REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARI’AH PELUANG DAN TANTANGAN BAGI PERADILAN AGAMA DI INDONESIA Oleh: Drs. H . Syadzali Musthofa, S.H., M.H.1
PENDAHULUAN Perbankan syari’ah mulai berdiri di Mesir pada tahun 1960-an dalam bentuk semacam lembaga keuangan unit pedesaan yang bernama Egyp’s Mit Ghamn Saving Bank (1963) dan Naser Sosial Bank (1971). Pada sidang Menteri Keuangan Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Jedah tahun 1975 berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang beranggotakan 22 negara. Pada awal berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara lain untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah, sehingga pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an bank-bank syari’ah banyak bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Sedangkan di Indonesia bank syari’ah pertama berdiri pada era 1990-an yakni pada tanggal 1 Mei 1992 dengan berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia di Jakarta. Berdirinya bank ini tidak lepas dari peran Majelis Ulama Indonesia dan para cendikiawan muslim yang tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan juga tokoh-tokoh pemerintah pada waktu itu. Awal berdirinya masih memakai dasar hukum Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang mengandung ketentuan tentang bolehnya bank beroprasi dengan sistem bagi hasil. Kemudian berkat perjuangan kaum profesional dan cendekiawan, maka timbul amandemen yang melahirkan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang memuat ketentuan dan aturan lebih rinci tentang bank syari’ah. Hal ini juga tidak terlepas dari prestasi Bank Muamalat Indonesia sebagai salah satu bank yang tetap eksis walaupun di terpa krisis moneter tahun 1998. Bahkan dengan sistem syari’ah yang diterapkan Bank Muamalat pada saat krisis moneter tidak satu rupiah pun menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai upaya pemerintah untuk 1
Disampaikan pada Bimbingan Teknis Ekonomi Syari’ah Hakim se Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Mataram tanggal 26 s/d 28 Maret 2015
1
memperbaiki bank-bank sakit pada waktu itu. Dan selanjutnya setelah pasca krisis moneter 1998 perkembangan perbankan syari’ah semakin melejit, bukan hanya penambahan jumlah bank umum syari’ah yakni Bank Syari’ah Mandiri dan Bank Mega Syari’ah Indonesia, tetapi juga semakin menjamurnya bank konvensional (non syari’ah) yang membuka unit usaha syari’ah (UUS) seperti BNI Syari’ah, BRI Syari’ah, BTN Syari’ah, Danamon Syari’ah, Bank IFI syari’ah, BII Syariah, Bank Permata Syari’ah, Bank Jabar Syaria’ah, Bank DKI Syari’ah, HSBC Syari’ah dan lain-lain2.
REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARI’AH SEBELUM LAHIRNYA UNDANGUNDANG PERBANKAN SYARI’AH Pada waktu zaman penjajahan Belanda telah berdiri lembaga keuangan yang mengatur praktek lembaga pelepas uang yaitu De Javashe Bank N.V. tanggal 10 Oktober 1827 yang kemudian dikeluarkan Undang-Undang De Javashe Bank Wet 1922. Bank inilah yang kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui proses nasionalisasi pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya UndangUndang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951. Sesudah Indonesia merdeka, regulasi perbankan secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Undang-Undang ini mengatur secara komprehensif sitem perbankan yang berlaku pada waktu itu, akan tetapi belum mengatur tentang bank syari’ah3. Dalam rangka penyempurnaan tata perbankan nasional, dikeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagai pengganti Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, dimana Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 memperkenalkan sistem perbankan bagi hasil. Ketentuan ini telah memberikan kemungkinan kesempatan kepada bank untuk memberikan kredit tanpa bunga kepada nasabah akan tetapi berupa imbalan atau bagi hasil. Ketentuan tentang bagi hasil tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkanya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Dalam pasal 2 ayat (1) PP
2
Kadar Budiman, S.E, S.Sos (Bank Muamalat Indonesia TBK Cabang Purwokerto ) perbankan syari’ah dan penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama sesuai UU No. 3 Tahun 2006, Makalah pada Seminar PTA Semarang di Banyumas Tahun 2006. 3 Gemala Dewi, S.H., LLM, aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syaria’ah di Indonesia (Jakarta, Kencana 2004 ) hal, 159-167.
