PERGULATAN ISLAMISASI HUKUM DI INDONESIA (SEBUAH TINJAUAN HISTORIS) Farid Fadloli
PPs Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jl. Lingkar Selatan, Taman Tirto, Kasihan Bantul, Yogyakarta E-mail:
[email protected]
Abstract: The Struggling of Law Islamization in Indonesia (a Historical Study). Indonesia is a country with Moslem as major citizen. Accomplish the Islamic Law is a necessity for Moslem. But it’s not a simple way, Islamization of law or Islamization of constitution need big effort. Because conflict and disagreement can’t be avoid. Thus, this study perform to find historically, how the Islamization of law in Indonesia since colonial era to reformation era.
Key Words: Islamization Law, History, Indonesia
Abstrak: Pergulatan Islamisasi Hukum di Indonesia (Sebuah Tinjauan Historis). Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim. Sudah barang tentu menjalankan syari’at Islam merupakan kebutuhan umat Muslim. Namun untuk menjalaninya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Islamisasi hukum atau Islamisasi konstitusi merupakan jalan yang perlu ditempuh, dan tentunya membutuhkan perjuangan yang kuat. Sebab, pergulatan dan konflik pun tidak dapat terhindarkan. Karenanya, studi ini melacak bagaimana perjalanan sejarah Islamisasi hukum yang terjadi di Indonesia mulai dari masa kolonial hingga masa reformasi.
Kata kunci: Islamisasi hukum, sejarah, Indonesia
Pendahuluan Konfigurasi pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional memperlihatkan bahwa pembentukan hukum sangat erat kaitannya dengan politik, bahkan bisa dikatakan bahwa produk hukum adalah produk politik. 1 Sama halnya dengan Islamisasi hukum yang terjadi di Indonesia telah membuktikannya mulai dari penjajahan Belanda dalam visi politik VOC, kemudian
dilanjutkan dengan masa setelah merdeka, masa Orde Baru dan saat ini masa reformasi. Pergulatan Islamisasi hukum dalam bentuk legislasi dan konstitusi tidak pernah terlewatkan dari masa ke masa. Hal ini wajar, sebab politik hukum negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menghendaki berkembangnya kehidupan beragama dan hukum agama dalam kehidupan hukum nasional. Bahkan Mohammad Hatta, menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik Indonesia, syari’at Islam berdasarkan Alquran dan hadis dapat dijadikan
1 Mohd. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: LP3ES, 2006), h. 8-9.
95
96| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orang Islam mempunyai sistem syari’at sesuai dengan kondisi Indonesia.2 Karenanya tulisan ini memuat bagaimana perjalanan Islamisasi hukum yang penuh polemik sehingga keberadaannya kini dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia. Melacak Pergulatan Islamisasi Hukum a. Pergulatan teori reseptie in complexu dan teori receptie Eksistensi hukum Islam yang mengakar di bangsa Indonesia sebenarnya tidak lepas dari keberadaan Islam itu sendiri ketika masuk ke nusantara. Apalagi ketika bangsa Indonesia masih berbentuk kerajaan/kesultanan Islam (seperti kesultanan Mataram, Cirebon dan Banten),3 hukum Islam berlaku secara langsung di samping hukum tradisional (adat). 4 Keadaan ini lebih nyata di Minangkabau yang rajanya beragama Islam.5 Hingga kini masyarakat adat Minangkabau terkenal dengan pepatah adatnya pula yakni, “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.6 Aceh pun demikian, mempunyai pepatah yakni Adat bak Poteu Meureuhom, Hukoom bak Syiah Kuala (Ulama), Kanun bak Putrou phang, Reusam bak Laksamana, “Hukoom ngon adat, lagee zat ngon sifeueut”.7 Pepatah tersebut mengandung suatu asas pembagian kekuasaan pemerintahan negara yakni; bahwa adat (politik) adalah dipegang dan dijalankan oleh raja, yang merupakan pemegang ke kuasaan eksekutif; Hukum (undang-undang) 2 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 15-16. Lihat juga Muhammad Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1982). 3 Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2006), h. 49. 4 Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, (Ttp.: Tanjung Harapan, t.t. ), h. 103-104. 5 Saidun Syahar R, Asas-asas Hukum Islam (HimpunanKuliah), (Bandung: Penerbit Alumni, 1974), h. 111. 6 Departemen Agama R.I, Seabad Peradilan Agama, (Jakarta: CV Ade Cahya, 1985), h. 5. Lihat juga Salmadanis dan Duski Samad, Adat Basandi Syarak; Nilai dan Aplikasinya Menuju Kembali ka Nagari dan Surau, (Jakarta: Kartini Insan Lestari, 2003), h. 1. 7 Muhammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 90.
