PENGARUH MITOS HAJI PADA KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MUSLIM MODERN KELURAHAN KARANG MULYA TANGERANG - BANTEN
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi (S. Sos)
Disusun Oleh: Rianita Juniartri NIM. 103032227727
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
ABSTRAK Daerah Karang Mulya sebagai bagian dari Tangerang-Banten yang beranjak menjadi Kota Metropolitan menyimpan banyak potensi dalam berbagai bidang. Kehidupan sosial, budaya, politik serta ekonominya telah mengalami kemajuan yang cukup pesat sehingga ia menjadi daerah yang sangat menarik bagi masyarakat daerah lain untuk datang dan menetap. Mereka berasal dari berbagai macam etnis di Indonesia. Masyarakat Karang Mulya merupakan masyarakat yang sudah modern, yang telah mengedepankan pola pikir yang rasional, namun kepercayaan terhadap mitos-mitos, bahwa segala perilaku jamah haji akan mendapat balasan, masih banyak dipercaya oleh kebanyakan masyarakat Muslim Karang Mulya. Mitos-mitos atau kepercayaan semacam itu memang telah mengakar sangat kuat dalam benak kebanyakan umat Islam, bahkan dalam benak masyarakat Muslim yang sudah modern sekalipun. Hal ini, sedikit banyak mempengaruhi perilaku kehidupan keagamaan masyarakat Muslim. Sehingga, mendorong keinginan untuk meneliti fenomena ini dengan pertanyaan yang akan terjawabpada kesimpulan penelitian. Pertama, bagaimana pengaruh mitos haji pada kehidupan sosial keagaan masyarakat Muslim modern? Selanjutnya, bagaimana pengaruh mitos haji pada pemahaman keagamaan dan perilaku keagamaan masyarakat Muslim modern? Dan untuk mendapatkan hasil penelitian yang mendalam, maka penelitian ini menggunakan jenis kualitatif dengan metode deskriftif dan pendekatan kualitatif. Selain itu penelitian ini juga didukung oleh wawancara mendalam dan studi pustaka sehingga dari penelitian ini dihasilkan bahwa, Mitos mempengaruhi Kehidupan sosial keagamaan masyarakat Muslim modern.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul ”Pengaruh Mitos Haji pada Keberagamaan Masyarakat Muslim Modern : Kelurahan Karang Mulya Karang TengahTangerang” telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Februari 2009. skripsi ini telah diterima sebagai syaratuntuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat program Strata Satu (S1).
Jakarta, 26 Februari 2009
Sidang Munaqosyah Ketua Merangkap Anggota
Sekertaris Merangkap Anggota
Anggota Drs. Bustamin, M.si Nip.
Dra. Joharotul Jamilah, Msi. Nip. 150 282 401
Penguji I
Penguji II
Dra. Ida Rosyidah, MA. Nip. 150 243 267
Dr. Masri Mansoer, MA
Pembimbing
Dr. Hamid Nasuhi, MA
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam, yang telah memberikan segala rahmat-Nya bagi seluruh umat, sehingga kita selalu sukses menjalani hidup dalam lindungan-Nya. Shalawat dan salam tercurah bagi pahlawan umat, pembuka jalan terang dari kegelapan jahiliyah. Dengan segala kekurangan dan kealpaan, penulis haturkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT pemberi rahmat yang selalu menerangkan hati dan pikiran penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang jauh dari sempurna. Dan penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dan motivasi dari banyak pihak, dalam bentuk bimbingan; baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, sudah selayaknya penulis ucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. M. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filasafat serta seluruh staff akademik fakultas, pusat dan segenap civitas akademik yang telah mengarahkan, membimbing dan melayani seluruh kebutuhan administrative dan akademis penulis selama penulisan skripsi ini. 2. Hamid Nasuhi. Dosen Pembimbing Skripsi serta Pembantu Dekan I, yang telah membimbing dan mengarahkan, serta membuka pikiran penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai. 3. Dra. Ida Rasyida, M.A., Ketua Jurusan Sosiologi Agama dan Dra. Jauharatul Jamilah, M.A., Dosen Pembimbing Akademik dan sekretaris jurusan sosiologi Agama, yang banyak membantu dan memudahkan dalam hal yang berkaitan dengan akademik.
4. Ketua dan segenap staff Perpustakaan Utama serta Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang telah banyak membantu dalam memberikan dan memudahkan diperolehnya bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. 5. Keluarga tercinta : Ayahanda Drs. Simun Fach dan Ibunda Asmariah yang tiada henti berdo’a dan berjuang dengan tetesan keringat untuk penulis, adik-adikku:
Lisa
Marwiyah
kesibukannya masing-masing,
dan
Restiana
Widia,
yang
dalam
masih mau membantu penulis untuk
mencarikan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Serta adik-adik kecilku: Khaidah Rahma Putri yang sudah beranjak dewasa dan Ardan Alfariz, yang ngegemesin dan selalu menghadirkan keceriaan dalam rumah. 6. Sahabat-sahabatku di Sosiologi Agama 2003: Tuti dan Dyna, yang selalu setia menemaniku dalam setiap keadaan,Uni Nita, Yoyo, Toto, Susi, Rahmat, Ical, Nani, Joy, Seha, Haris, Yuni, Didink, Ira, Ria, Adhari, Roni, Nadia, dan juga sahabatku di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, LANI dan Rifqi, serta yang lainnya, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 7. Ibunda Binti Mahsunah, guruku tercinta dan Bapak Lubis serta, Dede Badil, yang selalu menyayangiku dan mencintaiku, terima kasih karena telah menerimaku sebagai salah satu bagian dari keluarga kalian. 8. Untuk Abang Syam, makasih ya bang dah mau dengerin segala keluh kesah Rian dan gak pernah capek ngejawab segala pertanyaan yang sebenarnya gak terlalu penting buat dijawab, dan juga segala perhatian dan kasih sayang Abang buat Rian.
9. Sahabat-sahabatku yang banyak membantu, dan mendoakanku, Lani, Nur Syamsiah, Rifqi dan Eray. Makasih Yah!!! 10. Bapak Lurah Karang Mulya dan Sekertaris Lurah, serta seluruh saff. 11. Seluruh informan : Drs. H. Farid Hadjiy, MM., Hj. Nurhayati, H. Rahmat Hidayatullah, H. Syarif Oebaidillah, Syamsuri Baidowi, Atikah, Ahmad Fachruroji, Siti Maysaroh dan seluruh masyarakat Muslim modern di Karang Mulya serta sekitarnya, yang banyak memberikan informasi dan inspirasi bagi penulis. Akhirnya penulis berdo’a segala motivasi dalam bentuk moril dan materil mendapat balasan yang tak ternilai dari Allah SWT. Amin.
Ciputat, 10 Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………..................
i
DAFTAR ISI……………………………………………………................
iv
DAFTAR TABEL…………………………………………………............
v
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………..............
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah………………...............
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………................
6
D. Metode Penelitian………………………………………
7
E. Sistematika Penulisan…………………………………..
9
KAJIAN TEORITIK A. Agama dan Keberagamaan…………..............................
11
B. Pandangan Sosiologis Mengenai Mitos. …………….....
18
C. Masyarakat Muslim Modern…………………………....
27
D. Mitos Haji……………………………………………....
30
PROFIL OBYEK PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Demografis…………………..... B. Perkembangan Pendidikan, Keagamaan
Masyarakat
Ekonomi, Kelurahan
34
dan Sosial Karang
Mulya…………………………………………………...
36
BAB IV
PENGARUH
MITOS
PADA
KEBERAGAMAAN
MASYARAKAT MUSLIM MODERN A. Beberapa Contoh Mitos Haji pada Masyarakat Karang Mulya……………………………………....................... B. Pengaruh
Mitos
pada
Pemahaman
42
Keagamaan
Masyarakat Karang Mulya………………………….......
45
C. Pengaruh Mitos pada Perilaku Keagamaan Masyarakat Karang Mulya …………………..................................... BAB V
53
PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………..............
58
B. Saran-saran……………………………………………...
59
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin............................
34
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku/Etnis.................................
35
Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan.............................................
37
Komposisi Penduduk menurut Mata Pencaharian.........................................
39
Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama....................................................
40
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di zaman modern seperti sekarang ini, nilai-nilai sosial disusun secara horisontalisme, yang berarti bahwa manusia dijadikan titik orientasi dalam penyusunan nilai-nilai sosial, dimana aspek-aspek mitologis, irrasional dan emosional, disingkirkan dari nilai-nilai tersebut; yang dahulu bersifat baka dan angker kini dinisbikan. 1 Makna mitos sudah dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Mitos dianggap sebagai sesuatu yang mengandung klaim kebenaran, tetapi dinilai bertentangan dengan realitas. Sejak timbulnya paham Rasionalisme pada abad ke17 dan ke-18, bahkan sejak Abad Pencerahan, pengetahuan yang dianggap sahih (valid) tentang realitas hanyalah didasarkan pada penalaran (reasoning), baik melalui proses induktif maupun deduktif. Dalam rasionalisme, orang tidak bisa percaya begitu saja terhadap sesuatu. Seorang itu percaya dengan dasar-dasar tertentu. Kepercayaan (belief) itu haruslah masuk akal, yaitu bertalian secara logis (coherent), tidak mengandung kontradiksi serta cocok atau sesuai (compatible) dengan pengetahuan manusia. Jika seseorang percaya kepada sesuatu yang tidak masuk akal, karena mengandung unsur-unsur
1
Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, (Yogyakarta : Kanisius, 1989), hal. 225.
yang saling bertentangan dan berbeda dengan ide yang terdapat pada manusia, maka orang itu disebut irrasional.2 Rasionalisme dan empirisme yang penuh diwujudkan dalam sains yang merupakan “lawan” dari mitos. Sains adalah prosedur tertentu untuk memperoleh pengetahuan yang sahih. Suatu kepercayaan untuk pertama kali harus ditempatkan sebagai proposisi atau kebenaran sementara, bahkan sebagai pendapat yang bisa benar dan bisa salah. Untuk bisa diakui sebagai kebenaran ilmiah, proposisi harus diuji secara sistematis melalui pengamatan, percobaan, dan penalaran yang logis dalam mempertimbangkan dan mengambil keputusan. Dalam teori konvensional, modernisasi dianggap mengandung implikasi hubungan “zero-sun” modernitas dan tradisi. Artinya, munculnya modernisasi dalam masyarakat akan melunturkan dan melenyapkan tradisi sama sekali.3 Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa keyakinan agama primitif seperti mitos eksistensinya akan semakin pudar ataupun hilang, terganti dengan hal-hal yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Namun adapula ilmuwan yang menolak pendapat seperti itu. Seperti pernyataan Karl Jasper seorang filsuf Jerman yang terkemuka, yang dikutip oleh Dawam Rahardjo,
bahwa mitos bukanlah sesuatu milik masa lampau, tetapi
menjadi ciri manusia sepanjang masa. 4
2
Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Paramadina, 1996), hal 195. 3 Donald Eugene Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Suatu Kajian Analisis, (Jakarta : CV. Rajawali, 1985), hal. XI. 4 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, hal. 204.
