STUDI MANIFESTASI PERJUANGAN KEADILAN GENDER PADA NOVEL LAYAR TERKEMBANG KARYA SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA, KEBERANGKATAN KARYA NH. DINI, DAN SAMAN KARYA AYU UTAMI” DAN MANFAATNYA BAGI PENGAJARAN APRESIASI SASTRA Sugiarti Universitas Muhammadiyah Malang Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi yang objektif tentang manifestasi perjuangan keadilan gender dalam karya sastra. Secara rinci akan menjawab beberapa permasalahan yang terkait dengan bagaimanakah : (1) manifestasi perjuangan keadilan gender di bidang pekerjaan? ; (2) manisfestasi keadilan gender di bidang pendidikan?; (3) manifestasi keadilan gender di bidang seksualitas; (4) pandangan pengarang laki-laki dan perempuan tentang keadilan gender pada novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, Keberangkatan karya NH Dini, Saman karya Ayu Utami serta (5) manfaatnya bagi pengajaran apresiasi sastra. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik eksploratif. Observasi dilakukan secara langsung terhadap 3 novel karya pengarang laki-laki dan perempuan yaitu Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, Keberangkatan karya N.H Dini , dan Saman karya Ayu Utami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara pengarang laki-laki dan perempuan dalam melihat manifestasi perjuangan keadilan gender dalam bidang pekerjaan, pendidikan, dan seksualitas terdapat perbedaan. Manisfestasi perjuangan keadilan gender pada pengarang laki-laki lebih melihat pada posisi yang kurang setara antara laki-laki dan perempuan, sebaliknya pengarang perempuan mengungkapkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak serta kesempatan yang sama tanpa membedakan antara yang satu dengan yang lain. M anfaatnya bagi pengajaran apresiasi satra sangat penting karena mampu membentuk karakter individu menjadi lebih humanis dengan melakukan penghargaan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam kehidupan ini. Kata Kunci: Manifesatasi Gender, Apresiasi Sastra
Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 345
A. PENDAHULUAN Karya sastra di samping memiliki struktur otonom juga tidak dapat dipisahkan dengan latar belakang, yaitu masyarakat dengan segenap budaya, tradisi dan keberadaanya . Sastra dapat disebut juga sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan , dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat. Sastra pada hakekatnya suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa. Karya sastra lahir dari tangan penulis sebagai ungkapan perasaan yang ingin disampaikan kepada pembaca ataupun penikmat, lewat karya-karya monumental sebagai hasil imanjinasinya. Novel Layar Terkembang, Keberangkatan, maupun Saman merupakan contoh karya sastra, sebagai letupan isi jiwa pengarang akan realitas kehidupan yang dirasakan atau dialami. Dalam novel tersebut pengarang dengan lugas mengangkat isu kesetaraan gender sebagai Seiring dengan euforia globalisai yang ditandai oleh berbagai kemajuan bidang teknologi, maka kaum perempuan sebagai bagian dari komponen bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk memacu diri dalam mengasah keterampilan dan membuka wawasan sesuai dengan dinamika yang berkembang di tingkat publik. Berkenaan dengan hal tersebut, sebagai langkah konkret dalam menatap era kesejagadan, posisi perempuan perlu
dikembalikan sebagai manusia seutuhnya yang bermartabat dalam budaya, berdaulat dalam politik dan mampu berdikari dalam ekonomi. Oleh karena itu, dehumanisasi kaum perempuan sebagai benih kesenjangan gender tidak dapat dibiarkan dalam praktik kehidupan jagad raya. Perempuan berjuang menggugat ketidaksetaraan gender. Perjuangan tersebut sebagai upaya membuka mata masyarakat atas ketidakadilan hukum, ekonomi, sosial maupun budaya. Kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk protes, atas deskriminasi fungsi (different function) yang merugikan pihak perempuan. Oleh karena itu, kaum perempuan dunia berupaya mewujudkan persamaan atau kesetaraan derajat antara kaum perempuan dan laki-laki dengan berbagai aktivitas. Berdasarkan beberapa pemikiran yang dungkapkan di atas maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) bagaimana gambaran manifestasi perjuangan keadilan gender di bidang pekerjaan (2) Bagaimana gambaran manifestasi perjuangan keadilan gender di bidang pendidikan; (3) bagaimana manifestasi perjuangan keadilan gender di bidang seksualitas pada novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, Keberangkatan karya NH. Dini, dan Saman karya Ayu Utami.? Bagaimana pandangan pengarang laki-laki dan perempuan tentang manifestasi keadilan gender pada ketiga novel tersebut; serta manfaatnya bagi pengajaran apresiasi sastra? Adapun tujuan penelitian adalah mendeskripsikan manifestasi keadilan gender dalam bidang pekerjaan, pendidikan dan seksualitas pada novel Layar Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 346
Terkembang karya STA; Keberangkatan karya NH. Dini, Saman karya Ayu Utami; mendeskripsikan pandangan pengarang lakilaki dan perempuan tentang manifestasi keadilan gender pada ketiga novel tersebut serta manfaatnya bagi pengajaran apresiasi sastra. B. LANDASAN TEORI 1. Refleksi Sastra dalam Kehidupan Karya sastra sebagai salah satu karya seni akan selalu menarik perhatian karena mengungkapkan penghayatan manusia yang paling dalam. Sastra hidup di tengah masyarakat, di berbagai tempat dan waktu. Sastra adalah institusi sosla yang memakai medium bahasa. Sastra “menyajikan” kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial (Budianta, 1990: 109). Dalam kiprahnya sastra mampu menelusup “urat nadi” kehidupan politik, ekonomi, sejarah, aspirasi rakyat serta moral dan agama. Ia berisi halhal yang indah, memikat, sublim, tragik, atau menyedihkan sesuai dengan fungsinya menghibur dan memberi manfaat (dulce et utile). Pendek kata terdapat hubungan yang erat antara sastra dan masyarakat. Studi yang meneliti hubungan antara sastra dan masyarakat ini kini dikenal dengan istilah sosiologi sastra. Yaitu sustu ilmu interdisipliner yang menggabungkan sosiologi dengan ilmu sastra. Dalam sosiologi sastra , terdapat dua teori tentang hubungan sastra dengan masyarakat. Menurut teori pertama, karya sastra adalah gejala sosial yang dependen dengan masyarakat. Dipandang secara demikian, karya sastra dianggap merupakan cerminan daripada masyarakat itu sendiri. Kebalikan
