PERAN ZOOPLANKTON DALAM DINAMIKA NUTRIEN DI TELUK LAMPUNG MENGGUNAKAN GABUNGAN MODEL HIDRODINAMIKA 3-DIMENSI DAN MODEL BIOGEOKIMIA
EKO EFENDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Peran Zooplankton dalam Dinamika Nutrien di Teluk Lampung Menggunakan Gabungan Model Hidrodinamika 3-Dimensi dan Model Biogeokimia” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam bentuk teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Eko Efendi NPM. C551070051
i
ii
Halaman ini sengaja dikosongkan
ii
iii
ABSTRACT EKO EFENDI. The Role of Zooplankton in Nutrient Dynamic in Lampung Bay Using 3-Dimensional Hydrodynamic Model and Biogeochemical Model. Under the supervision of JOHN ISKANDAR PARIWONO and RICHARDUS KASWADJI. This research is conducted by developing an ecosystem model in order to understand and quantify the role of zooplankton in aquatic ecosystem nutrient dynamic. The hydrodynamic simulation is executed using Estuarine Lake and Coastal Model (ELCOM) and the biogeochemical model using Computational Ecosystem Dynamic Model (CAEDYM) developed by Center for Water Research University of Western Australia (CWR-UWA). Horizontally, the distribution pattern of simulated ecosystem variables correlate well with with the observed data. The concentration ammonium, nitrate, phosphorous, total organic carbon and chlorophyll-a are higher in the inner part of bay and decrease gradually toward the outer part. Vertically, the distribution of NH4 and total organic carbon are higher at the bottom, while NO3, PO4, and chlorophyll- a are higher at the surface. Zooplankton biomass has lower concentration at inner part and tend to be higher at surface.The result of simulated total carbon agrees with the observed data, but simulated total biomass is lower than observed. Zooplankton biomass is represented in average approximately 30% of total carbon biomass. Carbon flux from phytoplankton grazing by zooplankton is about 51 - 76% of monthly carbon assimilated in primary productivity, while Particulate Organic Carbon (POC) grazing by zooplankton has an average of 4%. Carbon flux assimilated from zooplankton to POC pool ranged between 6 – 12% toward carbon assimilated from primary productivity. Average of phosphorous flux through remineralisation process of zooplankton excretion is 20.52%. Role of zooplankton in flux nitrogen through excretion ranges between 7.1 – 30.34% of the total uptake phytoplankton. Keywords
:
model, ELCOM-CAEDYM, phosphorous
zooplankton,
carbon,
nitrogen,
iii
iv
Halaman ini sengaja dikosongkan
iv
v
RINGKASAN EKO EFENDI. Peran Zooplankton dalam Dinamika Nutrien di Teluk Lampung Menggunakan Gabungan Model Hidrodinamika 3 Dimensi dan Model Biogeokimia. Dibimbing oleh JOHN ISKANDAR PARIWONO dan RICHARDUS KASWADJI Penelitian ini dilatarbelakangi permasalahan bagaimana peran zooplankton dan seberapa besar peran zooplankton dalam dinamika nutrien, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisi dan mengkuantifikasi peran zooplankton dalam dinamika nutrien di ekosistem perairan. Simulasi model hidrodinamika dan model ekosistem di perairan Teluk Lampung dilakukan pada posisi 5.4007 - 5.7738 LS dan 105.1354-105.6210 BT. Simulasi hidrodinamik menggunakan Estuarine Lake and Coastal Model (ELCOM) dan model ekosistem menggunakan (Computational Aquatic Ecosystem Dynamic Model (CAEDYM) yang dikembangkan oleh Center for Water Research-University of Western Australia (CWR-UWA). Untuk dapat menyatakan hasil simulasi berhasil baik atau dapat diterima dilakukan dengan membandingkan data lapangan dan data hasil simulasi dengan melakukan uji kecocokan dengan pendekatan normalisasi kesalahan mutlak dirata-ratakan (NMAE). Analisis sensitivitas dilakukan pada parameter dalam model CAEDYM yang diasumsikan memiliki peran penting dalam perubahan variabel dengan menambahkan nilai masing-masing 10% dari nilai standar. Hasil simulasi pola sirkulasi arus di Teluk Lampung pada saat pasang purnama menunjukkan bahwa pada kondisi pasang tertinggi arus dominan bergerak dari arah selatan menuju utara atau arus bergerak masuk dari mulut teluk menuju ke kepala teluk. Sebaliknya pada saat kondisi surut terendah arus cenderung bergerak dari utara ke selatan atau keluar dari teluk. Pola sebaran horisontal temperatur memiliki kisaran yang relatif homogen, dan terjadi adanya peningkatan temperatur mulai bulan Mei hingga Agustus. Pola sebaran horisontal salinitas hasil simulasi menunjukkan adanya perubahan atau gradien salinitas antara bagian dalam teluk dan bagian luar teluk yang dipengaruhi oleh adanya asupan air tawar yang bermuara dari kedua sungai yang ada di kepala teluk. Hasil verifikasi data meteorologi secara umum menunjukkan bahwa nilai data hasil pengamatan menunjukan kisaran yang relatif lebih besar dibandingkan dengan data masukan model. Hasil validasi parameter fisik yang meliputi parameter temperatur dan salinitas menunjukkan bahwa profil menegak suhu memiliki kesamaan dengan nilai hasil simulasi yang cenderung lebih rendah. Korelasi antara hasil simulasi dan hasil observasi untuk temperatur menunjukan adanya kaitan yang cukup erat, hal ini dapat dilihat dari nilai korelasi tiap stasiun yang berkisar antara 0.8724 - 0.8943, korelasi antara hasil simulasi dan hasil observasi untuk salinitas untuk tiap stasiun berkisar antara 0.8997 - 0.9458. Hasil validasi elevasi pasang surut hasil simulasi mempuyai kemiripan dengan pola elevasi hasil pengamatan. Tingkat keakuratan kedua data yang divalidasi diperoleh hasil nilai Standart Error 0.004 dan nilai Root Mean Square Error 0.099.
v
vi
Secara umum pola sebaran komponen ekosistem hasil simulasi memiliki kesamaan dengan data hasil obervasi lapangan. Sebaran ammonium, nitrat dan fosfat,total karbon organik, klorofil-a menunjukkan konsentrasi tertinggi berada pada bagian kepala teluk dan terus menurun ke arah luar teluk. Sebaran vertikal NH4 secara spasial cenderung lebih tinggi pada bagian dasar perairan dibandingkan dengan permukaan. Distribusi vertikal NO3 secara spasial dan temporal menunjukkan bahwa konsentrasi tertinggi terdapat pada lapisan permukaan. Pola sebaran vertikal PO4 secara umum lebih tinggi di lapisan permukaan. Pola sebaran vertikal karbon menunjukan bahwa secara spasial konsentrasi karbon yang lebih berada pada lapisan dalam dibandingkan dengan lapisan permukaan. Sebaran vertikal klorofil-a menunjukkan konsentrasi yang tinggi di lapisan permukaan yang berhubungan dengan ketersediaan cahaya. Pola sebaran spasial menunjukkan bahwa nilai konsentrasi biomassa zooplankton lebih rendah di bagian kepala teluk dibandingkan dengan daerah di dekat mulut teluk. Pola sebaran vertikal zooplankton hasil simulasi menunjukkan kecenderungan distribusi zooplankton berada pada lapisan permukaan. Nilai korelasi NH4 yang berkisar antara 0.8289 - 0.9831. Kisaran nilai korelasi untuk NO3 adalah 0.8731- 0.9739, untuk PO4 0.8772 - 0.9493, untuk oksigen terlarut 0.8402 - 0. 9452 dan untuk total karbon organik 0.8289 - 0.9832. Nilai korelasi untuk fitoplankton berkisar antara 0.9386 - 0.9484 dan untuk zooplankton berkisar antara 0.9420 - 0.9486. Perhitungan nilai normalisasi ratarata kesalahan mutlak NMAE simulasi secara umum menghasilkan nilai yang lebih besar, peningkatannya menunjukkan perbandingan yang rendah, mengindikasikan bahwa secara umum model menyediakan prediksi yang kuat. Simulasi dari total massa karbon umumnya memiliki perbandingan yang baik dengan data lapangan walaupun total biomassa simulasi lebih rendah dari data lapangan. Data hasil observasi lapangan dan data hasil model, biomassa zooplankton direpresentasikan dengan rata-rata mendekati 30% dari total biomassa karbon. Selama periode simulasi karbon yang diasimilasi oleh zooplankton melalui proses grazing fitoplankton diwakili 51 – 76% (rata-rata 65%) dari rata-rata bulanan produktivitas primer, sementara pemangsaan POC oleh zooplankton rata-rata 4%. Fluks karbon yang hasil ekskresi zooplankton berkisar antara 6 sampai 12% (rata-rata 9%). Peran zooplankton dalam fluks nitrogen menyumbang dari hasil ekskresinya dalam kisaran 7.1 – 30.34% terhadap total kebutuhan uptake fitoplankton. Peran zooplankton dalam siklus fosfor melalui proses remineralisasi ekskresi zooplankton berkisar antara 7.08 – 38.48%. Rasio N:P diperairan hasil simulasi adalah 13.93 yang berarti bahwa terjadi pembatasan unsur N oleh unsur P, sedangkang rasio N:P hasil eksresi zooplankton adalah 26.21 yang berarti zoplankton mengekskresikan unsur N lebih banyak ke perairan. Kata kunci : model, ELCOM-CAEDYM, zooplankton, karbon, nitrogen, fosfat
vi
vii
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vii
viii
Halaman ini sengaja dikosongkan
viii
ix
PERAN ZOOPLANKTON DALAM DINAMIKA NUTRIEN DI TELUK LAMPUNG MENGGUNAKAN GABUNGAN MODEL HIDRODINAMIKA 3-DIMENSI DAN MODEL BIOGEOKIMIA
EKO EFENDI
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ix
x
Penguji di luar Komisi:
Zainal Arifin, Ph.D Pusat Penelitian Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
x
xi
Judul Tesis
: Peran Zooplankton dalam Dinamika Nutrien di Teluk Lampung Menggunakan Gabungan Model Hidrodinamika 3Dimensi dan Model Biogeokimia.
Nama
: Eko Efendi
Nomor Pokok
: C551070051
Disetujui, Komisi Pembimbing
xi
xii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xii
xiii
PRAKATA Puji syukur yang tak hingga penulis sampaikan Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Peran Zooplankton dalam Dinamika Nutrien di Teluk Lampung Mengunakan Gabungan Model Hidrodinamika 3-Dimensi dan Model Biogeokimia. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Dr. John Iskandar Pariwono dan Bapak Dr. Richardus Kaswadji, M. Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang dengan ikhlas telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan tesis ini. 2. Bapak Zainal Arifin, PhD selaku penguji luar komisi atas segala saran dan petunjuk demi kesempurnaan tesis ini. 3. Center for Water Reseach University of Western Australia
yang telah
menyediakan sumber kode numerik untuk pemodelan 4. Prof. Dr. Mulia Purba yang telah memberikan izin penggunaan Laboratorium Data Prosesing selama penulis mengolah data. 5. Rektor Universitas Lampung dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Pasca Sarjana IPB. 6. Istri tercinta, Ning Ayu dan ananda tersayang Faridh Akhmad Yusuf Effendi dan Farras Athar Latief Effendi, kedua orang tua dan seluruh keluarga besar atas segala doa, pengorbanan, dorongan dan dukungannya. 7. Seluruh rekan angkatan 2007 atas segala bantuannya dan kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu. Penulis berharap, semoga penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Juli 2011
Eko Efendi
xiii
xiv
Halaman ini sengaja dikosongkan
xiv
xv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1978 merupakan anak tunggal dari pasangan Hadi Poniman dan Siti Dasinem di Tanggamus, Lampung. Penulis masuk Sekolah Dasar (SD) tahun 1983 pada SD Negeri 1 Sumberejo dan tamat tahun 1989. Kemudian melanjutkan studi tahun 1989 pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Sumberejo dan tamat tahun 1992. Setelah menamatkan SMP, penulis melanjutkan studi pada Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Talang Padang tamat tahun 1995. Kemudian melanjutkan studi tahun 1995 pada Perguruan Tinggi Universitas Diponegoro pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan dan menamatkan studi pada tahun 2000 dengan gelar Sarjana Teknik (ST). Tahun 2004 penulis diterima sebagai staf pengajar Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penulis melanjutkan studi Program Magister (S2) tahun 2007 pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Mayor Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB).
xv
xvi
Halaman ini sengaja dikosongkan
xvi
xvii
DAFTAR SINGKATAN
AIN AIP ATP BME BRE BUP CAEDYM CFL COHERENS
: : : : : : : : :
DIC DIN DIP DO DOC DOCL DOCR DON DONL DONR DOP DOPL DOPR DSF ECMWF ECOHAM ELCOM ERSEM FRP GHER NetCDF NMAE NORWECOM PAR POC POCl POCR POL3dERSEM POM
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Alga Internal Nitrogen Algae Internal Phosphorous Adenosin Tri Phosphate Biological Mortality and Excretion Biological Respiration Biological Uptake Computational Aquatic Ecosystem Dynamic Model Courant Freidrich Lewy Coupled Hydrodynamical Ecological Model for Regional Northwest European Shelf Seas Dissolve Inorganic Carbon Dissolved Inorganic Nitrogen Dissolved Inorganic Phosphate Dissolved Oxygen Dissolved Organic Carbon Dissolved Organic Carbon Labile Dissolved Organic Carbon Reactive Dissolved Organic Nitrogen Dissolved Organic Nitrogen Labile Dissolved Organic Nitrogen Reactive Dissolved organic Phosphorous Dissolved Organic Phosphorous Labile Dissolved Organic Phosphorous Reactive Dissolved Sedimen Flux European Centre for Medium Range Forcasting Ecological North Sea Model, Hamburg Estuarine Lake and Coastal Model Ecological Modelling Software for Interactive Modelling Filterable Reactive Phosphorous Geo-Hydrodinamic and Environment Research Model Network Common Data Format Normalized Mean Average Error Norwegian Ecologial Model System Photosyntheticaly Active Radiation Particulate Organic Carbon Particulate Organic Carbon Reactive Particulate Organic Carbon Reactive Proudman Oceanographic Laboratory 3d ERSEM Model Princeston Ocean Model
xvii
xviii
PON PONL PONR POP POPL POPR RANS SWAT TKE TOC TRIM USDA-ARS US-EPA WASP ZIN ZIP
: : : : : : : : : : : : : : : :
Particulate Organic Nitrogen Particulate Organic Nitrogen Labile Particulate Organic NItrogen Reactive Particulate Organic Phosphorous Particulate Organic Phosphorous Labile Particulate Organic Phosphorous Reactive Reynolds Averaged Navier Stokes Soil and Water Assesment Tool Turbulence Kinetic Energy Total Organic Carbon Tidal Residual Intertidal Mudflat US Department of Agriculture’s Research Service US Environment Protection Agency Water Quality Analysis Program Model Zooplankton Internal Nitrogen Zooplankton Internal Phosphorous
xviii
xix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xxvii
1 PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang ............................................................................... Kerangka Pikir ............................................................................... Perumusan Masalah ....................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................... Manfaat Penelitian .........................................................................
1 2 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................
7
2.1 Kondisi Umum Perairan Teluk Lampung ....................................... 2.2 Ekosistem Laut ............................................................................... 2.2.1 Fitoplankton ........................................................................ 2.2.2 Zooplankton ........................................................................ 2.2.3 Nutrien ................................................................................. 2.2.3.1 Karbon .................................................................... 2.2.3.2 Nitrogen dan Fosfor ................................................ 2.3 Model Hidrodinamika dan Model Ekosistem ................................
7 8 8 10 11 11 14 16
3 METODE PENELITIAN ......................................................................
21
3.1 3.2 3.3 3.4
Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh ........................................ Alat dan Bahan ............................................................................... Pengambilan Contoh ...................................................................... 3.4.1 Pengambilan Contoh Air Laut ............................................. 3.4.2 Pengambilan Contoh Plankton ............................................ 3.4.3 Pengambilan Data Pasang Surut ......................................... 3.4.4 Pengumpulan Data Sekunder .............................................. 3.4.4.1 Data Batimetri ......................................................... 3.4.4.2 Data Pasang Surut ................................................... 3.4.4.3 Data Debit Sungai ................................................... 3.4.4.4 Data Salinitas Permukaan ....................................... 3.4.4.5 Data Meteorologis ................................................... 3.5 Analisis Contoh Untuk Verifikasi Model ...................................... 3.5.1 Nutrien ................................................................................ 3.5.2 Karbon Organik Partikulat ..................................................
21 21 22 23 23 23 23 23 23 24 25 25 25 27 28 28
xix
xx 3.5.3 Konversi Klorofil-a dan Zooplankton ke Karbon ................ 3.6 Model Hidrodinamika ..................................................................... 3.6.1 Penyelesaian Numerik ......................................................... 3.6.2 Desain Simulasi Model Hidrodinamika ............................... 3.7 Model Ekosistem ............................................................................ 3.7.1 Persamaan Pembangun Model Ekosistem ........................... 3.7.2 Variabel yang Disimulasikan ............................................... 3.7.2.1 Cahaya ..................................................................... 3.7.2.2 Siklus Karbon, Nitrogen dan Fosfor ....................... 3.7.2.3 Dinamika Fitoplankton ............................................ 3.7.2.4 Zooplankton ............................................................ 3.7.3 Desain Simulasi Model Ekosistem ...................................... 3.8 Simulasi Model ............................................................................... 3.9 Analisa Kecocokan dan Sensitivitas Model ...................................
28 29 32 54 55 55 56 57 58 62 64 65 66 67
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
69
4.1 Model Hidrodinamik Perairan Teluk Lampung ............................. 4.1.1 Pola Sebaran Arus ................................................................ 4.1.2 Pola Sebaran Temperatur ..................................................... 4.1.3 Pola Sebaran Salinitas .......................................................... 4.1.4 Verifikasi Data meteorologi ................................................ 4.2 Model Ekosistem Teluk Lampung ................................................. 4.2.1 Pola Sebaran Komponen Ekosistem .................................... 4.2.1.1 Oksigen Terlarut ...................................................... 4.2.1.2 Nitrogen ................................................................... 4.2.1.3 Fosfat ....................................................................... 4.2.1.4 Total Karbon Organik ............................................. 4.2.1.5 Fitoplankton ............................................................ 4.2.1.6 Zooplankton ............................................................ 4.2.2 Validasi Parameter Model Ekosistem .................................. 4.2.2.1 Parameter Kimia ...................................................... 4.2.2.2 Parameter Biologi .................................................... 4.3 Analisis Model Ekosistem Teluk Lampung ................................... 4.3.1 Analisis Kuantitatif Kecocokan Model ............................... 4.3.2 Dinamika Nutrien ................................................................ 4.3.3 Dinamika Trofik ..................................................................
69 69 70 73 75 78 78 78 78 80 82 83 84 85 85 87 88 88 92 104
5 SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
109
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 5.2 Saran ...............................................................................................
109 110
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
111
LAMPIRAN ..............................................................................................
119
xxi
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Bentuk kehadiran nitrogen pada air permukaan dan air limbah (diadaptasi dari Vollenweider, 1970) .................................................
14
2 Bentuk kehadiran fosfor pada air permukaan dan air limbah (diadaptasi dari Vollenweider, 1970) .................................................
15
3 Perbedaan fungsi utama pada berbagai model ekosistem ...................
19
4 Implementasi proses kunci yang komplek dalam berbagai model .....
20
5 Lokasi pengambilan contoh ................................................................
21
6 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ................................
22
7 Daftar dan deskripsi variabel yang disimulasikan dalam model CAEDYM ..........................................................................................
56
8 Kisaran magnitudo arus di perairan Lampung pada kondisi pasang purnama ..............................................................................................
70
9 Verifikasi data masukan model untuk kecepatan angin Tahun 2007 .
75
10 Perbandingan nilai rata-rata bulanan data meteorologis masukan model dan data BMKG Tahun 2007 ..................................................
76
11 Komponen Pasang Surut .....................................................................
77
12 Hasil Normalisasi rata-rata kesalahan mutlak (NMAE) perbandingan antara hasil simulasi dan data lapangan .............................................
88
13 Hasil analisis sensitivitas model pada parameter yang digunakan dalam CAEDYM untuk simulasi di Teluk Lampung ........................
91
14. Nilai asupan nutrien dari daratan ........................................................
103
xxi
xxii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xxiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Skema perumusan masalah untuk mencapai tujuan penelitian ...........
5
2 Tiga pompa karbon utama yang membangun pengaturan CO2 atmosferik alami (Heinze et al., 1991) ...............................................
13
3 Variabel yang terlibat dalam penggabungan model ELCOMCAEDYM yang meliputi komponen kolom air dan sedimen (Hipsey et al., 2009) . .......................................................................................
18
4 Peta lokasi daerah model dan lokasi pengambilan sampel . ................
22
5 Peta batimetri Teluk Lampung (sumber: Dishidros TNI-AL) . ...........
24
6 Pola pasang surut masukan model . .....................................................
24
7 Mawar angin masukan model tahun 2007 pada Bulan Januari (a), Februari (b), April (c), Mei (d), Juli (e) dan Agustus (f) . ..................
26
8 Data meteorologis masukan model . ....................................................
27
9 Ilustrasi garis komputasi Euler-Langrangian 2D menggunakan interpolasi kuadratik Langrangian (Hodges and Dallimore, 2010) ....
39
10 Skema interpolasi kuadratik Langrangian 3D dengan interpolasi berurutan dalam k, j kemudian i. Untuk Jelasnya, ilustrasi ini menunjukan interpolasi pada grid yang seragam, bagaimanapun metode ini dapat diterapkan untuk grid tak seragam tanpa adaptasi lebih lanjut (Hodges and Dallimore, 2010) . .......................................
40
11 Perkembangan dari lapisan tercampur karena pendinginan permukaan dan stratifikasi tak stabil (a) stratifikasi stabil pada langkah waktu dimulai, (b) pendinginan permukaan menciptakan profil densitas tak stabil, (c) grid sel tak stabil yang telah tercampur (Hodges and Dallimore, 2010) . ...............................................................................
50
12 Interaksi yang mewakili model dalam CAEDYM (diadaptasi dan digambar ulang dari Hipsey et al., 2009) . ..........................................
55
13 Skema tahapan penggunaan model simulasi ELCOM-CAEDYM (diadaptasi dan digambar ulang dari Hipsey et al., 2009) .................
67
14 Perbandingan profil vertikal temperatur hasil simulasi (garis putusputus) dan hasil observasi (garis kontinyu) di berbagai stasiun .........
71
o
15 Perbandingan data rata-rata bulanan Temperatur ( C) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus) . ............................................................................................
72
xxiii
xxiv
16 Perbandingan profil vertikal salinitas hasil simulasi (garis putusputus) dan hasil observasi (garis kontinyu) di berbagai stasiun . ........
74
17 Perbandingan data rata-rata bulanan salinitas (psu) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus) . ........
74
18 Verifikasi pola elevasi pasang surut antara hasil simulasi dan hasil pengamatan . .......................................................................................
77
19 Perbandingan data rata-rata bulanan NH4 (mg/L) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus) . .........
85
20 Perbandingan data rata-rata bulanan Oksigen terlarut (mg/L (a), NO3 (mgN/L) (b), PO4 (mgP/L), (c)) dan (d) Karbon organik partikulat (mgC/L) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus) . .........................................................................
86
21 Perbandingan data rata-rata bulanan (a) Klorofil-a (mgC/L) dan (b) Zooplankton (mgC/L) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus) .. ...................................................
87
22 Hubungan antara nutrien dan fitoplankton . .........................................
93
23 Fluks karbon (mgC/L/Hari) untuk total produksi (Total Prod), Pemangsaan fitoplankton (Phy2Zoop) dan pemangsaan POC oleh zooplankton (POC2Zoop), engesti dan mortalitas fitoplankton (Phy2POC) dan ekskresi dan mortalitas zooplankton (Zoop2POC) ..
94
24 Neraca fluks karbon (mgC/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus nutrien diadaptasi dari Hipsey et al. (2009) . ......................................
96
25 Fluks Nitrogen (mgN/L/Hari) untuk total uptake fitoplankton (PhyUp), Fluks sedimen (SedFlux), mortalitas fitoplankton (PhyMor), mortalitas dan ekskresi zooplankton (ZoopEX) dan total perubahan karena faktor hidrodinamika (HydroFlux) ........................
97
26 Neraca fluks Nitrogen (mgN/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus nutrien diadaptasi dari Hipsey et al. (2009) . ......................................
99
27 Fluks Fosfor (PO4) (mgP/L/hari) untuk total uptake fitoplankton (PhyUp), Fluks sedimen (SedFlux), mortalitas fitoplankton (PhyMor), mortalitas dan ekskresi zooplankton (ZoopEX) dan total perubahan karena faktor hidrodinamika (HydroFlux) ........................
100
28 Neraca fluks fosfor (mgP/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus nutrien diadaptasi dari Hipsey et al. (2009) . ......................................
102
xxv
29 Biomassa karbon data observasi (a), data simulasi (b) yang digambarkan sebagai rata-rata bulanan untuk material detritus, fitoplankton, dan zooplankaton (catatan skala aksis vertikal berbeda) ..............................................................................................................
104
30 Hubungan tingkat radiasi matahari, total organik karbon (a) dan biomassa fitoplankton (b) biomassa fitoplankton dan zooplankton (c) . ......................................................................................................
106
xxvi
Halaman ini sengaja dikosongkan
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Parameterisasi untuk siklus nutrien umum yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung .............................................
121
2 Parameterisasi untuk fitoplankton yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung ...........................................................
123
3 Parameterisasi untuk zooplankton yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung ...........................................................
125
4 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Januari pada kondisi pasang purnama ..............................................................................................
126
5 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Februari pada kondisi pasang purnama ..............................................................................................
127
6 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan April pada kondisi pasang purnama ..............................................................................................
128
7 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Mei pada kondisi pasang purnama ..............................................................................................
129
8 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Juli pada kondisi pasang purnama ..............................................................................................
130
9 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Agustus pada kondisi pasang purnama ..............................................................................................
131
10 Pola sebaran arus potongan membujur barat-timur hasil simulasi pada kondisi pasang purnama .....................................................................
132
11 Pola sebaran arus potongan melintang utara-selatan hasil simulasi pada kondisi pasang purnama ............................................................
133
o
12 Perbandingan sebaran horisontal temperatur ( C) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ........................
134
13 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan temperatur .............................
135
14 Perbandingan data rata-rata bulanan Temperatur (oC) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . .....................................
136
15 Persamaan garis korelasi temperatur antara hasil model dan hasil observasi ............................................................................................
137
16 Perbandingan sebaran horisontal salinitas (psu) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ...............................
138
17 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan salinitas .................................
139
xxviii
18 Perbandingan data rata-rata bulanan Salinitas (psu) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . ..................................................
140
19 Persamaan garis korelasi salinitas antara hasil model dan hasil observasi ...............................................................................................
141
20 Perbandingan sebaran horisontal oksigen terlarut (mg/L) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ...........
142
21 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan oksigen terlarut ......................
143
22 Perbandingan data rata-rata bulanan Oksigen Terlarut (mg/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . ............................
144
23 Persamaan garis korelasi oksigen terlarut antara hasil model dan hasil observasi .............................................................................................
145
24 Perbandingan sebaran horisontal NH4 (mg/L) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi .................................
146
25 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan NH4 ........................................
147
26 Perbandingan data rata-rata bulanan NH4 (mg/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . ..................................................
148
27 Persamaan garis korelasi NH4 antara hasil model dan hasil observasi .............................................................................................
149
28 Perbandingan sebaran horisontal NO3 (mg/L) rata-rata bulanan dari data observasi dan data hasil simulasi . ...............................................
150
29 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan NO3 ........................................
151
30 Perbandingan data rata-rata bulanan NO3 (mg/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . ..................................................
152
31 Persamaan garis korelasi NO3 antara hasil model dan hasil observasi .............................................................................................
153
32 Perbandingan sebaran horisontal PO4 (mg/L) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi .................................
154
33 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan PO4 (mg/L) ............................
155
34 Perbandingan data rata-rata bulanan PO4 (mg/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . ..................................................
156
35 Persamaan garis korelasi PO4 antara hasil model dan hasil observasi .............................................................................................
157
xxix
36 Perbandingan sebaran horisontal rata-rata bulanan karbon organik terlarut data hasil simulasi (mgC/L) dari sebaran horosontal rata-rata bulanan data Karbon organik partikulat (mgC/L) hasil observasi lapangan .............................................................................................
158
37 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan karbon organik terlarut .........
159
38 Perbandingan data rata-rata bulanan karbon organik terlarut (mg/l) hasil simulasi () dan karbon organik partikulat hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . .....................................................................................
160
39 Persamaan garis korelasi antara karbon organik terlarut hasil model dan karbon organik partikulat hasil observasi ....................................
161
40 Perbandingan sebaran horisontal Klorofil-a (mg/L) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ........................
162
41 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan Klorofil-a ..............................
163
42 Perbandingan data rata-rata bulanan Klorofil-a (mgChl/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . ............................
164
43 Persamaan garis korelasi klorofil-a antara hasil model dan hasil observasi ............................................................................................
165
44 Perbandingan sebaran horisontal Zooplankton (mgC/L) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ..........
166
45 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan Zooplankton ..........................
167
46 Perbandingan data rata-rata bulanan Zooplankton (mgC/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . ............................
168
47 Persamaan garis korelasi zooplankton antara hasil model dan hasil observasi ............................................................................................
169
xxx
Halaman ini sengaja dikosongkan
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Zooplankton dalam rantai makanan berperan sebagai sumber makanan untuk tingkat trofik yang lebih tinggi. Proses pemangsaaan fitoplankton oleh zooplankton dapat mentransfer lebih dari 50% karbon dari produktivitas primer ke tingkat trofik yang lebih tinggi (Scavia et al., 1988; Laws et al., 2000). Zooplankton juga memainkan peran penting sebagai pemangsa yang mengontrol populasi fitoplankton dan bakteri (Pomeroy et al., 2007). Zooplankton dapat mempengaruhi struktur komunitas fitoplankton secara langsung melalui pemangsaan selektif atau secara tidak langsung melalui regenerasi nutrien (Elser et al., 2001; Sterner 1990; Kagami et al., 2006). Berbagai studi telah menunjukkan penurunan biomassa fitoplankton tergantung dari densitas dan ukuran zooplankton pemangsa (Turner, 2004), laju pemangsaan zooplankton (Peterson et al., 1983), dan kelimpahan fitoplankton yang berkaitan dengan kemampuan fitoplankton untuk mereproduksi selnya (Durbin and Durbin, 1992). Dari studi pada perairan tawar telah diketahui dengan baik bahwa biomassa dan komposisi spesies fitoplankton yang dipengaruhi asupan nutrien dapat dengan kuat dimodifikasi dengan mengendalikan komunitas pemangsa (Sterner, 1990; Carpenter et al., 1998; Cottingham and Schindler 2000; Cottingham et al., 2004). Cottingham et al. (2004) menunjukkan bahwa zooplankton besar seperti Daphnia spp. dapat mengurangi pengaruh nutrien pada komunitas fitoplankton yaitu dengan ukurannya yang besar sehingga akan mempercepat laju pemangsaan fitoplankton. Pada studi yang lain pengkayaan nutrien yang dikombinasikan dengan tekanan pemangsaan zooplankton yang besar menyebabkan dominasi sel yang resisten terhadap pemangsaan, dimana dominasi spesies Cryptomonas tetrapyrenoidosa digantikan oleh spesies Aphanizomenon flos aquae (Lynch and Saphiro, 1981). Sterner (1990) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara rasio N:P dalam alga dan rasio N:P yang dilepaskan oleh zooplankton. Daphnia akan meningkatkan rasio unsur N:P karena mangsanya yaitu Cladocera memiliki rasio
1
2
unsur P yang lebih tinggi dibandingkan dengan Calanoid dan Copepoda (Andersen and Hessen, 1992). Hasil penelitian Urabe et al. (1997) dalam skala laboratorium menunjukan bahwa laju pertumbuhan Daphnia tidak dipengaruhi oleh penambahan unsur P yang lebih tinggi pada fitoplankton, karena Daphnia cenderung mengkonsumsi fitoplankton dengan kandungan unsur P yang lebih rendah. Ekskresi zooplankton sangat kuat mempengaruhi dinamika trofik dalam ekosistem melalui kontribusi N dan P anorganik untuk produktivitas primer (Lehman, 1980; Sterner, 1990; Vanni, 2002). Urabe et al. (1997) mengestimasi kisaran unsur N dan P yang dimanfatkan oleh fitoplankton 14 - 50% berasal dari hasil eksresi zooplankton. Faktor yang memengaruhi fraksi unsur N dan P termasuk diantaranya adalah kondisi fisik lingkungan, komposisi spesies dan biomassa fitoplankton dan zooplankton, dan rasio nutrien internal. Karena faktorfaktor ini berinteraksi secara dinamis sehingga menjadi sangat sulit untuk mengkuantifikasi peran zooplankton dalam siklus nutrien. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang mencakup proses fisik, kimia dan biologi untuk mempelajari peran zooplankton dalam dinamika nutrient di perairan, sehingga dengan memahami peran mereka dalam distribusi dan fluks nutrien dalam ekosistem akuatik merupakan hal penting untuk manajemen perairan. 1.2 Kerangka Pikir Perairan Teluk Lampung merupakan salah satu contoh daerah yang wilayah pesisirnya digunakan untuk berbagai kegiatan seperti perikanan tangkap, budidaya mutiara, budidaya ikan, tambak udang, pariwisata, pelayaran, pelabuhan, permukiman, industri, maupun kegiatan perdagangan. Berbagai kegiatan tersebut akan menghasilkan dampak yang dapat menurunkan kondisi dan mencemari perairan teluk. Pencemaran yang dihasilkan oleh salah satu kegiatan di atas akan menyebar ke kawasan lain oleh gerakan massa air. Penelitian yang dilakukan di perairan Teluk Lampung sebagian besar hanya mengkaji pola sebaran nutrien dan hubungannya dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton, sehingga tidak didapatkan gambaran kuantitatif mengenai interaksi antara nutrien, fitoplankton dan zooplankton. Helfinalis (2000) mengkaji
3
karakteristik arus pasang surut dan pola sedimentasi, Simanjutak (2000) mengkaji sebaran silikat. Damar (2003) mengakaji efek pengkayaan nutrien terhadap dinamika fitoplankton dan produktivitasnya. Penelitian pemodelan yang dilakukan di Teluk lampung diantaranya dilakukan Mihardja dkk (1995) yang memodel sebaran panas di Tarahan, Koropitan (2003) yang memodelkan ekosistem perairan Teluk Lampung dalam model dua dimensi atau perata-rataan kedalaman, sedangkan Baskoro (2009) memodelkan pengaruh pembangunan jetti terhadap kapasitas sungai Way Kuripan. Penelitian pemodelan yang telah dilakukan belum memberikan gambaran yang utuh mengenai interaksi nutrien, fitoplankton dan zooplankton terutama interaksi antara kolom air dan sedimen, karena hanya menggunakan pemodelan dua dimensi. Oleh karenanya pemodelan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggabungkan antara model hidrodinamika 3 dimensi dengan model biogeokimia untuk mengetahui dinamika nutrien secara komprehensif. Model divalidasi dengan data hasil pengukuran lapangan untuk mengetahui tingkat akurasi model. Hasil model dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis peran zooplankton dalam dinamika nutrien di Teluk Lampung. 1.3 Perumusan Masalah Pengaruh aktivitas manusia yang terjadi di sekitar Teluk Lampung akan berdampak terhadap pengayaan nutrien di perairan yang akan merangsang produktivitas biologi sehingga dapat mempunyai konsekuensi buruk bagi kegiatan pariwisata lokal, perikanan dan kegiatan ekonomi lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang mendalam dan komprehensif yang mencakup proses fisik, kimia dan biologi dalam mempelajari perubahan ekosistem. Zooplankton berperan sebagai perantara perpindahan energi dari tingkat trofik paling rendah ke tingkat trofik yang lebih tinggi. Proses produksi energi oleh fitoplankton melalui fotosintesis akan membutuhkan nutrien sebagai bahan bakunya, sehingga perpindahan energi dari fitoplankton ke tingkat trofik yang lebih tinggi melalui zooplankton diduga akan mempengaruhi ketersediaan nutrien di perairan. Studi tentang peran zooplankton dalam siklus nutrien merupakan studi yang komplek dan membutuhkan biaya yang besar serta waktu yang cukup lama.
