RINGKASAN ANALISIS KESALAHAN KONSEP IKATAN KIMIA PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FKIP UNSYIAH (Sri Winarni dan Syahrial) Penelitian yang dilakukan oleh Nakhleh (1992) menunjukkan bahwa kesalahan konsep terjadi pada hampir semua pokok bahasan materi kimia. Kesalahan konsep itu terutama terjadi pada konsep-konsep yang abstrak seperti sifat partikel materi, perubahan fase, perubahan kimia, kesetimbangan, gaya antarmolekuler dan persamaan kimia. Kesalahan konsep yang terjadi pada siswa dapat berasal dari berbagai sumber. Menurut Osborne dan Wittrock (dalam Pikoli, 2003) sebelum siswa mendapatkan materi pelajaran di sekolah, mereka telah memiliki konsepsi atau gagasan-gagasan tentang peristiwa alamiah, tetapi masih bersifat sebagai pengetahuan sehari-hari yang belum menunjukkan pengetahuan ilmiah. Jika terjadi kesalahan dalam interpretasi pada gagasan-gagasan tersebut, dan terjadi secara terus menerus kemungkinan dapat menimbulkan kesalahan konsep. Kesalahan konsep yang cenderung terjadi dalam ilmu kimia dapat menyebabkan siswa kurang berhasil dalam menerapkan konsep tersebut pada situasi baru yang cocok, yang pada akhirnya siswa gagal dalam mempelajari konsep-konsep kimia. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin pencapaian hasil belajar kimia yang tidak optimal di Indonesia, khususnya di Aceh, disebabkan berkembangnya kesalahan konsep di lingkungan siswa dan belum adanya upaya menyeluruh untuk memperbaiki keadaan tersebut. Memperhatikan begitu besar akibat yang ditimbulkan oleh dan sulitnya memperbaiki kesalahan konsep, maka pilihan terbaik sesungguhnya adalah langkah pencegahan yang dilakukan sedini mungkin. Langkah tersebut dapat dimulai dari institusi pendidikan tenaga keguruan melalui upaya identifikasi kesalahan konsep pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah. Upaya ini juga termasuk dalam rangkaian mempersiapkan industri hulu pendidikan yang diharapkan lebih berhasil guna dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan di Aceh khususnya. ii
iii
Pada penelitian ini digunakan rancangan penelitian diskriptif
kualitatif.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa tingkat awal dan tingkat akhir FKIP Unsyiah. Mahasiswa tingkat awal adalah satu kelas mahasiswa angkatan 2010 dari 3 kelas sebanyak 34 mahasiswa. Mahasiswa tingkat akhir adalah yang sedang menempuh mata kuliah mikro teaching sebanyak 17 mahasiswa (2 kelas) dan semuanya menjadi sampel penelitian. Instrumen Tes yang digunakan tersusun atas pertanyaan-pertanyaan konseptual. Jenis tes adalah obyektif berbentuk pilihan ganda dengan 2 bagian. Bagian pertama jawaban dan bagian kedua adalah alasan-alasan pemiihan jawaban. Format tes seperti ini dikenal juga dengan tes diagnostik yang bertujuan mengungkap kesalahan konsep yang dialami
siswa dan mahasiswa
(Peterson et al, 1986: 41) dan biasa digunakan oleh para peneliti sebelumnya seperti Treagust (1988), Birk dan Kurtz (1999), dan Pinarbasi et al (2009). Hasil penelitian memperlihatkan baik mahasiswa tingkat awal maupun mahasiswa tingkat akhir Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah mengalami kesalahan konsep berkenaan materi ikatan kimia. Kesalahan konsep yang ditemukan sebagai berikut: (1) ikatan ion hanya terjadi antar logam (ion positif) dan non logam (ion negatif); (2) pembentukan ikatan kovalen dengan melepas dan menerima elektron dan ikatan kovalen terbentuk karena unsur non logam mempunyai elektron valensi; (3) ikatan koordinasi terbentuk karena penggunaan pasangan elektron secara bersama; (4) ikatan koordinasi pada senyawa kompleks juga terbentuk karena penggunaan pasangan elektron secara bersama dan karena terbentuk dari unsur logam dan non logam; (5) unsur gas mulia mudah berikatan dengan unsur yang lain dan unsur gas mulia cenderung mempunyai energi yang tinggi; (6) ikatan kovalen non polar terbentuk karena adanya serah terima elektron; (7)
ikatan kovalen polar
terbentuk karena adanya serah terima elektron; (8) suatu senyawa dikatakan polar jika PEI tertarik sama kuat sehingga µ = 0; (9) suatu molekul dikatakan non polar karena atom-atom penyusunnya termasuk non logam; (10) suatu senyawa polar mempunyai elektron yang tersebar secara tidak simetris dan mempunyai PEB; (11) CH4 dan NH3 mempunyai bentuk tetrahedral dan segitiga piramid karena atom pusat sama-sama mempunyai 2 pasang elektron dan 2 PEI; dan
(12) meningkat atau
iv
menurunnya titik didih suatu senyawa disebabkan karena senyawa
itu dapat
berikatan kovalen. Berdasarkan temuan pada penelitian ini, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan berkenaan teknik untuk mengatasi kesalahan konsep yang terjadi pada mahasiswa calon guru. Selain itu ada baiknya pula dilakukan kajian salah konsep terhadap buku atau bahan ajar yang digunakan oleh mahasiswacalon guru.
SUMMARY MISCONCEPTIONS ANALYSIS IN CHEMICAL BONDING ON STUDENTS OF CHEMISTRY EDUCATION DEPARTMENT OF FKIP UNSYIAH (Sri Winarni dan Syahrial) Research conducted by Nakhleh (1992) shows that misconception occurred in almost all the subject matter of chemistry. Misconception that mainly occurs in the abstract concepts such as particle nature of matter, phase changes, chemical changes, equilibrium, intermolecular force and chemical equations. A misconception occurred on the concept that students can come from various sources. According to Osborne and Wittrock (in Pikoli, 2003) before students get lesson in school, they already have a conception or ideas about natural events, but still behave as a day-to-day knowledge that has yet to show scientific knowledge. If there is a mistake in interpretation on these ideas, and occur continuously possibility can cause misconception. Misconceptions that tend to occur in chemistry can cause students less successful in applying these concepts in new situations that match, which ultimately failed students in learning chemistry concepts. Therefore, it is not impossible the achievement of learning outcomes that are not optimal chemical in Indonesia, especially in Aceh, caused the development of students' misconceptions in the environment and the absence of an overall effort to improve the situation. Paying attention is so great due to the difficulty posed by and fix misconception, then the best option really is a preventive measure carried out as early as possible. These measures can be started from the institutions of teacher education through efforts to identify students' misconceptions on Chemistry Education Department FKIP Unsyiah. This effort also included in the upstream industry to prepare a series of education expected to be more effective in improving the quality of education in Indonesia and in Aceh in particular. In this study used descriptive qualitative research design. The population in this study is all students of initial and final levels FKIP Unsyiah. Beginning students is a student grade class of 2010 from 3 classes of 34 students. Senior is currently taking micro-teaching course as many as 17 students (2 classes) and everything became the study sample. The test instruments used consist of conceptual questions. v
vi
Type tests are objective multiple-choice form with 2 parts. The first part of the answer and the second part is the reasons for the selection of answers. This test format also known as diagnostic tests aimed at revealing students' misconceptions (Peterson et al, 1986: 41) and commonly used by previous researchers such as Treagust (1988), Birk and Kurtz (1999), and Pinarbasi et al (2009). The study shows both beginning students and students of final year of Chemistry Education Department FKIP Unsyiah got an misconception regarding the concept of chemical bonding. Misconception concepts found as follows: (1) ionic bonds only occur between the metal (positive ions) and non-metal (negative ion), (2) formation of covalent bonds with the release and accept electrons and covalent bonds are formed due to non-metallic element has a valence electron , (3) coordination bond formed by use of electron pairs together, (4) coordination bond in complex compounds are also formed by use of electron pairs together and thus formed of metal and non metal elements, (5) noble gas elements easily bind to the element another and noble gas elements tend to have high energy, (6) non-polar covalent bond is formed due to the handover of electrons; (7) polar covalent bond is formed due to the handover of electrons; (8) a polar compound is said to be interested if the same PEI strong so that µ = 0; (9) a non-polar molecule is said because the constituent atoms, including non-metals; (10) a polar compound having scattered electron is not symmetrical and have a PEB; (11) CH4 and NH3 has a tetrahedral shape and triangular pyramid as the central atom both have 2 pairs of electrons and 2 PEI, and (12) increase or decrease the boiling point of a compound caused by compounds that can bind covalently. Based on the findings in this study, it is necessary to do further research regarding techniques to overcome the misconception that occurs in the prospective student teachers. Also a good idea too done study of the concept of books or instructional materials used by students of prospective teachers.
