Makalah Kelas
Pragmatik dan Pendidikan Bahasa
oleh: Iman Santoso/NIM. 1201499
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dosen Pengampu
: Pragmatik Lanjut : Prof. E. Aminuddin Azis, M.A., Ph.D.
Program Studi Linguistik (S3) Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia 2013 1
A. Pendahuluan Pragmatik merupakan salah satu bagian dari kajian Linguistik yang relatif masih muda usianya, namun telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pragmatik secara ringkas dapat didefinisikan sebagai studi tentang tindak komunikasi dalam konteks sosiokultural. Sebuah tindak komunikasi tentu melibatkan interaksi antara penutur dan mitra tutur, sehingga pragmatik dapat dipahami sebagai meaning in interaction (Thomas, 23). Kajian pragmatik dapat digunakan sebagai kerangka untuk memahami penggunaan bahasa, yang tidak hanya meliputi tindak tutur, namun juga partisipasi dalam percakapan, keterlibatan dalam berbagai jenis wacana dan upaya mempertahankan interaksi dalam peristiwa tuturan yang kompleks (Kasper, 1997). Dalam perjalanannya studi pragmatik telah memberi sumbangan yang tidak kecil pada berbagai bidang lain, seperti dalam bidang klinis. Pragmatikpun telah diperhitungkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengajaran bahasa. Granger (via Bardovi-Harlig, 2005) mengatakan
Pragmatics has become a major field of study in its own right, in linguistics, and now in language learning and teaching. Pragmatic competence has come to be viewed as an essential part of learners’ competence. Kompetensi pragmatik menjadi hal yang penting dalam pembelajaran bahasa, karena seringkali dijumpai seorang pembelajar yang memiliki pengetahuan tatabahasa dan kosakata yang baik, tidak dapat (kurang mampu) berkomunikasi dengan baik dalam bahasa yang dipelajarinya.
Tuturan yang dihasilkan seringkali tidak memenuhi kaidah
keberterimaan terkait dengan konteks tuturan. Salah satu penyebabnya diduga karena dalam proses pembelajaran bahasa aspek pragmatik diabaikan. Berkenaan dengan itu, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai peran pragmatik dalam pembelajaran bahasa yang akan diperinci dalam beberapa aspek berikut: (1) latar belakang munculnya pemikiran untuk mengintegrasikan pragmatik dalam pembelajaran bahasa, (2) pentingnya pragmatik dalam pembelajaran bahasa, (3) bahan ajar pragmatik dan (4) bagaimana aspek pragmatik dapat diajarkan. Makalah ini merupakan hasil refleksi dari diskusi kelas dengan tema pragmatik dan pendidikan bahasa. Dan disusun dengan mengacu pada beberapa referensi baik berupa buku maupun artikel hasil pemikiran dan penelitian. Referensi utama berasal dari tulisan Kasper (1997), Cohen (2008), Taguchi (2011), Roever (2009) dan Purwo (1990).
2
B. Pembahasan 1. Latar Belakang Kemunculan Pragmatik dalam Pembelajaran Bahasa Diperhitungkannya kompetensi pragmatik sebagai bagian tak terpisahkan dari pengajaran bahasa dapat ditelusuri dari perkembangan paradigma dan metode pembelajaran bahasa mulai akhir abad 19 hingga pertengahan abad ke 20. Di abad 19 hingga awal abad 20 pembelajaran bahasa didominasi oleh metode tatabahasa terjemahan (Grammar translation Method) yang menekankan pada pengenalan rasa bahasa dan penguasaan tatabahasa. Dalam perkembangannya, metode ini ditentang oleh penganut metode langsung (direct method). Mereka beranggapan hal yang terpenting dalam pembelajaran bahasa adalah penguasaan bahasa lisan, bukan tulis. Dalam hal ini, pembelajar dipajankan langsung pada bunyi-bunyi bahasa, dan penjelasan mengenai kata-kata baru tidak melalui penerjemahan melainkan dengan keterangan dari bahasa aslinya atau peragaan alat visual. Melalui metode ini pengajaran tata bahasa tidak diajarkan secara deduktif seperti metode sebelumnya (Purwo, 1990:44-45). Menjelang perang dunia ke 2, muncul metode audiolingual. Metode ini sejalan dengan pandangan linguistik struktural dari Bloomfield, serta dipengaruhi oleh aliran behaviourisme dari Skinner yang mengajukan teori stimulus-respon. Proses pembelajaran bahasanya didominasi oleh latihan mendengarkan dan mengucapkan pola-pola kalimat terus menerus (drill dan pattern practice) sehingga pola-pola kalimat yang dilatihkan akan terekam dan menjadi kebiasaan pada diri pembelajar. Selanjutnya, pada tahun 1965, Noam Chomsky mengkritik pemerolehan bahasa menurut kaum behavioris tersebut. Menurutnya belajar bahasa bukanlah soal pembentukan kebiasaan, melainkan