4
Untuk mengkuantifikasi peran zooplankton dalam siklus nutrien yang dinamis sangat sulit untuk diukur secara langsung, sehingga untuk dapat mengkuantifikasi peran tersebut dilakukan pendekatan numerik dengan simulasi pemodelan. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini akan menjawab permasalahan: "bagaimana zooplankton berperan dalam dinamika nutrien dan seberapa besar kontribusi dari peran tersebut terhadap ketersediaan nutrien bagi fitoplankton di perairan Teluk Lampung". Perumusan penyelesaian masalah yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah dengan melakukan pemodelan hubungan antara parameter fisika, kimia dan biologi di perairan dalam sebuah model ekosistem yang merupakan gabungan dari model hidrodinamika dan model biogeokimia. Hasil dari simulasi pemodelan ini adalah pola sebaran komponen ekosistem sebagai gambaran interaksi faktor fisika, kimia dan biologi dalam dinamika nutrien yang melibatkan fitoplankton dan zooplankton. Interaksi antara tingkat trofik yang berbeda (fitoplankton dan zooplankton) dapat diekstraksi kuantitas perannya sehingga didapatkan pola dinamika trofik dan dinamika nutrien di perairan, sehingga dapat dikuantifikasi peran zoolankton dalam proses tersebut. Secara skematik pola pendekatan penyelesaian masalah hingga mencapai tujuan penelitian disajikan dalam Gambar 1. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkuantifikasi dan menganalisis peran zooplankton dalam dinamika nutrien antara tingkat trofik yang berbeda di perairan Teluk Lampung melalui pemodelan gabungan model hidrodinamika 3 dimensi dengan model biogeokimia. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini akan memberikan informasi tentang pemanfaatan pemodelan untuk mengetahui dinamika nutrien yang melibatkan zooplankton dalam ekosistem sehingga dapat diketahui kuantitas peran zooplankton dalam dinamika nutrien. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan transfer energi dari fitoplankton ke zooplankton sehingga dapat
5
memahami dengan baik hubungan nutrien, fitoplankton dan zooplankton yang pada akhirnya dapat mendukung produktivitas perikanan atau tingkat trofik yang lebih tinggi.
Gambar 1 Skema perumusan masalah untuk mencapai tujuan penelitian
6
Halaman ini sengaja dikosongkan
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Perairan Teluk Lampung Terdapat dua musim dominan yang menggerakkan siklus musiman di daerah studi yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau berhubungan dengan muson tenggara, sementara musim hujan berhubungan dengan muson barat laut. Pola arus musiman selama musim kemarau mengalir dari bagian timur Laut Jawa ke arah barat, memasuki Samudera Hindia melewati Selat Sunda dan sebagian menuju ke Laut Cina Selatan. Akibatnya selama musim ini perairan Teluk Lampung dipengaruhi oleh massa air yang kaya nutrien dari Laut Jawa. Sebaliknya pada musim hujan arus mengalir dari Laut Cina Selatan ke timur (Laut Jawa) dan massa air dari Samudera Hindia mengalir menuju Laut Jawa melalui Selat Sunda. Selama periode musim hujan perairan Teluk Lampung dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Hindia yang miskin nutrien (Buhring, 2001; Hendiarti et al., 2002). Secara geografis Teluk Lampung berada pada 5o26’ – 5o50’ LS dan 105o10’ – 105o53’ BT dengan luas 847 km2. Rata-rata kedalaman perairan 17,3 m dengan panjang pantai 160 km (Wiryawan et al., 1999). Pola pasang surut dipengaruhi oleh Samudera Hindia sehingga menghasilkan pasang surut semi diurnal, dengan rata-rata kisaran pasang 1,46 m maka seluruh kolom air selalu tercampur karena kedalaman perairan yang relatif dangkal (Wiryawan et al., 1999). Sedimen dasar perairan terdiri dari pasir ( 2 – 16%), lumpur (57 – 71%), dan liat (27 – 41%). Terdapat enam sungai kecil yang mengalir ke teluk dengan total debit aliran kurang lebih 22,2 m3s-1, dari area resapan air yang kecil (kurang lebih 278 km2). Sumber pengkayaan nutrien adalah dari antropogenik berupa limbah domestik kota Bandar Lampung melalui sungai sungai kecil dan sumber langsung lain yang berasal dari aktivitas perikanan (keramba dan tambak) sepanjang pantai bagian selatan teluk. Di pantai bagian utara terdapat daerah industri yang juga berperan dalam mensuplai bahan terlarut ke dalam perairan teluk. Wiryawan et al. (1999) menyatakan selama musim hujan kecepatan arus berkisar antara 0,27 ms-1 sampai 0,45 ms-1. Kecepatan maksimum terjadi pada
7
8
bulan Desember. Arah arus selama periode ini bergerak tetap ke tenggara. Sementara pada musim kemarau kecepatan arus berkisar antara 0,01 ms-1 sampai dengan 0,36 ms-1 dengan arah barat laut dan kecepatan arus minimum terjadi pada bulan Juli. Kecepatan arus bulanan di luar mulut teluk rata-rata berkisar antara 0,01 ms-1 sampai 0,045 ms-1, kecepatan maksimum terjadi pada bulan Januari dan Februari dan kecepatan minimum terjadi pada bulan Maret dan April (Wiryawan et al., 1999). Secara regional selama musim kemarau massa air Teluk Lampung sangat dipengaruhi oleh massa air dari Laut Jawa, yang dicirikan dengan nutrien dan klorofil-a yang tinggi, sementara selama musim hujan massa air dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Hindia yang relatif rendah nutrien dan klorofil-a (Hendiarti et al., 2002). 2.2 Ekosistem Laut 2.2.1 Fitoplankton Fitoplankton didefinisikan sebagai mikroorganisme fotosintesik yang hidup diperairan terbuka dan berperan dalam keseluruhan atau sebagian ketersediaan karbon organik pada jejaring makanan pelagis (Graham and Wilcox, 2000: Reynolds, 2006). Komunitas fitoplankton mendominasi ekosistem pelagis hingga mencapai 70% (Reynold, 2006) dan 45% fotosintetis di bumi terjadi diperairan (Field et al., 1998). Fotosintesis adalah proses biologis dimana energi matahari ditangkap, diubah menjadi energi biokimia dan disimpan dalam bentuk senyawa karbon organik (Falkowski and Raven, 2007). Energi ini kemudian digunakan untuk menggerakkan proses seluler. Kemampuan fitoplankton untuk menyerap cahaya secara langsung berhubungan dengan kemampuan pengumpulan penyerapan cahaya berdasarkan keberadan pigmennya (Bergmann et al., 2004). Terdapat tiga tipe pigmen yang secara kimia berbeda yaitu klorofil, karoten dan biliprotein. Hasil fotosintesis merupakan indikator dari produktivitas primer suatu perairan, sehingga intensitas cahaya matahari merupakan faktor abiotik utama yang menentukan laju produktivitas primer suatu perairan. Produktivitas primer suatu perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain cahaya, nutrien, suhu, grazing, mixing dan jenis dari fitoplanktonnya (Valiela, 1984; Parson et al.,
9
1984; Tomascik et al., 1997; Lehman, 1991). Produktivitas primer digambarkan sebagai laju pembentukan senyawa organik yang kaya akan energi dari senyawa anorganik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, suatu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan sinar matahari. Produktivitas primer menurut Nybakken (1992) pada umumnya dinyatakan dalam jumlah karbon yang terikat persatuan luas atau volume air laut per interval waktu tertentu. Produktivitas primer dapat diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat dalam material hidup dan secara umum dinyatakan dalam gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari) atau jumlah karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari). Spesies fitoplankton adalah produsen primer dan merupakan dasar dari rantai makanan. Cahaya dan nutrien adalah sumber yang mengatur kuantitas, distribusi dan struktur komunitas fitoplankton (Hessen et al., 2002). Cahaya menyediakan sumber energi untuk fotosintesis sementara nutrien berfungsi mengatur struktur sel dan metabolisme. Nutrien dapat didaur ulang sedangkan cahaya ditransformasi menjadi energi. nutrien juga dapat distribusikan secara homogen sepanjang kolom air (jika terdapat percampuran) atau diakumulasi pada lapisan perairan yang lebih dalam (ketika terjadi stratifikasi). Cahaya secara umum berkurang secara eksponensial dengan kedalaman yang tergantung dari molekul air, konsentrasi material terlarut dan partikel (seperti fitoplankton). Hubungan antara cahaya, nutrien dan interaksi fitoplankton-zooplankton disebut sebagai hipotesis cahaya-nutrien (Urabe and Sterner, 1996). Ketidaksamaan komposisi autotrof dan konsumen herbivora dapat menghasilkan pertumbuhan herbivora dibatasi oleh nutrien dari pada kandungan karbon fitoplankton. Fitoplankton sebagai produsen primer sering dihubungkan dengan produktivitas primer peraian tersebut. Produktivitas primer ditentukan dengan jumlah karbon organik yang tersedia untuk tingkat trofik yang lebih tinggi. Karbon adalah unit standar yang digunakan untuk mengkuantifikasi produksi biomassa. Beberapa penelitian menunjukan bahwa tidak hanya kandungan karbon, tetapi juga perbandingan nutrien-karbon dari biomassa yang menentukan dinamika ekologis (Andersen et al., 2004). Kebanyakan organisme autrotof sepertinya dibatasi oleh nutrien, jika dinila dari kuota nutrien yang rendah (Elser
10
et al., 2000). Peningkatan asimilasi karbon tidak secara langsung berdampak pada peningkatan pengambilan nutrien, dan ketersediaan nutrien normalnya lebih rendah dari ketersediaan CO2. Fitoplankton umumnya lebih fleksibel dan memiliki rasio karbon-nutrien yang tinggi dalam biomassanya. Sebaliknya herbivora umumnya kurang fleksibel dalam komposisi biomassa dan rasio karbon nutrien yang lebih rendah daripada makanan mereka. 2.2.2 Zooplankton Zooplankton, disebut juga plankton hewani, adalah hewan yang hidupnya mengapung, atau melayang dalam laut dengan kemampuan renang yang terbatas dan bersifat heterotrofik. Hampir semua hewan yang mampu berenang bebas (nekton) atau yang hidup di dasar laut (bentos) menjalani awal kehidupannya sebagai zooplankton yakni ketika masih berupa terlur dan larva. Pertumbuhan zooplankton dapat digambarkan dalam bentuk kurva pertumbuhan yang memiliki pola yang mirip dengan pola pertumbuhan fitoplankton, tetapi pada zooplankton mengalami fase keterlambatan (Nybakken 1992). Zooplankton memainkan peran penting sebagai pemangsa yang mengontrol populasi fitoplankton dan bakteri (Pomeroy et al., 2007). Zooplankton dapat mempengaruhi struktur komunitas fitoplankton secara langsung melalui pemangsaan selektif atau secara tidak langsung melalui regenerasi nutrien (Elser et al., 2001; Sterner 1990; Kagami et al., 2006). Perubahan kelimpahan, komposisi spesies, komposisi kimia dan cita rasa selama proses pengkayaan nutrien dapat mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi zooplankton (Sterner and Hessen, 1994; Jones et al., 2005; Breteler and Rampen., 2005). Proses pemangsaaan fitoplankton oleh zooplankton dapat mentransfer lebih dari 50% karbon dari produktivitas primer ke trofik level yang lebih tinggi (Scavia et al., 1988; Laws et al., 2000). Ekskresi zooplankton sangat kuat mempengaruhi dinamika trofik dalam ekosistem melalui kontribusi N dan P anorganik untuk produktivitas primer (Lehman, 1980; Sterner, 1990; Vanni, 2002). Estimasi dari fraksi N dan P yang diproduksi oleh zooplankton dan kemudian digunakan oleh fitoplankton berada dalam kisaran 14 sampai 50% (Urabe et al., 1997).
11
Striebel (2008) menjelaskan bahwa fitoplankton yang mendukung pertumbuhan zooplankton adalah fitoplankton yang memiliki kualitas yang baik yang tergantung dari edibilitas dan komponen kimianya. Keragaman komunitas fitoplankton yang tinggi dengan rasio C:P pada biomassa yang lebih tinggi dapat juga mempengaruhi daur ulang nutrien oleh zooplankton. Andersen et al. (2004) menyimpulkan bahwa peningkatan rasio C:P oleh fitoplankton dapat menyebabkan perubahan kestabilan interaksi fitoplankton-zooplankton. Zooplankton yang memakan komunitas fitoplankton dengan rasio C:P tinggi akan mengekstraksi fosfor sama banyaknya secepat mungkin, sehingga akan mengurangi laju pelepasan fosfor oleh zooplankton. 2.2.3 Nutrien Nutrien atau zat hara merupakan faktor penting dalam proses produksi fitoplankton. Nutrien ada yang dibutuhkan dalam jumlah banyak, ada pula yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Kelebihan nutrien yang diikuti dengan peningkatan konsentrasi fitoplankton telah menjadi ancaman global (Thomas et al., 2005). Walmsley (2000) mendefinisikan nutrien sebagai senyawa atau elemen kimia yang dapat digunakan secara langsung oleh sel tumbuhan (alga dan makrofita akuatik) untuk tumbuh, kebanyakan keberadaan nutrien di perairan dalam bentuk elemen anorganik. Nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan dan reproduksi mikroorganisme, tumbuhan, dan hewan adalah karbon, nitrogen dan fosfor. Trace element dapat juga diklasifikasikan sebagai nutrien. 2.2.3.1 Karbon Lautan mempengaruhi pertukaran CO2 dari udara ke laut dan mewakili reservoir besar karbon dengan lebih dari 60 kali karbon di atmosfer dan 20 kali karbon di daratan (Solomon et al., 2007). Fase gas CO2 terlarut dalam air laut dan terhidrasi dari asam karbonat (H2CO3) yang terdisosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-) dan foton (H+). Jumlah total semua spesiasi karbon an organik disebut Karbon anorganik terlarut (DIC: Dissolved Inorganic Carbon). Proporsi dari spesiasi karbon ini berbeda sebagai fungsi dari pH. Pada pH air laut normal ( pH 8.2) rasio
:
:CO2 adalah 90:9:1.
12
Pengaruh antropogenik akan merubah proses, meningkatkan CO2 atmosfer dan menaikkan temperatur yang mengakibatkan pengaruh langsung terhadap aktivitas biologi dan proses biogeokimia. Konsentras CO2 atmosfer pada saat ini meningkat kurang lebih 0.4% per tahun dan meningkat lebih dari 30% sejak masa pra industrialisasi. Tekanan parsial atmosfer diprediksi pada akhir abad ini lebih dari 71 Pa (700 ppm) (Solomon et al., 2007). Pada saat yang sama pemanasan dihubungkan dengan pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer yang telah diprediksi meningkatkan temperatur permukaan laut antara 1 – 4oC sampa 100 tahun kemudian (Bopp et al., 2001: Solomon et al., 2007). Siklus karbon lautan dan pertukaran CO2 antara udara dan air laut ditentukan oleh pompa karbon yang terdiri dari pompa fisik dan dua pompa biologis seperti disajikan pada Gambar 2. Konsumsi HCO3 akan meningkatkan perbedaan konsentrasi CO2 antar lautan dan atmosfer yang disebabkan pelepasan bersih CO2 ke atmosfer (Holligan et al., 1993). Fluks CO2 antara permukaan laut dan atmosfer utamanya ditentukan oleh kekuatan kedua pompa (Rost and Riebesell, 2004), diwakili oleh rasio perubahan karbon anorganik menjadi karbon organik (Archer et al., 2000). Peningkatan CO2 atmosfer akan memiliki banyak pengaruh pada sifat biogeokimia lautan. Konsentrasi CO2 lautan meningkat dan merubah sistem karbonat, karena semua parameter sistem karbonat saling tergantung . perubahan konsentrasi CO2 atmosfer akan diikuti perubahan rasio spesiasi karbon dan juga pH air laut. Perubahan global akan memiliki pengaruh utama pada fisiologi fitoplankton (Boyd and Doney, 2002; Hays et al., 2005). Sebagai contoh bahwa pengayaan CO2 akan secara signifikan mempengaruhi fotosintesis, komposisi unsur dan kalsifikasi dari fitoplankton laut (Riebesell, 2004). Perubahan konsentrasi CO2 akan mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton secara langsung. Emisi CO2 antropogenik juga akan meningkatkan temperatur global dan temperatur permukaan laut (Bopp et al., 2001). Peningkatan temperatur akan mempercepat reaksi metabolis dan meningkatkan laju pertumbuhan fitoplankton, tetapi tiap spesies fitoplankton mempunyai temperatur optimum. Perubahan temperatur permukaan laut akan menggerakkan beberapa spesies menuju ke temperatur
13
optimumnya atau keluar dari kisaran temperaturnya sehingga mengakibatkan perubahan komposisi fitoplankton.
Gambar 2 Tiga pompa karbon utama yang membangun pengaturan CO2 atmosferik alami (Heinze et al., 1991). Perbedaan temperatur dalam kolom air mempengaruhi stratifikasi dan percampuran dari massa air yang berbeda dan beserta pertukaran nutrien antara lapisan massa air yang lebih dalam yang kaya nutrien dengan zona eufotik. Penambahan stratifikasi di lautan yang terjadi karena peningkatan temperatur permukaan laut akan mengurangi asupan nutrien anorganik dari perairan dalam ke permukaan ( Rost and Riebesell, 2004), tetapi pada saat yang sama akan mencegah nutrien organik dari zona percampuran turun ke perairan dalam. Hal ini akan mengurangi konsentrasi nutrien anorganik, meningkatkan konsentrasi nutrien organik dan mengurangi rasio rasio nutrien anorganik terhadap nutrien organik pada zona eufotik.
14
2.2.3.2 Nitrogen dan Fosfor Sejak nitrogen dan fosfor dinyatakan sebagai nutrien pembatas, secara umum banyak mendapat perhatian. Terdapat tiga faktor yang menentukan kapan suatu sistem perairan dibatasi oleh nitrogen atau fosfor, yaitu rasio nitrogen dan fosfor; preferensi kehilangan, recycling atau adsorpsi; dan fiksasi nitrogen. Perubahan bentuk yang berbeda dari nitrogen anorganik (Tabel 1) adalah bagian dari siklus nitrogen dan penting dalam menentukan ketersediaan N di permukaan air (Walmsley, 2000). Amonifikasi, nitrifikasi, denitrifikasi, dan penyerapan aktif dari senyawa nitrogen diatur oleh temperatur air, ketersediaan oksigen dan pH (DWAF, 1996). Banyak proses fisik dan biologis mereaksikan peran nitrogen terhadap ketersediaan dan kesuburan relatif perairan (Capone, 2000). Siklus nitrogen di laut sangat dekat dihubungkan dengan atmosfer. Tabel 1 Bentuk kehadiran nitrogen pada air permukaan dan air limbah (diadaptasi dari Vollenweider, 1970) Nitrogen terlarut
Senyawa an organik seperti NH4, NO3, NO2
Total Nitrogen Nitrogen dalam suspensi
Senyawa organik seperti asam amino, polipeptida dan peptida, albumin terlarut dsb
organisme
Detritus organik dan/atau senyawa organik yang diserap oleh partikel
Nitrogen dalam bentuk gas N2, N2O, NO
Kandungan N total dalam air tak terfilter Total N dalam fitrat DIN* * DIN= Disolved Inorganic Nitrogen (Nitrogen anorganik terlarut)
Fosfor merupakan elemen esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan fitoplankton dan organisme lain. Fosfor di alam baik yang terlarut atau yang terikat dalam partikulat ada dalam bentuk organik dan anorganik (Tabel 2), yang digunakan oleh organisme hidup terutama di dalam asam nukleid, fosfolipid, dan ATP. Fosfor secara langsung diambil oleh bakteri heterotrofik dalam bentuk fosfat organik untuk pertumbuhannya (Pomeroy et al., 2007). Bentuk anorganik fosfor baik yang terikat dalam partikulat atau yang terlarut meliputi ortofosfat dan polifosfat (Walmsley, 2000). Ortofosfat hanya dalam bentuk fosfor anorganik terlarut (DIP) yang secara langsung dapat digunakan oleh biota laut.
15
Tabel 2 Bentuk kehadiran fosfor pada air permukaan dan air limbah (diadaptasi dari Vollenweider, 1970) Total fosfor Fosfor terlarut Ortofosfat PO4 Senyawa koloid organik dan/atau gabungan dengan koloid adsorptif
Fosfor dalam suspensi Sebagai partikel organisme mineral dan/atau anorganik komplek yang diadsorpsi
Diadsorpsi oleh detritus dan/atau dalam bentuk senyawa organik
Kandungan P total dalam air tak terfilter Total P dalam fitrat DIP* * DIP= Disolved Inorganic Phosphorous (Fosfor anorganik terlarut)
Setiap fitoplankton akan membutuhkan nitrogen dan fosfor untuk membangun biomassanya. Ketersediaan nitrogen dan fosfor di lapisan kolom air paling atas dikendalikan oleh percampuran vertikal, aliran sungai, fiksasi nitrogen dan regenerasi materi organik. Perbedaan spesies dari fitoplankton mempunyai kebutuhan nutrien dan fisiologi yang berbeda baik makro atau mikro nutrien. Konsekuensinya konsentrasi nutrien, rasio dan variabilitas temporal akan mempengaruhi kompetisi fitoplankton. Dalam satu kelompok juga terjadi kompetisi yang tergantung dari ketersediaan nutrien. Pengayaan nitrat mempengaruhi pembangunan rantai diatom dari yang kecil sampai menengah pada Chaetoceros spp akan lebih cepat dibandingkan dengan yang berukuran besar (Carter et al., 2005), karena konstanta setengah jenuh pengambilan nitratnya lebih rendah. Bagaimanapun nitrat dan ortofosfat bukanlah satu-satunya sumber nitrogen dan fosfor di lautan. Asupan DON menyumang sekitar 635 dari total nitrogen terlarut (Bronk, 2002) dan DOP mencapai 75% dari total fosfor terlarut (BenitezNelson, 2000). Walaupun konsentrasi DON dan DOP dapat digunakan secara biologis, tetapi hanya fraksinya yang dapat digunakan secara biologis (Bronk, 2002). Banyak diatom juga dapat menggunakan nutrien organik seperti urea, asam amino, fosfomonoester dan fosfat diester (Lomas, 2004; Yamaguchi et al., 2005; Rees and Allison, 2006). Perbedaan penggunaan nutrien organik dapat menyuplai sifat baru pola distribusi biogeografi dan suksesi spesies.
16
2.3 Model Hidrodinamika dan Model Ekosistem Seiring dengan berkembangnya metode numerik yang digunakan dalam pendekatan penyelesaian pergerakan massa air atau model hidrodinamika di perairan laut, telah banyak dikembangkan berbagai model ekosistem yang digabungkan dengan model hidrodinamika. Saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan tentang model ekosistem, antara lain yang dikembangkan oleh Kawamiya et al. (1995); Kishi dan Uchiyama (1995); Yanagi et al. (1997); Moll (1998); Neumann (2000); serta Edwards et al. (2000). Penelitian tersebut secara umum telah memberikan hasil yang cukup valid jika dibandingkan dengan kondisi alamiahnya. Dengan banyaknya penelitian tentang model ekosistem, juga telah banyak berkembang alat atau perangkat lunak yang dapat digunakan untuk membantu pembuatan model ekosistem. Berbagai perangkat lunak yang telah dikembangkan saat in antara lain NORWECOM (Norwegian Ecologial Model System) yang mulai dikembangkan tahun 1993, GHER (Geo-Hydrodinamic and Environment Research Model) yang mulai dikembangkan tahun 1976, ECOHAM (Ecological North Sea Model, Hamburg) dikembangkan tahun 1993, ERSEM (Ecological Modelling Software for Interactive Modelling) tahun 1994, COHERENS (Coupled Hydrodynamical Ecological Model for Regional Northwest European Shelf Seas) tahun 1993, dan POL3dERSEM (Proudman Oceanographic Laboratory 3d ERSEM Model) dikembangkan tahun 2000 (Moll and Radach, 2001). Perangkat lunak untuk model yang lain yang juga berkembang saat ini adalah SWAT v.2000 (Soil and Water Assesment Tool) (Arnold et al., 1998; Arnold and Fohrer, 2005) yang dibangun untuk mensimulasikan aliran yang dihubungkan dengan pergerakan nitrogen, fosfor, dan sedimen. Perangkat lunak ini dikembangkan oleh US Department of Agriculture’s Research Service (USDA-ARS). Selain itu ada juga model lain yang berkembang yang dikembangkan oleh US Environment Protection Agency (US-EPA) yaitu model WASP v.7.1 (Water Quality Analysis Program Model).
17
Model tiga dimensi yang ada memiliki resolusi trofik yang membedakan fungsi utama (nutrien, fitoplankton, zooplankton, ikan dan detritus; bahan organik terlarut dan bakteri di pelagis; digenesis dan bentik organisme di bagian kompartemen bentik). Pada Tabel 3. dijelaskan bahwa kecuali COHERENS semua model mensimulasikan sistem pelagis dan bentik. ECOHAM hanya mensimulasikan siklus P, sementara COHERENS dan GHER hanya mensimulasikan N. Siklus fosfor, nitrogen dan silikon termasuk dalam model NORWECOM, ELISE, POL3dERSEM dan ERSEM, dengan variabel yang terpisah untuk pelagis dan bentik. Model CAEDYM yang digunakan dalam penelitian telah mensimulasikan siklus P, N, Si, DO baik dalam sistem pelagis maupun bentik. Kehadiran fitoplankton diwakili oleh kisaran 1-5 bulk variabel ( Dinoflagela, Cyanobakteria, Klorofita, Kriptofites, dan Diatom). Variabel tetap zooplankton tidak termasuk dalam model ECOHAM dan COHERENS, sementara semua model telah memecahkan fungsi detritus di kolom air kecuali ECOHAM. semua model belum mengakomodasi tingkat trofik yang lebih tinggi dan logam berat kecuali CAEDYM. Untuk membangun alat pengelolaan yang jadi perhatian masyarakat (eutrofikasi) model memiliki proses standar yang digambarkan dalam implementasi model (Tabel 4). Beberapa proses kunci seperti ledakan alga, rekruitmen ikan, hubungan tropik, hubungan pelagis dan bentik, dinamika polutan dan regenerasi nutrien. Secara umum perangkat-perangkat lunak yang banyak dikembangkan tersebut diaplikasikan untuk daerah Laut Utara (North Sea). Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk diaplikasikan di perairan lainnya dengan melakukan modifikasi terhadap beberapa koefisien yang sesuai dan spesifik dengan daerah perairan yang diteliti. Pranowo (2000) telah mengaplikasikan model COHERENS di perairan Kedung, Jepara dengan hasil yang cukup baik. Selain itu Koropitan (2003) juga telah melakukan pemodelan dua dimensi di perairan Teluk Lampung menggunakan model POM (Princeston Ocean Model) juga dengan hasil yang baik. Model Hidrodinamika yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ELCOM (Estuarine Lake and Coastal Model), sedangkan model biogeokimia
18
menggunakkan model komputasi CAEDYM (Computational Aquatic Ecosystem Dynamic Model) yang keduanya dikembangkan oleh Center for Water Research (CWR) dari University of Western Australia (UWA). Variabel yang dimodelkan dalam penggabungan ELCOM-CAEDYM disajikan pada Gambar 3. Pemilihan model didasarkan atas pertimbangan kelengkapan variabel dan proses kunci yang bisa digunakan sebagai alat manajemen seperti yang disarikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Gambar 3
Variabel yang terlibat dalam penggabungan model ELCOMCAEDYM yang meliputi komponen kolom air dan sedimen (Hipsey et al., 2009).
19
Tabel 3 Perbedaan fungsi utama pada berbagai model ekosistem Nama Model ECOHAM COHERENS NORWECOM ELISE GHER POL3dERSEM ERSEM II CAEDYM
Materi Variabel tetap P 2 Tidak ada 8 N, P, Si 8 N, P, Si 10 N 16 N, P, Si, O 35 N, P, Si, O 43 C, N, P, Si, O 32
Fitoplankton Bakteri 1 bulk Tidak 1 bulk Tidak 2 fungsional Tidak 2 fungsional Tidak 2 fungsional 1 bulk 3 fungsional 1 bulk 4 fungsional 3 fungsional 7 Fungsional 3 Fungsional
Pelagis ZooPlankton Detritus/POM Tidak eksplisit Tidak Tidak eksplisit 2 fungsional Tidak 2 fungsional Tidak 3 fungsional 1 bulk 1 bulk 3 fungsional 1 bulk 3 fungsional 4 fungsional 5 fungsional 8 fungsional
Ikan Logam Berat Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 4 fungsional Ya
Bentik Materi Variabel tetap P 1 0 0 N, P, Si, O 5 N, P, Si 3 N 1 N, P, Si, O 18 N, P, Si, O 22 C, N, P, Si, O 32
Nutrien Bentik Organisme Tidak eksplisit Tidak Tidak Tidak Tidak eksplisit Tidak 3 bulk Tidak Tidak eksplisit Tidak 4 eksplisit 3 fungsional 4 eksplisit 3 fungsional 5 fungsional 4 fungsional
19
19
20
20
Tabel 4 Implementasi proses kunci yang komplek dalam berbagai model Nama Model
Ledakan Alga
Eutrofikasi
Hubungan trofik
Rekruitmen
Suksesi; Pembatatasan nutrien Tidak; Formulasi bulk Tidak; Formulasi bulk Sebagian;hanya dua grup
Regenerasi nutrien Partikulat dan bahan organik terlarut Sebagian; Hanya POM Sebagian; Hanya POM Sebagian; Hanya POM
Kriteria
N/P rasio: fito/zoo; bakteri/DO Tidah hanya siklus P Tidah hanya siklus N Sebagian, tanpa mikrobial loop
Jumlah UF dan VT berhubungan
Zooplankton; MSP
Tidak, hanya fito
Tidak
Tidak; hanya fito
Tidak
Tidak; hanya fito
Tidak
ELISE
Sebagian:hanya dua grup
Sebagian; Hanya POM
Sebagian, tanpa mikrobial loop
Tidak; hanya fito
Tidak
GHER
Ya satu DOM
Tidak
Ya satu DOM
Tidah hanya siklus N Ya
Sebagian fito-zoo
POL3dERSEM
Sebagian:hanya dua grup Ya; tiga grup
Ya
Tidak
ERSEM II CAEDYM
Ya; empat grup Ya semua grup
Ya Ya
Ya, terbatas Ya
Ya Ya
Tidak Ya
ECOHAM COHERENS NORWECOM
Gabungan pelagis-Bentik Proses antara pelagis dan bentik Sebagian
Kontaminan
Tidak, hanya MSP Ya terbatas, tidak ada organisme bentik Ya terbatas, tidak ada organisme bentik Sebagian
Tidak
Ya; nutrienPOM-zoobentos Ya, terbatas Ya
Tidak
Modul LB
Tidak
Ya; LB dan PCB Sebagian PCB dan Cadmium Tidak
Tidak Ya, LB
Keterangan : VT = Variabel Tetap, UF = Unit Fungsi, MSP = Model Struktur Populasi, LB = Logam Berat, PCB = Poly Chlorinated Byphenyl. Evaluasi dari semua model ditetapkan dengan kriteria Ya = Memerlukan Variabel tetap dan baris kedua adalah penjelasan jika diperlukan
20
21
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dalam dua tahapan, yaitu pengambilan data lapangan dan simulasi pemodelan. Pengambilan data lapangan dilaksanakan pada bulan Januari 2007 – Agustus 2007 dengan tahapan pengambilan contoh yang dilakukan pada bulan Januari- Februari, April – Mei dan Juli- Agustus. Pengambilan sampel dilakukan setiap dua minggu dan dilanjutkan dengan analisis contoh. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA Unila. Simulasi model hidrodinamika dan model ekosistem di perairan Teluk Lampung dilakukan pada posisi 5o24'2" - 5o46'26" LS dan 105o8'7"-105o37'12' BT (Gambar 4.). Simulasi pemodelan dilakukan pada bulan Juli 2009 – Desember 2010 yang meliputi pengumpulan dan analisis data sekunder, penyusunan model numerik dan parameter pemodelan, simulasi dan analisis hasil simulasi. Waktu simulasi disamakan dengan waktu pengambilan data lapangan. 3.2 Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh Penentuan lokasi pengambilan contoh ditentukan dengan pertimbangan bahwa lokasi (stasiun) tersebut merupakan daerah sumber nutrien bagi perairan. Lokasi pengambilan contoh ditabulasikan dalam Tabel 5 dan disajikan pada Gambar 4. Tabel 5 Lokasi pengambilan contoh Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Posisi geografis Bujur Timur Lintang Selatan 105o16’12” 05o29’14’ o 105 15’15” 05o27’34” o 105 18’20” 05o27’12” o 105 15’8” 05o28’14” o 105 19’26” 05o29’23” o 105 21’46” 5o32’58” o 105 14’58” 5o32’27” o 105 15’02” 5o34’25” o 105 12’13” 5o40’00” o 105 20’00” 5o40’00”
Keterangan Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara sungai Way Kahuripan Muara Sungai Way Lunik Pelabuhan Peti Kemas Kawasan Permukiman dan Industri Lokasi Wisata Pasir Putih Kawasan Tambak Hanura Kawasan Tambak Sidodadi Lokasi keramba jaring apung P. Pahawang Tengah laut
21
22
Gambar 4 Peta lokasi daerah model dan lokasi pengambilan sampel. 3.3 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini ditabulasikan pada Tabel 6. Tabel 6 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Alat dan Bahan Perangkat survei lapangan GPS (Global Positioning System) Botol sampel -
CTD Botol Van Dorn Spektrofotometer
DO meter dan pH meter Pompa vakum Stempel Pippete 0,1 ml Larutan Formalin dan Lugol Oven, Desikator dan Timbangan digital Perangkat analisis data Perangkat lunak komputer (Surfer 9, ArcGis 9.3, MS Excel, ODV 4.3, ARMSLite 2.12, Intel Visual Fortran 11)
Kegunaan -
Penentuan posisi Tempat sampel air dan sampel plankton Mengukur parameter fisik perairan Pengambilan sampel air Mengukur nilai absorbansi sampel
-
Pengukuran DO dan pH Penyedot sampel air untuk analisis kimia Pengambil fraksi fitoplankton Pengawet sampel plankton Analisis partikel padatan tersuspensi
-
Simulasi, visualisasi dan analisis data
23
3.4 Pengambilan Contoh 3.4.1 Pengambilan Contoh Air Laut Pengambilan sampel air dilakukan pada kedalaman 0 – 2 m menggunakan botol Van Dorn PVC. Pengambilan sampel air dilakukan untuk analisa kandungan nutrien terlarut dan kandungan padatan tersuspensi. Selain pengambilan sampel air juga dilakukan pengukuran secara langsung meliputi parameter oksigen terlarut menggunakan DO meter, pH menggunakan pH meter yang dikalibrasi dengan larutan standar dengan pH 4.00 dan 9.00 sebelum digunakan untuk pengukuran. Temperatur dan salinitas diukur menggunakan STD meter model YSI-30. 3.4.2 Pengambilan Contoh Plankton Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan menggunakan plankton net dengan ukuran mata jaring 40 µm, dan untuk zooplankton menggunakan plankton net dengan ukuran mata jaring 80 µm. Sampel ditempatkan dalam wadah cool box untuk dianalisa kandungan klorofil-a dalam fitoplankton dan kandungan karbon dalam zooplankton. 3.4.3 Pengambilan Data Pasang Surut Data fluktuasi muka laut diperoleh dari stasiun pengamatan di Pelabuhan Peti Kemas PT. PELINDO II Panjang, dengan interval satu jam mulai pukul 00.00 sampai pukul 23.00 selama 15 hari pengamatan. Alat pengukuran menggunakan Tide Staff. Data pengukuran pasut selanjutnya digunakan sebagai data validasi model. 3.4.4 Pengumpulan Data Sekunder 3.4.4.1 Data Batimetri Data batimetri diperlukan untuk memprediksi variasi pola arus dan kecepatannya. Data batimetri merupakan hasil digitasi kedalaman dari peta batimetri yang dikeluarkan oleh Dishidros TNI-AL. Peta batimetri perairan Teluk Lampung disajikan pada Gambar 5.
