PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA MELALUI KEGIATAN BISNIS DI PASAR MODAL Tengku Erwinsyahbana, SH, M.Hum Dosen PNS Kopertis Wilayah I dpk. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Abstract The government’s concern to continue the privatization program could be seen from the Government Regulation No. 55 in Year 1990. Privatization is not only for selling company, but it is also an instrument to change BUMN in order to get value added, the structure of finance and management improvement, to created a good and competitive industrial structure. So, the aims of the privatization are implementing the principles of transparency, account ability independency, efficiency in order to make professional company. Keywords: Privatization, company, BUMN, professional, capital market, regulation A. PENDAHULUAN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berperan cukup penting dan sangat strategis dalam tata perekonomian nasional. Posisi BUMN berkaitan dengan cabang-cabang produksi yang penting dan vital sebagai bidang usahanya. BUMN disebut berperan strategis karena fungsinya sebagai agen pembangunan, pemerataan kemakmuran, instrumen penjaga harga, menghasilkan laba dan benteng pertahanan terhadap persaingan global. BUMN adalah salah satu pelaku dalam tata perekonomian Indonesia yang berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UUBUMN) dibedakan dalam 3 (tiga) bentuk badan usaha, yang masing-masing bentuk memiliki fungsi dan ciri-ciri tersendiri, yaitu: 1. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya milik negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan; 2. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu per seratus) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Secara operasional tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (sekarang telah diganti dengan Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas); dan 3. Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya Persero Terbuka, adalah Persero yang modal dan jumlahnya pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Bentuk BUMN yang paling dominan adalah Persero. BUMN dengan bentuk ini sangat dominan dan berperan besar untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan. Berbagai fakta mengenai kontribusi yang diberikan oleh BUMN tentu tidak terlepas dari adanya penegasan secara yuridis konstitusional dalarn Pasal 33 UUD 1945. Kehadiran BUMN pada posisi penting
dalam kancah politik ekonomi nasional diikuti adanya perlakuan istimewa oleh pemerintah terhadap pelaku ekonomi. Kemudian posisi BUMN dalam kancah politik nasional pada akhirnya tidak hanya menempatkan BUMN sebagai representatif negara dalam perekonomian, khususnya dari segi kemampuan mengakumulasi modal raksasa, tetapi juga telah mengkondisikan posisi BUMN-BUMN sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu dalam bidang politik dan ekonomi. Bersamaan dengan posisi BUMN sebagai alat politik bagi pemerintah akhirnya menguatkan tuntutan privatisasi terhadap sejumlah BUMN. Program privatisasi ini tentu saja didasarkan pada logika ekonomi tnoderen untuk menjadikan BUMN sebagai salah satu pelaku ekonomi yang diharapkan dapat memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dalam kancah perekonomian, baik domestik maupun perekonomian global. Privatisasi BUMN menjadi persoalan baru dalam menyelenggarakan perekonomian di Indonesia. Berbagai protes yang diungkapkan serikat-serikat pekerja BUMN, serta kontroversi legal dan institusional yang menyertai pelaksanaan tindakan tersebut, telah menyebabkan para penyelenggara negara tampak semakin semangat mempercepat pelaksanaan privatisasi dengan menghalalkan segala cara (Revirdson Baswir, 2003: 72) dan sudah semestinya pula kehadiran negara hanya terbatas pada fungsi pengaturan atau regulator, alokasi dan distribusi sumber daya, serta tidak lagi dalam kapasitas sebagai pengusaha atau entrepreneur (Friedmaan and J.F. Garner, 1970: 3). Upaya pengembangan dan penyempurnaan pengelolaan BUMN terus menerus dilakukan. Sejak awal tatun 1988 pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan menyangkut persoalan kinerja dan efisiensi BUMN, yaitu melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988. Kebijakan ini memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut masalah penyehatan BUMN. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah melalui produk Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740/KMK.00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas BUMN serta Keputusan Menteri Ekonomi Nomor 741/KMK.00/ 1989 tentang Rencana Jangka Panjang, Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan, telah menunjukkan adanya suatu keinginan yang kuat dari pemerintah untuk menyelenggarakan BUMN secara efisien dan produktif. Kebijakan yang dikeluarkan merupakan salah satu solusi dan merupakan landasan aplikasi konsepsi privatisasi. Kedua keputusan menteri tersebut telah memfasilitasi upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN melalui restrukturisasi perusahaan, antara lain dengan: a. Kerjasama operasional atau kontrak manajemen dengan pihak ketiga;. b. Penjualan