentukan dengan membandingkan konformasi kedua produk dan delta entalpi pembentukan kedua produk tersebut. Konformasi kedua produk ditentukan dengan mengetahui psi dari setiap konfigurasi sehingga dapat ditentukan konformasi produk yang mendekati
β-sheet.
Delta
entalpi
pembentukan
kedua
produk
juga
dibandingkan untuk melihat kemudahan reaksi yang berlangsung pada pembentukan ikatan kovalen dengan NAC. Sehingga mekanisme reaksi dapat ditentukan dengan mengetahui produk reaksi yang lebih mudah terbentuk dan tahapan reaksinya. Tahapan reaksi dapat ditentukan dengan mengetahui konfigurasi transition state sehingga dapat diperkirakan jalannya reaksi dengan melihat perubahan konfigurasi dari reaktan hingga membentuk produk.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penentuan Konfigurasi Reaktan Reaktan yang digunakan dalam studi reaksi ini meliputi: PRIMA-1 (p53 Reactivation
and
Induction
of
Massive
Apoptosis),
MQ
(Methylene
Quinuclidinone) dan N-Asetil Sistein (N-Acetyl Cystein atau NAC). Konfigurasi akhir dari reaktan tersebut diperoleh melalui optimasi geometri terhadap konfigurasi awal reaktan. Konfigurasi awal dari setiap reaktan dibuat secara 3D (3 dimensi) dengan program Molden. Optimasi geometri terhadap konfigurasi awal reaktan dilakukan dengan Gaussian 03 menggunakan metode semi empirik pada teori PM3. Metode semi empirik digunakan dalam optimasi geometri dengan tujuan agar waktu komputasi tidak lama. Sedangkan teori PM3 digunakan karena cukup akurat untuk senyawa organik. Perhitungan optimasi geometri dapat menghasilkan lokal minima yang terdekat dengan initial geometri reaktan berdasarkan struktur yang telah dibuat sebelumnya. Sehingga konfigurasi yang akan diperoleh dari optimasi geometri merupakan konfigurasi struktur reaktan yang dianggap paling mendekati struktur yang sebenarnya. Perhitungan energi dari konfigurasi akhir reaktan secara detail dilakukan dengan kalkulasi single point. Perhitungan energi dengan kalkulasi single point membutuhkan tingkat akurasi yang tinggi sehingga akurasi dari perhitungan tersebut ditentukan dengan menggunakan level teori Møller-Plesset orde 2 (MP2), basis set 6-31G(d). Perturbasi Møller-Plesset digunakan dalam kalkulasi single point reaktan dikarenakan cukup akurat untuk komputasi yang memperhatikan korelasi antar elektron dalam molekul tersebut. Teori MP2 digunakan dengan tujuan agar waktu komputasi tidak lama dan memori hardisk yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Sedangkan penggunaan basis set 6-31G(d) dilakukan dengan mempertimbangkan adanya pengaruh polarisasi dalam molekul tersebut, terutama dari gugus-gugus polarnya. commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
1. Penentuan Konfigurasi PRIMA-1 PRIMA-1 (p53 Reactivation and Induction of Massive Apoptosis) mempunyai dua gugus metil hidroksi yang terikat secara tunggal dengan atom C4 cincin. Disamping itu, atom N dan atom C gugus karbonil juga terikat secara tunggal pada atom C4 cincin sehingga atom C4 tersebut akan mempunyai bentuk geometri sp3 (tetrahedral). Kedua gugus metil hidroksi ini seolah membentuk bayangan cermin terhadap bidang yang terbentuk antara atom C4 dan gugus karbonil yang diikatnya. Adapun konfigurasi struktur PRIMA-1 hasil optimasi geometri disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur PRIMA-1 teroptimasi. Warna kuning, merah, biru dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N dan atom H. Hasil percobaan Lambert (2009) menunjukkan bahwa produk reaksi dari penggabungan antara PRIMA-1 dan NAC merupakan senyawa yang terbentuk melalui modifikasi kovalen pada gugus thiol NAC. Modifikasi tersebut terjadi melalui pembentukan ikatan kovalen antara gugus thiol NAC dengan atom C PRIMA-1 yang mengikat gugus hidroksi. Sehingga gugus thiol NAC akan menggantikan
salah
satu
gugus
hidroksi
PRIMA-1
pada
saat
proses
penggabungan kedua molekul tersebut. Mekanisme penggabungan kedua molekul tersebut mengikuti SN2, yaitu gugus thiol NAC akan menyerang PRIMA-1 pada sisi yang berseberangan dengan gugus hidroksi tersebut. Serangan NAC diasumsikan akan searah dengan arah lepasnya gugus hidroksi tersebut. Posisi dan kemudahan serangan gugus thiol NAC pada PRIMA-1 dapat commit to user dari PRIMA-1 itu sendiri yang ditentukan dengan mempertimbangkan konfigurasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
cukup crowded. Hal ini dikarenakan PRIMA-1 mempunyai cincin yang cenderung tidak dapat berotasi secara bebas, sedangkan kedua gugus metil hidroksinya dapat berputar bebas. Adanya rotasi pada kedua gugus tersebut dapat mengakibatkan posisi gugus hidroksi menjadi dekat maupun jauh dari cincin dan gugus karbonil pada cincin PRIMA-1. Posisi gugus hidroksi tersebut akan menentukan posisi penyerangan gugus thiol NAC yang mengikuti SN2. Posisi gugus hidroksi yang cenderung dekat atau jauh dari cincin dan gugus karbonil pada cincin PRIMA-1, secara tidak langsung akan memberikan pengaruh terhadap kemudahan serangan NAC pada PRIMA-1. Hal ini dikarenakan PRIMA-1 berkontribusi terhadap halangan sterik yang dapat diberikan oleh gugus karbonil, cincin maupun gugus hidroksi yang tidak tersubstitusi. Sehingga kemudahan serangan gugus thiol NAC dapat ditentukan melalui
penggunaan
konfigurasi
PRIMA-1
yang
secara
termodinamika
mempunyai halangan sterik kecil. Konfigurasi tersebut dapat ditentukan dengan melihat pengaruh perubahan posisi gugus hidroksi yang akan disubstitusi terhadap cincin, gugus karbonil PRIMA-1 maupun gugus hidroksi yang tidak tersubstitusi, yaitu dengan mengkondisikan agar gugus hidroksi PRIMA-1 dapat berotasi. Kondisi tersebut dapat diperoleh melalui penggunaan scanning terhadap salah satu gugus hidroksi PRIMA-1 teroptimasi. Scanning terhadap gugus hidroksi PRIMA-1 dilakukan dengan memutar salah satu gugus hidroksi PRIMA-1 dan mengkondisikan agar cincin PRIMA-1 menjadi rigid sedangkan gugus hidroksi lainnya dibuat bebas. Gugus hidroksi yang diputar adalah gugus hidroksi yang berada di atas bidang yang dibentuk oleh atom C4 dengan gugus karbonil yang diikatnya. Pemutaran gugus hidroksi tersebut dilakukan sebanyak 36 langkah putaran dengan besar sudut putar yang digunakan 10o. Konfigurasi PRIMA-1 yang akan digunakan, dapat ditentukan dari grafik hasil scanning yang menyatakan hubungan sudut putar terhadap energi setiap konfigurasi. Grafik hasil scanning terhadap salah satu gugus hidroksi PRIMA-1 disajikan pada Gambar 10. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
Gambar10. Grafik hasil scanning terhadap salah satu gugus hidroksi PRIMA-1. Tanda hitam dan merah berturut-turut menunjukkan konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 220o dan 330o. Grafik hasil scanning yang ditunjukkan oleh Gambar 10 menunjukkan perubahan energi dari setiap konfigurasi yang mengalami perubahan posisi dari gugus hidroksi yang di-scanning. Grafik tersebut juga memperlihatkan adanya rotasi bebas antara kedua gugus metil hidroksi PRIMA-1 yang saling memberikan pengaruh. Pada saat salah satu gugus hidroksi berotasi sehingga torsinya berubah, kondisi ini akan memberikan pengaruh yang sama pada gugus hidroksi lainnya yang berada dalam kondisi bebas. Sehingga gugus hidroksi yang bebas tersebut juga mengalami perubahan torsi. Hal ini mengakibatkan kedua posisi gugus hidroksi pada konfigurasi yang didapatkan dari scanning akan berbeda dengan konfigurasi awal sebelum scanning. Pengaruh ini terlihat jelas dengan membandingkan konfigurasi awal ketika belum dilakukan scanning (konfigurasi pada sudut putar 0o) dengan konfigurasi akhir setelah dilakukan scanning (konfigurasi pada sudut putar 360o) seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 11. Perbedaan antara kedua konfigurasi tersebut dapat diketahui dengan membandingkan torsi kedua gugus hidroksi dari konfigurasi awal sebelum scanning dan konfigurasi akhir hasil scanning. Konfigurasi awal sebelum commit to user dilakukan scanning mempunyai nilai torsi dari gugus hidroksi yang di-scanning
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
adalah -156,49 dan torsi dari gugus hidroksi yang tidak dilakukan scanning adalah 177,44. Sedangkan pada konfigurasi akhir setelah scanning, torsi gugus hidroksi yang di-scanning adalah -156,11 dan torsi gugus hidroksi yang tidak dilakukan scanning adalah -177,67. Dari data tersebut diketahui bahwa setelah dilakukan scanning tidak terdapat perubahan posisi yang cukup signifikan dari gugus hidroksi yang di-scanning (bagian atas). Sedangkan perubahan posisi dari gugus hidroksi yang tidak di-scanning (bagian bawah), relatif berubah signifikan dan menunjukkan posisi yang saling berlawanan arah/berbalik (Gambar 11). Perubahan posisi tersebut memberikan pengaruh terhadap energi dari kedua konfigurasi tersebut yang cenderung tidak sama.