24
Gambar 5 Peta batimetri Teluk Lampung (sumber: Dishidros TNI-AL). 3.4.4.2 Data Pasang Surut Parameter pasang surut digunakan sebagai data masukan di syarat batas terbuka untuk mengetahui proses yang membangkitkan proses hidrodinamika. Data pasang surut yang digunakan sebagai data masukan model adalah data prediksi pasang surut untuk daerah Bakauheni tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro Oseanografi (Dishidros) TNI AL. Data parameter pasang surut bervariasi terhadap waktu dan konstant sepanjang daerah syarat batas terbuka. Grafik data pasang surut yang digunakan sebagai masukan model disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Pola pasang surut masukan model.
25
3.4.4.3 Data Debit Sungai Aliran sungai yang masuk ke perairan teluk sangat besar pengaruhnya dalam menentukan salinitas permukaan, selain sebagai sumber masukan nutrien ke dalam perairan. Data debit aliran sungai yang masuk ke perairan Teluk Lampung merupakan data debit rata-rata bulanan yang diperoleh dari Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BAPEDAS) Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. Data debit sungai juga digunakan untuk menghitung masukan nutrien dari daratan dengan persamaan: (1) dimana L adalah jumlah nutrien yang masuk dari sungai (ton/bulan), Q adalah debit sungai (l/detik), C adalah konsentrasi nutrien (mg/l), 2592000 adalah faktor konversi dari detk ke bulan dan 1000000 adalah faktor konversi dari mg ke ton 3.4.4.4 Data Salinitas Permukaan Dalam perhitungan simulasi model diperlukan data sebaran salinitas permukaan yang memiliki grid yang sama dengan grid batimetri. Data sebaran salinitas sebagai data masukan awal nilainya konstan terhadap ruang dan waktu. Data salinitas permukaan diperoleh dari www.nodc.noaa.gov/argo/float. dengan resolusi 2,5o x 2,5o. 3.4.4.5 Data Meteorologis Data meteorologis yang digunakan meliputi data arah dan kecepatan angin, temperatur udara, radiasi sinar matahari, kelembaban relatif, tekanan atmosfer, penutupan awan, dan presipitasi (hujan) disajikan pada Gambar 7 dan 8. Data meteorologis diperoleh dari ECMWF (European Center for Medium Range Forcasting) yang diunduh dari situs www.ecmwf.int. Data meteorologis ini merupakan data analisis ulang dan interpolasi dari data meteorologis yang diperoleh dari berbagai pusat pengamatan dan parameter meteorologi dunia. dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o dan interval setiap 3, 6, dan 12 jam pada ketinggian 10 m diatas permukaan laut dengan format NetCDF.
26
(a)
(c)
(e)
(b)
(d)
(f)
Gambar 7 Mawar angin masukan model tahun 2007 pada Bulan Januari (a), Februari (b), April (c), Mei (d), Juli (e) dan Agustus (f).
27
Gambar 8 Data meteorologis masukan model. 3.5 Analisis Contoh Untuk Verifikasi Model Sumber nutrien yang masuk perairan menggunakan data hasil analisa contoh yang diukur di stasiun pengambilan sampel. Analisis contoh dilakukan untuk mendapatkan data awal model yaitu dengan digunakan nilai terendah dari hasil analisis contoh.
28
3.5.1 Nutrien Konsentrasi nutrien yang berupa nutrien anorganik terlarut diperoleh dengan menganalisis sampel air menggunakan spektrofotometer. Analisa dilakukan untuk memperoleh konsentrasi PO4-P, NO3-N dan NH4-N. Sebelum dianalisa sampel air sebanyak 250 ml disaring menggunakan kertas saring nucleopore (diameter 47 mm dan porositas 0.2 µm). penyaringan dilakukan setidaknya 6 jam setelah sampling. 3.5.2 Karbon Organik Partikulat Konsentrasi karbon organik partikulat dihitung dengan pendekatan pengukuran total padatan tersuspensi (TSS) dengan persamaan (Bruce et al., 2006): (2) dimana LI adalah proporsi C yang hilang setelah pembakaran pada suhu 550oC selama 1 jam, nilainya 0.6 – 0.925 pada saat terjadi ledakan populasi diatom (Hipsey et al., 2006). Nilai 0.5 merupakan asumsi bahwa berat unsur C adalah 0.5 dari berat material organik (Bruce et al., 2006). 3.5.3 Konversi Klorofil-a dan Zooplankton ke Karbon Penentuan konsentrasi klorofil-a dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometer. Konsentrasi karbon fitoplankton diperoleh dengan mengkonversi klorofil-a ke karbon dengan asumsi 1 mg/L klorofil-a sama dengan 30 mg/L karbon (Chapra, 1997). Untuk keperluan simulasi konsentrasi karbon zooplankton dihitung menggunakan rasio 1 mg berat kering individu zooplankton setara dengan 1 µg C (Yanagi et al., 1997). Perbandingan antara berat kering dengan berat basah zooplankton menggunakan perbandingan 1 : 10 (Chapra, 1997). Berat basah dihitung dengan persamaan : (3)
29
dimana, BBS: berat zooplankton basah (mg); P1: berat sampel dengan kertas saring (mg/m3); P2 : berat kertas saring tanpa sampel; dan VS : volume sampel air tersaring (m3). 3.6 Model Hidrodinamika Simulasi hidrodinamik menggunakan kode pemodelan komputasi ELCOM , proses utamanya meliputi bahang permukaan, transpor massa dan momentum, dinamika lapisan tercampur dan limpasan aliran masuk (inflow). Data meteorologi digunakan untuk menentukan penetrasi bahang dari radiasi gelombang pendek dan fluks bahang permukaan yang disebabkan oleh evaporasi, bahang sensible, radiasi gelombang panjang dan tekanan angin. Angin permukaan menggerakkan momentum dan energi kinetik turbulen ke lapisan permukaan sehingga berperan dalam percampuran vertikal. Dasar persamaan transpor yang digunakan dalam ELCOM adalah persamaan Navier Stokes yang dirata-ratakan terhadap waktu dengan peratarataan Reynold yang ditulis sebagai (Hodges and Dallimore, 2010):
(4)
dimana u, v, w adalah komponen kecepatan pada sumbu horisontal x, y dan vertikal z;
adalah densitas air; p adalah tekanan dan
adalah
komponen Coriolis. Persamaan (4) dapat disimpulkan adanya pergerakan partikel yang tak terkendali dan transfer energi, sehingga untuk dua hal tersebut dilakukan perata-rataan dengan aturan sebagai berikut: (5) (6) dimana
adalah rata-rata pengukuran,
adalah deviasi dari rata-rata,
adalah nilai pengukuran, T adalah periode perata-rataan, dan a adalah konstanta.
30
Jadi dari persamaan (4) komponen u, v, w, dan p dapat diganti dengan ,
,
, dan
yang menyatakan nilai
pengukuran adalah nilai rata-rata ditambah deviasi atau komponen turbulen. Hasil proses perata-rataan dari persamaan gerak menghasilkan persamaan Navier Stokes dengan perata-rataan Reynold (RANS = Reynold Averaging Navier Stokes) sebagai berikut:
(7)
Hasil perata-rataan menghasilkan peubah baru ,
,
( , , dan
, dan
,
,
,
,
,
yang akan dinyatakan dengan derivatif aliran rata-rata
) yang dianalogikan dengan Hukum Viskositas Newton
,
dimana peubah ini dikenal sebagai Gesekan Reynold atau Gesekan Turbulen:
(8)
dimana
,
, dan
adalah viskositas Eddy masing masing pada sumbu x, y,
dan z. Pada sumbu x komponen Coriolis
<<
, sehingga
cukup kecil untuk ditiadakan. Jika persamaan (8) disubtitusikan ke persamaan (7) dan komponen Coriolis
diganti dengan simbol f akan diperoleh :
(9)
Untuk keperluan penyerderhanaan maka semua komponen simbol U, V dan W maka persamaan (9) menjadi:
diganti dengan
31
(10)
dimana U(x,y,z,t), V(x,y,z,t) dan W(x,y,z,t) adalah komponen kecepatan pada arah horizontal x, y dan vertikal z; t adalah waktu; g adalah percepatan gravitasi; adalah koefisien viskositas Eddy. Pada sumbu z semua komponen terlalu kecil jika dibandingkan
dan g
sehingga cukup kecil untuk ditiadakan, sehingga persamaan transpor pada sumbu z dapat ditulis : (11) Jika
;
dan komponen koefisien viskositas Eddy
dapat digantikan dengan simbol , maka secara sederhana persamaan transpor (10) dalam model ELCOM dapat ditulis sebagai: .
Persamaan transpor:
(12)
Kontinuitas: (13)
Kondisi batas momentum pada Permukaan bebas: (14) Dasar dan sisi: (15)
Transpor skalar (16)
32
Kondisi batas skalar (17)
Evolusi permukaan bebas (Free Surface Evolution) (18)
Gesekan angin pada permukaan bebas (19)
Input momentum oleh angin (20)
dimana, U: kecepatan Reynold yang dirata-ratakan atas waktu; i, j, k,m: komponen ruang; α,β: komponen ruang horizontal; η: tinggi permukaan bebas; ρ’: densitas anomali; ρo: densitas acuan; g: konstanta gravitasi; f : konstanta Coriolis; skalar;
: komponen permutasi tensor; ν: viskositas molekular; C: konsentrasi : kecepatan vektor angin dalam arah β;
pada ketinggian 10 m;
: koefisien bulk stress angin
: kecepatan wind shear pada arah α.
3.6.1 Penyelesaian Numerik Persamaan pembangun didiskretisasi pada grid solusi Cartesian dimana komponen kecepatan tunggal didefinisikan pada tiap sel yang berhadapan dan skalar didefinisikan pada pusat sel. Dalam persamaan diskretisasi sel yang berhadapan diwakili komponen subskrip i+1/2 sementara pada pusat sel diwakili nilai integer (i, j, k). Notasi dari Casulli and Cheng (1992) digunakan untuk penjelasan selanjutnya. Bentuk persamaan diskret akan digunakan subskrip untuk mewakili posisi dalam ruang diskret (i, j, k). Misalkan
mewakili nilai
vektor kecepatan di kolom air pada waktu n+1 pada posisi (i, j) yang ada pada solusi ruang dan waktu n* untuk seluruh k yang mencakup: (21) dimana
adalah ketinggian dari dasar domain pada titik (i, j);
ketingian permukaan bebas dan
adalah
adalah jumlah maksimum grid sel dalam
arah vertikal. Definisi yang sama juga digunakan untuk kuantitas vektor yang lain.
33
Dasar dari evolusi semi implisit dalam medan kecepatan pada komponen 2 dimensi dapat didiskretisasi pada solusi ruang * yang sama dengan pendekatan model TRIM (Tidal, Residual, Intertidal Mudflat) (Cheng et al., 1993) sebagai : (22) (23) dimana: G = sebuah sumber vektor eksplisit = implisitas permukaan bebas, nilai yang digunakan dalam ELCOM adalah diskretisasi langkah mundur euler ( Casulli and Cattani (1994) telah menunjukan bahwa metode langkah mundur Euler untuk solusi momentum dari persamaan hidrostatik dapat diperluas menjadi skema dua tingkat (persamaan 22 dan 23) yang secara formal akurat sampai ordo kedua (ketika
. Pemodelan
dengan grid kasar bagaimanapun
juga penambahan dalam akurasi numerik tidak selalu menghasilkan penambahan kemampuan model. Secara umum banyak simualasi yang dilakukan di daerah estuari dan reservoir, modus barotropik diselesaikan dengan kondisi CFL yang mungkin berkisar antara 5 - 10 atau lebih. Kondisi yang seperti ini diskretisasi semi implisit mungkin akan stabil tetapi ketepatan yang mewakili aliran fisik adalah fungsi dari aliran dengan pertimbangan karakter dari pemotongan galat adalah kritis untuk memahami kemampuan metode ini. Metode ordo pertama menyebabkan kesalahan komponen pada ordo kedua dan menghasilkan peredaman gelombang di permukaan bebas. Metode ordo kedua yang menyebabkan kesalahan adalah dispersif dan menghasilkan gelombang numerik pada permukaan bebas yang dibangkitkan sepanjang domain; pada umumnya menyebabkan gelombang barotropik linier meningkat pada lubang yang curam, menyebabkan kecepatan yang tinggi dalam wilayah yang dilokalisir sebagai gelombang permukaan yang dipengaruhi oleh topografi. Jadi, metode ordo pertama menghasilkan wakil yang bagus dari bentuk gelombang permukaan dan kecepatan barotropik lokal, tetapi menunjukkan perluasan peredaman respon inersia dari permukaan bebas. Sebaliknya metode ordo kedua memperbaiki energi dari gelombang permukaan dengan dispasi numerikal minimum, tetapi kurang
34
mewakili bentuk gelombang. Solusi hidrostatik dispersi gelombang mengakibatkan gaya lokal palsu yang melalui kolom air dan detrimental terhadap kemampuan solusi. Sebaliknya perluasan peredaman gelombang permukaan menyebabkan berkurangnya pergerakan dalam skala besar yang dihubungkan dengan respon barotropik ketika angin berkurang. Secara umum sistem yang sangat dianjurkan yang lebih baik adalah skema langkah mundur Euler sebagai energi gelombang diluar dua atau tiga periode yang sering tidak relevan pada ordo pertama. Menggunakan diskretisasi implisit dua tingkat (Casulli and Cheng, 1992), atau berbagai teknik eksplisit, matrik A dapat di gambarkan sebagai :
(24)
dimana
dalam matrik A adalah kondisi batas, sementara a, b dan c adalah
berturut-turut: (25) (26) (27) Koefisien
ditentukan dengan memilih teknik diskretisasi numerik, untuk
, komponen viskositas vertikal didiskretisasi menggunakan teknik Euler beda mundur, dan untuk model lapisan tercampur yang digunakan di ELCOM =0 dan diskretisasinya secara eksplisit dengan A adalah nol untuk semua komponen dalam diagonal utama. Komponen G dalam persamaan (22) dan (23) dapat digambarkan sebagai : (28) (29)
35
Operator L () mewakili diskretisasi advektif, B () mewakili diskretisasi baroklinik, D () mewakili diskretisasi difusi horizontal turbulen. Dalam ELCOM vertikal difusi dihitung menggunakan model percampuran vertikal. model percampuran diwakili oleh operator seperti: (30) dimana operator percampuran M akan dibahas kemudian. Dalam pendekatan TRIM (Casulli and Cheng, 1992) diterapkan diskretisasi difusi horizontal dalam jalur asal, penambahan kompleksitas tidak menemukan adanya keuntungan signifikan dalam akurasi. Selanjutnya dalam diskretisasi difusi horizontal (Dx, Dy) dari persamaan (28) dan (29) didiskretisasi menggunakan stensil ordo kedua seperti : (31) Komponen baroklinik (B) dalam arah x didiskretisasi sebagai, (32) dimana : F adalah sel yang memiliki permukaan bebas. Persamaan yang sama untuk difusi dan komponen baroklinik juga diperoleh untuk arah sumbu y. Penghilangan komponen difusi vertikal dalam persamaan transport momentum dan transport scalar dimungkinkan dengan menghilangkan inversi matrik tridiagonal untuk masing-masing komponen kecepatan horizontal dan transport scalar yang diperlukan untuk tiap kolom air (i, j) dalam skema TRIM. Persamaan evolusi permukaan bebas dapat di diskretisasi sebagai:
(33) dimana
adalah vektor grid spasi vertikal, dan operator
dan
mengindikasikan perbedaan diskret, seperti : (34) Substitusi persamaan (22) dan (23) dalam persamaan (33) menjadi persamaan pentadiagonal untuk tinggi permukaan bebas pada waktu n+1 yang
36
siap diselesaikan dengan menggunakan metode konjugasi gradien yang mirip dengan TRIM (Casulli dan Cheng, 1992). Salah satu kesulitan dalam model numerik sampai sekarang adalah skala kondisi aliran geofisik dengan kisaran yang lebar. Dalam hal tertentu gelombang internal mungkin sesekali menghasilkan pergerakan vertikal yang kuat pada wilayah yang relatif kecil. Ketika resolusi dari gelombang internal dianggap penting, pilihan metode numerik diarahkan pada kebutuhan untuk akurasi dan stabilitas dalam porsi yang kecil untuk keseluruhan medan aliran, sementara banyak metode diskretisasi eksplisit spasial stabil untuk CFL
O(0.5) secara umum kurang ketika arah aliran tidak sejalan dengan grid. Kelemahan metode kuadratik adalah komputasi yang memerlukan mesin dengan kemampuan tinggi. Bagaimanapun untuk daerah dengan CFL rendah (CFL<0.1), solusi dari metode kuadratik semi langrangian didominasi oleh komponen dalam tujuh titik stensil yang berlawanan yang dihasilkan oleh diskretisasi kuadratik berlawanan. Kesamaannya dapat dieksploitasi untuk mengurangi persyaratan komputasi pada daerah dengan CFL rendah tanpa secara signifikan mengurangi akurasi dari keseluruhan metode solusi. Konsep menerapkan skema yang berbeda pada daerah yang berbeda dapat disamaratakan dalam konsep metode numerik hibrida. Metode hibrida umum adalah satu dimana skema solusi yang berbeda diterapkan dalam daerah aliran yang berbeda didasarkan atas kriteria terukur dalam medan aliran. Untuk tujuan tersebut kriterianya adalah CFL, dan penerapan satu teknik diskretisasi untuk CFL rendah dan teknik yang berbeda untuk CFL tinggi. Metode hibrida sekarang telah diuji untuk dua tingkat menggunakan diskretisasi kuadratik semi Langrangian untuk daerah dimana 02 masih dipertanyakan, sehingga batas atas merupakan persyaratan yang tidak masuk akal. Untuk daerah dengan CFL>2 metode menerapkan diskretisasi semi Langrangian
37
linier sebagaimana diterapkan dalam TRIM untuk meminimalkan usaha mereposisi stensil. Untuk aliran terstratifikasi metode semi Langrangian digunakan dengan akurasi dan kestabilan ketika 0.11 dalam arah horizontal merupakan langkag penting berikutnya dalam memilih metode numerik. Langkah waktu maksimum secara umum dibatasi juga oleh pembangkitan kecepatan gelombang baroklinik pada daerah dengan stratifikasi terkuat atau difusi numerik maksimum yang dapat diterima dalam transpor skalar. Bentuk semi Langrangian dari adveksi diperoleh dengan menemukan pendekatan dalam ruang kontinum ( titik "Langrange") yang akan diadveksikan menjadi titik diskret (i, j, k) oleh medan kecepatan (U, V, W) sepanjang langkah waktu t. Posisi partikel (i, j, k) secara numerik dibariskan ulang sepanjang garis lurus yang diwakili oleh medan kecepatan U, V, W. medan U, V, W diperoleh dari tingkat waktu tunggal atau berganda, tergantung pada akurasi dan kompleksitas komputasi yang diinginkan. Pada tingkat waktu tunggal metode semi Langrangian linier, titik Langrange ditentukan menggunakan: (35) (36) (37) Nilai variabel trilinier berlawanan:
pada titik Langrangian ditentukan menggunakan interpolasi
38
=
(38)
Wakil diatas merupakan sebuah stensil delapan titik untuk metode semi Langrangian dengan interpolasi linier. Sebagai pendekatan medan aliran untuk aliran seragam 1D, teknik semi Langrangian mengurangi menjadi sebuah metode linier berlawanan untuk CFL<1. Memang kemungkinan lebih mudah untuk berfikir bahawa metode semi Langrangian sebagai stensil 3D liniear berlawanan yang dengan sukses direposisi untuk kondisi CFL tinggi. Selanjutnya bahwa metode semi Langrangian linier memperlihatkan tingkat penolakan dari difusi numerik yang merupakan ciri dari metode linier berlawanan. Hal ini dapat diperbaiki menggunakan metode kuadratik untuk interpolasi dari nilai pada titik Langrange. Metode semi Langrangian kuadratik meluas dari 8 titik stensil berlawanan dengan interpolasi trilinier menjadi 27 titik stensil berlawanan enggunakan interpolasi polinomial Langrangian kuadratik. Notasi yang digunakan Casulli and Cheng (1992) operator menginterpolasi medan kecepatan (yang berhadapan dengan x) ke posisi (i+1/2-a, j-b, k-d), dimana a, b, d adalah bilangan ril yang mewakili penggantian bentuk dari posisi (i+1/2, j, k). sebuah pendugaan asal dari jalur pergerakan partikel sepanjang medan kecepatan pada waktu n yang berakhir pada posisi (i+1/2,j ,k) setelah waktu t. Notasi yang sama digunakan pada yang menghadap y pada j+1/2. Untuk menyatakan jalur titik asal dengan pangkat (p) sehingga operator adveksi L() pada persamaan (28) dan (29) menjadi: (39)
39
Gambar 9
Ilustrasi garis komputasi Euler-Langrangian 2D menggunakan interpolasi kuadratik Langrangian (Hodges and Dallimore, 2010).
Gambar 9 menjelaskan bahwa vektor kecepatan A dengan komponen UA dan VA digunakan untuk melacak jalur partikel dari posisi (i, j) kembali ke basis B menggunakan momentum sub langkah waktu dt. Vektor kecepatan B dihitung dari sembilan titik grid berlawanan dari vektor kecepatan pada posisi (i, j). Vektor B digunakan untuk melacak jalur partikel kembali ke basis vektor kecepatan C yang diinterpolasi lagi dari 9 (sembilan) titik grid disekitarnya. Hal ini diulang sebanyak n waktu dimana ndt = t. jika basis posisi vektor kecepatan tidak diisi dengan sembilan titik berlawanan, stensil yang berlawanan harus direposisi. dalam kode yang sekarang, interpolasi linier digunakan untuk kejadia yang jarang ketika reposisi diperlukan. Vektor akhir dihasilkan dari operator Euler-Langrangian dari persamaan (24) dan (25) yaitu
. Jumlah dari sub langkah waktu
(n) dapat diatur seperlunya, dengan nilai tinggi yang menyediakan akurasi lebih besar dan biaya komputasi yang lebih tinggi. Dicatat bahwa n = 1 dimanapun berhubungan dengan diskretisasi kuadratik berlawanan dan akurasi yang rendah dengan ciri setidaknya CFLa<<1. Aturan umum, n minimum diatur sebagai fungsi lokal dari grid dan medan aliran seperti
.
40
Gambar 10 Skema interpolasi kuadratik Langrangian 3D dengan interpolasi berurutan dalam k, j kemudian i. Untuk Jelasnya, ilustrasi ini menunjukan interpolasi pada grid yang seragam, bagaimanapun metode ini dapat diterapkan untuk grid tak seragam tanpa adaptasi lebih lanjut (Hodges and Dallimore, 2010). Proses perhitungan jalur asal dalam 2D untuk interpolasi bilinier telah dibahas oleh Casulli and Cheng (1992) dan digambarkan pada Gambar 9 untuk interpolasi Langrangian kuadratik. Interpolasi Langrangian pada grid yang tidak seragam mempertimbangkan koordinat ruang (x, y, z) yang menghubungkan dengan indek komputasi (i, j, k). interpolasi Langrangian kuadratik 3D untuk menemukan nilai
pada berbagai titik (x(p)(p), y(p)(p), z(p)(p) dihitung dalam
tiga langkah seperti diilustrasikan dalam Gambar 10 yang memerlukan 9 interpolasi vertikal dari bentuk: (40) dimana subskrip (i, j) menyatakan posisi garis vertikal yang diinterpolasi, sementara
dan
adalah ±(0, 1, 2) dengan tanda ditentukan oleh arah berlawanan
dari stensil (sebagai tanda untuk kenaikan k pada posisi subskrip U) koefisien polinomial Langrangian untuk tiap garis (i, j) di hitung dari persamaan koefisien Langrangian standar (Al-Khafaji and Tooley, 1986 dalam Hodges and Dallimore, 2010) sebagai:
41
(41) dimana
adalah koordianat vertikal dari titik interpolasi dan tanda ditentukan
untuk mendapatkan stensil berlawanan. Interpolasi vertikal diikuti oleh 3 interpolasi horizontal pada arah y dalam bentuk: (42) Akhirnya, interpolasi tunggal pada arah x diterapkan sebagai: (43) Koefisien Langrangian dalam persamaan (40) dan (41) dihitung menggunakan persamaan (42) dengan y atau x digantikan untuk z yang sesuai. Stensil kuadratik digunakan untuk interpolasi Euler-Langrangian karena menguntungkan sebagai pengurang peredaman gelombang internal yang terjadi dengan 8 titik stensil linier; jadi meningkatkan kemampuan metode untuk memecahkan pergerakan bebas dari basin terstratifikasi. Sementara peningkatan ini perlu untuk dalam memodelkan reservoir terstratifikasi. Hal yang kemungkinan kurang penting dalam model estuari dimana yang bergerak dominan adalah aliran fisik. Komputasi ekstra memerlukan stensil kuadratik sedikitnya diperbaiki dengan kemampuan menghitung sumber komponen untuk aliran dalam kisaran 1
42
(46) Sebagai momentum percampuran dan komponen sumber, operator percampuran dalam persamaan (44) mewakili percampuran vertikal oleh komponen tekanan Reynold.
mewakili sumber skalar (yaitu transfer bahang
sepanjang permukaan bebas ke dalam lapisan tercampur oleh angin). Persamaan (45) adalah adveksi dari medan skalar yang dipecahkan medan aliran dan persamaan (46) dalah difusi horizontal karena pergerakan turbulen. Untuk lebih jelasnya, adveksi (persamaan 45) didefinisikan setiap langkah waktu t. Bagaimanapun ketika MAX(CFLα)>1 sub skala langkah waktu δt digunakan, dimana mδt = t dan persamaan (45) diiterasi sebanyak m kali. Derivasi berikut ini substitusi dari δt untuk t dan n+m t untuk n+1 membuat persamaan mencerminkan proses iterasi sub langkah waktu. Dalam notasi diferensial, bentuk konservatif persamaan transpor adalah: (47) dimana Ω adalah kontrol volum,
,
,
adalah area permukaan yang
berhadapan dengan kontrol volum. Untuk kejelasan dalam bentuk diskret, akan lebih berguna untuk menghilangkan notasi subskrip (i, j, k) untuk semua variabel dipusatkan sehingga ditulis sebagai
ditulis dengan bentuk sederhana sebagai C, dan . Konsentrasi skalar yang diadveksikan C* ditulis sebagai
fluks adveksi konservatif sepanjang rangkaian n* sel sebagai: (48) dimana operator dalam bentuk
didefinisikan dalam persamaan (32). Q adalah
fluks skalar yang melalui sel yang berhadapan, didefinisikan pada serangkaian sel n* untuk yang berhadapan dengan i+1/2 sebagai: (49) Serupa dengan definisi yang diterapkan pada yang berhadapan j+1/2 dan k+1/2. Tidak ada fluks pada sel yang berhadapan paling atas yang berisi permukaan bebas, sehingga
, dimana k = F adalah sel yang berisi
43
permukaan bebas. Hal ini mengikuti bahwa
dan
untuk setiap sel (i, j, F) dalam rangkaian n*: (50) Jadi, untuk semua sel dalam rangkaian n* (termasuk sel permukaan bebas): (51) Sejak konsentrasi skalar diperbaharui di pusat sel, adalah perlu untuk mendefinisikan metode interpolasi untuk nilai sel yang berhadapan seperti . Penyaringan pembatasan fluks ULTIMATE diterapkan dengan interpolasi ordo ketiga QUICKEST dilakukan dengan terutama sekali dalam menjaga medan skalar monotonik sementara membatasi difusi numerik. metode ULTIMATE QUICKEST konservatif dibatasi oleh CFL<1 dalam arah koordinat. Skema semiimplisit sekarang ini masih menyisakan kestabilan pada CFL tinggi, sehingga algoritma ULTIMATE QUICKEST harus dihitung dengan sukses melampaui sub skala langkah waktu sehingga maksimum CFLα kurang dari satu pada tiap sub langkah waktu. dalam aplikasinya model dengan resolusi kasar yang terstartifikasi kuat akan memiliki pembatasan langkah waktu berdasarkan pada mode baroklinik dalam solusi momentum dan CFLα>1 tidak pernah terjadi. Komponen difusi horizontal didiskretisasi untuk mengasilkan waktu skalar n+1 melampaui ruang solusi n*: (52) dimana Dx dan Dy adalah operator beda hingga untuk turunan kedua, sama dengan solusi kecepatan, kapanpun lokasi n+1 yang tidak pada waktu solusi ruang n* diperbarui menggunakan konsentrasi sel disekitarnya. Momentum dimasukkan oleh gaya angin dihilangkan pada lapisan batas dan proses turbulen di interior. pada model 2D perata-rataan kedalaman formulasi gesekan dasara Chezy-Manning telah diterapkan untuk menghitung hilangnya pada kolom air. Hal ini secara khusus berguna untuk menyediakan metode kalibrasi model perata-rataan kedalaman pantai/estuari untuk mereproduksi srangkaian data pasut yang diberikan. Dalam model 3D dengan stratifikasi data lapang yang detail untuk kalibrasi koefisien friksi dasar umumnya tidak tersedia.
44
Lebih lanjut tanpa transfer energi gelombang internal skala dasar ke gelombang skala subgrid, menjadi dipertanyakan apakah kondisi batas model dalam literatur dapat ditangkap secara aktual dinamika batas dan memprediksi lokasi yang tepat dan waktu menghilangnya serta fluks vertikal. kondisi batas sisi dinding (yaitu batas solid vertikal) jarang dimodelkan sebagai free-slip yang berdampak lebih sederhana implementasinya dalam metode numerik. Menegasikan gaya geser sisi dinding tidak akan menjadi lebih sederhana dalam pemodelan pergerakan. Masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam mengembangkan kondisi batas dasar dan sisi dalam model grid kasar. ELCOM menyediakan tiga bentuk dasar kondisi batas no-slip, free-slip, dan specified stress. Angin digunakan sebagai input momentum tekanan pada kondisi batas pada permukaan bebas dengan persamaan (Casulli and Cheng, 1992): (53) dimana
adalah viskositas Eddy dan
adalah tekanan angin. Kondisi batas ini
memerlukan solusi dari viskositas vertikal/difusi, (54) Lapisan tercampur yang dipengaruhi oleh angin yang termasuk permukaan bebas, dengan kedalaman (h) dihitung dalam bentuk diskret sebagai : (55) dimana ka dan kb adalah grid sel atas dan bawah yang mengindikasikan dari diskret lapisan tercampur karena pengaruh angin dalam kolom air (i,j) yang memiliki grid sel permukaan bebas
.