dari teori itu adalah teori yang lebih menekankan fungsi aktif satra, yaitu bahwa karya sastra tidak hanya merupakan produk dari kekuatan-kekuatan sosial, tetapi sekaligus merupakan salah satu faktor yang membentuk kekuatan sosial tersebut. Untuk mengetahui bagaimanakah hubungan antara karya sastra dan masyarakat itu, sosiologi sastra menelaah berbagai sarana yang memediasi keduanya, apakah mediasi itu berupa struktur ekonomi, sosil, politik, ideologi, konvensi seni dan lain-lain (Faruk, 1994: 1). Dalam sosiologi sastra perhatian para ahli terhadap gender telah melahirkan teori sastra feminis. Teori sastra feminis lahir dari barat bersamaan dengan gerakan feminis itu sendiri. Oleh karena itu teori sastra feminis pada umumnya menekankan bahwa gambaran tentang perempuan dalam karya sastra sebenarnya merupakan produk dan faktor-faktor politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Sesuai itu pula gerakan feminis umumnya, teori sastra feminis mengambil pendekatan yang berbeda: ada yang lebih menekankan faktor politis, psikologis, maupun faktor sosial ideologis ( Selden, 1993: 135). 2. Refleksi Gender dalam Masyarakat Gender sebagai konstruksi social, yang telah disosialisasikan sejak lahir ternyata telah menyumbangkan ketidakadilan dan manifestasi ketidakadilan tersebut telah mempengaruhi kebijakan dalam pengambilan keputusan. Dalam kehidupan social, sistem nilai dan norma dan stereotipi tentang perempuan telah dilihat sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi posisi maupun hubungan Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 347
perempuan dan laki-laki atau lingkungannya dalam struktur sosial yang ada. Lebih lanjut dalam kehidupan manusia bahwa nilai dan norma tentang perempuan tumbuh dari konsensus dalam masyarakat yang dibawa secara turun temurun dan dijadikan panutan setiap warganya. Jika mereka keluar dari aturan yang ada berarti dia akan membuat pertentangan dengannya. Dalam beberapa kasus dapat diamati bahwa perempuan telah terabaikan hanya karena nilai dan norma yang telah mengukung dirinya. Mereka hidup dalam kondisi ketidakberdayaan dan bahkan kemiskinan. Pada perkembangan sekarang ini muncullah kesadaran kaum perempuan untuk mengubah tata nilai dan norma yang telah lama menimpa dirinya. Kesadaran tersebut dalam operasionalnya masih terbentur dengan realitas kultur nilai yang tertata sekian tahun yang lalu. Karena itu untuk menjawab permasalahan tersebut berarti mencoba untuk mengungkap kemapanan sistem nilai yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Dengan demikian harus diakui bahwa kondisi perempuan sekarang masih berada dalam kerangka pemikiran tradisional. Kondisi yang demikian ini dipengaruhi oleh pola pengasuhan keluarga terhadap anak-anak. Secara histories anakanak sudah dipersiapkan untuk berperan sebagai feminim, kemudian ketika beranjak dewasa mulai dipersiapkan untuk menjadi isteri yang harus mampu memberikan keturunan, mampu mememlihara anak, mampu dan trampil memasak sehingga predikat isteri harus sudah dimilikinya sejak dini.
Setelah menjadi isteri keperempuannya diuji lagi dengan kemampuan malahirkan anak. Jika tidak dimilikinya kemampuan ini maka perempuan harus menanggung beban atau harus menerima kenyataan jika suaminya menjadikan persoalan ini sebagai justifikasi untuk mencari isteri baru. Melihat kondisi demikian ini maka perempuan selalu dalam posisi penindasan baik dilihat dari segi potensi, intelegensi, ekonomi, politik sampai pada jabatan ada deskriminasi pada kaum perempuan. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, maka perbedaan pengasuhan tersebut diantaranya dibentuk, disosialisasikan, dibuat bahkan dikonstruksikan secara sosial kultural melalui ajaran keagamaan bahkan oleh negara ( Fakih, 1996 : 10 ). 3. Ideologi Gender dan Semangat Feminis Wacana tentang persoalan gender tidak akan pernah lepas dari sistem sosial budaya politik yang berlaku dalam suatu negara, atau dengan kata lain , relaitas persoalan gender merepleksikan realitas sosial budaya yang ada (Stimpson dalam Said, 1986: 174) Contoh yang konkrit kebijakan pemerintah adanya menteri Negara Urusan Peranan Perempuan, sementara pada masa sekarang ini berubah menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Perubahan nama ini secara tidak langsung mengimplikasikan adanya pengakuan bahwa memang perempuan di negeri ini belum berdaya sehingga perlu diberdayakan. Pada pemerintahan Suharto kaum perempuan diposisikan sebagai subordinasi kaum laki-laki sebagaimana tampak dalam struktur organisasi Dharma Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 348
Wanita yang tinggal mengekor pada posisi “kaum bapak” di lingkungan birokrasi Sesungguhnya ideologi gender, yang menekankan dominasi laki-laki terhadap perempuan, telah menjadi warisan sekaligus persoalan yang mendera kaum perempuan selama berabad-abad. Karena ideologi gender terkait erat dengan sistem sosial, budaya dan agama. Ketika perempuan dicalonkan sebagai pemimpin negara , perlawanan terhadap deskriminasi gender senantiasa merupakan perjuangan yang cukup panjang. Bahkan , pada saat ini pun deskriminasi gender masih menampakkan jejaknya dalam buku pelajaran di sekolah: dalam ilustrasi profesi dokter selalu diperankan oleh laki-laki. Sementara pekerjaan membersihkan halaman selalu diperankan oleh anak perempuan (Kompas, September 2000). Perlawanan terhadap ideologi gender dalam sastra melahirkan aliran feminisme, yang memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan (Djajanagara, 2000). Tuntutan akan kesetaraan gender itu pada umumnya hadir melalui protagonis yang biasanya digambarkan sebagai korban deskriminasi gender. Latar pun sebagai unsur struktur yang mungkin menggamabrkan sistem sosial budaya yang berlaku- biasanya juga menampilkan suatu konflik gender (antara perempuan dan laki-laki. Saslah satu pengarang perempuan yang dapat digolongkan sebagai seorang feminis adalah Nh. Dini. Menurut Budi Darma (Kompas, 2000) , Nh. Dini merupakan seorang pengarang feminis yang terkuat saat ini. Selain itu yang tak kalah piawainya dalam mereduksi pengalaman yang begitu
