Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum terhadap K ualitas Kultur Chaetoceros gracilis (Schütt) pada Sistem Batch Gede Suantika1), Pingkan Adityawati2), Dea Indriani Astuti2), dan Yusup Sofyan 1) Kelompok Keilmuan Ekologi dan Biosistematika, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Bandung 2) Kelompok Keilmuan Mikrobiologi, Genetika, dan Biologi Molekuler, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Bandung email:
[email protected] 1)
Diterima 16 Desember 2008, disetujui untuk dipublikasikan 18 Februari 2009 Abstrak Mikroalga Chaetoceros gracilis (Schütt) merupakan pakan alami dalam larvikultur udang putih Litopenaeus vanamei dan umumnya dikultur dalam sistem kultur batch statik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepadatan awal inokulum terhadap kuantitas kultur C. gracilis pada sistem statik. Penelitian tahap I menunjukkan bahwa kepadatan sel tertinggi kultur C. gracilis (9,85 x 106 ± 5,00 x 105 sel/mL) didapatkan pada kultur dengan kepadatan awal sel 1,0x105 sel/mL. Pada tahap II, kepadatan sel tertinggi kultur C. gracilis (9,87 x 106 ± 2,00 x 105 sel/mL) didapatkan pada kultur dengan kepadatan awal sel 1,0x105 sel/mL. Hasil ini berbeda signifikan (p<0,05) dengan kepadatan awal 1,0x102, 1,0x103, 1,0x104 sel/mL, tetapi tidak berbeda signifikan dengan kepadatan awal 1,0x106 sel/mL. Berdasarkan kepadatan jumlah sel, periode kultur, faktor fisika kimia kultur, dan keberadaan kontaminan, maka kepadatan awal inokulum 1,0 x 105 sel/mL memberikan kualitas kultur C. gracilis yang paling optimum. Kata kunci: Chaetoceros gracilis, Sistem kultur statik, Kepadatan awal Abstract Chaetoceros gracilis (Schütt) is a common live food used in white shrimp Litopenaeus vanamei larviculture that is commonly produced by using batch culture system. The aim of this study was to evaluate the effect of different initial densities inoculums to obtain the optimum quality of C. gracilis culture in batch culture system. Based on the result from step 1, the highest cell density of 9,85x106 ± 5,00x105 cells/mL was obtained in the culture with inoculum initial density of 1,0x105 cells/mL. At step 2, the highest cell density of 9,87 x 106 ± 2,00 x 105 cells/mL was obtained in the culture with inoculum initial density of 1,0x105 cells/mL and it was significantly (p<0,05) different compared with others. Based on overall culture performance parameters (cell density, culture period, water quality, and presence of contaminant), C. gracilis culture starting with the inoculum initial density of 1,0x105 cell/mL contributed to the optimum quality of C. gracilis culture. Keywords: Chaetoceros gracilis, Batch culture system, Initial cell density 1. Pendahuluan
karena sangat bergantung kepada kualitas air dan tersedianya pakan alami selama pemeliharaan. Salah satu jenis pakan alami yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi larva udang adalah Chaetoceros gracilis. Chatoceros gracilis merupakan diatom sentrik yang soliter, organisme uniseluler dengan ukuran mulai dari 0,5 μm hingga 2,0 μm (Gambar 1). Kandungan nutrisi jenis ini dibutuhkan oleh larva udang, moluska, dan Cladocera dengan kandungan rata-rata klorofil a 0,34 pg/sel (1,04%), protein 9,0 pg/sel (12%), karbohidrat 2,0 pg/sel (4,7%), dan lemak 5,2 pg/sel (7,2%) (Lavens dan Sorgeloos, 1996). Upaya meningkatkan produksi pakan alami melalui pendekatan peningkatan produksi dapat dilakukan melalui beberapa cara. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pakan hidup adalah dengan melakukan optimisasi kepadatan awal inokulum (KAI) kultur mikroalga C. gracilis. Oleh
Akuakultur merupakan salah satu industri yang berkembang pesat di dunia. Pada tahun 2004 produksi akuakultur Indonesia mencapai 914,066 ton atau setara dengan 2,3% total produksi akuakultur dunia (FishStat, 2004). Di Indonesia, salah satu hasil produksi akuakultur air laut yang permintaan dan nilai ekonomisnya tinggi adalah udang. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya permintaan udang untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk diekspor. Untuk memenuhi permintaan komoditi udang, maka diperlukan intensifikasi produksi udang dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Salah satu faktor penting dalam usaha intensifikasi produksi udang adalah proses larvikultur. Permasalahan utama yang dihadapi dalam proses larvikultur adalah masih rendahnya tingkat kesintasan (survival rate) larva 1
2 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan kepadatan awal inokulum C. gracilis terhadap pertumbuhan kultur dengan menggunakan sistem kultur statis sehingga memberikan pertumbuhan kultur paling maksimum. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber pengetahuan untuk meningkatkan produksi pakan alami C. gracilis dalam proses larvikultur udang.
inokulum, yaitu 1,5x104, 3x104, 1,5x105, 3x105, dan 1,5x106 sel/mL. Pada penelitian selanjutnya C. gracilis dikultur dalam labu Erlenmeyer berukuran 1 L dengan kepadatan awal inokulum, 1x102, 1x103, 1x104, 1x105, dan 1x106 sel/mL. Medium yang digunakan adalah medium Walne dengan pH awal medium 7,5 dan salinitas 35 ppt. Selama penelitian kultur diberi intensitas cahaya sebesar 2000 Lux, aerasi dengan laju 80-100 L/jam dan diukur jumlah sel C. gracilis, pH, salinitas, DO, konsentrasi amonium, nitrit, nitrat, silikat, dan ortofosfat. Berikut merupakan skematis sistem kultur yang digunakan (Gambar 2).
Gambar 1. Chaetoceros gracilis: Round (a), Crawfod (b), dan Mann (c) 1990. 2. Metode 2.1 Pemurnian dan aktivasi C. gracilis Kultur murni C. gracilis yang diperoleh dari Laboratorium Analisis Ekosistem Akuatik, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB dimurnikan kembali pada medium Walne dengan menggunakan metoda pipet kapiler. Mikroalga C. gracilis yang berhasil diambil dengan menggunakan pipet kapiler selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi medium Walne dan diinkubasi pada suhu 27-28 oC dengan intensitas cahaya 2000-2500 Lux selama 4-7 hari. Mikroalga C. gracilis yang berhasil berkembang biak di dalam tabung reaksi selanjutnya dikultur di dalam Erlenmeyer 100 mL. Aktivasi kedua dilakukan dengan cara memindahkan sel aktif dari aktivasi pertama ke Erlenmeyer 500 mL yang telah berisi medium Walne baru. Hasil aktivasi kedua ini selanjutnya digunakan sebagai inokulum pada penelitian selanjutnya. Selama aktivasi, kultur diinkubasi pada suhu 27-28 oC, dengan intensitas cahaya 2000-2500 Lux dan dilakukan homogenisasi kultur secara manual. 2.2 Pembuatan kurva pertumbuhan dan uji perlakuan C. gracilis Untuk membuat kurva pertumbuhan awal, sel C. gracilis dikultur menggunakan labu Erlenmeyer berukuran 500 mL dengan 5 jenis kepadatan awal
Gambar 2. Skema sistem statis (Batch) kultur C. gracilis. 2.3 Analisis Data Laju pertumbuhan eksponensial atau exponential growth rate (m) C. gracilis dihitung dengan menggunakan rumus :
µ=
ln( N n ) - ln( Ni ) (tn - ti )
di mana: µ = laju pertumbuhan, Nn = kepadatan kultur pada awal fase eksponensial, Nt = kepadatan kultur pada akhir fase eksponensial, ti, tn = waktu awal dan akhir fase eksponensial (Nahdiah, 2004). Data hasil penelitian dialisis dengan One-way ANOVA untuk mengetahui derajat signifikansi perbedaan dari setiap perlakuan selama penelitian, dan untuk mengetahui signifikansi perbedaan rata-rata dengan tingkat kepercayaan 95% digunakan Duncan. Untuk mengetahui korelasi antara faktor biotik (jumlah sel C. gracilis) dan faktor abiotik dilakukan uji korelasi Pearson.