PRAKATA Selama ini sering kita jumpai banyak siswa atau mahasiswa yang gagal memiliki nilai pada mata pelajaran kimia dan gagal pula dalam penerapannya dalam kehidupan. Disinyalir salah satu di antara sekian banyak penyebabnya adalah kegagalan siswa atau mahasiswa tersebut untuk mengkaitkan satu konsep dasar dengan konsep lain yang terkait. Menurut Berg (1991) kegagalan mengkaitkan antar konsep yang bersifat konsisten dapat melahirkan kesalahan konsep. Berdasarkan pertimbangan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “Analisis Kesalahan Konsep Ikatan Kimia pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah”. Konsep ikatan kimia merupakan salah satu konsep dasar penting yang menentukan keberhasilan selanjutnya untuk mempelajari ilmu kimia, terutama bagi mahasiswa calon guru kimia. Melalui penelitian ini diharapkan teridentifikasi kesalahan konsep yang dialami mahasiswa calon guru sehingga dapat direncanakan teknik untuk mengatasinya. Keberhasilan pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti pada kesempatan ini menyampaikan terima kasih kepada: 1. Pengelola DIPA Unsyiah yang telah mendanai penelitian ini melalui anggaran penelitian dosen muda. 2. Rektor Universitas Syiah Kuala, Ketua Lembaga Penelitian Unsyiah, Dekan Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan, dan Ketua Program Studi Pendidikan Kimia yang telah memfasilitasi peneliti. 3. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian pelaksanaan penelitian. Peneliti menyadari bahwa hasil penelitian yang tertuang dalam laporan ini masih belum sempurna atau sesuai dengan harapan pembaca. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran membangun untuk penyempurnaan di masa mendatang. November 2010
Peneliti vii
viii
DAFTAR ISI
Hal i
HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN
ii
SUMMARY
v
PRAKATA
vii
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Asumsi dan Keterbatasan Penelitian 1.4 Penegasan Istilah
1 1 2 2 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Konsep 2.2 Perolehan Konsep 2.2.1 Perolehan Konsep Menurut Ausubel 2.2.2 Perolehan Konsep Menurut Brunner 2.2.3 Perolehan Konsep Osborne dan Wittrock 2.2.4 Perolehan Konsep Menurut Teori Piaget 2.3 Kesalahan Konsep dan Pentingnya Memahami Konsep Kimia secara Benar 2.4 Tinjauan Materi Ikatan Kimia 2.4.1 Konfigurasi Elektron Stabil 2.4.2 Ikatan Ion (elektrovalen) 2.4.3 Ikatan Kovalen 2.4.4 Geometri Molekul 2.4.5 Kepolaran Molekul 2.4.6 Ikatan Hidrogen
4 4 4 5 5 7 7 8 9 9 11 12 15 17 17
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
20
BAB IV METODE PENELITIAN
21
viii
ix 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Populasi dan Sampel 4.3 Rancangan Penelitian 4.4 Instrumen Penelitian 4.5 Uji Instrumen 4.5.1 Validasi Instrumen 4.5.2 Realibilitas Instrumen 4.6 Prosedur Pengumpulan Data 4.7 Teknik Pengolahan Data
21 21 21 22 23 23 24 24 25
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Konsep Kestabilan Unsur 5.2 Konsep Ikatan Ion 5.3 Konsep Ikatan Kovalen 5.4 Konsep Ikatan Kovalen Koordinasi 5.5 Konsep Ikatan Kovalen Koordinasi pada Senyawa Kompleks 5.6 Konsep Ikatan Kovalen Non Polar 5.7 Konsep Ikatan Kovalen Polar 5.8 Konsep Kepolaran Molekul Berdasarkan Struktur Lewis 5.9 Konsep Kepolaran Molekul Berdasarkan Rumus Molekul 5.10 Tingkat Kepolaran 5.11 Bentuk Molekul 5.12 Perbandingan Titik Leleh
27 27 28 29 30 30
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 6.2 Saran
38 38 38
DAFTAR PUSTAKA
40
LAMPIRAN
41
31 32 33 34 35 36 36
DAFTAR TABEL Hal 10
Tabel 2.1 Konfigurasi Elektron Gas Mulia Tabel 2.2 Bentuk-bentuk Molekul dengan Atom Pusat : (a) bukan unsur-unsur Transisi dan (b) Unsur-unsur transisi d0, d5 (spin tinggi) dan d10
16
Tabel 2.3 Jari-jari van der Waals (rVDW) Beberapa Unsur
18
Tabel 4.1 Kisi-Kisi Instrumen Tes Tabel 5.1 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep kestabilan unsur
27
Tabel 5.2 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan ion
28
Tabel 5.3 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan kovalen
29
Tabel 5.4 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan kovalen koordinasi Tabel 5.5 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks
30
31
Tabel 5.6 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan kovalen non polar
32
Tabel 5.7 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan kovalen polar
33
Tabel 5.8 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep kepolaran molekul (Polar)
33
Tabel 5.9 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep kepolaran molekul (Non polar)
34
Tabel 5.10 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep kepolaran molekul berdasarkan rumus molekul yang diberikan
35
Tabel 5.11 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep bentuk molekul
36
Tabel 5.12 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep perbandingan titik didih
37
x
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penulisan Lambang Lewis unsur-unsur periode 2 Gambar 2.2 Arah Momen Dipol pada BF3
Hal 12 17
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Hal 41
Lampiran 1. Instrumen Penelitian Lampiran 2. Curriculum Vitae Peneliti
52
Lampiran 3. Rincian Penggunaan Dana
55
Lampiran 4. Buku Catatan Harian Penelitian
57
Lampiran 5. Prosiding Seminar Hasil Penelitian
65
Lampiran 6. Draft Artikel Penelitian
68
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pemahaman merupakan salah satu faktor penting dalam belajar. Menurut Nakhleh (1992:191) kesulitan-kesulitan dalam memahami konsep-konsep dasar akan menghambat siswa dan mahasiswa dalam mengkaitkan konsep-konsep dasar tersebut dengan konsep-konsep lain yang berhubungan. Kondisi ini memungkinkan timbulnya pemahaman yang salah terhadap suatu konsep. Kesalahan yang terjadi secara terus menerus dan bersifat konsisten disebut kesalahan konsep (misconception) (Berg, 1991). Penelitian yang dilakukan oleh Nakhleh (1992) menunjukkan bahwa kesalahan konsep terjadi pada hampir semua pokok bahasan materi kimia. Kesalahan konsep itu terutama terjadi pada konsep-konsep yang abstrak seperti sifat partikel materi, perubahan fase, perubahan kimia, kesetimbangan, gaya antarmolekuler dan persamaan kimia. Kesalahan konsep yang terjadi pada siswa dapat berasal dari berbagai sumber. Menurut Osborne dan Wittrock (dalam Pikoli, 2003) sebelum siswa mendapatkan materi pelajaran di sekolah, mereka telah memiliki konsepsi atau gagasan-gagasan tentang peristiwa alamiah, tetapi masih bersifat sebagai pengetahuan sehari-hari yang belum menunjukkan pengetahuan ilmiah. Jika terjadi kesalahan dalam interpretasi pada gagasan-gagasan tersebut, dan terjadi secara terus menerus kemungkinan dapat menimbulkan kesalahan konsep. Kesalahan konsep yang cenderung terjadi dalam ilmu kimia dapat menyebabkan siswa kurang berhasil dalam menerapkan konsep tersebut pada situasi baru yang cocok, yang pada akhirnya siswa gagal dalam mempelajari konsep-konsep kimia. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin pencapaian hasil belajar kimia yang tidak optimal di Indonesia, khususnya di Aceh, disebabkan berkembangnya kesalahan konsep di lingkungan siswa dan belum adanya upaya menyeluruh untuk memperbaiki keadaan tersebut.
1
2
Sehubungan dengan penjelasan sebelumnya, penelitian ini menjadi perlu karena kesalahan konsep yang dialami oleh seorang calon guru memberi dampak domino. Apabila seorang calon guru mengalami satu kesalahan konsep, maka kesalahan tersebut akan ditularkan kepada siswanya di kemudian hari. Kesalahan konsep yang dialami siswa tidak cukup diperbaiki hanya dengan membaca buku, meskipun dalam waktu lama. Proses munculnya kesalahan konsep pada seseorang merupakan akibat dari proses panjang yang bersifat konsisten dan psikologis. Oleh karena itu proses perbaikannya membutuhkan waktu lama. Memperhatikan begitu besar akibat yang ditimbulkan oleh dan sulitnya memperbaiki kesalahan konsep, maka pilihan terbaik sesungguhnya adalah langkah pencegahan yang dilakukan sedini mungkin. Langkah tersebut dapat dimulai dari institusi pendidikan tenaga keguruan melalui upaya identifikasi kesalahan konsep pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah. Upaya ini juga termasuk dalam rangkaian mempersiapkan industri hulu pendidikan yang diharapkan lebih berhasil guna dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan di Aceh khususnya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut: 1. Kesalahan konsep apa sajakah yang dialami mahasiswa tingkat awal dan tingkat akhir Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah dalam memahami konsep ikatan kimia?. 2. Berapa persen mahasiswa tingkat awal dan
tingkat akhir Program Studi
Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah yang salah dalam memahami konsep yang berhubungan dengan materi ikatan kimia?. 1.3 Asumsi dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan berpijak pada asumsi sebagai berikut:
3
1. Dalam pelaksanaan tes, mahasiswa menjawab dengan sungguh-sungguh dan bekerja sendiri-sendiri. 2. Waktu yang diberikan cukup untuk mengerjakan tes. 3. Kemampuan
mahasiswa
dalam
menjawab
pertanyaan
yang
diberikan
menunjukkan pemahaman mereka tentang materi ikatan kimia
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis kesalahan konsep materi ikatan kimia. 2. Materi dibatasi pada konsep-konsep ikatan kimia yang sesuai dengan diskripsi mata kuliah kimia dasar Program Studi Pendidikan Kimia. Konsep ikatan kimia yang diteliti
meliputi ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan kovalen koordinasi,
ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks,kestabilan unsure,ikatan kovalen polar, kepolaran molekul berdasarkan rumus molekul, bentuk molekul dengan sudut-sudut ikatan ,serta bentuk molekul dan hubungannya dengan titik didih. 1.4 Penegasan Istilah 1. Konsep adalah merupakan suatu abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia berpikir (Berg, 1991:12) 2. Kesalahan konsep adalah kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh (maha)siswa yang memiliki sumber-sumber tertentu dalam menafsirkan konsep, hubungan konsep atau penerapan konsep yang terjadi karena adanya perbedaan pemahaman konsep dengan yang dimaksud oleh buku acuan atau para ahli/masyarakat ilmiah yang terjadi secara konsisten (Ibnu, 1989: 21) 3. Ikatan kimia adalah gaya yang menyebabkan sekumpulan atom yang sama atau berbeda menjadi satu kesatuan dengan perilaku yang sama (Effendy, 2003:22).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Konsep Ada beberapa definisi konsep yang diberikan oleh para ahli. Menurut Herron (1996:105) konsep adalah bagian obyek yang spesifik yang berupa simbol, atau kejadian yang dapat dikelompokkan berdasarkan kesamaan sifat dan dapat ditunjukkan dengan sebuah nama atau simbol. Berg (1991:8) mengartikan konsep sebagai abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia untuk berpikir. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep adalah pemahaman yang dituangkan dengan penyebutan (nistbah) yang oleh Herron (1996:105) disebut simbol terhadap sesuatu berdasarkan ciri-cirinya dan diterima oleh para ahli/masyarakat ilmiah. Menurut Gagne (dalam Dahar, 1988: 9-10) konsep-konsep dalam kimia dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu konsep konkrit dan konsep terdefinisi. Konsep konkrit digeneralisasi dari pengamatan langsung terhadap gejala-gejala alam atau hasil eksperimen, misalnya konsep wujud zat dan campuran. Konsep terdefinisi adalah konsep yang diterapkan dan digunakan untuk menjelaskan suatu obyek, seperti konsep tentang atom dan molekul. Konsep terdefinisi yang berkaitan dengan obyek-obyek mikroskopis, yaitu obyek yang tidak dapat dilihat dengan panca indera secara langsung atau dengan bantuan peralatan apapun, seperti konsep atom, ion dan molekul disebut sebagai konsep mikroskopis. B. Perolehan Konsep Beberapa perolehan konsep telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Masingmasing ahli mempunyai teori tertentu dalam perolehan konsep. Diantaranya Ausubel terkenal dengan belajar bermaknanya, Brunner dengan belajar penemuannya, Osborne dan Witrock dengan belajar generatifnya dan Piaget dengan pembentukan struktur kognitifnya. Berikut adalah beberapa perolehan konsep menurut keempat ahli psikologis kognitif tersebut.
4
5
1.
Perolehan Konsep Ausubel Menurut Ausubel (dalam Dahar: 134), belajar dapat dikategorikan ke dalam
dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkannya informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif adalah upaya pengetahuan konsep, fakta, prinsip, dan kaidah yang berhubungan dengan pikiran seorang pelajar. Untuk menekankan fenomena pengait antara informasi baru dengan konsepkonsep yang relevan dalam struktur kognitif, Ausubel menggunakan istilah subsumer. Subsumer ada dalam struktur kognitif siswa dan akan mengalami perkembangan melalui asimilasi. Urutan informasi cenderung menyebabkan siswa belajar secara menghafal atau bermakna. Urutan materi yang kurang relevan dengan subsumer yang telah ada cenderung menyebabkan siswa belajar menghafal, sebaliknya bila urutan materi relevan cenderung menyebabkan siswa belajar secara bermakna. Menurut Ausubel agar penguasaan konsep dapat berkembang dari gagasan umum yang dikembangkan ke arah yang detail dan lebih spesifik, siswa menentukan kemiripan dan perbedaan yang ada dalam sejumlah konsep kemudian dirangkum dalam subsumer yang telah ada. Dalam proses belajar bermakna siswa akan melalui dua tahap perolehan konsep, yaitu: (1) siswa memahami konsep dasar yang mencakup sejumlah materi disebut formasi konsep (concept formation); (2) siswa menggunakan konsep dasar untuk mengidentifikasi dan mengorganisasikan unsur-unsur yang ada dalam materi untuk dimasukkan dalam kategori tertentu disebut asimilasi konsep (concept asimilation). Jadi inti dari teori belajar Ausubel adalah belajar bermakna. Belajar bermakna menurut Ausubel adalah belajar dengan materi yang relevan dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa. Adanya informasi baru ini kemudian dikaitkan dengan stuktur kognitif yang telah dimiliki.