merupakan proses kreatif: suatu kegiatan yang rasionalistis dan kognitif, dan bukan merupakan hasil dari suatu respon terhadap stimulus dari luar (Purwo, 1990:47). Chomsky yang merupakan pelopor aliran linguistik tatabahasa transformasional, memperkenalkan konsep kompetensi (pengetahuan tentang tatabahasa yang diperlukan untuk mengkodekan dan memproduksi bahasa) dan performansi (realisasi kode bahasa dalam pemakaian bahasa yang sebenarnya). Dalam konteks pembelajaran bahasa pembentukan kompetensi menjadi penting. Caranya dengan memberikan kesadaran pada pembelajar mengenai kaidah-kaidah tatabahasa bahasa target. Keempat aliran tersebut pada dasarnya memiliki ciri yang sama yaitu menekankan pada struktur bahasa dari bahasa target. Perbedaannya hanya terletak pada cara 3
penyajiannya. Keempatnya sama sekali tidak memperhitungkan aspek sosiokultural dari sebuah peristiwa tuturan, dan hal itu berarti lepas dari konteks komunikatifnya. Reaksi terhadap berbagai pendekatan dan metode tersebut muncul dari Dell Hymes yang mengkritik pandangan Chomsky. Hymes berpandangan bahwa ada kaidah-kaidah penggunaan bahasa yang tanpa itu kaidah-kaidah tata bahasa tidak akan ada gunanya. Pembelajaran bahasa tidak hanya menyangkut persoalan kegramatikalan. Yang lebih penting dari itu adalah persoalan kecocokan (appropriateness) penggunaan suatu tuturan pada konteks sosiokulturalnya. Lebih jauh Hymes menegaskan bahwa pengertian kompetensi perlu diperluas hingga mencakup pula kecocokan kontekstual. Pandangan Hymes memperoleh dukungan dari Halliday yang menolak dikotomi kompetensi dan performansi. Menurutnya kompetensi dari Chomsky hanya mencakup „apa yang diketahui oleh si penutur“, dan bukan „apa yang dapat ditindakkan oleh si penutur“ (Purwo, 1990:49). Dari pandangan kedua ahli tersebut kemudian muncullah pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan komunikatif menurut Richards & Schmidt (2002) adalah
an approach to foreign or second language teaching which emphasizes that the goal of language learning is communicative competence and which seeks to make meaningful communication and language use a focus of all classroom activities. Berdasarkan pendapat tersebut terlihat jelas bahwa tujuan utama dari pendekatan komunikatif adalah pemerolehan kompetensi komunikatif. Dalam payung kompetensi komunikatif inilah, kompetensi pragmatik menemukan tempatnya. Hal ini bisa dilihat dari unsur-unsur yang tercakup dalam kompetensi komunikatif menurut Canale dan Swain seperti tergambar dalam bagan 1. Dari bagan tersebut diketahui bahwa kompetensi komunikatif tidak hanya berupa kompetensi gramatikal, namun juga mencakup kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis. Rincian tersebut juga menunjukan bahwa pendekatan komunikatif sudah memperhitungkan aspek sosiokultural, meski belum secara jelas menyebutkan pengetahuan pragmatik.
4
Communicative Competence (Canale and Swain, 1980)
Sociolinguistic Competence
Grammatical Competence (knowledge of lexical items and of rules of morphology, syntax, sentence- grammar semantics, and phonology)
Sociocultural Competence
Discourse Competence
(knowledge of the relation of language use to its nonlinguistic context)
(knowledge of rules governing cohesion and coherence)
Strategic Competence (verbal and non-verbal verbal communicommuni cation strategies that may be called into action to compensate for breakbreak downs in communication communica due to performance variables or to insufficient competence)
Bagan 1. Kompetensi Komunikatif menurut Canale dan Swain (sumber: http://www.auburn.edu/~nunnath/engl6240/clt.html) http://www.auburn.edu/~nunnath/engl6240/clt.html Model yang diajukan oleh Canale dan Swain selanjutnya dimodifikasi oleh Bachman.. Kompetensi berbahasa menurut Bachmann terbagi atas dua yaitu kompetensi organisasi dan kompetensi pragmatik. Kompetensi organisasi meliputi pengetahuan unitunit unit linguistik dan aturan untuk merangkainya dalam tataran kalimat (kompetensi gramatikal) dan dalam alam tataran wacana
(kompetensi tekstual). te . Sedang kompetensi
pragmatik dapat dibagi atas kompentensi ilokusi, yaitu pengetahuan tentang tindak komunikasi dan bagaimana merealisasikannya, serta kompetensi sosiolinguistik yaitu kemampuan untuk menggunakan bahasa bahasa secara tepat berdasarkan konteks yang ada (Kasper, 1997). Secara ringkas model yang diajukan Bachman tersajikan dalam bagan 2.