2
tersebut menetapkan bahwa “prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syari’at“ (harus sesuai dengan Syari’at Islam). Ketentuan tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa Surat Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya menetapkan antara lain : a. Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum dan bank perkereditan rakyat yang dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. b. Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syari’ah. c. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). d. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil (konvensional), tidak dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil4. Dari uraian di atas tampak bahwa Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, PP No. 72 Tahun 1992 dan beberapa Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) telah mulai mengatur tentang Bank Syari’ah walaupun tidak menggunakan istilah bank syari’ah akan tetapi menggunakan istilah “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil“. Pada tanggal 10 November 1998 telah diundangkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 terdapat beberapa perubahan dan penyempurnaan yang bersifat subtansial dan memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syari’ah di Indonesia. Undang-undang ini memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan mengubah penyebutan “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil“ pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 menjadi “Bank berdasarkan prinsip syari’ah“. Juga terdapat penguatan kedudukan hukum Islam bidang perikatan dalam tatanan hukum positif. Dalam Pasal 1 Ayat ( 13 ) UU No. 10 tahun 1998 menyebutkan sebagai berikut: “Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian bank dengan pihak lain“ untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain: pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau 4
Wirdaningsih, S.H., M.H., Bank dan Asuransi islam di Indonesia (Jakarta, Kencana, 2005 hal. 61 – 64)
3
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Masalah yang diatur undang-undang ini selain berupa penegasan terhadap eksistensi perbankan syari’ah di Indonesia juga menyangkut kelembagaan dan oprasional bank syari’ah. Pemberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini merupakan momen pengembangan perbankan syari’ah di Indonesia. Undang-undang tersebut membuka kesempatan untuk pengembangan jaringan perbankan syariah, antara lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah (KCS) oleh bank konvensional dengan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam Pasal 1 Ayat ( 3 ) UU No. 10 tahun 1998 menjelaskan bahwa bank umum dapat memilih untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional atau berdasarkan prinsip syari’ah atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Dalam hal bank umum melakukan kegiatan maka berdasarkan syari’ah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan membuka satuan kerja dan kantor cabang khusus, yaitu Unit Usaha Syari’ah dan Kantor Cabang Khusus Syari’ah. Sedangkan BPR harus memiliki kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah saja atau berdasarkan sistem konvensional saja. Namun demikian, pada periode UU No. 10 Tahun 1998 ini masih ada beberapa permasalahan hukum yang harus diatur lebih lanjut dalam pengaturan tersendiri dalam bentuk undang-undang tentang perbankan syari’ah.
REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARI’AH PASCA LAHIRNYA UNDANGUNDANG NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI’AH Perkembangan perbankan syari’ah mengejutkan para pengawas perbankan konvensional, Bank-bank besar dari Negara non muslim telah memasuki pasar perbankan Islam dengan membuka Islamic Window, seperti Citi Bank, ANZ Bank dan Jardin Flaming Bank telah membuka Islamic Window agar dapat berkiprah memberikan jasa-jasa perbankan Islam. Pengalaman selama krisis moneter 1998 telah memberikan palajaran yang sangat berharga bahwa prinsip risk sharing (berbagi resiko) atau profit and lost sharing (bagi hasil) merupakan prinsip yang dapat meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi.
4
Perbankan syari’ah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan pengaturan yang memadai sesuai dengan karakteristik perbankan syari’ah. Untuk menjamin kepastian hukum bagi stake holder, memberikan keyakinan kapada masyarakat dalam dalam menggunakan produk dan jasa bank syari’ah, menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syari’ah, prinsip-prinsip kesehatan bank syari’ah dan terutama untuk memobilisasi dana dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap bank syari’ah dalam undang-undang tersendiri, sangat mendesak di bentuknya undang-undang perbankan syari’ah. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pada tanggal 7 Mei 2008 DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Undang- undang tersebut mengatur mengenai : a. Jenis usaha bank syar’ah b. Ketentuan pelaksanaan syari’ah c. Kelayakan usaha d. Penyaluran dana bank syari’ah e. Larangan bagi bank syari’ah dan unit usaha syari’ah f.
Kepatuhan syari’ah
g. Penyelesaian sengketa Walupun beberapa pakar perbankan syari’ah dan para ulama menyampaikan beberapa kekurangan dan kelemahan undang-undang perbankan syari’ah, namun lahirnya Undang-undang perbankan syari’ah memberikan peluang yang sangat besar bagi perkembangan bank syariah di Indonesia. Dengan lahirnya undang-undang perbankan syari’ah harus ditanggapi dengan spirit untuk meningkatkan kwalitas perbankan syari’ah secara nasional, baik berkaitan dengan sumber daya manusia yakni pemilik bank, pemegang saham pengendali, karyawan, maupun produk perbankan syari’ah, agar dapat bersaing dengan bank-bank konvensional baik skala nasional maupun internasional.
