PROCEEDING SEMINAR NASIONAL TEKNIK LINGKUNGAN II 2016 UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN, 12 NOVEMBER 2016
“Potensi, Peluang, dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
Lambung Mangkurat University Press
2016
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL TEKNIK LINGKUNGAN II 2016 “Potensi, Peluang, dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
Diterbitkan oleh: Lambung Mangkurat University Press, 2016 d/a Pusat Pengelolaan Jurnal dan Penerbitan Unlam Jl. H.Hasan Basry, Kayu Tangi, Banjarmasin 70123 Gedung Rektorat Unlam Lt 2 Telp/Faks. 0511-3305195
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak Buku ini sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan cara apa pun, baik secara mekanik maupun elektronik, termasuk fotocopi, rekaman dan lain-lain tanpa izin tertulis dari penerbit vii – 251 h 15,5 x 23 cm Cetakan pertama, November 2016
Editor
: Nida Salamah, Fatimah, Lianatul Munjiah, Lidya Mardhiati, Raudhatun Nisa, Elda Riyana, Lilis Suryani
Perancang Sampul : Muhammad Rizkiannur, Muhammad Rasyid Ridho ISBN: 978-602-6483-07-2
SEMINAR NASIONAL TEKNIK LINGKUNGAN II 2016 UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Dengan Tema “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” Disponsori Oleh:
Didukung Oleh: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan Pemerintah Kota Banjarmasin Pemerintah Kota Banjarbaru Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan Media Partner:
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan T antangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | ii
KATA PENGANTAR Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunianya, sehingga Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan (SNTL) II 2016 dapat tersusun dan diterbitkan. Proceeding ini merupakan kumpulan makalah dan hasil presentasi yang telah dilaksanakan selama berlangsungnya SNTL II 2016 yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 12 November 2016 di gedung Mahligai Pancasila, Banjarmasin. Seminar Nasional Teknik Lingkungan (SNTL) II 2016 mengangkat tema “Potensi, Peluang, dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” yang sesuai dan searah dengan visi misi Universitas Lambung Mangkurat dan program studi Teknik Lingkungan khususnya. Dengan diangkatnya tema tersebut diharapkan memberi pengetahuan untuk menggali potensi dan peluang di lahan basah dan membangun kesadaran untuk memanfaatkan sumber daya yang ada dengan bijak dengan menjaga kelestarian lingkungan lahan basah. Sebagai Keynote Speaker dalam acara seminar ini kami mengundang pakar dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (Direktorat Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan), Gubernur Kalimantan Selatan dan Walikota Banjarmasin. Dan untuk invited Speaker kami mengundang Guru Besar Teknik Lingkungan ITB, Guru Besar Teknik Sipil ITS, serta Peneliti/Dosen Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat. Kepada Bapak/Ibu Para Narasumber/Pembicara kami ucapkan banyak terimakasih atas kesediaannya mengisi materi pada acara seminar ini. Sedangkan sebagai peserta seminar hadir sekitar 190 orang, berasal dari kalangan para peneliti, praktisi, ilmuwan, akademisi, masyarakat umum dan mahasiswa. Atas partisipasi Bapak/Ibu dalam SNTL II 2016 kami ucapkan banyak terimakasih. Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak (sponsor, pendukung dan media partner) yang telah terlibat. Kami menyadari bahwa dalam pelaksanaan kegiatan dan penyajian buku ini masih jauh dari kata sempurna serta terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu, perkenankan kami memohon maaf atas kekurangan tersebut. Demikian secara singkat yang dapat panitia sampaikan, ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kami haturkan kepada semua pihak yang turut membantu suksesnya pelaksanaan kegiatan seminar sampai penerbitan Proceeding ini. Semoga Proceeding ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh peserta seminar khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Banjarbaru,
November 2016
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan T antangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | iii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul........................................................................................................................ i Kata Pengantar ......................................................................................................................... iii Sambutan Ketua Panitia............................................................................................................1 Sambutan Wakil Dekan II ........................................................................................................2 Sambutan Perwakilan Gubernur ...............................................................................................3 Keynote Speaker Ir. Wahyu Indraningsih, M.Sc (Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK) Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Gambut di Indonesia ................................................4 Ibnu Sina, S.Pi, M.Si (Walikota Banjarmasin) Rediscovery of Banjarmasin Blue Green Frame Work ...................................................8 Invited Speaker Moderator: Dr. Mahmud, S.T., M.T.............................................................................10 Invited Speaker 1 Prof. Ir. Noor Endah Mochtar, M.Sc., Ph.D (Guru Besar Teknik Sipil ITS) Pembangunan Jalan yang Berkelanjutan diatas Lahan Basah.......................................10 Invited Speaker 2 Prof. Ir. Suprihanto Notodarmojo, Ph.D (Guru Besar Teknik Lingkungan ITB) Mengkaji Potensi Pemanfaatan Air Gambut seb agai Sumber Air Minum ...................11 Invited Speaker 3 Dr. Nopi Stiyati Prihatini, S,Si., M.T. (Peneliti, Dosen Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat) Potensi Lahan Basah Buatan dalam Mengolah Air Asam Tambang Batubara .............13
Presentasi Paralel 1 M. Arsyad Pola Distribusi dan Dominansi Alga Mikro di Kawasan Persawahan Desa Sungai Lumbah Kabupaten Barito Kuala ...........................................................................................16
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan T antangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | iv
Muhammad Fauzi dan R. Nadiar Inovasi Agribisnis di Lahan Rawa Lebak Melalui Usahatani Padi Organik: Kajian Berdasar Perspektif Ekonomi Pertanian .................................................................................22 M. Ma’arij Harfadli dan B.Mu’min Pengaruh Jumlah Sinar Ultra Violet Terhadap Penurunan Kandungan Bahan Organik dan Warna di Dalam Pengolahan Air Gambut yang Dilanjutkan dengan Saringan Pasir Lambat ............................................................................................................28 Junius Akbar dan Syachradjad Fran Optimalisasi Pertumbuhan Ikan Papuyu (Anabas testudineus) Melalui Pemberian Pakan yang Mengandung Fitase dan Kromium Trivalen (Cr+3) ...........................................36 Maulinna Kusumo Wardhani Model Dinamik Konsentrasi Nutrien di Perairan Estuaria .....................................................43 Rosalina Kumalawati, Farida Angriania dan Desy Iswayuni Pemetaan Kerentanan Bencana Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan .................................................................................................................52 Rony Riduan dan Rijali Noor Penyusunan Model Numerik Pergerakan Bahan Toksik di Saluran Reklamasi Unit Terantang ................................................................................................................................57 Rhaptyalyani Herno Della, Nyimas Septi Rika Putri dan Rika Nabila Identifikasi Karakteristik Kawasan Kumuh Pada Daerah Ilir Sungai Musi Palembang...............................................................................................................................68 Agung Waskito, H. Badaruddin Mu’min dan Chairul Abdi Penyisihan Zat Organik dan Warna pada Pengolahan Air Gambut dengan Menggunakan Saringan Pasir Lambat ....................................................................................79 Muthia Elma, Isna Syauqiah, Yulian Firmana Arifin, Nurhakim, Agus Traintoro, Nor Aldina, dan Hesti Kesumadewi Pengaruh Penambahan Zat Aditif Organik Pada Proses Ekstrusi Tanah Lempung Gambut Kalimantan Selatan ...................................................................................................87 Bunda Halang, Nurul Mutmainnah Ibrahim, dan Naparin Pengukuran Kadmium (Cd) dan Besi (Fe) Pada Ikan Kakap Putih (Lates Calcarifer) di Perairan Sungai Asam-Asam Sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kabupaten Tanah Laut ....................................................................................................94
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan T antangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | v
Sugeng Nuradji Keterlibatan Typha angustifolia L dalam Menurunkan Kandungan BOD, COD dan Pb Bahan Pencemar Limbah Lindi pada Lahan Basah Buatan....................................101 Muhammad Irfa’i Kuantitas dan Kualitas Lindi TPA Sampah Lahan Pasang Surut di TPA Banjarmasin Indonesia..........................................................................................................113 Rizqi Puteri Mahyudin Tantangan Pengelolaan TPA Sampah di Lahan Rawa: Studi Kasus TPA Basirih Banjarmasin ..........................................................................................................................122 Fatimah Juhra dan Suprihanto Notodarmodjo Degradasi Zat Warna pada Air Gambut Menggunakan Metode Koagulasi sebagai Proses Pendahuluan ..............................................................................................................130
Presentasi Paralel 2 Yuswinda Febrita Studi Pengaruh Bahan Penutup Permukaan Tanah di Ruang Terbuka Hijau Terhadap Perubahan Suhu Udara .........................................................................................140 Hamdani Fauzi Pemberdayaan Peladang Berpindah: Kasus Etnis Dayak Harakit, dan Dayak Loksado di Provinsi Kalimantan Selatan..............................................................................151 Dienny Redha Rahmani, Wahyunah dan Virgina Maria Louisa Analisis Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Keberadaan Pohon pada Ruang Hijau Pribadi di Permukiman Baru Daerah Loktabat Utara Kota Banjarbaru.............................................................................................................................156 Meilana Dharma Putra, Yuli Ristianingsih, Rinny Jelita dan Iryanti F. Nata Fungsionalisasi Katalis Heterogen dari Limbah Cangkang Telur dan Tandan Kosong Sawit ........................................................................................................................164 Rahmad Fajar, Rd. Indah Nirtha N. dan M. Firmansyah Pengoptimuman Rute Pengangkutan Sampah di Kabupaten Tapin Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) ....................................................................................................170 Fitriani, Rd. Indah Nirtha NNPS dan Fakhrur Razie Pengaruh Pemberian Bahan Organik Campuran pada Sistem Resapan Biopori Modifikasi Terhadap Sifat C-Organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) sebagai Teknik Konservasi Tanah .....................................................................................................178
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan T antangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | vi
Hj. Markiyah, Rony Riduan dan Riza Miftahul Khair Identifikasi Jenis Sedimen Melalui Uji Tekstur dan Konsentrasi Eh Sedimen Kolam Pengendap Di PT Semesta Centramas ......................................................................186 Melida Rima Fatimah, Andy Mizwar, Novi Stiyati dan Rizqi Puteri Mahyudin Perbandingan Proses Composting Metode Open Windrow dan Aerated Static Pile Terhadap Peningkatan Kualitas Kompos..............................................................................192 Raissa Rosadi Teknik Desalinasi – Potensi Desalinasi Air Laut dalam Bidang Industri ............................197 Khalida Dian Nurlaily Aldis Pemanfaatan Limbah Plastik Menjadi Bahan Bakar ............................................................206 M. Rasyid Ridha, Nur Afrida R, Upik K Hadi, Elok B. Retnani, Riza M. Khair dan Paisal Vektor Potensial Filariasis dan Tipe Habitatnya di Daerah Endemis Di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah..................................................................................................215 Lia Kurnia Putri, Chairul Abdi dan Riza Miftahul Khair Pengaruh Variasi Waktu Tinggal Terhadap Kinerja Sistem Rotating Biological Contactor (RBC) Dalam Efisiensi Penurunan Kadar BOD (Studi Kasus IPAL Lambung Mangkurat) ...........................................................................................................226 M. Hendra Firmadi Perbandingan Aplikasi Model Dispersi Polutan pada Sumber Emisi Industri Tidak Bergerak................................................................................................................................238 Ridha Audina, Chairul Abdi dan Riza Miftahul Khair Evaluasi Pengaruh Kesesuaian Dimensi, Debit, Waktu Tinggal dan Beban Permukaan Terhadap Kinerja Unit Pengolahan Air Limbah (Studi Kasus IPAL Lambung Mangkurat PD PAL Kota Banjarmasin) ..............................................................242 Anang Kadarsah dan Arif Mulyanto Aktivitas Antropogenik dan Diversitas Tanaman Obat Pada Pekarangan Rumah dan Pesisir Pantai (Studi Kasus Desa Sungai Bakau, Kabupaten Tanah Laut) ....................253 Ma’ruf Pengaruh Ukuran Partikel Terhadap Kekuatan Tekan Komposit Polyester Diperkuat Purun Tikus..........................................................................................................263 Ibrahim Sota dan Fahruddin Interpretasi Struktur Bawah Permukaan di Karang Anyar Kota Banjarbaru .......................267 Dokumentasi Kegiatan..........................................................................................................275
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan T antangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | vii
ISBN: 978-602-6483-07-2
Sambutan Ketua Panitia M. Ari Purnadi Seminar Nasional Teknik Lingkungan 2016 mengangkat tema “Potensi, Peluang, dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” yang sesuai dan searah dengan visi misi Universitas Lambung Mangkurat dan program studi Teknik Lingkungan khususnya. Pelaksanaan acara ini bertujuan untuk menggali potensi serta peluang yang ada pada lahan basah karna saat ini masih banyak masyarakat yang belum paham dan mengerti potensi yang dapat dimanfaatkan. peserta seminar yang hadir sekitar 190 orang, berasal dari kalangan para peneliti, praktisi, ilmuwan, akademisi, masyarakat umum dan mahasiswa. Dengan diangkatnya tema tersebut diharapkan memberi pengetahuan untuk menggali potensi dan peluang di lahan basah dan membangun kesadaran untuk memanfaatkan sumber daya yang ada dengan bijak dengan menjaga kelestarian lingkungan lahan basah. Semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat untuk kita semua.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 1
ISBN: 978-602-6483-07-2
Sambutan Perwakilan Rektor dan Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Maya Amalia, S.T., M.T. Wakil Dekan II (Bidang Umum, Administrasi Keuangan) Tema dalam Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat 2016 ini sesuai dengan visi misi Universitas Lambung Mangkurat dan program studi Teknik Lingkungan yang tidak jauh-jauh tentang lahan basah. Tantangan dari pembangunan adalah mampu berkelanjutan. Oleh karena itu, diharapakan dengan adanya seminar tentang lahan gambut yang diadakan ini, mampu membuka wawasan dan meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai lahan basah. Melalui seminar ini, Harapannya mahasiswa akan lebih mengetahui tentang bagaimana cara pengelolaan lahan basah. Sehingga mahasiswa dapat turut andil dalam pembangunan yang berkelanjutan di kalimantan selatan.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
2 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Sambutan Perwakilan Gubernur Kalimantan Selatan Ir. H. Muhammad Djaseran, MSP Asisten Bidang Pembangunan Kalimantan dengan potensi lahan gambut yang cukup luas salah satunya adalah daerah Kalimantan Selatan. Adanya lahan gambut dapat memberikan dampak positif maupun negatif di daerah kita. Salah satu dampak negatif yang biasanya terjadi adalah kebakaran pada daerah lahan gambut. Hal tersebut diakibatkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh sebagian masyarakat tentang bagaimana cara mengelola lahan gambut yang tersedia. Harapannya dengan adanya kegiatan seperti seminar mengenai lahan gambut dapat memicu sebagian masyarakat untuk lebih mengetahui tentang lahan gambut. Dengan pengetahuan masyarakat yang memadai mengenai lahan gambut akan meningkatkan pengelolaan yang maksimal terhadap lahan gambut yang ada. Oleh karena itu, saya menyampaikan dukungan atas terselenggaranya Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat 2016 ini. Saya berharapa kedepannya, masyarakat dan pemerintah dapat bersinergi dalam memanfaatkan dan mengelola potensi lahan gambut di Kalimantan Selatan, dalam upaya meningkatkan pembangunan di daerah lahan basah.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 3
ISBN: 978-602-6483-07-2
Keynote Speaker Keynote Speaker 1 Moderator: Reyzandi, S.T. Keynote speaker pada sesi pertama ini adalah Ir. Wahyu Indraningsih, M.Sc. Beliau adalah direktur pengendalian kerusakan gambut dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ibu Ning akan menyampaikan materi tentang kebijakan pengelolaan ekosistem gambut di Indonesia. Dipersilakan kepada ibu Ning memberikan materi dalam waktu 20 menit dan akan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab selama 10 menit. Untuk para peserta, semoga dapat menambah wawasan dan informasi kita, bagaimana kondisi lahan gambut terutama di Kalimantan Selatan.
Materi: Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Gambut di Indonesia Ir. Wahyu Indraningsih, M.Sc Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Lahan gambut di Indonesia adalah lahan gambut terluas ke-4 di dunia setelah kanada, rusia dan amerika serikat, dan merupakan lahan gambut tropika terluas di dunia. Indonsia menyimpan cadangan karbon gambut mencapai 46 giga ton, atau sekitar 8-14% dari karbon yang terdapat dalam gambut dunia. Manfaat ekosistem gambut yaitu sebagai mata pencaharian masyarakat lokal (perikanan, pertanian, perkebunan), pengendali banjir dan suplai air, potensi wisata,stabilitas iklim, keanekaragaman hayati, sarana pendidikan dan penelitian. Proses pembentukan gambut bermula dari adanya genangan di daerah rawa, danau dangkal atau daerah cekungan yang secara berangsur-angsur ditumbuhi oleh tumbuhan air dan vegetasi lahan basah. Tumbuhan yang mati melapuk tidak sempurna dan secara bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut, sehingga genangan tersebut terpenuhi timbunan gambut. Selama 30 tahun lebih, pengelolaan lahan gambut kurang memperhatikan penerapan prinsip pemanfaatan berkelanjutan, hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai masalah, seperti: 1. Terjadi degradasi fungsi ekosistem gambut 2. Pengembangan lahan gambut (PLG 1 juta ha). 3. Kemerosotan keanekaragaman hayati. 4. Kebakaran hutan/lahan gambut, gangguan asap lintas batas, banjir, subsiden, dll. 5. Masalah sosio-ekonomi (hilangnya pencaharian/peluang usaha masyarakat setempat).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
4 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Oleh karena itu Perlu kesamaan pandang dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, Tujuannya adalah untuk menyelamatkan fungsi ekosistem gambut, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, Perlindungan dan pengelolaannya didasarkan pada satu Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Penetapan fungsi ekosistem gambut (berdasarkan PP no.71/2014) dengan kriteria penetapan : 1. Fungsi lindung ekosistem gambut paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas kesatuan hidrologis gambut serta terletak pada puncak kubah gambut dan sekitarnya; 2. Dalam hal di luar 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas kesatuan hidrologis gambut, dimana masih terdapat : • Gambut dengan ketebalan 3 (tiga) meter atau lebih; • Plasma nutfah spesifik dan/atau endemik; • Spesies yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan/atau • Ekosistem gambut yang berada di kawasan lindung sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi, menteri menetapkan sebagai fungsi lindung ekosistem gambut. Pengelolaan ekosistem gambut meliputi: 1. Pemanfaatan ekosistem gambut yaitu Fungsi lindung (untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, jasa lingkungan), Fungsi budidaya (untuk semua kegiatan), Wajib menjaga fungsi hidrologis 2. Pengendalian, yang terdiri dari Pencegahan (kriteria baku kerusakan), Penanggulangan dan Pemulihan. Adapun Kriteria baku kerusakan gambut sebagai berikut: a. Pada kawasan Fungsi lindung terdapat drainase buatan, tereksposenya sedimen berpirit dan atau kwarsa dan berkurangnya tutupan lahan b. Pada kawasan fungsi budidaya tinggi muka air tanah 0,4 m, tereksposenya sedimen berpirit dan atau kwarsa. 3. Penanggulangan, meliputi pemadaman kebakaran, isolasi area yang terkespose sedimen berpirit dan atau kwarsa, pembuatan tabat , bangunan pengendali air 4. Pemulihan, berupa suksesi, restorasi, dan rehabilitasi. Terdapat beberapa Inovasi pengelolaan ekosistem gambut tata kelola air yang meliputi zonasi air, jaringan hidrologi dan bangunan air. a. Perencanaan pembuatan desain kanal (kanal dibuat mengikuti pola garis kontur). • Kanal utama (saluran drainase primer) dibuat tegak lurus terhadap garis kontur; • Jalan dibuat tegak lurus terhadap garis kontur (sejajar dengan kanal utama); • Kanal cabang (saluran drainase sekunder dan tersier) dibuat sejajar dengan garis kontur. b. Tata kelola air berdasarkan pola garis kontur (kanal dan blok/kompartemen lahan dibangun dengan mengikuti kontur): dibangun sekat kanal (canal blocking) pada setiap perbedaan ketinggian lahan dan pengaturan sirkulasi airnya. c. Modifikasi tata kelola air berdasarkan pola garis kontur (zonasi pengelolaan air).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 5
ISBN: 978-602-6483-07-2
Modifikasi dilakukan dengan membangun sekat kanal (canal blocking) pada setiap perbedaan ketinggian lahan, dan pengaturan sirkulasi airnya melalui bangunan pengendali (dam pengendali) untuk menjaga aerasi tetap berjalan. d. Pembuatan zonasi pengelolaan air • Zonasi pengelolaan air dibuat berdasarkan hasil pengukuran ketinggian muka air tanah; • Klasifikasi/pembagian zonasi didasarkan pada perbedaan ketinggian muka air tanah pada setiap kompartemen; • Nilai ketinggian muka air tanah dalam satu range yang sama dikelompokkan menjadi satu cluster zonasi pengelolaan air. • Perbedaan ketinggian muka air tanah pada setiap zonasinya mencerminkan perbedaan ketinggian permukaan lahan. e. Pembuatan tabat (canal blocking). f. Pencegahan kebakaran di lahan gambut melalui mekanisme pembasahan (rewetting system).
Sesi Tanya Jawab Pertanyaan 1. Ulfa Yuliati (ULM): Apakah sudah dipetakan untuk kanal block dan bangunan pengendali untuk lahan gambut di Kalimantan Selatan? 2. Sugeng Nuradji (Poltekes, Palu): Dari lahan basah yang begitu luas, jenis-jenis tanaman apa saja yang lebih dominan yang bisa digunakan untuk mereduksi cemaran di wilayah Kalimantan Selatan dimana banyak polutan dari industri seperti logam berat? Mengapa tidak dikembangkan mangrove yang dapat mereduksi cemaran tersebut? 3. Rizqi Puteri Mahyudin (ULM): Kira-kira faktor apa saja yang menyebabkan kehilangan air begitu banyak di lahan gambut. Kemudian bagaimana hubungannya antara penggunaan air atau pemanfaatan air kaitannya dengan kegiatan pertanian dan perikanan di lahan gambut? Jawaban/Tanggapan 1. Kanal sudah dipetakan. Yang baru dipetakan dalam kerapatan. Tapi kalau untuk dimensi kedalaman, tinggi muka air, masih banyak upaya yang masih harus mengarah kesana. Kemudian untuk kanal blokking itu juga masih belum terstruktur dengan baik. Karena, titik koordinat belum jelas. 2. Berbicara tentang lahan gambut, yang saya kemukakan ini belum menyentuh yang hilir termasuk di pesisir. Jadi, mangrove tidak kami singgung disini. Spesies tanaman yang dominan sudah kami identifikasi, tetapi mangrove tadi memang bisa dilakukan di daerah
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
6 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
hilir. Kemudian juga terkait dengan pencemaran di lahan gambut, terutama dari sawitdan HTI kami tadi hanya mengemukakan yang terkait akar permasalahn pengelolaan bukan degradasi gambut terutama dari kerusakan, belum dari aspek pencemaran. Kalau dari aspek pencemaran ada beberapa hal yang harus dilakukan. Jadi yang kami kemukakan adalah bagaimana kita melakukan solusi untuk mempertahankan air (dari aspek hidrologi). Untuk menangani kasus di lahan gambut kita harus mengetahui karakter atau potensi terjadinya pencemaran atau kerusakan. Kita harus punya peta secara menyeluruh. Kita masih kekurangan data dan informasi, jadi perlu dilakukan secara sistematis. 3. Kehilangan air di lahan gambut karena di drainase. Air sengaja dihilangkan untuk tanaman kering, tanaman yang bukan tanaman asli lahan basah. Itulah yang menguras sebagian besar air. Dalam kesatuan hidrologis gambut (KHG) kalau satu terganggu menyebabkan yang lain terganggu. Maka solusinya antara lain bagaimana berkolaborasi antara yang satu ke yang lain dan harus melihat landuse. Jadi harus mempertahitak landuse, dan kebutuhan air. Maka dari itu sebuah perencanaan yang berbasis landscape kemudian terpadu dalam satub kesatuan KHG ini adalah sebuah paradigma yang harus kita bisa implementasikan dalam rangka melaksanakana amanat. Secara bertahap kita sudah ada model bagaimana pengelolaan terpadu berkolaborasi dalam satuan KHG termasuk juga kita sedang menyusun bagaiman modelling didalam satu kesatuan KHG terkait dengan hidrologi. Kemudain juga kalau terkait dengan karbon juga seperti itu. Pendugaan karbon jnuga bisa kita hitung disana, sedang dalam proses model sehingga nanti kolaborasi secara ekonomi, lingkungan sosial itu bisa kita lakukan sebuah perencanaan yang lebih baik berbasis karakteristik mempertimbangkan berbagai aspek dan potensi.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 7
ISBN: 978-602-6483-07-2
Keynote Speaker 2 Moderator: Aulia Gusrina Zuz, S.T. Untuk keynote speaker kedua kita adalah walikota Banjarmasin yaitu Ibnu Sina, S.Pi, M.Si. Beliau akan menyampaikan materi bertemakan Rediscovery of Banjarmasin Blue Green Frame Work. Ini merupakantema yang sangat menarik untuk dibahas. Langsung saja saya persilakan kepada Bapak, untuk menyapaikan materi selama 15 menit.
Materi: Rediscovery of Banjarmasin Blue Green Frame Work Ibnu Sina, S.Pi, M.Si Walikota Banjarmasin Kota Banjarmasin 75% wilayahnya tertutup oleh bangunan permukiman, perkantoran, bangunan perdagangan dan jasa dll. Sehingga keberadaan sungai banyak yang tidak berfungsi lagi sedangkan pada tempo dulu sungai merupakan urat nadi kehidupan budaya dan perekonomian Kota Banjarmasin. Tinggi permukaan air sungai dipengaruhi oleh pasang surut dengan perbedaan tinggi sampai dengan 2 meter, ditambah kiriman air banjir dari hulu Sungai Barito dan Sungai Martapura serta curah hujan yang cukup tinggi sampai 300 millimeter. Kota Banjarmasin sendiri Terletak di daerah hilir sungai sehingga rawan terjadinya banjir besar, apabila 3 (tiga) fenomena di atas terjadi bersamaan. Banjarmasin sebagai kota sungai (lahan basah) memiliki isu pembangungan dan lingkungan yang khas, dimana strategi berbeda dengan daerah dataran lainnya. Isu-isu yang menjadi perhatian di antaranya pemukiman kumuh di tepi sungai, penyempitan dan pendangkalan sungai, degradasi kualitas sungai, rendahnya kesadaran masyarakat, dan seiring perkembangan zaman orientasi peradaban sungai mulai ditinggalkan. Pemerintah kota Banjarmasin dalam mengatasi isu-isu ini telah membuat berbagai rencana. Di antarnya rencana pembuatan drainase sungai Banjarmasin; melakukan penataan kota dengan membuat siring di tepi sungai untuk tempat rekreasi; penataan pemukiman kumuh tepi sungai; restorasi sungai dan memanfaatkannya sebagai ruang publik, destinasi wisata dan akulturasi budaya dari masyarakat majemuk Banjarmasin; program normalisasi sungai; juga dibuat even seperti perlombaan sebagai sarana sosialisasi ke masyarakat. Dengan hal ini diharapkan pembangunan kota Banjarmasin menjadi kota besar dengan peradaban khasnya dapat dicapai. Rencana program restorasi sungai pada penerapan revisi tata ruang dengan sistem blue green frame work. Teori yang dipakai dalam penanganan banjir Kota Banjarmasin serupa dengan penanganan banjir Kota Amsterdam di Belanda. Kalau di Amsterdam menggunakan pola folder dan kanalisasi, untuk Banjarmasin cukup dengan mewujudkan kembali sungai-sungai yang ada sebelumnya. Penanganan banjir akan lebih mudah apabila jaringan sungai
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
8 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
diintegrasi dengan restorasi kanal-kanal, sehingga menambah long storage (tampungan air). Tahapan penanganan restorasi sungai mulai dari jantung kota dengan melaksanakan program normalisasi sungai, program pemeliharaan sungai, kegiatan penyadaran/partisipasi kepada masyarakat akan keberadaan sungai, pemanfaatan restorasi sungai sebagai ruang publik dan destinasi wisata.
Sesi Tanya Jawab Pertanyaan/Saran 1. Prof. Ir. Noor Endah Mochtar, M.Sc, Ph.D (guru besar Teknik Sipil ITS): Kerja sama pemerintah daerah dengan perguruan tinggi sanagt diperlukan dalam merencanakan pembangunan,, karena dianggap lebih mudah dan dapat menghemat anggaran. Jika menggunakan jasa konsultan akan lebih mahal. Maka dari itu kerjasama pemerintah daerah dengan perguruan tinggi dalam menjalankan program untuk membuat kota Banjarmasin menjadi lebih baik. 2. Lisa Susdayanti (mahasiswa ULM): Apa tantangan terbesar untuk pengaplikasian atau implementasi sistem pembangunan berkelanjutan di Banjarmasin? Jawaban/Tanggapan 1. Kami banyak belajar dari Surabaya terkait dengan kerjasama lintas perkotaan. Banjarmasin merupakan salah satu dari 26 kota di Indonesia yang diperintahkan oleh KPK wajib bekerja sama dengan Surabaya untuk pengembangan E-government. Terkait dengan perguruan tinggi kami menyadari sepenuhnya bahwa ahli-ahli dan tenaga-tenaga yang mumpuni dalam bidangnya memang ada di kampus kami. Saya bersama rektor kampus ULM akan membangun satu kawasan lagi di kawasan kayutangi. Kampus ini menghadap ke jalan beranda depan. Maka desain yang akan datang akan menghadap sungai Pangeran. Hal ini mendapat dukungan penuh dari rektor kampus ULM untuk pembangunan Banjarmasin. Kemudia, kawasan kumuh di sungai Pasar lama. Ditata, dibenahi dan dicat warna-warni atas usul dari Fakultas Teknik ULM. Tidak sepeserpun uang APBD digunakan, dana didapat CSR berasal dari 11 perusahaan untuk membangun kawasan tsb. 2. Salah satu dari 3 kriteria dari kota yang nyaman yaitu sustainable dan kami komitmen untuk menjadikan kota Banjarmasin sebagai kota yang berkelanjutan dengan ditandatanganinya piagam kota hijau, Dan mudah-mudahan sustain atau tidaknya kota ini didukung oleh warga dan masyarakat termasuk perguruan tinggi. Rintangan terbesar itu justru ada dari masyarakat akibat tekanan jumlah penduduk. Saat ini saja kota Banjarmasin sudah menjadi kota terpadat di Kalimantan Selatan. Maka dari itu untuk menekan pertumbhuhan penduduk kami akan membangun rumah susun.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 9
ISBN: 978-602-6483-07-2
Invited Speaker
Moderator: Dr. Mahmud, S.T., M.T. Invited speaker pada sesi ini adalah Prof. Ir. Noor Endah Mochtar, M.Sc., Ph.D, Guru Besar Teknik Sipil ITS. beliau akan memaparkan mengenai Pembangunan Jalan yang Berkelanjutan diatas Lahan Basah. kemudian invited speaker kedua adalah Prof. Ir. Suprihanto Notodarmojo, Ph.D, beliau adalah Guru Besar Teknik Lingkungan ITB, yang akan memaparkan tentang Mengkaji Potensi Pemanfaatan Air Gambut sebagai Sumber Air Minum. dan invited speaker ketiga adalah Dr. Nopi Stiyati Prihatini, S,Si., M.T selaku Peneliti dan Dosen Teknik Lingkungan ULM yang akan memaparkan tentang Potensi Lahan Basah Buatan dalam Mengolah Air Asam Tambang Batubara. kesempatan pertama, saya persilakan kepada Prof. Endah.
Invited Speaker 1 Materi: Pembangunan Jalan yang Berkelanjutan diatas Lahan Basah Prof. Ir. Noor Endah Mochtar, MSc. PhD. Guru Besar Teknik Lingkungan ITS Di Indonesia terdapat 2 macam lahan yaitu lahan basah dan lahan gambut. Lahan basah dan lahan gambut adalah 2 jenis lahan yang berbeda. Lahan basah merupakan wilayah-wilayah dimana tanahnya jenuh dengan air. Sedangkan lahan gambut merupakan lahan rawa yang ditutupi oleh sisa tanaman yang sebagian telah melapuk atau terdekomposisi. Dewasa ini, kerusakan lahan gambut ternyata dapat menyebabkan pemanasan global. Contohnya adalah kerusakan lahan gambut yang disebabkan oleh manusia yaitu pembakaran lahan gambut yang setelah dibakar digunakan sebagai perkebunan. Selain pembukaan lahan sebagai perkebunan, lahan basah juga digunakan sebagai pembangunan jalan. Namun, pembangunan jalan pada lahan basah tentunya ada permasalahan besar yang akan kita temui salah satunya adalah akibat dari sifat tanah gambut yang menyebabkan pemampatan yang besar dan daya dukung tanah yang rendah sehingga menyebabkan kerusakan pada jalan. Namun kerusakan tersebut dapat di tangani dengan beberapa cara diantaranya yaitu dengan cara kontruksi jalan yang berkelanjutan dan konstruksi penahan timbunan tanah di sisi jalan. Dengan cara konstruksi jalan yang berkelanjutan diantaranya yaitu jalan dengan konstruksi ringan, Dipasang geotextile atau corduroy dibawah timbunan jalan untuk perkuatan, Dipasang cerucuk kayu atau micropile, Konstruksi pile slab, dan Sistim preloading untuk meningkatkan kemampuan mendukung beban. Sedangkan cara kontruksi penahan timbunan tanah di sisi jalan di antaranya yaitu Anyaman bamboo dan batu pecah Rip rap atau gabion, dan Turap baja atau beton.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
10 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Invited Speaker 2 Materi: Mengkaji Potensi Pemanfaatan Air Gambut sebagai Sumber Air Minum Prof. Ir. Suprihanto Notodarmojo, Ph.D Guru Besar Teknik Lingkungan ITB Prospek Teknologi Pengolahan Air Gambut dari Studi Laboratorium Karakteristik umum air gambut yaitu, keasaman yang tinggi (pH rendah, 3-6) yang disebabkan keberadaan asam humic, fulvic dan asam organik lain; intensitas warna tinggi (kuning kecoklatan) disebabkan oleh kehadiran zat organik yang terlarut atau terdispersi; intensitas warna semakin tinggi bila terbentuk senyawa komplek organik dengan logam (ligand) seperti Fe dan Mn; kandungan zat organik tinggi sebagai hasil degradasi biomass utamanya tumbuhan; kekeruhan dan kandungan suspensi yang rendah dan alkalinitas rendah. Karena karaktersitiknya tersebut, maka diperlukan pengolahan air gambut. Teknologi Pengolahan Air Gambut Konvensional: • Pengolahan konvensional: proses berbasis koagulasi-flokulasi dikuti sedimentasi-filtrasidesinfeksi. • Varian proses konvensional untuk pengolahan air gambut antara lain: – Aerasi-koagulasi-flokulasi-sedimentasi-filtrasi-pH-desinfeksi – Prechlorinasi-aerasi-koagulasi-flokulasi-sedimentasi-filtrasi-pH-desinfeksi – Penambahan lempung lokal-koagulasi-flokulasi-sedimentasi-filtrasi-pH-desinfeksi – Prechlorinasi-aerasi-penambahan lempung lokal-koagulasi-flokulasi-sedimentasifiltrasi-pH-desinfeksi Koagulasi-flokulasi merupakan proses destabilisasi koloid dan suspensi partikel halus yang terdispersi sehingga bisa bergabung menjadi flok yang lebih besar dan dapat diendapkan secara teknis dan ekonomis. Destabilisasi koloid melibatkan proses penggabungan partikel akibat gaya tarik London van der Waals dan mekanisme adsorpsi dari partikel halus maupun yang terdispersi tersebut pada flok dan atau presipitat hidroksida logam yang terbentuk. Double stage coagulation, Koagulasi ini dilakukan dalam dua tahapan, Flok dari koagulasi tahap pertama menjadi inti flok pada flokulasi tahap kedua. Penggunaan koagulan untuk kondisi optimum lebih efisien hingga 2/3 dari dosis normal optimum. Hasilnya Penurunan warna lebih banyak, namun Membutuhkan tambahan unit reaktor koagulan. Elektrokoagulasi memanfaatkan proses elektrolisa logam aluminium sebagai anoda. Dalam proses elektrolisa tersebut ion Al3+ akan dilepas dan berfungsi sebagai kation yang akan mengurangi muatan elektrostatis koloid dan zat organik dengan BM besar. Hasil koagulasi
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 11
ISBN: 978-602-6483-07-2
lebih baik bila dibandingkan dengan koagulasi dengan garam Alumnium (tawas atau PAC) tetapi biaya listrik tinggi. Pretreatment untuk pengolahan air gambut • Pretreatment : pada umumnya merupakan proses pengkondisian agar proses berikutnya bekerja lebih efisien. Beberapa jenis pretreatment: – Aerasi: mengoksidasi besi dengan oksigen yang berasal dari udara dan deaerasi gas gas yang tidak dikehendaki dalam air gambut (CO2, H2S dan gas lain) – Prekhlorinasi: mengoksidasi Fe dan Mn organik dan melepaskannya dari ikatan organik – Penambahan lempung lokal: bersifat sebagai inti flok sekaligus sebagai adsorbent warna yang kemudian mengendap bersama flok – Penambahan kapur atau Sodium bicarbonate untuk meningkatkan pH dan alkalinitas. Tanah lempung gambut bisa diaplikasikan langsung sebagai koagulan dan sorbent tapi kurang efektif. Tanah lempung gambut bisa diolah menjadi: – Ekstraksi alum menjadi koagulan cair – Diimpregnasi dengan asam menjadi sorbent • Tanah lempung gambut sebagai coagulant aid yang berfungsi sebagai inti flok Post treatment umumnya diperlukan karena hasil pengolahan dengan unit konvensional masih menyisakan warna. Sisa warna yang menunjukkan eksistensi zat organik harus diminimalkan untuk mengurangi resiko kehadiran zat organik prekursor THM akibat desinfeksi menggunakan khlor. Sisa warna diduga dari senyawa organik dengan BM yang kecil dan hidrophilik sehingga sulit diadsorpsi oleh flok yang ada. Adsorpsi menggunakan karbon aktif cukup baik untuk digunakan sebagai post treatment bila warna sudah dibawah 30 PtCo. Namun harganya relatif mahal dan secara periodik harus diganti. Regenerasi karbon aktif belum dilakukan secara komersial di Indonesia sehingga menimbulkan masalah baru, yaitu limbah karbon aktif. Penelitian Post Treatment pengolahan warna selain dengan karbon aktif • Aplikasi advance oxidation process (AOP) – Penggunaan ZnO sebagai fotokatalis – Penggunaan TiO2 sebagai fotokatalis • Penggunaan ozon Dapat disimpulkan bahwa: • Air gambut yang potensial digunakan sebagai sumber air baku dengan pengolahan konvensional adalah yang mempunyai warna < 200 PtCo. • Perlu tambahan pretreatment dan post treatment yang relatif mahal bila air gambut dengan warna >200 PtCo akan digunakan sebagai air baku air minum.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
12 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
•
•
Penambahan lumpur gambut lokal sebagai Coagulant aid diikuti oleh proses konvensional perlu diteliti lebih lanjut walaupun aplikasi teknologi ini untuk air gambut dengan warna yg tidak terlalu tinggi cukup sukses. Pengaturan pH dan penambahan lempung gambut sebagai coagulant aid dan koagulasi secara bertahap perlu ditelaah lebih lanjut.
Invited Speaker 3 Materi: Potensi Lahan Basah Buatan dalam Mengolah Air Asam Tambang Batubara Dr. Nopi Stiyati Prihatini, S,Si., M.T. Peneliti, Dosen Teknik Lingkungan ULM Kalimantan Selatan memiliki lahan rawa yang luasnya mencapai 1.140.207 Ha dan dari jumlah tersebut yang berpotensi untuk direklamasi guna dikembangkan menjadi lahan pertanian seluas 763.207 Ha, adapun sisanya dibiarkan sebagai daerah genangan (retarding basin) air dikala musim penghujan. Lahan rawa berfungsi sebagai habitat flora dan fauna, pengendali banjir, sumber plasma nutfah dan meningkatkan kualitas air dengan berperan sebagai filter. Pada penelitian Lahan Basah Buatan (LBB) dalam mengolah air asam tambang yang dilakukan, didapatkan hasil seperti Purun tikus (Eleocharis dulcis) dan Kiapu (Pistia stratiotes) yang ditanam pada LBB mampu menurunkan konsentrasi Fe dan Mn serta menaikkan pH pada air asam tambang batubara, Purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat tumbuh dengan baik di lahan basah buatan dengan rata-rata pertambahan tinggi 0,6 cm/hari, Purun tikus (Eleocharis dulcis) anakan dengan jarak tanam 15 cm merupakan desain paling tepat untuk memaksimalkan fungsi biofiltrasi purun tikus di LBB-AHBP kontinyu, Mikroorganisme yang terdapat di LBB skala laboratorium adalah bakteri Thiobacillus sp. dan Pseudomonas sp. Sedangkan pada LBB skala pilot terdapat bakteri genus Bacillus, Enterobacter, dan Staphylococcus (LBB-AHP); Pseudomonas, Thiobacillus, dan Staphylococcus (LBB-AHBP). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa teknologi LBB dapat digunakan untuk menyisihkan Fe dan Mn di AAT, penggunaan Purun tikus dan kiapu pada LBB sebagai spesies tumbuhan lokal terbukti dapat menyisihkan Fe dan Mn di AAT, kombinasi dari beberapa spesies tumbuhan dapat meningkatkan akumulasi Fe dan Mn dan kinerja LBB, penentuan tingkatan umur dan jarak tanam Purun tikus di LBB dapat mempengaruhi kinerja LBB, terdapat mikroorganisme pengoksidasi besi di LBB, perbedaan cara pengaliran air limbah ke LBB mempengaruhi kinerja LBB.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 13
ISBN: 978-602-6483-07-2
Sesi Tanya Jawab Pertanyaan 1. Anang Kadarsah (MIPA ULM): Pertanyaan pertama saya ajukan kepada ibu Nopi. Tadi anda menyatakan bahwasanya kalau berhenti menggunakab lahan basah buatan intinya akan menurunkan pH dan sebagainya. Tapi disisi lain, ada dampak lain yang timbul misalnya setelah lahan basah itu tersaring maka dia akan munculkan komunitas lain misalnya seperti nyamuk dan itu akan menimbulkan penyakit baru. Bagaimana upaya anda untuk mengatasi masalah tersebut? Pertanyaan kedua untuk ibu Noor Endah. Karakter atau struktur geotextile yang digunakan untuk jalur kereta api dan jalan raya apakah sama atau berbeda. Lalu untuk pengaruhnya terhadap tekanan tanah? 2. Sugeng Nuradji (Palu): Pertanyaan pertama saya tujukan kepada Prof. Suprihanto. Apakah tidak ada teknologi yang lebih sederhana tapi aplikatif untuk masyarakat dalam mengolah air gambut? Pertanyaan kedua saya tujukan untuk ibu Nopi. Apakah sudah memenuhi kriteria dari subsurface untuk lahan basah buatan kalau misalkan kajiannya sangat pendek sekitar 3-5 hari? Apakah memenuhi kriteria itu sehingga reduksinya masih belum terlalu tinggi? Kemudian untuk lahan basah buatan tidak semua spesies tanaman cocok untuk lahan basah buatan. 3. Rony Riduan (ULM): Pertanyaan ini saya tujukan kepada Prof. Suprihanto. Selain dari tanah gambut, kami juga mengalami permasalahan, tanah di kalsel juga didominasi lahan sulfat masam. Biasanya didataran ini sumber air bakunya yang dimanfaatkan dari air hujan dan dari air tanah. Karakteristik air tersebut cukup berbeda dengan air yang dari tanah gambut. Secara visual saja sudah tidak layak dikonsumsi. Bagaimana pengolahan air di wilayah tersebut?
Jawaban/Tanggapan 1. Dr. Nopi Stiyati Prihatini, S,Si., M.T. (menjawab pertanyaan bapak Anang Kadarsah): Lahan basah buatan itu sangat luas dan banyak macamnya, jadi kalau tujuannya adalah mengolah limbah domestik skala rumahan, yang harus dihindari adanya genangan air. Berarti yang dipilih adalah lahan basah aliran bawah permukaan. Memang kalau ada genangan air itu berpotensi menimbulkan adanya nyamuk. Jadi menyesuaikan tujuan dan bisa juga ditanami tanaman yang ada bunganya jadibisa menjadi water garden. 2. Dr. Nopi Stiyati Prihatini, S,Si., M.T. (menjawab pertanyaan bapak Sugeng): Untuk desin lahan basah buatannya sudah kami upayakan sesuai kriteria desain. perbandingan panjang dan lebar sudah ada ketentuannya. Untuk HRT itu memang merupakan variasi. Jadi kami ingin mencoba untuk hari bagaimana kinerjanya, efisiensinya dan beberapa hari berikutnya untuk spesies tanaman kalau ingin mengaplikasi lahan basah buatan untuk sektor industri
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
14 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
atau pertamanan jadi didrainasenya bisa ditanami purun. Kemudian inventarisasi tanaman yang mungkin bisa digunakan itu saya ambil berdasarkan penelitian balai penelitian dan pengembangan rawa di Kalimantan Selatan. Jadi tanaman tersebut berpotensi sebagai biofilter bisa dipakai terintegrasi dalam lahan basah buatan untuk menyisihkan logam berat. 3. Prof. Ir. Noor Endah Mochtar, M.Sc., Ph.D (menjawab pertanyaan bapak Anang Kadarsah): Sebetulnya yang saya contohkan tadi kenapa jalan, karena jalan itu lebar dan yang penting lagi kalau konstruksi maka dia tidak boleh tergenang air. Kalau jalan kereta api itu tidak terlalu lebar seperti jalan raya sehingga mungkin akan lebih baik kalau jalurnya berada diatas tiang. Kemudian ada balok, kemudian diatasnya lagi ada beton untuk jalur rel kereta api. Dengan begitu, air tidak menggenangi jalur yang berada diatas, dan air bisa mengalir begitu saja. 4. Prof. Ir. Suprihanto Notodarmojo, Ph.D (menjawab pertanyaan bapak Sugeng): Dulu ada dari puslitbang sudah membuat proses pengelolaan memanfaatkan sejenis bumbu dapur dicampurkan kemudian ditambah dikoagulasi kemudian disaring. Hanya saja dosisnya tidak diukur, jadi sosisnya tinggi sekali. Itulah masalahnya, tapi mudah, masukkan ke ember kasih koagulan dan bumbu dapur lalu diaduk kemudian disaring. Saringan yang digunakan tidak perlu susah, cukup menggunakan kain. Tapi dalam konteks yang lebih teoritis masalahnya adalah bagaimana kita mengalahkan hukum alam. Air gambut itu merupakan air gambut yang terlarut. Seperti halnya garam yang terlarut. Untuk memisahkan sesuatu yang terlarut itu dibutuhkan energi yang besar. Energi yang besar itu bisa berupa energi kimia, bisa berupa energi fisik misalnya fisikokimia oksidasi. Jadi tetap saja konteks teknologi yang sekarang itu masih menjadipenelitian. Semoga suatu saat saya berharap di ULM ini justru yang bisa mengembangkan karena kondisi air gambutnya yang selalu ada. Semua paralel sudah berusaha bagaimana menyediakan air minum untuk daerah yang payau. Ada teknologi lain dengan teknologi membran. 5. Prof. Ir. Suprihanto Notodarmojo, Ph.D (menjawab pertanyaan bapak Rony Riduan): Pada saat pirit tersingkap ke udara maka oksigen akan mengoksidasi sulfida menjadi sulfat. Semua sulfat kecuali Pb itu akan larut. Yang larut itulah yang barangkali menjadikan kandungan besi tinggi dan sulfat itu akan menambah keasaman pirit. Sulfida yang tadinya bukan terlarut atau padatan kemudian terekspos ke udara. Lalu bagaimkana penanganannya. Saya kira prinsipnya adalah yang terlarut kita buat presipitas dulu. Besi bisa dibuat presipitas dengan mudah atau mengoksidasinya. Oksidasi besi harus kita naikkan dari valensi 2 ke valensi 3 atau gunakan cara lain misalnya dioksidasi dengan zat kimia yang lain yang oksidatornya kuat. Itu tentunya harus kita lakukan dulu simulasinya baru kita terapkan ke masyarakat.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 15
ISBN: 978-602-6483-07-2
POLA DISTRIBUSI DAN DOMINANSI ALGA MIKRO DI KAWASAN PERSAWAHAN DESA SUNGAI LUMBAH KABUPATEN BARITO KUALA M. Arsyad Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lambung Mangkurat Jl. Brigjend H. Hasan Basri No. 87 Kayutangi Banjarmasin 70123 Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRAK Alga merupakan organisme yang memerlukan Nitrogen dan Fosfor dalam pertumbuhannya. Kawasan persawahan adalah salah satu kawasan yang memilki kandungan Nitrogen dan Fosfor yang tinggi. Salah satu factor penyebabnya adalah penggunaan pupuk oleh petani. Secara ekologis alga berperan sebagai penyedia oksigen dan makanan (produsen) pada ekosistem perairan. Oleh karena itu penting untuk mengetahui keberadaan alga mikro di suatu ekosistem lahan basah atau perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola distribusi dan dominansi alga mikro di kawasan persawahan desa sungai lumbah kabupaten barito kuala. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif eksploratif dengan teknik pengambilan sampel secara acak beraturan. Pengambilan sampel menggunakan plankton net pada 24 titik litian dengan 3 kali pengulangan. Pola distribusi ditentukan dengan menggunakan rumus indeks Morisita dan Dominansi ditentukan dengan menghitung indeks Dominansi. Hasil penelitian menunjukkan ada 10 genus alga mikro yang memiliki pola distribusi seragam, yaitu Fragilaria, Tabellaria, Spyrogyra, Closterium, Merismopedia, Stauroneis, Terpsinoe, Chroococcus, Chlorococcum, dan Staurastrum. Sedangkan 2 genus alga mikro lain yang ditemukan memiliki pola distribusi mengelompok, yaitu Pinnularia dan Navicula. Nilai Indeks dominansi mikro alga di kawasan persawahan Desa Sungai Lumbah Kabupaten Barito Kuala adalah 0,652 yang berarti komunitas alga di kawasan tersebut adalah sedang. Kata Kunci: Pola Distribusi, Dominansi, Alga Mikro, Persawahan ABSTRACT Algae are organisms that require Nitrogen and Phosphorus for its growth. Paddy fields is one area that have Nitrogen and phosphorus are high. One cause is use of fertilizers by farmers. In aquatic ecosystems algae helpful as a provider of oxygen and food maker. It is therefore important to determine the presence of microalgae in a wetland or aquatic ecosystems. The objectives of the research were to determine the distribution patterns and the dominance of microalgae in paddy fields Sungai Lumbah village Barito Kuala Regency. The method used is descriptive exploratory with random sampling technique irregularly. Plankton net used for sampling at 24 points with 3 repetitions. The distribution pattern was determined using Morisita Index formula and Dominance is determined by calculating Dominance index. The results showed there were 10 genera of micro algae that have regular distribution pattern, its Fragilaria, Tabellaria, Spyrogyra, Closterium, Merismopedia, Stauroneis, Terpsinoe, Chroococcus, Chlorococcum, and Staurastrum. Two other micro algae genera were founded Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
16 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
have clumped distribution patterns, its Pinnularia and Navicula. Dominance index of micro algal in paddy fields Lumbah Sungai Barito Kuala is 0.652 its means microalgae communities in the region is medium. Keywords: Distribution Pattern, Dominance, Microalgae, Paddy fields
1.
PENDAHULUAN
Kabupaten Barito Kuala merupakan daerah yang emiliki kawasan persawahan. Kawasan persawahan di kabupaten tersebut sebagian besar adalah lahan gambut. Salah satu kawasan persawahang ada di Desa Sungai Lumbah Kecamatan Alalak. Pada umumnya daerah persawahan di kawasan tersebut diberikan pupuk. Pemberian pupuk bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan vegetatif tanaman padi, mempercepat pembelahan sel, pembentukan bunga dan biji, mempercepat pematangan buah dan memperkuat batang padi agar tidak mudah roboh. Pemberian pupuk berarti menambahkan unsur hara kepada tanah. Secara tidak langsung hal tersebut dapat mempengaruhi keberadaan makhluk hidup di ekosistem persawahan tersebut. Salah satu makhluk hidup yang ada di kawasan persawahan tersebut adalah Alga mikro. Menurut Roger (2011) Mikroalga memiliki peranyang sangat penting dalam rantai makanan karena merupakan produsen primer perairan. Alga memiliki habitat mulai dari perairan, baik air tawar maupun air laut, sampai dengan daratan yang lembab atau basah, alga yang hidup di air ada yang bergerak aktif ada yang tidak. Pertumbuhan dan reproduksi alga dipengaruhi oleh kandungan nutrien di dalam perairan. Kebutuhan akan besarnya kandungan dan jenis nutrien oleh alga sangat tergantung pada kelas atau jenis alga itu sendiri disamping jenis perairan dimana alga itu hidup. Berdasarkan hasil penelitian Simanjuntak (2009) tentang hubungan faktor lingkungan kimia, fisika terhadap distribusi plankton di perairan belitung timur, bangka belitung menunjukkan bahwa perubahan senyawa yang ada di lingkungan perairan misalnya Nitrit dapat mempengaruhi faktor lingkungan yang lain misalnya pH. Perubahan pH dapat mempengaruhi palnkton yang ada di kawasan tersebut. Nutrien yang paling penting untuk pertumbuhan alga adalah nitrogen dan fosfor. Nitrogen berperan dalam pembentukan sel, jaringan, dan organ tanaman. Beberapa anggota dari blue green alga mampu mengikat N dari udara. Pada tanaman padi persawahan tergenang, alga membantu mempertahankan jumlah N dalam tanah dengan menggunakan N dari udara. Alga mikro adalah produsen dalam ekosistem. Alga memiliki peranan utama dalam rantai makanan sehingga ia bisa menjadi indikator kualitas perairan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pola distribusi dan dominansi alga mikro di kawasan persawahan desa sungai lumbah kabupaten barito kuala
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 17
ISBN: 978-602-6483-07-2
2.
METODE PENELITIAN
Penelitian bersifat deskriptif eksploratif. Sampel penelitian diambil secara observasi. Teknik pengambilan sampel yaitu secara acak beraturan. Jumlah titik untuk pengambilan sampel adalah 24 titik. Pada masing-masing titik diambil sampel alga mikro dengan menggunakan Plankton Net nomor 25. Analisis pola disribusi dengan menggunakan rumus indeks Dispersi Morisita. Indeks Dispersi morisita yang digunakan berdasarkan rumus Brower et al. (1990) dalam Wulandari et. al. (2014) adalah sebagai berikut
(1) Keterangan: iẟ = Indeks Dispersi Morisita n = Jumlah Unit Pengambilan Contoh N = Jumlah seluruh individu organisme ∑X2= Jumlah Kuadrat Individu Stasiun Pola sebaran fitoplankton dalam lokasi penelitian diduga dengan menggunakan kriteria berikut: Iδ = 1; pola sebaran acak; Iδ < 1; pola sebaran seragam ; dan Iδ > 1; pola sebaran berkelompok .Untuk mengetahui adanya dominansi jenis tertentu diperairan dapat digunakan rumus indeks Dominansi (Fahrul, 2007) ni 2
𝐶 = ∑ (𝑁 )
(2)
Keterangan: C = Indeks Dominansi ni = Jumlah Individu tiap Jenis N = Jumlah Individu Seluruh Jenis Kriteria : Indeks Dominansi antara 0 – 1 D≤0,5 : tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya D≥0,8 : terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengambilan data tentang Pola Distribusi Alga Mikro di kawasan persawahan Desa Sungai Lumbah diperoleh data Indeks Morisita sebagai berikut
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
18 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 1. Nilai Indeks Morisita dan Pola Distribusi Masing-masing Genus Alga Mikro No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Genus Fragilaria Tabellaria Spyrogyra Gonatozygon Pinnularia Navicula Merismopedia Stauroneis Terpsinoe Chroococcus Chlorococcum Staurastrum
Iẟ 0,68 0,00 0,00 0,97 1,14 3,27 0,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Pola Dsitribusi Seragam Seragam Seragam Seragam mengelompok mengelompok Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam
Adapun perbandingan jumlah genus yang memiliki pola distribusi seragam dan mengelompok dapat dilihat pada diagram berikut ini
Pola Distribusi 2 Seragam 10
Mengelompok
Gambar 1. Perbandingan Jumlah Genus Alga Mikro Berdasarkan Pola Distribusi
Adapun data jumlah individu masing-masing genus dan perhitungan Indeks dominansi alga mikro dapat dilihat pada tabel berikut ini Tabel 2. jumlah individu masing-masing genus dan perhitungan Indeks dominansi alga mikro No 1 2 3 4 5 6
Genus Fragilaria Tabellaria Spyrogyra Gonatozygon Pinnularia Navicula
∑ individu 27 7 4 46 15 11
(n/N)2 0,117 0,008 0,003 0,339 0,036 0,019
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 19
ISBN: 978-602-6483-07-2
No 7 8 6 7 10 11 12
Genus Closterium Merismopedia Stauroneis Terpsinoe Chroococcus Chlorococcum Staurastrum Jumlah
∑ individu 2 28 2 2 3 2 2 79
(n/N)2 0,001 0,126 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 C= 0,652
Berdasarkan data hasil penelitian ditemukan 12 Genus Alga Mikro di kawasan persawahan desa Sungai Lumbah Kabupaten Barito Kuala. Berdasarkan perhitungan pola distribusi dengan menggunakan indeks Morisita, diketahui ada 10 genus yang memiliki pola distribusi seragam dan ada 2 genus yang memiliki pola distribusi mengelompok. Hal ini menunjukkan pola distribusi alga mikro di Kawasan tersebut cenderung mengelompok. Amelia et. al. (2012) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa penyebaran fitoplankton cenderung lebih merata karena kondisi perairan yang memungkinkan produksi fitoplankton termasuk alga mikro seperti sifat fototaksis positif yang dimiliki dan menyenangi sinar dan mendekati cahaya. Kawasan persawahan merupakan jenis lahan basah dengan sifat perairairan yang cenderung statis. Hal ini terlihat dari suhu dan transparansi air yang diukur. Berdasarkan hasil pengukuran, suhu pada beberapa titik di kawasan persawan desa Sungai Lumbah terlihat berkisar antara 28-30oC. Kisaran suhu ini cenderung seragam karena tidak memiliki perbedaan yang terlalu besar. Begitu juga dengan pengukuran transparansi air diperairan, hasilnya adalah 29-30 cm. Parameter lingkungan ini diduga juga dapat mempengaruhi distribusi alga mikro, karena nilai suhu dan transparansi yang cukup seragam (tidak jauh berbeda antara satu titik dengan titik yang lain) sehingga menyebabkan distribusi fitoplankton juga cenderung seragam. Hasil penelitian Wulandari et. al. (2014) pola distribusi Fitoplankton di Perairan Pesisir Tangerang ditemukan mengelompok. Hasil penelitian lainnya yang menunjukkan adanya distibusi fitoplankton yang mengelompok adalah penelitian Adinugroho et. al. (2014) tentang komposisi dan Distribusi Plankton di Perairan Teluk Semarang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut Persebaran plankton (terutama fitoplankton) terlihat tidak merata melainkan hidup secara berkelompok (patchiness). Berdasarkan hasil kedua penelitian tersebut di daerah pantai fitoplankton lebih cenderung mengelompok, sedangkan di daerah perairan neritik fitoplankton termasuk alga mikro cenderung tidak mengelompok. Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Dominansi alga mikro diketahui nilai indeks dominansi alga mikro adalah 0,652. Hal ini berarti komunitas mikro alga di kawasan tersebut adalah sedang dan tidak ada jenis mikro alga yang mendominasi karena nilai indeks dominansi masih jauh dari angka 1. Apabila dilihat dari jumlah individu dari masing-masing genus, maka jumlah individu dari genus Gonatozygin adalah yang paling banyak ditemukan. Berasarkan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
20 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
hasil penelitian Yuliana et. al. (2012) menunjukkan terdapat keterkaitan yang erat antara parameter fisik kimiawi dengan kelimpahan fitoplankton. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ada 10 genus alga mikro yang memiliki pola distribusi seragam, yaitu Fragilaria, Tabellaria, Spyrogyra, Closterium, Merismopedia, Stauroneis, Terpsinoe, Chroococcus, Chlorococcum, dan Staurastrum. Sedangkan 2 genus alga mikro lain yang ditemukan memiliki pola distribusi mengelompok, yaitu Pinnularia dan Navicula. Nilai Indeks dominansi mikro alga di kawasan persawahan Desa Sungai Lumbah Kabupaten Barito Kuala adalah 0,652 yang berarti komunitas alga di kawasan tersebut adalah sedang dan belum ada alga yang mendominasi karena nilai Indeks Dominansi belum mendekati 1. jumlah individu dari genus Gonatozygin adalah individu yang paling banyak ditemukan. DAFTAR PUSTAKA Adinugroho, Musta’in, Subianto, Haeruddin. 2014. Komposisi dan Distribusi Plankton di Perairan Teluk Semarang. Jurnal Saintifika, 16(2):39-48. Amelia, Chitra Devi, Zahidah Hasan, Yuniar Mulyani. 2012. Distribusi Spasial Komunitas Plankton sebagai Bioindikator Kualitas Perairan di Situ bagendit Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa barat. Jurnal Perikanaan dan Kelautan, 3 (4):301-311. Fachrul, M., F. 2007. Metode Sampling Bioekologi, edisi 1. Jakarta: Bumi Aksara Roger, K. 2011. Fungi, Algae, Protists. New York: Britanica Education Publishing in Association with Rosen, educational services. Simanjuntak, Marojahan. 2009. Hubungan Faktor Lingkungan Kimia, Fisika terhadap Distribusi Plankton di Perairan Belitung Timur, Bangka Belitung. Jurnal Perikanan, 11 (1):31-45. Wulandari, Dwi Yuni, Niken Tanjung Murti Pratiwi, Enan Mulyana Adiwilaga, 2014. Distribusi Spasial Fitoplankton di Perairan Pesisir Tangerang. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), 19(3):156-162. Yuliana, Enan M. Adiwilaga, Enang Harris, Niken T.M. Pratiwi, 2012. Hubungan Antara kemelimpahan Fitoplankton dengan Parameter Fisik-Kimiawi Perairan di Teluk Jakarta. Jurnal Akuatika, 3(2):169-179.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 21
ISBN: 978-602-6483-07-2
INOVASI AGRIBISNIS DI LAHAN RAWA LEBAK MELALUI USAHATANI PADI ORGANIK : KAJIAN BERDASAR PERSPEKTIF EKONOMI PERTANIAN Muhammad Fauzi1 dan R. Nadiar2 1. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarbaru 2. Mahasiswa Program Pascasarjana Ekonomi Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Jend. Ahmad Yani KM 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714 E-mail :
[email protected] ABSTRAK Dalam perekonomian Kalsel, sektor pertanian memiliki pangsa yang cukup besar dan berperan sebagai kontributor kedua setelah pertambangan. Hanya saja pada beberapa wilayah dengan tipologi tertentu seperti halnya lahan rawa lebak; hal tersebut tidak tercermin dari tingkat kesejahteraan petani. Kesan dan realitas rumahtangga petani di lahan rawa lebak yang semata-mata mengandalkan usahatani padi masih banyak miskin karena pendapatannya rendah. Perlu alternatif solusi melalui inovasi kegiatan agribisnis. Penelitian bertujuan analisis potensi lahan rawa lebak untuk kesejahteraan petani melalui inovasi agribisnis. Penelitian dilaksanakan pada agroekosistim lahan rawa lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) yaitu Desa Teluk Limbung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi organik mempunyai prospek untuk dikembangkan guna meningkatkan pendapatan petani. Tingkat pendapatan petani meningkat dan RCR 1,68; lebih tinggi dari usahatani padi non organik. Pertanian padi organik memanfaatkan tingkat kesuburan alami dari lahan rawa lebak sehingga penerapan prinsip organik lebih mudah dan menjauhkan lahan dari pencemaran bahan kimia. Kata kunci : Inovasi Agribisnis, Lahan Rawa Lebak, dan Usahatani Padi Organik
1. PENDAHULUAN Lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan merupakan salah satu tipologi lahan yang berperan sebagai salah satu kontributor produksi padi. Luasan lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan mencapai 153.268 ha. Lahan rawa lebak menjadi tumpuan mata pencaharian bagi umumnya rumahtangga petani di beberapa Kabupaten di Kalimantan Selatan sekaligus menentukan bagi ketahanan pangan dan ekonomi rumahtangga. Berbagai intervensi kebijakan berupa program pemerintah pada aspek produksi usahatani padi ternyata belum memberikan peningkatan kesejahteraan pada rumahtangga petani padi secara signifikan. Usahatani padi di lahan rawa lebak juga tergolong subsisten karena sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan keluarga. Oleh sebab itu diperlukan inovasi agribisnis yang salah satunya adalah mengusahakan usahatani padi organik. Peningkatan yang dicapai selama ini di usahatani padi lahan lebak diperoleh melalui penanaman varietas-varietas padi dan dengan menggunakan teknik bercocok tanam yang telah
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
22 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
disempurnakan. Tetapi teknologi yang dilaksanakan pada umumnya masih bertumpu pada penggunaan pupuk kimia (anorganik) dan penggunaan pestisida kimia yang telah meninggalkan aspek kelestarian lingkungan. Pertanian organik merupakan jawaban untuk membuat petani menjadi mandiri. Pertanian organik dalam pengelolaannya tidak menggunakan pupuk dan pestisida yang terbuat dari bahan kimia, melainkan dengan menggunakan bahan organik. Pupuk organik dapat dibuat sendiri oleh petani dengan biaya yang rendah. Begitu pula dengan sarana produksi organik lainnya. Hal ini akan menurunkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Produksi padi organik sampai saat ini masih belum memenuhi permintaan pasarnya. Hal tersebut dikarenakan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan untuk mengkonsumsi produk pertanian bebas kimia. Selain itu, pertumbuhan produksi padi organik yang masih lebih lambat dibandingkan pertanian anorganik, sehingga banyak permintaan akan beras organik, namun persediaan beras organik tersebut masih sedikit di pasaran. Artikel bertujuan menentukan alternative inovasi agribisnis di lahan rawa lebak melalui pengembangan usahatani padi organik berdasarkan persfektif ekonomi pertanian khususnya kelayakan secara finansial. 2.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di areal lahan lebak Kalimantan Selatan yang mengusahakan padi organik yaitu di desa Teluk Limbung Kecamatan Babirik Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara langsung dengan petani responden padi organik yang dibantu dengan daftar pertanyaan yang telah disediakan berupa data dasar terkait dengan performa umum usahatani padi organik. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari dinas atau instansi yang terkait dalam penelitian ini, seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Selatan, Dinas Pertanian Kabupaten HSU; Balai Penyuluhan Kecamatan Babirik, dan instansi terkait lainnya. Penentuan kelompok tani yang mengusahakan tanaman padi organik dilakukan secara purposive (sengaja). Alasan pemilihan secara purposive karena hanya ada satu Gapoktan yang mengusahakan padi organik yaitu Gapoktan Usaha Bersama. Responden untuk penelitian ini berjumlah 17 orang petani yang ada di desa Teluk Limbung yang seluruhnya merupakan anggota kelompok tani tersebut. Pemilihan responden dilakukan secara sensus karena jumlah anggota kelompok tani relatif kecil. Kelayakan usahatani padi organik ditentukan dengan rumus berikut: RCR =
𝑇𝑅 𝑇𝐶
(1)
Keterangan: RCR = Revenue Cost Ratio TR = Total Revenue TC = Total Cost
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 23
ISBN: 978-602-6483-07-2
Suatu usahatani dinyatakan layak atau tidak layak ditentukan dengan kriteria berikut : a. RCR < 1, usahatani tidak layak diusahakan b. RCR = 1, usahatani tidak untung dan tidak rugi (impas) c. RCR > 1, usahatani layak untuk terus diusahakan Untuk menguji layak tidaknya usahatani padi organik yang diusahakan, maka diuji dengan hipotesis sebagai berikut : H0 : RCR = U ≤ 1, usahatani tidak untung dan tidak rugi H1 : RCR = U > 1, usahatani layak untuk dilanjutkan Statistik uji: t-hitung =
𝑈−1 𝑆𝑈
(2)
Keterangan: U = rata-rata RCR Su = galat baku (standard error) RCR Kaidah keputusan: Jika t-hitung ≤ t-tabel (α = 0,05; n – 1), maka diputuskan untuk menerima H0 atau dapat disimpulkan bahwa usahatani padi organik tidak layak dilanjutkan. Sebaliknya jika t-hitung > t-tabel (α = 0,05; n – 1), maka diputuskan untuk menolak H0 (terima H1) dan disimpulkan bahwa usahatani padi organik layak untuk dilanjutkan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Biaya, Penerimaan, dan Keuntungan Pada peneitian ini biaya yang digunakan adalah biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap meliputi biaya alat dan perlengkapan, biaya sewa lahan, dan bunga modal. Sedangkan biaya variabel meliputi biaya sarana produksi (benih, pupuk kompos, pupuk organik cair, dan pestisida nabati) dan tenaga kerja. Biaya total adalah penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel. Tabel 1. Rata-rata biaya tetap, biaya variabel, biaya total, penerimaan, dan keuntungan usahatani padi organik di lahan lebak Provinsi Kalimantan Selatan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Uraian Biaya tetap Biaya variabel Biaya total ( 1 + 2) Penerimaan Keuntungan (4 – 3)
Rata-Rata (Rp) Per Usahatani Per Hektar 6.565.622,73 4.003.428,49 9.292.081,81 5.665.903,55 15.857.704,54 9.669.332,04 27.593.263,64 16.825.160,75 11.735.559,10 7.155.828,71
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa keuntungan yang diperoleh pada usahatani padi organik rata-rata sebesar Rp 11.735.559,10 per usahatani atau Rp 7.155.828,71 per ha. Keuntungan merupakan pengurangan atau selisih dari penerimaan yang diperoleh petani responden dan biaya total usahatani. Keuntungan yang diperhitungkan pada penelitian ini selama satu kali proses produksi tahun 2015.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
24 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
3.2. Kelayakan Usahatani Padi Organik Kelayakan usahatani padi organik pada lahan lebak di Kalimantan Selatan digunakan analisis Revenue Cost Ratio (RCR), yaitu perbandingan antara penerimaan dengan biaya total usahatani. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata RCR yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil nilai kelayakan usahatani padi organik di lahan lebak Kalimantan Selatan N 17
RCR
Mean 1,6809
Std. Deviation 0,20188
Std. Error Mean 0,02722
Dengan demikian berdasarkan kriteria kelayakan dapat disimpulkan bahwa usahatani padi organik di lahan lebak layak diusahakan karena RCR > 1 dan berdasarkan uji statistik maka terbukti berbeda dengan satu (sig = 0,000 < 0,05). Jika dilihat, maka kelayakan usahatani padi organik diperoleh rata-rata kelayakan sebesar 1,68 yang menunjukkan bahwa setiap Rp 1 biaya yang dikeluarkan akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,68. Pengunaan produk organik tidak terlepas dari pengaruh gaya hidup masyarakat sebagai konsumen yang mulai memperhatikan pentingnya kesehatan dan lingkungan hidup dengan menggunakan produk organik yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia sintetis buatan menjadikan pertanian organik semakin berkembang di Indonesia (Mayrowani, 2012; Inawati, 2011; Isnaini, 2006). Menurut Mayrowani (2012) dan Ariesusanty et al (2010); Selain terus bertambahnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian organik, Aliansi Organis Indonesia juga mencatat semakin meningkatnya jumlah produsen komoditas organik, demikian juga ragam komoditas organik yang dibudidaya, merk dagang organik, dan pemasok ke pengecer seperti super market dan restoran besar. Data Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) 2010 mencatat bahwa produsen organik bersertifikat mencapai 9.805. Jumlah ini lebih tinggi daripada yang belum bersertifikat yang hanya 3.817. Potensi pasar seperti ini juga telah dilihat oleh para petani di lahan rawa lebak dan sejak tahun 2013 sudah dimulai penanaman padi organik. Kondisi lahan lebak yang cukup subur karena adanya limpahan lumpur sungai memberikan keuntungan tersendiri bagi pertanian organik khususnya padi organik karena tidak perlu pemupukan. Produktivitas ini tidak berbeda dengan produktivitas padi anorganik yang selama ini diusahakan petani di lahan lebak. Namun dengan harga yang cukup tinggi sehingga pendapatan yang diperoleh lebih tinggi. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Prayoga (2010) yang menyebutkan bahwa produktivitas padi organik pada dua tahun pertama akan dibawah produktivitas padi anorganik (penanaman padi yang menggunakan pupuk kimia dan pestisida) dan baru setelah memasuki tahun ketiga akan menyamai serta seterusnya melampaui produktivitas padi anorganik. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Alternatif peningkatan pendapatan rumahtangga petani di lahan rawa lebak dapat dilakukan melalui inovasi agribisnis. Komoditi di lahan rawa lebak yang dapat dikembangkan berdasarkan prinsip sistim agribisnis namun tetap ramah lingkungan yaitu pertanaman padi organik (beras merah organik). Inovasi ini akan menjadi salah satu faktor dan alternatif menuju kesejahteraan.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 25
ISBN: 978-602-6483-07-2
2. 3.
4.
Kendala pengembangan hanya pada pengadaan benih besertifikasi organik dan cakupan pemasarannya. Produksi padi organik di lahan rawa lebak tidak berbeda dengan produksi padi non organik. Usahatani padi organik mampu menghindarkan lahan rawa lebak dari penggunaan bahan kimiawi terutama pupuk kimia dan pestisida non alami sehingga sangat mendukung untuk pertanian berkelanjutan. Usahatani padi organik memperoleh RCR rata-rata sebesar 1,68. Hal ini berarti usahatani padi organik di lahan lebak layak untuk diusahakan dan pendapatan yang diperoleh meningkat hingga 20 %. Oleh sebab itu, berdasar tinjauan persfektif ekonomi pertanian maka usahatani ini mampu memberikan keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. 1992. Analisis Efisiensi Usahatani Padi Di Lahan Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Tesis. Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Alihamsyah, T. 2004. Potensi dan Pendayagunaan Lahan Rawa Untuk Peningkatan Produksi Padi. Ekonomi Padi dan Beras Dalam Faisal Kasyrino, Effendi Pasandaran dan A.M. Fagi (Penyunting). Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Ariesusanty, L., S. Nuryanti, R. Wangsa. 2010. Statistik Pertanian Organik Indonesia. AOI. Bogor. Ar-Riza dan T. Alihamsyah. 2005. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan rawa Dalam Pengembangan Padi. Makalah Utama. Prosiding Seminar Nasional Inovasi teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Banjarbaru Inawati, L. 2011. Manajer Mutu dan Akses Pasar Aliansi Organis Indonesia (AOI), semiloka “Memajukan Pertanian Organis di Indonesia: Peluang dan Tantangan kedepan”. Yayasan Bina Sarana Bhakti di Cisarua, Bogor, Jawa Barat (14/3/2011). Isnaini, M. 2006. Pertanian Organik Untuk Keuntungan Ekonomi dan Kelestarian Bumi. Penerbit Kreasi Kencana Yogyakarta. Irianto, G. 2006. “Kebijakan dan Pengelolaan Air Dalam Pengembangan Lahan Rawa Lebak” Dalam M. Noor et al (eds). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Terpadu; 28-29 Juli 2006. Balittra Banjarbaru. Marliati. 2008. Pemberdayaan Petani Untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (Kasus Di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Mayrowani, H. 2012. Pengembangan Pertanian Organik Di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 30(2):91-108 Mayrowani, H., Supriyati, T. Sugino. 2010. Analisa Usahatani Padi Organik di Kabupaten Sragen. Laporan Penelitian. JIRCAS. Noor, M. 2007. Lebak Swampland. Ecology, utilization and development. Rajawali Pers publisher. Jakarta. Norginayuwati dan A. Rafieq. 2007. Kearifan Budaya Lokal Dalam Pemanfaatan Lahan Lebak Untuk Pertanian Di Kalimantan Selatan. Balai Besar Penelitian dan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
26 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Prayoga, A. 2010. Analisis Produktivitas, Efisiensi Teknis, dan Pendapatan Usahatani Padi Organik, serta Level Penerapan Pertanian Organik Padi Sawah (Kasus di Desa Sukorejo dan Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang. Rois. 2011. Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal Untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan (Studi di Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat). Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Trisanti, E. 2002. Analisis Pendapatan Petani Organik di Kecamatan Delanggu Kabupaten Klaten. JDSE, 3(1).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 27
ISBN: 978-602-6483-07-2
PENGARUH JUMLAH SINAR ULTRA VIOLET TERHADAP PENURUNAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK DAN WARNA DI DALAM PENGOLAHAN AIR GAMBUT YANG DILANJUTKAN DENGAN SARINGAN PASIR LAMBAT M.Ma’arij Harfadli 1 dan B. Mu’min 2 1. Dosen Teknik Lingkungan, Jurusan Ilmu Kebumian dan Lingkungan, Institut Teknologi Kalimantan Balikpapan, Jalan Soekarno Hatta KM 15, Balikpapan,76127 2. Dosen Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Jalan A Yani KM 36, Banjarbaru,70714 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Salah satu daerah dengan permasalahan air bersih yang cukup rumit adalah daerah dengan tanah berupa lahan gambut. Daerah ini memiliki sumber air yang secara kuantitas cukup banyak, untuk mengolah air gambut menjadi air bersih salah satunya variasi sinar UV pada pengolahan air gambut.yang dilanjutkan pada saringan pasir lambat. Pada penelitian ini terdapat dua reaktor: pertama reaktor UV yang terbuat dari kaca dengan volume 6 liter dan reaktor sand filter terbuat dari pipa setinggi 120 cm berdiameter 1,5 inci. Reaktor ultra violet berisi 3 lampu uv, 15 watt. Reaktor sand filter berisi media pasir halus dengan tinggi 75 cm dan kerikil 15 cm. Pengolahan air baku dilakukan secara batch dan kontinyu. Berdasarkan hasil penelitian,pada panjang gelombang 370 nm nilai absorbansi awal sebesar 2,045 dan merupakan puncak kurva dari nilai absorbansi. Waktu optimum terjadi pada 3 lampu uv;30 menit dengan penyisihan kandungan organik 36 mg/l;persentase penyisihan sebesar 73. Penyisihan warna 24 CU ;persentase penyisihan warnanya sebesar 95. Sedangkan untuk mengetahui kinerja saringan pasir lambat terhadap efek penyinaran ultra violet maka di lakukan analisa penyisihan kandungan organik dengan 3 lampu uv;30 menit+saringan pasir lambat sebesar 24 mg/l dan % penyisihan organik 82,2. Penyisihan warna sebesar 10 CU dan persentase penyisihan warnanya sebesar 98. Kata Kunci: Air Gambut, Absorbansi, Zat Organik dan Warna ABSTRACT One of the areas with a complicated drinking are the areas with peat soil. This area has a lot water source, one of treatments for peat water is variation in using the UV light for peat water processing which is continued to slow sand filter. There are two reactors in this research: the first UV reactor is made of glass with a 6 liters of reactor volume and sand filters are made of PVC pipe which the height is 130 cm in 1.5". The reactor contains 15 watts of 3 ultra violet uv lamps. The sand filter reactor contains 75 cm height of sand and 15 cm of gravel. Processing raw water is done in batch and reactor continuously. The wave length is 370 nm which initial absorbance value of 2.045. The optimum time occurs 30 minutes in 3 lamp of UV irradiation with the elimination of organic matters of 36 mg / l;73%. The colors elimination is 24 CU;95%. Meanwhile, to determine the performance of the SPL to
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
28 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
the ultra violet effects, the analysis of organic matters is held with 30 minutes of + SPL at 24 mg / l;82.2%. Colors elimination is 10 CU; 98 %. Keywords: Water Peat, absorbance, UV, organic matters and color
1. PENDAHULUAN Salah satu daerah dengan permasalahan air minum yang cukup rumit adalah daerah dengan tanah berupa lahan gambut. Daerah ini memiliki sumber air yang secara kuantitas cukup banyak, bahkan cenderung berlebih sehingga tanahnya pun gembur berair, namun kualitasnya tidak memadai untuk dijadikan sebagai sumber air bersih. Karakteristik menonjol dari air gambut dalam hubungannya dengan kualitas air minum adalah intensitas warnanya tinggi, kandungan organik tinggi, kandungan besi dan mangannya tinggi serta pH yang rendah antara 3 dan 5 (Badaruddin dan Irianto, 1996). Air gambut merupakan air dengan karakteristik khusus, berupa kandungan zat organik yang tinggi, warna dengan intensitas tinggi (mencapai 250-700 skala TCU), pH rendah dan kekeruhan rendah (3-6 skala NTU) serta kandungan logam besi dan mangan yang tinggi karena ikatan dengan senyawa organik dalam air gambut tersebut (Rafiq. 1998). Senyawa lignin merupakan salah satu zat organik alami yang terdapat di dalam air gambut, sehingga akan terjadi korelasi antara penyisihan organik dan warna. Akan tetapi penyisihan warna akan terlihat jauh lebih besar dibandingkan penyisihan organik. Selain lignin kemungkinan terdapat faktor lain penyebab warna di dalam air gambut ini, seperti adanya kation Ca, Mg, Fe, dan Mn. Kemungkinan ini didukung secara visualisasi, jika terjadi oksida besi maka air akan berwarna kemerahan dan jika terjadi oksida mangan akan menyebabkan air berwarna coklat kehitaman (Rafiq, 1998). Zat organik pembentuk gambut sama dengan tumbuhan dalam perbandingan yang berbeda sesuai dengan tingkat pembusukannya. Zat organik ini terdiri dari selulosa, lignin, bitumin, humat, dan lain-lain, dimana komposisinya berubah-ubah, seiring dengan proses pembusukan yang terjadi. Unsur-unsur pembentuk gambut sebagian besar terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen, dan unsur-unsur kecil lainnya seperti Al, Si, Na, S, P, Ca, dan lainya yang berada dalam bentuk terikat seperti CaO, dll (Fitri, 2008). Masalah yang dihadapi dalam pengolahan air gambut adalah bahwa zat organik yang dikandungnya merupakan zat organik makromolekul yang cukup stabil terhadap degradasi oleh mikroorganisme. Permasalahan pengolahan ini berusaha dipecahkan dengan memanfaatkan degradasi biologis dalam saringan pasir lambat. Namun sebelum disaring dengan media pasir, diperlukan pengolahan pendahuluan untuk memecahkan senyawa organik kompleks di dalam air gambut. Hal ini dikarenakan asam humat merupakan senyawa organik kompleks yang memiliki berat molekul hingga 50.000 (sehingga sukar dipecahkan oleh mikroorganisme). Masalah pemecahan senyawa organik kompleks ini dicoba untuk diatasi dengan sinar ultra violet. Menurut Gmurek, et.al (2015) menyatakan bahwa proses penyinaran serta penyerapan radiasi ultraviolet B dan panjang gelombang sinar tampak oleh
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 29
ISBN: 978-602-6483-07-2
senyawa organik merupakan inisiasi serangkaian reaksi fotokimia kompleks yang meningkatkan proses pemurnian air. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh variasi jumlah sinar ultra violet (neon UV) pada pengolahan air gambut.yang dilanjutkan pada saringan pasir lambat dan kinerja sistem pengolahan yang didasarkan dari nilai efluen yaitu kandungan organik dan warna. Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan air selanjutnya, yang membutuhkan kemampuan proses lebih terpadu, hemat lahan, serta pengoprasian minimal, sehingga dapat memenuhi kebutuhan air di daerah dengan sumber air minum berupa air gambut. 2. METODE PENELITIAN Lokasi pengambilan sampel yaitu di Jalan A. Yani Km. 17 Rumah Sakit Sambang Lihum. Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan dapat dilihat pada gambar.
Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel
Pada penelitian skala laboratorium ini akan dilihat kinerja dari pemaparan sinar ultra violet untuk memutuskan ikatan senyawa organik kompleks yang menyebabkan warna dan diteruskan dengan saringan pasir lambat. Penelitian ini terdiri dua bagian . Perlakuan yang pertama yaitu pemeriksaan kualitas air gambut, mengetahui panjang gelombang dengan menganalisis absorbansi senyawa humat menggunakan spektrofotometer UV-vis, melalukan percobaan dengan memberikan variasi jumlah sinar ultra violet dan menentukan detensi penyinaran sinar ultra violet yang optimum terhadap air gambut. Dari tahapan ini, parameterparameter penelitian diukur kembali agar diketahui kondisi optimum untuk berlangsungnya proses reaksi fotokimia yang diharapkan. Setelah melalui penyinaran menggunakan sinar UV selanjutnya air gambut dilewatkan proses penyaringan dengan saringan pasir lambat (SPL). Dari tahapan ini, parameter-parameter penelitian diukur kembali sehingga diharapkan dapat diketahui penurunan dari parameter tersebut. Perlakuan kedua yaitu air gambut hanya dilewatkan pada proses penyaringan dengan saringan pasir lambat (SPL) tanpa penyinaran oleh sinar UV. Tahap ini dimaksudkan untuk mengetahui efektifitas kinerja SPL dalam menurunkan kandungan organik dan warna tanpa adanya perlakuan awal yaitu peninaran UV. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, penentuan kinerja sistem didasarkan atas efisiensi penyisihan kandungan organik dan warna. Data hasil penelitian dan percobaan laboratorium disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
30 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa kualitas air ini dilakukan di Laboratorium PDAM Intan dan BLHD Martapura yang dilaksanakan pada tanggal 27 juli 2011 memberikan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisa Kualitas Sampel Air Gambut No
Parameter Analisa
Satuan
1 2 3
Warna Zat Organik (KMnO4) Ph
mg/l -
Baku Mutu 10 15 6,5-8,5
Hasil Analisa 500 136,21 4,0
Sumber: Hasil Analisa Laboratorium PDAM Intan dan BLH Banjar
Dari hasil analisa tersebut terlihat bahwa untuk air gambut yang diperoleh menunjukan kandungan organik dan intensitas warna yang tinggi dibandingkan dengan baku mutu baik air bersih maupun air minum berdasarkan Permenkes RI No.492/MENKES/PER/IV/2010. Sehingga untuk air gambut dari daerah Kecematan Gambut yang diambil sebagai sampel penelitian, sangat sesuai dengan kriteria yang diperlukan dari penelitian ini. Sementara hasil analisa absorbansi dengan spektrofotometer uv-vis model UV-200-RS di laboratorium FKIP MIPA Kimia, Banjarmasin terhadap air gambut yang diperoleh menunjukan pada gelombang di atas 350 nm senyawa humat baru dapat teridentifikasi, hal ini diyakini pada air gambut memiliki gugus-gugus fungsional yang hanya dapat terbaca pada gelombang di atas 200 nm. Panjang gelombang 370 nm merupakan panjang gelombang puncak tertinggi kurva. Ini berarti bahwa kebutuhan energi untuk transisi elektron bagi molekul-molekul yang terdapat dalam air gambut yaitu dengan panjang gelombang ultra violet sebesar 370 nm. Sehingga dipercaya bahwa adanya gugus kromofor (gugus ini menyerap sinar UV dengan panjang gelombang lebih besar dari 180 nm) yang terkandung di dalam air gambut tersebut, mengingat bahwa gugus ini penyebab warna pada senyawa humat (Ismono dalam Rafiq, 1998). Sejalan dengan penelitian Han Kuk, et al (2016) menyatakan bahwa reaksi radikal yang terjadi di air gambut ditunjukan pada panjang gelombang penyinaran ultraviolet sebesar 300nm. Penyisihan kadar organik menggunakan sinar ultra violet, hal ini terjadi dikarenakan pada molekul-molekul asam humat, terdapat gugus-gugus fungsional yang disebut kromofor yang bersifat menyerap sinar ultra violet dengan panjang gelombang lebih besar dari 180 nm dan memiliki elektron-elektron valensi (elektron ikatan) dengan energi eksitasi yang relatif rendah. Sehingga kemungkinan sinar ultra violet untuk dapat memberikan efek fotokimia bagi molekul organik dalam air akan semakin besar.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 31
% Tase Penyisihan Organik
ISBN: 978-602-6483-07-2
80,0
75,1
73,3
75,0
1 Lamp UV 2 Lamp UV 3 Lamp UV
68,1
70,0 63,3
65,0 60,0
74,9
60,7
59,2
66,6
62,5
55,0 50,0 30 menit
60 menit
90 menit
Waktu Detensi Penyinaran Gambar 2. Grafik Persentase Penyisihan Organik Berdasarkan Waktu Detensi
Pada prinsipnya hasil yang didapatkan dari percobaan ini menunjukan bahwa proses fotokimia dapat terjadi pada kandungan organik terlarut yang terdapat di dalam air gambut melalui penyinaran ultra violet sehingga kandungan organik dapat tersisihkan maksimal hingga 68 % pada perlakuan 1 lampu UV (90 menit), 75% pada perlakuan 2 lampu UV (60 menit) dan 73 % pada 3 lampu UV (30 menit). Dapat kita lihat pada grafik persentase penyisihan organik di atas pada perlakuan 3 lampu UV terjadi fluktuasi yang cukup besar khususnya pada waktu detensi 60 menit dan 90 menit. Hal ini menunjukan bahwa adanya proses fotokimia di dalam reaktor UV yaitu reaksi-reaksi pemecahan ikatan-ikatan molekul organik kompleks di dalamnya. Menurut Juretic, et al (2015) menyatakan penambahan radiasi UV pada proses oksidasi dapat meningkatkan degradasi senyawa organik. Hal ini sejalan penelitian Elfiana (2012) menunjukan bahwa penyinaran sinar UV dapat menurunkan konsentrasi total senyawa organik atau menghasilkan satu molekul radikal hidroksil yang artinya bahwa terjadi proses fotokimia akibat penyinaran.