Gede Suantika dkk, Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum terhadap Kualitas Kultur 3
3.1 Pertumbuhan populasi C. gracilis tahap I Kurva tumbuh awal kultur C. gracilis dibuat untuk mengetahui umur inokulum aktif yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Kurva tumbuh C. gracilis berdasarkan peningkatan jumlah sel (Gambar 3.1). Pada setiap perlakuan dengan kepadatan awal yang berbeda, periode terjadinya masing-masing fase tidak sama. Perlakuan dengan KAI 1,5x104 dan 3,0x104 sel/mL selama dua hari pertama mengalami fase lag terlebih dahulu, kemudian mengalami fase eksponensial hingga hari ke 4, dan selanjutnya memasuki fase stasioner yang ditandai dengan jumlah sel relatif konstan. Namun, pada perlakuan dengan KAI 1,5x104 sel/mL setelah mengalami fase stasioner, terjadi peningkatan jumlah sel yang cukup signifikan hingga mencapai 8,4x106 sel/mL. Hal ini dapat terjadi karena sel-sel C. gracilis memasuki periode kriptik di mana sel-sel C. gracilis yang masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi dari sel-sel C. gracilis yang lisis untuk pertumbuhannya. Pada perlakuan dengan KAI 1,5x105 sel/mL, fase lag kultur terjadi selama 24 jam pertama pertumbuhan, dilanjutkan dengan fase eksponensial hingga hari ke 4, dan fase stasioner hingga hari ke 6. Berbeda dengan perlakuan yang sebelumnya, kultur C. gracilis dengan KAI 3,5x105 dan 1,5x106 sel/mL tidak mengalami fase lag terlebih dahulu karena diperkirakan inokulum telah mengalami aktivasi dan adaptasi sebelumnya. Pada kultur dengan KAI 3,5x105 sel/mL, pertumbuhan secara eksponensial terjadi hingga hari ke 6 dengan kepadatan sel mencapai 1,12x107 sel/mL, akan tetapi pada hari ke 7 kultur mengalami fase kematian. Hal ini bisa disebabkan karena berkurangnya kandungan nutrisi dalam medium sehingga tidak bisa menunjang pertumbuhan sel-sel C. gracilis. Selain itu, akumulasi berbagai senyawa toksik hasil metabolisme mikroalga dapat menghambat pertumbuhan C. gracilis. Pada kultur dengan KAI 1,5x106 sel/mL, fase eksponensial berlangsung hingga hari ke 3, selanjutnya kultur C. gracilis mengalami fase stasioner hingga hari ke 5, dan pada akhir pengamatan, kultur telah berada pada fase kematian. Hasil analisis t-test untuk kultur dengan KAI 1,5x104 dan 3,5x104 sel/mL menunjukkan bahwa kedua jenis KAI tidak berbeda nyata. Hasil analisis t-test untuk kultur dengan KAI 1,5x104 dan 1,5x106 sel/mL menunjukkan bahwa kedua jenis KAI berbeda nyata. Hasil uji statistik mengunakan ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan (p<0,05) pada nilai rata-rata pertumbuhan C. gracilis yang ditumbuhkan dengan KAI 1,5x104-1,5x106 sel/mL. Berdasarkan hasil uji statistik tersebut, pada penelitian selanjutnya digunakan 5 jenis kepadatan
awal inokulum (KAI) yang memiliki rentang yang lebih luas, yaitu KAI 1,0x102 hinga 1,0x106 sel/mL. Kurv a Tumbuh Pe ndahuluan 1.40E+07 1.20E+07 1.00E+07
Jumlah sel / ml
3. Hasil dan Diskusi
8.00E+06 6.00E+06 4.00E+06 2.00E+06 0.00E+00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Hari
Kepadatan Awal I (1.50E+04 sel/ml)
Kepadatan Awal II (3.00E+04 sel/ml)
Kepadatan Awal III (1.50E+05 sel/ml)
Kepadatan Awal IV (3.020E+05 sel/ml)
Kepadatan Awal V (1.50E+06 sel/ml)
Gambar 3.1. Pertumbuhan populasi C. gracilis dengan jumlah inokulum 1,5x104-106 sel/mL. 3.2 Pertumbuhan populasi C. gracilis tahap II Pertumbuhan populasi sel C. gracilis dengan kepadatan awal inokulum (KAI) 1,00x102, 1,00x103, 1,00x104, 1,00x105 dan 1,00x106 sel/mL selama 10 hari pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.2. Pada kultur dengan KAI 1,00x102 hingga 1,00x105 sel/mL terdapat kecenderungan yang sama, yaitu setiap kultur memiliki fase lag antara 2 hingga 5 hari. Laju pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh kepadatan awal populasi, pada populasi dengan kepadatan lebih tinggi memiliki fase lag lebih singkat dan mencapai fase eksponensial yang lebih cepat. Pada kultur dengan KAI 1,00x102 dan 1,00x103 sel/mL, fase lag terjadi selama 5 hari, kemudian kultur mengalami fase eksponensial pada hari ke 6 hingga hari ke 10. Pada kultur dengan KAI 1,00x104 sel/mL, fase lag terjadi selama 3 hari, kemudian kultur mengalami fase eksponensial hingga hari ke 6, selanjutnya mengalami fase stasioner hingga hari ke 8. Pada hari ke 9 terjadi fase eksponensial kembali hingga hari terakhir pengamatan. Hal ini dapat terjadi karena sel-sel C. gracilis memasuki periode kriptik. Pada kultur dengan KAI 1,00x105 sel/mL, fase lag terjadi selama 2 hari, selanjutnya kultur mengalami fase eksponensial hingga hari ke 7. Kultur tidak mengalami fase stasioner terlebih dahulu, karena pada hari ke 8 hingga hari ke 10 terjadi penurunan jumlah sel C. gracilis. Hal ini dapat terjadi karena nutrisi kultur telah habis dan terjadi akumulasi senyawa NH4 dalam konsentrasi tinggi sehingga dapat meningkatkan mortalitas C. gracilis. Kultur dengan KAI 1,00x106 sel/mL memasuki fase eksponensial sejak hari pertama kultur hingga hari ke 5. Selanjutnya kultur ini mengalami fase stasioner hingga hari ke 7, dan fase kematian terjadi hingga pengamatan berakhir di hari ke 10. Jumlah sel terbanyak, yaitu sebesar 8,50x106 sel/mL terjadi pada hari ke 7.