cukup sublim dan diakui oleh sastrawan dan budayawan kita adalah Ayu Utami. 4. Dominasi Laki-Laki dan Perempuan Wacana tentang persoalan gender tidak akan terlepas dari sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan terlebih lagi dalam bidang hukum dalam suatu negara atau wilayah. Persoalan gender sebagaimana diketahui telah menjadi bahan kajian berbagai kelompok masyarakat yang tergabung dalam suatu organisasi atau menjadi materi diskusi antarpersonal. Hal ini membuktikan bahwa deskriminasi fungsi (peran) atas dasar seksual sudah layaknya dikaji ulang sebagai bentuk manisfetasi dalam menghapus ketimpangan gender di segala bidang kehidupan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka ketertindasan kaum perempuan akibat dominasi laki-laki bukan lagi menjadi pokok persoalan kaum perempuan semata tetapi menjadi persoalan umum termasuk laki-laki. Ideologi gender yang menekankan dominasi laki-laki terhadap perempuan telah menjadi warisan sekaligus persoalan yang mendera kaum perempuan selama beradab-abad. Ideologi gender telah meracuni konsep berpikir masyarakat, sangat terkait dengan sistem sosial, budaya, maupun politik, bahkan ada yang mengkaitkannya dengan pandangan keagamaan (kasus konkret dari hal ini adalah persoalan muncul ketika Megawati duduk sebagai calon Presiden). Berkenaan dengan hal itu, perlawanan terhadap deskriminasi gender merupakan perjuangan panjang dalam mengembalikan posisi perempuan yang inferioritas.
Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 349
Kritik sastra feminis merupakan seperangkat alat untuk mengkaji karya novelis perempuan. Kolodny menyatakan bahwa kritik sastra feminis di dalamnya termasuk membeberkan perempuan menurut stereotip seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra kita, dan juga menunjukan bahwa aliran-aliran serta caracara yang tidak memadai telah (digunakan untuk) mengkaji tulisan perempuan secara adil dan tidak peka. Kolodny mengemukakan beberapa tujuan terpenting kritik sastra feminis. Pertama, dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh karya sastra yang dihasilkan pada abad-abad yang lalu. Kritik sastra feminis merupakan alat baru dalam mengkaji dan mendekati suatu teks (Satoto dan Fananie, 2000: 84) Ada beragam kritik sastra feminis yang dapat digunakan dalam mengkaji karya novelis perempuan yaitu ragam kritik sastra feminis yang ideologis atau ktitik ideologis. Kritik sastra feminis ini melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Pusat perhatian pembaca perempuan adalah citra serta stereotip perempuan dalam karya sastra.
D.PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Analisa data akan dimulai dengan pembahasan persoalan bagaimana persoalan laki-laki dan perempuan yang terefleksi melalui peristiwa cerita pada ketiga novel tersebut. 1. Manifestasi Perjuangan Keadilan Gender dalam Bidang Pekerjaan pada Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisyahbana,
Keberangkatan Karya NH. Dini, dan Saman Karya Ayu Utami. Pembicaraan persoalan pekerjaan adalah bagian yang tak terlupakan diungkapkan oleh pengarang baik secara tersirat nampak melalui narasi cerita yang ditampilkan . Namun demikian disadari bahwa manusia hidup dengan berbagai aktivitasnya tidak lepas dengan kegiatan mulai dari bentuk yang sangat sederhana sampai yang paling kompleks. Berbagai hal yang terkait dengan aktivitas pekerjaan dapat diperhatikan melalui uraian sebagai berikut. Sosok Tuti merupakan tokoh perempuan yang gigih memperjuangkan nasib buruk kaumnya.ia perempuan cerdas dan berpendidikan. Meskipun demikian, Tuti tidak meninggalkan tugas-tugas domestik sebagai tanggung jawab. Berikut kutipan cerita narasi yang mendukungnya. “Teristimewa sesudah bunda mereka berpulang dua tahun yang lalu, sehingga tinggallah mereka bertiga saja dengan Ayah mereka, kedua belah pihaknya berdaya upaya memaklumi dan menghargai masingmasing. Tuti berusaha sedapat-dapatnya menggantikan kedudukan dan pekerjaan bundanya”. (LT. (Pek.) Hal. 9) Elisa mampu menepis keraguan masyarakat akan kemampuan perempuan untuk mandiri secara ekonomi. Ia mampu memberikan sebagian dari hasil bekerja untuk orang tua. Elisa menyimpan potensi yang sam dengan laki-laki untuk berkiprah di wilayah publik. Kaum perempuan Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 350
menyimpan kekuatan dan kemampuan dalam pekerjaan. Kaum perempuan dapat menjadi sumber nafkah keluarga seperti yang dilakukan oleh seorang laki-laki. Berikut ini kutipan cerita yang mendukun uraian di atas.
“ Pada kesempatan liburku berikutnya , kuselakan waktu buat menemui Kumayas. Dapat dikatakan kawanku itulah yang menjadi sebab aku masuk bekerja pada perusahaan penerbangan.” (KB. (Pek.). Hal 41)
“Ibuku berkali-kali menyuruh ayah dan adik-adikku datang membujuk agar aku tinggal di rumah lagi. Bermacam-macam alasannya. Tetapi yang sebenarnya dalah keuangan dan berbagai kesanggupan yang dapat kusumbangkan. Meskipun, hidup bersama orang tua, aku membayar semacam uang pondokan. Semua yang kuperoleh dari tempat bekerja, kuserahkan kepada ibuku. Belum lagi terhitung segala macam titipan yang harus kubekali untuknya pada waktuwaktu dinas terbangku ke luar negeri. Dengan pindahku dari rumah, berarti menghilangkan sejumlah uang yang diharapkan ibuku. Karena itulah ibuku bersusah payah agar mempengaruhiku agar tinggal bersama lagi. Tetapi dengan terus terang kukatakan kepada keluargaku bahwa aku lebih suka hidup bebas.” (KB. (Pek.) Hal 38)
Perempuan tidak saja bergulat dan cakap di sector publik tetapi diharapkan cakap pula dalam urusan domestik (rumah tangga). Wati adalah contoh perempuan yang memiliki kecakapan dalam menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Oleh karena itu, kaum perempuan diharapkan tidak hanyut atas kecakapan bekerja di sector publik tapi juga domestik. Kutipan cerita berikut yang memperjelas pemikiran di atas.