Jhon Gardner, seorang cendikiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kesejahteraan pada pemerintahan Presiden J.F Kennedy, pernah mengatakan. “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensidimensi moral guna menopang peradaban yang besar. Dan sekali lagi kepercayaan kepada “sesuatu” itu melahirkan sesuatu yang secara umum disebut “agama”, yang sejauh pengalaman sebagian besar manusia, lebih banyak berdasarkan atau berpusatkan pada legenda dan mitologi”. 5 Kehidupan manusia pada dasarnya dikuasai oleh mitos-mitos. Hubungan antar manusia dengan sendirinya dikuasai oleh mitos yang diciptakan oleh manusia sendiri. Manusia adalah mahluk pencipta mitos. Dan karena itu maka manusia harus bisa hidup dengan mitos. Sikap kita terhadap sesuatu, ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos menyebabkan kita menyukai atau membenci yang terkandung dalam mitos tersebut. Itulah sebabnya maka manusia itu selalu memiliki prasangka tentang sesuatu yang berkaitan dengan mitos-mitos. Kita hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak tanduk kita. Ketakutan atau keberanian kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos yang kita hadapi. Banyak hal yang sukar untuk dipercayai berlakunya, tapi ternyata berlaku hanya karena penganutnya begitu mempercayai suatu mitos. Dan ketakutan kita akan sesuatu lebih disebabkan karena ketakutan akan sesuatu mitos, bukan ketakutan akan keadaan yang sebenarnya.6 Dan meskipun agama sangat menghargai akal kritis, tetapi tiap agama memiliki mitos yang menjadi sumber penggerak dan acuan ritual bagi 5
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Kemanusiaan dan Kemoderenan. (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). hal. xxiii 6 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, hal. 199.
pemeluknya guna melakukan sakralisasi dan membangun makna atas tindakan yang bersifat profan. mitos merupakan keyakinan yang tidak bisa diterangkan dengan akal sehingga kebenarannya sulit dibuktikan secara ilmiah atau empiris, namun pengaruhnya amat kuat dalam menggerakan perilaku orang yang mempercayainya.7 Setiap agama memiliki konsep dan keyakinan tentang tempat suci sebagai “Pusat dunia”, sebuah poros penghubung antara langit-bumi antara dunia-akhirat, antara yang sakral dan yang profan, antara hidup dan mati, antara manusia-Tuhan. Bagi umat Islam, Ka’bah di Makkah diyakini sebagi “Rumah Tuhan”, jalan terdekat untuk berkomunikasi dengan Tuhan.8 Oleh karenanya, selama di sana, jamaah haji tidak boleh berperilaku sembrono atau sembarangan, apalagi berperilaku jahat. Dalam persepsi orang dari budaya Jawa yang sangat menghormati orang suci atau para wali, menimbulkan keyakinan bahwa orang tidak boleh berbuat sembarangan di kawasan makam para wali. Tampaknya persepsi semacam itu kemudian diterapkan selama menunaikan ibadah haji, karena Makkah dan Madinah merupakan Tanah Suci atau Haramain, yang tentu harus lebih dihormati dibanding makam wali.9 Dan dalam konteks haji, juga seakan sudah menjadi kepercayaan umum bahwa apa yang dialami di tanah suci adalah ‘cermin kehidupan’ orang yang bersangkutan. Jika perjalanan hajinya mulus, pertanda ia orang “baik-baik”, tetapi 7 Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”, http://www.unisosdem.org. Sumber ini diambil pada tanggal 07 Mei 2008. 8 Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”, http://www.unisosdem.org 9 Abu Su’ud, “Mitos-mitos dalam Haji”, http//www.UndisclosedRecipient:;"@freelists.org . Sumber ini diambil pada tanggal 20 Agustus 2008.
jika sebaliknya berarti dia adalah “pendosa”. Dan salah satu konsekuensinya harus menerima ganjaran yang setimpal secara tulus-ikhlas. Mitos-mitos atau kepercayaan semacam itu telah mengakar sangat kuat dalam benak kebanyakan umat Islam, bahkan dalam benak masyarakat Muslim yang sudah modern sekalipun. Hal ini, sedikit - banyak mempengaruhi perilaku kehidupan keagamaan masyarakat Muslim. Sehingga berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk memilih judul “Pengaruh Mitos Haji pada Keberagamaan Masyarakat Muslim Modern” sebagai judul penelitian dalam skripsi ini
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah pengaruh mitos haji pada kehidupan sosial masyarakat Muslim Modern. Penelitian ini dibatasi pada sejauhmana mitos mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Muslim modern. Selain itu pembahasan mitos haji pada penelitian ini juga dibatasi, hanya dengan mitos pembalasan atau semacam karma yang akan diterima seseorang sesuai dengan perbuatannya yang dilakukan sebelum melaksanakan atau ketika sedang melaksanakan ibadah haji. Dan untuk lebih memperdalam penelitian ini, secara geografis dibatasi pada masyarakat yang berada di wilayah Kelurahan Karang Mulya Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Tangerang Propinsi Banten.
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yang nanti akan terjawab dalam hasil penelitian skripsi ini, Yaitu : Bagaimana pengaruh mitos haji bagi kehidupan sosial keagamaan masyarakat muslim modern? Dan untuk lebih memperdalam analisis yang didapatkan dalam skripsi ini, maka ditambahkan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana
mitos
haji mempengaruhi pemahaman
keagamaan
masyarakat Muslim modern? 2. Bagaimana mitos haji mempengaruhi perilaku keagamaan masyarakat Muslim modern.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh mitos pada kehidupan sosial keagamaan masyarakat, khususnya masyarakat Muslim modern. b. Mendeskripsikan pengaruh mitos haji pada pemahaman dan perilaku keagamaan masyarakat Muslim modern. 2. Manfaat penelitian a. Menambah wawasan sosial keagamaan, khususnya mengenai pengaruh mitos dalam kehidupan sosial masyarakat muslim modern. b. Untuk mengubah dan mengembangkan literatur-literatur yang sudah ada sebelumnya.
c. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian Penelitian pada dasarnya merupakan aktifitas dan metode berpikir. Aktifitas dan metode berpikir tersebut digunakan untuk memecahkan atau menjawab suatu masalah. Umumnya penelitian dilakukan karena dorongan atau rasa ingin tahu, sehingga semula masih belum diketahui dan dipahami menjadi sebaliknya. Bila demikian halnya, dapat dikatakan bahwa yang disebut penelitian ialah aktifitas dan metode berfikir yang menggunakan metode ilmiah secara terancang dan sistematis untuk memecahkan atau menemukan jawaban sesuatu masalah.10 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah : 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini jenis kualitatif dengan metode deskriptif, yakni metode yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti, sedangkan pendekatan yang dipakai adalah studi kasus. Studi kasus dipakai karena diharapkan dapat menjelaskan fenomena sosial yang ada di masyarakat secara mendalam dan murni, dalam hal ini fenomena pengaruh mitos pada masyarakat Muslim modern yang ada di Kelurahan Karang Mulya. 10
Sanafiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 3-4.
Dimana studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi.11 2. Subyek Penelitian Istilah subyek penelitian menunjuk kepada individu atau kelompok yang dijadikan unit atau satuan khusus yang diteliti. Dalam penelitian ini subyeknya adalah masyarakat Muslim yang berada di Kelurahan Karang Mulya. 3. Teknik pengumpulan data a. Keputakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah dan membaca buku-buku, majalah, karya ilmiah, makalah, dan lain-lain. Yang mengandung informasi berkaitan dengan masalah yang dibahas, yang dihimpun dari berbagai tempat mulai dari perpustakaan hingga situs internet. b. Riset lapangan (Field Research) yang meliputi : Wawancara mendalam (Indepth Interview), yaitu peneliti atau petugas penelitian, melakukan “interview” dengan subjek informan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan kepada informan dikemukakan secara lisan, berdasarkan pedoman wawancara. Informan yang diteliti sebanyak 5 orang yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji. 4. Istrumen Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini adalah pedoman wawancara. Pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam 11
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Pemikiran Norman dan Egon Guba, (Yogyakarta : PT. Tirta Wacana Yogya, 2001), hal. 93.
pedoman wawancara hanya pokok, dan umumnya berbentuk pertanyaan terbuka atau tak berstruktur. 5. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah analisis data kualitatif, artinya penelitian ini tidak menggunakan angka statistik, tetapi berupa analisis terhadap data yang berkaitan dengan penjelasan-penjelasan dan pandangan-pandangan penelitian skripsi ini. Dalam penelitian kualitatif, setiap catatan lapangan (fieldnotes) yang dihasilkan dalam pengumpulan data, baik dari hasil wawancara maupun dari hasil observasi, kemudian mereduksi (merangkum, mengikhtisarkan, menyeleksi) aspek-aspek penting yang muncul dan mencoba membuat ringkasan pada seriap kasus, berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara.
E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis berdasarkan pembahasan yang dibutuhkan, dan disusun kedalam lima bab sebagai berikut : 1. Bab pertama (I) membahas tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan 2. Bab kedua (II) membahas mengenai kajian teori yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian skripsi ini, yaitu : pertama, berisi pembahasan mengenai Agama dan keberagamaan. Kedua, pandangan
sosiologis mengenai mitos. Ketiga, membahas mengenai masyarakat Muslim modern. Keempat, membahas tentang mitos haji.. 3. Bab ketiga (III) berisi profil daerah dan objek penelitian yang mendeskripsikan kondisi geografis dan demografis daerah penelitian. Selain itu, bab ini juga memberikan gambaran serta sedikit analis mngenai perkembangan pendidikan, ekonomi, dan sosial keagamaan masyarakat Kelurahan Karang Mulya. 4. Bab IV merupakan analisa mengenai pengaruh mitos pada kehidupan sosial keagamaan masyarakat Muslim modern. Kemudian deskripsi dan analisa mengenai pengaruh mitos pada pemahaman dan perilaku keberagaman masyarakat Muslim modern yang berada di Karang Mulya serta memberi beberapa contoh mitos haji pada masyarakat Karang Mulya. 5. Bab kelima (V) berisi penutup yang membahas kesimpulan dan saransaran, serta daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Agama dan Keberagamaan 1. Agama dalam Perspektif Sosiologis Berdasarkan sudut pandang bahasa, “agama” berasal dari Bahasa Sansekerta, “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Menurut inti maknanya yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam Bahasa Inggris, religie dalam Bahasa Belanda – keduanya berasal dari Bahasa Latin religio, dari akar kata religure yang berarti mengikat.12 Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluatif (menilai), ia “angkat tangan” mengenai hakikat agama, baik atau buruknya agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini ia hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.13 Agama adalah gejala sosial yang umum dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada didunia ini, tanpa kecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial suatu masyarakat. Agama juga dilihat sebagai unsur dari
12 13
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 13. Hendropuspito, Sosiologi Agama , (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1983), hal.29.