4 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan kultur C. gracilis.
Kurva Tumbu h Kultur C.gracilis 1.00E+07
Model Pertumbuhan Populasi Kultur C.gracilis
8.00E+06 6.00E+06 3.50E+07
4.00E+06 Jumlah Sel/mL Jumlah sel/mL
Jumlah sel/ml Jumlah sel/mL
1.20E+07
2.00E+06 0.00E+00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Hari Hari
y = 32081e
3.00E+07 2.50E+07
0.4529x
2.00E+07
y = 204391e
1.50E+07
y = 2526.6e
0.8626x 0.1474x
1.00E+07
y = 2E+06e
0.9886x
y = 442e
Kepadatan Awal I (1.00E+02 sel/ml)
Kepadatan Awal II (1.00E+03 sel/ml)
Kepadatan Awal III (1.00E+04 sel/ml)
Kepadatan Awal IV (1.00E+05 sel/ml)
5.00E+06 0.00E+00
Kepadatan Awal V (1.00E+06 sel/ml)
0
Pada umumnya, populasi sel C. gracilis pada semua perlakuan mengalami peningkatan jumlah sel. Namun selama 10 hari pengamatan, kelima jenis KAI memiliki model pertumbuhan populasi yang berbedabeda (Tabel 1). Perbedaan tersebut menunjukkan adanya pengaruh perbedaan kepadatan awal inokulum terhadap pertumbuhan C. gracilis. Model pertumbuhan C. gracilis dapat diamati pada Gambar 3.3. Perbedaan kepadatan kultur C. gracilis antara lain disebabkan munculnya individu baru serta terjadinya kematian sel. Laju pertumbuhan spesifik menggambarkan banyaknya individu baru yang muncul per satuan waktu tertentu. Laju pertumbuhan spesifik kultur C. gracilis umumnya akan meningkat hingga mencapai laju pertumbuhan maksimum, kemudian menurun karena terjadi penurunan kualitas dan kuantitas nutrisi, serta berbagai faktor abiotik lainnya. Selain itu laju pertumbuhan spesifik kultur C. gracilis dipengaruhi oleh kepadatan awal inokulum. Hal ini berkaitan dengan carrying capacity medium yang
2
4
6
8
10
12
Hari Hari
Gambar 3.2. Pertumbuhan populasi sel C. gracilis Tahap I dengan KAI 1,00x102, 1,00x103, 1,00x104, 1,00x105 dan 1,00x106 sel/mL selama 10 hari.
Expon. (kepadatan awal I(1.0E+02sel/ml)) Expon. (kepadatan awal III(1.0E+04sel/ml)) Expon. (kepadatan awal V(1.0E+06sel/ml))
Expon. (kepadatan awal II(1.0E+03sel/ml)) Expon. (kepadatan awal IV(1.0E+05sel/ml))
Gambar 3.3. Model pertumbuhan populasi C. gracilis dengan 5 jenis kepadatan awal inokulum (1,00x1021,00x106 sel/mL). Pada Gambar 3.4 dapat dilihat laju pertumbuhan spesifik kultur C. gracilis berturut-turut untuk KAI 1,00x102, 1,00x103, 1,00x104, 1,00x105, 1,00x106 adalah 0,989-1,972, 0,402-1,319, 0,4401,266, 0,421-0,852, 0,141-0,441. 3.3 Hubungan pertumbuhan populasi C. gracilis dengan kualitas air kultur Hasil pengamatan (Tabel 2) menunjukkan bahwa parameter konsentrasi amonia, ortofosfat, dan silikat dalam kultur menunjukkan korelasi positif dengan pertumbuhan populasi kultur C. gracilis. Nitrat menunjukkan korelasi negatif pada semua jenis kultur. Nitrit hanya menunjukkan korelasi negatif pada kultur dengan KAI 1x102 dan 1x103 sel/mL. Sedangkan intensitas cahaya dan temperatur tidak menunjukkan korelasi dengan pertumbuhan populasi kultur C. gracilis.
Tabel 1. Persamaan laju pertumbuhan populasi Kepadatan awal inokulum
0.684x
1,00x102 sel/mL
Persamaan laju pertumbuhan populasi eksponensial y = 442,99e0,9886x
Persamaan laju pertumbuhan populasi
Jumlah sel tertinggi (pada hari Ke-)
y = e5,102+0,989x
2,65x106 sel/mL (hari ke-10)
1,00x103 sel/mL
y = 2526,9e0,8626x
y = e6,972+0863x
4,45 x106 sel/mL (hari ke-9)
1,00x104 sel/mL
y = 32081e0,684x
y = e9,692+0,684x
7,90x106 sel/mL (hari-8)
1,00x105 sel/mL
y = 20438e0,4529x
y = e11,774+0,453x
9,87x106 sel/mL (hari ke-8)
1,00x106 sel/mL
y = 2E+06e0,1474x
y = e14,337+0,147x
8,01x106 sel/mL (hari ke-7)
*Keterangan: Jika y adalah jumlah populasi C. gracilis dalam kultur dan x adalah umur kultur (hari)
Gede Suantika dkk, Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum terhadap Kualitas Kultur 5
Laju Pertumbuhan Spesifik Kultur C.gracilis
LajuPertumbuhan Pertumbuhan Laju
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hari Hari kepadatan awal I(1.0E+02sel/ml)
kepadatan awal II(1.0E+03sel/ml)
kepadatan awal IV(1.0E+05sel/ml)
kepadatan awal V(1.0E+06sel/ml)
kepadatan awal III(1.0E+04sel/ml)
Gambar 3.4. Laju pertumbuhan spesifik kultur C. gracilis dengan sistem batch. Tabel 2. Korelasi Pearson antara pertumbuhan populasi C. gracilis dan parameter fisika kimia kultur Kepadatan awal inokulum
Parameter Fisika-Kimia NH4
+
NO3
-
1,00E+02 0,665 -0,817 sel/mL (**) (**) 1,00E+03 0,801 -0,668 sel/mL (**) (**) 1,00E+04 0,800 -0,779 sel/mL (**) (**) 1,00E+05 0,827 -0,789 sel/mL (**) (**) 1,00E+06 0,607 -0,276 sel/mL (**) (**) (*) korelasi signifikan pada level 0,05
NO2
-
-0,500 (**) -0,348 (*) 0,433 (*) 0,381 (*) 0,585 (**)
PO43-
SiO3
0,937 (**) 0,800 (**) 0,906 (**) 0,961 (**) 0,739 (**)
0,924 (**) 0,880 (**) 0,895 (**) 0,964 (**) 0,726 (**)
pH
DO
Intensitas cahaya
Suhu
-0,052
-0,035
0,139
0,224
-0,288 0,414 (*) 0,558 (**)
-0,069 0,393 (*)
0,147
0,26
-0,137
0,042
0,261
0,229
0,278
0,067
-0,024
0,059
0,13
(**) korelasi signifikan pada level 0,01 Hasil pengukuran kualitas air secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.5. Konsentrasi amonium dalam kultur cenderung meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi C. gracilis dalam kultur. Perubahan konsentrasi amonium pada kultur C. gracilis dapat diamati pada Gambar 3.5(a). Peningkatan konsentrasi amonium tersebut kemungkinan berasal dari sel yang mengalami lisis. Amonium merupakan hasil dekomposisi tumbuhan. Berdasarkan analisis menurut korelasi Pearson, amonium menunjukkan korelasi positif terhadap pertumbuhan kultur C. gracilis, yang berarti bahwa pertumbuhan sel C. gracilis memiliki hubungan berbanding lurus dengan konsentrasi amonium dalam kultur. Mikroalga dapat menggunakan senyawa NH4+ sebagai sumber N untuk pertumbuhannya. Amonium akan diserap secara aktif dalam sel sebagai senyawa yang dibutuhkan pada saat pembentukan gugus amida (Salisbury dan Ross, 1995).