A
B
Gambar 11. Konfigurasi PRIMA-1 sebelum dan setelah scanning. A. Konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 0o, B. Konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 360o. Gugus hidroksi yang ditandai merupakan gugus hidroksi yang di-scanning. Warna kuning, merah, biru dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N dan atom H. Konfigurasi PRIMA-1 yang akan digunakan dalam penggabungan dengan NAC adalah konfigurasi yang mempunyai energi terendah (minimum). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa konfigurasi dengan energi terendah (minimum) mempunyai halangan sterik kecil sehingga akan memudahkan serangan gugus thiol NAC pada ligan PRIMA-1. Penentuan konfigurasi tersebut dilakukan dengan menggunakan grafik hasil scanning, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 10. Konfigurasi PRIMA-1 yang akan digunakan dalam proses commit to user penggabungan dengan NAC adalah konfigurasi PRIMA-1 yang diambil dari dua
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
energi terendah, yaitu konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 220o dan 330o. Adapun konfigurasi PRIMA-1 yang diambil dari dua energi terendah tersebut disajikan pada Gambar 12.
A
B
Gambar 12. Konformasi PRIMA-1 hasil scanning pada gugus hidroksi PRIMA-1 teroptimasi. A dan B berturut-turut menunjukkan konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 220o dan 3300. Warna kuning, merah, biru dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N dan atom H. Kedua konfigurasi tersebut mempunyai perbedaan yang terletak pada posisi gugus hidroksi yang di-scanning (bagian atas). Perbedaan letak gugus tersebut memberikan pengaruh terhadap perbedaan arah serangan NAC terhadap PRIMA-1 untuk menggantikan (substitusi) gugus tersebut. Pada konfigurasi PRIMA-1 dengan sudut putar 220o (Gambar 12A), posisi gugus hidroksi yang discanning seolah saling berlawanan dengan gugus hidroksi yang tidak di-scanning (bagian bawah). Gugus hidroksi yang di-scanning terletak di depan bidang, sedangkan gugus hidroksi yang tidak di-scanning terletak di belakang bidang. Kondisi ini mengakibatkan posisi gugus hidroksi yang akan disubstitusi (bagian atas) cenderung dekat dan berada pada bidang yang sama dengan gugus karbonil PRIMA-1 dan mengarahkan serangan NAC pada atom C yang mengikat gugus tersebut dari belakang bidang. Sedangkan konfigurasi PRIMA-1 dengan sudut putar 330o (Gambar 12B) menunjukkan bahwa kedua gugus hidroksi terletak pada bidang yang sama. Gugus hidroksi yang akan disubstitusi (bagian atas) terletak di belakang bidang dekat dengan cincin PRIMA-1 dan jauh dari gugus karbonil PRIMA-1. Sehingga kondisi ini cenderung mengarahkan NAC untuk menyerang commit to user PRIMA-1, pada atom C yang mengikat gugus hidroksi tersebut dari depan bidang.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
2. Penentuan Konfigurasi MQ MQ (Methylene Quinuclidinone) merupakan salah satu produk dekomposisi PRIMA-1. MQ tidak mempunyai gugus metil hidroksi seperti PRIMA-1. Kedua gugus metil hidroksi tersebut digantikan oleh ikatan rangkap yang terbentuk antara gugus metilen dengan atom C4 cincin. Ikatan rangkap ini memberikan pengaruh terhadap perubahan bentuk geometri pada struktur tersebut dari tetrahedral (sp3) menjadi segitiga planar (sp2). Sehingga kedudukan gugus metilen akan sebidang dengan bidang yang terbentuk antara atom C4 cincin dan atom yang diikatnya. Adapun konfigurasi struktur MQ hasil optimasi geometri disajikan pada Gambar13.
Gambar 13. Struktur MQ teroptimasi. Warna kuning, merah, biru dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N dan atom H. 3. Penentuan Konfigurasi NAC Senyawa N-Asetil Sistein (N-acetyl cystein atau NAC) adalah senyawa turunan dari asam amino sistein. Senyawa ini merupakan hasil modifikasi sistein pada gugus amina melalui penambahan gugus asetil. Gugus asetil ini terikat pada gugus amina sistein melalui ikatan amida. Adanya tambahan gugus asetil ini memberikan perubahan terhadap gugus amina sistein dari amina primer menjadi amina sekunder. Berikut ini adalah konfigurasi struktur NAC dari hasil optimasi geometri yang disajikan pada Gambar 14.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
A
B
Gambar 14. Struktur NAC teroptimasi. A. Struktur NAC tampak depan, B. Struktur NAC tampak belakang. Warna kuning, merah, biru, hijau dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N, atom S dan atom H. Posisi atom N gugus amida NAC hasil optimasi geometri terletak di depan bidang seolah menjauhi gugus thiol. Sedangkan gugus karbonil dari amidanya terletak di belakang bidang. Hal ini berkaitan dengan adanya halangan sterik yang cukup besar apabila gugus-gugus polar tersebut saling berdekatan dengan gugus polar lainnya (seperti terlihat pada Gambar 14). Gugus-gugus polar yang berdekatan akan saling memberikan pengaruh polarisasi. Apabila gugus amida berotasi sehingga posisinya mendekati gugus thiol tersebut, diperkirakan akan menurunkan stabilitas NAC. Penurunan stabilitas NAC dapat mengakibatkan NAC sulit mencapai konvergen saat dilakukan optimasi geometri.