Ruang gerak perempuan tidak lagi terbatas. Mereka dapat menerobos pintu publik yang dianggap sebagai wilayah lakilaki. Wilayah publik yang disebut sebagai hutan belantara tidak lagi menjadi sesuatu yang angker dan menakutkan bagi kaum perempuan. Hal ini dibuktikan oleh Elisa yang bekerja sebgaai pramugari di sebuah penerbangan. Kutipan cerita berikut ini yang mendukung uraian di atas.
“Namanya Wati, sifatnya lemah lembut keibuan. Selanjunya dia mengganti Lansih dalam urusan rumah tangga. Meskipun umurnya lebih muda dari Lansih , kecekatan mengatur segala yang bersangkutan dengan urusan rumah melebihi kami bertiga. Sejak kedatangannya , kami mulai mendapat berbagai macam makanan manis yang enak buatan sendiri.” (KB. (Pek.) . Hal. 46) Perempuan tidak lagi dimatikan kreativitasnya dalam bekerja. Mereka harus tetap berkembang secara alami sesuai dengan bakat dan potensi yang terkandung dalam jiwa. Perempuan tidak dapat hidup dalam posisi yang terbelenggu. Perempuan perlu diberi kebebasan untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kata hati dan letupan api jiwa. Kutipan berikut mendukung kenyataan peristiwa.
Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 351
“Selama tinggal bersama orang tua, aku takut mengambil prakarsa apapun juga. Karena terbiasa menerima teguran akan segala yang kukerjakan. (KB. (Pek.). Hal 95). Kebebasan bergerak sangat dibutuhkan kaum perempuan untuk membangun kepercayaan diri, hingga mampu berkiprah di sector publik yang menentang. Uraian ini diperjelas oleh kutipan peristiwa berikut. “Baru ketika ke luar dari lingkungan orang tualah aku belajar mempercayai diri sendiri. Asrama dan penghuninya banyak membantuku. Hingga akhirnya pertemuanku dengan Lansih semakin menguatkan kepercayaan dan kesanggupan mengerjakan sesuatu dengan baik, yang dihargai dan berguna untuk orang lain.” (KB. (Pek.) Hal 95-96) Perempuan mempunyai mental bekerja yang kuat. Hal ini dibuktikan oleh Laila yang bekerja sebagai fotografer. Ia berani memotret tiang minyak bumi yang jauh berada dibawah halikopter yang di tumpangi. Berikut ini kutipan cerita yang dapat mendukung uraian di atas. “Dari ketinggian dan kejauhan, sebuah rig nampak seperti kotak perak di tengah laut lapis lazuli. Helikopter terbang mendekat dan air yang nampak tenang sebetulnya terbentuk dari permukaan yang bergolak, kalem namun perkasa, seperti menyembunyikan kekuatan yang dalam. Perempuan itu memberi isyarat agar pilot berputar hingga sudut yang bagi dia untuk memotret tiang-tiang eksplorasi minyak
bumi di bawah mereka. Ia telah menggesar daun jendela hingga lensa telenya menyembul kepada udara tekanan rendah yang sebagian menerobos lekas-lekas mengibarkan rambutnya yang lepas.” (SM. (Pek.). Hal. 7) Perempuan maupun laki-laki memiliki peluang yang sama untuk berkarier. Laila dan Toni mampu bekerja sama dalam menyelesaikan tugas publik yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka berdansa bersamadalam konteks kemitrasejajaran. Uraian ini di dukung melalui kutipan cerita berikut. “Perempuan itu di panggil Laila. Lelaki itu Toni. Keduanya datang setelah ruang produsi kecil yang mereka kelola CV, bukan PT mendapat kontrak untuk mengerjakan dua hal yang berhubungan. Membuat profil perusahaan Texcoil Indonesia, patungan saham dalam negeri dengan perusahaan tambang yang berinduk di Kanada. Juga menulis buku tentang pengeboran di Asia Pasifikatas nama Petroleum Extension Service.” ( SM. (Pek.). Hal. 8) Perempuan mampu menyelesaikan pekerjaan sarat resiko. Hal ini dapat di buktikan oleh Laila sebagai seorang perempuan. Ia satu-satunya perempuan di atas rig tempat pengeboran minyak tengah laut. Uraian ini di dukung oleh kutipan cerita berkut. “Laila mulai meresa asing sebagai satisatunya perempuan di tempat ajaib ini. Tempat ini ajaib sebab cuma ada satu perempuan. Saya.” (SM. (Pek.) Hal. 8)
Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 352
2. Manifestasi Perjuangan Keadilan Gender dalam Bidang Pendidikan pada Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisyahbana, Keberangkatan Karya NH. Dini, dan Saman Karya Ayu Utami.