Senyawa NH4 di dalam sel akan diubah menjadi senyawa organik utama seperti glutamat, asam aspartat, dan asparagin. Pada umumnya konsentrasi nitrat pada kultur C. gracilis mengalami penurunan seiring dengan peningkatan jumlah populasi C. gracilis dalam kultur (Gambar 3.5 (b)). Berdasarkan analisis menurut korelasi Pearson, nitrat menunjukkan korelasi negatif terhadap pertumbuhan kultur C. gracilis. Nitrat merupakan salah satu sumber N yang digunakan oleh mikroalga untuk pertumbuhannya, ketika peningkatan jumlah populasi kultur akan diikuti oleh penurunan konsentrasi nitrat dalam kultur. Dalam kultur C. gracilis, konsentrasi nitrit pada umumnya berfluktuasi dan cenderung rendah (Gambar 3.5 (c)). Konsentrasi nitrit berkisar antara 0,01-0,26 mg/L. Fluktuasi dan rendahnya konsentrasi nitrit dapat terjadi karena nitrit merupakan senyawa
6 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
pengamatan, perubahan pH kultur C. gracilis tidak berbeda secara signifikan, karena adanya keseimbangan ion-ion yang terdapat dalam medium akibat adanya proses aerasi pada medium. Pada hari kedua terdapat penurunan pH kultur. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan kadar CO2 di dalam medium yang dapat menyebabkan penurunan pH. Karbon dioksida yang terlarut dalam air akan melepaskan ion H+ dan bikarbonat. Perubahan kandungan oksigen terlarut dapat diamati pada Gambar 3.5 (g). Kandungan oksigen terlarut berbanding terbalik dengan pertumbuhan jumlah sel. Hal ini dapat terjadi karena oksigen terlarut di dalam kultur digunakan C. gracilis untuk berespirasi, dan digunakan juga oleh mikroba yang mendekomposisi sel-sel C. gracilis yang telah mati. Kadar oksigen terlarut yang rendah, laju respirasi dibatasi dengan difusi oksigen terlarut ke dalam sel (Straskaba dan Gnauck, 1983; Annisa, 2005). Fluktuasi intensitas cahaya dan temperatur kultur dapat diamati pada Gambar 3.5 (h-i). Berdasarkan analisis menurut korelasi Pearson, fluktuasi intensitas cahaya dan temperatur tidak menunjukkan adanya korelasi dengan pertumbuhan jumlah populasi kultur C. gracilis. Pada beberapa mikroalga, temperatur kultur di atas 32 oC dapat menyebabkan letal, akan tetapi genus Chaetoceros sp. masih dapat bertahan hidup pada suhu 40 oC. Gen yang bertanggung jawab terhadap stress panas pada genus Chaetoceros sp. adalah gen HI-5 yang akan ditranskripsi menjadi mRNA HI-5 a dan HI-5 b (Kinoshita, 2001).
antara pada proses reduksi nitrat menjadi amonium. Selain itu menurut Jones (1993), nitrit merupakan senyawa yang dilepaskan alga dalam proses pertumbuhannya, sehingga konsentrasi nitrit dalam kultur bergantung kepada laju reduksi nitrat menjadi amonium dan laju metabolisme C. gracilis. Berdasarkan hasil pengamatan, konsentrasi ortofosfat di dalam kultur C. gracilis cenderung meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi kultur C. gracilis. Perubahan konsentrasi ortofosfat dalam kultur C. gracilis dapat diamati pada Gambar 3.5 (d). Peningkatan konsentrasi fosfat dalam medium terjadi akibat selama pertumbuhannya, mikroalga melepaskan fosfat organik dan ester organik yang cepat didaur ulang, selain itu mikroalga yang mati akan mengalami lisis, kemudian mengalami degradasi oleh bakteri (Kraus, 1964; Wetzel, 2001; Annisa, 2005). Konsentrasi silikat di dalam kultur C. gracilis cenderung meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi kultur C. gracilis. Perubahan konsentrasi silikat dalam kultur C. gracilis dapat diamati pada Gambar 3.5 (e). Peningkatan konsentrasi silikat di dalam medium terjadi akibat C. gracilis yang mati mengalami lisis, kemudian cangkang luar C. gracilis yang terbuat dari silikat mengalami dekomposisi. Perubahan derajat keasaman (pH) kultur C. gracilis selama 10 hari pengamatan cenderung fluktuatif. Kisaran fluktuasi dan perubahan pH dapat diamati pada Gambar 3.5 (f). Perubahan pH dalam kultur C. gracilis disebabkan karena adanya perubahan kelarutan CO2 dan mineral di dalam medium pertumbuhan C. gracilis. Berdasarkan hasil Perubahan Konsentrasi Amonium Kultur
Perubahan Konsentrasi Nitrat Kultur 0.3
5 4
b
3 2 1
NO3 (mg/L) NO3 (mg/L)
a
Amonium(mg/L) Amonium (mg/L)
6
0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
0 0
2
4
6
8
10
0
12
2
4
6
kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)
kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)
kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)
kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)
kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)
kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)
kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)
12
kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)
kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)
Perubahan Konsentrasi Nitrit Kultur
Perubahan Konsentrasi Orthofosfat Kultur 12
0.3
10
0.2 0.15
d
0.1 0.05
PO3 PO4 (mg/L) (mg/L)
0.25
(mg/L) NO2NO2(mg/L)
10
Hari
kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)
c
8
Hari
Hari Hari
8 6 4 2 0
0 0
2
4
6
8
10
Hari Har i
0
2
4
6
8
10
Hari
Hari
kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)
kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)
kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)
kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)
kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)
12
kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml) kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml) kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)
kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml) kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)
12
Gede Suantika dkk, Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum terhadap Kualitas Kultur 7
Perubahan Derajat Keasaman (pH) Kultur
Perubahan Konsentrasi Silikat Kultur 60
9.5
9 40
8.5
f
30
pH pH
e
Silikat Silikat(mg/L (mg/L)
50
8
20
7.5
10
7
0 0
2
4
6
8
10
12
0
2
4
6
Hari
kepadatan awal I (1.00E+ 02 sel/ml)
kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)
kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)
kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)
kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)
kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)
kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)
kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)
kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)
Perubahan Oksigen Terlarut (DO) Kultur
12
Perubahan Intensitas Cahaya Kultur 2250
7.5 7 6.5
h
6 5.5 5
(lux) (lux) In. Int.Cahaya Cahaya
8
DO (mg/L DO (mg/L)
10
kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)
8.5
g
8
Hari Hari
Hari
4.5
2200 2150 2100 2050 2000 1950 1900
4 0
2
4
6
8
10
0
12
2
4
kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)
kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)
kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)
kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)
6
8
10
12
har i Hari
Hari Hari
kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)
kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)
kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)
kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)
kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)
kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)
Perubahan Temperatur Kultur 29
i
Suhu (oC) Suhu (ºC)
28.8 28.6 28.4 28.2 28 27.8 27.6 0
2
4
6
8
10
12
Hari Hari kepadatan awal I (1.00E+02 sel/ml)
kepadatan awal II (1.00E+03 sel/ml)
kepadatan awal III (1.00E+04 sel/ml)
kepadatan awal IV (1.00E+05 sel/ml)
kepadatan awal V (1.00E+06 sel/ml)
Gambar 3.5. Hasil pengukuran berbagai faktor fisika kimia kultur: amonium (a), nitrat (b), nitrit (c), orthofosfat (d), silikat (e), pH (f), DO (g), intensitas cahaya (h), dan temperatur kultur (i). 3.4 Jumlah kontaminan
3. Kesimpulan
Selama penelitian berlangsung, dilakukan penghitungan jumlah kontaminan untuk mengetahui signifikansi pertumbuhan populasi mikroba terhadap pertumbuhan populasi kultur C. gracilis. Berdasarkan hasil pengamatan, kontaminan kultur C. gracilis yang diamati berasal dari kelas Cilliata, ordo Hypotrichida. Kontaminasi cilliata pertama kali ditemukan pada kultur dengan KAI 1x106 sel/mL pada hari ke 6, kemudian pada kultur dengan KAI 1x105 sel/mL pada hari ke 7. Pada kultur dengan KAI 1x102-1x104 sel/mL kontaminasi cilliata terjadi pada hari ke 8. Kontaminasi cilliata terjadi ketika populasi kultur C. gracilis telah mencapai 1x106 sel/mL, dan ketika populasi kultur C. gracilis mulai berkurang, maka populasi kontaminan ikut berkurang. Diperkirakan sumber kontaminasi berasal dari alat pengukur faktor fisik kultur dan saluran aerasi.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kepadatan awal inokulum (KAI) C. gracilis yang dikultur menggunakan metoda batch, dengan medium pertumbuhan Walne, salinitas awal 35 ppt, pH awal 7,5, aerasi 80-100 L/jam, suhu 27-29 oC berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi kultur C. gracilis yang ditunjukkan dengan kepadatan populasi kultur C. gracilis tertinggi pada kultur dengan kepadatan awal inokulum 1,0x105 sel/mL, yaitu sebesar 9,87x106 sel/mL pada hari ke 8 periode kultur. Persamaan laju pertumbuhan populasi eksponensial tertinggi terdapat pada kultur C. gracilis dengan kepadatan awal inokulum 1,0x104 sel/mL, yaitu dengan persamaan y = 32081e0,684x dengan y adalah jumlah populasi C. gracilis dalam kultur, dan x adalah periode kultur. Selain itu, laju pertumbuhan spesifik C. gracilis terbesar terdapat pada kultur dengan KAI 1,0x102
8 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
sel/mL, yaitu sebesar 1,972 sel/hari, dan laju pertumbuhan spesifik C. gracilis terkecil terdapat pada kultur dengan KAI 1,0x106 sel/mL, yaitu sebesar 1,41 sel/mL. Daftar Pustaka Annisa, L., 2005, Respon Chlorella pyrenoidosa terhadap Senyawa Klorporifos, Tesis Magister Biologi ITB, Bandung. FishStat, 2004, The State of World Fisheries And Aquaculture 2004, FAO Fisheries Departement, Rome. Jones, A. B., 1993, Macroalgal Nutrient Relationships, Department of Botany, University of Queensland. Kinoshita, S., 2001, A Novel Heat Stress-responsive Gene in the Marine Diatom Chaetoceros Compressum Encoding Two Types of
Transcripts, a Trypsin-like Protease and its Related Protein, by Alternative RNA Splicing. Eur. J. Biochem., 268, 4599-4609. Nahdiah, R., 2004, Pengaruh Penambahan Inokulum Azotobacter Chroococcum Beijerinck terhadap Pertumbuhan Chlorella pyrenoidosa Chick, Tesis Magister Biologi ITB, Bandung. Round, F. E., R. M Crawfod, and D. G Mann, 1990, The Diatoms, Cambridge University Press, Cambridge. Salisbury, F. dan C. W. Ross, 1995, Fisiologi Tumbuhan, Penerbit ITB, Bandung. Sorgeloos, P. and P. Lavens, 1996, Manual on the Production and Use of live Food for Aquaculture, Fisheries technical paper, Food & Agriculture Organization of The United Nation, Rome.
Penumbuhan Lapisan Tipis mc-Si:H Tipe-P dengan Metode HW-PECVD untuk Aplikasi Sel Surya Jasruddin, Abdul Haris, dan Helmi Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar, Makasar e-mail:
[email protected],
[email protected] Diterima 19 Februari 2009, disetujui untuk dipublikasikan 16 Maret 2009 Abstrak Lapisan tipis silikon mikrokristal terhidrogenasi (mC–Si:H) tipe-p telah berhasil ditumbuhkan pada reaktor hot wire plasma enhanced chemical vapor deposition (HW-PECVD) dengan menggunakan gas silan (SiH4) dan gas diboron (B2H6) yang masing-masing dilarutkan 10% dalam hidrogen (H2) sebagai sumber gas. Lapisan tipis yang telah ditumbuhkan memiliki lebar celah pita optik yang menurun dari 1,88 eV menjadi 1,50 eV pada saat konsentrasi doping meningkat dari 0,5% ke 2,0% pada tegangan filamen 4,5 volt dan daya RF 100 watt. Konduktivitas gelap dan terang lapisan tipis cukup tinggi, yaitu masing-masing pada orde 10-8–10-6 Scm-1, dan 10-5–10-3 Scm-1. Konduktivitas ini lebih tinggi dua orde dari konduktivitas lapisan tipis a-Si:H tipe-p yang ditumbuhkan dengan teknik PECVD tanpa filamen panas (hot-wire). Dengan demikian lapisan tipis yang dihasilkan dalam studi ini baik untuk aplikasi sel surya dan divais mikroelektronik lainnya. Kata kunci: Celah optik, Filamen panas, Konduktivitas, Tipe-p Abstract Thin film of microcrystal silicon hydrogenated (µC-Si:H) p-type has been successfully grown in a hot-wire plasma enhanced chemical vapor deposition (HW-PECVD) by using silane gas (SiH4) and diborane (B2H6) diluted in 10% H2 respectively as gas resources. The resulted thin film have optical band gap decreased from 1.88 eV to 1.50 eV as the dopant concentration increased from 0.50% to 0.20% on filament voltage of 4.5 volt and RF power of 100 watt. Dark and photo conductivities of the film were found significantly high, in the order of 10-8-10-6 Scm-1 and 10-5-10-3 Scm-1 respectively. The conductivity is two order higher than thin film a-Si:H p-type grown using PECVD technique without hot-wire. It is concluded that the thin film produced in this study is suitable for solar cell application and other microelectronic devices. Keywords: Optical band gap, Hot-wire, Conductivity, P-type 1. Pendahuluan
Sel surya pertama kali dikembangkan dengan menggunakan bahan silikon kristal (c-Si). Namun demikian, akhir-akhir ini para ahli dalam bidang sel surya banyak yang tertarik mengembangkan sel surya dari material lain, diantaranya silikon amorf terhidrogenasi (a-Si:H). Hal ini disebabkan karena temperatur penumbuhan material c-Si sangat tinggi sehingga hanya dapat ditumbuhkan pada wafer silikon yang harganya mahal dan persediaannya tidak cukup pada saat sel surya diproduksi dalam jumlah yang sangat besar sehingga menyebabkan biayanya menjadi mahal. Lapisan tipis a-Si:H yang ditumbuhkan dengan teknik plasma enhanced chemical vapor deposition (PECVD) adalah material yang baik untuk pengembangan divais elektronik dan optoelektronik, seperti sel surya, thin film transistor, fotoreseptor, sensor warna, thin film light emitting diode dan lainlain (Matsui dkk., 2002; Malago dkk., 2000). Ini