B. Penentuan Konfigurasi Produk Konfigurasi awal dari produk yang akan digunakan dalam studi reaksi ini diperoleh melalui penggabungan PRIMA-1 dengan NAC dan MQ dengan NAC. Penggabungan tersebut dilakukan dengan menggunakan program Chimera dan Molden. Penggabungan kedua molekul tersebut merujuk pada hasil percobaan Lambert (2009), yang menunjukkan adanya perubahan pada gugus thiol NAC melalui pembentukan ikatan kovalen dengan PRIMA-1 maupun MQ. Konfigurasi akhir dari produk dapat diperolehcommit melaluitooptimasi user geometri terhadap konfigurasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
awal produk. Optimasi geometri terhadap konfigurasi awal produk dilakukan dengan Gaussian 03 menggunakan metode semi empirik pada teori PM3. Metode semi empirik digunakan dalam optimasi geometri dengan tujuan agar waktu komputasi tidak lama. Teori PM3 digunakan karena cukup akurat untuk sistem berupa senyawa organik. Perhitungan optimasi geometri dapat menghasilkan lokal minima yang terdekat dengan initial geometri produk. Sehingga konfigurasi yang akan diperoleh dari optimasi geometri merupakan konfigurasi struktur produk yang dianggap paling mendekati dengan struktur yang sebenarnya. Perhitungan secara detail terhadap energi dari konfigurasi akhir produk dilakukan dengan kalkulasi single point. Perhitungan energi dengan kalkulasi single point membutuhkan tingkat akurasi yang tinggi. Sehingga akurasi dari perhitungan tersebut ditentukan dengan menggunakan level teori Møller-Plesset orde 2 (MP2), basis set 6-31G(d). Metode Perturbasi Møller-Plesset digunakan dalam kalkulasi single point produk dikarenakan cukup akurat untuk komputasi yang melibatkan korelasi antar elektron dalam molekul tersebut. Teori MP2 digunakan dengan tujuan agar waktu komputasi tidak lama dan memori hardisk yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Sedangkan basis set dengan tambahan fungsi polarisasi (dalam hal ini 6-31G(d)) digunakan dalam perhitungan dengan mempertimbangkan polarisasi dalam molekul tersebut, terutama pada atom C yang akan berikatan kovalen dengan gugus thiol.
1. Penentuan Konfigurasi PRIMA-NAC Mekanisme penggabungan PRIMA-1 dan NAC berlangsung melalui pelepasan gugus hidroksi PRIMA-1 yang disubstitusi oleh gugus thiol NAC. PRIMA-1 mempunyai leaving group berupa gugus hidroksi, namun gugus tersebut merupakan leaving group yang kurang baik sehingga diperlukan desakan dari nukleofil untuk membantu pelepasannya. Disamping itu, perbedaan polaritas yang cukup besar diantara atom S dan atom H pada gugus thiol mengakibatkan elektron ikatan S-H cenderung tertarik ke arah atom S yang lebih elektronegatif. Hal ini mengakibatkan atom S bermuatan negatif dan dapat bertindak sebagai to user nukleofil yang menyerang salah commit satu atom C PRIMA-1 yang mengikat gugus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
hidroksi. Asumsi tersebut menguatkan dugaan bahwa reaksi ini berlangsung melalui substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2). Nukleofil akan menyerang salah satu atom C PRIMA-1 yang mengikat gugus hidroksi, pada sisi yang berseberangan dengan gugus tersebut, searah dengan arah lepasnya gugus hidroksi tersebut. Proses penggabungan PRIMA-1 dengan NAC dipengaruhi oleh halangan sterik dari PRIMA-1 yang strukturnya cukup crowded. Halangan sterik tersebut berkaitan dengan perubahan posisi gugus hidroksi yang dapat berputar bebas, terhadap salah satu gugus hidroksi yang tidak tersubstitusi, cincin PRIMA-1 ataupun gugus karbonil. Sehingga penggabungan tersebut dilakukan dengan menggunakan dua konfigurasi PRIMA-1 yang diperoleh dari hasil scanning terhadap salah satu gugus hidroksinya (Gambar 12). Kedua konfigurasi tersebut merupakan konfigurasi yang secara termodinamika mempunyai energi minimum atau halangan sterik kecil. Penggabungan dengan menggunakan dua konfigurasi tersebut diharapkan akan memudahkan serangan NAC pada PRIMA-1 dan menghasilkan produk dengan stabilitas yang baik. Penggabungan NAC dengan konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 3300 (Gambar
12B) tidak seperti yang diharapkan. Kedua gugus hidroksi pada
konfigurasi tersebut berada pada bidang yang sama, yaitu di belakang bidang. Kondisi tersebut mengakibatkan posisi gugus hidroksi yang akan disubstitusi cenderung dekat dengan cincin PRIMA-1 dan memberikan ruang untuk serangan NAC di depan bidang. Posisi gugus hidroksi tersebut memberikan ruang yang terlalu sempit untuk serangan NAC karena dekat dengan gugus karbonil PRIMA1. Hal ini mengakibatkan substitusi NAC pada PRIMA-1 sulit terjadi dikarenakan terdapat benturan antara NAC yang memiliki backbone panjang dengan gugus karbonil pada cincin PRIMA-1. Oleh karena itulah, penggabungan NAC dan PRIMA-1 dilakukan dengan adanya modifikasi pada torsi gugus hidroksi PRIMA1 yang akan disubstitusi, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 15.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
A B Gambar 15. Konfigurasi awal produk PRIMA-NAC dengan konfigurasi PRIMA1 pada sudut putar 330o termodifikasi. A. Konfigurasi PRIMA-NAC tampak depan, B. Konfigurasi PRIMA-NAC tampak belakang. Warna kuning, merah, biru, hijau dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N, atom S dan atom H. Optimasi geometri dilakukan terhadap konfigurasi awal produk hasil penggabungan dengan menggunakan konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 330o yang telah dimodifikasi. Akan tetapi, hasil optimasi geometri yang dilakukan terhadap konfigurasi awal produk hasil penggabungan (PRIMA-NAC) tersebut tidak sesuai dengan asumsi sebelumnya. Produk yang dihasilkan cenderung tidak stabil karena ikatan kovalen pada gugus thiol NAC dengan PRIMA-1 (ikatan S-C) terlepas atau terputus (Gambar 16). Hal ini diperkirakan terjadi karena terdapat clash antara atom Cβ dari NAC dengan atom C pusat reaksi (atom C yang mengikat gugus hidroksi yang akan disubstitusi). Modifikasi yang dilakukan pada torsi gugus hidroksi yang akan disubstitusi mengakibatkan letak gugus tersebut menjadi dekat dengan gugus hidroksi yang tidak tersubstitusi. Hal ini juga memberikan pengaruh terhadap letak backbone NAC yang cenderung dekat dengan gugus hidroksi yang akan disubstitusi. Sehingga terbentuk ikatan hidrogen antara atom H gugus amino dari NAC dengan atom O gugus hidroksi PRIMA-1 yang akan disubstitusi. Ikatan hidrogen tersebut diperkirakan dapat menguatkan kedua gugus tersebut, mengakibatkan kedua gugus tersebut cenderung semakin dekat dan memberikan commit to user PRIMA-1. Hal ini memberikan tarikan pada backbone NAC untuk mendekati
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
pengaruh terhadap perubahan posisi pada atom Cβ NAC yang menjadi dekat dengan atom C pusat reaksi, sebagai akibat dari perubahan posisi pada backbone NAC yang menjadi dekat dengan PRIMA-1. Oleh karena itulah pada saat optimasi geometri berlangsung, ikatan kovalen S-C cenderung putus dan ikatan hidrogen yang terbentuk semakin kuat dikarenakan letak gugus yang terlibat ikatan hidrogen semakin dekat, seperti ditunjukkan oleh Gambar 16.