% Tase Penyisihan Warna
Seiring dengan pengurangan kadar organik, intensitas warna pada air gambut juga mengalami pengurangan yang cukup besar. 97,0
95,1
94,9
95,0 93,0 91,0
90,7
1 Lampu UV 2 Lampu UV 3 Lampu UV
94,1 91,6
91,2
91,1
91,5
88,4
89,0 87,0 85,0 30 menit
60 menit
90 menit
Waktu Detensi Penyinaran Gambar 2. Grafik Persentase Penyisihan Warna Berdasarkan Waktu Detensi
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
32 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Hasil analisa intensitas warna pada air gambut ini tidak terlalu sulit untuk dihilangkan. Kemudahannya warna untuk disisihkan dengan sinar ultra violet, dikarenakan warna yang timbul adanya asam humat akibat dekomposisi senyawa lignin tidak memiliki gugus aromatik yang cukup kuat sehingga intensitas warna dapat tersisihkan maksimal Hasil ini juga memberikan informasi bahwa penyisihan organik yang terjadi sebanding dengan penyisihan warna pada air gambut yang telah di lakukan penyinaran menggunakan sinar ultra violet. Sependapat dengan Suherman,et al (2013) menyatakan bahwa konsentrasi zat organik di dalam air gambut terlihat dari warnanya, semakin pekat warna semakin tinggi kandungan zat organiknya dan sebaliknya. Melihat hasil analisa penyisihan organik dan warna serta hasil analisa absorbansi spektrofotometri, dipilih waktu detensi optimum selama 30 menit dan perlakuan efektif menggunakan 3 lampu UV pada proses pra pengolahan sebelum menuju saringan pasir lambat. Pemilihan ini berdasarkan informasi bahwa untuk penyinaran selama 30 menit dengan 3 lampu UV mempunyai efek transisi elektron atau nilai absorbansi lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya yaitu 90 menit dengan 1 lampu UV dan 30 menit dengan 3 lampu UV. Saringan pasir lambat (SPL) memiliki beberapa keuntungan, seperti kemudahannya dalam desain dan konstruksi serta kualitas efluennya yang baik tanpa harus melalui pra-pengolahan. Selain menyisihkan kandungan organik dan warna juga dapat menyisihkan kandungan besi yang kemungkinan terdapat dalam air gambut, karena kandungan besi merupakan salah satu faktor menyebab timbulnya warna dalam air gambut. Adanya kandungan besi dalam air gambut memeberikan keuntungan tersendiri bagi mikroorganisme yaitu schmutzedecke, karena pada kultur yang kekurangan besi atau kalsium, maka mikroorganisme jenis ini akan kehilangan aktifitasnya dalam mendegradasi senyawa organik (Rafiq, 1998). Berikut ini hasil analisa air gambut yang telah mengalami pra pengolahan dengan penyinaran 3 lampu UV dan waktu detensi 30 mnit yang dilanjutkan ke saringan pasir lambat. Tabel 2. Hasil Analisa Penyisihan Organik (3 Lampu UV+SPL) No
Waktu detensi
1 2 3
Air Gambut 30 menit 60 menit 90 menit
Zat Organik (mg/l) 136,21 24 28 29
Persentase Penyisihan 0 82,2 79,4 78,5
Sumber: Data Primer Laboratorium PDAM Banjar, 2011
Pada penyisihan kandungan organik di dalam proses penyinaran dengan 3 lampu UV+SPL didapatkan hasil bahwa penyisihan organik paling besar terjadi pada waktu detensi 30 menit sebesar 24 mg/l dan persentase penyisihan organik sebesar 82,2 %. Penyisihan ini berkaitan erat dengan aktifitas mikroorganisme secara keseluruhan, termasuk ketersediaan cahaya matahari, oksigen terlarut dan sebagainya. Dengan hasil yang cukup bagus untuk hal tersebut, maka didapatkan informasi bahwa proses pematangan saringan memberikan kondisi yang cukup baik bagi mikroorganisme dalam melaksanakan aktifitasnya.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 33
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 3. Hasil Analisa Penyisihan Warna (3 Lampu UV+SPL) No
Waktu detensi
Warna (CU)
1 2 3
Air Gambut 30 menit 60 menit 90 menit
500 10 11 15
Persentase Penyisihan 0 98,0 97,9 96,9
Sumber: Data Primer Laboratorium BLH Banjar, 2011
Untuk penyisihan warna dapat tersisihkan maksimal hingga 98 % dengan penyinaran 3 lampu UV+SPL, waktu detensi 30 menit dan 96 % untuk waktu detensi 90 menit merupakan penyisihan warna terendah. Dalam hal ini, penyisihan warna yang terjadi merupakan konsekwensi langsung dari penyisihan kandungan organik, karena warna sangat terikat pada molekul organik. Hasil analisa perbandingan pengolahan air gambut baik pada saat pra pengolahan dengan sinar UV dengan waktu optimum, sinar UV + SPL maupun SPL saja. Tabel 4. Perbandingan Efek Pengolahan dalam Saringan Pasir Lambat No
Pengolahan
1 2 3 4
Air Gambut 3 UV '30 SPL 3 UV '30+SPL
Organik (mg/l) 136,21 36,4 31,7 24,2
Persentase Penyisihan 0 73,3 76,7 82,2
Warna (CU) 500 24,4 10,1 10,0
Persentase Penyisihan 0 95,1 98,0 98,0
Sumber: Data Primer Laboratorium PDAM & BLH Banjar, 2011
Pengolahan menggunakan 3 lampu UV dengan waktu detensi 30 menit dan dilanjutkan SPL memberikan hasil paling besar dalam penyisihan organik sebesar 24,2 mg/l (82,2 %). Dengan penambahan perlakuan SPL pada penyinaran 3 lampu UV;30 menit, penyisihan organik naik mencapai 8,9 %. Sehingga dapat dikatakan bahwa penambahan SPL dapat meningkatkan efektifitas dari penyisihan kandungan organik.Sementara untuk penyisahan warna menggunakan 3 lampu UV dengan waktu detensi 30 menit dan dilanjutkan SPL memberikan hasil paling sebesar 24,2 mg/l (82,2 %). Dengan adanya penambahan perlakuan SPL pada penyinaran 3 lampu UV;30 menit, penyisihan warna naik mencapai 2,9 %. 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa proses penyinaran ultra violet dapat memberikan pengaruh penurunan kandungan organik dan intensitas warna air gambut. Efek variasi jumlah lampu UV dan waktu detensi terlihat nyata, dimana semakin bertambah jumlah lampu semakin cepat terjadinya reaksi fotokimia di dalam air baku, maka efesiensi penyisihan juga semakin besar. Penyisihan kandungan organik dan warna optimum terjadi pada penyinaran dengan 3 lampu UV 15 watt dan waktu detensi 30 menit baik pada pra pengolahan saja maupun dilanjutkan pada saringan pasir lambat.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
34 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Penyisihan kandungan organik dengan 3 lampu UV dan waktu detensi 30 menit sebesar 73,3%, sedangkan dalam perlakuan yang sama juga terjadi penyisihan warna 95,1%. Penyisihan kandungan organik dengan 3 lampu UV+SPL dan waktu detensi 30 menit sebesar 82,2%, sedangkan dalam perlakuan yang sama juga terjadi penyisihan warna 98%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan SPL dalam proses pengolahan dapat meningkatkan % penyisihan organik maupun warna. DAFTAR PUSTAKA Elfiana dan Zulfikar. 2012. Penurunan Konsentrasi Organik Air Gambut Secara AOP (Advanced Oxidation Processes) dengan Fotokimia Sinar UV dan UV-Peroksidasi. In: Seminar Nasional Yusuf Benseh, Menggali Potensi Daerah Untuk Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi, Teknologi Dan Pendidikan. Lhokseumawe, Indonesia, 12-13 Desember 2012. SNYube: Lhokseumawe. Fitria, D.2008. Penurunan Warna Dan Zat Organik Air Gambut Dengan Cara Two Staged Coagulation (Studi Kasus Air Gambut Riau). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Gmurek, M., Olak-Kucharcryk, M dan Ledakowicz, S. 2015. Journal of Environmental Health Science and Engineering. Influence of Dissolved Organic Matter in Natural and Simulated Water on the Photochemical Decomposition of Butylparaben. 13-28. Han, S.K., Yamasaki, T., Yamada, K.I. 2016. Journal of Chemosphere. Photodecomposition of Tetrabromobisphenol A in Aqueous Humic Acid Suspension by Irridiation with Light of Various Wavelengths, 147:124-130. Juretic, H., Smoljanic, G., dan Barta, M., 2015. The Holistic Approach to Environment. Degradation of Natural Organic Matter In Water by Using UV-C/H2O2 Process. 5(3): 135-149. Machbub, Badaruddin, Irianto. 1996. Prototip Intalasi Pengolahan Air Pusair Gambut-3. No. 15/KLTA-03/1996. Puslitbang Pengairan. Bandung. Rafiq I. 1998. Pengolahan Air Gambut dengan Sinar Ultra Violet dan Saringan Pasir Lambat. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Suherman, D dan Sumawijaya, N. 2013. Riset Geologi dan Pertambangan. Menghilangkan Warna dan Zat Organik Air Gambut dengan Metode Koagulasi-Flokulasi Suasana Basa. 23(2):125-137.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 35
ISBN: 978-602-6483-07-2
OPTIMALISASI PERTUMBUHAN IKAN PAPUYU (Anabas testudineus) MELALUI PEMBERIAN PAKAN YANG MENGANDUNG FITASE DAN KROMIUM TRIVALEN (Cr+3) Junius Akbar1, Syachradjad Fran2 dan Arthur Mangalik3 Jurusan Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Jl A.Yani Km. 36, Banjarbaru, 70714, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh fitase dan kromium (Cr) terhadap pertumbuhan ikan papuyu (Anabas testudineus). Rancangan penelitian yang digunakan adalah RAL Faktorial dengan faktor A (fitase 250; 500; 750 mg/kg) dan faktor B (Cr 1,5; 3; 4,5 mg/kg), setiap perlakuan diulang 3 kali. Bobot awal ikan uji 5±2g, ditebar dalam bak plastik (volume 20 L) sebanyak 10 ekor. Ikan uji diberi pakan 2 hari sekali sebanyak 5% dari bobot biomassa selama 60 hari. Parameter yang diamati pertumbuhan mutlak, pertumbuhan relatif, efisiensi pakan, konversi pakan, glukosa darah, kualitas air, dan kelangsungan hidup. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan mutlak, pertumbuhan relatif, efisiensi pakan tertinggi terdapat pada perlakuan A3B2 (fitase 750 mg/kg dan Cr 3 mg/kg) masing-masing 19,50g; 290,18%, dan 53,66%. Konversi pakan terendah terdapat pada perlakuan A3B2 dan A2B2 (fitase 500 mg/kg dan Cr 3 mg/kg) masing-masing 1,86 dan 2,14. Kandungan glukosa darah tertinggi terdapat pada perlakuan A2B2 (102 mg/100 mL) dan kandungan glukosa terendah pada perlakuan A1B3 (48 mg/100 mL). Parameter kualitas air suhu (26,7-30,20C), pH (6,84-7,80), DO (3,62-5,65 mg/L), NH3 (0,20-0,45 mg/L) dan CO2 (0,21-0,50 mg/L), dan tingkat kelangsungan hidup berkisar 93,33-100%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dosis terbaik fitase yang perlu ditambahkan pada pakan ikan papuyu adalah sebesar 750 mg/kg pakan. Kata kunci: Papuyu, kromium, fitase, pertumbuhan, kelangsungan hidup ABSTRACT The objective of the research was to know the effect of dosis phytase and chromium (Cr) on the growth Climbing perch (Anabas testudineus). The research design used Completely Randomized Design of Factorial was applied in this research (3x3) with 3 replication each. Independent variabel used ware phytase levels of 250; 500; 750 mg/kg and Cr levels of 1.5; 3; 4.5 mg/kg. Initial weight of fish 5±2g were reared in bucket plastic (vol 20 L) at stocking density of 10 fish in each bucket. Fish were fed the experimental diets two times daily at ration of 5% body weight per day for 60 days. The variables measured included absolute growth, relative growth, feed efficiency, feed convertion ratio (FCR), blood glocose, water quality, and survival rate. The results showed that the highest absolute growth (19.50g), relative growth (290.18%), and feed efficiency (53.66%) occurs of fish feed A3B2 (phytase 750 mg/kg and Cr 3 mg/kg). Feed convertion ratio feed A3B2 and feed A2B2 (phytase 500 mg/kg and Cr 3 mg/kg) are the best feed which had the lowest FCR are 1.86:1 and 2.14:1. The highest blood glocose 102 mg/100 mL blood occurred of fish feed A2B2 and the lowest Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
36 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
blood glocose 48 mg/100 mL blood occurred of fish feed A1B3. The measurement of water quality are water temperature is around 26.7-30.20C; pH 6.84-7.80; DO 3.62-5.65 mg L-1; NH3 0.20-0.45 mg L-1, CO2 0.21-0.50 mg L-1and survival rate around 93.33-100%. From this research it can be concluded that phytase level of 750 mg/kg support the best growth of Climbing perch. Keywords: Climbing perch, chromium, phytase, growth, survival rate
1. PENDAHULUAN Salah satu komoditas unggulan budi daya yang sekarang berkembang di Kalimantan Selatan adalah ikan papuyu (Anabas testudineus). Ikan papuyu di samping sebagai salah satu sumber protein hewani, juga merupakan komoditas yang dapat menunjang ekonomi kerakyatan. Tepung ikan sebagai sumber protein pakan ikan, saat ini masih mengandalkan impor. Berbagai usaha telah dilakukan, yaitu mengganti dengan protein nabati. Selama ini sumber protein nabati pakan buatan menggunakan tumbuhan biji-bijian seperti padi, kacangkacangan, kacang kedelai, kacang negara, dan kelapa yang didalamnya terdapat zat anti nutrisi seperti asam fitat. Asam fitat dapat menghambat penyerapan nutrisi oleh tubuh sehingga tingkat efisiensi pemanfaatan nutrien pakan kurang optimal. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penambahan enzim fitase ke dalam pakan. Enzim fitase dapat menghambat zat anti nutrisi terutama asam fitat sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan dan pertumbuhan. Pertambahan biomassa ikan sangat bergantung kepada energi yang tersedia dan cara pemanfaatannya di dalam tubuh ikan. Energi yang murah dan ramah lingkungan saat ini adalah pemanfaatan karbohidrat yang efisien sehingga penggunaan protein bisa maksimal di dalam tubuh. Tidak efektifnya karbohidrat menjadi bahan bakar (glukosa) disebabkan pemanfaatan karbohidrat oleh ikan masih rendah, sehingga penyerapan energi pakan tidak efisien. Penyebab kurang mampunya ikan memanfaatkan karbohidrat pakan karena ikan tidak memiliki enzim pencernaan karbohidrat yang memadai di dalam saluran pencernaan. Selain enzim pencernaan, juga produksi insulin pada ikan rendah. Aktivitas insulin dapat ditingkatkan melalui pemberian kromium trivalen (Cr+3). Kromium trivalen (Cr+3) merupakan unsur mineral yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan yang berguna mengaktifkan kinerja insulin dan menstabilkan protein dan asam nukleat (NRC, 1997). Insulin adalah hormon anabolik yang memiliki pengaruh besar terhadap metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Insulin memudahkan pemakaian glukosa oleh sel dan mencegah pemecahan glikogen (glikogenolisis) yang disimpan di dalam hati dan otot secara berlebihan. Glukagon merupakan hormon katabolik beraksi terutama pada hati untuk menggiatkan proses glikogenolisis, sehingga menaikan kadar gula darah (Fujaya, 2004). Pemberian kromium trivalent (Cr+3) dalam pakan mampu meningkatkan pemanfaatan karbohidrat sebagai sumber energi sehingga penggunaan energi dari protein pakan untuk pertumbuhan meningkat.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 37
ISBN: 978-602-6483-07-2
2. METODE PENELITIAN Enzim fitase yang digunakan adalah enzim fitase merk Natuphos 5000® sebanyak 250 mg/kg, 500 mg/kg, dan 750 mg/kg. Sedangkan kromium yang digunakan adalah CrCl3.6H2O sebanyak 1,5 mg/kg, 3 mg/kg, dan 4,5 mg/kg pakan sesuai dengan perlakuan yang digunakan. Pakan yang diberikan berupa pellet dengan komposisi seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Bahan Pellet No 1 2 3 4 5 6 7 8
Bahan Pakan Gulma itik Kacang negara Rucah ikan Bungkil kelapa Vitamin mix Mineral mix 1 Kanji CMC Jumlah
Komposisi Bahan (%) 20 18 30 8,5 1,5 2 19,5 0,5 100
Sumber: Akbar et al, (2015)
Keterangan: Mineral yang digunakan adalah mineral mix tanpa P yang mengandung (g/kg pakan kering): NaCl 0,5; MgSO4.7H2O 7,5; KCl 17,53; Fecitrat 1,25; CaCl2.2H2O 13,34; filler 30,5 dan trace element mix (0,5g) terdiri dari: ZnSO4.7H2O 17,365; MnSO4 8,1; CuSO4.5H2O 1,55; KIO3 0,15; dan filler 30,5 Penelitian dilakukan di laboratorium Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan Kelautan Unlam. Hewan uji berupa ikan papuyu (Anabas testudineus) dengan bobot awal berkisar 5 ± 2 g/ekor. Ikan uji di tempatkan dalam bak plastik bervolume 20 L sebanyak 10 ekor per bak plastik. Ikan uji diberi pakan 2 hari sekali sebanyak 5% dari bobot biomassa selama 60 hari. Desain percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial (3x3) diulang 3 kali, dengan variabel bebas adalah Faktor A = dosis fitase (250 mg/kg, 500 mg/kg, dan 750 mg/kg) dan Faktor B = dosis kromium (1,5 mg/kg, 3 mg/kg, dan 4,5 mg/kg). Parameter yang diamati adalah pertumbuhan mutlak, pertumbuhan relatif, efisiensi pakan, konversi pakan, kandungan glukosa darah, kualitas air, dan kelangsungan hidup. Semua data parameter yang diperoleh dari hasil percobaan selanjutnya dianalisis, meliputi uji kenormalan, kehomogenan, analisis keragaman (Anova), dan uji lanjutan Duncan Multiple Rank Test (DMRT). 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pertumbuhan Ikan Papuyu Pertumbuhan individu ialah pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis. Hal ini terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) berasal dari makanan. Makanan akan digunakan oleh tubuh untuk metabolisme dasar, pergerakan, produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh atau mengganti sel-sel yang sudah
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
38 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
tidak terpakai. Pola pertumbuhan ikan papuyu yang diberi ransum perlakuan tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Rerata Pertumbuhan Mutlak dan Pertumbuhan Relatif Ikan Papuyu
Perlakuan
Bobot Awal (g)
Bobot Akhir (g)
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
6,30 6,73 6,78 6,65 6,87 7,62 7,07 6,72 6,58
16,82 17,55 22,20 19,10 23,64 25,73 23,23 26,22 17,64
Parameter Pertumbuhan Mutlak (g) 10,52 10,82 15,42 12,45 16,77 18,11 16,16 19,50 11,06
Pertumbuhan Relatif (%) 166,98 160,77 227,43 187,22 244,10 237,66 228,57 290,18 168,08
Selama masa penelitian ini, ikan papuyu mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan pertambahan bobot tubuh. Berdasarkan Tabel 2, pertumbuhan mutlak tertinggi terdapat pada perlakuan A3B2 (fitase 750 mg/kg dengan kromium 3 mg/kg), yaitu 19,50 g/ind dan 290,18%. Sedangkan pertumbuhan mutlak terendah terjadi pada perlakuan A1B1 (fitase 250 mg/kg dengan kromium 1 mg/kg), yaitu 10,52 g/ind, diikuti oleh perlakuan A1B2 (fitase 250 mg/kg dengan kromium 3 mg/kg), yaitu 10,82 g/ind. Selain pertumbuhan mutlak, pertumbuhan relatif yang terbaik juga terdapat pada perlakuan A3B2 (fitase 750 mg/kg dengan kromium 3 mg/kg), yaitu 290,18%. Hasil yang diperoleh ini relevan dengan hasil penelitian terdahulu dengan jenis ikan yang berbeda. Dosis optimal fitase untuk pemanfaatan pakan dan pertumbuhan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) berkisar 875-1000 mg/kg pakan (Rachmawati & Johannes, 2006). Sedangkan suplementasi 3-4,5 mg/kg kromium dalam ransum ikan nila memberikan pertumbuhan yang baik (Setyo, 2006). Perbedaan pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan relatif akibat penambahan dosis fitase dan kromium yang berbeda pada pakan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Watanabe et al, (1997) yang menyatakan bahwa salah satu hal penting dari kromium adalah mampu meningkatkan potensi kinerja insulin yakni peningkatan situs reseptor insulin melalui kromodulin yakni faktor toleransi glukosa yang mengikat kromium agar berperan penting dalam metabolisme karbohidrat dan lipid. Sumber energi yang digunakan oleh ikan untuk keperluan pemeliharaan tubuh, pergerakan dan pertumbuhan terutama berasal dari protein, hal ini karena ikan kurang efektif dalam memanfaatkan sumber energi lain (lemak dan karbohidrat), sehingga keberadaan kromium dalam pakan yang mampu meningkatkan metabolisme dan efisiensi karbohidrat dan lipid sebagai sumber energi lain, selanjutnya akan meningkatkan pasokan energi dari pakan. Peningkatan pasokan energi yang lebih besar, memungkinkan alokasi energi untuk pertumbuhan menjadi meningkat, sehingga pertumbuhan ikan papuyu yang diberi pakan berkromium dengan dosis yang tepat akan lebih cepat
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 39
ISBN: 978-602-6483-07-2
dibandingkan ikan yang diberi pakan yang tidak mengandung kromium atau dengan kandungan kromium yang tidak optimal. 3.2 Efisiensi Pakan dan Konversi Pakan Konsumsi pakan ikan papuyu berkisar antara 234,67-365,63 g. Perbedaan jumlah konsumsi pakan dipengaruhi oleh pemberian fitase dengan kromium berbeda juga dipengaruhi oleh jumlah ikan dan bobot ikan yang dipelihara. Hal ini, sejalan dengan pendapat Hussain (2011), suplementasi fitase memperbaiki tingkat konsumsi dan konversi pakan ikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa suplementasi fitase mempengaruhi konsumsi pakan. Respons ikan papuyu yang lebih baik untuk memanfaatkan pakan terdapat pada perlakuan A3B2 (fitase 750 mg/kg dengan kromium 3 mg/kg), yaitu dengan nilai efisiensi pakan sebesar 53,66%. Tabel 3. Rerata Efisiensi Pakan dan Konversi Pakan Ikan Papuyu
Perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Konsumsi Pakan (g) 234,67 294,53 253,77 299,27 325,07 365,63 345,36 321,96 309,21
Bobot Akhir (g) 146,43 147,95 169,80 167,63 209,85 229,29 215,33 233,85 148,76
Parameter Bobot Ikan Mati (g) 8,9 10,2 9,8 11,5 10,5 8,2 8,3 6,1 10,7
Efisiensi Pakan (%) 39,34 30,85 44,06 37,63 46,65 44,11 44,28 53,66 30,29
Konversi Pakan 2,55 3,24 2,27 2,66 2,14 2,27 2,26 1,86 3,30
Efisiensi pakan dianalisis guna menilai kualitas pakan, semakin tinggi nilai efisiensi pakan membuktikan pakan semakin baik (Kordi, 2002). Efisiensi pakan merupakan kemampuan ikan untuk memanfaatkan pakan secara optimal. Hal ini, terkait dengan kemampuan ikan untuk mencerna pakan yang diberikan kemudian menyimpannya di dalam tubuh. Semakin kecil nilai efisiensi pakan, maka ikan tidak efisien dalam memanfaatkan pakan atau dapat dikatakan boros dalam memanfaatkan pakan tersebut. Tingkat efisiensi pakan berhubungan dengan konversi pakan, di mana saat tingkat efisiensi pakan tinggi, maka konversi pakan yang dihasilkan rendah. Nilai konversi pakan ikan papuyu yang diberi fitase dengan kromium berbeda berkisar antara 1,86-3,30. Nilai konversi pakan ikan papuyu terbaik terjadi pada perlakuan A3B2 (fitase 750 mg/kg dengan kromium 3 mg/kg), yaitu 1,86. Hasil ini sejalan dengan pendapat Mudjiman (2000), nilai konversi pakan untuk ikan berkisar antara 1,5-8,5. Ditambahkan oleh Li & Robinson (2005), ikan yang diberi pakan yang telah ditambahkan fitase sebanyak 250 mg/kg atau lebih, diperoleh bobot tubuh yang lebih besar dengan perolehan nilai konversi pakan yang lebih kecil dibandingkan dengan pakan tanpa fitase.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
40 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
3.3 Kandungan Glokusa Darah Pemeriksaan glukosa darah dilakukan pada saat sebelum ikan uji diberi pakan dan jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 9 setelah diberi pakan. Kandungan glukosa darah ikan uji seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Glukosa Darah Ikan Papuyu Perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
0 27 37 27 33 36 29 29 49 34
1 69 49 48 93 102 97 78 99 89
Kandungan Glukosa Darah Jam ke2 3 4 5 79 59 67 52 76 51 55 60 88 82 65 56 67 70 60 87 67 57 67 75 55 51 69 78 73 59 66 62 79 68 77 64 91 85 67 73
7 60 51 53 60 53 63 39 48 47
9 48 43 37 35 45 48 36 38 36
Pada saat sebelum ikan diberi pakan, kandungan glukosa darah merupakan yang terendah, dan kemudian semakin meningkat setelah ikan diberi pakan, dan mencapai puncaknya pada pengamatan jam ke-1 setelah diberi pakan yang mengandung fitase dan kromium. Perbedaan titik puncak glukosa darah antar perlakuan diduga disebabkan oleh perbedaan kandungan fitase dan kromium pakan, di mana pada pakan yang diberi fitase 500-750 mg/kg dengan kromium 3-5 mg/kg cenderung kandungan glukosa darah cepat naik dan mencapai titik maksimum pada jam ke-1 setelah diberi makan, sedangkan yang diberi fitase 250 mg/kg perubahan kandungan glukosa darah lebih lambat dan mencapai titik maksimum pada jam ke2 setelah pemberian pakan. Kandungan glukosa darah pada setiap kali pengamatan selalu berubah-ubah, secara umum kandungan glukosa darah sebelum diberi pakan merupakan titik terendah, dan setelah diberi pakan meningkat, kemudian setelah titik puncak tercapai akan terjadi penurunan dengan semakin bertambahnya waktu setelah pemberian pakan. Glukosa yang masuk ke dalam darah selain digunakan sebagai sumber energi yakni masuk ke siklus asam sitrat untuk menghasilkan energi, kelebihannya akan disimpan dalam bentuk glikogen dan akan digunakan sebagai sumber energi melalui proses glikogenisis setelah diubah kembali menjadi glukosa darah. 3.4 Kualitas Air dan Kelangsungan Hidup Kualitas air selama penelitian berada dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh ikan papuyu dan menunjang untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Kualitas air selama penelitian, suhu air berkisar 26,70C-30,20C, derajat keasaman (pH) berkisar 6,84-7,80, oksigen terlarut (DO) berkisar 3,62-5,65 mg/L, amoniak (NH3) berkisar 0,20-0,45 mg/L, dan karbondioksida (CO2) berkisar 0,21-0,50 mg/L. Tingkat kelangsungan hidup ikan papuyu selama penelitian berkisar 93,33-100%.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 41
ISBN: 978-602-6483-07-2
4. KESIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dosis fitase 750 mg/kg dan kromium 3-4,5 mg/kg dalam pakan buatan dapat diaplikasikan sebagai pakan alternatif untuk budi daya pembesaran ikan papuyu. DAFTAR PUSTAKA Akbar, Junius; Arthur Mangalik; dan Syachradjad Fran. 2015. Pengembangan Perikanan Budi Daya Rawa dengan Pakan Buatan Alternatif Berbasis Bahan Baku Gulma Air dalam Upaya Mendukung Ketahanan Pangan. Laporan Penelitian PUPT Tahun ke-2. Fujaya ,Y. 2004. Fisiologi Ikan (Dasar Pengembangan Teknik Perikanan). Rineka Cipta, Jakarta. Hussain, S.M. 2011. Effect Of Phytase Supplementation On Growth Performance and Nutrient Digestibility Of Labeo rohita Fingerlings Fed On Corn Gluten Meal-Based Diets. Int J. Agric. Biol., 13: 916-922. Li, Menghe dan E.H. Robinson. 2005. Aqua Feeds: Formulation & Beyond, Vol. 2 Issue 1 2005 (13-15). Kordi, H.G.M. 2002. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Kanisius, Jakarta. Mudjiman. 2000. Makanan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta. NRC. 1997. Nutrien Requirement Of Warm Water Fishes and Shllfishes. National Academy Press. Washington DC. USA. Rachmawati, Diana dan H. Johannes. 2006. Efek Ronozyme P dalam pakan buatan terhadap pemanfaatan pakan dan pertumbuhan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Jurnal Ilmu Kelautan,11(4):193-200. Setyo, B. P. 2006. Efek Konsentrasi Kromium (Cr +3) Dan Salinitas Berbeda Terhadap Efisiensi Pemanfaatan Pakan Untuk Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Program Pasca Sarjana. Undip, Semarang. Watanabe. T, Kiron V, Satoh S. 1997. Trace Mineral in Fish Nutrision. Aquaculture, 151: 185-207.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
42 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
MODEL DINAMIK KONSENTRASI NUTRIEN DI PERAIRAN ESTUARIA Maulinna Kusumo Wardhani Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Estuaries are dynamic ecosystems with the flow of the river as one of the important factors that could distribute nutrients, so as to make an ecosystem with high productivity. Levels of nutrients that have important role in the life of estuarine biota are nitrogen and phosphorus compounds. The goal of development of this dynamic model was to study the changes in the amount of nutrients daily for 1 year using STELLA 9:02. This modeling was developed based on several assumptions: (1) the model is in a state of permanent or stable (steady state), (2) the model is considered to be a closed system. This model shows the concentration of nutrients in water without added nutrients entering and coming out of the water system. This was done by changing the constants in the sediment burial; denitrification, Dissolved Inorganic Nitrogen (DIN) incoming and replacement of water is set at a value of zero. Thus the value of DIN can be used by Particulate Organic Nitrogen (PON), sediment deposition into N-organic, or into mineral and back into the water column. Keywords: dynamic models, estuaries, nutrients
1.
PENDAHULUAN
Estuaria merupakan sekosistem yang dimanis dengan aliran sungai sebagai salah satu faktor penting yang dapat mendistribusikan nutrien (unsur hara), sehingga dapat membentuk suatu ekosistem dengan produktivitas yang tinggi. Odum, 1971 dalam Susana (1997) menyebutkan bahwa sifat fisika dan kimia perairan estuaria sangat bervariasi karena merupakan tipe ekosistem yang spesifik. Kadar nutrien yang berperan penting dalam kehidupan biota estuaria antara senyawa nitrogen dan fosfor. Konsentrasi nutrien dalam perairan dipengaruhi oleh limbah yang mengalir ke dalam sungai di sekitar estuaria dan perairan laut sekitarnya. Keberadaan senyawa nitrogen yang tinggi dalam perairan disebabkan oleh senyawa nitrogen ammonia yang teroksidasi menjadi nitrit, kemudian menjadi nitrat dengan bantuan bakteri autotropik. Kelimpahan senyawa-senyawa nitrogen dan fosfor ini dapat mempertinggi kemungkinan terjadinya proses eutrofikasi (Russel et al. 1970 dalam Susana, 1997) yang kemudian menyebabkan terjadinya peledakan alga jenis tertentu. Hal ini dikarenakan nitrogen dalam nutrien membantu pembelahan sel, sehingga penurunan nutrien akan mengurangi tingkat pembelahan sel alga. Alga menyebabkan eutrofikasi karena menambah bahan organik pada sistem. Bila terdapat nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan alga, maka akan terjadi ledakan populasi alga. Kelimpahan, distribusi dan fluktuasi senyawa nitrogen dalam sistem
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 43
ISBN: 978-602-6483-07-2
estuaria bermula dari dampak pencemaran yang pada akhinya akan mengganggu kehidupan biota di dalamnya. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa bahwa sistem dalam sistem estuaria sangat kompleks dan dinamis. Oleh karena itu, perlu adanya kajian mengenai bagaimana memperkirakan jumlah nutrien dalam sistem perairan eatuaria yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, terutama perubahan iklim dan muatan nutrien yang masuk ke dalam sistem. Model ini mengacu pada model yang dibuat oleh Gordon et al. (1996) dengan menghubungkan konsentrasi nutrien dengan pergantian air yang masuk ke dalam sistem baik dari aliran sungai maupun air pasang dari laut. 2.
MODEL SIMULASI
Pengembangan model dinamis ini bertujuan untuk mempelajari perubahan jumlah nutrien harian selama 1 tahun menggunakan perangkat lunak STELLA 9.02. Pemodelan atau simulasi ini dikembangkan pada tahun 2011 berdasarkan beberapa asumsi, yaitu : (1) model tersebut berada dalam kondisi tetap atau stabil (steady state), yang berarti selama waktu estimasi tidak terjadi perubahan-perubahan pada faktor yang bekerja dalam kompartemen, atau perubahanperubahan yang terjadi tetap konstan sepanjang waktu; (2) model tersebut dianggap suatu sistem yang tertutup (closed system), yang berarti selama waktu estimasi tidak ada pengaruh faktor lain selain parameter yang digunakan dalam pemodelan tersebut. Model yang dikembangkan tersaji pada Gambar 1 dan 2, yang memperlihatkan hubungan fungsional dari setiap kompartemen dengan kompartemen lainnya serta faktor-faktor lingkungan yang bekerja pada setiap kompartemen.
Pergantian air
Masukan nutrien dari darat
+
-
-
Nutriean anorganik
+
-
+
-
Bahan organik terlarut
Sedimen nutriean anorganik
+ Sedimen bahan organik
-
Sink
-
+ Sedimen Burial
Gambar 1. Konseptual Diagram Alir Siklus Nutrien di Ekosistem Pesisir
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
44 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Sea DIN Conc DIN Input DIN
Exchange of DIN
Sediment DIN
DENITRIFICATION
DIN Release
Nmax
Water Exchange
ASIMILATION
PON
Exchange of PON
Sed MINERALIZATION
Pmax
SEDIMENTATION
Sediment Org N
SEDIMENT BURIAL
Sea PON Conc
Gambar 2. Model Konseptual Konsentrasi Nutrien dalam Sistem Perairan
Kompartemen dalam model ini terdiri dari empat variabel kondisi dan menggunakan data yang tersedia. Pengukuran standar anorganik serta nitrogen dan fosfor total yang sederhana dalam kolom air mungkin telah dibuat atau dapat dibuat dengan mudah. Pengukuran konsentrasi laju nutrient yang tersuspensi dan terlarut dan fraksi jarang tersedia. Demikian pula pengukuran laju organik dan anorganik karbon, nitrogen dan fosfor (CNP) ke dalam sedimen mungkin sulit untuk dicapai. Untuk melaksanakan disagregasi lebih lanjut, maka diperlukan pengukuran yang sesuai terhadap masukan nutrien dari berbagai sumber masukan di darat, pengumpulan yang dilakukan sama dengan metode yang digunakan untuk perairan. Selain itu, konsentrasi bahan-bahan tersebut di luar teluk (laut) juga harus diketahui. Variabel yang memperlihatkan kondisi perairan estuaria pada ekosistem mangrove dalam pemodelan ini adalah DIN (Dissolved Inorganic Nitrogen/ nitrogen anorganik terlarut), PON (Particulate Organic Nitrogen/ partikulat nitrogen organik dalam kolom air), sedimen nitrogen organic dan sedimen DIN. Selain itu terdapat proses-proses yang mengendalikan kondisi fluks antara variabel-variabel dalam model, yaitu asimilasi, sedimentasi, sedimen burial, mineralisasi sedimen, denitrifikasi, pelepasan DIN, serta masukan dan pergantian air terhadap DIN dan PON dengan laut di luar teluk. Untuk model simulasi pada teluk ini diasumsikan bahwa bahwa pengukuran yang tersedia menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan maksimum PON adalah 50% per hari di bawah kondisi ideal, dengan tidak ada faktor-faktor yang membatasi pertumbuhan. Satu-satunya pembatas faktor yang harus dipertimbangkan dalam model ini adalah nutrisi, DIN, dan pengaruh penetrasi cahaya terhadap biomassa alga yang direpresentasikan sebagai PON. Persamaan yang berbeda menunjukkan perubahan jumlah PON terhadap waktu (dt) dituliskan sebagai berikut:
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 45
ISBN: 978-602-6483-07-2 𝑑[𝑃𝑂𝑁] 𝑑𝑡
= 𝑔𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ − 𝑙𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠
(1)
Dalam model sederhana, pertumbuhan disamakan dengan asimilasi (bersih) dan sedimentasi. Laju asimilasi maksimum didefinisikan 3% per hari sehingga akan lebih mudah untuk mengembangkan hubungan fungsional untuk nutrien yang disebut Nmax, dan biomassa alga yang disebut Pmax, sehingga dapat mencapai nilai antara 0 dan 1. Dengan demikian, persamaan menjadi: 𝑑[𝑃𝑂𝑁]
= 𝑎𝑠𝑠𝑖𝑚𝑖𝑙𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 − 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛
(2)
assimilation = Pmax . Nmax . (0.5) . PON
(3)
𝑑𝑡
Sehingga,
Jika konsentrasi nutrien tinggi dan biomassa alga cukup rendah untuk memastikan bahwa pertumbuhannya berada pada tingkat maksimum, maka Pmax dan Nmax sama dengan 1. Jika tidak ada nutrisi dan biomas sangat tinggi, maka Pmax dan Nmax asama dengan 0. Dengan demikian, tidak akan ada pertumbuhan alga jika terdapat konsentrasi nutrien yang tinggi. Diasumsikan bahwa tersedia data eksperimen yang menunjukkan bahwa alga yang tumbuh pada setengah dari tingkat maksimum pada konsentrasi DIN 0,5 µmol. Sehingga nilai Nmax dari persamaan Michaelis-Menten adalah 𝑁𝑚𝑎𝑥 =
𝐷𝐼𝑁 0.3+𝐷𝐼𝑁
(4)
Ketika konsentrasi partikel dalam kolom air meningkat, maka cahaya lebih sedikit dapat menembus dan asimilasi akan menjadi terbatas. Diasumsikan bahwa asimilasi akan menurun sampai 50% ketika konsentrasi PON mencapai 2 µmol. Persamaan MichaelisMenten yang digunakan dalam hal ini untuk merumuskan Pmax: 𝑃𝑚𝑎𝑥 = 1 −
𝑃𝑂𝑁 2+𝑃𝑂𝑁
(5)
Asimilasi dalam model ini merupakan fungsi dari konsentrasi nutrien dan PON. Pengukuran yang tersedia menunjukkan bahwa 10% dari partikel PON sedimen keluar setiap hari. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan jumlah yang keluar diketahui, persamaan diferensial dapat ditulis untuk menjelaskan perubahan PON terhadap waktu: 𝑑[𝑃𝑂𝑁] 𝑑𝑡
= 𝑃𝑚𝑎𝑥 𝑥 𝑁𝑚𝑎𝑥 𝑥 0.5 𝑥 𝑃𝑂𝑁 − 𝑃𝑂𝑁 𝑥 0.10
(6)
Hal ini juga diasumsikan bahwa 5% dari materi organik dalam sedimen terdegradasi setiap hari. Dari nutrien yang dilepaskan ke dalam sedimen, 50% dilepaskan ke dalam kolom air dan 10% terdenitrifikasi setiap hari. Dengan demikian, persamaan diferensial untuk semua variabel kondisi dapat ditulis. Dengan perangkat lunak STELLA 9.02, persamaan ini secara otomatis dihasilkan ketika diagram alir yang digambarkan dan proses yang ditetapkan. Hal ini terlihat pada model matematika dalam perangkat lunak STELLA 9.02 sebagai berikut:
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
46 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
DIN(t) = DIN(t - dt) + (DIN_Input + DIN_Release - ASIMILATION Exchange_of_DIN) * dtINIT DIN = 10 INFLOWS: DIN_Input = 0 DIN_Release = Sediment_DIN*0.5 OUTFLOWS: ASIMILATION = PON*Nmax*Pmax*0.5 Exchange_of_DIN = Water_Exchange*(DIN-Sea_DIN_Conc) PON(t) = PON(t - dt) + (ASIMILATION - Exchange_of_PON - SEDIMENTATION) * dtINIT PON = 0.1 INFLOWS: ASIMILATION = PON*Nmax*Pmax*0.5 OUTFLOWS: Exchange_of_PON = Water_Exchange*(PON-Sea_PON_Conc) SEDIMENTATION = PON*0.10 Sediment_DIN(t) = Sediment_DIN(t - dt) + (Sed_MINERALIZATION DENITRIFICATION - DIN_Release) * dtINIT Sediment_DIN = 0.001 INFLOWS: Sed_MINERALIZATION = Sediment_Org_N*0.05 OUTFLOWS: DENITRIFICATION = Sediment_DIN*0.0 DIN_Release = Sediment_DIN*0.5 Sediment_Org_N(t) = Sediment_Org_N(t - dt) + (SEDIMENTATION SEDIMENT_BURIAL - Sed_MINERALIZATION) * dtINIT Sediment_Org_N = 1 INFLOWS: SEDIMENTATION = PON*0.10 OUTFLOWS: SEDIMENT_BURIAL = Sediment_Org_N*0 Sed_MINERALIZATION = Sediment_Org_N*0.05 Nmax = DIN/(0.5+DIN) Pmax = 1-(PON/(2+PON)) Sea_DIN_Conc = 0 Sea_PON_Conc = 0 Water_Exchange = 0.0 Berdasarkan urutan persamaan dalam model matematika STELLA 9.02 persamaan diferensial dalam format: X(dt) = X(t-dt) + inputs - losses, dimana dt adalah turunan waktu. Pernyataan dimulai dengan INIT yang memberikan konsentrasi awal dari variabel kondisi. Semua variabel kondisi dalam satuan µmol m-3 dan laju dalam satuan d-1. Untuk sedimen, diasumsikan bahwa rata-rata kedalaman teluk adalah 5 m. Dengan demikian, konsentrasi sedimen dapat diskalakan dalam unit m-2, dengan mengalikan dengan rasio area:volume. 3.
PEMBAHASAN
Estuaria memiliki kelebihan dalam keragaman tipe produsen yang tersedia sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh musim. Kemampuan estuaria untuk menyediakan materi organik dikarenakan perairan ini memiliki tiga tipe produsen makrofit yaitu rumput laut, lamun dan bakau dalam bentuk bentik maupun fitoplankton (Odum, 1971). Selain itu, perairan estuaria juga memiliki kemampuan dalam menampung dan menyimpan nutrient pada sistem perairan, terutama pada estuaria dengan tipe hidrologis berlapis, sehingga dapat menyimpan dan Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 47
ISBN: 978-602-6483-07-2
cepatnya perputaran siklus nutrient oleh biota bentik. Di perairan estuaria, sebagian besar materi organik jatuh yang kemudian sebagian terakumulasi dan terkubur, sedang sebagian lainnya membusuk. Beberapa kandungan nutrient dikembalikan ke kolom air, sedangkan sebagian terendap. Salah satu perbedaan penting antara model kelautan dan pesisir adalah peran sedimen dalam proses daur ulang nutrien. Perbedaan penting lainnya adalah bahwa proses biogeokimia sedimen cenderung untuk mengubah konsentrasi nutrient. Hal ini disebabkan proporsi substansial nutrient dikonsumsi sebagai bahan organik seperti denitrifikasi untuk adsorpsi untuk nitrogen dan fosfor, atau hilang melalui pembilasan oleh aliran air (flushing). Proses pengendapan ini juga akan mengubah ratio N: P, karena rasio nitrogen lebih besar maka biasanya lebih banyak terikat di sebagian besar sedimen laut dibandingkan dengan fosfor (Prartono dan Hasena, 2009). Gordon et al. (1996) menguraikan bahwa nitrogen sebagai nutrien anorganik, dapat ditambahkan melalui fiksasi N2- dan hilang melalui denitrifikasi, sedangkan fosfor dapat diserap partikel. Dalam beberapa sistem, sebagian besar nutrisi tersimpan dalam living organic matter ataudetritus di dalam sedimen. Oleh karena itu, sebuah model simulasi dinamis harus mampu menggambarkan proses fisik dan biogeokimia yang mengendalikan fluks hubungan antara anorganik dan organik serta lingkungan (input, sumber-sumber internal dan pengeluran). Pada sistem perairan estuaria, nutrien dan bahan organik masuk atau keluar melalui pergantian air. Input tambahan terjadi melalui sungai, titik-titik sumber masukan lain dan deposisi atmosfer. Produksi primer dan proses sedimentasi bahan organik merupakan kunci dalam pengurangan nutrient dalam kolom air. Nutrien dapat mencapai lapisan permukaan produktif, terasimilasi, didaur ulang dan akhirnya hilang karena sedimentasi. Model yang telah dikembangkan untuk menggambarkan proses ini di lautan terbuka dalam Joint Global Ocean Flux Study (JGOFS) Core Proyek dari IGBP memasukkan factor biologi ke dalam model sirkulasi laut (Fasham et al., 1990; Sarmiento et al., 1993 dalam Gordon et al. 1996). Model ini biasanya memiliki stoikiometri tetap, dengan asumsi ratio C: N konstan. Fosfor jarang dimasukkan dalam model ini, dimana rasio nutrient umumnya mengikuti Redfield Ratios. Alasan utama untuk ini adalah bahwa re-mineralisasi sebagian besar terjadi di kolom air dan hanya sedikit bahan organik yang dapat mencapai sedimen didasar perairan terdalam (> 1000 m). Selain itu terdapat model muatan nutrien Laut Baltik yang dikembangkan oleh Stigebrandt dan Wulff (1989); Ver et al. (1994) diacu dalam Gordon et al. (1996) yang menyatakan bahwa transport nitrogen dan fosfor bersih berkorelasi terbalik dengan rata-rata waktu tinggal (resident time) di dalam air pada sistem. Berdasarkan hal tersebut, model konseptual sistem di perairan pantai (estuaria) harus mencakup proses-proses sedimentasi. Pengembangan model dinamik dalam memperkirakan jumlah nutrient dalam sistem perairan ini menggunakan konsep daur nitrogen dan daur fosfor yang kemudian dianalisa dengan network analysis. Analisis ini dapat merangkum banyak konsep secara bersama-sama dengan penggambaran ekosistem oleh sejumlah kompartemen yang saling berhubungan oleh adanya aliran energi atau bahan (materi) dari suatu kompartemen ke kompartemen lainnya. Model simulasi ini memperlihatkan nilai konsentrasi nutrien dalam perairan tanpa menambahkan nutrien yang masuk maupun yang keluar dari sistem perairan. Hal ini dilakukan dengan mengubah konstanta pada sedimen burial; denitrifikasi, DIN yang masuk dan pergantian air yang diatur pada nilai nol. Dengan demikian nilai DIN dapat digunakan oleh PON, pengendapan sedimen menjadi N organik, atau menjadi mineral dan kembali ke
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
48 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
dalam kolom air. Simulasi konsentrasi nutrien selama satu tahun pada sistem perairan dalam model ini ditunjukkan pada Gambar 3. 1: PON 1: 2: 3: 4:
1: 2: 3: 4:
2: DIN
3: Sediment Org N
10
3
3
3
1 1: 2: 3: 4:
3
1
1
2 1
4
2
0 0.00
Page 1
4: Sediment DIN
20
91.25
4
2 182.50 Days
4
2
4
273.75 365.00 10:51 PM Mon, Feb 01, 2010
Gambar 3. Simulasi Kondisi Konsentrasi Nutrien pada Masing-masing Kompartemen dalam Kurun Waktu Satu Tahun
Simulasi ini menggambarkan bagaimana nutrien anorganik (DIN) akan cepat mengalami penurunan dari konsentrasi awal (10 µM) dalam waktu sekitar 1-40 hari. Laju penurunan merupakan gambaran alami dari skala yang telah diterapkan terhadap fungsi asimilasi, pentransferan nutrien dari DIN ke PON. Setelah kenaikan awal PON dan sedimen organik N, terlihat penurunan DIN, sedangkan peningkatan bahan organik akan terus berlanjut. Sistem akan mencapai kondisi stabil dengan tidak adanya perubahan dalam konsentrasi setelah sekitar 60 hari. Konsentrasi akhir merupakan jumlah semua nilai awal yang ditemukan dalam semua kompartemen. Dengan demikian, simulasi pertama ini dapat digunakan untuk melihat konsistensi dari model bahwa skema solusi numerik tidak menciptakan ketidakstabilan dan penyimpangan nutrien. Simulasi kedua dalam model ini dilakukan untuk melihat bahwa formulasi persamaan pergantian air (water exchange) adalah konsisten: exchange_of_DIN= water_exchange*(DIN-Sea_DIN_conc) Pada simulasi ini, pergantian air diubah 0-1,2% per hari, dengan rentang sebesar 0,2%. Hal ini dilakukan sebagai analisis sensitivitas yang menunjukkan bahwa konsentrasi nutrien dipengaruhi oleh pergantian air meskipun dalam variasi yang sangat kecil. Selain itu juga mengungkapkan bahwa persamaan pergantian air memiliki pengaruh yang diinginkan. Variasi dengan waktu dalam konsentrasi nitrogen anorganik terlarut, DIN, dengan berbagai tingkat pergantian air, 0-1,2% per hari. Garis lurus menunjukkan konsentrasi saat tidak terjadi pertukaran air. Kurva dengan konsentrasi menurun merupakan hasil dari simulasi di mana konsentrasi eksternal adalah nol. Sedangkan kurva yang mengalami kenaikan konsentrasi merupakan hasil simulasi di mana konsentrasi eksternal diatur sampai 15 µM. Dalam analisis sensitivitas ini konsentrasi tidak terpengaruh oleh proses-proses pertukaran selain air (DINinput, Asimilasi, DIN yang dilepaskan diatur ke dalam nilai nol) (Gambar 4).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 49
ISBN: 978-602-6483-07-2
DIN: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 - 6 - 7 - 8 - 9 - 10 - 11 - 12 - 13 1:
20
1:
10
1:
0 0.00
Page 2
91.25
182.50 Days
273.75 365.00 5:28 PM Mon, Feb 01, 2010
Gambar 4. Skenario Pergantian Air terhadap Konsentrasi Nitrogen pada Kolom Air
Formulasi dan laju model digunakan dengan pengecualian adanya masukan DIN harian sebesar 0.1 µM. Model ini kemudian dijalankan hingga mengalami kondisi stabil pada berbagai kondisi pergantian air, hal ini dinyatakan sebagai waktu tinggal (residence time) air. Dari masing-masing simulasi ini, eksport bersih nitrogen (DIN+PON) sebagai persentase masukan nitrogen tiap hari dihitung saat sistem telah mencapai kondisi stabil. Berdasarkan waktu tinggal (residence times) yang sangat singkat hanya beberapa minggu, maka setiap nitrogen yang masuk ke dalam perairan teluk akan cepat keluar. Sebaliknya jika waktu tinggal lebih lama, maka nitrogen akan sedikit yang keluar dari sistem perairan. Dalam model ini tampaknya disebabkan oleh pentingnya peningkatan pelepasan internal, terutama melalui denitrifikasi. Penurunan pergantian air menunjukkan bahwa nutrien anorganik akan berputar melalui empat kompartmen sistem beberapa kali. Setiap kali unit nitrogen melewati kompartemen DIN, dimungkinkan akan lepas sebanyak 10% melalui proses denitrifikasi. Perputaran berikutnya menunjukkan lebih banyak unit nitrogen yang terlepas dalam proses ini. Model sederhana ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan antara interaksi fisik dan biogeokimia. 4.
KESIMPULAN
Perairan estuari yang merupakan salah satu kawasan pesisir yang produktif dengan aliran nutrien (unsur hara) yang berasal dari daratan melalui aliran sungai membuat perairan jauh lebih subur dibandingkan perairan laut lepas. Kenyataan tersebut diatas menunjukkan bahwa potensi yang besar karena sumberdaya alam yang dimiliki menjadikan kawasan perairan ini sangat rentan terhadap berbagai tekanan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas ekonomi. Berdasarkan simulasi model yang dibuat dapat digunakan sebagai perkiraan konsentrasi nutrient di perairan estuaria, sehingga berbagai langkah secara terpadu untuk mengelola kawasan perairan ini dapat direncanakan. Hal ini ditujukan agar tingkat pencemaran dapat
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
50 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
diminimalkan dan kualitas sumberdaya alam yang berada di kawasan estuaria dapat diperbaiki dan dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA Gordon D C. JR., P R Boudreau, K H Mann, J E Ong, W L Silvert, S V Smith, G Wattayakorn, F Wulff, T Yanagi. 1996. LOICZ. 1996. Land-Ocean Interaction in the Coastal Zone (LOICZ). LOICZ Biogeochemical Modeling Guidelines. Second Edition.Core Project of the International Geosphere-Biosphere Programme: A Study of Global Change (IGBP) of International Council of Scientific Unions. Netherland. Odum. 1971. Fundamental of Ecology. Toronto: W B Saunders. Prartono T dan T Hasena. 2009. Studi Kinetis Senyawa Fosfor dan Nitrogen dari Resuspensi Sedimen. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 1(1): 1-8. Susana T. 1997. Distribusi Senyawa Nitrogen di Perairan Muara Sungai Sinter dan Sungai Ciawi. Prosiding Biologi XIV dan Kongres Nasional Biologi, 11(1): 481-496.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 51
ISBN: 978-602-6483-07-2
PEMETAAN KERENTANAN BENCANA BANJIR DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Rosalina Kumalawati1, Farida Angriania2 dan Desy Iswayuni3 1. Prodi Pendidikan Geografi, Jurusan Pendidikan IPS, FKIP ULM, Email:
[email protected] 2. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi, Jurusan Pendidikan IPS, FKIP ULM, Email:
[email protected]
ABSTRAK Potensi bencana di seluruh belahan dunia akhir akhir ini menunjukan peningkatan frekuensi kejadian bencana, termasuk bencana banjir. Bencana banjir memakan banyak menelan korban jiwa dan harta benda yang terjadi setiap masuk musim penghujan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemetaan kerentanan bencana banjir di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan.Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dengan teknik survei primer dan sekunder. Survei primer melalui wawancara semi terstruktur kepada stakeholders terpilih. Faktor-faktor kerentanan yang berpengaruh terhadap bencana banjir di daerah penelitian digunakan teknik analisa isi (content analysis) yaitu, teknik eksplorasi data yang mengandalkan kode dalam suatu teks perekaman. Variabel kerentanan yang menjadi parameter dalam eksplorasi data dan informasi kepada stakeholders terpilih, adalah variabel jumlah penduduk dan luas wilayah. Peta kerentanan banjir diperoleh dari hasil overlay beberapa peta tematik dan hasil interpretasi citra mengunakan software Arc View dan Arc GIS. Hasil penelitian menunjukkan semua daerah penelitian termasuk dalam rentan bencana banjir. Kerentanan tinggi terdapat di Kecamatan Barabai karena termasuk ibu kota kecamatan dengan kepadatan penduduk yang paling tinggi. Kerentanan rendah terdapat di Kecamatan Batang Alai Selatan, Batang Alai Utara, Batu Benawa, Haruyan, Labuan Amas Selatan, Limpasu, Pandawan dan Labuan Amas Utara. Sedangkan Kerentanan sangat rendah terhadap bencana banjir terdapat di Kecamatan Batang Alai Timur dan Hantakan. Kata kunci: Kerentanan, Bencana, Banjir
1.
PENDAHULUAN
Bencana alam di Indonesia dari tahun ke tahun memiliki kecenderungan meningkat, egitu juga bencana banjir yang setiap tahun terjadi di seluruh penjuru tanah air (Agus, J.P, 2008). Banjir terjadi setiap masuk musim hujan. Intensitas curah hujan yang tinggi menyebabkan meluapnya sungai-sungai karena tidak mampu menampung air. Akibatnya banjir terjadi dimana-mana, penduduk mengungsi dan menimbulkan berbagai kerusakan bahkan korban jiwa (Suprapto, 2012). Sungai/laut atau aliran air yang menyediakan kemudahan hidup bagi masyarakat disekitarnya itu juga bisa menjadikan masyarakat menghadapi risiko bencana tahunan akibat banjir (Ligal Sebastian, 2008).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
52 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Pada umumnya, banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi diatas normal dan penggundulan hutan. Penggundulan hutan di daerah resapan air hujan (cathment area) menyebabkan peningkatan debit banjir melampaui kapasitas pengaliran dan menjadi pemicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan terjadinya sedimentasi di sistem pengaliran air dan wadah air lainnya. Akibatnya, sebagian besar air akan menjadi aliran air permukaan yang langsung masuk kedalam sistem pengaliran air sehingga kapasitasnya terlampaui dan mengakibatkan banjir (Said dkk.,2010). Potensi bencana banjir di Indonesia sangat besar dilihat dari topografi dataran rendah, cekungan dan sebagian besar wilayahnya adalah lautan. Curah hujan di daerah hulu dapat menyebabkan banjir di daerah hilir. Apalagi untuk daerah-daerah yang tinggi permukaan tanahnya lebih rendah atau hanya beberapa meter di atas permukaan air laut. Berdasarkan data dan informasi bencana Indonesia yang dikelola Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukan bahwa bencana banjir merupakan kejadian terbanyak (Suprapto, 2012). Banjir juga terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Tengah terjadi di daerah padat penduduk (Kumalawati, 2015; 2016). Kurangnya informasi khususnya data spasial mengenai kondisi wilayah yang berpotensi banjir dapat memperparah kerugian yang akan ditimbulkan kedepannya. Kajian spasial wilayah bencana banjir sangat diperlukan sebagai referensi upaya mitigasi. Menurut Plate (2002) langkah pertama dalam manajemen risiko banjir adalah pemetaan bahaya banjir. Menurut Carter (1992) penilaian risiko (risk) bencana dapat dilakukan dengan mengidentifikasi tingkat bahaya (hazard) dan menduga tingkat kerentanan (vulnerability). Tingkat bahaya banjir dapat diketahui melalui pemodelan spasial genangan, sedangkan tingkat kerentanan dapat diketahui melalui analisis secara spasial aspek-aspek yang rentan terhadap bencana banjir. Penelitian ini difokuskan pada pemetaan kerentanan banjir karena banjir terjadi pada daerah padat penduduk. Penelitian ini bertujuan untuk “Pemetaan Kerentanan Bencana Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Tengah” 2.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dengan teknik survei data primer dan data sekunder. Survei data primer melalui wawancara semi terstruktur kepada stakeholders terpilih. Faktor-faktor kerentanan yang berpengaruh terhadap bencana banjir didaerah penelitian digunakan teknik analisa isi (content Analysis) yaitu teknik eksplorasi data yang mengandalkan kode dalam suatu teks perekaman. Variabel kerentanan menjadi parameter dalam eksplorasi data dan informasi kepada stake holders terpilih, adalah variabel jumlah penduduk dan luas wilayah. Analisis kerentanan dikaji berdasarkan kriteria kerentanan sosial. Kerentanan sosial dinilai berdasarkan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk dihitung berdasarkan jumlah penduduk (jumlah penduduk rata-rata perunit/titik bangunan pemukiman) per km2 yang diperoleh dari data BPS Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 2015. Kepadatan penduduk dihitung dengan analisis Point Density, kemudian dikelaskan dengan metode klasifikasi Natural Breaks sebanyak 4 kelas yaitu kelas sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi. Analisis tingkat kerentanan bencana banjir dilakukan dengan metode spasial MCDA (Multi Criteria Decision
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 53
ISBN: 978-602-6483-07-2
Analysis) yaitu menggabungkan beberapa kriteria secara spasial berdasarkan nilai dari masing-masing kriteria (Malczewski, 1999). Pembobotan masing-masing kriteria kerentanan berdasarkan penilaian pakar yang dilakukan dengan metode perbandingan berpasangan dalam metode AHP. Kelas kerentanan diklasifikasikan dengan metode equal interval (interval sama) menjadi 4 kelas yaitu sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi. Selanjutnya, Peta kerentanan banjir diperoleh dari hasil overlay beberapa peta tematik menggunakan Software Arc View dan Arc GIS. Survei sekunder terdiri dari survey instansi dan survey literatur. Survei instansi merupakan survei yang dilakukan dalam pengumpulan data sekunder atau pendukungdi instansi atau dinas-dinas. Studi literatur atau kepustakaan dilakukan dengan meninjau isi dari literatur yang bersangkutan dengan tema penelitian ini, diantaranya berupa hasil penelitian, dokumen rencana tata ruang, tugas akhit serta artikel di Internet (Bambang et al.,2012) 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi kerentanan banjir dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan akurat seperti yang dilakukan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Kerentanan banjir di Kabupetan Hulu Sungai Tengah dapat diidentifikasi secara cepat melalui Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan metode tumpang susun/overlay terhadap parameter-parameter banjir, seperti : peta jumlah penduduk, peta kepadatan penduduk dan peta kepadatan bangunan. Peta kepadatang bangunan diperoleh dari hasil pengolahan Peta blok bangunan. Peta blok bangunan tersebut diperoleh dari hasil interpretasi citra. Melalui Sistem Informasi Geografis diharapkan akan mempermudah penyajian informasi spasial khususnya yang terkait dengan penentuan tingkat kerentanan banjir serta dapat menganalisis dan memperoleh informasi baru dalam mengidentifikasi daerah-daerah yang sering menjadi sasaran banjir (Seniarwan dkk, 2013). Berdasarkan hasil analisa overlay beberapa peta tematik menggunakan software Arc View dan Arc GIS diperoleh beberapa tingkat kerentanan yang berbeda pada setiap kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (lihat Tabel 1 dan Gambar 1). Setelah didapatkan peta kerentanan, maka selanjutnya adalah melakukan validasi hasil Peta Kerentanan dengan kondisi sebenarnya di wilayah penelitian. Validasi dilakukan dengan melakukan wawancara kepada stakeholders dengan menanyakan Peta Kerentanan banjir dengan kondisi di wilayah penelitian. Tabel 2.
Tingkat Kerentanan Bencana Banjir Per Kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah No 1 2 3 4 5 6 7
Kecamatan
Tingkat Kerentanan Barabai Tinggi Batang Alai Selatan Rendah Batang Alai Utara Rendah Batu Benawa Rendah Haruyan Rendah Labuan Amas Selatan Rendah Labuan Amas Utara Rendah
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
54 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
No 8 9 10 11
Kecamatan Limpasu Pandawan Batang Alai Timur Hantakan
Tingkat Kerentanan Rendah Rendah Sangat Rendah Sangat rendah
Sumber: BPS, 2015; Interpretasi Citra, 2016; Hasil Pengolahan dan Pengukuran Lapangan, 2016
Tingkat kerentanan bencana banjir di masing-masing kecamatan di kabupaten Hulu Sungai Tengah berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa setiap kecamatan mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda-beda terhadap bencana banjir. Hanya ada satu kecamatan yang masuk kedalam kelas kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Barabai. Kecamatan Barabai termasuk kerentanan tinggi karena kecamatan tersebut sebagai ibu kota Kecamatan, dengan pertumbuhan permukiman yang semakin tinggi sehingga tingkat kepadatan bangunan juga tinggi , dan daya serap tanah terhadap air (infiltrasi) rendah. Apabila Kecamatan Barabai terkena banjir maka risikonya akan lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain yang mempunyai kerentanan rendah dan sangat rendah. Kerentanan rendah terdapat di Kecamatan Batang Alai Selatan, Batang Alai Utara, Batu Benawa, Haruyan, Labuan Amas Selatan, Limpasu, Pandawan dan Labuan Amas Utara. Sedangkan Kerentanan sangat rendah terhadap bencana banjir terdapat di Kecamatan Batang Alai Timur dan Hantakan.
Gambar 1. Peta Tingkat Kerentanan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun 2016
4.
KESIMPULAN
1. Semua daerah penelitian termasuk rentan bencana banjir, 2. Kerentanan tinggi terdapat di Kecamatan Barabai karena termasuk ibu kota kecamatan dengan kepadatan penduduk yang paling tinggi, 3. Kerentanan rendah terdapat di Kecamatan Batang Alai Selatan, Batang Alai Utara, Batu Benawa, Haruyan, Labuan Amas Selatan, Limpasu, Pandawan dan Labuan Amas Utara, 4. Kerentanan sangat rendah terhadap bencana banjir terdapat di Kecamatan Batang Alai Timur dan Hantakan.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 55
ISBN: 978-602-6483-07-2
DAFTAR PUSTAKA Pratomo, A. J. 2008. Analisis Kerentanan Banjirsi Darah Alirang Sungai Sengkarang Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah dengan Bantuan Sistem Informasi Geografis. Skripsi. Fakultas Geografi, UMS. Rachmat, A. R. dan A. Pamungkas. 2014. Faktor-Faktor Kerentanan Yang Berpengaruh Terhadap Bencana Banjir Di Kecamatan Manggala Kota Makasar. 3(2). ISSN:23373539. http://ejurnal.its.ac.id/index.php/teknik/article/viewfile/7263/1902. Diakses pada 28 September 2016 [BNPB] Badan Penanggulangan Bencana Nasional. 2012. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. BNPB. Jakarta. Bambang Budi Utomo dan Rina Dewi Supriharjo, 2012. Pemintakan Risiko Bencana Banjir Bandang Di Kawasan Sepanjang Kali Sampean, Kabupaten Bondowoso. 2(1). ISSN:2301-9271. http://ejurnal.its.ac.id/index.php/teknik/article/viewfile/966/447. Diakses pada28 September 2016 Carter, W.N. 1992. Disaster Management: Disaster Manager’s Handbook. Asian Development Bank. Manila. Santoso, Eko Budi. 2013. Manejemen Risiko Bencana Banjir Kali Lamong Pada Kawasan Peri-Urban Surabaya-Gresik Melalui Pendekatan Kelembagaan. 8(2) http://personal.its.ac.idfilespub5234-eko_Budi-urpan manajemen%20risiko%20bencana%20banjir%20kali%20Lamong.pdf. Diakses pada 29 September 2016 Firdaus dan S. Kristyawan, 2010. Pemetaan Tingkat Ancaman Bencana Alam Banjir dan tanah Longsor di kecamatn Latambaga, Kabupaten Kolaka. 6(2). http://118.97.35.230/fakultas/JAF-agustus_10_(firdaus-said).pdf. Sbastian, L. 2008. Pendekatan Pencegahan dan Penanggulangan Banjir. 8(2). https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/146/_9_%20Ligal.pdf?Sequen ce=1. Diakses pada-28 September 2016. Plate, E. J. 2002. Flood risk and flood management. J. Hydrol., 267:2-11. Suprapto, 2012. Statistik Pemodelan Bencana Banjir Indonesia (Kejadian 2002-2010). 2(2). http://bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/380.pdf. Diakses pada 28 September 2016. Seniarwan, D. P. T. Baskoro, dan K. Gandasasmita. 2013. Analisis Spasial Risiko Banjir Wilayah Sungai Mangottong di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Jurnal T.Lingkungan, 15(1):39-44. ISSN 1410-7333.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
56 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
PENYUSUNAN MODEL NUMERIK PERGERAKAN BAHAN TOKSIK DI SALURAN REKLAMASI UNIT TERANTANG Rony Riduan1, dan Budi Utomo2 1. Tenaga Pendidik Program Studi Magister Teknik Sipil Fakultas Teknik Unlam 2. Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil Fakultas Teknik Unlam E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Salah satu faktor penghambat pemanfaatan lahan rawa di Kalimantan Selatan adalah keberadaan tanah sulfat masam. Proses reklamasi lahan yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut masih mengalami beberapa kendala, salah satunya adalah akumulasi bahan toksik pada saluran. Kejadian tersebut juga terjadi di saluran reklamasi rawa pasang surut Terantang. Salah satu dugaan penyebab terjadinya permasalahan tersebut adalah pergerakan arus yang diduga tidak berjalan dengan baik sehingga proses pencucian tidak sempurna. Penelitian ini membahas tentang analisis pola pergerakan air di saluran reklamasi rawa pasang surut Terantang dibantu dengan perangkat lunak EFDC (Environmental Fluid Dynamic Code). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan yang dilakukan di saluran primer dan sekunder serta kolam pasang unit Terantang, sehingga didapatkan data geometri dan hidrometri saluran. Data tersebut kemudian dikalibrasi dan divalidasi sehingga dapat disusun model numerik dan simulasi pergerakan arus untuk saluran tersebut. Saluran reklamasi rawa pasang surut Terantang yang ditinjau memiliki dimensi lebar saluran sekunder berkisar 45 m sampai 50 m dengan kedalaman 0,5 m sampai 4,8 m. Kolam pasang pada saluran tersebut memiliki dimensi panjang 400 m dan lebar 300 m dengan kedalaman ± 0,5 m. Selisih waktu antara pasang maksimum dan surut minimum adalah 32 jam dengan perbedaan elevasi 1,58 m. Model pergerakan arus yang disusun memiliki relatif bias sebesar -4,7231 terhadap data pengamatan. Hasil simulasi menunjukkan adanya pola aliran stagnan pada beberapa titik di kondisi eksisting dan kolam pasang normal. Pola aliran yang terjadi secara umum menunjukkan bahwa pada kondisi pasang air tidak mampu mencapai kolam pasang karena peristiwa surut sudah terjadi. Hal tersebut terjadi akibat saluran sekunder yang terlampau panjang sehingga proses pencucian di saluran tidak terjadi secara sempurna. Kata Kunci: Saluran Reklamasi, Terantang, Pola Aliran
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan rawa di Pulau Kalimantan mempunyai luasan sekitar 12,3 juta ha berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2005. Berdasarkan data dari sumber yang sama, terdapat sekitar 1 juta ha lahan rawa di Provinsi Kalimantan Selatan. Lahan rawa di Kalimantan Selatan meliputi 0,8 juta ha rawa pasang surut dan 0,2 juta Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 57
ISBN: 978-602-6483-07-2
ha rawa non pasang surut atau rawa lebak. Luas lahan rawa di Kalimantan Selatan hampir mencakup 26 persen dari luas Provinsi Kalimantan Selatan, maka lahan rawa tersebut sangat potensial untuk pembangunan daerah Kalimantan Selatan. Luas lahan rawa di Kalimantan Selatan yang baru dimanfaatkan adalah sekitar 0,45 juta ha (BPN Kal-Sel, 2004). Lahan rawa tersebut masih secara parsial tersebar di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan. Salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan dari lahan rawa di Kalimantan Selatan adalah potensi di bidang pertanian. Lahan rawa tidak hanya mempunyai potensi di bidang pertanian akan tetapi mempunyai beberapa permasalahan yang menghambat pemanfaatan di bidang pertanian. Salah satu permasalahan tersebut adalah keberadaan tanah sulfat masam yang mengandung pirit (FeS2) yang mempengaruhi kualitas air dan tanah. Pada tahun 1969, Pemerintah Indonesia melakukan proses reklamasi untuk mengatasi permasalahan tanah sulfat masam. Proses reklamasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia mengalami beberapa permasalahan dalam pelaksanaannya. Permasalahan tersebut berupa keberadaan bahan toksik di saluran. Dalam perkembangannya pelaksanaan reklamasi ternyata mengalami beberapa kendala, antara lain terjadinya oksidasi pirit, sedimentasi, dan akumulasi bahan toksik pada saluran sekunder (Roelse, 1988). Permasalahan tersebut terdapat di saluran reklamasi rawa pasang surut unit Terantang di Kalimantan Selatan. Salah satu dugaan penyebab terjadinya akumulasi bahan toksik di saluran reklamasi rawa pasang surut unit Terantang adalah kondisi pergerakan arus yang diduga tidak berjalan seperti prinsip sistem sisir sehingga bahan-bahan toksik diduga tidak tercuci dengan baik saat air surut. Pola pergerakan arus tersebut perlu dibuktikan melalui penelitian. 1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi geometri dan hidrometri saluran primer dan sekunder Unit Terantang? 2. Bagaimana pemodelan pola aliran di saluran primer dan sekunder Unit Terantang? 3. Bagaimana analisis pola aliran yang terjadi di saluran primer dan sekunder Unit Terantang? 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permodelan Hidrodinamik Menggunakan Program EFDC Dalam pemodelan digunakan beberapa perangkat lunak (software) untuk membantu proses perhitungan. Perangkat lunak tersebut adalah FORTRAN (Compact Visual Fortran) yang digunakan untuk kompilasi model, GRID95 serta SURFER ver. 8 dari Golden Software, Inc. untuk membangun jaringan (grid) model. Model hidrodinamik disusun berdasarkan kode dari EFDC (Environmental Fluid Dynamic Code) yang dikembangkan oleh Hamrick (1992). Hasil perhitungan dari model kemudian diolah menggunakan aplikasi EFDC Explorer (Craig, 2010). Aplikasi ini merupakan perangkat lunak yang dapat digunakan untuk visualisasi grafik berdasarkan hasil keluaran model EFDC. Persamaan-persamaan hidrodinamik pada model EFDC merupakan persamaan-persamaan hidrodinamik yang sudah ditransformasikan ke dalam bentuk sistem koordinat sigma. Persamaan-persamaan tersebut adalah sebagai berikut:
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
58 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Persamaan kontinuitas ∂𝑡 (𝑚𝜁) + ∂𝑥 (𝑚y 𝐻𝑢) + ∂𝑦 (𝑚x 𝐻𝑣) + ∂𝑧 (𝑚𝑤) = 0 ........................................................... (1)
Persamaan momentum ∂𝑡 (𝑚𝐻𝑢) + ∂𝑥 (𝑚y 𝐻𝑢𝑢) + ∂𝑦 (𝑚x 𝐻𝑣𝑢) + ∂𝑧 (𝑚𝑤𝑢) −(𝑚𝑓 + 𝑣 ∂𝑥 𝑚y − 𝑢 ∂𝑦 𝑚x )𝐻𝑣 = −𝑚y 𝐻 ∂𝑥 (𝑔𝜁 + 𝑝) − 𝑚y (∂𝑥 ℎ − 𝑧 ∂𝑥 𝐻) ∂𝑧 𝑝 + ∂𝑧 (𝑚𝐻 −1 𝐴v ∂𝑧 𝑢) + 𝑄u ............................ (2) ∂𝑡 (𝑚𝐻𝑣) + ∂𝑥 (𝑚y 𝐻𝑢𝑣) + ∂𝑦 (𝑚x 𝐻𝑣𝑣) + ∂𝑧 (𝑚𝑤𝑣) −(𝑚𝑓 + 𝑣 ∂𝑥 𝑚y − 𝑢 ∂𝑦 𝑚x )𝐻𝑢 = −𝑚x 𝐻 ∂𝑦 (𝑔𝜁 + 𝑝) − 𝑚x (∂𝑦 ℎ − 𝑧 ∂𝑦 𝐻) ∂𝑧 𝑝 + ∂𝑧 (𝑚𝐻 −1 𝐴v ∂𝑧 𝑢) + 𝑄v .......................... (3) Persamaan kecepatan aliran vertikal dalam sistem koordinat sigma 𝑤 = 𝑤 ∗ − 𝑧(∂𝑡 𝜁 + 𝑢𝑚x−1 ∂𝑥 𝜁 + 𝑣𝑚y−1 ∂𝑦 𝜁) + (1 − 𝑧) (𝑢𝑚x−1 ∂𝑥 ℎ + 𝑣𝑚y−1 ∂𝑦 ℎ) ....................................................................................................... (4) 2.2. Kalibrasi Parameter yang perlu dikalibrasi dalam penelitian ini adalah kekasaran dasar saluran (bottom roughness). Kalibrasi dilakukan dengan metode trial and error menggunakan perangkat lunak EFDC Explorer 7.2. Metode tersebut meliputi permodelan menggunakan kekasaran dasar saluran yang bervariasi. Penentuan kekasaran dasar saluran secara lebih lanjut dilakukan pada tahap validasi. 2.3. Validasi Validasi dalam penelitian ini menggunakan cara analisis statistik, yakni perhitungan relatif bias. Parameter yang menjadi pembanding adalah kecepatan aliran. Kecepatan aliran hasil permodelan akan dihitung relatif biasnya terhadap kecepatan aliran hasil pengukuran. Perhitungan relatif bias menggunakan persamaan sebagai berikut: Relatif Bias =
̂ ∑𝑁 𝑖=1(𝑋i −𝑋i ) ∑𝑁 𝑖=1 𝑋i
× 100 ............................................................................................ (5)
di mana 𝑋̂i adalah data hasil pemodelan, 𝑋i adalah data lapangan, dan N adalah jumlah data. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian dimulai dengan mendapatkan data primer yang didapat melalui pengukuran langsung oleh peneliti menggunakan perangkat single beam echo sounder, current meter, dan staff gauge. Data yang didapat dari pengukuran menggunakan perangkat-perangkat tersebut adalah data geometri saluran primer dan sekunder serta kolam pasang, kecepatan aliran pada saluran primer dan sekunder, fluktuasi muka air di bagian muara saluran primer. Selain mengumpulkan data primer, penelitian ini memerlukan data sekunder yang meliputi peta situasi dan debit aliran pada saluran tersier Unit Terantang. Data sekunder tersebut didapat dari hasil penelitian dan instansi terkait.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 59
ISBN: 978-602-6483-07-2
Kalibrasi diperlukan untuk menjamin penelitian yang dilakukan mempunyai hasil yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Kalibrasi yang dilakukan berupa penetapan parameter-parameter agar hasil dari penelitian sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Pada penelitian ini, parameter yang perlu dikalibrasi adalah kekasaran dasar saluran (bottom roughness). Kalibrasi pada penelitian ini dilakukan dengan metode trial and error untuk mendapatkan kekasaran dasar yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Langkah selanjutnya adalah melakukan validasi permodelan jika menggunakan kekasaran dasar saluran yang telah didapat. Validasi pada penelitian ini dilakukan dengan analisis statistik. Analisis statistik yang digunakan adalah relatif bias. Kevalidan permodelan ditentukan oleh selisih overestimate atau underestimate antara hasil permodelan dengan data lapangan. Permodelan dianggap valid apabila selisih overestimate atau underestimate tidak terlampau besar. Setelah melakukan validasi, kemudian barulah dilakukan pemodelan pola aliran (hidrodinamika) di saluran primer dan sekunder di Unit Terantang. Model hidrodinamik didasarkan pada model EFDC (Environmental Fluid Dynamic Code) yang dikembangkan oleh Tetra Tech, Inc (EFDC_DS) yang umum digunakan pada pemodelan hidrodinamika perairan yang dipengaruhi pasang surut. Model hidrodinamik tersebut akan memberikan gambaran berdimensi dua mengenai pola aliran yang terjadi di saluran primer dan sekunder di Unit Terantang. Tahap akhir yang akan dilakukan adalah menganalisis pola aliran yang terjadi di Unit Terantang. Pada tahap analisis pola aliran, hasil running program EFDC akan memperlihatkan kondisi eksisting untuk pola aliran dan umur air di saluran primer dan sekunder di Unit Terantang. Jika pola aliran yang terjadi berwujud pola aliran stagnan dan umur air di saluran yang relatif lama maka dilakukan penanganan dengan pengerukan kolam pasang. Peneliti perlu melakukan simulasi menggunakan program EFDC untuk membuktikan apakah dengan melakukan pengerukan pada kolam pasang mampu mengatasi masalah tersebut. Metode penelitian ini dapat digambarkan pada diagram alir dalam Gambar 1.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
60 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
3.2. Alat Penelitian Adapun alat penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Perangkat single beam echo sounder 2. Perangkat current meter 3. Perangkat staff gauge 4. GPS
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 61
ISBN: 978-602-6483-07-2
5. 6.
Perangkat komputer Perangkat lunak EFDC Explorer 7.2
3.3. Pengumpulan Data Primer Data primer yang diperlukan untuk penelitian ini adalah data geometri saluran, kecepatan aliran, dan fluktuasi muka air. Data geometri saluran mencakup geometri saluran primer dan sekunder serta kolam pasang di Unit Terantang. Data kecepatan aliran yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data kecepatan aliran di saluran primer dan sekunder di Unit Terantang. Data fluktuasi muka air yang digunakan dalam penelitian ini adalah fluktuasi muka air di bagian muara saluran Unit Terantang yang berbatasan langsung dengan Sungai Barito. Pengumpulan data primer memerlukan alat ukur untuk masing-masing keperluan data. Data primer berupa data geometri saluran memerlukan alat ukur single beam echo sounder. Data primer berupa kecepatan aliran memerlukan alat ukur current meter. Data primer berupa fluktuasi muka air memerlukan alat ukur staff gauge. 3.4. Pengumpulan Data Sekunder Penelitian ini memerlukan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah maupun lembaga terkait lainnya. Data sekunder yang diperlukan adalah peta situasi dan debit aliran saluran tersier Unit Terantang.
3.5. Survei Lapangan Survei lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan lokasi penelitian. Survei lapangan sangat membantu dalam persiapan pengumpulan data primer. Survei lapangan memberikan gambaran mengenai karakteristik lokasi dan hambatan-hambatan yang terdapat di lokasi penelitian. Peneliti mampu mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan saat melakukan pengumpulan data primer di lokasi. 3.6. Pengkuran Geometri Saluran Untuk pekerjaan pengukuran geometri saluran menggunakan metode terestris, dalam hal ini data planimetris (koordinat: x - y) dan ketinggian (elevasi: z) didapat dari pengukuran langsung di lapangan. Lingkup pekerjaan survei pemetaan meliputi: 1. Pekerjaan persiapan 2. Pengukuran kerangka horizontal 3. Pengukuran kerangka vertikal 4. Perhitungan dan penggambaran 3.7. Pengukuran Kecepatan Aliran Kecepatan aliran rata-rata dapat diperoleh dengan cara mengukur kecepatan aliran pada beberapa titik dari beberapa vertikal pada suatu penampang melintang dengan menggunakan alat ukur arus (current meter). Terdapat empat metode pengukuran kecepatan aliran, yaitu metode satu titik, dua titik, tiga titik, dan lima titik. Metode pengukuran kecepatan aliran pada penelitian ini ditentukan berdasarkan kondisi di lapangan saat pengambilan data primer kecepatan aliran.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
62 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
3.8. Pengukuran Fluktuasi Muka Air Fluktuasi muka air dapat diperoleh dengan cara melakukan pengukuran menggunakan papan duga muka air (staff gauge). Pengukuran dilakukan setiap 4 jam. Hasil pengukuran dapat disajikan dalam bentuk grafik yang memudahkan melihat pola fluktuasi muka air. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini melakukan running EFDC Explorer 7.2 untuk dua kondisi, yakni kondisi saluran eksisting dan kondisi saluran dengan kolam pasang yang normal. Tampilan keluaran kecepatan aliran dan umur air dibagi menjadi beberapa segmen untuk memudahkan melihat pola alirannya. Segmen-segmen tersebut dibatasi oleh STA – 00 sampai dengan STA – 33. Jarak antar STA sebesar 280 m. STA dimulai dari bagian hulu saluran Unit Terantang dan diakhiri di bagian kolam pasang. Salah satu keluaran perangkat lunak EFDC Explorer 7.2 adalah kecepatan aliran (velocities). Keluaran tersebut dilengkapi dengan arah vektor kecepatan dan dapat diperlengkap dengan kontur kecepatan. Satuan kecepatan yang digunakan untuk keluaran ini adalah m/detik. Keluaran lain yang dapat dihasilkan EFDC Explorer 7.2 adalah keluaran umur air (water age). Umur air adalah lamanya air selama di saluran. Umur air berguna untuk mengetahui titik-titik di mana air mengalami kondisi stagnan. Satuan waktu yang digunakan untuk keluaran ini adalah hari. Berikut beberapa contoh hasil running EFDC Explorer 7.2:
Gambar 2. Keluaran KecepatanAliran
Gambar 3. Keluaran Umur Air
Analisis penelitian ini adalah dengan melakukan perbandingan keluaran running antara kondisi eksisting dan kondisi kolam pasang dinormalisasi. Parameter yang dibandingkan adalah kecepatan aliran dan umur air. Kedua parameter tersebut dapat memperlihatkan pola
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 63
ISBN: 978-602-6483-07-2
aliran stagnan di saluran. Pola aliran dikatakan stagnan apabila kecepatan aliran mendekati 0 m/det serta arah aliran yang tidak beraturan. 4.1. Pola Aliran Pada Kondisi Eksisting Saat Air Pasang Pada kondisi ini, pola aliran stagnan terdapat di beberapa segmen. Segmen-segmen tersebut adalah segmen STA – 22 sampai STA – 23, segmen STA – 23 sampai STA – 24, segmen STA – 24 sampai STA – 25, segmen STA – 31 sampai STA – 32, dan segmen STA – 32 sampai STA – 33. Khusus pada bagian kolam pasang, umur air pada bagian tersebut adalah umur air maksimum di mana air tersebut berada di kolam pasang selama 5,6528 hari. 4.2. Pola Aliran Pada Kondisi Kolam Pasang Dinormalisasi Saat Air Pasang Pada kondisi ini, pola aliran stagnan terdapat di beberapa segmen. Segmen-segmen tersebut adalah segmen STA – 21 sampai STA – 22, segmen STA – 31 sampai STA – 32, dan segmen STA – 32 sampai STA – 33. Khusus pada bagian kolam pasang, umur air pada bagian tersebut adalah umur air maksimum di mana air tersebut berada di kolam pasang selama 5,6528 hari. 4.3. Pola Aliran Pada Kondisi Eksisting Saat Air Surut Pada kondisi ini, pola aliran stagnan terdapat di beberapa segmen. Segmen-segmen tersebut adalah segmen STA – 24 sampai STA – 25, segmen STA – 31 sampai STA – 32, dan segmen STA – 32 sampai STA – 33. Khusus pada bagian kolam pasang, umur air pada bagian tersebut adalah umur air maksimum di mana air tersebut berada di kolam pasang selama 5,0815 hari. 4.4. Pola Aliran Pada Kondisi Kolam Pasang Dinormalisasi Saat Air Surut Pada kondisi ini, pola aliran stagnan terdapat di beberapa segmen. Segmen-segmen tersebut adalah segmen STA – 31 sampai STA – 32 dan segmen STA – 32 sampai STA – 33. Khusus pada bagian kolam pasang, umur air pada bagian tersebut adalah umur air maksimum di mana air tersebut berada di kolam pasang selama 5,3117 hari. Selain pola aliran stagnan, terdapat pola aliran lainnya yang menyebabkan pencucian bahan toksik tidak berjalan secara sempurna. Pola aliran tersebut adalah pola aliran di mana pada saat air pasang, air tidak sampai menuju kolam pasang karena didahului oleh kondisi surut. Pola aliran tersebut terjadi baik pada kondisi eksisting maupun pada kondisi kolam pasang dinormalisasi. Hal tersebut terjadi akibat saluran sekunder yang terlampau panjang sehingga air pasang tidak mampu mencapai seluruh saluran beserta kolam pasang. Berikut beberapa hasil simulasi pola aliran stagnan dan pola aliran di mana air pasang tidak mampu mencapai seluruh saluran beserta kolam pasang:
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
64 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 4. Pola Aliran Stagnan
Gambar 5. Pola Aliran di Mana Air Pasang Tidak Mampu Mencapai Seluruh Saluran Beserta Kolam Pasang
5.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil identifikasi menunjukkan dimensi saluran Unit Terantang untuk saluran primer memiliki lebar sebesar 50 m, saluran sekunder memiliki lebar sebesar 45 m, saluran tersier memiliki lebar sebesar 5 m, dan kolam pasang memiliki panjang sebesar 400 m, lebar sebesar 300 m. Saluran primer dan sekunder mempunyai kedalaman bervariasi dengan kedalaman maksimum sebesar 4,8 m dan kedalaman minimum sebesar 0,5 m Kedalaman kolam pasang berkisar ± 0,5 m (diukur dari elevasi muka air acuan). Hidrometri saluran Unit Terantang menunjukkan bahwa rentang waktu antara pasang maksimum dengan surut minimum adalah sebesar 32 jam. Selisih antara kedalaman pasang maksimum dengan surut minimum adalah sebesar 1,58 m. 2. Proses permodelan pola aliran saluran Unit Terantang dimulai dari pengumpulan data primer dan sekunder. Proses selanjutnya adalah kalibrasi kekasaran dasar saluran di mana ditetapkan sebesar 0,030. Validasi menunjukkan data hasil permodelan overestimate (lebih tinggi) terhadap data lapangan dengan relatif bias sebesar -4,7231. Setelah melakukan validasi, kemudian barulah dilakukan pemodelan pola aliran (hidrodinamika) di saluran primer dan sekunder di Unit Terantang menggunakan EFDC Explorer 7.2. 3. Pada kondisi eksisting, terdapat lima segmen pola aliran stagnan saat air pasang dan terdapat tiga segmen pola aliran stagnan saat air surut. Umur air maksimum saat air pasang dan surut terdapat di bagian kolam pasang. Umur air maksimum saat air pasang adalah selama 5,6528 hari dan saat air surut 5,0815 hari. 4. Pada kondisi kolam pasang dinormalisasi, terdapat tiga segmen pola aliran stagnan saat air pasang dan terdapat dua segmen pola aliran stagnan saat air surut. Umur air
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 65
ISBN: 978-602-6483-07-2
maksimum saat air pasang dan surut terdapat di bagian kolam pasang. Umur air maksimum saat air pasang adalah 5,6528 hari dan pada kondisi air surut 5,3117 hari. 5. Pengembalian kondisi (normalisasi) kolam pasang tidak menyelesaikan secara penuh masalah pola aliran stagnan. Normalisasi kolam pasang hanya mengurangi jumlah pola aliran stagnan di sepanjang saluran primer dan sekunder Unit Terantang. Selain pola aliran stagnan, terdapat pola aliran lainnya yang menyebabkan pencucian bahan toksik tidak berjalan secara sempurna. Pola aliran tersebut adalah pola aliran di mana pada saat air pasang, air tidak sampai menuju kolam pasang karena didahului oleh kondisi surut. Hal tersebut terjadi akibat saluran sekunder yang terlampau panjang sehingga air pasang tidak mampu mencapai seluruh saluran beserta kolam pasang. DAFTAR RUJUKAN Anonim. 2004. Pemanfaatan Lahan Rawa di Kalimantan Selatan. BPN Kalimantan Selatan. Anonim. 2007. The Environmental Fluid Dynamics Code Theory and Computation Volume 1: Hydrodynamics and Mass Transport. Tetra Tech, Inc.: Fairfax. Sri Harto, Br. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Chandrawidjaja, R. 2010. Hidrologi Rawa. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat Press. Craig, P.M. 2010. User’s Manual for EFDC Explorer: A Pre/Post Processor for The Environmental Fluid Dynamics Code (Rev00). Dynamic Solution Intl.: Knoxville. Dariah, A., dan S. Nurzakiah. 2014. “Pengelolaan Tata Air Lahan Gambut.” Di dalam buku panduan. Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Djaenudin, U.D. 2009. Prospek Penelitian Potensi Sumber Daya Lahan di Wilayah Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian, 2(4):243-257. Istiarto. 2012. Model Hidrodinamika. CFD di Bidang Hidraulika Saluran Terbuka. Langkoke, Rohaya, dan Febriwandy. 2012. Pengaruh Hidrodinamika Terhadap Ketidakstabilan Lereng Pantai di Sepanjang Jalan Penghibur Pantai Losari Kota Makassar. Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik, 6(1). Luknanto, D. 2003. Model Matematik. Bahan Kuliah Hidraulika Komputasi Jurusan Teknik Sipil FT UGM Yogyakarta. Mamenun. 2014. Validasi dan Koreksi Data Satelit TRMM Pada Tiga Pola Hujan di Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 15(1):13-23. Mananoma, Tiny., dan W. Soetopo. 2008. Permodelan Sebagai Sarana dalam Mencapai Solusi Optimal. Teknik Sipil, 8(3):184-192. Mulyono, A. 2010. Studi Relasi Hidrodinamika Sungai Ciwalen dan Air Tanah Melalui Pendekatan Model (Studi Kasus pada Aliran Sungai Ciwalen Kecamatan Garut Kota). Widyariset, 13(2). Nazemi, D. 2012. Prospek Pengembangan Penataan Lahan Sistem Surjan di Lahan Rawa Pasang Surut. Agrovigor, 5(2):113-118. Noor, M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
66 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 2006. Persoalan Tanah Masam dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia. Makalah Pendukung pada Seminar Pertanian Dies Natalis UGM ke-34. Pratikno, W.A. 1988. Hidrodinamika Dasar. Yogyakarta: BPFE. Roelse, K. 1988. Land Reclamation of Lowland in Indonesia, Summary. TUD Technical University Delft. Soewarno. 1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri). Bandung: Nova. Subagyo. 2006. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa. Di dalam buku lahan rawa. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Subagyo. 2006. Lahan Rawa Pasang Surut. Di dalam buku lahan rawa. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Suriadikarta, dan D. Ardi. 2005. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam untuk Usaha Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1):36-45. Triatmodjo, B. 1993. Hidraulika II. Yogyakarta: Beta Offset. Widjaja, A. 1997. Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Pasang Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 67
ISBN: 978-602-6483-07-2
IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK KAWASAN KUMUH PADA DAERAH ILIR SUNGAI MUSI PALEMBANG
Rhaptyalyani Herno Della1 Nyimas Septi Rika Putri2 dan Rika Nabila3 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Jl. Palembang-Prabumulih KM. 36, Palembang, 30662, Indonesia E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Perkembangan dan pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan mempunyai dampak di berbagai bidang, baik di bidang infrastruktur secara fisik mengenai sistem prasarana dan sarana permukiman mengikuti ruang lingkup permukiman di perkotaan dan hal ini berkaitan langsung dengan pertumbuhan sosial maupun ekonomi masyarakat perkotaan khususnya dalam suatu kawasan. Permukiman dapat terhindar dari kondisi kumuh dan tidak layak huni jika pembangunan sesuai dengan standar yang berlaku, salah satunya dengan menerapkan persyaratan pembangunan sehat. Identifikasi database kawasan kumuh dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh Tahun 2013. Studi dilakukan di dua kecamatan di bantaran sungai Musi Kota Palembang, yaitu Kecamatan Ilir Timur I dan Ilir Timur II. Identifikasi dilakukan berdasarkan dua aspek yaitu aspek fisik dan non fisik yang menjadi variabel dalam penentuan identifikasi pada area bantaran sungai tersebut. Berdasarkan hasil studi diketahui bahwa daerah bantaran sungai musi untuk kecamatan Ilir Timur I dan Kecamatan Ilir Timur II merupakan daerah dengan kategori kumuh berat. Kata kunci: daerah kumuh, bantaran sungai, daerah perkotaan, infrastruktur. ABSTRACT The growth of population and economic activities in urban areas needs support economic development, needs to be balanced with adequate environmental infrastructure development. Settlement can avoid from rundown condition and uninhabitable if the development of urban area accordance with healthy development. Identifying database of slum in this study reference to the Review of the Spatial Plan Development of Palembang City, Laws of Public Works Department about Technical Guidelines on the Quality Improvement Housing and Slum and Urban Spatial Global Report on Human Settlements 2003. A case study for identifying in Palembang riverbanks area are located in two districts; Ilir Timur I and Ilir Timur II. This study do the identification of slum areas based on several variables about physical and non physical aspect, then the result of identification are used to define a policy that can be used to improve the area. Keywords: slum, riverbanks area, urban area, infrastructure.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
68 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1. PENDAHULUAN Perkembangan dan pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan mempunyai dampak di berbagai bidang, baik di bidang fisik mengenai sistem prasarana dan sarana permukiman mengikuti ruang lingkup permukiman di perkotaan dan hal ini berkaitan langsung dengan pertumbuhan sosial maupun ekonomi masyarakat perkotaan khususnya dalam suatu kawasan. Tingkat pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi di daerah perkotaan maupun kota-kota sekitarnya yang mendukung perkembangan ekonomi ditingkat propinsi merupakan suatu kawasan strategi cukup tinggi, sehingga perlu diimbangi dengan pengembangan prasarana lingkungan yang memadai terutama program pemenuhan kebutuhan dasar sistem air bersih, sanitasi dan perumahannya. Dalam upaya penanganan tersebut akurasi data dan relevansi yang sesuai dengan tupoksi, serta framing lokasi dalam konteks keterpaduan penanganan kawasan menjadi sangat penting untuk menjadi dasar /readiness criteria pembangunan. Kawasan kumuh berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi, industrialisasi dan pembangunan. Permukiman dapat diartikan sebagai pembangunan dengan segala unsur serta kegiatan yang berkaitan dan yang ada dalam permukiman. Permukiman dapat terhindar dari kondisi kumuh dan tidak layak huni jika pembangunan sesuai dengan standar yang berlaku, salah satunya dengan menerapkan persyaratan pembangunan sehat. Kegiatan pemutakhiran data di Kota Palembang ini tentunya akan memberikan informasi terkini tentang lokasi penetapan kawasan kumuh sebagaimana yang diamanatkan Pasal 98 Undang-Undang no 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang berbunyi penetapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh wajib didahului proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat. 2. METODOLOGI PENELITIAN Dasar penilaian tingkat kekumuhan pemukiman kumuh dilakukan dengan mengacu pada Rancangan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Pemukiman Kumuh Tahun 2013. Kegiatan penilaian dengan menggunakan system pembobotan pada masing – masing kriteria umumnya dimaksudkan bahwa setiap kriteria memiliki bobot pengaruh yang berbeda – beda. Dalam penentuan bobot kriteria bersifat relatif dan bergantung pada preferensi individu atau kelompok masyarakat dalam menilai masing – masing kriteria. Penilaian akhir identifikasi kawasan permukiman kumuh dilakukan sebagai akumulasi dari hasil perhitungan terhadap kriteria sebagaimana dikemukakan di atas. Dari penjumlahan berbagai peubah akan diperoleh diperoleh total nilai maksimum dan minimum setiap variabel kriteria. Proses penilaian menggunakan batas ambang yang dikategorikan ke dalam: a. Penilaian dinilai Kategori Kumuh Berat (Nilai 55 - 75); b. Penilaian dinilai Kategori Kumuh Sedang (Nilai 35 – 54); c. Penilaian dinilai Kategori Kumuh Rendah (Nilai 15 - 34). Untuk mengklasifikasikan hasil kegiatan penilaian berdasarkan kategori tersebut di atas maka dilakukan penghitungan terhadap akumulasi bobot yang telah dilakukan dengan formula sederhana sturgess yaitu:
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 69
ISBN: 978-602-6483-07-2
a. Dihitung koefisien ambang interval (rentang) dengan cara mengurangkan Nilai Tertinggi (hasil penilaian tertinggi) dari hasil pembobotan dengan Nilai Terendah (hasil penilaian terendah) dari jumlah penilaian dibagi 3 (tiga). b. Koefisien ambang rentang sebagai pengurang dari Nilai Tertinggi akan menghasilkan batas nilai paling bawah dari tertinggi. c. Untuk kategori selanjutnya dilakukan pengurangan 1 angka terhadap batas terendah dari akan menghasilkan batas tertinggi untuk Kategori Sedang, dan seterusnya. Untuk memudahkan di dalam proses penilaian, maka dalam penilaian lokasi tersebut di kelompokan menjadi 3 (tiga) kriteria utama, yaitu: a. Identifikasi Permasalahan Kekumuhan, terdiri atas: a) Kondisi Bangunan b) Kondisi Jalan Lingkungan c) Kondisi Drainase Lingkungan d) Kondisi Penyediaan Air Minum e) Kondisi Pengelolaan Air Limbah f) Kondisi Pengelolaan Persampahan g) Kondisi Pengamanan Bahaya Kebakaran b. Identifikasi Pertimbangan Lain (Non Fisik), terdiri atas: a) Nilai Strategis Lokasi Kawasan b) Kepadatan Penduduk c) Potensi Sosial Ekonomi d) Dukungan Masyarakat e) Komitmen Pemda c. Identifikasi Legalitas Lahan. a) Status Tanah b) Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang (RTR) c) Persyaratan Administrasi Bangunan/Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Aspek kriteria dan indikator dikelompokkan berdasarkan kepada Rapermen PU tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh, 2013 yang telah dimodifikasi dengan Pedoman Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh Daerah Kota Metropolitan serta Keputusan Menteri No.403 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs.Sehat). Hasil dari modifikasi penentuan aspek dan kriteria dalam penilaian kawasan kumuh dan kriteria tersebut berdasarkan dari tiga kriteria utama tersebut diatas. Berdasarkan Rancangan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh Tahun 2013, penentuan urutan skala prioritas penanganan kawasan kumuh ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Prioritas 1, kelompok kumuh berat dengan pertimbangan lain tinggi, yaitu klasifikasi C5 dan C6; b. Prioritas 2, kelompok kumuh sedang dengan pertimbangan lain tinggi, yaitu klasifikasi B5 dan B6; c. Prioritas 3, kelompok kumuh ringan dengan pertimbangan lain tinggi, yaitu klasifikasi A5 dan A6; d. Prioritas 4, kelompok kumuh berat dengan pertimbangan lain sedang, yaitu klasifikasi C3 dan C4;
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
70 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
e. Prioritas 5, kelompok kumuh sedang dengan pertimbangan lain sedang, yaitu klasifikasi B3 dan B4 f. Prioritas 6, kelompok kumuh ringan dengan pertimbangan lain sedang, yaitu klasifikasi A3 dan A4; g. Prioritas 7, kelompok kumuh berat dengan pertimbangan lain rendah, yaitu klasifikasi C1 dan C2; h. Prioritas 8, kelompok kumuh sedang dengan pertimbangan lain rendah, yaitu klasifikasi B1 dan B2; i. Prioritas 9, kelompok kumuh ringan dengan pertimbangan lain rendah, yaitu klasifikasi A1 dan A2. Tabel 1. Metode Penentuan Skala Prioritas Penangan Kawasan Kumuh
Sumber: Rapermen PU tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh, 2013.
Peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh harus dilakukan sesuai dengan hasil penilaian berbagai aspek kekumuhan (tingkat kekumuhan, pertimbangan lain dan legalitas lahan). Peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh untuk berbagai aspek kekumuhan akan berbeda-beda pendekatan penangananya, dimana secara hirarki peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh paling rendah adalah pemugaran dan paling tinggi adalah pemukiman kembali. Adapun klasifikasi peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh berdasarkan aspek kekumuhan, pertimbangan lain dan legalitas lahan sebagaiman yang tercantum pada Tabel 2 berikut.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 71
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 2. Klasifikasi Aspek Kekumuhan dan Penanganannya ` KEKUMUHAN Berat Berat Berat Berat Berat Berat Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan
1 4 7 1 4 7 2 5 8 2 5 8 3 6 9 3 6 9
PERTIMBANGAN LAIN
LEGALITAS LAHAN
PENANGANAN
Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi
Legal Legal Legal Ilegal Ilegal Ilegal Legal Legal Legal Ilegal Ilegal Ilegal Legal Legal Legal Ilegal Ilegal Ilegal
Pemukiman Kembali atau Peremajaan Pemukiman Kembali atau Legalitas Lahan lalu Peremajaan Peremajaan
Pemukiman Kembali atau Legalitas Lahan lalu Peremajaan Pemugaran
Pemukiman Kembali atau Legalitas Lahan lalu Peremajaan
Sumber: Rapermen PU tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh, 2013.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis tingkat kekumuhan di Kecamatan yang berada di bantaran sungai Musi yaitu Kecamatan Ilir Timur I dan Ilir Timur II yang telah dilakukan dengan menggunakan metode/teknis analisis sebagaimana yang telah diuraikan, maka diketahui didapat analisa karakteristik sebagaimana yang tertera pada tabel 3 dan 4 berikut ini.
Tabel 3. Analisa Karakteristik dan Tingkat Kekumuhan Pada Kecamatan Ilir Timur I No. Kawasan/RT Kelurahan Kecamatan 1
RT 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11
13 Ilir
Ilir Timur I
Karakteristik Kawasan Daerah Padat Penduduk, Mayoritas Pemukiman Berdiri diatas Rawa, Rawan Banjir, Minim
Nilai
Tingkat Kekumuhan 52,81 Kumuh Sedang
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
72 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
No. Kawasan/RT Kelurahan Kecamatan
2
RT 1, 2, 4, 5, 11, 12, 13, 14, 15
14 Ilir
Ilir Timur I
3
RT 1, 3, 4, 5
15 Ilir
Ilir Timur I
4
RT 16
16 Ilir
Ilir Timur I
5 6
RT 5
17 Ilir 18 Ilir
Ilir Timur I Ilir Timur I
7
RT 1, 3, 4, 6, 12, 13, 20
20 Ilir D-I
Ilir Timur I
8
-
Ilir Timur I
9
RT 1, 2, 3, 10, 11 RT 1, 5
20 Ilir DIII 20 Ilir DIV Kepandean Baru Sei Pangeran
10 11
RT 4, 5, 28, 29, 30, 34, 35, 36, 37
Ilir Timur I Ilir Timur I Ilir Timur I
Karakteristik Kawasan Drainase, Fasilitas TPS tidak memadai
Nilai
Tingkat Kekumuhan
Daerah Rawan Banjir dan Tidak Ada Saluran Pembuangan Daerah Rawan Banjir dan Tidak Ada Saluran Pembuangan Mayoritas Kawasan Bisnis dan Pasar Tradisional, Kondisi Kawasan Lingkungan Termasuk Kumuh, Fasilitas TPS tidak memadai Daerah Rawan Banjir dan Tidak Ada Saluran Pembuangan Daerah Rawan Banjir dan Saluran Drainase Kurang Memadai -
67,34
Kumuh Berat
72,08
Kumuh Berat
68,16
Kumuh Berat
Saluran Drainase Kurang Memadai Daerah Rawan Banjir Daerah Rawan Banjir dan Tidak Ada Saluran Pembuangan
Tidak Kumuh 40,52 Kumuh Sedang
74,20
Kumuh Berat
-
Tidak Kumuh
65,49
Kumuh Berat
69,03
Kumuh Berat
64,08
Kumuh Berat
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 73
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 4. Analisa Karakteristik dan Tingkat Kekumuhan Pada Kecamatan Ilir Timur II No.
Kawasan/RT
1
RT 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, RT 15, 18, 19, 34, 36, 28, 1, 2, 38, 39 RT 42, 46, 19, 22, 23, 24, 25, 26, 29, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 38, 43, 44 RT 1, 2, 7, 9, 10, 14, 15, 19, 21, 23 RT 45, 16, 27, 26, 42, 39, 31, 41, 10, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 12 RT 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 23, 24, 25, 29 RT 1, 4, 5, 7, 8, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18 RT 1, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 6, 8, 14 RT 11, 12, 13, 16, 17, 18, 22, 23, 26, 31, 21, 24, 25, 33, 6 RT 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 26
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kelurahan Kecamatan 1 Ilir
Karakteristik Nilai Tingkat Kawasan Kekumuhan Ilir Timur II Daerah pinggiran 47,36 Kumuh sungai, dekat Sedang kawasan industri
2 Ilir
Ilir Timur II daerah pertokoan 50,81
Kumuh Sedang
3 Ilir
Ilir Timur II
Padat pemukiman, kawasan bisnis
49,53
Kumuh Sedang
5 Ilir
Ilir Timur II
55,01
Kumuh Berat
8 Ilir
Ilir Timur II
Padat pemukiman, kawasan bisnis Daerah bisnis, pertokoan
52,36
Kumuh Sedang
9 Ilir
Ilir Timur II
Daerah bantaran sungai, padat pemukiman
59,43
Kumuh Berat
10 Ilir
Ilir Timur II
50,79
Kumuh Sedang
11 Ilir
Ilir Timur II
Daerah bantaran sungai, padat pemukiman Daerah padat pemukiman, bantaran kanal
44,04
Kumuh Sedang
Duku
Ilir Timur II
49,34
Kumuh Sedang
Kuto Batu
Ilir Timur II
Kawasan pendidikan, padat pemukiman Daerah bisnis, pinggiran sungai
56,06
Kumuh Berat
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
74 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
No.
Kawasan/RT
11
RT 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 21 RT 7, 8, 9, 10, 16, 6, 17, 26, 27, 32
12
Kelurahan Kecamatan Lawang Kidul
Sungai Buah
Karakteristik Nilai Tingkat Kawasan Kekumuhan Ilir Timur II Daerah pinggiran 50,12 Kumuh sungai, dekat Sedang kawasan industri Ilir Timur II
Daerah pertokoan
47,56
Kumuh Sedang
Berdasarkan hasil analisis penentuan skala prioritas penanganan, skala prioritas penanangan kawasan permukiman kumuh di Kecamatan Ilir Timur I terdiri atas skala prioritas 5, 6 dan prioritas 8 sebagaiman yang tertera pada tabel 5 berikut. Tabel 5. Skala prioritas penanganan kawasan permukiman kumuh di Kecamatan Ilir Timur I No
Kawasan/ RT
Kelurah an
Kecam atan
Luas (HA)
1
13 Ilir
Ilir Timur I Ilir Timur I
8,20
2,28
24,00
3,43
5
-
30,00
-
6
RT 5
16,00
2,29
7
RT 1, 3, 4, 6, 12, 13, 20 -
Ilir Timur I 16 Iliur Ilir Timur I 17 Ilir Ilir Timur I 18 Ilir Ilir Timur I 20 Ilir DIlir I Timur I
22,80
4
RT 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11 RT 1, 2, 4, 5, 11, 12, 13, 14, 15 RT 1, 3, 4, 5 RT 16
161,2 5
13,44
20 Ilir DIII 20 Ilir DIV Kepande an Baru Sei Pangeran
138,1 9 96,00
9,60
12,20
1,74
132,6 6
29,48
2
3
8 9 10 11
RT 1, 2, 3, 10, 11 RT 1, 5 RT 4, 5, 28, 29, 30, 34, 35, 36, 37
14 Ilir
15 Ilir
Ilir Timur I Ilir Timur I Ilir Timur I Ilir Timur I
8,70
Luas Tingkat Kawasan Kekumuh Kumuh an (HA) 1,23 Kumuh Sedang 1,93 Kumuh Berat
Pertimba ngan Lainnya
Proritas Penangan an
Kumuh Sedang Kumuh Sedang
5
Kumuh Berat Kumuh Berat Tidak Kumuh Kumuh Sedang Kumuh Berat
Kumuh Sedang Kumuh Sedang Tidak Kumuh Kumuh Ringan Kumuh Sedang
6
Tidak Kumuh Kumuh Berat Kumuh Berat Kumuh Berat
Tidak Kumuh Kumuh Sedang Kumuh Sedang Kumuh Sedang
-
6
6 8 6
6 6 6
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 75
ISBN: 978-602-6483-07-2
Sama halnya dengan Kecamatan Ilir Timur I, skala prioritas penanganan kawasan permukiman kumuh di Kecamatan Ilir Timur II terdiri atas skala prioritas 5, 6 dan prioritas 8 sebagaiman tertera pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Skala prioritas penanganan kawasan permukiman kumuh di Kecamatan Ilir Timur II No.
1
2
3
4
5
6
7
Kawasan/ Kelurah RT an
Kecama tan
Luas (HA)
Tingkat Kekumuh an
Pertimba ngan Lainnya
Proritas Penangan an
89,00
Luas Kawasan Kumuh (HA) 3,56
RT 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, RT 15, 18, 19, 34, 36, 28, 1, 2, 38, 39 RT 42, 46, 19, 22, 23, 24, 25, 26, 29, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 38, 43, 44 RT 1, 2, 7, 9, 10, 14, 15, 19, 21, 23 RT 45, 16, 27, 26, 42, 39, 31, 41, 10, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 12 RT 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 23, 24, 25, 29 RT 1, 4, 5, 7, 8, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18
1 Ilir
Ilir Timur II
Kumuh Sedang
Kumuh Ringan
8
2 Ilir
Ilir Timur II
214,00
8,56
Kumuh Sedang
Kumuh Ringan
8
3 Ilir
Ilir Timur II
60,00
2,40
Kumuh Sedang
Kumuh Ringan
8
5 Ilir
Ilir Timur II
256,00
10,24
Kumuh Berat
Kumuh Sedang
6
8 Ilir
Ilir Timur II
486,00
19,44
Kumuh Sedang
Kumuh Sedang
5
9 Ilir
Ilir Timur II
479,00
19,16
Kumuh Berat
Kumuh Sedang
6
10 Ilir
Ilir Timur II
31,00
1,24
Kumuh Sedang
Kumuh Ringan
8
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
76 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
No.
8
9
10
11
12
Kawasan/ Kelurah RT an
Kecama tan
Luas (HA)
Tingkat Kekumuh an
Pertimba ngan Lainnya
Proritas Penangan an
26,00
Luas Kawasan Kumuh (HA) 1,04
RT 1, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 6, 8, 14 RT 11, 12, 13, 16, 17, 18, 22, 23, 26, 31, 21, 24, 25, 33, 6 RT 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26 RT 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 21 RT 7, 8, 9, 10, 16, 6, 17, 26, 27, 32
11 Ilir
Ilir Timur II
Kumuh Sedang
Kumuh Ringan
8
Duku
Ilir Timur II
421,00
16,84
Kumuh Sedang
Kumuh Ringan
8
Kuto Batu
Ilir Timur II
33,00
1,32
Kumuh Berat
Kumuh Sedang
6
Lawang Kidul
Ilir Timur II
324,00
12,96
Kumuh Sedang
Kumuh Ringan
8
Sungai Buah
Ilir Timur II
139,00
5,56
Kumuh Sedang
Kumuh Ringan
8
Hasil analisis penentuan rekomendasi penanganan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa pada kawasan kumuh di Kecamatan Ilir Timur I dapat dilakukan pemukiman kembali/peremajaan pada 6 kawasan dan Pemugaran pada 3 kawasan. Sedangkan pada Kecamatan Ilir Timur II dapat dilakukan pemukiman kembali/peremajaan pada 2 kawasan dan Pemugaran pada 5 kawasan serta peremajaan di 5 kawasan. 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pada daerah bantaran sungai Musi yaitu Kecamatan Ilir Timur I dan Kecamatan Ilir Timur II memiliki kategori tingkat kekumuhan sedang dan berat. 2. Kecamatan Ilir Timur I merupakan kawasan bantaran sungai dengan rata-rata kawasan kumuhnya merupakan kawasan kumuh berat sedangan Kecamatan Ilir Timur II masih dalam kategori kumuh sedang.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 77
ISBN: 978-602-6483-07-2
3. Pada kecamatan Ilir Timur I, analisis penentuan rekomendasi penanganan yang dapat dilakukan yaitu pemukiman kembali/peremajaan dan pemugaran 4. Pada Kecamtan Ilir Timur II, analisis penentuan rekomendasi penanganan yang dapat dilakukan yaitu pemukiman kembali/peremajaan, pemugaraan dan peremajaan. DAFTAR PUSTAKA ___________. 2013. Rapermen PU tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh. Kementrian Pekerjaan Umum. Adi Prasetyo. 2009. Jurnal Karakteristik Permukiman Kumuh Di Kampung Krajan Kelurahan Mojosongo Jebres Kota Surakarta. Amos, Neolaka. 2007. Kesadaran Lingkungan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian:Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta: Rineka Cipta. Data Kependudukan. 2015. Palembang Dalam Angka. Palembang: BPS. Djajadiningrat. 2001. Untuk Generasi Masa Depan:“Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan”. ITB. Fuad Amsyari. 1996. Membangun Lingkungan Sehat. Surabaya. Airlangga University Press. Khomarudin. 1997. Lingkungan Permukiman Kumuh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ngakan Putu Sueca. 2004. Jurnal Pemukiman Natah Vol. 2 No. 2 Permukiman Kumuh, Masalah Atau Solusi. Universitas Udayana.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
78 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
PENYISIHAN ZAT ORGANIK DAN WARNA PADA PENGOLAHAN AIR GAMBUT DENGAN MENGGUNAKAN SARINGAN PASIR LAMBAT Agung Waskito1,H. Badaruddin Mu’min2 dan Chairul Abdi2 1. Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Jln Ganeca No 10, Bandung. 40132 2. Dosen Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik UNLAM, Banjarbaru Jln. Jenderal A. Yani Km. 36 Banjarbaru. 70714 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Semakin bertambahnya populasi manusia maka akan berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan terhadap air bersih, tetapi sumber air bersih berbanding terbalik dengan pertambahan penduduk tersebut, karena daya dukung sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan konsumsi manusia sangat terbatas, sehingga perlu adanya suatu teknologi yang bersifat flexible, mudah diterapkan dan murah, apalagi di daerah daerah kritis air bersih seperti di daerah yang memiliki karakter tanag bergambut. Di daerah bergambut akan sangat sulit ditemukan air bersih sebab di daerah sana sebenarnya memiliki sumber air yang melimpah tetapi sumber air tersebut mengandung zat organik dan warna yang tinggi sehingga tidak layak dijadikan sebagai sebuah sumber air bersih. Menghilangkan warna dan kandungan zat organik dilakukan percobaan dengan proses filtrasi menggunakan saringan pasir lambat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa penyisihan zat organik dan warna menggunakan saringan pasir lambat. Proses diawali dengan memvariasiakan media dari saringan pasir lambat tersebut dengan menggunakan pasir dari daerah yang berbeda dan juga dengan memvariasikan ketebalan dari ketebalan masing masing medianya. Telah dilakukan penelitian dan di dapatkan hasil efisiensi penyisihan kandungan organik dengan menggunakan ukuran UC sebesar 1,86 dan ES 0,15 mm sebesar 48.77%, 34.75% dan 43.50% dan mampu menurunkan warna sebesar 99.00 %, 98.54 % dan 99.43 % (ketebalan 70 cm, 85 cm dan 100 cm). Berdasarkan hasil penelitian bahwa ukuran butir pasir sangat berpengaruh dalam saringan pasir lambat, karena semakin kecil diameter butir pasir menyebabkan semakin kecil celah celah butir pasir semakin kecil, sehingga akan meningkatkan efektifitas penahan partikel. Kata kunci: air bersih, air gambut, saringan pasir lambat,
ABSTRACT The increased human populations will be directly proportional to improving the needs of clean water, but a source of clean water was inversely with the population growth, because capacity a source of clean water to meet the needs of human consumption is very limited, so should be taken a technology that is flexible, easy applied and cheap, especially in the critical areas such as clean water in the having the peat land characters. In the peat land area would be very difficult to find clean water because there in the area actually have huge water Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 79
ISBN: 978-602-6483-07-2
sources because it has water contains a organic and high color and not worthy as a source of clean water. Deprive of color and the organic compound done experiment with the process of filtration using slow sand filtration. The purpose of this study is to know how for organic compound and color using slow sand filter The process begins with varying media from the slow sand filtration using variation sand from different regions and also with varying the thickness of the thickness of each media. Has been done the research and get the preliminary results of the efficiency of organic compound by using UC size of 1.86 and 0.15 mm ES by 48.77%, 34.75% and 43.50% and to reduce the color of 99.00%, 98.54% and 99.43% (thickness 70 cm, 85 cm and 100 cm). According to the research that the size of grains of sand are very influential in the slow sand filter, because the less diameter sand grains causing the less cracks sand grains the less , so will increase the effectiveness of retaining particles Keyword: clean water, peat water, slow sand filtration
1.
PENDAHULUAN
Air merupakan kebutuhan dasar bagi manusia dan kehidupan mahluk hidup lainnya. Secara kualitas air harus tersedia pada kondisi yang memenuhi syarat kesehatan. Kualitas air dapat ditinjau dari segi fisik, kimia, dan biologi. Dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat akan air bersih, maka perlu dicari suatu teknologi penyediaan air minum yang sederhana pelaksanaannya, tetapi menguntungkan dilihat dari aspek pembiayaan, jaminan kesehatan, mudah dalam pengolahannya dan mencapai sasaran pemerataan. Salah satu daerah dengan permasalahan air minum yang cukup rumit adalah daerah dengan tanah berupa lahan gambut. Daerah ini memiliki sumber air yang secara kuantitas cukup banyak, bahkan cenderung berlebih sehingga tanahnya pun gembur berair, namun kualitasnya tidak memadai untuk dijadikan sebagai sumber air bersih. Air gambut merupakan air dengan karakteristik khusus, Air gambut mempunyai derajat keasaman tinggi (pH antara 3-5), kandungan partikel tersuspensi rendah, dan intensitas warna tinggi berwarna merah kecoklatan dengan kandungan zat organiknya yang tinggi (Suherman, 2013). Kualitas air gambut ini jernih tetapi berwarna, yang disebabkan antara lain oleh zat organik yang terlarut di dalam air gambut terutama akibat hasil kontak antara air dengan reruntuhan pohon, daun dan akar-akaran (Rafiq, 1998). Senyawa organik ini dikenal sebagai asam humat, berupa koloid hidrolik dan merupakan hasil pembusukan tanaman dan hewan akibat reaksi sintesa sekunder. Senyawa inilah yang menyebabkan hadirnya warna merah kecoklatan, CO2 agresif, serta pH rendah dalam air baku. Dengan demikian alat pengolah air gambut ini harus murah, mudah pengerjaannya serta hasil olahan yang memenuhi mutu air minum.(Zainuddin, 2013) Air gambut secara umum tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih yang telah distandarkan dan air gambut bisa menjadi air bersih yang layak dikonsumsi apabila telah melalui pengolahan yang tepat (Debby, 2014) Permasalahan pengolahan ini berusaha dipecahkan dengan memanfaatkan degradasi biologis dalam saringan pasir lambat. Air diolah menggunakan saringan pasir lambat. Dalam pengolahan air gambut ini dipilih metode saringan pasir lambat, karena: a) Penyebab warna adalah zat organik dan pengolahan untuk menyisikan zat organik yang paling ekonomis adalah pengolahan secara biologis.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
80 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
b) Teknologi pengolahan air minum dengan memanfaatkan proses biologi, yang diketahui berjalan efektif adalah dengan saringan pasir lambat. c) Saringan pasir lambat mempunyai keunggulan lain, yaitu memerlukan pengoprasian yang minimal. Hal ini menjadi penting, karena pemakai instalasi adalah para transmigran yang secara umum tidak terlalu memperdulikan masalah ini.Saringan pasir lambat dapat digunakan karena kekeruhan air gambut relatif rendah dan untuk materialnya digunakan pasir dan kerikil karena didasari dengan banyak tersedia material tersebut didesa desa maupun di daerah local sehinngga memudahkan masyarakat untuk memnfaatkannya. (Anonim, Engineers Without Borders tahun 2011) karena dengan maka media yang dipilih berasal dari potensi daerah yang melimpah (Pasir Timbung, Pasir Awang Bangkal, dan Pasir Brangas) dengan memvariasikan tempatnya sebab untuk pemurnian air minum, pasir hampir selalu digunakan khusus sebagai penyaring karena ketersediaannya, harganya murah dan bermanfaat (Huisman, 1975) serta pasir merupakan media yang sangat berperan penting dalam proses saringan pasir lambat. (Selintung, 2012) Saringan pasir lambat merupakan metode yang efektif pengolahan air untuk kontrol kontaminan fisik, mikrobiologi dan kimia, terutama untuk daerah pedesaan yang minim sekali pasokan air (Elliott, M.A.,dkk dalam Fadaei 2015) Karena kesederhanaan, efisiensi dan keekonomisannya, maka saringan pasir lambat menjadi sarana pengolahan air yang tepat, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat di negara-negara berkembang (Visscher, 1988 dalam Taweel dan Ali 1999). 2.
METODE PENELITIAN
2.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan saringan pasir lambat. Dengan menggunakan beberapa variasi ketebalan dari media dan Unit saringan terbuat dari pipa PVC Ø 2 inch dan prosesnya secara kontinyu. Dan dilakukan analisa data kandungan zat organik dan warna untuk membandingkan data hasil analisis kandungan zat organik dan warna dalam pengolahan saringan pasir lambat (SPL) pada air gambut sebelum pengolahan dengan setelah pengolahan menggambarkan perubahan hasil pengukuran parameter uji. Keterangan: 1. Bak reservoir 2. Saringan pasir 3. Bak limpasan 4. valve 5. Inlet 6. Outlate 7. Pompa Gambar 2.1 Unit Saringan Pasir Lambat (Sumber: dokumentasi pribadi)
2.2 Tahap Pendahuluan Tahap pendahuluan dalam penelitian ini, meliputi: pengumpulan studi literatur dan data sekunder uji air gambut dengan parameter warna dan zat organik. Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 81
ISBN: 978-602-6483-07-2
1. Pengumpulan studi literatur. Mencari dan mengumpulkan data-data dengan mempelajari buku-buku, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini. Referensi dapat berasal dari buku-buku pengetahuan sesuai bidang penelitian yang bersangkutan, tulisan ilmiah dapat berupa jurnal dan tugas akhir, yang mana literatur-literatur tersebut di dapat dari perpustakaan maupun pencarian data melalui media internet. 2. Pengumpulan data primer uji air gambut. Pengumpulan data primer berupa uji air gambut dengan parameter warna dan zat organik yang telah dilakukan oleh Laboratorium Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. 2.3 Tahap Persiapan Pada tahap persiapan dilakukan 2 tahapan yaitu persiapan pembuatan unit saringan pasir lambat dan persiapan pematangan pasir. 1. Pembuatan unit saringan pasir lambat mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu dilakukan dengan beberapa penyesuaian, sebagai berikut : Ketinggian pipa untuk unit saringan pasir lambat 120 cm, 135 cm, dan 150 cm dengan ketinggian media pasir 70 cm, 85 cm, dan 100 cm serta kerikil 15 cm sebagai penyangga pasir. 2. Pematangan pasir yang mengacu pada SNI 3981:2008, meliputi : pasir dicuci sampai bersih dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran kemudian dijemur pada panas matahari sampai kering. Selanjutnya pasir tersebut dimasukkan kedalam unit saringan pasir lambat. Proses pematangan dengan mengalirkan air baku ke dalam bak yang terisi pasir dengan air yang sesuai dengan variasi pasirnya secara kontinyu selama 40 hari untuk pembentukan lapisan film 2.4 Tahap Pra-pelaksanaan Pasir yang akan digunakan kemudian dilakukan analisis kandungan silika, dan analisis degradasi butir pasir untuk mengetahui karakteristik pasir yang akan diolah. a. Analisis kandungan silika. Penetapan kandungan silika bertujuan untuk mengetahui kandungan pasir merujuk dengan SNI 3981:2008 mengenai saringan pasir lambat. b. Analisis degradasi butir pasir. Penetapan degradasi butir pasir dilakukan untuk mengetahui diameter efektif (effective size - ES) dan koefisien keseragaman (uniformity coefficient - UC) pasir. Prosedur penelitian degradasi butir pasir merujuk dengan SNI 3981:2008 mengenai media penyaring saringan pasir lambat. 2.5 Tahap Pelaksanaan Kegiatan-kegiatan pada tahap pelaksanaan yang dilaksanakan adalah menyiapkan unit saringan pasir lambat. Selanjutnya melaksanan penelitian utama dengan membuat dokumentasi hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian, cara kerja penelitian tersebut sebagai berikut : a. Memastikan unit saringan untuk proses pengoperasian filtrasi. b. Memasukkan air gambut ke bak penampung. c. Mengalirkan air gambut di bak penampung, yang menghubungkan bak penampung air gambut tersebut dengan unit SPL. d. mengalirkan yang telah melalui unit tersebut untuk pengambilan sampel, kemudian lakukan pengukuran air terhadap kandungan organik dan warna yang telah melalui saringan pasir lambat tersebut.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
82 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
e. Kemudian lakukan perulangan 3 kali setelah pengoperasian saringan pasir lambat tersebut. f. Effluent yang dihasilkan di uji kualitasnya di laboratorium Perikanan UNLAM. g. Melakukan analisis data yang disajikan dalam tabulasi data berupa tabel dan grafik serta analisis deskriptif. 2.6 Tahap Pengumpulan dan Analisa Data Sampel yang diperoleh dari hasil penelitian lalu dianalisis di laboratorium dan data data yang di dapat disajikan dalam bentuk tabel dan grafik kemudian dianalisis secara analisis deskriptif, dengan melihat data hasil uji kemudian membandingkan data hasil analisis Kandungan organik dan warna pada air gambut pada metode standar variasi media di dalam pengolahan, kemudian membandingkan hasil dari proses penyaringan saringan pasir lambat dengan berbagai variasi pasir. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakteristis Awal Pada penelitian ini sampel air yang digunakan adalah air gambut yang berasal dari Kecamatan Gambut A. Yani Km. 17 Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Hasil analisis kualitas air gambut dapat dilihat pada Tabel 4.3 di bawah ini. Tabel 3.1 Analisis Awal Kualitas Air Gambut No
Parameter Analisis
1
Warna
2 3
Zat Organik (KMnO4) Ph
3 4
Besi (Fe)
Satuan Pt.Co mg/l mg/l
Mangan (Mn) mg/l Sumber: Data Penelitian
Baku Mutu 10 15 6,5-8,5 -
Hasil Analisis 869,67 16,68 4,0 0,24 0,10
Dari hasil analisis tersebut yang dilakukan di Laboratorium Air Perikanan Universitas Lambung Mangkurat terlihat bahwa untuk air gambut yang diperoleh menunjukan kandungan organik dan intensitas warna yang tinggi dibandingkan dengan baku mutu baik air bersih maupun air minum. Sehingga untuk air gambut dari daerah Kecematan Gambut yang diambil sebagai sampel penelitian, sangat sesuai dengan kriteria yang diperlukan dari penelitian ini. 3.2 Penurunan Warna dan Zat Organmik pada Saringan Pasir Lambat Pada penelitian ini digunakan air gambut yang mempunyai kandungan organik dan intensitas warna yang tinggi sehingga memungkinkan melihat pengaruh yang terjadi di dalam saringan pasir lambat, dan mengetahui bagaimana pengaruh dari berbagai jenis pasir yang digunakan sebagai media dalam saringan pasir lambat tersebut dalam menurunkan parameter parameter uji yang ada. 3.2.1 Penyisihan Kadar Organik Berdasarkan hasil pengukuran zat organik di laboratorium menggunakan uji metode Uji permanganat secara titrimetri yang mengacu pada SNI 06-6989.22-2004 didapatkan data Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 83
ISBN: 978-602-6483-07-2
bahwa terjadi penurunan kadar zat organik yang fluktuatif. Penyisihan dengan saringan pasir lambat, walaupun dengan efisiensi yang tidak terlalu tinggi. Adanya penurunan kadar zat organik pada semua perlakuan menunjukkan bahwa semua pelakuan tersebut dapat digunakan untuk menurunkan kadar zat organik dalam air gambut. Diketahui bahwa efisiensi penyisihan untuk zat organik dapat terjadi pada media pasir yang berasal dari daerah Awang Bangkal dengan persentasi 48.77%, 34.75 % dan 43.50%. Penyisihan kadar organik yang terjadi cukup signifikan dapat kita lihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.2 fisiensi penyisihan Zat organik
Perulangan
Pasir Timbung 70 85 100 cm cm cm
Pasir Awang Bangkal 70 85 100 cm cm cm
Pasir Brangas 70 100 cm 85 cm cm
Awal (Pt.Co) I
16.68
16.68
16.68
16.68
16.68
16.68
16.68
16.68
16.68
12.82
11.94
10.01
8.96
11.06
9.66
15.10
9.83
10.54
II
12.47
11.94
9.83
8.43
10.71
9.31
14.75
10.01
10.54
III
12.64
11.76
9.83
8.25
10.89
9.31
14.57
9.83
10.71
Rata-rata
12.64
11.88
9.89
8.55
10.89
9.43
14.81
9.89
10.60
Persentasi %
24.22
28.79
40.72
48.77
34.75
43.50
11.25
40.72
36.48
Sumber : Data Penelitian
Dapat dilihat pada Grafik terjadi penurunan kandungan organik pada proses pengolahan, prinsipnya hasil yang didapatkan dari percobaan ini menunjukan bahwa proses biokimia dan proses biologis. dapat terjadi pada kandungan organik terlarut yang terdapat di dalam air gambut melalui saringan pasir lambat sehingga kandungan organik dapat tersisihkan maksimal. Hal ini disebabkan Lapisan mikroorganisme "Schmutzdecke" tebal yang membentang diatas bidang penyaring, yang mengandung sekumpulan algae dan sejumlah bentuk lain yang hidup di air seperti plankton, diatome, protozoa dan rotifera. Lapisan ini aktif secara intensif menjerat, menghancurkan dan menguraikan zat organik yang terkandung dalam air yang mengalir melewati bidang penyaring.
Gambar 3.1 Grafik Penyisihan Zat Organik
3.2.2 Penyisihan Warna Hasil pengujian menunjukkan kadar warna air gambut sebelum perlakuan sebesar 869.67 PtCo. Seiring dengan pengurangan kadar organik, intensitas warna pada air gambut juga menggdalami pengurangan yang cukup besar. Konsentrasi warna air gambut diukur mengacu pada SNI 6989.80-2011 menggunakan metode Spektrofotometri karena metode ini digunakan untuk mengukur warna air . Hasil analisis dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
84 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 3.3 Efisiensi penyisihan warna Pasir Timbung
Perulangan
Pasir Awang Bangkal
Pasir Brangas
70 cm
85 cm
100 cm
70 cm
85 cm
100 cm
70 cm
85 cm
100 cm
Awal (Pt.Co) I
869.67
869.67
869.67
869.67
869.67
869.67
869.67
869.67
869.67
70
85
12
9
13
5
470
58
24
II
71
85
12
9
13
5
469
59
23
III
72
85
13
8
12
5
469
58
25
12.33 98.58
8.67 99.00
12.67 98.54
5 99.43
469.33 46.03
58.33 93.29
24 97.24
Rata-rata
71 85 persentasi % 91.84 90.23 Sumber : Data Penelitian
Dapat dilihat bahwa efisiensi warna mencapai 90% lebih, dan oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa saringan pasir lambat dapat mengurangi kandungan warna.
Gambar 3.2 Grafik Penyisihan warna
Hasil dapat dilihat pada Gambar 3.3 Penurunan Konsentrasi Warna pada Air Gambut. Berdasarkan semua grafik perbandingan di atas, dapat dilihat grafik pada ketebalan pasir 100 cm memiliki penurunan yang cukup baik. Pasir yang berasal dari Awang Bangkal mengalami penurunan yg terbaik diantara yang lainnya dengan persentasi penurunan 99.43% sedangkan untuk Pasir Timbung memiliki penurunan 98.58 % sedangkan untuk Pasir Brangas 97.24%. Kondisi ini terjadi karena media pasir yang dipakai dalam saringan pasir lambat telah mengalami masa repening selama 40 hari sehingga mekanisme biologi telah terbentuk dengan stabil. Kecepatan filtrasi juga berpengaruh pada efisiensi penurunan warna. Dengan kontak langsung air dengan media filter memungkinkan kontak sehingga reduksi oleh mikroorganisme akan menyebabkan zat organik dan penyebab warna lainnya yang terdeposit pada media filter akan lebih banyak dan menjadi makanan bagi mikroorganisme yang tumbuh pada filter. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 85
ISBN: 978-602-6483-07-2
1.
2.
Dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa karakteristik pasir berpengaruh dalam saringan pasir lambat terhadap penurunan kandungan organik dan warna karena dengan ukuran UC dan ES yang kecil maka butir pasir semakin kecil, sehingga akan meningkatkan efektifitas penahan partikel dan akan meningkatkan kinerja saringan dalam menurunkan parameter yang diuji. Dari penelitian diketahui ketebalan pasir memiliki pengaruh terhadap penurunan kandungan organik dan warna pada pengolahan air gambut, karena semakin tebal pasir di dalam saringan maka akan semakin besar jarak yang ditempuh sehingga air yang dihasilkan semakin baik kualitasnya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Engineer With border. www.ewb-usa.org, diakses 21 oktober 2016. Debby, Eryan Chintya., Lita Darmayanti,.dan Yohanna Lilis Handayani. 2014. Perbandingan Ketebalan Media Terhadap Luas Permukaan Filter Pada Biosand Filter Untuk Pengolahan Air Gambut. Jom FTEKNIK, 1(2). Fadaei, Abdolmajid. 2015. Comparison Of The Efficiency Of Physical And Biological Treatment Of Slow Sand Filter In Kahkash (Samaan) Treatment Plant. Department Of Environmental Health Engineering, School Of Health, Shahrekord University Of Medical Sciences, Shahrekord, Iran SNI.3981:2008 Saringan Pasir Lambat. Peraturan Men.Kes Ri No.492 /Menkes/ Per /Iv/ 2010. Rafiq I. 1998., Pengolahan Air Gambut Dengan Sinar Ultra Violet Dan Saringan Pasir Lambat. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Huisman, L. 1974. Slow Sand Filtration. Delft University of Technology. Nederland. Selintung, Mary Dan Suryani Syahrir. 2012. Studi Pengolahan Air Melalui Media Filter Pasir Kuarsa (Studi Kasus Sungai Malimpung). Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Unhas Suherman Dan Nyoman Sumawijaya. 2013. Menghilangkan Warna Dan Zat Organik Air Gambut Dengan Metode Koagulasi-Flokulasi Suasana Basa. Ris.Geo.Tam, 23(2): 127139. ISSN 0125-9849. Taweel, E.G. And Ali, G.H. 1999. Evaluation Of Roughing And Slow Sand Filters For Water Treatment. Water, Air, And Soil Pollution, 120: 21– 28 Zainuddin. 2013. Pengaruh Enceng Gondok Dan Kapur Terhadap Unit Pengolahan Air Gambut. Pilar Jurnal Teknik Sipil, 9(2)
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
86 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
PENGARUH PENAMBAHAN ZAT ADITIF ORGANIK PADA PROSES EKSTRUSI TANAH LEMPUNG GAMBUT KALIMANTAN SELATAN Muthia Elma 1*, Isna Syauqiah 1, Yulian Firmana Arifin 2, Nurhakim 3, Agus Traintoro3, Nor Aldina 1, Hesti Kesumadewi 1 1. Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714 KALSEL 2. Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714 KALSEL 3. Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714 KALSEL E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kalimantan Selatan terkenal dengan lahan gambut yang ada pada struktur daratannya dan area lahan gambut tersebut terdiri atas tanah lempung. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral yang “menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila dicampur dengan air”. Material yang terdapat pada lempung tidak dapat bersifat plastis sempurna dan dibentuk dengan hanya menambahkan air. Oleh karena itu, penambahan zat aditif organik pada campuran komposisi tanah lempung terbukti mempercepat terbentuknya massa plastis pada tanah lempung sehingga mempermudah proses ekstrusi untuk menghasilkan struktur berpori dari tanah lempung. Metode yang dilakukan dengan menghaluskan variasi tanah lempung (80 mesh) 39,7 %, 49,7 %, dan 57 % kemudian ditambahkan zat aditif organik 0,3 %; 0,2 %; 0 % PEG, 2 %; 0,1 %; 0 % starch, variabel tetap 4 % CMC dan 4 % methocel serta variasi konsentrasi air 50 %; 42 %; 35 %. Kemudian dikeringkan pada suhu 60 oC setelah itu dikalsinasi pada suhu 900oC. Sampel tanah lempung yang telah dikalsinasi terbentuk menjadi struktur berpori. Struktur berpori tersebut kemudian dikarakterisasi menggunakan metode Fourier Transform InfraRed Spectorscopy (FTIR) untuk menentukan gugus fungsi dan mempelajari fungsionalitas yang terkandung pada tanah lempung dan pengaruh terhadap komposisi lempung. Kata kunci: lempung, aditif organik, proses ekstrusi, struktur berpori ABSTRACT South Kalimantan is well-known with peatland areas laying down on mainland structure on earth, some of this areas consist of clay. Clay is type of soil that is formed of mineral particles produce “plasticity properties when mixed with water". However, This material is unable to be perfectly has plasticity properties if only adding water. Therefore, the addition of organic additives in the composition of the clay mixtures show to accelerate the formation of plasticity properties in clay so that it kindly facilitate the extrusion process perform porous structures of clay. The method is performed by smoothing clay with 80 mesh from 39.7%, 49.7%, and 57%, and then the addition of organic additives from, such as: 0.3%; 0.2%; 0% PEG, 2%; 0.1%; 0% starch, 4%CMC and 4% Methocel and 50%; 42%; 35%. water concentration. It was then dried at 60 ° C followed by calcination process at 900oC. Calcined Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 87
ISBN: 978-602-6483-07-2
samples then became porous structure. This porous structure material was then characterized using Spectroscopy Fourier Transform InfraRed (FTIR) to determine the functional groups of clay porous structure and the functionality contained in the clay and the influence of clay composition. Keywords: clay, organic additives, the extrusion process, a porous structure
1.
PENDAHULUAN
Kalimantan Selatan merupakan daerah yang memiliki potensi lahan gambut cukup besar yaitu 1.484.000 Ha atau sekitar 8% dari luas lahan gambut yang ada di Indonesia (Noor, 2011). Lempung pada umumnya dikenal sebagai benda yang tidak telalu bernilai ekonomis, padahal lempung memiliki banyak kegunaan, seperti sebagai adsorben dan membran. Lempung dan senyawa oksida seperti alumina (Al2O3), silika (SiO2) merupakan material yang biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan keramik berpori (Purbasari and Samadhi, 2005). Tanah lempung dan mineral lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu yang “menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila dicampur dengan air” (Grim, 1953). Terdapat beberapa metode untuk merekayasa pembentukan pori dalam bahan keramik, antara lain penambahan bahan yang dapat meninggalkan pori dalam badan keramik setelah pembakaran karena proses oksidasi atau dekomposisi termal yang membentuk produk gas, pengendalian interaksi partikel yang meliputi pemilihan jenis partikel dam badan keramik, dan prosedur sintering (Reed, 1995). Variabel-variabel yang berpengaruh dalam proses ekstrusi adalah jenis dan kadar binder atau bahan pengikat yang digunakan, distribusi ukuran partikel dan kandungan partikel koloid, kandingan cairan, koagulasi partikel, kadar gas yang terjebak dalam batch plastis, pelumasan, kecepatan ekstrusi dan desain dari die (Reed, 1995). Berdasarkan latar belakang tersebut disimpulkan bahwa potensi yang ada pada tanah lempung, diperlukan penelitian lebih lanjut dalam proses ekstrusi untuk mendapatkan struktur berpori dari campuran tanah lempung dengan zat aditif organik dan air. Struktur berpori yang diperoleh dari metode ekstrusi tersebut dianalisa menggunakan FTIR. Hasil dari karakterisasi lempung dapat diketahui struktur, komposisi dan sifat fisik dan kimia dari tanah lempung. 2.
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan porselin, neraca analitik, sudip, sieve shaker, furnace, stopwatch, oven, pengaduk kaca, gelas beker, gelas arloji, mixer, baskom plastik, lumpang dan alu.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
88 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini tanah lempung gambut dari Kecamatan Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, methocel dari methyl cellulose, (CMC) carboxy methyl cellulose, starch dari jagung, (PEG) polyethylene glycol 400 dan air. Pada penelitian ini pembentukan pori dengan menggunakan bahan baku yang lolos dari ayakan standar ukuran 80 mesh. Variabel tetapnya adalah jumlah CMC dan methocel masingmasing 4 %. Sedangkan variabel berubahnya adalah komposisi tanah lempung 39,7 %; 49,7 % dan 57 %, 0,3 %; 0,2 %; 0 % PEG, 2 %; 0,1 %; 0 % starch, dan 50 %; 42 %; 35 % air dari berat total campuran bahan baku. Pembuatan sampel struktur berpori proses pencampuran kering bahan baku dan bahan penunjang dilakukan menggunakan mixer hingga homogen, dilanjutkan proses pencampuran basah dengan air dan PEG dalam baskom sampai terbentuk massa plastis. Pembentukan stuktur berpori dari massa plastis dilaksanakan dalam membrane press. Struktur berpori yang terbentuk dikeringkan dalam udara terbuka untuk mengurangi kadar airnya sebelum dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 oC selama 15 jam. Struktur berpori yang telah kering kemudian dikalsinasi ke dalam furnace dengan suhu 900 oC selama 4 jam. Pengujian yang digunakan yaitu FTIR untuk menentukan gugus fungsi dan mempelajari fungsionalitas yang terkandung pada tanah lempung dan pengaruh terhadap komposisi lempung. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur berpori diperoleh dengan melakukan proses ekstrusi. Prinsip kerja dari proses ekstrusi adalah memberikan tekanan tertentu pada massa plastis dari komposisi tanah lempung, zat aditif organik dan air dalam sebuah cetakan membrane press untuk dipadatkan hingga diperoleh permukaan struktur berpori yang halus. Proses ekstrusi terbagi menjadi tiga tahap antara lain pencampuran kering (bahan kering), pencampuran basah (bahan cair) dan sintering (kalsinasi).
Gambar 1. Sampel Massa Plastis (a) sample B7, (b) sample B8, dan (c) sample B9
Gambar 1 (a) material campuran lempung dengan perbandingan 0,3% PEG 400 dan 2% starch membentuk gumpalan massa plastis yang besar, tekstur seperti karet ketika ditarik, dan sukar untuk dicetak ke dalam membrane press. Hal ini disebabkan PEG 400 merupakan salah satu jenis polimer yang dapat membentuk komplek. PEG 400 berwujud larutan kental yang larut dalam air berfungsi sebagai pengikat (binder) untuk meningkatkan pelarutan antara
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 89
ISBN: 978-602-6483-07-2
campuran tanah lempung, air dan bahan aditif organik lainnya. Banyaknya konsentrasi PEG 400 yang digunakan mempengaruhi struktur massa plastis yang akan dicetak. Massa plastis menjadi sulit diratakan ke dalam cetakan membrane press meskipun tekanan yang digunakan mencapai 60 (kg/cm2) namun, tetap menghasilkan permukaannya tidak rata dan halus, pecah atau retak tidak seperti yang diinginkan. Starch berfungsi sebagai agen penyerap (porosity agent) yang mana membantu mempercepat penyerapan air pada campuran tanah lempung dan bahan aditif organik lain. Di samping itu, penggunaan starch sebanyak 2 % menunjukkan bahwa tekstur massa plastis mengkilap dan lembab oleh banyaknya kandungan air yang terserap sempurna namun tidak membuat massa plastis menjadi lembek seperti pasta. Sementara itu, Gambar 1 (b) dengan sampel B8 mengandung komposisi 0,2 % PEG 400 dan 0,1 % starch, terbentuk gumpalan massa plastis tidak terlalu besar dan mudah diratakan pada saat dilakukan pencetakan dengan membran press. Hal ini karena starch sebagai porosity agent tidak dapat bekerja secara maksimal dengan sedikitinya kandungan starch menyebabkan sebagian massa plastis terasa kering seperti pasir sehingga penyerapan air tidak merata saat dilakukan pencampuran basah. Gambar 1 (c) sampel B9 adalah tanpa penambahan PEG dan starch diperoleh massa plastis dengan berbentuk bulir-bulir kecil. Pada sampel ini yang bekerja dalam pembentukan tanah lempung menjadi massa palstis hanya CMC dan methocel. Sehingga dari ketiga sampel di atas dapat diketahui bahwa penambahan zat aditif organik pada komposisi campuran pembuatan struktur berpori sangat berpengaruh untuk membentuk atau mengikat tanah lempung menjadi massa plastis dan nantinya dapat dibentuk sesuai alat cetakan. Karena, apabila tidak menambahkan zat aditif organik. Tanah lempung dan air saja tidak dapat dibentuk karena tidak ada zat pengikat yang dapat mengikat atau menyatukan partikel-partikel yang ada pada tanah lempung agar dapat berikatan satu dengan yang lain.
Gambar 2. Struktur Berpori Setelah di Oven 60 oC (a) sample B7, (b) sample B8, dan (c) sample B9
Gambar 2 menunjukkan bahwa penampakan permukaan keramik berpori setelah melalui tahap ekstrusi hingga akhirnya dicetak dalam membrane press. Komposisi dari banyak tidaknya jumlah bahan aditif organik yang ditambahkan serta konsentrasi air sangat mempengaruhi tekstur permukaan. Gambar 2 (a) saampel B7 menunjukkan permukaannya retak dan tidak rata dan cenderung melengkung saat proses pengeringan untuk menghilangkan kadar airnya sebelum di oven. Hal itu terjadi karena, jumlah PEG 400 yang terkandung dalam sampel B7 sebanyak 0,3 % lebih banyak dibandingkan dengan sampel B8 yang mengandung 0,2 % PEG 400.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
90 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 2 (b) sampel B9 permukaannya terlihat rata namun tekstur yang dihasilkan agak rapuh setelah mengalami proses pengeringan dengan suhu kamar. Tidak adanya kandungan PEG 400 dalam sampel B9 menjadi salah satu faktor terjadinya hal tersebut. Faktor lainnya adalah tingginya kandungan methocel dan Carboxy methyl cellulose (CMC) sebanyak masing-masing 4 % dari campuran total komposisi massa plastis. Campuran bahan keramik berpori dengan kandungan lempung tinggi dan konsentrasi air yang relatif sedang lebih mudah dibentuk secara ekstrusi karena lempung dan air dapat memberikan keplastisan terhadap bahan yang akan dibentuk. Hal ini tampak dari permukaannya lebih rata dan halus. Pemijaran adalah metode untuk mengurangi porositas padatan. Saat padatan serbuk di-sinter, pada saat sintering ini material akan mengalami perubahan kekuatan, konduktivitas termal, ukuran dan bentuk partikel, ukuran dan bentuk pori, distribusi ukuran dan bentuk pori, komposisi kimia dan struktur kristal.
Gambar 3. Material lempung setelah dikalsinasi suhu 900 oC selama 4 jam (a) sample B7, (b) sample B8, dan (c) sample B9
Gambar 3 (a), (b) dan (c) menunjukkan bahwa diameter keramik berpori datar berkurang dari 4 cm menjadi 3,1 cm setelah melalui proses pengeringan dengan suhu kamar. Melalui proses pengeringan tersebut diameter keramik berpori berkurang secara signifikan sekitar 1,1 cm dikarenakan air yang terkandung dalam keramik berpori mengalami penguapan sekaligus penguapan tersebut berguna agar pada tahap pengeringan pada suhu 60 oC dengan oven, untuk menghindari bentuk melengkung apabila tidak dikeringkan secara manual terlebih dahulu. Sehingga tidak mempengaruhi bentuk akhir dari membran keramik berpori yang sesuai standar cetakan pada alat membran saat diuji nantinya pada proses desalinasi (Elma, 2014, Elma et al., 2015a, Elma et al., 2015b, Elma et al., 2013, Elma et al., 2012, Wang et al., 2016, Yang et al., 2017). Gambar 3 (a), (b) dan (c) menunjukkan permukaan material lempung hasil proses ekstruksi yang telah dikalsinasi. Dari ketiga gambar (a), (b) dan (c) tersebut masih terlihat permukaan yang belum homogen. Ini disebabkan oleh pengaruh perbedaan penambahan zat aditif organik yang ditambahkan ketika proses ektruksi. Gambar 3 (a) dan (b) memperlihatkan permukaan material yang sedikit rata (smooth) sedangkan gambar 3 (c) masih terlihat permukaannya kasar. Permukaan material ini sangat penting untuk aplikasi selanjutnya yaitu sebagai membrane support untuk aplikasi proses desalinasi (Elma, 2014, Elma et al., 2015a, Elma et al., 2015b, Elma et al., 2013, Elma et al., 2012, Wang et al., 2016, Yang et al., 2017). Tahap selanjutnya pada proses pembakaran pada suhu 900 oC, terjadi perubahan-perubahan dalam bentuk. Pada tahap pra-sintering terjadi dekomposisi zat organik, penguapan air hidrat. Pada tahap sintering terjadi penggabungan partikel-partikel dalam keramik berpori menjadi agregat yang mempunyai kekuatan mekanik tinggi (Reed, 1995). Adanya oksida dari logam Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 91
ISBN: 978-602-6483-07-2
alkali dan alkali tanah dalam keramik berpori dapat meningkatkan kecepatan sintering dengan membentuk cairan yang dapat menarik butiran-butiran bersama oleh gaya tegangan permukaan sehingga bentuk keramik berpori akan mengalami penyusutan dan peningkatan densitas (J. T. and M. F., 1993). Perubahan warna terjadi akibat oksidasi dari Fe2+. Air memberikan pengaruh yang paling kecil terhadap susut bakar karena kandungan air dalam keramik berpori pada tahap sintering sudah rendah setelah sebelumnya dihilangkan pada tahap pengeringan secara manual dan dengan oven. Metode Fourier Transform InfraRed Spectorscopy (FTIR) telah digunakan untuk menentukan gugus fungsional dari material campuran tanah lempung yang sudah melewati proses ekstrusi, pengeringan dan kalsinasi. Gambar 4 menunjukkan beberapa gugus fungsional dari material campuran tersebut.
Gambar 4. Hasil analisa FTIR sampel B7, B8 dan B9
Dari Gambar 4 terlihat bahwa pada panjang gelombang 630 cm-1 terlihat vibrasi Si-O-Si, sementara itu pada panjang gelombang 1298 cm-1 terlihat vibrasi gugus fungsi Si-O. Gugus Si-OH juga terlihat pada panjang gelombang 954 cm-1. Gugus C-H juga terlihat pada panjang gelombang 3699 cm-1. Kandungan gugus fungsi Si-O-Si yang paling rendah rendah terdapat pada sampel B9. Kandungan Si-O-Si ini lah yang nantinya menentukan struktur dan ukuran pori-pori dari material lempung gambut ini. 4.
KESIMPULAN
Konsentrasi PEG 400 sebanyak 0,3 % menghasilkan keramik berpori dengan tekstur yang kenyal, terbentuk gumpalan-gumpalan besar dan permukaan dari keramik berpori tidak rata atau pecah. Konsentrasi air pada massa plastis yang sesuai untuk membuat keramik berpori adalah 35 % dari total campuran bahan baku. Pada proses sintering, semakin tinggi suhu kalsinasi maka kerapatan atau kepadatan dari keramik berpori akan semakin meningkat dan bentuk partikelnya menjadi lebih bulat, padat dan keras dari sebelum dikalsinasi. Kandungan Si-O-Si paling banyak ke rendah terdapat pada sampel B7, B8 dan B9. Kandungan Si-O-Si inilah yang akan menentukan struktur dan ukuran pori-pori dari material tanah lempung Gambut, dimana nantinya bisa diaplikan untuk proses desalinasi air.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
92 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat yang telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan Hibah PUPT Universitas Lambung Mangkurat dari dana PNBP Tahun 2016 dengan Ketua Peneliti Muthia Elma. Terima kasih kepada Laboratorium Teknologi Proses Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat untuk ketersediaan fasilitas. DAFTAR PUSTAKA J. T., J. & M. F., B. 1993. Ceramics; Industrial Processing and Testing 2nd edition. Lowa: Lowa State University Press/AMES. Purbasari, A. & Samadhi, T. W. 2005. Pengembangan Produk Keramik Berpori dengan Proses Ekstrusi pada Skala Laboratorium. Jurnal Tejknik Kimia Indonesia, 4, 227-233. Reed, J. S. 1995. Principles of Ceramics Processing. 2nd edition. New York: John Wiley & Sons. Elma, M. 2014. Interlayer-free functionalised base-catalysed silica membranes for desalination. Dissertation/Thesis, The University of Queensland, School of Chemical Engineering, PhD Dissertation. Elma, M., Wang, D. K., Yacou, C. & Diniz Da Costa, J. C. 2015a. Interlayer-free P123 carbonised template silica membranes for desalination with reduced salt concentration polarisation. Journal of Membrane Science, 475:376-383. Elma, M., Wang, D. K., Yacou, C., Motuzas, J. & Diniz Da Costa, J. C. 2015b. High performance interlayer-free mesoporous cobalt oxide silica membranes for desalination applications. Desalination, 365:308-315. Elma, M., Yacou, C., Costa, J. & Wang, D. 2013. Performance and Long Term Stability of Mesoporous Silica Membranes for Desalination. Membranes, 3:136-150. Elma, M., Yacou, C., Wang, D. K., Smart, S. & Diniz Da Costa, J. C. 2012. Microporous Silica Based Membranes for Desalination. Water, 4:629-649. J. T., J. & M. F., B. 1993. Ceramics; Industrial Processing and Testing. 2nd edition, lowa State University Press/AMES, lowa. Purbasari, A. & Samadhi, T. W. 2005. Pengembangan Produk Keramik Berpori dengan Proses Ekstrusi pada Skala Laboratorium. Jurnal Teknik Kimia Indonesia, 4:227-233. Reed, J. S. 1995. Principles of Ceramics Processing. 2nd edition. New York: John Wiley & Sons. Wang, D. K., Elma, M., Motuzas, J., Hou, W.-C., Schmeda-Lopez, D. R., Zhang, T. & Zhang, X. 2016. Physicochemical and photocatalytic properties of carbonaceous char and titania composite hollow fibers for wastewater treatment. Carbon, 109: 182-191. Yang, H., Elma, M., Wang, D. K., Motuzas, J. & Diniz Da Costa, J. C. 2017. Interlayer-free hybrid carbon-silica membranes for processing brackish to brine salt solutions by pervaporation. Journal of Membrane Science, 523:197-204.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 93
ISBN: 978-602-6483-07-2
PENGUKURAN KADMIUM (Cd) DAN BESI (Fe) PADA IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) DI PERAIRAN SUNGAI ASAM-ASAM SEKITAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP KABUPATEN TANAH LAUT
Bunda Halang, Nurul Mutmainnah Ibrahim dan Naparin Jurusan Pendidikan Biologi-FKIP, Universitas Lambung Mangkurat E-mail :
[email protected] ABSTRAK Sungai Asam-Asam di sekitar kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan sungai yang menjadi penunjang mobilitas warga. Pada sungai tersebut juga ditemukan ikan Kakap Putih yang dikonsumsi warga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kandungan kadmium (Cd) dan besi (Fe) pada ikan Kakap Putih (Lates calcarifer) yang ada di Sungai Asam-Asam sekitar PLTU. Metode penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik pengambilan sampel secara observasi yaitu pengambilan sampel ke lapangan dengan tiga titik pengambilan sampel. Ketiga titik pengambilan sampel tersebut, yakni : 1) Pada bagian sebelah utara PLTU (sekitar 1000 m dari PLTU), 2) Pada bagian tengah dekat outlet pembuangan limbah PLTU, dan 3) Pada bagian selatan PLTU (sekitar 1000 m dari PLTU). Uji kandungan Cd dan Fe menggunakan metode Inductively Coupled Plasma (ICP). Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa kandungan Cd pada sampel kepala, perut, dan ekor ikan berturut-turut yaitu, 0.017 ppm, 0.026 ppm dan <0.01 ppm. Sedangkan kandungan Fe pada kepala, perut, dan ekor ikan berturut-turut 0.496 ppm, 0.811 ppm, dan 0.326 ppm. Kandungan Cd pada kepala dan perut melampaui ambang batas baku mutu yang ditetapkan, sementara kandungan Fe masih di bawah ambang baku mutu berdasarkan Keputusan Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989. Adanya hasil yang melampaui ambang batas baku mutu merupakan suatu indikator terjadinya akumulasi logam pada ikan Kakap Putih di perairan Sungai Asam-Asam sungai sekitar PLTU. Kata Kunci: Kadmium, Besi, PLTU Asam-asam, ikan Kakap Putih ABSTRACT Asam-Asam river around Steam Power Generation (PLTU) is a river that be supporting the mobility of residents. In the river is also found white snapper consumed by residents. The purpose of this research was to find how many concentrates of cadmium (Cd) and iron (Fe) in white snapper (Lates calcarifer) in the Asam-Asam river, around PLTU. The method of this research was descriptive method with sampling by observation, namely sampling to the field with three points of the samples. The three points of these samples, namely : 1) In the north of PLTU (about 1000 m from PLTU), 2) Near outlet of PLTU, and 3) In the southern part of PLTU (about 1000 m from PLTU). Test of Cd and Fe content used Inductively Coupled Plasma (ICP) method. The results of this research showed that the cadmium content in head, stomach and tail of a fish samples respectively were 0.017 ppm, 0.026 ppm, and < 0.01 ppm. While Fe content in the head, the stomach and the tail of the fish respectively were 0.496 ppm, 0.811 ppm, and 0.326 ppm. The Cd contents in the head and the abdomen were above the threshold of quality standards, while the Fe contents were still below the threshold of quality standards based on the decision of director general POM No. 03725/B/SK/VII/1989. The
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
94 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
presence of the results within the boundaries quality standards was a sign the occurrence of an accumulation of the metal in the white snapper in the Asam-Asam river, around PLTU. Keywords : Cadmium, Iron, Asam-Asam river, White Snapper
1.
PENDAHULUAN
Pada kawasan sekitar sungai Asam-asam, terdapat salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Asam-asam dan pemukiman masyarakat. Adanya aktivitas PLTU dan pemukiman menjadikan kawasan sungai Asam-asam rentan terhadap paparan limbah dari kegiatan pengelolaan PLTU dan limbah domestik. Biasanya limbah yang dihasilkan berupa senyawa logam berat, contoh logam berat yang terpapar ke lingkungan sekitar yaitu Kadmium (Cd) dan Besi (Fe). Palar (2012) mengemukakan bahwa, gejala-gejala keracunan akut yang disebabkan oleh logam Cd adalah timbulnya rasa sakit dan panas pada bagian dada. Keracunan bersifat kronis yang disebabkan oleh daya racun yang dibawa oleh logam Cd, terjadi dalam selang waktu yang sangat panjang. Begitu pula pada Fe, dosis besar dapat merusak dinding usus. Kematian seringkali disebabkan oleh rusaknya dinding usus ini. Debu Fe juga dapat diakumulasi di dalam alveoli, dan menyebabkan berkurangnya fungsi paru-paru Slamet (2004). Salah satu hewan yang terpapar pencemaran air adalah ikan. Pada kawasan Sungai AsamAsam sekitar PLTU, ikan yang banyak ditemukan di sungai dan juga dikonsumsi oleh masyarakat adalah ikan Kakap Putih (Lates calcarifer). Menurut Tarwiyah (2001), ikan Kakap Putih merupakan ikan yang memiliki toleransi besar terhadap kadar garam, serta dapat hidup di air tawar, air payau, maupun air asin. Ikan ini memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat sekitar, yaitu bisa dikonsumsi maupun dijual, sehingga ikan Kakap Putih menjadi salah satu ikan yang dicari oleh para nelayan. Terpaparnya logam berat secara terus-menerus pada ikan Kakap Putih yang ada di sungai Asam-asam dapat mengganggu kesehatan masyarakat sekitar yang mengonsumsinya karena logam berat tersebut dapat terakumulasi di dalam tubuh sehingga kemungkinan akan menimbulkan dampak yang buruk pada kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) Mendeskripsikan kandungan Kadmium (Cd) dan Besi (Fe) yang terdapat pada ikan Kakap Putih (Lates calcarifer) di perairan Sungai Asam-Asam sekitar PLTU dan 2) Membandingkan kandungan Kadmium (Cd) dan Besi (Fe) pada daging ikan Kakap Putih di perairan Sungai Asam-Asam sekitar PLTU dengan standar baku mutu daging ikan yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989. Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi masyarakat Sungai Asam-Asam dan sekitarnya tentang kelayakan kandungan Cd dan Fe pada ikan Kakap Putih dan sebagai bahan masukan (data awal) bahan pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam pengelolaan Sungai Asam-Asam.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 95
ISBN: 978-602-6483-07-2
2.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pengambilan data dilakukan secara observasi, yaitu pengamatan secara observasi langsung ke lapangan. Penelitian ini berlokasi di Sungai Asam-Asam sekitar PLTU Kabupaten Tanah Laut dan pelaksanaan pengambilan sampel dilakukan pada saat sungai dalam kondisi pasang. Penelitian berlangsung 5 bulan, yakni dari akhir bulan Agustus sampai Desember 2015. Prosedur penelitian yaitu melakukan observasi lokasi penelitian, mempersiapkan alat dan bahan penelitian. Selanjutnya, menetapkan area pengambilan sampel sebanyak 3 titik sampel. Titik pertama berada ±1000 meter di bagian sebelah utara dari PLTU.Titik kedua berada di dekat outlet pembuangan limbah PLTU. Titik ketiga berada ±1000 meter di bagian sebelah selatan dari PLTU. Menangkap ikan dengan menggunakan jaring dan alat pancing pada masing-masing titik pengambilan sampel. Memasukkan sampel ikan ke dalam stoples yang bersih dan steril. Memberi label untuk masing-masing sampel yang diambil dari 3 titik sampel yang berbeda. Memasukkan stoples yang berisi sampel ikan ke dalam cool box, agar sampel ikan tetap segar. Memasukkan es batu ke cool box yang berisi sampel ikan. Mengukur parameter lingkungan Menguji kandungan Cd dan Fe yang terdapat pada sampel ikan Kakap Putih dengan menggunakan ICP. Membandingkan hasil uji kandungan Cd dan Fe yang terdapat pada sampel daging ikan dengan standar baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/198. 3.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan kandungan Cd pada sampel daging ikan Kakap Putih yang didapatkan dari perairan Sungai Asam-Asam sekitar PLTU ditunjukkan pada tabel 1 berikut, yaitu : Tabel 1. Kandungan Cd pada sampel daging ikan Kakap Putih No.
Sampel
I 1. II 2. III 3. Keterangan :
Kandungan Cd pada ikan Kakap Putih (ppm) Kepala Perut Ekor 0.013 <0.01 <0.01 0.029 0.061 <0.01 <0.01 <0.01 <0.01
Titik I Titik II Titik III * +
Ratarata (ppm) <0.01 0.033 <0.01
Batas Maksimum Cd (ppm)* 0.01 0.01 0.01
Kesimpulan (-/+) + -
: ± 1000 m bagian sebelah utara PLTU : Dekat outlet pembuangan limbah PLTU : ± 1000 m bagian sebelah selatan dari PLTU : Peraturan Dirjen POM No. 03725/ B/SK/VII/ 1989 : Tidak melewati batas baku mutu : Melewati batas baku mutu
Kandungan Cd pada titik sampel I (± 1000 m sebelah utara PLTU) dan sampel III (± 1000 m sebelah selatan PLTU) didapatkan hasil rata-rata <0.01 ppm atau dengan kata lain hasil pemeriksaan di bawah batas Method Detection Limit (MDL) dari alat uji berupa Inductively Coupled Plasma (ICP) Hal ini menunjukkan bahwa kandungan Cd pada titik samel I dan sampel III masih jauh di bawah standar baku mutu yang ditetapkan (0,01 ppm) berdasarkan peraturan Dirjen POM No. 03725/ B/SK/VII/ 1989). Sedangkan kandungan Cd pada titik sampel II (dekat outlet pembuangan limbah cair PLTU) diperoleh hasil rata-rata 0,033 ppm.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
96 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Hal ini menunjukkan bahwa kandungan Cd pada titik sampel II melebihi standar baku mutu yang ditetapkan. Hasil pengukuran Cd pada titik sampel I bagian kepala dan titik sampel II bagian kepala dan perut ikan telah melebihi standar baku mutu yang ditetapkan. Sedangkan pada titik sampel III, baik daging pada bagian kepala, perut, maupun ekor masih jauh di bawah standar baku mutu. Kandungan Cd yang paling tinggi adalah pada lokasi sampel titik II. Tingginya kandungan Cd pada titik II ini karena adanya akumulasi logam Cd pada tubuh ikan. Apabila dilihat dari lokasi titik sampling, paparan logam berat (Cd dan mungkin logam lainnya) diperkirakan akan lebih besar di lokasi titik sampel II karena pada lokasi sampel titik II ini berdekatan dengan outlet pembuangan limbah cair PLTU dimana limbah cairnya ada mengandung Cd. Hal ini didukung oleh pendapat IARC (1997) bahwa di dalam batubara terkandung beberapa macam unsur, antara lain Cd. Palar (2012) juga mengatakan bahwa logam yang berasal dari aktivitas manusia dapat berupa buangan sisa industri. Hal ini ditunjang pula pendapat Suharto (2011) yang mengatakan bahwa, kegiatan PLTU berbahan baku batubara menghasilkan limbah berupa abu terbang (fly ash) dan abu bawah (bottom ash) dan termasuk limbah B3. Abu terbang (fly ash) mengandung partikel berupa Cd. Kegiatan PLTU menggunakan bahan bakar dan minyak pelumas mesin atau oli bekas dan ada kemungkinan tercampur dengan limbah cairnya sehingga akan dikeluarkan melalui outlet pembuangan limbahnya. Pada sisi lain Darmono (2001) menyatakan bahwa, ikan yang hidup di dalam habitat yang terbatas seperti sungai, danau dan teluk, mereka sulit menghindarkan diri dari pengaruh polusi, terutama polusi air yang mengandung Cd dalam konsentrasi yang agak tinggi. Meskipun perairan sungai tersebut mengalir, dampak polusi tersebut masih akan terasa bagi ikan-ikan yang hidup di sana. Ikan Kakap Putih yang terdapat di lokasi penelitian, terutama di lokasi titik sampel II, tergolong dapat mengganggu kesehatan apabila dimakan oleh manusia karena kandungan Cd yang ada pada ikan tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh manusia yang memakan ikan tersebut. Alloway dan Ayres (1993) mengatakan bahwa, Cd dapat terakumulasi di dalam ginjal dan dapat menyebabkan ginjal tidak berfungsi. Adanya paparan Cd pada ikan Kakap Putih di lokasi, selain karena akumulasi dari makanan yang dimakan oleh ikan, juga karena adanya Cd yang terlarut di air karena hasil buangan limbah. Wardhana (2004) mengatakan bahwa bahan buangan anorganik yang umumnya berupa limbah tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Berdasarkan pendapat Soemirat (2009), banyaknya detergen di perairan dapat mendispersi zat dengan lebih baik sehingga logam akan mudah diserap, oleh karenanya lebih banyak racun yang dapat memasuki ikan atau organisme akuatik lainnya. Kandungan Cd pada lokasi titik sampel I pada bagian kepala ikan Kakap Putih juga melebihi nilai ambang batas baku mutu yang ditetapkan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada lokasi titik sampel I ini berdekatan dengan pemukiman warga. Kondisi ini diperkuat oleh pendapat Connell dan Miller (1983) bahwa pemukiman menghasilkan limbah domestik seperti seperti Cd. Sedangkan kandungan Cd pada lokasi titik sampel III mempunyai konsentrasi yang masih berada di bawah nilai baku mutu yang ditetapkan. Rendahnya konsentrasi Cd pada lokasi titik sampel III ini kemungkinan karena terletak agak jauh dari pemukiman warga dan outlet pembuangan limbah kegiatan PLTU, sehingga kemungkinan limbah buangannya mengandung
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 97
ISBN: 978-602-6483-07-2
Cd agak rendah konsentrasinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sembel (2015) bahwa Cd dihasilkan dari limbah domestik limbah buangan industri. Hal ini diperkuat pula pernyataan Mukono (2005) bahwa, salah sumber Cd berasal dari emisi uap melalui partikel yang jatuh ke tanah dan air selama proses peleburan logam. Rendahnya kandungan atau konsentrasi Cd pada lokasi titik sampel III kemungkinan juga karena agak jauh dari sumber pembakaran bahan bakar fosil (kegiatan PLTU). Kenyataan ini diperkuat oleh Kathleen Sellers (1999) yang mengatakan bahwa, salah satu sumber tipikal Cd adalah pembakaran bahan bakar fosil. Selain Cd, ada logam lainnya yang diukur, yaitu Fe. Pengukuran Fe dengan menggunakan ICP dalam daging ikan Kakap Putih pada ketiga lokasi titik sampel diperoleh hasil yang juga bervariasi. Hasil pengukuran Fe dalam daging ikan Kakap Putih disajikan pada tabel 2 berikut ini, yakni : Tabel 2. Kandungan logam Fe pada sampel ikan Kakap Putih No.
Sampel
I 1. II 2. III 3. Rata-rata Keterangan :
Kandungan Fe pada ikan Kakap Putih (ppm) Kepala Perut Ekor 0.512 0.705 0.311 0.726 1.439 0.481 0.251 0.288 0.186 0.496 0.811 0.326
Titik I Titik II Titik III * +
Ratarata (ppm) 0.509 0.882 0.242 0.544
Batas Maksimum Fe (ppm)* 1.4 1.4 1.4 1.4
Kesimpulan (-/+) -
: ± 1000 m bagian sebelah utara PLTU : Dekat outlet pembuangan limbah PLTU : ± 1000 m bagian sebelah selatan dari PLTU : Peraturan Dirjen POM No. 03725/ B/SK/VII/ 1989 : Tidak melewati batas baku mutu : Melewati batas baku mutu
Kandungan Fe pada titik sampel I, II, dan III diperoleh hasil rata-rata secara berturut-turut adalah 0.509 ppm, 0,882 ppm, dan 0,242 ppm. Hasil pengukuran pada ketiga titik sampel ini menunjukkan bahwa hasilnya masih berada di bawah nilai standar baku mutu yang ditetapkan (standar = 1,4 ppm berdasarkan peraturan Dirjen POM No. 03725/ B/SK/VII/ 1989). Hasil pengukuran kandungan Fe pada bagian daging ikan pada sampel titik II bagian perut yang paling tinggi, yaitu 1,439 ppm dan hasilnya telah melebihi nilai standar baku mutu yang telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa, konsentrasi atau kandungan Fe di dekat outlet pembuangan libah cair PLTU telah tinggi. Tingginya kadar Fe pada lokasi titik II ini kemungkinan disebabkan karena konsentrasi Fe dalam perairan sudah mulai tinggi akibat posisinya yang masih berdekatan dengan outlet pembuangan limbah PLTU. Kondisi ini didukung oleh pendapat IARC (1997) bahwa di dalam batubara terkandung unsur-unsur Fe. Hal ini diperkuat oleh Palar (2012) bahwa, logam yang berasal dari aktivitas manusia dapat berupa buangan sisa industri. Kegiatan PLTU banyak mengahasilkan sisa-sisa minyak pelumas mesin (oli bekas) dan ada kemungkinan tercampur dengan limbah cairnya sehingga akan dikeluarkan melalui outlet pembuangan limbahnya. Kamal (2000) mengatakan bahwa, perpindahan logam besi dalam perairan melalui rantai makanan pada ikan Kakap Putih pada saat ikan memakan Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
98 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
makanannya. Ikan Kakap Putih memakan segala jenis makanan seperti anak-anak ikan, insekta, moluska, dan rumput. Dengan demikian, logam besi yang berada pada makanan ikan Kakap Putih akan berpindah ke dalam tubuh ikan dan memungkinkan untuk terakumulasi di dalam tubuh ikan tersebut. Hasil pengukuran Fe sampel titik II pada bagian kepala (0,726 ppm), sampel titik I bagian perut (0,705 ppm), sampel titik I bagian kepala (0.512 ppm), dan paling rendah adalah sampel titik III bagian ekor (0,186 ppm). Secara keseluruhan, kandungan Fe pada daging bagian kepala, perut dan ekor masih di bawah nilai standar baku mutu yang ditetapkan. Hal ini berarti bahwa kandungan Fe pada lokasi titik tersebut masih belum membahayakan kehidupan biota air lainnya dan kehidupan manusia yang mengkonsumsinya. Namun, perlu diketahui bahwa telah ada paparan Fe di lingkungan tersebut dan telah terakumulasi di dalam tubuh ikan Kakap Putih melalui proses metabolisme. Sekalipun Fe diperlukan tubuh, tetapi dalam dosis besar dapat merusak dinding usus. Kematian sering disebabkan ole rusaknya dinding usus (Slamet, 2004). Connel & Miller (1983) mengatakan bahwa masuknya logam ke dalam tubuh ikan dapat terjadi melalui beberapa cara. Pertama, dari air kemudian masuk ke dalam insang atau seluruh permukaan tubuh ikan, kemudian ke cairan sirkulator yang diikuti dengan proses metabolisme dan penyimpanan (bioakumulasi). Kedua, terlebih dahulu terkonsumsi oleh biota yang lain, dengan urutan biota air tingkat trofik rendah kemudian ke biota tingkat trofik tinggi. Soemirat (2003) menjelaskan bahwa zat yang terakumulasi di dalam organisme tentunya akan terakumulasi pula di organisme lainnya dengan tingkat yang lebih tinggi. Secara umum dari hasil pengukuran parameter lingkungan diperoleh bahwa parameter lingkungan seperti suhu, pH, dan kecerahan air tidak begitu berpengaruh terhadap kandungan Cd dan Fe dalam daging ikan Kakap Putih karena parameter lingkungan tersebut sudah sesuai dengan kisaran standar yang telah ditetapkan. Namun, hasil pengukuran BOD (kisaran 9,90 – 18,50 mg/l) dan COD (kisaran 24,99 – 46,38 mg/l) telah melampaui batas maksimum BOD dan COD yang ditetapkan berdasarkan PerGub Kal-Sel No.5 tahun 2007 untuk Air Sungai. Wardhana (2004) mengatakan bahwa makin tinggi kandungan BOD dan COD yang ada di dalam perairan maka semakin mengurangi kadar oksigen terlarut. 4.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan Sungai Asam-asam sekitar PLTU Kabupaten Tanah Laut dapat diambil kesimpulan : 1. Kandungan Cd yang terdapat pada ikan Kakap Putih (Lates calcarifer) yaitu : rata-rata sebesar <0.01 ppm pada lokasi sampel titik I dan titik III, serta rata-rata sebesar 0.033 ppm pada lokasi sampel titik II. Adapun kandungan Fe pada ikan Kakap Putih berturut-turut dari titik I, II, dan III yaitu rata-rata sebesar 0.509 ppm, 0.882 ppm, dan 0.242 ppm. 2. Kandungan Cd pada ikan Kakap Putih (Lates calcarifer) pada lokasi sampel titik II berada di atas ambang batas baku mutu yang ditetapkan, sementara pada titik I dan III kandungan Cd-nya masih berada di bawah ambang batas baku mutu yang ditetapkan oleh Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989 yaitu sebesar 0.01 ppm. Kandungan Fe pada ikan pada ke-3 titik sampel berada di bawah ambang batas baku mutu yang ditetapkan oleh Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989 yaitu sebesar 1.4 ppm.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 99
ISBN: 978-602-6483-07-2
Saran :
Pada skala penelitian selanjutnya, sebaiknya pada saat pengambilan sampel ikan dilakukan saat kondisi surut dan pengambilan sampel ikan diulang 3 kali dalam rentang waktu yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Alloway, B.J.and Ayres, D.C. 1993. Chemical Principles of Environmental Pollution. London, New York,Tokyo. Blackie Academic and Professional. Connel, D. W. dan G. J. Miller. 1983. Chemistry and Ecotoxicology of Pollution. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. John willey and Sons. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Bogor: UI-Press. IARC. 1997. IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risk to Human. Vol. 68 Kamal, Mustafa. 2000. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB. Bogor. Kordi, K. Gufran, M. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta: Rineka Cipta Bina Adiaksara. Mukono, H.J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press. Palar, Heryando. 2012. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta. Sellers, K.1999. Fundamentals of Hazardous Waste Site Remediation. London, New York, Washington. Lewis Publishers. Sembel, Dantje. 2015. Toksikologi Lingkungan: Dampak Pencemaran dari Berbagai Bahan Kimia dalam Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Andi. Slamet, Juli Soemirat. 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soemirat, Juli. 2009. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suharto, Ign, 2011. Limbah Kimia dalam pencemaran udara dan air. Yogyakarta: Andi offset Tarwiyah. 2001. Pembesaran Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch) di Keramba Jaring Apung. Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Wardhana, Wisnu Arya. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
100 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
KETERLIBATAN Typha angustifolia L DALAM MENURUNKAN KANDUNGAN BOD, COD DAN Pb BAHAN PENCEMAR LIMBAH LINDI PADA LAHAN BASAH BUATAN Sugeng Nuradji *,1, Sutrisno Anggoro3, Henna Rya Sunoko1,4, dan Boedi Hendrarto5 *) Polytechnic-Ministry of Health Palu, Central Sulawesi, Indonesia 1. Doctoral Program in Environmental Sciences of Diponegoro University, Semarang 2. Health Polytechnic-Ministry of Health Palu Central, Sulawesi, Indonesia 3. Doctoral Study Program in Coastal Resources Management of Diponegoro University 4. Medical Faculty, Diponegoro University Semarang, Central Java 5. Fisheries and Marine Sciences Faculty (FPIK) of Diponegoro University, Semarang JI. Imam Bardjo, SH No 5 Semarang-Central Java 50241 Phone/Fax (024) 8453635, 8452770. E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tercemarnya air permukaan oleh limpasan air limbah dan limbah lindi dari TPA, dapat direduksi salah satunya menggunakan tanaman Typha angustifolia L. Karena tanaman tersebut adaptif pada beberapa jenis limbah dan biaya operasional relatif rendah serta ramah lingkungan. Penelitian ini untuk mengkaji keterlibatan tanaman Typha angustifolia L dalam menurunkan bahan pencemar limbah lindi menggunakan lahan basah buatan (CWs). Metode penelitian ini menggunakan split plot design skala laboratorium. Tebal media pasir yang digunakan 50, 55 dan 60 cm, ES (0,008-1,04) mm; gravel (3,0-8) mm, UC = 3,13 dan densitas tanaman rendah, sedang, tinggi serta dialiri lindi secara batch reaktor. Uji statistik menggunakan analisis ragam dan menggunakan SPSS. Hasil analisis T.angustifolia L berperan penting dalam penurunan berbagai tipe air limbah sebesar 96,429 %. Penurunan BOD berinterkasi signifikan dengan densitas tanaman dan ketebalan media pasir atau sebaliknya, pada media pasir 50 cm dan densitas tanaman sedang. Penurunan COD dipengaruhi signifikan oleh densitas tanaman, tidak dipengaruhi signifikan oleh ketebalan media pasir. Terdapat korelasi positif Pb di: media pasir, akar, daun, influent dan effluent. Penyerapan Pb di akar T. angustifolia L 2-7 kali lebih besar daripada daun dan media pasir. Kandungan Pb di: akar > media pasir > daun > influent > effluent. T.angustifolia L dapat dilibatkan untuk penurunan BOD, COD dan Pb dengan efisiensi berturut-turut: (91,99-98,22) %, dan (92,02-95,96) %, serta penurunan logam Pb antara (82,74-98,69) %. Kata kunci: lahan basah buatan (CWs), T. angustifolia L dan limbah lindi. ABSTRACT The contamination of surface water by waste runoff and leachate waste from landfill (TPA), can be reduced by Typha angustifolia L plant. Because it is adaptive for some types of waste and the operating costs is relatively low and environmentally friendly. This research is to study the involvement of Typha angustifolia L plant in decreasing leachate waste pollution
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 101
ISBN: 978-602-6483-07-2
using contructed wetlands (CWs). The method of this research used split plot design of laboratorial scale. The thickness of sand media used is 50,.55 and 60 cm, ES (0.008 to 1.04) mm; Gravel (3.0 to 8) mm, UC = 3.13 and plant density is low, medium, high and also flowed by leachate in a batch reactor. Statistical test used analysis of variance and SPSS. The analysis result of T.angustifolia L plays an important role in decreasing various types of waste water of 96.429%. The decreasing of BOD significantly interacts with plant density and thickness of sand media or otherwise, in the sand media is 50 cm and plant density is medium. The decreasing of COD is significantly influenced by the density of plant; not significantly influenced by the thickness of sand media. There is a positive correlation of Pb in: sand media, root, leaf, influent and effluent. The absorption of Pb in the root of T. angustifolia L is 2-7 times greater than the leaf and sand media. The content of Pb in: root > sand media > leaf > influent > effluent. T.angustifolia L can be involved to decrease BOD, COD and Pb with continuous efficiency: (91.99 to 98.22)% and (92.02 to 95.96)%, and decreasing of Pb between (82, 74 to 98.69)%. Key words: Contructed Wetland (CWs), T. angustifolia L and Leachate Waste
1.
PENDAHULUAN
Isu pentingnya dilakukan penelitian ini mengingat salah satu kasus limpasan air lindi yang terjadi di TPS Raya Terboyo kecamatan Genuk kota Semarang. Hasil penelitian menunjukkan kandungan: BOD (79,5-83,90) mg/L, COD (479,50–598,56) mg/L dan Pb antara (0,074– 2,975) mg/L. Sesuai dengan PPRI nomor 82 tahun 2001, karakteristik limbah lindi di atas cenderung miliki jumlah kadungan organik sangat tinggi. Jika limbah lindi tersebut dibuang langsung ke lingkungan akan dapat mencemari badan air dan lingkungan. Dampak negatif dari limbah lindi terhadap lingkungan perairan di alam dapat direduksi menggunakan salah satu pengolahan sistem lahan basah alami (wetland) atau buatan. Kelebihan sistem pengolahan lahan basah buatan (constructed wetland) dengan memanfaatkan tanaman mampu meningkatkan rasio BOD/COD sebagai ukuran tingkat biodegradability limbah. Hasil kajian Jarchow et al. (2009) T.angustifolia L merupakan tanaman eksotis invasif di Amerika Utara yang sering membentuk monokultur di lahan basah dan lebih invasif dibandingkan anggota asli dari genusnya. Selanjutnya menurut Zhang et al. (2010), merilis T.angustifolia L merupakan spesien tanaman berdaun panjang dan sempit yang direkomendasikan pada kedalaman air 6 inchi, agresif dan mampu toleran pada air payau dengan pH antara 3,7-8,5 serta tidak direkomendasikan untuk lahan basah dari air semburan karena invasifnya sangat tinggi. CWs menggunakan tanaman T. angustifolia L merupakan salah satu alternatif spesies tanaman yang digunakan sebagai akumulator bahan pencemar dari limbah lindi. Alasan ini dikarenakan; (a) T.angustifolia L dapat menghasilkan biomassa 4 kali lebih banyak dan menyerap unsur polutan (2-27) kali lebih besar dalam lahan basah dibandingkan dengan kondisi lahan kering, Kissoon et al. (2011), (b) kemampuan tanaman tersebut dalam menyerap polutan lebih toleran jika kandungan COD di bawah 400 mg/l, (c) media pasir lambat dengan keseragaman sama (CU) dapat digunakan sebagai media tanaman T. angustifolia L aliran vertikal ke atas (up flow) pada lahan basah buatan, Jingtao et al. (2011).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
102 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Salah satu media pasir porous di dalam lahan basah buatan yang masih kurang dikaji perannya dalam menurunkan dan mengakumulasikan bahan organik dari limbah lindi adalah media pasir porous tersusun. Knowles et. al (2010) telah menemukan akumulasi bahan organik di lapisan pasir atas, yang dimungkinkan telah mengalami humification dan secara bertahap mengisi ruang pori, mengurangi permeabilitas media pasir. Jenis media filter dan pengendapan padatan organik dan anorganik pada lapisan permukaan pada lapisan permukaan media telah dianggap dapat menyebabkan penutupan permukaan (clogging), Rodgers et al. (2004). Kemampuan media pasir lambat dengan ukuran efektifnya (ES) telah berhasil dan membuktikan dapat meyerap polutan secara fisik dan kimia. 2.