kebudayaan suatu masyarakat disamping unsur-unsur lain, seperti kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sistem peralatan, dan sistem organisasi.14 Pengalaman akan sifat serba dua hidup manusia mendasari kepercayaan agama, bahwa seluruh alam semesta diresapi dan dijiwai oleh suatu zat ilahi. Dengan kata lain, asal usul agama harus kita cari pada diri kita sendiri, agama tidak diturunkan atau diwahyukan, tetapi dilahirkan dari bawah. Bukan kepercayaan akan Allah, roh-roh, atau totem yang menjadi permulaan agama, melainkan the sense of the sacred (kepekaan bagi hal-hal suci). Orang yang berkumpul dan mengalami suasana yang khusus, lalu dari interaksi mereka timbul sejumlah kepercayaan, kewajiban dan larangan yang bercorak khusus juga sebab berhubungan dengan alam balik alam ini.15 Agama sering dipandang sebagai pemecah belah. Karena agama sering mempunyai efek negatif terhadap kesejahteraan masyarakat dan individu. Isu-isu keagamaan menjadi salah satu masalah penyebab perang, keyakinan agama sering menimbulkan sikap toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan yang lainnya.16Karena menurut Dahrendrorf, konflik akan selalu ada di dalam masyarakat dalam bentuk proses sosial menuju ke kehidupan berikutnya. Begitu juga dengan agama, sebagai fenomena sosial,
14
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 14. K .J. Veeger, REALITAS SOSIAL : Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993) hal. 158-159. 16 Thomas. F.O.Dea, Sosiologi Agama : Suatu pengantar Awal, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 61. 15
agama juga mewakili kepentingan-kepentingan tertentu untuk kelompok atau kelas tertentu dalam kaitan dengan kelangkaan sumber atau kekuatan.17 Sedangkan menurut teori fungsional, agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun mondial. Maka, dalam tinjauannya yang dipentingkan adalah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama (agamaagama), cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan kesejahtraan jasmani serta rohani) dapat terwujud. Bagi Elizabeth K. Nothingham, agama telah menimbulkan khayalnya yang paling luas dan juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut serta ngeri. Meskipun perhatian kita tertuju sepenuhnya kepada adanya suatu dunia yang tidak dapat dilihat (akhirat), namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan seharihari di dunia ini. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru kedalam hati sanubari terhadap alam ghaib dan surga-surga telah didirikan di alam tersebut. Namun demikian, agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah usang. 18 Adapun fungsi agama menurut Elizabeth K. Nothingham adalah sebagai berikut :
17
Abdul Aziz M. A. Esai-Esai, Soiologi Agama, (Jakarta : Diva Pustaka,2003), hal. 55. Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat “Suatu Pengantar Sosiologi Agama”, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 3. 18
a. Agama memelihara masyarakat dengan membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh serta memberikan kekuatan memaksa yang mendukung, serta memperkuat adat istiadat. b. Agama mengkordinasikan banyak nilai yang bermacam-macam yang tampak tidak bertalian dan tidak berarti menjadi sistem-sistem yang terpadu. c. Sebagai sesuatu yang sakral, agama memiliki kekuatan yang memaksa (dalam mengatur) tingkah laku manusia serta kekuatan yang mengukuhkan nilai-nilai moral kelompok pemeluk. 2. Keberagamaan dan Segala Aspeknya Kata keberagamaan berasal dari kata “ beragama”, kata beragama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu antara lain : a. Mengatur (memeluk) agama. b. Beribadah, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama), misalnya ia berasal dari keluarga yang taat “beragama”.19 Keberagamaan berarti pembicaraan mengenai perjalanan atau fenomena yang menyangkut hubungan antara penganut dengan agamanya, atau suatu keadaan yang ada di dalam diri seseorang (penganut utama) yang mendorong untuk bertingkahlaku sesuai dengan agamanya. 20 Salah satu aspek dari keberagamaan adalah pemahaman agama. Dapat dikatakan bahwa, pemahaman agama merupakan rangkaian proses berpikir dan
19
J. S. Badudu dan Sota Muhammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994), cet. I, hal.11. 20 M. Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi, (Yogyakarta : UGM Press,1995), hal.44.
belajar. Dikatakan demikian karena untuk menuju kearah pemahaman perlu diikuti dengan belajar dan berpikir. Pengetahuan dan pemahaman lahir sebagai akibat proses belajar dan berpikir. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pemahaman agama merupakan proses, perbuatan dari cara memahami agama yang dianut. Keberagamaan dalam penelitian sosial keagamaan lebih dikenal dengan religiusitas, yaitu lebih bersifat personal, melihat aspek-aspek yang berada di dalam hati nurani. Jadi, lebih mengarah pada nilai-nilai keagamaan yang diyakini oleh individu, kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. 21 Menurut Glock dan Stark, ada lima dimensi yang dapat membedakan perilaku keagaman masyarakat. Di dalam setiap dimensi tersebut terdapat beragam kaidah dan unsur-unsur agama yang digolong-golongkan. Sehingga, perilaku
keagamaan
dari
individu
atau
kelompok
masyarakat
dapat
diidentifikasikan dan dinilai. Dan dimensi-dimensi tersebut adalah : dimensi keyakinan, praktik, pengalaman, pengetahuan, konsekuensi-konsekuensi.22 a. Dimensi keyakinan, dimensi ini meliputi : Pengharapan-pengharapan, dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran-kebenaran doktrin tersebut. Isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-agama, tetapi dalam agama dan tradisi yang sama. Keanekaragaman keyakinan itu seringkali terjadi.
21
Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metodelogi Penelitian Survei (Jakarta : LP3ES, 1989), cet.ke-1, hal. 127. 22 Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 295.
b. Dimensi praktik agama, dimensi ini mencangkup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari dua aspek penting. Pertama, ritual yang berkaitan dengan seperangkat upacara-upacara keagaman, perbuatan religius formal dan perbuatanperbuatan mulia yang diinginkan oleh semua agama agar dilakukan oleh penganutnya. Kedua, berbakti atau ketaatan, hampir sama dengan ritual akan tetapi akan memiliki perbedaan penting. Aspek komitmen ritual sangat formal dan bersifat publik, tetapi disamping itu semua agama yang dikenal mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan has pribadi.23 c. Dimensi pengalaman, dimensi ini berhubungan dengan pengalamanpengalaman religius, yakni perasaan persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami oleh seorang pelaku atau suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) dianggap melibatkan semacam komunikasi. Betapapun halusnya dengan suatu esensi mulia, yakni dengan Tuhan, realitas tertinggi, ataupun kekuatan transendental.24 d. Dimensi pengetahuan agama, dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi keagamaan mereka. Dimensi ini berkaitan erat dengan dimensi keyakinan, karena pengetahuan tentang sesuatu yang diyakini 23 24
Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, hal. 228. Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, hal. 228.
merupakan prasyarat yang diperlukan bagi penerimanya. Namun pada praktiknya, keyakinan tidak selalu berasal dari pengetahuan, demikian pula tidak semua pengetahuan agama dihubungkan dengan keyakinan terhadap agama itu. Seseorang bisa saja memegang teguh suatu keyakinan tanpa benar-benar memahaminya. Artinya, keyakinan itu dapat timbul atas dasar pengetahuan yang dimiliki. e. Dimensi konsekuensi, dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Disini terkandung makna ajaran “kerja” dalam pengertian teologis.25 Tradisi
keagamaan
adalah
sesuatu
yang
menunjukkan
kepada
kompleksitas pola-pola tingkah laku, sikap-sikap, dan kepercayaan atau keyakinan yang berfungsi untuk menolak atau menaati suatu nilai penting (nilai-nilai) oleh sekelompok orang yang dipelihara dan diteruskan secara berkesinambungan selama periode-periode tertentu.26 Tradisi keagamaan termasuk kedalam pranata primer. Hal ini dikarenakan, pranata keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan keTuhanan atau keyakinan, tindakan keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci (ibadah), dan keyakinan terhadap nilainilai yang hakiki, dengan demikian tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain
25 26
hal.171.
Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, hal. 296. Jalaluddin, Psyikologi Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), cet. Ke-2,
didukung oleh masyarakat, juga memuat unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat.27 Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi. Sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, normanorma, pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian tradisi keagamaan memberikan pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama, sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu. Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari pernyataan diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang atau masyarakat terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.
B. Pandangan Sosioligis Mengenai Mitos 1. Defenisi Umum Mitos Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, secara harfiah diartikan sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang: dalam pengertian yang lebih luas dapat berarti suatu pernyataan, sebuah cerita, ataupun alur suatu drama. kata
27
Jalaluddin, Psyikologi Agama, hal.175.
mythology dalam bahasa Inggris menunjuk pengertian, baik sebagai studi atas mitos, maupun bagian tertentu dari sebuah mitos.28 Secara harfiah. mitos juga dibedakan menjadi 3 bentuk, yakni : a. Mitos simbolis/spekulatif, yang menafsirkan secara simbolis tata semesta alam atau tata masyarakat. b. Mitos aetologis, yang dalam bentuk cerita menerangkan suatu praktek (karangan/perintah, adat, dan sebagainya). Jung, dengan psikologi, dalam
satra
Lev-Starauss
dengan
antropologi
strukturalis
memperlihatkan bahwa mitos-mitos itu mempunyai arti yang sangat dalam. c. Dalam arti luas disamakan dengan sage, cerita legendaris mengenai seorang cikal-bakal pahlawan dari zaman dahulu. 29 Didalam buku Ensiklopedia Indonesia disebutkan tiga golongan utama mitos : mitos sebenarnya, yang merupakan daya-usaha sungguh-sungguh dan imaginative untuk menerangkan gejala-gejala alam, dan sering menyangkut dewadewa serta peristiwa adi kodrati yang terjadi jauh dimasa silam; cerita rakyat, termasuk dongeng, adalah penuturan kisah-kisah dari masa sejarah yang menyangkut kehidupan masyarakat; dan saga serta legenda, yang menceritakan secara berbunga-bunga tentang tokoh masa lalu, baik yang pernah maupun tidak pernah ada. Istilah mitologi juga diterapkan terhadap ilmu pengetahuan yang mempelajari cerita-cerita tersebut diatas; daripadanya dapat dipikirkan tentang hubungan kebudayaan dan situs arkeologi sejarah. Mitologi telah sangat 28 29
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (yogyakarta : Kanisius), hal. 147. Dick Hartoko, B. Rahmanto, Pemandu Dunia Sastra (Yogyakarta : Kanisius, 1986) hal.