A
B
Gambar 16. Konfigurasi akhir produk PRIMA-NAC dengan menggunakan konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 330o termodifikasi. Warna kuning, merah, biru, hijau dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N, atom S dan atom H. Penggabungan dengan menggunakan konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 220o tidak dilakukan. Kedua gugus hidroksi pada konfigurasi tersebut tidak terletak pada bidang yang sama, gugus hidroksi yang akan disubstitusi terletak di depan bidang, sedangkan gugus hidroksi tidak tersubstitusi terletak di belakang bidang. Kondisi tersebut akan mengarahkan serangan NAC dari belakang bidang, dekat dengan cincin maupun gugus hidroksi PRIMA-1 yang tidak tersubstitusi. NAC mempunyai backbone yang panjang sehingga pada saat substitusi berlangsung diperkirakan posisi gugus karboksilat NAC akan cenderung dekat dengan cincin PRIMA-1 sedangkan gugus amidanya cenderung dekat dengan gugus hidroksi PRIMA-1 yang tidak tersubstitusi, atau sebaliknya. Penggabungan dengan menggunakan konfigurasi tersebut diperkirakan akan menghasilkan produk yang sama dengan penggabungan sebelumnya, yaitu produk dengan commit to user stabilitas kecil. Kondisi tersebut seperti penggabungan yang dilakukan dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
konfigurasi pada sudut putar 330o, penggabungan dengan konfigurasi pada sudut putar 220o diasumsikan akan mempunyai halangan sterik yang cukup besar. Posisi gugus-gugus polar (karboksilat, amino dan hidroksi) yang berdekatan akan saling memberikan polarisasi yang dapat mengakibatkan terjadinya clash pada beberapa atom yang dekat dengan gugus tersebut dan mengakibatkan ikatan S-C terputus. Proses penggabungan PRIMA-1 dan NAC kemudian dilakukan dengan menggunakan konfigurasi PRIMA-1 teroptimasi (Gambar 9). Optimasi geometri dilakukan terhadap konfigurasi awal senyawa hasil penggabungan PRIMA-1 teroptimasi dengan NAC. Konfigurasi akhir senyawa PRIMA-NAC yang diperoleh
dari
hasil
optimasi
geometri
tersebut
kemudian
ditentukan
konformasinya. Konformasi senyawa PRIMA-NAC yang digunakan dalam studi reaksi ini adalah yang mendekati konformasi β-sheet. Hal ini disesuaikan dengan kelimpahan sistein yang terdapat pada protein p53. Sistein pada protein p53 tidak menempati posisi α-helix melainkan pada posisi loop atau β-sheet. Perbedaan konformasi tersebut dapat diketahui dengan melihat psi dari suatu asam amino, yaitu torsi yang dibentuk oleh atom N’ suatu asam amino terhadap atom N asam amino yang diikatnya. Merujuk pada Ramachandran Plot, konformasi left handed α-helix mempunyai nilai psi negatif, konformasi right handed α-helix mempunyai nilai psi positif <130o, sedangkan konformasi β-sheet mempunyai nilai psi positif > 130o. Ikatan amida pada NAC dapat dianalogikan dengan ikatan peptida yang menggabungkan dua asam amino. Sehingga konformasi β-sheet untuk PRIMA-NAC dapat ditentukan dengan melihat torsi yang dibentuk oleh gugus hidroksi NAC terhadap atom N NAC. Gugus hidroksi tersebut dianalogikan sebagai atom N’ dari asam amino yang terikat pada NAC. Konformasi dari konfigurasi akhir senyawa PRIMA-NAC yang diperoleh dari hasil optimasi geometri mempunyai konformasi α-helix, seperti ditunjukkan oleh Gambar 17. Pada konformasi α-helix, torsi yang dibentuk oleh gugus hidroksi NAC terhadap atom N NAC adalah -124,19. Konformasi PRIMA-NAC β-sheet dapat diperoleh dengan mengkondisikan agar torsi tersebut menjadi >130o. Hal ini dapat dilakukan dengan merotasikan gugus hidroksi NAC pada commit to user konformasi α-helix tersebut melalui scanning. Scanning dilakukan terhadap torsi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
gugus hidroksi NAC, sedangkan molekul yang lain dikondisikan menjadi rigid atau tetap. Konfigurasi dari senyawa PRIMA-NAC dengan konformasi β-sheet dari hasil scanning disajikan pada Gambar 18.
B
A
Gambar 17. Struktur PRIMA-NAC (α-helix) teroptimasi dengan psi -124,19. A. Struktur PRIMA-NAC tampak depan, B. Struktur PRIMA-NAC tampak belakang. Warna kuning, merah, biru, hijau dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N, atom S dan atom H. Terdapat dua kemungkinan konfigurasi PRIMA-NAC yang mempunyai konformasi β-sheet. Perbedaan kedua konfigurasi tersebut terletak pada backbone NAC. Pada konfigurasi pertama, gugus asetil yang terikat pada atom N NAC seolah berotasi ke depan bidang (tertekuk ke depan) sehingga posisi gugus metil cenderung dekat dengan gugus karbonil PRIMA-1. Hal ini juga memberikan pengaruh terhadap gugus karboksil NAC yang terlihat seolah berotasi ke depan bidang, seperti terlihat pada Gambar 18A dan 18B. Torsi yang dibentuk oleh gugus hidroksi NAC terhadap atom N NAC adalah 152,37. Sedangkan pada konfigurasi kedua, gugus asetil yang terikat pada atom N NAC seolah berotasi ke belakang bidang. Hal ini mengakibatkan letak gugus tersebut cenderung jauh dari gugus karbonil PRIMA-1 dan cenderung dekat dengan gugus karboksil NAC. Pada konformasi ini, ikatan hidrogen terbentuk antara gugus karbonil NAC dengan atom hidroksi NAC seperti terlihat pada Gambar 18C dan 18D. Sehingga torsi yang dibentuk gugus hidroksi NAC terhadap atom N NAC berubah menjadi 174,75. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
A
B
C
D
Gambar 18. Struktur PRIMA-NAC (β-sheet) teroptimasi dengan psi 152,37 (A dan B) dan psi 174,75 (C dan D). Warna kuning, merah, biru, hijau dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N, atom S dan atom H. A. Struktur PRIMA-NAC β-sheet (psi 152,37) tampak depan, B. Struktur PRIMA-NAC β-sheet(psi 152,37) tampak belakang, C. Struktur PRIMA-NAC β-sheet(psi 174,75) tampak depan, D. Struktur PRIMA-NAC β-sheet (psi 174,75) tampak belakang. Energi pada konfigurasi PRIMA-NAC α-helix yang diperoleh dari komputasi adalah sebesar -895.336,35 kkal/mol, sedangkan energi pada konfigurasi PRIMA-NAC β-sheet pertama (Gambar 18A dan 18B) adalah -895.403,45 kkal/mol dan energi pada konfigurasi PRIMA-NAC β-sheet kedua (Gambar 18C dan 18D) adalah -895.401,14 kkal/mol. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa konfigurasi pertama lebih stabil 67,10 kkal/mol. Perbedaan energi tersebut dapat terjadi dikarenakan adanya rotasi pada gugus asetil NAC yang menuju ke depan bidang, seperti ditunjukkan oleh Gambar 17, 18A dan 18B. Konfigurasi kedua lebih stabil 64,79 kkal/mol dibandingkan konfigurasi PRIMAcommit diperkirakan to user NAC α-helix. Perbedaan energi tersebut terjadi dikarenakan adanya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
rotasi pada gugus hidroksi NAC yang mendekati gugus karbonil dari amida NAC dan membentuk ikatan hidrogen (Gambar 17, 18C dan 18D). Kedua konformasi PRIMA-NAC β-sheet tersebut mempunyai perbedaan energi sebesar 2,31 kkal/mol. Perbedaan energi tersebut tidak terlalu signifikan dan dapat terjadi dikarenakan adanya rotasi pada gugus asetil dan hidroksi NAC. Atom S NAC dari konfigurasi PRIMA-NAC α-helix dan β-sheet cenderung terletak pada posisi yang jauh dari gugus hidroksi PRIMA-1 yang tidak tersubstitusi dan dekat dengan gugus karbonil PRIMA-1 (tertekuk ke depan bidang). Gugus hidroksi NAC cenderung jauh dari gugus karbonil PRIMA-1 dan dekat dengan gugus amida NAC. Sehingga terbentuk ikatan hidrogen antara atom O gugus karbonil PRIMA-1 dengan atom H gugus amida NAC, seperti ditunjukkan oleh Gambar 17 dan 18. Ikatan hidrogen diperkirakan dapat memberikan kontribusi terhadap stabilitas pada konformasi tersebut sehingga optimasi geometri terhadap konformasi tersebut akan mudah mencapai struktur yang konvergen. Hal ini disebabkan karena pengaruh polarisasi dari gugus-gugus polar yang saling berdekatan dapat diminimalisir dengan mengkondisikan agar gugus-gugus tersebut tidak bergerak bebas (terikat). Apabila gugus-gugus tersebut dapat bergerak bebas, dimungkinkan akan saling memberikan pengaruh selama komputasi, mengakibatkan konfigurasinya sulit mencapai konvergen atau sulit terstabilkan. Kedua konfigurasi PRIMA-NAC β-sheet mempunyai karakteristik yang sama dengan terbentuknya ikatan hidrogen antara atom O gugus karbonil PRIMA1 dan atom H gugus amina NAC. Perbedaan dari kedua konfigurasi tersebut terlihat dengan terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus hidroksi NAC dengan gugus karbonil dari amida NAC pada konfigurasi kedua, yang tidak ditemukan pada konfigurasi pertama. Pengaruh ikatan hidrogen tersebut terlihat pada saat optimasi
geometri
dilakukan terhadap konfigurasi
pertama
yang tidak
terselesaikan atau struktur tidak bisa konvergen, ketika komputasi dilakukan dengan penambahan efek polarisasi. Disamping itu, adanya ikatan hidrogen tersebut dapat mengarahkan bentuk struktur PRIMA-NAC menjadi seperti commit to user lembaran dan lebih sesuai untuk konformasi β-sheet, yang tersusun dari rangkaian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
asam amino membentuk lembaran. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa konfigurasi PRIMA-NAC β-sheet kedua lebih stabil dibandingkan konfigurasi pertama sehingga konfigurasi akhir produk yang digunakan dalam studi ini adalah konfigurasi kedua (Gambar 18C dan 18D).