6
2. Perolehan Konsep Brunner Perolehan konsep menurut Brunner ditekankan pada belajar dengan cara penemuan. Pendekatan Brunner tentang belajar penemuan didasarkan pada dua asumsi, yaitu pertama, perolehan pengetahuan merupakan proses interaktif. Orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, oleh karena itu perubahan tidak hanya terjadi pada lingkungan tetapi juga pada diri orang itu. Asumsi
kedua,
orang
mengkonstruksikan
menghubungkan informasi baru
pengetahuannya
dengan
dengan pengetahuan yang telah diperoleh
sebelumnya (Dahar, 1988: 119). Menurut Brunner pengkonstruksian ini dilakukan oleh individu dengan mencocokkan apa yang ada di luar dirinya dengan struktur pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Belajar penemuan merupakan proses pencarian penegetahuan secara aktif oleh manusia. Dalam hal ini Brunner menyarankan, agar siswa selalu berpartisipasi secara aktif dalam memformulasikan konsepkonsep dan prinsip-prinsip agar siswa mempunyai pengalaman dengan cara melakukan eksperimen yang mendukung mereka menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip (Dahar, 1988: 103). Brunner (dalam Dahar, 1989:122) mengemukakan bahwa belajar konsep sebagai proses kognitif melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan meliputi: (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi, (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Brunner menyarankan agar siswa hendaknya belajar dengan partisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka memperoleh pengalaman, melakukan eksperimeneksperimen yang mengijinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri, berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya sehingga menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna yang dikenal dengan belajar penemuan. Brunner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk
7 mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Hasil belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan diantaranya: 1. Pengetahuan lebih bermakna dan lebih mudah diingat. 2. Konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang diperoleh dan menjadi milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru. 3. Melatih keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah sendiri. 4. Belajar penemuan dapat menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. 5. Membangkitkan semangat atau motivasi kerja untuk memperoleh pengetahuan secara empiris. 3. Perolehan Konsep Osborne dan Wittrock Perolehan konsep menurut Osborne dan Wittrock disebut juga perolehan konsep sebagai hasil belajar generatif. Model belajar generatif ini merupakan pengembangan dari model belajar bermakna. Dalam belajar generatif orang cenderung belajar membentuk persepsi dan arti konsisten dengan hasil belajar. Masih menurut Osborne dan Wittrock (Ibnu, 1988) sebelum anak-anak diajar secara formal tentang hal-hal yang menyangkut fenomena alam, anak secara aktif telah mencoba mengembangkan pemahamannya tentang peristiwa-peristiwa alam, mengembangkan istilah-istilah yang digunakan dalam IPA, dan mengembangkan strategi-strategi tertentu untuk memahami fenomena-fenomena alam yang ada. Proses belajar menurut Osborne dan Witrock diawali dengan kegiatan pikiran yang menyeleksi input atau stimulus yang ada untuk menentukan bagianbagian yang perlu mendapatkan prioritas perhatian. Input akan mendapatkan arti sesuai pengalaman masa lampau si pelajar. Pembentukan arti ini diawali dengan percobaan menghubungkan input dan ingatan. Langkah berikutnya adalah memvalidasi pemahaman yang baru terbentuk melalui pengujian dengan aspekaspek ingatan yang lain. Apabila semua langkah ini positif, maka pemahaman
8 yang baru terbentuk akan disimpan dalam ingatan, sehingga struktur kognitif siswa semakin kaya dan kompleks. 4. Perolehan Konsep Berdasarkan Teori Piaget Ditinjau dari teori Piaget maka perolehan konsep oleh individu pada dasarnya merupakan pembentukan skema atau struktur kognitif. Pembentukan struktur kognitif ini melibatkan dua aktivitas yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi dilakukan jika ada kesesuaian ciri antara struktur kognitif yang ada dengan perangsang. Jika ciri perangsang berbeda dengan struktur kognitif yang ada maka diperlukan akomodasi, yaitu dengan menciptakan struktur kognitif baru dan mengubah, memperluas atau menyempurnakan struktur kognitif yang ada sehingga perangsang dapat diasimilasikan (Ardhana, 1983: 28-29). Dengan demikian pelaksanaan kegiatan belajar mengajar akan lebih baik jika materi pelajaran yang disajikan dimulai dari materi yang bersifat konkrit menuju materi yang bersifat abstrak, sehingga memudahkan siswa untuk menguasai materi yang diberikan. C. Kesalahan Konsep dan Pentingnya Memahami Konsep Kimia secara Benar Kesalahan siswa dalam belajar kimia dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: (1) kesalahan yang terjadi secara acak tanpa sumber tertentu (misalnya salah hitung atau salah dalam menuliskan rumus), (2) salah ingat/hafal dan (3) kesalahan yang terjadi secara terus-menerus serta menunjukkan kesalahan dengan sumber-sumber tertentu. Kesalahan jenis kedua inilah yang biasa disebut miskonsepsi dan sangat menarik perhatian para ahli dalam bidang pendidikan. Siswa yang mengalami kesalahan jenis kedua ini cenderung salah dalam banyak soal yang berbeda konteksnya, tetapi dasar konseptualnya sama (Berg, 1991: 66). Jadi tidak semua kesalahan dalam menjawab soal dikatakan sebagai kesalahan konsep. Konsisten atas kesalahan dalam menjawab soal merupakan kunci dari kesalahan konsep. Selebihnya dikatakan tidak paham, tidak tahu atau lupa. Dalam kimia kesalahan konsep mudah terjadi mengingat sebagian besar materi kimia mempunyai sifat abstrak. Kesalahan pada konsep dasar akan
9 mengakibatkan kesulitan dalam penguasaan konsep selanjutnya mengingat urutan materi dalam kimia tersusun secara berjenjang dan kompleks, konsep satu dengan konsep menjadi dasar konsep yang lain. Sehingga kesalahan konsep yang terjadi dalam belajar kimia berakibat pada lemahnya penguasaan terhadap materi secara utuh. Ini berdampak pada cara pemecahan masalah yang salah baik dalam menghadapi soal ataupun masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu sedapat mungkin kesalahan konsep ini perlu dihindari. Untuk mengubah gagasan-gagasan siswa yang salah menjadi benar tidaklah mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Beberapa fakta yang dikemukakan oleh para peneliti kesalahan konsep seperti Osborne dan Wittrock (1985), Fyerberg (1985), Driver (1985), yang dilaporkan oleh Berg (1991:17) menyimpulkan bahwa: (1) miskonsepsi sulit diperbaiki; (2) sering kali “sisa” miskonsepsi terus menerus mengganggu. Soal-soal sederhana dapat dikerjakan, tetapi pada soal yang lebih sulit miskonsepsi muncul kembali tanpa disadari; (3) seringkali terjadi regresi, yaitu siswa yang sudah pernah mengatasi miskonsepsi setelah beberapa bulan akan kambuh lagi; (4) dengan ceramah yang bagus, miskonsepsi belum dapat dengan sepenuhnya dihilangkan; (5) guru umumnya tidak mengetahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa, sehingga proses belajarmengajar tidak disesuaikan dengan prakonsepsi yang dimiliki siswa (6) siswa yang pandai maupun yang kurang keduanya dapat mengalami miskonsepsi. Fakta tersebut di atas memberikan gambaran tidak mudahnya mengubah kesalahan konsep. Berdasarkan uraian di atas, kesalahan konsep yang terjadi pada siswa akan mengganggu pemikiran siswa dalam menerima pengetahuan berikutnya. Oleh sebab itu, kesalahan konsep dalam belajar kimia adalah satu hal mendasar untuk diupayakan perbaikannya dalam rangka meningkatkan hasil belajar kimia siswa. Terjadinya kesalahan konsep sangat memungkinkan disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah hasil interaksi siswa dengan guru atau dengan bukubuku pelajaran (Griffits dan Preston, 1992:612).