Agama dipegang oleh Ulama, yang me rupakan badan kekuasan yudikatif; Hak membuat peraturan perundang-undangan berada di tangan Rakyat (pemegang ke kuasaan legislatif ) yang dilambangkan oleh Putri Pahang dan Laksamana. Bahwa antara pemegang kekuasaan politik (adat) dengan pemegang kekuasaan hukum (yudikatif ) haruslah bekerjasama seperti zat dengan sifat.8 Adanya pepatah tersebut mengandung makna bahwa Adat orang Islam Indonesia banyak berasal dari atau dipengaruhi oleh ajaran Islam. Sebaliknya, lembaga keagamaan yang berasal dari ajaran Islam itu telah diwarnai pula oleh adat Indonesia terutama oleh prinsip adat kerukunan, kepatutan dan keselarasan dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi.9 Hal ini tidak mengherankan, selain memang sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam, namun juga hukum Islam berbaur dengan hukum adat. Ali Rido menyatakan bahwa inilah salah satu dari bagian hukum adat yang berasal dari agama (godsdienstig bestanddeel van het adatrecht).10 Dalam catatan sejarah, meskipun pada mulanya kedatangan Belanda tidak ada kaitannya dengan agama, namun dalam perkembangannya demi kepentingan kolonial terjadi pergesekan dengan masalah hukum penduduk pribumi. Kemudian pada abad ke-16 (1596 M) organisasi perusahaan Dagang Belanda yang dikenal dengan VOC merapat di pelabuhan Banten, yang semula bermaksud hanya berdagang kemudian berubah sebagai badan pemerintahan. Pada awal penjajahan VOC, yang berlaku adalah hukum Belanda. Namun, hukum Belanda tidak diterima orang asli Indonesia. Maka kebijakan yang diambil oleh VOC adalah kebijakan yang telah dilaksanakan para 8 M. Dhany, “Beberapa Peribahasa/Pepatah Aceh Yang Mengandung Arti Hukum”, Majalah Hukum Nasional, (Departemen Kehakiman RI: BPHN, 1979), No.1, h. 58-59. 9 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), h. 94 10 Ali Rido, Badan Hukum dan Kependudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi dan Wakaf, (Bandung: Alumni, 1977), h. 132.
Farid Fadloli: Pergulatan Islamisasi Hukum di Indonesia |97
sultan, tetap dipertahankan pada daerahdaerah kekuasaannya. Bahkan dalam banyak hal, VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam terus berkembang sebagaimana mestinya. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya statuta Jakarta 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang di pakai oleh rakyat Indonesia sehari-hari. 11 Realisasi dari Statuta tersebut, VOC me minta D.W. Freijer untuk menyusun compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam, yang kemudian dikenal dengan “Compedium Freijer”. Hasil dari penyusunan Freijer ini disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam pada masa itu, kemudian kitab hukum tersebut diterima VOC dan dipergunakan oleh lembaga-lembaga peradilan untuk menyelesaikan perkaraperkara yang terjadi dikalangan umat Islam.12 Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah al-Muharrar, Shirâthal Mustaqîm, Sabîlul Muhtadîn dan Sajirat al-Hukmu.13 Pada masa itu terkenal dengan masa berlakunya “teori receptie in complexu”, yang dimunculkan oleh Van Den Berg yakni hukum yang berlaku penuh bagi seseorang adalah hukum Islam.14 Pandangan ini terlihat dengan dibiarkannya berbagai persoalan untuk diselesaikan Pengadilan Agama atau masyarakat Islam sendiri. Malah ulama atau penghulu di Jawa dianggap mempunyai kedudukan yang sama dengan pendeta pada kalangan Kristen. Maka disebutlah Pengadilan Agama sebagai priesterraden (pengadilan pendeta). Pada mulanya pemerintah Kolonial 11 Sirajuddin M, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan STAIN Bengkulu, 2008), h. 77. 12 Suhrawardi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 07. 13 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan, h. 11. 14 Ichtijanto SA, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Edi Rudian Arief (Penyunting), Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1991), h. 101.
Belanda meneruskan kebijakan yang telah ditempuh VOC, mereka tidak menganggap bahwa hukum Islam merupakan suatu ancam an bagi kelangsungan pemerintahannya. Namun dalam menghadapi perkembangan hukum Islam di Indonesia yang begitu bagus, Pemerintah Kolonial Belanda tidak dapat mempertahankan dalam jangka waktu lama, sebab pemerintah Kolonial Belanda mengubah pendirian ini sebagai akibat usul Snouck Hurgronje kepada pemerintah Kolonial Belanda. Akhirnya terjadilah perdebatan dan polemik antara kedua kubu. Kubu pertama, Van Den Berg bersama-sama dengan Juynboll sebagai penerus dari Keijer menyatakan bahwa terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan dan kekurangan yang telah dilakukan oleh Hindia Belanda pada masyarakat. Namun ini dibantah oleh kubu kedua yakni Snouck Hurgronje, ia mengajukan teori baru, pasalnya teori yang berlaku saat itu merupakan suatu hal yang keliru dalam kehidupan masyarakat. Menurut Snouck Hurgronje yang lebih tepat adalah “teori receptie”, yakni hukum yang berlaku dalam realitas masyarakat adalah hukum Adat, sedangkan hukum Islam dapat diberlakukan kalau sudah beradaptasi dengan hukum adat.15 Teori ini didukung oleh Van Hollen Hoven, Ter Haar, dan beberapa muridnya termasuk orang Indonesia yang berada di Leiden yaitu Soepomo.16 Pergulatan pemikiran juga mewarnai antara Snouck dan Van Den Berg. Pada Staatsblaad 1882 No 152, Snouck menilai Van Den Berg menjauhkan konsep Islam dari orang Jawa. Namun hal itu dibantah oleh Van Den Berg dengan menuduh Snouck sebagai orang yang pura-pura ingin membela dan memajukan Islam tapi pada dasarnya tidak. Van Den Berg juga menilai Snouck sangat kaku dalam memahami hukum Islam dan menganggap hukum Islam tidak bisa dirubah (immutable).17 Ichtijanto SA, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam, h. 122. 16 HJ. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1990), h. 92-94. 17 Sirajuddin M, Legislasi Hukum, h. 81. 15
98| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Akibat teori ini, perkembangan hukum Islam menjadi terhenti pasalnya pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan baru dengan mengeluarkan Stb. 1937 No. 116 dan 610 yang membatasi kewenangan Peradilan Agama. Maka berangsur-angsur bertambah sempit bidang Pengadilan Agama, sehingga pada tahun tiga puluhan umpama nya soal waris yang mulanya menjadi wewenangnya, pindah ke Pengadilan Negeri (landraad). Hal ini bisa saja hukum adat berlaku tanpa penyertaan hukum farâidh.18 Bahkan untuk melemahkan pemberlakuan hukum Islam, pemerintah Kolonial Belanda, mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1890 yang berisi kebijaksanaan Pemerintah Kolonial mengenai zakat, yang intinya para penghulu atau naib yang bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan Pemerintah Belanda, tidak diberi gaji atau tunjangan untuk membiayai hidup dan kehidupan mereka beserta keluarganya. Dan untuk melemahkan (dana) kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu, pemerintah Hindia Belanda pun melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu dituangkan dalam Bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905.19 Teori ini, menurut Abdul Manan, berlaku di Indonesia sampai kurun waktu tahun 1970, meskipun ada beberapa pakar hukum yang masih mempertahankan teori buatan Belanda itu sampai saat ini.20 Pergulatan teori ini adalah babak paling ramai dan menarik dalam sejarah hukum Islam. Inti dari pertentangan kedua teori ini pada hakekatnya adalah kedua belah pihak hanyalah mempertentangkan cara yang paling tepat untuk menguasai bangsa Indonesia melalui hukum yang berlaku. 21 18 Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1982), h. 30-31. 19 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, h. 33. 20 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2008), h. xii. 21 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta:
b. Pergulatan Perumusan Dasar Negara Perdebatan yang sangat sengit terjadi pula pada saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan dan selama revolusi. Harus diakui, sejak awal kemerdekaan Indonesia telah terlihat adanya keinginan bangsa Indonesia memiliki hukum nasional yang diwarnai dan dijiwai oleh hukum agama. 22 Hal ini terlihat dalam perdebatan perumusan dasar negara oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu. Namun dari para pemimpin nasionalis, baik yang berorientasikan Islam maupun yang tidak, mereka berkonfrontasi tanpa mendapatkan suatu persetujuan yang dapat menjadi penengah. Para pemimpin politik nonIslam, yang pada tingkat menengah dan pada tingkat rendah terdiri dari kaum priyayi Jawa, memegang kekuasaan pemerintahan. Sebaliknya, pihak Islam yang sebetulnya mewakili kekuatan politik yang kuat sekali, kurang mendapat kedudukan. Dengan pengalaman berpuluh-puluh tahun penuh dengan frustasi di masa lampau, kini berusaha kembali untuk memperoleh saluran politik dalam negara merdeka bagi kepentingan agamanya. Pada tahap awal, meskipun terdapat perdebatan yang sangat sengit, usaha tersebut tidak sia-sia, sebab dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) 22 Juni 1945 disepakati bawah negara berdasarkan kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sebagai imbalannya dituntut pula bahwa Presiden harus seorang beragama Islam, yang akhirnya hal itu pun disetujui. Rumusan tersebut yang merupakan muqaddimah atau preamble Konstitusi yang baru, hasil susunan kompromi yang disusun oleh Soekarno bersama beberapa pemimpin Gema Insani Press, 1996), h. 36. 22 Ismail Sunny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: UMJ, 1987), h. 6.
Farid Fadloli: Pergulatan Islamisasi Hukum di Indonesia |99
Islam dan non-Islam. Namun demikian, karena tidak memuaskannya rumusan ter sebut bagi kalangan nasionalis non-Islam, meskipun Soekarno dan KH. Masykur, pemimpin NU harus bersusah payah dan berusaha keras untuk dapat meyakinkan pihak-pihak yang berbeda pendiriannya atas kompromi di atas.23 Sebulan kemudian, atas desakan pihak nasionalis non-Islam, pada pertengahan Agustus tepatnya pada tanggal 18 Agustus, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), golongan Islam harus melepaskan lagi kemenangannya secara simbolik dalam Piagam Jakarta, yakni tujuh kalimat tersebut dikeluarkan dari pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa”, yang didalamnya mengandung norma dan garis hukum,24 berikut juga ketentuan bahwa Presiden harus seorang beragama Islam, sebab bila tidak demikian negara yang baru ini tidak bisa diterima oleh daerah-daerah yang non-Islam. Pada ketika itu, banyak pemimpin Islam yang merasa dikhianati. Istilah Mohammad Roem seorang tokoh Masyumi, peristiwa tersebut sebagai “air susu yang telah tumpah”, tetapi air susu tersebut telah terlanjur “membasahi sanubari umat Islam”.25 Perjuangan umat Islam ini terus bergerak, hingga setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama berusaha meluruskan persepsi tentang pemberlakuan hukum Islam Indonesia. Selain itu, lahir beberapa teori baru yang mengcounter teori receptie tersebut diantaranya; “teori receptie exit” yang disponsori oleh Hazairin, yang menyatakan bahwa setelah Indonesia merdeka dan setelah UUD 1945 dijadikan Undang-Undang Dasar Negara, kendati 23 Daniel S. LEV, Peradilan Agama Islam di Indonesia, alih bahasa oleh H. Zaini Ahmad Noeh, cet. 2, (Jakarta: PT Intermasa, 1986), h. 60-61. 24 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosda Karya, 1991), h. 74. 25 Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, cet. 7, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. vii.
aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh perundang-undangan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi, karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945;26“teori receptie a contrario” yang disponsori oleh Sayuti Talib, yang merupakan pengembangan dari teori receptie exit, yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam,27 sementara untuk menyangkut hukum perkawinan dan kewarisan, bagi orang Islam berlaku hukum Islam;28“teori eksistensi” yang disponsori Ichtijanto; dan “teori pembaruan” yang disponsori oleh Busthanul Arifin dan rekan-rekannya. Di samping itu, Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama telah mengeluarkan Surat Edaran No. B/1/735 tangga 18 Februari 1958 yang ditujukan kepada Pengadilan Agama agar para hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 kitab fikih.29 Dalam perjalanannya, meskipun Piagam Jakarta dihapus, peluang penafsiran me negakkan syari’at Islam di dalam UndangUndang masih sangat mungkin. Menurut Daud Ali, makna “Negara Berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tercantum dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 antara lain adalah bahwa “Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang Nasrani dan menjalankan syari’at Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syari’at (norma hukum agama) Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 54-55. 27 Ichtijanto SA, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Edi Rudian Arief (Penyunting), Hukum Islam, h. 132. 28 Sayuti Thalib, Receptie a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 6-10. 29 Adapun ke tiga belas kitab fikih tersebut adalah alBajuri, Fathul Mu’in, Syarqâwi ‘ala al-Tahrîri, Qulyubi/Muhalli, Fath al-Wahhâb dengan Syarahnya, Tuhfah, Targhîbul Musytaq, Qawânin al-Syari’ah li al-Sayyid Usman bin Yahya, Syamsuri li al-Fara’idh, Bughyatul Murtarsyidîn, al-Fiqh ‘ala al- Madzâhib al-Arba’ah dan Mughnil Muhtaj. Lihat Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum, h. xiii. 26
100| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 itu memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.30 Hukum Islam yang memerlukan perantaraan kekuasaan negara adalah hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yakni hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda, yang kerap disebut hukum mu’amalat (perdata). Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti perkawinan, warisan dan wakaf. Sementara hukum Islam yang bersifat normatif, yang mempunyai sanksi atau padanan kemasyarakatan. Ini bisa berupa ibadah murni atau hukum pidana, dalam hal ini belum memerlukan peraturan perundangan.31 Dalam pandangan Hazairin, kekuasaan negara yang wajib menjalankan syari’at masing-masing agama yang diakui dalam negara Republik Indonesia adalah kekuasa an negara berdasarkan UUD 1945, bukan ke k uasaan negara berdasarkan Regerings Reglement (RR) tahun 1854, (yang kemudian diubah menjadi I (Indische) S (Staatsregeling) pada tahun 1925, serta diubah pada tahun 1929), yang menjadi landasan Bijblad Nomor 6200 tahun 1905 tersebut di atas. Sebabnya adalah karena syari’at yang berasal dari agama yang dianut warga negara Republik Indonesia adalah kebutuhan hidup para pemeluknya.32 c. Pergulatan Formulasi Hukum Islam Masa Orde Baru Dalam perjalanan sejarah lembaga keislaman memperlihatkan bahwa transformasi hukum Islam mewarnai interaksi sosial. Sebab terkadang hukum terseret ke dalam interaksi sosial sekaligus mengatur interaksi itu. 33 Transformasi hukum Islam secara substantif ke dalam hukum nasional bagaimana pun 30 Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tintamas, 1983), h. 34. 31 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam Tjun Surjaman (ed.), Hukum Islam di Indonesia, h. 89. 32 Hazairin, Demokrasi Pancasila, h. 34. 33 William C. Schutz, Encyclopaedia of the Social Science, (New York: the Macmillan and The Free Press, 1972), vol. 7, h. 458.
akan didahului oleh referensi historis dengan pertimbangan konstitusional dan sejarah bangsa. Lahirnya Rancangan UndangUndang Peradilan Agama (RUUPA) misalnya, bersentuhan dengan konstatasi pada satu segi dan pada segi yang lain menjadi tuntutan sejarah masyarakat. Sistem deferensiasi yang melahirkan UUPA merupakan upaya penyelarasan antara pluralisme kultur hukum dengan tuntutan satu kesatuan hukum.34 Penolakan terhadap RUUPA jika dipandang dari satu segi bertentangan dengan nilai-nilai ideologis negara, sedangkan pada segi lain merupakan wujud normatif obsesi politik Islam di dalam Piagam Jakarta, serta tidak bertentangan dengan Pancasila.35 Sesuatu yang perlu menjadi catatan adalah bahwa keberadaan Peradilan Agama (Islam) merupakan peradilan luar biasa yang tetap ada dan diakui hingga sekarang sesuai dengan ketentuan Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 (tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara peradilanperadilan sipil). Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 ini telah menghapuskan peradilan-peradilan luar biasa lainnya seperti Peradilan Adat, Peradilan Swapraja.36 Akan tetapi Peradilan Agama tidak dihapuskan bahkan dengan Peraturan Pemerintah tahun 1957 No. 45 diakui, dan untuk di luar Jawa dan Madura diperluas wewenangnya, antara lain oleh karena merupakan kebutuhan hukum yang hidup di masyarakat.37 Dan pada tahun 1970 dikeluarkan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan Kehakiman di negara RI ini dilakukan oleh pengadilan dalam 34 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 27. 35 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 29. 36 Lihat Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), h. 68. Lihat juga R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradya Paramita, 1977), h. 18. 37 Prof Notosusanto, “Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia”, (Jogkarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10.