2. Penentuan Konfigurasi MQ-NAC MQ tidak mempunyai gugus hidroksi yang dapat bertindak sebagai leaving group, tetapi MQ mempunyai gugus aktif berupa ikatan rangkap. Mekanisme penggabungan MQ dan NAC berlangsung melalui adisi pada ikatan rangkap alkena. Perbedaan polaritas diantara atom S dan H gugus thiol mengakibatkan elektron ikatan S-H cenderung tertarik kearah atom S yang lebih elektronegatif. Hal ini mengakibatkan atom S bermuatan negatif dan dapat bertindak sebagai nukleofil yang dapat menyerang salah satu atom C MQ yang berikatan rangkap. Adanya nukleofil yang berdekatan dengan ikatan rangkap MQ mengakibatkan densitas elektron pada ikatan rangkap tersebut menjadi tinggi sehingga ikatan rangkap tersebut mudah putus dan nukleofil dapat berikatan dengan MQ. Asumsi tersebut menguatkan dugaan bahwa reaksi ini berlangsung melalui adisi nukleofilik. Ikatan rangkap alkena pada MQ mempunyai bentuk geometri segitiga planar (sp2). Gugus metilen tersebut akan menempati posisi yang sebidang dengan bidang yang terbentuk antara atom C4 dan atom-atom yang diikatnya. Kondisi ini memberikan ruang terhadap serangan NAC yang dapat menyerang MQ dari depan maupun dari samping cincin MQ menuju ikatan rangkapnya. Ikatan rangkap alkena pada MQ terkonjugasi dengan gugus karbonil cincin MQ sehingga serangan NAC pada ikatan rangkap MQ merujuk pada aturan Michael dalam Michael addition. Pemutusan ikatan rangkap pada MQ diperkirakan berlangsung dengan mekanisme berikut, serangan NAC terhadap ikatan rangkap MQ menghasilkan karbanion sekunder dengan terikatnya NAC pada atom C primer dari ikatan rangkap tersebut. Karbanion yang terbentuk dapat beresonansi sehingga menghasilkan ion negatif pada atom O karbonil dan mengarahkan pada commit to user pembentukan tautomer keto-enol. Pembentukan keto lebih disukai secara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
termodinamik sehingga ion positif yang berupa H+ cenderung tertarik pada karbanion sekunder. Optimasi geometri dilakukan terhadap konfigurasi awal senyawa hasil penggabungan MQ dan NAC. Kemudian konfigurasi akhir senyawa MQ-NAC yang diperoleh dari hasil optimasi geometri ditentukan konformasinya. Konfigurasi akhir MQ-NAC yang digunakan sebagai konfigurasi akhir produk adalah yang memiliki konformasi mendekati β-sheet. Konfigurasi senyawa MQNAC yang mempunyai konformasi mendekati α-helix ditunjukkan oleh Gambar 19. Sedangkan konfigurasi senyawa MQ-NAC yang mempunyai konformasi mendekati β-sheet ditunjukkan oleh Gambar 20.
A
B
Gambar 19. Struktur MQ-NAC (α-helix) teroptimasi dengan psi-145,77. A. Struktur MQ-NAC (α-helix) tampak depan, B. Struktur MQ-NAC (α-helix) tampak belakang. Warna kuning, merah, biru, hijau dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N, atom S dan atom H. Konformasi MQ-NAC α-helix dan β-sheet mempunyai perbedaan yang ditunjukkan oleh letak gugus karboksil dan gugus amida pada NAC. Pada konformasi MQ-NAC α-helix (Gambar 19), atom S NAC terletak di depan bidang. Gugus amida terletak di belakang bidang dan cenderung terletak diatas bidang yang dibentuk oleh atom C4 cincin dan atom-atom yang diikatnya. Sedangkan gugus karboksil NAC terletak di depan bidang. Hal ini mengakibatkan tidak adanya ikatan hidrogen yang terbentuk pada konfigurasi tersebut. Torsi yang dibentuk oleh gugus hidroksi NAC terhadap atom N NAC adalah -145,77. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
Sedangkan pada konfigurasi MQ-NAC β-sheet, atom S NAC terlihat berada di belakang bidang. Gugus amida NAC cenderung terletak di depan bidang dan gugus karboksil NAC terletak di belakang bidang. Hal ini mengakibatkan gugus karboksil NAC menjadi dekat dengan gugus amida NAC sehingga terdapat interaksi dengan terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus hidroksi dari gugus karboksil dengan gugus karbonil dari gugus amida tersebut. Torsi yang dibentuk oleh gugus hidroksi NAC terhadap atom N NAC adalah 175,41.
A
B
Gambar 20. Struktur MQ-NAC (β-sheet) teroptimasi dengan psi 175,41. A. Struktur MQ-NAC (β-sheet) tampak depan, B. Struktur MQ-NAC (β-sheet) tampak belakang. Warna kuning, merah, biru, hijau dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N, atom S dan atom H. Konfigurasi akhir produk yang digunakan dalam studi ini adalah konfigurasi dari MQ-NAC β-sheet (Gambar 20). Konfigurasi MQ-NAC β-sheet diperkirakan mempunyai stabilitas lebih baik dibandingkan dengan konfigurasi MQ-NAC α-helix. Hal ini berkaitan dengan terbentuknya ikatan hidrogen pada struktur MQ-NAC (β-sheet), yang tidak ditemukan pada konfigurasi MQ-NAC (α-helix). Ikatan hidrogen tersebut cenderung menstabilkan konformasi tersebut karena dapat membatasi gerak gugus-gugus polar seperti gugus hidroksi dan gugus karbonil. Sehingga pengaruh polarisasi yang diberikan oleh masing-masing gugus polar yang berdekatan dalam kondisi bebas dapat dikurangi dan optimasi geometri terhadap konformasi tersebut akan mudah mencapai struktur yang konvergen. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
C. Penentuan Mekanisme Reaksi Adduct yang diperoleh dari penggabungan antara PRIMA-1 dengan NAC dan MQ dengan NAC terbentuk dengan adanya ikatan kovalen pada gugus thiol NAC. Pembentukan ikatan kovalen terseSbut disertai oleh interaksi lain yang berasal dari gugus-gugus polar reaktan, yang ditandai dengan terbentuknya ikatan hidrogen. Kedua adduct tersebut mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan terbentuknya ikatan hidrogen antara atom H gugus hidroksi NAC dengan atom O gugus karbonil dari asetil yang terikat pada atom N NAC, seperti ditunjukkan oleh Gambar 21.