saham melalui pasar modal; dan c. Penjualan saham secara langsung (direct placement); Kesungguhan pemerintah untuk meneruskan program privatisasi juga ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1990 tentang Perusahaan Persero yang Menjual Sahamnya Kepada Masyarakat Melalui Pasar Modal. Peraturan ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998. Perubahan ini tidak terlepas dari adanya upaya penyesuaian dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Beberapa peraturan hukum yang berkenaan dengan landasan privatisasi BUMN tersebut semakin memperkuat argumentasi bahwa penetrasi hukum ke dalam persoalan-persoalan ekonomi mutlak harus dilakukan. Hal ini senada dengan pendapat Satjipto Rahardjo (dalam Oky Deviani Burhamzah, 2001: 9) yang menyatakan bahwa pembentukan dan pelaksanaan hukum itu
terpengaruh oleh faktor-faktor ekonomis. Sebaliknya, tidak ada satu sistem ekonomi moderen manapun dapat berjalan tanpa adanya ketertiban hukum. Penetrasi hukum terhadap BUMN telah memberikan dampak positif sesuai tujuan yang dikehendaki pemerintah, seperti melakukan mobilisasi dana masyarakat yang tidak produktif dengan mestimulasi melalui cara investasi di pasar modal serta untuk menggairahkan perekonomian nasional, tetapi konsepsi mengenai privatisasi BUMN itu sendiri belum memiliki standar yang jelas dan pasti. Hal-hal yang terkait dengan kerangka dasar dan arah privatisasi BUMN, metode dan langkah privatisasi sampai saat ini masih dipandang sebagai persoalan yang masih membutuhkan sentuhan hukum guna menjamin kepastian hukum dalam berusaha dan memberi jaminan keadilan dalam mengambil keputusan privatisasi di antara sejumlah BUMN yang ada terutama dalam hubungannya dengan aspek-aspek hukum pasar modal. B. PEMBAHASAN 1. Prinsip Good Corporate Governance dalam Upaya Privatisasi BUMN BUMN yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, selain swasta dan koperasi. Kegiatan usaha BUMN, swasta dan koperasi harus dilaksanakan secara saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi. BUMN yang di dalam sistem perekonomian nasional, hendaknya ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati oleh usaha swasta. BUMN mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar dan turut membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi. Selain itu, BUMN juga merupakan salah satu suntber penerimaan negara yang signifkan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dcviden dan hasil privatisasi. Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor perekonomian, seperti: sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan; pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi. BUMN telah mencapai tujuan awal sebagai agen pembangunan dan pendorong terciptanya korporasi, namun tujuan tersebut dicapai dengan biaya yang relatif tinggi. Kinerja perusahaan dinilai belum memadai, seperti tampak pada rendahnya laba yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang ditanam-kan. Faktanya bahwa BUMN belum sepenuhnya dapat menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi bagi masyarakat dengan harga yang terjangkau serta belum nampu berkompetisi dalam persaingan bisnis secara global. Fungsi BUMN baik sebagai pelopor maupun penyeimbang kekuatan swasta besar, juga belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, karena adanya keterbatasan sumber daya. Di lain pihak, perkembangan ekonomi dunia berlangsung sangat dinamis, terutama berkaitan dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan yang telah disepakati oleh dunia internasional seperti kesepakatan mengenai World Trade Organization (WTO), Asean Free Trade Area (AFTA), Asean Framework Agreement on Service (AFAS) dan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC). Sehubungan hal ini, untuk mengoptimalkan peran dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme, antara lain
melalui pembenahan pengurusan dan pengawasan BUMN yang dilakukan berdasarkan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada BUMN. Peningkatan efisiensi dan produktivitits BUMN dilakukan melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi. Privatisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan optimal. Restrukturisasi perusahaan meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen dan keuangan. Privatisasi bukan semata-mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik. Perlu pula dibatasi bahwa dilakukannya privatisasi BUMN, tidak berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang. Negara tetap harus menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral BUMN yang diprivatisasi dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Pentingnya penataan yang berkelanjutan atas pelaksanaan peran BUMN dalam sistem perekonomian nasional terutama upaya kinerja dan nilai (value) perusahaan, telah diamanatkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui Ketetapan Nomor IV/MPR/1999 tentang Garisgaris Besar Haluan Negara 1999-2004. TAP MPR ini menegaskan bahwa BUMN terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum perlu terus ditata dan disehatkan melalui restrukturisasi dan bagi BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum dan berada dalam sektor yang telah kompetitif didorong untuk privatisasi. Penataan sistem pengelolaan dan pengawasan BUMN telah dilakukan pemerintah pada waktu lalu dan kiranya akan terus berlanjut. Salah satu langkah yang telah dilakukan adalah penataan terhadap perundang-undangan yang mengatur BUMN. Undang-undang dimaksud bertujuan untuk memenuhi visi pengembangan BUMN di masa yang akan datang dan meletakkan dasar-dasar atau prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Penerapan prinsip tersebut sangat penting dalam melakukan pengelolaan dan pengawasan BUMN. Khusus mengenai privatisasi, dengan tegas dinyatakan bahwa privatisasi hanya dapat dilakukan terhadap BUMN berbentuk persero jika dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor kegiatan yang dilakukan oleh persero. BUMN persero dapat diprivatisasi karena selain dimungkinkan oleh ketentuan undang-undang di bidang pasar modal, juga karena pada umumnya hanya BUMN persero yang telah bergerak dalam sektor kompetitif yang memperhatikan manfaat bagi rakyat banyak. Selain itu, berdasarkan Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada BUMN dimaksudkan sebagai kaidah atau pedoman bagi korporasi yang diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN yang sehat. Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri ini menentukan bahwa good corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan nilai etika. Prinsip-prinsip good corporate governance yang dimaksudkan adalah:
a. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan ; b. Kemandirian, yaitu suatu keadaan yang pengelolaan perusahaannya dilaksanakan secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/ tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip korporasi yang sehat; c. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif; d. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; dan e. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tujuan dari penerapan prinsip good corporate governance bagi BUMN adalah: a. Memaksimalkan nilai BUMN melalui peningkatan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggungjawab dan adil, agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat baik secara nasional maupun internasional; b. Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ; c. Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap stakeholders maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN; d. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional; e. Meningkatkan iklim investasi nasional; dan f. Mensukseskan program privatisasi. 2. Prosedur Privatisasi dalam Kegiatan Bisnis di Pasar Modal Pasal 78 UUBUMN menentukan bahwa privatisasi dilaksanakan dengan cara penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal, penjualan sahauu langsung kepada investor dan penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan. Penjualan saham melalui Pasar modal atau yang dikenal juga dengan istilah go public merupakan pilihan yang menarik bagi perusahaan yang membutuhkan dana murah, sebab pasar modal merupakan tempat berkumpulnya para investor yang akan menanamkan modalnya pada perusahaan yang dianggap prospektif. Salah satu alasan bagi investor untuk memilih melakukan kegiatan investasi di pasar modal karena Pasar modal merupakan suatu tempat kegiatan investasi yang dapat dipercaya bagi para investor. Kepercayaan investor terhadap keberadaan pasar modal merupakan hal yang sangat penting, untuk itu penyelengara pasar modal berusaha semaksimal mungkin mempertahankan kepercayaan tersebut dengan membuat seperangkat peraturan yang ketat, seperti misalnya persyaratan bagi perusahaan yang akan menawarkan sahamnya (go public), haruslah perusahaan yang mempunyai tingkat kesehatan yang cukup baik dan merupakan hasil audit dari akuntan publik yang telah ditentukan oleh pasar modal serta keharusan disclosure. Persyaratan ini semua sangat berpengaruh pada tingkat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di pasar modal.
Menurut Haryanto (1998: 54-55), sebagai suatu bisnis mempunyai dampak yang sangat luas, pasar modal melibatkan banyak orang dan banyak lembaga. Masing-masing pihak mempunyai peranan dan fungsi yang berbeda-beda dan saling menunjang. Pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan pasar modal Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yaitu: a. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Bapepam merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas; pertama, mengikuti perkembangan dan mengatur pasar modal sehingga saham (efek) dapat ditawarkan dan dipardagangkan secara teratur, wajar dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat umum. Kedua, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga dan profesi-profesi penunjang yang terkait dalam pasar modal. Ketiga, memberikan pendapat kepada Menteri Keuangan mengenai pasar modal beserta kebijakan operasionalnya. Bapepam juga mempunyai wewenang menginterpretasikan hukum dan perundang-undangan mengenai. berbagai hal dalam wilayah yurisdiksinya dan untuk membuat peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan independen untuk