memperkaya kebudayaan dan terutama kesusastraan rakyat dunia. Di Eropa mitologi klasik telah menjadi tema bagi para seniman dan sastrawan di zaman Renaisans.30 Mitos juga diartikan sebagai uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari. Penuturan itu umumnya diwujudkan dalam dongeng-dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu maka studi tentang mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat (folklore).31 Manusia mengembangkan dua cara berpikir dan memperoleh pengetahuan, yaitu dengan mitos dan logos. Mitos adalah pengetahuan yang bersifat mistis, memiliki obyek abstrak-supralogis, tidak berdasarkan fakta, dan ukuran kebenarannya ditentukan oleh rasa. Mitos tidak bisa ditunjukkan dengan buktibukti rasional. Sedangkan logos sebaliknya. Ia adalah pemikiran rasional, pragmatis, dan ilmiah. Logos terkait dengan fakta-fakta dan realitas eksternal sehingga dapat dibuktikan secara empirik.32 Mitos pertama-tama dimengerti sebagai percobaan manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya tentang alam semesta, termasuk dirinya sendiri. Pertanyaan manusia tentang kejadian alam semesta itu sudah dijawab tapi jawaban itu diberikan justru dalam bentuk mitos, artinya, suatu bentuk penjelasan yang sama sekali meloloskan diri dari setiap kontrol pihak rasio
30
Hasan Shadily, dkk., Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru-Vanhoeve, 1983),
hal. 2264. 31
Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Paramadina, 1996), hal. 199. 32 H. A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta : Rajawali, 1987), hal.231.
manusia. Jadi dalam pengertian itu mitos (muthos) dilawankan dengan logos (akal budi, rasio). Maka secara lebih umum dapat dikatakan bahwa mitos itu adalah keirasionalan atau takhyul atau khayalan, pendeknya sesuatu yang tak berada dalam kontrol manusia dan rasio manusia.33 Mitos memang bukanlah sebuah keterangan yang gamblang, mudah dimengerti (unequivocal). Tetapi mitos, menurut Karl Jasper, terdiri dari unsurunsur sebagai berikut. Pertama, mitos itu mengisahkan suatu cerita yang lebih merupakan sesuatu yang diekspresikan dalam suatu pandangan yang intuitif daripada dalam bentuk konsep yang universal. Mitos bersifat historis, baik dalam bentuk maupun isinya. Ia bukan sesuatu yang samar-samar atau menyamar dibalik jubah tentang suatu gagasan umum yang dapat dimengerti lebih baik dan langsung secara intelektual. Ia lebih merupakan penjelasan asal-usul historis tentang sesuatu dan bukannya tentang sesuatu yang dirasa perlu sebagai hukum-hukum universal. Kedua, mitos lebih merupakan kisah dan visi yang kudus, dongeng tentang dewadewa, daripada tentang realitas empiris. Ketiga, mitos adalah sesuatu yang mewadahi makna-makna yang bisa diekspresikan dalam bahasa mitos. Tokohtokoh mitos adalah simbol-simbol, dan karena sifatnya, tidak bisa diterjemahkan kedalam bahasa lain. Mitos-mitos itu dapat dijangkau dalam elemen-lemen mitos itu sendiri, tak bisa digantikan, bersifat unik. Mitos-mitos tak dapat ditafsirkan secara rasional dan hanya dapat diinterpretasikan dengan mitos-mitos baru,
33
Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta : PT Gramedia, 1982), hal 123.
dengan
mentransformasikan
mitos-mitos
itu.
Mitos-mitos
itu
saling
menginterpretasikan.34 Ernst Cassirer, sarjana terkemuka pengikut simbolisme yang dikutip oleh Thomas. F.O. Dea, menyatakan bahwa mitos memahami dan menggambarkan dunia sebagai yang “cair dan tidak tetap” lebih lanjut dia mengatakan : “Dunia mitos adalah dunia yang dramatis – sebuah dunia tindakan, kekuatan, kekuasaan yang saling bertentangan … Apapun yang dilihat atau dirasakan dikelilingi oleh suasana khusus – suasana gembira atau duka cita, kesedihan, kegairahan, kegembiraan, atau defresi, disini kita tidak dapat membicarakan “sesuatu sebagai yang mati atau sebagai bahan yang tidak perlu ditanggapi. semua objek bersifat ganda, bersahabat atau bermusuhan, familiar atau tidak, memikat dan menjemukan atau menjijikan atau menakutkan”.35 Melaui mitos manusia tidak hanya “menjelaskan” dunia mereka tetapi secara simbolis juga menampilkannya kembali. Mitos mempunyai cara lain dalam melihat dunia, suatu cara yang mengungkapkan kesatuannya bersama dengan keterlibatan emosional manusia dan partisipasi didalamnya. Mitos adalah ungkapan serius tentang pertalian dengan dunia. “Dalam mitos dan dengan menggunakan citra mitos, terdapat dorongan yang berasal dari “luar”, komunalitas subtansi yang meleburnya kedalam totalitas kedirian”. 36 Penelitian antropologi pada mulanya memang menganggap mitos-mitos itu sebagai produk mental pra-logis dan karena itu irrasional, namun antropologi modern kemudian mengubah pandangannya. Mereka kemudian berpendapat bahwa berbagai kepercayaan (mitos) yang nampaknya absurd itu akan dapat dilihat sebagai masuk akal jika dilihat dari konteks budaya yang tepat.
34
Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, hal. 204. 35 Thomas. F.O.Dea, Sosiologi Agama : Suatu pengantar Awal, hal. 80. 36 Thomas. F.O.Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, hal. 81.
Sebenarnya, mitos merupakan penggambaran dari gejala yang alamiah. Tetapi, gejala-gejala itu terjalin secara rumit dalam dongeng-dongeng sehingga tersembunyi atau malahan hilang. Sebab itu maka terkadang mitos perlu ditafsirkan. Dengan pendekatan baru itu maka mitologi bisa ditafsirkan semacam ilmu pengetahuan dalam masyarakat pra-ilmiah. 37 Dalam pandangan ilmiah yang mutakhir, mitos ditafsirkan sebagai simbolsimbol yang mengandung rasionalitas. Jika dalam sorotan ilmiah muktahir orang melihat irrasionalitas pada mitos, maka pemahamannya hanyalah masalah penerjemahan atau penafsiran yang tepat. Sebagian orang memang menertawakan mitos-mitos lama maupun modern. Tapi manusia ternyata tetap membutuhkan mitos. Jika ia terlepas dari satu mitos, ia akan jatuh ke mitos lain. Mitos adalah semacam penuntun pikiran manusia dengan cara membiarkan pikiran manusia lepas bebas dan berusaha menangkap sesuatu yang sangat kabur, sangat jauh. Mitos, barangkali adalah sesuatu ciri manusia yang paling khas. Makin tak masuk akal, makin tertarik manusia untuk mengetahuinya dan menemukannya. Dengan cara itulah manusia bisa maju dan berkembang. Mitos kerap kali adalah perintisnya.38 2. Fungsi Mitos Legenda-legenda dan mitos-mitos diperlukan manusia sebagai penunjang sistem nilai mereka. Semua itu memberi kejelasan tentang eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam sekitarnya, sekaligus tentang hubungan yang
37
Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, hal. 200. 38 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, hal. 207-208.
sebaik-baiknya antara sesama manusia sendiri dan antara manusia dengan alam sekitarnya, serta dengan wujud Maha Tinggi. Manusia tidak dapat hidup tanpa mitologi atau sistem penjelasan tentang alam dan kehidupan yang kebenarannya tidak perlu di pertanyakan lagi. Maka tidak ada kelompok manusia yang benarbenar bebas dari mitologi. Dan karena suatu mitos harus dipercayai begitu saja, maka ia melahirkan sistem kepercayaan. 39 Jadi utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan. Dan pada urutanya, utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai. Kemudian sistem nilai sendiri yang memberi manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika), yang mendasari seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban.40 Fungsi mitos dalam kehidupan religius masyarakat primitif adalah mendalam dan penting. “Menghayati” sebuah mitos berarti memiliki pengalaman religius murni, berbeda dengan pengalaman-pengalaman profan. karena apabila seseorang melakukan tindakan para dewa secara simbolis dan secara pribadi memberikan kesaksian atas peristiwa tersebut; ia lantas memasuki suatu dunia yang diubah untuk para dewa, mahluk-mahluk supranatural dan karya-karya mereka. Dengan demikian, orang tersebut menjadi semasa dengan peristiwaperistiwa asali, masa segala permulaan.41
39
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Kemanusiaan dan Kemoderenan, . (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). hal. xxii. 40 Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Kemanusiaan dan Kemoderenan, hal. xxiii. 41 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius), hal. 150-151.
3. Mitos dan Agama Meskipun agama sangat menghargai akal kritis, tetapi tiap agama memiliki mitos yang menjadi sumber penggerak dan acuan ritual bagi pemeluknya guna melakukan sakralisasi dan membangun makna atas tindakan yang bersifat profan. mitos merupakan keyakinan yang tidak bisa diterangkan dengan akal sehingga kebenarannya sulit dibuktikan secara ilmiah atau empiris, namun pengaruhnya amat kuat dalam menggerakan perilaku orang yang mempercayainya.42 Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembah-Nya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing manusia berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dari satu masa ke masa yang lain, maka agama menjadi berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk percaya kepada wujud Maha Tinggi tersebut. Keanekaragaman agama itu lebih nyata akibat usaha manusia sendiri untuk membuat agamanya lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkannya kepada gejala-gejala yang secara nyata ada disekitarnya. Maka tumbuhlah legendalegenda dan mitos-mitos, yang kesemuanya itu merupakan pranata penunjang kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu dalam masyarakat.43 Mitos, dalam kaitannya dengan agama, menjadi penting karena bukan semata-mata memuat kejadian-kejadian ajaib atau peristiwa-peristiwa mahluk adikodrati, melainkan mitos tersebut memiliki fungsi eksistensial bagi manusia,
42
Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”. Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Kemanusiaan dan Kemoderenan.. hal. xxi. 43
yaitu memberikan dasar peristiwa awali mengenai masa lampau yang jaya untuk diulangi lagi dimasa kini. Mitos merupakan kisah yang diceritakan untuk menetapkan kepercayaan tertentu. Berperan sebagai peristiwa permulaan dalam suatu upacara atau ritus, atau sebagai model tetap dari perilaku moral maupun religius. Karena mitologi atau tradisi suci dari suatu masyarakat adalah kumpulan cerita yang terjalin dalam kebudayaan mereka, yang menyuarakan keyakinan mereka, menentukan ritus mereka, yang berlaku sebagai peta peraturan sosial maupun sebagai model tetap dari tingkah laku moral mereka. Setiap mitos tentu saja memiliki isi literer karena selalu berbentuk narasi. Akan tetapi, narasi ini bukan sekedar dongeng yang menghibur ataupun pernyataan yang diberikan penganut agama. Mitos adalah cerita sejati mengenai kejadian-kejadian yang bisa dirasa telah turut membentuk dunia dan hakikat tindakan moral, serta menentukan hubungan ritual antara manusia dengan penciptanya, atau dengan kuasa-kuasa yang ada.44 Mitos merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang primordial dari berbagai sikap dan kepercayaan keagamaan. Mitos memang telah dianggap sebagai filsafat “primitif”, bentuk pengungkapan pemikiran yang paling sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan kematian, takdir dan hakikat, dewa-dewa dan ibadah”. Tetapi mitos juga merupakan jenis pernyataan manusia yang kompleks. Merupakan
44
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal.149-150.