10 D. Tinjauan Materi Ikatan Kimia 1. Konfigurasi Elektron Stabil Atom-atom umumnya tidak ditemukan dalam keadaan bebas (kecuali pada suhu tinggi), melainkan sebagai kelompok atom-atom atau molekul. Keadaan molekul merupakan keadaan yang lebih stabil dari atom. Gaya-gaya yang menahan atom dalam molekul disebut ikatan kimia. Ikatan antar atom atau antar molekul terjadi dengan cara atom yang satu melepaskan elektron sedangkan yang lain menerima elektron, penggunaan bersama pasangan elektron yang berasal dari masing-masing atom yang berikatan dan penggunaan bersama elektron yang berasal dari salah satu atom yang berikatan. Adapun tujuan pembentukan ikatan kimia adalah agar terjadi pencapaian kestabilan suatu unsur. Disamping itu, ikatan yang terbentuk tergantung dari elektron valensinya. Dalam unsur-unsur gas mulia (golongan VIIIA) mempunyai konfigurasi elektron yang stabil. Tabel 2.1 Konfigurasi elektron gas mulia Periode Unsur
Nomor Atom
K
L
M
N
O
1
He
2
2
2
Ne
10
2
8
3
Ar
18
2
8
8
4
Kr
36
2
8
18
8
5
Xe
54
2
8
18
18
8
6
Rn
86
2
8
18
32
18
P
8
Unsur-unsur golongan ini mempunyai elektron valensi berjumlah 8 kecuali He yang mempunyai 2 elektron. Unsur-unsur mempunyai kecendrungan untuk mempunyai konfigurasi elektron seperti gas mulia. Konfigurasi dengan
11 delapan elektron pada kulit terluarnya disebut oktet, sedangkan konfigurasi dengan dua elektron pada kulit terluarnya disebut duplet. Pendapat ini kemudian dikenal dengan kaidah oktet dan duplet. Atom-atom ddengan elektron valensi kecil cenderung melepaskan elektron untuk membentuk konfigurasi elektron gas mulia dan sebaliknya. 2. Ikatan Ion (elektrovalen) Ada dua macam ion, yaitu kation dan anion. Kation adalah ion yang bermuatan positif, sedangkan anion adalah ion yang bermuatan negatif. Baik kation maupun anion dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu ion monoatomik dan ion poliatomik. ION Kation Monoatomik Contoh H+, Na+, Mg2+, Al3+
Anion Poliatomik Contoh NH , NO
Monoatomik
Poliatomik Contoh
Contoh Cl-, O2-,N3-
SO
, NO
(Wibowo, 2006) 2.1 Pembentukan Senyawa Ionik Ikatan ion merupakan gaya elektrostatik antara kation dan anion yang terjadi dalam senyawa ionik. Senyawa ionik dapat terdiri dari ion-ion sederhana maupun ion poliatomik. Senyawa ionik dapat terdiri dari atom-atomnya dalam fase gas, cair dan padat. Senyawa ionik dapat digolongkan menjadi (i) senyawa ionik yang tersusun atas ion-ion sederhana, contohnya NaCl dan MgCl2; (ii) senyawa ionik yang tersusun atas ion sederhana dan ion poliatomik, contohnya KNO3, NH4Cl; dan (iii) senyawa ionik yang tersusun atas ion-ion poliatomik, contohnya NH4NO3 dan (NH4)2SO4. Pada senyawa ionik yang terdiri dari tiga atom atau lebih, ikatan ionik
12 dapat terjadi antara ion sederhana dengan anion poliatomik, misalnya ikatan antara ion K+ dengan ion NO 3 dalam senyawa KNO3, atau ikatan antara ion NH 4 dengan ion SO 24 . Pembentukan ikatan ion dari ion-ion sederhana biasa terjadi dari unsurunsur golongan IA dan IIA dengan unsur-unsur golongan VIA dan VIIA. Pada pembentukan ikatan ion ini terjadi tranfers elektron dari satu atom ke atom lain. Kemudian diikuti dengan gaya tarik elektrostatik antara kation dengan anion yang berlawanan muatan. Pembentukan senyawa ionik dalam fase gas melibatkan tiga tahap, yaitu pembentukan kation, pembentukan anion dan pembentukan pasangan ion. Pembentukan kation merupakan proses endotermik, pembentukan anion merupakan proses eksotermik atau endotermik, sedangkan pembentukan pasangan ion merupakan proses endotermik. Tahap-tahap dalam pembentukan NaCl dalam fase gas adalah sebagai berikut: Tahap pembentukan kation Na(g) → Na (g ) + e HIE = 495 kJ/mol Tahap pembentukan anion Cl + e → Cl (g ) Pembentukan pasangan ion Na
(g)
+ Cl
(g)
HEA = -349,0 kJ/mol → NaCl(g)
Na(g) + Cl(g) → NaCl(g)
Hip = - 552,0 kJ/mol H = - 405,0 kJ/mol
Pembentukan kation dari atom Na dalam fase gas berlangsung secara endotermik, karena untuk melepaskan satu elektron terluarnya diperlukan energi. Energi ini disebut dengan energi ionisasi (IE). Pembentukan anion dari atom Cl dalam dalam fase gas berlangsung secara eksotermik, karena dalam pembentukan tersebut dibebaskan sejumlah energi, yang disebut dengan afinitas elektron. Pembentukan pasangan ion berlangsung secara eksotermik, karena dalam pembentukan pasangan ion dibebaskan sejumlah energi. 3. Ikatan Kovalen Selain ikatan ionik, salah satu jenis ikatan kimia adalah ikatan kovalen. Untuk mengggambarkan atom-atom yang terlibat dalam pembentukan ikatan kovalen perlu dipahami lebih dulu konsep tentang simbol Lewis atau lambang
13 Lewis. Simbol Lewis atau Lambang Lewis adalah simbol suatu atom yang dikelilingi oleh titik-titik yang menyatakan elektron valensi dari atom tersebut. Contoh penulisan lambang Lewis untuk unsur periode dua adalah:
Li
Be
B
N
C
O
F
Ne
Gambar 2.6. Penulisan Lambang Lewis unsur-unsur periode 2.
Atom-atom yang sama tidak dapat membentuk ikatan ionik, karena harga keelektronegatifan dari atom-atom yang sama tersebut tidak memungkinkan untuk terjadinya transfer elektron dari satu atom ke atom yang lain. Seperti yang terjadi antara dua atom H berikut ini.
H
+ H
H+ +
H-
(1)
Atom-atom yang tidak dapat membentuk ikatan ionik tersebut, dapat membentuk pasangan elektron yang dipakai secara bersama seperti yang diberikan pada contoh berikut.
H
+ H
H
H
atau
H
H
(2)
14 Transfer elektron juga tidak dapat terjadi apabila dua atom yang berbeda memiliki perbedaan harga keelektronegatifan yang kecil. Seperti pada contoh berikut.
H
+
F
H+ +
F-
(3)
Atom-atom tersebut membentuk pasangan elektron yang dipakai secara bersama seperti yang diberikan pada contoh berikut.
H
+
F
H
atau
F
H
F
(4)
Ikatan yang terjadi antara atom-atom melalui pemakaian bersama pasangan elektron seperti terlihat pada hasil reaksi (2) dan (4) disebut dengan ikatan kovalen. Pada waktu atom-atom membentuk ikatan kovalen terjadi perubahan jumlah elektron pada kulit valensinya. Jumlah elektron pada kulit valensi bertambah karena adanya pemakaian bersama pasangan elektron antara dua atom yang berikatan. Pasangan elektron ini disebut pasangan elektron ikatan yang digambarkan dengan dua buah titik (:) atau garis penuh () (Effendy, 2003).
Transfer
elektron
tidak
terjadi
apabila
perbedaan
harga
keelektronegatifan antara dua atom adalah 1,7 atau kurang. Pada waktu membentuk ikatan kovalen, jumlah elektron pada kulit valensi atom-atom: 1. Konfigurasi elektron pada H2 disebut dengan konfigurasi duplet. 2. Lebih dari dua elektron tapi kurang dari delapan elektron seperti pada atom Be dalam BeH2 dan atom B dalam BF3 3. Sama dengan delapan elektron (oktet) seperti atom F dalam HF dan atom F dalam F2. Konfigurasi elektron ini disebut dengan konfigurasi oktet.Jumlah
15 maksimal elektron pada kulit valensi atom-atom periode dua adalah delapan, seperti pada ion BeH 24 dan BF 4 . 4. Lebih dari delapan elektron seperti terlihat pada atom P dalam PCl 5 dan atom S dalam SF6. Konfigurasi elektron ini disebut dengan konfigurasi super oktet. Seperti pada PCl5 dan SF6. Konfigurasi elektron yang lebih dari delapan elektron seperti contoh di atas biasa terjadi pada atom-atom periode 3 dan seterusnya. Berdasarkan asal elektron yang digunakan untuk berikatan, ikatan kovalen dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu: ikatan kovalen sederhana dan ikatan kovalen koordinasi. Pada pembentukan ikatan kovalen, apabila elektron berasal dari masing-masing atom seperti pada contoh-contoh di atas disebut dengan ikatan kovalen sederhana, biasanya disebut dengan ikatan kovalen saja. Elektron yang digunakan untuk berikatan juga dapat berasal dari salah satu atom saja, seperti pada contoh berikut ini. F
H H
N H
+
B F
F
H H F
N
H
B
F F
Ikatan kovalen di mana elektron yang digunakan untuk berikatan berasal dari salah satu atom seperti pada reaksi di atas
disebut dengan ikatan kovalen
koordinasi. Tanda panah pada gambar di atas menunjukkan adanya donasi elektron, karena elektron yang dipakai bersama untuk berikatan kovalen berasal dari satu atom. Berdasarkan kepolaran ikatannya, ikatan kovalen dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu ikatan kovalen nonpolar dan ikatan kovalen polar. Ikatan kovalen yang terjadi antara dua atom yang sama, seperti pada H2, F2, Cl2, O2 dan N2 disebut dengan ikatan kovalen nonpolar. Apabila yang membentuk ikatan kovalen adalah dua atom yang mempunyai harga keelektronegatifan yang sama maka rapatan elektron antara dua inti atom akan tertarik sama kuat ke dua atom yang berikatan. Ikatan yang terjadi seperti pada H2 disebut dengan ikatan kovalen
16 nonpolar. Ikatan kovalen yang terjadi antara dua atom yang berbeda seperti pada HF, HCl, PCl5 dan SF6 disebut dengan ikatan kovalen polar. Apabila yang membentuk ikatan kovalen adalah dua atom yang berbeda harga keelektronegatifannya, maka rapatan elektron yang terletak di antara dua inti atom akan tertarik lebih kuat ke atom yang harga keelektronegatifannya lebih tinggi. Atom yang lebih elektronegatif akan mendapatkan tambahan rapatan elektron sehingga padanya terjadi muatan parsial negatif (-). Atom yang kurang elektronegatif akan berkurang rapatan elektronnya sehingga padanya terjadi muatan parsial positif. 4. Geometri Molekul Menurut Effendy (2006:67) dalam meramalkan bentuk suatu molekul tidak harus dimulai dengan menggambarkan struktur Lewis dari molekul yang bersangkutan. Meramalkan bentuk molekul dapat dilakukan dengan mudah dan cepat melalui empat langkah pokok yaitu : a. menentukan atom pusat b. menentukan bilangan koordinasi (BK) atom pusat, dengan ketentuan sebagai berikut : BK = ½ (banyaknya elektron pada orbital valensi atom pusat + banyaknya elektron yang disumbangkan oleh subtituen – muatan yang ada) c. menentukan banyaknya pasangan elektron ikatan (PEI) dan pasangan elektron bebas (PEB) pada kulit valensi atom pusat, d. menetukan bentuk molekul beserta perkiraan besarnya sudut-sudut ikatan yang ada. Banyaknya elektron yang disumbangkan oleh atom pusat tergantung pada subtituen yang diikat. Atom halogen terminal (atom halogen yang hanya terikat pada atom pusat) dan atom hidrogen. Dalam menentukan bentuk molekul suatu senyawa tergantung dari berapa banyak pasangan elektron ikatan dan pasangan elektron bebas yang dimiliki oleh suatu atom. Bentuk molekul beberapa senyawa dengan bilangan koordinasi 2-7 dapat disajikan dalam Tabel 2.1 berikut :
17 Tabel 2.1 Bentuk-bentuk Molekul dengan Atom Pusat : (a) bukan unsur-unsur Transisi dan (b) Unsur-unsur transisi d0, d5 (spin tinggi) dan d10 Bilangan Koordinasi 2
Rumus
Bentuk
Contoh
AX2
Linear
HgCl2, HgBr2, HgI2, CdCl2, BeH2, BeCl2, Ag(CN) 2-, Au(CN) 2-
AX3
Segitiga planar
BF3, BCl3, GaI3, In(CH3) 3
3
AX 2E
Huruf V
SnCl2, SnBr2, SnI2, PbCl2, PbBr2, PbI2
4
AX4
Tetrahedral
BF4-, BeCl42-, CH4, CCl4, SiCl4,GeCl4,SnCl4, AsCl4+,FeCl4-
AX3E
Trigonal piramidal
NH3, NCl3, H3O+, PCl3, AsCl3, SbCl3
AX2E2
Huruf V
H2O, OCl2, SCl2, SeCl2, TeCl2
AXE3
Linear
HF-, OH-
AX5
Trigonal bipiramidal
PF5, PCl5, SbCl5, NbCl5, TaCl5, Sb(CH3) 3Cl2
AX4E
Seesaw
SF4, SeF4, TeCl4
AX3E2
Huruf T bengkok
ClF3, BrF3, IPhCl2
AX2E3
Linear
ICl2-, I3-, XeF2
AX6
Oktahedral
SF6, SeF6, TeF6, MoF6, WF6, NbF6-, TiCl6-,FeF6-
AX5E
Piramida alas BrF5, IF5 bujursangkar terdistorsi
AX4E2
Bujursangkar
ICl4-, BrF4-, XeF4
AX7
Pentagonal bipiramida (PBP)
IF7
5
6
7
(Sumber : Effendy, 2006)
18 2. Kepolaran Molekul Kepolaran molekul ditentukan berdasarkan harga momen dipolnya (). Suatu molekul bersifat polar bila > 0 dan nonpolar bila = 0. Apabila dua atom yang membentuk ikatan memiliki perbedaan keelektronegatifan yang tinggi maka akan terjadi pengurangan rapatan elektron pada atom yang lebih elektropositif, sebaliknya pada atom yang lebih elektronegatif akan terjadi kelebihan rapatan elektron. Sebagai contoh pada molekul BF3, atom F memiliki keelektronegatifan yang lebih tinggi dibanding atom B. Atom F akan menarik rapatan elektron pada atom B sehingga atom B menjadi lebih elektropositif dan terjadi muatan parsial positif (+). Sebaliknya atom F akan kelebihan rapatan elektron dan terjadi muatan parsial (-). Adanya perbedaan muatan parsial tersebut akan menyebabkan timbulnya momen ikatan yang arahnya dari atom B ke atom F. Arah momen ikatan pada molekul BF3 dapat digambarkan sebagai berikut:
F B -
F
3+
F -
Gambar 2.1 Arah Momen Dipol pada BF3
Jumlah vektor dari momen ikatan pada BF3 adalah nol sehingga molekul BF3 bersifat nonpolar. 5. Ikatan Hidrogen Ikatan hidrogen merupakan gaya dipol-dipol yang paling kuat. Ikatan hidrogen mempunyai energi antara 4 sampai 45 kJ/mol, jauh lebih lemah dibandingkan energi ikatan ionik atau ikatan kovalen yang besarnya antara 400 sampai 500 kJ/mol. Meskipun energi ikatan hidrogen adalah lemah, akan tetapi ikatan ini sangat penting untuk kehidupan organisme di dunia. Seandainya antara molekul-molekul air tidak terjadi ikatan hidrogen maka pada tekanan 1 atm air akan mendidih pada suhu sekitar -100oC sehingga tidak akan memungkinkan
19 untuk terjadinya kehidupan organisme di bumi. Tanpa adanya ikatan hidrogen manusia tidak akan dapat membuat minuman, apalagi es krim.