Para ahli energi memprediksikan bahwa dalam kurun waktu 30–40 tahun ke depan, dunia akan mengalami krisis energi yang berasal dari minyak bumi secara serius, bahkan tidak menutup kemungkinan akan habis. Masalah lain yang muncul akibat penggunaan energi dari minyak bumi adalah munculnya isu peningkatan gas emisi, khususnya gas karbondioksida (CO2) di udara. Ini berarti bahwa pengembangan sumber energi yang jumlahnya tak terbatas serta ramah lingkungan adalah suatu keharusan. Salah satu sumber energi yang memenuhi syarat tersebut adalah energi matahari. Energi matahari tersedia sepanjang masa dan mampu meradiasikan energi sebesar 4 x 1018 watt jam setiap hari. Alat yang dapat mengubah energi matahari menjadi energi listrik arus DC secara langsung disebut sel surya atau photovoltaic. 9
10 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
disebabkan karena material a-Si:H mempunyai koefisien absorpsi cahaya yang tinggi (106 cm-1), celah pita optik lebar (1,7eV–2,0eV), temperatur penumbuhan rendah (200 oC), dan dapat ditumbuhkan pada substrat gelas yang harganya murah dan persediannya melimpah. Dengan demikian maka a-Si:H menjadi material yang murah untuk diaplikasikan pada berbagai divais semikonduktor jika dibandingkan dengan silikon kristal (c-Si) yang mempunyai celah pita optik 1,12eV, dan koefisien absorpsi 104 cm-1 (Mukhopadhyay dkk., 2001; Street, 1991). Kelemahan lapisan tipis a-Si:H adalah konduktivitas listriknya rendah, yaitu 10-10-10-5 Scm-1, sedangkan konduktivitas listrik c-Si adalah 10-4Scm-1104 Scm-1 (Matsui dkk., 2002; Mukhopadhyay, 2001). Untuk meningkatkan konduktivitas listrik lapisan tipis a-Si:H dapat dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya yang saat ini baru dikembangkan adalah melalui penumbuhan dengan menggunakan teknik hotwire chemical vapor deposition (HW-CVD). Dengan teknik ini, Klein dkk. (2002) berhasil menumbuhkan lapisan tipis a-Si:H yang berfasa mikrokristal dengan konduktivitas listrik 10-6 Scm-1-10-4 Scm-1 dan laju deposisi tinggi, yaitu 4 Ås-1. Laboratorium Fisika material elektronik (Fismatel) Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) dimana peneliti terlibat didalamnya telah berhasil mengembangkan reaktor PECVD yang dilengkapi filamen panas antara elektroda katodaanoda. Reaktor ini disebut hot-wire PECVD (HWPECVD). Kelebihan HW-PECVD dibandingkan HWCVD adalah temperatur substrat masih tetap rendah, sehingga lapisan tipis dapat ditumbuhkan pada berbagai jenis substrat. Laboratorium Fismatel juga telah berhasil mengembangkan parameter baru penumbuhan lapisan tipis a-Si:H pada reaktor PECVD dengan celah pita optik lebar, yaitu 2,04 eV (Syamsu dkk. 2000). Melalui kombinasi parameter baru dan teknik HW-PECVD seperti tersebut di atas, dalam studi ini telah dikembangkan lapisan tipis mc-Si:H tipe-p dengan konduktivitas dan laju deposisi tinggi, dan celah pita optik lebar untuk aplikasi sel surya. Lapisan tipis tipe-p yang merupakan lapisan jendela pada divais sel surya sangat mempengaruhi unjuk kerja sel surya. Dengan kata lain, pengembangan lapisan tipe-p adalah sesuatu yang mutlak dilakukan dalam upaya meningkatkan unjuk kerja sel surya. 2. Metode Eksperimen Sistem Hot Wire Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition (Hot Wire PECVD) dikembangkan dari sistem PECVD untuk penumbuhan lapisan tipis silikon amorf terhidrogenasi (a-Si:H) dan silikon mikrokristal terhidrogenasi (mc-Si:H). Sistem Hot Wire PECVD adalah sistem PECVD yang ditambahkan
dengan filamen panas, yaitu filamen berupa kawat lurus yang diletakkan membentang diantara kedua elektroda dan dihubungkan dengan sumber tegangan. Selama proses penumbuhan lapisan tipis, filamen dipanaskan dengan suplai daya listrik secara langsung dan temperaturnya dipertahankan konstan selama eksperimen berlangsung. Dalam studi ini, lapisan tipis mc-Si:H tipe-p ditumbuhkan di atas gelas Corning 7059 dengan teknik HW-PECVD yang ada di Laboratorium Fisika Material Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB). Skema reaktor HW-PECVD disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema sistem reaktor HW-PECVD. Gas Silan (SiH4) yang dilarutkan 10% dalam hidrogen (H2) dan gas B2 H6 sebagai dopan telah digunakan sebagai sumber gas. Tekanan reaktor sebelum penumbuhan adalah 10-4 Torr, sedangkan tekanan selama penumbuhan berlangsung dipertahankan pada 10-1 Torr. Temperatur substrat dipertahankan pada 200 oC, frekuensi radio (RF) 13,56 MHz dengan daya 100 watt, dan tegangan filamen (VF) dipertahankan pada 4,5 volt, dan prosentase doping bervariasi dari 0,5%-2,0% pada laju aliran gas SiH4 sebesar 90 sccm. Lapisan tipis yang telah ditumbuhkan selanjutnya diukur konduktivitas gelap dan terangnya dengan teknik koplanar dan menggunakan lampu Xenon sebagai sumber cahaya. Celah pita optik lapisan dihitung dengan menggunakan metode Tauc dari data transmitansi yang diukur dengan spektroskopi UV-Vis. Untuk mengamati perubahan struktur fasa lapisan tipis mc-Si:H tipe-i, telah dilakukan pengukuran bagian permukaan lapisan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), sedangkan untuk mengetahui orientasi kristal, dilakukan pengukuran spektrum dengan X-Ray Diffraction (XRD). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil pengukuran transmitansi Dari Gambar 2 di bawah ini terlihat bahwa untuk lapisan tipis mc-Si:H tanpa doping (intrinsik,
Jasruddin dkk, Penumbuhan Lapisan Tipis mc-Si:H Tipe-P dengan Metode HW-PECVD 11
Transmitansi (%)
¨ Uc-Si:H ¡
Doping 0,5%
D Doping 1,0% o Doping 1,5% Í Doping 2,0%
[B2H6/SiH4] (%)
Gambar 3. Grafik laju penumbuhan dan celah pita optik lapisan tipis mC-Si:H tipe-p sebagai fungsi dari prosentase doping B2H6, VF = 4,5 volt, daya RF = 100 watt dan QSiH4 = 90 sccm. Gambar 3 memperlihatkan bahwa, semakin besar prosentase doping, celah pita optik menurun dan laju penumbuhan (laju deposisi) lapisan meningkat untuk prosentase doping meningkat dari 0,5–1,0%. Pada saat prosentase doping lebih besar dari 1,0%; laju deposisi menurun. Penurunan laju deposisi ini diduga akibat meningkatnya pelepasan atom hidrogen pada saat atom hidrogen lebih reaktif selama proses penumbuhan. Ikatan hidrogen yang paling mungkin terlepas adalah ikatan treehidrid dan dihidrid. Hal ini juga yang menyebabkan turunnya celah pita optik. Namun demikian, dengan masuknya atom boron, berarti satu elektron pada kulit terluar dari Boron akan diberikan kepada Silikon untuk dipakai bersama dengan membentuk ikatan kovalen. Ini berarti akan terbentuk muatan bebas positif yang disebut hole. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan konduktivitas gelap maupun konduktivitas terang lapisan tipis mC-Si:H tipe-p seperti terlihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Dari Gambar 2 juga terlihat bahwa terjadi interference fringe pada semua lapisan. Interference fringe terjadi sebagai efek dari ketebalan lapisan. Semakin tinggi atau semakin banyak jumlah interference fringe pada interval panjang gelombang tertentu mengindikasikan ketebalan lapisan. Dari pola interference fringe pada Gambar 2 menunjukkan bahwa ketebalan lapisan dalam studi ini relatif sama.