Perjuangan kaum perempuan dalam hal pendidikan dapat dtelusuri atau dicermati melalui novel Layar Terkembang, Keberangkatan dan Saman. Bagaimana realitas yang diungkap dalam karya sastra terkait dengan persoalan pendidikan dapat diperhatikan melalui kutipan dan analisis berikut “Perbedaan suara kedua gadis itu ketika itu terang menunjukkan perbedaan pekerti antara keduanya. Tuti bukan seorang yang mudah kagum yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafan akan harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan cakap dan banyak yang akan dapat dicapainya. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, sebab itu ia jarang memuji. Terang apa saja ia mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri dan segala buah pikirannya yang tetap itu berdasarkan pertimbangan yang disokong oleh keyakinan yang pasti. Jarang benar ia hendak melombar-lombar, turut menurut dengan orang lain, apabila sesuatu tiada sesuai dengan kata hatinya. (LT. (Pend.). Hal. 8) Pada kutipan narasi di atas terlihat bahwa pengarang menginginkan kaum perempuan memiliki kesempatan menempuh pendidikan agar memiliki kecakapan dan otak cerdas seperti Tuti. Tuti merupakan tokoh yang di tempatkan oleh pengarang untuk mengemban ide tentang pentingnya
pemberdayaan kaum perempuan, melalui pemerolehan kesempatan pendidikan. Berpijak dari hal tersebut, oleh pengarang Tuti dijadikan figur yang dapat dicontoh oleh kaum perempuan. Maria seorang perempuan yang beruntung, sebab dapat mengenyam pendidikan ditingkat H.B.S. Carpentier Alting Stichting. Pendidikan merupakan hal penting, dalam kedudukannya sebagai obor masa depan kehidupan perempuan. Dengan pendidikan terbuka wawasan serta pengetahuan kaum perempuan. Uraian diatas diperjelas melalui kutipan cerita berikut ini. “Tetapi mendengar perkataannya menjawab itu pemuda itu lebih berani; maka ujarnya pula selaku menekan saja,” kalau demikian rupanya Zus sekolah H.B.S. Carpentier Alting Stichting.” Sesungguhnya demikian,” jawab Maria, setelah menggelengkan kepalanya untuk menjauhkan rambut yang halus, yang menutupi mukanya.” Jadi kenal juga tuan dengan mereka?” tanyanya pula. (LT. (Pend.). Hal. 13) Aku tidak pernah masuk sekolah bersama anak-anak pribumi. Selalu sekolah swasta, dilanjutkan ke berbagai kursus. Bahasanya selalu bahasa Belanda. Dan ketika masuk bekerja di perusahaan penerbangan yang belum menjadi perusahaan nasional, bahasa yang terpakai sehari hari diantara pegawai bahasa Belanda pula’ (KB. (Pend.). Hal 29) Kutipan peristiwa di atas mencerminkan bahwa pendidikan merupakan hal yang penting bagi perempuan. Pendidikan akan memudahkan kaum perempuan dalam menentukan sikap, Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 353
termasuk pemerolehan pekerjaan. Hal ini yang harus dinikmati oleh gadis-gadis pribumi sebagai bunga melati bangsa. Mereka dapat bergerak bebas dan sanggup berkompetisi secara sehat dengan laki-laki . Perempuan menyimpan potensi luar biasa. Hal ini ditunjukkan oleh tokoh Anna yang mengikuti pelajaran pharmasi. Anna memiliki kehendak dan kesanggupan untuk menyelesaikan studi. Tindakan Anna tersebut dapat menjadi contoh perempuan lain di Indonesia. Perempuan akan menemukan kembali identitas diri dan dapat duduk setara dengan laki-laki. Ungkapan ini dapat diperhatikan melalui satuan cerita berikut Kuakui bahwa Anna juga sembrono menerima tanggung jawab yang kuserahkan kepadanya . tetapi ia mempunyai dalih mengapa sering lupa apa tugasnya. Itu disebabkan oleh waktu-waktu pelajarannya di kota. Dia mengikuti sekolah pharmasi pada sore hari. Itu memerlukan kesanggupan dan kekuatan kehendak yang luar biasa (KB. (Pend.). Hal 44). Pendidikan merupakan sebuah keharusan bagi perempuan . Kaum perempuan sangat dibutuhkan dalam berbagai program pembangunan. Pendidikan diberikan untuk mewujudkan kaum perempuan yang terpelajar. Hal ini berkait dengan upaya peningkatan kualitas pribadi dan pembuka wawasan. Perampasan hakhak pendidikan atas perempuan perlu dicegah dan perlu dikembalikan sebagai hak penuh kaum perempuan . Satuan peristiwa yang merujuk peristiwa adalah sebagai berikut.
Dengan lega kami menarik napas, kembali dapat memiliki sisa gaji yang lumayan. Lansih terpengaruh oleh Anna, mendaftarkan diri mengikuti sekolah BI jurusan sejarah pada sore hari. Keduanya merupakan kebanggaan kami, tokoh orangorang terpelajar dari deretan rumah yang kami tinggali (KB. (Pend.). Hal 46). Pendidikan merupakan jembatan untuk meraih impian yang telah di tetapkan dalam perjalanan hidup. Pendidikan perlu diberikan agar kaum perempuan mampu bergerak bebas tanpa ganjalan. Menjauhkan program pendidikan dari perempuan merupakan pengingkaran terhadap komitmen pemberdayaan kaum perempuan.kesempatan pendidikan yang terbatas dapat merontokkan impian perempuan secara menyeluruh. Oleh karena itu, persoalan ini harus di hindari dan di kembalikan hak-hak kaum perempuan. Uraian ini didukung oleh kutipan cerita berikut. “Sekolah tempat aku di jebloskan adalah sebuah gedung yang sangat aneh, di kitari sungai yang dalam. Begitu dalamnya sehingga ikan purba hidup di dalamnya.” (SM. (Pend.) . Hal.119) Pemerolehan ilmu pengetahuan dibutuhkan kaum perempuan dan keterasingan. Hal ini perlu direalisasikan sebagai upaya pemantapan kemampuan. Perempuan membutuhkan informasi dari kegiatan belajar mengajar di sekolah. Infomasi dibutuhkan sebagai bekal menyongsong masa depan yang menantang. Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 354