Jadi ikatan
hidrogen itu merupakan salah satu nikmat besar dari sang maha pencipta yang wajib kita syukuri (Effendy: 2006). Ikatan hidrogen terjadi apabila atom hidrogen terikat oleh dua atau lebih atom lain (pada umumnya hanya dua atom) yang memiliki keelektronegatifan tinggi seperti atom N, O, dan F. Andaikata A dan B merupakan atom-atom yang memiliki keelektronegatifan tinggi, dan atom hidrogen terikat pada kedua atom tersebut seperti ditunjukkan pada model dibawah ini. A
H
B
Apabila jarak A-H lebih pendek dibandingkan jarak H-B, maka ikatan AH merupakan ikatan kovalen. Ikatan H-B merupakan ikatan hidrogen apabila jaraknya lebih kecil dari jumlah jari-jari van der Waals atom H dan atom B. Sebaliknya, bila jarak H-B sama atau lebih besar dari jumlah jari-jari van der Waals atom H dan atom B, maka jarak H-B disebut jarak untuk interaksi tanpa ikatan (nonbonded interaction). Pada Tabel 2.2 diberikan jari-jari van der Waals beberapa unsur (Effendy: 2006). Tabel 2.2 Jari-jari van der Waals (rVDW) Beberapa Unsur Unsur H C N
rVDW (pm) 120 170 155
(Sumber, Effendy: 2006)
Unsur O S F
rVDW (pm) 152 180 160
Unsur Cl Br I
rVDW (pm) 190 200 212
Pada ion HF2-, ikatan antara atom H dengan salah satu atom F merupakan ikatan kovalen, sedangkan ikatan dengan atom F yang lain adalah ikatan hidrogen. Dari hasil eksperimen diperoleh jarak antara atom H dengan dua atom F tersebut sama, yaitu 227 ppm dengan sudut ikatan F-H-F sebesar 180o dan pada atom H terdapat pusat simetri. Hal itu terjadi karena adanya resonansi antara ikatan kovalen dan ikatan hidrogen dalam ion tersebut (Effendy:2006).
20
[F
ikatan kovalen
F]-
H
ikatan hidrogen
[F
H
ikatan hidrogen
Gambar 2.2 Resonansi Ikatan Hidrogen pada ion HF2-
F]-
ikatan kovalen
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kesalahan-kesalahan apa saja yang dialami mahasiswa tingkat awal dan tingkat akhir
Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah dalam
memahami konsep ikatan kimia. 2. Mengetahui persentase mahasiswa tingkat awal dan tingkat akhir Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah yang mengalami kesalahan konsep materi ikatan kimia. 3.2 Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi peneliti, memberikan masukan, hendaknya memperhatikan kesalahan konsep yang dialami mahasiswa dan berusaha untuk memperbaikinya dengan
selalu
memperhatikan perkembangan ilmu. 2. Bagi mahasiswa dan dosen, sebagai masukan untuk memperkuat pemahaman konsep materi ikatan kimia.
20
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Prodi Pendidikan Kimia Universitas Syiah Kuala. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Juni s/d oktober 2010.
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa tingkat awal dan tingkat akhir FKIP Unsyiah. Teknik pengambilan sampel menggunakan sampel bertujuan. Mahasiswa tingkat awal adalah
mahasiswa angkatan tahun 2010 yang sedang
menempuh mata kuliah kimia dasar yang salah satu materinya ikatan kimia. Mahasiswa tingkat awal adalah satu kelas mahasiswa angkatan 2010 dari 3 kelas sebanyak 34 mahasiswa. Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa angkatan tahun 2007 yang sedang menempuh mata kuliah mikro teaching. sebanyak 17 mahasiswa (2 kelas) dan semuanya menjadi sampel penelitian. 4.3 Rancangan Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui kesalahan konsep mahasiswa pada materi ikatan kimia, maka penelitian ini menggunakan rancangan penelitian
diskriptif
kualitatif.
Rancangan
deskriptif
digunakan
untuk
mendiskripsikan kesalahan konsep materi ikatan pada mahasiswa yang diidentifikasi dengan menggunakan tes tertulis. Tahap-tahap dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan Instrumen. 2. Validasi instrumen. 3. Uji coba instrumen dan revisi instrumen penelitian untuk mendapat instrumen yang reliabel. 4. Melakukan tes untuk mengetahui kesalahan konsep yang terjadi pada mahasiswa tingkat awal dan tingkat akhir. 5. Analisis data.
21
22 4.4 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa tes tertulis. Instrumen Tes yang digunakan tersusun atas pertanyaan-pertanyaan konseptual. Jenis tes adalah obyektif
berbentuk pilihan ganda dengan 2 bagian. Bagian pertama
jawaban dan bagian kedua adalah alas an-alasan pemiihan jawaban. Format tes seperti ini dikenal juga dengan tes diagnostik yang bertujuan mengungkap kesalahan konsep yang dialami siswa dan mahasiswa ( Peterson et al, 1986: 41). Tes semacam sudah banyak digunakan oleh beberapa peneliti untuk mengungkap kesalahan konsep. Peterson et al (1986: 40-48) menggunakan tes disgnostik untuk mengungkap kesalahan konsep materi ikatan kovalen. Selain itu, tes diagnostis digunakan oleh Treagust (1988:159-169) untuk analisis kesalahan konsep dalam pelajaran IPA. Birk dan Kurtz (1999: 124-129) juga menggunakan tes diagnostic untuk analisis kesalahan konsep struktur molekul dan ikatan. Dalam kesempatan lain Pinarbasi et al (2009) menggunakan tes diagnostik untuk mengetahui kesalahan konsep guru pada sifat koligatif larutan khususnya kenaikan titik didih dan penurunan titik beku pada larutan. Tabel 3.1. Kisi-kisi instrument tes Kunci Jawaban Pilihan Alasan
Konsep
Tujuan
No Soal
1
2
3
4
5
1 2 3
2 1 1
4 5
2 1
B D C A D
Menentukan ikatan kovalen koordinasi dari struktur lewis yang diberikan
6 7
2 1
B C
Menentukan ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks dari struktur lewis yang diberikan
8 9
1 2
B D
10 11
1 2
A B
Menentukan ikatan kovalen nonpolar dari struktur lewis yang diberikan
12 13
2 2
B B
Menentukan ikatan kovalen polar dari struktur lewis yang diberikan
14 15 16
2 1 2
D A C
Ikatan Ion Ikatan Kovalen Ikatan Kovalen Koordinasi Ikatan Kovalen Koordinasi pada Senyawa Kompleks Kestabilan Unsur Ikatan Kovalen non polar Ikatan Kovalen Polar
Menentukan ikatan ion Menentukan ikatan kovalen dari gambar
Menentukan kestabilan suatu unsur dari lambang lewis yang diberikan
23
1
2
5 A B B C B B B C A C
3
4
Menentukan kepolaran molekul dari struktur lewis yang diberikan
17 18 19 20
2 1 1 2
Menentukan kepolaran molekul dari rumus molekul yang diberikan
21 22 23 24
1 1 2 2
25 26
1 1
27 28
2 1
A B
29 30
2 1
A D
31 32
2 1
A D
Kepolaran Molekul
Menentukan kepolaran ikatan berdasarkan nilai keelektronegatifan yang diberikan Tingkat Kepolaran Menentukan kepolaran molekul dari rumus molekul berdasarkan nilai keelektronegatifan yang diberikan Bentuk Molekul Perbandingan Titik Didih
Menentukan bentuk molekul dari gambar molekul yang diberikan Menentukan titik didih senyawa berdasarkan tabel titik didih yang diberikan
4.5 Uji Instrumen Sebelum soal tes digunakan dalam penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan uji kualitas tes yang meliputi validitas dan reliabilitas. Validitas soal akan dilakukan oleh ahli khususnya ahli ikatan kimia. Reliabilitas dilakukan pada mahasiswa yang sedang menempuh mata kuliah kimia dasar yang tidak termasuk sampel penelitian.
4.5.1 Validitas Instrumen Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas ditetapkan berdasarkan penilaian dan pertimbangan 2 dosen bidang studi kimia FKIP Unsyiah. yaitu Dr. M. Hasan, M.Si dan Dra. Zarlaida Fitri, M.Sc. Dari perhitungan diperoleh rata-rata persentase skor 2 sebesar 98,44%. Oleh karena itu instrument penelitian dinyatakan valid dan layak digunakan. Pemberian skor 2 untuk setiap butir soal yang susunan kalimatnya sudah komunikatif dan mengandung konsep yang akan diukur. Instrumen secara keseluruhan dinyatakan valid jika persentase pemberian skor dua di atas 95% (Gabel et al: 1987).