Pada ordo pertama dapat dilakukan pendekatan pendahuluan dari momentum angin sebagai distribusi yang seragam yang melalui lapisan tercampur (Imberger dan Peterson, 1990): (56) dimana
adalah ketinggian permukaan bebas dalam kolom air (i,j).
Perubahan bahang permukaan air dibangun dengan model standar bulk transfer (Hodges and Dallimore, 2010). Transfer energi yang melalui permukaan
45
bebas dipisahkan dalam komponen non penetratif dari radiasi gelombang panjang, transfer bahang sensible, dan kehilangan bahang melalui evaporasi. Pengaruh non penetratif dimasukkan sebagai sumber temperatur di lapisan permukaan dan lapisan tercampur, sehingga efek penetratif dimasukkan sebagai satu sumber dalam satu atau lebih lapisan grid pada basis penurunan eksponensial dan koefisien ekstingsi. Perubahan atau pertukaran pada bagian permukaan mencakup perpindahan panas yang disebabkan penetrasi gelombang pendek pada perairan dan fluks pada permukaan akibat penguapan, bahang sensibel (yaitu konveksi panas dari permukaan perairan menuju atmosfer) dan radiasi gelombang panjang. Radiasi gelombang pendek (280nm – 2800nm) pada umumnya diukur secara langsung. Radiasi gelombang panjang (>2800nm) diemisikan dari awan dan uap air, dapat diukur secara langsung atau dapat dihitung dari penutupan awan, suhu udara, dan kelembaban. Koefisien refleksi, atau albedo, dari radiasi gelombang pendek bervariasi diantara setiap perairan dan tergantung dari sudut matahari yang dibentuk dan kondisi gelombang permukaan saat pengukuran. Radiasi gelombang pendek dapat dibagi menjadi 4 komponen. ELCOM mengasumsikan nilai persen dari beberapa komponen Photosynthetically Active Radiation (PAR) 45% Near Infrared (NIR) 41% Ultra Violet A (UVA) 3.5% Ultra Violet B (UVB) 0.5% Jarak dari penetrasi radiasi ke dalam kolom perairan tergantung dari komponen peluruhan untuk setiap lebar band. ELCOM mengijinkan pengguna untuk mengatur koefisien ekstingsi untuk setiap band dalam run_elcom.dat file tetapi nilai pada umumnya adalah PAR 0.25/m NIR 1/m UVA 1/m UVB2.5/m Bila kualitas air disimulasikan melalui CAEDYM maka koefisien extinction PAR dihitung melalui CAEDYM. Kedalaman penetrasi dari radiasi gelombang pendek tergantung pada radiasi gelombang pendek bersih yakni penetrasi yang
46
sampai ke permukaan air dan koefisien ekstingsi. Persamaan yang diberikan untuk penetrasi radiasi matahari bersih dapat ditulis menjadi: (57) dimana air,
adalah radiasi gelombang pendek yang mencapai permukaan adalah penetrasi radiasi gelombang pendek bersih pada permukaan air
dan (sw) dan
adalah gelombang pendek albedo dipermukaan air yang
diberikan dengan persamaan:.
(58)
= 0.08,
= 0.02, D < standar banyaknya hari dalam satu tahun (365)
dan d adalah hari ke- dalam tahun. Penetrasi gelombang pendek pada kedalaman menurut hukum Beer-Lambert adalah : (59) dimana z adalah kedalaman dibawah permukaan air dan
adalah koefisien
atenuasi. Sehingga energi gelombang pendek per unit area yang memasuki lapisan k adalah : (60) atau (61) Untuk tujuan bahang diasumsikan bahwa semua Q dikonversi menjadi bahang. Jika terdapat energi gelombang pendek yang berlebihan pada dasar kolom perairan, ELCOM merefleksikan sebagian dari energy kembali ke dalam domain (mencapai 90%). Energi ini dibolehkan untuk mengalami propagasi kembali melalui kolom perairan, menurut Hukum Beer-Lambert. Radiasi gelombang panjang dihitung melalui salah satu dari tiga metode, tergantung dari asupan data. Tiga pengukuran yang dimungkinkan adalah: kejadian radiasi gelombang panjang, radiasi gelombang panjang bersih, dan penutupan awan.
47
Menghitung kejadian radiasi gelombang panjang, berarti memperhitungkan albedo dan radiasi gelombang panjang yang diemisikan dari lapisan permukaan perairan. Penetrasi Radiasi gelombang panjang pada lapisan permukaan berlaku: (62) dimana
adalah albedo untuk radiasi gelombang panjang, yang dianggap
konstan = 0.03 (Hendeson-Sellers, 1986 dalam Hodges and Dallimore, 2010). Radiasi gelombang panjang diemisikan dari lapisan permukaan perairan yang dideskripsikan Tennessee Valley Authority (1972) dalam Hodges and Dallimore (2010) adalah: (63) dimana
adalah emisivitas dari lapisan permukaan perairan (=0.96),
adalah
) dan Tw adalah
konstanta Stefan-Boltzmann (
temperatur mutlak dari lapisan permukaan perairan (yaitu temperatur dari lapisan permukaan). Densitas Energi dari radiasi gelombang panjang bersih yang dikumpulkan pada lapisan permukaan pada periode Δt sehingga menjadi (64) Dengan menggunakan radiasi gelombang panjang bersih, berarti memperhitungkan albedo pada lapisan permukaan perairan. Densitas energi Radiasi gelombang panjang yang dikumpulkan pada lapisan permukaan pada periode waktu Δt menjadi (65) Radiasi Gelombang panjang dapat juga diestimasi dari kondisi atmosfer, menggunakan fraksi penutupan awan
. Densitas energi kejadian
radiasi gelombang panjang pada permukaan perairan dapat diestimasikan menjadi (66) dimana: (67) Subskrib a mengacu pada sifat dari udara (68)
48
dimana
. Sebelumnya gelombang panjang emisi adalah (69)
Radiasi gelombang panjang bersih menjadi (70) Kehilangan bahang sensibel dari permukaan perairan dalam waktu periode dapat dituliskan sebagai: (71) dimana Cs adalah koefisien transfer kalor sensible dengan kecepatan angin diukur 10 meter, ketinggian referensi yang diukur dari permukaan air (= 1.3x10-3), ρa adalah densitas udara dalam kg/m3, Cp kalor spesifik dari udara pada tekanan yang tetap (=1003Jkg-1K-1), Ua adalah kecepatan angin yang diukur dengan menggunakan referensi ketinggian 10 m dalam m/s, dengan temperatur dalam Celsius ataupun Kelvin. Persamaan fluks bahang evaporatif (Fischer et al. (1979) dalam Hodges and Dallimore (2010) adalah: (72) dimana P adalah tekanan atmosfer dalam pascal, CL adalah koefisien kalor laten transfer (= 1.3 x 10-3) dengan pengukuran kecepatan angin dengan tinggi 10 m, ρa adalah densitas udara dalam kg/m3 , LE adalah kalor laten dari penguapan air (= 2.453 x 106J kg-1), Ua adalah kecepatan angin dalam m/s dengan ketinggian referensi 10 meter, ea tekanan uap air di udara, dan es adalah tekanan uap air jenuh pada suhu permukaan air Ts; kedua tekanan uap air diukur dalam pascal. Kondisi yang berlaku adalah
, sehingga tidak ada efek kondensasi yang
dimasukkan dalam perhitungan. Tekanan uap air jenuh es dihitung dengan menggunakan rumus MagnusTetens (Tennessee Valley Authority (1972) dalam Hodges and Dallimore (2010): (73) dimana Ts dalam derajat Celsius dan es dalam pascal. Sehingga, total densitas energi non-penetrative yang terkumpulkan pada lapisan permukaan selama periode
dapat ditulis sebagai berikut
49
(74) Perubahan massa pada sel lapisan permukaan (layer nomor ke N) terhadap flux kalor laten yang dihitung menjadi (75) dimana dx dan dy adalah ukuran grid dari sel lapisan permukaan dan Lv adalah kalor laten dari penguapan air. Bila diasumsikan temperatur air hujan sama dengan sel lapisan permukaan. Salinitas dan kualitas air diatur sama dengan nol. Perubahan massa lapisan permukaan (76) dimana r adalah kecepatan air turun dalam m/s Fluks massa permukaan didasarkan pada keseimbangan antara evaporasi dan hujan, ynag akan merubah massa dari sel lapisan permukaan. Pendekatan lapisan tercampur tiga dimensi pada percampuran neraca energi, transpor Turbulence Kinetic Energy (TKE) digunakan untuk menyediakan efek pergerakan dinamis 3 dimensi yang hasil percampuran merupakan keseimbangan dari : 1) TKE yang tersedia selama percampuran: TKEA 2) TKE yang dibutuhkan selama percampuran: Ereq 3) TKE yang keluar:
, dan
4) Residu energi percampuran: EM Hal ini sangat berguna untuk mencirikan dua tipe kejadian percampuran pada fluida terstratifikasi yaitu percampuran konvektif dari gradien densitas yang tak stabil yang menurunkan energi potensial fluida dan melepaskan TKE dan percampuran dari gradien densitas yang stabil yang menghilangkan TKE dan meningkatkan energi potensial. Gambar 11 menjelaskan bahwa pendekatan yang sekarang dilakukan adalah dengan mempertimbangkan sesuatu yang lebih sederhana dari kebanyakan model 1-D yang dalam persamaan deferensial menggabungkan ketebalan lapisan, laju pengiringarusan, dan transfer bahang melalui permukaan tidak digunakan. Dasar praduga pendekatan model ini adalah bahwa resolusi grid vertikal untuk 3D adalah terlalu kasar untuk mencukupi penghitungan solusi persamaan diferensial
50
untuk evolusi lapisan tercampur dan transfer bahang dengan gradien kondisi batas. Memang keperluan memodelkan dengan resolusi grid vertikal yang kasar adalah untuk menunda daya dorong persamaan diferensial difusi Eddy vertikal yang umumnya digunakan dalam percampuran.
Gambar 11 Perkembangan dari lapisan tercampur karena pendinginan permukaan dan stratifikasi tak stabil (a) stratifikasi stabil pada langkah waktu dimulai, (b) pendinginan permukaan menciptakan profil densitas tak stabil, (c) grid sel tak stabil yang telah tercampur (Hodges and Dallimore, 2010). Termodinamika permukaan ELCOM masuk kedalam sistem sebagai perubahan diskret terhadap perubahan struktur temperatur pada grid sel teratas dibandingkan sebagai kondisi batas pada transpor atau percampuran. Pada permulaan langkah waktu fluks bahang non penetratif (radiasi gelombang panjang, transfer bahang konvektif) ditambahkan pada grid sel paling atas sementara radiasi matahari ditambahkan ke kolom air menggunakan peluruhan eksponensial terhadap kedalaman. Transfer bahang merubah stratifikasi densitas juga menyediakan TKEA (gradien densitas takstabil yang dihasilkan oleh pendinginan bersih) atau meningkatnya Ereq (stratifikasi stabil yang dihasilkan oleh pemanasan bersih). Sekali medan densitas baru dihitung, proses percampuran dimodelkan berbasis pada lapisan demi lapisan tiap kolom air (i, j) dengan
51
membandingkan ketersediaan energi percampuran (TKEA) dari pembalikan konvektif, produksi geser, pengadukan angin dan energi yang disimpan (EM) terhadap peningkatan energi potensial yang diperlukan (Ereq) untuk mencampur grid sel diatas menjadi lapisan tercampur diatasnya. Percampuran dalam model dihitung dengan tahapan :
Menghitung input energi angin (77) dimana
adalah kecepatan gesekan angin dan Cn adalah koefisien
percampuran = 1,33
Jika kondisi batas digunakan, dihitung input energi dasar akibat pergeseran Edrag (78) dimana Cb adalah koefisien percampuran = 2,2
Dalam tiap kolom siklus dari sel permukaan ke sel dasar pada lapisan permukaan tercampur sampai Menghitung pembangkitan TKE karena shear, Eshear; (79) dimana Cs adalah koefisien percampuran = 0,15; S adalah gesekan=1 merujuk pada sel yang secara langsung dibawah lapisan tercampur, Menghitung energi yang diperlukan untuk percampuran Ereq (80) dimana g adalah koefisien gravitasi tereduksi; ml merujuk pada nilai di lapisan tercampur
Menghitung total energi yang tersedia jika dua sel total tercampur TKEmixed (81) dimana Cc adalah koefisien percampuran = 0,2
Menghitung waktu perkiraan selama percampuran TTKE (82) dimana Crr adalah koefisien = 50,0
52
Jika perhitungan waktu perkiraan tidak stabil didasarkan pada pembalikan kovektif Tconv (83)
Menghitung fraksi percampuran
f
(84)
Jika ada cukup energi dimana : Jika TKEmixed
akan terjadi percampuran
Jika TKEmixed
tidak terjadi percampuran
Jika
=1 semua skalar dan kecepatan dalam lapisan tercampur adalah
sama (tercampur total) .
(85)
Untuk tercampur sebagian (86)
dimana Cml adalah konsentrasi skalar dari lapisan tercampur; Cl adalah sel yang dicampur; tanda mengindikasikan nilai setelah percampuran; Ck adalah konsentrasi dari lapisan k dalam kolom k1 merujuk pada lapisan yang dicampur; dan kml-top adalah lapisan diatas lapisan tercampur.
Akhir siklus dari sel permukaan ke sel dasar, kelebihan energi percampuran yang keluar. (87)
dimana
adalah koefisien pengeluaran = 1,15; beberapa TKE tersisa setelah
keluaran transpor sebelum tersedia selama tahap percampuran berikutnya. Untuk mencampur sel dibawah lapisan tercampur (dari ketebalan kedalam lapisan tercampur (dari ketebalan
)
) fraksi percampuran
didefinisikan sebagai fraksi dari sel dibawahnya yang akan dicampur kedalam lapisan tercampur. kombinasi Potential Energy dari lapisan tercampur
53
(disimbolkan sebagai ml) dan sel akan dicampur setelah percampuran dengan persamaan: (88) dimana superskrip * mengindikasikan nlai setelah percampuran, jika dicatat bahwa: (89) dan (90) (91) kemudian,
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
54
3.6.2 Desain Simulasi Model Hidrodinamika Dengan menerapkan Radius Deformasi Rossby, maka dimensi lateral Teluk Lampung (50.000 m) jauh lebih kecil dari Radius Deformasi Rossby ( =54532768,4), sehingga efek Coriolis (f) dapat diabaikan. Untuk memenuhi kriteria stabilitas Courant-Friedichs-Lewy (CFL) dalam persamaaan momentum dengan berdasarkan pada kedalaman maksimum dan lebar sel maka didapatkan langkah waktu dengan persamaan sebagai berikut : ; t ≤15.65377 detik
(99)
dimana: : adalah lebar sel = x= y=500 meter : adalah kedalaman maksimum perairan daerah model (52 m) g
: adalah percepatan gravitasi bumi = 9.81 m/s2 Maka langkah waktu yang memenuhi syarat kestabilan CFL adalah 15, 65
detik, tetapi langkah waktu ( t) yang digunakan dalam simulasi adalah 15 detik. Daerah model dibagi dalam 85 x 109 sel dalam bentuk matrik dengan lebar sel (grid) x = y = 500 meter. Perubahan kedalaman diatur pada nilai konstan z = 2 meter, sehinggga jumlah grid vertikalnya akan bervariasi tergantung kedalaman perairan. Syarat batas tertutup merupakan daerah yang tidak memungkinkan massa air melewatinya, atau kecepatan dengan arah tegak lurus pantai adalah sama dengan nol. Syarat batas tertutup dapat dikatakan juga sebagai daerah yang mememiliki ketinggian lebih dari nol atau merupakan daerah daratan, sehingga berlaku persamaan : (100) Daerah model yang berbatasan dengan laut terbuka merupakan syarat batas terbuka, dimana pada simulasi ini syarat batas terbuka ditarik sebagai garis lurus antara daerah Tanjung Tikus disebelah barat hingga daerah Canti di sebelah timur.
55
3.7 Model Ekosistem 3.7.1 Persamaan Pembangun Model Ekosistem Model ekosistem CAEDYM telah digambarkan sebelumnya untuk model estuari (Robson and Hamilton, 2004 dalam Hipsey et al., 2009) dan untuk perairan pantai (Spillman et al., 2006 dalam Hipsey et al., 2009). Dalam model ini disimulasikan 2 kelompok fitoplankton dan satu kelompok zooplankton. Variabel yang disimulasikan meliputi karbon internal (IC), nitogen internal (IN), dan fosfor internal (IP) juga termasuk nutrien anorganik terlarut (PO4, NO3, NH4), materi organik terlarut (DOC, PON, POP), dan oksigen terlarut (DO). Proses yang menggambarkan interaksi dan perubahan antar variabel yang disimulasikan dalam CAEDYM disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Interaksi yang mewakili model dalam CAEDYM (diadaptasi dan digambar ulang dari Hipsey et al., 2009).
56
3.7.2 Variabel yang Disimulasikan Keseluruhan variabel yang ditransportasikan oleh penggerak hidrodinamik di sajikan pada Tabel 7. dan deskripsi dari setiap parameter yang digunakan dalam pemodelan disajikan pada Lampiran 1, 2 dan 3. Parameter dasar sebagai kunci dari variabel dalam persamaan yang akan disimulasikan didefinisikan dalam persamaan 101 - 111, dimana j menyatakan pengidentikasi dari variabel dasarnya (Hipsey et al., 2009). Tabel 7
Variabel A AIN AIP a NA Z ZIN ZIP z NZ DOC POC DIC CO2 pCO2 pH TA TN PON DON NH4 NO3 TP POP DOP FRP DO I T ∆t ∆z ∆zbot ∆zsurf
Daftar dan deskripsi variabel yang disimulasikan dalam model CAEDYM Deskripsi
Unit satuan
Konsentrasi biomasa fitoplankton Konsentrasi internal nitrogen pada fitoplankton Konsentrasi internal fosfor pada fitoplankton Indek kelompok fitoplankton Jumlah kelompok fitoplankton yang disimulasikan Konsentrasi biomassa zooplankton Konsentrasi internal nitrogen pada zooplankton Konsentrasi internal fosfor pada zooplankton Indek kelompok zooplankton Jumlah kelompok zooplankton yang disimulasikan Konsentrasi karbon organik terlarut Konsentrasi karbon organik partikulat Konsentrasi karbon anorganik terlarut Konsentrasi karbon dioksida Tekanan parsial karbon dioksida Derajat keasaman, didasarkan pada konsentrasi ion H + Total alkalinitas Konsentrasi total nitrogen Konsentrasi nitrogen organik partikulat Konsentrasi nitrogen organik terlarut Konsentrasi amonium Konsentrasi nitrat Total konsentrasi fosfor Konsentrasi forfor organik partikulat Konsentrasi fosfor organik terlarut Fosfor reaktif terfilter Konsentrasi oksigen terlarut Intensitas cahaya Temperatur Langkah waktu Ketebalan lapisan sel Ketebalan lapisan sel diatas sedimen Ketebalan lapisan sel pada antar muka kolom air dan atmosfer
mg Chla L-1 mg N L-1 mg P L-1 mg C L-1 mg N L-1 mg P L-1 mg C L-1 mg C L-1 mg C L-1 mg C L-1 atm mg CaCO3 L-1 mg N L-1 mg N L-1 mg N L-1 mg N L-1 mg N L-1 mg P L-1 mg P L-1 mg P L-1 mg P L-1 mg O L-1 uE m-2 o C hari m m m
57
a) Fungsi yang mempunyai ketergantungan pada oksigen (101) (102) b) Fungsi yang mempunyai kergantungan pada temperatur (103) (104) c) Fluks sedimen terlarut (105) d) Pertukaran gas atmosfer (106) e) Penenggelaman (settling) (107) f) Mortalitas dan ekskresi biologis (108) g) Uptake biologis (109) h) Respirasi biologis (110) i) Grazing (111) 3.7.2.1 Cahaya Untuk produktivitas primer intensitas gelombang pendek pada permukaan di konversi menjadi komponen PAR (400 – 700 nm). PAR diasumsikan masuk kedalam kolom air mengikuti hukum Lambert-Beer persamaan (Hipsey et al., 2009): (112)
58
dimana
adalah PAR pada kedalaman z di bawah permukaan,
intensitas kejadian gelombang pendek dan
adalah
adalah koefisien ekstingsi PAR,
yang bervariasi secara spasial dan temporal yang mana dalam model akan mengikuti konsentrasi fitoplankton, partikel detritus dan anorganik, dan DOC (Hipsey et al., 2009) : (113) dimana
adalah atenuasi pada air murni (konstan), dan
adalah laju
peningkatan koefisien ekstingsi dengan pertambahan konsentrasi dari variabel yang berhubungan. 3.7.2.2 Oksigen Terlarut Dinamika DO dalam CAEDYM termasuk pertukaran dari atmosfer sedimen dan kolom air; konsumsi dari dekomposisi dan nitrifikasi bahan organik; produksi oksigen dari fotosintesis; dan konsumsi oksigen untuk respirasi zooplankton. Pertukaran atmosferik didasarkan pada model Wanninkhof (1992) dan persamaan fluks dari Rilley and Skirrow (1974) dalam Hipsey et al (2009).
(114) Keterangan 1: perubahan oksigen terlarut karena pertukaran atmosfer 2: perubahan oksigen terlarut dari fitoplankton fotosintesis dan respirasi dari fitoplankton dan zooplankton 3: perubahan oksigen terlarut selama proses nitrifikasi 4: perubahan oksigen karena kebutuhan reduksi dan oksidasi di sedimen 3.7.2.2 Siklus Karbon, Nitrogen dan Fosfor Kedua bentuk organik dan organik dari karbon, nitrogen dan fosfor baik yang terlarut maupun partikulat dimodelkan secara eksplisit mengikuti jalur perubahan POM-DOM-DIM. Siklus nitrogen termasuk proses tambahan dari denitrifikasi, nitrifikasi dan fiksasi N2 yang tidak ada dalam siklus karbon.
59
Keseimbangan DIC juga termasuk fluks CO2 dari atmosfer yang didasarkan pada perbedaan antara nilai pCO2 antara atmosfer dan kolom air. Perpindahannya dihitung mengikuti Wanninkhof (1992) dalam Hipsey et al (2009) dengan produk keterlarutan CO2 dari (Weiss, 1974 dalam Hipsey et al., 2009). Nilai fase gas dan cair CO2 dihubungkan dari hukum Henry untuk sirkulasi dari pCO2. Untuk menduga fraksi CO2 dari kolom DIC dan sistem penyangga karbonat, pH dan alkalinitas dimodelkan menurut Buttler (1982) dalam Hipsey et al (2009). Persamaan-persamaan pembangun dalam siklus karbon, nitrogen dan fosfor yang dimodelkan dalam CAEDYM adalah sebagai berikut (Hipsey et al., 2009): 1) Persamaan karbon -
Karbon dalam bentuk organik Perubahan oleh zooplankton
(115) Perubahan oleh fitoplankton
(116) Perubahan bentuk partikulat
(117) Perubahan bentuk terlarut
(118)
60 -
Karbon dalam bentuk anorganik Perubahan DIC (119) Total Alkalinitas (120) Konsentrasi CO2 (121) Tekanan Parsial CO2 (122) Derajat Keasaman (123)
2) Persamaan Nitrogen Nitrogen internal pada zooplankton (124) Nitrogen internal pada fitoplankton
(125) Perubahan nitrogen organik partikulat
(126) Perubahan nitrogen organik terlarut
(127)
61
Perubahan amonium
(128)
Perubahan nitrat
(129) Total nitrogen (130) 3) Persamaan fosfor Fosfor internal pada zooplankton (131) Fosfor internal pada fitoplankton (132)
Perubahan Fosfor organik partikulat
(133) Perubahan fosfor organik terlarut
(134) Perubahan fraksi fosfor reaktif (135) Total fosfor (136)
62
3.7.2.3 Dinamika Fitoplankton Nilai utama untuk biomassa fitoplankton, A, dikonfigurasi dalam satuan mgChlaL-1. Untuk tiap kelompok fitoplankton laju pertumbuhan potensial maksimum terjadi pada temperatur 25oC yang digandakan oleh nilai minimum dari pembatasan oleh cahaya, fosfor, dan nitrogen, sementara ada beberapa kemungkinan interaksi antara faktor pembatas (Rhee and Gotham, 1981 dalam Hipsey et al., 2009). Pembatasan cahaya pada pertumbuhan fitoplankton dikonfigurasi melalui pendefinisian karakter fitoplankton sebagai spesies fotoinhibitor atau nonfotoinhibitor. Pada jenis fotoinhibitor model yang dilakukan oleh Webb et al. (1974) dalam Hipsey et al (2009) digunakan untuk mengkuantifikasi fraksi pembatas dari laju potensial maksimum fiksasi karbon. Penghambatan pertumbuhan fitoplankton pada temperatur yang lebih tinggi fungsi temperatur fT1 digunakan dimana produktivitas maksimum terjadi pada temperatur TOPT dan jika temperatur meningkat maka produktivitas menurun pada temperatur maksimum yang diperbolehkan (TMAX). Temperatur di bawah temperatur standar (TSTD) maka pertumbuhan akan mengikuti hubungan eksponensial normal atau fungsi temperatur yang digunakan adalah fT2. Fosfor internal dan nitrogen dinamik dalam kelompok fitoplankton dimodelkan dengan model penyimpanan intra seluler dinamis yang dapat mengatur pertumbuhan melalui f(N) dan f(P). Fitoplankton akan memiliki konsentrasi variabel nutrien internal dengan pengambilan nutrien yang dinamis yang dibatasi oleh nilai maksimum dan minimum. Pengertian kehilangan melalui respirasi, mortalitas alami dan ekskresi dikelompokkan dalam istilah koefisien laju respirasi. Konstanta fres adalah fraksi respirasi murni yang hilang dan tidak termasuk mortalitas dan ekskresi. Kehilangan metabolisme nutrien dari mortalitas dan ekskresi adalah proporsional terhadap rasio penggandaan nutrien internal oleh koefisien laju kehilangannya. Model migrasi dan penenggelaman fitoplankton yang disimulasikan termasuk konstanta penenggelaman, hukum penenggelaman Stoke dan migrasi tanpa fotoinhibitor. Migrasi vertikal tanpa fotoinhibitor mengacu pada model
63
Kromkamp and Walsby (1990) dalam Hipsey et al (2009) yang diwakili oleh migrasi ke atas karena penyinaran dan migrasi ke bawah atau sedimentasi untuk mengisi penyimpanan nitrogen internal. Respon perpindahan nutrien diatur oleh penyimpanan nitrogen internal dalam sel dan asupan nitrogen eksternal ke dalam sel. Model yang mengacu pada hukum penenggelaman Stoke diasumsikan memilki respon yang beragam terhadap sintesis karbohidrat (fotosintesis) dan penggunaannya (respirasi), dan didasarkan pada perhitungan kepadatan secara dinamis. Hukum Stoke digunakan untuk menghitung kecepatan vertikal. Keseluruhan sub model dalam CAEDYM yang melibatkan fitoplankton di hitung berdasarkan persamaan-persamaan berikut ini (Hipsey et al., 2009). a) Fungsi uptake Uptake CO2 (137) Uptake FRP (138) Uptake NH4 (139) Uptake NO3 (140) Uptake N2 (141) dimana: (142) (143) (144) (145)
64
b) Respirasi (146) c) Ekskresi (147) (148) (149) (150) (151) (152) d) Sedimentasi dan migrasi vertikal
(153)
3.7.2.4 Zooplankton Model CAEDYM mengasumsikan bahwa zooplankton memiliki rasio C:N:P yang tetap dan tergantung pada rasio C:N:P dari berbagai sumber nutrien. Pertumbuhan zooplankton adalah fungsi dari temperatur dan laju memakan yang diuraikan dalam persamaan Michelis –Menten. Keseluruhan perhitungan sub model zooplankton yang dimodelkan dalam CAEDYM di uraikan dalam persamaan-persamaan berikut ini (Hipsey et al., 2009). a) Fungsi grazing -
Grazing karbon (154)
-
Grazing fosfor
(155)
65 -
Grazing nitrogen
(156) dimana: (157) (158) b) Respirasi (159) c) Mortalitas, engesti dan ekskresi (160) (161) (162)
(163) dimana: (164) (165)
(166) (167) 3.7.3 Desain Simulasi Model Ekosistem Komunitas fitoplankton yang disimulasikan menggunakan dua kelompok yaitu kelompok dinoflagelata dan kelompok diatom untuk menghitung secara kolektif fitoplankton yang lain. Total biomassa zooplankton yang disimulasikan
66
menggunakan satu kelompok yang diwakili oleh copepoda. Pemilihan kelompok yang mewakili fitoplankton maupun zooplankton berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Damar (2002) yang menyatakan bahwa kelompok fitoplankton yang mendominasi di perairan Teluk Lampung adalah diatom dan dinoflagela, sedangkan kelompok zooplankton didominasi oleh copepoda dan protozoa. Fitoplankton dan zooplankton ditiadakan pada data inflow dan diatur pada nilai nol. Parameter yang akan digunakan untuk simulasi CAEDYM diperoleh dari berbagai literatur seperti yang disajikan pada Lampiran 1, 2, dan 3. Nilai konsentrasi nutrien pada data asupan digunakan nilai terendah dari data hasil observasi, nilai nutrien pada daerah batas terbuka mengacu pada penelitian LIPI di perairan Selat Sunda. Nilai nutrien internal sebagai asupan model diatur pada nilai konstan. Bakteri tidak dimodelkan secara eksplisit karena perannya dimasukkan dalam jalur mineralisasi bahan organik partikulat (POC, POP dan PON). Jadi ketersediaan bahan organik partikulat untuk pemangsaan zooplankton dianggap juga sebagai peran bakteri. Silika sebagai faktor pembatas tidak dimasukkan dalam model karena ketersediaan data. Nilai salinitas dan temperatur diperoleh dari model ELCOM yang juga merupakan penggerak dari model CAEDYM ini. Model CAEDYM dibangun dengan menggunakan langkah waktu 30 menit dan luaran model diatur dalam nilai harian. 3.8 Simulasi Model Data yang digunakan untuk input model sebagai data kondisi awal adalah data meteorologi dan data masukan aliran sungai. Data meteorologi termasuk di dalamnya adalah temperatur udara, arah dan kecepatan angin, radiasi matahari, tekanan atmosfer, penutupan awan, dan presipitasi. Data masukan aliran sungai meliputi meliputi volume harian, temperatur, salinitas, dan konsentrasi nutrien. Tahapan penggunaan model simulasi ELCOM-CAEDYM disajikan dalam Gambar 13.
67
Gambar 13
Skema tahapan penggunaan model simulasi ELCOM-CAEDYM (diadaptasi dan digambar ulang dari Hipsey et al., 2009).
3.9 Analisa Kecocokan dan Sensitivitas Model Untuk dapat menyatakan hasil simulasi berhasil baik atau dapat diterima dilakukan dengan membandingkan data lapangan dan data hasil simulasi dengan melakukan uji kecocokan dengan pendekatan normalisasi kesalahan mutlak dirata-ratakan (NMAE) (Alewell and Manderscheid, 1988; Bruce et al., 2006) terhadap nilai rata rata bulanan pada lapisan permukaan dengan persamaan : (168)
68
dimana, st = nilai simulasi pada waktu ke-t; ot = nilai pengamatan pada waktu ket; ō = nilai rata rata pengamatan selama periode simulasi; dan n = jumlah nilai hasil pengamatan. Metode NMAE mengukur simpangan absolut nilai simulasi dari nilai pengamatan, dinormalisasi terhadap rata-rata. Oleh karena kecocokan model tergantung dari sebaran data pengamatan, maka dihitung dari setiap variabel data lapangan. Kecocokan model dipertimbangkan dapat diterima ketika NMAE dari simulasi bernilai sama atau mendekati salah satu standar deviasi dari rata rata nilai data pengamatan. Analisis sensitivitas dilakukan pada parameter dalam model CAEDYM yang diasumsikan memiliki peran penting dalam perubahan variabel. Terdapat banyak metode untuk melakukan analisis sensitivitas yaitu mengkomputasi ulang dengan perubahan parameter dari nilai minimum kemudian dari nilai maksimum yang diperoleh dari referensi. Sumber referensi tidak selamanya memiliki nilai minimum atau maksimum, oleh karena iru bisa dilakukan dengan menambah atau mengurangi dengan setengah nilai parameter awal (Fasham et al., 1990). Analisis sensitivitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menambahkan nilai masingmasing 10% dari nilai standar. Nilai 10% didasarkan pada perbandingan rata-rata selisih antara hasil observasi dan hasil model selurh variable, sehingga diasumsikan dengan penambahan nilai 10% dari parameter standar diharapkan akan memberikan hasil model mendekati hasil observasi. Koefisien sensitivitas (Sij) untuk menduga sensitivitas relatif dari variabel ke-i terhadap parameter ke-j dihitung dengan persamaan (Fasham et al., 1990; Chen et al., 1999; Bruce et al., 2006): (169) dimana
adalah koefisien sensitivitas,
terhadap nilai standar,
adalah perubahan variabel ke-i
adalah nilai standar variabel ke-i,
parameter ke-j terhadap parameter standar, dan ke-j.
adalah perubahan
adalah nilai standar parameter
69
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Model Hidrodinamik Perairan Teluk Lampung 4.1.1 Pola Sebaran Arus Hasil simulasi model hidrodinamika untuk pola sebaran arus horizontal disajikan pada Lampiran 4 – 9, sedangkan pola sebaran arus vertikal disajikan pada Lampiran 10 dan Lampiran 11. Hasil simulasi pola sirkulasi arus di Teluk Lampung pada saat pasang purnama menunjukkan bahwa pada kondisi pasang tertinggi arus dominan bergerak dari arah selatan menuju utara atau arus bergerak masuk dari mulut teluk menuju ke kepala teluk. Sebaliknya pada saat kondisi surut terendah arus cenderung bergerak dari utara ke selatan atau keluar dari teluk. Pola arus vertikal lebih didominasi oleh arus longitudinal (komponen arus v) dan arus meridional (Komponen arus u) dari pada pergerakan arus vertikalnya sendiri (komponen arus w), sehingga resultan vektor arusnya (komponen arus u-w dan komponen arus v-w) lebih dominan bergerak ke arah barat-timur atau utaraselatan daripada ke arah dasar-permukaan kolom air. Magnitudo arus maksimum terjadi pada bulan Januari sedangkan magnitudo arus minimum terjadi pada bulan Mei. Secara umum arus memasuki wilayah teluk di bagian barat teluk di sekitar daerah Tanjung Tikus dan sebagian keluar lagi dari bagian timur di sekitar daerah Canti. Sebagian arus juga masuk dan keluar melalui bagian tengah mulut teluk, dan cenderung berputar berlawanan arah jarum jam ketika mendekati kepala teluk di sekitar Pulau Tegal. Pola arus ini menyebabkan sebagian besar material daratan yang terbawa aliran sungai yang berada di kepala teluk cenderung berputar-putar disekitar kepala teluk, sedangkan material dari daratan di sekitar Pelabuhan Panjang akan terbawa keluar teluk sepanjang sisi timur teluk. Hasil simulasi oleh Koropitan (2003) menunjukkan bahwa magnitudo arus pasut pada saat menuju surut mencapai ~0.1 m/s pada pasang purnama dan ~0.06 m/s pada saat pasang perbani, sedangkan hasil simulasi yang dilakukan oleh Mihardja dkk. (1995) menujukan pola arus yang sama dengan magnitudo maksimum mencapai 0.05 m/s untuk semua kondisi pasut. Perbedaan magnitudo dengan hasil simulasi yang dilakukan Mihardja dkk. (1995) diduga karena adanya
69
70
perbedaan luasan daerah model. Daerah model penelitian ini hampir mencapai mulut teluk, sedangkan model Mihardja dkk. (1995) memiliki daerah model hanya mencapai daerah tengah teluk. Perbedaan dengan hasil simulasi yang dilakukan Koropitan (2003) diduga karena adanya perbedaan metode yang digunakan. Metode numerik yang digunakan oleh Koropitan (2003) adalah metode leap-frog dengan perata-rataan kedalaman atau model 2-dimensi, sedangkan metode pada penelitian ini adalah model 3 dimensi dengan metode semi implisit dua langkah. Magnitudo arus menunjukkan adanya perbedaan antara arus pada saat pasang tertinggi dan pada saat terendah serta berbeda antara setiap bulannya. Perbedaan manitudo arus tersebut disajikan pada Tabel 8. Tabel 8
Kisaran magnitudo arus di perairan Lampung pada kondisi pasang purnama
Bulan
Kecepatan Maksimum (m/s) Januari 0.51 Februari 0.55 April 0.52 Mei 0.39 Juli 0.52 Agustus 0.53 Sumber : Hasil penelitian diolah
Kecepatan Minimum (m/s) 0.02 0.01 0.01 0.01 0.02 0.03
Arah yang Dominan (o) 32 - 354 42 - 270 47 - 262 50 - 235 81 - 270 88 - 272
4.1.2 Pola Sebaran Temperatur Pola sebaran temperatur horisontal hasil simulasi disajikan pada Lampiran 12, sedangkan pola sebaran vertikal melintang dan membujur disajikan pada Lampiran 13. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pola sebaran horisontal memiliki kisaran yang relatif homogen, dan terjadi adanya peningkatan temperatur mulai bulan Mei hingga Agustus, hal ini berkaitan dengan adanya peningkatan intesitas radiasi matahari, penurunan curah hujan dan tingkat penutupan awan. Pola ini juga berkaitan dengan perubahan musiman dari musim penghujan dan memasuki musim kemarau. Secara umum kisaran temperatur hasil simulasi lebih rendah dibandingkan dengan hasil observasi, hal ini diduga berkaitan dengan ketesediaan data secara spasial yang kurang untuk asupan data model yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan data lapangan sehingga model mengasumsikan nilai spasialnya pada nilai nol.