pelaksanaannya. Wewenang Bapepam lainnya adalah mengeluarkan izin usaha bagi pelaku pasar modal dan wewenang memeriksa dan menyidik setiap pihak jika terjadi pelanggaran terhadap undang-undang pasar modal. Selain itu, Bapepam juga dapat melakukan intervensi terhadap perdagangan di bursa, seperti membekukan atau membatalkan pencatatan suatu efek atau menghentikan kegiatan perdagangan di bursa efek dalam keadaan darurat. Kewenangan yang cukup besar tersebut diperlukan karena kegiatan di pasar modal mempunyai dampak yang luas terutama jika masyarakat dirugikan. Bapepam antara lain juga bertugas untuk memastikan pemberian infonnasi yang memadai kepada investor sehingga tercipta transparansi atau keterbukaan di pasar modal. Informasi yang memadai sangat penting bagi investor sebagai landasan untuk menganalisis dalam mengambil keputusan investasi. Oleh sebab itu, semua emiten diwajibkan memberikan laporan rutin mengenai berbagai kejadian penting kepada Bapepam yang mencakup laporan keuangan tahunan dan tengah tahunan, laporan mengenai penggunaan dana yang diperoleh dari publik, serta corporate action yang mempengaruhi pergerakan saham secara signifikan. Bapepam tidak melakukan penilaian atas baik buruknya efek yang ditawarkan. Penilaian tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para investor berdasarkan informasi yang diberikan oleh emiten. Bapepam juga tidak memberikan jaminan akan kebenaran informai, karena benar tidaknya informasi yang diberikan menjadi tanggung jawab penuh emiten yang bersangkutan dan lembaga penunjang atau profesi yang terkait seperti penjamin emisi, akuntan publik, konsultan hukum dan perusahaan penilai. Beberapa peraturan yang telah dibuat oleh Bapepam untuk menunjang perkembangan pasar modal antara lain : pembentukan reksa dana (openeed) dan pembentukan perdagangan obligasi antar pedagang efek di pasar sekunder. b. Pelaksana bursa Bursa efek menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek di antara mereka. Badan pelaksana bursa bertanggungjawab dalam menjalankan dan mengoperasikan bursa. Di Indonesia, ada dua badan pengelola bursa, yaitu Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya, beroperasi sebagai lembaga yang mengatur diri sendiri (self regulatory). Kedua bursa ini berperan sebagai fasilitator yang menyediakan semua sarana perdagangan dan dalam menjalankan perannya mempunyai kewenangan yang cukup besar. Kewenangan ini antara lain mencakup:
1) mengadakan pemeriksaan terhadap aktifitas perdagangan efek; 2) membuat persyaratan bagi perusahaan publik untuk mengungkapkan informasi keuangan dan lainnya; 3) memiliki wewenang untuk mengadakan pengawasan, menindak dan mnencatat anggota bursa; 4) mempunyai wewenang untuk membuat penyelesaian transaksi yang tepat waktu dan efektif; 5) mengatur pencatatan dan pengeluaran di dalam bursa; 6) menguatkan praktik bisnis anggota bursa, termasuk praktik-praktik pendukungnya dan akunting; 7) dan membuat persyaratan standar bagi keanggotaan bursa. c. Emiten Emiten adalah piliak yang melakukan emisi atau yang telah melakukan penawaran umum surat berharga. Pihak ini membutuhkan dana guna membelanjai operasi maupun rencana investasi. Emiten memperoleh dana untuk berbagai tujuan, seperti untuk mendanai perluasan usaha, memperbaiki struktur modal atau membayar hutang. Tujuan-tujuan tersebut harus dijelaskan secara rinci pada prospektus yang diterbitkan emiten untuk memastikan terdapatnya transparansi atas penggunaan dana hasil penjualan efek. d. Investor Investor mempunyai peran sentral di pasar modal yang memasok dana ke pasar modal sehingga kemajuan suatu pasar modal sangat tergantung pada peran yang dipakai investor. Investor terdiri atas investor lembaga (dana pension, asuransi, reksa dana dan lainnya) dan investor individu atau perorangan. Investor hanya dapat membeli/menjual saham atau surat-surat berharga (efek) lainnya melalui perusahaan-perusahaan efek yang terdaftar resmi di bursa. e. Pialang atau broker Pialang atau broker adalah pihak yang membeli atau menjual efek di bursa atas permintaan investor. Atas jasanya menjualkan atau membelikan efek bagi investor, pialang mendapatkan balas jasa yang besarnya ditentukan antara investor dan pialang. Sehubungan dengan fungsinya sebagai perantara, maka dalam transaksi jual beli efek, pialang tidak menanggung risiko apapun dengan adanya perubahan harga efek. Risiko dan hak atas efek seluruhnya ada pada pihak investor sendiri. f. Perusahaan efek Perusahaan efek adalah perusahaan yang telah memperoleh izin usaha untuk beberapa kegiatan sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, manajer investasi atau penasehat investasi. Perusahaan efek melalui penasehat investasinya akan memberikan saran kepada investor, setiap perusahaan pialang harus memiliki tenaga profesional yang disebut penasehat investasi. Penasehat investasi inilah yang membantu investor untuk mengenali instrumen investasi yang cocok bagi investor tersebut. Mengenai penentuan jenis investasi yang cocok, penasehat investasi harus mengenal calon nasabahnya (calon investor) dan perlu mencari informasi sebanyak mungkin mengenai calon nasabah tersebut.