A
B
Gambar 21. Struktur adduct PRIMA-NAC β-sheet dan MQ-NAC β-sheet. A. Struktur adduct PRIMA-NAC β-sheet, B. Struktur adduct MQ-NAC β-sheet. Warna kuning, merah, biru, hijau dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N, atom S dan atom H. Adduct PRIMA-NAC mempunyai dua ikatan hidrogen, sedangkan MQ hanya mempunyai satu ikatan hidrogen. PRIMA-NAC mempunyai satu ikatan hidrogen yang tidak ditemukan pada struktur MQ-NAC, yaitu ikatan hidrogen yang terbentuk antara atom H gugus amino NAC dengan atom O gugus karbonil yang terdapat pada cincin PRIMA-1, seperti ditunjukkan oleh Gambar 21. Adanya interaksi dari gugus polar PRIMA-1 (gugus karbonil) dengan gugus polar NAC (gugus amino) melalui terbentuknya ikatan hidrogen diasumsikan dapat menguatkan ikatan kovalen PRIMA-1 dengan thiol. Ikatan hidrogen diasumsikan dapat memberikan kontribusi terhadap commit to user stabilitas konfigurasi tersebut karena dapat membatasi gerak gugus-gugus polar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
seperti gugus hidroksi dan gugus karbonil. Oleh karena itulah, pengaruh polarisasi yang diberikan oleh masing-masing gugus polar yang berdekatan dalam kondisi bebas dapat dikurangi. Ikatan hidrogen yang terbentuk antara gugus polar PRIMA-1 dan NAC, diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap energi dari kedua konfigurasi adduct tersebut. PRIMA-NAC yang mempunyai ikatan thiol dan cenderung dikuatkan oleh ikatan hidrogen tersebut diasumsikan mempunyai energi yang lebih rendah dari MQ-NAC. Dengan mempertimbangkan pengaruh dari ikatan hidrogen tersebut, adduct PRIMA-NAC diasumsikan mempunyai stabilitas lebih baik dari adduct MQ-NAC. Berdasarkan evaluasi termodinamika terhadap entalpi pembentukan kedua adduct tersebut, dapat dikatakan bahwa adduct MQ-NAC mempunyai kecenderungan lebih mudah untuk terbentuk bila dibandingkan dengan adduct PRIMA-NAC. Adduct MQ-NAC mempunyai entalpi pembentukan -31,73 kkal/mol, sedangkan entalpi pembentukan adduct PRIMA-NAC 89,74 kkal/mol. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa pembentukan adduct MQ-NAC yang berlangsung melalui adisi nukleofilik pada ikatan rangkap MQ lebih mudah terjadi bila dibandingkan dengan pembentukan adduct PRIMA-NAC yang berlangsung melalui substitusi nukleofilik pada salah satu gugus hidroksi PRIMA1. Perbedaan entalpi pembentukan yang cukup besar antara kedua adduct tersebut diperkirakan terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah perbedaan konformasi antara PRIMA-1 dan MQ. PRIMA-1 mempunyai leaving group berupa gugus hidroksi yang mempunyai karakteristik leaving ability kurang baik. Sementara itu, nukleofil yang berupa gugus thiol NAC merupakan nukleofil lemah karena merupakan basa lunak. Oleh karena itulah, reaksi pembentukan adduct PRIMA-NAC yang diasumsikan berlangsung melalui susbtitusi NAC pada PRIMA-1 dengan mekanisme SN2 dan disertai pelepasan H2O lebih sulit terjadi karena membutuhkan energi yang lebih besar. Entalpi
pembentukan
adduct
PRIMA-NAC
yang
cukup
besar
mengarahkan pada asumsi bahwa pembentukan adduct tersebut pada temperatur commit to user dan entalpi yang cukup besar kamar sulit terjadi. Sistem yang bersifat endoterm
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
diperkirakan mempunyai barier yang lebih besar lagi sehingga kemungkinan terjadi reaksinya kecil. Sedangkan pembentukan adduct MQ-NAC pada temperatur kamar lebih mungkin untuk terjadi dan secara termodinamika lebih disukai dibandingkan PRIMA-NAC. Hal ini dikarenakan entalpi pembentukannya relatif lebih rendah dibandingkan adduct PRIMA-NAC. Berdasarkan data entalpi tersebut, dapat dikatakan bahwa reaksi pembentukan adduct PRIMA-NAC tidak terjadi secara langsung dan diasumsikan berlangsung melalui konversi PRIMA-1 menjadi senyawa turunannya, yaitu MQ. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Lambert (2009) yang menunjukkan bahwa pembentukan adduct melalui terbentuknya ikatan kovalen dengan gugus thiol sistein dalam N-Asetil Sistein (NAC) lebih mungkin terjadi melalui konversi PRIMA-1 menjadi MQ. Oleh karena itulah, mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen pada gugus thiol NAC dipelajari dengan menggunakan MQ dan mengacu pada pembentukan adduct MQ-NAC yang telah diperoleh sebelumnya. Penentuan mekanisme reaksi pembentukan adduct MQ-NAC dapat dilakukan dengan mengetahui transition state-nya sehingga dapat dibuat jalur reaksinya. Pencarian lokasi transition state akan lebih baik apabila komputasi dilakukan dengan optimasi QST2 menggunakan level teori MP2, difused basis set 631+G(d), dengan asumsi bahwa korelasi antar elektron dan transfer elektron di dalam sistem tersebut sangat penting. Akan tetapi, treatment yang diberikan pada sistem dengan menggunakan level teori MP2, difused basis set tidak mudah untuk dilakukan dan memiliki tingkat kesulitan yang cukup besar karena sangat sensitif terhadap konfigurasi. Komputasi yang dilakukan dengan level teori MP2, difused basis set sering memiliki permasalahan terkait dengan convergence failure (data dapat dilihat di lampiran). Hal tersebut dapat terjadi karena konfigurasi yang digunakan diperkirakan belum mampu mengakomodasi secara eksplisit terhadap komputasi yang melibatkan korelasi antar elektron dan tranfer elektron. Komputasi yang dilakukan dengan level teori MP2, basis set 6-31+G(d) diperkirakan akan mempunyai propabilitas kegagalan yang cukup besar jika to user digunakan untuk pencarian lokasicommit transition state. Hal ini dikarenakan pencarian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
lokasi transition state membutuhkan konfigurasi yang spesifik dan dapat mengakomodasi secara eksplisit terhadap komputasi yang melibatkan korelasi antar elektron dan transfer elektron. Oleh karena itulah, treatment awal terhadap komputasi yang dilakukan untuk mengetahui konfigurasi tersebut dilakukan dengan menggunakan level teori HF dan polarised basis set 6-31G(d). Transition state menggambarkan adanya perubahan konfigurasi pada reaktan sebelum membentuk produk. Perubahan konfigurasi yang cukup signifikan dari reaktan dan produk dapat diketahui dengan membandingkan konfigurasi MQ sebelum dan setelah reaksi. Pada saat reaksi berlangsung, konformasi MQ berubah dari sp2 menjadi sp3, dimana ikatan rangkap alkena berubah menjadi ikatan tunggal melalui adisi oleh nukleofil berupa gugus thiol NAC. Mekanisme adisi nukleofilik oleh NAC diperkirakan dapat berlangsung melalui adisi syn dan anti dan menghasilkan produk yang mempunyai konformasi gauche dan anti. Konfigurasi produk MQ-NAC yang ditunjukkan oleh Gambar 21 mempunyai konformasi gauche yang mengarahkan pada asumsi bahwa pemutusan ikatan rangkap pada MQ berlangsung melalui adisi syn. Produk reaksi adisi anti lebih disukai dibandingkan produk reaksi syn yang mempunyai sterik lebih besar. Pemodelan terhadap konformasi produk MQ-NAC yang mempunyai konformasi anti dapat dilakukan dengan scanning terhadap konformasi gauche. Akan tetapi scanning tidak mudah untuk dilakukan karena harus mengkondisikan agar tidak terjadi perubahan yang cukup signifikan dari konformasi MQ dan NAC selama terjadi rotasi pada konformasi gauche. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemodelan mekanisme reaksi hanya dilakukan untuk menjelaskan terbentuknya produk MQ-NAC melalui adisi syn dengan konformasi yang ditunjukkan oleh Gambar 21. Pemodelan terhadap transition state dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan ke arah produk dan reaktan, yang dapat dilakukan dengan mendekatkan NAC dan MQ yang mempunyai konfigurasi dengan bentuk geometri sp2 dan sp3. Transition state yang dimodelkan dekat ke arah produk to user MQ yang mempunyai bentuk dilakukan dengan menggunakancommit konfigurasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