METODOLOGI PENELITIAN
Menurut Nuradji et al, (2015), penelitian ini merupakan 2 (dua) faktor atau lebih yang berbeda dan diselidiki secara bersamaan. Kedua faktor tersebut masing-masing diuji dalam semua kombinasi, kemudian faktor yang lebih dipentingkan akan diselidiki karena dianggap memiliki efek lebih besar dari faktor lainnya, sehingga perlakuan yang dihasilkan merupakan split plot design. Variabel dependen yang diselidiki influent dan effluent hasil proses penurunan limbah lindi yakni: kandungan BOD, COD dan Pb. Sedangkan variabel independen terdiri dari density tanaman T. angustifolia L dan ketebalan media pasir lambat. Mainplot adalah density tanaman meliputi 4 (empat) faktor, yaitu: (a) 0 tanaman/m2 sebagai kontrol; (b) density rendah 12 tanaman/m2; (c) density sedang 36 tanaman/m2; dan (d) density tinggi 48 tanaman/m2. Subplot adalah ketebalan media pasir dengan 3 (tiga) faktor, yaitu: (a) ketebalan media pasir 50 cm, (b) 55 cm, dan (c) ketebalan media pasir 60 cm. Media pasir yang digunakan layak uji material dengan hasil analisis ES 60/10= (0,008-1,04) mm dan gravel (3,0-8,0) mm, UC = 3,13. Reaktor CWs berdiameter 40 cm dan tinggi total (65-70) cm. Debit limbah lindi yang dialirkan rata-rata 0,10 m3/hari. Pengamatan menggunakan split in time didasarkan perhitungan hydraulic retention time (HRT) mulai dari (7, 9, 11 dan 13) hari. Penentuan besarnya replikasi dalam penelitian ini menggunakan rumus Steel and Torrie, (1993) seperti pada persamaan (1). 𝑟 ≥ 2( 𝜎𝛿 )2 (t1 + t 2 )2
(1)
Keterangan: r: jumlah ulangan; 𝜎:standard eror tiap satuan; 𝛿: perbedaan yang ingin ditentukan t1 : nilai nyata pada tabel t; t2: nilai t pada tingkat peluang (probality yaitu: 2 (1-p)).
Gambar 1. Alur Proses Sistem Upflow CWs pada Green House
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 103
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 2. Split Plot Design pada CWs Skala pada Green House
2.1. Analisis Data Data hasil perlakuan dari effluent kandungan BOD, COD, dan Pb dianalisis menggunakan standar uji SNI, kemudian ditransfer dalam bentuk skala rasio, dan diuji statistik menggunakan model matematika aditif linier analisis ragam, khusus untuk racangan kelompok serta analisisnya mempergunakan program SPSS 21 khusus eksperimental design (Pramesti, 2013). 2.2. Lokasi Penelitian Merujuk penelitian Nuradji et al, (2015) peneitian ini dilakukan pada green house (GH) yang terletak pada Lintang Utara 07o03’16,3’’ dan Lintang Selatan 110o26’27,4’’ di elevasi + 198,5201 meter di atas permukaan laut (APL). Rerata suhu udara 33,48oC dan kelembaban udara 61,831 %. Rhizoma tanaman Typha ukuran + 10 cm dikondisikan dengan cara vegetasi pada media tanah bebas logam Pb di plastibox dari 0-3 bulan di GH Fakultas Pertanian dan Peternakan Undip Semarang. Penyiraman tanaman menggunakan air PDAM bebas logam berat Pb. 2.3. Proses Aklimatisasi dan Bioakumulasi Rerata umur tanaman pada saat akhir akilimatisasi 4 bulan. Proses aklimatisasi dilanjutkan ke proses runing sistem secara menyeluruh pada perlakuan dan kelompok kontrol dengan waktu pengamatan bertahap dan berulang sesuai HDT berturut-turut; (7, 9, 11 dan 13) hari. Runing pertama sampai ke runing terakhir umur tanaman 6 bulan. Pasca runing secara dilakukan pemanenan tanaman T. angustifolia L secara menyeluruh, untuk dilakukan pengukuran biomasa tanaman selanjutnya diukur bioakumulasi logam Pb. Menurut Nuradji et al (2015) bioakumulasi logam Pb dilakukan dengan melakukan pengukuran biomassa tanaman dan media pasir meliputi berat basah, kering pada akar dan daun tanaman, serta kandungan logam Pb yang tersisa di dalam tanah dan organ tanaman. Kandungan jumlah logam yang diakumulasi oleh organ diwakili akar dan daun tanaman. Analisis untuk Bioakumulasi menggunakan persamaan (3) (Arifin et al. 2012); Madjid et al (2011). Bioakumulasi =
konsentrasi logam berat pada organ tanaman (ppm) konsentrasi logam pada media (ppm)
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
104 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
(2)
ISBN: 978-602-6483-07-2
2.4 Efisiensi Penurunan (ER) Efisiensi Penurunan dihitung berdasarkan persamaan (Brix and Arias, (2005). % 𝐸𝑅 = [
Co −C1 Co
] 𝑋 100 %
(3)
Dimana: C0 adalah kandungan influent, dan C1 di effluent. Jika densitas tanaman semakin rendah pada ketebalan media pasir semakin kecil, dapat menghasilkan efisiensi penurunan tinggi, maka dikatakan kinerja lahan basah buatan sangat efisien. 2.5 Penetapan Unsur Logam Pb Unsur logam berat total dalam tanah/tumbuhan dapat diekstrak dengan cara pengabuan basah menggunakan asam campur pekat HNO3 dan HClO4. Pengukuran Ekstrak jernih diukur dengan alat AAS menggunakan deret standar masingmasing logam berat sebagai pembanding. Kadar makro dan mikro dalam ekstrak diukur menggunakan AAS, flamefotometer dan spektrofotometer, pada panjang gelombang (γ) 248,3 nm dengan Standar Nasional Indonesai (SNI) 06-6989.4-2004. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil determinasi penelitian ini, T. angustifolia L merupakan tanaman yang hidup di lahan basah, kadar garam rendah dan anggota famili: Typhaceae dengan satu genus Typha, adalah tanaman herba semusim. Karangan bunga dalam tangkai yang sangat panjang dengan kumpulan bunga jantan dan di bagian ujung dan kumpulan bunga betina terletak di bawah kumpulan bunga jantan. Umumnya berkembang biak dengan cara vegetatif. Pemanfaatkan tanaman T.angustifolia L merupakan spesies tanaman yang umumnya tumbuh di daerah air dan becek, Jarchow et al. (2009) T.angustifolia L merupakan tanaman eksotis invasif di Amerika Utara yang sering membentuk monokultur di lahan basah dan lebih invasif dibandingkan anggota asli dari genusnya. T.angustifolia L merupakan salah satu spesies tanaman emergen yang digunakan pada CWs aliran permukaan seperti rawa-rawa, kolam, pinggiran saluran bahkan didaerah yang airnya payau. Pemanfaatan CWs merupakan solusi tepat secara teknologi dan biaya rendah, mudah dioperasikan dan dipelihara untuk mengolah air limbah di negara berkembang, khususnya masyarakat pedesaan kecil. Sistem ini belum digunakan secara luas, karena kurangnya kesadaran, dan keahlian lokal dalam mengembangkan teknologi secara lokal (Belmont et al. 2004). Hasil test porositas media pasir pada diagram porositas diameter sebesar 0,84 mm, jadi porositasnya 0,438 atau 43,8 %. Hasil tersebut di atas 40 % yang dipersyaratkan dan memenuhi kriteria sebagai material dalam media pasir. Berdasarkan studi pemilihan diameter pasir di atas, maka UC dan ES, untuk FSF adalah diameter (0,84-0,084) mm. Filter yang tersedia dipasar adalah 1,04 mm. Untuk memperoleh UC = 3,13 dan ES 60/10= (0,008-1,04) m3 medi pasir diperlihatkan pada grafik analisis pada Gambar 3.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 105
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 3. Grafik Analisis Media Pasir untuk ES dan UC
Hasil kajian dari beberapa jurnal terkait lebih dari 10 tahun terakhir, minimum terdapat 18 negara di belahan bumi yang menerapkan CWs untuk penurunan bahan pencemar dari limbah, maka tipe air limbah yang telah diturunkan kandungan parameternya, peran tanaman T. angustifolia L, serta metode dominan adalah skala lapangan terpadu dengan mengkombinasikan HF-CWs dan VF-CWs secara multi stage. Terkait penelusuran jurnal terkait, maka tanaman T.angustifolia L berperan penting dalam penurunan berbagai tipe air limbah sebesar 96,429 % menurut temuan (Yalcuk, 2010; Nivala et al., 2007; Babatunde et al., 2007; Lavrova et al., 2009; Yalcuk et al., 2008; Abidi et al.,2009; Khan et al.,2009; Kantawanichkul, (2008); Sirianuntapiboon., (2007); Zhang et al., (2010); Jingtao et al., (2011); Stefanakis et al., (2011); Vymazal, (2013); Leto et al.,(2013). Ya-Li et al (2014); dan Gill et al., (2014). Menurut Chandra et al. (2007), tanaman T.angustifolia L dan CWs dapat digunakan untuk pengolahan limbah berkelanjutan, dan dapat diterima oleh masyarakat dalam penurunan pencemaran limbah dilevel 7,143 %. Babatunde et al. (2007) menambahkan bahwa untuk mengurangi tingkat pencemaran di Irlandia telah diterapkan CWs yang penekanannya pada pengembangan teknologi murah dan berkelanjutan. Selanjutnya menurut Ting et al. (2012) menyatakan hasil survey secara sistematis teknologi CWs mencapai kesempurnaan bertahap untuk mendorong kebijakan nasional, permintaan pasar, dan kelayakan teknis. Hasil analisis limpasan limbah lindi, rerata BOD 82,5 mg/L atau 79,50—83,90 mg/L. Rerata hasil penurunan BOD di effluent CWs pada ketebalan media pasir 50 cm dengan level 5,24; 4,850; 6,540; dan 1,54 mg/L. Rerata effluent pada ketebalan media pasir 55 cm dengan level 15,2; 1,44; 3,34; dan 1,450 mg/L, sedangkan pada media pasir 60 cm sebesar 5,15; 0,44; 3,74; dan 0,250 mg/L. Berdasarkan hasil analisis kandungan limbah lindi, maka ada indikasi densitas tanaman T. angustifolia L dan ketebalan media pasir atau sebaliknya berinteraksi secara signifikan terhadap penurunan BOD. Efisiensi penurunan BOD pada kelompok perlakuan dengan waktu pengamatan 7, 9, 11, dan 13 hari berturut-turut: 91,594—98,085 %; 96,06—99,277 %; 91,806—98,13 %. Penurunan BOD pada kelompok kontrol antara 81,107—83,43 %. Rerata penurunan BOD kelompok perlakuan lebih besar daripada rerata
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
106 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
kelompok kontrol. Efek densitas tanaman dalam penurunan BOD yang dominan adanya interaksi antara densitas tanaman dengan ketebalan media pasir. Ketebalan media pasir mempengaruhi HDT di dalam sistem CWs, sehingga terdapat proses biologi antara media pasir dengan akar tanaman. Hal tersebut diperkuat oleh Haberl and Langergraber (2002), yang menyatakan proses eliminasi polutan dalam air limbah terjadi secara fisik, kimia, dan biologi yang cukup kompleks antara interaksi dan asosiasi. Interaksi dan asosiasi antara media pasir, tumbuhan makrophyta, dan mikroorganisme, yaitu transformasi secara kimia, adsorpsi, dan pertukaran ion pada permukaan tanaman maupun media; transformasi dan penurunan polutan, maupun nutrient oleh mikroorganisme serta tanaman; dan mengurangi mikroorganisme pathogen. Ketebalan media pasir mempengaruhi HDT, berpeluang air limbah terjadi proses biologis dalam media pasir dan di akar tanaman (Wood, 2001). Hal yang sama sejalan dengan EPA (1998) bahwa penurunan BOD air limbah pada CWs merupakan mekanisme yang tidak berjalan sepihak, melainkan faktor primer yang dipengaruhi oleh filtrasi dari media pasir. Di mana partikel-partikel disaring secara mekanis pada media pasir, dan terakhir pada sejumlah akar. Selanjutnya, efek primer berikutnya berupa penurunan padatan koloid, padatan terendap dan padatan terlarut, oleh bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi. Kemudian BOD di absorpsi oleh tanaman, di mana kondisinya tidak layak jumlahnya dengan kontaminan yang akan diserap oleh tanaman, dan terakhir efek tambahan berupa pengendapan secara gravitasi dari padatan dan bahan pencemar sejenis di dalam unit pengendap. Penurunan BOD tertinggi berlangsung pada ketebalan media pasir 55 cm dan densitas tanaman sedang (36 tanaman/m2). Penurunan BOD di dalam CWs dengan efisiensi antara 96,06—99,277 % dalam waktu 7 hari. Hasil analisis kandungan COD limpasan limbah lindi pada lahan basah Terboyo Genuk Semarang rerata 596,78 mg/L atau antara 587,6—605,34 mg/L. Hasil analisis kandungan COD tersebut setelah pengamatan dengan waktu 7, 9, 11, dan 13 hari mengalami penurunan mencapai 21,83—68,74 mg/L di effluent CWs. Hasil analisis menggunakan Anova, maka penurunan COD limbah lindi di CWs dipengaruhi secara signifikan (p< 0,05) oleh densitas tanaman, namun tidak dipengaruhi secara signifikan (p > 0,05) oleh ketebalan media pasir. Berdasarkan anova pada kelompok perlakuan CWs, densitas tanaman dan ketebalan media pasir atau sebaliknya tidak terdapat interaksi ( p > 0,05) terhadap penurunan COD. Interaksi secara signifikan yang terjadi dikarenakan pengaruh HDT dan ketebalan media pasir pada kelompok kontrol. Peran kombinasi secara kimia dan biologi dalam tanaman yang dominan menyerap bahan pencemar limbah lindi. Landasan pemikiran ini sejalan dengan hasil temuan Wood (2001). Menurut Wood (2001) menyatakan bahwa COD dapat diturunkan dengan proses gabungan kimia, dan biologi yang melalui aktivitas mikroorganisme maupun peran tanaman. Sejalan dengan hal tersebut, Haberl and Langergraber (2002) menyatakan proses eliminasi polutan dalam air limbah terjadi melalui proses secara fisik, kimia, dan biologi yang kompleks terdapat dalam interaksi antara media, tumbuhan makrophyta, dan mikroorganisme. Hal ini diperkuat oleh Halverson (2004) yang menyatakan penyerapan polutan di dalam CWs terjadi adsorpsi dan absorpsi di mana merupakan proses kimiawi yang terjadi pada tanaman, media, sediment, maupun air limbah, yang berkaitan erat dengan waktu retensi air limbah. Berdasarkan hasil kajian di atas, maka tidak terdapat interaksi antara densitas tanaman dan ketebalan media pasir terhadap penurunan COD. Atas dasar analisis ketebalan media pasir dan densitas tanaman yang tidak berinteraksi terhadap penurunan COD, namun yang dominan dipengaruhi oleh densitas tanaman. Penurunan COD dengan efisiensi antara 90,97—96,66 %,
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 107
ISBN: 978-602-6483-07-2
atau rerata dilevel 93,82 % berlangsung pada ketebalan media pasir 55 cm dan densitas tanaman sedang. Hasil analisis berturut-turut kandungan Pb di: akar 8,125-18,525 mg/kg; media pasir 6,180-8,180 mg/kg; daun 2,556-8,240 mg/kg; influent 2,858-2,975 mg/L mg/L; dan effluent 0,005-1,871 mg/L. Jika dirangking nilainya, rerata kandungan Pb di: akar > media pasir > daun > influent > effluent. Hasil analisis besarnya penyerapan logam Pb di dalam akar T.angustifolia L rerata antara (2-7) kali lebih besar dari pada di media pasir dan di daun. Kajian tersebut sejalan dengan Kissoon et al. (2011) T.angustifolia L dapat menghasilkan biomassa 4 kali lebih banyak dan menyerap unsur polutan (2-27) kali lebih besar dalam lahan basah dibandingkan dengan kondisi lahan kering. Mengkaji uji analisis variansi diperoleh rerata penurunan kandungan Pb diperoleh rerata 1,035 mg/L. Nilai signifikan dilevel 0,00 lebih kecil 0,05. Bermakna terdapat perbedaan signifikan pada saat mengalami penurunan kandungan Pb split plot in time 7 hari, 9 hari, 11 hari kemudian ke 13 hari. Menganalisis hasil uji beda, maka berbeda signifikan antara media pasir, akar dan daun terhadap influent dan effluent dalam penyerapan logam berat Pb. Sedangkan untuk analisis korelasi, berkorelasi positif antara Pb di influent, media pasir, akar dan daun, effluent. Analisis di atas sejalan dengan Demırezen et.al (2004) menyatakan terdapat korelasi positif ditemukan antara konsentrasi Pb limbah lindi dan tanaman T.angustifolia L. Pb diakumulasi oleh tanaman pada tingkat yang lebih tinggi dalam sedimen di bawah dari pada di dalam air (effluent). Kajian di atas sejalan dengan hasil penelitian Chandra and Yadav (2010) menyatakan bahwa T. angustifolia L dapat menjadi fitoremediator untuk logam berat Pb, melanoidin, dan fenol yang mengandung limbah industri pada kondisi optimal dengan waktu penyerapan 20, 40, dan 60 hari. Hasil analisis kandungan Pb di media pasir 6,180-8,180 mg/kg, di jaringan tanaman antara 2,556-18,525 mg/kg. Jika dibandingkan dengan MOE, (1991) di Jepang logam berat Pb dalam tanah dengan konsentrasi kurang dari 150 mg/kg, masih di bawah standar tersebut. Tetapi standar leachate tanah kurang dari 0,01 mg/kg. Kandungan logam berat dan nutrisi mikro di dalam tanaman harus di bawah ambang batas, agar tidak beracun bagi makhluk lainnya. Menurut Sasmaz et al. (2008) menyatakan logam berat Pb perlu mendapat perhatian serius sebagai polutan kimia lingkungan dan sebagai unsur yang merupakan racun bagi tanaman. Dilaporkan oleh Markert (1992), konsentrasi Pb dalam tanaman lebih tinggi dari rata-rata konsentrasi dianalisis sebagai phytotoxic (apabila < dari 5 mg kg-1). Sementara Kabata-Pendias and Pendias (2001) meliris kandungan logam berat pada jaringan tanaman normal untuk kandungan Pb antara (3-20) mg/kg. Berdasarkan analisis uji beda dengan pengukuran berulang (repeated measures) di lokasi yang berbeda, serta uji korelasi di antara variabel; media pasir, akar, daun, influent dan effluent menggunakan partial correlations, maka terdapat perbedaan yang siginifikan, dan berdasarkan rerata output Descriptive Statistics uji korelasi, bahwa rerata kandungan Pb pada: akar 8,125-18,525 mg/kg; media pasir 6,180-8,180 mg/kg; daun 2,556-8,240 mg/kg; influent 2,858-2,975 mg/L dan effluent 0,005-1,871 mg/L. Berdasarkan analisis di depan, telah ditemukan kandungan logam berat Pb dengan rerata di: akar > media pasir > daun > influent > effluent. Rerata kandungan Pb selama waktu pengamatan split plot in time, dengan total waktu tinggal di dalam sistem CWs selama 68 hari selama penelitian ini, jika dianalisis besarnya penyerapan logam Pb di dalam CWs tersebut rata-rata pada akar 2-3 kali lipat dari
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
108 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
pada media pasir dan daun. Hasil analisis di atas diperoleh kandungan Pb dominn ditemukan di akar lebih tinggi dari pada dibandingkan dengan media pasir, daun dan effluent. Hasil kajian tersebut sejalan dengan Klink et al. (2012) dilaporkan bahwa akumulasi Pb dapat diperoleh di: akar > rhizoma > daun bagian bawah > daun bagian atas > tangkai. Pb di akar lebih tinggi dari pada di daun dan tangkai selama penelitian. Sasmaz et al. (2008) juga dilaporkan konsentrasi Pb yang ditemukan 13 mg kg-1 di akar, 10 mg kg-1 ditemukan di sedimen, dan 8 mg kg-1 terdapat di daun. Nilai Pb adalah beberapa kali lebih tinggi dari pada di daerah yang tidak tercemar. Demikian juga menurut temuan Carranza-Alvarez et al. (2008) konsentrasi Pb juga dilaporkan berkisar antara 10-25 mg/kg, dan kandungan Pb terakumulasi maksimum terdeteksi pada akar. Rerata pertumbuhan tinggi T.angustifolia L sejak minggu ke tiga sampai minggu ke enam mengalami pertambahan tinggi tanaman, selanjutnya minggu ke tujuh sampai waktu berakhirnya penelitian pertumbuhan cenderung menurun. Tunas muda T.angustifolia L juga bertambah sampai di akhir pengamatan terjadi pada semua densitas: rendah, sedang dan tinggi cenderung meningkat jumlah T.angustifolia muda. Berarti tanamnan T. angustifolia L benar-benar toleran dengan kondisi lingkungan tercemar limbah lindi. Hasil uji beda di atas terbukti cenderung siginifikan, di akar T.angsutifolia L dominan mengkumulasi lebih besar di bandingkan di daun dan media pasir. Sejalan dengan kajian di atas, maka Gill et al., (2014) mengalisis pengukuran dengan waktu yang berlainan berdasarkan kejadian yang berbeda selama kurun waktu penelitian terhadap limpasan aliran permukaan limbah jalan raya, dapat menekan proses penurunan yang berbeda antara Pb, dan unsur lainya (seperti Zn dan Cu) yang hampir diabaikan massa akumulasi Pb di sedimen dengan di vegetasi. Berdasarkan hasil kajian uji korelasi densitas tanaman dan ketebelan media pasir di atas, maka dipilih bioakumulasi logam Pb tertinggi dilevel 3,7 dikenakan pada densitas sedang (3 tanaman/0,084 m2) terjadi pada ketebalan media pasir 55 cm dengan rerata efisiensi penyisihan 73,49 %. 4.
KESIMPULAN
Berdasarkan bahasan di depan, maka tanaman T.angustifolia L terlibat dalam penurunan berbagai tipe air limbah sebesar 96,429 %. Penurunan kandungan BOD dipengaruhi secara signifikan dan berinterkasi signifikan dengan densitas tanaman dan ketebalan media pasir atau sebaliknya. Penurunan BOD dengan tingkat efisiensi antara 96,06—99,277 % berlangsung pada ketebalan media pasir 55 cm dan densitas tanaman sedang (36 tanaman/m2). Penurunan COD dipengaruhi secara signifikan (p < 0,05) oleh densitas tanaman, namun tidak dipengaruhi oleh ketebalan media pasir. Penurunan COD dengan efisiensi antara 90,97— 96,66 % berlangsung pada pada ketebalan media pasir 55 cm dan densitas sedang (36 tanaman/m2). Terdapat (korelasi +0,846) antara akar dengan daun; (korelasi +0,761) antara akar dengan influent; (korelasi +0,137) antara akar dengan effluent; (-0,335) antara akar dengan media. Rerata penyerapan logam berat Pb di akar T.angustifolia L antara 2—3 kali lipat kali lebih besar daripada daun dan media pasir. Bioakumulasi Pb tertinggi pada densitas tanaman rendah dilevel 4,150. Rerata penurunan logam berat Pb dengan tingkat efisiensi antara 82,74—98,69 %. Ditemukan perbedaan rerata logam berat Pb di akar > media pasir > daun > influent > effluent.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 109
ISBN: 978-602-6483-07-2
UCAPAN TERIMAKASIH Diucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPPSDM Kementerian Kesehatan RI cq. Direktur Poltekkes Kemenkes Palu yang telah memberikan rekomendasi dan bantuan biaya studi pada penulis selama menempuh pendidikan doctoral programe di Pascasarjana Undip Semarang. DAFTAR PUSTAKA Abidi, S., Kallali, H., Jedidi, N., Bouzaiane, O., Hassen, A. 2009. Comparative pilot study of the performances of two constructed wetland wastewater treatment hybrid systems. Desalination, 246:370-377. Babatunde, A.O., Zhao, Y.Q., Neill, M.O., Sullivan, B.O. 2007. Constructed Wetlands for Environmental Pollution Control: A Review of Developments, Research and Practice in Ireland. Review Article Environment International, 34:116–126 Brix, H., and Arias, C.A. 2005. The use of Vertical Flow Constructed Wetlands for on-site Treatment of Domestic Wastewater: New Danish Guidelines. Ecol. Eng, 25:491–500. Chandra, R.,Yadav, S., Bharagava, R,N., Murthy, R,C. 2007. Bacterial Pretreatment Enhances Removal of Heavy Metals during Treatment of Post-Methanated Distillery Effluent by Typha angustata L. Journal of Environmental Management, 88:1016–1024. Chandra, R and Yadav, S. 2010. Potential of Typha angustifolia for Phytoremediation of Heavy Metals from Aqueous Solution of Phenol and Melanoidin. Ecological Engineering, (36): 1277-1284. Carranza-Alvarez, C., Alonso-Castro, A.J., Alfaro-De La Torre, M.C., Garc´ıa-De La Cruz, R.F. 2008. Accumulation and Distribution of Heavy Metals in Scirpus americanus and Typha latifoliafrom an Artificial Lagoon in San Luis Potosı, Mexico. Water Air Soil Pollution, 188:297–3. Demırezen, D and Aksoy, A. 2004. Accumulation of Heavy Metals in Typha angustifolia (L.) and Potamogeton pectinatus (L.) living in Sultan Marsh (Kayseri, Turkey). Journal: Chemosphere, (56):685–696. Gill, L.W., Ring, P., Higgins, N.M.P., Johnston, P.M. 2014. Accumulation of Heavy Metals in A Constructed Wetland Treating Road Runoff. Ecological Engineering, (70):133– 139. Haberl, R., and Langergraber, H. 2002. Constructed Wetlands: a Chance to Solve Wastewater Problems in Developing Countries. Wat. Sci. Technol, 40:11–17. Jarchow, M.E., and Cook, B.J. 2009. Allelopathy as a Mechanism for The Invasion of Typha angustifolia. Plant Ecol DOI. 10.1007/s 11258-009-9573-8. Jingtao, Xu., Cong Li., Fang., Zhong., Jian., Yingcan., Pengyu Qi., Zhen Hu. 2011. Typha angustifolia Stress Tolerance to Wastewater with Different Levels of Chemical Oxygen Demand. Journal homepage, Desalination, (280):58–62. Kabata-Pendias, A and Pendias, H. 2001. Trace Elements in Soils and Plants. Third Edition. CRC. Press LLC. Boca Raton. Khan, S., Ahmad, I., Shah, M.T., Rehman, S., Khaliq, A. 2009. Use of constructed wetland for the removal of heavy metals from industrial wastewater. Journal of Environmental Management, 90:3451–3457. Kantawanichkul, S., Kladprasert, S., Brix, H. 2008. Treatment of hight wastewater in tropical VF-CWs planted with Typha angustifolia and Cyperus involucratus. Ecological Engineering, 35:238-247.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
110 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Kissoon, L.T., Jacob, D.L., Otte, M.L. 2011. Multiple Elements in Typha angustifolia Rhizosphere and Plants. Journal: Environmental and Experimental Botany Wetland versus Dryland. Environmental and Experimental Botany, 72:232–241. Klink, A., Macioł, A., Wis łocka,M., Krawczyk, J. 2012. Metal Accumulation and Distribution in the Organs of Typha latifolia (cattail) and Their Potential use in Bioindication. Limnologica, (43):164–168. Markert, B. 1992. Presence and Significance of Naturally Occurring Chemical Elements of The Periodic System in the Plant Organism and Consequences for Future Investigations on Inorganic Environmental Chemistry in Ecosystems. Vegetatio, 103:1–30. MOE. 1991. Enviromental Quality Standars for Soil Pollution. Ministry of Enviromental of Japan. Available at:http/www.env.go.jp. diakses tanggal 10 Mei 2013. Lavrova, L. and Koumanova, B. 2009. Influence of Recirculation in a Lab-scale Vertical Flow Constructed Wetland on the Treatment Efficiency of Landfill Leachate. Journal Bioresource Technology, 101: 1756–1761. Leto, C., Tuttolomondo, T., Bella, S.L., Leone, R., Licata, M. 2013. Effects of Plant Species in a Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetland–Phytoremediation of Treated Urban Wastewater with Cyperus alternifoliusL. And Typha latifoliaL. in the West of Sicily (Italy). Ecological Engineering, (61),282–291. Nivala, J., Hoos M.B., Cross, C., Wallace, S., Parkin, G. 2007. Treatment of Landfill Leachate Using an Aerated, Horizontal Subsurface-Flow Constructed Wetland. Journal Science of the Total Environment, 380:19-27. Nuradji, S., Anggoro, S., Abdurachim, H.R., Hendrarto, B. 2015. The Influence of the Density of Typha angustifolia L Plant and the Thickness of Sand Media against the Removal of BOD Content of Waste Leachate Pollutants on Constructed Wetlands. International Journal of Applied Environmental Science, 10(2): 809-822. Pramesti, G, 2013. Smart Olah Data Penelitian dengan SPSS 21, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta, ISBN: 978-602-02-2659-0. Sasmaz, A., Obek, E., Hasar, H. 2008. The Accumulation of Heavy Metals in Typha angustifolia L. Grown in A Stream Carrying Secondary Effluent. Ecological Engineering, 33:278–284. Sirianuntapiboon, S., Chandanasotthi, T., Sohsalam, P., Rarunroeng, M., and Sansak, J. 2007. Application of Para-Wood Charcoal as the Media of the Vertical-Flow Constructed Wetland for Treatment of Domestic Wastewater. African Journal of Agricultural Research, 2(4):91-199. ISSN 1991- 637X. Stevanakis, A.I. dan Tsihrintzis, A.V. 2011. Effects of Loading, Resting Period, Temperature, Porous Media, Vegetation and Aeration on Performance of Pilot-Scale Vertical Flow Constructed Wetlands. Journal Chemical Engineering, 181(82):416-430. Steel, R.G.D dan Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ting. Z., Dong, X., Feng H., Yongyuan, Z., Zhenbin, W. 2012. Application of Constructed Wetland or Water Pollution Control in China During 1990–2010. Ecological Engineering, 47:189-197. Vymazal, J. 2013. Emergent Plants Used in Free Water Surface Constructed Wetlands: A Review Article. Ecological Engineering, (61):582-592. Wood, A. 2001 Constructed Wetland for Wastewater Treatment Engineering and Design Consideration. Cooper, P.F and Findlater, B.C (eds). Pergamon Press, U.K.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 111
ISBN: 978-602-6483-07-2
Yalcuk, A., dan Ugurlu, A. 2008. Comparison of Horizontal and Vertical Constructed Wetland Systems for Landfill Leachate Treatment. Journal Bioresource Technology, (100):2521-2526. Yalcuk. A., Pakdil, A.B., dan Turan, S,Y. 2010. Performance Evaluation on The Treatment of Olive Mill Waste Water in Vertical Subsurface Flow Constructed Wetlands. Desalination, (262):209-214. Ya-Li, C., Xiao-Q,H., Hui, H., Hong,W.L., Ting,T.Q., Ru, Z.L., Hong, J., Han,Q.Y. 2014. Biosorption of Cr (VI) by Typha angustifolia: Mechanism and Responses to Heavy Metal Stress. Biosorce Technology, 160:89-92. Zhang, S.Y., Zhou, Q.H., Xu, D., He, F., Cheng, S.P., Liang, W., Du, C., Wu, Z.B. 2010. Vertical-Flow Constructed Wetlands Applied in a Recirculating Aquaculture System for Channel Catfish Culture: Effects on Water Quality and Zooplankton. Polish Journal of Environmental Studies, 19(5):1063-1070.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
112 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
KUANTITAS DAN KUALITAS LINDI TPA SAMPAH LAHAN PASANG SURUT DI TPA BANJARMASIN INDONESIA M.Irfa’i Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Banjarmasin, Banjarbaru. E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Persoalan utama dalam ekspektasi perspektif pada Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) pasang surut adalah mempunyai potensi yang besar dalam mencemari lingkungan. Salah satu pencemar yang ditimbulkan oleh TPA adalah terbentuknya lindi. Untuk mencegah terjadinya pencemaran lindi terhadap lingkungan diperlukan pengelolaan dan pengolahan lindi TPA. Untuk pengolahan lindi diperlukan data dasar berupa kuantitas dan kualitas lindi TPA. Kuantitas lindi TPA pasang surut dengan metode neraca air (Thorntwhite), Debit lindi yang terbentuk di TPA Banjarmasin, berkisar 64 - 106 lt/detik pada bulan basah (Nop-April) dan 18 - 40lt/detik pada bulan kering (Mei- Sept). Kualitas lindi TPA Banjarmasin berdasarkan parameter TDS, BOD, COD, Fe, NH 3N bervariatif dan mengalami penurunan bahan pencemar pada umur zona landfill 1th sampai 10th. Semakin lama umur zona landfill semakin kecil kandungan bahan pencemar pada lindi. Kata kunci: Kuantitas, Kualitas, Lindi, TPA. ABSTRACT The main issue in the perspective expectation of tidal landfill is about the big potential in polluting the environment. One of the pollutants which caused by the landfills is leachates. To prevent the leachates contamination around the environment, it is required to have a landfills leachates and cultivation management. Leachates quality and quantity data is required for the leachates cultivation. The leachates quantity of tidal landfills is determined with the water balance method (Thornthwaite). Leachates discharge which formed in landfills is in the range of 64-106 lt/s on wet months (Nov-April) and 18 - 40lt/s on dry months (May- Sept). The quality of tidal landfills Banjarmasin is based on the TDS, BOD, COD, Fe, NH3N various parameters and there is a decrease of the pollutant concentration in the age of landfill zone of 1 year up to 10 years. The longer the age of the landfill zone, the smaller the leachates pollutant content. Keywords: Thornthwaite method, tidal land area, leachates
1. PENDAHULUAN Lindi yang dihasilkan dari TPA sampah, merupakan sumber penting dari pencemaran lingkungan di sekitar TPA. Peningkatan sampah kota Banjarmasin mencapai 1019 m3 per hari dan cenderung meningkat dari tahun ketahun akan meningkatkan produksi lindi dan semakin Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 113
ISBN: 978-602-6483-07-2
potensial dalam mencemari lingkungan. Adanya rembesan lindi dari TPA mempunyai resiko tinggi dalam mencemari air dan tanah sekitar TPA (Ikem A et.al,2002). Lindi mengandung bahan organik terlarut, senyawa anorganik dan logam (Lee dan Jones-Lee, 1993;. Christensen et al, 2001). Tempat pembuangan sampah telah diidentifikasi sebagai salah satu ancaman utama terhadap sumber daya air dan tanah(Fatta et al, 1999;. USEPA, 1984). Produksi lindi berasal dari kandungan cair dalam sampah karena proses dekomposisi juga adanya air hujan yang masuk kedalam sampah dan melarutkan material hasil dekomposisi sampah yang terakumulasi di bagian bawah TPA dan merembes melalui tanah (Mor et al., 2006). Pencemaran terjadi adanya lindi yang terus menerus merembes ke lingkungan dari waktu ke waktu tanpa memperhatikan konsekuensi lingkungan (Longe dan Balogun, 2010). Kondisi TPA pada area pasang surut semakin meningkatkan potensi pencemaran lindi terhadap lingkungan. Keberadaan lindi pada TPA harus dikelola dan diolah sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Untuk melakukan pengolahan diperlukan data yang akurat berupa pola pencemaran, kunatitas dan kualitas lindi TPA pada lahan pasang surut. Kuantitas lindi pada TPA ditentukan oleh Intensitas hujan, luas efektif TPA, penguapan, infiltrasi/porositas tanah dan kadar air sampah. Sedangkan untuk kualitas lindi ditentukan oleh komposisi jenis sampah, jumlah sampah, jumlah air yang melarutkan sampah serta system operasional TPA. Kuantitas dan kualitas lindi penting untuk dikaji berkaitan dengan upaya pengelolaan lindi, meliputi pengumpulan, penyaluran, pengolahan dan pelepasan lindi ke lingkungan. Kondisi lingkungan yang pasang surut berpengaruh terhadap jumlah lindi dan sebaran lindi disekitar lingkungan TPA. Air pasang surut mengakibatkan kondisi tanah kaya akan air. Adanya pasang surut juga mempengaruhi aliran air bawah tanah yang cenderung naik turun yang menyebabkan penyebaran lindi pada tanah menyebar merata. Penyebaran lindi dapat menyebar pada sekeliling lokasi TPA. Lindi yang timbul pada pengoperasian, dapat diperkirakan dengan menggunakan Metoda Neraca Air (Water Balance Method)(Damanhuri,2010). Metoda ini didasari oleh asumsi bahwa lindi hanya dihasilkan dari curah hujan yang berhasil meresap masuk ke dalam timbunan sampah (perkolasi). Beberapa sumber lain seperti air hasil dekomposisi sampah, infiltrasi muka air tanah, dan aliran air permukaan lainnya dapat diabaikan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kuantitas perkolasi dalam Metoda Neraca Air ini adalah: Presipitasi, Evapotransipirasi, Surface run-off, dan Soil moisture storage (Gambar 1).
Run Off(RO) Moisture Storage (∆S) PERC=P-RO-AET+∆S Leachate Gambar 1. Sistem input-output dari neraca air, (Tchobanoglous, G. Et.al, 2002).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
114 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Dengan persamaan (Thorntwaite.1995): PERC = P -(RO) - (AET) -(ΔST)……………………………………………………….(1) I = P - (R/O)……………………………………………………………………………..(2) APWL =ΣNEG (I- PET)………………………………………………………………...(3) AET = (PET) + [ (I - PET) - (ΔST)]…………………………………………………….(4) Qlindi = (A.(1-Cro).P)/ 86400……………………..……………………………………(5) Keteranagan: PERC : perkolasi, air yang keluar dari sistem menuju lapisan di bawahnya, akhirnya menjadi leachate (lindi). P : presipitasi rata-rata bulanan dari data tahunan. RO : limpasan permukaan (runoff) rata-rata bulanan dihitung dari presipitasi serta koefisien Limpasan. AET : aktual evapotranspirasi , menyatakan banyaknya air yang hilang secara nyata dari bulan ke Bulan. ΔST : perubahan simpanan air dalam tanah dari bulan ke bulan, yang terkait dengan soil moisture stotage. ST : soil moisture storage, merupakan banyaknya air yang tersimpan dalam tanah pada saat Keseimbangan. I : infiltrasi, jumlah air terinfiltrasi ke dalam tanah. APWL : accumulated potential water loss , merupakan nilai negatif dari (I-PET) yang merupakan kehilangan air secara kumulasi. I –PET : nilai infiltrasi dikurang potensi evapotranspirasi; nilai negarif menyatakan banyaknya infiltrasi air yang gagal untuk dipasok pada tanah, sedang nilai positip adalah kelebihan air selama periode tertentu untuk mengisi tanah. PET : potensial evapotranspirasi, dihitung berdasarkan atas nilai rata-rata bulanan dari data Tahunan. A : Luas Area TPA. 2. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Survei dilakukan untuk mengkaji aspek fisik TPA sebagai sarana fisik tempat pemrosesan sampah, mengkaji jumlah dan karakteristik sampah sebagai sumber lindi. Pengukuran kualitas lindi pada zona penimbunan sampah umur 1 tahun, pada zona sampah umur 5 th dan pada zona sampah umur 10 th. Jumlah sampel lindi yang diperiksa sebanyak 18 sampel. Waktu pengambilan sampel dilakukan berdasarakan musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Penilaian kualitas lindi dilakukan menggunakan parameter Total dissolved solid (TSS), Biological oxygen demand (BOD), Chemical oxygen demand (COD), Besi (Fe), Amonium (NH3N) dan pH. Pengukuran juga dilakukan pada sampah untuk mengethui karakteristik sampah yang menghasilkan lindi. Pengukuran kantitas lindi dilakukan dengan menggunakan metode neraca air Thorntwaite (1995). Pengitungan dilakukan dengan menggunakan data curah hujan selama 10 tahun berturut turut, data evaporasi, data percolasi dan data infiltrasi (kondisi fisik tanah).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 115
ISBN: 978-602-6483-07-2
Disamping itu data yang diperlukan dalam penghitungan kuntitas lindi adalah kandungan air dalam sampah dan jumlah sampah organic. Data pendukung lain yang digunakan dalam penghitungan kuantitas lindi adalah, suhu, kelembaban. TPA wilayah studi saat ini mempunyai luan 39,5 hektar dengan luas aktif penimbunan sampah seluas 20 hektar yang terbagi atas 16 zona penimbunan. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan pengelola TPA sampah, pengukuran kualitas air maupun kualitas lindi serta wawancara terhadap instansi atau lembaga terkait lainnya. Dalam melakukan pengumpulan data primer juga dilakukan penelitian langsung dilapangan terhadap variabel yang diteliti melalui pengambilan sampling yang dilakukan sesuai dengan standar dan prosedur baku yang ditentukan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banjarmasin, Badan Lingkungan Hidup Kota Banjarmasin, BAPPEDA Kota Banjarmasin, Dinas Kimpraswil Kota Banjarmasin, Stasiun Klimatologi dan Geofisika dan pihak-pihak yang relevan terhadap rencana penelitian. Data primer maupun sekunder dianalisa dan dirumuskan untuk menyatakan kuantitas dan kualitas lindi TPA sampah pasang surut. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kuantitas Lindi Kuantitas lindi yang dihasilkan TPA Banjarmasin berfluktuatif tergantung curah hujan yang terjadi pada daerah sekitar, luas TPA dan jumlah serta kadar air sampah yang masuk. Jumlah sampah yang masuk ke TPA rata-rata 512 ton/hari (Dinas Kebersihan Kota Banjarmasin). Berdasarkan pengamatan terhadap curah hujan selama sepuluh tahun terakhir tahun 2003-2012. Angka curah hujan berkisar antara 55 mm sampai dengan 439 mm yang terbagi pada 6 bulan basah dan 6 bulan kering. Angka infiltrasi yang terjadi pada area TPA berkisar antara 54 mm sampai dengan 384 mm. Angka evaporasi pada lokasi TPA berkisar antara 44 mm sampai 167 mm. Sedangkan angka percolasi sangatlah rendah berkisar antara 0 mm sampai dengan 217 mm. Rendahnya percolasi disebabkan kondisi tanah pasang surut. Debit lindi yang terbentuk, berkisar 64-106 lt/detik pada bulan basah dan 18-40lt/detik pada bulan kering. Untuk melihat trend lindi yang terbentuk dapat dilihat pada gambar 2. 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Presipitasi (mm)
439 306 334 259 126 86 80 55 66 149 263 419
Infiltrasi (mm)
384 267 292 233 102 67 77 54 63 134 230 357
Actual evapt/∆ET(mm) 167 152 169 172 57 49 64 44 55 128 168 165 Percolation (mm)
217 116 123 54
QLindi (l/dt)
106 75 82 64 34 24 23 18 20 40 66 103
0
0
0
0
0
0
63 202
Gambar 2. Kuantitas lindi pada TPA Banjarmasin Sumber: Hasil pengolahan data sekunder dan primer, 2014.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
116 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Jumlah lindi yang terbentuk bervariasi mulai dari 18 lt/dt sampai dengan 106 lt/dt dengan rata-rata 55 lt/dt. Produksi lindi terbesar terjadi pada bulan Januari disebabkan adanya curah hujan yang tinggi, sedangkan pada bulan agustus produksi lindi paling sedikit mengingat curah hujan pada bulan tersebut kecil. Produksi lindi ini dijadikan dasar dalam perencanaan pengolahan lindi yaitu perencanaan instalasi pengolahan lindi. Data yang dipakai dalam pengolahan lindi adalah produksi lindi terbesar yaitu pada bulan Januari dan ditambah dengan faktor keamanan (1,5-2,5) (KemenPU 2012). sumber utama dari pembentukkan air lindi ini adalah adanya infiltrasi air hujan. Jumlah hujan yang tinggi dan sifat timbunan yang tidak solid akan mempercepat pembentukkan dan meningkatkan kuantitas air air lindi yang dihasilkan (Pohland dan Harper, 1985). Kuantitas lindi yang terbentuk pada bulan-bulan basah perlu mendapatkan perhatian karena berkaitan dengan kemampuan pengolahan lindi. Kuantitas lindi pada TPA pasang surut sebagai factor penentu yang dominan adalah curah hujan (presipitasi). Faktor infiltrasi menjadi sangat kecil disebabkan adanya kondisi tanah yang sekitar TPA. Kondisi tanah pada area TPA merupakan tanah dengan tingkat kejenuhan air tinggi dengan aliran air yang naik turun bahkan stagnan. Pengelolaan lindi pada bulan-bulan basah memerlukan penyaluran, pemagaran dan pengolahan yang sesuai dengan jumlah lindi yang dihasilkan. Kapasitas pengolahan juga harus sesuai dengan jumlah lindi yang berkaitan dengan kapasitas pompa, kemampuan proses anaerobic, aerobic dan biofilter/land aplication. 3.2. Kualitas Lindi Kualitas lindi pada TPA dipengaruhi oleh komposisi sampah, jumlah sampah, curah hujan serta lamanya timbunan sampah. Komposisi sampah pada TPA Banjarmasin setelah dilakukan uji box sampling sesuai dengan SNI 19-3964-1994 didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 1. Komposisi Sampah TPA Banjarmasin. Jenis Sampah Organik (daun, sayur buah dll) Plastik Kertas Kayu Tekstil Metal/Logam Kaca/Gelas Karet/Kulit Tulang Lain-Lain Jumlah
Jumlah (kg) 57,34 19,73 10,66 1,90 9,89 0,46 2,09 0,56 0,30 0,38 103,30
% 55,51 19,10 10,32 1,84 9,57 0,44 2,02 0,54 0,29 0,37 100,00
Dari tabel diatas komposisi sampah TPA Banjarmasin didominasi oleh sampah Organik sebesar 55,5% dan sampah plastik 19,1% selebihnya kertas, tekstil, kaca, kayu, metal, karet, tulang dll. Komposisi sampah ini akan mempengaruhi kualitas lindi yang terbentuk. Hasil ini lebih rendah dibanding Jakarta sebesar 64,07% sampah organic, sedangkan sampah Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 117
ISBN: 978-602-6483-07-2
anorganik yang dihasilkan didominasi oleh sampah kertas sebesar 15,97% dan sampah plastik sebesar 14,83% (Pramiati et.al, 2007). Kota Haitian Haiti yaitu 65% sampah organic (Feniel P et.al, 2009). Chitagon Banglades 62% sampah organik (Sujauddin M. et.al, 2008). Berdasarkan komposisi sampah tersebut kandungan lindi juga akan didominasi dengan bahan organic biodegradable selebihnya non biodegradable yang berpengaruh terhadap kualitas lindi TPA. Kualitas lindi TPA Banjarmasin, setelah dilakukan pengambilan sampel dan di uji laboratorium kualitas sebagai berikut: Tabel 2. Kualitas Lindi TPA Banjarmasin dan Beberapa Kota di Indonesia.
Parameter Satuan pH TDS
mg/liter
COD
mg/liter
BOD Fe NH3N
mg/liter mg/liter mg/liter
Umur TPA Umur TPA Beberapa Kota di Banjarmasin Indonesia 1 Th 5Th 10 Th 1 Th 5Th 10 Th 7,98 7,57 7,42 5,2-6,5 6,3 8.108 1.626 1.263 10.0006.794 1.200 14.000 6.518 1.138 585 10.0008.000 400 40.000 423 127 62 7.800-28.000 4.000 80 141 78 80 210-325 6,3 0,6 257 129 125 56-482 Sumber: Hasil Pengukuran dan Data Sekunder, 2014.
Dari tabel diatas dapat dijelaskan parameter pH pada landfill umur 1 tahun sampai 10 Tahun relative sama yaitu 7,42-7,98. Parameter Total dissolved solid (TDS), Biological oxygen demand (BOD), Chemical oxygen demand (COD), Besi (Fe), Amonium (NH3N) mengalami penurunan mulai pada umur landfill 1 th ke umur landfill 5 th maupun umur landfill 10 th. Kualitas lindi berdasarkan parameter diatas sesuai dengan kualitas lindi landfill dibeberapa kota di Indonesia (DirPPLP,2013). Kualitas lindi disebabkan adanya beberapa bahan organik yang ada di TPA sampah yang bersifat mudah terurai (biodegradable) umumnya tidak stabil dan cepat menjadi busuk karena mengalami proses degradasi menghasilkan zat-zat hara, zat-zat kimia toksik dan bahan-bahan organik sederhana, selanjutnya akan menimbulkan bau yang menyengat dan mengganggu (Tolhah A, et al., 2002). Konsentrasi COD dan BOD5.yang tinggi disebabkan adanya produksi asetat anaerobik asam lemak volatile. Pada tahap produksi metana, asam diubah menjadi CO2 dan CH4 sehingga kandungan bahan organic dalam lindi rendah. Konsentrasi beberapa komponen anorganik, seperti Fe dan Ca, tetap sama akibat dari perubahan pH. Sedangkan Amonia menunjukkan peningkatan yang lambat TPA yang mempunyai usia tua (Ehrig, H. J.,1993,). Komposisi material sampah yang berada di TPA sangat mempengaruhi bahan pencemar yang terdapat dalam lindi baik jumlah maupun jenisnya. Menurut Fadel et al. (1997), komposisi lindi tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik sampah (organik, anorganik), tetapi juga mudah tidaknya penguraian (larut/tidak larut), kondisi tumpukan sampah (suhu, pH, kelembaban, umur), karakteristik sumber air (kuantitas dan kualitas air yang dipengaruhi iklim dan hidrogeologi), komposisi tanah penutup, ketersediaan nutrient dan mikroba, serta kehadiran inhibitor.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
118 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Kuantitas dan kualitas lindi yang terbentuk pada TPA merupakan pencemar yang dapat mencemari lingkungan sekitar (Hatta A M, 2005). Pencemaran dapat terjadi pada tanah, air tanah maupun air permukaan serta dapat mencemari badan air/sungai sekitar wilayah TPA (Darmawan W (2009). Kualitas lindi memiliki COD dan BOD yang tinggi. Konsentrasi beberapa komponen anorganik, seperti Fe dan Ca, sejajar sebagai akibat dari perubahan pH. Amonia menunjukkan peningkatan yang lambat dengan usia TPA. Dalam kebanyakan kasus isi logam berat lebih rendah dari 1 mg /1(Ehrig, H. J.,1993). Kandungan lindi berupa Cl-, NO3-, SO42-, NH4 + yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam sampel air tanah terutama dekat dengan lokasi TPA, kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas air tanah sedang secara signifikan dipengaruhi oleh perkolasi lindi. Kehadiran kontaminan dalam air tanah terutama di dekat lokasi TPA telah mencemari air tanah bahkan aquafier (Rajkumar N et.al. 2012). Oleh karena itu keberadaan lindi harus dilakukan pengelolaan sehingga aman bagi lingkungan. Pengelolaan yang dapat dilakukan berupa pengumpulan lindi, yang berkaitan dengan pembatasan lindi agar tidak menyebar, pengaliran, pengolahan serta pelepasan ke lingkungan. Komponen utama yang diperlukan dalam pengelolaan lindi adalah kuantitas dan kualitas lindi, metode/teknik pengolahan lindi, ketersediaan lahan, dan kesesuaian dengan kondisi lingkungan(Hermana. J, 2007). 4. KESIMPULAN Debit lindi yang terbentuk di TPA Banjarmasin, rata-rata sebesar 55 lt/detik. Untuk bulan basah (Nop-April) berkisar 64 - 106 lt/detik sedangkan pada bulan kering (Mei-Sept) berkisar antara 18 - 40lt/detik. Faktor dominan yang mempengaruhi debit lindi adalah curah hujan (presipitasi). Faktor infiltrasi pada area TPA pasang surut sangat kecil dikarenakan kondisi tanah mempunyai kejenuhan air yang tinggi dan aliran air tanah cenderung stagnan. Kualitas lindi TPA Banjarmasin berdasarkan parameter Total dissolved solid (TDS) sebesar 8.108 mg/l pada umur TPA 1th, 1.626 mg/l pada umur TPA 5th dan 1.263 mg/l pada umur TPA 10th. Biological oxygen demand (BOD), 423 mg/l pada umur TPA 1th, 127 mg/l pada umur TPA 5th dan 62 mg/l pada umur TPA 10th. Chemical oxygen demand (COD) seberas 6.518 mg/l pada umur TPA 1th, 1.138 mg/l pada umur TPA 5th dan 585 mg/l pada umur TPA 10th. Besi (Fe) sebesar 141 mg/l pada umur TPA 1th, 78 mg/l pada umur TPA 5th dan 80 mg/l pada umur TPA 10th, Amonium (NH3N) sebesar 257 mg/l pada umur TPA 1th, 129 mg/l pada umur TPA 5th dan 125 mg/l pada umur TPA 10th. Konsentrasi bahan pencemar bervariatif dan mengalami penurunan bahan pencemar pada umur zona landfill 1th sampai 10th. Semakin lama umur zona landfill semakin kecil kandungan bahan pencemar pada lindi. Kondisi ini disebabkan adanya proses waktu dekomposisi sampah yang berada pada area sel TPA. DAFTAR PUSTAKA Bappeda. 1999. Analysis of Detail Plan of Spatial Urban Area of Banjarmasin, Banjarmasin. Christensen, T.H., P. Kjeldsen, P.L. Bjerg, D.L. Jensen and J.B. Christensen et al. 2001. Biogeochemistry of landfill leachate plumes. Applied Geochem., 16: 659-718. Damanhuri, E. Sian. P Padmi. T. 2010 Pengelolaan Sampah: Diktat Kuliah TL-3104,
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 119
ISBN: 978-602-6483-07-2
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB. Darmawan Wawan. 2009. Studi hidrogeologi dan potensi pencemaran air tanah di daerah TPA Babakan dan sekitarnya Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Central Library Institute Technology Bandung Theses from JBPTITBPP / 2009-12-22 Ehrig, H. J. 1993, Quality and quantity of sanitary landfill air lindi. Journal Elsievier Wastewater management research, 1(1). Fadel M., Findikakis A., Leckie J. 1997, Environmental Impacts of Solid Waste Landfilling. Environmental Management, 50:1–2 Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Permukiman. Kementerian Pekerjaan Umum. 2013. Hasil Evaluasi IPL TPA di 5 Kota. Suarima Patriot Jakarta. Feniel Philippe, Marc Culot. 2009. Household solid waste generation and characteristics in Cape Haitian city, Republic of Haiti. Resources, Conservation and Recycling, 54(2): 73–78. Hatta Ahadis Muhammad, 2005 Pengaruh tempat pembuangan Akhir sampah terhadap lingkungan perairan sekitar:Studi kasus TPA Bantar Gebang. Penelitian disertasi IPB. Hermana. Joni, 2007. Potensi Alternatif Pengolahan Leachate Secara Kimiawi. Workshop Inovase Teknologi Pengolahan Sampah Direktorat Pengembangan PLP, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen PU. Ikem A., O. Osibanjo, M.K.C. Sridhar, and A. Sobande. 2002. Evaluation of Groundwater Quality Characteristics near Two waste Sites in Ibadan and Lagos, Nigeria. Journal Water, Air, and Soil Poll, 140:307–333. Kluwer Academic Publishers, the Netherlands. Longe, E.O. and M.R. Balogun, 2010. Groundwater quality assessment near a municipal landfill, Lagos, Nigeria. Res. J. Applied Sci. Eng. Technol., 2:39-44. Mohammad Sujauddin, S.M.S. Huda, A.T.M. Rafiqul Hoque. 2008. Household solid waste characteristics and management in Chittagong, Bangladesh. Waste, Elsievier, Management, 28(9): 1688–1695. Mor, S., K. Ravindra, R.P. Dahiya and A. Chandra. 2006. Leachate characterization and assessment of groundwater pollution near municipal solid waste landfill site. Environ. Monit. Assess., 118: 435-456. Pramiati P.P.Riatno, Setijati H.E, Widita Vidyaningrum. 2007. Studi Evaluasi Pengelolaan Sampah dengan Konsep 3R di Cilandak Jakarta Selatan. Jurnal Teknik Lingkungan FALTL, 4 (1). Pohland, F.G. dan S.R. Harper. 1985. Critical Review and Summary of Leachate and Gas Production from Landfills. U.S. Environmental Protection Agency. Ohio. 165 p. Tchobanoglous, G. And Kreith, F. 2002. Handbook of Solid Waste Management (2nd Edition) Mc Graw – Hill Companies, Inc. Tolhah Abu., Hendro P., Soemarno, 2011. Green Technology Pengelolaan Sampah. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang. Rajkumar Nagarajan, Subramani Thirumalaisamy, and Elango Lakshumanan. 2012. Impact of leachate on groundwater pollution due to non-engineered municipal solid waste landfill sites of erode city, Tamil Nadu, India. Iranian Journal Environmental Health Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
120 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Science Engineering, 9(1): 35. Thornthwaite, C.W. 1995. An Approach Toward a Rational Classification of Climate. Geographical Review, 38:55-94. USEPA, 1984. A ground water protection strategy for the environmental protection agency. United States Environmental Protection Agency (USEPA), Office of Ground-Water Protection, Washington DC. USA.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 121
ISBN: 978-602-6483-07-2
TANTANGAN PENGELOLAAN TPA SAMPAH DI LAHAN RAWA STUDI KASUS TPA BASIRIH BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN Rizqi Puteri Mahyudin Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km. 35,5 Banjarbaru Kalimantan Selatan Email:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapi oleh Tempat Pembuangan Akhir sampah Basirih di Banjarmasin Kalimantan Selatan. TPA ini terletak pada lahan rawa bergambut. Salah satu persyaratan lahan TPA paling krusial yang harus dipenuhi adalah merupakan tanah jenis kedap air. Permasalahan tanah rawa pada TPA Basirih mengakibatkan lindi mudah merembes keluar dari wilayah TPA dan mencemari sawah-sawah warga sekitar. Permasalahan lain di TPA terletak pada pembiayaan untuk mengurug tanah dan sampah pada zona-zona sampah menggunakan biaya yang cukup besar karena mahalnya harga tanah di Banjarmasin. Dengan permasalahan tersebut, maka setiap elemen pengelolaan sampah terintegrasi harus terus dikembangkan agar saling berkesinambungan serta saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Untuk meminimalkan beban lingkungan pada TPA Basirih, maka sampah perlu dikelola agar mempunyai nilai tambah. Walaupun faktor teknis merupakan hal krusial, tetapi pengelolaan sampah di TPA Basirih mempunyai tantangan untuk lebih memperhatikan faktor kebijakan dan faktor sosial pada aspek daur ulang sampah. Pengelolaan TPA seharusnya tidak hirarkhis, menggunakan pendekatan partisipatif dan terdesentralisasi. Kata kunci: manajemen persampahan, TPA, lahan rawa gambut. ABSTRACT This paper aims to explain the problem that faced by Basirih landfill in Banjarmasin South Kalimantan. This landfill is located in peat swamp land. One of the most crucial landfill requirements must be located in impermeable soil types. That problem causing landfill leachate in Basirih is seeping out of the territory of the landfill and contaminate the rice fields around the landfill. Other problem is about the expensive financing for landfill soil cover to covering the waste zones due to the high price of soil in Banjarmasin. With these problems, every element of an integrated waste management should continue to be developed to make it sustainable and mutually complement each other. To minimize the environmental burden in Basirih landfill, the waste needs to be managed in order to add economic value. Although technical factors are crucial, but the management of waste in Basirih landfill have a challenge to pay more attention to policy factors and social factors on waste recycling aspects. Landfill management should not be hierarchical, it must use participatory and decentralized approach. Keywords: waste management, landfill, peat swamp land. Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
122 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1.
PENDAHULUAN
TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah Basirih merupakan TPA Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan yang dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banjarmasin. Pemilihan lokasi TPA harus dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria pada SNI 03-3241-1994. Kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan adalah kota yang berada pada ketinggian rata-rata 0,16 m di bawah permukaan laut dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relatif datar. Pada waktu air pasang hampir seluruh wilayah digenangi air. Kondisi tanah sebagian terdiri dari rawa-rawa tergenang air, di samping pengaruh musim hujan dan musim kemarau sehingga iklimnya bersifat tropis. Salah satu persyaratan lahan TPA paling krusial yang harus dipenuhi adalah merupakan tanah jenis kedap air. Bila melihat kondisi Kota Banjarmasin yang seluruh wilayahnya merupakan bukan jenis tanah kedap air maka beban lingkungan yang ditimbulkan akan semakin besar. Hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah Kota Banjarmasin adalah ekosistem rawa. Meningkatnya jumlah sampah karena pertambahan jumlah penduduk, gaya hidup dan pola konsumsi menyebabkan pengelolaan Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) sampah banyak mengalami hambatan. Pengadaan TPA yang tidak berwawasan lingkungan menimbulkan banyak dampak negatif terutama terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar TPA. Pemilihan penempatan landfill menghadapi banyak masalah karena terbatasnya lahan perkotaan dan kompleksnya akibat yang ditimbulkan. Beberapa penelitian dilakukan untuk menentukan penempatan landfill dengan aplikasi program penentu keputusan dan GIS untuk meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari landfill (Chambal et al., 2003:2534; Nas et al., 2010:491-500; Sener et al., 2010:1). Pemilihan lokasi landfill yang tidak tepat dan sistem pembuangan secara terbuka (open dumping) mengakibatkan luasnya dampak negatif yang akan ditimbulkan seperti dampak terhadap kesehatan, pencemaran, estetika dan masalah sosial seperti yang dijabarkan di Tabel 1. Tabel 1. Contoh konflik sosial dan persoalan lingkungan yang berkaitan dengan TPA sampah No. Contoh Kasus 1. Pencemaran lingkungan dan penolakan masyarakat terhadap TPA Galuga tahun 2009 2. Penolakan masyarakat terhadap pengoperasian TPA Bantar Gebang 3. Penolakan masyarakat terhadap pengoperasian TPST Bojong 4. Penolakan masyarakat terhadap pengoperasian TPA Jangkurang 5. Pencemaran lingkungan di TPA Randegan 6. Kerusakan lingkungan di TPA Sukolilo 7. 8. 9.
Kerusakan lingkungan di TPA Pasir Bungur Longsor di TPA Leuwigajah Penolakan TPA Sumompo sebagai TPA regional
Lokasi Bogor Bekasi Bojong, Jawa Barat Garut Mojokerto, Jawa Timur Surabaya, Jawa Timur Cibeber, Jawa Barat Cimahi, Jawa Barat Kelurahan Mahawu, Manado Utara
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 123
ISBN: 978-602-6483-07-2
TPA yang menjadi tempat penumpukan sampah perkotaan akan menghasilkan produk sampingan berupa gas metana dan cairan lindi. Cairan lindi berpengaruh pada sifat-sifat air bawah tanah seperti tingginya konsentrasi total padatan terlarut, konduktivitas elektrik, tingkat kekerasan, klorida, COD, nitrat dan sulfat, serta mengandung logam berat, dimana kandungannya cenderung menurun setelah musim hujan dan meningkat sebelum musim hujan (Vasanthi et al., 2008:227). Air lindi yang dihasilkan oleh landfill sulit untuk dikendalikan walaupun dengan proteksi kuat pada landfill. Apalagi landfill yang tidak dikelola sangat berpengaruh terhadap pergerakan air lindi ke wilayah sekitarnya (Pujari et al., 2007:489; Tsanis, 2003:109; Moo-Young et al., 2003:283). Wangyao et al. (2010:249) mengkaji gas metana yang dihasilkan di TPA dan ditemukan bahwa emisi gas metana pada musim hujan enam kali lebih tinggi daripada di waktu musim panas. Mengingat besarnya beban lingkungan yang dihasilkan oleh sebuah TPA terutama TPA yang berada di wilayah ekosistem rawa, maka pengelolaan TPA Basirih di Kota Banjarmasin akan dideskripsikan untuk melihat tantangan dan peluang pengelolaannya menuju pengelolaan TPA berkelanjutan. 2. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2014. Penelitian dilakukan di fasilitas Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Basirih di Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan dengan mempertimbangkan birokrasi, perolehan ijin penelitian, dan keterbukaan informasi. Populasi penelitian ini adalah pengelola TPA Basirih. Penelitian ini dilaksanakan melalui wawancara dengan sampel responden pemilihan sampel secara purposive sampling. Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini adalah dengan wawancara langsung terhadap pengelola TPA dengan alat rekam suara dan alat bantu kuesioner yang telah disusun. Materi wawancara meliputi kondisi pengelolaan TPA Kota Banjarmasin kaitannya dengan lahan TPA Basirih yang terletak di daerah rawa. Untuk menggambarkan kondisi pengelolaan TPA Basirih, data kondisi pengelolaan TPA Basirih dianalisis secara deskriptif berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan pengelola TPA. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Gambaran Umum TPA Basirih Secara umum sistem pengelolaan sampah yang berjalan di Kota Banjarmasin adalah pola kumpul, angkut dan buang. Sampah yang berasal dari berbagai sumber yaitu pemukiman, perkantoran, industri dan penyapuan jalan dikumpulkan dalam berbagai jenis wadah. Dari wadah pengumpulan seperti tong sampah, kontainer maupun bak beton diangkut ke TPS yang kemudian dibawa truk pengangkut sampah menuju TPA. Selain sistem yang berjalan dengan cara tersebut ada juga sistem informal yang melibatkan pemulung, lapak dan bandar baik itu di lingkungan pemukiman maupun di sekitar lokasi TPA. Namun sistem informal ini belum memiliki sistem pengelolaan sampah terpadu atau masih berjalan sendiri tanpa perhatian dari pemerintah. Penelitian ini berlokasi di TPA Basirih di daerah Basirih Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan. Perencanaan pembangunan TPA dimulai pada tahun 1997. Melalui bantuan dana Bank Dunia (World Bank) dibangun TPA yang berlokasi di desa Basirih. Pada
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
124 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
awal tahun 2000 TPA Basirih mulai beroperasi sebagai tempat pembuangan dan pemrosesan akhir sampah. Sistem pengelolaan awal yang diterapkan menggunakan controlled landfill. TPA Basirih yang menempati lahan seluas 39,5 Ha di atas lahan rawa bergambut, memiliki luas lahan efektif penumpukan (landfill) 20 Ha. Dengan luas landfill tersebut kapasitas tampung TPA Basirih sebesar 1.019.960 m3 atau sekitar 7 tahun, namun pada tahun 2011 secara matematis dilakukan perhitungan ulang dan didapat prediksi lahan akan penuh pada tahun 2016 atau berumur sekitar 16 tahun sejak dioperasikan. Sumber sampah berasal dari TPS-TPS, pabrik/industri. Sistem yang telah diterapkan adalah controlled landfill atau penutupan sampah pada ketinggian tertentu dengan lapisan tanah secara periodik. Berikut ini adalah gambaran teknis zona sampah di TPA Basirih terkait: 1. Zona Sampah (Landfill) Zona sampah merupakan penumpukan sampah lahan dengan luasan tertentu yang dibatasi tanggul kecil atau jalan kecil sebagai tempat timbunan sampah yang terbuang. Terdapat zona sampah aktif yang masih digunakan sebagai tempat penimbunan tanah dan zona sampah yang sudah penuh terisi dengan sampah (lihat Gambar 1 dan Tabel 2). Zona sampah terbagi menjadi 16 zona yang terdapat dalam areal seluas 20 Ha dengan luasan tertentu yang tidak sama besarnya. Zona aktif masih dioperasikan secara open dumping.
Gambar 1. Zona Sampah TPA Basirih Sumber: Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banjarmasin, 2014
Tabel 2. Zona sampah TPA Basirih No.
Zona
1 2 3
Zona 1 Zona 2 Zona 3
Luas (M2) 7,840 22,228 19,259
Luas Terisi (M2) 7,840 17,572 10,736
Persentase Pengisian (%) 100.0 79.1 55.7
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 125
ISBN: 978-602-6483-07-2
No. 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Zona Zona 4 Zona 5 Zona 6 Zona 7 Zona 8 Zona 9 Zona 10 Zona 11 Zona 12 Zona 13 Zona 14 Zona 15 Zona 16 Jumlah
Luas Luas Terisi (M2) (M2) 8,298 8,298 11,529 11,529 9,393 9,393 4,911 2,081 6,651 6,651 9,236 9,236 8,634 8,634 9,519 83,00 33,048 11,016 9,983 8,2,83 12,737 9,7,37 12,998 8,550 17,728 7,700 203,992 145,556 Sumber : Profil TPA Basirih per September, 2014
Persentase Pengisian (%) 100.0 100.0 100.0 42.4 100.0 100.0 100.0 87.2 33.3 83.0 76.4 65.8 43.4 71.4
Gambar 2. Kondisi zona sampah yang masih aktif
Gambar 3. Kondisi zona sampah yang sudah diurug dengan tanah
Berikut ini adalah rangkuman gambaran secara umum yang ada di TPA Basirih:
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
126 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 3. Gambaran umum TPA Basirih Keterangan Kategori Landfill Luas Lahan (Ha) Luas Terpakai (Ha) Pengelola Pekerja Operasional (Orang) Alat-alat berat (Unit)
Operational landfill Pengumpulan lindi Pengolahan lindi Pengelolaan gas Fasilitas composting Fasilitas 3R
TPA Basirih Banjarmasin Controlled landfill 34,5 20 Dinas Kebersihan dan Pertamanan 31 Excavator (2) Buldozer (2) Loader (1) Controlled landfill Ada Ada Ada Ada Ada
Sumber: Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banjarmasin (2014)
3.2 Analisis Kondisi Pengelolaan TPA Basirih Pengelolaan sampah di TPA Basirih secara garis besar dipegang oleh dua sektor, yaitu sektor formal dan sektor informal. Pekerja pada sektor formal (aparat pemerintah daerah) dan pekerja sektor informal (pemulung dan pengepul), keduanya terlibat dalam pengumpulan sampah dan daur ulang, tetapi fokus pada sektor formal dan informal adalah berbeda. Perbedaan ini dipaparkan oleh Gerold (2009:22), dimana sektor formal mengumpulkan sebagian besar sampah kota, tetapi hanya bisa mengolah sebagian kecil sampah, sedangkan sektor informal dapat memilah sebagian besar sampah daur ulang. Hal yang demikian juga terjadi pada TPA Basirih. Analisis kondisi TPA Basirih dilakukan dengan cara observasi dan wawancara dengan pengelola TPA Basirih. TPA Basirih merupakan TPA Kota Banjarmasin yang saat ini dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banjarmasin. TPA yang terletak di wilayah Kelurahan Kelayan Selatan, Kecamatan Banjarmasin Selatan ini berada dalam ekosistem rawa dan bersistem controlled landfill. Permasalahan tanah rawa pada TPA Basirih mengakibatkan lindi mudah merembes keluar dari wilayah TPA dan mencemari sawah-sawah warga sekitar. Permasalahan lain di TPA terletak pada pembiayaan untuk mengurug tanah dan sampah pada zona-zona sampah menggunakan biaya yang cukup besar karena mahalnya harga tanah di Banjarmasin. Hal tersebut mengakibatkan pengurugan yang hanya dilakukan 3-4 kali setahun. Hasil wawancara dengan pengelola TPA mendapatkan gambaran mengenai pengelolaan TPA yang masih terfokus pada aspek teknis sehingga belum dapat mengurangi permasalahan lingkungan di sekitar TPA dan belum menitikberatkan pada aspek pengurangan dan pemanfaatan sampah. Pemulung yang berjumlah ± 178 orang (Dinas Kebersihan, 2014) menjadi salah satu yang berperan mereduksi sampah di TPA. Pola kumpul angkut dan buang yang dominan dalam pelaksanaan pengelolaan sampah Kota Banjarmasin berdampak pada pengelolaan sampah yang sangat bertumpu terhadap kehadiran TPA. Walaupun pengelolaan TPA merupakan pengelolaan sampah yang berada di hilir, tapi tidak berarti inovasi pengelolaan di TPA tidak penting untuk diperhatikan. Model pengelolaan TPA
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 127
ISBN: 978-602-6483-07-2
yang kurang berkembang mengarahkan ke situasi yang tidak berkelanjutan dan tetap berkembangnya pembukaan TPA sebagai tempat penumpukan sampah. Hettiarachi (2007:13) menyatakan bahwa sekarang ini fokus pengelolaan sampah telah mengarah agar menjadi lebih efektif secara biaya dengan cara menggunakan TPA sebagai tempat pemprosesan sampah. Selain itu harus ada komitmen oleh Pemerintah Daerah untuk mencanangkan pengelolaan TPA yang berbasis pengolahan sampah. Permasalahan serupa juga terjadi di Kota Semarang dalam penelitian Ernawati et al. (2012:13), ditemukan bahwa kelemahan yang terjadi pada pengelolaan sampah di Kota Semarang yaitu kurangnya inovasi dalam mengelola sampah di TPA dan belum optimalnya pengurangan sampah sejak dari sumber. Menurut Tchobanoglous (1993), pengelolaan sampah terpadu yakni: pengurangan sampah diawal sumber (source reduction), daur ulang (recycling), pengolahan limbah (waste transformation) dan landfilling. Namun pada intinya, setiap elemen pada konsep pengelolaan sampah terpadu/terintegrasi harus berjalan dengan semestinya dan terus dikembangkan karena saling berkesinambungan serta saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Pada TPA Basirih, landfilling telah dilakukan dengan sistem controlled landfill dan transformasi sampah dalam bentuk biogas. Tapi belum dapat dikatakan terpadu karena belum semua aspek yang terpenuhi sesuai dengan Tchobanoglous (1993). Apabila hanya sistem ini saja yang menjadi andalan maka TPA akan cepat penuh dengan sampah. Dalam hal pengorganisasian, sesuai dengan pendapat Hadi (2014), pengelolaan TPA seharusnya tidak hirarkhis, menggunakan pendekatan partisipatif dan terdesentralisasi. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan TPA adalah kurang dukungan untuk sektor informal terutama dari urutan bawah yaitu pemulung. Keberadaan pemulung, daur ulang ulang sampah yang bernilai ekonomi, dan pengomposan sampah organik belum dipandang krusial dan dimasukkan sebagai pertimbangan pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah. Furedy (1984) menyatakan pengelolaan sampah tidak akan berjalan maksimal dengan monopoli oleh para ahli keteknikan dan pemerintah daerah sehingga hal ini menjadi tantangan untuk lebih memperhatikan faktor kebijakan dan faktor sosial pada pembuangan dan daur ulang sampah. 4. KESIMPULAN Pengelolaan sampah di Kota Banjarmasin menghadapi banyak tantangan diantaranya tidak tersedianya lahan untuk penempatan TPA yang memenuhi persyaratan kesesuaian lahan. TPA Basirih Banjarmasin terletak pada daerah rawa sehingga berpotensi menimbulkan banyak dampak lingkungan yang negatif. Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencari bentuk pengelolaan sampah dari hulu ke hilir yang lebih berkelanjutan dan tidak menitikberatkan pembuangan sampah pada TPA, diantaranya pengurangan sampah diawal sumber (source reduction), daur ulang (recycling), pengolahan limbah (waste transformation) dan landfilling atau pengurugan sampah di TPA sebagai pilihan terakhir. Setiap strategi pengelolaan sampah harus berjalan terintegrasi, bersama-sama dan terus dikembangkan karena saling berkesinambungan.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
128 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
DAFTAR PUSTAKA Chambal S., Shoviak M., and Thal A.E. 2003. Decision analysis methodology to evaluate integrated solid waste management alternatives. Environmental Modeling and Assessment, 8:25–34. Ernawati D., Budiastuti S., Masykuri M. 2012. Analisis Komposisi, Jumlah dan Pengembangan Strategi Pengelolaan Sampah di Wilayah Pemerintah Kota Semarang Berbasis Analisis SWOT. Jurnal Ekosains, 4(2):13-22. Furedy C. 1984. Socio-political Aspects of the Recovery and Recycling of Urban Wastes in Asia. Conservation & Recycling, 7(2-4):167-173. Gerold A. 2009. Integrating The Informal Sector in Solid Waste Management System. Basic Aspects and Experiences. Frankurt. Gtz Partnerships for Recycling Management Hadi, S.P. 2014. Bunga Rampai Manajemen Lingkungan. Yogyakarta: Thafa Media. Hettiaratchi, J.P.A. 2007. New Trends in Waste Management: North American Perspective. Proceedings of the International Conference on Sustainable Solid Waste Management, 5 - 7 September 2007, Chennai, India. pp.9-14 Nas, B., Cay T., Iscan F. 2010. Selection of MSW landfill site for Konya, Turkey using GIS and multi-criteria evaluation. Environ Monit Assess, 160:491–500 Pujari, Paras R.; Pardhi, P.; Muduli, P.; Harkare, P. And Nanoti Madan V. 2007. Assessment of Pollution Near Landfill Site in Nagpur, India by Resistivity Imaging and GPR. Environ Monit Assess, 131:489–500 Sener S., Sener E., Karaguzel R. 2010. Solid waste disposal site selection with GIS and AHP methodology: a case study in Senirkent–Uluborlu (Isparta) Basin, Turkey. Environ Monit Assess Tsanis, I.K. 2006. Modeling Leachate Contamination and Remediation of Groundwater at a Landfill Site. Water Resour Manage, 20: 109. doi:10.1007/s11269-006-4634-4 Vasanthi P., Kaliappan S. and Srinivasaraghavan R. 2008. Impact of poor solid waste management on ground water. Environmental monitoring and assessmen, 143(1-3): 227-238. Wangyao K., Sirintornthep T., Chiemcaisri C., Gheewala S.H., Nopharatana A. 2010. Environ Monit Assess Journal. Application of the IPCC Waste Model to solid waste disposal sites in tropical countries: case study of Thailand. J. Environ Monit Assess, 164:249261.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 129
ISBN: 978-602-6483-07-2
DEGRADASI ZAT WARNA PADA AIR GAMBUT MENGGUNAKAN METODE KOAGULASI SEBAGAI PROSES PENDAHULUAN Fatimah Juhra1, dan Suprihanto Notodarmodjo2 Program Magister Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil Dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung Jl Ganesha no. 10 40132
Email :
[email protected]
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang degradasi intensitas zat warna air gambut dengan metode koagulasi. Air di wilayah gambut merupakan sumber air baku potensial untuk diolah menjadi air bersih, terutama di daerah pedalaman Kalimantan, Sumatera dan Papua. Penelitian ini merupakan proses pre-treatment yang mana air gambut pada penelitian ini memiliki intensitas zat warna cukup tinggi dengan penentuan jumlah optimum koagulan, pH optimum dan penyisihan koagulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pre-treatment menggunakan koagulasi dengan koagulan aluminium sulfat pada dosis 110 ppm dan pH 6,5 dengan persentase penyisihan kekeruhan, warna dan TSS, masing-masing 89%, 78% dan 98%. Metode koagulasi ini dapat digunakan sebagai metode yang tepat untuk proses pretreatment air gambut yang memiliki konsentrasi warna tinggi yaitu sekitar 500 Pt.Co dan dilanjutkan menggunakan proses post-treatment. Kata Kunci: Air Gambut, Aluminium Sulfat, Koagulan, PAC ABSTRACT Has done research on the degradation of color substances in peat water using coagulation methode. Water in Peat area is a potential source of raw water to be processed into clean water, especially in rural areas of Kalimantan, Sumatera and Papua. This study is pretreatment to determine the optimum dose of coagulant, optimum pH and removal of turbidity. Coagulation process showed that the pretreatment process using coagulation with Al2SO4 at 110 ppm dose, and pH 6,5 with the percentage of removal for turbidity, color and TSS are 89%, 78%, and 98%, respectively. Coagulation method can be used as an appropriate method to pre-treatment process water peat has a high color concentration is about 500 Pt.Co. Key Words: Aluminium Sulphate, Coagulation, PAC, Peat Water
1.
PENDAHULUAN
Sumber air bersih saat ini sulit didapatkan sedangkan populasi manusia semakin bertambah sehingga kebutuhan air bersih meningkat. Salah satu sumber daya air di Indonesia adalah air gambut, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Di Kalimantan sebaran air gambut terdapat di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Saat ini sebagian besar lahan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
130 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
gambut dimanfaatkan dalam bidang pertanian. Masyarakat yang mendiami wilayah gambut masih kesulitan dalam mendapatkan air bersih karena air gambut bersifat asam dan berwarna cokelat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air mendefinisikan air gambut tidak layak di konsumsi sehingga harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu agar menjadi layak di konsumsi. Air di wilayah gambut merupakan sumber air baku yang potensial untuk diolah menjadi air bersih, terutama di daerah-daerah pedalaman Kalimantan, Sumatera maupun Papua. Secara umum proses/tahapan pengolahan air gambut tidak berbeda jauh dengan air baku tawar lainnya. Masalah utama dalam mengolah air gambut berhubungan dengan karakteristik spesifik yang dimilikinya. Adapun ciri-ciri air gambut adalah memiliki kadar pH yang rendah (3-4) sehingga bersifat sangat asam, memiliki kadar organik yang tinggi dan berwarna kuning atau cokelat tua (pekat) (Sutapa, 2010). Pengolahan air bersih sangat penting untuk memperbaiki kualitas sumber air yang tercemar. Warna merah kecokelatan air gambut merupakan warna alami yang mengandung partikelpartikel koloid organik bermuatan positif yang tidak dapat diendapkan secara gravitasi sehingga perlu ditambahkan gaya-gaya agar partikel itu dapat diendapkan. Dari semua proses pengolahan air bersih secara umum metode koagulasi flokulasi merupakan tahap penting karena mempengaruhi efektivitas tahap pengolahan berikutnya (Sutapa, 2003). Penggunaan koagulan Al2SO4 dan PAC sudah umum diterapkan untuk pengolahan air bersih seperti pada penelitian Suherman 2013 yang menggunakan metode koagulasi dengan koagulan Al2SO4 dan PAC untuk menurunkan zat warna dan turbiditas pada air gambut (Sutapa, 2014) , sehingga pada penelitian ini akan dipilih salah satu koagulan untuk digunakan pada proses pretreatment dalam mendegradasi intensitas zat warna dan kekeruhan pada air gambut. Telah banyak metode yang digunakan dalam pengolahan air gambut namun masih kurang efektif. Seperti pada penggunaan metode adsoprsi yang kurang efektif karena zat warna yang diadsorpsi akan terakumulasi dengan adsorben sehingga dapat menimbulkan masalah baru (Wijaya, et al, 2006). Metode lumpur aktif juga kurang efektif karena beberapa jenis zat warna memiliki sifat yang resisten untuk didegradasi secara biologis (Nandiyanto, 2008). Banyaknya kelemahan metode yang dilakukan dalam pengolahan air, maka diperlukan alternatif pengolahan yang murah dan mudah yang dapat digunakan sebagai proses pretreatment degradasi intensitas zat warna air gambut. Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan penelitian degradasi zat warna pada air gambut dengan menggunakan metode koagulasi sebagai proses pre-treatment. 2.
METODE PENELITIAN
2.1. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jar test, magnetik stirer, spektrofotometer, pH meter, Turbidy meter, alat gelas, sentrifugasi, stopwatch. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain air gambut, Aluminium sulfat, PAC dan larutan induk Pt.Co. 2.2. Identifikasi Warna Air Gambut Kurva Kalibrasi Larutan Standar Pt.Co
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 131
ISBN: 978-602-6483-07-2
Warna air gambut diukur dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 400 nm larutan standar. Dari hasil pengukuran dibuat kurva standar antara absorbansi terhadap konsentrasi warna (Pt.Co). Kurva standar dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar pada panjang gelombang, λ = 400 nm. kurva standar ini selanjutnya digunakan untuk menentukan intensitas konsentrasi zat warna air gambut sebagai fungsi dari nilai absorbansi. 2.3. Prosedur Penelitian Koagulasi pada penelitian ini menggunakan koagulan Al2SO4 (Aluminium Sulfat) dan PAC (Poly Aluminium Chloride) . Jartest dilakukan pada 2 variasi untuk aluminium sulfat pada pH (4,5 ; 5,5 ; 6 ; 6,5 ; 7 ; 7,5) dan variasi dosis koagulan (80-130 ppm pada rentang 10) dan PAC pada pH (4,5 ; 5,5 ; 6 ; 6,5 ; 7 ; 7,5) .dan dosis (16-26 ppm pada rentang 2). 2.4. Jar test Pada metode koagulasi menggunakan proses pengadukan dengan menggunakan jar test. dengan menggunakan enam buah gelas kimia berisikan 500 mL air gambut. Agitasi dilakukan dengan 100 rpm selama 1 menit setelah penambahan koagulan, kemudian dilanjutkan dengan slow mixing pada 60 rpm selama 10 menit. Setelah proses flokulasi selesai, flok yang telah terbentuk dibiarkan mengendap selama 30 menit. 2.5. Pengukuran Analitis Terdapat lima parameter yang dianalisis yaitu kekeruhan,TSS, TDS, intensitas zat warna dan pH. Kekeruhan diukur dengan menggunakan turbidimeter jenis TurbiCheck (Lovibond). TSS diukur dengan metode Gravimetri. TDS diukur dengan TDS meter. Analisa zat warna menggunakan Spectrofotometer jenis Spectronic 20+ dan pH menggunakan pH 300 (Hanna Instrument). Efektifitas penyisihan dapat dicari dengan menggunakan Pers. 1 berikut : konsentrasi akhir
efektifitas % = 100 − ( konsentrasi awal x 100) 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kurva Standar Zat Warna Pt.Co Warna pada air gambut disebabkan karena adanya partikel koloid organik yang merupakan hasil dari dekomposisi tanaman. Konsentrasi warna air gambut diukur dengan menggunakan metode platina kobalt (Pt.Co), karena metode ini digunakan untuk mengukur warna air yang dapat diminum dan air berwarna yang disebabkan oleh bahan-bahan yang terbentuk secara alami seperti dekomposisi asam organik dari daun-daunan, kulit kayu, akar, bahan-bahan humus dan tanah gambut (Standar Method 2012B). Pemilihan panjang gelombang yang tepat untuk pengukuran sampel adalah yang paling banyak diserap oleh sampel tersebut. Pengukuran pada panjang gelombang tersebut akan memberikan kepekaan dan ketelitian pengukuran yang paling tinggi dengan spektrofotometer. Pada penelitian ini pengukuran konsentrasi zat warna dilakukan secara spektrofotometri. Larutan induk yang digunakan dengan konsentrasi 500 Pt.Co dibuat sesuai prosedur. Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum pada air gambut langsung untuk melihat perbandingan panjang gelombang yang menggunakan Pt.Co dan air gambut langsung. Dari percobaan menghasilkan panjang gelombang maksimum yang sama pada 400 nm seperti pada Gambar 1 dibawah ini. Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
132 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
(1)
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 1. Panjang gelombang Maksimum
Dari Gambar 1 dapat terlihat bahwa terdapat kesamaan panjang gelombang maksimum antara larutan standar Pt.Co dan air gambut yang digunakan pada penelitian ini. Sehingga penelitian ini menggunakan panjang gelombang larutan standar Pt.Co sebagai metode yang digunakan untuk mengukur warna pada air gambut. Kurva standar ialah gambaran yang menunjukkan hubungan antara serapan suatu sinar tertentu dengan konsentrasi zat yang menyerap sinar. Persamaan kurva standar zat warna Pt.Co yang dihasilkan adalah y = 1212.2x dengan R2= 0,9969. 3.2. Karakteristik Awal Air Gambut Tabel 1 menunjukkan karakteristik air gambut sebelum proses pre-treatment. Tabel 1. Karakteristik air gambut Parameter Satuan Warna Pt.Co Kekeruhan Mg/L pH Zat organik mg/L KmnO4 TSS mg/L TDS mg/L Zeta Potensial mv Sumber : Uji Laboratorium
Nilai 552 34,4 4,43 163 94 55,2 -10,60
Air gambut merupakan air permukaan yang mengandung senyawa humus yang terdiri dari asam humat, asam fulvat dan humin. Ketiga senyawa tersebut mengakibatkan air gambut berwarna cokelat dan bersifat asam. Air gambut pada penelitian ini memiliki pH asam yaitu 4,0 dan setelah dihitung berdasarkan larutan standar Pt.Co yang digunakan maka konsentrasi zat warnanya adalah 552 Pt.Co. konsentrasi warna air gambut berada diatas standar warna yang ditetapkan oleh pemerintah melalui MENKES No. 907/MENKES/SK/VII/2012 tentang standar kualitas air minum. Berdasarkan permenkes tersebut standar nilai pH 6,5-8,5 dan konsentrasi warna air maksimum yang diperbolehkan adalah sebesar 15 TCU.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 133
ISBN: 978-602-6483-07-2
3.3. Proses Pre-Treatment Koagulasi Proses pre-treatment pada pengolahan air gambut digunakan karena air gambut memiliki partikel yang sangat halus yaitu < 10-2 mm dan juga partikel koloid yang sulit dipisahkan dengan pengendapan bahan kimia serta masih tetap lolos jika disaring dengan saringan biasa. 3.4. Pengaruh pH Koagulasi Perbedaan pH di dalam air gambut akan berpengaruh terhadap kinerja koagulan yang digunakan didalamnya sehingga sangat dibutuhkan pH yang optimum untuk menghasilkan tingkat penyisah kekeruhan dan intensitas zat warna secara maksimal. Pengaruh variasi pH pada proses koagulasi menggunakan aluminium sulfat dapat dilihat pada Gambar 2. Pada grafik dapat terlihat bahwa kondisi pH sangat berpengaruh pada kedua koagulan terhadap kekeruhan. Persen penyisihan cenderung menjadi semakin besar apabila pH air gambut dinaikkan, namun terjadi penurunan persen penyisihan pada kondisi pH netral. Air gambut memiliki nilai efisiensi penyisihan kekeruhan terbaik pada pH 6,5 pada kedua koagulan yaitu sebesar 86 % pada koagulan aluminium sulfat dan sebesar 86 % pada koagulan PAC. Efisiensi cenderung menurun saat pH kembali dinaikkan yaitu pada pH 7 mengalami penurunan hasil penyisihan menjadi 50 % untuk penyisihan kekeruhan pada koagulan aluminium sulfat dan 38 % pada koagulan PAC. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi pH optimum yaitu pH 6,5 pada kedua koagulan akan menghasilkan penyisihan kekeruhan, warna dan TSS yang paling baik. Menurut Pernitsky 2003 menjelaskan bahwa pada pH sekitar 6-7 koagulan aluminium sulfat dan PAC memiliki kelarutan yang lebih rendah dari pH lain. Dimana kelarutan yang rendah tersebut akan menyebabkan jumlah koagulan yang terkonversi menjdai flok akan lebih maksimal.