Bagan 2.. Kompetensi Berbahasa menurut Bachman (sumber: http://foreign.jiangnan.edu.cn/yyzx/Detail.aspx?uid=94) http://foreign.jiangnan.edu.cn/yyzx/Detail.aspx?uid=94) 5
Berdasarkan model yang diajukan oleh Bachman, terlihat bahwa kompetensi pragmatik memiliki kedudukan sejajar dengan kompetensi gramatikal yang selama ini memperoleh perhatian lebih banyak dari pengajar bahasa. Dalam realisasinya, kompetensi pragmatik
akan
berinteraksi
dengan
kompetensi
organisasi
untuk
mewujudkan
kemampuan berbahasa yang komprehensif seseorang. Meski dalam model Bachman ini sudah tergambar secara jelas bahwa kemampuan berbahasa yang komprehensif meliputi penguasaan atas kompetensi organisasi dan pragmatik, tetap timbul pertanyaan apakah kompetensi pragmatik perlu diajarkan dalam pembelajaran bahasa? Pertanyaan ini muncul, karena beberapa alasan. Pertama, ada sebagian orang beranggapan bahwa kemampuan pragmatik akan muncul dengan sendirinya
seiring
meningkatnya
penguasaan
kompetensi
organisasi,
terutama
pengetahuan gramatikal dan leksikal. Hal itu kemudian menjadi terbantahkan, karena penguasaan gramatikal dan leksikal yang baik tidak selalu ekuivalen dengan kompetensi pragmatik yang baik pula. Boxer dan Pickering (via Salemi, Rabiee dan Ketabi, 2012) mengatakan pembelajar yang menguasai tatabahasa dengan baik, bisa saja tidak mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang tepat dalam situasi yang berbedabeda dan yang melenceng dari norma pragmatik bahasa target. Mereka seringkali menerjemahkan secara langsung tindak tutur bahasa pertama ke dalam bahasa target ketika mencoba untuk menyampaikan makna yang dimaksud. Hal ini bisa menimbulkan kesalahan pragmatik. Di sinilah letak persoalannya, karena kesalahan pragmatik (pragmatic
failure) sering tidak menjadi perhatian para guru bahasa, dibandingkan
dengan kesalahan gramatikal. Kedua, aspek-aspek dalam pragmatik dipercayai oleh sebagian orang bersifat universal. Ketika seseorang mempelajari bahasa ke dua (L2), pada dasarnya ia telah mengenal aspek-aspek pragmatik dalam bahasa ibunya (L1), seperti adanya tuturan tak langsung atau langsung, pengetahuan bahwa dalam berkomunikasi terdapat jarak sosial dan psikologis, perlunya memahami strategi komunikasi, serta adanya berbagai jenis tindak tutur. Kompetensi pragmatik dalam bahasa pertama itu kemudian akan ditransfer ke dalam bahasa target saat pembelajar akan berkomunikasi menggunakan bahasa target. Hal ini tentu tidak menjadi masalah ketika transfer yang terjadi bersifat positif, terutama ketika bahasa target dan bahasa pertama dari pembelajar memiliki latar belakang budaya yang tidak jauh berbeda. Walaupun begitu transfer negatif tetap saja 6
bisa terjadi, apalagi jika latar belakang budaya antara bahasa target dan bahasa pertama jauh berbeda. Transfer pengetahuan pragmatik yang negatif berpotensi menimbulkan kesalahan pragmatik. Munculnya kesalahan pragmatik beresiko mengganggu kelancaran proses komunikasi. Bardovi-Harlig (via Chen, 2009) menyatakan bahwa seorang penutur yang secara pragmatik tidak tepat dalam menyampaikan tuturannya setidaknya akan tampak tidak kooperatif, bahkan bisa dianggap kasar dan menghina. Berdasarkan paparan tersebut dapat ditegaskan bahwa pembelajar bahasa sudah selayaknya difasilitasi untuk memiliki kompetensi pragmatik yang baik. Perlunya pembelajaran pragmatik yang bisa memfasilitasi pembelajar untuk meraih kompetensi komunikatif ditekankan oleh V.G dan Rajan (2012). Dengan mengambil kasus di India, mereka menyatakan bahwa banyak pembelajar tidak dapat memproduksi ujaranujaran untuk mengkomunikasikan maksud khusus yang ingin disampaikan dalam bahasa kedua (bahasa Inggris). Hal ini disebabkan karena pembelajaran bahasa kedua di India jarang memperhatikan aspek tersebut. Padahal menurut mereka tidak dimilikinya kompetensi pragmatik bisa menghambat pembelajar untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Hal ini didukung oleh Campbel dan Robert (via Louw, Derwing dan Abbot, 2010) yang berpendapat bahwa kompetensi pragmatik merupakan salah satu variabel penting dalam dunia kerja, karena kompetensi tersebut mendukung keberhasilan berkomunikasi. Zhang dan Yan (2012) menunjukan bahwa pembelajaran pragmatik dapat mulai diajarkan sejak anak-anak, terutama untuk menumbuhkan kesadaran akan aspek sosiopragmatik. Dengan membandingkan kelas imersi dan non-imersi, hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengajaran tipe imersi lebih efektif dalam mengembangkan kesadaran sosiopragmatik bahasa Inggris dalam strategi permintaan sebagai lawan dari strategi menjawab. Kesimpulan lain yang diperoleh adalah tindak tutur merupakan salah satu variabel penting yang mempengaruhi kompetensi sosiopragmatik dari bahasa kedua selama masa kanak-kanak. Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat ditegaskan sekali lagi bahwa kompetensi pragmatik perlu dibangun pada pembelajar melalui sebuah pembelajaran yang terencana. 2. Kompetensi Pragmatik dan Tujuan Pembelajaran Pragmatik Kompetensi pragmatik menurut Taguchi (2011:289 - 291) adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan menginterpretasi makna dalam interaksi sosial, serta mencakup 7
kemampuan untuk mengatur keterkaitan yang kompleks antara bahasa, pengguna bahasa dan konteks interaksi. Penjelasan dari Taguchi ini memperlihatkan bahwa ihwal kompetensi pragmatik merupakan hal yang kompleks, terlebih bila dilakukan tilikan terhadap unsur-unsur kompetensi pragmatik menurut Bachman. Begitu banyaknya unsur yang saling terkait di dalamnya membuat penyelenggaraan program pembelajaran yang bisa memfasilitasi pembelajar untuk meraih kompetensi pragmatik tidak mudah untuk dilakukan. Guna mencapai kompetensi pragmatik yang baik, pembelajar dan pengajar harus memperhatikan dua unsur pragmatik yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik (Brown & Levinson dalam Tan dan Farashaiyan, 2012:189). Pragmalinguistik berkaitan dengan pengetahuan mengenai unsur-unsur linguistik yang dapat digunakan untuk melakukan komunikasi atau merealisasikan tindak tutur tertentu. Pragmalinguistik antara lain meliputi strategi pragmatik seperti tuturan langsung atau tidak langsung, aspek kebahasaan yang bersifat rutin, dan serangkaian bentuk linguistik yang dapat memperkuat atau memperhalus tindak komunikatif. Sedang sosiopragmatik berkaitan dengan penggunaan bentuk-bentuk linguistik yang tepat sesuai konteks, peran partisipan dalam konteks tersebut, faktor kesopanan yang terkait dengan jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, kekuasaan secara sosial, hak dan kewajiban dari peserta tutur dan tingkat beban (Kasper, 1997). Sosiopragmatik merupakan perjumpaan antara faktor-faktor sosiologis dengan
pragmatik.