pernyataan manusia yang dramatis,45 bukan hanya sebagai pernyataan yang rasional.46 Banyak perdebatan yang mewarnai makna mitos, namun yang pasti pemikiran mitologis tidak pernah lenyap dari lingkungan umat beragama. Banyak dorongan yang membuat mitologi bertahan. Antara lain dorongan psikologis, teologis, dan kepengapan politis sehingga mereka ingin keluar memasuki dunia lain (beyond) yang aman bersama Tuhan. Pandangan kaum modern menganggap perilaku seperti itu aneh dan primitif, sementara bagi mereka yang meyakininya memandang masyarakat modern penuh kebodohan dan kesesatan. Dan biasanya pemikiran mitologis ini menguat saat kehidupan sosial tengah mengalami krisis sehingga tak ada lagi ruang yang ramah dan menentramkan.47
C. Masyarakat Muslim Modern Modernisasi adalah perubahan nilai-nilai, perubahan cita-cita dan orientasi. Jadi masyarakat yang modern, adalah masyarakat yang bisa mengembangkan rasionalitas dan cara-cara berpikir yang baru dan masuknya cara-cara itu kedalam setiap bidang kegiatan masyarakat. Modernisasi tentu saja suatu perubahan yang dinamis, tetapi implikasinya tidak hanya mencangkup lunturnya tradisionalisme, tak hanya ketakutan akan perubahan, tetapi juga meliputi usaha mewujudkan perubahan-perubahan.48
45
Disebut sebagai pernyataan yang dramatis sebab melibatkan pikiran dan perasaan, sikap dan sentiment. 46 Thomas. F.O.Dea, Sosiologi Agama: Suatu PengantarAwal, hal. 79. 47 Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”. 48 H. A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta : Rajawali, 1987), hal.231
Maka menjadi masyarakat modern juga berarti, masyarakat menyadari bahwa sejarah itu bergerak kearah tujuan tertentu. Jadi kesanggupan orang atau masyarakat untuk mengarahkan jalannya sejarah itulah artinya modern. Untuk menjadi modern tidak berarti bahwa orang harus hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Tetapi berarti bahwa orang atau masyarakat harus hidup dalam lingkungan yang dengan sengaja dipilih dan dibinanya dengan penuh kesadaran; dan hal itu dimungkinkan dengan adanya teknologi. Dengan itu maka modernitas tak terletak pada apa yang dipilih orang, tetapi pada kenyataan bahwa ia sanggup memilih, karena ia dapat mempergunakan segala kemungkinan yang terbuka baginya.49 Cak Nur, berpendapat bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, malahan kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Menurutnya masyarakat Muslim modern berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah (hukum Ilahi) yang haq (sebab, alam adalah haq). Sunatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat menjadi modern, manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu (perintah Allah).50 Lebih lanjut Cak Nur mengatakan, bahwa masyarakat Muslim modern, adalah sebagai masyarakat rasional yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan yang Maha Esa. Perombakan pola berpikir dan tata kerja baru yang tidak berdasarkan akliah (non-rasional), digantikan dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah (rasional), harus 49
H. A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, hal.231. Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1998), hal. 172-173. 50
dikedepankan dengan melakukan penemuan-penemuan mutakhir di bidang ilmu pengetahuan dan sains teknologi.51 Modernisasi menyebabkan pola pikir masyarakat berubah yang pada akhirnya berakibat pada perilaku agama masyarakat. Ritus-ritus yang selau rutin dilaksanakan, baik yang wajib maupun sunah sejalan dengan perkembangan pola pikir masyarakat berubah mengikuti kebutuhan dunia modern. Ritual yang berkaitan dengan animisme, dinamisme ataupun hal-hal yang bersifat sinkretis semakin luntur, bahkan hilang dalam tradisi masyarakat modern. Karena yang dibutuhkan masyarakat modern adalah ritual yang dapat diterima oleh logika. Menurut Niel J. Smelser, konsep “masyarakat modern” adalah konsep yang hampir sama dengan konsep “pembangunan ekonomi”, tetapi lebih luas jangkauannya – menunjukkan bahwa perubahan-perubahan tehnik, ekonomi dan ekologi berlangsung dalam keseluruhan jaringan sosial dan kebudayaan yang ada dimasyarakat. Dalam suatu Negara atau masyarakat yang baru menuju proses modernisasi, akan timbul perubahan-perubahan besar yang mencangkup sebagai berikut : 1. Dalam bidang politik. Sewaktu-waktu sistem kewibawaan suku dan desa yang sederhana, digantikan dengan sistem-sistem pemilihan umum, kepartaian, perwakilan dan birokrasi pegawai negeri . 2. Dalam
bidang
pendidikan.
Masyarakat
berusaha
mengurangi
kebutahurufan dan meningkatkan keterampilan-keterampilan yang membawa hasil ekonomi.
51
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, hal. 84.
3. Dalam bidang religi, sewaktu-waktu sistem-sistem kepercayaan sekuler mulai menggantikan agama-agama tradisionalistis. 4. Dalam lingkungan keluarga. Unit-unit hubungan kekeluargaan yang meluas akan hilang. 5. Dalam lingkungan stratifikasi. Mobilitas geografis dan sosial cendrung untuk merenggangkan sistem-sistem hirarki yang sudah pasti dan turun-menurun.52 Di sisi lain, adapula sosiolog yang berpendapat modernitas dan tradisi dianggap saling meniadakan (Muttually Exclusive). Dalam masyarakat tradisional pasti terdapat unsur-unsur modern dan begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa hal, modernisasi dapat memperkuat unsur-unsur tradisi dan budaya tradisional. Transportasi, komunikasi, radio dan televisi misalnya, dapat memperkuat unsurunsur tradisi dan memperluas jangkauan budaya tradisional dalam masyarakat. Sebagai contoh, dalam masyarakat Jepang ada istilah Religi Tokugawa pada salah satu pemerintahan, dimana pada masa itu religi dan struktur masyarakat Jepang telah menyediakan landasan bagi keberhasilan modernisasi.53 D. Mitos Haji Dalam konteks haji, seakan sudah menjadi kepercayaan umum bahwa apa yang dialami di tanah suci adalah ‘cermin kehidupan’ orang yang bersangkutan. Jika perjalanan hajinya mulus, pertanda ia orang “baik-baik”, tetapi jika
52
Myron Weiner (ed), Modernisasi Dinamika Pertumbuhan , (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1984), hal. 60. 53 Donald Eugene Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Suatu Kajian Analisis, hal.xii.
sebaliknya berarti dia adalah “pendosa”. Dan salah satu konsekuensinya harus menerima ganjaran yang setimpal secara tulus-ikhlas. 54 Kasus-kasus pengalaman buruk seperti tersesat, kehilangan sandal, kecopetan, ditipu orang atau terinjak dan sebagainya, selalu dikaitkan dengan perilaku buruk yang dilakukan seseorang. Pengalaman buruk itu dipahami sebagai tulah atau kuwalat atau pembalasan. Mitos semacam ini tampaknya berdampak positif, sehingga seseorang takut melakukan perilaku buruk selama menunaikan ibadah haji. Yang lebih menakutkan para jamaah adalah kalau mereka mendapatkan pengalaman buruk, yang dianggap pula sebagai pembalasan sebagai akibat dari amal atau perilaku buruk yang telah dilakukan selama di Tanah Air. Menurut mitos itu, di Tanah Suci manusia akan menerima pembalasan semacam yang terjadi Hari Pembalasan atau Hari Kiamat.55 Kepercayaan mitos di atas begitu mengakar dan diyakini hingga orang yang
mengalami
musibah
atau
peristiwa
buruk
disana
tidak
berani
mengungkapkannya secara terbuka. Ini adalah aib diri dan berusaha ditutup rapatrapat. Selain itu tidak sedikit pula cerita-cerita tentang pengalaman jamaah haji yang merasa mendapat pertolongan gaib dari malaikat dalam wujud manusia tinggi besar ketika mencoba mencium hajar aswad. Uluran pertolongan malaikat itu memang bisa terjadi dimanapun, namun ada kesan bahwa malaikat lebih sering ngejawantah di Tanah Suci. Masih banyak lagi hal-hal yang dikaitkan dengan kegaiban yang religius dikisahkan selama menjalankan ibadah haji. Anggapan 54 55
Abu Su’ud, “Mitos-mitos dalam Haji”. Abu Su’ud, “Mitos-mitos dalam Haji”.
semacam itu nyaris menjadi mitos, yang diyakini kebenarannya di kalangan jamaah. Persepsi orang dari budaya Jawa yang sangat menghormati orang suci atau para wali, menimbulkan keyakinan bahwa orang tidak boleh berbuat sembarangan di kawasan makam para wali. Tampaknya persepsi semacam itulah yang kemudian diterapkan selama menunaikan ibadah haji, karena Makkah dan Madinah merupakan Tanah Suci atau Haramain, yang tentu harus lebih dihormati dibanding makam wali. Oleh karenanya, selama di sana, jamaah juga tidak boleh berperilaku sembrono atau sembarangan, apalagi berperilaku jahat.56 Proses sakralisasi tersebut, merupakan sesuatu perilaku sosial budaya yang sudah berlangsung lama sekali. Dan mau tidak mau, suka tidak suka, terjadi pula persepsi yang menyimpang di sekitar perilaku ritus yang kemudian dibakukan. Persepsi menyimpang itu menjadi mitos, yang tidak gampang dihindari Namun ada beberapa pertimbangan yang bisa digunakan untuk menghindari mitos tersebut. Pertama, Hari Pembalasan hanya terjadi kelak di Hari Kiamat. Kedua, mustahil Allah akan mempermalukan hamba-Nya yang datang memenuhi panggilan-Nya, dan menjadi tamu. Sementara itu, kita tidak boleh lupa bahwa pengalaman buruk seperti itu bisa saja di tempat lain, di negeri lain, kapan saja. Terutama kalau kita berada di tempat keramaian umum. Tetapi, pada dasarnya kehidupan manusia dikuasai oleh mitos-mitos. Hubungan antar manusia dengan sendirinya dikuasai oleh mitos yang diciptakan oleh manusia sendiri. Manusia adalah mahluk pencipta mitos. Dan karena itu
56
Abu Su’ud, “Mitos-itos Haji”.
maka manusia harus bisa hidup dengan mitos. Sikap kita terhadap sesuatu, ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos menyebabkan kita menyukai atau membenci yang terkandung dalam mitos tersebut. Itulah sebabnya maka manusia itu selalu memiliki prasangka tentang sesuatu yang berkaitan dengan mitos-mitos. Kita hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak tanduk kita. Ketakutan atau keberanian kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos yang kita hadapi. Banyak hal yang sukar untuk dipercayai berlakunya, tapi ternyata berlaku hanya karena penganutnya begitu mempercayai suatu mitos. Dan ketakutan kita akan sesuatu lebih disebabkan karena ketakutan akan sesuatu mitos, bukan ketakutan akan keadaan yang sebenarnya.57 Mitos-mitos semacam itu memang merupakan keyakinan yang tidak bisa diterangkan dengan akal sehingga kebenarannya sulit dibuktikan secara ilmiahempiris, namun pengaruhnya amat kuat dalam menggerakkan perilaku orang yang mempercayainya. Karena sebuah mitos bisa berfungsi sebagai tali pengikat dan memberi arah perjalanan hidup bagi yang meyakininya.58
57
Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, hal. 199. 58 Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”.