g. Lembaga kliring Lembaga kliring merupakan suatu lembaga yang menyelenggarakan kliring dan penyelesaian transaksi yang terjadi di bursa efek, penyimpanan efek serta penitipan harta untuk pihak lain. h. Reksa dana (investment fund) Reksa dana (investment fund) adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal selanjutnya diinvestasikan dalam bentuk portofolio efek oleh manajer investasi. Jadi perusahaan reksa dana adalah pihak yang kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi kembali (reinvestment) dan perdagangan efek. i. Lembaga penunjang pasar modal. Lembaga penunjang pasar modal meliputi tempat penitipan harta, biro administrasi efek, wali amanat atau penanggung yang menyediakan jasanya. Tempat penitipan harta adalah pihak yang menyelenggarakan penyimpanan harta dan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak tanpa mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut. Biro administrasi efek adalah pihak yang berdasarkan kontrak dengan emiten secara teratur menyediakan jasa jasa pembukuan, transfer dan pencatatan, pembayaran deviden, pembagian hak opsi, emisi sertifikasi atau laporan tahunan emiten. Wali amanat (trust agent) adalah pihak yang dipercayakan untuk mewakili seluruh kepentingan pemegang obligasi atau sertifikat kredit. Penanggung (quarantor) adalah pihak yang menanggung kembali jumlah pokok dan/atau bunga emisi obligasi, atau sekuritas kredit dalam hal emiten cidera janji. j. Profesi penunjang pasar modal Profesi penunjang pasar modal terdiri dari akuntan, notaris, perusahaan penilai (appraisal) dan konsultan hukum. Akuntan adalah pihak yang memiliki keahlian dalam bidang akuntansi dan pemeriksaan akuntan (auditing). Fungsi akuntan adalah memberi pendapat atas kewajaran laporan keuangan emiten atau calon emiten. Notaris adalah pejabat yang berwenang menrbuat akta otentik. Peran notaris adalah membuat perjanjian, penyusunan anggaran dasar dan perubahannya, perubahan pemilik modal, dan lain-lain. Penilai (appraisal) adalah pihak yang menerbitkan dan menandatangani laporan penilai. Laporan penilai mencakup pendapat atas aktiva yang disusun berdasarkan pemeriksaan menurut keahlian penilai. Konsultan hukum adalah ahli hukum yang memberikan dan menandatangani pendapat hukum mengenai emisi atau emiten. Fungsi utama konsultan hukum adalah melindungi pemodal atau calon pemodal dari segi hukum, tugasnya antara lain adalah untuk meneliti akta pendirian, izin usaha dan lain-lain. Perusahaan yang akan melakukan penawaran publik (public offering) di Indonesia pada dasarnya melalui beberapa prosedur. Di antaranya, perusahaan emiten tersebut dengan bantuan profesional dan lembaga pendukung pasar modal yang ada akan mempersiapkan berbagai dokumentasi serta persyaratan yang diperlukan untuk go public. Salah satu profesional pendukung pasar modal yang memegang peranan penting adalah underwriter. Underwriter atau penjamin emisi membantu perusahaan dalam proses go public mulai dari menentukan harga perdana hingga memasarkan efek yang ditawarkan kepada calon investor. Profesional dan lembaga-lembaga lain adalah akuntan publik, notaris, konsultan hukum, trustee dan guarantor. Menurut Indra Safitri (1998: 45) bahwa setelah dokumen lengkap, maka emiten akan menyerahkan pernyataan pendaftaran (registration statement) kepada Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam). Laporan registrasi antara lain berisikan informasi keuangan dan informasi lainnya mengenai emiten, beserta prospektus yang memberikan informasi mengenai penawaran publik kepada calon pembeli. Bapepam akan mempelajari dokumen yang diserahkan dan akan mengevaluasi aplikasi dari tiga aspek: 1) Kelengkapan dokumen; 2) Kejelasan dan kecukupan (adequacy) informasi; dan 3) Pengungkapan aspek manajemen, keuangan, akuntansi dan legal. Setelah dokumentasi dianggap layak, maka pernyataan pendaftaran dinyatakan efektif (effective statement), yang berarti emiten dapat melakukan penawaran publik. Untuk memastikan tidak terjadi keterlambatan pemerosesan, jika dalam waktu 30 hari Bapepam belum juga memberikan tanggapan, maka secara otomatis pernyataann pendataran dianggap berlaku. Setelah itu emiten dengan bantuan lembaga dan profesional pendukung akan melakukan penawaran publik di pasar perdana. Koetin (1994: 89) menyatakan tentang penjualan efek perdana bahwa penawaran efek kepada masyarakat dilakukan setelah mendapatkan pernyataan efektif oleh Bapepam atau jika sudah lebih dari 45 hari sejak tanggal penyampaiannya tanpa ada keputusan dari Bapepam. Dalam melakukan penjualan efek kepada masyarakat, penjamin utama emisi akan mengadakan kerjasama dengan para penjamin emisi lainnya, dengan dibantu para perantara pedagang efek dan atau para agen penjualan. Proses penjualan ini berlaku pada pasar yang disebut pasar perdana. Hasil penjualan masuk ke dalam perusahaan yang bersangkutan Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995, prinsip keterbukaan diatur secara formil