Secara
sederhana
sosiopragmatik
dapat
dikatakan
sebagai
kemampuan untuk menilai konteks sosial yang meliputi peristiwa tutur termasuk peran penutur dan mitra tutur di dalamnya. Dua unsur tersebut – yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik - harus dijadikan pijakan awal dalam merancang pembelajaran pragmatik, mulai dari penetuan tujuan pembelajaran,
penyusunan bahan ajar, cara mengajarkan pragmatik hingga prosedur
untuk menakar kompetensi pragmatik. Secara umum tujuan pembelajaran pragmatik menurut Bardovi-Harlig dan MahanTaylor (2009) adalah untuk meningkatkan kesadaran pragmatik pembelajar dan memberi mereka pilihan mengenai interaksi-interaksi dalam bahasa target. Dengan demikian pembelajar diharapkan menjadi tidak asing dengan jangkauan perangkat pragmatik dan mampu mempraktikannya dalam bahasa target. Sejalan dengan itu, Kasper (1997) menjelaskan bahwa intervensi secara pedagogis pada pembelajar bertujuan untuk 8
menyadarkan pengetahuan pragmatik yang telah dimiliki pembelajar, mengingat bahwa sebenarnya pengetahuan pragmatik dalam bahasa pertama sudah dimiliki, serta untuk mendorong mereka menggunakan pengetahuan pragmatik tersebut dalam konteks bahasa target. 3. Materi Pembelajaran Pragmatik Dalam penyusunan materi pembelajaran ada 3 aspek yang perlu pertimbangkan, yaitu konteks sosial, penggunaan bahasa secara fungsional dan interaksi (Taguchi, 2011). Jika ketiga faktor tersebut dipergunakan dalam rangka penyusunan bahan ajar pragmatik, pembelajar akan mengetahui strategi dan bentuk linguistik yang bisa direalisasikan dalam tindak tutur, serta bagaimana strategi tersebut dipergunakan dalam berbagai konteks yang beragam. Secara lebih rinci, Kasper (1997) memberikan penjelasan mengenai bahan ajar yang dapat diberikan pada pembelajar diantaranya adalah: (1) penanda wacana dan strategi wacana, serta pragmatik rutin; (2) tindak tutur khusus seperti tuturan untuk menyatakan penghargaan/pujian, permintaan maaf, keluhan, penolakan, salam; (3) kesopanan dan (4) implikatur. Bentuk-bentuk tuturan yang akan dijadikan bahan pembelajaran pragmatik hendaknya merupakan tuturan-tuturan yang otentik. Bahan tersebut dapat diperoleh dari rekaman pembicaraan telepon, acara bincang-bincang di televisi, film, surat elektronik atau dari internet (Bardovi-Harlig dan Mahan-Taylor, 2008). Bahan ajar yang otentik tersebut disampaikan dengan mengikutsertakan kegiatan menginterpretasi tuturan yang disajikan dan aktivitas yang bersifat produktif, seperti bermain peran. Penelitian dari Jernigan (2012:7) berhasil membuktikan bahwa pembelajaran dengan memanfaatkan video efektif untuk meningkatkan kemampuan pragmatik interkultural pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, yang ditunjukan dari peningkatan hasil tes tulis penilaian keberterimaan pragmatis (pragmatic acceptability judgment task). Cohen (2008) berpendapat aspek terpenting dari pragmatik bila dikaitkan dengan pembelajaran bahasa ke dua adalah tindak tutur khusus. Oleh karena itu, tindak tutur merupakan aspek utama yang harus diajarkan. Pandangan Cohen tersebut kemudian direalisasikan dalam sebuah situs internet yang menyajikan hal-ihwal pembelajaran pragmatik dengan tindak tutur sebagai titik pijaknya. Situs tersebut merupakan bagian dari program yang disebut CARLA (The Center for Advance Research on Language
Acquisition).