(a)
(b)
Gambar 2. Efisiensi penyisihan kekeruhan air gambut pada variasi pH (a) Koagulan Aluminium Sulfat, (b) Koagulan PAC
3.5. Pengaruh Dosis Koagulasi Dosis koagulan yang ditambahkan didalam air gambut akan berpengaruh pada penyisihan intensitas zat warna dan kekeruhan yang terkandung didalamnya. Pengaruh penambahan dosis koagulan dapat dilihat pada Gambar 3.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
134 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
(a)
(b)
Gambar 3. Efisiensi penyisihan intensitas zat warna dan kekeruhan air gambut pada variasi dosis koagulan
Hasil pengamatan pada variasi dosis koagulan menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis aluminium sulfat dan PAC yang ditambahkan akan semakin sulit flok-flok tersedimentasi. Pada Gambar 3 (a) menunjukkan pada dosis koagulan aluminium sulfat sebesar 80 ppm terjadi penyisihan kekeruhan 81,75 %, intensitas zat warna 75,7% dan TSS 91,39 %. Persen penyisihan terus meningkat hingga mencapai dosis 110 ppm yaitu kekeruhan 88,89%, intensitas zat warna 78,45 dan TSS 97,84 namun terjadi penurunan persen penyisihan pada dosis 120 ppm hingga 130 ppm. percobaan ini didapatkan dosis optimum koagulan aluminium sulfat dalam menyisihkan intensitas zat warna dan kekeruhan berada pada dosis 110 ppm. Menurut Carlson, 2000 menjelaskan bahwa kandungan organik yang bersifat hidrofobik cenderung teradsorbsi pada permukaan aluminium sulfat yang membentuk presipitat sehingga pada proses one staged coagullation hanya mampu menyisihkan kandungan organik yang bersifat hidrofobik, sedangkan untuk penyisihan kandungan organik yang bersifat hidrofilik harus dilakukan pengolahan lanjutan. Pada Gambar 3 (b) menunjukkan dosis koagulan PAC pada 16 ppm sudah mengalami peningkatan persen penyisihan kekeruhan 81 %, intensitas zat warna 63,5% dan TSS 94% dan terus meningkat hingga dosis 20 ppm yaitu untuk kekeruhan 87,9, intensitas zat warna 80,1 dan TSS 98% namun ketika dosis koagulan kembali dinaikkan menjadi 21 ppm hingga 26 ppm terjadi penurunan persen penyisihan. Menurut Margaretha dkk (2012) hal ini disebabkan pada penambahan dosis koagulan PAC yang berlebih maka kation yang dilepaskan terlalu banyak daripada yang dibutuhkan oleh partikel koloid dalam air yang bermuatan negatif untuk membentuk flok. 3.6. Pengaruh Kondisi TDS Proses koagulasi juga memiliki pengaruh pada kondisi TDS didalam air. TDS (Total Dissolved Solid) adalah ukuran jumlah material yang dilarutkan didalam air. TDS dapat digunakan untuk memperkirakan kualitas air minum, karena berhubungan dengan jumlah ion didalam air. Kondisi TDS pada air gambut saat proses koagulasi dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 135
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 4. Kondisi TDS pada Saat Koagulasi
Pada Gambar 4 terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai TDS pada koagulan aluminium sulfat dan PAC. Pada koagulan aluminium sulfat TDS awal adalah 55,15 mg/L meningkat hingga 249,25 mg/L pada dosis 110 ppm, begitu pula dengan koagulan PAC yang terus mengalami peningkatan konsentrasi TDS hingga 221,7 mg/L pada dosis 20 ppm. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa PAC memiliki konsentrasi TDS yang lebih kecil dibandingkan dengan aluminium sulfat. Hal ini disebabkan koagulan PAC terdapat kandungan ion klorida dan koagulan alum terdapat ion sulfat yang disebabkan oleh reaksi hidrolisis yang disertai dengan pelepasan ion hidrogen. Kandungan ion-ion pada koagulan alum yang lebih besar dibandingan koagulan PAC menyebabkan tingginya konsentrasi TDS pada air air gambut yang ditambahkan koagulan aluminium sulfat dibandingkan dengan PAC (Adibin, 2012). 3.7. Pengaruh Perubahan pH pH merupakan salah satu parameter yang diukur pada penelitian ini karena pH merupakan parameter penting dalam penentuan kelayakan sebagai air minum. Berikut adalah hasil pengujian variasi dosis dan pengaruhnya terhadap perubahan pH, dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini.
Gambar 5. Pengaruh variasi dosis terhadap perubahan pH
Pada Gambar 5 diatas menunjukkan bahwa penambahan koagulan pada air gambut berpengaruh pada penurunan nilai pH. Dapat terlihat bahwa pada koagulan aluminium sulfat mengalami penurunan yang banyak dibandingkan dengan koagulan PAC yaitu dengan nilai
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
136 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
pH 4,3 pada dosis koagulan aluminium sulfat 110 ppm dan nilai pH 5,3 pada dosis koagulan PAC 20 ppm. Penurunan pH yang dikarenakan koagulan mengandung asam. Penurunan pH pada koagulan aluminium sulfat dikarenakan oleh peningkatan kandungan sulfur. Dengan koagulan aluminium sulfat, ion logam terhidrolisis membentuk flok aluminium hidroksida dan ion hidrogen akan bereaksi dengan alkalinitas air sehingga dapat menurunkan nilai pH seperti pada reaksi berikut. 2 Al3+ + 3SO42- + 18 H2O
Al2(SO4)3.18 H2O
2Al(OH)3 + 6 H+ + 3SO42- + 12 H2O
Koagulan aluminium sulfat memiliki basisitas 0% sehingga larutannya bersifat asam dan dapat menurunkan nilai pH secara drastis. Sedangkan koagulan PAC memiliki reaksi seperti berikut : Al2(OH)3Cl3
Al2(OH)33+ + 3Cl- + 3H2O
2Al(OH)3 + 3H+ + 3Cl-
Pada reaksi ini dihasilkan tiga ion hidrogen, lebih sedikit dibandingkan pada reaksi hidrolisis aluminium sulfat, yang menunjukkan bahwa PAC hanya sedikit berpengaruh pada penurunan nilai pH. Koagulan PAC memiliki basisitas 50% (Margaretha, dkk 2015). Pada Tabel 2 disajikan pH serta dosis optimum yang diperoleh dari proses pre-treatment (jar test). Pada Tabel 2 terlihat bahwa pada kedua koagulan tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk penyisihan intensitas zat warna, kekeruhan dan TSS. Pada dosis optimum koagulan aluminium sulfat masih memiliki nilai intensitas warna yang tinggi yaitu 119,1 Pt.Co. Begitu pula dengan dosis optimum koagulan PAC memiliki nilai intensitas zat warna sebesar 101,3 Pt.Co yang berarti belum memenuhi kualitas air minum, sehingga dapat dilanjutkan dengan proses post-treatment. Tabel 2 Hasil pH dan Dosis Optimum, (a) Koagulan Aluminium Sulfat dan (b) Koagulan Poly Aluminium Chloride Koagulan Aluminium Sulfat (Al2SO4)
Parameter
Unit
Sebelum
Sesudah
% Penyisihan
pH Kekeruhan TSS TDS Warna Zat Organik
NTU mg/L mg/L Pt.CO Mg/L
4,43 34,6 94 55,15 527 163
4,0 3,8 1,5 249,25 119,1 83
89 98,4 77,4 49
(a) Koagulan Poly Aluminium Chloride (PAC)
Parameter
Unit
Sebelum
Sesudah
% Penyisihan
pH Kekeruhan TSS TDS Warna Zat Organik
NTU mg/L mg/L Pt.CO Mg/L
4,43 37,6 94 57,8 509,4 163
5,33 4,4 1,5 221,7 101,3 76
89 98,4 77,4 49
(b)
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 137
ISBN: 978-602-6483-07-2
3.8. Nilai Zeta Potensial Air Gambut Zeta potensial memiliki peranan yang sangat penting terhadap proses penyisihan partikel koloid di dalam air. Semakin tinggi nilai zeta potensial maka akan semakin tinggi juga tolakmenolak antarpartikel sehingga partikel-partikel terdispersi dan menjadi sangat stabil berada di dalam air. Air gambut sebelum pengolahan dengan koagulasi memiliki nilai zeta potensial sebesar -10,60 mv. Hal ini menunjukkan konsentrasi ion dalam air gambut sedikit dan menghasilkan lapisan ganda yang tebal. Setelah dilakukan koagulasi dengan koagulan aluminium sulfat maka nilai zeta potensial menjadi berkurang yaitu -1,57 mv yang menunjukkan bahwa kandungan ion dalam air gambut telah memiliki kontra-ion yang lebih banyak untuk menetralisasi muatan koloid sehingga lapisan ganda akan semakin tipis dan zeta potensial mendekati nol. 3.9. Pemilihan Koagulan Koagulan yang digunakan pada penelitian ini adalah koagulan aluminium sulfat dengan pertimbangan setelah pre-treatment koagulasi maka dilanjutkan dengan post-treatment untuk mendegradasi intensitas zat warna yang tersisa pada air gambut. Intensitas zat warna air gambut berasal dari bahan organik alami yaitu asam humat. Berdasarkan pertimbangan terhadap penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Pekerjaan Umum yang sedang membangun Instalasi Pengolahan Air Gambut di Kecamatan Gambut Kalimantan Selatan juga menggunakan koagulan aluminium sulfat karena koagulan ini dianggap paling cocok untuk dijadikan koagulan pengolahan air gambut dan mudah serta murah didapatkan apabila instalasi dibuat skala kecil di daerah setempat. 4.
KESIMPULAN
Metode koagulusi dapat digunakan sebagai proses dalam mendegradasi intensitas zat warna pada air gambut yang memiliki kondisi optimum koagulan aluminium sulfat dengan persentase penyisihan kekeruhan, warna dan TSS masing-masing 89 %, 78,5 % dan 98 %. Metode koagulasi digunakan sebagai proses pre-treatment untuk air gambut yang memiliki intensitas warna sangat tinggi. DAFTAR PUSTAKA Affolter, C., Pretsch.,C., dan Buhlman P. 2000. Structure Determination of Organic Compound. ISBN: 3-540-67815-5 Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York. Ali, R. and Siew, dan Ooi Bon. 2006. Photodegradation of New Methylen Blue N in Aqueous Solution Using Zinc Oxide and Titanium Dioxide as Catalyst. Jurnal Teknologi, 45:3142. Hoffman, R.M. 1995. Environmental Applications of Semiconductor of Photocatalysis. Chemical Reviews, 95(1):69-96. Jayadi, S., Destiartim L.,dan Berlian, S. 2014. Pembuatan Reaktor Fotokatalis dan Aplikasinya untuk Degradasi Bahan Organik Air Gambut Menggunakan Katalis TiO2. Jurnal. Fakultas MIPA. Universitas Tanjungpura. Khezrianjoo, A. Revanasiddapa, H, D. 2012. Langmuir-Hinshelwood Kinetic Expression for The Photocatalytyic Degradation of Metanil Yellow Aqueous Solution by ZnO Catalyst. Nandiyanto, A. B. D. 2008. Catatan Kecil Mengenai Pengolahan Limbah Dengan Menggunakan Sinar Matahari, http://io.ppi-jepang.org. Oskoei, V. 2016. Journal of Molecular Liquids 213 (2016):374-380.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
138 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Qourzal, S., Tamimi, M., Assabbane, A., dan Ait-Ichou, Y. 2009. Photodegradation of 2Naphthol Using Nanocrystalline TiO2. M.J. Condensed Mater, 11(2):55-59. Ramadhana, Al Kautsar Kurniawan., Wardhani.,Sri dan Purwonugroho, Danar. 2013. Fotodegradasi Zat Warna Methyl Orange menggunakan TiO2-Zeolit dengan Penambahan Ion Persulfat. Kimia Student Journal, 1(2): 168-174. Singh, S. 2009. Electrical Transport and Optical Studies of Transition Metal Ion Doped ZnO and Synthesis of ZnO based Nanostructure by Chemical Route, Thermal Evaporation and Pulsed Laser Deposition. Thesis. Departmen Of Physics Indian, Institute Of Technology Madras. Siregar.,T.,B. 2008. Kinetika Kimia Reaksi Elementer. ISBN: 979-458-390-1. Sutapa I. 2010. Kajian Jar Test Koagulasi-Flokulasi sebagai Dasr Perancangan Instalasi Pengolahan Air Gambut (IPAG) menjadi Air Bersih.Research Centre for Limnology. LIPI. Cibinong. Sutapa I. 2003. Efisiensi Alum Sulfat sebagai Koagulan dalam Proses Produksi Air Bersih. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia, Jakarta Suherman, D.,dan Nyoman, S. 2013. Menghilangkan Zat Warna dan Zat Organik Air Gambut dengan Metode Koagulasi-Flokulasi Suasana Bahasa. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. ISSN 0125-9849. T.E.Antoine, Y.K. Mishra,dan J. Trigilio, V. Tiwari, et al. 2012. 363-375. Teng Ong,Siew.,Sim Cheong, Wai dan Tse Hung, Yung. 2012. Photodegradation of Commecial Dye, Methylene Blue Using Immobilized TiO2. International Conference on Chemical , Bioligical and Environment Engineering, 43(23). Taghi, M. 2014. Humic Acid Degradation by The Synthesized Flower-like Ag/ZnO nanostructure as an Efficient Photocatalyst. 12:138. Wijaya, K., Sugiharto, E., Fatimah, I., Sudiono, S., dan Kurniaysih, D. 2006. Utilisasi TiO2Zeolit dan Sinar UV Untuk Fotodegradasi Zat Warna Congo Red, Teknoin, 11(3):199– 209. Wulandari, I., Wardhani, S., dan Purwonugroho D. 2014. Sintesis dan Karakterisasi Fotokatalis ZnO pada Zeolit. Universitas Brawijaya. Malang. Kimia Student Journal, 1(2):241-247.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 139
ISBN: 978-602-6483-07-2
STUDI PENGARUH BAHAN PENUTUP PERMUKAAN TANAH DI RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP PERUBAHAN SUHU UDARA Yuswinda Febrita Program Studi arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kawasan Ruang Terbuka Hijau Minggu Raya yang teletak di pusat kota Banjarbaru, merupakan ruang terbuka hijau publik tempat masyarakat melepaskan kepenatan dari aktivitasnya dan sebagai tempat rekreasi keluarga. Ruang Terbuka memberikan andil dalam peningkatan suhu udara harian perkotaan. Dominasi perkerasan serta elemen fisik pada area ruang terbuka merupakan permukaan panas khususnya di daerah perkotaan untuk menunjang kenyamanan perkotaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh area yang didominasi perkerasan dan penutup permukaan tanah terhadap perubahan suhu harian dan tingkat kenyamanan di lingkungan Kota Banjarbaru. Metode penelitian yang digunakan yaitu ada tiga tahapan dalam penelitian ini, yaitu tahap pra survei, tahap survei lapangan untuk mengumpulkan data dan pengecekan di lapangan, dan tahap analisis serta olah data yang telah dikompilasi. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan suhu bahan penutup permukaan tanah dari aspal lebih tinggi daripada paving blok dan rumput. Pola perubahan kelembaban udara harian menunjukkan pola yang berkebalikan dengan suhu udara di setiap lokasi. Suhu udara pada area terbuka dengan bahan penutup permukaan tanah aspal dan paving blok memiliki suhu udara rata-rata yang lebih tinggi daripada area rumput. Kata Kunci: Suhu Udara, Bahan Penutup Tanah, Ruang Terbuka Hijau ABSTRACT A Public Green Open Space Minggu Raya Area in downtown Banjarbaru, where people release the fatigue of their activity and as a family recreation. Open space to contribute to the increase in urban air temperature daily. The dominance of pavement and the physical elements in the area of open space is a hot surface, especially in urban areas to support urban comforts. This study aims to determine the effect dominated area of pavement and ground cover to temperature changes daily and comfort level in the Banjarbaru environment. The research method used in this study, are the pre-survey stage, the stage of field survey to collect data and checks in the field, the stage of the analysis, processing the data that has been compiled. The results showed an increase in the temperature of ground cover asphalt is higher than the paving blocks and grass. the air humidity changes daily pattern shows a pattern that contrasts with the temperature in each location. Temperatures in an open area with ground cover material asphalt and paving blocks have average air temperature is higher than the grass area. Keywords: air temperature, ground cover materials, a green open space.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
140 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1.
PENDAHULUAN
Ruang Terbuka Hijau khususnya pada wilayah perkotaan sangat penting mengingat besarnya manfaat yang diperoleh dari keberadaan RTH tersebut. Kawasan Ruang Terbuka Hijau ini juga merupakan tempat interaksi sosial bagi masyarakat yang dapat mengurangi tingkat stress akibat beban kerja dan menjadi tempat rekreasi keluarga bagi masyarakat perkotaan. Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau khususnya pada wilayah perkotaan sangat penting mengingat besarnya manfaat yang diperoleh dari keberadaan RTH tersebut. Ruang Terbuka Hijau (RTH) menambah keindahan kota serta meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah perkotaan akan meningkatkan produksi oksigen dan menyerap karbondioksida, menjadi habitat hewan liar seperti kupu-kupu dan burung serta menyerap air hujan dan menjaga air tanah. Suhu udara tidak hanya berhubungan dengan curah hujan, tetapi berhubungan secara langsung dengan berbagai unsur fisik kota, melalui kebutuhan akan pendinginan atau penghangatan udara (Branch, 1995). Selanjutnya menurut sulistryantara dan Yorintaka (1995), gedunggedung dan perkerasan seperti jalan aspal memberikan kontribusi besar terhadap suhu permukaan yang mencapai 56°C, sedangkan pada kawasan hijau daerah urban menunjukkan suhu yang stabil yaitu <35°C. Banjarbaru merupakan kota yang mempunyai banyak tempat yang nyaman untuk dikunjungi, salah satunya adalah Kawasan Ruang Terbuka Hijau Minggu Raya yang teletak di pusat kota. Kawasan ini merupakan ruang terbuka hijau publik dimana masyarakat banjarbaru melepaskan kepenatan dari aktivitasnya dan juga sebagai rekreasi bagi masyarakat Banjarbaru ataupun rekreasi bagi para remaja. Pada kawasan ini terdapat taman - taman yang dibagi sesuai dengan fungsi dari masing - masing taman tersebut. Pada awalnya Mingguraya adalah kebun binatang mini yang tempatnya tepat di taman air mancur. Seiring banyaknya perubahan akhirnya kebun binatang tersebut dipindahkan ke Taman Idaman. Asal mula Mingguraya juga sering disebut Kemuning Ujung, karena tempatnya di Jalan Kemuning Ujung. Bahkan dulunya taman Van Der Piejl memanjang dari samping rumah dinas walikota sampai simpang KFC yang sekarang. Kawasan Mingguraya sekarang terbagi menjadi bebarapa taman dan satu pujasera. Pada setiap taman mempunyai masing – masing fungsi dan fasilitasnya. Sekarang pada kawasan ini sudah terdapat area olahraga yang dikenal dengan lapangan KS Tubun, sehingga warga dapat berolahraga disini. Ruang terbuka yang terdapat di kawasan Mingguraya sering dikunjungi oleh masyarakat Banjarbaru yaitu lapangan yang berada di depan kantor walikota Banjarbaru yang dikenal juga sebagai lapangan Murdjani. Lapangan ini dibagi menjadi dua yaitu lapangan dengan ground cover berupa rumput hijau yang difungsikan sebagai lapangan olahraga sepak bola dan yang satunya lapangan beraspal yang difungsikan untuk acara formal pemerintahan seperti upacara hari nasional, hari libur sering dipakai untuk acara olahraga seperti jogging dan senam pagi. Berikut adalah gambaran kondisi di lapangan Murdjani pada pagi hari Minggu.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 141
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 1. Acara Jogging di sekitar lapangan Murdjani Murdjani (Sumber: penulis)
Gambar 2. Acara Senam di lapangan (Sumber: penulis)
Ruang Terbuka memberikan andil dalam peningkatan suhu udara harian perkotaan. Dominasi perkerasan serta elemen fisik pada area ruang terbuka merupakan permukaan panas khususnya di daerah perkotaan untuk menunjang kenyamanan perkotaan. Suhu udara tidak hanya berhubungan dengan curah hujan, tetapi berhubungan secara langsung dengan berbagai unsur fisik kota, melalui kebutuhan akan pendinginan atau penghangatan udara (Branch, 1995). Selanjutnya menurut Sulistyantara dan Yoritaka (1995), gedung-gedung dan perkerasan seperti jalan aspal memberikan kontribusi besar terhadap suhu permukaan yang mencapai 56°C, sedangkan pada kawasan hijau daerah urban menunjukkan suhu yang stabil yaitu < 35°C. Pembangunan di kota-kota besar umumnya sangat pesat ditambah lagi dengan meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitasnya, menyebabkan perubahan di segala bidang. Perubahan tersebut sangat terasa seperti bergantinya lahan yang tadinya banyak ditumbuhi pohon menjadi gedung, perumahan, jalan raya, dan sebagainya. Demikian halnya dengan kota Banjarbaru, yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan penutup lahan yang cukup berarti ditandai dengan meningkatnya pembangunan perumahan, gedung, dan jalan. Selain itu komposisi yang tidak berimbang antara bidang hijau rerumputan dan perkerasan sebagai penutup halaman perumahan, pertokoan, jalan raya dan perkantoran. Dengan demikian lahan yang tadinya bervegetasi semakin berkurang sehingga fungsi lahan bervegetasi untuk menyegarkan udara kota menjadi berkurang. Perkembangan ini menyebabkan perubahan unsur-unsur iklim seperti suhu, kecepatan angin, radiasi dan keawanan. Hasil penelitian Saputro (2010) menyatakan bahwa suhu udara pada area terbuka dengan perkerasan memiliki suhu udara rata-rata yang lebih tinggi daripada area rumput dan naungan. Hal ini disebabkan pada area terbuka terkena radiasi matahari secara langsung. Radiasi matahari langsung akan segera memanaskan permukaan perkerasan dan selanjutnya memanaskan suhu udara di atasnya (karena panas jenis udara lebih rendah daripada perkerasan/conblok). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh area yang didominasi perkerasan dan penutup permukaan tanah terhadap perubahan suhu harian dan tingkat kenyamanan di lingkungan Ruang Terbuka Kawasan Minggu Raya.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
142 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kota Banjarbaru, dengan mengambil contoh kasus pada kawasan Mingguraya Banjarbaru Gambar 3 merupakan peta orientasi tapak. Pemilihan lokasi untuk mendapatkan berbagai macam penutup permukaan bagi proses pembentukan panas di sekitar lokasi diasumsikan merata. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan November 2015. Studi ini dilakukan pada wilayah pusat kota Banjarbaru, terutama areal lapangan Murdjani, taman Van Der Piejl dan lapangan KS Tubun. Jenis material perkerasan yang diteliti menggunakan beberapa jenis material yang paling dominan, yakni aspal, paving dan rumput di beberapa lokasi tersebut. Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data, antara lain; Pengukuran Suhu: termometer digital yang dilengkapi dengan monitor pembacaan, alat tulis, peta dasar lokasi. Terdapat tiga tahapan dalam penelitian ini, yaitu tahap pra survei, tahap survei lapang untuk mengumpulkan data dan pengecekan di lapangan, dan tahap analisis serta olah data yang telah dikompilasi. Ketiga tahapan ini dilakukan secara berurutan sesuai alur penelitian.
Lapangan Murjani
Taman Van Der Piejl
Lapangan Ks. Tubun
Gambar 3. Kawasan Minggu Raya Banjarbaru (Sumber: Google Earth.)
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 143
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tahap Pra Survei, tahapan ini merupakan tahapan awal untuk menentukan lokasi penelitian dan persiapan alat. Kriteria pemilihan lokasi meliputi pola ruang terbuka yang ada, dominasi elemen (perkerasan atau rumput atau tanah), elemen hard material dan soft material yang ada, luasan area, aktivitas dan kondisi lingkungan sekitar. Ruang-ruang terbuka yang memilki kesamaan ciri dikelompokkan dan dipilih salah satu yang mewakili. Tahap Survei Lapang, pada tahap pengumpulan data dan pengecekan lapang dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan. Pengambilan data suhu material (fluke VT02 Visual Infrared thermometer) dan data suhu serta kelembaban udara relatif lingkungan menggunakan termometer digital. Pengukuran dilakukan setiap 1 jam dimulai dari pukul 07.00 – 18.00 WITA. Data suhu dan kelembaban diperoleh dari beberapa ulangan, pada jam yang sama tetapi berbeda hari. Pengambilan data dilakukan pada saat cuaca cerah. Pengambilan data luasan perkerasan berdasarkan peta dasar yang didelineasi.
Gambar 4. Gambar fluke VT02 Visual Infrared thermometer Sumber: Penulis
Tahap Analisis Data, pada tahap ini data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yang ditentukan berdasarkan gejala perubahan suhu yang terjadi pada tapak. Data suhu, kelembaban nisbi (RH) kemudian ditabulasi atau dibuat grafik untuk melihat rata-rata harian suhu dan RH serta kecenderungannya pada periode pengukuran. Kecenderungan perubahan kedua faktor ini dilihat dari koefisien keragamannya (R2). Rata-rata suhu, kelembaban nisbi (RH) kemudian diuji dengan menggunakan Tests of Between-Subjects Effects untuk melihat pengaruh antara interaksi perubahan suhu, waktu, dan perbedaan area.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Fenomena Termal dan Kelembaban di Lapangan Pada tahap ini data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yang ditentukan berdasarkan gejala perubahan suhu yang terjadi pada tapak. Data suhu, kelembaban nisbi (RH) kemudian ditabulasi atau dibuat grafik untuk melihat rata-rata harian suhu dan RH serta kecenderungannya pada periode pengukuran. Rata-rata suhu, kelembaban nisbi (RH) kemudian diuji dengan meng-gunakan Tests of Between- Subjects Effects untuk melihat pengaruh antara interaksi perubahan suhu, waktu, dan perbedaan area.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
144 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 1. Fenomena Termal dan Kelembaban di Kawasan Minggu Raya Banjarbaru LAP. MURDJANI NO
TMN. VAN DER FIEJL
LAP. KS. TUBUN
JAM
Ratarata T
Ratarata RH
T(°C)
RH (%)
T(°C)
RH (%)
T(°C)
RH (%)
(°C)
(%)
1
07.00
27,4
66,6
27,4
65,4
26,9
69,4
27,2
67,1
2
08.00
30,3
62,3
30,8
58,6
32,9
54,5
31,3
58,5
3
09.00
33,8
49,6
34,2
49,9
36
46,3
34,7
48,6
4
10.00
36,5
38,5
36,2
40,2
37,9
34,8
36,9
37,8
5
11.00
38,3
32,5
40,4
31,1
39,7
29,2
39,5
30,9
6
12.00
39,9
31,6
40,3
31,6
39,6
33,3
39,9
32,2
7
13.00
35,4
39,7
36,5
37,2
40,2
33,1
37,4
36,7
8
14.00
38,3
34,9
38,8
35,6
39,1
32,7
38,7
34,4
9
15.00
34,4
42,6
34,5
45
34,8
43,3
34,6
43,6
10
16.00
35,2
40,5
36,1
44,7
36,6
43,8
36,0
43,0
11
17.00
34,5
47,8
35,1
45,7
34,4
47,9
34,7
47,1
12
18.00
33,6
50,2
33,5
50,4
33,3
52,2
33,5
50,9
34,8
44,7
35,3
44,6
36,0
43,4
35,4
44,2
Rata-rata
LAP. MURDJANI T(°C)
60 LAP. MURDJANI RH (%)
40 20
TMN. VAN DER FIEJL T(°C)
0
TMN. VAN DER FIEJL RH (%)
07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00
°C dan RH
80
Gambar 5. Grafik Temperatur dan Kelembaban di Kawasan Minggu Raya Bajarbaru Sumber: Penulis
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 145
ISBN: 978-602-6483-07-2
80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
Rata-rata T
07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00
Rata-rata RH
Gambar 6. Grafik Temperatur dan Kelembaban Rata-rata Minggu Raya Bajarbaru Sumber: Penulis
Pada Tabel 1 dan 2, menunjukkan bahwa suhu udara pada bagian permukaan bahan memiliki angka jauh lebih tinggi diatas suhu udara, pada mulai pukul 10 s/d 15. Kondisi tersebut, disebabkan sifat bahan yang menyimpan dan meradiasikan kembali panas matahari. Tabel 2. Fenomena Temperatur Bahan Penutup Permukaan di Kawasan Minggu Raya Banjarbaru NO
JAM
ASPAL DI LAP. MURDJANI
PAVING DI TAMAN VAN DER FIEJL
RUMPUT DI LAP. KS. TUBUN
T(°C)
T(°C)
T(°C)
1
07.00
88,1
85,9
78,4
2
08.00
106
95,5
92,2
3
09.00
120,3
111,1
100,5
4
10.00
143,5
130,9
118,9
5
11.00
146,8
137,2
119
6
12.00
152,7
142,5
116
7
13.00
154,2
146,8
121
8
14.00
147,1
116,5
111,4
9
15.00
122,7
115,6
95,3
10
16.00
126,4
120,5
101,3
11
17.00
114,2
109,4
91,3
12
18.00
106,8
104,2
86,8
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
146 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
160 140 ASPAL T(°C)
100
PAVING T(°C)
80
RUMPUT T(°C)
°C
120
18.00
17.00
16.00
15.00
14.00
13.00
12.00
11.00
10.00
09.00
08.00
07.00
60
Gambar 7. Grafik Temperatur Bahan Penutup Tanah di Kawasan Minggu Raya Bajarbaru Sumber: Peneliti
Pada Tabel 1 dan 2, menunjukkan bahwa suhu udara pada bagian permukaan bahan memiliki angka jauh lebih tinggi diatas suhu udara, pada mulai pukul 10 s/d 15. Kondisi tersebut, disebabkan sifat bahan yang menyimpan dan meradiasikan kembali panas matahari. Nampak pada Tabel 2. bahwa suhu permukaan bahan, mencapai puncak pada angka 154,2°C (aspal), 146,8°C (paving) dan 121°C (rumput) terjadi pada pukul 13 siang berdasarkan hasil pengukuran. Sedangkan suhu rata-rata tertinggi terjadi pada jam 12 sebesar 39,9°C terjadi pada jam 12, berdasarkan hasil pengukuran. Rumusan untuk mengitung kenyamanan termis ruang luar di iklim tropis lembab (Sangkertadi & Syafriny R, 2012), yang merupakan persamaan regresi dari fungsi suhu, angin, aktifitas dan ukuran tubuh manusia. Apabila suhu lingkungan ruang luar akibat pemakaian bahan perkerasan dapat diketahui, maka dapat diprediksi tingkat kenyamanan di ruang luar sekitarnya. YJS = -3.4 – 0.36v + 0.04Ta + 0.08 Tg – 0.01HR + 0.96 Adu
(1)
Dimana: YJS : Skala kenyamanan termis bagi aktifitas “jalan normal” (0=nyaman; 1= agak tidak nyaman; 2=tidak nyaman; 3=sangat tidak nyaman; -1=agak dingin) HR: Kelembaban Relatif (%) Ta: Suhu udara (0C) Tg: Suhu radiasi – bola hitam (0C) Adu: Luas kulit tubuh manusia (m2) v: kecepatan angin (m/s)
Selanjutnya dilakukan perhitungan kenyamanan termis dengan menggunakan rumus kenyamanan termis ruang luar secara khusus untuk tipe orang dewasa berjalan kaki, mendapat angin 1 m/s. Rumus yang digunakan adalah rumus skala kenyamanan YJS oleh Sangkertadi (2012). Hasilnya disajikan pada Tabel.3, dan nampak bahwa dari pukul 7 sampai 18, dengan adanya sinar matahari langsung pada bulan November 2015, maka para pejalan kaki di atas aspal, paving dan rumput sudah merasa sangat tidak nyaman dan terasa sakit karena adanya suhu radiasi dari matahari dan ditambah dari pantulan permukaan bahan beton.. Persepsi teoretik tersebut mengarahkan untuk melakukan antisipasi terhadap rancangan arsitektur
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 147
ISBN: 978-602-6483-07-2
ruang luar agar tidak terjadi rasa tidak nyaman yang berlebihan di ruang luar. Salah satu alternatif solusi adalah dengan memberi naungan dari penghijauan pepohonan atau dari bahan buatan tertentu., sedemikian, hingga tidak ada radiasi langsung yang menyentuh tubuh manusia. Sehingga panas radiasi dari permukaan bahan juga tidak terlalu besar dan dapat menurunkan angka skala tidak nyaman. Tabel 3. Hasil perhitungan kenyamanan termis bagi pejalan kaki di ruang luar berbahan perkerasan aspal, paving dan rumput di Kawasan Minggu Raya Banjarbaru. JAM
SKALA KENYAMA NAN
PERSEPSI KENYAMANAN TERMAL PEJALAN KAKI
LAP. MURDJANI
SKALA KENYAMA NAN
PERSEPSI KENYAMANAN TERMAL PEJALAN KAKI
SKALA KENYAMA NAN
TMN. VAN DER FIEJL
PERSEPSI KENYAMANAN TERMAL PEJALAN KAKI
LAP. KS. TUBUN
07.00
5,31
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
5,09
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
4,61
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
08.00
6,61
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
5,66
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
5,27
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
09.00
7,37
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
6,64
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
5,69
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
10.00
8,89
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
7,94
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
6,82
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
11.00
8,98
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
8,17
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
6,66
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
12.00
9,42
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
8,61
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
6,54
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
13.00
9,79
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
9,12
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
6,93
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
14.00
9,07
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
6,65
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
6,15
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
15.00
7,35
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
6,86
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
5,18
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
16.00
7,59
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
7,24
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
5,68
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
17.00
6,83
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
6,38
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
5
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
18.00
6,31
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
6,11
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
4,77
Sangat Tidak Nyaman dan Rasa Sakit
Keterangan : YJS : Skala kenyamanan termis bagi aktifitas “jalan normal” (0=nyaman; 1= agak tidak nyaman; 2=tidak nyaman; 3=sangat tidak nyaman; -1=agak dingin)
4. KESIMPULAN Perubahan suhu udara pada ketiga lokasi menunjukkan kecenderungan semakin meningkat sejak pagi hari (pukul 06.00) hingga mencapai puncaknya pada siang hari (12.00 sampai 14.00). Kemudian suhu kembali menurun seiring berkurangnya intensitas sinar matahari pada sore hari (pukul 18.00). Suhu udara pada area terbuka dengan bahan penutup permukaan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
148 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
tanah aspal dan paving blok memiliki suhu udara rata-rata yang lebih tinggi daripada area rumput. Hal ini disebabkan pada area terbuka terkena radiasi matahari secara langsung. Radiasi matahari langsung akan segera memanaskan permukaan perkerasan dan selanjutnya memanaskan suhu udara di atasnya (karena panas jenis udara lebih rendah daripada aspal dan perkerasan/conblok/paving). Pola perubahan kelembaban udara harian menunjukkan pola yang berkebalikan dengan suhu udara di setiap lokasi. Hal ini karena kelembaban udara dipengaruhi oleh suhu udara bukan sebaliknya. Pada area terbuka, keadaan udara relatif lebih kering karena kapasitas udara untuk menampung uap air semakin tinggi seiring dengan naiknya suhu udara. Peningkatan suhu bahan penutup permukaan tanah dari aspal lebih tinggi daripada paving blok dan rumput, dikarenakan penggunaan bahan penutup tanah yang mempunyai albedo (faktor yang mengukur refleksivitas energi matahari) yang sangat tinggi. Permukaan dengan albedo nol akan menyerap semua radiasi. Sedangkan aspal mempunyai nilai albedo 0,05-0,20, merupakan contoh yang buruk karena aspal akan membuat panas kawasan sekitarnya. Paving dari bahan beton memiliki nilai albedo 0,10-0,35. Sedangkan di lapangan KS. Tubun yang merupakan material alam seperti rumput cenderung memiliki albedo lebih rendah daripada perkerasan buatan seperti beton dan bata yaitu 0,26. Permukaan perkerasan apapun, baik aspal (berwarna gelap) maupun beton (berwarna terang), keduanya tetap beresiko menyebabkan tingginya angka suhu udara dan suhu radiatif. Tingginya suhu radiatif dan besarnya radiasi matahari di ruang luar, menyebabkan rasa tidak nyaman secara signifikan pada pejalan kaki. Pada rancangan ruang luar didaerah beriklim tropis lembab, disarankan diperbanyak penaungan dengan penghijauan untuk memberikan efek pendinginan konfektif dan mengurangi panas radiatif, sehingga dapat meningkatkan rasa nyaman termis bagi pejalan kaki yang melintasinya. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, E.S., Soenarmo, S.H., Mujiasih, S. Kajian Perubahan Distribusi Spasial Suhu Udara Akibat Perubahan Penutup Lahan, Majalah LAPAN No. : 29-44. Boriboonsomsin, K. and Reza, Mix Design and Benefit Evaluation of High Solar Reflectance Concrete for Pavements F. Transportation Research Record, v.2011. Transportation Research Board, Washington D.C., 2007 Branch, M. C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar dan Penjelasan. (Terjemahan). Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hal 307. Coltri, P.P, Ferreira, N.J, Freitas, S., Demetrio, V.A. 2008. Changes In Land Cover And Use Affect The Local And Regional Climate In Piracicaba, Brazil. Journal of Urban and Environmental Engineering, 2(2):68-74. Givoni, B. 1989. Urban Design in Different Climates. WMO/TD 346, World Meteorological Organization, USA. Mc Pherson, E. G. 1994. Cooling Urban Heat Islands with Sustainable Landscape in The Ecological City. University of Massachussets, USA. Naeem Irfan, Adnan Zahoor, Nadeemullah K. 2001. Minimising The Urban Heat Island Effect Through Lanscaping. NED Journal of Architecture and Planning, Vol One, Nov.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 149
ISBN: 978-602-6483-07-2
Nazir, M. 2002. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Oke, T.R. dan H. A. Cleugh. 1989. Suburban-rural energy balance comparisons in summer for Vancouver, B.C. Journal of Boundary-Layer Meteorology, 36:351-369, Springer Netherlands. Sangkertadi, Syafriny R. 2012. Perumusan Kenyamanan Termis Ruang Luar Iklim Tropis Lembab. Laporan Penelitian Fundamental. Universitas Sam Ratulangi. Sulistyantara, B. dan T. Yoritaka. 1995. Study on Characteristics of Green Structure at Urban Area Using the Thermoscape Analysis. Bulletin of Faculty of Horticulture, Chiba University, Japan.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
150 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
PEMBERDAYAAN PELADANG BERPINDAH: KASUS DAYAK MERATUS DAN DAYAK HARAKIT DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Hamdani Fauzi Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru Jl. Jend. Ahmad Yani km. 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714 Email:
[email protected]
ABSTRACT Shifting cultivations (SC) who rely on their livelihood of forest resources are empowerless mainly caused by the low quality of human resources an the pressures of the forest resources utilization which covering the cultivation areas by companies. The study was aimed to formulate a model of the empowerment of SC through extension program. The respondents involved we composed of 36 extension agents and 288 shifting cultivators. Data analysis used the descriptive analysis technique such as Chi Square, Rank Spearman, and Path Analysis. The Study results showed ah: (1) factors related o empowering SC through extension that consisted of 13 variables were low; (2) applications of forestry extension in were not able to empower the SC to realize sustainable forest; (3) the activities needed by SC are he activities, aimed to solved the SC problem, such as (a) he qualified extension about the permanent cultivation, (b) the availability of infrastructure, (c) the insurance for shifting cultivation activities, (d) the availability of specific local technology, (e) production apparatus, (f) production increase, (g) income increase, (h) market, (i) cooperation, (j) capital credit, (k) business development, (l) new business alternative; and (4) the effectively extension model hat might be able to empower the SC is the extension that became their own program and applies (a) a digging finding, and developing science and technology model, (b) interactive/convergent communication, (c) extension substances based on SC need, (d) adult learning process, and (e) community based forest management. Keywords: extension autonomous, empowerment shifting cultivator, cultivator needs, indigenous knowledge
1.
PENDAHULUAN
Pemberdayaan Peladang Berpindah (PB) memusatkan perhatian pada empat isu pokok, yaitu: isu profesionalisme penyuluhan, (2) isu kebutuhan PB, (3) isu pemberdayaan, dan (4) isu pengelolaan hutan lestari. Salah satu penyebab kurang/tidak efektifnya penyuluhan adalah adanya anggapan bahwa penyuluhan dapat dilakukan oleh siapa saja. Adanya anggapan, penyuluhan yang dilakukan oleh seorang penyuluh profesional (isu pertama) dengan tidak profesional akan sama hasilnya, bahkan ada kalangan yang beranggapan bahwa penyuluhan pembangunan tidak perlu dilakukan (Hubies et al., 1994). Dahama dan Bhatnagar (1981) menyatakan bahwa penyuluhan akan efektif bila berorientasi pada
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 151
ISBN: 978-602-6483-07-2
kebutuhan sasaran (isu kedua). Slamet (1994) menyatakan bahwa sebagian besar penyuluhan yang dilakukan selama ini belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan sasaran penyuluhan. Kegiatan penyuluhan sering dimanfaatkan untuk kepentingan poltik dan ekonomi yang berkuasa, sehingga kurang dirasakan manfaatnya dari sisi sasaran penyuluhan (Sumarjo, 2000). Penyuluhan belum mampu meningkatkan keberdayaan (isu ketiga) atau kemandirian, malahan justru meningkatkan ketergantungan. Pengelolaan hutan lestari (isu keempat) selama ini cenderung top down dan mengabaikan kepentingan komnitas lokal (indigeneous community) yang tinggal di kawasan hutan (Sunderlin dan Ida, 1997). Suara mereka tidak terwakili (voicelessness dan powerlessness) dalam proses pengambilan keputusan padahal keputusan yang dihasilkan sangat mempengaruhi kehidupan/kesejahteraan mereka. Aksesibilitas komunitas lokal semakin berkungan pada sumberdaya hutan padahal meeka mempunyai kearifan lokal dan sistem kepercayaan yang potensial mengelola hutan secara lestari. 1.1. Permasalahan Penelitian Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi: (1) tingkat keberdayaan PB?, (2) kualitas penyuluhan memberdayakan PB?, (3) tingkat pemenuhan kebutuhan PB?, (4) kualitas pengelolaan perladangan?, dan (5) bagaimana model penyuluhan yang tepat dan efektif bagi upaya pemberdayaan PB? 1.2. Tujuan Penelitian Mengkaji faktor-faktor determinan yang mempengaruhi (1) tingkat keberdayaan PB, (2) peningkatan kualitas penyuluhan memberdayakan PB, (3) tingkat pemenuhan kebutuhan PB, (4) kualitas pengelolaan perladangan, dan (5) merumuskan model penyuluhan yang tepat dan efektif memberdayakan PB. 2.
METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan penelitian survei. Alat pengumpulan data yang utama adalah kuesioner dan didukung oleh wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah. Penelitian ini dilakukan di dua kabupaten, dan 2 Desa. Responden terdiri atas 6 penyuluh dan 288 PB. Lokasi penelitian dipilih secara acak sederhana berdasarkan wilayah tuas penyuluh dan persabaran responden PB. Data dianalisis dengan teknik analisis deskriftif melalui bantuan Chi Square, Rank Spearman, dan Analisis Jalur. Penelitian dilakukan sejak November 2015 s/d Maret 2016. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Perladangan Berpindah diawala dengan peladang menggunakan Ladang 1 selama 1-2 tahun, kemudian mereka pindah ke Ladang 2, dari Ladang 3, dan seterusnya sampai ke Ladang 6. Akan tetapi, peladang kembali lagi ke Ladang 1 setelah masa bera 4-6 tahun. Ladang bisanya ditanami padi. Disamping tanaman padi, sebagian peladang menanam palawija dan sayur-mayuran. Apabila dang yang sedang diusahakan tidak subur lagi, maka mereka pindah ke ladang lain. Ladang yang ditingkalkan bisanya ditanami dengan tanaman keras seperti karet, kemiri, durian, mangga, dan rotan. Tujuan menanam tanaman keras memiliki tiga fungsi, yaitu: (1) sebagai pertanda bahwa ladang tersebut ada pemiliknya, (2) sebagai sumber penghasilan/jaminan hari tua, dan (3) sebagai sarana memelihara kesuburan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
152 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
lahan. Kondisi hutan dikawasan perladangan sangat berpengaruh terhadap pola perladangan. Pada saat hutan primer masih luas, peladang masih dapat memperluas lahan dan hutan merupakan sumber penghasilan yang penting. Sumber penghasilan dari hasil hutan non-kayu (HHNK) adalah rotan, gaharu, damar, dan madu. 3.1. Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan PB Kualitas penyuluhan memberdayakan PB yang tinggi akan berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan PB, dibanding pengaruhnya secara langsung, apabila didukung oleh kualitas sumberdaya PB yang tinggi dan kekuatan motivasi PB yang tinggi. Kontribusi pengaruh langsung kualitas penyuluhan memberdayakan PB (Y) adalah sebesar 34,6% dan kontribusi pengaruh tidak langsung adalah sebesar 65,4% terhadap tingkat keberdayaan PB (Y2). Upaya peningkatan keberdayaan PB jauh lebih bila didukung oleh kualitas sumberdaya pribadi, kekuatan motivasi, dan tingkat keberdayaan PB dari pada hanya meningkakan kualitas penyuluha memberdayakan PB. 3.2. Faktor-Faktor Determinan yang Mempengaruhi Kualitas Penyuluhan Memberdayakan PB Kualitas sumberdaya pribadi yang tinggi akan berpengaruh makin tinggi terhadap kualitas penyuluhan memberdayakan, dibanding pengaruhnya secara langsung, apabila didukung oleh kualitas sikap profesionalisme penyuluh yang tinggi, kompetensi penyuluh yang tinggi, kekuatan motivasi penyuluh yang tinggi, dan iklim organisasi penyuluhan yang kondusif bagi pelaksanaan penyuluhan. Kualitas sikap profesionalisme penyuluh yang tinggi akan berpengaruh makin tinggi tehadap kualitas penyuluhan memberdayakan, dibanding pengaruhnya secara langsung, apabila didukung oleh kekuatan motivasi penyuluh yang tinggi dan iklim organisasi penyuluhan yang baik. Kompetensi penyuluh yang tinggi akan berpengaruh makin tinggi terhadap kualitas penyuluh memberdayakan, dibanding pengaruhnya secara langsung, apabila didukung oleh kualitas sikap profesionalisme penyuluh yang tinggi dan kekuatan motivasi penyuluh yang tinggi. Iklim organisasi penyuluhan yang baik akan berpengaruh makin baik terhadap kualitas penyuluhan memberdayakan,dibanding pengaruhnya secara langsung, apaila didukung oleh kekuatan motivasi penyuluh yang tinggi. 3.3. Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi Tingkat Pemenuhan Kebutuhan PB Kualitas sumberdaya pribadi PB yang tinggi akan berpengaruh makin tinggi terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan PB, dibanding pengaruhnya secara langsung, apabila didukung oleh kekuatan motivasi PB yang tinggi. Kontribusi pengaruh langsung kualitas sumberdaya pribadi PB (X6) adalah sebesar 77% dan kontribusi pengaruh tidak langsung adalah sebesar 23% terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan PB (X8). Kualitas pendukung keberdayaan PB yang tinggi akan berpengaruh makin tinggi terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan PB dibanding pengaruhnya secara langsung, apabila didukung oleh kekuatan motivasi PB yang tinggi. Kontribusi penaruh langsung kualitas pendukung keberdayaan PB (X9) adalah sebesar 68,6% dan konribusi penaruh tidak langsung adalah sebesar 31,4% terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan PB (X8). 3.4. Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi Kualitas Pengelolaan Perdagangan Masing-masing peubah yaitu: (1) kualitas sumberdaya pribadi PB yang tinggi, (2) kekuatan motivasi PB yang tinggi, (3) tinkat pemenuhan kebutuhan PB yang tinggi, (4) kualitas pendukung keberdayaan pb yang baik, dan (5) kualitas lingkungan eksternal yang baik, akan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 153
ISBN: 978-602-6483-07-2
berpengaruh makin tinggi terhadap kualitas pengelolaan perladangan, dibanding pengaruhnya secara langsung, apabila didukung oleh tingkat keberdayaan PB yang tinggi. Hal ini berarti bahwa keberdayaan PB merupakan faktor kunci bagi peningkatan kualitas pengelolaan perladangan. 3.5. Model Pemberdayaan PB Hasil penelitian menunjukkan bahwa PB memiliki keberdayaan yang rendah (low power) terutama disebabkan (1) kualitas sumberdaya manusianya yang rendah, (2) kebutuhan yang kurang terpenuhi, (3) kondisi eksternal yang kurang baik, (4) kemampuan PB menggunakan kelembagaan sosial, ekonomi, adat, dan politik yang rendah (5) infrastruktur yang kurang memadai, dan (6) kualitas penyuluhan memberdayakan PB yang kurang baii. Kualitas sumberdaya pribadi PB yang rendah dilihat dari (a) status sosial ekonomi, dan (b) kekosmopolitan. Status sosial ekonomi yag buruk tergambar dari (i) jumlah tahun pendidikan yang rendah (35,6% tidak pernah sekolah), (ii) 5% pernah ikut pelatihan, (iii) 90% tidak mampu tulis baca dan (iv) pendapatan rata-rata Rp 460.000 per bulan. Kekosmopolitan yang buruk tergambar dari (i) intensitas perjalanan ke luar desa saru kali/bulan, (ii) pertemuan dengan penyuluh selama 3 bulan sekali, (iii) pertemuan dengan pejabat luar desa sekali 6 bulan, dan (iv) sumber informasi (15% tv/radio, 2% surat kabar, 1% majalah, dan 80% tidak pernah menggunakan). Kebutuhan yang kurang terpenuhi dengan nilai rata-rata sebesar 39,8(pada skala 0-100) meliputi semua jenis kebutuhan PB, yakni: (a) peningkatan pendapatan, (b) peningkatan produksi, (c) pengembangan usaha, (d) permodalan, (e) alternatif usaha, (d) pemasaran, (e) hubungan dengan pihak ketiga, (f) kebutuhan penyuluhan, dan (g) kebutuhan indentitas. Kondisi eksternal tergambar dari buruknya (a) penerapan kebijakan pembangunan pertanian dan kehutanan (b) desakan penggunaan kawasan perladangan dan (c) penerapan kebijakan pembinaan PB. Infrastruktur yang kurang memadai tergambar dari kondisi sarana jalan dan transportasi yang memprihatinkan akibatnya beberapa desa masih relatif terisolasi. Pengelolaan perladangan kondisi kurang baik tergambar dari (a) aspek kognitif tentang ciri biofisik hutan lestari sebesar 41; (b) aspek afektif tenang bifisik hutan lestari sebesar 63,9; (c) aspek psikomotorik tentang biofisik hutan lestari sebesar 47,5; (d) aspek kognitif tentang nilai-nilai kepercayaan sebesar 39; (e) aspek afektif tentang nilai-nilai kepercayaan sebesar 67,7; dan(f) aspek psikomotor tentang nilai-nilai kepercayaan sebesar 43,3. Pada tahap pertama, identifikasi kebutuhan PB dilakukan bersama oleh penyuluh kompeten dengan PB. Pada tahap ini sudah dipetakan kondisi kebutuhan PB, sumberdaya pribadi PB dan motivasi PB. Pada tahap kedua, melalui dukungan organisasi penyuluhan yang otonom, penyuluh kompeten berfungsi sebagai fasilitator mediator dan pemandu proses pembelajaran PB sehingga proses pemberdayaan berlangsung secaa demokratis dan egaliter. PB sehingga proses pemberdayaan berlangsung secaa demokratis dan egaliter. PB sebagai sumber informasi dan berkedudukan sebagai subyek banyak terlibat dalam proes menemukan, menggali, dan mengembangkan IPTEK. Pada tahap ketiga akan terjadi peningkatan keberdayaan PB meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, secara proporsional. Keberdayaan PB akan menghasilkan kemampuan pengelolaan perladangan yang bai, ditandai (a) pendapatan meningkat, (b) kualitas hidup meningkat, dan (c) lingkungan perladangan makin kondusif, dan pengelolaan hutan berbasis komunitas. Keberhasilan program tergantung pada PB, apabila PB menilai hasilnya belum memuaskan maka PB dapat memberikan umpan balik bagi penyempurnaan program pemberdayaan. Pada tahap keempat, merupakan tujuan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
154 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
jangka panjang, akan tercipta (a) masyarakat sejahtera, (b) kearifan lokal membudaya, dan (c) biofisik terpelihara. 4.
KESIMPULAN
Faktor determinan peningkatan keberdayaan PB adalah: (a) kualitas sumberdaya pribadi PB, (b) kekuatan motivasi PB, (c) tingkat pemenuhan kebutuhan PB, (d) kualitas pendukung keberdayaan PB, (c) kualtias lingkungan eksternal PB, dan (f) kualitas penyuluhan memberdayakan PB. Faktor determinan peningkatan kualitas penyuluhan memberdayakan adalah: (a) kualitas sumberdaya pribadi penyuluh, (b) kualitas sikap profesionalisme penyuluh, (c) iklim organisasi penyuluhan, (d) kekuatan motivasi penyuluh, dan (e) kompetensi penyuluh. Faktor determinan peningkatan pemenuhan kebutuhan PB adalah: (a) kualitas sumberdaya pribadi PB, (b) kekuatan motivasi PB, (c) kualitas pendukung keberdayaan PB, dan (d) kualias lingkungan eksternal PB. Faktor determinan peningkatan kualitas pengelolaan perladangan adalah: (a) kualitas sumberdaya pribadi PB, (b) kekuatan motivasi PB, (c) tingkat pemenhan kebutuhan PB, (d) kualitas pendukung keberdayaan PB, (e) kualitas lingkungan eksernal PB, dan (f) tingkat keberdayaan PB. PB mengalami kekurangberdayaan antara lain terlihat dari (a) pendidikan dan jumlah penghasilan yang rendah, (b) dedakan penggunaan lahan perladangan dari perusahaan dan ketiadaan HHNK, (c) tidak adanya alternatif usaha baru, (d) kebutuhan yang diperlukan berkaitan dengan usaha perladangan yang kurang terpenuhi, (e) kemampuan PB menggunakan kelembagaan sosial, ekonomi, adat, dan politik yang rendah, (f) infrastruktur yang buruk, dan (g) penyuluhan yang sudah dilaksanakan masih buruk. Model penyuluhan yang efektif memberdayakan PB adalah penyuluhan merupakan program PB yang menerapkan (a) model menggali, menemukan, dan mengembangkan IPTEK, (d) komunikasi interaktif/konvergen, (c) substansi penyuluhan berbasis kebutuhan PB, (d) proses belajar orang dewasa, dan (e) pengelolaan hutan berbasis komunitas. Pemberdayaan PB akan mencapai hasil optimal apabila didukung oleh (a) penyuluh kehutanan profesional, (b) organisasi pelaksana penyuluhan yang otonom, (c) komitmen pemerintah terhadap pengembangan kualitas penyuluhan, dan (d) pengembangan teknologi tepat guna. DAFTAR PUSTAKA Dhama, O.P., dan O.P. Bhatnagar. 1980. Education and Communication for Development. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Hubies, A.V.S., P. Tjitropranoto, dan W. Ruwiyanto. 1994. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia: Menyongsong Abad XXI. Jakarta: Ditjen Peternakan, Deptan. Slamet, Margono, dan P.S.Asngari. 1969. Penyuluhan Peternakan.Jakarta: Ditjen Peternakan, Deptan. Sumarjo. 2000. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Penyuluhan. Makalah disampaikan dalam Acara Penyegaran Peyuluhan Swadaya Tahun 2000. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan. Sunderlin, W. D. dan I. A. P. Resosudarmo. 1997. Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia:PenelaahanKerancuandanPenyelesaiannya. (http://www.cifor.cgir.org/publications/pdf_files/OccPpaers/OP-091.pdf). (18-03-2016)
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 155
ISBN: 978-602-6483-07-2
ANALISIS PERSEPSI DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN POHON PADA RUANG HIJAU PRIBADI DI PEMUKIMAN BARU DAERAH LOKTABAT UTARA KOTA BANJARBARU Dienny Redha Rahmani1, Wahyunah2, dan Virgina Maria Louisa1 1. Graduate Program of Natural Resources and Environmental Management 2. Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences Lambung Mangkurat University, Banjarbaru, South Kalimantan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Perkembangan pesat area perkotaan memicu perluasan daerah perkotaan ke arah lahan bervegetasi untuk area permukiman. Hal ini mengakibatkan alih fungsi lahan secara besar-besaran yang berdampak negatif pada kualitas ekologis suatu area. Kota Banjarbaru, khususnya kelurahan Loktabat Utara termasuk area pemukiman baru dengan aktivitas pembukaan lahan yang relatif tinggi. Sehingga, perlu dilakukan studi mengenai eksistensi pohon, persepsi dan perilaku yang dihasilkan masyarakat di pemukiman baru, khususnya area pemukiman baru kelurahan Loktabat Utara dengan membagi dua tipe perumahan yaitu komplek dan nonkomplek. Sampel yang dipilih dalam studi ini adalah rumah yang terdapat di pemukiman baru kelurahan Loktabat Utara. Data persepsi dan perilaku masyarakat diperoleh melalui kuesioner. Setiap rumah, diminta satu responden dan dihitung total pohon yang terdapat di ruang hijau pribadinya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara lurus antara tipe permukiman, persepsi, perilaku, keberadaan dan jumlah pohon di ruang hijau pribadi. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan pohon di area pemukiman baru kelurahan Loktabat Utara adalah baik. Masyarakat yang tinggal di area pemukiman baru Kelurahan Loktabat Utara kota Banjarbaru menganggap penting keberadaan pohon yang ditunjukkan melalui perilaku menanam pohon di ruang hijau pribadi miliknya. Kata Kunci: Keberadaan Pohon, Perilaku Masyarakat, Pemukiman Baru, Persepsi Masyarakat, Ruang Hijau Pribadi. ABSTRACT The rapid development of urban areas trigger the expansion of urban areas towards vegetated land for residential. This is resulted a massive land use and negative impact on the ecological quality. Banjarbaru, particularly North Loktabat are largely a new residential area with a relatively large land clearing. It is necessary to do a study on the existence of trees, preferences and behaviors resulting in new residential communities, particularly the new residential areas of North Loktabat area by dividing two types of residential area, complex and nonkomplex. The samples of this study is a home located in a new residential area North Loktabat. Every house, have one respondent and total tree in his private green space. The results indicated there is a straight relationship between the type of resident, perception, behavior of sociaty, existence and nuber of trees in a private green Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
156 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
space. Thus, it can be concluded that people living in new residential areas of north Loktabat area considers important the presence of trees and the need to provide the tree when it is not available in the private green space and in line with the behavior of the community and the presence of trees in a private green space. Keywords : New Resident Area, private green space, Public Behavior, Public Perception, tree existence.
1.
PENDAHULUAN
Perkembangan kota yang sangat pesat memicu pemekaran daerah perkotaan ke arah lahan bervegetasi untuk area permukiman. Hal ini mengakibatkan alih fungsi lahan secara besar-besaran yang berdampak negatif pada kualitas ekologis area tersebut (Rahmani, 2015). kota yang telah memiliki pemukiman yang padat dapat mengakibatkan penurunan ketersediaan ruang hijau sehingga meningkatkan kebutuhan akan ruang hijau sebagai komponen sosial dan kesehatan (Bernardini dan Irvine, 2007). Ruang hijau perlu dipertahankan dan disediakan paling tidak sebagian dari areal pemukiman (Cuninngingham et al., 2005) proporsi area hijau pada wilayah perkotaan adalah minimal sebesar 30% yang terdiri atas 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat. Proporsi tersebut merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota (Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2008). Keberadaan pohon menjadi salah satu tanda utama pola vegetasi yang baik. Oleh karena itu, pekarangan dengan keberadaan pohon yang banyak menjadi parameter seberapa baik pola vegetasi di pemukiman (Rahmani, 2015). Pepohonan di wilayah hunian memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk perkotaan, dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan khusus lainnya (Djaiz & Novian, 2000).
Area hijau pribadi adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Biasanya pekarangan merupakan sebidang tanah di sekitar rumah yang terbatas sering dipagari ada juga yang tidak dipagari, biasanya ditanami dengan beranekaragam jenis ada yang berumur panjang, berumur pendek, menjalar, memanjat, semak, pohon rendah dan tinggi (Irwan, 2008). Oleh karena itu, keberadaan ruang hijau pribadi khususnya eksistensi pohon di dalamnya dan pola pikir dan perilaku masyarakat di area pemukiman baru perlu mendapat perhatian. Sehingga, perlu dilakukan studi mengenai eksistensi pohon, persepsi dan perilaku yang dihasilkan masyarakat di pemukiman baru, khususnya area pemukiman baru kelurahan Loktabat Utara Kota Banjarbaru. 2.
METODE PENELITIAN
Studi ini dilakukan di wilayah pemukiman baru daerah kelurahan Loktabat Utara Kota Banjarbaru. Kelurahan Loktabat Utara dipilih karena banyaknya terdapat pemukiman baru di daerah tersebut. Jenis Pemukiman dibagi menjadi dua segmen yaitu komplek dan nonkomplek. Sampel yang diambil adalah persepsi masyarakat, perilaku masyarakat dan keberadaan pohon di ruang hijau pribadi.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 157
ISBN: 978-602-6483-07-2
2.1 Analisis Tipe Pemukiman dan Keberadaan Pohon Pembagian tipe pemukiman bertujujuan untuk melihat dasar yang mempengaruhi persepsi. Selain itu juga menjadi dasar segmentasi dari keberadaan pohon di ruang hijau pribadi. Seluruh data ditabulasi silang sehingga didapatkan persentase sebaran data secara deskriptif mengenai hubungan antara persepsi, perilaku masyarakat dan keberadaan pohon di ruang hijau pribadi pemukiman baru daerah Loktabat Utara. 2.2 Analisis Antara Persepsi, Perilaku dan Keberadaan Pohon Persepsi dan perilaku masyarakat ditentukan dengan menggunakan perangkat kuisioner. Variabel kuisioner dibagi menjadi dua yaitu variabel Persepsi dan perilaku, sedangkan variabel vegetasinya adalah keberadaan dan jumlah pohon di ruang hijau pribadi. Penentuan sampel untuk kuisoner adalah satu rumah satu renponden. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisis Chi-Square untuk menentukan ada tidaknya pengaruh persepsi terhadap perilaku masyarakat di pemukiman baru kelurahan Loktabat Utara. Rumah yang dijadikan sebagai sampel dicatat keberadaan dan jumlah pohon yang ditemukan di ruang hijau pribadi. Kemudian, dicatat mengenai keberadaan pohon tersebut melalui kuisioner yang dibagikan kepada responden. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisis Chi-Square untuk menentukan ada tidaknya pengaruh antara persepsi masyarakat terhadap keberadaan pohon di ruang hijau pribadi pemukiman baru di daerah Loktabat Utara. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penduduk pemukiman nonkomplek, pada dasarnya memiliki keleluasaan dalam mengatur kondisi vegetasi pekarangannya. Hal ini terkait dengan luas lahan, konsep bangunan, dan berbagai keleluasaan lain yang dimiliki. Sehingga aktivitas penyediaan ruang hijau pribadi di pekarangan dapat dilakukan lebih baik. Sebaliknya, lingkungan komplek yang telah memiliki konsep umum yang disediakan oleh pengembang pemukiman tersebut memiliki keterbatasan dalam hal tersebut (Rahmani, 2015). Pola vegetasi Pemukiman di daerah kecamatan Banjarbaru Utara tergolong baik dan tipe pemukiman dengan pola vegetasi yang paling baik adalah pada wilayah pemukiman nonkomplek (Rahmani, 2015). Penyebabnya adalah kemudahan dan keleluasaan dalam pengelolaan lahan yang berkaitan dengan luas dan kondisi lahan yang dikelola.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
158 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 1. Grafik persepsi masyarakat terhadap keberadaan ruang hijau pribadi berdasarkan tipe pemukiman
Gambar 2. Grafik perilaku masyarakat terhadap keberadaan ruang hijau pribadi berdasarkan tipe pemukiman
Hasil yang diperoleh (Gambar ) menunjukan bahwa baik pada pemukiman komplek maupun nonkomplek, 56,7% masyarakat memiliki persepsi bahwa keberadaan ruang hijau pribadi sangat penting. Hanya 6,7% dari masyarakat di pemukiman komplek yang memiliki menganggap tidak penting keberadaan pohon di ruang hijau pribadi. Sedangkan perilaku masyarakat (Gambar 2) menunjukkan bahwa 50,0% dari tipe nonkomplek dan 63,3% dari tipe komlek menunjukan sikap yang baik terhadap keberadaan ruang hijau pribadi. Bahkan, 40,0% (nonkomplek) dan 20,0% (komplek) menyatakan sikap yang baik terhadap keberadaan ruang hijau pribadi. Persepsi dan perilaku masyarakat di pemukiman baru kelurahan Loktabat Utara mendukung keberadaan ruang hijau pribadi di lahan permukiman. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat semakin baik terhadap kualitas lingkungan. Persepsi dan perilaku pada dasarnya dipengaruhi oleh pendidikan masyarakat. Karena, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pemahaman tentang pentingnya keberadaan ruang hijau
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 159
ISBN: 978-602-6483-07-2
pribadi di lingkungan permukiman, dan sebagian besar tingkat pendidikan masyarakat Banjarbaru utara termasuk Loktabat Utara adalah Sarjana strata 1 dan SMA (Rahmani, 2015).
Gambar 3. Grafik persepsi masyarakt terhadap keberadaan pohon di ruang hijau pribadi
Komposisi vegetasi di pemukiman baru yang terdapat di kelurahan Loktabat Utara didominasi oleh jenis tumbuhan berupa pohon. Keberadaan pohon di pemukiman kelurahan Loktabat Utara dapat dilihat pada Gambar 3. Grafik menunjukkan bahwa 90,0% hunian dari tipe pemukiman nonkomplek terdapat pohon di ruang hijau pribadinya. Hal ini juga ditemukan pada 60,0% hunian dari tipe komplek. Masyarakat pada dasarnya terlihat lebih menyukai pohon karena beberapa alasan yang berkaitan dengan karakteristik dari pohon itu sendiri seperti adanya manfaat yang bisa di ambil dan ukuran dan lebar tajuknya (Rahmani, 2015). Ukuran dari karakteristik pohon menjadi pertimbangan bagi masyarakat terhadap manfaat dan seberapa pentingnya pohon tersebut (The National Tree Savety Group, 2011). Pertimbangan lainya, sebagian besar lingkungan pemukiman khususnya pekarangan di daerah Banjarbaru Utara dominan keberadaan pohon, dan pada umumnya adalah jenis pohon buah terutama mangga (Wahyunah, 2014). Berbagai bentuk dari rekreasi ruang terbuka secara signifikan memiliki pengaruh yang besar terhadap pola hidup perkotaan. Sebagai contoh, perumahan yang berada 30 meter dari ruang terbuka secara persentase lebih banyak terjual dibandingkan dengan daerah yang berada 450 meter dari RTH (Bolitzer & Netusil, 2000). Berdasarkan hal tersebut maka seharusnya pandangan akan keberadaan ruang hijau telah dapat dikatakan baik bagi masyarakat secara umum. Sehingga, seharusnya mempengaruhi pola fikir masyarakat mengenai keberadaan ruang hijau pribadi di lingkungan masing-masing. Selain itu, berdasarkan riset tersebut sebagian masyarakat telah lebih mengutamakan kualitas ekologis lingkungan hunian.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
160 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 4. Grafik persepsi masyarakat terhadap tipe tanaman yang baik untuk ruang hijau pribadi
Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang sangat nyata antara persepsi masyarakat terhadap keberadaan pohon dengan perilaku masyarakat dalam menyediakan dan merawat pohon di ruang hijau pribadi. Gambar 44 menunjukkan bahwa baik hanya pohon maupun digabungkan dengan vegetasi lainnya, keberadaan pohon tetap menjadi pertimbangan dalam pengelolaan ruang hijau pribadi. Diketahui bahwa 10,0% masyarakat yang berada di pemukiman nonkomplek memilih menanam vegetasi jenis semak dan 6,7% yang lebih memilih tanpa tanaman (komplek) untuk ruang hijau pribadinya. Masyarakat Banjarbaru berpendapat bahwa setiap pemukiman harus memiliki paling tidak satu pohon yang tumbuh di pekarangannya serta harus memiliki banyak manfaat seperti menghasilkan buah, menjadi peneduh dan fungsi ekologis lainnya serta nilai ekonomi dan sosial (Krisdianto et al, 2012). Akan tetapi terhadap keberadaan tipe tumbuhan semak masyarakat juga menyatakan bahwa menyukai tipe tumbuhan semak karena memiliki banyak manfaat seperti obat-obatan dan keindahan (Srish et al., 2011). Berdasarkas hasil analisis Chi-Square, Perilaku masyarakat berpengaruh nyata terhadap keberadaan pohon di ruang hijau pribadi. Hal ini dapat dilihat dari grafik (Gambar 5) yang menunjukkan bahwa Pohon menjadi pilihan yang wajib ada, baik untuk vegetasi tunggal maupun vegetasi campuran di ruang hijau pribadi. Meskipun, banyak juga yang memilih untuk vegetasi campuran. Pola vegetasi yang baik mengandung setiap elemen penyusun vegetasi di dalamnya yaitu pohon dan tumbuhan bawah (perdu, semak dan rumput). Semak atau perdu merupakan elemen yang keberadaannya diperlukan dan penting di dalam Ruang Terbuka Hijau (Nugrahini, 2006). Selain itu, tumbuhan bawah memiliki potensi sebagai penyusun vegetasi perkotaan, serta berperan penting dalam terbentuknya iklim mikro di sekitar ruang hijau (Rahmani, 2011). Terbentuknya iklim mikro adalah bukti nyata fungsi penting tumbuhan bawah dalam posisinya sebagai elemen penyusun vegetasi (Ballard et al., 2004). temperatur yang terbentuk di sekitar tumbuhan semak berbanding terbalik dengan kelembaban. Karena pada setiap daerah dengan ketebalan vegetasi semak yang berbeda menunjukan perubahan atau perbedaan kelembaban yang mengakibatkan suhu yang berbeda pula tergantung pada kelembaban udaranya (Rahmani et al., 2016).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 161
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 5. Grafik persepsi masyarakat terhadap tipe tanaman yang dipilih untuk ruang hijau pribadi
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan pohon tidak berpengaruh nyata karena memiliki pengaruh tidak langsung. Yaitu, sesuai dengan hasil analisis data, persepsi memberikan pengaruh pada perilaku sehingga, perilaku masyarakat mengarah pada penyediaan pohon di ruang hijau pribadi masing-masing. Karena, Umumnya persepsi seseorang adalah gambaran dari perilakunya. Sehingga, pada dasarnya bentuk dari suatu pola vegetasi di pekarangan sudah dapat langsung tercermin dari pendapat dan tingkat kesukaannya terhadap pekarangan yang hijau (Rahmani, 2015). Vegetasi pohon tetap menjadi pilihan utama bagi masyarakat sebagai penyusun vegetasi di ruang hijau pribadi karena berbagai keunggulan yang tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh tumbuhan yang hampir serupa seperti semak. Hal mendasar yang menjadi penentu adalah tinggi yang dapat dicapai dan lebar tajuk yang dapat terbentuk. Selebihnya, memiliki buah adalah salah satu alternatif tambahan yang menjadi perimbangan masyarakat. Jenis pohon yang paling dominan di daerah pemukiman Kecamatan Banjarbaru Utara adalah pohon Mangga (Rahmanita, 2012 ; Wahyunah 2014). Selain karena dapat menghasilkan buah, pohon Mangga termasuk pohon yang memiliki kemampuan cukup besar dalam menyerap CO2 (Pentury, 2003). 4.
KESIMPULAN
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan pohon di area pemukiman baru kelurahan Loktabat Utara adalah baik. Masyarakat yang tinggal di area pemukiman baru Kelurahan Loktabat Utara kota Banjarbaru menganggap penting keberadaan pohon yang ditunjukkan melalui perilaku menanam pohon di ruang hijau pribadi miliknya. Selain itu, masyarakat juga berpendapat bahwa perlu menyediakan pohon bila tidak tersedia di ruang hijau pribadi. Persepsi masyarakat di area pemukiman baru tersebut sejalan dengan perilaku masyarakat dan kualitas vegetasi khususnya keberadaan pohon di ruang hijau pribadi. DAFTAR PUSTAKA
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
162 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Ballard D. B., Heather L. W., Christopher A. N. 2004. Northeastern Shrub and Short Tree Identification: A Guide for Right-of-Way Vegetation Management. Eastwood Litho, New York. Bernardini, C. & Irvine, K. N. 2007. The Place of Private Garden and Public Green Space in Sustainable City. Institute of Energy and Sustainable Development, De Montfort University, Leicester. Bolizer & Netusil. 2000. The Impact of Open Space on Property Values in Portland Oregon. Journal of Environmental Management. Cunningham, W.P. Marry A.C., Barbara S. 2005. Environment Science a Global Concern 8th edition. McGraw Hill, New York. Djaiz, E.D. & Novian. 2000. Sebaran Hutan Kota Kodya Bogor Berdasarkan Data LandsatTM, Warta Lapan. Irwan, Z.D. 2008. Eksplorasi Pemanfaatan Pekarangan Secara Konseptual. Harian Kabar Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Krisdianto, Soemarno, Udiansyah, & Bagyo, J. 2012. What Users Said About Urban Green Space: a challange for building the resilient city of Banjarbaru, Indonesia. International Journal of Development and Sustainability, 1:62–86. Nugrahini, P. 2006. Ruang Terbuka Hijau Perkotaan. Fakultas Pertanian UPN “veteran”, Jawa Timur. Pentury, T. 2003. Konstruksi Model Matematika Tangkapan CO2 Pada Tanaman Hutan Kota. Surabaya: Universitas Airlangga Rahmani, D. R. 2011. Potensi Vegetasi Semak di Kelurahan Bangkal, Palam dan Sungai Tiung Kecamatan Cempaka Banjarbaru. Skripsi. Unlam, Banjarbaru. Rahmani, D. R. 2015. Korelasi Karakteristik dan Preferensi Masyarakat Terhadap Pola Vegetasi di Ruang Hijau Pribadi Masyarakat Banjarbaru Utara. Tesis, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Rahmani, D. R., Gunawan, & Peran, S. B. 2016. Variation In Vegetation Cover Of Shrub As A Vegetation Candidate For Green Open Space Component In Cempaka Subdistrict, Banjarbaru. Tropical Wetland Journal. 2 : 42 – 48. Rahmatia, S. P., R. Boedisantoso & H. Joni. 2012. Analisis Kecukupan Ruang Terbuka Hijau Privat Pemukiman Dalam Menyerap CO2 dan Memenuhi Kebutuhan O2 Manusia di Surabaya Utara (Studi Kasus: Kecamatan Kenjeran). Scientific Conference Of Environmental Technology Ix – 2012. Srish, O., C. P. Pokhrel, R. K. P. Yadav. 2011. Plant Diversity In Homegardens And Their Use Value In Two Villages Of Rupandehi District, Western Nepal. Ecological Society (ECOS), Nepal. ECOPRINT 18: 85-90. The National Tree Savety Group. 2011. Common Sense Risk Management of Trees. The Forestry Commission, Edinburg. Wahyunah, 2014. Struktur dan Komposisi Pepohonan di Pekarangan Kecamatan Banjarbaru Utara. Skripsi. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 163
ISBN: 978-602-6483-07-2
FUNGSIONALISASI KATALIS HETEROGEN DARI LIMBAH CANGKANG TELUR DAN TANDAN KOSONG SAWIT Meilana Dharma Putra1, Yuli Ristianingsih2, Rinny Jelita3 dan Iryanti F. Nata4 Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Jend. Achmad Yani Km. 36, Banjarbaru, 70714, Indonesia E-mail:
[email protected] ABSTRAK Biodiesel merupakan salah satu sumber energi alternatif yang potensial diproduksi dari berbagai minyak nabati. Penggunaan minyak jelantah pengganti minyak nabati dapat mengurangi daya saing terhadap pangan. Penggunaan katalis homogen selain meningkatkan biaya pemisahan biodiesel, juga katalis tersebut tidak bisa digunakan ulang bahkan dibuang. Penggunaan katalis heterogen dapat mengatasi permasalahan ini. Katalis heterogen seperti CaO dapat diperoleh dari sumber limbah seperti cangkang telur. Untuk meningkatkan luas permukaan katalis yang dapat meningkatkan yield biodiesel, katalis ditanamkan pada support seperti SiO2. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh konsentrasi NaOH pada proses ekstraksi terhadap silika dari sumber tandan kosong sawit yang dihasilkan, mengetahui pengaruh sumber support katalis terhadap performa katalis heterogen CaO/SiO2, mengetahui karakteristik fisik dan kimia katalis heterogen CaO/SiO2. Katalis CaO/SiO2 yang dihasilkan memperlihatkan potensinya pada penggunaan produksi biodiesel dari minyak jelantah. Karakterisasi hasil dari katalis tersebut yang ditunjukkan dari hasil BET, XRD, FTIR dan SEM memperlihatkan keberadaan CaO dan support silika. Keberadaan support silika meningkatkan luas permukaan dari katalis; sehingga dapat mempercepat laju reaksi. Kata kunci: biodiesel, katalis heterogen, CaO, SiO2, cangkang telur, tandan kosong sawit ABSTRACT Biodiesel is one potential alternative energy source produced from a variety of vegetable oils. The utilization of used cooking oil in substituting vegetable oil may reduce the competitiveness of the food. The use of homogeneous catalysts other than, increase the cost of separation of biodiesel, also cannot be reused even discarded. The use of heterogeneous catalysts can overcome this problem. Heterogeneous catalysts such as CaO can be obtained from waste sources such as eggshell. To increase the surface area of the catalyst that can increase the yield of biodiesel, a catalyst embedded in a support such as SiO2. The purpose of this study was to determine the effect of the concentration of NaOH in the extraction process of the silica from the source of palm empty fruit bunches produced, determine the effect of catalyst support resources for the performance of a heterogeneous catalyst CaO/SiO2, study the physical and chemical characteristics of heterogeneous catalysts CaO/SiO2. The catalyst CaO/SiO2 produced showed its potential in the use of biodiesel production from waste cooking oil. Characterizations of the results of these catalysts shown in the results of BET, XRD, FTIR and SEM showed the presence of CaO and silica support. The existence of a silica support increases the surface area of the catalyst thus accelerating the rate of reaction. Keywords: biodiesel, heterogeneous catalyst, CaO, SiO2, egg shell, palm empty fruit bunches
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
164 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1.
PENDAHULUAN
Kebutuhan energi semakin meningkat bersamaan dengan berkembangnya industri, transportasi dan pertumbuhan manusia. Sumber energi konvensional dari bahan bakar fosil semisal minyak bumi, batubara maupun gas alam cepat atau lambat akan habis ketersediannya. Bahan bakar dari energi terbarukan seperti biodiesel menjadi solusi ketersediaan bahan bakar fosil tersebut. Sumber utama produksi minyak biodiesel adalah minyak nabati seperti minyak kelapa, kedelai, jagung dan lain-lain. Namun, penggunaan bahan baku tersebut sebagai sumber energi menjadi kekhawatiran bersama akan ada daya saingnya didalam memenuhi kebutuhan pangan. Sehingga, beragam penelitan dilakukan untuk memproduksi biodiesel dari beragam limbah seperti minyak goreng bekas (minyak jelantah). Adapun minyak jelantah merupakan bahan baku yang tersedia melimpah dan ekonomis karena berupa limbah. Produksi biodiesel dari minyak jelantah dapat dilakukan dengan menggunakan katalis basa homogen seperti NaOH dan KOH. Namun proses pemurnian produk biodiesel dari katalis homogen tersebut cukup mahal; dan katalis tersebut sulit dipisahkan, sehingga tidak dapat digunakan kembali yang pada akhirnya akan dibuang sebagai limbah dan dapat mencemari lingkungan. Hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan katalis heterogen. Para peneliti saat ini secara masif mengembangkan proses biodiesel menggunakan katalis heterogen. Namun, katalis heterogen secara komersil adalah tidak cukup murah sehingga dibutuhkan pembuatan katalis heterogen dari bahan baku limbah seperti CaO. Katalis CaO didapatkan dari proses kalsinasi dari CaCO3 yang bahan bakunya bisa diperoleh dengan murah dari limbah cangkang telur. Cangkang telur merupakan bahan baku yang potensial karena mengandung CaCO3 sekitar 94%, MgCO3 sekitar 1%, Ca3(PO4)2 sekitar 1% serta bahan-bahan organik sekitar 4%. Namun, katalis CaO memiliki luas permukaan yang kecil berkisar 13 m2/g [1]; disisi lain semakin tinggi luas permukaan katalis menunjukkan semakin tinggi yield biodiesel yang dihasilkan [2]. Untuk mengatasi hal ini, penggunaan support seperti silika pada katalis CaO diusulkan untuk dapat meningkatkan luas permukaan katalis tersebut. Silika dapat diperoleh dari sumber bahan alam seperti tandan kosong sawit. Tandan kosong sawit mengandung kadar silika yang cukup tinggi sekitar 68%. Tandan kosong sawit merupakan limbah perkebunan sawit yang jumlahnya berlimpah di Kalimantan Selatan. Tertanamnya katalis CaO pada support silika diharapkan dapat meningkatkan luas permukaan katalis sehingga meningkatkan yield biodiesel dari bahan baku minyak jelantah. Penelitian ini bertujuan untuk membuat katalis heterogen dari limbah cangkang telur dan tandan kosong sawit. Support silika diekstraksi dari tandan kosong sawit dan kemudian katalis CaO ditanamkan kedalam support silika tersebut melalui proses impregnasi. Katalis yang dihasilkan diharapkan dapat meningkatkan performa dalam memproduksi biodiesel dari limbah minyak jelantah. 2.
METODE PENELITIAN
2.1 Persiapan Katalis Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 165
ISBN: 978-602-6483-07-2
Cangkang telur digerus kemudian dilakukan pencucian sebanyak dua kali untuk menghilangkan kandungan impuritisnya. Cangkang telur tersebut selanjutnya dikeringkan selama 12 jam pada suhu 90oC. Cangkang tersebut digerus hingga halus dan disaring hingga lolos ayakan 400 mesh. 2.2 Persiapan Support Tandan kosong sawit dibersihkan dari kotoran kemudian dikeringkan pada suhu 100oC hingga beratnya konstan. Bahan-bahan tersebut digerus sampai halus dan disaring pada lolosan 20 mesh. Bahan tersebut selanjutnya dikalsinasi pada suhu 700oC selama 4 jam. Bahan yang telah dikalsinasi tersebut sebanyak 10 gram diekstraksi menggunakan larutan NaOH 1 N pada konsentrasi tertentu (7.5%w/w, 10%w/w dan 12.5% w/w) sebanyak 60 mL pada suhu tertentu 80oC selama 60 menit. Pada ekstraksi tersebut silika yang berada dibahan bereaksi dengan larutan NaOH. Filtrat yang dihasilkan ditambahkan larutan HCL 1 N perlahan-lahan hingga pH larutan menjadi 7 sehingga membentuk endapan. Endapan kemudian disaring dan dioven pada suhu 90oC hingga beratnya konstan. 2.3 Pembuatan Katalis Katalis CaO diimpregnasi dengan 4 g support silika 10%w/w perbandingan katalis terhadap support dengan menggunakan akuades 20 mL. Larutan tersebut ditempatkan diatas gelas beker 50 mL dengan menggunakan magnetik stirrer selama 2 jam. Larutan tersebut dioven pada suhu 90oC hingga beratnya konstan. Selanjutnya katalis yang didapat dikalsinasi didalam furnace pada suhu 900oC selama 2 jam. Katalis yang terbentuk ditempatkan kedalam eksikator untuk menjaga kondisi katalis tetap kering. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 menunjukkan hasil XRD katalis CaO/SiO2 hasil dari ekstraksi SiO2 dari tandan kosong sawit menggunakan NaOH 7.5%. Puncak yang menjelaskan keberadaan CaO diperlihatkan pada sudut 2θ sekitar 34o dan 64o [3], adapaun SiO2 ditunjukkan pada kisaran 27o dan 50o [4]. Keberadaan CaCO3 pada peak sekitar 30o [3] menunjukkan bahwa tidak semua CaCO3 terdekomposisi menjadi CaO, hal ini dimungkinkan karena suhu kalsinasi yang masih dikisaran 700oC. Semakin tinggi suhu kalsinasi menjadikan semakin banyak CaO yang terdekomposisi, namun suhu kalsinasi yang sangat tinggi menyebabkan CaO yang terbentuk mengalami dead burned sehingga tidak semua CaO terindentifikasi.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
166 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
250
200
150
100
50
0 10
20
30
40
50
60
70
80
90
Gambar 1. Karakterisasi hasil XRD dari katalis CaO/SiO2
Gambar 2 menununjukkan hasil SEM katalis CaO/SiO2 hasil dari ekstraksi SiO2 dari tandan kosong sawit menggunakan NaOH 7.5%. Gambar 2(a) memperlihatkan struktur katalis CaO seperti sarang lebah dengan permukaan poros sebagaimana diperlihatkan struktur CaO murni tanpa support [5]. Adapun Gambar 2(b) dengan perbesaran 5000 kali memperlihatkan struktur katalis CaO yang terhampar pada support SiO2 yang berbentuk partikel dengan beberapa bagiannya berbentuk poros.
Gambar 2. Karakterisasi hasil SEM dari katalis CaO/SiO2 : (a) perbesaran 2000 X; (b) perbesaran 5000 X
Tabel 1 menunjukkan hasi surface area dari katalis CaO/SiO2 pada penilitian ini dibandingkan dengan CaO murni yang diperoleh secara komersil. CaO secara komersil menunjukkan luas permukaan yang tinggi, hal ini dimungkinkan kemurnian dan perlakuan yang diperoleh. Keberadaan penyangga seharusnya dapat meningkatkan luas permukaan dari katalis [4], namun kecilnya luas permukaan yang diperoleh pada penelitian ini dibandingkan komersil dimungkinkan karena kemurnian dari CaO komersil dan perlakuan khususnya. Sehingga diperlukan uji BET untuk CaO yang diperoleh dari penelitian ini tanpa support.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 167
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 1. Karakterisasi hasil BET dari katalis CaO/SiO2 Surface area (m2/g) 3.00 1.42
Catalyst CaO commercial CaO/SiO2
Reference [5] This work
Gambar 3 menunjukkan hasil karakterisasi FTIR katalis CaO/SiO2. Puncak yang menunjukkan ikatan Si-O ditemukan pada kisaran 456 cm-1 [6], pada hasil FTIR pada katalis CaO/SiO2, ikatan Si-O tersebut ditemukan pada kisaran 490 cm-1. Adapun pucak pada kisaran 900 cm-1 menunjukkan ikatan berupa fasa baru yaitu kalsium silika. Hal ini berarti menunjukkan terjadi ikatan baru dan kuat antara calsium dari cangkang telur dan silika dari tandan kosong sawit. Sehingga, keberadaaan support tidak hanya sebagai penyangga tetapi juga berinteraksi dengan katalis. Gambar 4 menunjukkan hasil ekstraksi silika dari tandan kosong sawit. Semakin besar konsentrasi NaOH menghasilkan ekstrak silika yang semakin besar. Hal ini terlihat dengan peningkatan sebesar sekitar 12% dari penggunaan konsentrasi NaOH sebesar 7,5% menjadi 10%. Karena keberadaan NaOH akan mengikat silika pada tandan kosong sawit yang kemudian akan terendapkan dengan penambahan larutan HCl. Pada konsentrasi NaOH yang lebih tinggi bisa jadi silika yang terekstrak semakin sedikit, hal ini dikarenakan banyaknya pelarut NaOH akan menjadi jenuh disistem sehingga silika yang terkandung dalam tandan kosong sawit sulit untuk terkestrak.
120
100
80
60
40
20
0
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
Gambar 3. Karakterisasi hasil FTIR dari katalis CaO/SiO2
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
168 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 4 Ekstraksi SiO2 dari tandan kosong sawit
4. KESIMPULAN Untuk meningkatkan luas permukaan katalis yang dapat meningkatkan yield biodiesel, katalis ditanamkan pada support seperti SiO2. Katalis CaO/SiO2 yang dihasilkan memperlihatkan potensinya pada penggunaan produksi biodiesel dari minyak jelantah. Karakterisasi hasil dari katalis tersebut yang ditunjukkan hasil BET, XRD, FTIR dan SEM memperlihatkan keberadaan CaO dan support silika. Keberadaan support silika meningkatkan luas permukaan dari katalis; sehingga dapat mempercepat laju reaksi. DAFTAR PUSTAKA M. Kouzu, T. Kasuno, M. Tajika, Y. Sugimoto, S. Yamanaka, J. Hidaka. 2008. Calcium oxide as a solid base catalyst for transesterification of soybean oil and its application to biodiesel production. Fuel, 87:2798-2806. K. Jacobson, R. Gopinath, L.C. Meher, A.K. Dalai. 2008. Solid acid catalyzed biodiesel production from waste cooking oil. Applied Catalysis B: Environmental, 85:86-91. Z. Wei, C. Xu, B. Li. 2009. Application of waste eggshell as low-cost solid catalyst for biodiesel production. Bioresource Technology, 100:2883-2885. M.D. Putra, M.K. Al-Mesfer, A.E. Abasaeed, S.M. Al-Zahrani. 2013. Oxidative dehydrogenation of propane over supported nickel–molybdenum–oxide-based catalysts. Journal of Chemical Engineering of Japan, 46:389–395. S. Niju, K.M. Meera, S. Begum, N. Anantharaman. 2014. Modification of egg shell and its application in biodiesel production. Journal of Saudi Chemical Society, 18:702-706. P.C. Ricci, G. Gulleri, F. Fumagalli, C.M. Carbonaro, R. Corpino. 2013. Optical characterization of polysilazane based silica thin films on silicon substrates. Appl. Surf. Sci., 265:470-474.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 169
ISBN: 978-602-6483-07-2
PENGOPTIMUMAN RUTE PENGANGKUTAN SAMPAH DI KABUPATEN TAPIN DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) Rahmad Fajar1, Rd. Indah Nirtha N2, M. Firmansyah3 1. Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 36, Banjarbaru, 70714, Indonesia 2. Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 36, Banjarbaru, 70714, Indonesia E-mail:
[email protected] ABSTRAK Timbulan sampah di Kabupaten Tapin 89,565 M3/hari. Kabupaten Tapin mempunyai 20 TPS dengan jumlah truk pengangkut sampah 12 buah. Sampah yang terangkut hanya 65 M3/hari. Sehingga perlu pengoptimuman rute pengangkutan sampah agar pengangkutan lebih cepat, biaya lebih murah, penambahan ritasi dan timbulan sampah dapat terangkut semua. Faktor yang mempengaruhi pengangkutan sampah yaitu : jarak rute, lebar jalan, kondisi jalan, kepadatan penduduk disepanjang rute dan kepadatan pengguna jalan. Permasalahan pemilihan rute pengangkutan sampah dapat diselesaikan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dapat menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi di permukaan bumi. Pemilihan rute optimum pengangkutan sampah di Kabupaten Tapin menggunakan SIG dapat memperpendek jarak 181,36 Km, mempercepat waktu 705 menit, biaya lebih murah Rp 122.880,00 perhari dari perbandingan jumlah semua jarak, waktu dan biaya rute optimum dengan rute eksisting. Kata kunci : Pengangkutan sampah, rute optimal, Sistem Informasi Geografis (SIG) ABSTRACK The trash heaps in Tapin are 89.565 M3/day. Tapin district has 20 bin with 12 of trash trucks. trash transported only 65 M3/day. So that, need to optimize the transport route for faster transport, lower cost, addition of transport and all of the trash heaps can be transported. Factors affecting of trash transport, namely: distance routes, wide of the roads, the road conditions, the load of population along the route and the load of traffic. The problems of route selection the transporting trash can be solved by using Geographic Information System (GIS) that can display data related to the positions on the surface of the earth. Selection of the optimal route of transporting trash in Tapin district using GIS can shorten the distance of 181.36 Km, accelerate time to 705 minutes at a lower cost Rp 122.880,00 per day from the comparison of all the distance, time and cost of existing routes optimum route. Keywords: Transportation of trash, the optimal route, Geographic Information Systems (GIS)
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
170 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1.