geometri sp3, dimana ikatan rangkap alkena dimodelkan menjadi tunggal dan tertekuk. Namun, pemodelan dengan konfigurasi tersebut mempunyai masalah terkait konvergensi sehingga optimasi QST2 tidak dapat diselesaikan. Transition state yang dimodelkan dekat ke arah reaktan dilakukan dengan menggunakan konfigurasi yang mempunyai bentuk geometri sp2, yaitu dengan mengubah bentuk geometri MQ dari sp3 menjadi sp2. Sehingga ikatan tunggal yang tertekuk tersebut menjadi ikatan rangkap dan flat (gugus metilen sebidang dengan bidang yang dibentuk oleh gugus karbonil pada cincin MQ). Kendala yang dihadapi dalam pemodelan transition state tersebut adalah terdapat kesulitan dalam mencari posisi yang tepat ketika NAC didekatkan dengan MQ. NAC yang beperan sebagai nukleofil dapat menyerang ikatan rangkap MQ pada berbagai posisi, baik dari depan maupun dari samping ikatan rangkap tersebut. Perbedaan posisi serangan NAC dapat memberikan pengaruh terhadap perbedaan interaksi yang mungkin terjadi antara NAC dan MQ yang saling didekatkan. Hasil optimasi geometri terhadap NAC yang didekatkan dengan MQ yang mempunyai bentuk geometri sp2, menghasilkan satu konfigurasi yang dapat digunakan dalam optimasi QST2, seperti ditunjukkan oleh Gambar 22.
Gambar 22. Hasil optimasi geometri dari konfigurasi MQ dan NAC yang berdekatan. Warna kuning, merah, biru, hijau dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N, atom S dan atom H. Konfigurasi tersebut menunjukkan satu posisi serangan NAC terhadap ikatan rangkap MQ dari bawah bidang yang dibentuk oleh ikatan rangkap dan gugus karbonil MQ. Konfigurasi yang diperoleh tersebut mempunyai konformasi yang dekat ke arah reaktan, yang ditunjukkan oleh adanya ikatan rangkap pada commit user yang jauh kemudian didekatkan, MQ. Pada saat MQ dan NAC berada padatoposisi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
terdapat penurunan energi 6,42 kkal/mol. Hal ini mengarahkan pada asumsi bahwa kondisi pada saat posisi MQ dan NAC dekat, lebih disukai secara termodinamika. Pada saat kedua reaktan berdekatan, diperkirakan terdapat interaksi yang cukup disukai sehingga mengakibatkan penurunan energi. Interaksi yang disukai tersebut diperkirakan terjadi pada senyawa NAC yang berkaitan dengan terbentuknya ikatan hidrogen antara atom H gugus karboksilat dengan atom O gugus asetil yang terikat pada atom N NAC (Gambar 22). Konfigurasi reaktan yang berdekatan seperti ditunjukkan oleh Gambar 22 digunakan dalam perhitungan optimasi QST2 untuk mengetahui lokasi transition state sehingga dapat diketahui konfigurasi transition state-nya. Hasil yang diperoleh dari optimasi QST2 diharapkan dapat memberikan penjelasan terhadap pembentukan ikatan kovalen antara MQ dan gugus thiol NAC yang diasumsikan berlangsung dengan mengikuti mekanisme adisi Michael. Merujuk pada mekanisme reaksi Michael, pembentukan ikatan kovalen antara MQ dengan NAC berlangsung melalui adisi oleh nukleofil NAC pada ikatan rangkap antara atom Cα dan Cβ MQ yang melibatkan pembentukan karbanion sekunder pada Cβ MQ. Karbanion yang dihasilkan kemudian akan menarik spesi bermuatan positif berupa atom H yang terikat pada gugus thiol NAC. Hasil optimasi QST2 yang dilakukan dengan menggunakan level teori HF dan polarised basis set 6-31G(d) mengarahkan pada mekanisme yang kurang sesuai terhadap asumsi awal. Hasil yang diperoleh dari perhitungan tersebut menunjukkan bahwa mekanisme pembentukan ikatan kovalen pada adduct MQNAC berlangsung melalui pembentukan karbokation melalui serangan atom H dari gugus thiol NAC. Adisi pada ikatan rangkap MQ berlangsung melalui pembentukan spesi bermuatan positif (H+) dari pemutusan ikatan S-H pada gugus thiol NAC. H+ yang dihasilkan tertarik kearah ikatan rangkap Cα-Cβ MQ dan mengadisi ikatan rangkap tersebut menghasilkan karbokation primer. Adapun tahap reaksi pembentukan karbokation tersebut ditunjukkan oleh kurva reaksi pada Gambar 23. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
Gambar 23. Kurva reaksi pembentukan karbokation dari hasil perhitungan optimasi QST2. A. Konfigurasi pada saat ikatan S-H terputus, B. Konfigurasi transition state, C. Konfigurasi pada saat karbokation terbentuk. Kurva reaksi yang ditunjukkan oleh Gambar 23 menggambarkan tahap reaksi pembentukan karbokation melalui adisi ikatan rangkap Cα-Cβ MQ oleh proton yang berasal dari nukleofil NAC. Pada saat MQ dan NAC berdekatan (Gambar 22), polarisasi yang terdapat pada ikatan rangkap MQ mengakibatkan densitas elektron pada ikatan rangkap Cα-Cβ meningkat dan mudah di-adisi. Polarisasi pada ikatan rangkap tersebut mengakibatkan atom H yang terikat pada gugus thiol NAC dan memiliki muatan parsial positif (Hδ+) cenderung tertarik pada ikatan rangkap yang mempunyai densitas elektron besar sehingga mengakibatkan ikatan S-H terputus (Gambar 24 A). Spesi bermuatan positif yang dihasilkan (H+) berada pada posisi yang cenderung dekat dengan atom C4 (Cα tak jenuh) yang berjarak 3,06 Å dibandingkan atom C metilen yang berjarak 3,26 Å. Sehingga atom H+ cenderung terikat pada atom C4 dan mengadisi ikatan rangkap tersebut menghasilkan karbokation primer. Atom hidrogen yang terikat pada atom C4 mengakibatkan terjadi perubahan pada bentuk geometri ikatan rangkap MQ dari sp2 dan flat menjadi sp3 dan tertekuk, seperti ditunjukkan oleh Gambar 24 C. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
B
A
C Gambar 24. Struktur transition state yang diperoleh dari perhitungan optimasi QST2. A. Ikatan S-H pada gugus thiol NAC terputus menghasilkan H+, B. Atom H+ menuju atom C4 ikatan rangkap, C. Atom H+ terikat pada atom C4 dan membentuk karbokation.Warna kuning, merah, biru, hijau dan putih berturut-turut menunjukkan atom C, atom O, atom N, atom S dan atom H. Pembentukan karbokation primer melalui adisi pada ikatan rangkap CαCβ MQ oleh proton yang berasal dari NAC menunjukkan bahwa transition state yang diperoleh tidak sesuai dengan asumsi awal atau tidak mengikuti mekanisme adisi Michael. Pada reaksi Michael, pemutusan ikatan rangkap Cα-Cβ MQ berlangsung melalui adisi oleh nukleofil sehingga terbentuk karbanion sekunder. Akan tetapi, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemutusan ikatan rangkap tersebut berlangsung melalui adisi oleh proton yang berasal dari NAC sehingga terbentuk karbokation primer. Ketidaksesuain ini diperkirakan terjadi karena berkaitan dengan adanya pengaruh polarisasi yang cukup besar pada gugus thiol NAC sehingga mengakibatkan ikatan S-H terputus dan terbentuk H+ yang dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