Khusus
bidang
pragmatik
dapat
dilihat
di
alamat
web
berikut: 9
http://www.carla.umn.edu/speechacts/index.html. Situs ini sekiranya dapat digunakan sebagai bahan tilikan dalam menyusun program pembelajaran pragmatik, khususnya bagi pembelajaran bahasa kedua. Situs ini juga menyediakan program khusus pembelajaran pragmatik bagi pembelajar bahasa Spanyol sebagai bahasa kedua, yang diberi nama Dancing with Words. Tindak tutur yang disajikan dalam Dancing with Words
meliputi pujian, penyampaian
terima kasih dan perpisahan, permintaan maaf, penyampaian undangan, pemberian pelayanan, nasihat, saran, pernyataan ketidaksetujuan, dan teguran. Setiap tindak tutur tersebut dikemas dalam satu modul yang terdiri atas pengantar, memasuki tindak tutur, strategi performansi pragmatik, strategi sosiopragmatik dan pragmalinguistik, faktor-faktor sosiokultural, variasi bahasa dan kesimpulan. Dari paparan mengenai bahan ajar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa aspek pragmatik yang utama untuk diajarkan adalah tindak tutur khusus, disamping juga pengetahuan sosiopragmatik. Salah satu tindak tutur khusus adalah penolakan (refusal). Penelitian yang mengkaji pembelajaran pragmatik dan tindak tutur penolakan dilakukan Soler dan Pitarch (2010). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) intervensi pedagogis memiliki pengaruh terhadap jumlah informasi yang perlu dihadirkan selama merencanakan dan mengeksekusi tindak tutur penolakan; (2) pembelajaran yang diberikan dalam penelitian ini terbukti efektiv untuk mengarahkan perhatian pembelajar terhadap pengetahuan eksplisit dari strategi penolakan (pengetahuan pragmalinguistik) dalam relasinya dengan konteks (pengetahuan sosiopragmatik). Penelitian ini sekaligus juga menghasilkan kesimpulan bahwa tugas peningkatan kesadaran (awareness-raising task) sebagai salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengajarkan pragmatik. 4. Strategi Pembelajaran Pragmatik Persoalan berikutnya yang terkait dengan pembentukan kompetensi pragmatik pada pembelajar bahasa adalah strategi pembelajarannya. Persoalan ini tentu tidak mudah untuk diuraikan, karena hal-ihwal yang terkait dengan pragmatik cukup kompleks. Bagi guru bahasa kedua (bahasa asing) yang mengajarkan bahasa target di luar masyarakat penutur bahasa target tersebut, tantangan untuk mengintegrasikan pragmatik dalam pembelajaran yang diampunya semakin berat. Salah satunya adalah kesulitan untuk menemukan konteks sosial yang nyata, yang bisa digunakan oleh pembelajar untuk mempraktekan tindak komunikasi yang telah dipelajari. Selain itu, pengajar bahasa kedua 10
(asing) harus menguasai bahasa target secara gramatikal dan leksikal yang baik dan mampu berkomunikasi secara tepat dalam bahasa tersebut. Dia juga harus mengenal dengan baik latar belakang budaya dari bahasa target, serta mampu memperhitungkan adanya transfer negatif dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua. Berbagai aspek yang terlibat dalam proses belajar pragmatik dapat dilihat pada bagan 3 (dikutip dari Roever, 2009:562).
Bagan 3. Model Proses Belajar Pragmatik menurut Roever (2009) Dari bagan tersebut terlihat bahwa dua unsur pragmatik, yaitu sosiopragmatik dan pragmalinguistik perlu dikembangkan bersamaan. Pada sisi sosiopragmatik, pembelajar perlu menghadirkan fitur-fitur sosiopragmatik berdasarkan input yang terkait seperti ekspresi dari interlokutor, bentuk relasi dan konteks. Pemrosesan fitur sosiopragmatik tersebut akan menjadi dasar untuk membangun pengetahuan mengenai karakteristik interlokutor seperti apa yang relevan dan bagaimana konteks bisa mempengaruhi penggunaan bahasa. Input yang bersifat sosiopragmatik dapat diperoleh dari kontak interpersonal, interaksi ataupun dari observasi. Pada sisi pragmalinguistik, pembelajar 11
harus dapat menghadirkan aspek pragmatik dari input kebahasaan yang bersifat umum, misalnya penggunaan modalitas dan pertanyaan untuk mengekspreksikan tindak tutur permintaan maaf secara tak langsung, sebagai alternatif penggunaan pernyataan deklaratif. Input yang secara pragmalinguistik berhasil diidentifikasi relevan dengan konteks sosial akan menjadi masukan bagi pembelajar untuk membangun pengetahuan pragmalinguistiknya. Pengetahuan ini sewaktu-waktu dapat digunakan (dikodekan) kembali ketika menemui situasi tutur yang cocok. Peran pengajar di sini adalah membantu pembelajar
untuk
menghubungkan
pengetahuan
tersebut
dengan
pengetahuan
sosiopragmatik. Dalam konteks pembelajaran bahasa kedua, aspek lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah adanya transfer dari bahasa pertama, karena berpengaruh terhadap perkembangan pengetahuan sosiopragmatik, pragmalinguistik dan kebahasaan bahasa target, terutama pada pembelajar tingkat pemula. Bagi pembelajar tingkat lanjut, permasalahan tersebut relatif bekrkurang. Bu (2012) menemukan bahwa pembelajar bahasa kedua yang cakap akan semakin sedikit melakukan transfer norma pragmatik dari bahasa pertama karena mereka telah memiliki kontrol yang cukup terhadap bahasa kedua. Pragmatik
yang
terdiri
atas
pragmalinguistik
dan
sosiopragmatik
dapat
direalisasikan dalam pembelajaran bahasa dengan berbagai cara. Strategi pembelajaran pragmatik yang cukup dikenal dan juga diteliti adalah pendekatan eksplisit yang dilawankan dengan pendekatan implisit. Pada pendekatan yang pertama fitur-fitur pragmatik dideskripsikan, dijelaskan guru serta didiskusikan
untuk melengkapi input
kebahasaan dan latihan. Pada pendekatan implisit, input-input linguistik dan latihan disajikan namun tidak disertai penjelasan tentang komponen metapragmatik (Kasper, 1997). Taguchi (2011:291) menambahkan, bahwa dalam pembelajaran pragmatik yang bersifat eksplisit fitur-fitur pragmatik dari bahasa target dijelaskan secara langsung dan diikuti dengan latihan. Sebaliknya, pada pendekatan implisit, penjelasan langsung ditiadakan (atau setidaknya ditunda). Dengan demikian pembelajar hanya diberi input dan kesempatan untuk berlatih. Melalui latihan-latihan tersebut, pembelajar diharapkan dapat mengembangkan pemahaman secara implisit terhadap bentuk-bentuk pragmatik dan penggunaannya.