Konduktivitas (Scm -1)
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 2. Grafik transmitansi lapisan tipis mC-Si:H tipe-p sebagai fungsi dari panjang gelombang untuk prosentase doping diboron 0%; 0,5%; 1,5%; dan 2,0%, daya RF=100 watt, VF= 4,5 volt, dan QSiH4 = 90 sccm.
Celah Pita Optik (eV)
3.2 Hasil perhitungan celah pita optik, laju deposisi, dan konduktivitas
Laju Deposisi (Ås-1)
tipe-i), lapisan tipis tersebut dapat meneruskan cahaya tampak sebesar 5,2%-85,4% pada panjang gelombang antara 550–750 nm. Pada saat diberikan doping sebesar 0,5%, transmitansi lapisan relatif tidak mengalami perubahan. Pada saat persentase doping ditingkatkan menjadi 1,0%; transmitansi lapisan mengalami penurunan, yaitu hanya dapat meneruskan cahaya tampak sebesar 5,5%–70% pada daerah panjang gelombang 600 nm–780 nm. Untuk doping 1,5%; lapisan hanya dapat meneruskan cahaya tampak sebesar 3,5%–55,9% pada daerah panjang gelombang 670 nm– 820 nm, sedangkan pada saat persentase doping 2,0%; lapisan tipis hanya dapat meneruskan cahaya tampak 3,5%–45% pada daerah panjang gelombang 678 nm– 820 nm. Dengan kata lain, untuk kondisi ini, semakin besar persentase doping, transparansi lapisan tipis semakin menurun. Ini berarti celah pita optik lapisan tersebut menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi atom boron dalam lapisan. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran celah pita optik seperti terlihat pada Gambar 3. Penurunan transmitansi ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan keadaan terlokalisasi akibat pelepasan kembali ikatan hidrogen pada saat terjadi ikatan Si-B (silikon-boron) dan bertambah acaknya panjang rantai ikatan antara atom-atom. Ini dapat dipahami sebab energi ikat antara Si-B lebih besar dari energi ikat Si-H.
1x10+0 1x10-1 1x10-2 1x10-3 1x10-4 1x10-5 1x10-6 1x10-7 1x10-8 1x10-9 1x10-10 [B2H6/SiH4] (%)
Gambar 4. Hasil pengukuran konduktivitas gelap dan konduktivitas terang lapisan tipis mC-Si:H tipe-p sebagai fungsi dari persentase doping B2H6, daya RF = 100 watt, VG = 4,5 volt, dan QSiH4 = 90 sccm.
12 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
Dari Gambar 4 di atas terlihat bahwa konduktivitas gelap adalah dalam orde 10-8-10-5 Scm-1, sedangkan konduktivitas terangnya adalah dalam orde 10-5-10-3 Scm-1. Konduktivitas lapisan tipis mC-Si:H tipe-p ini lebih tinggi dua orde daripada konduktivitas lapisan tips silikon amorf terhidrogenasi (a-Si:H) tipep yang ditumbuhkan dengan teknik PECVD (tanpa Hot-Wire). Peningkatan konduktivitas lapisan tipis mCSi:H tipe-p disebabkan oleh menurunnya cacat di ekor pita akibat munculnya fasa mikrokristal diantara fasa amorf. Dengan demikian, perangkap elektron di daerah ekor pita berkurang dan dengan sendirinya mobilitas pembawa muatan meningkat. Kehadiran daerah mikrokristal dalam lapisan diperlihatkan oleh hasil
pengukuran struktur permukaan lapisan seperti terlihat pada Gambar 5. 3.3 Hasil pengukuran permukaan lapisan tipis dengan SEM Pada saat atom hidrogen terinkorporasi ke dalam matriks silikon, ternyata juga dapat meningkatkan jumlah dan ukuran butir mikrokristal dalam lapisan, seperti terlihat dari hasil SEM pada Gambar 5 di bawah ini. Penyebab terjadinya jumlah dan ukuran butir ini belum dapat ditentukan. Untuk memastikannya masih diperlukan studi lanjut.
(a)
(b)
Tipe-p; 1,0%
Tipe-p; 2,0%
Gambar 5. (a) Hasil pengukuran surface lapisan tipis a-Si:H yang ditumbuhkan pada daya 80 watt dan 100 watt. (b) Profil permukaan lapisan tipis mC-Si:H tipe-p yang ditumbuhkan pada konsentrasi doping B2H6 1,0% dan 2,0%; daya RF = 100 watt, VF = 4,5 volt, dan QSiH4 = 90 sccm.
Jasruddin dkk, Penumbuhan Lapisan Tipis mc-Si:H Tipe-P dengan Metode HW-PECVD 13
Dari Gambar 5 di atas terlihat dengan jelas bahwa ukuran butir lapisan tipis mC-Si:H tipe-p lebih banyak dan lebih besar daripada ukuran butir lapisan tipis mC-Si:H tipe-i. Secara teoritis, jika daerah mikrokristal diantara daerah amorf bertambah, dan ukuran butir semakin besar, maka mobilitas pembawa muatan dalam lapisan akan semakin tinggi, dengan kata lain, konduktivitas lapisan tersebut akan lebih tinggi. Ini berarti, karakteristik lapisan tersebut telah mendekati karakteristik kristal silikon, sedangkan sifat optiknya masih dapat dipertahankan. Hal inilah yang merupakan keunggulan material mC-Si:H yang ditumbuhkan dengan teknik HW-PECVD. 3.4 Hasil pengukuran spektrum lapisan dengan X-Ray Diffraction
Intensitas(counts) (counts) Intensitas
60
47,35 <220>
40 30
Ucapan Terima kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Deputi Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia yang telah membiayai penelitian ini melalui progran “Pengembangan Riset Sains Dasar MIPA”. Hal yang sama disampaikan kepada kepala Laboratorium PECVD Fismatel Jurusan Fisika ITB yang telah pendukung telaksananya penelitian ini.