Perempuan tidak patut lagi terperangkap dalam ruang lingkup yang terbatas. Oleh karena itu, pemerolehan pendidikan merupakan hak kaum perempuan termasuk laki-laki. “Dikota asing ini, setiap kali matahari tenggelam Ayah menyuruh orang memasung aku pada ranjang. Sebab aku ini keturunan peri. Tapi, tanpa dia tahu pada malam hari aku belajar menikmati rasa sakit. Pada pagi hari aku menghayati tubuhku menggeliat ketika rantai dilepas. Pada siang hari aku belajar di sekolah. Matamatika, ilmu alam dan sosial, juga pancasila atau prakarya.” (SM. (Pend.) Hal.121) 3. Manifestasi Perjuangan Keadilan Gender di Bidang Seksualitas pada novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisyahbana, Keberangkatan Karya N.H Dini , dan Saman Karya Ayu Utami. Perasaan cinta tidak dapat dihindarkan ketika Yusuf dan Maria saling bertatap muka, rasa cinta begitu hangat terasa oleh Yusuf dan Maria. Dua sejoli ini sedang dilanda asmara. Ungkapan perasaan cinta yang di sampaikan oleh Yusuf merupakan tanda ikatan batin yang kuat. Ungkapan tersebut dapat diperhatikan melalui kutipan cerita berikut. “Pada mata Maria nampak kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta menggemetarlah suaranya untuk pertama kali seumur hidupnya,” Maria Maria taukah engkau saya cinta kepadamu?” (LT. (Sex). Hal. 59)
Perjalanan kisah cinta dua remaja yang berpadu dalam kemesraan yang mendalam sehingga mereka berdua memadu kasih dan cinta dalam sebuha kemesraan. Cinta yang terbangun secara bersma-sama itupun tidak dapat terbendung dan tak terasa Yusuf telah memberikan sentuhan lembut dibibir Maria. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan berikut. “Ta dapat lagi dia meneruskan ucapannya, sebab Yusuf manunduk menutupkan bibirnya ke atas bibir Maria. Dan dalam curahan cinta pertama yang menggemetarkan badan mereka yang muda remaja itu, menjauh mengaburlah keinsyafan akan tempat dan waktu….” (LT. (Sex). Hal. 59) Cinta tumbuh dari diri Yusuf dan Maria. Mereka begitu lekat bak dua sisi mata uang yang tidak mudah di pisahkan. Keagungan cinta telah mereka rasakan dalam keheningan suasana. Angin menjadi saksi cinta mereka. Perempuan dan laki-laki menyimpan perasaan yang sama tentang naluri cinta. Uraian ini di dukung oleh kutipan cerita berikut. “Sama-sama mereka berjalan mesra berpegangan di antara pohon-pohon bambu, yang sayup berdesir-desir di tiup angin. Hampir tak ada perkataan yangmereka ucapkan.” (LT. (Sex). Hal. 59) Perkawinan menjadi tujuan hidup perempuan sebagai alat melepaskan diri dari keterikatan keluarga. Perkwinan tersebut akan menjadi jalan bagi perempuan untuk Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 355
memperoleh kepastian hidup yang dijalani. Hal ini terdapat dalam pikiran Elisa gadis keturunan yang rindu kebebasan dan cinta. Kutipan berikut merupakan cuplikasn peritiwanya.
laki. Perempuan hidup di bawah bayingbayang mereka. Hal ini harus dihindari dalam praktik kehidupan social. Uraian tersebut didukung oleh kutipan cerita berikut.
“Aku telah disergap oleh mimpi setiap gadis pada tarap pencarian tiang buat menambatkan perahu. Perkawinan yang semula kupandang sebagai cara keluar dari lingkungan kepalsuan kekeluargaan, kini kuanggap sebagai titik tujuan yang menyelamatkan diriku dari ketidakpastian menjadi bangsa apa dan bertahan air mana”. (KB. (Sex).Hal 37)
“Beberapa kali menghadiri malam dansa itu aku telah mngerti bahwa lingkungan pergaulanku sama sekali telah berganti. Banyak pemuda yang bersikap bebas dan bersentuhan tubuh. Tetapi tidak jarang aku mendapatkan pasangan yang kaku. Mereka tidak mengartikan “dansa” seperti aku mengartikannya. Aku menikmati musik bersama irama, menemukan kepuasan tersendiri dalam menciptakan gerak yang sepadan dengan Lena. Tetapi pemudapemuda itu mempergunakannya sebagai alat perangsang.” (KB. (Sex). Hal 49)
Perempuan menjadi sasaran laki-laki untuk memenuhi gairah seksualnya. Hal ini yang dirasakan oleh Elisa ketika menjadi pasangan dansa laki-laki. Perempuan dalam hal ini menjadi alat untuk melayani naluri seksual. Kutipan berikut memberikan gambarannya. “Sekali dua kali kami diundang, hingga lama kelamaan kurasakan seperti dipergunakan sebagai alat. Seolah-olah undangan itu hanya merupakan dalih buat menjadi pasangan dansa lelaki yang hadir dan memegang tubuh kami. Meskipun ada tata caranya, kebanyakkan dari mereka menyentuh dan memeluk pasangannya dengan cara sembrono yang terangterangan.” (KB. (Sex).Hal 49) Kaum perempuan dalam relaitas empiris sering ditempatkan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan seksualitas lakilaki. Peristiwa ini yang menyebabkan perempuan berada di bawah kekuasaan laki-
Dalam usaha mendapatkan cinta seorang laki-laki perempuan belum memiliki keberanian untuk lebih agresif. Mereka berperan pasif, sekedar menunggu isyarat positif itu datang dari laki-laki. Hal ini terkait dengan pola didikan masyarakat yang memandang tabu sikap aktif perempuan untuk memperoleh cinta dan seksualitas. Kutipan berikut memberikan ungkapan peristiwanya. Kaum perempuan benar-benar tersiksa. Hal ini terlihat pada diri Upi, gadis remaja yang mengalami gangguan jiwa. Ia terpasung dalam bilik kecil yang terawat secara baik. Kesengsaraan tersebut merupakan simbolisasi yang di kedepankan oleh pengarang untuk mendeskripsikan keadaan perempuan yang memang berada dalam pada posisi yang belum di untungkan. Gadis tersebut terpasung dan tak berdaya. Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 356
Kebutuhan seksnya tidak terpenuhi secara maksimal. Ia hanya dapat melakukan dari dalam bilikdengan mengelus-elus buku jari Wis. Dalam keadaan demikian masih ada laki-laki yang mencoba memanfaatkan tubuhnya. Hal ini mengindikasikan bahwa seks akan menjadi besar bagi perempuan. Uraian di atas di perjelas melalui kutipan cerita berikut ini. ‘Si gadis menjawab dengan tersenyum, lalu mengelus buku-buku jari Wis yang berada di sisi dalam kandang. Menyentuh kapal-kapal kasar yang mulai terbentuk akibat menyangkul. Wis terdiam sebab ia belum pernah mengelus jarinya, sehingga ia tak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia ingin menarik tangannya, tetapi ia takut menyinggung perasaan Upi. Dengan ragu dibiarkannya perempuan itu meraba, menjulurkan tangan keluar untuk menyentuh lengannya yang berlumur tanah dan pelih. Perempuan itu, tatapan sepasang matanya yang tidak seragam lalu meluncur ke bawah; dari wajah pemuda itu, ke perutnya, dan berhenti di pangkal paha lelaki; seraya tangannya menjamah gumpalan di sana sebelum Wis menyadari. Pastor muda itu berteriak kaget dan melompat ke belakang. Wis meninggalkan tempat itu dan si gadis memanggil-manggil.” (SM. (Sex). Hal. 76) Dominasi terhadap perempuan dapat di amati dalam kehidupan nyata. Dominasi ini muncul dalam bentuk dominasi ayah terhadap anak gadisnya suami terhadap istrinya. Berpijak pada realitas tersebut, Shakuntala lewat ideologi feminisnya mentransparansikan banginan dominasi lakilaki terhadap perempuan sebagai bentuk ke