mengadisi ikatan rangkap Cα-Cβ MQ. Kondisi tersebut tidak seharusnya terjadi pada reaksi dengan mekanisme Michael. Hal ini dapat terjadi karena terdapat beberapa faktor yang berpengaruh dalam sistem yaitu konfigurasi yang digunakan belum sesuai dan pemilihan metode dalam komputasi yang diperkirakan ikut berkontribusi terhadap polarisasi pada gugus thiol NAC. Untuk mengetahui pengaruh dari penggunaan metode komputasi, sebagai pembanding dilakukan optimasi QST2 terhadap konfigurasi tersebut dengan menggunakan peningkatan level teori menggunakan MP2 maupun peningkatan akurasi basis set dengan menggunakan difused basis set, 631G+(d). Hasil komputasi yang telah dilakukan dengan peningkatan terhadap level teori maupun basis set tersebut memiliki permasalahan terkait convergence failure. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa faktor yang mempengaruhi ketidaksesuain tersebut diperkirakan adalah konfigurasi yang digunakan belum sesuai. Hasil yang diperoleh mengarahkan pada asumsi bahwa adisi pada ikatan rangkap Cα-Cβ MQ berlangsung dengan melibatkan proton yang mungkin dapat berasal dari katalis asam. Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian Lambert (2009) yang mengkondisikan sistem berada pada kondisi fisiologis sehingga reaksi pembentukan ikatan kovalen antara MQ dan NAC lebih mungkin berlangsung melalui adisi nukleofilik oleh nukleofil NAC. Hasil penelitian Lambert mengarahkan pada asumsi bahwa pemodelan terhadap transition state tersebut sangat dipengaruhi oleh polarisasi pada gugus thiol NAC yang harus dikondisikan agar tidak menyebabkan terjadi pemutusan pada ikatan S-H. Kondisi tersebut dapat diperoleh dengan mengarahkan agar serangan gugus thiol NAC tidak terlalu dekat dengan gugus-gugus polar MQ. Pemodelan terhadap serangan NAC yang sebelumnya telah dilakukan dengan posisi serangan dari bawah ikatan rangkap MQ mengakibatkan gugus thiol NAC terletak dekat dengan gugus-gugus polar MQ, yaitu gugus karbonil dan ikatan rangkap yang diasumsikan juga berkontribusi terhadap polarisasi tersebut. MQ mempunyai ikatan rangkap yang terkonjugasi karbonil dan atom Cα commit to user mengikat atom N yang mempunyai keelektronegatifan lebih besar dibandingkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
atom Cα. Hal ini mengakibatkan adanya induksi yang cukup besar dari gugus karbonil MQ dan atom N yang terikat secara langsung pada atom tersebut sehingga menyebabkan peningkatan densitas elektron pada ikatan rangkap MQ yang memberikan tarikan cukup kuat pada atom H yang terikat pada gugus thiol NAC. Pengaruh tersebut terlihat ketika ikatan S-H gugus thiol NAC terputus, H+ yang terletak 5,21 Å dari atom Cα dan 4,04 Å dari atom O gugus karbonil MQ lebih cenderung tertarik menuju atom Cα bila dibandingkan dengan atom S yang terletak 5,01 Å dari atom Cβ tak jenuh (gugus metilen) MQ. Sehingga adisi pada ikatan rangkap Cα-Cβ MQ tidak berlangsung melalui adisi nukleofil NAC melainkan melalui proton dari NAC. Oleh karena itulah diperlukan pemodelan dengan posisi yang berbeda terhadap serangan NAC pada ikatan rangkap MQ. Hasil penelitian Lambert (2009) juga menunjukkan bahwa reaksi pembentukan ikatan kovalen antara MQ dan NAC membutuhkan waktu yang cukup lama dan produk yang dihasilkan relatif cukup sedikit. Kondisi tersebut mengarahkan pada asumsi bahwa reaksi pembentukan ikatan kovalen antara MQ dan NAC membutuhkan posisi serangan tertentu yang memungkinkan terjadi adisi nukleofilik dengan mekanisme adisi Michael. Pemodelan terhadap kondisi tersebut tidak mudah untuk dilakukan karena harus menata kedua konfigurasi reaktan (MQ dan NAC) agar sesuai sehingga dapat mengakomodasi terjadinya adisi Michael serta harus menjaga agar tidak terjadi polarisasi yang dapat mengakibatkan ikatan S-H thiol terputus. Strategi penataan konfigurasi tersebut belum ditemukan sehingga pemodelan tersebut tidak dilakukan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat dikatakan bahwa mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen dengan NAC berlangsung melalui konversi PRIMA-1 menjadi MQ. Pembentukan ikatan kovalen antara MQ dengan NAC berlangsung melalui dua tahap reaksi yang mungkin terjadi, yaitu pembentukan karbokation primer melalui adisi pada ikatan rangkap karbon-α, β oleh atom H yang terikat pada gugus thiol NAC yang diikuti oleh serangan nukleofil berupa anion NAC pada karbokation tersebut. Akan tetapi, posisi anion dari gugus thiol NAC yang berada 2,87 Å dari karbokation Cβ, cukup jauh dan to user tidak memungkinkan untuk terjadicommit interaksi yang melibatkan pembentukan ikatan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
kovalen. Perhitungan QST2 hanya mampu menunjukkan pembentukan satu transition state, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 24 B. Hal ini mengarahkan pada asumsi bahwa, transition state yang mungkin terlibat pada reaksi pembentukan adduct MQ-NAC diperkirakan ada dua. Sehingga dapat diasumsikan bahwa transition state pertama dari reaksi tersebut terbentuk pada saat spesi bermuatan positif (H+) mengadisi ikatan rangkap MQ dan transition state kedua terbentuk pada saat nukleofil NAC menyerang karbokation tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Keberadaan gugus hidroksi PRIMA-1 yang merupakan bad leaving group berpengaruh terhadap entalpi pembentukan adduct PRIMA-NAC yang bernilai positif dan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan adduct MQNAC. Sehingga reaksi pembentukan ikatan kovalen pada adduct PRIMANAC yang berlangsung melalui substitusi nukleofilik lebih sulit terjadi pada temperatur kamar bila dibandingkan dengan adduct MQ-NAC yang bersifat eksoterm dan berlangsung melalui adisi nukleofilik pada ikatan rangkap MQ. 2. Mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen dengan NAC tidak dapat berlangsung melalui PRIMA-1, tetapi dengan konversi PRIMA-1 menjadi MQ.
B. Saran 1. Perlunya dilakukan studi lanjut tentang mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen pada adduct MQ-NAC dengan menggunakan optimasi QST3 untuk menggambarkan secara lebih detail transition state yang terlibat dalam reaksi tersebut dan perhitungan IRC untuk menggambarkan jalannya reaksi. 2. Perlunya dilakukan pemodelan terhadap pembentukan adduct MQ-NAC yang mempunyai konformasi anti. 3. Perlunya dilakukan pemodelan terhadap kemungkinan serangan NAC terhadap ikatan rangkap MQ dari posisi yang berbeda.
commit to user
63