Farid Fadloli: Pergulatan Islamisasi Hukum di Indonesia |101
lingkungan; Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.38 Selain itu, entitas Peradilan Agama adalah salah satu dari empat Peradilan sebagaimana dalam UU Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970). Ini berarti posisi peradilan Agama telah ditempatkan sejajar dengan peradilan-peradilan lain. Hal ini berbeda dengan Pengadilan Agama di Malaysia misalnya, baik di wilayah hukum Malaya maupun Borneo (Sabah dan Sarawak) lebih rendah di banding dengan kedudukan peradilan umum. Lebih rendah artinya Pengadilan Agama hanya menangani perkaraperkara perdata dan pidana umat Islam yang kadar kejahatannya paling rendah. Ini dilihat dari nilai denda yang paling rendah dengan hukuman denda perkara yang ditangani oleh pengadilan umum. Jadi bedanya adalah di Malaysia tidak hanya menangani masalah-masalah kekeluargaan tetapi lebih dari itu seperti zina, khalwat, meminum minuman keras, menyebarkan ajaran sesat, tidak membayar zakat, tidak melakukan sembahyang Jumat dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan.39 Lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan sebuah kemajuan pada masa Orde Baru bahwa hukum Islam diakui dalam kerangka ius constitutuum. Bahkan sudah banyak Undang-Undang yang telah dilahirkan pada masa ini, seperti UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,40 Inpres No. 1 tahun 1991 38 Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam, dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, (Bandung: Rosda Karya, 1991), h. 47-48. 39 Sudirman Tebba (ed.), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Peng kodifikasiannya, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), h. 18-19. 40 Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 ini merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia, ber laku bagi semua warga negara. UU ini sebagai bentuk unifikasi hukum bukan deferensiasi hukum dikarenakan adanya ke ragaman etnik di dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya keragaman hukum, keragaman keyakinan (penundukan hukum sesuai agama), dan keragaman golongan masyarakat Indonesia, maka diberlakukan norma hukum yang dapat berlaku bagi seluruh masyarakat karena adanya tiga hal tersebut. Dengan
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), 41 dan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,42 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UndangUndang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,43 PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang kemudian dikembangkan menjadi Undang-Undang No. 41 Tahun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang ini merupakan tonggak awal bahwa hukum Islam secara yuridis telah memiliki landasan yang kokoh. Dengan kemunculan undang-undang ini, menurut Prof. Mahadi, telah sampailah ajal teori iblis ”receptie” warisan kolonial. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaannya. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 38. 41 Kehadiran KHI cenderung menjadi alternatif terhadap konstatasi dan berpengaruh kuat pada seleksi pengambilan sumber normatifnya. Lima sumber utama yang dipilih untuk menyusun KHI yakni: (1) hukum produk legislatif nasional yang telah tertuang dalam perundang-undangan dan peraturan lainnya yang relevan, seperti UU No. 22 tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954, UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 7 Tahun 1989, PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 28 Tahun 1977; (2) produk yudisial pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, terutama sepanjang yang mengenai masalah waris dengan dukungan pengalaman tafsir hukum, mengantisipasi tuntutan di tengah hubungan konflik hukum Islam dengan hukum adat; (3) produk eksplanasi fungsionalisasi ajaran Islam melalui kajian hukum yang dilakukan Institut Agama Islam Negeri dengan pokok bahasan sesuai dengan distribusinya; (4) rekaman pendapat hukum 20 orang di Palembang, 16 orang di Bandung, 18 orang di Surabaya, 18 orang di Surakarta, 15 orang di Banjarmasin, 19 orang di Ujung Pandang, 20 orang di Mataram; (5) hasil studi perbandingan di Maroko, Turki, dan Mesir, ditambah pendapat serta pandangan yang hidup pada saat Musyawarah Alim Ulama Indonesia yang diadakan pada tanggal 2-6 Februari 1989 di Jakarta dengan peserta dari seluruh Indonesia. Lihat Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam, h. 65-66. 42 Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, h. 90. 43 Di dalam UU ini terdapat ketentuan bahwa dalam hal pengangkatan anak harus dilakukan oleh orang tua angkat yang seagama. Ketentuan ini menyerap prinsip dasar hukum Islam yakni terpeliharanya agama si anak.
102| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 2004 tentang Wakaf, 44 Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, 45 dan Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.46 Meskipun pada masa Orde Baru hukum Islam sudah menjadi bagian dari struktur hukum nasional, namun dalam aspek hukum materil masih belum sepenuhnya mendapatkan political will dari aparatur negara, masih berada di persimpangan jalan, dan wilayah hukumnya pun masih terbatas, tidak sebanding dengan kapabilitas hukum Islam yang sesungguhnya.47
44 Dalam UU ini ruang lingkupnya tidak saja menyangkut benda yang tidak bergerak (tanah atau kuburan) yang selama ini banyak dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, namun mencakup juga barang bergerak berupa uang dan barang bergerak selain uang seperti hak cipta, paten dan merk. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 8 Januari 2010 yang lalu di Istana Negara meluncurkan gerakan wakaf uang secara nasional. Bapak Presiden dan Ibu Negara Hj. Ani Bambang Yudhoyono menyerahkan wakaf uang sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) kepada lima Bank Syariah yang ditunjuk oleh Menteri Agama sesuai peraturan perundang-undangan selaku Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LSK-PWU). Presiden menunjuk Badan Wakaf Indonesia untuk menjadi nadzir (pengelola) uang wakaf tersebut. Hasil pengelolaan uang wakaf tersebut diperuntukkan bagi pengembangan keagamaan dan pendidikan. Lihat Wahiduddin Adams, Kedudukan Kontribusi Hukum Islam dalam Pengembangan Hukum Nasional, dalam Baharuddin Ahmad, (editor), Islam: Pengembangan Hukum dan Ekonomi Global, (Jambi: Syariah Press Fakultas Syariah IAIN Sulthan Saifuddin, 2011), h. 7. Untuk lebih jelasnya lihat pula Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, cet. 1, (Menara Kudus: darul Ulum Press, 1994), h. 4. 45 Dalam pasal 30 ayat (1) dalam UU ini menegaskan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada di dalam dan atau di kemasan pangan. Pada ayat (2) ditegaskan bahwa keterangan mengenai halal harus dimuat dalam label. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa keterangan halal untuk suatu produk sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduk nya beragama Islam. Lihat Wahiduddin Adams, Kedudukan Kontribusi Hukum Islam dalam Pengembangan Hukum Nasional, dalam Baharuddin Ahmad, (editor), Islam: Pengembangan Hukum dan Ekonomi Global, (Jambi: Syariah Press Fakultas Syariah IAIN Sulthan Saifuddin, 2011), h. 6. 46 Inpres ini lahir pada tanggal 10 Juni 1991, dan diantisipasi secara organik oleh Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 Tanggal 22 Juli 1991 dan disebarluaskan melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor 3694/ EV/HK.003/AZ/91 pada tanggal 25 Juli 1991. Dengan demikian secara yuridis formal, hukum Islam dan segala akibat hukumnya telah berlaku resmi. Lihat Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam, h. 62. 47 Sirajuddin M, Legislasi Hukum Islam, h. 18.