dalam Pasal 1 angka 25. Dimasukkannya prinsip keterbukaan sebagai salah satu bagian yang sangat krusial dalam pasar modal merupakan tuntutan para pelaku pasar dengan alasan bahwa keterbukaan merupakan hukum kebiasaan dalam pasar modal sehingga diatur dalam peraturan perundang-undangan ataupun karena kehendak pemerintah dengan alasan bahwa keterbukaan harus menjadi kebiasaan dalam kegiatan pasar modal. Salah satu bagian dari pernyataan pendaftaran yang langsung disampaikan erniten kepada masyarakat calon investor adalah prospektus yang pengertiannya adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan penawaran umum dengan tujuan agar pihak lain membeli efek. Hal-hal yang diungkapkan pada bagian kulit muka prospektus tersebut yang ada kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap investor di pasar modal, yaitu bahwa Bapepam tidak memberikan pernyataan menyetujui atau tidak menyetujui efek ini, tidak juga menyatakan kebenaran atau kecukupan isi prospektus ini. Setiap pernyataan yang bertentangan dengan hal-hal tersebut adalah perbuatan melanggar hukum. Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa emiten bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran semua informasi dan kewajaran pendapat yang diungkapkan dalam prospektus. Selain itu, semua lembaga dan profesi penunjang yang disebutkan dalam prospektus bertanggung jawab sepenuhnya atas data yang disajikan dan relevan dengan fungsi mereka, sesuai peraturan perundang-undangan serta standar profesi masing-masing. Pernyataan melawan hukum sebagaimana disebutkan di atas dapat dilihat dari ketentuan mengenai perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut, artinya bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pihak yang menimbulkan kerugian karena
perbuatannya sendiri atau karena perbuatan orang lain yang menjadi tanggungan-nya atau karena barang yang berada di bawah pengawasannya. Hakikat sanksi dalam hukum perdata adalah bagaimana pihak yang dirugikan memperoleh ganti rugi baik kerugian yang bersifat immateriil maupun kerugian yang bersifat materiil. Bentuk kerugian materiil terdiri dari: 1) Kerugian yang benar-benar terjadi; 2) Kerugian yang karena tidak didapatnya keuntungan yang diharapkan; dan 3) Kerugian yang karena pengeluaran untuk mencegah kerugian yang lain. Selain itu, pernyataan pendaftaran dapat pula dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 80 dan Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 dengan alasan bahwa prospektus merupakan bagian dan pernyataan pendaftaran, ataupun Pasal 111 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 dengan alasan bahwa pelanggaran terhadap pernyataan pendaftaran merupakan pelanggaran atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995. Ketentuan Pasal 80 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa para pihak yang bertanggung jawab terhadap tindakan tersebut adalah (a) setiap pihak yang menandatangani pernyataan pendaftaran, atau (b) direktur dan komisaris emiten pada waktu pernyataan pendaftaran efektif, atau (c) penjamin pelaksana emisi efek, atau (d) profesi penunjang pasar modal, atau (e) pihak lain yang memberi pendapat atau keterangan atas persetujuannya dimuat dalam pernyataan pendaftaran baik sendiri-sendiri maupun bersamasama. Adapun pihak yang bertanggung jawab menurut Pasal 81 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 adalah setiap pihak yang menawarkan atau menjual efek, sedangkan Pasal III Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 adalah setiap pihak yang menimbulkan kerugian. 3. Hubungan Privatisasi BUMN dengan Aspek Hukum Pasar Modal Salah satu penyebab kegagalan privatisasi adalah kesalahpahaman banyak pihak tentang tujuan privatisasi. Sebagian besar beranggapan bahwa tujuan privatisasi semata-mata untuk menutupi defisit anggaran, padahal tujuan privatisasi yang sebenarnya diarahkan untuk mengembalikan dan mengoptimalkan fungsi pemerintah sebagai fasilitator dan regulator. Fungsi ini menjadi terganggu karena adanya konflik kepentingan dari sisi pemerintah sebagai mayoritas sekaligus regulator yang seringkali memberikan proteksi berlebihan pada BUMN. Tujuan pemerintah dalam rangka privatisasi BUMN adalah suatu langkah yang tepat dan tidak selulu dalam rangka menutup defisit anggaran. Tujuan lain yang lebih luas adalah: adanya transparency, accountability, kemandirian/bebas intervensi dan efficiency sebagai suatu perusahaan yang profesional. Implikasi lain dari BUMN yang telah go public adalah lebih berorientasi pada pasar, kompetitif dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah. Dalam kondisi ini kontribusi lembaga keuangan (financial institutions) sangat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan dasar hukum dan peraturan kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia. Salah satu titik rawan dari program kebijakan privatisasi BUMN baik melalui penjualan saham di pasar modal dan yang harus dicermati adalah kemungkinan terjadinya monopoli pembelian aset BUMN. Hal ini mungkin saja terjadi karena struktur kepemilikan modal di Indonesia masih sangat sentralistik dan hanya dikuasai oleh segelintir manusia dan institusi. Kondisi ini tidak terhindar dari praktek para pemburu rente. Kesuksesan dalam privatisasi BUMN harus dapat didukung oleh perencanaan yang matang terutama terhadap aspek-aspek seperti legal framework, good corporate governance, penerapan prinsip-prinsip manajemen,