PENDAHULUAN
Pelayanan pengangkutan sampah memang sulit untuk mengangkut 100% sampah, karena disebabkan padatnya penduduk, jumlah TPS sangat banyak, kurangnya jumlah armada pengangkutan sampah, banyak hambatan dalam rute pengangkutan sehingga pengangkutan menjadi lambat. Hal yang terpenting dalam perbaikkan sistem pengangkutan sampah adalah rute dan jadwal pengangkutan sampah yang efesien. Berbagai metode dalam pengangkutan sampah contohnya seperti dalam penelitian Arinalhaq (2013) menggunakan Metode Nearest Neighbour dengan perhitungan algoritma, penelitian Lestari (2013) menggunakan metode Algoritma Koloni Semut (Ant Colony Optimization), penelitian Ratri (2012) menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan berbagai metode lainnya tergantung keadaan eksisting daerah masing-masing. Kabupaten Tapin dalam hal ini juga mengalami permasalahan pengangkutan sampah yang saat ini belum optimum. Salah satu masalah pokok pengangkutan sampah yaitu pemilihan rute pengangkutan yang tidak menetap karena petugas pengangkut sampah masih belum menentukan rute tercepat, sehingga rute yang diambil belum optimal. Hal ini membuat pengosongan TPS menjadi lambat dan pengangkutan tidak tepat waktu yang menjadi penyebab ada keluhan masyarakat seperti bau di jalanan saat pengangkutan sampah yang memasuki jam keramaian pagi. Kabupaten Tapin mempunyai 12 truk pengangkut sampah yaitu 5 armrool truck dan 7 dump truck sampah. Adapun jumlah TPS yang diangkaut oleh truk sampah yaitu 8 TPS kontainer dan 12 TPS batu bata / beton. Berdasarkan data Dinas Tata Kota dan Kebersihan Kabupaten Tapin timbulan sampah yaitu 89,656 M3/hari dan yang dapat terangkut hanya 65 M3/hari. Penelitian ini dilakukan dengan mengaplikasikan sistem informasi geografis dalam pengoptimuman rute pengangkutan sampah di kabupaten Tapin. Selain itu di Kabupaten Tapin ada jalan-jalan bekas pengangkutan batu bara yg menuju ke TPA dan itu dapat dimanfaatkan dalam pengotimuman pengangkutan sampah. Pengoptimuman ini di harapkan pengangkutan menjadi lebih cepat dan biaya relatif murah. Agar mengurangi permasalahan persampahan di Kabupaten Tapin dalam pengangkutan. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Wulandari D (2015), sampah padat adalah semua barang sisa yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dan binatang yang secara normal padat dan dibuang ketika tak dikehendaki atau sia-sia. Sampah adalah limbah yang berbentuk padat dan juga setengah padat, dari bahan organik dan atau anorganik, baik benda logam maupun benda bukan logam, yang dapat terbakar dan yang tidak dapat terbakar. Potensi sampah juga masih belum banyak diketahui oleh masyarakat yang sebenarnya merupakan potensi usaha bagi masyarakat dengan pengolahan yang tepat guna sesuai potensi dan kegunaan masyarakat (Kharisma, 2013). Keadaan ini diperburuk oleh perilaku sebagian masyarakat yang masih menjadikan sungai dan pinggir pantai sebagai tempat favorit untuk membuang sampah, sehingga tentu saja akan mencemari sungai/lingkungan (Darmawan, 2014). Menurut Mohamad dkk (2012) masalah sampah dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu faktor pengetahuan, kebiasaan, geografis, dan ekonomi. Oleh karenanya intervensi promosi kesehatan menggunakan gabungan beberapa metode. Menurut Setyowati (2013) dalam penelitiannya mengatakan bahwa sebagian besar ibu rumah tangga (60,8%) mempunyai perilaku tidak baik, yang menunjukkan bahwa kurang
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 171
ISBN: 978-602-6483-07-2
kesadaran dalam diri mereka untuk berperilaku sehat. Pendidikan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat sangat kurang sehingga memengaruhi perilaku. Menurut Munas (2011) agar peran serta masyarakat dapat optimal hendaknya masyarakat telah mengelola sampah di rumah masing-masing dengan cara mengemas sampah dan memisahkan antara sampah basah dan kering atau sampah organik dan anorganik, sehingga petugas pengumpul dari segi waktu lebih efisien. Menurut Pramono (2008:5), proses pengumpulan sampah dapat dilakukan dengan sistem door to door, pick up the container atau partisipasi masyarakat. Sistem door to door adalah sistem pengumpulan yang langsung datang dari satu rumah ke rumah lainnya dengan mengetuk pintu dan penghuni rumah langsung menyambutnya dengan membawa bungkusan sampah. Sedangkan sistem pick up the container adalah sistem pengumpulan sampah dengan mengambil sampah yang berada di tempat sampah depan rumah. Menurut Aronoff dalam Prahasta (2002:55). Sistem Informasi Geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Sistem Informasi Geografis merupakan sistem komputer yang bereferensi geografi: masukan, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi data, serta keluaran. Sistem Informasi Geografis merupakan sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang terefensi secara spasial atau koordinat-koordinat geografi. Sistem Informasi Geografis merupakan sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang tereferensi secara geografis berikut sekumpulan operasi-operasi yang mengelola data tersebut (Prahasta, 2002:55). Manfaat GIS dalam bidang industri contohnya mempermudah penyajian informasi perkembangan industri maka dibutuhkan suatu teknologi yang lebih mudah dipahami yaitu melalui Tabel dan gambar teknologi ini sering dikenal dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Teknik SIG sangat berguna untuk studi pemilihan lokasi karena kemampuan yang sangat baik dalam menyimpan, menganalisis dan menampilkan data spasial sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pengguna (Setiaji, 2012). 3.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2016 di Kabupaten Tapin untuk mendapatkan kondisi sekarang. Adapun bahan dan alat yang dalam penlitian ini yaitu : Software ArcGIS dan Software Google Earth, Data primer (rute pengangkutan, kondisi jalan, jalan tanjakan, waktu yang dibutuhkan dalam pengangkutan, letak TPS, jumlah armada, sistem pengangkutan) di Kabupaten Tapin, Data sekunder (gambaran umum pengelolaan sampah, demografis, peta administrasi, peta jalan) di Kabupaten Tapin, laptop, kendaraan, mobil, GPS, stopwatch dan alat tulis. Prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Membuat izin pada dinas terkait dalam melakukan penelitian lapangan untuk mendapatkan kodisi sekarang dan meminta peta jalan Kabupaten Tapin. 2. Menginstal software ArcGIS dan Software Google Earth. 3. Melakukan pengiringan truk sampah 1 truk satu hari menggunakan kendaraan, memperkirakan waktu tempuh menggunakan stopwatch dan menentukan titik TPS menggunakan GPS.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
172 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
4. Memasukkan data dari GPS ke dalam Software Google Earth sehingga didapat rute kondisi sekarang, titik TPS dan dapat diketahui jarak rute serta kepadatan rumah di sepanjang rute. 5. Membuat rute optimum secara manual di Software Google Earth dengan memanfaatkan jalan tambang dan jalan yang kepadatan penduduk serta penggunanya sedikit. 6. Menyimpan rute kondisi sekarang dan rute optimum yang ada dalam Software Google Earth ke dalam folder dengan format (.kml). 7. Mencek keadaan rute optimum menggunakan mobil dan memperkirakan waktu tempuh. 8. Mencatat plat nomer truk, nama sopir truk, jumlah pemuat, nama TPS, jenis truk, pukul berangkat dari pool truk, pukul sampai ke pool truk, rute yang di lalui, status jalan, lebar jalan, kondisi jalan, kepadatan rumah di pinggir jalan, kepadatan pengguna jalan, kecepatan truk (Km/Jam), jumlah ritasi, waktu memuat, waktu di perjalanan dan jarak pengangkutan di lembar penelitian. 9. Memasukkan peta jalan Kab. Tapin ke dalam Software ArcGIS. 10. Memasukkan rute kondisi sekarang dan rute optimum ke dalam Software ArcGIS menggunakan toolboxes (kml to layer) dan membuat legenda peta. 11. Membuat pembahasan dari rute kondisi sekarang dan rute optimum. 12. Menghitung konsumsi BBM dan biaya BBM. Konsumsi BBM =
Jumlah Jarak Jarak per 1 L BBM
Biaya BBM = Konsumsi BBM × Harga BBM 1 L 13. Membandingkan jarak, waktu tempuh, konsumsi BBM dan biaya BBM dari rute kondisi sekarang dan rute optimum dalam bentuk tabel. 14. Menganalisis truk yang dapat melakukan penambahan rute dengan memilih truk yang jam kerjanya lebih cepat dan memilih TPS yang sampahnya banyak yang terangkut. 15. Menganalisis biaya penambahan ritasi. 16. Membuat kesimpulan. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengangkutan sampah dari TPS ke TPA di Kabupaten Tapin di layani 12 truk pengangkut sampah dengan jenis 7 dump truck dan 5 armroll truck yang mengangkut di 20 TPS. Setiap truk dapat mengangkut 5 m3 dengan 11 truk 1 kali ritasi dan 1 truk 2 kali ritasi perharinya, dengan demikian semua truk sampah mengangkut 65 m3 perharinya. Berdasarkan data Dinas Tata Kota dan Kebersihan Kabupaten Tapin pada tahun 2015 timbulan sampah di TPS mencapai 89,658 m3 perhari dan terus akan meningkat meningkat setiap tahunnya. Angka ini menunjukkan bahwa timbulan sampah yang tidak terangkut sebanyak 24,658 m3 perharinya. Sehingga perlu upaya penambahan ritasi untuk setiap truk agar timbulan sampah yang semakin meningkat dapat terangkut semua. Konsumsi BBM (solar) untuk truk diasumsikan 1 liter dapat menempuh jarak 7 Km. Asumsi ini berdasarkan penelitian sebelumnya dengan judul Optimasi Rute Pengangkutan Sampah Kota Banjarbaru Dengan Sistem Informasi Geografis (Ratri, 2012) dan pendapat sopir truk pengangkut sampah Kabupaten Tapin (Arifin dkk, 2016). Pembelian BBM untuk truk pengangkut sampah di Kabupaten Tapin dibeli dari eceran dengan harga Rp 6.000,00/Liter.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 173
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 1. Salah satu rute jalan pengangkutan sampah di Kabupaten Tapin Sumber : hasil penelitian juni-juli 2016
Berikut adalah tabel perbandingan jarak dan tabel perbandingan biaya BBM antara rute pengangkutan sampah kondisi sekarang dengan rute pengangkutan sampah optimum di Kabupaten Tapin : Tabel 1. Perbandingan jarak rute kondisi sekarang dengan rute optimum
No.
Nomor Truk dan Rute
1. 2.
Truk 1 Truk 2 - Rute A - Rute B Truk 3 Truk 4 Truk 5 Truk 6 Truk 7 - Rute A - Rute B Truk 8 Truk 9 Truk 10 Truk 11 - Rute A - Rute B - Rute C
3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11.
12.
Jarak (Km) Kondisi Optimum Sekarang 45,9 36,9
Selisih (Km) 9
51,7 46,6 73 72 47,1 47,9
42,4 37,8 54,3 47,4 38,4 38,7
9,3 8,8 18,7 26,2 8,7 9,2
47,3 48 47,1 45 50,3
38,4 39 38,1 36 41,3
8,9 9 9 9 9
55,8 47,1 45,4
44,8 38,2 36
11 8,9 9,4
Truk 12
65,2
47,94
17,26
Jumlah
835,4
655,64
181,36
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
174 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Dari jumlah semua rute, jarak pengangkutan sampah rute optimum lebih pendek 181,36 Km dibandingkan jarak pengangkutan sampah rute kondisi sekarang. Tabel 2. Perbandingan Biaya BBM rute kondisi sekarang dengan rute optimum
No
Nomor Truk dan Rute
1. 2.
Truk 1 Truk 2 - Rute A - Rute B Truk 3 Truk 4 Truk 5 Truk 6 Truk 7 - Rute A - Rute B Truk 8 Truk 9 Truk 10 Truk 11 - Rute A - Rute B - Rute C Truk 12 Jumlah
3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11.
12.
Biaya BBM (Rp) Kondisi Optimum Sekarang 39.360 31.620
Selisih (Rp) 7.740
44.280 39.960 62.580 61.680 40.380 41.040
36.360 32.400 46.560 40.620 32.880 33.180
7.920 7.560 16.020 21.060 7.500 7.860
40.560 41.160 40.380 38.580 43.140
32.880 33.420 32.640 30.840 35.400
7.680 7.740 7.740 7.740 7.740
47.820 40.380 38.940 55.860 716.100
38.400 32.700 30.840 41.100 561.840
9.420 7.680 8.100 14.760 154.260
Dari jumlah semua rute, biaya BBM pengangkutan sampah rute optimum lebih hemat Rp 154.260,00 dibandingkan jarak pengangkutan sampah rute kondisi sekarang. Penghematan BBM perharinya yaitu Rp 122.880,00. Timbulan sampah di Kabupaten Tapin pada tahun 2015 mencapai 89,658 m3 perhari. Sedangkan timbulan sampah yang terangkut hanya 65 m3 perhari, jadi ada 24,658 m3 sampah yang belum terangkut perharinya. setiap truk dapat mengangkut 5 m3 sampah dalam sekali ritasi, maka diperlukan penambahan ritasi sebanyak 5 ritasi agar dapat terangkut semua. Truktruk yang diperuntukkan dalam penambahan ritasi yaitu : a. Truk 6 Truk dengan jenis dump ritasi pertama mengangkut sampah di TPS Terminal Cangkring dan TPS SMP 2 Rantau. Penambahan ritasi kedua yaitu mengangkut sampah di TPS Terminal Cangkring. Biaya konsumsi BBM dari penambahan ritasi sebesar Rp 32.640.00. Biaya total 2 kali ritasi sebesar Rp 65.820,00. b. Truk 7 Truk dengan jenis armroll ritasi pertama mengangkut sampah di TPS Pulau Kutil (Rute A) dan mengangkut sampah di TPS Mandarahan (Rute B). Penambahan ritasi kedua
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 175
ISBN: 978-602-6483-07-2
yaitu mengangkut sampah di TPS Pulau Kutil. Biaya konsumsi BBM dari penambahan ritasi sebesar Rp 32.880.00. Biaya total 2 kali ritasi sebesar Rp 65.760,00 untuk rute A dan Rp 66.300,00 untuk rute B. c. Truk 8 Truk dengan jenis armroll ritasi pertama mengangkut sampah di TPS Pasar Keraton. Penambahan ritasi kedua yaitu mengangkut sampah di TPS Pasar Keraton lagi. Biaya konsumsi BBM dari penambahan ritasi sebesar Rp 32.640.00. Biaya total 2 kali ritasi sebesar Rp 65.280,00. d. Truk 11 Truk dengan jenis armroll ritasi pertama mengangkut sampah di TPS Kulur (Rute A), mengangkut sampah di TPS Pasar Keraton (Rute B) dan mengangkut sampah di TPS Assuniyah. Penambahan ritasi kedua yaitu mengangkut sampah di TPS Pasar Keraton. Biaya konsumsi BBM dari penambahan ritasi sebesar Rp 32.640.00. Biaya total 2 kali ritasi sebesar Rp 71.040,00 untuk rute A, sebesar Rp 65.340,00 untuk rute B dan sebesar Rp 46.320,00 untuk rute C. e. Truk 12 Truk dengan jenis armroll ritasi pertama mengangkut sampah di TPS Pasar Pasar Binuang. Penambahan ritasi kedua yaitu mengangkut sampah di TPS Pasar Binuang lagi. Biaya konsumsi BBM dari penambahan ritasi sebesar Rp 36.000.00. Biaya total 2 kali ritasi sebesar Rp 77.100,00. Dari hasil penelitian dan pembahasan biaya pengangkutan sampah di Kabupaten tapin untuk rute kondisi sekarang sebesar Rp 556.260,00 perhari dengan sampah yang hanya terangkut 65 m3, biaya untuk rute optimum sebesar Rp 433.020,00 perhari dengan sampah yang hanya terangkut 65 m3, sedangkan biaya rute optimum dengan penambahan 5 ritasi yaitu sebesar Rp 599.820,00 perhari dengan sampah terangkut sebanyak 90 m3. 5.
KESIMPULAN
Dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) kita dapat mengoptimalkan pengangkutan sampah yang sangat bermanfaat dalam meminimkan jarak tempuh, waktu tempuh, biaya dan kepadatan penduduk yang dilalui truk pengangkut sampah. Rute optimum ini dapat menghemat biaya konsumsi BBM sebesar Rp 122.880,00 perharinya dari rute kondisi sekarang dengan sampah yang terangkut hanya 65 m3. Biaya agar sampah terangkut semua dengan penambahan ritasi sebanyak 5 ritasi yaitu sebesar Rp 599.820,00 perhari. DAFTAR PUSTAKA Arinalhaq Fatharani. 2013. Penentuan Rute Kendaraan Pengangkutan Sampah dengan Menggunakan Metode Nearest Neighbour (Studi Kasus PD Kebersihan Kota Bandung). Jurnal Online Institut Teknologi Nasional, 1(1). ISSN: 2338-5081 Arifin, dkk. 2016. Staf Dinas Tata Kota dan Kebersihan Kabupaten Tapin. Tapin. BPS. 2015. Kabupaten Tapin Dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapin. Rantau. Darmawan Awan. 2014. Perilaku Masyarakat dalam Mengelola Sampah di Kota Bima Nusa Tenggara Barat. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 10(2):175-186.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
176 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Kharisma Tri. 2013. Peran Pemerintah Boyolali Dalam Pengelolaan Sampah Lingkungan Permukiman Perkotaan (Studi Kasus: Perumahan Bumi Singkil Permai). Jurnal Wilayah Dan Lingkungan, 1(1):1-16. Lestari Himmawati, Sari Eminugroho. 2013. Penerapan Algoritma Koloni Semut Untuk Optimisasi Rute Distribusi Pengangkutan Sampah Di Kota Yogyakarta. Jurnal Sains Dasar 2013, 2(1):13 – 19. Mohamad Fatmawati, Cakrawartana Dharma, Kusnawati Endang. 2012. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Di Dukuh Mrican Sleman Yogyakarta. Jurnal Health & Sport, 5(3). Munas Bambang. 2011. Model Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dan Penguatan Sinergi Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12(2):239-256. Pramono, Sigit Setyo. 2008. Studi Sistem pengumpulan Sampah Perkotaan di Indonesia. Repository. gunadarma. ac. id. Jakarta. Didownload dari: http://repository.gunadarma.ac.id:8000/558/1/Studi_Sistem_Pengumpulan_Sampah_di_ Indonesia.pdf. Pada tanggal: 11 Februari 2016. Prahasta, Eddy. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung. Ratri. 2012. Optimasi Rute Pengangkutan Sampah Kota Banjarbaru Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Universitas Lambung Mangkuat. Banjarbaru. Setyowati Ririn. 2013. Pengetahuan dan Perilaku Ibu Rumah Tangga dalam Pengelolaan Sampah Plastik. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 7(12). Setiaji Pratomo. 2012. Sistem Informasi Geografis Industri Di Kabupaten Kudus. ISBN 979 26 - 0255 - 2012. Universitas Muria Kudus. Semarang. Wulandari D. 2015. Sistem Optimasi Rute Terpendek Pengangkutan Sampah di Surabaya Menggunakan Ant Colony Optimization (Aco). Universitas Jember. Jember.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 177
ISBN: 978-602-6483-07-2
PENGARUH PEMBERIAN BAHAN ORGANIK CAMPURAN PADA SISTEM RESAPAN BIOPORI MODIFIKASI TERHADAP SIFAT CORGANIK DAN KAPASITAS TUKAR KATION (KTK) TANAH SEBAGAI TEKNIK KONSERVASI TANAH Fitriani1, Rd. Indah Nirtha NNPS2, Fakhrur Razie3 1. Mahasiswi Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, ULM 2. Dosen Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, ULM 3. Dosen Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, ULM Jl. A. Yani Km 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714, Indonesia E-mail:
[email protected] ABSTRAK Penggunaan lahan untuk perkebunan salah satunya perkebunan karet dapat menurunkan kualitas kimia tanah sehingga diperlukan upaya konservasi tanah. Salah satu upaya konnservasi tanah yaitu membuat lubang resapan biopori yang diisi bahan organik. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian bahan organik campuran pada lubang resapan biopori modifikasi terhadap perubahan sifat kimia tanah meliputi C-Organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) sebagai teknik konservasi tanah di perkebunan karet. Bahan organik yang digunakan berupa pupuk kompos dan daun kering. Penelitian ini dilakukan di lapangan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 pemberian bahan organik variasi komposisi campuran dari bahan organiknya dan masing-masing 4 kali ulangan, dan variasi lama inkubasi bahan organik terdiri atas 20 hari dan 30 hari. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata antara masing-masing pemberian bahan organik baik itu lama inkubasi 20 hari maupun 30 hari pada perubahan C-organik dan KTK dan berbeda nyata antara lama inkubasi 20 hari dan 30 hari pada perubahan C-organik dan KTK. Kata Kunci : konservasi tanah, biopori, bahan organik, C-organik, KTK. ABSTRACT The use of land for plantations, one of which is rubber plantation can reduce the chemical quality of soil, so needed to conserve the soil. One of the efforts is to make biopori absorption holes and filled with organic material. The purpose of this research was to determine the effect of organic matter mixed in modified of biopori absorption holes to the changes of some chemical characteristic of the soil is C-organic and Cation Exchange Capacity (CEC) as soil conserve technique in rubber plantation. The organic materials used in the form of compost and dry leaves. This research was conducted in the field using a Randomized Block Design (RBD) with 6 treatments composition varieties of the mixture of the organic materials and each of 4 replications, and the variations of organic materials long incubation is 20 days and 30 days. The results showed a no real effect between the organic matter in the long incubation of 20 days and 30 days on the changes of C-organic and CEC and there are significant differences value between the long incubation of 20 days and 30 days on the changes of C-organic and CEC. Keywords: soil conservation, biopori, organic materials, C-organic, CEC. Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
178 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1.
PENDAHULUAN
Penggunaan lahan untuk perkebunan seperti tanaman karet, salah satu perkebunan monokultur dapat menyebabkan timbulnya berbagai dampak negatif, salah satunya terganggunya ekosistem tanah dengan hilangnya biodiversitas di lahan tersebut. Penggunaan lahan untuk perkebunan ini juga menyebabkan berubahnya sifat-sifat tanah seperti rusaknya struktur tanah, penurunan porositas tanah, kemudian diikuti penurunan laju infiltrasi dan peningkatan limpasan permukaan yang menyebabkan terjadinya erosi (Junedi, 2010). Selanjutnya, terjadinya erosi dapat menyebabkan penurunan kualitas tanah dengan menipisnya lapisan tanah atasan yang subur, berkurangnya kadar bahan organik tanah dan minimnya kandungan hara-hara makro dan mikro (Tolohula, 2014). Salah satu upaya konservasi tanah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah adalah sistem lubang resapan biopori. Brata (2008) pada penelitian Victorianto (2014) mengungkapkan bahwa pembuatan lubang resapan biopori memiliki manfaat yaitu meresapkan air dari aliran permukaan sehingga dapat mencegah banjir, menambah cadangan air tanah, mengatasi kekeringan dengan menyimpan air di bawah tanah, mempermudah penanganan sampah organik sehingga menjadi alternatif pemanfaatan limbah untuk menjaga kebersihan, mengatasi masalah karena genangan dan memperbaiki ekosistem tanah. Lubang resapan biopori juga berperan sebagai media yang dapat mempercepat proses penyebaran bahan organik ke dalam tanah dengan bantuan organisme. Pemberian bahan organik ke dalam tanah dapat menjaga dan meningkatkan unsur hara pada tanah. Hasil penelitian Maharany (2011) menunjukkan adanya pengaruh biopori berisi bahan organik serasah terhadap peningkatan kapasitas tukar kation (KTK) dan C-organik tanah. Nilai KTK tanah disekitar biopori dan tanpa biopori menunjukkan angka yang nyata, yaitu di sekitar biopori sebesar 6,08 me/ 100 gr dan tanpa biopori sebesar 4,11 me/ 100 g. Begitu pula pada C-organik, nilai C-organik tanah dengan biopori sebesar 3,49% dan tanpa biopori sebesar 0,65 %. Penelitian ini dilakukan pembuatan lubang resapan biopori yang dimodifikasi sistem keranjang dan diisi bahan organik campuran untuk mengetahui pengaruh pemberian bahan organik dan lama inkubasinya terhadap perubahan kualitas kimia tanah yang meliputi variabel C-organik dan (KTK) pada tanah di bawah vegetasi karet. Keranjang pada lubang resapan biopori ini berfungsi untuk meningkatkan tangkapan air dan memperbesar daya resap air serta sebagai wadah pemnyimpanan bahan organik dan memperbesar sebaran bahan organik ke dalam tanah..Bahan organik yang digunakan adalah pupuk kompos dan daun kering yang dikombinasikan dengan berbagai perbandingan jumlah. Penelitian ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembalikan atau meningkatkan kesuburan tanah yang diukur berdasarkan variabel C-organik dan KTK Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan informasi tentang teknik konservasi tanah yang mudah, ekonomis dan ramah lingkungan menggunakan teknik biopori dengan pemberian bahan organik sebagai upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 179
ISBN: 978-602-6483-07-2
2.
METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun ULM Puspitek Agripeka, terletak di Sungai Riam, Pelaihari, Kalimantan Selatan pada bulan Mei 2016 sampai dengan Agustus 2016. Analisis sifat tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian ULM. Adapun variabel pengamatan terdiri atas C-organik dan KTK. 2.2 Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan antara lain bor tanah, sekop, cangkul, meteran, timbangan, gunting, dan alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan antara lain tanah di kebun ULM Puspitek Agripeka, serasah daun kering, pupuk kompos kertas label dan plastik klip. 2.3 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental, dilakukan di lapangan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari 6 perlakuan dan 4 kali pengulangan. Lubang resapan biopori modifikasi sistem keranjang organik dengan diameter 10 cm, kedalaman 100 cm dengan keranjang organik berukuran (125 x 75 x 75) cm. Sistem keranjang organik dibuat berdasarkan penelitian Razie (2015). Adapun total berat bahan organik yang dimasukkan ke lubang resapan biopori modifikasi yaitu 10 kg. Sampel tanah di ambil setelah lama inkubasi bahan organik 20 hari dan 30 hari. Adapun titik pengambilan sampel yaitu pada kedalaman 150-175 cm dari permukaan lubang resapan biopori modifikasi dan jarak 10 cm dari dinding lubang resapan biopori modifikasi. Variasi komposisi bahan organik daun kering dan pupuk kompos yaitu : 1) Tanpa bahan organik sebagai kontrol (disingkat B0) 2) Daun kering saja(disingkat B1) 3) Pupuk kompos saja (disingkat B2) 4) Pupuk kompos dan daun kering, perbandingan berat 1:3 (disingkat B3) 5) Pupuk kompos dan daun kering, perbandingan berat 1:1 (disingkat B4) 6) Pupuk kompos dan daun kering, perbandingan berat 3:1 (disingkat B5) Variasi lama inkubasi ditentukan berdasarkan penelitian oleh Widyastuti (2013) yang menyatakan bahwa lubang resapan biopori modifikasi yang diisi sampah daun akan membutuhkan waktu 1 bulan (30 hari) untuk terdekomposisi. Oleh sebab itu, penelitian kali ini dilakukan dengan pengisian bahan organik daun kering yang ditambah pupuk kompos. Variasi lama inkubasinya adalah : 1) 20 hari (dilakukan pengamatan setelah lama inkubasi 20 hari) 2) 30 hari (dilakukan pengamatan setelah lama inkubasi 30 hari) Pelaksanaan penelitian meliputi persiapan sistem resapan biopori modifikasi, pemberian bahan organik ke lubang resapan biopori modifikasi, inkubasi dan pemeliharaan lubang resapan biopori modifikasi, pengambilan sampel tanah serta analisis laboratorium. Analisis data dilakukan secara statistik dengan analisis ragam dan Uji T. Bila terjadi pengaruh yang nyata pada analisis ragam dengan taraf kepercayaan 95%, maka analisis dilanjutkan dengan Uji LSD (Least Significant Different) pada taraf kesalahan 5%. Uji T digunakan untuk melihat perbedaan pengaruh antara lama inkubasi 20 hari dan 30 hari.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
180 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan sifat kimia tanah yang diukur terdiri atas C-organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK). Hasil pengukuran analisis keragaman terhadap C-organik dan KTK di sekitar lubang resapan biopori modifikasi menunjukkan tidak berbeda nyata antara masing-masing perlakuan pemberian bahan organik baik itu lama inkubasi 20 hari maupun 30 hari (dapat dilihat pada lampiran a). Adapun hasil pengukuran uji T pada C-organik dan KTK di sekitar lubang resapan biopori modifikasi antara lama inkubasi 20 hari dan 30 hari menunjukkan berbeda nyata dimana pada lama inkubasi 20 hari memiliki nilai C-organik dan KTK yang lebih tinggi dibandingkan lama inkubasi 30 hari (dapat dilihat pada lampiran b). 3.1 C-Organik Hasil pengujian tehadap variabel C-organik tanah dapat dilihat pada gambar 3.1. 1,40 1.05
C-organik (%)
1,20 1,00
0.88
0.68
0.78
0,80 0,60
0.50
0.47
0.52
0.58 0.43
0.47 0.29
0.36
0,40 0,20
= 20 hari inkubasi BO
0,00 Kontrol B-0
Daun Kering B-1
Pupuk Kompos B-2
PK:DK= B-31 : 3
PK:DK= B-41 : 1
PK:DK= B-5 3: 1
Perlakuan
= 30 hari inkubasi BO
Gambar 3.1 Hasil Pengujian Variabel C-organik Lama Inkubasi 20 dan 30 Hari.
Seperti pada gambar 3.1, lama inkubasi 20 hari, nilai C-organik di sekitar lubang resapan biopori modifikasi pada pemberian bahan organik pupuk kompos dan daun kering 1:1 sebesar 0,88% dan pemberian bahan organik pupuk kompos dan daun kering 3:1 sebesar 1,13 % cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik sebesar 0,80%. Sedangkan nilai C-organik cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik yaitu pada pemberian bahan organik daun kering saja sebesar 0,54%, pemberian bahan organik pupuk kompos saja sebesar 0,68% dan penambahan campuran bahan organik pupuk kompos dan daun kering perbandingan 1:3 sebesar 0,58%. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin banyak pemberian pupuk kompos menghasilkan Corganik tanah yang semakin tinggi. Namun pada pemberian bahan organik pupuk kompos saja tidak menunjukkan C-organik yang paling tinggi. Lama inkubasi 30 hari, nilai C-organik di sekitar lubang resapan biopori modifikasi cenderung lebih tinggi pada tanpa pemberian bahan organik sebesar 0,50%, sedangkan pemberian bahan organik menunjukkan nilai C-organik yang cenderung lebih rendah. Adapun C-organik terendah yaitu pada pemberian bahan organik pupuk kompos dan daun kering 3:1
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 181
ISBN: 978-602-6483-07-2
sebesar 0,29%. Meskipun demikian, penambahan pupuk kompos saja diperoleh nilai Corganik relatif tidak jauh beda dengan tanpa pemberian bahan organik yaitu sebesar 0,47%. Pada pemberian bahan organik pupuk kompos dan daun kering 1:1 memperlihatkan nilai Corganik sebesar 0,47% pula. Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin banyak pemberian pupuk kompos menghasilkan C-organik tanah yang semakin tinggi. Namun pada pemberian bahan organik pupuk kompos dan daun kering 3:1 dan pupuk kompos saja tidak menunjukkan C-organik yang lebih tinggi. Menurut Yasin (2010) pada penelitian Mustoyo (2013) menyebutkan bahwa pada umumnya lebih dari 90 % jaringan bahan organik mengandung unsur C yang apabila ditambahkan ke dalam tanah maka akan meningkatkan kandungan unsur C-organik tanah. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme, sehingga keperluan nutrisinya juga meningkat yang dapat menyebabkan C-organik tanah berkurang. Dahlan (2008) mengungkapkan bahwa penurunan C-organik disebabkan oleh aktivitas organisme tanah yang menggunakan senyawa karbon untuk pembentukan sel-sel tubuhnya dan sebagian lagi dibebaskan dalam bentuk CO2 selama proses dekomposisi sehingga kadar C-organik menjadi berkurang. Selain itu, Yeni (2014) menyatakan bahwa semakin lamanya waktu inkubasi, kandungan C-organik semakin rendah. 3.2 Kapasitas Tukar Kation (KTK) Hasil pengujian tehadap variabel KTK tanah dapat dilihat pada gambar 3.2.
KTK (me/100 gr)
70,00
66.09
65.38 56.87
56.39
55.86
56.87
55,00
40,00 32.22
33.14
33.41 31.31
34.10
29.61 = 20 hari inkubasi BO
25,00 Kontrol B-0
DaunB-1 Kering
PupukB-2 Kompos
PK:DK= B-31 : 3 Perlakuan
PK:DK= B-41 : 1
PK:DK= B-5 3: 1
= 30 hari inkubasi BO
Gambar 3.2 Hasil Pengujian Variabel KTK Lama Inkubasi 20 Hari dan 30 Hari.
Seperti pada gambar 3.2, lama inkubasi 20 hari, nilai KTK di sekitar lubang resapan biopori modifikasi pada pemberian bahan organik daun kering saja sebesar 66,09 me/100 gr dan penambahan campuran daun kering dan pupuk kompos 1:1 sebesar 65,38 me/100 gr cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik sebesar 55,86 me/100 gr. Adapun nilai KTK terendah yaitu pada tanpa pemberian bahan organik. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin banyak pemberian daun kering menghasilkan KTK tanah yang semakin tinggi. Namun pada pemberian bahan organik pupuk kompos dan daun kering
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
182 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1:3 tidak menunjukkan KTK yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian bahan organik pupuk kompos dan daun kering 1:1. Lama inkubasi 30 hari, nilai KTK di sekitar lubang resapan biopori modifikasi pada pemberian bahan organik daun kering saja sebesar 33,14 me/100 gr, penambahan campuran daun kering dan pupuk kompos 1:1 sebesar 33,41 me/100 gr dan penambahan campuran bahan organik pupuk kompos dan daun kering 3:1 sebesar 34,10 me/100 gr cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik sebesar 32,22 me/100 gr. Adapun nilai KTK pada pemberian bahan organik pupuk kompos saja (B-2) sebesar 31,31 me/100 gr dan penambahan campuran daun kering dan pupuk kompos 1:3 (B-3) sebesar 29,61 me/100 gr cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik. Seperti lama inkubasi 20 hari, pemberian bahan organik daun kering saja dan pemberian bahan organik pupuk kompos dan daun kering 1:1 relatif dapat dengan baik meningkatkan nilai KTK tanah jika dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak pemberian pupuk kompos menghasilkan KTK tanah yang semakin tinggi. Namun, pada pemberian bahan organik pupuk kompos saja tidak menunjukkan KTK yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian bahan organik pupuk kompos dan daun kering 3:1 dan pada pemberian bahan organik pupuk kompos dan daun kering 1:3 tidak menunjukkan KTK yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun kering saja. Hal itu dapat disebabkan pupuk kompos telah stabil sehingga tidak mempengaruhi aktivitas makrofauna tanah. Mustoyo (2013) menyebutkan bahwa peningkatan nilai KTK akibat pemberian bahan organik terjadi karena bahan organik yang terdekomposisi dapat menghasilkan asam organik yang meningkatkan gugus karboksil –COOH dan fenolik sehingga muatan negatif ikut meningat pula. Peningkatan muatan negatif pada koloid tanah dapat menyebabkan peningkatan KTK tanah. Rahardjo (2010) mengungkapkan bahwa peningkatan atau perbedaan pola kenaikan KTK dipengaruhi oleh kecepatan dekomposisi masing-masing bahan organik, dimana bahan organik yang mudah melapuk akan cepat menghasilkan humus. Karena bermuatan negatif, humus dapat meningkatkan kation-kation serta mengadakan pertukaran ion-ion di dalam tanah. 4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Variasi komposisi bahan organik pada lubang resapan biopori modifikasi tidak memberikan pengaruh yang nyata pada variabel C-organik dan KTK. 2. Variasi lama inkubasi yaitu 20 hari dan 30 hari bahan organik pada lubang resapan biopori modifikasi menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata pada variabel C-organik dan KTK. 4.2 Saran Saran yang dapat diberikan yaitu perlu ditingkatkan dosis atau berat bahan organik hingga memenuhi lubang resapan biopori modifikasi agar penyebaran bahan organik semakin banyak sehingga pengaruhnya terhadap variabel tanah dapat terlihat nyata. Kemudian, perlu dilakukan penelitian lanjutan menggunakan bahan organik lain untuk dapat meningkatkan kualitas tanah secara nyata.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 183
ISBN: 978-602-6483-07-2
DAFTAR PUSTAKA Brata, R. Kamir. 2008. Lubang resapan biopori modifikasi. Jakarta: Penebar Swadaya. Dahlan, M., dkk. 2008. Studi Aplikasi Pupuk Organik dan Anorganik Terhadap Perubahan Beberapa Sifat Tanah Entisol. Agroteksos Vol. i8. No. 1-3. Junedi, Heri. 2010. Perubahan Sifat Fisika Ultisols Akibat Konversi Hujan Menjadi Lahan Pertanian. Jurnal Hidrolitan, 1(2):10-14. Maharany, Rina, dkk. 2011. Perubahan Sifat Fisika Ultisols Akibat Konversi Hujan Menjadi Lahan Pertanian. Jurnal Ilmu Pertanian KULTIVAR, 5(2). Mustoyo, dkk. 2013. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Terhadap Stabilitas Agregat Tanah Pada Sistem Pertanian Organik. Jurnal AGRIG, 25(1). Rahardjo. 2000. Pengaruh Macam Sumber Bahan Organik dan Pupuk Urea Tablet Terhadap Karakteristik Kimiawi Tanah. Jurnal Mapeta, 2 (5). Razie, Fakhrur, dkk. 2015. Sistem Resapan Biopori Modifikasi (Agroekoteknologi di Lahan Kering Sub Optimal). Bahan Ajar, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat. Toluhula, Nurain, dkk. 2014. Pengaruh Kadar Hara Fosfor dari Berbagai Jenis Bahan Organik Pada Lubang resapan biopori modifikasi Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kakao (Thebroma Cacao L.) di Kabupaten Boalemo. Jurnal. Agroteknologi, Fakultas Pertanian, UNG. Victorianto, Edho. 2014. Pengaruh Lubang resapan biopori modifikasi Terhadap Limpasan Permukaan. E-Jurnal MATRIKS TEKNIK SIPIL, Hal. 423-430. Widyastuti, Sri. 2013. Perbandingan Jenis Sampah Terhadap Lama Waktu Pengomposan Dalam Lubang resapan biopori modifikasi. Jurnal Teknik WAKTU, 11(01). Yasin, S, dkk. 2010. Perbaikan Kesuburan Tanah Regosol dengan Bahan Organik Untuk Tanaman Melon (Cucumis melo L.). Jerami, 3(3). Yeni, Yulia. 2014. Dinamika Beberapa Sifat Fisika dan Kimia Limbah Padat Sawit Pada Sistem Resapan Biopori Modifikasi di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. LAMPIRAN Lampiran a : Analisis Keragaman dan Uji LSD 5 % 1. C-Organik Lama Inkubasi 20 Hari Sumber
db
Kelompok Perlakuan Galat Total
JK
3 5 15 23
KT 0.03 0.18 0.42 0.63
F-tabel
F-hitung 0.01 0.04 0.03
0.37 1.24
5% 3.29 2.90
tn tn KK =
1% 5.42 4.56
P-value 0.774 0.338
15.03%
Keterangan : tn menunjukkan tidak nyata Lama Inkubasi 30 Hari Sumber
db
Kelompok Perlakuan Galat Total
3 5 15 23
JK
KT 0.03 0.03 0.24 0.30
F-tabel
F-hitung 0.01 0.01 0.02
0.70 0.44
tn tn KK =
5% 3.29 2.90
1% 5.42 4.56
13.18%
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016
184 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
P-value 0.565 0.817
ISBN: 978-602-6483-07-2
Keterangan : tn menunjukkan tidak nyata
2. KTK Lama Inkubasi 20 Hari Sumber
db
Kelompok Perlakuan Galat Total
3 5 15 23
JK
KT 2.11 2.13 8.25 12.49
F-tabel
F-hitung 0.70 0.43 0.55
1.28 0.77
5% 3.29 2.90
tn tn KK =
1% 5.42 4.56
P-value 0.318 0.583
9.65%
Keterangan : tn menunjukkan tidak nyata Lama Inkubasi 30 Hari Sumber
db
Kelompok Perlakuan Galat Total
3 5 15 23
JK
Jarak Nyata LSD Perlakuan B-0 B-1 B-2 B-3 B-4 B-5
Rata-rata 5.75 5.83 5.67 5.52 5.83 5.91
KT
F-tabel
F-hitung 14.86 1.04
5% 3.29 2.90
** tn
1% 5.42 4.56
3.29 0.38 1.11 4.78
1.10 0.08 0.07
(5%) = (1%) =
0.41 0.57
B-0
B-1
B-2
B-3
B-4
tn tn tn tn tn
tn tn tn tn
tn tn tn
tn tn
tn
KK =
P-value 0.000 0.430
4.72%
B-5
Keterangan : rata-rata menggunakan data transformasi; tn menunjukkan tidak nyata
Lampiran b : Uji T 1. C-Organik t-Test: Paired Two Sample for Means Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference Df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 0.744583 0.038866 6 -0.24907
Variable 2 0.418333333 0.006506667 6
0 5 3.461668 0.009005 2.015048 0.01801 2.570582
Diketahui t hitung = 3.4617, t tabel = 2.5706, sehingga |t hitung| > t tabel. Sehingga dapat disimpulkan : H0 ditolak, yaitu terdapat perbedaan yang nyata antara hasil C-organik lama inkubasi 20 hari dan lama inkubasi 30 hari.
Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference Df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
22.93409667 6 0.452176891
2.682626667 6
0 5 15.52654162 1.00644E-05 2.015048373 2.01289E-05 2.570581836
Diketahui t hitung = 15.5265, t tabel = 2.5706, sehingga |t hitung| > t tabel. Sehingga dapat disimpulkan : H0 ditolak, yaitu terdapat perbedaan yang nyata antara hasil kapasitas tukar kation lama inkubasi 20 hari dan lama inkubasi 30 hari.
2. KTK t-Test: Paired Two Sample for Means Mean
Variable 1 59.57666667
Variable 2 32.29583333
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 185
ISBN: 978-602-6483-07-2
IDENTIFIKASI JENIS SEDIMEN MELALUI UJI TEKSTUR DAN KONSENTRASI Eh SEDIMEN KOLAM PENGENDAP DI PT SEMESTA CENTRAMAS Hj. Markiyah1, Rony Riduan2, dan Riza Miftahul Khair2 1. Mahasiswi Teknik Lingkungan, Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani km. 34, Banjarbaru 2. Dosen Pembimbing dan Staf Pengajar Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani km. 34, Banjarbaru E-mail:
[email protected]
ABSTRAK PT Semesta Centramas merupakan suatu industri yang bergerak di bidang pertambangan batubara. Dalam mengelola limbah cair yang dihasilkan, perusahaan menggunakan metode active treatment dan dikelola di settling pond. Settling pond berfungsi sebagai tempat menampung air tambang sekaligus untuk mengendapkan partikel-partikel padatan, semakin ke hilir maka akan semakin besar jumlah angkutan padatan yang terkandung. Aktivitas yang terdapat di sepanjang aliran kolam akan mempengaruhi kondisi sedimen permukaan, kualitas sedimen permukaan sangat bergantung dari proses akumulasi bahan-bahan organik yang berasal dari limbah darat dan mengendap di lapisan bagian atas sedimen. Tekstur sedimen mempengaruhi nilai-nilai konsentrasi kimia sedimen permukaan seperti konsentrasi Eh sedimen. Pengambilan sampel sedimen menggunakan ekman grab, uji tekstur menggunakan metode pipet dan uji konsentrasi Eh menggunakan pH-meter. Berdasarkan hasil uji diperoleh jenis sedimen yang mendominasi adalah fraksi lempung liat berdebu dengan konsentrasi Eh rata-rata adalah 320 mV. Kata kunci: Jenis Sedimen, Uji Tekstur, Konsentrasi Eh, Kolam Pengendap. ABSTRACT PT Semesta Centramas is an industry that is enganged in coal mining. In managing wastewater produced, the company used active methods of treatment and maintained in the settling pond. Settling pond serves as a place to accommodate the mine water at a time to precipitate solid particles, the more downstream, the greater the amount of transport of solids contained. Activities are peppered throughout the flow of the pond will affect the condition of the surface sediments, surface sediment quality is very dependent on the accumulation of organic materials from waste land and settle in the upper layer of sediment. Texture sediments affect the values of the surface sediment chemical concentrations such as concentrations of sediment Eh. Sampling sediment using Ekman grab, texture test using a pipette and test Eh concentration using a pH-meter. Based on test results obtained sediment type that dominate the dusty clay loam fraction with an average concentration of Eh is 320 mV. Keywords: sediment type, Test texture, Eh concentraton, settling pond.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
186 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1.
PENDAHULUAN
PT Semesta Centramas merupakan suatu industri yang bergerak di bidang pertambangan batubara. Wilayah konsensi terletak di Kabupaten Balangan, Propinsi Kalimantan Selatan. Daerah ini dilalui oleh jalan lintas Kalimantan yang menghubungkan Banjarmasin dan Balikpapan. Pencapaian lokasi dapat di tempuh menggunakan perjalanan darat maupun perjalanan udara. Dalam mengelola limbah cair yang dihasilkan, perusahaan menggunakan metode active treatment dan dikelola di settling pond (Andiani, 2016). Settling pond berfungsi sebagai temapat menampung air tambang sekaligus untuk mengendapkan partikel-partikel padatan yang ikut bersama air dari lokasi pertambangan, kolam pengendap ini dibuat dari lokasi terendah dari suatu lokasi pertambangan, sehingga air akan masuk ke settling pond secara alami dan selanjutnya dialirkan ke sungai melalui saluran pembuangan (Setiawan, 2013). Semakin ke hilir maka akan semakin besar jumlah angkutan padatan yang terkandung, hal ini disebabkan karena aliran air dapat menggerus dan membawa lapisan atas tanah yang dilewatinya. Selain kecepatan juga semakin berkurang yang mana diakibatkan semakin banyak jumlah sedimen yang terakut (Rambang, 2011). Aktivitas yang terdapat di sepanjang aliran kolam akan mempengaruhi kondisi sedimen permukaan yakni masuknya berbagai bahan yang mudah mengendap seperti bahan organik. Sehingga akan mengakibatkan penurunan kualitas air yang bersifat fisika dan kimia yang pada akhirnya kualitas sedimen permukaan juga akan mengalami penurunan (Hanifah, 2007). Kualitas sedimen permukaan sangat bergantung dari proses akumulasi bahan-bahan organik yang berasal dari limbah darat dan mengendap di lapisan bagian atas sedimen. Kondisi tekstur sedimen sangat mempengaruhi laju pengendapan atau akumulasi, pada daerah yang dekat dengan muara, maka kondisi teksturnya dominan lumpur dan bila daerah itu semakin jauh dari muara, maka tesktur sedimen dominan berpasir (Efriyaldi, 1999). Tekstur sedimen mempengaruhi nilai-nilai konsentrasi kimia sedimen permukaan seperti konsentrasi Eh sedimen (Hanifah, 2007). Eh (potensi redok) merupakan suatu parameter sedimen untuk mengetahui nilai akumulasi yang terjadi pada permukaan sedimen. Tinggi rendahnya suatu nilai akumulasi sedimen permukaan dapat diukur menggunakan Eh meter. Satuan nilai Eh meter di namakan milivolt (mV). Konsentrasi Eh sedimen permukaan dibagi dalam tiga zona, yaitu zona oksidasi jika konsentrasi Eh > 200 mV, zona transisi konsentrasi Eh 0 – 200 mV dan zona reduksi dengan konsentrasi Eh < 0 mV (Hanifah, 2007). Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi tekstur sedimen permukaan dan untuk mengetahui konsentrasi Eh (potensi redok) sedimen permukaan pada kolam pengendap, guna mengetahui kondisi kualitas sedimen permukaan. 2.
METODE PENELITIAN
Penelitian tentang penentuan jenis sedimen melalui uji tekstur dan konsentrasi Eh sedimen dilakukan melalui beberapa langkah. Pada langkah pertama yaitu melakukan survei lapangan,
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 187
SBN: 978-602-6483-07-2
hal ini dilakukan untuk mengatahui kondisi lapangan sebelum melakukan penelitian, lalu langkah kedua melakukan teknik pengambilan sampel atau sampling (in situ), selanjutnya langkah ketiga melakukan pengelompokkan jenis data, kemudia langkah keempat dilakukan teknik pengumpulan data. Penelitian mengenai sedimen ini dilakukan pada settling pond pit 1 milik PT Semesta Centramas yang bergerak di bidang pertambangan batubara. Metode pengambilan titik sampel yang dilakukan menggunakan metode penentuan lokasi sampling dengan beberapa pertimbangan (purposive sampling method), dalam hal ini pengambilan sampel sedimen dilakukan pada 2 kolam pengendap (sediment pond), 2 kolam pengaman (safety pond), dan 2 kolam lumpur (mud pond). Sampel sedimen di dasar kolam diperoleh dengan menggunakan ekman grab kemudian dimasukkan dalam kantong plastik. Sampel sedimen kemudian dikirim ke Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru untuk dilakukan uji tekstur dengan menggunakan alat Ekman Grab dengan menggunakan metode pipet dan uji potensi redok (Eh) dengan menggunakan alat pH-meter. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada kegiatan penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan data dengan cara partisipasi aktif (PA). Teknik pengumpulan data secara PA dilakukan analisis di Laboratorium Tanah dan observasi dengan cara pengukuran secara langsung (In situ). Teknik pengukuran data tekstur sedimen dilakukan dengan menggunakan Ekman Grab. Prosedur pengambilan sampel secara in situ, ekman grab dimasukkan ke dalam dasar kolam lalu dilakukan sampel pengambilan sampel sedimen. Analisis tekstur sedimen dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat. Tabel 1. Hasil Analisa Data di Laboratorium Tanah, Universitas Lambung Mangkurat
No 1 2 3 4 5 6
Kolam Sediment Pond Safety Pond Mud Pond
Pasir 9,78 0,63 0,33 1,85 1,78 4,75
Tekstur Debu % Jenis Fraksi 53,64 68,77 60,51 55,38 53,23 41,86
Liat 36,58 30,60 39,16 42,77 44,99 53,39
Dalam menentukan fraksi jenis tekstur dapat menggunakan metode segitiga tekstur USDA (Gambar 1).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
188 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1.Liat; 2.Liat berdebu; 3.Liat berpasir; 4.Lempung liat berdebu; 5.Lempung liat; 6.Lempung liat berpasir; 7.Lempung; 8.Debu; 9.Lempung berdebu; 10.Lempung berpasir; 11.Pasir berlempung; 12. Pasir
Gambar 1. Hasil Fraksi Sedimen
Berdasarkan hasil pengujian sedimen pada gambar 1, terlihat bahwa pada sediAment pond 1 dan 2 serta safety pond 1 masuk kategori fraksi lempung liat berdebu, sedangkan safety pond 2 dan mud pond 1 dan 2 masuk kelas liat berdebu. Sedimen yang di uji merupakan hasil endapan yang berasal dari sump pit dimana pada jenis tanah pada pit area ini tergolong lempung sehingga partikel lempung terdapat di kolam pengendap. Partikel lempung memiliki kecepatan pengendapan sebesar 0,000138 m/s sehingga pada safety pond 2 dan mud pond 1 dan 2 tidak terdapat partikel lempung lagi karena telah mengendap pada kolam sebelumnya. Menurut Emiyarti (2004), bahwa partikel halus yang berukuran kecil seperti lumpur akan terbawa dan mengendap ke daerah yang terlindung dari arus. Pada saat pengambilan sampel, pemompaan air dari sump pit sedang tidak beroperasi dalam kurun waktu beberapa hari sehingga aliran air tenang bahkan tidak mengalir sehingga membentuk liat. Pada saat pengambilan sampel, cuaca cerah berawan dengan angin yang bergerak cukup kuat sehingga partikel debu yang berada di sekitar kolam akan masuk dan mengendap pada permukaan sedimen sehingga muncullah partikel debu pada saat di lakukan uji. Pengukuran data kimia sedimen yakni Eh sedimen dilakukan menggunakan metode partisipasi aktif. Pengujian dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 189
SBN: 978-602-6483-07-2
Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Alat yang digunakan adalah pH-meter. Hasil analisa di laboratorium Tanah didapatkan hasil konsentrasi Potensi Redok (Eh) sedimen permukaan berupa grafik yang dapat dilihat Gambar 2.
Nilai Eh (mV) 400
373
350 300
327 298
308
296
318
250 200 150 100 50 0 Sediment Pond 1 Sediment Pond 2
Safety Pond 1
Safety Pond 2
Mud Pond 1
Mud Pond 2
Gambar 2. Konsentrasi Eh sedimen
Berdasarkan hasil pengujian sampel didapatkan konsentrasi Potensi Redok (Eh) yang tinggi yaitu terdapat pada sediment pond 1, namun jika dilihat dari nilai rata-rata semua kolam yakni sebesar 320 mV, perbedaan hasil di setiap kolam tidak terlalu signifikan. Konsentrasi Eh sedimen dibagi menjadi 3 zona, yaitu oksidasi (Eh > 200 mV), transisi (Eh 0 – 200 mV), dan reduksi (Eh < 0 mV). Jika dilihat dari (Gambar 2), keseluruhan nilainya berada di atas 200 mV, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa konsentrasi Eh sedimen di semua kolam tergolong zona oksidasi. Potensi redoks merupakan suatu besaran potensial listrik yang dapat menunjukkan proses dekomposisi bahan-bahan organik dalam sedimen berlangsung dalam keadaan reduksi atau oksidasi. Oksidasi adalah proses kehilangan elektron dari suatu persenyawaan kimia, dari substansi atau dari atom dan radikalnya. Pada perairan yang belum tercemar dan cukup bahan organik, zona oksidasi relatif lebih tebal. Menurut Rhoads (1974), nilai Eh lebih dari 200 mV memiliki nilai konsentrasi oksigennya sekitar 0,1 mg/ L. Kandungan oksigen dalam sedimen berpengaruh besar terhadap nilai redoks dan pH sedimen dan dapat pula dijadikan sebagai kontrol rekasi kimia ion-ion antar air dan sedimen. Potensial redoks bersama derajat keasaman sedimen menunjukkan sifat fisika kimia substrat bagi kehidupan organisme bentik. 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah di lakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
190 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1. Hasil pengujian fisika sedimen permukaan yang di lakukan di kolam pengendap PT Semesta Centramas di Kabupaten Balangan diperoleh jenis sedimen yang mendominasi adalah fraksi liat. 2. Parameter kimia sedimen permukaan yang dilakukan pengukuran yakni Eh sedimen dan hasil yang diperoleh adalah 318,3 mV tergolong dalam zona oksidasi. 4.2 Saran Hasil penelitian ini diharapkan ada upaya rehabilitasi lingkungan yang terganggu akibat penurunan kualitas sedimen yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada orang tua selaku motivator dan pendukung, Dosen pembimbing yakni Dr. Rony Riduan, S.T., M.T dan Riza Miftahul Khair, S.T., M.Eng, Muhammad Rizal, S.T selaku Kepala Teknik Tambang PT Semesta Centramas, Agussalim Tiri, SE selaku QHSE Section Head dan Yudi, S.T selaku pembimbing lapangan yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini dan kepada kelapa Laboratorium Tanah yang telah memperlancar penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Agus, Fahmuddin, Yusrial, dan Sutono. ______. Penetapan Tekstur Tanah. Repository.ipb.ac.id. Tinjauan Pustaka Potensial Redoks (Eh). Andiani, Selly dan Hj. Markiyah. 2016. Studi Sistem Pengelolaan Limbah Cair dan B3 PT Semesta Centramas. Laporan Kerja Praktik Program Studi Teknik Lingkungan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Efriyeldi. 1999. Sebaran Spesial karakteristik Sedimen dan Kualitas Air Muara Sungai Bantan Tengah, Bengkalis Kaitannya dengan Budidaya KJA (Keramba Jaring Apung). Fakultas Perikanan Universitas Riau. Riau. Jurnal Natur Indonesia, 2(1): 85 – 92. Emiyarti. 2004. Karakteristik Fisika Kimia Sedimen dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Perairan Teluk Kendari. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fazumi, M. Affan. 2014. Penentuan Jenis Sedimen Melalui Uji Tekstur Sedimen serta Pengukuran Konsentrasi Salinitas, Eh dan pH Sedimen Permukaan Di Muara Sungai Lamong, Surabaya, Jawa Timur. Praktek Kerja Lapang Program Studi Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang. Mutia, Hanifah. 2007. Kualitas Fisika-Kimia Sedimen serta Hubungannya Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Teluk Kendari. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rambang, Mursalin. 2011. Rancangan Sistem Penyaliran Tambang Terbuka PT Pasifik Han Manindo Desa Sumber Mulyo, Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Skripsi Program Studi Teknik Tambang. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Setiawan, Cahya Dwi dan M. Rizky Setiawan. 2013. Penentuan Dosis Optimum Penambahan Kapur dan Tawas untuk Meningkatkan pH dan Menurunkan Turbidity di Settling Pond 13 dan 10 PT Arutmin Indonesia Asam-Asam Mine. Kerja Praktik Program Studi Teknik Lingkungan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 191
SBN: 978-602-6483-07-2
PERBANDINGAN PROSES COMPOSTING METODE OPEN WINDROW DAN AERATED STATIC PILE TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS KOMPOS Melida Rima Fatimah1, Andy Mizwar2, Nopi Stiyati3, dan Rizqi Puteri Mahyudin4 Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Jl. Jend. Ahmad Yani km. 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Composting adalah salah satu upaya untuk pengelolaan sampah organik, proses ini sudah sangat sering dilakukan dan diterapkan. Proses composting dapat dilakukan dengan cara aerobik yaitu dengan sistem terbuka atau sistem tertutup.Sistem terbuka terbagi menjadi dua metode yaitu metode open windrow dan aerated static pile (ASP). Kedua metode ini memiliki cara aerasi yang berbeda. Aerasi merupakan salah satu indikator penting dalam proses pengomposan karena dapat mempengaruhi hasil pengomposan serta waktu pengomposan. Metode yang dapat diajukan sebagai metode paling efektif untuk proses composting secara aerobik sistem terbuka adalah aerated static pile karena metode ini memiliki proses aerasi yang lebih baik dari pada open windraw. Aerated static pile dapat mempercepat proses pengomposan serta sangat efisien untuk digunakan dilahan-lahan sempit selain itu juga tidak memerlukan petugas dan alat yang banyak dalam operasinya. Selain itu kompos yang dihasilkan dengan metode ASP memiliki kulitas yang tidak jauh berbeda dengan metode open windrow. Kata kunci : Composting, Aerated Static pile, Open windrow ABSTRAK Composting is one of the efforts for organic waste management, this process is very often carried out and implemented. The process of composting can be done by means of aerobics is to open systems or open tertutup.Sistem system is divided into two methods: the method of open windrow and aerated static pile (ASP). Both methods have a different way of aeration. Aeration is one important indicator in the composting process because it can affect the outcome of composting and composting time. The method can be proposed as the most effective method for aerobic composting process open system is aerated static pile because this method has better aeration process of the open windraw. Aerated static pile composting process and can accelerate very efficient to use dilahan-narrow area but it also does not require a lot of personnel and tools in its operations. Besides the compost produced by the method of the ASP has kulitas which is not much different from the open windrow method. Keywords : Composting, Aerated Static pile, Open windrow
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
192 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1.
PENDAHULUAN
Pengolahan sampah organik dengan proses composting sudah sering dilakukan dan diterapkan. Proses composting dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara aerob dan anaerob. Proses Composting secara aerob memerlukan oksigen dalam proses dekomposisi sedangkan dalam proses anaerob oksigen tidak diperlukan dalam proses dekomposisi. Composting secara aerob dapat dibedakan menjadi 2 sistem yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Composting aerob sistem terbuka terdiri dari 2 yaitu Metode open windrow dan Metode aerated static piles (ASP) (Dewi,2007). Biasanya proses Composting secara aerob digunakan untuk limbah organik yang berasal dari pertanian (Sisa Tanaman), sedangkan Composting secara anaerob digunakan untuk limbah organik yang berasal dari kegiatan domestik (Sisa makanan dan sayuran) (Edelmann dan Engeli 1993). Composting yang cepat dapat berlangsung dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Apabila kekurangan oksigen, proses dekomposisi tidak berjalan dengan baik. Aerasi pada Composting secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang mengakibatkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk kedalam tumpukan kompos (Murbandono, 2008). Aerasi ditentukan dengan porositas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila proses aerasi terlambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menimbulkan bau yang tidak sedap. (Paulin and O'malley, 2008). 2.
PROSES COMPOSTING METODE OPEN WINDROW
Pengomposan sistem open windrow adalah cara pembuatan kompos ditempat terbuka beratap dengan aerasi alamiah. Sampah yang dikomposkan ditumpuk memanjang dengan frekuensi pembalikan tertentu dan suhunya dikendalikan (Pudyawardhana,2006). Kelemahan dari Proses open windrow ini adalah Proses aerasi dilakukan secara manual sehingga waktu pemprosesan cukup lama dan memerlukan lahan yang luas. Sedangkan kelebihan dari Proses open windrow ini adalah bahan yang bisa dikomposakan lebih beragam. Hal yang harus diperhatiakn dalam proses Composting aerob open windrow adalah 1).Proses open windrow membutuhkan lahan yang luas, peralatan yang banyak, tenaga kerja yang banyak untuk memelihara dan mengoperasikan fasilitas , dan kesabaran untuk bereksperimen dengan berbagai campuran bahan dan frekuensi yang bisa berubah. 2) Dalam iklim yang hangat atau kering timbunan bahan Composting kadang-kadang ditutupi atau diletakkan ditempat yang teduh untuk menghindari penguapan air. 3) Pada musim hujan , bentuk tumpukan dapat disesuaikan sehingga air mengalir dari atas timbunan bukan terserap kedalam timbunan. 4) Proses open windrow dapat dilakukan di iklim yang dingin . Bagian luar tumpukan akan membeku , namun suhu bagian dalam dan inti timbunan tetap panas mencapai suhu 140 ° F. 5) Lindi adalah cairan yang dihasilkan selama proses Composting . Lindi yang dihasilkan dapat mencemari air tanah dan permukaan air disekitarnya, maka dari itu lindi hasil Composting harus di perhatikan dan dikelola agar tidak mencemari lingkungan. 6) Proses open windrow dilakukan dalam operasi skala besar sehingga harus ada ijin dari pemerintah. Kompos harus diuji di laboratorium untuk mengetahui kandungan logam berat dan bakteri. 7) Composting yang dilakukan dengan proses open windrow akan menimbulkan bau yang jika tidak dikelola akan mencemari lingkungan dan mengganggu masyarakat sekitar oleh karena itu diperlukan penangan untuk mengurangi bau yang dihasilkan (US Enviromental Protection Agency, 2013). Pudyawardhana (2006) menyatakan composting
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 193
SBN: 978-602-6483-07-2
dengan metode open windrow menghasilkan kompos dengan suhu, Nilai N-total, kadar P2O5 total dan K2O total yang baik bahkan lebih tinggi dari batas minimal. 3. PROSES COMPOSTING METODE AERATED STATIC PILE ASP adalah versi perbaikan dari Open windrow Composting. Cara pengaliran udara yaitu dengan peletakan Pipa bawah tumpukan untuk mengalirkan pasokan oksigen dan dengan demikian mencegah pembentukan kondisi anaerob. Biasanya udara ditiup ke tumpukan dengan bantuan blower. Tingkat aliran udara dapat disesuaikan dengan tahap membusuk dan suhu mencapai inti dari tumpukan (Nema, 2009). Metode ini dioperasikan dengan menggunakan pipa dan blower untuk memberikan aerasi yang konsisten pada tumpukan. Ketinggian tumpukan sebaiknya tidak lebih dari 8 feet termasuk 6 inchi penutup, bisa menggunakan kompos yang sudah matang atau bulking agent, sebaiknya dicampur tanah dan serbuk gergaji atau dedaunan. Pemberian penutup berguna untuk memfilter gas yang berpotensi berbau dan berfungsi sebagai penjaga suhu agar tetap panas. Tumpukan biasanya dibangun dengan kedalaman 6-12 inci. Bagian dasar menggunakan bahan yang bisa menyerap atau berpori seperti serpihan kayu. ukuran lubang pada pipa sebesar 4-8 inci. Lubang-lubang aerasi pada pipa yang dihubungkan ke blower dioperasikan sesuai waktu atau dikontrol suhunya. Blower dirancang untuk menarik atau meniupkan udara pada tumpukan, direkomendasikan kecepatan maksimum 2000ft/min. Laju aerasi dengan kisaran 15-25 ft3/min (Kontrol berbasis waktu), 100 ft3/min (kontrol berbasis suhu) per ton berat kering material (Christian dkk, 2009). ASP Dapat meminimalkan kebutuhan lahan, karena tumpukan kompos dapat dibuat lebih tinggi. Biaya cukup rendah tetapi lebih mahal jika dbandingkan dengan sistem open windrow karena sistem ini menggunakan pipa udara yang dialirkan pada masing-masing tumpukan. Tumpukan/gundukan kompos (seperti open windrow system) diberi aerasi dengan menggunakan blower mekanik. Tidak perlu dilakukan pembalikan, sehingga tenaga kerja yang diperlukan tidak terlalu banyak. Teknik ini dapat mempersingkat waktu pengomposan hingga 3 – 5 minggu (Anggraeni dkk., 2010). Penelitian-penelitian sebelumnya sudah banyak yang melakukan variasi terhadap laju aerasi pada proses pengomposan metode ASP misalnya 0,4; 0,6; 0,9 L/min.kg (Rasapoor,2009), 0,4 ; 1,2 L/min.kg (Ismayana dkk, 2012), 0,4; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan 1,6 L/min.Kg (Nugrhono dan istiqamah, 2010), 1 "0 dan 2" 0 I / min kg (Lau dkk, 1991), 0.24, 0.48, 0.72 L kgÀ1 bahan kering (DM) minÀ1) (Guo dkk, 2012). Menurut Rasapoor (2009) laju aerasi paling optimum adalah 0.5 L/min.kg sedangkan hasil penelitian Nugroho dan istiqamah (2010) memperlihatkan laju aerasi yang paling optimum adalah 1,0 L/min. Kg. Menurut Rasapoor dkk (2009) composting menggunakan metode ASP pada laju aerasi 0,4 dan 0,6 L/min.kg memiliki pengaruh yang signifikan terhadap N- total, Rasio C/N dan temperatur kompos, sedangkan untuk laju aerasi 0,7 L/min.kg berpengaruh signifikan terhadap daya hantar listrik kompos. Namun tidak berpengaruh signifikan terhadap persentasi Fosfor dan kalium. Sedangkan pada penelitian Nugroho dan istiqamah (2010) menyatakan penambahan aerasi berpengaruh kepada kenaikan suhu kompos. Aerasi mempengaruhi suhu maksimum bahan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
194 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
dan semakin bertambah aerasi suhu maksimum akan semakin tinggi, namun bila aerasi berlebihan suhu maksimum akan turuun karena terjadi cooling effek. Nilai pH pada pengomposan meningkat, hal ini menunjukkan proses pengomposan yang benar karena produk amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningktakan pH. Semakin besar laju aerasi yang diberikan maka kadar air bahan akan semakin kecil peningkatannya karena udara membawa keluar air yang ada dalam bahan kompos. Semakin besar laju aerasi yang diberikan, maka penyusutan berat dan nilai koefisien degradabilitas akan semakin besar. Namun, jika laju aerasi yang diberikan terlalu besar, maka penyusutan berat dan nilai koefisien degradabilitas akan semakin menurun. 4. PENUTUP Salah satu hal penting dalam proses composting adalah aerasi. Proses aerasi berpengaruh pada kesuksesan pengolahan kompos. Metode pengomposan menggunakan aerated Static pile dapat diajukan sebagai metode yang paling efektif untuk proses pengomposan secara aerobik dikarenakan memiliki proses aerasi yang lebih baik dari pada metode open open windrow. Proses Composting menggunakan metode Aerated static pile dapat mempersingkat waktu pengomposan 3-5 minggu serta dapat meningkatkan jumlah produksi, hal ini disebabkan karena volume tumpukan yang dibuat bisa lebih tinggi dan lebar dari pada proses open windrow. Selain itu kualitas kompos yang dihasilkan dengan metode ASP berdasarkan pada penilitian yang sudah dilakukan sebelumnya memiliki kualitas yang baik dan tidak jauh berbeda dengan kompos yaang dibuat dengan metode open window. DAFTAR PUSTAKA Anggraeni Dian, dkk. 2010. Perencanaan Reaktor Lumpur Ipal Domestik Mojosongo Surakarta. Jurnal Presipitasi.Vol. 7 No.1 Maret 2010, ISSN 1907-187X. Program Studi Teknik Lingkungan,Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.Semarang. Christian Archer H. dan Gregory K. Evanylo. 2009. On-Farm Composting Aguide to Principles, planning and Operation. Communications and Marketing, College of Agriculture and Life Sciences,Virginia Polytechnic Institute and State University. Dewi Christina Maria dkk. 2007. Pembuatan Kompos Secara Aerob Dengan Bulking Agent Sekam Padi. Widya Teknik, 6(1). Fakultas Tenik.Jurusan Teknik Kimia. Universitas Katolik Widya Mandala. Edelman, W., Engeli, H. 1993. Combined Digestion and composting af organic indusrial and mnicipal waste in Switzerland. Water Sci.Technol., 27(2):169-182. GUO dkk. 2012. Effect of aeration rate, C/N ratio and moisture content on the stability and maturity of compost. Center for Environmental Remediation, Institute of Geographic Sciences and Natural Resources Research, Chinese Academy of Sciences, Beijing 100101, PR China Ismayana Andes dkk. 2012. Faktor Rasio C/N Awal Dan Laju Aerasi Pada Proses CoComposting Bagasse Dan Blotong. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.Kampus IPB Darmaga Bogor. Lau A. K., K. V. Lo, dkk. 1992. Aeration Experiments for Swine Waste Composting.Department of Bio-Resource Engineering, The University of British Columbia, 2357 Main Mall, Vancouver, BC,Canada V6T IZ4.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 195
SBN: 978-602-6483-07-2
M. Rasapoor dkk. 2009.The effects of aeration rate on generated compost quality, using ASPmethod.Faculty of Environment, University of Tehran, #25, Zip Code: 1417853111, Azin Avenue, Ghods Street, Enghelab Square, Tehran, Iran. Murbandono, L, HS. 2007. Membuat Kompos. Seri Agritekno, Penebar Swadaya. Jakarta. Nema Asit. 2009. Static Aerated Pile Composting – An Odour Free Option.Foundation For Greentech Environmental Systems. Nugroho joko W.K. dan Istiqamah. 2010. Pengaruh Laju Aerasi Dan Penambahan Inokulan Pada Pengomposan Limbah Sayuran Dengan Komposter Mini. Jurusan Teknik Pertanian, FTP UGM. Paulin. B. And P. O'malley. 2008. Compost Production And Use In Horticulture.Department Of Agriculture And Food. Government Of Western Australia.28p. Pudyawardhana Crisna. 2006. Pengolahan Sampah Menjadi Kompos Skala Kawasan Dengan Menggunakan Metode Open Windrow Bergulir. Studi Kasus Pengolahan Sampah Di Perumahan Griya Satria Bantarsoka Purwokerto. Teodolita, 7(2):17-23 US Enviromental Protection Agency (2013). Types of Composting and Understanding the Process. https://www.epa.gov/sustainable-management-food/types-composting-andunderstanding-process Diakses pada. 10 Agustus 2016.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
196 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
TEKNIK DESALINASI – POTENSI DESALINASI AIR LAUT DALAM BIDANG INDUSTRI Raissa Rosadi Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Jl. Jend. Ahmad Yani km. 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Proses pengolahan air laut menjadi air bersih dikenal dengan proses desalinasi. Sistem desalinasi yang umum digunakan adalah desalinasi thermal dan desalinasi menggunakan membran. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membandingkan tentang proses desalinasi thermal : (1) Multi Effect Destilation (MED), (2) Multi Stage Flash (MSF), serta proses desalinasi membran Reverse Osmosis (RO). Dari kajian litelatur yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa teknologi desalinasi membran jenis RO banyak digunakan akhir-akhir ini, termasuk dalam lingkup industri. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi desalinasi, khususnya sisten desalinasi RO yang lebih hemat energi dan biaya operasional. Sistem desalinasi reverse osmosis lebih hemat energi dibandingkan dengan desalinasi thermal MSF dan MED. Selain itu, teknik operasi RO lebih mudah dibandingkan dengan sistem desalinasi thermal MSF dan MED. Tetapi, sistem desalinasi RO memiliki kelemahan yaitu terbentuknya fouling pada membran, sehingga desalinasi RO memerlukan penggantian elemen filter, pembersihan dan penggantian membran, serta memerlukan chemical cleaning. Kata Kunci: Desalinasi, multi stage flash, multi effect destilation, reverse osmosis. ABSTRACT The processing of seawater into fresh water known as the desalination process. The commonly used in desalination system is thermal desalination and membrane desalination. The paper aims to compare thermal desalination processes: (1) Multi Effect Destilation (MED), (2) Multi Stage Flash (MSF), and Reverse Osmosis (RO) membrane desalination process. From the literature, it can be concluded that RO membrane desalination process is widely used, including in industrial. This is due by technological progress, especially RO desalination system is more efficient in energy using and operational costs. Reverse osmosis desalination system is more efficient in energy using if compared with MSF and MED desalination. Besides, the technical operation of RO desalination is easier than thermal desalination (MSF and MED). However, RO desalination system has weakness namely forming of membrane fouling, so RO desalination system needs replacement of filter element, chemical cleaning, cleaning membrane and membrane replacement. Keywords: Desalination, multi stage flash, multi effect destilation, reverse osmosis.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 197
SBN: 978-602-6483-07-2
1.
PENDAHULUAN
Air merupakan kebutuhan yang penting bagi kehidupan manusia. Air dimanfaatkan dalam keperluan rumah tangga, industri, pertanian, sektor lainnya. Sekitar 70% permukaan bumi terdiri dari air, 97,5% berupa air laut (asin), 2,5% diantaranya adalah air tawar (Esteban, 2016; Smith, 2009), dan hanya kurang dari 1% dari total air tawar di bumi yang dapat dimanfaatkan (Mishra & Dubey, 2015). Penggunaan air tanah sebagai salah satu sumber air khususnya untuk keperluan industri izin pemanfaatannya sudah mulai diperketat karena isu lingkungan, serta dampak lingkungan yang dapat mengakibatkan menurunnya muka air tanah dan amblasan tanah (Volentino, 2013). Ketersediaan sumber air yang masih banyak dan melimpah yaitu berupa air laut (Esteban, 2016; Smith, 2009). Salah satu pemanfaatan air laut adalah dengan diolah menjadi air bersih yang dikenal dengan proses desalinasi (Scott, 1995). Proses pengolahan ini membutuhkan suatu teknologi proses, dimana sejalan dengan berjalannya waktu, teknologi proses pengolahan air laut juga semakin berkembang. Sejauh ini, ada dua proses yang sering digunakan dalam desalinasi, yaitu proses desalinasi thermal dan proses desalinasi berbasis membran (Su et al., 2015). Dalam tulisan ini akan menjelaskan sistem desalinasi thermal yaitu (1) Multi Effect Destilation, (2) Multi Stage Flash, serta desalinasi membran Reverse Osmosis. Maraknya issue lingkungan tentang terbatasnya ketersediaan air bersih, khususnya dalam pemanfaatan air tanah dalam keperluan industri menjadi suatu permasalahan di setiap negara. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan meggali informasi tentang potensi sistem desalinasi pengolahan air laut menjadi air bersih untuk keperluan industri. 2.
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Desalinasi 2.1.1 Desalinasi Membran Reverse Osmosis (RO) Reverse osmosis (RO) merupakan proses yang dilakukan dengan memberikan tekanan atau dorongan, menahan semua ion, melepaskan air murni dan membuang air kotor (Juliardi, 2005). Membran jenis ini beroperasi pada tekanan antara 10 - 100 bar dan batasan permeabilitas-nya mencapai 0,05 - 1,4 L/m2.jam.bar (Said, 2009). Membran RO memiliki ukuran pori persepuluh ribu mikron dan dapat menghilangkan zat organik, bakteri, pirogen, juga koloid yang tertahan oleh struktur pori yang berfungsi sebagai filtrasi. RO baik untuk TDS rendah maupun tinggi, dimana padatan total terlarut dapat diturunkan sampai tinggal beberapa persen saja dan zat organiknya juga bisa diturunkan. Membran RO tidak membunuh mikroorganisme melainkan hanya menghambat dan membuangnya (Juliardi, 2005). Teknologi reverse osmosis (RO) merupakan solusi dari kurangnya sumber daya air bersih, melalui kapasitasnya yang dapat mengolah semua jenis air seperti air laut, air limbah, air tanah dan permukaan menjadi air tawar (Al-Juboori & Yusaf, 2012). Membran reverse osmosis juga dapat menghilangkan hingga 99% padatan terlarut dalam air dalam satu tahapan (Scott, 1995).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
198 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Pada desain sistem membran RO terdapat beberapa parameter – parameter kritis yang harus diuji secara cermat, yaitu : kalsium, magnesium, kalium, mangan, natrium besi, sulfat, barium, khlorida, amonia, fosfat, nitrat, stronsium, dan sebagainya. Apabila parameterparameter tersebut dibiarkan maka akan terjadi fouling (Yusuf, 2008). Istilah fouling dikenal sebagai pengendapan atau pelekatan material di permukaan membran (Notodarmojo et al., 2004). Prinsip kerja filter RO adalah berdasarkan pada peristiwa osmosis yang terjadi di alam. Osmosis adalah peristiwa bergeraknya air dari larutan yang mempunyai konsentrasi lebih rendah melalui membran semi permeabel ke larutan yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi sampai tercapainya keseimbangan. Proses RO merupakan kebalikan dari proses osmosis, yaitu memberikan tekanan balik dengan tekanan osmotik lebih besar pada permukaan cairan yang lebih kental, maka cairan yang lebih murni akan menembus permukaan membran menjadi cairan yang lebih murni (Yusuf, 2008). Konsumsi desalinasi menggunakan membran RO sendiri antara 2,2 - 2,8 kWh/m3, tergantung pada jenis pemulihan energi konsentrat digunakan. Ketika energi pemulihan turbin yang digunakan untuk memulihkan energi yang tersimpan dalam konsentrat; energi RO adalah serendah 2,8 kWh / m3 produk; sementara perangkat seperti penukar tekanan dapat mengurangi konsumsi energi hingga 2,2 kWh/m3 (Steward et al., 2015).
Gambar 1. Mekanisme kerja RO (Sumber: Yusuf, 2008)
2.1.2 Desalinasi Thermal A. Multi Stage Flash (MSF) Destilation Multi stage flash (MSF) merupakan proses pemanasan air garam pada suhu tinggi dan bertekanan rendah untuk menghasilkan uap air dengan jumlah maksimum yang akhirnya menghasilkan air tawar. Pemulihan panas dirancang menggunakan air distilat sebagai sumber pemanas untuk umpan masuk dan pemanasan regeneratif yang digunakan untuk flash air laut di dalam setiap flash chamber. Kondensasi dari panas laten dilepaskan dari uap kondensasi
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 199
SBN: 978-602-6483-07-2
pada setiap tahap secara bertahap meningkatkan suhu air laut yang masuk. Ada tiga bagian di pabrik MSF: heat input, heat recovery, dan heat rejection. Pemanasan air garam pada air laut dilakukan dengan menggunakan tekanan steam rendah yang tersedia dari pembangkit listrik kogenerasi (cogeneration), seperti turbin gas dengan pembangkit uap pemulihan panas atau dari turbin uap pembangkit listrik (Bahar & Hawlader, 2013). Ada beberapa evaporator dalam MSF, umumnya memiliki 19 sampai 28 tahapan dalam skala MSF modern, dengan suhu air garam (TBT) sekitar 90 - 120 oC. Meskipun efisiensi yang lebih tinggi diamati dengan meningkatkan TBT lebih dari 120 oC, scaling dan korosi pada suhu tinggi mempengaruhi proses secara signifikan (Harris,1983). Untuk mempercepat flashing di setiap tahap, tekanan dipertahankan pada nilai yang lebih rendah dari tahap sebelumnya. Oleh karena itu, pintu masuk air laut dipanaskan dalam flash chamber mengakibatkan titik didih yang kuat yang disebabkan oleh flashing pada tekanan rendah (Bahar & Hawlader, 2013). Uap air yang melintas didinginkan dan terkondensasi oleh air laut dingin yang mengalir di tabung kondensor untuk menghasilkan distilat. Distilat diproduksi dan dikumpulkan dalam tiap tahap aliran secara paralel dengan air garam, dan dipompa ke tangki penyimpanan (Bahar & Hawlader, 2013).
Gambar 2. Proses Desalinasi MSF (Sumber : Malek, 1992)
B. Multi Effect Destilation (MED) Multi Effect Destilation merupakan metode desalinasi yang tertua namun merupakan metode yang efisien. Dalam metode ini, air laut mendidih di beberapa tahapan tanpa memasok panas tambahan setelah effect pertama. Evaporator dapat diatur secara vertikal maupun secara horisontal (Darwish & El- Hadik, 1986). Pertama, air laut akan dipanaskan dalam tabung evaporator dan mencapai titik didih. Pada umumnya, tabung dipanaskan secara eksternal oleh uap dengan menggunakan dua pembangkit listrik. Hanya sebagian air laut yang digunakan pada tabung dalam efect pertama
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
200 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
yang akan menguap. Sisa air umpan akan diumpankan lagi ke efek kedua, di mana air umpan tersebut digunakan lagi pada bundel tabung. Kemudian, tabung ini akan dipanaskan oleh uap yang dibuat dalam effect pertama. Selanjutnya, uap ini diembunkan untuk menghasilkan air tawar, sementara panas yang dihasilkan akan dilepas untuk menguapkan sebagian dari umpan air laut yang tersisa pada effect selanjutnya pada tekanan dan suhu yang rendah (Bahar & Hawlader, 2013). Konsumsi listrik dari metode MED sekitar 2 – 2,5 kWh/m3 distilat dan konsumsi thermal sebesar 30 - 120 kWh/m3 (Koschikowski, 2011). Secara signifikan metode MED lebih rendah dari metode MSF dengan konsumsi listrik sekitar 4 - 6 kWh/m3 distilat dan konsumsi thermal sebesar 55 - 120 kWh/m3 (Al-Mutaz., 2001). Untuk meningkatkan efisiensi proses MED, umumnya ditambahkan uap dari kompresor sebelum tahap pertama untuk meningkatkan energi yang dibawa oleh uap. Proses ini disebut sebagai vapour compression (VC). Biasanya, disarankan untuk menggunakan beberapa tahapan dalam proses ini, karena sistem VC dengan beberapa effect memberikan rasio peningkatan kinerja, penurunan konsumsi daya dan pemanfaatan maksimum sumber pemanas (Bahar et al., 2004).
Gambar 3. Proses Desalinasi MED (Sumber : Bruggen & Vandecasteele, 2002)
2.2 Perbandingan Sistem Desalinasi Menurut International Desalination Assosiation (2012), penggunaan desalinasi didominasi oleh masyarakat dunia untuk kebutuhan perkotaan sekitar 60%, keperluan industri sebanyak 28%, unit pembangkit listrik sebanyak 6%, dan kebutuhan lainnya.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 201
SBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 4. Penggunaan Produk Desalinasi di Dunia berdasarkan Kapasitas Produksi Sumber : International Desalination Assosiation, 2012
Teknologi desalinasi yang dipergunakan di dunia didominasi oleh desalinasi membran Reverse Osmosis (RO) sebesar 65%, desalinasi thermal Multi Stage Flash (MSF) sebesar 21%, dan desalinasi thermal Multi Effect Desttilation (MED) sebesar 7% (IDA, 20112). Pada teknologi MED, uap dikondensasi didalam pipa-pipa feedwater, sedangkan pada jenis MSF uap dikondensasi diuar pipa-pipa feedwater. Pada teknologi jenis membran tidak terjadi proses kondensasi, air tawar yang dihasilkan dalam proses ini terjadi karena peristiwa osmosis yang dibalik, dan dibutuhkan media berupa membran semipermeable.
Gambar 5. Penggunaan Jenis Desalinasi di Dunia Sumber : International Desalination Assosiation, 2012
Kriteria yang harus diperhatikan dalam memilih teknologi desalinasi khususnya untuk kebutuhan industri dintaranya kualitas air bersih yang diinginkan, salinitas, sumber energi yang akan digunakan untuk produksi air, debit air yang diperlukan, faktor ekonomi, keandalan, kemudahan operasi dan perawatannya. Berikut data perbandingan antara sistem desalinasi RO, MSF, dan MED.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
202 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 1. Perbandingan Umum Sistem Desalinasi Kriteria Hanya perlu tenaga listrik Uap sebagai sumber panas Kondisi air baku kotor/keruh Kondisi Air baku berubah-ubah Memerlukan chemical cleaning Ball cleaning Ganti suku cadang Pembersihan & penggantian membran Ganti elemen filter
RO Ya Tidak Tidak Sulit Ya Tidak Tidak Ya Ya
MSF Tidak Ya Dapat Dapat Jarang Ya Ya Tidak Tidak
MED Tidak Ya Dapat Dapat Sedang Tidak Ya Tidak Tidak
Sumber : Nugroho, 2004
Tabel 2. Perbandingan Kapasitas Produksi, Biaya Modal, Biaya Produksi, Energi, dan Teknik Pengoperasian Sistem Desalinasi MSF Kapasitas Produksi, Kapasitas Produksi: Biaya Modal, dan 37.850 m3/hari Biaya Produksi Biaya Modal: 60.500.000 $ Biaya Produksi: 1.598 $/(m3/hari) (Ettoney et al., 2002) Konsumsi Energi Listrik : 4 - 6 (kWh/m3) Thermal : 55 - 120 (Al-Mutaz., 2001) Teknik Operasional
3.