71
Pola sebaran vertikal menunjukan adanya pelapisan temperatur, walaupun Wiryawan et al. (1999) menyatakan bahwa kolom air di periran Teluk Lampung relatif homogen secara vertikal atau lapisan tercampurnya dapat ditentukan pada seluruh kedalaman. Pelapisan atau stratifikasi temperatur ini terjadi pada kisaran temperatur yang cukup kecil antara 0.1 - 0,2oC, sehingga kisaran temperatur antara lapisan permukaan dan lapisan dibawahnya tidak begitu signifikan. Temperatur dilapisan permukaan (kurang dari 10 m) memiliki kisaran yang lebih tinggi dibandingkan lapisan dibawahnya, hal ini diduga karena proses percampuran yang dipengaruhi aktivitas manusia (transportasi) ataupun percampuran karena pengaruh angin dan gelombang. Keseluruhan kisaran temperatur yang lebih tinggi terdapat pada bagian tepi dari teluk yang dekat daratan, hal ini disebabkan karena kedalam perairan yang relatif dangkal. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pola sebaran temperatur berkaitan erat dengan pengaruh musiman dimana pada musim penghujan kisaran temperatur akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan musim kemarau. Validasi data hasil model dengan data hasil observasi dilakukan pada waktu yang sama antara data pengambilan sampel dan data luaran model. Hasil validasi terlihat bahwa profil menegak suhu memiliki kesamaan dengan nilai hasil simulasi yang cenderung lebih rendah. Pola stratifikasi temperatur terhadap kedalaman dari berbagai stasiun disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Perbandingan profil vertikal temperatur hasil simulasi (garis putusputus) dan hasil observasi (garis kontinyu) di berbagai stasiun.
72
Model temperatur merupakan model yang dibangun dengan masukan data radiasi matahari, temperatur udara, tingkat keawanan dan kelembaban relatif maka fluktuasinya akan mengikuti pola data masukan. Secara umum data masukan yang digunakan memliki kisaran nilai yang lebih kecil dari data sebenarnya, hal inilah yang kemungkinan menyebabkan hasil simulasi memiliki kisaran nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan data observasi. Pola sebaran temperatur hasil model dan hasil observasi menunjukan pola yang mirip dengan nilai hasil observasi yang cenderung lebih besar dari data hasil simulasi. Hal ini berkaitan dengan nilai masukan model yang juga cenderung lebih rendah. Secara umum nilai temperatur rata rata bulanan cenderung menurun pada bulan ke 1 - 3 (Januari - April) dan mulai meningkat pada bulan ke 3 - 5 (Mei - Agustus) yang diduga berhubungan dengan pengaruh musiman. Perbandingan antara data observasi dan hasil simulasi rata-rata keseluruhan stasiun disajikan pada Gambar 15. 28.8
Temperatur
28.6 oC
28.4 28.2 28 27.8 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Bulan
Gambar 15 Perbandingan data rata-rata bulanan Temperatur (oC) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus). Korelasi antara hasil simulasi dan hasil observasi menunjukkan adanya kaitan yang cukup erat, hal ini dapat dilihat dari nilai korelasi tiap stasiun yang berkisar antara 0.8724 - 0.8944. Nilai ini mengindiksikan bahwa nilai hasil simulasi model cukup untuk mewakili kondisi sebenarnya, sehingga bisa disimpulkan bahwa model dapat digunakan sebagai penduga kondisi lapangan
73
yang sebenarnya. Hasil validasi dan analisis hubungan antara model dan observasi tiap stasiun selengkapnya disajikan pada Lampiran 14 dan persamaan garis korelasi disajikan pada Lampiran 15. 4.1.3 Pola Sebaran Salinitas Pola sebaran horisontal salinitas hasil simulasi (Lampiran 16) menunjukkan adanya perubahan atau gradien salinitas antara bagian dalam teluk dan bagian luar teluk. Gradien salinitas ini dipengaruhi oleh adanya asupan air tawar yang bermuara dari kedua sungai yang ada di kepala teluk. Kisaran salinitas secara temporal cenderung meningkat hal ini berkaitan dengan perubahan musim. Peningkatan tingkat radiasi matahari, temperatur udara, penurunan curah hujan dan penutupan awan akan meningkatkan tingkat evaporasi sehingga akat meningkatkan salinitas perairan. Kisaran nilai salinitas hasil simulasi dengan hasil observasi secara konsisten menunjukan nilai yang lebih rendah hal ini dikarenakan data asupan model memiliki kisaran yang relatif lebih rendah. Pola distribusi salinitas secara horisontal memiliki kemiripan pola antara data observasi dan data hasil simulasi model. Pola sebara vertikal salinitas hasil simulasi (Lampiran 17) memiliki nilai yang lebih rendah dilapisan permukaan hal ini berkaitan dengan kisaran temperatur yang juga lebih tinggi sehingga densitas massa airnya lebih rendah dibandingkan pada lapisan kedalaman. Perbedaan ini membentuk stratifikasi salinitas walaupun dalam kisaran yang sempit antara 0.01 - 0.05 psu. Pola sebaran vertikall hasil simulasi jika dibandingkan dengan data hasil observasi menunjukan pola yang mirip (Gambar 16), akan tetapi nilai hasil simulasi menunjukan kisaran yang lebih kecil daripada data lapangan. Perbedaan ini disebabkan nilai simulasi yang merupakan model termodinamika permukaan dibangun dengan masukan data meteorologis yang nilainya cenderung lebih rendah dibandingkan data sebenarnya. Perbandingan antara data hasil observasi dan data hasil simulasi (Gambar 17) menunjukan bahwa kisaran data hasil simulasi memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan data observasi yang disebabkan model mansimulasikan pola sebaran salinitas berdasarkan model sebaran termodinamika
74
permukaan yang sangat dipengaruhi oleh hasil simulasi temperatur. Perbandingan antara hasil simulasi dan hasil observasi disajikan pada Lampiran 18.
psu
Gambar 16 Perbandingan profil vertikal salinitas hasil simulasi (garis putusputus) dan hasil observasi (garis kontinyu) di berbagai stasiun. 32.2 32.15 32.1 32.05 32 31.95 31.9 31.85 31.8 31.75 31.7 31.65
Salinitas
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Bulan
Gambar 17 Perbandingan data rata-rata bulanan salinitas (psu) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus). Korelasi antara hasil simulasi dan hasil observasi menunjukan adanya kaitan yang cukup erat dengan nilai korelasi untuk tiap stasiun berkisar antara 0.8997 0.8458 (Lampiran 19). Nilai ini menunjukan bahwa model cukup relevan untuk menduga nilai lapangan yang sederhana, sedangkan kisaran nilai model yang relatif lebih kecil disebabkan karena nilai masukan model yang digunakan dalam
75
sub model termodinamika permukaan berupa data meteorologis memiliki kisaran yang lebih rendah dibandingkan data sebenarnya. Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah pola sebaran horisontal dan vertikal salinitas sangat dipengaruhi oleh pola sebaran temperatur perairan yang keduanya berkaitan dengan pengaruh musim. Tingkat radiasi matahari yang cenderung lebih tinggi pada musim kemarau akan mengakibatkan peningkatan temperatur air yang diikuti peningkatan salinitas karena terjadinya proses evaporasi. 4.1.4 Verifikasi Data meteorologi Kecepatan angin masukan model memiliki nilai maksimum pada bulan Januari sebesar 9.622 m/detik dengan arah menuju barat daya dan nilai minimum pada bulan Mei sebesar 0.713 dengan arah menuju Barat Daya. Data arah dan kecepatan angin diverifikasi dengan data yang bersumber dari BMG Lampung stasiun pengamatan Raden Inten II yang hasilnya disajikan dalam Tabel 9. Hasil data pengukuran dari BMG didapatkan bahwa nilai rata-rata bulanan memiliki kisaran lebih besar dibandingkan data masukan model. Tabel 9 Verifikasi data masukan model untuk kecepatan angin Tahun 2007 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Sumber :
Rata-rata kecepatan angin Data Masukan Model a) (m/s) Data Insitu b) (m/s) 2.491839 3.5433 2.166643 3.5433 2.150871 3.0288 2.099613 3.0288 1.767167 3.0288 2.4715 3.5433 2.215677 3.5533 2.290323 3.6433 a ) www.ecmwf.int. b ) BMG Bandar Lampung dalam Lampung dalam angka, 2008
ELCOM juga membutuhkan masukan data meteorologi yang lain yaitu curah hujan, suhu udara, tekanan atmosfer, curah hujan, tingkat penutupan awan dan kelembaban relatif. Perbandingan nilai data meteorologis masukan model dan data pengamatan dari BMKG disajikan pada Tabel 10. Nilai pengamatan menunjukan kisaran yang relatif lebih besar dibandingkan dengan data masukan model.
76
Tabel 10 Perbandingan nilai rata-rata bulanan data meteorologis masukan model dan data BMKG Tahun 2007 Curah Hujan (m) a
Tekanan Udara (mbar)
b
Suhu Maksimum (oC)
Suhu Minimum (oC)
Kelembaban Udara (%)
a
b
a
b
a
b
a
b
Januari
0.05
0.0744
1003.8
1011.8
28.3
32
22
23.4
90.4
97
Februari
0.006
0.0103
1001.7
1011.4
28.1
31.5
22.1
23.6
91.9
99
Maret
0.02
0.0302
1001.8
1010.3
28.3
31.9
22.0
23.5
91.6
98
April
0.02
0.0303
1001.6
1010.1
28.7
32.2
22.2
23.7
92.5
93
Mei
0
0.0115
1002.3
1010.9
29.3
32.4
23
23.9
92.1
99
Juni
0.01
0.0223
1002.4
1010.3
28.2
31.5
22
22.9
93.4
91
Juli
0.01
0.0182
1002.7
1010.9
28.4
31.9
21.8
22.2
91.5
98
0.03 0.039 1003.8 1011.7 28.8 33.6 23.1 23.3 a ) Masukan Model www.ecmwf.int. b ) BMKG Bandar Lampung dalam Lampung dalam angka, 2008
90.1
96
Agustus Sumber :
Arah angin masukan model pada bulan Januari angin bertiup dominan dari arah barat, bulan Februari – Mei dominan dari arah barat laut, sedangkan pada bulan Juli dan Agustus angin dominan dari arah tenggara. Pola angin dominan di Teluk lampung menurut Oldeman (1978) dalam Damai (2003) adalah dari Barat (Nopember- Januari), dari Utara (Maret-Mei), Timur (Juni – Agustus), dan Selatan (September – Oktober). Pariwono (1998) menyebutkan arah angin dominan pada Bulan Desember – Februari adalah dari Barat – Barat laut – Utara, pada Bulan Maret Mei dari Barat Laut, Bulan Juni – Agustus dari Tenggara dan Bulan September – Nopember dari Tenggara hingga ke Timur. 4.1.5 Validasi Pasang surut Analisis data pasang surut dilakukan dari hasil pengamatan selama 15 hari yang berlokasi di Pelabuhan Panjang dilakukan menggunakan metode analisis harmonik. Dari hasil analisis data pasang surut didapatkan komponen pasang surut yang disajikan dalam Tabel 11. Komponen pasang surut yang telah didapatkan digunakan untuk mengetahui tipe pasang surut yang terjadi dengan menghitung bilangan Formzahl. Dengan nilai bilangan Formzahl tersebut maka tipe pasang surut di perairan Teluk Lampung masuk dalam kisaran 0.25 < F < 1.5, maka dikategorikan memiliki tipe pasang surut Campuran dominan Ganda.
77
Tabel 11 Komponen Pasang Surut Parameter M2 Amplitudo 0.305 Fase 158.07 Frekuensi 1.9323 Sumber: Hasil penelitian diolah
S2 0.119 289.92 2.000
N2 0.065 32.23 1.8960
K1 0.214 261.23 1.0027
O1 0.093 209.63 0.9295
Verifikasi terhadap hasil luaran model dengan data lapangan disajikan pada Gambar 18. Untuk mengetahui tingkat keakuratan antara hasil simulasi dan data hasil pengamatan dilakukan validasi dengan metode Standard Error dan metode Root Means Square Error (RMSE). Hasil verifikasi elevasi pasut dapat dilihat bahwa pola elevasi dan amplitudo pasang surut hasil simulasi mempuyai kemiripan dengan pola elevasi hasil pengamatan. 1.8
Data Hasil Pengamatan
1.6
Data Hasil Simulasi
1.4 meter
1.2 1 0.8 0.6 0.4
1/16/07 0:00
1/15/07 0:00
1/14/07 0:00
1/13/07 0:00
1/12/07 0:00
1/11/07 0:00
1/10/07 0:00
Waktu
1/9/07 0:00
1/8/07 0:00
1/7/07 0:00
1/6/07 0:00
1/5/07 0:00
1/4/07 0:00
1/3/07 0:00
1/2/07 0:00
0
1/1/07 0:00
0.2
Gambar 18 Verifikasi pola elevasi pasang surut antara hasil simulasi dan hasil pengamatan. Amplitudo hasil simulasi memiliki nilai yang lebih besar dari hasil pengamatan, sedangkan fase gelombang pasut secara umum memiliki nilai yang berhimpitan antara data hasil pengamatan dan hasil simulasi. Tingkat keakuratan kedua data yang divalidasi diperoleh hasil nilai Standar Error (SE) 0.004030 dan nilai Root Mean Square Error (RMSE) 0.099. Nilai SE dan akar kuadrat tengah galat (RMSE) menyatakan bahwa semakin kecil nilai yang diperoleh maka semakin besar keakuratan atau kemiripan dari kedua data tersebut.
78
4.2 Model Ekosistem Teluk Lampung 4.2.1 Pola Sebaran Komponen Ekosistem 4.2.1.1 Oksigen Terlarut Pola sebaran horisontal oksigen terlarut memiliki kesamaan dengan pola sebaran horisontal hasil observasi lapangan (Lampiran 20). Secara spasial nilai konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah dibagian kepala teluk dibandingkan daerah tengah teluk atau daerah mulut teluk. Hal ini berkaitan dengan keberadaan asupan bahan organik yang tinggi sehingga konsentrasi oksigen terlarut digunakan dalam proses mineralisasi bahan-bahan organik. Secara temporal kisaran oksigen terlarut cenderung menurun, hal ini berkaitan dengan adanya peningkatan konsentrasi bahan organik yang masuk keperairan. Pola sebaran vertikal oksigen terlarut pada Lampiran 21 menunjukan adanya stratifikasi mulai pada kedalaman lebih dari 20 meter. Konsentrasi oksigen terlarut yang lebih tinggi dilapisan permukaan disebabkan adanya pegaruh percampuran antara atmosfer dan kolom air. Ketebalan lapisan konsentrasi oksigen terlarut sangat tergantung dari seberapa kuat pengaruh turbulensi yang dihasilkan oleh angin, pasang surut maupun pengaruh aktivitas manusia (transportasi) 4.2.1.2 Nitrogen Sebaran ammonium (Lampiran 24) di perairan Teluk Lampung hasil simulasi dan data pengamatan lapangan menunjukkan pola sebaran yang mirip, dimana konsentrasi tertinggi berada pada bagian kepala teluk dan terus menurun ke arah luar teluk. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran masukan sumber material dari daratan lebih dominan dibandingkan dengan sumber dari perairan terbuka. Wattayakorn (1988) menyatakan bahwa kandungan nutrien yang tinggi selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung pada kondisi sekelilingnya antara lain, sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Pola sebaran ammonium (NH4) baik hasil simulasi atau dari data pengamatan lapangan memperlihatkan kecenderungan sebaran konsentrasinya mengikuti pola arus di perairan Teluk Lampung. Sebaran konsentrasi NH4 yang tinggi di bagian kepala teluk, sumber utama NH4 di perairan diuga berasal dari
79
buangan limbah rumah tangga yang dialirkan melalui dua buah sungai yaitu sungai Way Kahuripan dan sungai Way Lunik yang bermuara di bagian kepala teluk. Limbah domestik ini berisi material organik yang tinggi yang akan menyebabkan kehilangan oksigen dan pembentukan amonium, khususnya selama musim kemarau pada saat pertukaran air sangat rendah. Konsentrasi NH4 yang tinggi juga terdapat di bagian barat sisi teluk yang berada pada teluk-teluk kecil yang cenderung tertutup. Hal ini disebabkan selain adanya input dari daratan melalui sungai, juga dipengaruhi oleh pergerakan pola arus di daerah tersebut yang membentuk pusaran, sehingga seolah-olah keberadaan material terlarut di daerah tersebut terjebak dan tidak terjadi pertukaran dengan perairan sekitarnya. Secara temporal pola sebaran konsentrasi NH4 juga menunjukkan kecenderungan yang sama antara hasil simulasi dan data lapangan, yaitu secara konsisten nilai konsentrasi data lapangan lebih besar dari nilai hasil simulasi. Konsentrasi NH4 menunjukkan adanya peningkatan dari bulan Januari sampai bulan Mei, menurun pada bulan Juli dan meningkat lagi pada bulan Agustus. Sebaran vertikal NH4 (Lampiran 25) secara spasial cenderung lebih tinggi pada bagian dasar perairan dibandingkan dengan permukaan, baik pada potongan membujur barat-timur maupun pada potongan melintang utara-selatan. Pada potongan barat-timur konsentrasi lebih tinggi berada pada bagian timur dibandingkan bagian barat, hal ini berkaitan dengan pola arus yang cenderung bergerak ke arah timur. Pada potongan utara-selatan konsentrasi NH4 cenderung lebih tinggi di bagian utara, hal ini berkaitan dengan sumber masukan nutrien yang lebih dominan di sisi utara teluk. Secara temporal konsentrasi NH4 pada bulan Januari lebih tinggi pada lapisan permukaan dan menurun pada bulan Februari. Selanjutnya terjadi peningkatan konsentrasi yang signifikan pada bagian permukaan dari bulan April hingga Agustus yang diduga berasal dari dasar perairan sebagai akibat dari proses percampuran yang terjadi. Pola sebaran horizontal NO3 (Lampiran 28) hasil simulasi secara spasial memiliki kemiripan dengan data hasil pengamatan yang secara umum menunjukkan konsentrasi yang lebih rendah di daerah mulut teluk dan konsentrasi lebih tinggi di daerah kepala teluk. Hal ini menunjukkan bahwa sumber utama
80
NO3 lebih dominan berasal dari daratan dibandingkan dari perairan terbuka. Konsentrasi NO3 terlarut hasil simulasi secara spasial maupun temporal secara konsisten memiliki kecenderungan nilai yang lebih rendah dari nilai pengamatan. Secara temporal konsentrasi NO3 memiliki nilai yang rendah pada bulan Januari dan terus meningkat pada bulan berikutnya. Distribusi vertikal NO3 (Lampiran 29) secara spasial dan temporal menunjukkan bahwa konsentrasi tertinggi terdapat pada lapisan permukaan hingga kedalaman <30 m, baik pada sebaran melintang utara-selatan dan pada sebaran membujur barat-timur. Konsentrasi NO3 pada sebaran membujur barat timur menunjukkan pada bagian barat konsentrasi lebih tinggi dari pada bagian timur, hal ini diduga berkaitan dengan sumber masukan material dari daratan yan lebih dominan dibagian barat yang mana terdapat sungai Way Kahuripan. Konsentrasi NO3 pada sebaran melintang utara-selatan cenderung lebih tinggi pada bagian selatan dibandingkan pada bagian utara walaupun pada bagian utara juga terdapat masukan dari daratan melalui sungai Way Lunik, hal ini diduga karena pengaruh pola arus yang cenderung bergerak ke arah selatan atau menuju ke luar teluk. Gambaran umumnya dapat disimpulkan bahwa pola sebaran spasial dan temporal konsentrasi NO3 dan NH4 sangat dipengaruhi oleh sumber masukan nutrien tersebut yang berasal dari sungai dan perairan Selat Sunda. Pada bagian kepala teluk sangat dipengaruhi oleh masukan dari daratan melalui sungai, sedangkan bagian tengah dan mulut teluk lebih banyak pengaruh dari perairan Selat Sunda. 4.2.1.3 Fosfat Fosfat di perairan juga memiliki peran yang penting sebagai nutrien yang berperan dalam penentuan tingkat kesuburan perairan. Pola sebaran horizontal fosfat (PO4) di perairan Teluk Lampung (Lampiran 32) secara spasial menunjukkan pola yang mirip antara hasil simulasi dan hasil pengamatan, yaitu cenderung lebih tinggi di bagian kepala teluk dibandingkan dengan bagian mulut teluk. Hal ini menunjukkan pengaruh masukan dari daratan lebih dominan jika dibandingan sumber dari perairan terbuka. Konsentrasi PO4 juga cenderung lebih
81
tinggi di bagian timur teluk hal ini berkaitan dengan pola arus yang cenderung bergerak ke sisi timur teluk menuju ke mulut teluk. Selain sumber dari masukan sungai, nutrien di bagian kepala Teluk Lampung juga berasal dari berbagai sumber yang tersebar sepanjang pantai seperti pelabuhan, kawasan industri, lahan pertanian, lahan budidaya perikanan (keramba dan tambak udang). Pada bagian kepala teluk tingginya konsentrasi diduga berasal dari buangan limbah rumah tangga terutama sisa detergen yang tinggi kandungan fosfatnya. Kontribusi limbah dari kawasan industri yang berada dibagian timur kepala teluk juga berperan dalam menentukan pola distribusi fosfat. Pada bagian barat teluk konsentrasi fosfat diduga berasal dari aktivitas pelabuhan perikanan, limbah buangan dari tambak udang dan dari aktivitas pertanian. Sebaran konsentrasi fosfat yang tinggi di bagian kepala teluk akan menurun dengan cepat di bagian tengah teluk, hal ini diduga karena pengaruh pelarutan air laut juga pengambilan yang cepat untuk pertumbuhan fitoplankton. Pada bagian mulut teluk dimana pengaruh aktivitas manusia sudah berkurang konsentrasi fosfat cenderung dipengaruhi olah aliran massa air dari perairan Selat Sunda. Selama musim kemarau aliran massa air dari Laut Jawa yang kaya nutrien mengalir menuju Lautan Hindia, yang sebagian masuk ke Teluk Lampung. Sebaliknya pada musim hujan massa air yang rendah nutrien dari Lautan Hindia menuju ke Laut Jawa akan mempengaruhi perairan Teluk Lampung (Hendiarti et al, 2002). Pola sebaran vertikal PO4 (Lampiran 33), secara umum lebih tinggi di lapisan permukaan. Secara temporal konsentrasi dilapisan permukaan yang lebih tinggi terjadi pada bulan Januari dan meningkat dengan puncaknya pada bulan April. Konsentrasi PO4 pada lapisan permukaan menurun pada bulan berikutnya yang diikuti oleh peningkatan konsentrasi pada bagian dasar perairan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola sebaran fosfat pengaruh sumber masukan dari daratan sangat dominan di bagian kepala hingga bagian tengah teluk, sebaliknya pada bagian mulut teluk pola sebaran fosfat mendapat pengaruh dari aliran massa air dari Laut Jawa dan Lautan Hindia yang melalui perairan Selat Sunda.
82
4.2.1.4 Total Karbon Organik Pola sebaran horisontal total karbon organik disajikan pada Lampiran 36. Perbandingan hasil simulasi dan hasil observasi dapat dilihat bahwa terdapat kemiripan pola sebaran hasil simulasi dan pola sebaran hasil observasi. Secara spasial konsentrasi total karbon organik memiliki kisaran yang lebih tinggi pada bagian kepala teluk dan sepanjang garis pantainya. Hal ini disebabkan karena pengaruh aktivitas manusia yang cenderung lebih tinggi dibagian kepala teluk. Sumber karbon diperairan yang dominan berasal dari atmosfer, sehingga aktivitas manusia berupa pembakaran bahan bakar untuk kendaraan dan pabrik diduga berperan dalam peningkatan konsentrasi karbon di perairan. Pada bagian timur teluk terdapat pelabuhan bongkar muat batubara, sehingga diduga juga berperan sebagai sumber karbon di perairan. Secara temporal juga terjadi adanya peningkatan konsentrasi karbon mulai pada bulan Mei, hal ini diduga berkaitan dengan pengaruh musiman yang memasuki musim kemarau dengan intensitas hujan yang berkurang mengakibatkan konsentrasi karbon di atmosfer juga meningkat. Pada bulan sebelumnya (Januari - April) konsentrasi karbon lebih rendah karena curah hujan yang cukup tinggi akan mengurangi konsentrasi karbon di atmosfer. Pola sebaran vertikal total karbon organik (Lampiran 37) menunjukan bahwa secara spasial konsentrasi karbon yang lebih berada pada lapisan dalam dibandingkan dengan lapisan permukaan. Pada potongan membujur barat-timur konsentrasi yang tinggi lebih dominan di sisi timur, selain karena pengaruh pola arus yang memang bergerak ke bagian sisi timur hal ini yang berperan adalah sumber karbon di bagian sisi timur lebih besar, ditandai dengan banyaknya aktivitas industri dan juga hasil pembakaran bahan bakar minyak. Pada potongan melintang utara selatan, konsentrasi karbon lebih dominan dibagian selatan, diduga berkaitan dengan aktivitas biologis yang berasal dari hasil respirasi zooplankton yang cenderung lebih tinggi dibagian selatan. Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah pola sebaran total karbon organik cenderung mengikuti pola sebaran nutrien yang lain diduga berkaitan dengan sumber masukan yang sama. Pengaruh musiman juga berperan dalam menentukan
83
konsentrasi karbon di perairan, karena konsentrasi karbon di perairan akan tergantung dari konsentrasi karbon di atmosfer. 4.2.1.5 Fitoplankton Untuk menggambarkan pola sebaran biomasa fitoplankton di perairan diwakili dengan pola sebaran klorofil-a (Lampiran 40 dan 41). Pola sebaran horizontal fitoplankton hasil simulasi secara spasial menyerupai dengan data hasil pengamatan. Konsentrasi klorofil-a memiliki nilai yang lebih tinggi pada bagian kepala teluk, dibandingkan dengan daerah dekat dengan mulut teluk. Hasil simulasi secara konsisten memiliki nilai yang lebih rendah dari hasil pengamatan. Secara temporal pola sebaran klorofil-a memiliki konsentrasi terrendah di bulan Januari dan nilainya cenderung meningkat di bulan berikutnya. Secara umum pola sebaran spasial dan temporal cenderung mengikuti pola sebaran NH4 dan PO4, hal ini diduga selain berkaitan dengan pola arus yang dominan juga berhubungan dengan ketersediaan nutrien di perairan. Sebaran vertikal klorofil-a (Lampiran 41) menunjukkan konsentrasi yang tinggi di lapisan permukaan yang berhubungan dengan ketersediaan cahaya. Secara temporal sebaran vertikal klorofil-a ini meningkat konsentrasinya pada bulan April dibandingkan dengan bulan sebelumnya, kemudian menurun pada bulan mei dan meningkat dengan tajam pada bulan Juni hingga Agustus. Secara umum dari pola sebaran horizontal dan vertikal konsentrasi klorofil-a sebagai representasi kehadiran fitoplankton di perairan yang tinggi di sekitar kepala teluk disebabkan adanya pengaruh dari daratan melalui sungai yang membawa zat hara. Nontji (2005) menyatakan bahwa fitoplankton yang subur di perairan umumnya terdapat di perairan di dekat muara sungai yang disebabkan oleh adanya penyuburan karena masuknya zat hara ke dalam lingkungan tersebut, baik yang datang dari daratan dan dialirkan oleh sungai ke laut maupun yang berasal dari lapisan dalam dan terangkat ke permukaan. Dapat disimpulkan bahwa pola sebaran dan dinamika biomasa fitoplankton yang digambarkan dengan pola sebaran klorofil-a sangat dipengaruhi oleh dinamika konsentrasi nutrien di perairan. Pola sebaaran klorofil-a memiliki korelasi dengan pola sebaran NH4, NO3, dan PO4.
84
4.2.1.6 Zooplankton Pola sebaran horizontal zooplankton disajikan pada Lampiran 44. Pola sebaran spasial menunjukkan bahwa nilai konsentrasi biomassa zooplankton lebih rendah di bagian kepala teluk dibandingkan dengan daerah di dekat mulut teluk. Pola sebaran zooplankton tidak mengikuti pola sebaran nutrien hal ini diduga karena zooplankton memiliki kemampuan untuk bergerak melawan arus, sehingga distribusinya tidak dapat digambarkan melalui proses adveksi dan difusi. Sebaran spasial yang cenderung lebih rendah di bagian kepala teluk diduga berkaitan dengan kondisi perairan yang cenderung dangkal, sehingga terjadi pengadukan yang mengakibatkan tingkat kekeruhan yang tinggi. Selain itu pengaruh dari aliran air tawar melalui sungai akan menyebabkan salinitas di bagian kepala teluk cenderung lebih rendah, sedangkan beberapa spesies zooplankton cenderung sulit beradaptasi pada kisaran salinitas yang rendah. Faktor lain adalah adanya masukan nutrien yang tinggi di bagian kepala teluk mengakibatkan tingginya proses dekomposisi material organik, proses dekomposisi ini akan mengakibatkan penurunan kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh zooplankton untuk respirasi. Pola sebaran vertikal zooplankton hasil simulasi (Lampiran 45) menunjukkan kecenderungan distribusi zooplankton berada pada lapisan permukaan, hal ini berkaitan dengan keberadaan sumber makanan utama zooplankton, yaitu fitoplankton yang cenderung lebih berada pada lapisan permukaan, walaupun zooplankton memiliki kemampuan migrasi vertikal hanya terbatas pada kedalaman < 30 m. Pola sebaran zooplankton dapat disimpulkan sangat dipengaruhi oleh faktor keberadaan fitoplankton sebagai sumber makanan. Faktor fisika dan kimia perairan yang berfluktuasi secara temporal dan kemampuan migrasi vertikal zooplankton juga akan mempengaruhi pola sebarannya.