12
Beberapa penelitian yang mengkaji penerapan pendekatan eksplisit dan implisit dalam pembelajaran pragmatik antara lain dilakukan oleh Fukuya dan Martinez-Flor (2008), Farrokhi dan Atashian (2012), Tan dan Farashaiyan (2012), serta oleh Salemi, Rabiee dan Ketabi (2012). Fukuya dan Martinez-Flor (2008) meneliti efek interaksi antara dua bentuk tugas penilaian (e-mail dan telepon)
dengan dua tipe pengajaran (eksplisit dan implicit)
dikaitkan dengan bentuk tuturan penyampaian saran yang secara pragmatik dan linguistik akurat. Kelompok yang memperoleh pembelajaran secara eksplisit diberi informasi metapragmatik tentang penggunaan head acts dan Hedge dalam tindak tutur saran, sementara kelompok yang lain tidak memperoleh informasi tersebut, namun memperoleh aktivitas penataan kembali (recast) dan input peningkatan (enhancement input). Hasil penelitian menunjukan bahwa kelompok eksplisit setelah pembelajaran memiliki perkembangan yang signifikan pada tugas pembicaraan telepon dibanding kelompok yang memperoleh pembelajaran pragmatik secara implisit. Namun dalam tugas menulis e-mail, perkembangan kedua kelompok tersebut berjalan setara. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa keberhasilan penerapan pembelajaran yang bersifat eksplisit dan implisit dipengaruhi oleh bentuk tugas yang diberikan. Penelitian quasi-experimental dari Farrokhi dan Atashian (2012) mengkaji tindak tutur penolakan (refusal) dikaitkan dengan pembelajaran pragmatik yang bersifat eksplisit dan implisit. Responden dari penelitian ini ditempatkan dalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang menerima pembelajaran secara eksplisit, implisit dan kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukan bahwa pembelajaran pragmatik yang bersifat eksplisit terbukti lebih efektif dibanding yang bersifat implisit dalam meningkatkan performansi pragmatik pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Iran, terutama dalam tindak tutur penolakan. Sejalan dengan penelitian tersebut, Salemi, Rabiee dan Ketabi (2012) membandingkan pengaruh pembelajaran implisit dengan eksplisit, serta pemberian umpan balik dalam perkembangan kompetensi pragmatik pada pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Iran khususnya tindak tutur pemberian saran. Subjek penelitian dibagi ke dalam empat kelompok eksperimental dan satu kelompok kontrol. Kelompok eksperimen pertama menerima pembelajaran dan umpan balik yang eksplisit, kelompok kedua memperoleh pembelajaran eksplisit dan umpan balik yang implisit, kelompok ketiga memperoleh pembelajaran implisit dan umpan balik eksplist, dan kelompok keempat 13
mendapatkan pembelajaran dan umpan balik implisit. Hasil studi ini menunjukan bahwa pembelajaran dan pemberian umpan balik yang eksplisit memberikan pengaruh yang lebih baik pada kompetensi pragmatik pembelajar, meskipun di sisi lain penelitian ini
juga
menunjukan bahwa pembelajar cenderung melupakan materi pembelajaran setelah empat minggu. Hasil penelitian Tan dan Farashaiyan (2012) juga mendukung penelitian sebelumnya. Mereka menemukan bahwa pembelajaran yang berbasis pendekatan eksplisit efektif membantu pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dalam memahami dan memproduksi tindak tutur permintaan. Taguchi (2011:296) lalu menawarkan bentuk tugas yang dapat mengintegrasikan aspek konteks sosial, penggunaan bahasa secara fungsional dan interaksi. Tugas pertama merupakan tugas untuk meningkatkan kesadaran pembelajar (consciousness-raising task). Bentuk kegiatannya berupa kegiatan menyimak dan memperhatikan variabel pragmatik dan sosiolinguistik dari suatu peristiwa tuturan khusus. Tugas berikutnya adalah tugas untuk mengasah keterampilan reseptif, dimana pembelajar memperoleh input-input pragmatik lalu mengevaluasi dan memilih bentuk pragmatik yang cocok. Tugas terakhir adalah tugas yang bersifat produktif yaitu dengan melibatkan pembelajar untuk melakukan role-play, membuat percakapan terstruktur atau diberi kesempatan untuk menjawab tes melengkapi wacana (discourse completion test) atau tes rumpang (cloze
test). Strategi lain yang bisa digunakan untuk pengembangan kompetensi pragmatik dan interkultural adalah dengan menggunakan model 6R yang diajukan oleh Martinez-Flor dan Uso’-Juan (via Shively, 2010:110). Model, yang pada dasarnya berbasis pendekatan eksplisit ini terdiri atas enam tahapan yaitu researching, reflecting, receiving, reasoning,
rehearsing dan revising. Pada tahap pertama, pembelajar diberi penjelasan mengenai konsep pragmatik dan tindak tutur tertentu seperti permohonan, permintaan maaf dan penolakan. Pembelajar kemudian mengumpulkan data pragmatik dalam bahasa pertama. Pada tahap kedua, pembelajar menganalisis data tersebut dibawah bimbingan guru. Tahap ini akan meningkatkan kesadaran pembelajar mengenai faktor-faktor sosial dan situasi yang mempengaruhi perilaku pragmatik. Pada tahap ketiga, pembelajar memperoleh petunjuk yang eksplisit tentang bagaimana fitur-fitur pragmatik dapat direalisasikan dalam bahasa kedua (bahasa target). Sebagai contoh pembelajar ditunjukan serangkaian strategi yang mungkin digunakan untuk menyatakan tindak tutur permintaan 14