5
PENYELESAIAN SENGKETA BANK SYARI’AH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 Meskipun operasional bank syari’ah telah dimulai sejak berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia tanggal 1 Mei 1992 namun penyelesaian sengketa secara litigasi belum diatur secara jelas, meskipun secara non litigasi penyelesain sengketa perbankan syariah rata-rata dilakukan melalui proses arbitrase oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang kemudian berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) karena rata-rata akad (perjanjian) antara Bank Syari’ah dengan nasabahnya selalu mencantumkan arbitration clause dan biasanya apapun putusan dari Basyarnas ini bernilai final dan binding atau sebagian kecil melalui proses litigasi oleh Pengadilan Negeri. Namun sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Paradilan Agama, muncul dispute settlemen option (pilihan penyelesaian sengketa) yang baru, karena Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang tersebut memberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah termasuk di dalamnya perbankan syari’ah kepada peradilan agama. Bagaimanakah model sengketa perbankan syari’ah itu ? Menurut pengalaman penulis, bahwa model sengketa yang terjadi antara perbankan syari’ah dengan nasabahnya itu ada dua macam yaitu : 1. Gagal bayar yang terjadi pada nasabah bank untuk mengembalikan hutang/dana pada perbankan syari’ah. 2. Gagal bayar yang terjadi pada perbankan syari’ah untuk membayar tabungan/dana nasabah.
Sebagai contoh dari gagal bayar yang terjadi pada nasabah bank syari’ah untuk mengembalikan hutang/dana pada perbankan syari’ah adalah perkara Pengadilan Agama Purbalingga Nomor 1047/Pdt.G/2006/PA.PBG tanggal 23 November 2006 dan diputuskan tanggal 29 Januari 2007, dimana nasabah melakukan wanprestasi pembiayaan musyarokah sebesar Rp 30.000.000,-. Mestinya sebagai modal untuk usaha dagang gula merah dan usaha kelontongan, akan tetapi ternyata digunakan untuk keperluan lain. Setelah diputus oleh Pengadilan Agama Purbalingga, oleh karena tergugat tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka penggugat mengajukan eksekusi lelang. Setelah melalui proses aanmaning dan negosiasi tidak berhasil maka dilaksanakan
6
sita eksekusi, dan setelah melalui prosedur administrasi dengan diumumkan melalui penempelan di papan pengumuman dan diumumkan lewat surat kabar, maka dilaksanakan lelang di Pengadilan Agama Purbalingga oleh Kantor Pelayanan dan Lelang Negara Purwokerto. Hasil lelang tersebut dibayarkan hutang nasabah pada Bank Syari’ah, sisanya dikembalikan pada nasabah. Oleh karena pemenang lelang tidak dapat menggunakan barang lelang secara sukarela kemudian mengajukan eksekusi pengosongan dan dilaksanakan eksekusi pengosongan oleh Pengadilan Agama Purbalingga dibantu aparat keamanan, berjalan aman dan sukses. Perkara tersebut telah diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung tanggal 30 Oktober 2009 dengan alasan Pengadilan Agama Purbalingga tidak berwenang mengadili perkara tersebut dan telah diputus dengan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 86/PK/AG/2009 tanggal 2 Maret 2010 dengan amar putusan “Menolak permohonan Peninjauan Kembali“. Sedangkan contoh gagal bayar yang terjadi pada perbankan syari’ah untuk membayar tabungan/dana nasabah, perkara Pengadilan Agama Bantul Nomor 0463/Pdt.G/2011/PA.BTL tanggal 17 Oktober 2011 dimana dana nasabah disalahgunakan pengurus BMT ISRA kemudian nasabah menggugat pengurus BMT untuk mengembalikan tabungan/dana nasabah yang disimpan di BMT tersebut. Dari kedua kasus di atas, memberikan gambaran kepada kita tentang penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dengan nasabah melalui putusan Pengadilan Agama. Ada model lain penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dengan nasabah yakni perkara Pengadilan Agama Purbalingga Nomor 1046/Pdt.G/2006/PA.Pbg tanggal 23 November 2006 diputus tanggal 25 Januari 2007 dimana Bank Syariah mengajukan gugatan terhadap nasabah, karena nasabah melakukan wanprestasi pembiayaan musyarokah sebesar Rp 40.000.000,-. Mestinya sebagai modal untuk usaha klontong dan sembako, akan tetapi digunakan untuk keperluan lain. Meskipun telah diperpanjang waktu pengembalian namun tidak mau mengembalikan. Setelah melalui proses penasehatan dan negosiasi dalam persidangan, akhirnya keluarganya sanggup melunasi hutang nasabah pada Bank Syari’ah, kemudian perkara dicabut dan agunan berupa sertifikat tanah dipegang keluarga yang telah melunasi hutang tersebut. Inilah contoh penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dengan nasabah melalui Pengadilan Agama secara damai. Disini terlihat bahwa peran Hakim Pengadilan Agama sangat dominan terhadap