24 4.5.2 Reliabilitas Instrumen Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik artinya reliabilitas menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu reliabel yang berarti dapat dipercaya dan dapat diandalkan (Arikunto, 2006). Metode yang digunakan untuk mengetahui reliabilitas tes dalam penelitian ini adalah belah dua awal akhir. Pemilihan metode ini dikarenakan peneliti hanya menyusun satu perangkat tes. Kemudian hasil uji coba dihitung korelasinya dengan menggunakan rumus produk moment. Rumus korelasi produk moment yang digunakan adalah:
rxy
N XY X Y
N X
2
X
2
N Y
2
Y
2
Tolak ukur yang digunakan untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas tes adalah jika Harga rxy = 0,800 – 1,00 adalah sangat tinggi Harga rxy = 0,600 – 0,799 adalah tinggi Harga rxy = 0,400 – 0,599 adalah cukup Harga rxy = 0,200 – 0,399 adalah rendah Harga rxy = 0,000 – 0,199 adalah sangat rendah Uji reliabilitas dilakukan pada tanggal 30 September 2010. Metode yang digunakan untuk mengetahui reliabilitas tes dalam penelitian ini adalah belah dua awal akhir. Hasil korelasi menggunakan rumus produk moment adalah 0,839. Harga rxy = 0,800 – 1,00 adalah sangat tinggi (Riduwan, 2003:228) 4.6 Prosedur Pengumpulan Data Tahap-tahap pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Tahap persiapan a. Menyusun instrumen penelitian. b. Mengurus perizinan.
25 c. Mengatur jadwal pengumpulan data. 2. Tahap pengumpulan data. a. Tes identifikasi kesalahan konsep yang diberikan pada mahasiswa Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah b. Memeriksa hasil tes berdasarkan kunci jawaban yang telah dibuat. Menganalisis lebih lanjut jawaban siswa untuk mengetahui konsistensi kesalahan mahasiswa dari setiap konsep yang diteliti. Apabila mahasiswa menjawab benar pada bagian pertama dan menjawab salah pada bagian kedua atau yang memuat alasan-alasan maka mahasiswa tersebut dapat diidentifikasi sebagai mahasiswa yang mengalami kesalahan konsep khususnya pada materi ikatan kimia.
4.7
Teknik Pengolahan Data Data yang diperoleh dari penelitian ini diolah dengan teknik sebagai berikut:
1. Mentabulasikan data 2. Pengecekan dan korelasi jawaban pada test 3. Penafsiran hasil tabulasi dengan teknik persentase P
f 100% N
Dimana : P = Persentase F = Frekuensi N = Jumlah sample 100% = bilangan tetap (konstan) Untuk memudahkan dalam analisa data dan member arti dari hasil tersebut, penulis menggunakan ketentuan yang dikemukakan oleh Sutrisno dalam Indrayanti (2004) sebagai berikut : 91-100%
= pada umumnya mahasiswa salah konsep
76-90%
= sebagian besar mahasiswa salah konsep
51-75%
= lebih dari setengah mahasiswa salah konsep
50%
= setengah mahasiswa salah konsep
25-49%
= kurang dari setengah mahasiswa salah konsep
26 1-25%
= sebagian kecil mahasiswa salah konsep
0%
= tidak sama sekali mahasiswa salah konsep
Sesuai dengan teknik pengumpulan data yang dipakai, maka data yang diolah akan dicari perbandingan persentase untuk diadakan penafsiran terhadap jawaban yang ada disetiap pertanyaan.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Miskonsepsi yang dialami mahasiswa pada materi ikatan kimia memiliki persentase yang bervariasi terhadap soal-soal yang diberikan. Konsep-konsep yang diujikan pada materi ikatan kimia terdiri dari sebelas konsep yang meliputi konsep kestabilan unsur, ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan kovalen koordinasi, ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks, ikatan kovalen polar, ikatan kovalen nonpolar, kepolaran molekul, tingkat kepolaran, bentuk molekul dan perbandingan titik didih sebagaimana dijelaskan pada BAB I dibatasan penelitian.
5.1 Konsep Kestabilan Unsur Dari hasil penelitian diperoleh persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi pada konsep kestabilan unsur yang diuji dengan soal nomor 10 dan 11. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi adalah 1 orang atau 2,94% dan jumlah mahasiswa tingkat akhir juga sebanyak 1 orang atau 5,88%. Tabel 5.1 menunjukkan persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi berkenaan dengan konsep kestabilan unsur. Tabel 5.1 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep kestabilan unsur Miskonsepsi
Jumlah Mahasiswa Tingkat
Nomor Soal
10 Unsur gas mulia mudah berikatan dengan unsur yang D lain Unsur gas mulia cenderung C mempunyai energi tinggi Ket: DAC = Pilihan jawaban mahasiswa
Persentase Mahasiswa Tingkat Awal Akhir
11
Awal
Akhir
A
1
-
2,94%
-
C
-
1
-
5,88%
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahu bahwa 2,94% mahasiswa tingkat awal mengalami kesalahan konsep berkenaan dengan konsep kestabilan unsur, sedangkan mahasiswa tingkat akhir sebanyak 5,88%. Kesalahan konsep yang terjadi pada mahasiswa tingkat awal adalah unsur gas mulia merupakan unsur stabil karena mudah berikatan dengan unsur lain. Sebenarnya, gas mulia dikatakan stabil dan tidak reaktif karena sulitnya bereaksi dengan unsur lain membentuk senyawa. Bahkan sebelumnya,
27
28 gas mulia disebut gas inert karena tidak satupun unsur dapat bereaksi dengan golongan gas ini.
Sejak di temukannya xenon fluorida 1962 unsur gas mulia
dikatakan cenderung stabil dan tidak reaktif (Fitri, 2009: 186). Adapun kesalahan konsep yang terjadi pada mahasiswa akhir adalah unsur gas mulia cenderung mempunyai energi tinggi. Setiap unsur atau senyawa yang stabil cenderung mempunyai energi yang rendah. Apabila harga ∆Hf cukup tinggi maka senyawa itu dianggap tidak akan pernah ada atau tidak dapat disintesis, misalnya NaCl2. Seandainya dapat disintesis senyawanya tidak stabil (Effendy, 2008). 5.2 Konsep Ikatan Ion Untuk mengukur miskonsepsi mahasiswa pada konsep ikatan ion digunakan soal nomor 1, 2 dan 3. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi pada soal 1, 2 dan 3 adalah 1 orang atau 2,94% dan jumlah mahasiswa tingkat akhir juga sebanyak 1 orang atau 5,88%. Tabel 5.2 menunjukkan persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi pada konsep ikatan ion. Tabel 5.2 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan ion Miskonsepsi Ikatan ion hanya terjadi antara logam (ion positif) dan non logam (ion negatif)
Nomor Soal 1
2
3
C
A
B
Jumlah Mahasiswa Tingkat Awal Akhir 1
1
Persentase Mahasiswa Tingkat Awal Akhir 2,94%
5,88%
Ket: CAB = Pilihan jawaban mahasiswa . Berdasarkan Tabel 5.2 terlihat bahwa 2,94% mahasiswa tingkat awal mengalami kesalahan konsep berkenaan dengan konsep ikatan ion, sedangkan mahasiswa tingkat akhir sebanyak 5,88%. Kesalahan konsep yang terjadi adalah ikatan ion hanya terjadi antara logam (ion positif) dan non logam (ion negatif). Pernyatan tersebut menjelaskan bahwa ikatan ion hanya terbentuk dari ion-ion sederhana. Ikatan ion sederhana umumnya terjadi antara unsur logam dan nonlogam. Kenyataannya, ikatan ionik dapat terjadi antara kation poliatomik dan anion poliatomik misalnya NH4NO3. Selain itu ikatan ionik dapat terjadi antara kation poliatomik dan anion sederhana atau sebaliknya antara kation poliatomik dan anion sederhana, mislanya NH4Cl dan KNO3
29 (Effendy, 2008). Untuk senyawa ion, NH4Cl tidak mempunyai unsur logam. Unsur N, H, dan Cl ketiganya termasuk unsur nonlogam. 5.3 Konsep Ikatan Kovalen Untuk menguji miskonsepsi mahasiswa tentang konsep ikatan kovalen digunakan soal nomor 4 dan 5. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi adalah 7 orang atau 20,58% dan jumlah mahasiswa tingkat akhir sebanyak 5 orang atau 29,41%. Tabel 5.3 menunjukkan persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi berkenaan dengan konsep ikatan kovalen. Tabel 5.3 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan kovalen Miskonsepsi
Nomor Soal 4 5
Ikatan kovalen terbentuk dari C C unsur non logam Ikatan kovalen terbentuk karena satu atom melepaskan B A elektron dan atom yang lain menerima elektron Ikatan kovalen terbentuk karena unsur non logam D B mempunyai elektron valensi Total Ket: CDAB = Pilihan jawaban mahasiswa
Jumlah Mahasiswa Tingkat Awal Akhir
Persentase Mahasiswa Tingkat Awal Akhir
2
2
5,88%
11,76%
3
3
8,82%
17,65%
2
-
5,88%
-
7
5
20,58%
29,41%
Berdasarkan Tabel 5.3 terlihat bahwa 20,58% mahasiswa tingkat awal mengalami kesalahan konsep berkenaan dengan konsep ikatan kovalen, sedangkan mahasiswa tingkat akhir sebanyak 29,41%. Kesalahan konsep yang terjadi baik pada mahasiswa tingkat awal dan akhir adalah ikatan kovalen terbentuk karena satu atom melepaskan elektron dan atom yang lain menerima elektron. Kenyataanya, ikatan kovalen terbentuk dari gaya tarik menarik antara dua atom sebagai akibat pemakaian bersama pasangan elektron, sedangkan senyawa dimana satu atom melepaskan elektron dan atom yang lain menerima elektron atau dengan kata lain terjadi perpindahan elektron merupakan ikatan ion. Kesalahan konsep lainnya adalah ikatan kovalen terbentuk dari unsur non logam saja. Kenyataannya, ikatan kovalen dapat terjadi antara unsur nonlogam dan logam contohnya pada senyawa kompleks. Di samping itu, masih terdapat satu kesalahan konsep lagi bagi mahasiswa tingkat awal
30 yaitu ikatan kovalen terbentuk karena unsur non logam mempunyai elektron valensi. Setiap unsur baik logam, semi logam maupun non logam mempunyai elektron valensi. 5.4 Konsep Ikatan Kovalen Koordinasi Untuk mengukur miskonsepsi mahasiswa pada konsep ikatan kovalen koordinasi digunakan soal nomor 6 dan 7. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi adalah 4 orang atau 11,76% dan jumlah mahasiswa tingkat akhir sebanyak 3 orang atau 17,65%. Tabel 5.4 menunjukkan persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi berkenaan dengan konsep ikatan kovalen koordinasi. Tabel 5.4 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan kovalen koordinasi Miskonsepsi Ikatan kovalen koordinasi terbentuk karena penggunaan pasangan elektron secara bersama Ket: A = Pilihan jawaban mahasiswa
Nomor Soal 6
7
A
A
Jumlah Mahasiswa Tingkat Awal Akhir 4
3
Persentase Mahasiswa Tingkat Awal
Akhir
11,76%
17,65%
Berdasarkan Tabel 5.4 terlihat bahwa 11,76% mahasiswa tingkat awal mengalami kesalahan konsep berkenaan dengan konsep ikatan kovalen koordinasi, sedangkan mahasiswa tingkat akhir sebanyak 17,65%. Kesalahan konsep yang terjadi baik pada mahasiswa tingkat awal dan akhir adalah ikatan kovalen koordinasi terbentuk karena penggunaan pasangan elektron secara bersama. Dalam memahami konsep ikatan kovalen koordinasi, siswa mengira bahwa ikatan kovalen koordinasi menggunakan pasangan elektron secara bersama. Ini merupakan ikatan kovalen secara umum, sedangkan suatu bentuk ikatan kovalen dengan pasangan elektron berasal dari satu atom disebut ikatan kovalen koordinasi (Effendy, 2006). 5.5 Konsep Ikatan Kovalen Koordinasi pada Senyawa Kompleks Untuk menguji miskonsepsi mahasiswa tentang konsep ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks digunakan soal nomor 8 dan 9. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi adalah 3 orang atau 8,82% dan jumlah mahasiswa tingkat akhir sebanyak 3 orang atau 17,65%. Tabel 5.5 menunjukkan
31 persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi berkenaan dengan konsep ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks.