d. Pergulatan Penerapan Syari’at Islam Pasca Reformasi Setelah munculnya era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya status Quo di bawah pemerintahan Soeharto, konstalasi politikpun menemukan momentumnya. Yakni perubahan konstalasi politik babak baru bagi gerakan Islam Indonesia yang mendapat angin segar untuk mengusungkan dan menyampaikan aspirasinya yang selama ini terbungkam dalam sangkar asas tunggal Pancasila yang penafsirannya dimonopoli oleh pemerintah. Kelompok pendukung yang memperjuangkan syari’at Islam mendapat ruang artikulasi yang bebas, anggapan bahwa agama dan politik adalah sesuatu yang tidak terpisahkan merupakan jargon yang didengung-dengungkan.48 Dalam pentas politik nasional, seperti yang dilansir Republika pada tanggal 7 September 2001, keinginan ini terutama disuarakan oleh beberapa partai politik Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) pada sidang-sidang Parlemen dan Sidang Tahunan MPR. Keinginan ini seolah-olah mengeskalasi tuntutan beberapa kelompok yang memiliki keinginan yang sama, seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin dan beberapa ormas lainnya. Gaung gerakan ini tampaknya sudah direspons oleh beberapa kabupaten dan propinsi yang mengingin kan pemberlakuan Perda yang bernuansa syariah.49 Bahkan untuk Nanggroe Aceh Darussalam mendapat legitimasi untuk melaksanakan syari’at Islam berdasarkan perundang-undangan, yaitu UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001. Untuk melaksanakan syari’at Islam di Aceh 48 Persoalan relasi agama dengan negara ini memang sering kali didebatkan oleh berbagai kalangan bahkan kontroversi dan perdebatan semacam ini tidak akan ada habisnya dan akan terus berlangsung tanpa ada satu cara pun untuk mengakhirinya. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 11. 49 Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, h. 322.
Farid Fadloli: Pergulatan Islamisasi Hukum di Indonesia |103
juga telah didirikan Mahkamah Syar’iyyah sebagai pengganti Peradilan Agama yang dianggap bentukan rezim Orde Baru. Berdasarkan perjalanan yang telah di jelaskan, bila difahami lebih dalam, ada beberapa hal yang menyebabkan semangat menerapkan syari’at Islam di Indonesia, yaitu: Pertama, Agama (hukum agama) menempati kedudukan yang tinggi di Indonesia dalam pasal 29 UUD 1945; Kedua, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan Indonesia adalah salah satu tempat konsentrasi umat Islam terbesar di Indonesia; Ketiga, hukum Islam telah memengaruhi hukum positif, terutama dalam hukum kekeluargaan.50 Selain itu, keberanian umat Islam untuk mengusung syari’at Islam dikarenakan terlihat jelas bahwa negara Indonesia memang berbeda di banding negaranegara Islam lainnya dalam dua hal, yaitu tangguhnya kekuatan dan konservatisme dari doktrin Islam serta praktek-praktek lembaganya. Lembaga-lembaga hukum Islam di Indonesia telah mengembangkan sayapnya bersama-sama dengan lembaga-lembaga sipil, sedangkan di negara-negara lain nampaknya mereka berhenti berkembang, menciut atau bahkan hilang tersisih oleh perkembangan kekuasaan pemerintahan sipil. Lihat saja misalnya, penghapusan Mahkamah-Mahkamah Syar’iyah di Mesir dan Tunisia dipertengahan tahun 1950-an. Keputusan Kemal Attaturk untuk melakukan perubahan hukum yang sama sekali sekuler di Turki jelas menunjukkan satu pemikiran yang lebih radikal.51 Fakta keberhasilan Islamisasi hukum pada masa reformasi adalah ditetapkannya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh yang antara lain berisi kewenangan Daerah Aceh untuk memberlakukan syari’at Islam, Undang-Undang No. 23 tentang Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), h. 7. 51 Daniel S. LEV, Peradilan Agama Islam, h. 286. 50
Kesehatan yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 36 tahun 2009, Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,52 Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,53 dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang kemudian diganti terakhir dengan Undang-Undang No. 35 tahun 2009. Terdapat pula Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara atau lebih dikenal dengan Sukuk dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syariah dengan prinsip-prinsip syariahnya.54 Dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 butir 13 dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menjelaskan tentang pengertian Prinsip syariah dalam dunia perbankan, yaitu perjanjian berdasarkan Hukum Islam anatar Bank dengan pihak lain dalam aktifitas perbankan. Selain Undang-Undang yang telah di jadikan sebagai konstitusi, terdapat pula fenomena perda bernuansa syari’at di berbagai daerah. Kehadiran perda bernuansa syariah ini menjadi pergulatan dan polemik di masyarakat. Terutama bagi faham Islam liberal, yang tidak setuju dengan perda bernuansa syariah karena menurutnya dapat menyebabkan disintegrasi bangsa, sebab bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural dalam beragama. Sebab itulah, 52 Dalam UU ini terdapat beberapa ijtihad dalam hukum Islam, antara lain dapat dilihat dari penafsiran al-ashnâf altsamâniyah yang digariskan dalam surat at-Taubah [9]: 60. Penjelasan pasal 16 ayat 2 berbunyi, “Mustahiq delapan ashnâf ialah fakir, miskin, ‘amil, muallaf, riqab, ghârim, sabîlillah dan ibnu sabîl, yang di dalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi, seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit hutang, pengungsi yang terlantar, dan korban bencana alam”. Lihat Rifyal Ka’bah, Politik Hukum Islam: Telaahan terhadap UndangUndang Perwakafan dan Pengelolaan ZIS, dalam Baharuddin Ahmad, (editor), Islam: Pengembangan Hukum, h. 17-18. 53 Dalam UU ini termaktub pengaturan tentang peng guguran kandungan kehamilan di luar secara alami (bayi tabung), transpalansi organ tubuh manusia dan bedah mayat yang meng haruskan adanya pertimbangan ahli agama, menunjukkan ter serapnya prinsip-prinsip hukum Islam dalam tindakan medis. 54 Y. Sri Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Salemba Empat, 2000), h. 109.
104| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 meskipun perda ini telah ada, kemungkinannya hanya berlangsung sementara. Ada beberapa alasan dalam hal ini: Pertama, perda-perda itu tidak menyentuh langsung kebutuhan mendesak masyarakat seperti pemberantasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, pemberantasan KKN, kepedulian lingkungan, penanganan pendidikan dan lainnya. Dengan demikian meskipun ada seribu perda, sementara kesejahteraan masyarakat terus merosot, maka uforia perda syari’at dengan sendirinya akan menurun. Kedua, perda-perda itu belum tampak efektif terutama menyangkut perilaku pengelola pemerintahan. Mereka banyak menghasilkan perda bernuansa syari’at, tapi korupsi, kolusi dan nepotisme terus dipraktikkan. Pembuatan kebijakan yang pro rakyat juga belum tampak berhasil. Akibatnya, masyarakat akan semakin sadar, bahwa perda-perda itu sangat mungkin hanyalah rekayasa elit untuk mendulang suara konstituen Muslim dan tidak berdasarkan niat yang tulus. Ketiga, perda-perda itu tidak didukung oleh civic reason (nalar publik). Saratnya reduksionisme syari’at dalam perda-perda itu kurang substantif dan jauh dari pokok persoalan hidup masyarakat. Karena terjebak pada kulit, maka bagi kalangan Muslim sendiri perda-perda itu menjadi polemik apalagi bagi kalangan lain.55 Sementara itu, dalam logika politik ke kuasaan, jika keragaman hukum Islam dari yang konservatif sampai yang radikal dibiarkan berlaga di ruang publik dan tidak mustahil akan saling bertentangan, berlawanan dan bertabrakan satu dengan yang lain, maka potensi konflik bisa meledak sewaktu-waktu. Ini bisa membahayakan stabilitas keamanan dan mengancam status quo kekuasaan. Salah satu upaya pencegahan “konflik” adalah dengan cara dibuatkan suatu aturan main tunggal (uniformity) atau ditunggalkan. Islamisasi
hukum atau Islamisasi konstitusi dalam beberapa sisi kehidupan, memang sangat diperlukan.56 Hal ini dikarenakan bahwa ajaran Islam sangat kaya dengan nilai-nilai yang sifatnya universal seperti menegakkan keadilan, penegakkan supremasi hukum, membangun demokrasi, membangun kepemimpian yang jujur, professional dan amanah, membangun keamanan dan ketertiban, menanggulangi masalah sosial, dan sebagainya. Sebagai substansi ajaran Islam, nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam jalinan yang eklektik dengan sumbersumber hukum lainnya untuk kemudian dilahirkan hukum nasional atau hukum Indonesia. Untuk menjembatani faham fundamentalis dan liberal, ada tiga metode merealisasikan syari’at Islam di Indonesia sebagai jalan tengahnya, sebagaimana dinyatakan oleh Dawam Raharjo, Pertama, ajaran-ajaran Islam yang berintikan Alquran dan Sunnah itu harus diinterpretasikan melalui prosedur ilmiah, terutama melalui proses rasionalisasi dan objektivasi. Kedua, penerapan syari’at diperlukan konstektualisasi atau dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan budaya. Hal ini memerlukan pembedaan antara yang tetap atau universal (al-thâbit), dan yang berubah (al-mutahawwil). Dalam hukum fikih perlu juga dibedakan antara yang esensi (berpedoman kepada al-maqâsid al-syarî’ah atau tujuan-tujuan syariah) dengan yang merupakan unsur budaya lokal. Dan ketiga, upaya formalisasi diperjuangkan melalui proses dan prosedur demokratis. Melalui proses tersebut, perjuangan penegakkan syari’at Islam terhindar dari pelanggaraan Hak-hak Asasi Manusia.57 Dalam konteks inilah peran pembentuk peraturan perundangan-undangan baik di pusat maupun daerah dituntut untuk dapat A. Qodri Azizy (dkk), Jejak-Jekak Islam Politik: Sinopsis Sejumlah Studi Islam Indonesia, (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2004), h. 219 57 Adiwarman A. Karim, Bank Islam, h.. ix-x. 56
Muhyar Fanani, Membumikan Hukum Langit: Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional Pasca Reformasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 167. 55
Farid Fadloli: Pergulatan Islamisasi Hukum di Indonesia |105