Tinggi (Mehta et al., 2014)
MED
RO
Kapasitas Produksi: 37.850 m3/hari Biaya Modal: 70.400.000 $ Biaya Produksi: 1.860 $/(m3/hari) (Ettoney et al., 2002)
Kapasitas Produksi: 37.850 m3/hari Biaya Modal: 49.700.000 $ Biaya Produksi: 1.313 $/(m3/hari) (Ettoney et al., 2002)
Listrik : 2 – 2,5 Thermal : 30 - 120 (Koschikowski, 2011) Sedang – Tinggi (Mehta et al., 2014)
Listrik : 2,2 - 2,8 Thermal : (Steward et al., 2015) Sedang (Mehta et al., 2014)
KESIMPULAN
Kajian litelatur yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa teknologi desalinasi membran jenis RO menduduki pangsa pasar pertama sebagai teknologi yang banyak digunakan akhirakhir ini, khususnya dalam keperluan industri. Teknologi desalinasi reverse osmosis (RO) merupakan suatu solusi dari permasalahan kurangnya sumber daya air bersih dengan kemampuannya yang dapat mengolah semua jenis air seperti air laut, air limbah, air tanah dan air permukaan menjadi air tawar. Membran reverse osmosis (RO) memiliki kemampuan untuk menghilangkan padatan terlarut dalam air hingga 99% hanya dalam satu tahapan. Biaya pada sistem desalinasi reverse osmosis lebih hemat dibandingkan dengan sistem desalinasi thermal MSF dan MED. Selain itu desalinasi reverse osmosis lebih hemat energi
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 203
SBN: 978-602-6483-07-2
dibandingkan dengan desalinasi thermal MSF dan MED, serta teknik pengoperasiannya yang lebih mudah dibandingkan dengan sistem desalinasi thermal MSF dan MED. Tetapi, pada sistem desalinasi RO memiliki kelemahan yaitu terbentuknya fouling (penyumbatan) pada membran, sehingga desalinasi RO memerlukan pembersihan dan penggantian membran, penggantian elemen filter, serta memerlukan chemical cleaning. Walaupun demikian, hal ini tidak dapat menjadi suatu acuan yang mutlak, karena pada akhirnya penggunaan teknologi yang tepat akan sangat bergantung dari fungsi dan kondisi lingkungannya masing-masing. DAFTAR PUSTAKA Al-Juboori, R. A., & Yusaf, T. 2012. Biofouling in RO system: Mechanisms, monitoring and controlling. Desalination, 302:1-23. Al-Mutaz, I. S. 2001. The Continued Challenge Of Capacity Building In Desalination. Desalination, 141(2):145–156. Bahar, Rubina, & Hawlader, Mohammad, N. A. 2013. Desalination : Convertion of Seawater to Freshwater. Bahar, Rubina., Hawlader, M.N.A and Woey. L.S. 2004. Performance evaluation of a mechanical vapor compression desalination system. Desalination, 166: 123 - 127. Bruggen, Van, der, B & Vandecasteele, C. 2002. Distillation vs membrane filtration: overview of process evolutions in seawater desalination. Desalination, 143:207 - 218. Darwish M.A & El-Hadik A.A., 1986. The Multi-Effect boiling desalting system and its comparison with the Multi Stage Flash system. Desalination, 60: 251 - 265. Esteban, A, Maria. 2016. Welcome to the New Journal Fishes. Fishes. 1, pp. 6 – 7. Ettoney, Hisham, M., et al. 2002. Evaluating the Economic of Desalination. Chemical Engineering Process, 98 (12):32 – 40. Harris, A. 1983. Seawater Chemistry and Scale Control. Desalination Technology Development and Practice, in: A. Porteous (Ed.). Applied Science Publishers. pp. 31 – 56. http://idadesal.org/publications/ida-desalination-yearbook/ IDA. 2012. IDA Desalination Yearbook 2012-2013. Water Desalination Report. Juliardi, N.R.A.R. 2005. Peningkatan Kualitas Air Minum Menggunakan Membran Reverse Osmosis (Ro). Staf Pengajar Teknik Lingkungan Ftsp-Upn ”Veteran”, Jawa Timur. Koschikowski, J. 2011. Water Desalination : When and Where Will It Make Sense? Fraunhofer Institute for Solar Energy Systems ISE. Freiburg : Germany Malek, A., Hawlader, M.N.A. and Ho, J.C. Large. 1992. – scale seawater desalination : a technical and economic review. ASEAN J. Sci. Technol. Development. 9(2):41-61. Mehta, Dhruv., et al. 2014. Forward Osmosis in India : Status and Comparison with Other Desalination Technologies. International Scholarly Research Notices. pp. 1-7 Mishra, R. K., & Dubey, S. C. 2015. Fresh Water Availability and it‘s Global Challenge. 2(VI). Notodarmojo, S., Zulkarnain, T., Mayasanthy, D., & Irsyad, M. 2004. Efek Pretreatment terhadap Pembentukan Lapisan Cake dan Struktur Membrane pada Membran Ultrafiltrasi Aliran Cross-Flow dalam Pengolahan Limbah Cair Emulsi Minyak. PROC. ITB Sains & Tek, 36A (2):127 - 144.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
204 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Nugroho, Ari. 2004. Uraian Umum tentang Teknologi Desalinasi. Jurnal Pengembangan Energi Nuklir, 6(3-4): 65 – 75. Said, Nusa Idaman. 2009. Uji Kinerja Pengolahan Air Siap Minum dengan Proses Biofiltrasi, Ultrafiltrasi dan Reverse Osmosis (Ro) dengan Air Baku Air Sungai. Pusat Teknologi Lingkungan BPPTeknologi. 5 (2):114 – 161. Scott, K. 1995. Water Desalination. Handbook of Industrial Membranes. Amsterdam: Elsevier Science, pp. 489 – 517. Smith, A. 2009. Nanotechnology: An Answer to the World’s Water Crisis? pp.137 - 139. Stewart, Burn., et al. 2015. Desalination techniques - A review of the opportunities for desalination in agriculture. Desalination. Uju, Ibrahim, B., Trilaksani, W., & Nurhayati, T. 2009. Optimasi dan Pemodelan Proses Recover Flavor dari Limbah Cair Industri Pengolahan Rajungan dengan Reverse Osmosis. Ilmu Pertanian Indonesia, 14: 50-64. Volentino, Deo. 2013. Kajian Pengawasan Pemanfaatan Sumber Daya Air Tanah di Kawasan Industri Kota Semarang. Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 1(3):265-274 Yusuf, E., Rachmanto, T. A., dan Laksmono, R. 2008 Pengolahan Air Payau Menjadi Air Bersih dengan Menggunakan Membran Reverse Osmosis. Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran”, Jawa Timur
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 205
SBN: 978-602-6483-07-2
PEMANFAATAN LIMBAH PLASTIK MENJADI BAHAN BAKAR Khalida Dian Nurlaily Aldis Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Jl. Jend. Ahmad Yani km. 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang Alat Pengolahan Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar, mengetahui pengolahan sampah plastik jenis PP (Polypropylene), HDPE (High Density Polyethylene), dan PET (Polypropylene Terephtalate), mengetahui karakteristik bahan bakar yang dihasilkan oleh sampah plastik jenis PP (Polypropylene ), HDPE (High Density Polyethylene), PET (Polypropylene Terephtalate ) melalui pengamatan visual. Metode penelitian ini adalah mengetahui waktu dan temperatur nyala api yang digunakan untuk membakar sampah plastik jenis PP (Polypropylene), HDPE( High Density Polyethylene ), dan PET (Polypropylene Terephtalate), mengetahui jumlah bahan bakar yang digunakan dan jumlah bahan bakar yang dihasilkan, mengetahui temperatur nyala api bahan bakar yang dihasilkan dari sampah plastik jenis jenis PP (Polypropylene), HDPE ( High Density Polyethylene ), dan PET (Polypropylene Terephtalate ), dengan temperatur nyala api bensin dan minyak tanah. Hasil penelitian dilakukan secara visual dengan cara membakar bahan bakar yang dihasilkan dari sampah plastik jenis PP (Polypropylene), HDPE ( High Density Polyethylene ),dan PET (Polypropylene Terephtalate ),dan mengetahui temperatur nyala api dengan temperature nyala api minyak tanah dan bensin. Kata kunci : Plastik PP, HDPE, dan PET, Bahan Bakar ABSTRACT The Study of Plastic Waste utilization for liquid Fuel resource. The objective of this research is to design the tools of Plastic Waste Being Fuels, to find out the type of plastic waste PP (Polypropylene), HDPE (High Density Polyethylene), and PET (Polypropylene Terephtalate), to find out the characteristics of the fuel produced by the plastic waste types of PP (Polypropylene), HDPE (High Density Polyethylene), PET (Polypropylene Terephtalate) through visual observation. The method of this study was to determine the time and temperature of the flame used to burn waste plastic type PP (Polypropylene), HDPE (High Density Polyethylene), and PET (Polypropylene Terephtalate), determine the amount of fuel used and the amount of fuel produced, knowing flame temperature of fuel produced from waste plastic type PP (Polypropylene), HDPE (High Density Polyethylene), and PET (Polypropylene Terephtalate), with a flame temperature of gasoline and kerosene. The results of the research done visually by means of burning fuel produced from waste plastic type PP (Polypropylene), HDPE (High Density Polyethylene), and PET (Polypropylene Terephtalate), and know the temperature of the flame with a flame temperature of kerosene and gasoline. Keywords: Plastic PP, HDPE and PET, liquid fuel
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
206 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1. PENDAHULUAN Plastik adalah polimer rantai panjang dari atom yang mengikat satu sama lain. Rantai ini membentuk banyak unit molekul berulang, atau "monomer". Istilah plastic mencakup produk polimerisasi sintetik atau semisintetik, namun ada beberapa polimer alami yang termasuk plastik. Plastik terbentuk dari kondensasi organik atau penambahan polimer dan bisa juga terdiri dari zat lain untuk meningkatkan performa atau ekonomi (Wikipedia, 2009; Azizah, 2009). Plastik merupakan bahan kemasan utama saat ini. Salah satu jenis plastik adalah Polytehylene (PE). Polietilen dapat dibagi menurut massa jenisnya menjadi dua jenis, yaitu: Low Density Polyethylene (LDPE) dan High Density Polyethylene (HDPE). LDPE mempunyai massa jenis antara 0,91-0,94 gmL- 1, separuhnya berupa kristalin (50-60%) dan memiliki titik leleh 115oC. Sedangkan HDPE bermassa jenis lebih besar yaitu 0,95-0,97 gmL-1, dan berbentuk kristalin (kristalinitasnya 90%) serta memiliki titik leleh di atas 127oC (beberapa macam sekitar 135oC) (Billmeyer,1971). Secara kimia, LDPE mirip dengan HDPE. Tetapi secara fisik LDPE lebih fleksibel dan kerapatannya lebih kecil dibandingkan HDPE. Perkembangan selanjutnya, telah diproduksi LDPE yang memiliki bentuk linier dan dinamakan Low Linear Density Poliethylene (LLDPE). Kebanyakan LDPE dipakai sebagai pelapis komersial, plastik, lapisan pelindung sabun, dan beberapa botol yang fleksibel. Kelebihan LDPE sebagai material pembungkus adalah harganya yang murah, proses pembuatan yang mudah, sifatnya yang fleksibel, dan mudah didaur ulang. Selain itu, LDPE mempunyai daya proteksi yang baik terhadap uap air, namun kurang baik terhadap gas lainnya seperti oksigen. LDPE juga memiliki ketahanan kimia yang sangat tinggi, namun melarut dalam benzena dan tetrachlorocarbon (CCl4) (Billmeyer, 1971). 2. PEMBAHASAN 2.1. Jenis-jenis Plastik Plastik adalah salah satu jenis makromolekul yang dibentuk dengan proses polimerisasi. Polimerisasi adalah proses penggabungan beberapa molekul sederhana (monomer) melalui proses kimia menjadi molekul besar (makromolekul atau polimer). Plastik merupakan senyawa polimer yang unsur penyusun utamanya adalah Karbon dan Hidrogen. Untuk membuat plastik, salah satu bahan baku yang sering digunakan adalah Naphta, yaitu bahan yang dihasilkan dari penyulingan minyak bumi atau gas alam. Sebagai gambaran, untuk membuat 1 kg plastik memerlukan 1,75 kg minyak bumi , untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya maupun kebutuhan energi prosesnya (Kumar dkk., 2011). Plastik dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu thermoplastic dan termosetting. Thermoplastic adalah bahan plastik yang jika dipanaskan sampai temperatur tertentu, akan mencair dan dapat dibentuk kembali menjadi bentuk yang diinginkan. Sedangkan thermosetting adalah plastik yang jika telah dibuat dalam bentuk padat, tidak dapat dicairkan kembali dengan cara dipanaskan. Berdasarkan sifat kedua kelompok plastik di atas, thermoplastik adalah jenis yang memungkinkan untuk didaur ulang. Jenis plastik yang dapat didaur ulang diberi kode berupa
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 207
SBN: 978-602-6483-07-2
nomor untuk memudahkan dalam mengidentifikasi dan penggunaannya (lihat Gambar 1 dan Tabel 2).
Gambar 1. Nomor kode plastik Sumber: UNEP, 2009
Tabel 1. Jenis plastik, kode dan penggunaannya
2.2. Daur ulang sampah plastic Daur ulang merupakan proses pengolahan kembali barang-barang yang dianggap sudah tidak mempunyai nilai ekonomis lagi melalui proses fisik maupun kimiawi atau kedua-duanya sehingga diperoleh produk yang dapat dimanfaatkan atau diperjualbelikan lagi. Daur ulang (recycle) sampah plastik dapat dibedakan menjadi empat cara yaitu daur ulang primer, daur ulang sekunder, daur ulang tersier dan daur ulang quarter. Daur ulang primer adalah daur ulang limbah plastik menjadi produk yang memiliki kualitas yang hampir setara dengan produk aslinya. Daur ulang cara ini dapat dilakukan pada sampah plastik yang bersih, tidak terkontaminasi dengan material lain dan terdiri dari satu jenis plastik saja. Daur ulang sekunder adalah daur ulang yang menghasilkan produk yang sejenis dengan produk aslinya tetapi dengan kualitas di bawahnya. Daur ulang tersier adalah daur ulang sampah plastik menjadi bahan kimia atau menjadi bahan bakar. Daur ulang quarter adalah proses untuk mendapatkan energi yang terkandung di dalam sampah plastik (Kumar dkk., 2011). Perbandingan energi yang terkandung dalam plastik dengan sumbersumber energi lainnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut:
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
208 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 2. Nilai kalor plastik dan bahan lainnya
2.3. Konversi Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar Minyak Mengkonversi sampah plastik menjadi bahan bakar minyak termasuk daur ulang tersier. Merubah sampah plastic menjadi bahan bakar minyak dapat dilakukan dengan proses cracking (perekahan). Cracking adalah proses memecah rantai polimer menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih rendah. Hasil dari proses cracking plastik ini dapat diguna sebagai bahan kimia atau bahan bakar. Ada tiga macam proses cracking yaitu hidro cracking, thermal cracking dan catalytic cracking (Panda, 2011). 2.3.1. Hidro cracking Hidro cracking adalah proses cracking dengan mereaksikan plastik dengan hidrogen di dalam wadah tertutup yang dilengkapi dengan pengaduk pada temperature antara 423 – 673 K dan tekanan hidrogen 3 – 10 MPa. Dalam proses hydrocracking ini dibantu dengan katalis. Untuk membantu pencapuran dan reaksi biasanya digunakan bahan pelarut 1-methyl naphtalene, tetralin dan decalin (Rodiansono (2005). 2.3.2. Thermal cracking Thermal cracking adalah termasuk proses pyrolisis, yaitu dengan cara memanaskan bahan polimer tanpa oksigen. Proses ini biasanya dilakukan pada temperature antara 350 °C sampai 900 °C. Dari proses ini akan dihasilkan arang, minyak dari kondensasi gas seperti parafin, isoparafin, olefin, naphthene dan aromatik, serta gas yang memang tidak bisa terkondensasi (Rodiansono, 2005). Bajus dan Hájeková, 2010, melakukan penelitian tentang pengolahan campuran 7 jenis plastik menjadi minyak dengan metode thermal cracking. Tujuh jenis plastik yang digunakan dalam penelitian ini dan komposisinya dalam persen berat adalah HDPE (34,6%) , LDPE (17,3%), LLPE (17,3%), PP (9,6%), PS (9,6%), PET (10,6%), dan PVC (1,1%). Penelitian ini menggnakan batch reactor dengan temperatur dari 350 sampai 500 °C. Dari penelitian ini
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 209
SBN: 978-602-6483-07-2
diketahui bahwa thermal cracking pada campuran 7 jenis plastik akan menghasilkan produk yang berupa gas, minyak dan sisa yang berupa padatan. Adanya plastik jenis PS, PVC dan PET dalam campuran plastik yang diproses akan meningkatkan terbentuknya karbon monoksida dan karbon dioksida di dalam produk gasnya dan menambah kadar benzene, toluene, xylenes, styrene di dalam produk minyaknya (Rodiansono, 2005). Penelitian dengan jenis plastik yang lain dilakukan oleh Tubnonghee dkk. Pada tahun 2010. Plastik yang diteliti untuk dijadikan bahan bakar minyak adalah jenis polyethylene (PE) dan polyprophelene (PP). Pembuatan bahan bakar minyak dari plastic menggunakan proses thermo cracking (pyrolisis). Pyrolisis dilakukan pada temperatur 450 °C selama 2 jam. Gas yang terbentuk selanjutnya dikondensasikan menjadi minyak di dalam kondenser yang bertemperatur 21 °C. Minyak yang dihasilkan selanjutnya dianalisa dengan gas chromatography/mass spectrometry untuk mengetahui distribusi jumlah atom karbonnya. Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa komposisi minyak dari campuran plastik PE dan PP tersebut mempunyai jumlah atom Carbon yang setara dengan solar, yaitu C12 – C 17 (Rodiansono, 2005). 2.3.3. Catalytic cracking Cracking cara ini menggunakankatalis untuk melakukan reaksi perekahan. Dengan adanya katalis, dapat mengurangi temperatur dan waktu reaksi. Osueke dan Ofundu (2011) melakukan penelitian konversi plastik low density polyethylene (LDPE) menjadi minyak. Proses konversi dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan thermal cracking dan catalyst cracking. Pyrolisis dilakukan di dalam tabung stainless steel yang dipanaskan dengan elemen pemanas listrik dengan temperatur bervariasi antara 475 – 600 °C. Kondenser dengan temperatur 30 – 35 °C, digunakan untuk mengembunkan gas yang terbentuk setelah plastik dipanaskan menjadi minyak. Katalis yang digunakan pada penelitian ini adalah silica alumina. Dari penelitian ini diketahui bahwa dengan temperatur pyrolisis 550 °C dan perbandingan katalis/sampah plastik 1 : 4 dihasilkan minyak dengan jumlah paling banyak. 2.4. Percobaan I Kantong Kresek PP (Polypropylene) Percobaan I Kantong Kresek PP (Polypropylene) Tabel 3. Waktu dan temperatur nyala api yang digunakan untuk membakar 500 gram kantong kresek PP (Polypropylene)
Sumber : Bachriansyah, S. 1997
Pada tabel 3 untuk membakar kantong kresek PP (Polypropylene), 500 gram waktu yang dibutuhkan 930 detik dengan temperatur nyala api 300 0C . Sedangkan jumlah bahan bakar yang digunakan reactor untuk membakar bahan baku dan jumlah bahan bakar yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 4.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
210 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 4. Jumlah bahan bakar yang digunakan dan jumlah bahan bakar yang dihasilkan.
Sumber : Bachriansyah, S. 1997
Pada grafik 4 untuk membakar 500 gram kantong kresek PP (Polypropylene), bahan bakar dibutuhkan reaktor sebesar 424 mili liter dan bahan bakar yang dihasilkan 484 mili liter. Untuk mengetahui temperatur nyala api adalah dengan cara membakar bahan bakar yang dihasilkan dengan menggunakan alat infrared thermometer dan melihat temperatur nyala api. 2.5. Percobaan II Botol Oli HDPE Waktu dan temperatur nyala api yang digunakan untuk membakar botol oli HDPE ditunjukkan pada tabel 5. Tabel 5. Waktu dan temperatur nyala api yang digunakan untuk membakar 500 gram botol oli HDPE ( High Density Polyethylene )
Sumber : Bachriansyah, S. 1997
Pada tabel 5, untuk membakar botol oli 500 gram waktu yang dibutuhkan 1515 detik dengan temperature nyala api 415 0C .
Tabel 6. Jumlah bahan bakar yang digunakan dan jumlah bahan bakar yang dihasilkan.
Sumber : Bachriansyah, S. 1997
Pada grafik 4.5 untuk membakar 500 gram botol oli bahan bakar yang dibutuhkan 548 mili liter dan bahan bakar yang dihasilkan 447 mili liter. Percobaan III Botol air minum kemasan (AquaTM), PET ( Polypropylene Terephtalate ). Waktu dan temperatur nyala api yang digunakan untuk membakar botol aqua PET (Polypropylene Terephtalate ) dan waktu yang dibutuhkan adalah 1221 detik dengan temperature nyala api 400 0C (Tabel 7).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 211
SBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 7. Waktu dan temperatur nyala api yang digunakan untuk membakar 500 gram plastik PET (Polypropylene Terephtalate).
Sumber : Bachriansyah, S. 1997
Tabel 8. Jumlah bahan bakar yang digunakan dan jumlah bahan bakar yang dihasilkan.
Sumber : Bachriansyah, S. 1997
Untuk membakar 500 gram botol aqua (PET) bahan bakar yang dibutuhkan reaktor 495 mili liter dan bahan bakar yang dihasilkan 447 mili liter. Untuk melihat kinerja hasil dari alat pengelolaan sampah plastik menjadi bahan bakar pada tiga tahap pengujian dapat dibuat uraian sebagai berikut: Waktu yang dibutuhkan untuk membakar bahan baku plastik dan besarnya temperatur nyala api api yang dibutuhkan reaktor untuk melelehkan bahan baku plastik dapat dilihat pada tabel 8. (Bachriansyah, S. 1997) Tabel 8. Waktu yang dibutuhkanuntuk membakar bahan baku plastik dan besarnya temperatur nyala api.
Sumber : Bachriansyah, S. 1997
Sebanyak 500 gram waktu yang dibutuhkan 930 detik dengan temperatur nyala api 300 0C. Untuk botol oli 500 gram waktu yang dibutuhkan 1515 detik dengan temperatur nyala api 4150C dan botol aqua 500 gram waktu yang dibutuhkan 1221 detik dengan temperature nyala api 4000C . Perbandingan jumlah bahan baku plastik yang digunakan dengan bahan bakar yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 9 berikut.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
212 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Tabel 9. Perbandingan jumlah bahan baku plastic yang digunakan dengan bahan bakar yang dihasilkan.
Sumber : Bachriansyah, S. 1997
Pada tabel 9, untuk kantong kresek 500 gram menghasilkan bahan bakar 484 mili liter. Untuk 500 gram botol oli menghasilkan 403 mili liter dan botol aqua 500 gram menghasilkan 447 mili liter. Sedangkan bahan bakar yang digunakan untuk memanaskan reactor untuk plastik PP,HDPE,dan PET masing-masing adalah 242,548 dan 495 ml. (Bachriansyah, S. 1997) Pada tabel 9 untuk membakar kantong kresek 500 gram bahan bakar yang digunakan 424 mili liter dan menghasilkan bahan bakar 484 mili liter. Untuk botol oli 500 gram bahan bakar yang digunakan 548 mili liter dan menghasilkan bahan bakar 403 mili liter. Untuk botol aqua 500 gram bahan bakar yang digunakan 495 mili liter dan menghasilkan bahan bakar 447 mili liter. Meskipun dalam penelitian ini menggunakan bahan bakar minyak tanah yang tentu saja memerlukan biaya tambahan, namun hal ini dapat diganti dengan suber kalor buang lainnya atau pun dapat menggunakan sampah lain yang dapat melelehkan plastik dalam reactor ( Bachriansyah, S. 1997). 3.
KESIMPULAN
Sampah plastik jenis polietilene atau pilipropilene dapat diolah dengan proses hydrocracking yang dibantu dengan katalis menjadi hidrokarbon rantai pendek (sekelas bensin). Pada proses konversi sampah plastik jenis LDPE dengan thermal cracking tanpa katalis akan menghasilkan minyak yang setara dengan kerosin. Campuran plastik PE dan PP yang diproses dengan thermo cracking pada temperature 450 °C selama 2 jam dan selanjutnya dikondensasikan pada temperatur 21 °C akan menghasilkan minyak yang mempunyai jumlah atom Carbon yang setara dengan solar, yaitu C12 – C 17. Pada proses konversi sampah plastik jenis LDPE dengan thermal cracking dan catalytic cracking akan menghasilkan jumlah minyak yang optimal pada temperatur pyrolisis 550 °C dan perbandingan katalis/sampah plastik 1 : 4. Uji unjuk kerja mesin dari bahan bakar campuran solar dengan minyak dari sampah plastic PVC pada mesin diesel, menghasilkan konsumsi bahan bakar yang lebih rendah, SFC yang lebih rendah dan efisiensi termal yang lebih tinggi dibanding bahan bakar solar murni.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 213
SBN: 978-602-6483-07-2
DAFTAR PUSTAKA Bajus, M. dan Hájeková, E. 2010. Thermal Cracking of The Model Seven Components Mixed Plastics into Oils/Waxes. Petroleum & Coal, 52(3):164-172, Slovak University of Technology, Bratislava, Slovakia. ISSN 2088 – 3676 40 Bachriansyah, S. 1997. Identifikasi Plastik. Makalah Pelatihan Teknologi Pengemasan Industri Makanan dan Minuman, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Bogor. Billmeyer. B. 1971. Textbook Of Polymer Science. Breeze,Paul et al. 2009. Renewable Energy Focus Handbook. Academic Press. Elsevier. Linacre House, Jordan Hill, Oxford OX2 8DP,UK. Budiyantoro, C. 2010. Thermoplastik dalam Industri. Surakarta: Teknika Media. Pahlevi, M.R. 2012. Sampah Plastik (http://il/twit-sampah-plastik.html) Kumar S., Panda, A.K., dan Singh, R.K. 2011. A Review on Tertiary Recycling of HighDensity Polyethylene to Fuel. Resources, Conservation and Recycling, 55:893– 910. Kurniawan, A. 2012. Mengenal Kode Kemasan Plastik yang Aman dan Tidak http://ngeblogging.wordpress. com/2012/06/14/mengenal-kodekemasanplastik-yang-aman-dan-tidak/, 1 Maret 2013. Nurcahyo, I.F. 2005. Uji aktivitas dan regenerasi katalis NiPd(4:1)/Zeolit alam aktif untuk hidrorengkah sampah plastik polipropilena menjadi fraksi bensin dengan sistem semi alir, Thesi Ilmu Kimia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Panda, A.K. 2011. Studies on Process Optimization for Production of Liquid Fuels from Waste Plastics, Thesis, Chemical Engineering Department National Institute of Technology Rourkela. Rodiansono. 2005. Aktivitas Katalis NiMo/Zeolit dan NiMo/Zeolit-Nb2O5 untuk Reaksi Hidrorengkah Sampah Plastik Polipropilena Menjadi Fraksi Bensin, Thesis Ilmu Kimia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sarker, M., Rashid, M.M., Rahman, M.S., dan Molla, M. 2012. Envirnmentally Harmful Low Density Waste Plastic Conversion into Kerosene Grade Fuel. Journal of Environmental Protection, 2012(3):700 – 708. Osueke dan Ofundu. 2011. Conversion of Waste Plastics (Polyethylene) to Fuel by Means of Pyrolysis. (IJAEST) International Journal of Advanced Engineering Sciences and Technologies, 4(1):021 – 024. UNEP (United Nations Environment Programme). 2009. Converting Waste Plastics Into a Resource, Division of Technology, Industry and Economics International Environmental Technology Centre, Osaka/Shiga.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
214 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN TIPE HABITATNYA DI DAERAH ENDEMIS DI KABUPATEN KAPUAS KALIMANTAN TENGAH M. Rasyid Ridha1, Nur Afrida R2, Upik K Hadi3, Elok B. Retnani3, Riza M Khair4,Paisal1 1. Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan 2. Hakli Kota Banjarmasin 3. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 4. Prodi Teknik Lingkungan, Universitas Lambung Mangkurat E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Filariasis limfatik di beberapa daerah di Indonesia saat ini masih tinggi. Desa Mandomai di Kabupaten Kapuas dikenal sebagai daerah endemis filariasis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan berbagai jenis nyamuk, kepadatan, dominasi spesies, paritas dan habitat karakteristik vektor filariasis. Nyamuk dikumpulkan dengan metode Human Landing Collection (HLC) di dalam dan di luar rumah, dan istirahat diluar dan di dalam rumah. Hasil penelitian menunjukkan ragam jenis nyamuk di Desa Mandomai sebanyak 13 jenis yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Ma. uniformis, Ma. dives, Ma. annulata, An. barbirostris, An. balabacensis, Ae. albopictus, Ae. aegyptidan Ar. subalbatus. Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik, eksofilik dan endofilik. Cx.quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik dan eksofilik.Nilai kepadatan,dominasi spesies dan paritas tinggi yaitu Cx. bitaeniorhynchus,Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus.perkiraan umur populasi Cx. bitaeniorhynchus adalah 38,9 hari, Cx. tritaeniorhynchus 23,9 hari dan Cx quinquefasciatus 14,3 hari, sehingga dapat berpotensi menjadi vektor filariasis. Tipe tempat habitat yang ditemukan yaitu kolam, kubangan air, selokan, penampung karet dan sawah. Desa Mandomai terdapat 3 jenis nyamuk yang berpotensi sebagai vektor filariasis dan ditemukan habitat yang mendukung keberadaan nyamuk. Kata kunci :Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, filariasis ABSTRACT Lymphatic filariasis cases in some area in Indonesia currently are still high. Mandomai Village in Kapuas District known as filariasis endemic area with the highest cases of filariasis. The aims of this study were to determine the various species of mosquitoes, density, dominance of species, parity and habitat characteristics of filariasis vectors.The mosquitoeswere collected by human landing collection (HLC) indoors and outdoors, and by indoors and outdoors resting collections. The result showed that there were13 species i.e. Culex bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Ma.dives, Ma.annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae.aegypti and Armigeres subalbatus. Cx.bitaeniorhynchuswasexophagic, endophilic and exophilic species. Cx.quinquefasciatus
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 215
SBN: 978-602-6483-07-2
and Cx. tritaeniorhynchus were belong to exophagic and exophilic species.Therewere 3 species which highin densitiy, dominancyand parity rates, i.eCx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus and Cx. quinquefasciatus.The estimate of age population(longevity) were 38.9 days for Cx. bitaeniorhynchus, 23.9 days for Cx. tritaeniorhynchusand 14.3 daysfor Cx. quinquefasciatus. Those three species were potentially became filariasis vectors. Type of breeding places found were ponds, puddles, ditches, latex sap falling container and paddy fields.In Mandomai village there are foundthree species potentially vectors and also their breeding places. Keywords: Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, filariasis
1. PENDAHULUAN Filariasis dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat berupa penurunan produktivitas kerja, beban keluarga dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara karena dapat menyebabkan kecacatan menetap dan berjangka lama serta merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO 2013). Menurut Evanset al. (1993) total kerugian ekonomi akibat ketidakmampuan karena filariasis adalah 67%dari total pengeluaran rumah tangga perbulan. Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas sejak tahun 2008 telah melakukan pengobatan massal filariasis dan berakhir tahun 2012, tetapi jumlah kasus hingga 5 tahun terakhir masih tinggi, yaitu tahun 2009 terdapat 5 kasus, 2010 2 kasus, 2011 terjadi peningkatan (21 kasus) dan 2012 dan 2013 masing-masing 16 kasus. Transmission assesment survei (TAS) sebagai survei evaluasitahun 2013 untuk mengetahui adanya penularan baru pada 1542 anak sekolah dasar (SD) dan ditemukan 17 anak positif filariasis (Dinkes Kab. Kapuas 2014). Kasus tertinggi di Kabupaten Kapuas terdapat pada Kecamatan Kapuas Barat dan Mentangai. Desa Mandomai merupakan daerah yang sampai sekarang masih endemis filariasis (Dinkes Kab. Kapuas 2014). Hal tersebut kemungkinan karena berbatasan langsung dengan Kab. Pulang Pisau yang juga merupakan daerah endemis filariasis. Vektor utama filariasis tipe Wuchereria bancrofti adalah dari genus Culex sp (di daerah urban dan semi urban), Anopheles sp (di daerah rural) dan Aedes sp (di Kepulauan Pasifik), sedangkanfilariasis tipe Brugia malayi ditularkan dari berbagai spesies Mansonia sp, namun pada beberapa daerah juga ditemukan pada Anopheles sp (WHO 2015).Nyamuk Culex quinquefasciatus dan Armigeres subalbatus dengan PCR (polymerase chain reaction), dapat dideteksi keberadaanB. Malayi (Yahya et al. 2014). Sementara itu,An. barbirostris merupakan vektor penting B. malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan (Soeyoko 2002).Ughasi et al. (2012) menyatakan bahwa Ma. africana dan Ma. Uniformis merupakan vektor W. bancrofti di Ghana.Kley and Rajan (2002) mencatat vektor Brugia spp terdiri atas An. nigerrimus, An. peditaenitus, An.vagus, An. subpictus, Cx. quinquefasciatus, Cx. annulirostris, Cx. bitaeniorhynchus, Cx.orchracea, Ma. annulata, Ma. annulifera, Ma. bonneae, Ma. dives, Ma. indiana, Ma. uniformis, dan Ar. subalbatus. Habitat vektor filariasis sangat bervariasi antara lain berupa genangan air seperti rawa-rawa, yang sangat potensial untuk perkembangbiakannya.Data keanekaragaman jenis dan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
216 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
karakteristik habitat perkembangbiakan vektor sangat diperlukan dalam upaya perencanaan pengendalian filariasis. Berdasarkan latar belakang tersebut diperlukan data dasar mengenai ragam jenis nyamuk dan kaitannya sebagai vektor filariasis pada daerah endemis filariasis di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas.Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan menganalisis ragam jenis, kepadatan, paritas dan habitat jentik nyamuk di daerah endemis filariasis di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. 2. METODE PENELITIAN Penelitian dengan desain observasonal diskriptif dengan pendekatan cross sectional study. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. 2.1. Koleksi dan Identifikasi Nyamuk Koleksi nyamuk menggunakan umpan orang atau human landing collection (HLC) untuk mengetahui kepadatan (densitas) nyamuk yang kontak dengan manusia dan resting untuk mengetahui perilaku nyamuk istirahat (WHO 2015). Penangkapan dengan HLC dan resting dilakukan di dalam rumah (umpan orang dalam/UOD)(dinding dalam/DD) dan di luar rumah (umpan orang luar/UOL)(dinding luar/DL). Jumlah kolektor secara total berjumlah 6 orang,masing-masing rumah terdiri atas 2 kolektor dari 3 rumah yang digunakan. Penangkapan nyamuk dilakukan selama semalam dimulai pukul 18.00-06.00 dan setiap jam terdiri atas 45 menit penangkapan dengan umpan orang dan 10 menit dilakukan penangkapan nyamukresting dengan menggunakan aspirator. Nyamuk yang tertangkap melalui HLC dan resting diidentifikasi dibawah mikroskop stereo menggunakan kunci identifikasi morfologi bergambar O’Connor & Soepanto (2013). 2.2. Pembedahan Nyamuk Pembedahan nyamuk dilakukan dengan menggunakan jarum seksi dibawah mikroskop. Sebelumnyakaki dan sayapnya dilepaskan terlebih dahuluagar tidak mengganggu saat pembedahan,kemudian ditambahkan larutan garam fisiologis (GF)dan diteteskan di ataskaca objek/slide. Setelah itu, nyamuk diletakkan di atas kaca objek yang telah diteteskan larutan GF. Abdomen segmen ketujuh ditarik dengan jarum seksi sampai ovariumnya kelihatan dan terendam larutan GF. Setelah itu, ovarium dilihat dibawah mikroskop dengan pembesaran40x. 2.3. Pengamatan Karakteristik Habitat Pengamatan karakteristik habitat dilakukan sekali setiap bulan selama 4 bulan.Karakteritik habitat yang diamati yaitu: tumbuhan air, predator alami, jentik yang ditemukan, serangga lain, jarak terhadap permukiman, ekosistem sekitar, kondisi air, dasar perairan, kedalaman, pH, salinitas dan suhu. Analisis data dilakukan secara anallitik deskriptif dan untuk melihat variabel yang telah ditetapkan berupa perhitungan kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominasi sebagaimana Sigit (1968).Kepadatan nyamuk yang kontak dengan manusia dalam satu jam (per jam per orang) dinyatakan sebagai man hour density (MHD) dan kepadatan nyamuk yang kontak dengan manusia perhari (per hari per orang) dinyatakan sebagai man bitting rate(MBR).Nilai MHD dan MBR ditentukan melalui rumus menurut WHO(2015).Paritas digunakan untuk mengetahui apakah nyamuk sudah pernah bertelur sehingga nyamuk diketahui sudah mengalami siklus gonotrofik.Derajat paritas diketahui dengan melakukan pembedahan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 217
SBN: 978-602-6483-07-2
ovarium nyamuk dan memeriksa kondisi ovarium yang sudah pernah bertelur (parus) atau belum (nuliparus). Derajat paritas dinyatakan dalam parity rate dengan rumus WHO (2015).Peluang hidup nyamuk setiap hari dinyatakan dalam % dan diperoleh dari suatu perhitungan matematis dengan caramengetahui proporsi parus dan siklus gonotropik (Davidson 1954).Umur relatif nyamuk populasi adalah perkiraan umur nyamuk di populasi yang dinyatakan dalam hari, yang diperoleh melalui suatu perhitungan matematis dengan melakukan perhitungan setelah diketahuinya peluang hidup nyamuk setiap hari. Perhitungan peluang hidup nyamuk menggunakan Davidson (1954), sedangkan perikraan umur populasi sebagaimana Drapper and Davidon (1952). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Ragam Jenis Nyamuk Tabel 1. Jumlah nyamuk yang tertangkap setiap jenis nyamuk dengan penangkapan umpan orang dan istirahatdi Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (Juli – Desember 2015) N o
Jenis Nyamuk
Metode Penangkapan (Jumlah nyamuk) UOL UOD DD DL 64 24 21 17 5 0 1 3 65 59 35 44 588 463 206 394
Total (Nyamu k) 126 9 203 1651
Persentas e (%)
Ma. uniformis 1.8 Ma. dives 0.1 Ma. annulata 2.9 Cx. 23.5 quinquefasciatus 1280 878 589 565 3312 5. Cx. 47.2 bitaeniorhynchus 647 376 183 313 1519 6. Cx. 21.6 tritaeniorhynchus 2 0 0 2 4 0.1 7. Cx. gellidus 0 0 0 1 1 0.0 8. Cx. hutchinsoni An. balabacensis 1 0 0 1 2 0.0 9. 5 5 0 1 11 10 An. barbirostris 0.2 . 26 104 20 14 164 11 Ae. aegypti 2.3 . 8 3 3 4 18 12 Ae. albopictus 0.3 . 1 0 1 0 2 13 Ar. subalbatus 0.1 . 2692 1912 1059 1359 7022 100.0 Total Keterangan : UOD (umpan orang dalam ), UOL (umpan orang luar), DD (dinding dalam), DL (dinding luar/luar rumah). 1. 2. 3. 4.
Hasil penangkapan diperoleh 13 jenis nyamuk dari 7022 nyamuk yang tertangkap. Jenis nyamuk yang paling banyak ditemukan dari genus Culex yaitu Cx. bitaeniorhynchus (47,2%)¸ sedangkan dari genus Mansonia yaitu Ma. annulata (2,9%), dari genus Anopheles yaitu An. Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
218 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
barbirostris (0,2%), dari genus Aedes yaitu Ae. aegypti (2,3%) dan genus Armigeres yaitu Ar. subalbatus (0,1%) (Tabel 1). Vektor filariasis di Indonesia diketahui ada 23 jenis nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, AedesdanArmigeres (WHO 2013). Bonne-Wepster (1956) melaporkan bahwa Cx. bitaeniorhynchus merupakan vektor W. bancrofti di Papua Nugini, sedangkan Cx. quinquefasciatus merupakan vektor W. bancrofti tipe perkotaan di Indonesia (Iyengar 1965; Suyoko 2002).Ughasiet al.(2012) melaporkan Ma.uniformis dan Ma. africana adalah vektor W. bancrofti di Ghana, sedangkan Ma.annulata, Ma.bonneae, Ma.uniformisdanMa.divesmerupakan vektor B.malayi di Bengkulu (Suzuki et al. 1981). An. barbirostris,An. vagus dan An. subpictus merupakan vektor B.timori tipe periodik nokturna di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara, Timor Timur (Partono et al. 1978; Fischer 2002). Aktivitas menggigit Cx. bitaeniorhynchuslebih suka menggigit di luar rumah (eksofagik) serta beristirahat di dalam (endofilik) dan diluar rumah (eksofilik). Jenis Nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus lebih bersifat endofilik dan eksofilik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani dan Yuniarto (2009) di Pekalongan, Jawa Tengah yang melaporkan bahwa aktivitas menggigit nyamuk Cx. bitaeniorhynchusdan Cx. quinquefasciatus lebih banyak menggigit dan istirahat di luar dibandingkan di dalam rumah (eksofilik). 3.2. Kepadatan dan Dominasi Spesies Nyamuk Tabel 2. Nilai Kepadatan Nyamuk dan Dominasi Spesies Setiap jenis Nyamuk di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (Juli – Desember 2015) Jenis Nyamuk
MHD
MBR
Kelimpahan Nisbi (%) 1.19 0.09 1.20 10.89
Frekuensi Spesies 0.83 0.33 0.75 1.00
Dominasi Spesies 0.99 0.03 0.90 10.89
1.63 1.22 Ma. uniformis 0.09 0.07 Ma. dives 2.29 1.72 Ma. annulata 19.46 14.6 Cx. quinquefasciatus 39.96 29.97 23.70 0.33 7.82 Cx. bitaeniorhynchus 18.94 14.21 11.98 0.92 11.02 Cx. tritaeniorhynchus 0.04 0.03 0.04 0.08 0.00 Cx. gellidus 0 0 0.00 0.08 0.00 Cx. hutchinsoni 0.02 0.01 0.02 0.17 0.00 An. balabacensis 0.18 0.14 0.09 0.50 0.05 An. barbirostris 2.41 1.80 0.48 0.75 0.36 Ae. aegypti 0.21 0.15 0.15 0.33 0.05 Ae. albopictus 1.63 0.01 0.02 0.25 0.01 Ar. subalbatus MHD :man hour density (Kepadatan nyamuk/orang/jam), MBR :man bitting rate (Kepadatan nyamuk/orang/malam)
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 219
SBN: 978-602-6483-07-2
Nilai MHD tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus sebesar 39,96 nyamuk/jam/orang baik di dalam rumah yaitu 23,70 nyamuk/jam/orang dan di luar rumah 16.26 nyamuk/jam/orang, sedangkan MHD Cx. quinquefasciatus danMa. annulata juga termasuk tinggi dengan nilai masing-masing 19,46nyamuk/jam/orang dan 2,58nyamuk/jam/orang. Nilai MBR tertinggiterdapat pada jenis nyamukCx. bitaeniorhynchus (29,97nyamuk/hari/orang) dan terendah Ar. subalbatus (0,01 nyamuk/jam/orang)(Tabel 2). Nilai MHD dan MBR umumnya lebih tinggi di dalam rumah dibandingkan dengan di luar rumah, hal ini kemungkinan jenis nyamuk yang ditemukan lebih bersifat endofilik. Kepadatan Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus danMa. annulata yang tinggi di Desa Mandomai karena dekat dengan tempat habitat larva yang berada disekitar rumah penduduk. Setiawan et al.(2012) di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah juga melaporkan nilai MBR dan MHD pada jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. Tritaeniorhynchus tertinggi di luar rumah. Menurut Sukowati dan Shinta (2009) kepadatan nyamuk yang tinggi sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jarak tempat habitat larva dengan rumah penduduk, demikian pula halnya dengan kondisi di Desa Mandomai yang banyak ditemukan tempat habitat larva yang dekat dengan rumah penduduk. Dominansi spesies tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. tritaeniorhynchus(11,02), Cx. quinquefasciatus (10,89) dan Cx. bitaeniorhynchus(7,82) (Tabel 2). Dominasi spesies ketiga jenis nyamuk tersebut tinggidisebabkandisekitar pemukiman banyak terdapat pembuangan air limbah rumah tangga dan selokan yang merupakan habitat potensial Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus danCx. bitaeniorhynchus.Ramadhani dan Yuniarto (2009) melaporkan di daerah Pekalongan bahwa pengelolaan limbah rumah tangga yang tidak baik dapat menyebabkan air menjadi tergenang dan menjadihabitat Cx. quinquefasciatus. 3.3. Paritas, Umur dan Peluang Hidup Nyamuk Tabel 3.
Paritas, proporsi parus dan perkiraan umur nyamuk di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (Juli – Desember 2015) Proporsi parus (%)
Paritas Jenis nyamuk
Ma. uniformis Ma. dives Ma. annulata Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus Cx. gellidus Cx. hutchinsoni
Jumlah nyamuk
126 9 203 1651 3312 1519 4 1
P
N
P
82 2 129
44 7 14 22 4 15 9 11 6 1 0
65.08 22.22 73.10
1427 3153 1403 3 1
86.43 95.20 92.36 75.00 100
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
220 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
Perkiraan umur nyamuk per spesies Umur populasi nyamuk (hari) 4.4 1.3 5.3 14.3
Peluang hidup per hari (%)
38.9
0.97
23.9
0.95
4.9 0
0.86 0.00
0.80 0.46 0.76 0.93
ISBN: 978-602-6483-07-2
Proporsi parus (%)
Paritas Jenis nyamuk
Jumlah nyamuk P
2 1 An. balabacensis 11 8 An. barbirostris 164 137 Ae. aegypti 18 12 Ae. albopictus Ar. subalbatus. 2 2 Keterangan = P : parus, N : nulliparus
N
P
1 3 27 6 0
50.00 72.73 83.54 66.67 100
Perkiraan umur nyamuk per spesies Umur populasi nyamuk (hari) 2.8 5.3 4.9 5.9 4.9
Peluang hidup per hari (%) 0.70 0.83 0.89 0.86 0.82
NyamukCx. bitaeniorhynchus, Cx.tritaeniorhynchus Cx.quinquefasciatus, Ma. annulata, Cx. hutchinsoni dan Ar. subalbatusmemiliki paritas yang tinggi, namun jumlah nyamuk Cx. hutchinsoni dan Ar. subalbatushanya sedikit yang menyebabkan perkiraan umur populasi kecil (Tabel 3). Widyastuti et al. (2013) menyatakan bahwa nyamuk yang sudah pernah bertelur kemungkinan memiliki rentang umur yang panjang sehingga akan mempengaruhi penyelesaian masa inkubasi ekstrinsik parasit yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan klimatologis, seperti suhu dan kelembaban relative.Jadi, semakin panjang umur nyamuk semakin besar pula kesempatan untuk menularkan penyakit. Perkiraan umur populasi nyamuk di Desa Mandomai yang sangat bervariasi dari 0–38,9 hari. Umur populasi nyamuk Cx. bitaeniorhynchus, Cx.tritaeniorhynchus dan Cx.quinquefasciatus 38,9, 23,9dan 14,3 hari dengan peluang hidup per hari 0,97%, 0,95% dan 0,93%yang tersaji pada Tabel 3.Perkiraan umur populasi nyamuk menunjukkan bahwa yang memenuhi syarat sebagai vektor filariasis adalah Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus danCx. quinquefasciatusyang memungkinan larva filaria mampu berkembang di dalam tubuh nyamuk sesuai dengan masa inkubasinya (Tabel 3).Masa inkubasi ekstrinsik filariasis W. bancrofti menurut WHO (2013) adalah 6–12 hari, sedangkan filariasis B. malayi paling cepat 6 – 6,5 hari dan filariasis B. timori 7 – 10 hari (Sasa 1976; Chow 1959). Syarat menjadi vektor filariasis nyamuk harus mempunyai umur relatif lebih panjang dari masa inkubasi ekstrinsik (Sasa 1976). Paritas, umur nyamuk dan siklus gonotrofik dipengaruhi oleh musim (hujan dan kemarau). Mala et al. (2014) melaporkan bahwa umur An. gambie di Kenya lebih panjang (1,1 hari) pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini didukung dengan penelitian Uttah et al.(2013) di daerah endemis filariasis dan malaria di Calabar, Nigeria yang menyatakan bahwa pada musim hujan rata-rata nyamuk bisa bertahan sampai dengan parus ke 3 (3 kali bertelur). Persyaratan nyamuk menjadi vektor antara lain umur nyamuk, kepadatan, ada kontak dengan manusia, tahan terhadap parasit dan ada sumber penularan (WHO 2015). Faktor penghambat nyamuk sebagai vektor filariasisis diantaranya adanyacibarial armaturesyaitu duri-duri halus pada faring yang mampu membunuh 30-96% mikrofilaria yang terhisap, misalnya pada An. farauti dan An. gambiae(McGreevy et al. 1978).Nyamuk yang tidak mempunyai cibarial armatures dalam penelitian ini adalah Ae. aegyptidan Ma. uniformis, namun ketika kapasitas mikrofilaria yang terlalu tinggi dapat menyebabkan cibarial armaturestertutup oleh
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 221
SBN: 978-602-6483-07-2
mikrofilaria sehingga mikrofilaria lainnya dapat lewat ke usus tengah (midgut) (Amuzu et al. 2010). 3.4. Tipe HabitatLarva Nyamuk Tabel. 4. Tipe tempat habitat dan variabel yang ditemukan terhadap keberadaaan larva
Tipe habitatjentik nyamuk yang ditemukan di Desa Mandomai beragam seperti kolam, kubangan air, selokan, penampung karet dan sawah(Tabel 4). Secara geografis Desa Mandomai berada pada ketinggian 700 meter diatas permukaan laut dan suhu rata-rata 25 0C30 0Cdengan daerah yang dikelilingi air (dekat sungai), rawa-rawa, lahan gambut, perkebunan dan persawahan. Tipe habitat akan menentukan tipe spesies nyamuk yang ditemukan dan dalam satu habitat bisa ditemukan 1 atau lebih jenis jentik nyamuk.Umumnya disetiap tempat habitat yang terdapat jentik nyamuk sangat dipengaruhi oleh keberadaan predator serta faktor fisik, kimia dan biologi juga berpengaruh terhadap jumlah larva pada setiap tempat habitat (Sukowati dan Shinta 2009). Predator yang ditemukan pada tempat habitat larva diantaranya larva Odonata (capung).Odonata pada tahap dewasa dapat memangsa nyamuk dan pada fase pradewasa mampu memakan jentik.Seekor larva Odonata mampu memakan 7-14 jentik nyamuk selama hidupnya, sehingga Odonata jika dalam populasi yang banyak mampu berperan sebagai predator alami nyamuk yang signifikan dalam 80 hari (dengan dibantu populasi Toxorhnychites sebanyak 102,5) jika populasi perbandingan antara Odonata dan nyamuk masing-masing 102/km2 dan 107/km2 (Faithpraise et al. 2014). Cx. bitaeniorhynchus dapat ditemukan pada habitat penampungan sementara baik permanen maupun tidak permanen dan terkena sinar matahari langsung serta terdapat vegetasi (WRBU 2016).Tempat perindukanCx. quinquefasciatusdan Cx. tritaeniorhynchus banyak dijumpai pada air berpolusi, sumur dangkal, kontainer permanen dan semi permanen yang berhubungan langsung dengan tanah, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang banyak ditemukan jentik Culex sp pada bekas buangan limbah rumah tangga. Perindukan lain yang ditemukan pada kolam dengan tumbuhan air adalah Mansonia sp, spesies tersebut dapat ditemukan pada Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
222 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
habitat dengan adanya tumbuhan air seperti teratai, kangkung, dan tumbuhan air lainnya yang digunakan untuk menancapkan sifon pada bagian batang air untuk bernafas (Heriyanto et al. 2011). 4. KESIMPULAN Ragam jenis nyamuk di Desa Mandomai sebanyak 13 jenis yaitu Cx.bitaeniorhynchus,Cx. quinquefasciatus, Cx.tritaeniorhynchus, Cx.gellidus, Cx. hutchinsoni,Ma.uniformis, Ma.dives, Ma.annulata, An. barbirostris, An.balabacensis, Ae. albopictus, Ae. aegyptidan Ar. subalbatus. Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik, eksofilik dan endofilik. Cx.quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik dan eksofilik.Nilai kepadatan,dominasi spesiesdan paritas tinggiyaituCx. bitaeniorhynchus,Cx.tritaeniorhynchus dan Cx.quinquefasciatus. perkiraan umur populasiCx. bitaeniorhynchus adalah3 8,9 hari, Cx. Tritaeniorhynchus 23,9 hari danCx quinquefasciatus 14,3hari, sehingga dapat berpotensi menjadi vektor filariasis. Tipe tempat habitat yang ditemukan yaitu kolam, kubangan air, selokan, penampung karet dan sawah. Desa Mandomai terdapat 3 jenis nyamuk yang berpotensi sebagai vektor filariasis dan ditemukan habitat yang mendukung keberadaan nyamuk. DAFTAR PUSTAKA Amuzu H, Wilson Michael D and Boakye Daniel A. 2010. Studies of Anopheles gambiae s.l (Diptera: Culicidae) exhibiting different vectorial capacities in lymphatic filariasis transmission in the Gomoa district, Ghana. Parasites & Vectors, 3(85):2-6 Bonne-Wepster J. 1956. Culex bitaeniorhynchus as Vector OfWuchereria bancrofti in NewGuinea.Documenta de Medicina Geographica et Tropica, 8(4 ):375-379 Chow C. Y, Lie K J, Winoto R M P. Rusad M and Soegiarto. 1959. The vector of filariasis in Djakarta and its bionomics, Indonesia. Bull. WHO.20:776 – 676 Davidson G. 1954. Estimation of the Survival Rate of Anopheline Mosquitoes. Nature, 174: 792 – 793. doi:10.1038/174792a0 [Dinkeskab. Kapuas] Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas.2014. Laporan Kasus Filariasis Tahun 2009 – 2013. Kapuas (ID). Drapper CC and Davidson G. 1952. A New Method of Estimating the Survival Rate of Anopheline Mosquitoes in Nature. Trop Dis Bull, 46:569 Evans David B, Gelband Hellen, and Vlassoff carol. 1993. Social and economic factors and the control of lymphatic filariasis: A review. Acta Tropica, 53:1-26. doi:10.1016/0001706X(93)90002-S Faithpraise F O, Idung J, Usibe B, Chatwin C R, Young R, Birch P. 2014. Natural control of the mosquito population via Odonata and Toxorhynchites.Int’l J. of Innovative Resin Sci Eng and Tech. 3(5):12898 – 12911 Fischer P, Wibowo H, Pischke S, Ruckert P, Liebau E, Ismid IS, Supali T. 2002. PCR-based detection and identification of the filarial parasite Brugia timori from Alor Island, Indonesia. Annals of Tropical Medicine & Parasitology, 96(8):809– 821 Iyengar MOT. 1965. Epidemiology of Filariasis in the South Pacific. Technical Paper No. 148. Academic Publishers New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. p. 9-20.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 223
SBN: 978-602-6483-07-2
Herianto B, Boewono D T, Widiarti, Boesri H, Widyastuti U, Blondine Ch P, Sowasono H, Ristiyanto, Pujiyanti A, Alfiah S, Prastowo D,. Anggraini Y M, Irawan A S, Mujiyono. 2011. Atlas Penyakit Vektor Penyakit di Indonesia (Seri 1). Kementerian Kesehatan RI, Badan Litbangkes BBPVRP Salatiga, Salatiga Indonesia (ID). [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan RI. 2010.Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. Direktorat P2B2 Ditjen P2PL Jakarta (ID);2010. Kley R Thomas, Rajan TV. 2002. World Class Parasite : Volume 5 The Filaria. Kluwer Academic Publishers New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. p. 9-20. Mala Albert O, Irungu Lucy W, Mitaki Elizabeth K, Shililu Josephat I, Charles M. Mbogo, Joseph K. Njagi, Githure John I. 2014. Gonotrophic cycle duration, fecundity and parityof Anopheles gambiae complex mosquitoes duringan extended period of dry weather in a semi aridarea in Baringo County, Kenya. International Journal of Mosquito Research, 1(2):28-34. Mcgreevy I B, Bryan J H. Oothuman I. and Kolstrup N. 1978. The lethal effects of the cibarial and pharyngeal armatures of mosquitoes on microfilariae. Transactions Of The Royal Society Of Tropical Medicine And Hygiene, 72(4) 1978:361-368 O’Connor CT, Supanto A. 2013. Kunci Bergambar Nyamuk Dewasa Di Indonesia. Depkes RI. Dit.Jen P2M & PLP. Jakarta. (ID). Partono F, Pribadi PW, Soewarta A. 1978. Epidemiological and clinical features of Brugia timori in a newly established village. Karakuak, West Flores, Indonesia. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 27(5):910-915. Ramadhani Tri, Yunianto Bambang. 2009. Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex quinquefasciatus di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Aspirator, 1(1):11-15. Sasa M. 1976.Human Filariasis: A Global Survey of Epidemiology and Control. Tokyo: University of Tokyo Press (JPN) Setiawan Budi, Soeyoko, Satoto T Baskoro. 2012. Epidemiologi Filariasis Limfatik di Kecamatan Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur Prov. Kalteng. Bul. Spirakel, 4:4-16. Sigit SH. 1968. Studies on The Organization of Oribatid Mite Communities in Three Ecologycally Different Grasslands [Disertation]. Oklahoma State University (USA). Soeyoko. 2002. Penyakit kaki gajah (filariasis limfatik):permasalahan dan alternatif penanggulangannya : Orasi Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (ID). Sukowati Supratman, Shinta. 2009. Habitat Perkembangbiakan Dan Aktivitas Menggigit Nyamuk Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus di Purworejo, Jawa Tengah. J. Eko. Kes, 8 (1):915-925 Suzuki T, Sudomo M, Bang YH, Lim BL. 1981. Studies on Malayan filariasis in Bengkulu (Sumatera), Indonesia with special reference to vector confirmation. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 12(1):47-54 Ughasi Josephine, Bekard Hilaria Esiawonam, Coulibaly Maimouna, Delphina dabie, Gyapong John, Appawu Maxwell, Wilson Michael David and Boakye Daniel Adjei. 2012. Mansonia africana and Mansonia uniformis are Vectors in the transmission of
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
224 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Wuchereria bancrofti lymphatic filariasis in Ghana. Parasites & Vectors, 5(89):2-5. doi:10.1186/1756-3305-5-89 Uttah Emmanuel C, Iboh Cletus I, Ajang Raymond, Osim S.E, Etta Hannah. 2013. Physiological age composition of female anopheline mosquitoes in an area endemic for malaria and filariasis. International Journal of Scientific and Research Publications, 3(7):1-5. [WHO] World Health Organization. 2015.Lymfatic Filariasis (Epidemiologi) : The Vector. Geneva (SWISS). Diakses pada 12 Oktober 2015. terdapat pada : http://www.who.int/lymphatic_filariasis/epidemiology/en/ [WHO] World Health Organization. 2013. Lymphatic Filariasis: Monitoring and Epidemiological Asessment of Mass Drug Administration. TAS. A manual for National Elimination Programmes. Geneva (SWISS) [WRBU] Walter Reed Biosystematics Unit. 2015. Medically Important Mosquitoes: Culex bitaeniorhynchus. Diakses pada 12 Oktober 2015. Terdapat pada :http://www.wrbu.org/SpeciesPages_non-ANO/non-ANO_A-hab/CXbit_hab.html Yahya, Santoso, Salim Milana, Arisanti Maya. 2014. Deteksi Brugia malayi pada Armigeres subalbatus danCulex quinquefasciatusyang diinfeksikan darah penderita filariasis dengan metode PCR. Aspirator, 6(2):35-42. Widyastuti Umi, Boewono Damar Tri, Widiarti, Supargiyono, Satoto Tri Baskoro T. 2013. Kompetensi Vektorial Anopheles maculatus, Theobald di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo. Media Litbangkes, 23(2):47-57.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 225
SBN: 978-602-6483-07-2
PENGARUH VARIASI WAKTU TINGGAL TERHADAP KINERJA SISTEM ROTATING BIOLOGICAL CONTACTOR (RBC) DALAM EFISIENSI PENURUNAN KADAR BOD (STUDI KASUS IPAL LAMBUNG MANGKURAT) Lia Kurnia Putri1, Chairul Abdi 2 dan Riza Miftahul Khair3 Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat Jl. Jend. Achmad Yani Km. 36, Banjarbaru, 70714, Indonesia Email :
[email protected]
ABSTRAK IPAL Lambung Mangkurat menerapkan teknologi Rotating Biological Contactor (RBC) dalam mengolah air limbah domestik. RBC adalah pengolahan sekunder yang memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik di dalam air limbah. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengaturan variasi waktu tinggal untuk mengetahui pengaruhnya terhadap efisiensi pengolahan RBC dalam menurunkan kadar BOD. Perlakuan variasi waktu tinggal dilakukan dengan cara mengatur pompa pengontrol pada bak RSPS dengan valve pada pipa inlet bak pengendap pertama. Nilai tipikal waktu tinggal diambil dari nilai yang paling kecil (0,7 jam), nilai tengah (1,1 jam) dan nilai paling besar (1,5 jam). Hasil dari penelitian ini, pada kondisi eksisting debit air limbah yang diolah di RBC berkisar 530,713 m3/hari - 615,385 m3/hari dengan waktu tinggal berkisar antara 0,7 - 4 jam yang tergantung dari waktu pompa. Adanya perlakuan variasi waktu tinggal memberikan pengaruh terhadap efisiensi penurunan kadar BOD. Waktu tinggal yang menurunkan kadar BOD paling besar yaitu 1,5 jam. Kata Kunci : Air limbah domestik, RBC, waktu tinggal, BOD, kriteria desain. ABSTRACT Lambung Mangkurat WWTP is applying technology Rotating Biological Contactor (RBC) in the process wastewater. RBC is the secondary processing that uses microorganisms to decompose organic material in wastewater. The purpose of this study to setting variation of detention time to know how was its effect to efficiency of RBC process to BOD removal. The setting variation of detention time by combining pump in RSPS (Raw Sewage Pump Station) and valve in primary clarifier. Typical of detention time is taken from minimum value 0,7 (hours), middle 1,1 (hours) and maximum 1,5 (hours). The result of this study, existing condition flow rate is processed range from 530,713 m3/day - 615,385 m3/day with a detention time between 0,7 - 4 hours dependent time of the pump. The setting variation of detention time give effect to efficiency of BOD removal. The biggest detention time of BOD removal is 1,5 (hours). Keywords : design criteria, BOD, detention time, RBC, wastewater.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
226 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1. PENDAHULUAN Perusahaan Daerah Pengelola Air Limbah (PD PAL) Banjarmasin melayani pengolahan air limbah domestik secara on site dan off site, yang memiliki 6 unit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) salah satu diantaranya yaitu IPAL Lambung Mangkurat. IPAL Lambung Mangkurat menggunakan sistem pengolahan biologi dengan Rotating Biological Contactor (RBC). RBC merupakan pengolahan sekunder yang terdiri atas disk melingkar yang diputar oleh poros dengan kecepatan tertentu. Polutan organik yang terkandung di dalam air limbah akan diuraikan oleh mikroba yang tumbuh di media RBC, dengan sistem biakan melekat (attached culture) (Said, 2005). Parameter utama yang mempengaruhi proses pengolahan dengan RBC adalah Biochemical Oxygen Demand (BOD) (Azizah, 2015). Menurut Suryo (2009) RBC dapat menyisihkan BOD sebesar 90%. Sedangkan menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (2011), efisiensi pengolahan dengan RBC adalah 80 - 95%. Kinerja sistem RBC dapat dilihat dari efisiensi RBC dalam mengurangi beban organik yang ada di dalam air limbah. Apabila kinerja sistem RBC belum berjalan optimal dan efektif maka dapat diberikan perlakuan (Azizah, 2015). Perlakuan tersebut dapat berupa pengaturan debit dan waktu tinggal. Menurut Said (2005) pengaturan debit memberikan pengaruh terhadap waktu tinggal. Sedangkan menurut Hartati (2014) dengan melakukan variasi waktu tinggal dapat mempengaruhi efisiensi penurunan kadar BOD. Hal ini dijelaskan pula oleh Suryo (2009) yang menyatakan bahwa debit yang rendah memiliki waktu tinggal yang lama, dengan waktu tinggal yang lama maka kemampuan penyisihan BOD oleh mikroorganisme dan efisiensi pengolahan air limbah dengan sistem RBC semakin meningkat. Berdasarkan kriteria desain oleh Metcalf & Eddy (2003) waktu tinggal di RBC berkisar antara 0,7 – 1,5 jam. Pada penelitian Hartati (2014) dilakukan pengaturan debit dan variasi waktu tinggal sesuai kriteria desain oleh Metcalf & Eddy (2003) pada sistem RBC di IPAL Pekapuran Raya. Pada kondisi eksisting, debit air limbah yang masuk dan diolah di RBC berkisar 138,24 m 3/hari 667,872 m3/hari dengan waktu tinggal yang bervariasi yaitu berkisar 0,6 - 3 jam. Efisiensi penurunan kadar BOD rata-rata dengan sistem RBC dari inlet sampai outlet di IPAL ini sebelum dilakukan perlakuan sekitar 30,05%. Setelah dilakukan pengaturan dan perlakuan terhadap RBC efisiensi penurunannya sekitar 90% dengan waktu tinggal 1,5 jam. Kemudian Azizah (2015) dengan perlakuan yang sama yaitu mengatur debit dan variasi waktu tinggal sesuai kriteria desain oleh Metcalf & Eddy (2003) pada sistem RBC di IPAL HKSN/Hasan Basry. Pada kondisi eksisting, debit air limbah yang masuk dan diolah di RBC berkisar 557 m3/hari - 642 m3/hari dengan waktu tinggal yang bervariasi yaitu berkisar 0,6 0,9 jam. Efisiensi penurunan kadar BOD rata-rata dengan sistem RBC dari inlet sampai outlet di IPAL ini sebelum dilakukan perlakuan sekitar 21,51% dan setelah dilakukan perlakuan terhadap RBC efisiensi penurunannya sekitar 80% dengan waktu tinggal 1,5 jam. Berdasarkan uraian di atas penulis juga melakukan pengaturan debit dan variasi waktu tinggal sesuai kriteria desain pada sistem RBC di IPAL Lambung Mangkurat, yang memiliki kapasitas pengolahan 1000 m3/hari yang terdiri atas 2 unit RBC dengan kapasitas masing masing RBC sebesar 500 m3/hari. Parameter yang digunakan pada penelitian ini adalah suhu, pH, DO dan BOD. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis pengaruh variasi waktu
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 227
SBN: 978-602-6483-07-2
tinggal terhadap kualitas air limbah sehingga dapat mengetahui efisiensi pengolahan RBC dalam menurunkan kadar BOD secara optimal, efektif dan efisien. 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan pada skala lapangan dan skala laboratorium. Penelitian skala lapangan dengan melakukan pengaturan debit dan variasi waktu tinggal pada pompa yang terdapat di bak RSPS dengan valve pada pipa inlet bak pengendap pertama. Valve diatur dengan cara menutup valve sebanyak ¼, ½ atau ¾ bagian tergantung dengan pasokan air yang akan masuk. Pengukuran debit dilakukan terdiri atas 2 tahap yaitu pengukuran debit awal (penentuan jam dan hari puncak) serta debit (sebelum dan sesudah perlakuan). Pengukuran debit awal dilakukan pada bak RSPS selama 7 hari. Pengukuran ini dilakukan secara manual selama 24 jam, untuk menentukan jam dan hari puncak. Jam dan hari puncak ini nantinya digunakan sebagai tolak ukur dalam pengukuran debit dan parameter kualitas air (sebelum dan sesudah perlakuan). Pengukuran debit (sebelum dan sesudah perlakuan) dilakukan di outlet RBC, dengan menggunakan metode tampung. Pengukuran ini dilakukan pada jam dan hari puncak yang telah dilakukan pada kegiatan sebelumnya. Pengambilan sampel dilakukan 1 kali dalam waktu sehari untuk seluruh variasi waktu tinggal pada inlet dan outlet RBC pada jam dan hari puncak. Parameter yang digunakan pada penelitian ini yaitu pH, suhu, DO dan BOD. Pengukuran pH, suhu dan DO dilakukan sendiri dengan meminjam alat dari PD PAL. Sedangkan BOD akan dilakukan pengujian di Laboratorium UPT Dinas Kesehatan. Hasil yang didapatkan kemudian dianalisis untuk mengevaluasi kinerja sistem RBC IPAL. 2.2 Alat dan Bahan Penelitian 2.2.1 Alat Alat - alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Timba/ember 10 L b. Stopwatch c. Meteran d. Alat pengambil sampel yaitu gayung yang dilengkapi dengan tongkat e. Botol sampel 1 L f. Gelas ukur g. Kertas label h. Termometer i. pH meter merk Hanna j. DO meter merk Lutron k. Box pendingin l. Ice Replacement merk Thermafreezer m. Gunting n. Pengontrol pompa debit yang masuk ke sistem RBC o. Valve p. Sarung tangan q. Masker 2.2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air limbah domestik daerah pelayanan IPAL Lambung Mangkurat, PD PAL Banjarmasin. Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
228 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Debit
0:00 1:00 2:00 3:00 4:00 5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00 23:00
Debit (m3/jam)
3.1 Analisis Debit dan Kualitas Air IPAL Lambung Mangkurat pada Kondisi Eksisting 3.1.1 Pengukuran Debit IPAL Lambung Mangkurat Penentuan Hari dan Jam Puncak Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui fluktuasi debit air limbah yang masuk setiap hari dan setiap jamnya sehingga dapat ditentukan hari dan jam puncaknya. Fluktuasi debit yang masuk pada IPAL setiap jamnya dapat dilihat pada gambar 1.
Jam Pengukuran
Gambar 1. Grafik Fluktuasi Debit Air Limbah Setiap Jam (Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Debit (m3/jam)
Pada gambar 1 menunjukkan debit puncak terjadi pada jam 09.00, pada jam tersebut terdapat kiriman air limbah dari PS 4. Grafik fluktuasi debit air limbah selama 7 hari dapat dilihat pada gambar 2. Hari puncak diambil berdasarkan perwakilan hari kerja, hari diantara hari kerja dan libur, serta hari libur. Berdasarkan gambar 2 perwakilan hari kerja diwakili oleh hari Rabu dengan debit sebesar 26,371 m3/jam, hari diantara hari kerja dan libur diwakili oleh hari Jumat dengan debit sebesar 24,915 m3/jam dan perwakilan hari libur diwakili oleh hari Minggu dengan debit sebesar 28,457 m3/jam. Jam dan hari puncak tersebut digunakan sebagai acuan dalam pengukuran debit dan waktu tinggal eksisting, pengaturan variasi debit dan waktu tinggal, serta pengukuran parameter kualitas air. 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15
Debit
Senin
Selasa
Rabu
Kamis Jumat Hari Pengukuran Jam 09.00
Sabtu
Minggu
Gambar 2. Grafik Fluktuasi Debit Air Limbah Selama 7 hari (Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 229
SBN: 978-602-6483-07-2
3.1.2 Pengukuran Debit Eksisting RBC IPAL Lambung Mangkurat Berdasarkan Hari dan Jam Puncak Pengukuran debit eksisting dilakukan untuk mengetahui nilai debit yang masuk pada pengolahan unit RBC sehingga didapatkan waktu tinggal. Pengukuran ini juga digunakan sebagai acuan untuk pengukuran parameter kualitas air secara eksisting. Besar nilai debit yang masuk tergantung dari operasional pompa yang dijalankan oleh operator. Rekapitulasi Perhitungan Debit dan Waktu Tinggal Eksisting dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Rekapitulasi Perhitungan Debit dan Waktu Tinggal Eksisting Hari ke-
Debit (m3/hari)
Td (jam)
1 2 3
530,713 575,233 615,385
4 2.5 0.7
(Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Pada tabel 1 nilai debit pada hari kesatu, kedua dan ketiga berbeda-beda, tergantung dari banyak tidaknya air di inlet. Air limbah yang ada di inlet berasal dari air limbah yang dibuang oleh masyarakat wilayah layanan IPAL Lambung Mangkurat. Sedangkan untuk waktu tinggal eksisting, hari kesatu dan kedua didasarkan pada waktu pompa, namun pada hari ketiga waktu tinggal didasarkan pada perhitungan. Waktu tinggal tersebut sesuai dengan kriteria desain menurut Metcalf & Eddy (2003) yaitu berkisar antara 0,7 – 1,5 jam. Hal ini disebabkan karena pada hari tersebut debit air limbah yang masuk di inlet banyak. 3.1.3
Pengukuran Parameter Kualitas Air Eksisting RBC IPAL Lambung Mangkurat Berdasarkan Hari dan Jam Puncak A. Parameter Suhu Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Suhu mempengaruhi mikroorganisme pendegradasi limbah yang hidup di dalam unit RBC. Grafik parameter suhu eksisting dapat dilihat pada gambar 3.
Suhu (oC)
31 30 29
Inlet RBC
28
Outlet RBC
27 1
2
3
Hari
Gambar 3. Grafik Parameter Suhu Eksisting (Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
230 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Berdasarkan grafik nilai suhu di inlet RBC pada ketiga hari pengukuran sama, sedangkan suhu pada outlet RBC meningkat setiap harinya. Suhu di inlet RBC cenderung stabil yaitu 29 o C kondisi ini tidak mempengaruhi keberadaan mikrobiologi pada sistem RBC, menurut Said (2005) suhu optimal untuk proses RBC berkisar antara 15 oC - 40 oC. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengganggu proses mikroorganisme dalam merombak polutan dalam air limbah sehingga mikroorganisme akan mati. Namun, jika suhu terlalu rendah pertumbuhan mikroorganisme menjadi terbatas. Sedangkan untuk kisaran suhu di outlet RBC didapatkan yaitu 28 oC - 30 oC. Menurut Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 36 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Limbah Cair, dari data dapat diketahui bahwa suhu air limbah pada inlet dan outlet RBC sudah memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan yaitu 38oC. B. Parameter pH Parameter pH merupakan parameter yang menunjukkan suatu zat atau larutan mengandung asam atau basa. Parameter pH mempengaruhi proses pengolahan biologis, kisaran pH yang baik yaitu antara 6,5 - 8,5 (Laili, 2014). Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, nilai pH eksisting di inlet dan outlet RBC berkisar antara 6,9 - 7,25 yang dapat dilihat pada gambar 4. 7,3 7,2
pH
7,1 7
Inlet RBC
6,9
Outlet RBC
6,8 6,7 1
2
3
Hari
Gambar 4. Grafik Parameter pH Eksisting (Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Pada grafik menunjukkan bahwa nilai pH pada ketiga hari pengukuran mengalami peningkatan dari inlet ke outlet. Terjadinya peningkatan nilai pH disebabkan karena adanya proses pengolahan/perombakan zat organik yang terlarut oleh RBC sehingga konsentrasinya berubah dan pH cenderung netral. Menurut Boyd (1998) dalam Setiarini (2013) mengatakan bahwa pada kondisi netral bahan organik mengalami proses penguraian dengan lebih cepat. Penguraian bahan organik membuat kandungan oksigen terlarut di dalam air meningkat. Oksigen terlarut digunakan oleh mikroorganisme untuk proses respirasi yang akan menghasilkan CO2 yang larut dalam air. CO2 ini kemudian mengalami reaksi kesetimbangan yang menghasilkan ion OH- yang membuat nilai pH pada outlet menjadi meningkat. C. Parameter DO Parameter DO merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya oksigen terlarut yang terkandung di dalam suatu perairan. Semakin tinggi nilai oksigen terlarut (DO) maka kualitas air semakin baik, sebaliknya jika nilai DO rendah maka air tersebut telah tercemar. Data hasil pengukuran DO dapat dilihat pada gambar 5.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 231
SBN: 978-602-6483-07-2
DO (mg/L)
Pada grafik nilai DO mengalami peningkatan di outlet RBC, hal ini disebabkan karena adanya pengolahan di unit RBC sehingga kandungan beban organik berkurang daripada beban organik yang ada di inlet RBC. Selama disk RBC berputar, mikroorganisme bekerja terus menerus dalam menguraikan polutan yang ada di dalam air limbah. Adanya penguraian senyawa organik tersebut menyebabkan oksigen di dalam air menjadi meningkat. Oksigen terlarut digunakan oleh mikroorganisme untuk proses respirasi yang akan menghasilkan CO2 yang larut dalam air. 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
Inlet RBC Outlet RBC 1
2
3
Hari
Gambar 5. Grafik Parameter DO Eksisting (Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
D. Parameter BOD Parameter BOD merupakan parameter yang sering dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran bahan organik pada air limbah. Nilai BOD hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 6. Berdasarkan grafik kandungan BOD pada hari kesatu sampai hari ketiga mengalami penurunan dari inlet sampai outlet RBC. Penurunan paling besar terjadi pada hari ketiga. Penurunan ini disebabkan karena terjadinya proses biologis di pengolahan unit RBC, mikroorganisme aerob menguraikan senyawa organik dalam air limbah sehingga jumlah oksigen yang terlarut di air menjadi meningkat. Adanya penguraian senyawa organik menimbulkan bau yang tidak sedap.
BOD (mg/L)
60 40 Inlet RBC
20
Outlet RBC
0 1
2
3
Hari
Gambar 6. Grafik Parameter BOD Eksisting (Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
232 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Berdasarkan hasil perhitungan, efisiensi penurunan kadar BOD rata-rata dengan sistem RBC sebesar 36%. Nilai efisiensi tersebut digunakan untuk mengetahui kinerja unit RBC di IPAL Lambung Mangkurat sebelum dilakukan perlakuan. Efisiensi penurunan kadar BOD yang kecil disebabkan karena kandungan nilai BOD pada air limbah yang masuk sudah sangat rendah. Rendahnya kandungan nilai BOD ini terjadi karena adanya pengenceran akibat infiltrasi air hujan dan air sungai di bak inlet dan sistem jaringan. 3.2 Analisis Pengaruh Variasi Waktu Tinggal terhadap Kualitas Air Limbah 3.2.1 Pengaturan Debit Berdasarkan Waktu Tinggal Pengaturan debit dan waktu tinggal dilakukan untuk mendapatkan nilai debit yang diinginkan sesuai dengan waktu tinggal yang telah ditentukan sebelumnya. Waktu tinggal diambil tiga variasi nilai yaitu nilai yang paling kecil (0,7 jam), nilai tengah (1,1 jam) dan nilai paling besar (1,5 jam) berdasarkan Metcalf & Eddy (2003). Setiap variasi waktu tinggal memiliki nilai debit yang berbeda - beda seperti yang terlihat pada tabel 2. Pada tabel menunjukkan waktu tinggal 0,7 (jam) memberikan nilai debit yang besar, namun sebaliknya pada waktu tinggal 1,5 (jam) memberikan nilai debit yang kecil. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin kecil nilai debit maka waktu tinggal yang terjadi juga lebih lama. Debit aliran yang rendah menunjukkan semakin lama waktu tinggal air limbah di dalam reaktor RBC. Besar nilai debit pada setiap variasi merupakan nilai hasil perhitungan untuk mendapatkan waktu tinggal sesuai dengan variasi yang telah ditentukan. Debit yang masuk pada reaktor menyebabkan tinggi air menjadi berubah - ubah pada setiap variasi waktu tinggal, hal ini tentu memberikan pengaruh terhadap pembentukan biofilm oleh mikroorganisme. Menurut Sayekti (2012) semakin besar area media yang tercelup maka pembentukan lapisan mikroorganisme pada permukaan media RBC menjadi optimal karena memberikan area kontak dengan air limbah yang lebih besar pula. Pada tabel 2 menunjukkan nilai debit yang besar memberikan area media terendam sekitar 38 %, dan nilai debit yang kecil memberikan area media terendam sekitar 36 – 37 %. Nilai persentase area media terendam tersebut sudah sesuai dengan kriteria desain menurut Metcalf & Eddy (2004) yaitu 35 - 40 %. Sehingga pada setiap perlakuan variasi waktu tinggal terbentuknya biofilm oleh mikroorganisme pada media dapat dikatakan sudah optimal. Tabel 2.
Rekapitulasi Perhitungan Debit, Waktu Tinggal dan Area Media Terendam pada Setiap Perlakuan Hari ke1
2
3
Debit (m3/hari) 590,164 366,723 271,016 590,971 366,412 273,764 601,671 373,702 267,990
Waktu Tinggal (Jam) 0,705 1,109 1,501 0,712 1,110 1,503 0,700 1,114 1,500
Area Media Terendam (%) 37 36 36 38 36 37 38 37 36
(Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 233
SBN: 978-602-6483-07-2
Selain area media terendam, salah satu yang mempengaruhi pembentukan biofilm pada media RBC yaitu kecepatan putaran. Kecepatan putaran membantu dalam transfer oksigen dan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam biofilm (Laili, 2014). Kecepatan putaran di IPAL ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan, karena pada sebelum dan sesudah perlakuan kecepatannya sama yaitu ± 3,75 rpm. Hal ini menunjukkan bahwa banyak/tidaknya debit yang masuk pada inlet RBC tidak mempengaruhi kecepatan putaran RBC dan dikatakan kecepatan putaran ini masih berada pada kisaran 3 – 6 rpm (PPLP, 2011). Kecepatan putaran yang terlalu cepat memberikan proses pembentukan lapisan mikroorganisme pada permukaan media RBC menjadi kurang optimal, karena waktu kontak antara biofilm dengan air limbah maupun udara kurang. Namun, apabila kecepatan putaran terlalu lambat dapat menyebabkan mikroba tua yang berada pada permukaan media tidak dapat jatuh ke permukaan air (Sayekti, 2012). 3.2.2 Pengukuran Parameter Kualitas Air RBC IPAL Lambung Mangkurat Pada Setiap Perlakuan A. Parameter Suhu Parameter suhu merupakan parameter yang menunjukkan stabil atau tidaknya kondisi pengolahan pada unit RBC. Suhu optimal untuk proses RBC berkisar antara 15 - 40 oC (Said, 2005). Nilai suhu pada ketiga variasi perlakuan waktu tinggal dapat dilihat pada gambar 7. 33
Suhu
31 29
Inlet
27
Outlet
25 0,7
1,1
1,5
Waktu Tinggal (Jam)
Gambar 7. Grafik Parameter Suhu pada Setiap Perlakuan (Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Berdasarkan gambar 7 suhu di inlet pada ketiga variasi waktu tinggal stabil yaitu 29 oC. Sedangkan suhu di outlet pada perlakuan waktu tinggal 0,7 (jam) sedikit mengalami penurunan, namun pada waktu tinggal 1,1 (jam) dan 1,5 (jam) kondisi suhu stabil. Kondisi suhu tergantung dari cuaca saat pengukuran. Pengaturan debit dan waktu tinggal pada setiap perlakuan tidak mempengaruhi terhadap nilai suhu dari inlet sampai outlet RBC. B. Parameter pH Selain suhu, pH juga merupakan salah satu parameter yang menunjukkan kondisi pengolahan yang terjadi pada saat unit RBC beroperasi. Data hasil pengukuran parameter pH dapat dilihat pada gambar 8. Pada grafik menunjukkan nilai pH dari inlet sampai outlet RBC pada setiap variasi waktu tinggal meningkat.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
234 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
7,40
pH
7,25 7,10
Inlet Outlet
6,95 6,80 0,7
1,1 Waktu Tinggal (Jam)
1,5
Gambar 8. Grafik Parameter pH pada Setiap Perlakuan (Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Adanya peningkatan nilai pH dari inlet sampai outlet disebabkan karena adanya proses pengolahan/perombakan zat organik yang terlarut oleh RBC sehingga konsentrasinya berubah dan pH cenderung netral. Nilai pH tersebut pada setiap variasi masih berada pada kisaran pH yang baik untuk proses pengolahan biologis yaitu antara 6,5 - 8,5 (Laili, 2014) sehingga dapat disimpulkan kondisi selama pengolahan pada unit RBC di setiap variasi perlakuan waktu tinggal cukup optimal. Menurut Sayekti (2012) nilai pH yang terlalu tinggi (>8,5) akan menghambat aktivitas mikroorganisme sedangkan nilai pH di bawah 6,5 akan mengakibatkan pertumbuhan jamur dan terjadi persaingan dengan bakteri dalam metabolisme materi organik. C. Parameter DO Parameter DO digunakan sebagai tolak ukur yang mendukung dalam pengukuran parameter BOD. Parameter DO dan BOD saling berkaitan satu sama lain. Semakin tinggi nilai BOD maka semakin rendah pula nilai DO, sebaliknya semakin tinggi nilai DO maka semakin rendah juga nilai BOD. Kenaikan Nilai DO (mg/L)
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
DO
0,7
1,1 Waktu Tinggal (Jam)
1,5
Gambar 9. Grafik Parameter DO pada Setiap Perlakuan (Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Kenaikan nilai DO disetiap perlakuan variasi waktu tinggal dapat dilihat pada gambar 9. Pada grafik menunjukkan bahwa kenaikan nilai DO terbesar terjadi pada perlakuan waktu tinggal 1,5 (jam) dan terkecil pada perlakuan waktu tinggal 0,7 (jam). Semakin lama waktu tinggal maka kenaikan nilai DO juga semakin meningkat. Sesuai dengan penelitian Hartati (2014)
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 235
SBN: 978-602-6483-07-2
dan Azizah (2015) yang menjelaskan bahwa dengan debit aliran yang kecil dan waktu tinggal paling lama, pengolahan dengan RBC akan dapat lebih banyak menyisihkan beban organik sehingga oksigen terlarut di dalam air menjadi meningkat. D. Parameter BOD Pengukuran BOD pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui efisiensi pengolahan di unit RBC. Hasil pengukuran parameter BOD dapat dilihat pada gambar 10. Pada grafik menunjukkan waktu tinggal 1,5 (jam) memiliki efisiensi penurunan BOD paling besar yaitu 55 %, waktu tinggal 1,1 (jam) sebesar 49 % dan waktu tinggal 0,7 (jam) sebesar 40 %. Hal ini menunjukkan semakin lama waktu tinggal, maka efisiensi penurunan BOD juga semakin besar. Menurut Suryo (2009) semakin lama waktu kontak air limbah di dalam reaktor RBC maka kemampuan penyisihan BOD oleh mikroorganisme semakin meningkat. Lamanya waktu kontak memberikan kesempatan pada mikroorganisme untuk mendegradasi beban organik dalam jumlah yang besar. Perlakuan tiga variasi waktu tinggal yang dilakukan pada penelitian ini belum memenuhi kriteria desain karena menurut BPPT (2011) efisiensi pengolahan RBC dapat mencapai 80 95 %. Dari penelitian Hartati (2014) perlakuan variasi waktu tinggal terhadap pengolahan RBC dapat menurunkan kadar BOD sekitar 90 % dan Azizah (2015) sekitar 80 % sedangkan pada penelitian ini hanya mampu menurunkan sekitar 55 %.
Efisiensi BOD (%)
60 55 50
45 40
Efisiensi (%)
35 30 0,7
1,1
1,5
Waktu Tinggal (Jam) Gambar 10. Grafik Efisiensi BOD pada Setiap Perlakuan (Sumber : Hasil Penelitian, 2016).
Adanya perbedaan ini disebabkan karena kondisi IPAL Lambung Mangkurat yang sedikit berbeda dengan IPAL dari dua penelitian sebelumnya baik dari sistem pengoperasian, wilayah layanan dan kapasitas pengolahannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, akibat dari pengoperasian pompa yang dilakukan secara manual membuat air yang masuk ke pengolahan tidak berjalan secara kontinyu sehingga dapat mempengaruhi efisiensi pengolahan. Sampel hasil pengukuran DO yang disimpan lebih dari 1 x 24 jam juga dapat mempengaruhi nilai hasil pengukuran BOD, nilai BOD pada inlet dan outlet RBC digunakan sebagai acuan untuk menghitung efisiensi penurunan kadar BOD.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
236 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
4.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah waktu tinggal yang lama dapat meningkatkan efisiensi penurunan parameter BOD, namun waktu tinggalnya disesuaikan dengan kriteria desain. DAFTAR PUSTAKA Ananta, A.N dan Hendrasarie, N. 2014. Penyisihan Kandungan Organik Limbah Melalui Penentuan Konstanta Substrat Dengan Menggunakan Rotating Biological Contactor (RBC). Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. Vol. 5 No. 2. Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jatim. Azizah, A. 2015. Evaluasi Kinerja Sistem RBC (Rotating Biological Contactor) di IPAL HKSN/Hasan Basry PD PAL Kota Banjarmasin : Pengaruh Variasi Waktu Tinggal Terhadap Efisiensi Penurunan Kadar BOD. Skripsi Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Hartati, E.S. 2014. Evaluasi Kinerja Sistem RBC (Rotating Biological Contactor) di IPAL HKSN/Hasan Basry PD PAL Kota Banjarmasin : Pengaruh Variasi Waktu Tinggal Terhadap Efisiensi Penurunan Kadar BOD. Skripsi Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Laili, F.R dkk. 2014. Efisiensi Rotating Biological Contactor Disc Datar dan Baling-Baling dengan Variasi Kecepatan Putaran Pada Pengolahan Limbah Cair Tahu. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan. (71-77) Universitas Brawijaya, Malang. Metcalf dan Eddy. 2003. Waste Water Engineering Second Edition. New York : Mc GrawHill Company. Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, Hotel, Restoran, Rumah Sakit, Domestik dan Pertambangan. Said, N.I. 2005. Jurnal Pengolahan Air Limbah Dengan Sistem Reaktor Biologis Putar (Rotating Biological Contactor) dan Parameter Desain. 1(2):(178-188). Sayekti, R.W dkk. 2012. Studi Efektifitas Penurunan Kadar BOD, COD dan NH3 pada Limbah Cair Rumah Sakit dengan Rotating Biological Contactor. Jurnal Pengairan Vol. 2 No. 2. Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang. Setiarini, D.W dan Mangkoedihardjo, S. 2013. Penurunan BOD dan COD pada Air Limbah Katering Menggunakan Konstruksi Subsurface-Flow Wetland dan Biofilter dengan Tumbuhan Kana (Canna indica). Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol. 2 No. 1. Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Suryo, P.Y. 2009. Aplikasi Rotary Biological Contactor untuk Menurunkan Polutan Limbah Cair Domestik Rumah Susun Wonorejo Surabaya. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Implementasi Teknologi Informasi dalam Pengembangan Industri Pangan, Kimia dan Manufaktur. Teknik Industri & LPPM UPN Veteran. Jawa Timur.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 237
SBN: 978-602-6483-07-2
PERBANDINGAN APLIKASI MODEL DISPERSI POLUTAN PADA SUMBER EMISI INDUSTRI TIDAK BERGERAK M. Hendra Firmadi Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat Jl A. Yani Km.35,5 Banjarbaru Kalimantan Selatan, 70714, Indonesia E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Polusi udara adalah masalah yang sangat penting karena berkaitan dengan emisi dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak, yang mengandung CO2, SO2, NOX, CO, dan gas-gas lainnya. Simulasi model dispersi udara adalah salah satu cara untuk mempelajari kualitas udara yang dibutuhkan dalam hal ini. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah membandingkan aplikasi dan menentukan aplikasi yang paling efektif dalam pemodelan dispersi polutan sumber emisi industri tidak bergerak. Kata Kunci : Dispersi, Polusi dan Polutan ABTRACT Air pollution is a very important issue because it relates to emissions from mobile sources and stationary sources, which contains CO2, SO2, NOX, CO and other gases. Simulation of air dispersion model is one way to study the air quality required in this case. The purpose of this article is to compare the applications are most effective in pollutant dispersion modeling industrial is not moving. Keyword: Dispersion, Pollution and Pollutant
1. PENDAHULUAN Perkembangan Industri yang pesat di Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas industri tersebut, misalnya pencemaran udara yang berasal dari asap dan debu dari industry (Hasibuan, 2015). Udara merupakan unsur kehidupan yang paling utama, Kehidupan manusia akan lebih cepat berakhir tanpa udara dari pada tanpa air dan bahan makanan. Kualitas udara akan mempengaruhi tingkat kesehatan, sehingga efektifitas setiap kegiatan juga dipengaruhi oleh kondisi udara setempat (Suryani, 2010). Udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya. Supaya udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka perlu
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
238 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran udara (PP No. 41 Tahun 1999). Sumber polusi udara dikategorikan menurut bentuk adalah gas atau partikulat. sumber polusi udara juga dapat dibedakan dengan polutan udara primer atau sekunder. polutan udara utama berada di atmosfer yang ada dalam bentuk yang sama seperti dalam emisi sumber, sedangkan, polutan udara sekunder adalah polutan yang terbentuk di atmosfer sebagai akibat dari reaksi seperti hidrolisis, oksidasi, dan oksidasi fotokimia (Ibrahim, 2012). Masuknya zat-zat berbahaya ke atmosfir (polusi) terutama dari lokasi industri telah dikutuk oleh berbagai lembaga penelitian dan lingkungan peraturan agen global. Banyak pabrik semen telah mempekerjakan berbagai tindakan pencegahan seperti membangun tumpukan sangat tinggi di antara tindakan pencegahan lainnya. Akibatnya, laju udara polusi telah sangat berkurang meskipun lebih bisa dilakukan. Bidang angin tetap menjadi faktor besar yang tampaknya menjadi tak terelakkan. Untuk sebagian besar, pabrik semen mungkin tidak mengontrol polusi udara dinamika angin. Oleh karena itu, memecahkan dinamika lapangan angin bisa pergi jauh tidak hanya untuk penjinakan polusi udara dispersi sekitar pabrik semen tetapi juga memastikan ukuran control polusi dari sumber antropogenik (Emetere et al., 2013). Pentingnya pencegahan polusi udara telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, karena meningkatnya pengetahuan tentang sumber-sumber polusi dan tingkat polusi mereka. standar kualitas udara nasional telah ditetapkan oleh Amerika Serikat Clean Air Act untuk melindungi manusia dan lingkungan dari kerusakan oleh polusi udara. paparan kronis polusi udara adalah masalah seluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa setiap tahun sekitar 2,7 juta kematian dapat dikaitkan dengan polusi udara (Moradi et al., 2013). Kewajiban yang dikenakan di tingkat lokal, regional, nasional atau Eropa (misalnya penggunaan lahan, kebisingan, kualitas udara) dapat lebih efektif dilaksanakan di tingkat lokal ketika diintegrasikan ke dalam kerangka kerja manajemen strategis lokal. Pemilihan faktor lingkungan dan sumber polusi udara harus dibuat benar untuk memungkinkan estimasi nyata mengenai situasi risiko (Nicolescu et al., 2008). 2.