dalam bahasa target dan membandingkannya dengan tindak tutur bahasa pertama. Pada tahap
keempat,
pembelajar
menganalisis
data
pragmatik
bahasa
kedua
dan
mengidentifikasi faktor sosial dan situasional, serta intensi penutur. Aktivitas ini merupakan
upaya
mempraktekan
untuk
pengetahuan
meningkatkan pragmatiknya
kesadaran. dengan
Tahap
kelima,
berpartisipasi
pembelajar
dalam
aktivitas
komunikatif, dimulai dari yang agak terkontrol hingga lebih bebas. Tahap terakhir, pembelajar menerima umpan balik dan petunjuk lebih lanjut untuk mengembangkan performansi pragmatiknya dalam aktivitas berkomunikasi. C. Penutup Pragmatik sebagai bagian dari linguistik yang mengkaji penggunaan tindak komunikasi dalam konteks sosiokultural saat ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembelajaran bahasa, termasuk pembelajaran bahasa untuk anak-anak. Kemunculan aspek pragmatik dalam pembelajaran bahasa bersamaan dengan munculnya pendekatan komunikatif. Pendekatan ini merupakan reaksi atas beberapa metode dan pendekatan sebelumnya yang mementingkan penguasaan tatabahasa dan mengesampingkan aspek sosiokultural, seperti metode tatabahasa terjemahan, metode langsung, metode audiolingual dan pendekatan yang berbasis pada tatabahasa generatif dari Chomsky. Sebaliknya, pendekatan komunikatif yang menonjolkan aspek fungsi dan makna bahasa mulai melibatkan aspek sosiokultural. Hal ini sesuai dengan pendapat Hymes, bahwa belajar bahasa tidak hanya persoalan kegramatikalan tetapi yang tak kalah penting adalah aspek kecocokan sebuah tuturan dengan konteks sosiokulturalnya. Atas dasar itulah, pragmatik perlu diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa. Ada dua alasan yang mendukung pembelajaran pragmatik, yaitu (1) memfasilitasi pembelajar untuk mampu mengenali aspek-aspek sosial dan interpersonal yang terkait dalam sebuah peristiwa tutur, sehingga ia dapat merangkai sebuah tuturan yang tepat (cocok), dan (2) untuk menghindari adanya kesalahan pragmatik (pragmatic failure) saat melakukan tindak komunikasi. Pragmatik terdiri atas dua bagian yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Kedua aspek tersebut harus dijadikan landasan dalam penyusunan bahan ajar serta penentuan strategi pembelajaran pragmatik. Materi pembelajaran utama yang perlu diajarkan terkait dengan pembentukan kompetensi pragmatik adalah tindak tutur khusus, selain aspek implikatur, kesopanan, penanda dan strategi wacana, serta pragmatik rutin. 15
Materi tersebut dapat diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa dengan menggunakan berbagai strategi dan pendekatan. Pendekatan yang populer dipakai adalah pendekatan eksplisit dan implisit. Melalui pendekatan eksplisit, pembelajar akan diberi penjelasan mengenai fitur dan norma pragmatik yang disertai latihan. Sebaliknya dalam pendekatan implisit, pembelajar hanya diberi latihan dan input pragmatik tanpa penjelasan. Kedua pendekatan tersebut bukan merupakan hal yang bersifat diskrit, namun bersifat kontinyu. Hal ini berarti keduanya dapat dipakai secara bergantian. Pendekatan eksplisit lebih tepat digunakan bagi pembelajar bahasa kedua tingkat awal. Seiring peningkatan kemampuan berbahasa pembelajar pendekatan yang bersifat implisit dapat diberikan. Strategi lain yang bisa digunakan adalah strategi pembelajaran 6R yang terdiri atas researching, reflecting,
receiving, reasoning, rehearsing dan revising. Strategi ini mencakup proses penyadaran terhadap konsep pragmatik, pemberian input dalam bahasa pertama dan bahasa target, latihan menerapkan pengetahuan pragmatik dalam tindak komunikatif, dan umpan balik dari pengajar. Daftar Pustaka Bardovi-Harlig, Kathleen. 2005. On the Role of Formulas in the Acquisition of L2 Pragmatics. Indiana University. Diakses dari http://www.slate.illinois.edu/events/lecture/documents/kbhuiuctalk.ppt pada tanggal 4 Mei 2013. Bardovi-Harlig, Kathleen, dan Mahan-Taylor, Rebecca. 2009. “Introduction” dalam Teaching Pragmatics. Diakses dari http://www.indiana.edu/~dsls/publications/introms.pdf pada tanggal 14 April 2013. Bu, Jiemin. 2012. ”A Study of Relationships between L1 Pragmatic Transfer and L2 Proficiency” dalam English Language Teaching, Vol. 5. No. 1; January 2012. Doi:10.5539/elt.v5n1p32, diakses dari http://www.ccsenet.org/journal/index.php/elt/article/view/13874 pada tanggal 28 Maret 2013. Chen, Yuanshan. 2009. “Learner Perceptions of Instruction in L2 Pragmatics” dalam English Language Teaching. Vol. 2, No. 4 Desember 2009, diakses dari http://ccsenet.org/journal/index.php/elt/article/view/4465 pada tanggal 16 April 2013. Cohen, Andrew D. 2008. “Teaching and Assesing L2 Pragmatics: What can we expect from learners?” dalam Language Teaching, 41:2, pp. 213 – 235. 16
Doi:0.1017/S0261444807004880. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/217739849/13E0791E0E06D4E2 306/1?accountid=31324 pada tanggal 28 Pebruari 2013.