tidak setaraan gender. Dominasi ini dapat terlihat dalam berbagai segi kehidupan termasuk seksualitas. Kebutuhan seks perempuan belum terpenuhi secara maksimal, sebab perempuandi anggap tabu bila lebih agresif dalam pemenuhan. Shakuntala ingin mendobrak hal itu. Oleh kerena itu, Shakuntala tidak mau menghormati ayahnya sebagai kpala keluarga dan kakak perempuan, sebab Shakuntala menganggap mereka sudah tidak lagi menghormati dirinya. Uraian diatas di perjelas lewat kutipan cerita berikut ini. “Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal. Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghornatiku. Aku tidak menghormati mereka.” (SM. (Sex).Hal. 115) Shakuntala tidak lagi menghormati ayah maupun ibu akibat tidak sepakatan dia dengan prinsip yang di tanamkan kepadanya. Sang ibu menyampaikan wejangan bahwa kaum perempuan harus manjaga keperawanannya. Keperawanannya itu ibarat sebuah porselen Cina yang tidak boleh retak, sebab masyarakat akan melemparnya ke dalam bak sampah. Keperawanan mesti di jaga keutuhannya hingga kepelaminan nanti. Keperewanan tersebut merupakan persembahan utama kepada sang laki-laki atau suami. Namun demikian Shakuntala tetap pada pendiriannya dan segera mengambil keputusan akan menyerahkan keperawanan pada laki-laki yang dicintai. Uraian di atas
Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 357
akan diperjelas lewat kutipan cerita berikut ini. “Waktu mereka mulai mendengar bahwa aku suka sembunyi-sembunyi menemui seorang raksasa, ibuku membuka suatu rahasia besar; bahwa aku ini adalah sebuah porselin cina. Patung, piring, cangkir porselin boleh berwarna biru, hijau muda, maupun coklat. Tapi mereka tidak boleh retak, sebab orang-orang akan membuangnya ke tempat sampah, atau merekatnya sebagai penghias kuburan ibuku berkata aku tak akan retak selama aku mamalihara keperewananku. Aku heran bagaimana kurawat sesuatu yang belum aku punya? Ia memberi tahu bahwa di antara kedua kakiku, ada tiga lubang. Jangan pernah kau sentuh yang tengah, sebab disitulah ia tersimpan. Kemudian hari kutahu dan aku agak kecewa, bahwa bukan aku saja yang sebenarnya istimewa. Semua anak perempuan sama saja. Mereka mungkin saja teko, kawan, piring, atau sendok sup, tetapi semua porselin. Sedangkan anak laki-laki? Mereka adalah gading; tak ada yang tan retak kelak ketika dewasa, kutahu mereka juga daging Waktu orang tuaku mendengar bahwa aku pacaran dengan seorang raksasa di dalam hutan, mereka memberi nasehat kedua. Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suami. Dan aku hanya punya satu saja, seperti hidung. Karena itu, jangan pernah di berikan sebelum menikah, sebab aku akan menjadi barang pecah belah. Tetapi sebelum aku di buang ke kota asing ini, aku segera mengambil keputusan. Akan kuserahkan keperawananku pada raksasa yang aku kasihi.” (SM. (Sex).Hal. 124 –125)
Laki-laki memandang diri superior yang dapat secara mudah menguasai perempuan, tanpa berpkir bahwa perempuan pun dapat menaklukkan mereka dengan bokong dan tetek bengeknya. Uraian ini didukung oleh kutipan cerita berikut ini. “Dan sepulang dari rig di laut Cina selatan itu, dia berkata kepada teman-temannya dengan gaya anteng tetapi mengandung kebusukan, “Kalian ingat, cewek fotografer yang waktu itu kesini?” Dan ia bercerita tentang tubuh temanku Laila ketika ia menelanjanginya seperti menceritakan bonus prestasi karena menyelesaikan pekerjaan sebelum deadline, sambil mereka menatap gadis-gadis seolah seolah semua bisa di taklukkan oleh uang dan otot-otot yang jantan, tanpa berpikir bahwa perempuan-perempuan itu juga menaklukkan mereka dengan bokong dan tetek bengeknya.” (SM. (Sex).Hal.133) 4. Pandangan Pengarang Laki-Laki dan Perempuan tentang Manifestasi Perjuangan Keadilan Gender dalam pada novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisyahbana, Keberangkatan Karya N.H Dini , dan Saman Karya Ayu Utami. Berbagai bentuk manifestasi keadilan gender pada pengarang laki-laki tampaknya masih memperlihatkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, seperti halnya yang digambarkan Sutan Takdir Alisyahbana. STA melihat bahwa laki-laki dan perempuan tetap berada pada posisinya dengan tidak meninggalkan Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 358
kodratnya sebagai seorang perempuan. Perempuan diberi kesempatan yang sama seperti halnya laki-laki sesuai dengan potensinya. Namun dalam hal seksualitas perempuan tetap berada pada makhluk yang tak berdaya jika berhadapan dengan lakilaki. Peran perempuan lebih banyak sebagai pemuas laki-laki, sehingga digambarkan bagaimana perempuan melayani laki-laki yang bukan suaminya seperti halnya suaminya. Dalam hal ini perempuan tetap dijadikan objek sasaran dalam pemenuhan kebutuhan seksualitas laki-laki. Ketidakadilan gender seperti yang diungkapkan oleh pengarang laki-laki bahwa perempuan belum secara keseluruhan ditempatkan pada fungsi sebagaimana yang diharapkan. Kenyataannya masih tampak adanya deskriminasi gender dalam melihat laki-laki dan perempuan. Laki-laki menguasai perempuan hanya berbekal pada harta yang dimilikinya, sehingga memperlakukan perempuan sesuai dengan yang diinginkan, perempuan sebagai pemuas nafsu seks . Akan tetapi tidak adanya nada berontak atas perlakuan tersebut menjadikan posisi perempuan lemah akhirnya berada pada kepasrahan semata. Manifestasi keadilan gender yang diungkapkan oleh pengarang perempuan nampak ada perkembangan yang cukup baik . Pengarang perempuan lebih mengangkat harkat dan martabat perempuan pada posisi yang seimbang dengan laki-laki. Gambaran yang diberikan berbaitan dengan persoalan pendidikan, ekonomi, dan seksualitas antara laki-laki dan perempuan memiliki posisi tawar yang cukup penting. Hal ini sekiranya berkaitan dengan kurun waktu karya sastra