minimalisasi implikasi politik terhadap keputusan manajemen dan yang paling penting adalah penegakan hukumnya (law enforcement). Hingga saat sekarang ternyata dalam perkembangan bisnis di pasar modal masih mempunyai sektor yuridis yang lemah, cukup banyak peluang yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang destruktif oleh siapa saja dari para pelaku pasar modal. Tindakan tersebut antara lain dapat berupa rekayasa, lips service, insider trading, pengelabuan, kongkalingkong dan sebagainya yang sebagian besar tidak dapat terdeteksi secara jelas. Pasar modal di Indonesia merupakan perdagangan dengan produk teknologi bisnis yang baru atau setidak-tidaknya produk dari suatu sistem baru dan moderen, sehingga sewajarnya menempatkan fenomena keterkaitan hukum dan teknologi tersebut terhadap eksistensi scriptless trading di bidang pasar modal ini. Dengan demikian, hukum akan berperan untuk menghilangkan, mencegah atau meminimalkan penyalahgunaan tersebut, sehingga trading efek yang benar, cepat dan efisien dapat terselenggara untuk mendukung kebijakan privatisasi melalui penjualan saham BUMN. Peraturan di pasar modal masih tergolong simple untuk suatu pasar yang complicated tetapi pengaturan yang simple tersebutpun belum sepenuhnya ditegakkan (law enforcement lemah). Indikasi ini terlihat dari sedikitnya kasus yang sampai pengadilan, baik perdata, pidana maupun tata usaha negara. Dan sisi hukum, lemahnya law inforcement dapat menjadi disincentive bagi investor untuk melakukan investasi di pasar modal Indonesia. Timbulnya ketidakadilan (unfairness) di pasar modal, seperti adanya transaksi yang pelakunya menghadapi benturan kepentingan tertententu (conflict of interest). Salah satu bentuk transaksi yang berbenturan kepentingan adalah akuisisi internal, yaitu akuisisi antara perusahaan-perusahaan dalam grup perusahaan yang sama. Pada prinsipnya hukum tidak melarang dilakukannya transaksi yang menimbulkan benturan kepentingan, tetapi pengaturan tersebut dimaksudkan agar ketidakadilan dapat diredam. Oleh sebab itu, program privatisasi BUMN harus dapat meminimalisir efek negatif dari permasalahan benturan kepentingan ini. Seiring dengan berjalannya upaya aplikasi good corporate governance BUMN Indonesia, maka dari segi regulasi hukum hingga saat ini telah dicapai kemajuan, sebagai berikut: a. Diterbitkannya Surat Edaran Bapepam No.SE-03/PM/2000 tentang Komite Audit pada tanggal 5 Mei 2000 yang berisi rekomendasi kepada Emiten/ Perusahaan Publik untuk membentuk Komite Audit sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan Akuntabilitas Komisaris Independen; dan b. Diterbitkannya Peraturan Pencatatan Efek di Bursa Efek Jakarta (BEJ) No I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2000 yang di dalamnya terdapat ketentuan yang mengatur kewajiban bagi perusahaan yang tercatat di BEJ untuk memiliki Komisaris Independen. Melihat perkembangan pasar modal yang tumbuh pesat dibandingkan dengan lembagalembaga pembiayaan lainnya, GBHN 1993 pernah secara khusus memberikan arahan agar pasar modal terus dikembangkan melalui kerangka hukum yang kokoh dan penegakan etika bisnis yang dapat melindungi pemodal, sehingga pada gilirannya pasar modal dapat menjadi wahana mobilisasi dana masyarakat dalam dan luar negeri guna membiayai kebutuhan jangka panjang dari wahana bagi pemodal untuk melakukan investasi serta sarana pernerataan melalui penyebaran kepeinilikan saham kepada masyarakat. Pasar modal Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kecil dan sebagai konsekuensi menjadi bagian dari pasar internasional, pasar modal Indonesia dituntut memiliki kualitas
internasional. Selain itu, setidak-tidaknya pasar modal yang memenuhi standar harus memiliki beberapa persyaratan pokok, yakni: a. Memiliki landasan hukum yang kokoh; b. Adanya lembaga yang Memiliki otoritas; c. Sistem perdagangan yang mampu menciptakan pasar yang likuid, aman, teratur dan efisien; dan d. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pemodal. Lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 1996 dimaksudkann untuk mengakomodasikan keempat persyaratan pokok tersebut. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka diharapkan pasar modal Indonesia dapat berkembang dalam iklim yang semakin kondusif dan dari aspek hukum perdata ataupun hukum bisnis dapat dijadikan guidance bagi kebijakan privatisasi BUMN melalui penjualan saham di pasar modal. Aspek hukum dalam proses go public BUMN memang sejak semula sangat terkait dengan perkembangan dan dinamisnya pergerakan sektor finansial. Oleh sebab itu, aspek hukum yang baik sangat diharapkan untuk dapat memainkan peranan nyata dalam menarik investasi di pasar modal. Potret dan kedinamisan aspek hukum akan terlihat dengan jelas dalam interaksi antara perusahaan terbuka dibandingkan dengan perusahaan biasa, lewat proses going public atau going private. Ironisnya dalam proses interaksi tersebut, selain prosesnya yang normal dan wajar, terselip pula trik-trik bisnis finansial, yang demi mengejar keuntungan seketika sering melakukan pelanggaran hukum. Hukum dituntut dapat mengantisiasi masalah ini dengan jeli dan sedapat mungkin meminimalkan celah-celah yang mungkin digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dengan menentukan persyaratan yang ketat dan pengawasan yuridis secara komprehensif. Prosedur dan persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan pasar modal yang sekarang telah berlaku tidaklah terlalu ringan, namun juga belum dapat dikatakan bahwa peraturan yang ada sudah memadai bagi perkembangan pasar modal dan masih perlu disempurnakan. Dalam pelaksanaannya, aspek hukum bisnis yang perlu diperhatikan dalam pendewasaan pasar modal Indonesia tanpa memberatkan atau meringankan persyaratan go public, yaitu menyangkut persyaratan pokok dalam hukum perdata yang berlaku dengan didasarkan pada asas itikad baik atau “good faith atau goede trow”. Kaitan persyaratan ini dalam kegiatan pasar modal serta pada lembaga penunjangnya (dalam arti luas) banyak terlihat pada aktifitas institusi dan profesi penunjang pasar modal, seperti: peranan notaris, penasehat hukum, konsultan emiten. Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, maka BUMN yang melaksanakan privatisasi melalui pasar modal, harus memperhatikan dan mengindahkan aspek-aspek hukum yang berlaku dalam pasar modal, karena privatisasi BUMN bukan sekedar untuk meningkatkan modal BUMN, tetapi tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki kinerja BUMN itu sendiri, sehingga mampu mendapat kepercayaan dari masyarakat dan dapat bersaing dalam kegiatan ekonomi global dan internasional. C. PENUTUP Privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham persero. Oleh sebab itu, dalam upaya meningkatkan kinerja BUMN, maka prinsip-prinsip transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran harus tetap dijadikan perhatian utama untuk pengelolaan BUMN. Privatisasi BUMN umumnya dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk memberdayakan BUMN, bertujuan untuk memperluas pemilikan masyarakat atas saham persero, meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat, menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, dan menciptakan persero yang berdaya saing dan berorientasi global, serta menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro dan kapasitas pasar. Peraturan perundang-undangan yang ada dalam rangka privatisasi BUMN pada dasarnya telah mengakomodir pelaksanaan program privatisasi BUMN, terutama dengan dikeluarkannya UUBUMN telah menciptakan iklim keadilan dan kepastian hukum. Selain itu, go public merupakan salah satu langkah privatisasi yang paling mencerminkan asas demokrasi ekonomi dan cukup efektif dalam memberdayakan BUMN. Selain itu, dalam tataran regulasi privatisasi BUMN melalui pasar modal hingga saat ini telah ada dicapai kemajuan, yang antara lain adalah melalui penerbitan Surat Edaran Bapepam No.: SE-03/PM/2000 tentang Komite Audit pada tanggal 5 Mei 2000 yang berisi rekomendasi kepada Emiten/Perusahaan Publik untuk membentuk Komite Audit sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan Akuntabilitas Komisaris Independen serta Peraturan Pencatatan Efek di Bursa Efek Jakarta (BEJ) No I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2000 yang di dalamnya terdapat ketentuan yang mengatur kewajiban bagi perusahaan yang tercatat di BEJ untuk memiliki Komisaris Independen. Berkaitan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka aspek yang harus diperhatikan adalah aspek disclosure (keterbukaan informasi) dari BUMN, hal ini sangat penting bagi BUMN sebagai eminten dan investor dan oleh sebab itu, Bapepam sebagai otoritas pasar modal diharapkan dapat menegakan aspek disclosure di pasar modal Indonesia. D. DAFTAR PUSTAKA Friedmaan and J.F. Garner, Government Enterprises, Columbia University Press, New York, 1970. Haryanto, Mortgage Financing in Indonesia (Country case study), Asian Development Bank, Jakarta, 1998. Indra Safitri, Kejahatan Pasar Modal, Go Global Book Safitri & Co, Jakarta, 1998. Koetin, Suatu Pedoman Investasi Dalam Efek di Indonesia, US Agency for International Development Financial Market Project, Jakarta, 1994. Oky Deviani Burhamiah, Privatisasi PT. Semen Gresik, PPs. Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 2001. Revirdson Baswir, “Bahaya Privatisasi BUMN”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 03-Juni 2003.