Tabel 5.5 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks Miskonsepsi Ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks terbentuk karena penggunaan pasangan elektron secara bersama Ikatan kovalen koordinasi terbentuk dari unsur logam dan unsur non logam Total
Nomor Soal
Jumlah Mahasiswa Tingkat Awal Akhir
Persentase Mahasiswa Awal Akhir
8
9
A
B
2
3
5,88%
17,65%
C
C
1
-
2,94%
-
3
3
8,82%
17,65%
Ket: ABC = Pilihan jawaban mahasiswa Berdasarkan Tabel 5.5 terlihat bahwa 8,82% mahasiswa tingkat awal mengalami kesalahan konsep berkenaan dengan konsep ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks, sedangkan mahasiswa tingkat akhir sebanyak 17,65%. Kesalahan konsep yang terjadi baik pada mahasiswa tingkat awal dan akhir adalah ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks terbentuk karena penggunaan pasangan elektron secara bersama. Ditemukan kesalahan konsep pada mahasiswa tingkat awal yaitu ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks terbentuk karena adanya unsur logam dan unsur non logam. Kenyataannya, ikatan kovalen koordinasi terbentuk karena penggunaan pasangan elektron ikatan yang berasal dari salah satu atom.
5.6 Konsep Ikatan Kovalen Non Polar Untuk mengukur miskonsepsi mahasiswa pada konsep ikatan kovalen non polar digunakan soal nomor 12 dan 13. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi adalah 2 orang atau 5,88% dan jumlah mahasiswa tingkat akhir sebanyak 1 orang atau 5,88%. Tabel 5.6 menunjukkan persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi berkenaan dengan konsep ikatan kovalen non polar.
32 Tabel 5.6 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan kovalen non polar Miskonsepsi
Nomor Soal
12 Ikatankovalen non polar terbentuk C karena ada serah terima elektron Ikatan kovalen non polar terbentuk karena masing-masing D atom sesuai kaidah oktet Total Ket: CD = Pilihan jawaban mahasiswa
Jumlah Mahasiswa Tingkat
Persentase Mahasiswa Tingkat Awal Akhir
13
Awal
Akhir
C
1
1
2,94%
5,88%
D
1
-
2,94%
-
2
1
5,88%
5,88%
Dari Tabel 5.6 diketahui sebanyak 5,88% mahasiswa tingkat awal mengalami kesalahan konsep dan sebanyak 5,88% dialami oleh mahasiswa tingkat akhir. Kesalahan konsep yang terjadi baik bagi mahasiswa awal dan akhir adalah Ikatan kovalen non polar terbentuk karena ada serah terima elektron. Kenyataannya, polar tidaknya suatu ikatan selain dapat dilihat dari harga keelektronegatifannya. Jika diketahui nilai keelektronegatifan dari masing-masing unsur maka dapat diketahui momen ikatannya, selanjutnya dengan sistem vektor dapat diketahui nilai momen dipolnya. Effendy (2006) menyatakan molekul kovalen yang mempunyai momen dipole tidak sama dengan nol
(µ>0), bersifat polar. Sebaliknya molekul yang
mempunyai momen dipole sama dengan nol (µ=0), bersifat nonpolar. 5.7 Ikatan Kovalen Polar Untuk mengukur miskonsepsi mahasiswa pada konsep ikatan kovalen polar digunakan soal nomor 14, 15 dan 16. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi adalah 1 orang atau 2,94% dan jumlah mahasiswa tingkat akhir sebanyak 1 orang atau 5,88% . Tabel 5.7 menunjukkan persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi berkenaan dengan konsep ikatan kovalen polar.
33 Tabel 5.7 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep ikatan kovalen polar Miskonsepsi
Nomor Soal
14 Ikatan kovalen polar terbentuk karena adanya serah terima C elektron Ket: CB = Pilihan jawaban mahasiswa
15
16
C
B
Jumlah Mahasiswa Tingkat Awal Akhir 1
1
Persentase Mahasiswa Tingkat Awal Akhir 2,94%
5,88%
Dari Tabel 5.7 diketahui 2,94% mahasiswa tingkat awal mengalami kesalahan konsep dan sebanyak 5,88% dialami oleh mahasiswa tingkat akhir. Kesalahan konsep yang terjadi baik bagi mahasiswa awal dan akhir adalah ikatan kovalen polar terbentuk karena adanya serah terima elektron. Ikatan yang terdapat dalam soal adalah ikatan kovalen bukan ikatan ion. 5.8 Konsep Kepolaran Molekul Berdasarkan Struktur Lewis Untuk mengukur miskonsepsi mahasiswa pada konsep kepolaran molekul digunakan soal nomor 17 dan 18 untuk molekul polar dan soal nomor 19 dan 20 untuk molekul non polar. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi adalah 1 orang atau 2,94% dan jumlah mahasiswa tingkat akhir sebanyak 1 orang atau 5,88%. Tabel 5.8 menunjukkan persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi berkenaan dengan konsep kepolaran molekul (Polar). Tabel 5.8 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep kepolaran molekul (Polar) Miskonsepsi
Nomor Soal
17 Molekul polar terbentuk karena PEI tertarik sama kuat sehingga B µ=0 Ket: BA = Pilihan jawaban mahasiswa
18 A
Jumlah Mahasiswa Tingkat Awal Akhir 1
1
Persentase Mahasiswa Tingkat Awal Akhir 2,94%
5,88%
Berdasarkan Tabel 5.8 sebanyak 2,94% mahasiswa tingkat awal mengalami kesalahan konsep dan sebanyak 5,88% dialami oleh mahasiswa tingkat akhir. Kesalahan konsep yang terjadi baik bagi mahasiswa awal dan akhir adalah molekul polar terbentuk karena PEI tertarik sama kuat sehingga µ = 0. Kedua molekul polar
34 yang tersebut dalam soal mempunyai keelektronegatifan yang berbeda sehingga lebih tertarik ke salah satu atom. Hal ini menandakan kepolaran ikatan disebabkan oleh perbedaan keelektronegatifan antara atom-atom yang berikatan. Untuk soal nomor 19 dan 20 , mahasiswa tingkat awal tidak mengalami kesalahan konsep, sedangkan jumlah mahasiswa tingkat akhir yang mengalami kesalahan konsep pada soal 19 dan 20 adalah 1 orang atau 5,88% . Tabel 5.9 menunjukkan persentase mahasiswa yang mengalami kesalahan konsep pada konsep kepolaran molekul (Non polar). Tabel 5.9 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep kepolaran molekul (Non polar) Miskonsepsi Molekul non polar terbentuk karena atom-atom penyusunnya termasuk unsur non logam Ket: CB = Pilihan jawaban mahasiswa
Nomor Soal 19
20
C
B
Jumlah Mahasiswa Tingkat Awal Akhir -
1
Persentase Mahasiswa Tingkat Awal Akhir -
5,88%
Dari tabel di atas, kesalahan konsep yang dialami mahasiswa untuk soal 19 dan 20 adalah molekul non polar terbentuk karena atom-atom penyusunnya termasuk unsur non logam. Untuk melihat polar tidaknya suatu molekul, dapat diukur dengan melihat nilai momen dipolnya.
5.9 Konsep Kepolaran Molekul Berdasarkan Rumus Molekul Untuk mengukur miskonsepsi mahasiswa pada konsep kepolaran molekul berdasarkan rumus molekul yang diberikan digunakan soal nomor 21, 22 dan 23 untuk molekul polar dan soal nomor 24 untuk molekul non polar. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi adalah 4 orang atau 11,76 % dan jumlah mahasiswa tingkat akhir sebanyak 2 orang atau 11,76% . Tabel 5.10 menunjukkan persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi berkenaan dengan konsep kepolaran molekul berdasarkan rumus molekul yang diberikan..
35 Tabel 5.10 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep kepolaran molekul berdasarkan rumus molekul yang diberikan Miskonsepsi
Nomor Soal
21 Senyawa kovalen polar terbentuk karena elektron C tersebar secara tidak simetris Senyawa kovalen polar terbentuk karena atom pusat A mempunyai PEB Total Ket: CA = Pilihan jawaban mahasiswa
Jumlah Mahasiswa Tingkat Awal Akhir
22
23
C
C
2
A
A
Persentase Mahasiswa Tingkat Awal
Akhir
-
5,88%
-
2
2
5,88%
11,76%
4
2
11,76%
11,76%
Berdasarkan Tabel 5.10 diketahui kesalahan konsep yang dialami oleh mahasiswa tingkat awal sebesar 11,76% dan sebesar 11,76% juga dialami oleh mahasiswa tingkat akhir. Kesalahan konsep yang terjadi baik bagi mahasiswa awal dan akhir adalah senyawa kovalen polar terbentuk karena atom pusat mempunyai PEB. Senyawa yang memiliki pasangan elektron bebas belum tentu termasuk molekul polar. Kepolaran molekul ditentukan dari nilai momen dipolnya. Molekul BeCl2 dan H2O merupakan molekul-molekul simetris, relatif terhadap unsur-unsur simetri tertentu. Untuk menentukan kepolaran molekul didasarkan atas jumlah vektor dari momen-momen ikatan yang ada dalam molekul (Effendy, 2006). Di samping itu, terdapat satu kesalahan konsep pada mahasiswa tingkat awal yaitu senyawa kovalen polar terbentuk karena elektron secara tidak simetris. Hal ini akan menimbulkan kesalahan konsep bahwa senyawa-senyawa polar , ikatan antar atom-atom penyusunnya adalah ikatan polar atau sebaliknya. Kenyataannya, ada senyawa yang ikatan antar atom-atom penyusunnya polar tetapi senyawanya bersifat nonpolar. 5.10 Tingkat Kepolaran Untuk mengukur miskonsepsi mahasiswa pada konsep tingkat kepolaran ikatan berdasarkan harga keelektronegatifan yang diberikan digunakan soal nomor 25 dan 26 dan soal nomor 27 dan 28 untuk mengukur tingkat kepolaran molekul berdasarkan harga keelektronegatifan. Berdasarkan hasil tes baik mahasiswa tingkat awal maupun akhir tidak mengalami miskonsepsi pada konsep tingkat kepolaran
36 ikatan dan tingkat kepolaran molekul berdasarkan harga keelektronegatifan yang terdapat pada soal 25-28 ini.