BAB III PROFIL OBYEK PENELITIAN KELURAHAN KARANG MULYA
A. Kondisi Geografis dan Demografis Kelurahan Karang Mulya merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Karang Tengah Kota Tangerang Propinsi Banten. Karang Mulya . Kelurahan Karang Mulya terletak pada jarak 4 km dari Ibukota Kota, 85 km dari Ibukota Propinsi, dan hanya berjarak 1 km dari Ibukota Negara. Sebagai daerah penyangga Jakarta, Kelurahan Karang Mulya merupakan daerah strategis yang memiliki peranan penting, baik dalam hal ekonomi, pendidikan, politik, sosial, budaya maupun bidang lainnya. Secara geografis Karang Mulya berada 25 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan 4, 583 mm/tahun dan tofografi rendah dengan suhu rata-rata 27 derajat celcius-35 derajat celcius. Wilayah Karang Mulya terbagi menjadi 13 Rw dan 56 Rt. Tabel I No
Jenis Kelamin
Frekuensi
Presentase
1
Laki-laki
7.268
52 %
2
Perempuan
6.642
48 %
Jumlah
13.910
100 %
Sumber : Buku Monografi Kelurahan Karang Mulya 2008
Seperti yang terlihat pada tabel diatas, daerah ini di huni oleh 13.969 jiwa, dimana jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan, yang terdiri dari 7.300 jiwa laki-laki dan 6.669 perempuan. Sejalan dengan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, maka semakin berkembang pula kehidupan penduduk Kelurahan Karang Mulya, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik Sehingga banyak menarik penduduk dari daerah lain untuk datang ke daerah ini, khususnya penduduk pedesaan yang memiliki beragam tujuan dan asal yang berbeda pula. Sehingga Kelurahan Karang Mulya menjadi sangat majemuk dalam hal etnis khususnya. Tabel II Komposisi Jumlah Penduduk berdasarkan Suku / etnis No
Suku / etnis
Frekuensi
Presentase
1
Betawi
6.020
44,8 %
2
Jawa
3.084
22,6 %
3
Sunda
2.692
18,2 %
4
Sumatera
761
5,0 %
5
Cina / Keturunan
633
4,0 %
6
Lampung
371
2,8 %
7
Kalimantan
346
2,6 %
13.910
100 %
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan Karang Mulya Wilayah Karang Mulya sebagian besar dihuni oleh penduduk asli, yang merupakan etnis Betawi. Letaknya yang hanya berjarak 1 km dari Ibu Kota
Negara dan juga sebagai daerah penyangga Ibukota, perekonomian Kelurahan Karang Mulya pun terbilang sudah maju, ini ditandai dengan merebaknya berbagai mini market, rumah sakit, pabrik-pabrik berskala kecil dan besar, serta fasilitas umum lainnya sangat mudah dijumpai di Kelurahan Karang Mulya. Dengan adanya berbagai fasilitas umum tersebut, baik langsung ataupun tidak langsung membantu mengembangkan perekonomian masyarakat asli Karang Mulya, dan tentunya juga menarik masyarakat dari luar daerah untuk tinggal dan menetap di Karang Mulya. Ini terbukti dengan banyaknya warga pendatang dari daerah lain yang datang dan menetap di Kelurahan Karang Mulya.
B.
Perkembangan,
Pendidikan,
Ekonomi,
dan
Sosial
Keagamaan
Masyarakat Kelurahan Karang Mulya. Dalam hal pendidikan, tidak seperti pada keadaan dua puluh tahun yang lalu, perkembangan pendidikan pada masyarakat Karang Mulya mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Masyarakat Karang Mulya yang kebanyakan etnis betawi, mulai menyadari akan pentingnya pendidikan. Kesadaran akan pendidikan masyarakat Karang Mulya yang semakin baik, di tunjang juga dengan semakin baiknya ketersediaan sarana prasarana pendidikan di Kelurahan Karang Mulya. baik yang tercatat di Kelurahan maupun tidak. Dari catatan isian potensi kelurahan tercatat, 1 buah bangunan Play Group, 4 buah TK, 3 SD, dan 1 buah; SMP; SMU.
Tabel III Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan No
Pendidikan
Frekuensi
Presentase
1
Taman Kanak-kanak
921
12 %
2
SD
1.969
25 %
3
SMP
1.092
14 %
4
SMU
3.067
38,3 %
5
Diploma
317
4,2 %
6
Strata I
521
6,4 %
Jumlah
8.017
100 %
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan Karang Mulya Berdasarkan pengamatan penulis, motivasi masyarakat asli Karang Mulya, yakni beretnis betawi, dalam bidang pendidikan kini semakin besar. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya Masyarakat Karang Mulya, yang bersekolah sampai keperguruan tinggi, bahkan keperguruan tinggi negeri. Sementara rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Karang Mulya saat ini adalah SMU dengan prosentase mencapai 38,3 %. Kini para orang tua sangat bersemangat menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke jenjang yang tinggi. Bahkan pekerjaan mereka sebagai buruh, petani, atau pembantu rumah tangga bukan menjadi halangan mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Karena mereka menyadari dengan memiliki pendidikan yang tinggi, di harapkan anak-anak mereka kelak berhasil dalam mencapai cita-cita mereka, yang tentunya akan meningkatkan derajat mereka
dalam kehidupan sosial masyarakat., sekalipun mereka sebagai orang tua tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Bahkan minat belajar anak-anaknya pun tinggi. Dalam waktu satu hari, mereka bukan hanya sekolah formal, melainkan juga belajar di sekolah agama non-formal dan mengikuti les-les tambahan seperti Bahasa Inggris, komputer, voli dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sosial, masyarakat Karang Mulya tidak mengalami kendala dalam berinteraksi. Beragamnya etnis di Kelurahan Karang Mulya tidak menghalangi mereka saling berinteraksi. Sampai saat ini tidak ada dalam catatan kriminal di kelurahan mengenai tindak kekerasan ataupun benturan fisik serta pemikiran yang berlatar belakang etnis. Masyarakat Karang Mulya, baik penduduk asli maupun pendatang hidup saling berdampingan. Masyarakat modern sering dikatakan sebagai masyarakat yang individualis, namun masyarakat Karang Mulya yang merupakan masyarakat modern, masih kuat memegang budaya gotong royong. Dalam berbagai acara yang bersifat individual maupun kolektif, seluruh masyarakat saling membantu. Kebanyakan dari masyarakat Karang Mulya, bekerja dalam bidang pertanian. Mereka membudidayakan tanaman hias. Namun tidak seperti sistem pertanian di desa, pertanian di daerah Karang Mulya lebih teratur dan dikemas secara modern. Pemasaran atau penjualannya juga dilakukan dengan cara yang modern, seperti dengan mengikuti pameran-pameran tingkat daerah ataupun pameran tingkat nasional.
Tabel IV Komposisi penduduk menurut mata pencaharian No
Frekuensi
Presentase
1.532
17,4%
61
1%
c. Buruh / Swasta
1.404
16 %
2
Wiraswata / Pedagang
1.071
12,2 %
3
Tani
2.914
33 %
4
Pertukangan
176
2%
5
Jasa
465
5,3 %
6
Buruh Tani
26
0,3 %
7
Pemulung
13
0,1 %
8
Pensiunan
1.130
13 %
8.792
100 %
1
Mata Pencaharian Karyawan a. Pegawai Negeri Sipil (PNS) b. TNI / POLRI
Jumlah
Sumber : Buku Monografi 2008 dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Karang Mulya Walaupun begitu, dalam melakukan mobilitas ekonomi, masyarakat Karang Mulya, memiliki pilihan pekerjaan yang cukup variatif dengan frekuensi yang beragam pula, seperti yang terlihat dalam tabel diatas. Ini tidak lain karena Kelurahan Karang Mulya adalah daerah yang strategis, memiliki banyak peluang
bagi penduduknya untuk melakukan mobilitas ekonomi. Meskipun tidak semua sarana; prasarana dan lokasi perekonomian berada di sini, yakni kebayakan di daerah Kecamatan Ciledug, namun cukup menguntungkan bagi penduduknya, karena secara geografis Kelurahan Karang Mulya bertetangga dengan Kecamatan Ciledug. Selain itu jarak Kelurahan Karang hanya berkisar 1 km dengan Ibu Kota Negara. Ini memudahkan masyarakat mencapai atau mendapatkan segala fasilitas yang ada di kota yang mungkin tidak ada di daerah Karang Mulya. Sedangkan kondisi Sosial Keagamaan Mayarakat Karang Mulya, mayoritas agama penduduk adalah Agama Islam. Jumlah pemeluk Agama Islam mencapai 9.259 orang dengan posisi atau sekitar 68 %, berikutnya Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. Hal ini juga terlihat dari jumlah Masjid dan Mushola yang cukup banyak. Dalam satu kampung terdapat satu masjid dan Mushola. Tabel V Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama No
Agama
Frekuensi
Presentase
10.800
78 %
1
Islam
2
Katholik
829
6%
3
Protestan
809
6%
4
Hindu
689
5%
5
Budha
783
5%
13.910
100 %
Jumlah
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan Karang Mulya
Kehidupan
beragama
masyarakat
Karang
Mulya
sudah
banyak
terakulturasi dengan kehidupan modern. Modernisasi menyebabkan pola pikir masyarakat berubah yang pada akhirnya berakibat pada perilaku agama masyarakat. Ritus-ritus yang selalu rutin dilaksanakan, baik wajib maupun sunnah, sejalan dengan perkembangan pola pikir masyarakat ikut berubah mengikuti kebutuhan dalam dunia modern. Namun antara pemeluk agama terjalin kerukunan antar umat beragama. Masyarakatnya bersikap solidaritas dan toleransi yang amat kuat antara agama yang lain, ini terbukti bahwa dikampung ini tidak pernah terjadi konflik antar pemeluk beragama. Itu dikarenakan masyarakat Karang Mulya adalah masyarakat yang sejak dulu sudah terbiasa dengan segala perbedaan, karena banyak disinggahi orang asing.