memahami asas dan prinsip baik universal maupun partikular dari berbagai sistem hukum termasuk syari’ah (hukum Islam) dengan segala aspek keilmuan terkait seperti metodologi tafsir, yurisprudence (ushûl fiqh), dan metode penggalian (istinbâth hukum). Sehingga perundang-undangan yang dibentuk dapat memenuhi tujuan hukum yakni kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat pencari keadilan.58 Penutup Berdasarkan sejarah yang telah diuraikan, sangat terlihat pergulatan dan kuatnya tarik menarik dalam Islamisasi hukum atau Islamisasi konstitusi sejak masa pra kolonial hingga datangnya penjajah, maka tidak diragukan lagi bahwa hukum Islam sudah menjadi akar budaya masyarakat Indonesia, dan juga merupakan satu-satunya sistem hukum yang dijalankan serta menjadi kesadaran hukum yang berkembang dalam sebagian besar masyarakat adat Indonesia. Hal ini didasarkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan juga bukan negara agama, namun spirit of Islamic law masih bisa diterapkan melalui legislasi hukum di Indonesia. Meskipun demikian, yang perlu menjadi perhatian adalah jangan sampai keberadaan undang-undang yang mempunyai spirit of Islamic law justeru melanggar Hak Asasi Manusia. Pustaka Acuan A. Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010. Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Adams, Wahiduddin, Kedudukan Kontribusi Hukum Islam dalam Pengembangan Hukum Nasional, dalam Baharuddin Lihat Wahiduddin Adams, Kedudukan Kontribusi Hukum Islam dalam Pengembangan Hukum Nasional, dalam Baharuddin Ahmad, (editor), Islam: Pengembangan Hukum, h. 10. 58
Ahmad, (editor), Islam: Pengembangan Hukum dan Ekonomi Global, (Jambi: Syariah Press Fakultas Syariah IAIN Sulthan Saifuddin, 2011). Ahmad, Baharuddin, (ed.), Islam: Pengembangan Hukum dan Ekonomi Global, Jambi: Syariah Press Fakultas Syariah IAIN Sulthan Saifuddin, 2011. Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988. ____, Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Rosda Karya, 1991. ____, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990. ____, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit UI Press, 1988. Arief, Edi Rudian, (Peny.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1991. Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Azizy, A. Qodri, (dkk), Jejak-Jekak Islam Politik: Sinopsis Sejumlah Studi Islam Indonesia, Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2004. Benda, HJ, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1990. Departemen Agama R.I, Seabad Peradilan Agama, Jakarta: CV Ade Cahya, 1985. Dewi, Gemala, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007. Dhany, M, “Beberapa Peribahasa/Pepatah Aceh Yang Mengandung Arti Hukum”, Majalah Hukum Nasional, No.1. Departemen Kehakiman RI: BPHN, 1979. Fanani, Muhyar, Membumikan Hukum Langit: Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional Pasca Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Gunaryo, Achmad, Pergumulan Politik dan Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama
106| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya, Semarang: Pustaka Pelajar, 2006. Hatta, Muhammad, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1982. Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: Tintamas, 1983. ____, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Jakarta: Bina Aksara, 1985. Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005. Jurdi, Syarifuddin, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Lev, Daniel S, Peradilan Agama Islam di Indonesia, alih bahasa oleh H. Zaini Ahmad Noeh. Jakarta: PT Intermasa, 1986. Lubis, Suhrawardi K, dan Simanjuntak, Komis, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), Jakarta: Sinar Grafika, 2008. M, Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan STAIN Bengkulu, 2008. Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995. MD, Mohd. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Yogyakarta: LP3ES, 2006. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008. Mujahidin, Ahmad, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2007. Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Parlindungan, Mangaraja Onggang, Tuanku Rao, Ttp.: Tanjung Harapan, t.t. Praja, Juhaya S dan Syihabuddin, Ahmad, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Penerbit Angkasa, 1982.
Rido, Ali, Badan Hukum dan Kependudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi dan Wakaf, Bandung: Alumni, 1977. SA, Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Edi Rudian Arief (Peny.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1991. Salmadanis dan Samad, Duski, Adat Basandi Syarak; Nilai dan Aplikasinya Menuju Kembali ka Nagari dan Surau, Jakarta: Kartini Insan Lestari, 2003. Schutz, William C, Encyclopaedia of the Social Science, vol. 7, New York: The Macmillan and The Free Press, 1972. Sunny, Ismail, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: UMJ, 1987. ____, Islam as System of Law in Indonesia, dalam In Memoriam Prof. Dr. Hazairin: Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1976. Surjaman, Tjun, (ed), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Rosda Karya, 1991. Susilo, Y. Sri, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000. Syahar R, Saidun, Asas-asas Hukum Islam (Himpunan-Kuliah), Bandung: Penerbit Alumni, 1974. Sjadzali, Munawir, Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam, dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, Bandung: Rosda Karya, 1991. Tebba, Sudirman, (ed.), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Bandung: Penerbit Mizan, 1993. ____, Sosiologi Hukum Islam, Jakarta: UII Press, 2003. Thalib, Sayuti, Receptie a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1985. Tresna, R, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradya Paramita, 1977. Usman, Suparman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Menara Kudus: Darul Ulum Press, 1994.