5.11 Bentuk Molekul Untuk mengukur miskonsepsi mahasiswa pada konsep bentuk molekul digunakan soal nomor 29 dan 30. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi adalah 1 orang atau
2,94%. Tabel 5.11 menunjukkan persentase
mahasiswa yang mengalami miskonsepsi berkenaan dengan konsep bentuk molekul. Bagi mahasiswa tingkat akhir tidak mengalami miskonsepsi pada konsep ini. Tabel 5.11 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep bentuk molekul Miskonsepsi
Nomor Soal
29 CH4 dan NH3 mempunyai bentuk tetahedral dan segitiga piramid karena atom pusat sama-sama D mempunyai 2 pasang elektron dan 2 PEI Ket: DC = Pilihan jawaban mahasiswa
30
C
Jumlah Mahasiswa Tingkat Awal Akhir
1
-
Persentase Mahasiswa Awal
Akhir
2,94%
-
Berdasarkan Tabel 5.11 sebanyak 2,94% mahasiswa tingkat awal mengalami kesalahan konsep. Kesalahan konsep yang terjadi baik bagi mahasiswa adalah CH4 dan NH3 mempunyai bentuk tetahedral dan segitiga piramid karena atom pusat masing-masing senyawa tersebut sama-sama mempunyai 2 pasang elektron dan 2 PEI. Hal ini bertentangan dengan konsep yang benar dimana NH3 berbentuk segitiga piramida mempunyai 3 pasangan elektron ikatan, 1 pasang elektron bebas dan sudut ikatan 1070. Bentuk molekul CH4, tetrahedral mempunyai 4 pasangan elektron ikatan tanpa adanya pasangan elektron bebas dan sudut ikatan 109,80.
5.12 Perbandingan Titik Didih Untuk mengukur miskonsepsi mahasiswa pada konsep perbandingan titik didih digunakan soal nomor 31 dan 32. Jumlah mahasiswa tingkat awal yang mengalami miskonsepsi adalah 1 orang atau 2,94%. Tabel 5.12 menunjukkan persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi berkenaan dengan konsep
37 perbandingan titik didih. Bagi mahasiswa tingkat akhir tidak mengalami miskonsepsi pada konsep ini. Tabel 5.12 Persentase konsistensi jawaban alasan salah mahasiswa pada konsep perbandingan titik didih Miskonsepsi Titik didih senyawa polar maupun non polar tinggi karena dapat berikatan secara kovalen Ket: C = Pilihan jawaban mahasiswa
Nomor Soal 31
32
C
C
Jumlah Mahasiswa Tingkat Awal Akhir 1
-
Persentase Mahasiswa Awal Akhir 2,94%
-
Berdasarkan Tabel 5.12 dapat dilihat 2,94% mahasiswa tingkat awal mengalami kesalahan konsep, sedangkan mahasiswa tingkat akhir tidak mengalami kesalahan konsep. Kesalahan konsep yang terjadi baik bagi mahasiswa tersebut adalah meningkatnya titik didih dari CH4 ke SiH4 karena dapat berikatan secara kovalen, demikian juga dengan menurunnya titik didih dari H2O ke H2S. Dari senyawa tersebut memang dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut berikatan secara kovalen, tetapi bukan berarti meningkat dan menurunnya titik didih senyawa-senyawa tersebut karena berikatan secara kovalen. Konsep yang benar adalah meningkatnya titik didih dari CH4 ke SiH4 seiring dengan bertambahnya massa atom relatif, sedangkan menurunnya titik didih dari H2O ke H2S disebabkan karena terjadi gaya tarik menarik oleh yang keelektronegatifan sangat besar (F, O atau N) terhadap atom H dalam H2O (Effendy, 2006).
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa sebanyak 2,97% mahasiswa tingkat awal pendidikan kimia FKIP UNSYIAH mengalami miskonsepsi pada konsep ikatan ion dan mahasiswa tingkat akhir sebanyak 5,88% dengan menganggap bahwa ikatan ion hanya terjadi antar logam (ion positif) dan non logam (ion negatif). Sebanyak 20,58% mahasiswa tingkat awal dan sebanyak 29,41% mahasiswa tingkat akhir mengalami miskonsepsi berkenaan tentang ikatan kovalen dengan menganggap pembentukan ikatan kovalen dengan melepas dan menerima elektron dan ikatan kovalen terbentuk karena unsur non logam mempunyai elektron valensi. Sebanyak 11,76% mahasiswa tingkat awal dan sebanyak 17,65% mahasiswa tingkat akhir mengalami miskonsepsi berkenaan dengan ikatan kovalen koordinasi dimana mahasiswa menganggap ikatan koordinasi terbentuk karena penggunaan pasangan elektron secara bersama. Sebanyak 8,82% mahasiswa tingkat awal dan sebanyak 17,67%
mahasiswa tingkat akhir mengalami miskonsepsi berkenaan
dengan ikatan kovalen koordinasi pada senyawa kompleks dimana mahasiswa menganggap ikatan koordinasi pada senyawa kompleks juga terbentuk karena penggunaan pasangan elektron secara bersama dan karena terbentuk dari unsur logam dan non logam. Sebanyak 2,94% mahasiswa tingkat awal dan sebanyak 5,88% mahasiswa tingkat akhir mengalami miskonsepsi berkenaan dengan kestabilan unsur dimana mahasiswa menganggap unsur gas mulia mudah berikatan dengan unsur yang lain dan unsur gas mulia cenderung mempunyai energi yang tinggi. Sebanyak 5,88% mahasiswa tingkat awal dan sebanyak 5,88% mahasiswa tingkat akhir mengalami miskonsepsi berkenaan dengan ikatan kovalen non polar dimana mahasiswa menganggap ikatan kovalen non polar terbentuk karena adanya serah terima elektron. Sebanyak 2,94% mahasiswa tingkat awal dan sebanyak 5,88% mahasiswa tingkat akhir mengalami miskonsepsi berkenaan dengan ikatan kovalen polar dimana mahasiswa menganggap ikatan kovalen polar terbentuk karena adanya serah terima elektron. Sebanyak 2,94% mahasiswa tingkat awal dan sebanyak 5,88% mahasiswa
38
39 tingkat akhir mengalami miskonsepsi berkenaan dengan kepolaran molekul dimana mahasiswa menganggap suatu senyawa dikatakan polar jika PEI tertarik sama kuat sehingga µ = 0. Untuk konsep kepolaran molekul berdasarkan struktur lewis yang diberikan bagi mahasiswa tingkat awal
tidak ada yang mengalami miskonsepsi
sedangkan mahasiswa tingkat akhir sebanyak 5,88% dimana mahasiswa menganggap suatu molekul dikatakan non polar karena atom-atom penyusunnya termasuk non logam. Sebanyak 11,76% mahasiswa tingkat awal dan sebanyak 11,76% mahasiswa tingkat akhir mengalami miskonsepsi berkenaan dengan kepolaran molekul berdasarkan rumus molekul yang diberikan dimana mahasiswa menganggap suatu senyawa polar mempunyai elektron yang tersebar secara tidak simetris dan mempunyai PEB. Untuk konsep tingkat kepolaran baik bagi mahasiswa tingkat awal dan akhir tidak ada yang mengalami miskonsepsi. Sebanyak 2,94% mahasiswa tingkat awal dan sebanyak 0% mahasiswa tingkat akhir mengalami miskonsepsi berkenaan dengan tingkat kepolaran dimana mahasiswa menganggap CH4 dan NH3 mempunyai bentuk tetrahedral dan segitiga piramid karena atom pusat sama-sama mempunyai 2 pasang elektron dan 2 PEI dan Sebanyak 2,94% mahasiswa tingkat awal mengalami miskonsepsi berkenaan dengan perbandingan titik didih dimana mahasiswa menganggap meningkat atau menurunnya titik didih suatu senyawa disebabkan karena senyawa itu dapat berikatan kovalen.
6.2 Saran Berdasarkan temuan pada penelitian ini, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan berkenaan teknik untuk mengatasi kesalahan konsep yang terjadi pada mahasiswa calon guru. Selain itu ada baiknya pula dilakukan kajian salah konsep terhadap buku atau bahan ajar yang digunakan oleh mahasiswa calon guru.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Berg, V.D. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. Birk, J.P. & Kurtz, M.J. 1999. Effect of Experience on Retention and Elimination of Misconceptions about Molecular Structure and Bonding. Journal of Chemical Education, 76(1): 124-128. Dinihari, P. 2004. Analisis Kesalahan Konsep Ikatan Kovalen Melalui Gambaran Mikroskopis pada siswa SMU Negeri Sumberpucung dan upaya Memperbaikinya dengan Menggunakan Strategi Konflik Kognitif. Tesis tidak Dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri Malang. Effendy. 2003. Aturan-aturan Pembentukan Ikatan Kovalen, Struktur Lewis dan Teori Ikatan Valensi. Bahan Kuliah Ikatan Kimia. Tidak Diterbitkan. Jurusan Kimia FMIPA. Malang: Universitas Negeri Malang. Effendy. 2006. Teori VSEPR Kepolaran, dan Gaya Antarmolekul Edisi 2. Malang: Bayumedia Effendy. 2008. Ikatan Ionik dan Cacat – cacat pada Kristal Ionik edisi 2. Malang: Bayumedia Erman. 1998. Kajian Kesalahan Konsep dalam Materi Ikatan Kovalen Mahasiswa Program Studi pendidikan Kimia FKIP Universitas Haluoleo. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri malang. Fitri, Z.2009.Kimia Anorganik Bagian 1. Banda Aceh: Syiah Kuala University Gabel, D.L., Samuel, K. V. & Hunn, D. 1987. “Understanding the Particulate Nature of Matter”. Journal of Chemical Education, 64 (8): 695-697. Garnett, P., Peterson, R.F. & Treagust, D.F. 1989. Development and Application of A Diagnostic Instrument to Evaluated Grade-11 and Grade-12 Students’ Concepts of Covalent Bonding and Structure Following A Course of Instruction. Journal Of Reseacrh in Science Teaching, 26(4): 301-314. Griffiths, A.K. & Preston, R. 1992. Grade-12 Students’ Misconception Relating to Fundamental Characteristics of Atoms and Molecules. Journal of Research in Science Teaching, 26(6): 611-618.
40
41
Ibnu, S. 1989. Kesalahan atas Konsep-konsep IPA Karena Ketidaktepatan Pendekatan yang Digunakan. Kumpulan Makalah. Malang: IKIP Malang. Metz, P.A & Smith, K.J.. 1996. Evaluating Student Understanding of Solution Chemistry Microscopic Representations. Journal of Chemical Education, 73(3): 233-235. Middlecamp, C. & Kean, E. 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. Jakarta: Gramedia. Nakhleh, M.B. 1992. “Why Some Student’s Don’t Learn Chemistry: Chemical Misconceptions”. Journal of Chemical Education, 69 (3): 191-195. Peterson, R.F., Treagust, D.F & Garnett, P. 1986. Identification of Secondary Students’ Misconceptions of Covalent Bonding and Structure Concepts Using a Diagnostic Instrument. Research in Science Education, 16: 40-48. Pikoli, M. 2003. Kajian Kesalahan Konsep dalam Materi Ikatan Kovalen Mahasiswa Program Studi pendidikan Kimia FKIP Universitas Haluoleo. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Pinarbasi,T., Sozbilir, M. & Canpolat, N. 2009.Prospective Chemistry Teachers’ Misconceptions about Colligative Properties: Boiling Point Elevation and Freezing Point Depression, Chem.Educ.Res.Pract.10, 273-280 Riduwan. 2003. Dasar-dasar Statistik. Bandung: Alfabeta. Tim Penyusun Kurikulum. 2002. Kurikulum Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Syiah Kuala. Tidak diterbitkan. Banda Aceh: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Treagust, D.F. 1988. Development and Use of Diagnostic tests to Evaluate Students’ Misconceptions in Science. International Journal of Science Education, 10(2): 159-169.