itu diciptakan dan pengembaraan batin pengarang dalam merefleksikan keberadaan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Meskipun demikian perempuan juga tidak dapat lepas dengan stereotipi yang melekat pada dirinya bahwa dia termasuk perempuan yang memiliki kelemahan jika dihadapkan pada laki-laki. Kesadaran pengarang perempuan dalam menampilkan peran serta kedudukan laki-laki pada posisi yang egaliter cukup memberikan arti penting bagi perkembangan kesusateraan Indonesia. Perlawanan terhadap ideologi gender dalam sastra melahirkan aliran feminisme, yang memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Tuntutan akan kesetaraan gender itu lahir pada umumnya melalui tokoh protagonis yang biasanya digambarkan sebagai korban diskriminasi gender. Latar-pun sebagai unsur struktur yang mungkin menggambarkan suatu sistem sosial budaya yang berlaku – biasanya juga menampilkan konflik gender. 5. Manfaatnya bagi Pengajaran Apresiasi Sastra Manfaatnya bagi pengajaran apresiasi satra sangat penting karena mampu membentuk karakter individu menjadi lebih humanis dengan melakukan penghargaan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam kehidupan ini. Oleh karena dalam kegiatan apresiasi lebih menfokuskan bagaimana kita memahami, menghargai atas peristiwa yang ada dan berpikir secara arif.
Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 359
E. KESIMPULAN Dari keseluruhan hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Manifestasi keadilan gender dalam bidang pekerjaan pada pengarang lakilaki sebagian telah menunjukkan pada posisi yang seimbang artinya laki-laki dan perempuan sama –sama memperoleh kesempatan dalam melakukan aktivitas/bekerja. Namun kerja perempuan sebagian masih berada pada posisi domestik (kerumahtanggaan). Sedangkan pada pengarang perempuan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pekerjaan di sektor publik dan domestik . 2. Manifestasi perjuangan keadilan gender dalam bidang pendidikan pada pengarang laki-laki masih nampak belum adanya keseimbangan/pemerataan antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan masih berada pada posisi yang kurang penting. Sedangkan pada pengarang perempuan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam hal pendidikan sehingga keduanya dalam melakukan posisi tawar yang seimbang. 3. Manifestasi perjuangan keadilan gender dalam bidang seksualitas pada pengarang laki-laki bahwa perempuan berperan sebagai pemuas nafsu laki-laki sehingga perempuan harus tunduk pada laki-laki. Berbeda dengan pengarang perempuan dan mengungkapkan persoalan seksualitas. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak atas seksualitasnya sehingga ia dapat
melakukan segalanya sesuai dengan yang diinginkannya. 4. Manisfestasi perjuangan keadilan gender pada pengarang laki-laki lebih melihat pada posisi yang kurang setara antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan, ekonomi dan seksualitas.. Adapun manifestasi perjuangan keadilan gender pada pengarang perempuan baik dalam hal pendidikan, ekonomi dan seksualitas laki-laki dan perempuan memiliki hak serta kesempatan yang sama tanpa membedakan antara yang satu dengan yang lain. 5. Manfaatnya bagi pengajaran apresiasi satra sangat penting karena mampu membentuk karakter individu menjadi lebih humanis dengan melakukan penghargaan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam kehidupan ini. Oleh karena dalam kegiatan apresiasi lebih menfokuskan bagaimana kita memahami, menghargai atas peristiwa yang ada dan berpikir secara arif.
Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 360
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin,1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar
Baru
Budiman, Arief. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta : Gramedia Djoko Damono, Sapardi. 2000. Sastra : Ideologi, Politik , dan Kekuasaan.. Surakarta:UMS Press Fakih, Mansour, 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial . Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra : Dari Strukturlisme Genetik Sampai Postodernisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender Dan Pembangunan. Yogyakarta : Rifka Annisa . Woman’s Crisis Center. Suharman, T Mulyono. 2002. Studi Komparatif Nilai-Nilai Feminisme pada Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisyahbana. Keberangkatan karya NH Dini dan Saman Karya Ayu Utami. (Skripsi). Riley, Nany E.1997. Pustaka Pelajar Power And Population Change. Washington, DC: Population Reference Bureau. Inc. Satoto, S; Zainuddin Fananie (Ed). 2000. Sastra Ideologi Politik dan Kekuasaan. Surakarta. Muhammadiyah University Press Sugihastuti, Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasi. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca. Teori Sastra Masa Kini. ( Diterjemahkan Oleh Rahmat Djoko Pradopo ). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Waluyo, Herman J. 1992. Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra. Surakarta : Sebelas Maret University Press Wellek Rene Dan Austin Warren. 1985. Teori Kesusastraan. Di Indonesiakan Oleh Melani Budianta. Jakarta : Gramedia.
Jurnal Artikulasi Vol.7 No.1 Februari | 361