85
4.2.2 Validasi Parameter Model Ekosistem 4.2.2.1 Parameter Kimia Perbandingan antara data hasil simulasi dan data observasi NH4 (Gambar 19) menunjukkan bahwa data observasi memiliki kisaran nilai yang lebih tinggi dari hasil simulasi walaupun menunjukan pola yang mirip. Nilai hasil simulasi yang lebih rendah diduga karena faktor fisik yang mempengaruhi reaksi kimia seperti temperatur dan salinitas memiliki kisaran yang juga relatif lebih rendah. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa hubungan antara model dengan hasil observasi cukup erat yang ditandai dengan kisaran nilai korelasi yang mendekati nilai satu, yaitu berkisar antara 0.8289 - 0.9831. Validasi antara hasil model dan hasil observasi selengkapnya disajikan pada Lampiran 26, sedangkan hasil perhitungan korelasi antara model dan observasi dsajikan pada Lampiran 27. 0.17
NH4
0.15
mgN/L
0.13 0.11 0.09 0.07 0.05 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Bulan Ke-
Gambar 19 Perbandingan data rata-rata bulanan NH4 (mg/L) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus). Perbandingan nilai hasil observasi dan hasil simulasi untuk variabel oksigen terlarut (Gambar 20a), NO3 (Gambar 20b), PO4 (Gambar 20c), dan total karbon organik (Gambar 20d) menunjukkan bahwa nilai hasil observasi memiliki kisaran nilai yang lebih besar dari hasil simulasi, walaupun pola yang terbentuk terdapat kemiripan. Kisaran nilai hasil simulasi yang lebih rendah ini berkaitan dengan
86
hasil simulasi pada submodel termodinamika pada model hidrodinamik ELCOM yang menghasilkan variabel temperatur dan salinitas dengan nilai yang lebih rendah sehingga berpengaruh pada proses yang terlibat dalam model CAEDYM. Hasil validasi untuk setiap stasiun selengkapnya disajikan pada Lampiran 22, 30, 34, dan 37. Kisaran data hasil simulasi masih dalam rentang nilai standard error dari data observasi kecuali pada total karbon organik, dimana kisaran nilai hasil simulasi jauh di bawah kisaran data observasi. Hal ini terjadi karena nilai total karbon organik hanya menghitung karbon dalam fraksi organiknya saja, sedangkan nilai hasil observasi adalah nilai karbon organik partikulat yang dihitung dengan pendekatan dari nilai total padatan tersuspensi, sehingga dimungkinkan konsentrasi unsur selain karbon yang terdapat dalam padatan tersuspensi tersebut dianggap sebagai karbon yang akan mempengaruhi nilai konsentrasinya. 7
0.25
DO mgN/L
mg/L
6 5 4 3
0.8
0.2 0.15
(a)
0.1
(b)
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
PO4
1
POC
0.8 mgC/L
0.6 mgP/L
NO3
0.4 0.2
0.6 0.4 0.2
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan
(c)
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 (d) Bulan
Gambar 20 Perbandingan data rata-rata bulanan Oksigen terlarut (mg/L (a), NO3 (mgN/L) (b), PO4 (mgP/L), (c)) dan (d) Karbon organik partikulat (mgC/L) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus).
87
Hubungan antara model dan observasi menunjukkan adanya korelasi yang signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil model dapat dipakai sebagai acuan untuk memprediksi kondisi lapangan yang sebenarnya. Kisaran nilai korelasi untuk NO3 adalah 0.8732 - 0.9739, untuk PO4 0.8773 - 0.9493, untuk oksigen terlarut 0.8402 - 0. 9452 dan untuk total karbon organik 0.8290 - 0.9320. hasil analisis korelasi antara hasil simulasi model dan hasil observasi selengkapnya disajikan pada Lampiran 23, 31, 35, dan 39. 4.2.2.2 Parameter Biologi Perbandingan nilai hasil simulasi dan hasil observasi disajikan pada Gambar 21. Kisaran nilai hasil simulasi yang lebih rendah dari nilai observasi sebagai akibat dari kisaran nilai hasil simulasi variabel temperatur dan salinitas pada sub model termodinamika permukaan dalam model ELCOM sebagai penggerak model ekosistem CAEDYM. Kisaran nilai temperatur dan salinitas yang lebih rendah mengakibatkan kisaran nilai variabel kimia dan nutrien juga menjadi lebih rendah sehngga akan berpengaruh pada kisaran nilai fitoplankton dan kemudian nilai zooplankton. Hasil validasi antara model dan observasi di tiap stasiun disajikan pada Lampiran 42 dan 46. 0.12 0.1
0.45
Fitoplankton
0.4 0.35 mgC/L
0.08 mgC/L
Zooplankton
0.06 0.04
0.3 0.25 0.2
(a)
0.02 0
(b)
0.15 0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
Gambar 21 Perbandingan data rata-rata bulanan (a) Klorofil-a (mgC/L) dan (b) Zooplankton (mgC/L) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus).
88
Walaupun kisaran nilai hasil simulasi memiliki nilai yang lebih rendah dari hasil observasi akan tetapi hubungan antara model dan observasi menunjukkan korelasi yang erat dengan nilai korelasi untuk fitoplankton berkisar antara 0.93870.9485 dan untuk zooplankton berkisar antara 0.9420 - 0.9486. Nilai korelasi yang mendekati 1 (satu) ini menunjukkan bahwa model memberikan hasil prediksi yang kuat terhadap kondisi lapangan yang sebenarnya. Hasil analisi korelasi antara model dan observasi disajikan pada Lampiran 43 dan 47. 4.3 Analisis Model Ekosistem Teluk Lampung 4.3.1 Analisis Kuantitatif Kecocokan Model Perhitungan nilai normalisasi rata-rata kesalahan mutlak disajikan dalam Tabel 12. Nilai NMAE merupakan nilai simpangan absolut antara hasil simulasi dan data observasi. Untuk mendapatkan kecocokan model, maka nilai NMAE dibandingkan dengan nilai standar deviasi (SD) diperoleh dari nilai rata-rata standar deviasi bulanan data observasi yang kemudian dinormalisasi dengan ratarata nilai observasi. Tabel 12 Hasil Normalisasi rata-rata kesalahan mutlak (NMAE) perbandingan antara hasil simulasi dan data lapangan Variabel NH4 NO3 PO4 Total Karbon Organik Oksigen Telarut Salinitas Temperatur Klorofil-a Zooplankton Rerata Sumber: Hasil penelitian diolah
NMAE 0.104215 0.080969 0.130522 0.253809 0.114812 0.002403 0.005482 0.186213 0.1206
(SD/Rerata) 0.0934341 0.070537 0.1210153 0.0934341 0.1211578 0.002262 0.0077017 0.2131769 0.1355729
0.111003
0.0953658
Semua nilai NMAE memiliki kecenderungan mendekati dengan standar deviasi per rata-rata kecuali untuk NH4, temperatur dan klorofil-a. Nilai NMAE untuk total karbon organik cenderung lebih besar dari nilai standar deviasi yang dirata-rata, hal ini disebabkan karena nilai total karbon organik hasil observasi digunakan pendekatan dari nilai total padatan tersuspensi yang semua
89
komponennya dianggap sebagai karbon sedangkan nilai model sudah mempertimbangkan komponen refraktori, sehingga selisih antara data observasi dan data model cukup besar. Nilai NMAE yang cenderung mendekati atau sama dengan nilai standar deviasi yang dirata-rata mengindikasikan bahwa secara umum model menyediakan prediksi yang kuat terhadap data observasi. Simulasi yang dilakukan menggunakan beberapa parameter yang diuraikan pada Lampiran 1 - 3. Penggunaan parameter didasarkan pada studi literatur untuk mendapatkan nilai yang memungkinkan sesuai atau sama dengan daerah model. Nilai parameter yang digunakan sebagian merupakan nilai yang diperoleh dari pengujian model atau nilai yang didapatkan dari verifikasi model. Nilai-nilai tersebut sebagian berbeda dengan nilai yang diperoleh dari literatur. Beberapa nilai yang berbeda tersebut adalah koefisien atenuasi spesifik terhadap DOC yang nilainya lebih rendah dari nilai literatur. Hal ini mengindikasikan bahwa karbon organik terlarut di daerah model memiliki karakteristik yang lebih mudah untuk ditembus cahaya, sehingga memungkinkan cahaya mudah masuk ke perairan yang lebih dalam. Parameter yang lain yang juga berbeda dengan nilai literatur adalah temperatur pengganda yang memiliki nilai lebih tinggi dari nilai literatur. Nilai tersebut berarti bahwa ketika terjadi perubahan temperatur maka lebih cepat mengalami perubahan baik secara fisik atau kimia. Laju dekomposisi dan laju denitrifikasi yang lebih tinggi memiliki arti bahwa senyawa kimia lebih mudah diuraikan yang biasanya tergantung dari nilai pH, temperatur, oksigen terlarut dan organisme pengurainya. Nilai Konstanta setengah jenuh untuk uptake juga memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai literatur, hal ini berarti bahwa kemampuan uptake untuk mencapai setengah nilai maksimum dari material yang di-uptake akan lebih mudah tercapai. Nilai rasio internal nitrogen yang lebih besar menunjukkan bahwa organisme fitoplankton membutuhkan nitrogen dalam jumlah yang lebih sedikit, sebaliknya nilai rasio internal fosfor yang lebih kecil menunjukkan bahwa fitoplankton membutuhkan unsur P dalam jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan nilai dari literatur. Pada variabel zooplankton nilai laju respirasi lebih besar dari nilai literatur yang berarti bahwa zooplankton pada daerah model membutuhkan energi yang
90
lebih banyak untuk respirasinya. Nilai preferensi atau kesukaan zooplankton terhadap jenis zooplankton yang lain diatur pada nilai nol yang berbeda dengan nilai literatur, hal ini disebabkan karena dalam simulasi ini hanya menggunakan satu kelopok zooplankton sehingga tidak terdapat kemungkinan pemangsaan satu jenis zooplankton terhadap jenis zooplankton yang lain. Nilai parameter memiliki peran yang sensitif terhadap perubahan variabel ekosistem, sehingga untuk mendapatkan variabel yang mendekati dengan kondisi lapangan perlu dilakukan analisis untuk mengetahui parameter yang signifikan berpengaruh terhadap perubahan variabel. Koefisien sensitivitas (Sij) (ukuran sensitivitas relatif dari luaran yang dihubungkan dengan perubahan parameter) dihitung untuk tiap variabel utama disajikan pada Tabel 13. (Fasham et al., 1990; Chen et al., 2002; Bruce et al., 2006) mendefinisikan bahwa parameter dinilai sensitif jika nilai Sij>0.5. Dengan menggunakan definisi tersebut maka persentase parameter sensitif di sajikan dalam angka yang dicetak tebal dan dirangkum pada akhir baris tabel. Dari 6 variabel utama, variabel NO3 dan POC memiliki <10% parameter yang sensitif, variabel NH4 dan Fitoplankton memiliki <40% parameter sensitif, dan >60% parameter yang sensitif terhadap perubahan variabel PO4 dan zooplankton. Nilai Sij yang lebih besar dari 1 (satu) berarti bahwa persentase variabel yang berubah dalam simulasi adalah lebih besar dari persentase perubahan parameternya, atau dengan kata lain perubahan parameter ditingkatkan melalui model. Jumlah parameter sensitif terbesar adalah pada variabel PO4 dan zooplankton. Parameter yang memiliki indeks sensitivitas terbesar dari keseluruhan rata-rata semua variabel adalah laju grazing, efisiensi grazing, temperatur standar, temperatur maksimum dan konstanta setengah jenuh untuk grazing dari variabel zooplankton dan variabel fitoplankton, yang berarti bahwa parameter-parameter tersebut sangat berperan dalam perubahan konsentrasi fitoplankton maupun zooplankton. Parameter lain yang sangat sensitif adalah densitas POM yang secara langsung berpengaruh terhadap kehilangan atau penenggelaman POC, POP, dan PON dari kolom air.
91
Tabel 13 Hasil analisis sensitivitas model pada parameter yang digunakan dalam CAEDYM untuk simulasi di Teluk Lampung
Parameter Kd KeDOC KePOC KSOD KDOSOD SOD
dPOM ρPOM
µDECPOC µDECPOP µDECPON den nit
Kden Knit S
SFRP KDOFRP SNH4 KDONH4 SNO3
KDONO3 SDOC KDODOC µMAX IS KeA Kp KN INMIN INMAX UNMAX IPMIN IPMAX UPMAX ϑAg TSTDA TOPTA TMAXA kr ϑAr
NH4 -0.31 -0.34 -0.65 -0.32 -0.37 -0.34 -0.89 -4.47 -0.50 -0.55 -0.47 -0.51 -0.29 -0.88 -0.76 -0.37 -0.32 -0.72 -0.24 -0.42 -0.42 -0.65 -0.33 -0.46 -0.23 0.06 0.14 -0.07 -0.38 -0.12 -0.43 -0.72 -0.12 -0.87 -0.92 0.00 -0.21 0.00 -0.43 0.42 -0.50
NO3 -0.12 -0.09 -0.29 -0.05 -0.14 -0.11 -0.12 -0.31 -0.12 -0.38 -0.39 -0.22 0.06 -0.49 -0.24 -0.13 -0.19 -0.18 -0.14 -0.19 -0.35 -0.41 -0.11 -0.17 -0.09 0.01 0.10 -0.13 -0.25 -0.13 -0.24 -0.12 0.01 -0.01 0.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 -0.17
PO4 0.33 0.12 -0.87 -0.16 -0.64 -0.67 1.10 3.87 -0.18 2.10 -0.73 -0.86 -3.11 0.23 -3.41 0.54 1.26 -0.97 -0.85 -1.19 -0.23 -0.31 -0.19 -0.27 -0.15 0.24 1.32 0.37 0.23 0.79 0.76 -2.19 1.03 -0.79 -0.64 0.00 0.00 0.00 0.26 1.32 -1.12
Variabel POC 0.00 -0.02 -0.01 -0.02 -0.07 -0.03 0.04 -0.11 -0.04 0.07 -0.14 -0.03 -0.15 -0.12 -0.07 -0.16 -0.06 -0.32 -0.11 -0.23 -0.03 -0.13 -0.04 -0.21 1.03 -0.21 0.07 0.39 -0.10 -0.26 -0.05 0.02 0.04 -0.02 0.51 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.17
Fitoplankton -0.45 -0.44 0.10 -0.24 -0.49 -0.38 -2.76 -5.83 -0.13 0.09 -0.17 0.51 -0.37 -0.34 -0.03 -0.21 0.31 -0.50 0.09 -0.37 -0.05 -0.11 -0.09 -0.14 0.12 -0.71 -0.03 1.11 0.03 -0.09 -0.05 -0.43 -0.09 -0.13 1.21 0.00 0.00 -0.01 3.01 -3.27 -1.01
Zooplankton -1.51 -0.98 -0.76 -0.49 -0.77 -0.91 -2.20 -5.68 -0.53 0.89 -0.67 -1.10 -0.41 -1.19 -0.95 -0.31 -2.37 -0.92 -1.11 -0.98 -0.79 -0.34 -0.43 -0.21 -0.21 -1.13 0.03 0.27 -0.78 -0.09 -0.54 -0.66 -3.01 -1.29 0.23 -1.12 0.00 0.00 0.00 0.73 -1.09
92
Tabel 13 (Lanjutan) Hasil analisis sensitivitas model pada parameter yang digunakan dalam CAEDYM untuk simulasi di Teluk Lampung Variabel Parameter fres fDOM VSA gMAX kmf kZr kZm kZf kZe ffSED
NH4 NO3 -0.12 -0.54 -0.30 -0.52 0.00 -0.76 -0.05 -0.13 0.05 0.33 -0.02 -0.66 0.31 -0.54 -0.26 -0.77 -0.13 0.11 -0.25 0.09 -0.43 -0.01 Zg TSTDZ -0.34 -0.17 TOPTZ -0.23 0.03 TMAXZ -0.32 -0.01 0.07 -0.84 Zr kZ -0.02 -0.92 kZIN 0.31 0.12 kZIP -0.12 -0.54 >5% 2 37 Sumber: Hasil penelitian diolah
PO4 0.39 0.21 2.31 -4.69 -4.07 -3.39 -0.92 -1.15 -2.98 0.00 -1.01 -4.01 1.31 -3.63 1.37 -3.48 0.79 1.42 63
POC -0.11 0.09 0.00 0.91 0.59 0.01 0.00 -0.02 0.01 -0.01 -0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.64 0.00 0.03 9
Fitoplankton -0.65 0.12 0.00 -9.02 -8.11 -4.39 0.71 0.73 1.32 0.01 0.63 -6.11 3.09 -5.11 -1.97 -8.09 0.21 0.32 39
Zooplankton -1.33 -0.92 0.00 31.26 33.52 8.24 -3.11 -2.19 -3.09 0.01 -3.21 25.86 -4.21 18.73 -3.20 33.19 -0.67 -2.49 73
4.3.2 Dinamika Nutrien Hasil simulasi dapat dengan kuat memberikan gambaran dinamika nutrien yang terjadi. Gambar 22(a) dan (c) menunjukkan hubungan antara NO3 dan NH4 dengan fitoplankton. Terdapat perbedaan pola antara NO3 dan NH4 dengan fitoplankton dimana pola variasi temporal fitoplankton cenderung mengikuti pola NH4. Hal ini berkaitan dengan kesukaan fitoplankton terhadap jenis nutrien. Nitrit memiliki tingkat oksidasi yang lebih rendah daripada nitrat, maka proses perubahan menjadi bentuk organik membutuhkan energi yang lebih sedikit, bahkan untuk amonium dan urea energi yang diperlukan lebih sedikit lagi dibandingkan nitrit. Karena itu amonium dan urea terlarut dimanfaatkan terlebih dahulu dibandingkan nitrit dan nitrat dalam mekanisme pemanfaatan DIN oleh fitoplankton. Secara umum peningkatan nutrien baik NO3 dan NH4 dikuti oleh peningkatan fitoplankton. Perissinotto (1995) menjelaskan bahwa nitrat
93
bertanggung jawab pada laju produksi baru, sedangkan amonia dan urea bertanggung jawab untuk menyediakan bahan produksi regenerasi sehingga urutan preferensi penyerapan oleh fitoplankton berdasarkan tingkat kebutuhan energinya dari yang terrendah adalah amonia, urea, nitrit, dan nitrat. (b)
(a)
(d)
(c)
(f)
(e)
Gambar 22 Hubungan antara nutrien dan fitoplankton. Gambar 22(e) menunjukan adanya hubungan antara pertumbuhan fitoplankton dengan PO4, dimana terlihat bahwa walaupun porsi ketersediaan unsur P diperairan relatif kecil tetapi pola hubungan yang terbentuk menunjukan adanya keterkaitan antara pertumbuhan fitoplankton dan fosfor. Spesies fitoplankton seperti diatom akan megkonsumsi unsur P lebih banyak dibandingkan dengan unsur N, sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi dominasi spesies tertentu di perairan. Pola ini juga menggambarkan adanya pembatasan unsur N oleh unsur P sehingga terjadi adanya penurunan rasio N:P. Penurunan
94
rasio N:P ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan fitoplankton dibatasi oleh peningkatan unsur P di perairan. Hubungan antara nutrien dan fitoplankton menunjukan adanya korelasi yang cukup erat (Gambar 21b, d, dan f) dengan nilai korelasi 0.8438 dan 0.9612 (NO3 dan NH4), 0.7987 (PO4). Lima komponen utama yang berpengaruh terhadap fluks karbon telah diekstraksi dari model antara lain : (1) produktivitas primer kotor, (2) pemangsaan fitoplankton oleh zooplankton, (3) pemangsaan POC oleh zooplankton, (4) kontribusi dari ekskresi dan mortalitas fitoplankton terhadap POC, dan (5) kontribusi engesti dan mortalitas zooplankton terhadap POC. Fluks dihitung secara harian sebagai nilai volumetrik terintregrasi dari lapisan ELCOM dan kemudian dirata-rata secara bulanan. 0.4 0.3
mgC/L/hari
0.2
Zoop2POC
0.1
Phy2POC POC2Zoop
0
Phy2Zoop
-0.1
Total Prod
-0.2 -0.3 -0.4 Januari Februari Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Bulan
Gambar 23 Fluks karbon (mgC/L/hari) untuk total produksi (Total Prod), Pemangsaan fitoplankton (Phy2Zoop) dan pemangsaan POC oleh zooplankton (POC2Zoop), engesti dan mortalitas fitoplankton (Phy2POC) dan ekskresi dan mortalitas zooplankton (Zoop2POC). Dalam Gambar 23 produktivitas primer diekspresikan sebagai fluks positif dan mewakili sumber dari karbon, sementara fluks yang lain diekspresikan sebagai negatif mewakili siklus internal karbon (tidak dianggap sebagai sink). Selama periode simulasi grazing fitoplankton oleh zooplankton diwakili 51 – 76% (rata-rata 65%) dari karbon yang diasimilasi bulanan dalam produktivitas primer, sementara pemangsaan POC oleh zooplankton rata-rata: 4%. Fluks karbon yang
95
diasimilasi dari fitoplankton dan zooplankton pada total POC berturut turut berkisar antara 14 sampai 37% (rata-rata 22%) dan dari 6 sampai 12% (rata-rata 9%) dari karbon yang diasimilasi dari produktivitas primer. Fluktuasi dinamika karbon hasil simulai menunjukkan adanya variasi, dimana pada bulan Januari hingga Maret terjadi penurunan total produksi yang kemungkinan disebabkan tingkat radiasi yang rendah serta peningkatan tekanan pemangsaan oleh zooplankton. peningkatan terjadi pada bulan April - Juni yang berkaitan dengan peningkatan tingkat radiasi matahari, sehingga akan memicu peningkatan fotosintesis dan pengambilan karbon dari perairan. Penurunan total produksi terjadi kembali pada bulan Juli yang disebabkan adanya peningkatan tekanan pemangsaan oleh zooplankton. Gambar 24 menjelaskan bahwa dari total karbon yang di-uptake oleh fitoplankton 2.2% ditransfer ke bentuk karbon organik terlarut melalui respirasi dan 8.7% ditransfer sebagai karbon organik partikulat ketika fitoplankton mengalami mortalitas. Total produksi primer dari karbon yang diasimilasi oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis 72.6% ditransfer ke produksi sekuder melalui pemangsaan oleh zooplankton, dan sekitar 16.5% kemungkinan ditransfer melalui pemangsaan mikrozooplankton (mikroflagelata) atau organisme bentik filter feeder yang lain. Hasil produksi sekunder pada zooplankton 31.3% kemabli sebagai karbon partikulat pada saat zooplankton mengalami mortalitas, sedangkan 7.5% langsung tenggelam ke sedimen dalam bentuk faecal pellet, sisanya 61, 2% diduga ditransfer ke tingkat trofik yang lebih tinggi. Karbon partikulat yang berasal dari mortalitas fitoplankton, mortalitas zooplankton dan fluks dari sedimen 82.8% didekomposisi menjadi bentuk terlarut dan hanya 4.9% yang dimangsa kembali oleh zooplankton. Perbedaan pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton dan karbon organik partikulat adalah komponen karbon organik partikulat di dalamnya tidak termasuk fitoplankton, tetapi komponen yang lain seperti mikrozooplankton atau zooplankton lain, sehingga bisa disimpulkan zooplankton yang memangsa karbon organik partikulat didefinisikan sebagai zooplankton predator atau karnivora. Karbon organik partikulat yang kemudian didekomposisi menjadi bentuk terlarut kemudian mengalami mineralisasi menjadi bentuk anorganik dalam kisaran 95.5% dati keseluruhan karbon organik terlarut.
96
96
Gambar 24 Neraca fluks karbon (mgC/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus nutrien diadaptasi dari Hipsey et al. (2009).
96
97
Empat fluks utama nitrogen dan fosfor dari nutrien terlarut telah diekstraksi dari model untuk memperoleh kontribusi dari zooplankton terhadap siklus nutrien. Fluks yang ditunjukkan dalam Gambar 25 dan 27 termasuk diantaranya adalah: (1) pengambilan oleh fitoplankton; (2) mortalitas fitoplankton; (3) ekskresi oleh zooplankton; (4) pertukaran sedimen dan air; dan (5) Perubahan karena pengaruh hidrodinamika (pertukaran antara kolom air dan atmosfer). Fluks digambarkan sebagai perubahan massa nutrien per hari dengan mempertimbangkan ke seluruh area. Fluks negatif (sink) diwakili oleh kehilangan nutrien terlarut dari kolom air (seperti uptake oleh fitoplankton) dan fluks positif (source) diwakili ekskresi zooplankton. 0.08
mgN/L/hari
0.06 0.04
HydroFlux
0.02
SedRes ZoopEx
0
PhyMor
-0.02
PhyUp
-0.04 -0.06 -0.08 Januari Februari Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Bulan
Gambar 25 Fluks Nitrogen (mgN/L/hari) untuk total uptake fitoplankton (PhyUp), Fluks sedimen (SedFlux), mortalitas fitoplankton (PhyMor), mortalitas dan ekskresi zooplankton (ZoopEX) dan total perubahan karena faktor hidrodinamika (HydroFlux). Pola siklus nutrien eksternal dan internal untuk fluks nitrogen dari hasil simulasi secara umum menunjukkan pengaruh perubahan musiman. Kontribusi remineralisasi material partikulat dari mortalitas fitoplankton memberi kontribusi terendah dari total sumber (source) nitrogen dengan kisaran 2.93 – 14.76% (Gambar 25). Fluks nitrogen dari hasil perubahan faktor hidrodinamika memiliki kisaran nilai yang berbanding terbalik dengan nilai fluks sedimen terhadap keseluruhan fluks nitrogen dalam kolom air. Kontribusi dari perubahan faktor hidrodinamika memiliki nilai maksimum pada bulan Januari (69.59%) dan nilai minimum pada bulan Agustus (15.51%), sebaliknya fluks nitrogen dari pertukaran
98
sedimen dan kolom air memiliki nilai maksimum pada bulan Agustus (54.27%) dan nilai minimum pada bulan Januari (20.37%). Zooplankton berperan dalam menyumbang fluks nitrogen di kolom air dari hasil ekskresinya dalam kisaran 7.1 – 30.34% terhadap total sumber nitrogen di kolom air. Pola dinamika nitrogen menunjukan adanya kemiripan dengan pola dinamika karbon, hal ini disebabkan laju pengambilan nitrogen oleh fitoplankton akan mengikuti pola intensitas fotosintesis yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Intensitas cahaya akan berubah seiring dengan perubahan musim, dimana pada bulan Januari-April cenderung lebih rendah dibandingkan bulan Mei-Agustus. Eksresi N oleh zooplankton mengikuti pola pemangsaan terhadap fitoplankton. Neraca aliran nitrogen di Teluk Lampung hasil simulasi disajikan pada Gambar 26, dengan asumsi nilai perubahan antar kompartemen yang berbeda tidak mempertimbangkan volume domain model karena adanya perbedaan nilai antara lapisan kedalaman yang berbeda. Total NH4 dalam bentuk anorganik yang di-uptake oleh fitoplankton berada dalam kisaran 30 kali dari konsentrasi NO3 anorganik, hal ini menunjukkan bahwa fitoplankton cenderung menkonsumsi NH4 yang memiliki tingkat kebutuhan energi yang rendah untuk mengasimilasinya dibanding NO3. Mortalitas fitoplankton memberikan sumbangan 8.08% terhadap nitrogen organik terlarut jika dibandingkan dengan total uptake nitrogen, sedangkan mortalitas zooplankton menyumbang 7.40% terhadap nitrogen organik terlarut melalui eksresinya dan 32.03% terhadap nitrogen organik partikulat ketika mengalami mortalitas. NH4 yang dinitrifikasi menjadi NO3 berada dalama kisaran 53,6% jika dibandingkan dengan mineralisasi NH4 dari nitrogen organik terlarut diduga sebagai faktor yang mempercepat penurunan kadar oksigen terlarut diperairan, sedangkan proses mineralisasi memerlukan 96.64% nitrogen organik terlarut dari total hasil dekompisisi nutrien organik partikulat. Walaupun laju uptake NH4 lebih tinggi dari NO3 dan lebih dari setengahnya dinitrifikasi tetapi sumber asupan NH4 tetap tinggi bahkan meningkat terus yang diduga berasal dari asupan dari daratan yang telah mengalami mineralisasi telebih dahulu sebelum mencapai laut atau berasal dari limbah pertanian sisa pemakaian pupuk anorganik.
99
99
Gambar 26 Neraca fluks Nitrogen (mgN/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus nutrien diadaptasi dari Hipsey et al. (2009).
99
100
Hasil Gambar 27 menunjukkan bahwa kontribusi yang terhadap fluks fosfor melalui proses remineralisasi dan daur ulang ekskresi zooplankton (kisaran 7.08 – 38.48%, rata-rata 20.52%). Proses remineralisasi partikel tersuspensi dari sisa mortalitas fitoplankton memiliki kontribusi minimum pada bulan Januari (5.63%) dan maksimum 26.08% pada bulan Mei. Kontribusi pertukaran sedimen dan kolom air rata-rata 21.42% yang lebih rendah dibandingkan kontribusi faktor hidrodinamika yang memiliki kisaran antara 11.33 - 72.75%, dengan nilai maksimum pada bulan Januari. 0.003
mgP/L/hari
0.002 0.001
HydroFlux SedRes
0
ZoopEx -0.001
PhyMor
-0.002
PhyUp
-0.003 Januari Februari Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Bulan
Gambar 27 Fluks Fosfor (PO4) (mgP/L/hari) untuk total uptake fitoplankton (PhyUp), Fluks sedimen (SedFlux), mortalitas fitoplankton (PhyMor), mortalitas dan ekskresi zooplankton (ZoopEX) dan total perubahan karena faktor hidrodinamika (HydroFlux) Rasio N:P pada penelitian ini dari rata-rata simulasi diperoleh 13.93 dan rasio N:P pada ekskresi zooplankton adalah 26.21. Hal ini menunjukan bahwa di perairan Teluk Lampung terjadi pembatasan unsur N pada fitoplankton atau terjadi peningkatan unsur P dan penurunan unsur N di perairan, sehingga pertumbuhan fitoplankton kemungkinan sangat kuat dibatasi oleh unsur P. Hasil studi Urabe et al. (1995) menemukan bahwa rata-rata fraksi nitrogen yang diregenerasikan oleh zooplankton selama proses stratifikasi adalah 50% dari total produktivitas primer, dan 15% untuk fosfor, perbandingan yang rendah dari kontribusi zooplankton dikarenakan pembatasan oleh fosfor. Hasil studi yang lain yang dilakukan oleh Damar (2003) juga menunjukan adanya rasio yang rendah
101
antara DIN dan P yang mengindikasikan adanya pembatasan N terhadap pertumbuhan fitoplankton. Alasan utama nilai ekskresi diekspresikan sebagai persentasi dari uptake fitoplankton adalah karena tidak ada perbedaan yang besar antara kenyataan bahwa percampuran N yang diregenerasikan tidak memberikan perbandingan kontribusi yang lebih besar terhadap ketersediaan nitrogen di perairan. Sebagai kesimpulan bahwa pengaruh grazing dan ekskresi zooplankton tidak terlihat secara signifikan mengubah keseimbangan elemen nutrien di perairan. Gambar 28 merupakan ringkasan neraca harian fosfor hasil simulasi model yang terjadi di Teluk Lampung. Fosfor yang dikembalikan ke kolom air dari hasil mortalitas fitoplankton berada dalam kisaran 5.69% jika dibandingkan fosfor yang di uptake, sedangkan perubahan dari mortalitas fitoplankton ke fosfor organik partikulat sebesar 27.69% serta jumlah fosfor yang diasimilasi zooplankton dari proses pemangsaan sebesar 52.30%. Mortalitas dan eksresi zooplankton menyumbang 38.46% fosfor dalam bentuk organik partikulat jika dibandingkan dengan total fosfor yang diuptake fitoplankton. Proses adsorpsi desorpsi dari fosfor anorganik terlarut menjadi fosfor terfilter yang mudah diserap oleh fitoplankton sebanyak 94.71% dari hasil mineralisasi fosfor organik partikulat yang 87.14% merupakan dekomposisi dari fosfor organik partikulat menjadi terlarut. Jika dibandingkan dengan dekomposisi fosfor organik partikulat maka proses adsorpsi desorpsi fosfor reaktif sebesar 82.52%, hal ini menunjukan bahwa sebagian besar fosfor yang digunakan oleh fitoplankton merupakan forfor hasil regenerasi. Kontribusi fluks hidrodinamik yang membawa asupan fosfor dari daratan dengan konsentrasi yang tinggi lebih banyak menyumbang pada fosfor organik baik terlarut atau partikulat. Secara umum dapat disimpulkan bahwa neraca aliran nutrien (C, N dan P) lebih besar peran fluks hidrodinamik dalam bentuk terlarut maupun partikulat dibandingkan peran zooplankton melalui ekskresi maupun mortalitasnya, tetapi sumbangan terbesar nutrien yang dimanfaatkan oleh fitoplankton adalah nutrien regenerasi yang berasal dari ekskresi dan mortalitas fitoplankton maupun zooplankton.
102
102
Gambar 28 Neraca fluks fosfor (mgP/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus nutrien diadaptasi dari Hipsey et al. (2009).
102
103
Kontribusi asupan nutrien dari daratan yang dibawa aliran Sungai Way Kahuripan, Way Lunik dan Way Ratai ke Teluk Lampung menunjukkan bahwa kontribusi terbesar berasal dari sungai Way Lunik, hal ini disebabkan selain faktor debit sungai yang lebih besar juga dsebabkan konsentrasi nutrien dari sungai juga cenderung lebih besar, karena selain melintasi daerah padat penduduk juga melewati daerah kawasan industri. Sungai Way Ratai memiliki kontribusi terkecil terhadap asupan nutrien ke teluk yang disebabkan faktor debit sungai yang relatif kecil, juga konsentrasi nutrien yang kecil yang lebih banyak didominasi dari hasil limbah pertanian. Konsentrasi nutrien yang tinggi terutama di bagian kepala teluk tidak hanya bersumber dari sungai saja, keberadaan pelabuhan, kawasan industri, daerah pertanian, tambak udang yang tersebar sepanjang garis pantai juga memiliki kontribusi terhadap dinamika nutrien di Teluk Lampung. Nilai asupan nutrien dari daratan disajikan pada Tabel 14. Table 14. Nilai asupan nutrien dari daratan Bulan Januari Februari April Mei Juli Agustus Rata-Rata Januari Februari April Mei Juli Agustus Rata-Rata Januari Februari April Mei Juli Agustus Rata-Rata
Total Asupan Nutrien (Ton/Bulan) NO3 NH4 Sungai Way Kahuripan 94.09 52.90 89.52 48.91 101.22 55.86 86.64 48.51 91.39 48.21 93.77 56.73 92.77 51.85 Sungai Way Lunik 121.71 65.14 111.72 60.02 102.91 50.08 105.30 51.81 98.33 49.66 105.69 59.81 107.61 56.09 Sungai Way Ratai 44.25 32.31 44.62 28.01 40.56 28.02 29.64 19.17 21.75 16.09 22.16 17.36 33.83 23.49
PO4 23.34 22.89 31.96 29.84 28.71 26.51 27.21 27.68 26.21 30.47 30.51 29.17 27.47 28.59 12.79 13.28 15.78 11.62 9.69 8.35 11.92
104
Asupan nutrien yang masuk ke teluk melalui ketiga sungai menunjukkan bahwa NH4 dan NO3 merupakan nutrien yang paling penting yang dihasilkan dari limbah perkotaan. Sumber NH4 diduga berasal dari emisi limbah domestik yang terbawa aliran sungai. Limbah domestik ini mengandung banyak bahan organik yang dekomposisinya akan menghasilkan pengurangan oksigen terlarut terutama jika terjadi pada musim kemarau. Permukiman penduduk yang berada di bantaran sungai juga berkontribusi terhadap sumber limbah domestik. Sebaliknya NO3 lebih banyak bersumber dari limbah pertanian. Jika dibandingkan ketiga jenis nutrien yang masuk ke teluk maka PO4 memiliki nilai terrendah, hal ini berkaitan dengan sumber PO4 yang terbatas dari limbah rumah tangga terutama deterjen dan limbah pertanian. 4.3.3 Dinamika Trofik Total massa karbon hasil simulasi model umumnya dibandingkan dengan baik dengan data lapangan walaupun total biomassa simulasi model lebih rendah dari data lapangan (Gambar 29(a) dan (b)). Hal ini terutama terjadi karena data observasi POC diestimasi dengan mengkonversi TSS ke TOC dan dikurangi dengan data fitoplankton, sedangkan data observasi yang didalamnya termasuk komponen refraktori tidak termasuk dalam data hasil model.