7
penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dengan nasabah, dimana peran tersebut sekarang digantikan oleh mediator akan tetapi Hakim juga masih tetap pegang peranan. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah yang kemudian dilakukan uji materi oleh Ir. H. Dadang Achmad (Direktur CV Benua Enginering Consultant) mengajukan uji materi Pasal 55 Ayat (2) dan (3) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah terhadap Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dimana pasal tersebut mengamanatkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, namun kepastian hukum tersebut tidak didapatkan pada ketentuan Pasal 55 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah karena mempersilahkan para pihak untuk memilih lembaga peradilan (choice of forum) dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah, maka Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 Maret 2013 menjatuhkan putusannya yang dibacakan pada tanggal 29 Agustus 2013 menyatakan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tersebut maka kewenangan Peradilan Agama semakin jelas dan pasti, tidak ada pilihan peradilan lain (choice of forum) dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah dengan nasabahnya. Sebenarnya uji materi serupa pernah diajukan oleh Dr. Drs. H. Dadan Muttaqin, SH., M.Hum (Kepala Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta) pada tanggal 3 Februari 2010 bahwa: 1. Penjelasan pasal 55 ayat ( 2 ) UU Nomor. 21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah. 2. Penjelasan pasal 59 ayat ( 2 ) dan ( 3 ) UU Nomor. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Mohon dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya karena bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi karena suatu hal pengajuan uji materi tersebut dicabut oleh yang bersangkutan.
8
PELUANG DAN TANTANGAN BAGI PERADILAN AGAMA DALAM MENDUKUNG PERKEMBANGAN INDUSTRI PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah secara litigasi menjadi kewenangan absolute pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Sekarang bola ada di tangan Peradilan Agama, mau diapakan peluang tugas yang sepektakuler tersebut? Mampukah Lembaga Peradilan Agama mendukung semangat perkembangan industri perbankan syari’ah khususnya ekonomi syari’ah pada umumnya? Kiprah tersebut sedang ditunggu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Sebagai ilustarsi, akan kami kemukakan pendapat Mariana Sutadi, S.H. (Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI bidang Yudisial) dalam pembinaan Ketua Pengadilan Agama se-Jawa di Yogyakarta Tahun 2009. Ada putusan Pengadilan Tingkat Pertama, terhadap kredit yang diberikan sebuah Bank kepada pengusaha asing tanpa izin Bank Indonesia. Pada Pengadilan Tingkat Pertama, gugatan bank terhadap perusahaan asing tanpa izin Bank Indonesia tersebut ditolak karena diantara syarat-syarat pemberian kredit pada pengusaha asing harus ada izin Bank Indonesia. Pada Pengadilan Tingkat Banding putusan tersebut dikuatkan. Pada Tingkat Kasasi dibatalkan dan dikabulkan gugatan Bank tersebut untuk mengembalikan kredit kepada bank, karena syarat izin Bank Indonesia adalah sebagai syarat administratif, tidak dapat membatalkan kewajiban nasabah untuk mengembalikan kredit yang telah diterima nasabah. Menurut hukum Islam, hutang tetap harus dibayar/dikembalikan meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia.
9
DAFTAR PUSTAKA
Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana 2014. Amin Suma, Muhammad. Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam. Jakarta: Kholam Publishing 2008. Budiman, Kadar. (Operation Manager Bank Muamalat Cab.Purwokerto), Perbankan Syariah dan Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama sesuai UU No.3 TH 2006, Makalah Seminar Pengadilan Tinggi Agama Semarang di Banyumas Tahun 2006. Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia. Jakarta : Kencana 2006. Iqbal, Muhammad. Implikasi Hukum Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, Makalah K. Lewis, Mervyn - M. Algaoud, Latifah. Perbankan Syariah Prinsip Praktik dan Prospek. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta 2005. Sri Imaniyati, Neni. Perkembangan Regulasi Perbankan Syari’ah Di Indonesia, Peluang dan Tantangan.
[email protected]. Wirdaningsih. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta : Kencana 2005 Wibisono, Yusuf, Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syari’ah Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009.
10