MODEL DISPERSI POLUTAN
a. Model Dispersi Polutan dengan AERMOD Untuk pemantauan dispersi pulutan mereka menggunakan software AERMOD dipakai untuk memperkirakan konsentrasi tergantung pada ketersediaan dan kualitas pengamatan meteorologi, serta spesifikasi karakteristik permukaan di lokasi pengamatan. Model ini mampu mensimulasikan dispersi gas yang dipancarkan dari semua jenis sumber, seperti titik, garis, dan permukaan, Dua jenis data meteorologi yang diperlukan untuk digunakan pada penginputan data pada AERMOD yaitu: data permukaan meteorologi data seperti suhu, kecepatan, arah angin dan Data meteorologi udara atas seperti fluks panas, panjang Monin Obukov, tingkat Albedo dan lain-lain.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 239
SBN: 978-602-6483-07-2
b. Model Dispersi Polutan dengan GIS Pemantauan polutan CO, NO, SO, SO2 dan PM10 dengan menguunakan GIS yang menunjukkan tingkat akurasi yang baik dengan menentukan nilai konsentrasi polutan pada suatu wilayah. Dengan memasukkan data Orthophoto, Orthophoto yaitu penyajian ortografik dalam bentuk foto yang dijabarkan dari foto udara dengan proses rektifikasi diferensial (proses untuk menghilangkan skala dan pergeseran bayangan karena ada relief dan kemiringan) telah dimasukkan, gambar yang ditampilkan secara spasial dikaitkan (akurat dipetakan) dan bisa dihubungkan dengan data lain yang spasial dikaitkan melalui sistem informasi geografis (G.I.S.) ditambah juga dengan Sebuah model matematika Gaussian memungkinkan perhitungan dispersi polutan di udara untuk memperkirakan situasi risiko lingkungan. c. Model Dispersi polutan dengan Matlab 7.12 Untuk membantu menyelesaikan persamaan Gaussian dan untuk membuat model sebaran dalam bentuk grafik, peneliti menggunakan software Matlab 7.12 karena Matlab 7.12 merupakan perangkat lunak dengan kemampuan numerik yang andal dan dapat menyediakan fasilitas grafik yang memadai. Selain itu, Matlab 7.12 ini sudah mendukung Graphic Using Interface (GUI) yang membuat tampilan aplikasi yang akan dibuat kelak lebih menarik. Pada Langkah pertama, yang dilakukan adalah pengumpulan data primer atau sekunder seperti contohnya adalah data yang bisa diambil langsung dari terjun langsung ke lapangan (Data Primer) atau mendapatkan data dari badan meteorology dan geofisika (Data Sekunder). Pada langkah selanjutnya, Data-data tadi didefinisikan ke dalam bentuk persamaan Gaussian yaitu untuk persamaan untuk gas dan persamaan untuk partikulat. Setelah mendapat penyelesaian akhir dari persamaan Gaussian untuk gas dan partikulat molekul dalam bentuk numerik, langkah selanjutnya adalah mengaplikasikan penyelesaian persamaan Gaussian tersebut. Adapun aplikasi dalam penelitian ini adalah membuat simulasi penyebaran polutan yang berasal dari cerobong asap berupa grafik dua dimensi, contour dan tiga dimensi dengan variasi nilai suhu cerobong, kecepatan angin dan tinggi efektif cerobong guna mengetahui pengaruh ketiga parameter tersebut terhadap penyebaran konsentrasi polutan. Untuk grafik dua dimensi, ditampilkan dalam bentuk kurva konsentrasi polutan pada sumbu x yang searah dengan arah angin dan sumbu y yang melintang horizontal terhadap arah angin. Kemudian untuk grafik tiga dimensi, aplikasi ditampilkan dalam bentuk kurva tiga dimensi yang terdiri dari komponen sumbu x, sumbu y dan sumbu z yang dalam hal ini mewakili nilai konsentrasi polutan. Sebagai tambahan, simulasi ini juga akan ditampilkan dalam bentuk peta penyebaran asap. 3.
KESIMPULAN
Dari berbagai variasi aplikasi untuk pemantauan dispersi polutan yang telah dijabarkan, tiap aplikasi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka penulis memilih metode pemetaan dispersi polutan dengan menggunakan Software Matlab 7.12, karena software ini sangat andal dan dapat menyediakan fasilitas grafik untuk datanya, selain itu juga, banyak sekali referensi tentang pemantauan dan pemetaan dispersi polutan menggunakan software Matlab 7.12.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
240 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
DAFTAR PUSTAKA Emetere, M, E, & Akimenyi, M, L. 2013. Modelling Of Generic Air Pollution Dispersion Analysis From Cement Factory. Analele UniversităŃii din Oradea – Seria Geografie. Nigeria. Hasibuan, F., Warsito, & Suciwati, S, W. 2015. Simulasi Model Dispersi Polutan Gas dan Partikulat Molekul Pada Pabrik Semen Dengan Menggunakan Software Matlab 7.12. Jurnal Teori dan Aplikasi Fisika. Lampung: Universitas Lampung. Ibrahim, M, Z., Ismail, M., & Hwang, Y, K. 2012. Mapping the Spatial Distribution of Criteria Air Pollutants in Peninsular Malaysia Using Geographical Information System (GIS). Air Pollution – Monitoring, Modelling & Health, Page 153-174. Kuala Trengganu: Universiti Malaysia Terengganu. Matejicek, L. Spatial Modelling of Air Pollution in Urban Areas with GIS: A Case Study on Integrated Database Development.Czech Republic : Institute for Environmental Studies, Charles University. Moradi, H., Rouhi, M., Madadi, H & Ghorbani, M. 2013. Air pollution modeling of the industrial complexes and cities in the Kurdistan region using AERMOD view. First International Symposium on Urban Development: Koya as a Case Study. Iran. Nicolescu, C, L., Gorghiu, G., Dunea, D., Buruleanu, L, & Moise, V. 2008. Mapping Air Quality: An Assessment of the Pollutants Dispersion in Inhabited Areas to Predict and Manage Environmental Risks. WSEAS Transation on Environmn. and Development. Romania. Suryani, S., Gunawan, & Upe, A. 2010. Model Sebaran Polutan SO2 pada Cerobong Asap PT. Semen Tonasa. Konggres dan Seminar Nasional Badan Koordinasi Pusat Studi Lingkungan Hidup se-Indonesia. Pekan Baru: Universitas Hasanuddin.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 241
SBN: 978-602-6483-07-2
EVALUASI PENGARUH KESESUAIAN DIMENSI, DEBIT, WAKTU TINGGAL DAN BEBAN PERMUKAAN TERHADAP KINERJA UNIT PENGOLAHAN AIR LIMBAH (STUDI KASUS IPAL LAMBUNG MANGKURAT PD PAL KOTA BANJARMASIN) Ridha Audina1, Chairul AbdI 2, Riza Miftahul Khair 3 Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Jl A.Yani Km.36, Banjarbaru, 70714, Indonesia E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Lambung Mangkurat sejak beroperasi pada tahun 2001 sampai sekarang belum pernah dilakukan evaluasi kinerja. Evaluasi kinerja sistem IPAL dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan IPAL dalam mengolah air limbah yang diharapkan dapat menjadi rekomendasi untuk mengoptimalkan proses pengolahan air limbah yang dilakukan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kesesuaian dimensi, debit, beban permukaan dan waktu tinggal untuk mengetahui kinerja unit pengolahan air limbah Metode yang dilakukan berupa pengamatan skala lapangan terhadap karakteristik fisik. Berdasarkan hasil penelitian, pada kondisi eksisting terdapat beberapa kendala pada unit pengolahan yaitu inlet, barscreen, RSPS dan grease trape serta masih ada ketidaksesuaian dimensi, debit, beban permukaan dan waktu tinggal pada bak pengendap pertama, RBC dan bak pengendap kedua. Kata kunci: IPAL, Dimensi, Beban Permukaan, Waktu Tinggal ABSTRACT Lambung Mangkurat Wastewater Treatment (WWT) has operated since 2001 until now, there has never been done a performance evaluation. Evaluation of system is performed to determine the success rate in wastewater process. It’s expected to improve WWT Performance. The purpose of this research was to determine the effect of dimensions, flowrate, hydraulic load and detention time to know performance of units in wastewater treatment. The methods that used in this research are field scale observation to the physical characteristics Based on this research, the processing units in existing condition having some trouble like as inlet, barscreen, RSPS and grease trap. And also there are still incompatibility dimensions, flowrate, hydraulic load and detention time on primary clarifier, RBC and secondary clarifier.. Keywords: WWT, dimension, hydraulic load and detention time
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
242 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Saat ini pengelolaan terhadap sanitasi khususnya air limbah domestik, menjadi kebutuhan yang sangat diperlukan. Air limbah domestik mengandung senyawa organik yang dapat menurunkan kualitas air, sehingga diperlukan suatu pengolahan agar tidak mencemari lingkungan. Perusahaan Daerah Pengelola Air Limbah (PD PAL) Banjarmasin sebagai perusahaan yang memberikan jasa pengumpulan dan pengolahan air limbah memberikan solusi berupa pengolahan air limbah secara terpusat (off site system). Menurut Samina dkk (2013) untuk mengetahui tingkat keberhasilan IPAL dalam mengolah air limbah dapat dilakukan evaluasi kinerja sistem IPAL untuk mendapatkan gambaran nyata mengenai kondisi yang terjadi di lapangan. Dalam jurnalnya Fitrahani dkk. (2012) menyebutkan, penentuan kinerja IPAL dapat dilihat berdasarkan karakterisasi fisik tiap unit pengolahan berupa pengukuran terhadap debit, dimensi dan waktu tinggal yang dibandingkan dengan kriteria desain. Evaluasi kinerja IPAL baru dilakukan pada IPAL Pekapuran Raya dan IPAL HKSN/Hasan Basry dengan kapasitas pengolahan masing-masing IPAL yaitu 2000 m3/hari. Berdasarkan penelitian Rizkya (2014) di IPAL Pekapuran Raya didapatkan ketidaksesuaian ukuran lebar bak pengendap kedua, debit dan waktu tinggal air limbah. Dimensi bak pengendap yang besar dengan debit masuk yang kecil, membuat beban permukaan menjadi kecil dan waktu tinggal menjadi lebih lama sehingga berpotensi terjadinya kondisi anaerob pada air limbah. Berdasarkan penelitian Febella (2015), kapasitas bak pengendap yang besar membuat tampungan air menjadi lebih banyak dan menyebabkan terjadinya kenaikan debit pada Rotating Biological Contractor (RBC) melebihi kapasitas pengolahannya. Kenaikan debit ini membuat waktu tinggal air limbah pada RBC menjadi lebih cepat, sehingga perombakan senyawa organik oleh mikroorganisme menjadi lebih singkat. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan efesiensi pengolahan akibat ketidaksesuaian faktorfaktor yang mempengaruhi proses pengolahan air limbah. IPAL Lambung Mangkurat belum pernah dilakukan evaluasi kinerja sejak beroperasi pada tahun 2001 sampai sekarang. IPAL ini memiliki kapasitas pengolahan 1000 m3/hari yang terbagi atas 2 bangunan pengolahan dengan kapasitas masing-masing sebesar 500 m3/hari. Evaluasi dilakukan pada bangunan B IPAL Lambung Mangkurat yang mencakup keseluruhan unit pengolahan air limbah meliputi karakterisasi fisik pada bak pengendap pertama, RBC dan bak pengendap kedua. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kesesuaian dimensi terhadap kinerja bangunan pengolahan. Melalui kegiatan ini dapat diketahui tingkat keberhasilan IPAL Lambung Mangkurat dalam mengolah air limbahnya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi IPAL Lambung Mangkurat untuk memperbaiki sistem pengolahan dan mengantisipasi kendala-kendala yang muncul di lapangan, sehingga dapat mengoptimalkan proses pengolahan air limbah yang dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kondisi eksisting jaringan dan unit pengolahan air limbah di IPAL Lambung Mangkurat ?
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 243
SBN: 978-602-6483-07-2
2.
Bagaimana pengaruh kesesuaian dimensi, debit, beban permukaan dan waktu tinggal terhadap kinerja unit pengolahan air limbah ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kondisi eksisting jaringan dan unit pengolahan air limbah di IPAL Lambung Mangkurat 2. Mengevaluasi pengaruh kesesuaian dimensi, debit, beban permukaan dan waktu tinggal terhadap kinerja unit pengolahan air limbah. 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Rancangan Penelitian Evaluasi kinerja IPAL Lambung Mangkurat dilakukan pada skala lapangan. Penelitian skala lapangan mencakup karakterisasi fisik berupa kesesuaian dimensi, debit dan waktu tinggal air limbah serta pengambilan sampel air yang didasarkan pada waktu tinggal pengolahan. Dimensi bangunan pengolahan IPAL Lambung Mangkurat didapatkan berdasarkan pengukuran lapangan dan data sekunder dari PD PAL Banjarmasin. Dimensi ini digunakan untuk mengetahui volume air limbah pada tiap unit pengolahan. Pengukuran debit terdiri 2 tahap yaitu pengukuran debit awal dan debit tiap unit pengolahan. Pengukuran debit awal dilakukan secara manual selama 7 hari dengan lama pengukuran 24 jam per hari. Pengukuran debit awal dilakukan pada RSPS IPAL untuk menentukan perwakilan hari dan jam puncak air limbah sebagai tolak ukur untuk pengukuran debit pada tiap unit pengolahan. Pengukuran debit pada tiap unit pengolahan dilakukan pada outlet RBC. Pengukuran ini dilakukan selama 3 hari didasarkan pada perwakilan hari selama satu minggu yang didapatkan pada pengukuran debit awal. Pengukuran debit dilakukan dengan menggunakan metode tampung berupa wadah yang berukuran 10 L. Pada saat bersamaan juga dihitung waktu tampungnya menggunakan stopwatch. Pengulangan dilakukan sebanyak 5 kali untuk mengoreksi hasil yang didapatkan. Nilai yang didapat kemudian di rata-ratakan. Melalui pembagian volume dengan waktu tampung air, maka akan didapatkan debit aliran pada tiap unit pengolahan. Waktu tinggal air limbah didapatkan dari pembagian antara volume air dengan debit yang mengalir pada tiap unit pengolahan. Hasil yang didapatkan kemudian dianalisis untuk mengevaluasi kinerja IPAL, sehingga diketahui tingkat keberhasilan IPAL dalam mengolah air limbah. 2.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian skala lapangan dilakukan selama 2 minggu bertempat di IPAL Lambung Mangkurat. Pengukuran debit awal dimulai pada hari Senin, 18 April 2016 – Minggu, 24 April 2016. Penelitian utama dilakukan pada minggu kedua berupa pengukuran dimensi, debit dan waktu tinggal unit pengolahan. Penelitian ini dilakukan pada hari Rabu, 18 Mei 2016; Jum’at 20 Mei 2016 dan Minggu, 22 Mei 2016 yang dimulai pada pukul 09.00 WITA. 2.3 Alat dan Bahan 2.3.1 Alat Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Alat pengambil sampel yaitu gayung yang dilengkapi dengan tongkat 2. Botol sampel ukuran 1 L
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
244 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Box pendingin Ice Replacement DO meter pH meter Termometer Stopwatch Meteran Wadah/ember ukuran 10 L Kertas label Sarung tangan karet Masker Gunting
2.3.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Aquadest 2. Sampel Air Limbah 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Identifikasi Kondisi Eksisting IPAL Lambung Mangkurat IPAL Lambung Mangkurat atau yang biasa disebut dengan Pelayanan IPAL I merupakan IPAL pertama yang beroperasi di kota Banjarmasin. IPAL ini memiliki kapasitas pengolahan 1000 m3/hari yang terdiri atas 2 bangunan pengolahan. Pada penelitian ini, evaluasi IPAL dilakukan pada bangunan B dengan kapasitas pengolahan 500 m3/hari. 3.1.1 Sistem Jaringan Proses pengolahan air limbah pada IPAL Lambung Mangkurat dengan menggunakan sistem terpusat (off site system). Sistem terpusat yaitu sistem yang melayani pengolahan air limbah dengan sistem pengumpulan dan pengolahan limbah cair yang dialirkan melalui jaringan perpipaan menuju Instalasi Pengolahan Air Limbah. Dalam pengalirannya menuju insalasi pengolahan, air limbah melewati beberapa bangunan pelengkap seperti lubang kontrol (inspection chamber), manhole dan stasiun pemompaan. 1. Lubang Kontrol (Inspection Chamber) Lubang kontrol berfungsi sebagai sarana pemeliharaan dan perawatan sistem pengaliran yang biasanya terdapat resiko penyumbatan, serta sebagai sarana pertemuan antara sambungan rumah dengan jaringan perpipaan. 2. Manhole Manhole memiliki fungsi yang sama dengan lubang kontrol, bedanya manhole memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan lubang kontrol. Manhole terletak di jalan utama yang menghubungkan pipa jaringan dengan sistem penyaluran baik antar manhole, lubang kontrol dengan manhole maupun antara manhole dengan stasiun pompa. 3. Stasiun Pompa Stasiun pompa adalah lokasi penempatan pompa yang berfungsi untuk menambah tekanan statis pada sistem pengaliran. Pada stasiun pemompaan ini, air limbah dipompa untuk menambah tekanan atau dorongan agar dapat mengalir menuju instalasi pengolahan.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 245
SBN: 978-602-6483-07-2
3.1.2 Sistem Pengolahan Sistem pengolahan air limbah IPAL Lambung Mangkurat meliputi bak inlet, penyaringan sampah (barscreen), sistem pengumpul RSPS, Grease Trap, bak pengendap pertama, RBC, bak pengendap kedua, desinfektan, outlet. 1. Bak Inlet Bak inlet merupakan unit pengolahan pertama yang berfungsi sebagai bak pengumpul air limbah sebelum diolah. Sumber air limbah yang masuk ke IPAL Lambung Mangkurat berasal dari rumah tangga, restoran, hotel, perkantoran dan perniagaan yang berada di sekitar instalasi. Air limbah yang masuk pada bak inlet IPAL Lambung Mangkurat berwarna hitam dan berbau. Kondisi bak inlet yang masih terbuka dan adanya overflow saluran air limbah menuju sungai meyebabkan terjadinya pengenceran air limbah akibat infiltrasi air hujan dan air sungai. 2. Penyaring Kasar (Barscreen) Barscreen berfungsi untuk menyaring sampah yang berukuran besar agar tidak masuk ke pengolahan selanjutnya. Jenis saringan sampah yang digunakan IPAL Lambung Mangkurat merupakan saringan kasar yang terdiri atas batangan besi berongga. Namun karena ukuran saringan yang masih cukup besar membuat sampah yang berukuran lebih kecil dari rongga penyaring ikut terbawa ke pengolahan selanjutnya. 3. Sistem pengumpul RSPS (Raw Sewage Pump Station) RSPS merupakan sumur pengumpul yang dilengkapi dengan stasiun pemompaan. Pada bak ini terdapat fasilitas pompa untuk memompa air limbah dari saluran yang rendah ke saluran yang lebih tinggi. RSPS IPAL Lambung Mangkurat memiliki pompa sebanyak 2 buah, namun karena adanya kerusakan pada salah satu pompa, sehingga pompa yang berfungsi hanya 1 buah saja yang dioperasikan secara manual, sehingga ketika air limbah naik ke titik yang telah di tentukan, maka pompa akan dinyalakan untuk memompa air limbah menuju grase trap 4. Grase Trap Grease trap berfungsi untuk memisahkan kandungan minyak dan lemak yang terdapat pada air limbah. Kandungan minyak dan lemak pada bak ini akan mengapung di bagian atas sedangkan air limbah akan mengalir menuju ke bak pengendap pertama. Namun, karena tidak terdapat sekat yang dapat menyaring kandungan minyak dan lemak ini membuat minyak dan lemak ini terbawa ke pengolahan selanjutnya. 5. Bak Pengendap Pertama Bak pengendap pertama berfungsi untuk menghilangkan zat padat tersuspensi dalam air limbah melalui proses pengendapan dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Pada proses ini aliran air limbah dibuat sangat tenang untuk memberi kesempatan padatan tersuspensi untuk mengendap. Partikel-partikel yang lebih berat dari air akan terpisah dan mengendap di dasar bak sedangkan partikel-partikel yang memiliki masa jenis lebih kecil dari air akan mengapung pada permukaan air limbah. 6. Rotating Biological Contractor (RBC) RBC merupakan pengolahan air limbah dengan sistem biologis yang terdiri atas piringan melingkar yang dipasang sejajar dalam suatu poros yang terbuat dari baja membentuk suatu modul RBC. Selanjutnya modul diputar di dalam reaktor khusus dimana di dalamnya dialirkan air limbah secara kontinyu dengan kecepatan tertentu. Pengolahan dengan sistem RBC terdiria atas 3 tahap (stage) pengolahan dengan dibatasi sekat antar tiap stage. Pada setiap tahap senyawa organik pada air limbah akan diuraikan oleh biomassa/mikroorganisme yang tumbuh pada disk/piringan RBC membentuk biofilm. Pada saat poros RBC berputar, biofilm yang melekat di media RBC akan tercelup ke
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
246 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
dalam air limbah, mikroorganisme menyerap senyawa organik yang ada di dalam air limbah yang mengalir pada permukaan biofilm dan pada saat biofilm berada di atas permukaan air, mikroorganisme menyerap oksigen untuk menguraikan senyawa organik 7. Bak Pengendap Kedua Bak pengendap kedua berfungsi untuk menurunkan kandungan padatan tersuspensi yang masih terikut di dalam aliran. Pada tahap ini juga terjadi proses kimia berupa pembubuhan desinfektan (kaporit) ke dalam bak pengendap kedua, pada saat air limbah telah melalui proses biologi dari RBC. 8. Desinfeksi Pembubuhan desinfektan diperlukan untuk membunuh mikroorganisme patogen pada air limbah. Pada tangki desinfektan dipasang pipa injeksi kaporit yang dihubungkan dengan bak pengendap kedua, sehingga air yang keluar dari pengolahan RBC menuju bak pengendap kedua langsung dikontakkan dengan kaporit yang keluar dari pipa injeksi. 9. Outlet Outlet merupakan tempat keluarnya air limbah hasil pengolahan dari bak pengendap ke dua. Outlet ini berupa saluran pipa yang yang terhubung dengan bak pengendap ke dua. Air limbah yang keluar pada outlet langsung disalurkan melalui saluran drainase menuju badan air penerima. 3.2 Analisa Dimensi, Debit, Beban Permukaan dan Waktu Tinggal Unit Pengolahan 3.2.1 Analisa Dimensi Analisa dimensi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian dimensi dan pengaruhnya terhadap kinerja unit pengolahan. Dimensi yang didapat juga digunakan untuk menghitung volume air yang tertampung pada unit pengolahan. 1. Bak Pengendap Pertama Berdasarkan tabel 3.1, diketahui dimensi panjang, lebar, tinggi serta rasio panjang dengan lebar bak pengendap pertama masih berada di dalam rentang kriteria desain yang ditetapkan. Sedangkan rasio panjang dan tinggi dengan nilai 3,8 masih berada di bawah kriteria desain yang ada yaitu 4,2 – 25. Volum air yang tertampung pada bak pengendap pertama berkisar 157,225 – 157,695 m3. Tabel 3.1 Dimensi Bak Pengendap Pertama No Keterangan Satuan 1 2 3 4
Panjang Lebar Tinggi Rasio P : L
m m m
5
Rasio P : H
Hasil Kriteria Keterangan Pengukuran Desain 11,5 3 – 100 Memenuhi 6 3 – 24 Memenuhi 3,1 2–5 Memenuhi 1,9 1 - 7,5 Memenuhi Belum 3,8 4,2 - 25 Memenuhi
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 247
SBN: 978-602-6483-07-2
2. RBC RBC bangunan B berjumlah 1 buah dengan kapastitas 500 m3/hari. RBC ini terdiri atas 3 tahap pengolahan dengan jumlah paket disk sebanyak 5 buah. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui, reaktor RBC memiliki panjang 8 m, lebar 2,7 m dan tinggi reaktor sebesar 1,45 m. Banyaknya putaran RBC per menit sebanyak 3,75 rpm sedangkan menurut kriteria desain RBC berputar sangat lambat yaitu pada kisaran 1 – 2 rpm. Pada umumnya, RBC memiliki diameter berkisar antara 2 – 4 m dengan kondisi tercelup sebesar 40 % dari diameter piringan sedangkan pada RBC bangunan B memiliki diameter 2,4 m dengan kondisi tercelup berada pada kisaran 36,7 – 37,8 %. Volume air yang tertampung pada RBC berada pada kisaran 17,145 – 17,733 m3. 3. Bak Pengendap Kedua Bak pengendap kedua berjumlah 1 berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 6 m; lebar 4 m dan tinggi 3,1 m. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, ukuran panjang dan tinggi bak pengendap kedua telah memenuhi kriteria desain 3 - < 100 m dan 3 – 6 m. Sedangkan ukuran lebar bak pengendap kedua masih berada di bawah kriteria desain yang ditetapkan yaitu 6 – 24 m. Volume air yang tertampung pada bak pengendap kedua berkisar 55,774 – 57,199 m3. Hasil pengukuran dimensi pada bak pengendap kedua dapat dilihat pada tabel 3.2.. Tabel 3.2 Dimensi Bak Pengendap Kedua No Keterangan Satuan 1
Panjang
m
2
Lebar
m
3
Tinggi
m
Hasil Kriteria Keterangan Pengukuran Desain 6 3 - <100 Memenuhi Belum 4 6 - 24 Memenuhi 3,1 3-6 Memenuhi
3.2.2 Analisa Debit dan Beban Permukaan Beban permukaan meningkat seiring dengan meningkatnya debit air limbah yang masuk dan terolah pada tiap unit pengolahan. Hubungan debit dan beban permukaan pada bak pengendap pertama dapat dilihat pada gambar 3.4. 10,00
Debit
600
9,00
550
Beban Permukaan (m3/m2.hari)
Debit (m3/hari)
650
8,00 0
1
2 Hari Pengukuran
3
4
Gambar 3.4 Hubungan Debit dan Beban Permukaan Pada Bak Pengendap Pertama
Debit air yang masuk pada bak pengendap pertama berkisar 587,755 - 635,294 m3/hari, dengan nilai beban permukaan sebesar 8,518 m3/m2.hari – 9,207 m3/m2.hari. Nilai beban Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
248 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
permukaan pada bak pengendap pertama masih berada di bawah kriteria desain yang ditentukan yaitu 60 – 130 m3/m2.hari. Hal ini disebabkan karena adanya ketidaksesuaian antara dimensi bak dengan debit air yang terolah. Kapasitas bak yang cukup besar membuat beban permukaan air limbah masih berada dibawah kriteria desain yang ditentukan. Hubungan debit dan beban permukaan pada RBC dapat dilihat pada gambar 3.5. 0,21
Debit Beban Permukaan
600 580
0,18 560
Beban Permukaan (m3/m2.hari)
Debit (m3/hari)
620
540 520
0,15 0
1
2
3
4
Hari Pengukuran
Gambar 3.5 Hubungan Debit dan Beban Permukaan pada RBC
700 600
Debit (m3/hari)
27,00
Debit
24,00
Beban Permukaan
21,00
500
18,00
400
15,00
300
12,00 9,00
200
6,00
100
3,00
0
Beban Permukaan (m3/m2.hari)
Debit air limbah yang terolah pada RBC berkisar 530,713 – 615,385 m3/hari, dengan nilai beban permukaan sebesa 0,173 – 0,2 m3/m2.hari. Besarnya debit air limbah yang masuk pada RBC disebabkan karena nilai debit yang terolah pada bak pengendap pertama telah mebihi kapasitas pengolahan RBC yaitu 500 m3/hari, sehingga beban permukaan air limbah pada RBC melebihi kriteria desain yang ditentukan yaitu 0,08 – 0,16 m3/m2.hari. Menurut Said (2005) beban permukaan yang terlalu besar dapat membuat mikroorganisme yang terdapat pada media RBC terkelupas, sehingga proses penguraian senyawa organik menjadinkurang optimal dan dapat menurunkan efesiensi pengolahan. Hubungan debit dan beban permukaan pada bak pengendap kedua dapat dilihat pada gambar 3.6.
0,00 0
1
2 Hari Pengukuran
3
4
Gambar 3.6. Hubungan Debit dan Beban Permukaan pada RBC
Debit air limbah yang masuk dan terolah di bak pengendap kedua sebesar 416,988 – 590,164 m3/hari. Meskipun nilai debit yang masuk melebihi rencana pengolahan, namun kapasitas bak pengendap kedua yang terlalu besar membuat beban permukaan air limbah yang berkisar 17,375 – 24,59 m3/m2.hari masih belum memenuhi kriteria desain yang ditentukan yaitu 40 – 49 m3/m2.hari.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 249
SBN: 978-602-6483-07-2
3.2.2 Analisa Waktu Tinggal Penentuan waktu tinggal air limbah terdiri atas 2 cara yaitu waktu tinggal air limbah berdasarkan perhitungan dan waktu tinggal air limbah eksisting yang didasarkan pada waktu pompa. Waktu tinggal air limbah berdasarkan perhitungan dapat dilihat pada tabel 3.3. Tabel 3.3 Waktu Tinggal Air Limbah pada Tiap Unit Pengolahan berdasarkan Pengukuran
No
Hari
Waktu Tinggal Pengukuran (jam) Bak Bak Pengendap RBC Pengendap Pertama Kedua
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3
1 2 3
6,420
0,775
3,210
6,123
0,740
2,326
5,957
0,684
2,506
Waktu tinggal air limbah yang terhitung setiap harinya berbeda-beda tergantung pada debit yang masuk pada tiap unit pengolahan. Semakin besar debit yang masuk, maka waktu tinggal air limbah akan semakin cepat. Meskipun debit yang masuk pada bak pengendap pertama melebihi kapasitas pengolahan, namun kapasitas bak yang cukup besar membuat waktu tinggal air limbah pada bak pengendap pertama lebih lama dibandingkan dengan kriteria desain yaitu berkisar 5,957 - 6,420 jam. Besarnya debit yang masuk melebihi kapasitas pengolahan membuat waktu tinggal air limbah pada RBC menjadi lebih cepat yaitu selama 0,684 – 0,775 jam. Berdasarkan pengukuran debit dan volum air yang tertampung, waktu tinggal air limbah pada bak pengendap kedua berkisar 2,326 – 3,210 jam. Waktu pompa ini dianggap sebagai waktu tinggal air limbah pada tiap unit pengolahan, karena pada waktu inilah terdapat aliran air limbah sehingga pengambilan sampel, pengukuran debit dan pemeriksaan kualitas air dapat dilakukan. Waktu tinggal eksisting air limbah pada tiap unit pengolahan dapat dilihat pada tabel 3.4. Tabel 3.4 Waktu Tinggal Eksisting Air Limbah pada Tiap Unit Pengolahan.berdasarkan Waktu Pompa
N o
Hari
Hari ke 1 Hari ke 2 2 Hari ke 3 3 Kriteria Desain 1
Waktu Tinggal Eksiting (jam) Bak Bak Pengendap RBC Pengendap Pertama Kedua 4
4
2
5
2,5
3,50
4
0,684
2.48
1–3
0,7 – 1,5
2–4
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
250 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Waktu tinggal air limbah pada bak pengendap pertama lebih cepat dibandingkan waktu tinggal yang seharusnya yaitu 4 – 5 jam. Waktu tinggal ini lebih lama apabila dibandingkan dengan kriteria desain yaitu selama 1 – 3 jam. Waktu tinggal yang terlalu lama dapat menyebabkan terjadinya kondisi anaerob. Gas yang dihasilkan dari dekomposisi anaerobik dapat membuat partikel yang telah terendap, ikut kembali ke dalam aliran air limbah yang dapat menurunkan efesiensi pengolahan air limbah. Apabila dibandingkan dengan waktu tinggal berdasarkan kriteria desain yaitu 0,7 – 1,5 jam, waktu tinggal eksisting air limbah pada RBC menjadi lebih lama yaitu berkisar 0,684 – 4 jam. Debit air yang besar membuat waktu tinggal air limbah menjadi lebih cepat, sehingga kontak air limbah dengan media permukaan RBC menjadi lebih singkat. Sedangkan waktu tinggal yang terlalu lama dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah bakteri dengan makanan yang tersedia, sehingga laju kematian bakteri lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan. Kondisi seperti ini, dapat menurunkan efesiensi karena proses penguraian zat organik menjadi kurang optimal. Waktu tinggal eksisting air limbah pada bak pengendap kedua, berada pada kisaran 2 – 3,5 jam. Waktu tinggal yang terhitung dan waktu tinggal eksisting air limbah pada bak pengendap kedua masih memenuhi kriteria desain yang ditentukan yaitu selama 2 – 4 jam. 4.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan Kesimpulan yang didapat dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pada kondisi eksisting terdapat beberapa kendala pada unit pengolahan yaitu inlet, barscreen, RSPS dan grase trape. 2. Masih ada ketidaksesuaian dimensi, debit, beban permukaan dan waktu tinggal pada bak pengendap pertama, RBC dan bak pengendap kedua. 4.2 Saran Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian yaitu : 1. Mengoperasikan pompa secara otomatis, sehingga pengaliran air limbah dapat terjadi secara kontinyu dan proses pengolahan sesuai dengan waktu tinggal air limbah 2. Memperbesar ukuran bak RSPS atau membuat bak equalisasi untuk mengontrol debit yang masuk agar tidak melebihi kapasitas pengolahan yang tersedia 3. Melakukan perawatan dan pemeliharaan pada unit-unit pengolah air limbah agar dapat meningkatkan efesiensi pengolahan pada IPAL Lambung Mangkurat DAFTAR PUSTAKA Davis, M.L. 2010. Water and Wastewater Engineering : Design Principles and Practice. New York: Mc Graw-Hil Company. Febella, R. 2015. Evaluasi Kinerja Sitem IPAL Domestik di IPAL HKSN/Hasan Basry PD PAL Kota Banjarmasin. Skripsi Program Sarjana Teknik Lingkungan. Universitas Lambung Mangkurat Febriani, C.D. 2014. Peran Mikroorganisme pada Rotating Biological Contactor (RBC). Universitas Gadjah Mada . Yogyakarta.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 251
SBN: 978-602-6483-07-2
Hammer, M.J dan Hammer, M.Jr. 2004. Water and Waste Water Technologi. 5th Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Laili dkk. Efesiensi Rotating Biological Contractor Disk Datar dan Baling-Baling dengan Variasi Kecepatan Putaran pada Pengolahan Limbah Cair Tahu. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Metcalf dan Eddy. 1979. Waste Water Engineering Treatment, Disposal, Reuse. 2nd Edition. New York: Mc Graw-Hill Company. Metcalf dan Eddy. 2003. Waste Water Engineering Treatment and Reuse. 4th Edition. New York: Mc Graw-Hill Company. PD PAL. 2014. Profil PD PAL Kota Banjarmasin. Banjarmasin Qasim, S.R. 1985. Waste Water Treatment Plans, Planning, Design and Operation. 2th Edition. USA: CBS Collage Publishing.. Ratnawati, R dkk. 2014. Desain Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Biofilter untuk Mengolah Air Limbah Poliklinik UNIPA Surabaya. Jurnal Teknik Waktu, 12(2):1-10. Rizkya, F. 2014. Evaluasi Kinerja Sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Domestik di IPAL Pekapuran Raya, PD PAL Kota Banjarmasin. Skripsi Program Sarjana Teknik Lingkungan. Universitas Lambung Mangkurat Retnosari, A. A dan Maya S. 2013. Kemampuan Isolat Bacillus sp. dalam Mendegradasi Limbah Tangki Septik. Jurnal Sains dan Seni Pomits Fakultas MIPA ITS, 2(1):1-5. Said, N. I. 2005. Pengolahan Air Limbah dengan Sistem Reactor Biologis Putar ( Rotating Biological Contractor) dan Parameter Desain. JAI, BPPT, 1(2): 1-11. Sami, M. 2012. Penyisihan COD, TSS, DAN pH dalam Limbah Cair Domestik dengan Metode Fixed-Bed Column Up Flow. Jurnal Reaksi (Journal of Science and Technology) Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe, Aceh. 10(21). Samina, Onny S dan Purwanto. 2013. Efektivitas Intalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Domestik Shovitri, M dkk. 2012. Biodegradasi Limbah Domestik dengan Menggunakan Inokulum Alami Dari Tangki Septik. Fakultas MIPA ITS. Jurnal Sains dan Seni ITS, 1(1). Viessman, W.Jr dan Hammer, M.J. 1998. Water Supply and Pollution Control. 6th Edition. California: Addison Wesley Longman, Inc. Yudha, D.A. 2013. Pengolahan Limbah Buangan Industri Tahu Menggunakan Bioreaktor Biakan Melekat Secara Anaerob-Aerob. Tugas Akhir sarjana Teknik Lingkungan. Universitas Hasunuddin.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
252 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
AKTIVITAS ANTROPOGENIK DAN DIVERSITAS TANAMAN OBAT PADA PEKARANGAN RUMAH DAN PESISIR PANTAI (STUDI KASUS DESA SUNGAI BAKAU DI KABUPATEN TANAH LAUT)
Anang Kadarsah1 dan Arif Mulyanto2 Program Studi Biologi, FMIPA Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani km 35,8 Banjarbaru Kalimantan Selatan 70714. E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Desa Sungai Bakau adalah salah satu desa di pesisir Kabupaten Tanah Laut yang kondisi pesisir pantainya relatif masih terjaga, sehingga masih banyak potensi biodiversitas yang belum tergali termasuk tumbuhan obat asli pesisir. Tingginya ketergantungan masyarakat desa Sungai Bakau terhadap ekosistem pesisir menyebabkan keberadaan tumbuhan obat asli pesisir sangat terancam keberadaannya. Aktivitas antropogenik dan diversitas tumbuhan obat yang terdapat pada pekarangan rumah dan pesisir pantai adalah dua parameter penting yang bisa digunakan untuk untuk menilai potensi dan peluang pengembangan tumbuhan obat di pesisir pantai. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan antropogenik dalam memanfaatkan tumbuhan obat pada pekarangan rumah dan pesisir pantai. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2016 di Desa Sungai Bakau Kabupaten Tanah Laut. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara terkait pemanfaatan pekarangan rumah dan pesisir pantai. Perbedaan antara diversitas aktivitas antropogenik dan tanaman obat pada pekarangan rumah dan pesisir pantai diuji menggunakan uji paired sampled t-test pada tingkat kepercayaan 95 %. Hasil penelitian ditemukan 13 macam aktivitas antropogenik yang sifatnya menguntungkan maupun merugikan pelestarian tumbuhan obat. Aktivitas menguntungkan tertinggi adalah menanam tanaman obat pada pekarangan rumah (60 %) dan terendah membersihkan sampah pada tumbuhan obat di pesisir pantai (5 %). Aktivitas yang paling merugikan keberadaan tanaman obat di pesisir pantai adalah menebang pohon (50 %) dan terrendah membuang sampah di dekat tumbuhan obat (5 %). Jenis tumbuhan obat yang ditemukan sebanyak 18 jenis tumbuhan obat. Penggunaan satu bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai obat adalah daun (38,1 %) dan paling sedikit adalah akar dan biji (4,7 %), serta penggunaan lebih dari satu bagian tumbuhan adalah sekitar 38 %. Pengolahan tumbuhan obat dibagi menjadi dua macam yakni direbus (85,7 %) dan langsung digunakan (14,3 %). Kebersihan pengolahan dan takaran tumbuhan diperhatikan pengguna berdasarkan pengalaman dan penyuluhan dari dinas kesehatan. Tidak ada perbedaan nyata antara aktivitas antropogenik dan diversitas tumbuhan obat di pekarangan dan pesisir pantai, disebabkan kedekatan jarak antara keduanya. Kendala utama penggunaan tumbuhan obat di pekarangan adalah minimnya pengetahuan masyarakat, sedangkan kendala di pesisir pantai adalah eksploitasi berlebihan tanpa upaya penanaman kembali. Kata kunci : aktivitas antropogenik, tumbuhan obat, pekarangan, pesisir pantai, sungai bakau
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 253
SBN: 978-602-6483-07-2
ABSTRACT Sungai Bakau is a coastal village in Tanah Laut Regency that conditions are relatively awake, so there is still much potential untapped for biodiversity including native medicinal plants. The high dependence of rural communities on coastal ecosystems in Sungai Bakau village cause native medicinal plants is highly endangered. Anthropogenic activity and diversity of medicinal plants found in home gardens and the coast are two important parameters that can be used to assess the potential and opportunities for the development of medicinal plants on the coast. The purpose of this study is to identify the types of anthropogenic activities in using medicinal plants in their home gardens and the coast. This research was conducted in October 2016 in Sungai Bakau Village, Tanah Laut Regency. The data collection doing by observation and interviews related to management of home gardens and coastline. The difference between anthropogenic activities and the diversity of medicinal plants in their home gardens and the coast sampled tested using paired t-test at 95% level of confidence. The research found about 13 kinds of anthropogenic activities that are beneficial or detrimental conservation of medicinal plants. The highest activity is beneficial to plant medicinal plants in the home gardens (60%) and clean up the garbage on medicinal plants in coastal areas is get the lowest score (5%). The most harmful activity in coastal areas are cut off the trees (50%) and the lowest is throw garbage near the medicinal plants (5%). Medicinal plant species are found as many as 18 species from 14 families. The most widely part utilization of the plant as medicine are the leaves (38,1%) and the least is root and seed (4,7%), and utilization of more than one part of the plant is about 38%. Processing of medicinal plants are divided into two types namely boiled (85,7%) and used immediately (14,3%). Cleanliness processing and dosing plants payed the user based on the experience and education of the health department. There is no real difference between anthropogenic activities and the diversity of medicinal plants in the home gardens and the coast, due to the proximity between the two. The main obstacle utilization of medicinal plants in home gardens is the lack of public knowledge, while constraints on the coast is over-exploitation without replanting. Keywords : anthropogenic activity, medicinal plants, home gardens, coastal, sungai bakau
1. PENDAHULUAN Desa Sungai Bakau merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Kurau, Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan dan berbatasan langsung dengan laut Jawa. Sumber penghidupan masyarakatnya sekitar 95% berasal dari dua bidang yaitu nelayan tradisional dan petani tradisional (Kadarsah, Wicaksono, Mirwan, dan Sota, 2014). Tingginya ketergantungan masyarakat desa Sungai Bakau terhadap ekosistem pesisir menyebabkan keberadaan tumbuhan obat asli pesisir sangat terancam keberadaannya. Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang salah satu atau seluruh bagian pada tumbuhan tersebut mengandung zat aktif yang berkhasiat bagi kesehatan yang dapat dimanfaatkan sebagai penyembuh penyakit (Wijayakusuma, 2008). Perhitungan dan kuantifikasi aktivitas antropogenik saat ini menghadapi semakin menghadapi tantangan berat terutama semakin meningkatnya dinamika dan frekuensi aktivitas antropogenik (Chapin, Matson, dan Mooney, 2002), sehingga secara massive terus mengubah
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
254 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
struktur fungsi pekarangan rumah dan pesisir pantai. Aktivitas antropogenik dan diversitas tumbuhan obat yang terdapat pada pekarangan rumah dan pesisir pantai adalah dua parameter penting yang bisa digunakan untuk untuk menilai potensi dan peluang pengembangan tumbuhan obat di pesisir pantai. Informasi ini sangat diperlukan dalam upaya menjalankan strategi pengelolaan pekarangan rumah yang terpadu dan berkelanjutan (Kadarsah dan Krisdianto, 2016). Mengingat pentingnya fungsi tanaman obat dan pekarangan rumah untuk meningkatkan ketahanan pangan, serta untuk meminimalisir permasalahan ekologis dan ekonomi yang timbul di daerah pesisir, maka diperlukan suatu upaya identifikasi untuk mengelola masalahmasalah yang berkaitan dengan aktifitas manusia. Pemilihan pekarangan rumah dan pesisir pantai disebabkan daerah tersebut saling berdekatan dan paling banyak digunakan oleh masyarakat untuk beraktivitas sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenisjenis kegiatan antropogenik dalam memanfaatkan tumbuhan obat pada pekarangan rumah dan pesisir pantai di Desa Sungai Bakau, kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. 2. METODE PENELITIAN 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Sungai Bakau, Kecamatan Kurau, Kabupaten Tanah Laut, Secara astronomis desa ini terletak pada lintang 114,563° – 114,711° Bujur Timur 3,562° – 3,722° Lintang Selatan (Gambar 1). Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, terhitung sejak bulan Agustus sampai dengan Oktober 2016.
LOKASI PENELITIAN DI DESA SUNGAI BAKAU
Gambar 1. Lokasi penelitian pengamatan aktivitas antropogenik dan diversitas tumbuhan obat di Desa Sungai Bakau, Kabupaten Tanah Laut
2.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam pengamatan aktivitas antropogenik dan diversitas tumbuhan obat antara lain adalah : GPS, buku catatan, alat perekam suara, dan kamera digital.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 255
SBN: 978-602-6483-07-2
Sedangkan bahan yang digunakan adalah aktivitas yang dilakukan masyarakat di pekarangan rumah dan pesisir pantai terkait pengelolaan tanaman obat dan sampel tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh masyarakat di Desa Sungai Bakau. 2.3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu pengamatan dan wawancara. Pengamatan langsung dilakukan pada pekarangan rumah dan pesisir pantai. Parameter yang diamati adalah aktivitas antropogenik yang berhubungan dengan pengelolaan tanaman obat dan keberadaan tumbuhan obat di kedua tempat pengamatan. Metode wawancara digunakan untuk menggali pengetahuan masyarakat lokal dalam mengelola tanaman obat yang ada di pekarangan dan di pesisir pantai. 2.4. Analisis Data Aktivitas antropogenik yang berhubungan dengan pengelolaan tanaman obat (pengelolaan batang, pengelolaan tanaman sela, pengelolaan tanah, pengelolaan nutrisi dan pupuk, pengelolaan hama, dan panen lestari) dan diversitas tanaman obat (jenis dan kelimpahan) dianalisis secara deskriptif. Perbedaan aktivitas antropogenik dan diversitas tumbuhan obat antara pekarangan rumah dan pesisir pantai dianalisis menggunakan paired sampled t-test pada tingkat kepercayaan 95%. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Aktivitas Antropogenik Konsep pengelolaan sumber daya hayati pada dasarnya meliputi aspek-aspek pengelolaan batang, pengelolaan tanaman sela, pengelolaan tanah, pengelolaan nutrisi, pengelolaan hama, dan panen lestari (Yuniati, 2011). Aktivitas antropogenik yang menguntungkan kebrhasilan pengelolaan tanaman obat setelah disesuaikan dengan jenis pengelolaan yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Identifikasi aktivitas antropogenik pada pekarangan dan pesisir pantai yang menguntungkan pengelolaan tumbuhan obat di Desa Sungai Bakau 1
Pengelolaan batang
Memangkas ranting yang patah dan membersihkan kotoran yang menempel pada batang pohon
2
Pengelolaan tanaman sela
3 4
Pengelolaan tanah Pengelolaan nutrisi
5
Pengelolaan hama
Membersihkan sampah dan rumput di sekitar tanaman obat Mencangkul tanah dan membuat pupuk organik Memberikan nutrisi dan pupuk tambahan secara teratur untuk tanaman Membuat pestisida nabati untuk mengusir hama, dan menggunakan pestisida buatan dengan bijaksana
6
Panen lestari
Menanam tanaman obat dengan sistem rotasi Menebang atau mengambil bagian tertentu tanaman obat sesuai keperluan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
256 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Hasil pengamatan dari Tabel 1 diatas diketahui ada 7 macam aktivitas yang menguntungkan pengelolaan tanaman obat di pekarangan dan pesisir. Kegiatan yang dimaksud antara lain : (1) memangkas ranting yang patah dan membersihkan kotoran yang menempel pada batang pohon, (2) membersihkan sampah dan rumput di sekitar tanaman obat, mencangkul tanah dan membuat pupuk organik, (3) mencangkul tanah dan membuat pupuk organik, (4) memberikan nutrisi dan pupuk tambahan secara teratur, (5) membuat pestisida nabati untuk mengusir hama, dan menggunakan pestisida buatan dengan bijaksana, (6) menanam tanaman obat dengan sistem rotasi, dan (7) menebang atau mengambil bagian tertentu tanaman obat sesuai keperluan. Sebaliiknya aktivitas antropogenik yang menguntungkan keberhasilan pengelolaan tanaman obat di pekarangan rumah dan pesisir pantai Desa Sungai Bakau yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 2. Tercatat ada 6 kegiatan dimaksud yaitu : (1) melumuri batang dengan oli, kotoran, dan merusak batang dengan pisau, (2) membiarkan rumput di sekitar tanaman obat, (3) membiarkan lahan kosong dan membuang sampah di dekat tanaman obat, (4) membiarkan tumbuhan hidup tanpa dipupuk, (5) tidak menggunakan pestisida nabati, semuanya memakai pestisida buatan, dan (6) menebang seluruh bagian tanaman obat untuk dijadikan kayu bakar.
Tabel 2. Identifikasi aktivitas antropogenik pada pekarangan dan pesisir pantai yang merugikan pengelolaan tumbuhan obat di Desa Sungai Bakau 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Melumuri batang dengan oli, kotoran, dan merusak batang dengan pisau Pengelolaan tanaman sela Membiarkan rumput di sekitar tanaman obat Membiarkan lahan kosong dan membuang sampah di Pengelolaan tanah dekat tanaman obat Pengelolaan nutrisi Membiarkan tumbuhan hidup tanpa dipupuk Tidak menggunakan pestisida nabati, semuanya Pengelolaan hama memakai pestisida buatan Menebang seluruh bagian tanaman obat untuk dijadikan Panen lestari kayu bakar Pengelolaan batang
Hasil perhitungan (Gambar 2.) menunjukkan bahwa memberikan nutrisi dan pupuk tambahan bagi tumbuhan obat di pesisi pantai menduduki peringkat pertama (45 %) aktivitas antropogenik yang menguntungkan keberhasilan pengelolaan tanaman obat di Desa Sungai Bakau. Sedangkan persentase kontribusi yang terkecil (5 %) adalah membersihkan sampah dan rumput di sekitar tanaman obat. Aktivitas tertinggi pada wilayah pekarangan rumah adalah menanam tanaman obat dengan sistem rotasi (55%),dan terendah (5%) adalah aktivitas membersihkan sampah dan rumput di sekitar tanaman obat. Rotasi tanam atau gilir tanam adalah salah satu sistem budidaya tanaman dengan cara menggilir atau menanam lebih dari satu jenis tanaman yang berbeda dalam waktu yang tidak bersamaan (https://pertaniansehat.com/read/2015/11/13/rotasi-tanaman.html).Beberapa keunggulan rotasi tanaman adalah mampu mengurangi intensitas serangan hama atau penyakit, meningkatkan kesuburan tanah, serta mampu membentuk ekosistem mikro yang stabil (Pujiasmanto, 2009).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 257
SBN: 978-602-6483-07-2
Persentase aktivitas antropogenik yang menguntungkan pengelolaan tumbuhan obat 60 50
55
40
45
30 20 10
20 10 0
5 5
1
2
20 10
20 0 0
0 10
0 3
4 Pesisir
5
6
7
Pekarangan
Gambar 2. Perbandingan persentase aktivitas antropogenik yang menguntungkan keberhasilan pengelolaan tumbuhan obat di Desa Sungai Bakau
Keterangan : 1. Memangkas dan membersihkan kotoran pada batang pohon 2. Membersihkan sampah dan rumput di sekitar tanaman obat 3. Mencangkul tanah dan membuat pupuk organik 4. Memberikan nutrisi dan pupuk tambahan secara teratur untuk tanaman 5. Membuat pestisida nabati dan bijaksana menggunakan pestisida 6. Menanam tanaman obat dengan sistem rotasi 7. Memotong bagian tertentu tanaman obat sesuai keperluan Aktivitas antropogenik yang merugikan keberhasilan pengelolaan tumbuhan obat di Desa Sungai Bakau disajikan pada Gambar 3. Tercatat ada 6 jenis aktivitas yaitu (1) merusak batang dengan pisau dan kotoran, (2) membiarkan rumput di sekitar tanaman obat, (3)membuang sampah di dekat tanaman obat,(4)tidak memupuk tanaman,(5)memakai pestisid a buatan, dan (6) menebang seluruh bagian tanaman obat. Masalah inti yang timbul dari kegiatan ini berasal dari faktor dalam dan faktor diluar. Faktor di dalam terdiri dari : rendahnya pendapatan masyarakat, terbatasnya modal masyarakat, tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah, masih tingginya ketergantungan hidup pada hutan. Faktor di luar masyarakat terdiri dari : tingginya permintaan kayu, kurangnya sosialisasi terhadap peraturan perundang undangan mengenai illegal logging, tidak adanya tata batas kawasan hutan yang jelas bagi masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan negara. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi faktor didalam yaitu : meningkatkan pendapatan dan pendidikan masyarakat, mengurangi ketergantungan hidup pada hutan. Sedangkan upaya mengatasi faktor di luar yaitu : mengurangi permintaan kayu, meningkatkan sosialisasi terhadap peraturan illegal logging, membuat tata batas kawasan hutan yang jelas bagi masyarakat yang tinggal dalam kawasan (Naemah, 2011).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
258 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Persentase aktivitas antropogenik yang merugikan pengelolaan tumbuhan obat 60 50 50 40
45
30 20
25
25
20 10 10
0
5
5
10
5
0
0 1
2
3 Pesisir
4
5
6
Pekarangan
Gambar 3. Perbandingan persentase aktivitas antropogenik yang merugikan pengelolaan tumbuhan obat di Desa Sungai Bakau
Keterangan : 1. Merusak batang dengan pisau dan kotoran ; 2. Membiarkan rumput di sekitar tanaman obat; 3.Membuang sampah di dekat tanaman obat; 4.Tidak memupuk tanaman ; 5. Memakai pestisida buatan ; 6. Menebang seluruh bagian tanaman obat 3.2. Diversitas jenis tumbuhan obat Hasil pengamatan diversitas jenis tumbuhan obat yang ada pada pekarangan dan pesisir pantai Desa Sungai Bakau ditampilkan pada Tabel 2. dibawah ini. Berdasarkan khasiat yang dimilikinyaada yang berguna untuk mengobati diare (jambu biji, kunyit, tanjang, dan waru laut), mengobati sembelit (nanas), menyembuhkan bisul (labu kuning dan kembang sepatu), menetralkan racun (kelapa), dan mengobati sakit kuning (sukun). Tabel 3. Jenis-jenis tumbuhan obat yang ditemukan di pekarangan dan pesisir Desa Sungai Bakau, Kabupaten Tanah Laut. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Ananas comolus Carica papaya Ipomea persdpare Cucurbita moschata Mamordica charanti Sauropus androginus Orthosiphon stamineus Hibiscus rosasinensis Artocorpus altilis
Nanas Pepaya/Kastela Tapak kuda Labu kuning Pare Katuk Kumis kucing Kembang sepatu Sukun
Khasiat Mengobati sembelit Menyembuhkan malaria Mengobati pegal-pegal Menyembuhkan bisul Menyembuhkan malaria Memperbanyak ASI Menyembuhkan sakit pinggang Mengobati bisul/luka Mengobati sakit kuning
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 259
SBN: 978-602-6483-07-2
No 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Nama Ilmiah Psidium guajava Cocos nucifera Piper betle Cymbopogon nardus Morinda citrifolia Citrus aurantifolia Stachytarpheta mutabilis Curcuma doomestica Sonneratia Sp. Rhizophora mucronata Acanthus Sp. Thespesia Sp.
Nama Lokal
Khasiat
Jambu biji Kelapa Sirih Serai Mengkudu Jeruk nipis Keji beling Kunyit Perepat/ Pidada Bakau/Tanjang Jeruju Waru laut
Menyembuhkan diare Menetralkan racun /alergi Mengobati sakit mata,gigi Mengobati gusi bengkak Mengobati demam, Menyembuhkan batuk Menyembuhkan sakit pinggangg Menyembuhkan diare Obat cacing gelang Menyembuhkan diare Menyembuhkan rematik, neuralgia Menyembuhkan kolera dan mulas
Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah tiga jenis tanaman pada tingkat hidup pohon dan merupakan tanaman asli pesisir pantai (Sonneratia Sp., Rhizophora mucronata, dan Thespesia Sp.), keberadaanya terancam oleh aktivitas penduduk di Desa Sungai Bakau. Saedal dan Rosye, 2010 menyebutkan bahwa jenis-jenis tanaman pohon berkhasiat obat hendaknya mendapat perhatian untuk pemanfaatan dan upaya pelestariannya. Hal ini disebabkan upaya pelestarian pohon berkhasiat obat adalah bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan serta melestarikan ilmu pengetahuan tradisional tentang ramuan obat secara turun temurun (Setyawati, 2009). PERBANDINGAN JENIS TANAMAN BERDASARKAN TEMPAT TUMBUHNYA
33,3 Pesisir pantai
Pekarangan
66,7
Gambar 4. Persentase perbandingan jumlah jenis tanaman berdasarkan kegunaannya di Desa Sungai Bakau
Berdasarkan tempat tumbuhnya (Gambar 4.) diketahui bahwa, pekarangan rumah menjadi tempat yang paling banyak dan paling memungkinkan memelihara tanaman obat dari tingkat hidup bukan pohon, yakni sekitar 66,7 %. Pesisir pantai menjadi tempat ideal bagi tempat hidup pohon karena relatif tahan terhadap gelombang pasang. Meskipun demikian jenis tanaman yang sesuai untuk kondisi lahan pantai sangat terbatas baik jumlah maupun jenisnya. Hal ini disebabkan karena lahan pantas dengan ekosistem pasir merupakan lahan yang sangat marginal (Mile, 2007).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
260 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Daun, buah, bunga, akar, rimpang, batang (kulit) dan getah (resin) adalah bagian yang dimiliki tumbuhan dan biasa digunakan untuk membuat ramuan obat dengan cara direbus dan ditumbuk. Penggunaan ramuan obat ada tiga cara yaitu diminum, ditempelkan, atau dibasuhkan dengan air pencuci (Kusuma & Zaky, 2005). Penggunaan satu bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai obat adalah daun (38,1 %) dan paling sedikit adalah batang dan umbi (4,7 %), serta penggunaan lebih dari satu bagian tumbuhan adalah sekitar 38 %. Pengolahan tumbuhan obat dibagi menjadi dua macam yakni direbus (85,7 %) dan langsung digunakan (14,3 %). Kebersihan pengolahan dan takaran tumbuhan diperhatikan pengguna berdasarkan pengalaman dan penyuluhan dari dinas kesehatan. Hasil uji paired sampled t-test diperoleh nilai signifikan perbedaan sebesar 0,867 (t>0,05). Kesimpulannya adalah tidak ada perbedaan nyata antara aktivitas antropogenik dan diversitas tumbuhan obat antara pekarangan rumah dan pesisir pantai di Desa Sungai Bakau. Hal ini diduga disebabkan oleh karena kedekatan jarak di antara keduanya. Kendala utama penggunaan tumbuhan obat di pekarangan rumah adalah minimnya pengetahuan masyarakat, sedangkan kendala di pesisir pantai adalah eksploitasi berlebihan tanpa upaya penanaman kembali. 4. KESIMPULAN 1. Ditemukan 13 macam aktivitas antropogenik yang sifatnya menguntungkan maupun merugikan pelestarian tumbuhan obat. Aktivitas menguntungkan tertinggi adalah menanam tanaman obat pada pekarangan rumah (60 %) dan terendah membersihkan sampah pada tumbuhan obat di pesisir pantai (5 %). Aktivitas merugikan tertinggi adalah menebang pohon di pesisir pantai (50 %) dan paling sedikit merugikan adalah membuang sampah di dekat tumbuhan obat (5 %). 2. Ditemukan sebanyak 18 jenis tumbuhan obat, dimana 3 jenis diantaranya adalah pohon asli pesisir pantai. Penggunaan satu bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai obat adalah daun (42 %) dan paling sedikit adalah akar dan biji (2 %), serta penggunaan lebih dari satu bagian tumbuhan adalah sekitar 18 %. 3. Tidak ada perbedaan nyata antara aktivitas antropogenik dan diversitas tumbuhan obat di pekarangan dan pesisir pantai, disebabkan kedekatan jarak antara keduanya. Kendala utama penggunaan tumbuhan obat di pekarangan adalah minimnya pengetahuan masyarakat, dan eksploitasi berlebihan tanpa upaya penanaman kembali. DAFTAR PUSTAKA Chapin III, F.S. Matson, P.A. And Mooney, H.A. 2002. Principles of Terrestrial Ecosystem Ecology. Tokyo: Springer. Kadarsah,A., D.R. Wicaksono, A. Mirwan, dan I. Sota. 2014. IbM Untuk Pengadaan Air Bersih Bagi Masyarakat Desa Sungai Bakau. Laporan Pengabdian Ipteks Bagi Masyarakat. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Kadarsah, A., dan Krisdianto. 2016. Identification And Characterization Of Anthropogenic Activities And Its Effect On Wetlands Ecological Functions : Simulation Case Of Riam Kanan River In Banjar District. Presented at International Conference of the Society for Indonesian Biodiversity (ICB). May 29, 2019. Padjadjaran University, Bandung. Kusuma, F. R. dan B.M. Zakky. 2005. Tumbuhan Liar Berkhasiat Obat. Jakarta: PT. Agro
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 261
SBN: 978-602-6483-07-2
Media Pustaka. Mile, M.Y. 2007. Pengembangan Species Tanaman Pantai Untuk Rehabilitasi Dan Perlindungan Kawasan Pantai Pasca Tsunami. INFO TEKNIS, 5(2). Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. http://fordamof.org/files/pengembangan_species_tanaman_pantai_untuk_rehabilitasi dan_perlindungan_kawasan_pantai.pdf. Naemah, D. 2011. Usaha Penanganan Dampak Pasca Operasi Illegal Logging Di Wilayah Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar (Studi Kasus). Laporan Penelitian (Mandiri). Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. http://eprints.unlam.ac.id/179/1/Mandiri%20Illegal%20Logging%20upload.pdf. Pujiasmanto, B. 2009. Strategi Pengembangan Budidaya Tumbuhan Obat Dalam Menunjang Pertanian Berkelanjutan. Makalah Ilmiah. Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Tanggal 30 April 2009. https://library.uns.ac.id/strategipengembangan-budidaya-tumbuhan-obat-dalam-menunjang-pertanian-berkelanjutan/. Sadal, J.T., dan Rosye H.R.T. 2010. Keragaman Tumbuhan Obat Tradisional di Kampung Desa Sungai Bakau Distrik Supiori Utara, Kabupaten Supiori–Papua. Jurnal Biologi Papua, 2(2):39-46. ISSN: 2086-3314. Setyawati, T. 2009. Potensi, Regenerasi dan Pemanfaatan Pohon Obat di Cagar Alam Besowo dan Manggis, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur. Info Hutan, 6 (2): 145-157. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Siswoyo, P. 2004. Tumbuhan Berkhasiat Obat. Yogyakarta: Penerbit Absolut. Sudarso, Y., G. P. Yoga, T. Suryono, M. S. Syawal, dan Yustiawati. 2009. Pengaruh Aktivitas Antropogenik di Sungai Cikaniki (Jawa Barat) Terhadap Komunitas Fauna Makrobentik. Limnotek, 16(2):153-166. Wijayakusuma, H.M.H. 2008. Ramuan Lengkap Herbal Taklukan Penyakit. Jakarta: Pustaka Bunda. Yuniati, W. 2011. Sekolah Lapang Pengelolaan Bambu MAP‐Indonesia di Sulawesi Selatan. Mangrove Journal MAP Indonesia, Februari 2011. http://blue-forests.org/wp/wpcontent/uploads/2015/04/2010-Mangrove-Journal-SL-bambu-article.pdf.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
262 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
PENGARUH UKURAN PARTIKEL TERHADAP KEKUATAN TEKAN KOMPOSIT POLYESTER DIPERKUAT PURUN TIKUS Ma’ruf Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani km 36 Banjarbaru 72111 Email:
[email protected] ABSTRAK Serat alam berpotensi sebagai penguat komposit untuk menggantikan serat sintetis, dikarenakan bahan yang banyak tersedia di alam dan ramah lingkungan. Material komposit khususnya biokomposit berbahan polimer saat ini menjadi material alternatif pengganti logam dan sangat banyak diaplikasikan dalam dunia industri. Material komposit diperkuat serat alam memiliki sifat tahan korosi, ringan, dan sifat mekanik yang cukup baik. Matrik yang digunakan adalah polyester dan katalis, fabrikasi komposit menggunakan metode hand lay up. Ukuran partikel yang digunakan adalah 10, 20 dan 30 mesh. Pengujian terhadap spesimen menggunakan pengujian tekan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kekautan tekan tertinggi pada 30 mesh dengan nilai uji tekan sebesar 173,5824 MPa. Kata Kunci: Partikel, Purun Tikus, Komposit, Kekuatan Tekan ABSTRACT Natural fibers as a potential reinforcement to replace the synthetic fiber composites, because the material is widely available and environmentally friendly. Composite materials made from polymer biocomposite material is now becoming an alternative to the metal and is very widely applied in the world of manufacturing industry. Natural fiber-reinforced composite material has properties of corrosion-resistant, lightweight, and good mechanical properties. Matrix used is polyester and the catalyst, composite fabrication using hand lay-up methods. The particle size used was 10, 20 and 30 mesh. Tests on specimens using a compressive stress. The test results showed that the highest compressive stress on 30 mesh with a value of 173.5824 MPa. Keywords: Particle, Purun Tikus, Composite, Compressive Stress
1.
PENDAHULUAN
Perkembangan industri yang semakin pesat yang memerlukan material yang selalu tersedia untuk memenuhi kebutuhan material untuk dijadikan produk. Pemanfaatan material komposit untuk keperluan industri semakin meningkat mulai dari industri kecil, menengah hingga industri skala besar. Produk komposit telah digunakan pada alat-alat rumah tangga, alat-alat otomotif, industri perkapalan dan industri aerospace. Komposit dapat dijadikan bahan
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 263
SBN: 978-602-6483-07-2
altenatif mengantikan material selain logam dikarenakan mempunyai keunggulan diantaranya: material yang murah, ringan, massa jenis yang rendah dibandingkan material logam, sifat mekanik yang kuat dan tidak korosif. Salah satu matirk yang digunakan pada material komposit menggunakan polimer. Dalam perkembangannnya penggunaan serat alam untuk memperkuat komposit polimer untuk menggantikan penggunaan serat sintetis misalnya serat kaca (fiber glass) yang dalam penggunaannya sering menimbulkan dampak bagi kesehatan manusia. Serat alam memilki keunggulan diantaranya banyak tersedia dialam, ramah lingkungan tetapi belum pemanfaatannya belum optimal. Salah satu tanaman yang berpotensi untuk berpotensi untuk dijadikan serat alam untuk memperkuat komposit polimer adalah tanaman purun tikus. Purun tikus (eleocharis dulcis) merupakan salah satu vegetasi alami di wilayah rawa sulfat masam di Kalimantan Selatan. Tanaman purun terdiri dari purun danau dan purun tikus. Tanaman purun tersebar pada beberapa kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan. Penggunaan bahan tersebut secara tradisional hanya dimanfaatkan untuk bahan baku industri mebel dan kerajinan rumah tangga seperti tikar, tas anyaman dan topi. Berbagai penelitian pemanfaatan purun tikus telah dilakukan beberapa peneliti. Kajian tentang potensi purun tikus sebagai biofilter telah dilakukan dari Agustus 2008 – Februari 2009, purun tikus mempunyai potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai biofilter dalam sistem pengolahan limbah (Prihatini, 2011). Penelitian sifat mekanik komposit purun tikus telah dilakukan (Kosjoko, 2011; Syarief, 2011). Pemanfaatan purun tikus sebagai filler papan komposit (Ishaq, 2011). Berbagai perlakuan terhadap serat alam diantaranya dengan memberikan perlakuan kimia seperti NaOH, KmnO4. Perlakuan kimia dapat berpengaruh terhadap lingkungan. Salah satu cara untuk meningkatkan. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kekuatan tekan komposit polyester yang diperkuat partikel purun tikus. 4. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan tahapan dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Persiapan Sampel Tanaman purun tikus dibersihkan dari pengotor. Tanaman purun tikus dihaluskan menggunakan blender dan diayak dengan ukuran 10, 20 dan 30 mesh untuk menyamakan ukuran dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 100 0C selama 4 jam untuk mengurangi kadar air. Partikel yang telah dioven dilakukan pengukuran kadar air. b. Proses Pembuatan Papan Komposit Perbandingan resin polyester dengan katalis dengan komposisi (100:1). Resin dimasukan kedalam gelas ukur sebanyak 125 cc dan ditimbang massa sebagai matrik dan partikel purun tikus yang telah dihaluskan sebagai filler dicampurkan kedalam campuran matrik dengan ukuran partikel sebesar 10, 20 dan 30 mesh. Perbandingan massa partikel yang digunakan sebesar 2% dan 4%. Resin dan matrik yang telah tercampur diaduk hingga merata, kemudian masukan katalis kedalam campuran dan aduk hingga merata. Campuran yang telah merata dimasukan kedalam dicetak dengan menggunakan metode hand lay up. Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
264 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
c. Proses pengujian sifat mekanik Setelah membeku dan keras spesimen dikeluarkan dari cetakan, kemudian dilakukan preparasi dan pengukuran untuk dilakukan pengujian tekan. Hasil analisis data untuk mendapatkan.komposisi optimum dari material komposit. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kekuatan tekan (MPa)
Pengujian tekan pada komposit polyester diperkuat purun tikus dengan ukuran spesimen 125 cm3, ukuran partikel yang digunakan untuk penguat komposit sebesar sebesar 10, 20 dan 30 mesh. Semakin besar angka mesh yang digunakan maka semakin kecil ukuran partikel yang dihasilkan. Ukuran partikel dengan mesh 30 memilki kekasaran permukaan yang lebih besar, sehingga akan meningkatkan perekatan antara partikel dengan matrik. Pengaruh antara meshing dan kekuatan tekan komposit ditunjukkan pada gambar 1 berikut.
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
2% 4%
10
20 Meshing
30
Gambar 1. Grafik hubungan meshing dan kekuatan tekan
Gambar 1 menjelaskan kekuatan tekan komposit dengan jumlah partikel sebesar 2% dan 4%. Pada jumlah partikel sebesar 2% terjadi penurunan nilai kekuatan tekan pada ukuran partikel 20 mesh dan terjadi peningkatan kekuatan tekan pada ukuran 30 mesh. Pada jumlah partikel sebesar 4% semakin besar ukuran meshing semakin besar nilai kekuatan tekan. Nilai kekuatan tekan tertinggi pada ukuran 30 mesh, dengan nilai kekuatan tekan sebesar 173,5824 MPa dan 170,9652 MPa. 6. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa semakin besar persentase massa dan semakin kecil ukuran partikel, maka semakin besar nilai kekuatan tekan komposit. Kekuatan tekan tertinggi pada ukuran partikel 30 mesh dan jumlah persentase massa partikel 2% sebesar 173,5824 MPa.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 265
SBN: 978-602-6483-07-2
DAFTAR PUSTAKA Syarief, A., 2011. Uji Lentur Komposit Polyester - Serat Purun Tikus (Eleocharis Dulcis). Jurnal Keilmuan dan Aplikasi Teknik INFO-TEKNIK, 14 (2). ISSN 0853-2508. ASTM, 1987. Annual Standard Book Composite Material. ASTM D 3039. Wulandari, F. T., 2013. Produk Papan Komposit Dengan Pemanfaatan Limbah Non Kayu. Prodi Kehutanan Faperta UNRAM Jurnal Media Bina Ilmiah, 7(6) Desember 2013 ISSN No. 1978-3787. Haygreen, J. G. dan J. L. Bowyer., 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Yogyakarta: Gadjah Mada University. . Derek, H., 1981. An Introduction To Composite Material. Cambridge: Cambridge University Press. Ishaq, Akhmad Faisal, Abdulah Hamdi, dan Totok Wianto, 2011. Pembuatan Partikel Board Dengan Substitusi Bahan Matrik Komposit Tumbuhan Purun Tikus (Eleocharis dulcis). Prestasi, 1(1). Desember 2011. Kosjoko, 2015. Upaya Peningkatan Kualitas Sifat Makanik Komposit Serat Purun Tikus (Eleocharis Dulcis) Bermatrik Polyester Dengan Perlakuan NaOH. Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV). Kosjoko, Achmad As’ad Sonief, Djoko Sutikno, 2011. Pengaruh Waktu Perlakuan Kalium Permanganate (KmnO4) Terhadap Sifat Mekanik Komposit Serat Purun Tikus (Eleocharis Dulcis). Jurnal Rekayasa Mesin, 2(3):193-198. Nopi Stiyati Prihatini, Krisdianto, Atika Setyorini, Noor Azizah, Saddam, Khameni, Dian Tri A., 2011. Potensi Purun Tikus (Eleocharis Dulcis) Sebagai Biofilter. Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
266 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
INTERPRETASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DI KARANG ANYAR KOTA BANJARBARU Ibrahim Sota1 dan Fahruddin2 1,2. Program studi Fisika, FMIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru Jl. A. Yani km 36 Banjarbaru 72111 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Karang Anyar merupakan salah satu wilayah Kota Banjarbaru yang berada di bagian utara. Lokasi Karang Anyar berada di lahan rawa gambut sehingga pembangunan infrastruktur seperti jalan raya sangat rawan retak-retak dan amblas. Olehnya itu, pembangunan jalan raya harus memperhatikan kondisi struktur bawah permukaan sehingga kokoh dan tahan lama. Metode seismik refraksi merupakan salah satu metode yang akurat untuk menentukan struktur bawah permukaan baik letak, kedalaman dan ketebalan litologi terutama lapisan lapuk/tanah di sekitar permukaan. Hasil interpretasi berdasarkan kecepatan penjalaran gelombang seismik refraksi menunjukan bahwa struktur litologi di lokasi penelitian yaitu lapisan pertama dengan kecepatan berkisar 157.143 – 183.674 m/s adalah tanah urukan bercampur lumpur rawa dengan kedalaman berkisar 3.03 – 3.97 m, lapisan kedua dengan kedalam 6.43 – 11.33 m dan kecepatan penjalaran gelombang berkisar 245.902 – 342.466 m/s adalah lapisan lapuk/tanah lempungan, sedangkan lapisan ketiga dengan kecepatan penjalaran gelombang 483.092 – 514.139 m/s lempung yang jenuh air dan tak terkonsolidasi. Kata kunci: Struktur, refraksi, Banjarbaru. ABSTRACT Karang Anyar is one area Banjarbaru located in the northern part. Location of Karang Anyar was on peatlands that infrastructure such as highway construction is very prone to cracks and vanish. So, the construction of highways should consider to the condition of subsurface structures so sturdy and durable. Seismic refraction method is an accurate method for determining subsurface structure of both the location, depth and thickness of lithologic mainly weathered layer / soil around the surface. Interpretation of results based on the speed of seismic wave propagation refraction shows that the structure of the lithology of the study sites, namely the first layer with speeds ranging from 157.143-183.674 m/s is ground landfill mud bog with depth 3.03 to 3.97 meters, the second layer with depth 6.43 to 11.33 meters, the speed of wave propagation around 245.902-342.466 m/s is a weathered layer / silty soil, while the third layer with the speed of wave propagation 483.092-514.139 m/s is watersaturated clay and unconsolidated. Key word: structure, refraction, Banjarbaru.
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 267
SBN: 978-602-6483-07-2
1.
PENDAHULUAN
Letak Kota Banjarbaru secara geografis sangat strategis karena merupakan jalur transportasi lalu lintas yang menghubungkan Kota propinsi dengan kota kabupaten di Kalimantan Selatan yakni di wilayah barat yaitu kota banjarmasin dan Batola, wilayah timur yaitu kabupaten Banjar, kabupaten Rantau, kabupaten Hulu sungai Selatan, kabupaten Hulu Sungai Tengah, kabupaten Hulu Sungai Utara dan kabupaten Tanjung, sedangkan di wilayah selatan yaitu kabupaten Tanah Laut, kabupaten Tanah Bumbu dan kabupaten Pulau Laut. Selain itu Kota Banjarbaru merupakan daerah penyangga dan persinggahan (transito) bagi kota dan kabupaten di wilayah Kalimantan Selatan yang menjadikan Kota Banjarbaru memiliki kedudukan vital bagi perkembangan dan kemajuan ekonomi di wilayah sekitarnya. Posisi strategis dan kedudukan vital Kota Banjarbaru tersebut, membuat Banjarbaru layak disebut Simpul Segi Tiga Emas sebagai daya saing dan nilai tambah yang harus dikelolah dan dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi kemajuan pembangunan. Pembangunan infrastruktur jalan lingkar utara Kota Banjarbaru yang melalui daerah Karang Anyar untuk menggerakan dan memperlancar laju roda perekonomian masyarakat harus memperhatikan kondisi struktur bawah permukaan. Metode geofisika yang akurat dan sangat tepat digunakan untuk mengetahui kondisi struktur bawah permukaan dangkal adalah metode seismik refraksi. Dengan metode seismik refraksi, ketebalan lapisan lapuk atau tanah yang menutupi lapisan batuan keras bisa diketahui. Dengan mengetahui batas lapisan lapuk dan batuan keras sangat berguna untuk menetukan kedalaman pondasi, tiang pancang atau penempatan letak infrastruktur atau bangunan konstruksi yang aman di atasnya. Penerapan metode seismik refraksi telah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain: Tringsih, Sota dan Wahyono (2013) di Kampung Baru Kota Banjarbaru dengan hasil kecepatan penjalaran gelombang lapisan pertama 295 – 413 m/s adalah lapisan lapuk keril, kecepatan gelombang lapisan kedua 787 – 919 m/s diinterpretasikan sebagai pasir kerikilan dan kecepatan gelombang lapisan ketiga 1282 – 2020 m/s adalah lempung pasiran. Hudha dkk (2014) di Diwak dan Derekan Kabupaten Semarang yang menafsirkan bahwa struktur litologi daerah Diwak yaitu kecepatan gelombang lapisan pertama 297 – 412m/s adalah alluvium, kecepatan gelombang lapisan kedua 471 – 697 m/s adalah soil sedangkan di daerah Derekan kecepatan gelombang lapisan pertama 546 – 1011 m/s adalah alluvium, kecepatan gelombang lapisan kedua 1081 – 1714 m/s adalah batulempung. Zikrilah, Sugianto dan Rusydy (2016) di Jantho Aceh Besar menduga bahwa kecepatan gelombang lapisan pertama 300 – 800 m/s adalah top soil, kecepatan gelombang lapisan kedua 1200 – 1800 m/s adalah lempung kerikilan, kecepatan gelombang lapisan ketiga 2200 – 3000 m/s adalah batupasir kerikilan. Kiswarasari (2013) di desa Deliksari Gunung Pati Semarang mengidentifikasi dua lapisan yaitu lapisan pertama berupa tanah uruk pada kedalaman 3,7 – 4,6 m dengan cepat rambat gelombang 105,84 – 116,58 m/s, lapisan kedua berupa batupasir basah pada kedalaman >6,215 m dengan cepat rambat gelombang 900,901 – 1078,431 m/s. Desa Deliksari Kecamatan Gunungpati Semarang adalah lokasi dekat perumahan warga dengan permukaan tanah yang memungkinkan terjadi longsor hingga kedalaman 6,2 m atau lebih. Listiyani, Nurwiyanto dan Yulianto (2006) untuk menetukan kedalaman dan keketebalan lapisan akuifer di daerah Sioux Park Dakota USA menyimpulkan bahwa , lapisan pertama tersusun dari tanah, lempung pasiran, lempung pengisi tanah dan kerikil,berfungsi sebagai lapisan penutup, lapisan kedua lempung, pasir yang bersifat kering dan meluluskan air, pasir kerikil yang dekat dengan permukaan, berfungsi sebagai lapisan pembawa air atau lapisan akuifer dan lapisan ketiga
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
268 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
tersusun dari batu napal, yang berfungsi sebagai lapisan kedap air (impermeabel), sedangkan kedalaman lapisan akuifer bervariasi dari 3,66 – 4,4 m. Peneliti yang telah disebutkan di atas melakukan penelitian di lokasi permukaan tanah yang kering atau bukan lahan basah sehingga penjalaran gelombangnya jauh lebih besar dibandingkan dengan lokasi lahan basah. Penelitian metode seismik refraksi di lahan basah oleh penulis merupakan tantangan baru yang harus dipecahkan dalam rangka mendukung kemajuan pembangunan Kota Banjarbaru. Penentuan kondisi struktur geologi bawah permukaan baik ketebalan dan kedalaman lapisan batuan sangat penting karena berpengaruh terhadap keberadaan infrastruktur di atasnya. Pergeseran kecil pada batuan dasar atau struktur batuan lapisan bawah permukaan mengakibatkan terjadinya kerusakan sangat parah di permukaan seperti amblasan tanah, keretakan pada bangunan dan ambruknya infrastruktur. Penentuan letak infrastruktur terutama yang berbasis pelayanan publik seperti jalan raya harus memperhitungkan kondisi struktur lapisan bawah permukaan untuk menghindari kerugian material dan jatuhnya korban jiwa dikemudian hari. 2.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode seismik refraksi untuk menentukan struktur lapisan dangkal termasuk ketebalan lapisan lapuk atau tanah yang bersentuhan langsung dengan aktifitas keseharian manusia baik untuk kegiatan pembangunan infrastruktur maupun pertanian dan perkebunan. 2.1. Gelombang Refraksi Gelombang refraksi ketika menjalar pada bidang batas lapisan yang mempunyai perbedaan kecepatan, maka arah perambatannya akan berubah sesuai arah medium baru yang dilewatinya. Gelombang akan mengalami pembiasan (refraksi) bila kecepatan perambatan gelombang pada medium bagian atas lebih kecil daripada lapisan bawah yang memungkinkan gelombang refraksi pada lapisan bawah lebih cepat sampai ke geopon penerima di permukaan. Geopon/penerima
Sumber gelombang
Lapisan 1
i
i
h
V1 Lapisan 2
A
V2
Bidang batas B
lapisan 1 dan 2
Gambar 1. Perambatan gelombang refraksi dengan sudut datang i (Telford, 1990)
Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang refraksi merambat dari sumber sampai ke geopon penerima (sumber ke titik A, titik A ke titik B, titik B ke geopon penerima) adalah: T2 = TSA + TAB +TBP Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 269
SBN: 978-602-6483-07-2
𝑇2 =
𝑆𝐴 𝑉1
𝑋 𝑇2 = 𝑉
+
2
𝐴𝐵 𝑉2
+
+
𝐵𝑃 𝑉1
2ℎ cos 𝑖𝑘 𝑉1
(1)
Keterangan: T2 = Waktu perambatan gelombang refraksi dari sumber ke penerima (s) X = Jarak sumber ke geopon penerima (m) h = Ketebalan lapisan lapuk/tanah (m) V1, V2 = Kecepatan gelombang pada lapisan 1 dan 2 (m/s) Dengan memplot ke dalam grafik waktu terhadap jarak, maka kecepatan perambatan gelombang pada lapisan satu, lapisan dua dan seterusnya, demikian pula ketebalan dan kedalaman tiap lapisan dapat ditentukan. T (s ) 1/V2
τ
1/V1 X (m )
Gambar 2. Grafik perambatan gelombang (Telford, 1990)
Kecepatan perambatan gelombang diperoleh dengan menghitung kemiringan grafik sedangkan ketebalan dan kedalaman diperoleh dengan memodifikasi persamaan (1) menjadi: T2 = τ; untuk X = 0
τ=
2ℎ cos 𝑖𝑘
ℎ=
𝑉1
, menjadi
τ 𝑉1 𝑉2 2√𝑉22 −𝑉21
(2)
keterangan: τ = Titik potong T pada saat X=0 V1= Kecepatan gelombang langsung pada lapisan 1 (m/s) V2= Kecepatan gelombang refraksi pada lapisan 2 (m/s) h = ketebalan/kedalaman lapisan lapuk (m)
2.2. Tahapan Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Karang Anyar yang berlokasi di bagian utara Kota Banjarbaru. Tahapan-tahapan dalam melakukan penelitian ini adalah: (1) Survei lapangan Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
270 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
untuk menentukan dan memastikan arah lintasan dan lokasi penelitian. (2) Rancangan akusisi data seismik dimaksudkan untuk mengefisienkan waktu dan biaya serta akurasi penelitian sehingga tujuan yang diinginkan tercapai. (3) Akuisisi data seismik untuk memperoleh data lapangan secara langsung berupa waktu tiba gelombang pada titap-tiap geopon yang ditanam di permukaan sesuai jarak yang telah ditentukan untuk menentukan kondisi struktur bawah permukaan. (4) Picking first break time untuk mengetahui besarnya waktu tiba gelombang pada tiap geopon berdasarkan jarak yang telah ditentukan. (5) Pembuatan grafik penjalaran gelombang untuk mengetahui jumlah lapisan yang terdeteksi dan kecepatan penjalaran gelombang pada tiap lapisan. (6) Pemodelan lapisan litologi bawah permukaan untuk mengetahui ketebalan dan kedalaman tiap jenis litologi serta besar dan arah kemiringannya. (7) Model struktur lapisan dangkal merupakan gambaran hasil penafsiran kondisi struktur litologi lapisan dangkal di lokasi penelitian dan sekitarnya. Diagram alur penelitian dapat dilihat pada gambar 3. Survey Lokasi Penelitian
Rancangan akuisisi data seismik refraksi
Akuisisi data seismik refraksi
Picking first break
Grafik kurva penjalaran gelombang
Pemodelan struktur litologi bawah permukaan
Model/penampang struktur lapisan dangkal Gambar 3. Diagram alur penelitian
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 271
SBN: 978-602-6483-07-2
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil perhitungan kecepatan penjalaran gelombang pada tiap lapisan yang dilalui oleh gelombang dan waktu tempuh yang terekam pada tiap geopon, maka dapat diketahui ketebalan dan kedalaman tiap lapisan bawah permukaan yang tegak lurus dengan posisi geopon di permukaan. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1. Tabel.1 Ketebalan dan kedalaman lapisan batuan Nomor Geopon
Jarak (m)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46
Ketebalan / kedalaman Lapisan Pertama (m) 3.85 3.56 3.47 3.78 3.97 3.92 3.77 3.53 3.65 3.67 3.34 3.30 3.27 3.24 3.76 3.69 3.66 3.88 3.75 3.31 3.74 3.70 3.31 3.03
Ketebalan Lapisan Kedua (m)
Kedalaman Lapisan Kedua (m)
2.61 2.87 4.08 5.16 6.16 5.86 6.00 6.15 6.29 6.43 6.58 6.72 6.86 7.01 7.15 7.29 7.44 7.28 7.58 7.52 7.17 6.69 5.71 4.83
6.46 6.43 7.54 8.94 10.12 9.78 9.77 9.68 9.94 10.11 9.92 10.02 10.13 10.24 10.91 10.99 11.10 11.16 11.33 10.83 10.90 10.39 9.02 7.86
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
272 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Gambar 4. Penampang vertikal struktur bawah permukaan Karang Anyar
Data-data dari tabel 1. dijadikan dasar pemodelan penampang struktur vertikal bawah permukaan seperti yang diperlihatkan pada gambar 4. Litologi batuan yang terlihat pada gambar 4 terdiri dari tiga lapisan batuan yang ditunjukan oleh perbedaan kecepatan perambatan gelombangnya. Ketebalan dan kedalaman lapisan pertama dan kedua diketahui sedangkan ketebalan dan kedalaman lapisan ketiga tidak diketahui karena gelombang refraksi tidak sampai merambat ke bidang batas antara lapisan ketiga dan keempat. Arah kemiringan lapisan batuan/litologi di lokasi penelitian cendrung mengarah ke barat yang ditunjukan oleh bidang batas lapisan kedua dan ketiga. Jenis batuan/litologi lapisan pertama bisa diketahui secara langsung saat survei lapangan dan akuisisi data karena tersingkap di permukaan sedangkan lapisan kedua dan ketiga harus diinterpretasi jenis litologinya berdasarkan data kecepatan perambatan gelombangnya karena tertutup oleh lapisan pertama. Interpretasi jenis litologi tiap lapisan berdasarkan hasil perhitungan dan analisa kecepatan penjalaran gelombangnya diketahui bahwa struktur litologi di lokasi Karang Anyar adalah lapisan pertama dengan kedalaman berkisar 3.03 – 3.97 m dan kecepatan penjalaran gelombangnya berkisar 157.143 – 183.674 m/s adalah tanah urukan bercampur lumpur rawa, lapisan kedua dengan kedalam 6.43 – 11.33 m dan kecepatan penjalaran gelombang berkisar 245.902 – 342.466 m/s adalah lapisan lapuk/tanah lempungan, sedangkan lapisan ketiga dengan kecepatan penjalaran gelombang 483.092 – 514.139 m/s lempung yang jenuh air dan tak terkonsolidasi. Lapisan pertama dan kedua merupakan lapisan lapuk yang ditandai oleh kecepatan perambatan gelombagnya yang kurang dari 400 m/s dan diperkirakan pada lapisan tersebut terjadi kegiatan penguraian bahan-bahan organik menjadi tanah. Terdapat hubungan yang sangat erat antara kerapatan batuan sedimen dengan kecepatan perambatan gelombang. Semakin besar perambatan gelombang pada suatu lapisan batuan maka semakin rapat batuan tersebut yang berarti batuan semakin kuat menopang infrastruktur jalan raya atau bangunan yang diletakkan di atasnya . Sebaliknya semakin rendah perambatan gelombang pada batuan tersebut maka batuan tersebut semakin rapuh yang berarti batuan tidak kuat untuk menopang infrastruktur jalan raya atau bangunan yang diletakkan di atasnya. Demikian pula halnya jenis lapisan batuan yang ada di lokasi penelitian yaitu daerah Karang Anyar, lapisan pertama dan kedua masih sangat rapuh dijadikan landasan atau pondasi untuk menopang infrastruktur jalan raya di atasnya terutama bila dilalui oleh mobil yang bertonase besar. Apabila lapisan pertama dan kedua dijadikan penopang infrastruktur jalan di atasnya
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 273
SBN: 978-602-6483-07-2
maka jalan tersebut kemungkinan bisa amblas pada beberapa sisi dan retak-retak yang akhirnya menyebabkan jalanan bergelombang. Lapisan ketiga dengan kecepatan penjalaran gelombang 483.092 – 514.139 m/s diinterpretasikan sebagai batulempung yang jenuh air dan tak terkonsolidasi jauh lebih kuat dan kokoh dibandingakan dengan lapisan pertama dan kedua untuk menopang infrastrutur jalan raya di atasnya. Bila dijadikan ladasan penopang infrastrutur jalan raya di atasnya maka keberadaan lapisan pertama dan kedua harus dikupas terlebih dahulu. Pengupasan lapisan pertama dan kedua harus diganti dengan material baru sehingga pekerjaan pengupasan tanah tidak gampang karena membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi. 4.
KESIMPULAN
Hasil interpretasi berdasarkan kecepatan penjalaran gelombang seismik refraksi menunjukan bahwa litologi di lokasi daerah Karang Anyar terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama dengan kecepatan berkisar 157.143 – 183.674 m/s adalah tanah urukan bercampur lumpur rawa dengan kedalaman berkisar 3.03 – 3.97 m, lapisan kedua dengan kedalam 6.43 – 11.33 m dan kecepatan penjalaran gelombang berkisar 245.902 – 342.466 m/s adalah lapisan lapuk/tanah lempungan, sedangkan lapisan ketiga dengan kecepatan penjalaran gelombang 483.092 – 514.139 m/s lempung yang jenuh air dan tak terkonsolidasi. Lapisan pertama dan kedua masih merupakan lapisan lapuk yang sangat rapuh untuk menopang infrastruktur jalan di atasnya. DAFTAR PUSTAKA Hudha, N.H., Harmoko, U.,Widada, S., D.H. Yusuf, Yulianto, G. dan Sahid. 2014. Penentuan Struktur Bawah Permukaan Dengan Menggunakan Metode Sesimik Refraksi di Lapangan Panas Bumi Diwak dan Derekan, Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Youngster Physics Journal, 3(3):263-268. Kiswarasari, Primalailia. 2013. Aplikasi Metode Seismik Refraksi untuk Mendeteksi Potensi Longsor di Desa Deliksari Kecamatan Gunungpati Semarang. Skripsi, Fisika FMIPA UNNES, Semarang. Listiyani, Fenti, Nurwidyanto, M. Irham, Yuliyanto, G. 2006. Penentuan Kedalaman dan Ketebalan Akuifer Menggunakan Metode Seismik Bias (Studi Kasus Endapan Alluvial Daerah Sioux Park, Rapid Creek, South Dakota, United State of America). Jurnal Berkala Fisika, 9:109-113. UNDIP Semarang. Telford, W. M., Geldart, L. P. and Sheriff, R. E. 1990. Applied Geophysics Second Edition. United State America, New York: Cambridge University Press. Triningsih, S., Ibrahim Sota dan S.C. Wahyono., 2013. Identifikasi Struktur Batuan Bawah Permukaan Menggunakan Metode Seismik Refraksi di Kampung Baru. Jurnal Ilmiah Fisika “Flux”, 10(2). Zikrilah, M., Sugiyanto, D. dan Rusydy., 2016. Identification of Subsurface Structure Using Seismic Refraction Method at Jantho Aceh Besar. Jurnal Natural, 16(2).
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
274 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
DOKUMENTASI KEGIATAN
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 275
SBN: 978-602-6483-07-2
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
276 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 277
SBN: 978-602-6483-07-2
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016
278 | “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah”
ISBN: 978-602-6483-07-2
Proceeding Seminar Nasional Teknik Lingkungan ULM II 2016 “Potensi, Peluang dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Lingkungan Lahan Basah” | 279