(a)
(b) Gambar 29 Biomassa karbon data observasi (a), data simulasi (b) yang digambarkan sebagai rata-rata bulanan untuk material detritus, fitoplankton, dan zooplankaton (catatan skala aksis vertikal berbeda).
105
Hasil observasi dan simulasi menunjukkan bahwa dari total massa karbon yang ada di perairan 50% diasimilasi menjadi produksi primer oleh fitoplankton, selanjutnya dari total karbon yang diasimilasi dalam bentuk produktivitas primer oleh fitoplankton 30% karbon atau energi ditransfer melalui pemangsaan zooplankton ke produktivitas sekunder. Perbedaan jumlah karbon yang diasimilasi dari perairan oleh fitoplankton dan jumlah karbon yang diasimilasi oleh zooplankton disebabkan karena adanya perbedaan antara siklus C dan N yang memberikan kemungkinan bahwa permulaan pembatasaan N pada pertumbuhan fitoplankton berpengaruh pada rasio C:N partikel tersuspensi dimana pertambahan rasio C:N pada fitoplankton akan berhubungan dengan pertambahan komposisi rasio C:N pada zooplankton. Hasil penelitian lain diperoleh bahwa transfer produktivitas primer ke produktivitas sekunder melalui zooplankton berkisar antara > 20% (Small et al., 1989), 50% (Laws et al., 2000; Bruce et al., 2006), sementara Scavia et al. (1988) mengestimasi transfer melalui zooplankton sekitar 62%. Walaupun terdapat ketidak pastian dalam perkiraan jumlah persentase produktivitas primer yang ditransfer ke produktivitas sekunder berkaitan dengan adanya perbedaan tipe perairan dan metode analisisnya. Transfer produktivitas primer ke tingkat trofik yang lebih tinggi sangat penting dalam memahami dinamika trofik sehingga akan dengan jelas dan terpercaya untuk mengkuantifikasi peran dari produktivitas sekundernya. Copping and Lorenzen (1980) menambahkan bahwa rata-rata hubungan karbon yang masuk ke dalam tubuh Copepoda adalah 45% dari karbon yang tersedia di fitoplankton, selebihnya akan dilepas sebagai karbon organik terlarut 27%, karbon anorganik terlarut 24% dan hilang dalam bentuk fecal pellet 3-4%. Secara umum antara hasil simulasi model dan hasil observasi dari Gambar 29(a) dan (b) menunjukan pola yang sama, yaitu terjadi adanya penurunan jumlah total karbon yang diasimilasi ke dalam produktivitas primer oleh fitoplankton dari bulan Januari hingga bulan Maret kemudian meningkat lagi pada bulan April hingga Juni. Penurunan kembali terjadi pada bulan Juli dan meningkat lagi pada Bulan Agustus. Hal yang sama terjadi pada perubahan total karbon yang diasimilasi oleh zooplankton dari fitoplankton menjadi produksi sekunder, kecuali
106
pada bulan Agustus dimana masih menunjukan kecenderungan menurun. Perubahan pola ini diduga berkaitan dengan perubahan musiman, dimana terjadi adanya tingkat intensitas cahaya yang rendah pada bulan Januari hingga Maret dan mulai terjadi peningkatan intensitas cahaya pada bulan April. Pertumbuhan zooplankton mengikuti pertumbuhan fitoplankton walaupun tidak mengikuti pola total organik karbon (Gambar 30). Ketersediaan karbon yang tinggi akan memacu pertumbuhan fitoplankton seiring dengan peningkatan intensitas cahaya untuk fotosintesis. Pertumbuhan fitoplankton ini akan menurun
0.25 0.2
200 (a)
150 100
0.1
50
0.05 02/10/07
0.40 0.30
03/22/07
05/01/07 Waktu (hari)
Radiasi Matahari
(b
06/10/07
07/20/07
0 08/29/07
200
Fitoplankton
150
0.20
100
0.10
50
0.00 01/01/07
02/10/07
0.3
05/01/07 Waktu (Hari)
Fitoplankton
(c
06/10/07
07/20/07
0 08/29/07
07/20/07
0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0 08/29/07
Zooplankton
0.2 0.1 0 01/01/07
02/10/07
03/22/07
05/01/07
06/10/07
Biomassa Zooplankton mgC/L
0.4
03/22/07
Radiasi Matahari W/m2
Biomasa Fitoplankton mgC/L
Total Organik Karbon
0.15
0 01/01/07
Biomassa Fitoplankton mgC/L
Radiasi Matahari
Radiasi Matahari W/m2
Total Organik Karbon mgC/L
seiring dengan pertambahan populasi zooplankton.
Waktu (hari)
Gambar 30 Hubungan tingkat radiasi matahari, total organik karbon (a) dan biomassa fitoplankton (b) biomassa fitoplankton dan zooplankton (c). Striebel (2008) menjelaskan bahwa fitoplankton yang mendukung pertumbuhan zooplankton adalah fitoplankton yang memiliki kualitas yang baik yang tergantung dari edibilitas dan komponen kimianya. Edibilitas merupakan fungsi dari ingestibilitas (ukuran dan bentuk), dan digestibilitas (efisiensi
107
asimilasi). Ketika terjadi peningkatan intensitas cahaya akan meningkatkan produktivitas primer dari fitoplankton yang diikuti dengan laju pengambilan unsur C yang tinggi sehingga akan meningkatkan biomassa. Ketika konsentrasi unsur N dan P rendah maka peningkatan intensitas cahaya akan menyebabkan rasio C:N atau C:P dalam fitoplankton akan tinggi. Pada rasio C:N dan C:P yang tinggi maka unsur C akan diletakkan dalam struktur sel dalam bentuk selulosa yang tidak dapat diasimilasi dengan efisiensi tinggi. Khusus pada bulan Agustus walaupun total karbon yang diasimilasi oleh fitoplankton meningkat tetapi yang diasimilasi oleh zooplankton menurun diduga karena laju ingesti nutrien oleh zooplankton menurun karena telah mencapai kejenuhan, selain itu intensitas cahaya yang tinggi pada bulan tersebut mengakibatkan rasio C:N:P pada fitoplankton akan tinggi. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa peningkatan intensitas cahaya akan meningkatkan produksi biomassa fitoplankton tetapi mungkin dapat mengurangi pertumbuhan zooplankton karena peningkatan kuantitas makanan akan menurunkan kandungan nutrien dari makanan tersebut. Ketidaksamaan rasio unsur C pada biomassa fitoplankton dan zooplankton karena pengaruh efisiensi transfer energi yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan zooplankton lebih dibatasi oleh kandungan nutrien dibandingkan dengan kandungan karbon dalam fitoplankton.
108
Halaman ini sengaja dikosongkan
109
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Berdasarkan hasil simulasi model hidrodinamika dan model ekosistem di perairan Teluk Lampung selama periode Januari - Agustus 2007 diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. peran zooplankton dalam fluks karbon adalah melalui pemangsaan fitoplankton serta melalui ekskresi dan mortalitas. Kontribusi melalui pemangsaan fitoplankton berkisar antara 51 sampai 76% sedangkan melalui hasil ekskresi dan mortalitas zooplankton ke kolam POC berkisar antara 6 sampai 12%. 2. Peran zooplankton pada fluks nitrogen di kolom air adalah melalui hasil ekskresinya dalam kisaran 7.1 – 30.34% dari total kebutuhan fitoplankton terhadap nitrogen di kolom air. 3. Peran zooplankton pada dinamika fluks fosfor adalah melalui proses remineralisasi ekskresi zooplankton dengan kisaran antara 7.08% - 38.48% dari total kebutuhan fitoplankton terhadap fosfor. 4. Peran zooplankton dalam dinamika nutrien menunjukkan adanya peningkatan kontribusi terhadap fluks karbon, nitrogen dan fosfor yang terjadi pada bulan Mei dan Agustus yang mengindikasikan pengaruh perubahan musiman yang ditandai dengan peningkatan produksi fitoplankton dan diikuti peningkatan proses pemangsaan. Pola hubungan antara fitoplankton dan nutrient cenderung menunjukan pola hubungan eksponensial. 5. Peran zooplankton dalam dinamika trofik menunjukan bahwa biomassa zooplankton di representasikan dengan rata-rata mendekati 30% dari total biomassa karbon yang diasimilasi melalui produktivitas primer. Pola pertumbuhan zooplankton cenderung mengikuti pola pertumbuhan fitoplankton yang sangat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan cahaya dan nutrien.
109
110
5.2 Saran Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan model ELCOM-CAEDYM memerlukan banyak parameter yang berhubungan dengan sifat kimia nutrien, fitoplankton dan zooplankton, bakteri, serta parameter tingkat trofik yang lebih tinggi, akan tetapi nilai-nilai parameter tersebut sangat sulit diperoleh untuk daerah tropis pada umumnya dan Teluk Lampung pada khususnya. Penelitian tentang nilai-nilai parameter tersebut perlu dilakukan secara insitu maupun eksperimen laboratorium untuk mendapatkan gambaran sifat dan karakteristik yang sesuai, sehingga dapat digunakan pada penelitian selanjutnya, baik secara insitu atau dengan pemodelan. Peran zooplankton dalam dinamika nutrien menunjukan adanya pengaruh musiman yang berkaitan dengan pola produksi fitoplankton. Hubungan antara fitoplankton dengan nutrien menunjukkan pola hubungan yang eksponensial. Untuk mendapatkan gambaran hubungan antara nutrien, fitoplankton dan zooplankton perlu dilakukan penelitian secara spasial dan temporal yang lebih banyak dengan mempertimbangkan keseluruhan spesies yang ada. Untuk mengetahui pola hubungan antara nutrien, fitoplankton dan zooplankton perlu juga dilakukan penelitian sumber nutrien yang diasimilasi dengan menggunakan metode pelacakan radioaktif.
111
DAFTAR PUSTAKA Alewell, C., and B. Manderscheid, 1998. Use of objective criteria for the assessment of biogeochemical ecosystem model. Ecol. Model. 107, 213 224. Andersen, T and D. O. Hessen. 1992. Carbon, nitrogen and posphorus content of freshwater zooplankton. Limnol. Oceanogr.36:807-814. Andersen, T., J. J. Elser and D. O. Hessen. 2004. Stoichiometry and population dynamics. Ecology Letters. 7: 884-900. Archer, D., A. Winguth, D. Lea an N. Mahowald. 2000. What caused the glacial/interglacial atmospheric pCO2 cycles?. Rev. Geophys. (38):159–189. Arnold, J. G and N. Fohrer. 2005. Current capabilities and research opportunities in applied watershed modelling. Hydrol. Proc. 19: 563-572. Arnold, J. G., R. Sinivasan, R. S. Muttiah and J. R. William.1998. Large area hydrologic modelling and assesment part I: model development. J. Am. Wat. Res.Asso. 34: 73-89. Balseiro, E. G., B. E. Modenutti and C. P. Quueimalinos. 1997. Nutrient recycling and shift in N P ratio by different zooplankton structure in South Andes Lake. Journal of Plankton Research. Vol 19 No. 7: 805 – 817. Baskoro, W. A. 2009. Kajian pengaruh pembangunan jetti terhadap muara sungai Way Kauripan Kota Bandar Lampung. Thesis Program Pasca Sarjana Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang. Benitez-Nelson, C. 2000. The biogeochemical cycling of phosphorus in marine systems. Earth. Sci. Rev. (51):109–135. Bergmann, T., G. Fahnenstiel, S. Lohrenz, D. Millie and O. Schofield. 2004. Impact of recurrent resuspension event and variable phytoplankton community composition on remote sensing reflectance. Journal of Geophysical Research-Ocean. 109: C10S15. Bopp, L., P. Monfray, O. Aumont, J. L. Dufresne, H. L. Treut, G. Madec, L. Terray and J. C. Orr. 2001.Potential impact of climate change on marine export production. Global Biogeochem. Cy. (15):81–99. Boyd, P. W. and S. C. Doney. 2002. Modeling regional responses by marine pelagic ecosystems to global climate change. Geophys Res. Lett. (29):1806, doi: 10.1029/2001GL014130. Breteler, W. C. M. K and N. S. S. Rampen. 2005. Effect of diatom nutrient limitation on copepod development: role of essential lipids. Mar Ecol Prog Ser. Vol. 291: 125–133. BPS. 2008. Lampung dalam angka 2007. Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung. Bandar Lampung. Bronk, D. A. 2002. Dynamics of DON. In: Hansell, D. A. and C. A. Carlson (eds.) Biogeochemistry of Marine Dissolved Organic Matter, Academic Press, London, pp. 153–247. Bruce, L. C., D. Hamilton, J. Imberger, G. Gal, M. Gophen, T. Zohary, and K. D. Hambright. 2006. A numerical simulation of the role in C, N and P cycling in Lake Kinneret, Israel. Ecological Modelling. 193: 412-436.
111
112
Buhring, C. 2001. East asian monsoon variability on orbital and milenial to sub decadal time scale. Ph.D. Thessis.Christian-Albrechts Universitat zu Kiel. Capone, D. G. 2000. The marine microbial nitrogen cycle. Pp 455-494 in Kirchman, D. L. (ed.). microbial ecology of the ocean, Willey-Liss, Inc.New York. Carpenter, S. R., N. F. Caraco, D. L. Correll, R. W. Howart, A. N. Sharpley, V. H. Smith. 1998. Nonpoint pollution of surface water with phosphorous and nitrogen. Ecological Application. Vol. 8. No. 3: 559-568. Carter, C. M., A. H. Ross, D. R. Schiel, C. Howard-Williams and B. Hayden. 2005. In situ microcosm experiments on the influence of nitrate and light on phytoplankton community composition. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. (326):1–13. Cassulli, V and R. T. Cheng. 1992.Semi implicite finite difference method for three dimensional shallow water flow. International Journal for Numerical Methods in Fluids. Vol 15: 629-648. Cassuli, V and E. Cattani. 1994. Stability, accuracy and efficiency of a semi implicite method for three dimensional shallow water flow. Computers Math. applic. Vol 27: 4 Chapra, 1997. Surface water quality modelling. McGraw-Hill.Singapore. Chen, C., R. Ji. L. Zheng, M. Zhu and M. Rawson. 1999. Influences of Physical processes on the ecosystem in Jiaozhou bay: A coupled physical and biological model experiment. Journal of Geophysical Research. Vol.104 No.C12:29,925 -29,949. Cheng, R. T., V. Casulli and J. W. Gartner. 1993. Tidal, residual, intertidal mudflat (TRIM) model and its applications to San Fransisco Bay, California. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 36:235 - 280 Copping , A. E and C. J. Lorenzen. 1980. Carbon Budget of a marine phytoplankton-herbivore system with carbon-14 as a tracer. Limnol. Oceanogr. 25(5):873-882. Cottingham, K. L and D. E. Schindler. 2000. Effect grazer community structure on phytoplankton respone to nutrient pulses. Ecology. Vol. 81. N0. 1: 183200. Cottingham, K. L., S. Glaholt and A. C. Brown. 2004. Zooplankton community structure affect how phytoplankton respond to nutrient pulses. Ecology. Vol 85. No. 1: 158-171. Damar, A. 2003. Effect of enrichment on nutrient dynamics, phytoplankton dynamics and productivity in Indonesian tropical watontoplankter: a comparison between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. zur Erlangung des Doktorgrades der Mathematisch-Naturwissenschaftlichen Fakultät der Christian-Albrechts-Universität zu Kiel. Durbin, E. G and A. G. Durbin. 1992. Effect of temperature and food abundance on grazing and short-term weight change in the marine copepod Acartia hudsonica. Limnol. Oceanorgr. Vol 37 (2): 362-378. DWAF. 1996. South African water quality guidelines. Vol.7: Aquatic ecosystem. Department of Water Affair and Forestry. South Africa. Edwards, C. H., H. P. Batchelder and T. M. Powell. 2000. Modelling microzooplankton and macrozooplankton dynamic within a coastal upwelling system. Journal of Plankton research. Vol 22(9): 1619-1648.
113
Elser, J. J., W. F. Fagan, R. F. Denno, D. R. Dobberfuhl, A. Folarin, A. Huberty, S. Interlandi, S. S. Kilham, E. McCauley, K. L. Schulz, E. H. Siemann and R. W. Sterner. 2000. Nutritional constraints in terrestrial and freshwater foodweb. Nature 408: 578-580. Elser, J.J, L. Gudex, M. Kyle, T. Ishikawa and J. Urabe. 2001. Effects of zooplankton on nutrient availability and seston C :N:P stoichiometry in inshore waters of Lake Biwa, Japan. Limnology 2:91–100. Falkowski, P and J. A. Raven. 2007. Aquatic photosynthesis. Princton University Press. Field, C. B., M. J. Behrenfeld, J. T. Randerson and P. Falkowski. 1998. Primary production of the biosphere: integrating terrestrial and oceanic component. Science 281: 237-240. Fasham, M. J. R, H. W. Ducklow and S. M. McKelvie. 1990. Nitrogen based model of plankton dynamic in the oceanic mixed layer. Journal of Marine Research. 48:591-639. Fennel, K., M. R. Abbott, Y. H. Spitz, J. G. Richman, and D. M. Nelson. 2003. Modeling controls of phytoplankton production in the southwest Pacific sector ofthe Southern Ocean. Deep Sea Research. Vol II (50):769-798. Govindjee and B. Z. Braun. 1974. Light absorption, emmision and photosynthesis in W. D. P. Stewart (ed.). Fitoplanktonl physiology and biochemistry. Blackwell Scientific Publication. Oxford. pp. 346-390. Graham, L. E and L. W. Wilcox. 2000. Algae. Prentice Hall. Upper Saddle River. Granéli, E and J. T. Turner. 2001. Top-down regulation in ctenophore-copepodciliate-diatome-phytoflagellate communities in coastal waters: a mesocosm study. Mar. Ecol. Prog. Ser. Vol 239: 57-68. Gregoire, M and J. M. Becker. 2004. modelling the nitrogen fluxes in the Black Sea using a 3D coupled hydrodynamical-biogeochemical model, transport versus biogeochemical processes, exchange across the shelf break and comparison of the shelf and deep sea ecodynamic. Biogeoscience Discussion. (1): 107-166. Griffin, S. L., M. Herzfeld, D. P. Hamilton. 2001. Modelling the impact of zooplankton grazing on phytoplankton biomass during a dinoflagellate bloom in the Swan River estuari Western Australia. Ecological Engineering. (16): 373 – 394. Hang, N. T. M., N. C. Don, H. Araki, H. Yamanishi, and K. Koga. 2009. Applications of a new ecosystem model to study the dynamics of phytoplankton and nutrients in the Ariake Sea, west coast of Kyushu, Japan. Journal of Marine Ecosystem. (75):1-16. Hays, G. C., A. J. Richardson and C. Robinson. 2005. Climate change and marine plankton. Trends. Ecol. Evol. (20):337–344. Heinze, C., E. Maier-Reimer and K. Winn K. 1991. Glacial pCO2 reduction by the World Ocean: experiments with the Hamburg carbon cycle model. Paleoceanography. (6):395–430. Helfinalis. 2000. Pendugaan karakteristik arus pasang surut dan pola sebaran sedimentasi di perairan Teluk Lampung. Pesisir Pantai Indonesia. P3O-LIPI. Jakarta.
114
Hendiarti, N., H. Siegel and T. Ohde. 2002. Distiction of different water masses in around The Sunda Strait: satelite observation and in situ measurement. Proceeding Vol II. Pan Ocean Remote Sensing Conference (PORSEC): Remote Sensing and Ocean Science for Marine Resources Eploration and Environment, Bali, Indonesia. Pp. 681-686. Hessen, D. O., P. J. Faerovig and T. Andersen. 2002. Light, nutrient and P:C ratio in algae: grazer performance related to food quality and quantity. Ecology 83: 1886-1898. Hipsey, M.R., J.P.Antenucci and D. Hamilton. 2009. Computational Aquatic Ecosystem Dynamics Model:CAEDYM v3.2 Science Manual. Centre for Water Research. University of Western Australia. Hipsey, M. R., G. Gal, J. P. Antenucci, T. Zohary, V. Makler and J. Imberger. 2006. Lake Kinneret water quality modelling. Proceeding of the 7th international conference on hydroscience and engineering. Drexel niversity. Philadelphia. USA. Hodges, B. R and C. J. Dalimore. 2010. The estuary and lake computer model ELCOM Science manual. Centre for Water Research, University of Western Australia. Available on http://www2.cwr.uwa.edu.au/~ttfadmin/model/elcom/. Holligan, P. M., E. Fern´andez, J. Aiken, W. M. Balch, P. Boyd, P. H. Burkill, M. Finch, S. B. Groom, G. Malin, K. Muller, D. A. Purdie, C. Robinson, C. C. Trees, S. M. Turner and P. van der Wal. 1993. A Biogeochemical Study of the Coccolithophore, Emiliania huxleyi, in the North Atlantic. Global Biogeochem Cycles .(7):879–900. Horsted, S, J., T. G. Nielsen, B. Riemann, J. P. Steen and P. K. Bjornsen.1988. Regulation of zooplankton by suspension-feeding bivalves and fish in estuarine enclosure. Mar. Ecol. Prog. Ser. Vol 48: 217-224. Jones, R. H., K. J. Flynn, and T. R. Anderson. 2005. Effect of food quality on carbon and nitrogen growth efficiency in the copepod Acartia tons. Mar Ecol Prog Ser. Vol. 235: 147–156. Kagami, M., T.B. Gurung, T. Yoshida and J. Urabe. 2006. To sink or to be lysed? Contrasting fate of two large phytoplankton species in Lake Biwa. Limnol. Oceanogr., 51(6), 2775–2786. Kawamiya, M., M. J. Kishi, Y. Yamanak, and N. Suginohara. 1995. An ecological-physical coupled model applied to station papa. Journal of Oceanography, vol 51, pp.635-664. Kishi, M. J. and M. Uchiyama. 1995. A three dimensional numerical model for mariculture nitrogen cycle; case study in Shizugawa Bay, Japan. Fish Oceanogr. 4:4,pp.303-316. Koropitan, A. F. 2003. Pemodelan ekosistem perairan di Teluk Lampung. Thesis magister Program Khusus Oseanografi, Program Studi Oseanografi dan Sain Atmosfer. Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Laws, E. A., P. G. Falkowski, W. O. Smith Jr, H. Ducklow and J. J. McCarthy. 2000. Temperature effect on export production in the open ocean. Global Biochemical Cycle. Vol 14 (4): 1231-1246.
115
Lehman, J. T. 1991. Interacting growth and loss rate:the balance of top-down and bottom-up controls in plankton communities. Limnol.Oceanogr. 36(8):15461554. Lomas, M. W. 2004. Nitrate reductase and urease enzyme activity in the marine diatom Thalassiosira weissflogii (Bacillariophyceae): interactions among nitrogen substrates. J. Mar Biol . (144):37–44. Lindehoff, E, Edna Granelli and P. M. Glibert. 2010. Influence of prey and nutritional status on the rate of nitrogen uptake by prymnesium parvum. Journal of The American Water Ressources Association. Vol 46 (1): 121132. Lynch, M and J. Saphiro. 1981. Predation, enrichment and phyplankton community structure. Limnol. Oceanogr. 26(1): 86-102. Megrey, B. A., K. A. Rose, R. A. Klumb, D. E. Hay, F. E. Werner, D. L. Eslinger, and S. L. Smith. 2006. A bioenergetic-based population dynamic model of pacific herrring (Clupea herengus pallasi) coupled a lower trophic level nutrient-phytoplankton-zooplankton model:Description, calibration, and sensitivity analysis. Ecological Modelling. (4552) 21p. Mihardja, D. K., I. M. Radjawane dan M. Ali. 1995. Studi penyebaran air panas di Tarahan, Lampug. PT. Wiratman dan Assosiates. Jakarta.. Moll, A. 1998. Regional distribution of primary production in the North Sea simulated by a three dimensional model. J. Mar. Syst. (16): 151-170. Moll, A. and G. Radach. 2001. Synthesis and a new conception of North Sea Research (SYCON). Workiing group 6: review of three dimensional ecological modelling realted to the North Sea Shelf System. Zentrum fur Meeres-und Klimaforschund der Universitat Hamburg. Nontji, A. 2005. Laut nusantara. Edisi revisi cetakan ke empat. Djambatan. Jakarta. Neuman, T. 2000. Towards a 3D-ecosytem model of The Baltic Sea. J.Mar.Syst.(25): 405-419. Nybakken, J. W. 1992. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia pustaka Utama. Jakarta. Pariwono, J. I. 1998. Kondisi oseanografi perairan pesisir Lampung. Coastal Resources Center University of Rhode Island. CRMP-Proyek Pesisir Publication. Jakarta. Parson, T. R. M. Takashi, and B. Hargrave. 1984. Biological oceanographic processes. Third Edition Pergamon press Oxford. Perissinoto, R. 1995. Encyclopedia of environmental biology, Vol.2: Marine Productivity. Academic Press Inc. Peterson, N., G. G Ganf, and J. Saphiro. 1983. Feeding and assimilation rates of Daphnia pulex fed Aphanixomenon flos-aquae. Limnol. Oceanorgr: 28(4) 687-687. Pomeroy, L. R., P. J. B. Williams, F. Azam, and J. E. Hobie. 2007. The microbial loop. Journal of Oceanography Society. Vol 20(2): 28-33. Pranowo, W. S. 2002. Model numerik sebaran senyawa nitrogen di Pantai Kedung, Jepara. Thesis Magister Bidang Khusus Oseanografi, Program Studi Oseanografi dan Sain Atmosfer, Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
116
Rees, T. A. V and V. J. Allison. 2006. Evidence for an extracellular L-amino acid oxidase in nitrogen-deprived Phaeodactylum tricornutum (Bacillariophyceae) and inhibition of enzyme activity by dissolved inorganic carbon. Phycologia 45:337–342. Reynolds, C. S. 2006. Ecology of phytoplankton. Cambridge University Press. Cambridge. Riebesell, U. 2004. Effects of CO2 enrichment on marine phytoplankton. J. Oceanogr. (60):719–729. Rost, B and U. Riebesell. 2004. Coccolithophores and the biological pump: responses to environmental changes. In: H. R. Thierstein HR and J. R. Young (eds.) Coccolithophores, From Molecular Processes to Global Impact, Springer, Berlin, pp. 99–125. Scavia, D, G.A. Lang and J. F. Kitchel. 1988. Dynamic of Lake Michigan plankton: a model evaluation of nutrient loading, competition and predation. Journal of Fish Aquatic Science. 45: 165-177. Simanjuntak, M. 2000. Konsentrasi silikat di perairan Teluk Lampung. Pesisir Pantai Indonesia. P2O-LIPI. Jakarta. Small, L. F, M. R. Landry, R. W. Eppley, F. Azam, A. F. Carlucci. 1989. Role of plankton in the carbon and nitrogen budget of Santa Monica basin, California. Mar.Ecol.Prog.Ser. Vol.56:57-74. Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K. B. Averyt, M. Tignor an H. L. Miller(eds.). 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Spillman, C. M., J. Imberger, D. P. Hamilton, M.R. Hipsey, and J. R. Romero. 2007. Modelling the effects of Po River discharge, internal nutrient cycling and hydrodynamics on biogeochemistry of the Northern Adriatic Sea. Journal of Marine System. (68):167-200. Sterner, R. W. 1990. The ratio of nitrogen to phosphorous resupplied by herbivores: zooplankton and the algal competitive arena. The American Naturalist. Vol. 136, No.2. Sterner, R. W and D. O. Hessen. 1994. Algal Nutrient limitation and the nutrition of aquatic herbivores. Annu. Rev. Ecol. Syst. 25:1-29. Striebel, M. 2008. Plankton Dynamic: the influence of light, nutrient dan diversity. Dissertation zur erlangung des doktorgrades der naturwissenschaften der Ludwig Maximilians Universitat Munchen. Sugimoto, R., A. Kasai, T. Miyajima, and K. Fujita. 2010. Modeling phytoplankton production in Ise Bay, Japan: Use of nitrogen isotopes to identify dissolved inorganic nitrogen sources. Estuarine, Coastal and Shelf Science. (86):450-466. Thomas, C. M., R. Perissinoto, and I. Kibirigie. 2005. Phytoplankton biomass and size structure in two south african eutrophic, temporarily open/closed estuaries. Eastuarine, Coastal, and Shelf Science, 65: 223- 238. Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa. 1997. The ecology of The Indonesian Seas. Part I. periplus Edition (HK) Ltd. Singapore.pp.99-100.
117
Turner, J. T. 2004. The Importance of Small Planktonic Copepods and Their Roles in Pelagic Marine Food Webs. Zoological Studies 43(2): 255-266. Urabe, J and R. W. Sterner. 1996. Regulation of herbivore growth by the balance of light and nutrient. Proceeding of the National academy of Sciences of the United State of America. 93:8465-8469. Urabe,J. , J. Clasen and R. W. Sterner. 1997. Phosphorus limitation of Daphnia growth: Is it real?. Limnol. Oceanogr., 42(b), , 1436-1443. Valiela, I. 1984. Marine ecological Processes. Springer-Verlag. New York. Vanni, M. J. 2002. Nutrient cycling by animals In freshwater ecosystems. Annu. Rev. Ecol. Syst. 33:341–70. Vollenweider, R. A. 1970. Scientific fundamental of the eutrophication of lakes and flowing waters, with particular reference to nitrogen and phosphorous as a factor in eutrophication. Organization for economic co-operation and development, Paris, France. Walmsey, R. D. 2000. A review and discussion document. Prespective on eurtophicaton of surface waters: policy/research needs in south africa. WRC report No. KV129/00, Water Research Commission, Pretoria. South Africa. Wang, X. J., M. Behrenfeld, R. Le Borgne, R. Murtugudde, E. Bos. 2008. Regulation of phytoplankton carbon to chlorophyll ratio by light, nutrient and temperature in the equatorial pacific ocean: abasin scale model. Biogeoscience discussion. (5): 3869-3903. Wattayakorn, G. 1998. Nutrient cycling in estuarine.paper presented in the project on research and its application to management of the mangrove of Asia and Pacific, Ranong, Thailand. 17pp. Wiryawan, B., B. Marsden, H. A. Susanto. A. K. Mahi, M. Ahmad and H. Poespitasari. 1999. Lampung coastal resources atlas. Government of Lampung, Coastal Resources Management Project (CRMP) (Coastal Resources Center, University of Rhode Island) and Coastal and Marine Resource Study (PKSPL) (Bogor Agriculture University). Bandar Lampung. Indonesia 109p. Wolf-Gladrow, D. A., U. Riebesell, S. Burkhardt and J. Bijma. 1999. Direct effects of CO2 concentration on growth and isotopic composition of marine plankton. Tellus. (51)B:461–476. Yamaguchi, H., M. Yamaguchi, K. Fukami, M. Adachi and T. Nishijima. 2005. Utilization of phosphate diester by the marine diatom Chaetoceros ceratosporus. J Plankton Res. (27):603–606. Yanagi, T., K-i. Inoue, S. Montani, and M. Yamada. 1997. Ecological modelling as a tool for coastal zone management in Dokai Bay, Japan.J. Mar. Syst. (13); 123-136.
118
Halaman ini sengaja dikosongkan
119
LAMPIRAN
119
120
Halaman ini sengaja dikosongkan
121 Lampiran 1 Parameterisasi untuk siklus nutrien umum yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung Parameter
Deskripsi
Satuan
Nilai yang digunakan
Nilai dari Literatur
Ket.