BAB IV PENGARUH MITOS HAJI PADA KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MUSLIM MODERN
A. Pemahaman Terhadap Rukun Islam yang Kelima Dalam menilai pengaruh mitos haji pada keberagamaan seseorang perlu dilihat dari pemahamannya mengenai rukun Islam yang kelima. Haji merupakan ibadah serta rukun agama Islam kelima, yang merupakan salah satu dari rukun yang lima jumlahnya. Kelima rukun tersebut adalah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, yang kesemuanya mempunyai kedudukan sama, yaitu wajib, meskipun tetap dikaitkan dengan kondisi yang berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
NH : “Ibadah haji merupakan
kewajiban Umat Islam yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji, dalam rangka melengkapi ibadahnya sebagai mahluk Tuhan”. 59 Sedangkan AM mengungkapkan bahwa rukun Islam yang kelima adalah, melaksanakan ibadah haji jika mampu secara lahir dan batin. Sebagaimana yang diungkapkan oleh AM: ”Melaksanakan ibadah haji jika mampu secara lahir dan batin”. Sama halnya dengan AM, FH juga mengungkapkan bahwa rukun Islam yang kelima merupakan kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji. Sebagaimana yang diungkapkan oleh FH: ”Rukun Islam yang kelima itu adalah kewajiban
59
Wawancara Pribadi dengan NH, Tangerang, 22 Agustus 2008.
untuk beribadah haji, yang dilakukan oleh umat Islam yang mampu secara faedah dan material”. Sedangkan SO memahami, bahwa pelaksanaan ibadah haji adalah gambaran kecil dari keadaan manusia di hari pengadilan. “Haji itu merupakan gambaran kecil keadaaan kita waktu di akhirat nanti”.60 Secara eksplisit ibadah haji juga dikaitkan dengan yang disebut pengalaman ruhani atau pengalaman religius. Persepsi semacam itu menyebabkan adanya anggapan bahwa tidaklah bermakna haji seseorang kalau tidak dikaitkan dengan berbagai keajaiban yang dialami selama melaksanakan ibadah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh RH : “Ibadah haji merupakan suatu ibadah yang dilaksanakan dalam rangka menyempurnakan ibadah dan mensucikan diri, maka dari itu, hal-hal aneh yang dirasakan saat ibadah haji pasti ada sebagai balasan dari Allah untuk membersihkan dari hal-hal buruk yang pernah kita lakukan”.61 Melihat pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa seluruh informan sudah mengenal konsep rukun Islam yang kelima dengan baik dan pemahaman terhadap rukun Islam yang kelima seluruh informan, tidak hanya terbatas pada interpretasi atau pengamalan saja, tetapi mereka juga mampu menjelaskan apa yang dipahami tentang rukun Islam yang kelima.
60
Wawancara Pribadi dengan SO, Tangerang, 20 Agustus 2008. 61
Wawancara pribadi dengan RH, Tangerang, 30 Agustus 2008.
B. Pengaruh Mitos Haji pada Pemahaman Keagamaan Masyarakat Muslim Modern. Mitos merupakan kisah yang diceritakan untuk menetapkan kepercayaan tertentu. Berperan sebagai peristiwa permulaan dalam suatu upacara atau ritus, atau sebagai model tetap dari perilaku moral maupun religius. Mitos juga turut membentuk hakikat tindakan moral, serta menentukan hubungan ritual antara manusia dengan penciptanya, atau dengan kuasa-kuasa yang ada.62 Sedangkan dalam pandangan lain mengatakan, keberagamaan yang berciri mitologis bisa melahirkan sikap radikal yang muncul dalam dua bentuk paradoksal. Pertama, radikalisme eskapis, berusaha melepaskan kehidupan duniawi, hidup bertapa, membebaskan diri dari berbagai kenikmatan duniawi yang dianggap racun dan bersifat maya. Kedua, membangun komunitas eksklusif sebagai wadah dan idendtitas kelompok. yang menganggap dunia sekitarnya dekaden, sebuah dunia iblis yang harus dimusnahkan.63 Terlepas dari beragamnya pandangan tentang fungsi mitos dalam sebuah agama, yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah pengaruh mitos terhadap keberagamaan masyarakat Muslim, dalam hal ini masyarakat Muslim modern, yang telah mengedepankan pola pikir dan tata kerja yang berdasarkan rasionalitas serta menyingkirkan unsur-unsur irrasional seperti mitos dalam penyusunan nilai-nilai sosial mereka. Dalam bab II telah diuraikan beberapa contoh mitos-mitos haji. Kasuskasus seperti tersesat, kehilangan sandal, kecopetan, ditipu, terinjak, ataupun 62 63
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal.149-150. Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”.
mendapat pertolongan secara gaib dari malaikat dalam wujud manusia dan lain sebagainya, banyak dialami oleh para jama’ah haji. Dalam penelitian ini, seluruh informan mengaku pernah mendengar, melihat ataupun mengalami secara langsung kejadian-kejadian tersebut, walaupun kejadian-kejadiannya tidak sama seperti yang telah diungkapkan dalam paragraf sebelumnya. Pengalaman-pengalaman
yang tidak menyenangkan ketika sedang
melaksanakan ibadah haji dialami sendiri oleh beberapa informan yang telah melaksanakan ibadah haji, diantaranya FH, NH, dan RH. FH mengungkapkan bahwa ia pernah tersesat ketika ia hendak pulang dari Masjid Nabawi, menurut FH, penyebabnya adalah karena terbersit dalam benaknya sedikit kesombongan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh FH : ” Pada waktu di Masjid Nabawi, ada seorang ibu sesama petugas haji yang jatuh sakit. Ibu itu bertanya kepada saya: “Bapak bisa pulangkan tanpa saya?”. Saya merasa disepelekan, padahal saya adalah seniornya. Dan ketika saya hendak pulang, saya lupa jalan pulang dan tersesat.”64 Kejadian tersebut dipahami AF sebagai pembelajaran, sebagaimana yang diungkapkan oleh FH: “Saya menganggap kejadian-kejadian itu sebagai pembelajaran, karena kedekatan orang mukmin terhadap Allah SWT pada saat haji, sehingga kejadian sekecil apapun diamati-NYa”. Pengalaman yang tidak menyenangkan juga dialami oleh NH, kaki kiri NH bengkak hingga ia pulang dari melaksanakan ibadah haji, menurut NH kejadian
64
Wawancara Pribadi dengan AF, Tangerang, 26 Agustus 2008.
ini karena ia menendang botol bekas air minum ketika sedang berjalan pulang dari Masjid. “...waktu saya sedang berjalan pulang dari masjid, saya iseng menendang botol bekas minuman yang sudah tidak ada isinya, saat itu juga kaki kiri saya bengkak hingga saya pulang haji. Padahal saya menendang botol itu tidak keras. Menurut NH, peristiwa aneh yang terjadi pada dirinya, memang mempengaruhi kehidupan religiusnya, terutama dalam hal keimanan kepada Allah SWT. Sebagaimana yang diungkapkan oleh NH: ”Hal-hal seperti itu memang mempengaruhi kehidupan religius saya, terutama dalam hal keimanan kepada Allah SWT, yaitu bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan Maha Kuasa”. Tidak jauh berbeda dengan FH dan NH, RH juga mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan terkait dengan perilakunya sebelum melaksanakan ibadah haji, RH selalu mencium bau kotoran kucing ketika sedang berada di Tanah Suci, menurutnya ini terjadi karena ia sangat membenci kucing dan selalu bersikap kasar terhadap kucing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh RH: “Saya selalu mencium bau kotoran kucing, padahal orang-orang disekitar saya tidak mencium bau apapun. Mungkin ini terjadi karena saya sangat membenci kucing dan selalu bersikap kasar terhadap kucing”. Kejadian yang dialami oleh RH, memberinya pemahaman bahwa ia harus memperlakukan semua mahluk ciptaan Tuhan dengan baik.”...Saya jadi lebih memahami, bahwa kita harus berbuat baik dengan setiap mahluk ciptaan Allah.”
Kejadian yang dialami oleh para informan diatas, diyakini oleh mereka sebagai balasan dari perilaku mereka yang kurang baik. Pengalaman buruk itu dipahami juga sebagai tulah, kuwalat atau pembalasan. Dari pernyataan-pernyataan para informan diatas menggambarkan, bahwa peristiwa-peristiwa aneh (gaib) yang menimpa para jamaaah haji selalu dikaitkan dengan perilaku para jamaah haji. sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Su’ud, dalam konteks haji, memang sudah menjadi kepercayaan umum bahwa apa yang dialami di tanah suci adalah ‘cermin kehidupan’ orang yang bersangkutan. Jika perjalanan hajinya mulus, pertanda ia orang “baik-baik”, tetapi jika sebaliknya berarti dia adalah “pendosa”. Dan salah satu konsekuensinya harus menerima ganjaran yang setimpal secara tulus-ikhlas.65 Berbeda dengan FH, NH, dan RH, yang mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika sedang melaksanakan ibadah haji, SO justru mengalami pengalaman yang menyenangkan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh SO: ”ditanah suci pengalaman saya yang paling berbekas adalah saat saya thawaf. Ketika semua orang saling berdesakan saya merasakan jalan saya longgar sekali, seolah-olah jalan dibukakan untuk saya.”66 Menurut SO, kejadian aneh (gaib) yang dialaminya merupakan sesuatu yang ingin diperlihatkan oleh Allah SWT, bahwa segala perilaku manusia pasti akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. ”kejadian aneh yang saya alami, merupakan sesuatu yang ingin diperlihatkan oleh Allah SWT, bahwa segala
65 66
Abu Su’ud, “Mitos-mitos dalam Haji”. Wawancara Pribadi dengan SO, Tangerang, 20 Agustus 2008.
perbuatan yang kita lakukan pasti akan mendapat balasan dari Allah SWT dan agar kita tidak menyimpang dari ajaran Allah SWT.” Sedangkan AM tidak mengalami kejadian yang aneh ketika sedang melaksanakan ibadah haji, namun ia melihat sesuatu yang aneh ketika berada di Makkah. Ia memperhatikan burung dara yang terbang disekitar Ka’bah namun menurut AM tak ada satupun burung yang terbang diatas Ka’bah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh AM: ”Di Makkah banyak burung-burung dara yang berterbangan, namun saya memperhatikan tak ada satupun burung dara yang terbang di atas Ka’bah. Dan saya perhatikan itu berkali-kali”.67 Menurut AM, hal-hal tersebut membuatnya yakin bahwa Allah Maha Kuasa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh AM: ” Masalah-masalah peristiwa yang ajaib itu adalah masalah yang tersurat tapi tidak tersirat. Kejadian yang banyak dialami tapi tidak ada dalam buku. Hal-hal seperti itu membuat kita yakin bahwa Allah Maha Kuasa. Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mitos-mitos haji turut mempengaruhi pemahaman keagamaan seluruh informan, serta memberi nilai-nilai dan norma-norma keagamaan kepada mereka. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa keyakinan terhadap mitos turut membentuk pemahaman dan kesadaran beragama. Sebagaimana yang dikatakan Nurcholis Madjid, karena suatu mitos harus dipercayai begitu saja, maka ia melahirkan sistem kepercayaan. Jadi utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan.