Farrokhi, Farahman, dan Atashian, Soheil. 2012. „The Role of Refusal Instruction in Pragmatic Development” dalam World Journal of Education Vol 2, No. 4: August 2012. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/1035265911/fulltextPDF/13E11E78CB B35DDE24C/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Februari 2013. Fukuya, Yoshinori J., dan Martinez-Flor, Alicia. 2008. “The Interactive Effects of PragmaticEliciting Tasks and Pragmatic Instruction” dalam Foreign Language Annals, Fall 2008, 41, 3. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/216007140/fulltextPDF/13E11DA26EA 3ED11B5/1?accountid=31324, pada tanggal 5 Februari 2013. Jerniga, Justin. 2012. “Output and English as a Second Language Pragmatic Development: The Effectiveness of Output-focused Video-based Instruction” dalam English Language Learning Vol. 5, No. 4, April 2012. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/1009897754/fulltextPDF/13E1CF61765 3176B1AB/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Pebruari 2013. Kasper, G. 1997. Can pragmatic competence be taught? (NetWork #6) [HTML document]. Honolulu: University of Hawai'i, Second Language Teaching & Curriculum Center. Diakses dari http://www.nflrc.hawaii.edu/NetWorks/NW06/ pada tanggal 16 April 2013. Louw, Kerry J., Derwing, Tracey M., dan Abbot, Marilyn L, 2010. “Teaching Pragmatics to L2 Learners for the Workplace: The Job Interview” dalam The Canadian Modern Language Review, 66, 5 (August) 739–758. Doi:10.3138/cmlr.66.5.739. Diakses dari http://utpjournals.metapress.com/content/l4621831326406q1/fulltext.pdf pada tanggal 5 Pebruari 2013. Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Richards, Jack C., Schmidt, Richard. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. London: Pearson Education Limited. Roever, Carsten. 2009. “Teaching and Testing Pragmatics” dalam Handbook of Language Teaching. West-Sussex: Blackwell Publishing Limited Salemi, Azin., Rabiee, Mika dan Ketabi, Saeed. 2012. “The Effects of Explicit/Implicit Instruction and Feedback on the Development of Persian EFL Learners’ Pragmatic Competence in Suggestion Structures“. Dalam Journal of Language Teaching and Research, Vol 3, No 1 (2012), 188-199, Jan 2012, doi:10.4304/jltr.3.1.188-199, diakses dari http://ojs.academypublisher.com/index.php/jltr/article/view/6467 pada tanggal 16 April 2013. 17
Shively, Rachel L. 2010. “From the VirtualWorld to the Real World: A Model of Pragmatics Instruction for Study Abroad” dalam Foreign Language Annals Vol Diakses dari http://search.proquest.com/docview/871903263/fulltextPDF/13E12FAC1BD 996A4B0/1?accountid=31324 pada tanggal 16 Mei 2013. Soler, Eva Alcon., dan Pitarch, Joseph-Guzman. 2010. “The Effect of Instruction on Learners’ Pragmatik Awareness: a Focus on Refusals” dalam International Journal of English Studies. 10 (1), 2010, pp. 65 – 80. Diakses dari http://revistas.um.es/ijes/article/view/113981/107971 pada tanggal 14 Maret 2013. Taguchi, Naoko. 2011. Teaching Pragmatics: Trends and Issues. Dalam Annual Review of Applied Linguistics (2011). 31, 289 – 310. Cambridge: Cambridge University Press. Doi: 10.1017/S0267190511000018, diakses dari http://search.proquest.com/docview/887087627/fulltextPDF/13DFE8EE40D 7CC15DE1/1?accountid=31324. Tan, Kim Hua., dan Farashaiyan, Atieh. 2012. „The Effectiveness of Teaching Formulaic Politeness Strategies in Making Request to Undergraduates in an ESL Classroom”. Dalam Asian Social Sciences. Vol. 8, No. 15. Doi: 10.5539/ass.v8n15p189, diakses dari http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/view/22661 pada tanggal 15 April 2013. Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: Introduction to Pragmatics. London: Longman Group Limited. V.G, Latha, dan Rajan, Premalatha. 2012. “Non-native Student’s Communication is Affected Due to the Lack of Pragmatic Competence” dalam English Language Teaching. Vol. 5, No. 2; February 2012. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/964018740/fulltextPDF/13E1B40AA8E 30EF498D/1?accountid=31324, pada tanggal 14 Maret 2013 Zhan, Lei dan Yan, Rong. 2012. „Impact of Immersion Teaching on English Sociopragmatic Awareness of Chinese Kindergarten Childern: A Polite Study” dalam International Education, Spring 2012; 41, 2. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/1022057329/fulltextPDF/13E1BECCA9 2670D3579/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Pebruari 2013.
18