Koefisien ekstingsi cahaya pada air alami
m-1
0.25
-
fraksi fotosintetik aktif dari radiasi matahari yang datang koefisien atenuasi cahaya spesifik terhadap DOC koefisien atenuasi cahaya spesifik terhadap POC Kebutuhan oksigen sedimen maksimum pada 25oC konstanta setengan jenuh DO pengaruh dari SOD temperatur pengganda untuk SOD Kesamaan DO pada inteface air dan udara koefisien transfer oksigen yang tergantung dari kecepatan angin tekanan parsial CO2 di interface air dan udara kecepatan transfer gas untuk CO2 produksi ion air konstanta keasaman pertama dan kedua rasio stoikiometri DO terhadap C selama fotosintesis dan respirasi rasio stoikiometri DO terhadap N selama nitrifikasi kecepatan settling detritus partikulat POM digunakan untuk POC, PON, POP diameter partikel POM densitas partikel POM Laju dekomposisi maksimum POC terhadap DOC pada 25oC Laju dekomposisi maksimum POP terhadap DOPpada 25 oC laju denitrifikasi maksimum pada keadaan anoksia pada 25 oC
m-1(gCm-3)-1 m-1(gCm-3)-1 gm-2hari-1 g DO m-3 g DO m-3 m s-1 atm m s-1 g DO (g C)-1 g DO (g N)-1
0.45 0.001 0.05 0.9 3.2 1.08 Persamaan Persamaan 3.50E-04 Persamaan Persamaan Persamaan 2.67 3.43
0.45c 0.008g 0.05c 0.9c 3.2c 1.02-1.14h
m s-1
Persamaan
m kg m-3 hari-1 hari-1 hari-1
5.00E-06 1030 0.07 0.03 0.04
Diestimasi dari rata-rata kedalaman sechidisk
tunning Doatm=f(p,T,S)c kO2 = f(u, T,S)c
3.50E-04c kpCO2 = f u, T,S) c KW = f(T) d Ka1,2 = f (T) c hubungan stoikiometri hubungan stoikiometri dihitung dari hukum Stoke 5.00E-06c 1070e 0.0700c 0.01 - 0.1e 0.01e,f; 0.09b;
tunning tunning tunning
121 121
122 122
Lampiran 1 (Lanjutan) Parameterisasi untuk siklus nutrien yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung Parameter
Deskripsi
Satuan
Nilai yang digunakan
Nilai dari Literatur
Ket.
temperatur pengganda denitrifikasi konstanta setengah jenuh denitrifikasi yang tergantung oksigen laju nitrifikasi maksimum dibawah oksigen jenuh pada 25 oC temperatur pengganda nitrifikasi
g DO m-3 hari-1 -
1.05 0.04 0.03 1.08
1.08e 2.0e;0.015a 0.02e;0.05b;0.1a 1.08e
tunning tunning tunning
konstanta setengah jenuh nitrifikasi yang tegantung oksigen temperatur pengganda fluks nutrien sedimen laju pelepasan maksimum PO4 dari sedimen pada 25oC konstanta setengah jenuh pelepasan PO4 dari sedimen tergantung pada DO laju pelepasan maksimum NH4 dari sedimen pada 25oC konstanta setengah jenuh pelepasan NH4 dari sedimen tergantung pada DO laju pelepasan maksimum NO3 dari sedimen pada 25oC konstanta setengah jenuh pelepasan NO3 dari sedimen tergantung pada DO laju pelepasan maksimum DOC dari sedimen pada 25oC konstanta setengah jenuh pelepasan DOC dari sedimen tergantung pada DO
g DO m-3 g m-2 hari-1 g DO m-3 g m-2 hari-1 g DO m-3 g m-2 hari-1 g DO m-3 g m-2 hari-1 g DO m-3
3 0.05 0.004 0.05 0.09 0.05 -0.03 0.03 0.05 0.5
2.0e; 2.5-10a 0.0693d 0.0037e 0.05c 0.003-0.03e 0.05c -0.03e 0.03c 0.05c 0.5c
tunning tunning tunning
Laju dekomposisi maksimum PON terhadap DON pada 25oC
hari-1
0.05
0.05c
tunning
Keterangan: a Gregoire&Becker, 2004 b Hang et al., 2009 c Hipsey et al., 2006 d Megrey et al., 2006 e Spillman et al., 2007 f Sugimoto et al., 2010 g Wang et al., 2008 h Wanninkhof, 1992
122
123 Lampiran 2 Parameterisasi untuk fitoplankton yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung Parameter
Deskripsi
Satuan
Laju pertumbuhan potensial maksimum
hari-1
Nilai yang digunakan x y 0.35 0.8
Cahaya jenuh untuk produksi maksimum Koefisien atenuasi spesifik
µE m-2 s-1 m-1 (g C m-3)-1
600 0.1
440 0.1
Konstanta setengah jenuh untuk uptake fosfor
g P m-3
0.0024
0.003
Konstanta setengah jenuh untuk uptake nitrogen
g N m-3
0.2
0.2
Rasio N internal minimum Rasio N internal maksimum Laju uptake N maksimum Rasio P internal minimum Rasio P internal Maksimum Laju Uptake P maksimum
g N (g C)-1 g N (g C)-1 g N (g C)-1 hari-1 g P (g C)-1 g P ( gC)-1 g P (g C)-1hari-1
0.030 0.09 0.020 0.003 0.02 0.010
0.02 0.3 0.005 0.005 0.03 0.01
Laju Fiksasi N Pengurangan pertumbuhan dibawah fiksasi N Temperatur pengganda untuk pertumbuhan Temperatur standar Temperatur optimum Temperatur Maksimum
g N (g C)-1hari-1 o C o C o C
0 1.00 1.07 20 25 35
0 1 1.08 20 25 35
Nilai dari literatur x 0.24 – 4.56e; 3b 80-600e 0.449e;0.08a 0.001 – 0.0048e;0.05f ;0.2a 0.38e;0.2a;0. 02g 0.03e;2.8g 0.09e;6.5g 0.0043e 0.040e 0.0187e 0.0006 – 0.006e 0e 1e 1.08g 20g 25-30d;27g 32g
y 0.8d;1.1-1.4a
Ket.
tunning x
104.b;440-710e 0.1e 0.003d;0.17b;0.1 2g
tunning x
0.0006e;0.22b;0.12g 0.02-0.84e;2.5g 0.06-0.330e; 5.0g tunning x,y tunning x,y tunning x,y tunning x,y
1.08g 19f; 16-20c 15e;33g 39c;29-39c
tunning x,y tunning x,y tunning x,y
123
124
Parameter
Deskripsi Koefisien laju kehilangan metabolis Temperatur pengganda untuk kehilangan metabolis Fraksi produksi yang hilang selama fotosintesis Fraksi respirasi relatif terhadap total kehilangan metabolis Fraksi laju kehilangan metabolik menjadi DOM Kecepatan migrasi maksimum ke kedalaman cahaya optimum Kecepatan migrasi maksimum ke kedalaman N optimum Diameter sel kecepatan penenggelaman
hari-1 -
Nilai yang digunakan x y 0.039 0.02 1.05 1.05 0.014 0.014 0.25 0.25 0.2 0.2
m s-1
0.0003
m s-1 µm m s-1
5.5e-5 7.84 0.1
Satuan
Nilai dari literatur x 0.03e 1.05-1.12e 0.14e 0.25e 0.2e
y 0.021e 1.05e 0.14e 0.25e 0.2e
0
0.0003a
0e
0 5.5 0.17
5.5e-5e 1.0-5.5e 0.1e
0e 5.5e 0.17g;0.03f
124
Lampiran 2 (Lanjutan) Parameterisasi untuk fitoplankton yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung Ket.
Keterangan : x, y menyatakan kelompok fitoplankto, x adalah dinoflagelata; y adalah kelompok diatom a Fennel et al., 2003; b Gregoire and Becker, 2004; c Griffin et al., 2001; d Hang et al., 2009; e Hipsey et al., 2006; f Spillman et al., 2007 g Sugimoto et al., 2010;
124
125 Lampiran 3 Parameterisasi untuk zooplankton yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung Parameter
Deskripsi
Satuan
Laju Grazing
g C m-3(g Z m-3)-1 hari-1
1.03
hari-1 hari-1 hari-1 hari-1 -
0.75 0.04 0.02 0.058 0.05 0.8
1.0d; 0.72-1.92b; 0.9a; 0.009e;0.2c 0.75a 0.32d;0-2.0b;0.05c 0.025c 0.058d 0.13d;0.05a 0.8d
C o C o C g C m-3 g N (g C)-1 g P (g C)-1 -
1.07 20 27 35 1.1 0.15 0.184 0.005 0.05 0.00 0.00 0.00 0.05
1.1d 20b,d 29d;33b 34d;39b 1.1d 0.14d 0.184d 0.005d 0.05d 0.11-0.28b 0-0.23b 0.0b 0.05d
Efisiensi Grazing Koefisien laju respirasi koefisien laju mortalitas Fraksi faecal pellet dari grazing Fraksi ekskresi dari grazing Fraksi faecal pellet yang tenggelam langsung ke sedimen Temperatur pengganda untuk pertumbuhan Temperatur Standar Temperatur Optimum Temperatur Maksimum Respirasi yang tergantung temperatur Konstanta setengah jenuh untuk grazing Rasio Internal Nitrogen terhadap karbon Rasio internal fosfor tehadap karbon kesukaan zooplankton pada peridinium kesukaan zooplankton pada zooplankton pemangsa kesukaan zooplankton pada makro zooplankton kesukaan zooplankton pada mikro zooplankton kesukaan zooplankton pada POC
Nilai yang digunakan
o
Nilai dari literatur
Keterangan tunning tunning tunning
tunning tunning tunning tunning
Keterangan: a Gregoire&Becker, 2004; bGriffin et al., 2001; cHang et al., 2009; dHipsey et al., 2006; eMegrey et al., 2006
125 125
126
Lampiran 4 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Januari pada kondisi pasang purnama A. Saat pasang tertinggi
B. Saat surut terendah
126
127
Lampiran 5 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Februari pada kondisi pasang purnama A. Saat pasang tertinggi
B. Saat surut terendah
128
Lampiran 6 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan April pada kondisi pasang purnama A. Saat pasang tertinggi
B. Saat surut terendah
129
Lampiran 7 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Mei pada kondisi pasang purnama A. Saat pasang tertinggi
B. Saat surut terendah
130
Lampiran 8 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Juli pada kondisi pasang purnama A. Saat pasang tertinggi
B. Saat surut terendah
131
Lampiran 9 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Agustus pada kondisi pasang purnama A. Saat pasang tertinggi
B. Saat surut terendah
132
Lampiran 10 Pola sebaran arus potongan membujur barat-timur hasil simulasi pada kondisi pasang purnama
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Pasang tertinggi
Surut Terendah
133
Lampiran 11 Pola sebaran arus potongan melintang utara-selatan hasil simulasi pada kondisi pasang purnama
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Pasang tertinggi
Surut Terendah
134 Lampiran 12 Perbandingan sebaran horisontal temperatur (oC) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi.
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Data Lapangan
Hasi Model
135
Lampiran 13 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan temperatur
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Barat-Timur
Utara-Selatan
136 Lampiran 14 Perbandingan data rata-rata bulanan Temperatur (oC) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan. 28.5
Stasiun 1
27.8
oC
oC
28 27.6 27.4
27 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan Ke-
Stasiun 3
28.5 28 27.5 Bulan
Bulan
29
Stasiun 5
29 28
Stasiun 6
28 27
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
29
30
Stasiun 7
28.5
oC
oC
Stasiun 4
0 1 2 3 4 5 6 7 8
27
28 27.5
29.5
Stasiun 8
29 28 27
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
29
Stasiun 9
29
oC
oC
29.5 29 28.5 28 27.5
0 1 2 3 4 5 6 7 8
oC
oC
30
27.5
0 1 2 3 4 5 6 7 8
oC
oC
29
Stasiun 2
28
28.5 28
Stasiun 10
28.5 28
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
137
29 28.5 28 27.5 27
29
y = 0.9019x + 2.7734 R² = 0.7941
Observasi
Observasi
Lampiran 15 Persamaan garis korelasi temperatur antara hasil model dan hasil observasi
Stasiun 1
y = 0.9683x + 0.9697 R² = 0.7917
28.5 28 27.5
Stasiun 2
27 27.5
27.7
27.9
28.1
27.2
27.4
27.6
Model
28 27.5
Stasiun 3
27 27.5 29 Observasi
29
y = 0.9079x + 2.7248 R² = 0.782
Observasi
28.5
28.5
28
28.5 Model
28
Stasiun 4 27.5 29
28
Stasiun 5
28.5
29
y = 0.9537x + 1.5152 R² = 0.79
27.5
28
28.5 Model
Stasiun 6 27
29
28.5
y = 0.9756x + 0.8819 R² = 0.7723
27.5
Stasiun 7
Observasi
28.5 28 27 28
28.5 Model
29
y = 1.0122x - 0.2076 R² = 0.7912
28 27.5
28
28.5
Stasiun 9
27
y = 1.0327x - 0.6806 R² = 0.7999
28 27.5
Stasiun 8
27 27
27.5
28
28.5
Model 29 Observasi
27.5
27.5 Model
29
28.5
28.5 Model
28
29
29
28
27 27.5
Observasi
28.5
29
27
Observasi
y = 0.9964x + 0.2529 R² = 0.7682
27.5
y = 0.852x + 4.3571 R² = 0.7611
27.5
28
Model
Observasi
Observasi
29
27.8
28.5
y = 1.0846x - 2.2576 R² = 0.7637
28 27.5
Stasiun 10
27 27.8
28
28.2 28.4 28.6 28.8 Model
28
28.2
28.4 Model
28.6
28.8
138
Lampiran 16 Perbandingan sebaran horisontal salinitas (psu) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi.
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Data Lapangan
Hasi Model
139
Lampiran 17 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan salinitas
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Barat-Timur
Utara-Selatan
140
Lampiran 18 Perbandingan data rata-rata bulanan Salinitas (psu) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan. 30.5
Stasiun 1
32.4
psu
psu
32.6 32.2 32
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
32.4
Stasiun 3
30.5 Bulan
Bulan
32.5
Stasiun 5 psu
psu
0 1 2 3 4 5 6 7 8
32
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
32.6
Stasiun 7 psu
psu
Stasiun 6
31.5
32 31.8
Stasiun 8
32.55 32.5 32.45
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
33
Stasiun 9 psu
psu
32 31.8
32
32.8 32.6 32.4 32.2 32
Stasiun 4
32.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8
32.5
32.2
29.5 29
31
33
30
0 1 2 3 4 5 6 7 8
psu
psu
31.5
Stasiun 2
Stasiun 10
32.5 32
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
141
33
33
32
32
y = 0.9688x + 1.0599 R² = 0.891
31 30
Stasiun 1
29 32.1
32.3
Observasi
Observasi
Lampiran 19 Persamaan garis korelasi salinitas antara hasil model dan hasil observasi y = 0.9474x + 1.6964 R² = 0.8545
31 30
Stasiun 2
29
32.5
29.4
29.6
29.8
Model
31 30
Stasiun 3
29
Observsi
Observasi
33 y = 0.9498x + 1.6336 R² = 0.8945
32
30.8
31 Model
31.2
Stasiun 4 32
32.1
32.2
32.3
Model 33
32
y = 0.9993x + 0.1095 R² = 0.8821
31 30
Stasiun5
Observasi
Observasi
30 31.9
29
32 31
y = 0.9804x + 0.7154 R² = 0.8891
30
Stasiun 6
29 32
32.2
32.4 Model
32.6
32.8
31.6
33
33
32
32
y = 0.9781x + 0.747 R² = 0.8578
31 30
Stasiun 7
29 31.8
31.9
31.8
32
32.2
Model
32 Model
32.1
Observasi
Observasi
y = 0.9832x + 0.5916 R² = 0.8521
31
31.4
33
y = 0.976x + 0.7964 R² = 0.8943
31 30
29 32.45
32.2
Stasiun 8 32.5
32.55 Model
32.6
33 y = 0.9579x + 1.4599 R² = 0.8095
30
Stasiun 9
29 31.8
32
32.2 Model
32.4
32.6
Observasi
33 Observasi
32
29 30.6
31
30.2
Model
33
32
30
32
y = 0.9555x + 1.546 R² = 0.8666
31 30
Stasiun 10
29 32
32.2
32.4 Model
32.6
32.8
142
Lampiran 20 Perbandingan sebaran horisontal oksigen terlarut (mg/L) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi.
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Data Lapangan
Hasi Model
143
Lampiran 21 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan oksigen terlarut
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Barat-Timur
Utara-Selatan
144
8.1 7.1 6.1 5.1 4.1 3.1 2.1 1.1 0.1
mg/L
mg/L
Lampiran 22 Perbandingan data rata-rata bulanan Oksigen Terlarut (mg/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan.
Stasiun 1
8.1 7.1 6.1 5.1 4.1 3.1 2.1 1.1 0.1
8.1 7.1 6.1 5.1 4.1 3.1 2.1 1.1 0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan
mg/L
mg/L
0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan
Stasiun 3
8.1 7.1 6.1 5.1 4.1 3.1 2.1 1.1 0.1
Stasiun 5
8.1 7.1 6.1 5.1 4.1 3.1 2.1 1.1 0.1
Stasiun 7
Stasiun 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan
8.1 7.1 6.1 5.1 4.1 3.1 2.1 1.1 0.1
Stasiun 8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan
mg/L
mg/L
0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan 8.1 7.1 6.1 5.1 4.1 3.1 2.1 1.1 0.1
Stasiun 6 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan
mg/L
mg/L
0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan 8.1 7.1 6.1 5.1 4.1 3.1 2.1 1.1 0.1
Stasiun 4 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan
mg/L
mg/L
0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan 8.1 7.1 6.1 5.1 4.1 3.1 2.1 1.1 0.1
Stasiun 2
8.1 7.1 6.1 5.1 4.1 3.1 2.1 1.1 0.1
Stasiun 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Bulan
145
Lampiran 23 Persamaan garis korelasi oksigen terlarut antara hasil model dan hasil observasi 8 7 6 5 4 3 2
8 7 6 5 4 3 2
3
4
5 Model
6
7
5 Model
6
7
8
Stasiun 5
8 7 6 5 4 3 2
3
4
5 Model
6
7
Stasiun 7 2
3
4
5
6
7
3
4
5 Model
3
4
Stasiun 9 2
3
4
5 Model
6
7
8
7
8
5 Model
6
7
8
Stasiun 8 2
Observasi
Observasi
y = 0.818x + 1.2905 R² = 0.8697
6
y = 0.9211x + 0.8417 R² = 0.8499
3
4
Model 8 7 6 5 4 3 2
8
Stasiun 6
8 7 6 5 4 3 2
8
7
y = 0.971x + 0.6387 R² = 0.8934
2
Observasi
Observasi
y = 0.9621x + 0.75 R² = 0.8768
5 6 Model
Stasiun 4
8 7 6 5 4 3 2
8
4
y = 1.0114x + 0.4819 R² = 0.8179
2
Observasi
y = 0.9418x + 0.8926 R² = 0.8912
2
3
Observasi
Observasi
8 7 6 5 4 3 2
4
2 8 7 6 5 4 3 2
Stasiun 3 3
Stasiun 2
8
y = 0.9329x + 1.0355 R² = 0.7059
2
y = 0.9172x + 1.0895 R² = 0.8178
Observasi
Observasi
Stasiun 1 2
Observasi
8 7 6 5 4 3 2
y = 0.8775x + 1.257 R² = 0.8476
8 7 6 5 4 3 2
5 Model
6
7
8
y = 0.9372x + 0.8139 R² = 0.8742
Stasiun 10 2
3
4
5 Model
6
7
8
146
Lampiran 24 Perbandingan sebaran horisontal NH4 (mg/L) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi.
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Data Lapangan
Hasil Model
147
Lampiran 25 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan NH4
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Barat-Timur
Utara-Selatan
148
Lampiran 26 Perbandingan data rata-rata bulanan NH4 (mg/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan. 0.2
Stasiun 1 mg/L
mg/L
0.15 0.1 0.05
0.1 0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
Stasiun 3
0.15 mg/L
mg/L
0.15 0.1 0.05
0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
0.15 mg/L
mg/L
Bulan
Stasiun 5
0.1 0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
Stasiun 7
0.15
0.05
Stasiun 8
0.1 0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
Stasiun 9
0.15 mg/L
mg/L
0.1 0.05
0.1
0.15
Stasiun 6
0 1 2 3 4 5 6 7 8
mg/L
mg/L
0.15
Stasiun 4
0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.15
Stasiun 2
0.15
0.1 0.05
Stasiun 10
0.1 0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
149
0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05
y = 1.315x - 0.0245 R² = 0.9394
Observasi
Observasi
Lampiran 27 Persamaan garis korelasi NH4 antara hasil model dan hasil observasi
Stasiun 1
0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05
0.05 0.07 0.09 0.11 0.13 0.15
0.07
0.09 0.11 Model
0.13
Observasi
Model
0.15
y = 1.3635x - 0.0185 R² = 0.8029
Stasiun 7
Stasiun 9 0.05
0.07
0.09 0.11 Model
0.13
0.15
y = 1.1571x - 0.0039 R² = 0.8961
Stasiun 6
0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05
y = 1.1911x - 0.0021 R² = 0.6871
Stasiun 8 0.05 0.07 0.09 0.11 0.13 0.15 Model
Observasi
y = 1.2805x - 0.0084 R² = 0.8913
0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05
0.05 0.07 0.09 0.11 0.13 0.15 Model
0.05 0.07 0.09 0.11 0.13 0.15 Model
Observasi
Stasiun 4 0.05 0.07 0.09 0.11 0.13 0.15
Stasiun 5
0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05
y = 1.3x - 0.0166 R² = 0.8069
Model y = 1.213x - 0.0105 R² = 0.8212
0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05
0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05
0.05 0.07 0.09 0.11 0.13 0.15
0.05
Observasi
Observasi
Stasiun 3
Observasi
Observasi Observasi
0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05
y = 1.2125x - 0.0091 R² = 0.8597
Stasiun 2 0.05 0.07 0.09 0.11 0.13 0.15 Model
Model 0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05
y = 1.447x - 0.0328 R² = 0.9665
0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05
y = 1.5287x - 0.033 R² = 0.8599
Stasiun 10 0.05 0.07 0.09 0.11 0.13 0.15 Model
150
Lampiran 28 Perbandingan sebaran horisontal NO3 (mg/L) rata-rata bulanan dari data observasi dan data hasil simulasi.
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Data Lapangan
Hasil Model
151
Lampiran 29 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan NO3
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Barat-Timur
Utara-Selatan
152
Lampiran 30 Perbandingan data rata-rata bulanan NO3 (mg/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan. Stasiun 1 mg/L
mg/L
0.3 0.2 0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
Stasiun 3
0.2
mg/L
0.2
Stasiun 4
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
0.3 mg/L
Stasiun 5
Stasiun 6
0.2 0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bulan
Bulan
Stasiun 7 mg/L
0.25 0.2 0.15 0.1
0.25 0.2 0.15 0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.25 0.2 0.15 0.1
Stasiun 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
0.2
Stasiun 9 mg/L
mg/L
mg/L
0.1
0.25 0.2 0.15 0.1
Stasiun 2
0 1 2 3 4 5 6 7 8
mg/L
mg/L
0.3
0.25 0.2 0.15 0.1
0.15 0.1
Stasiun 10
0.15 0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
153
Lampiran 31 Persamaan garis korelasi NO3 antara hasil model dan hasil observasi
0.2
0.25
y = 1.0888x - 0.0037 R² = 0.9486
0.15
Stasiun 1
Observasi
Observasi
0.25
y = 0.9963x + 0.0166 R² = 0.873
0.2 0.15
Stasiun 2
0.1
0.1 0.1
0.15
0.2
0.1
0.25
0.15
Model
0.2 0.15
Stasiun 3 0.15
0.2
y = 1.0046x + 0.0135 R² = 0.9423
0.2 0.15
Stasiun 4 0.1
0.1 0.1
0.1
0.25
0.15
Model 0.25
y = 1.081x + 0.0116 R² = 0.7624
0.2
0.2
0.15
Stasiun 5
0.1
y = 1.0617x + 0.0033 R² = 0.8439
0.2 0.15
Stasiun 6 0.1
0.1
0.15
0.2
0.25
0.1
0.15
Model
0.2
0.25
y = 0.9639x + 0.0196 R² = 0.8557
0.15
0.2
Stasiun 7
y = 1.0067x + 0.0089 R² = 0.9023
0.2 0.15
Stasiun 8
0.1
0.1 0.1
0.15
0.25
Model
Observasi
Observasi
0.25
0.2
0.1
0.25
0.15
0.2
0.25
Model
Model 0.25 y = 0.9445x + 0.017 R² = 0.8553
0.2 0.15
Stasiun 9
0.1
Observasi
0.25 Observasi
0.25
Model
Observasi
Observasi
0.25
0.25
0.25
y = 0.9774x + 0.0171 R² = 0.8753
Observasi
Observasi
0.25
0.2 Model
0.2
y = 1.0403x + 0.0058 R² = 0.8887
0.15
Stasiun 10 0.1
0.1
0.15
0.2 Model
0.25
0.1
0.15
0.2 Model
0.25
154
Lampiran 32 Perbandingan sebaran horisontal PO4 (mg/L) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi.
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Data Lapangan
Hasil Model
155
Lampiran 33 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan PO4 (mg/L)
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Barat-Timur
Utara-Selatan
156
0.8 0.6 0.4 0.2 0
0.8 0.6 0.4 0.2 0
mg/L
1
mg/L
0.8 0.6 0.4 0.2 0
Stasiun 2
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
mg/L
Stasiun 3
0.8 0.6 0.4 0.2 0
Stasiun 4
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
Stasiun 5 mg/L
0.8 0.6 0.4 0.2 0
Stasiun 1
0.8 0.6 0.4 0.2 0
Stasiun 6
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
1
Stasiun 7 mg/L
0.8 0.6 0.4 0.2 0
Stasiun 8
0.5 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
1
Stasiun 9 mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
Lampiran 34 Perbandingan data rata-rata bulanan PO4 (mg/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan.
0.5 0
Stasiun 10
0.5 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
157
Lampiran 35 Persamaan garis korelasi PO4 antara hasil model dan hasil observasi 0.8 y = 1.0496x + 0.038 R² = 0.8827
0.6
Observasi
Observasi
0.8
0.4 0.2
Stasiun 1
Observasi
0.8
0.4 Model
0.6
0.4 0.2
Stasiun 2 0
0.8
y = 1.0114x + 0.0544 R² = 0.8656
0.6
0.2
0.8
Stasiun 3
Observasi
0.2
0.4 0
0 0
y = 1.0737x + 0.038 R² = 0.8739
0.6
0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.6 0.4 0.2
Stasiun 4 0
0.8
0.2
0.8
y = 1.1087x + 0.0126 R² = 0.857
0.6 0.4 0.2
Stasiun 5
0 0
0.2
0.4
0.6
0.2
Stasiun 6
0 0
Stasiun 7
Observasi
0.8
0.4 0.2 0
0.2
0.4 Model
0.2
0.4
0.6
0.2
0.8
Stasiun 8 0
0.2
0.8 Observasi
0.4 0.2
Stasiun 9
0 0
0.2
0.4 Model
0.4
0.6
0.8
Model
y = 1.1515x + 0.0029 R² = 0.8888
0.6
0.8
0.4
Model 0.8
0.6
y = 1.1444x + 0.0148 R² = 0.8902
0.6
0 0
0.8
0.4
0.8
y = 0.9284x + 0.0884 R² = 0.841
0.6
0.6
y = 1.1615x + 0.006 R² = 0.7696
0.6
Model 0.8
0.4 Model
Observasi
0.8 Observasi
0.8
y = 0.917x + 0.0981 R² = 0.8935
Model
Observasi
0.6
0
0
Observasi
0.4 Model
0.6
0.8
y = 1.1148x + 0.0199 R² = 0.9012
0.6 0.4 0.2
Stasiun 10
0 0
0.2
0.4 Model
0.6
0.8
158
Lampiran 36 Perbandingan sebaran horisontal rata-rata bulanan karbon organik terlarut data hasil simulasi (mgC/L) dari sebaran horosontal ratarata bulanan data Karbon organik partikulat (mgC/L) hasil observasi lapangan
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Data Lapangan
Hasi Model
159
Lampiran 37 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan karbon organik terlarut
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Barat-Timur
Utara-Selatan
160
Lampiran 38 Perbandingan data rata-rata bulanan karbon organik terlarut (mg/l) hasil simulasi () dan karbon organik partikulat hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan. 1
Stasiun 1 mg/L
mg/L
1 0.5 0
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
1
Stasiun 3
0.5
Bulan
Bulan 1
Stasiun 5 mg/L
mg/L
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan 1
Stasiun 7 mg/L
mg/L
0.5
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5 0
Stasiun 8
0.5 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
1
Stasiun 9 mg/L
mg/L
Stasiun 6
0
0
1
0.5
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5
1
Stasiun 4
0
0
1
0.5
0 1 2 3 4 5 6 7 8
mg/L
mg/L
1
Stasiun 2
0.5 0
Stasiun 10
0.5 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
161
Lampiran 39 Persamaan garis korelasi antara karbon organik terlarut hasil model dan karbon organik partikulat hasil observasi 0.6 y = 1.0111x + 0.0487 R² = 0.8963
0.4 0.2
Stasiun 1
0 0
0.2
0.4
Observasi
Observasi
0.6
y = 0.9934x + 0.0404 R² = 0.8874
0.4 0.2
Stasiun 2
0
0.6
0
0.2
Model 0.6
y = 1.1197x + 0.0013 R² = 0.8911
0.4 0.2
Stasiun 3 0.2
0.4
y = 0.9422x + 0.0424 R² = 0.8942
0.4 0.2
Stasiun 4 0
0 0
0
0.6
0.2
Model 0.6
y = 0.9915x + 0.0296 R² = 0.8964
0.4
Observasi
Observasi
0.6
0.2 0 0.2
0.4
Stasiun 6 0 0
0.6
0.2
Observasi
Observasi
0.2
Stasiun 7
0 0
0.2
0.4
0.2
Stasiun 8 0 0
0.6
0.2
0.2
Stasiun 9 0
Observasi
Observasi
0.4
0.4
0.6
Model 0.6
y = 1.0485x + 0.0221 R² = 0.8959
0.6
y = 1.0936x + 0.005 R² = 0.8999
0.4
Model 0.6
0.4 Model
0.6
y = 1.0039x + 0.0299 R² = 0.8936
0.4
0.6
0.2
Model 0.6
0.4 Model
y = 1.0538x + 0.0246 R² = 0.8926
0.4
Stasiun 5 0
0.6
Model
Observasi
Observasi
0.6
0.4
y = 0.9523x + 0.0473 R² = 0.8939
0.4 0.2
Stasiun 10 0
0
0.2
0.4 Model
0.6
0
0.2
0.4 Model
0.6
162
Lampiran 40 Perbandingan sebaran horisontal Klorofil-a (mg/L) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi.
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Data Lapangan
Hasil Model
163
Lampiran 41 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan Klorofil-a
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Barat-Timur
Utara-Selatan
164
Lampiran 42 Perbandingan data rata-rata bulanan Klorofil-a (mgChl/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan. 0.1
Stasiun 1
0.05
mg/L
mg/L
0.1
0
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
0.15
Stasiun 3
0.1 0.05 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
0.15
Stasiun 5
0.05 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
0.15
Stasiun 7 mg/L
mg/L
0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.05 0
Stasiun 8
0.1 0.05 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan Ke-
Bulan
0.15
Stasiun 9
0.1
mg/L
mg/L
Stasiun 6
0.1 0
0.1
0.15
0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.1
0.15
Stasiun 4
0.1 0
mg/L
mg/L
0.15
0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8
mg/L
mg/L
0.15
Stasiun 2
0.05 0
Stasiun 10
0.1 0.05 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
165
Lampiran 43 Persamaan garis korelasi klorofil-a antara hasil model dan hasil observasi 0.15
y = 1.047x + 0.0083 R² = 0.8996
0.1
0.05
Observasi
Observasi
0.15
Stasiun 1 0
y = 1.0104x + 0.0099 R² = 0.8948
0.1 0.05
Stasiun 2 0
0
0.05
0.1
0.15
0
0.05
Model 0.15 y = 1.0675x + 0.0084 R² = 0.8914
0.05
Stasiun 3
Observasi
Observasi
0.15 0.1
0.05
0.1
0.1 0.05
Stasiun 4 0
0.15
Model 0.15 y = 1.0056x + 0.0105 R² = 0.899
0.05
Stasiun 5
0
Observasi
Observasi
0.05
0.1
y = 1.1739x + 0.0025 R² = 0.8992
0.1 0.05
Stasiun 6
0 0
0.05
0.1
0.15
0
0.05
0.1
Model 0.15
y = 1.0715x + 0.0067 R² = 0.8925
0.1 0.05
Stasiun 7
0 0
0.05
0.1
y = 1.0152x + 0.0114 R² = 0.8811
0.1 0.05
Stasiun 8 0 0
0.15
Model 0.15 Observasi
y = 1.0972x + 0.0072 R² = 0.8971
0.05
Stasiun 9
0 0
0.05
0.1 Model
0.05
0.1
0.15
Model
0.15 0.1
0.15
Model
Observasi
Observasi
0.15
Observasi
0.15
Model
0.15 0.1
0.15
y = 0.9745x + 0.012 R² = 0.8877
0
0 0
0.1 Model
0.15
y = 0.9692x + 0.0118 R² = 0.8921
0.1 0.05
Stasiun 10 0 0
0.05
Model
0.1
0.15
166
Lampiran 44 Perbandingan sebaran horisontal Zooplankton (mgC/L) rata-rata bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi.
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Data Lapangan
Hasil Model
167
Lampiran 45 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan Zooplankton
Agustus
Juli
Mei
April
Februari
Januari
Bulan
Barat-Timur
Utara-Selatan
168
Lampiran 46 Perbandingan data rata-rata bulanan Zooplankton (mgC/l) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar error bulanan. 0.6
Stasiun 1
0.4
mg/L
mg/L
0.6
0.2 0
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
Stasiun 3
0.4 0.2 0 Bulan
Bulan
0.6
Stasiun 5
0.2 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
0.6
Stasiun 7 mg/L
mg/L
0.2 0
0.2 0
Stasiun 8
0.4 0.2 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
0.6
Stasiun 9
0.4
mg/L
mg/L
Stasiun 6
0.4
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.4
0.6
Stasiun 4
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.4
0.6
0.4 0.3 0.2 0.1 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
mg/L
mg/L
0.6
0.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8
mg/L
mg/L
0.6
Stasiun 2
0.4
0.2 0
Stasiun 10
0.4 0.2 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bulan
Bulan
169
Lampiran 47 Persamaan garis korelasi zooplankton antara hasil model dan hasil observasi 0.6 y = 1.0111x + 0.0487 R² = 0.8963
0.4 0.2
Stasiun 1
0 0
0.2
0.4
Observasi
Observasi
0.6
y = 0.9934x + 0.0404 R² = 0.8874
0.4 0.2
Stasiun 2
0
0.6
0
0.2
Model 0.6
y = 1.1197x + 0.0013 R² = 0.8911
0.4 0.2
Stasiun 3 0.2
0.4
y = 0.9422x + 0.0424 R² = 0.8942
0.4 0.2
Stasiun 4 0
0 0
0
0.6
0.2
Model 0.6
y = 0.9915x + 0.0296 R² = 0.8964
0.4
Observasi
Observasi
0.6
0.2 0 0.2
0.4
Stasiun 6 0 0
0.6
0.2
Observasi
Observasi
0.2
Stasiun 7
0 0
0.2
0.4
0.2
Stasiun 8 0 0
0.6
0.2
0.2
Stasiun 9 0
Observasi
Observasi
0.4
0.4
0.6
Model 0.6
y = 1.0485x + 0.0221 R² = 0.8959
0.6
y = 1.0936x + 0.005 R² = 0.8999
0.4
Model 0.6
0.4 Model
0.6
y = 1.0039x + 0.0299 R² = 0.8936
0.4
0.6
0.2
Model 0.6
0.4 Model
y = 1.0538x + 0.0246 R² = 0.8926
0.4
Stasiun 5 0
0.6
Model
Observasi
Observasi
0.6
0.4
y = 0.9523x + 0.0473 R² = 0.8939
0.4 0.2
Stasiun 10 0
0
0.2
0.4 Model
0.6
0
0.2
0.4 Model
0.6
170
Halaman ini sengaja dikosongkan