67
Dan
pada
urutannya,
utuhnya
sistem
Wawancara Pribadi dengan AM, Tangerang 20 Februari 2009.
kepercayaan
akan
menghasilkan utuhnya sistem nilai. Kemudian sistem nilai sendiri yang memberi manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika). Karena itu tidak ada manusia yang benar-benar terbebas dari mitos.68
C. Pengaruh Mitos Haji pada Perilaku Keagamaan Masyarakat Muslim Modern. Menurut Glock dan Stark, ada lima dimensi yang dapat membedakan perilaku keagaman masyarakat. Di dalam setiap dimensi tersebut terdapat beragam kaidah dan unsur-unsur agama yang digolong-golongkan. Sehingga, perilaku
keagamaan
dari
individu
atau
kelompok
masyarakat
dapat
diidentifikasikan dan dinilai. Dan dimensi-dimensi tersebut adalah : dimensi keyakinan, praktik, pengalaman, pengetahuan, konsekuensi-konsekuensi.69 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dimensi pengetahuan terhadap rukun Islam yang kelima dan pengalaman untuk mengukur pengaruh mitos pada perilaku keagamaan masyarakat Muslim modern. Pengalaman-pengalaman aneh (gaib) para informan ketika sedang melaksanakan ibadah haji, turut membentuk pemahaman dan kesadaran beragama para informan, karena mitos-mitos tersebut memberi nilai-nilai dan norma-norma keagamaan kepada mereka. Dan pada urutannya turut mempengaruhi perilaku keagamaan mereka, karena sistem nilai yang ada pada mitos, yang memberi
68
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Kemanusiaan dan Kemoderenan, hal. xxiii. 69 Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 295.
manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika). Karena itu tidak ada manusia yang benar-benar terbebas dari mitos. Mitos merupakan keyakinan yang tidak bisa diterangkan dengan akal sehingga
kebenarannya
pengaruhnya
amat
sulit
kuat
dibuktikan
dalam
secara
ilmiah-empiris,
menggerakanperilaku
orang
namun yang
mempercayainya. Karena sebuah mitos bisa berfungsi sebagai tali pengikat dan memberi arah perjalanan hidup bagi yang meyakininya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh FH; “Kejadian itu sedikit-banyak memang mempengaruhi perilaku saya, saya jadi lebih berhati-hati dalam bersikap dan lebih baik dalam berperilaku”. Sedangkan
NH
yang
juga
mendapat
pengalaman
yang
tidak
menyenangkan ketika sedang melaksanakan ibadah haji, mulai merubah perilakunya, kini ia takut menendang botol bekas minuman atau membuang sampah sembarangan, terutama ketika ia sedangberibadah haji. Sebagaimana yang diungkapkan oleh NH: “saat kita sedang beribadah haji hati kita harus bersih, jangan sampai melakukan hal yang kurang baik, walaupun hanya sekedar menendang botol bekas air. Tidak jauh berbeda, dengan FH dan NH, peristiwa aneh yang terjadi pad RH juga mempengaruhi perilaku RH,menurut RH, ia kini lebih bersikap baik kepada kucing, yang merupakan hewan, yang sangat ia benci. Sebagaimana yang diungkapkan oleh RH: “…Sikap saya sama kucing dan mahluk lainnya jadi lebih baik. Walaupun saya tetap gak suka sama kucing, tapi sekarang saya gak kasar lagi sama kucing”.
Dilihat dari pernyataan informan diatas dapat dikatakan bahwa, keyakinan ketika beribadah haji, segala perilaku jama’ah haji akan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa, tampaknya berdampak positif, sehingga seseorang takut melakukan perilaku buruk selama menunaikan ibadah haji. Setiap agama memiliki konsep dan keyakinan tentang tempat suci sebagai “Pusat dunia”, sebuah poros penghubung antara langit-bumi antara dunia-akhirat, antara yang sakral dan yang profan, antara hidup dan mati, antara manusia-Tuhan. Bagi umat Islam, Ka’bah di Makkah diyakini sebagi “Rumah Tuhan”, jalan terdekat untuk berkomunikasi dengan Tuhan.70 Oleh karenanya, selama di sana, jamaah haji tidak boleh berperilaku sembrono atau sembarangan, apalagi berperilaku jahat. Menurut Abu Su’ud, dalam persepsi orang dari budaya Jawa yang sangat menghormati orang suci atau para wali, menimbulkan keyakinan bahwa orang tidak boleh berbuat sembarangan di kawasan makam para wali. Tampaknya persepsi semacam itu kemudian diterapkan selama menunaikan ibadah haji, karena Makkah dan Madinah merupakan Tanah Suci atau Haramain, yang tentu harus lebih dihormati dibanding makam wali.71 Sedangkan menurut SO adanya kejadian tersebut mengingatkannya untuk selalu menjalankan segala perintah Allah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh SO: ”Adanya kejadian tersebut, mengingatkan saya untuk selalu menjalankan segala perintah Allah dengan baik dan tentunya lebih baik lagi dalam berperilaku”. 70 71
Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”. Abu Su’ud,” Mitos-mitos dalam Haji”.
Tidak jauh berbeda dengan SO, menurut pengamatan penulis kini AM, lebih khusyu dalam menjalankan ibadahnya. Kini bukan hanya ibadah wajib saja yang selalu dikerjakan oleh AM, tetapi ibadah-ibadah yang sunnah juga selalu dikerjakan oleh AM. AM mengungkapkan bahwa ia kini ingin selalu berdekatan dengan Tuhan dengan menjalankan
ibadah dengan sebaik-baiknya.
Sebagaimana
yang
diungkapkan oleh AM: ”yang saya rasakan sekarang saya selalu ingin berdekatan dengan Allah SWT. Tentunya dengan selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhkan segala laranga-Nya”. Menurut Dawam Rahardjo, hal ini disebabkan karena pada dasarnya kehidupan manusia dikuasai oleh mitos-mitos. Hubungan antar manusia dengan sendirinya dikuasai oleh mitos yang diciptakan oleh manusia sendiri. Manusia adalah mahluk pencipta mitos. Dan karena itu maka manusia harus bisa hidup dengan mitos. Sikap kita terhadap sesuatu, ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos menyebabkan kita menyukai atau membenci yang terkandung dalam mitos tersebut. Itulah sebabnya maka manusia itu selalu memiliki prasangka tentang sesuatu yang berkaitan dengan mitos-mitos. Kita hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak tanduk kita. Ketakutan atau keberanian kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos yang kita hadapi. Banyak hal yang sukar untuk dipercayai berlakunya, tapi ternyata berlaku hanya karena penganutnya begitu mempercayai suatu mitos. Dan ketakutan kita akan sesuatu
lebih disebabkan karena ketakutan akan sesuatu mitos, bukan ketakutan akan keadaan yang sebenarnya.72 Hal di atas menggambarkan bahwa, pengalaman-pengalaman gaib yang dialami para jamaah haji oleh sekelompok orang diceritakan dan dipelihara juga diteruskan secara berkesinambungan selama periode-periode tertentu. Perasaanperasaan yang bersifat mistik tersebut sulit berubah karena selain didukung oleh masyarakat, juga karena memuat unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Nilai-nilai yang ada dalam mitos itulah yang kemudian mempengaruhi perilaku keagamaan seseorang.
72
Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, hal. 199.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah diuraikan secara mendalam pada bab-bab sebelumnya, maka penulis menyimpulkan bahwa: 1. Masyarakat Muslim modern di wilayah Kelurahan Karang Mulya Kecamatan Karang Tengah masih meyakini kebenaran mitos-mitos haji, dalam hal ini mitos haji seputar pembalasan atas perilaku jama’ah haji ketika berada di Tanah Air maupun perilaku jama’ah haji saat sedang melaksanakan ibadah haji. 2. Keyakinan mereka terhadap mitos-mitos haji tersebut, kemudian turut mempengaruhi pemahaman keagamaan mereka. Mitos pembalasan haji tersebut, dipahami oleh mereka sebagai salah satu wujud dari Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan, serta memberi mereka pemahaman untuk tidak melakukan perbuatan yang menyimpang dari ajaran Allah SWT. 3. Pemahaman keagamaan itulah yang kemudian menggerakan perilaku keagamaan mereka, seperti tidak melakukan perilaku buruk kepada orang lain maupun kepada mahluk lainnya, ketika mereka masih di Tanah air ataupun selama mereka sedang menunaikan ibadah haji.
B. Saran-saran Dari akhir tulisan ini, ada beberapa hal yang penulis sampaikan kepada pihak-pihak tertentu, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Kepada birokrasi pemerintahan, yang mengurusi segala keperluan jamaah haji, ada baiknya memperbaiki segala birokrasi yang sudah ada sekarang, agar kejadian-kejadian buruk yang sering menimpa para jamah haji dapat diminimalisir. 2. Kepada para guru ngaji dan para ulama, dalam menyampaikan cermahnya perlu diisi mengenai mitos-mitos haji yang seharusnya tidak perlu ditakutkan dan dilakukan, yang bertujuan untuk memelihara kemurnian perilaku ibadah haji agar tidak tercampur dengan perilaku mitos. 3. Bagi masyarakat Muslim modern, ada baiknya lebih rasional dalam menanggapi mitos-mitos pembalasan atas perilaku jamaah haji, agar tidak terjadi persepsi yang menyimpang di sekitar perilaku ritus yang kemudian dibakukan atau disyariatkan menjadi rangkaian ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul, Esai-Esai, Soiologi Agama, Jakarta : Diva Pustaka, 2003. Badudu, J.S dan Zain, Sota Muhammad, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994. Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, yogyakarta : Kanisius, 2003. Hartoko, Dick dan Rahmanto, B Pemandu Dunia Sastra Yogyakarta : Kanisius, 1986. Djamaluddin, M., Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi, Yogyakarta : UGM Press,1995. Eugene Smith, Donald, Agama dan Modernisasi Politik, Suatu Kajian Analisis, Jakarta : CV. Rajawali, 1985. Faisal, Sanafiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003. F.O.Dea, Thomas ., Sosiologi Agama : Suatu pengantar Awal, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Hidayat, Komaruddin, “Mitologi dan Radikalisme Agama”, http://www.unisosdem.org . Sumber ini diambil pada tanggal 07 Mei 2008. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Yogyakarta : Kanisius, 1989. Jalaluddin, Psyikologi Agama, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997 Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000. Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992. Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1998. Myron, Weiner, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1984. Mukti Ali, H.A., Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta : Rajawali, 1987 Rahardjo, Dawam, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan Kebudayaan, Jakarta : Paramadina, 1996. Robetson, Roland, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Shadily, Hasan. dkk., Ensiklopedia Indonesia, Jakarta : Ichtiar Baru-Vanhoeve, 1983. Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Pemikiran Norman dan Egon Guba, Yogyakarta : PT. Tirta Wacana Yogya, 2001. Su’ud, Abu, “Mitos-mitos dalam Haji”, http//www.UndisclosedRecipient:;"@freelists.org . Sumber ini diambil pada tanggal 20 Agustus 2008. Singarimbun, Masri dan , Effendi, Sofyan, Metodelogi Penelitian Survei, Jakarta : LP3ES, 1989.
Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta : PT Gramedia, 1982. Veeger, K.J., REALITAS SOSIAL : Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993. Wawancara Pribadi dengan AM, Tangerang, 20 Februari 2009. Wawancara Pribadi dengan FH, Tangerang, 26 Agustus 2008. Wawancara Pribadi dengan NH, Tangerang, 22 Agustus 2008. Wawancara pribadi dengan RH, Tangerang, 30 Agustus 2008 Wawancara Pribadi dengan SO, Tangerang, 20 Agustus 2008.