28,41 <111>
50
interval 1,5–1,88 eV. Konduktivitas lapisan tipis tipe-p yang dihasilkan juga cukup tinggi, yaitu pada orde 10-8 -10-3 Scm-1. Konduktivitas ini lebih tinggi dua orde dari konduktivitas lapisan tipis a-Si:H, yaitu 10-10-10-6 Scm-1 Penambahan filamen panas (hot wire) pada sistem PECVD efektif meningkatkan laju penumbuhan (deposisi) lapisan tipis sehingga mencapai antara 1,762,54 Ås-1. Laju deposisi ini lebih tinggi daripada laju deposisi lapisan tipis amorphous silikon pada PECVD tanpa penambahan filamen panas. Dengan celah pita optik lebar, konduktivitas listrik dan laju deposisi tinggi seperti ini, maka lapisan tipis mC-Si:H tipe-p yang dihasilkan dalam studi ini sangat baik untuk aplikasi sel surya dan divais optoelektronik lainnya.
56,12 <311> 69,10 <400>
20
Daftar Pustaka
10 0 10
20
30
40
50
60
70
80
2 Theta (derajat) 2 Theta ( o) Gambar 6. Spektrum hasil XRD lapisan tipis mC-Si:H tipe-p dengan konsentrasi doping B2H6 dalam SiH4 sebesar 1,5%. Gambar 6 memperlihatkan spektrum XRD lapisan tipis yang ditumbuhkan dengan metode Hot Wire PECVD di atas gelas Corning 7059. Dari gambar tersebut terlihat adanya puncak difraksi pada sudut 2 theta secara berturut-turut 28,41; 47,35; 56,12; dan 69,10 dengan orientasi secara berturut turut <111>, <220>, <311>, dan <400>. Dari ukuran butir yang diindikasikan oleh intensitas (counts) mengindikasikan bahwa lapisan tipis tipe-p yang ditumbuhkan dengan metode HW-PECVD pada tekanan 100 mTorr, temperatur substrat 200 oC, frekuensi radio (RF) 13,56 MHz, daya pembangkit 100 watt, tegangan filamen (VF) 4,5 volt adalah lapisan tipis mikrokristal silikon terhidrogenasi (mC-Si:H) (Ichikawa dkk., 1999). 5. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah berhasil menumbuhkan lapisan tipis mC-Si:H tipe-p dengan celah pita optik lebar yang bersesuaian dengan panjang gelombang cahaya tampak dari matahari, yaitu pada
Ichikawa, M., J., Takeshita, A., Yamada, and M., Konagai, (1999), High Deposition Rate of Polycrystalline Silicon Thin Films Prepared by Hot Wire Cell Method, Jpn. J. Appl. Phys., 38, 24-26. Malago, J. D., W. W. Wenas, T. Winata, and M. Barmawi, 2000, Growth Study of Wide Bandgap a-Si:H and a-SiN:H by PECVD Method For Application in Thin Film Transistor, Proceedings, 2000 International Conference on Semiconductor Electronics (ICSE’2000), Malaysia, 245-248. Matsui, T., M. Tsukiji. H. Saika, T. Tayoma and H. Okamoto, 2002, Correlation between Microstructure and Photovoltaic Performance of Polycrystalline Silicon Thin Film Solar Cells, Jpn. J. Appl. Phys., 41:1:1, 20-27. Mukhopadhyay, S., S. C. Saha and S. Ray, 2001, Role of Substrate Temperature on the Properties of Microcrystalline Silicon Thin Films, Jpn. J. Appl. Phys., 40:1:11, 6284-6289. Klein, S., J. Wolf, F. Finger, R. Carius, H. Wagner, and M. Stutzmann, 2002, Microcrystalline Silicon Prepared by Hot-Wire Chemical Vapour Deposition for Thin Film Solar Cell Applications, Jpn. J. Appl. Phys., 41:2:1A/B, 10-12. Street, R.A., 1991, Hydrogenated Amorphous Silicon, Cambridge University Press, Cambridge.
14 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
Syamsu, J. D. Malago, A. Supu, Darsikin, Gulvarendi, T. Winata, dan M. Barmawi, 2000, Studi Awal Penumbuhan Lapisan Tipis Silikon Amorf Terhidrogenasi Dengan Metoda Hot-Wire PECVD, Prosiding Simposium Fisika Nasional XVIII, Puspitek-Serpong, Tangerang, 396-403.
Gelation Model for Porosity Dependent Fluid Permeability in Porous Materials Mikrajuddin Abdullah and Khairurrijal Department of Physics, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bandung Institute of Technology, Bandung e-mail:
[email protected] Received 22 December 2008, accepted for publication 2 March 2009 Abstract A statistical theory of gel formation in a polymer matrix was used to explain the dependence of liquid permeability in porous materials. A porous material was modeled as a dispersion of bubbles in a solid matrix. Bubbles were treated as monomers and formation of infinite connected bubbles was treated as the formation of gels in polymer. The theoretical predictions were in agreement with the observed data for basalt andesits. The model can easily predict the percolation threshold of porosity at which the permeability increases suddenly, which depends on the effective number of nearest bubbles around a selected bubble. Around the percolation threshold, the permeability satisfies a scaling relationship with a critical exponent of t » 1.2. It is also identified that the critical exponent and fractal dimension of pores, D, satisfy t » 0.8 (1 + 1/D). Keywords: Gelation theory of polymer, Porous medium, Fluid permeability, Percolation, Fractal dimension Abstrak Teori statistik pembentukan gel dalam matriks polimer telah digunakan untuk menjelaskan kebergantungan permeabilitas zat cair terhadap porositas di dalam material berpori. Material berpori dimodelkan sebagai sebaran gelembung-gelembung di dalam matriks padatan. Gelembung-gelembung tersebut diperlakukan sebagai monomer di dalam polimer dan pembentukan jaringan gelembung-gelembung dipandang sebagai pembentukan jaringan monomer dalam gel. Prediksi dengan menggunakan model ini tentang permeabilitas cairan dalam batuan basalt andesit sesuai dengan data pengamatan. Model ini juga dapat memprediksi dengan baik keberadaan ambang perkolasi di mana terjadi peningkatan permeabilitas secara tiba-tiba ketika porositas material ditingkatkan. Diidentifikasi bahwa ambang perkolasi bergantung pada jumlah tetangga terdekat yang dimiliki gelembung. Di sekitar ambang perkolasi, permeabilitas naik secara eksponensial terhadap porositas dengan eksponen kritis sekitar 1,2. Diidentifikasi juga bahwa eksponen kritis dan dimensi fraktul pori, D, memenuhi t » 0.8 (1 + 1/D). Kata kunci: Teori gelasi polimer, Medium berpori, Permeabilitas fluida, Perkolasi, Dimensi fraktal. 1. Introduction
process, and the formation of porous network is similar to the formation of gel, resulting in the increasing of permeability. The objective of this work is to use the statistical theory of gelation to explain the effect of porosity on the liquid permeability in porous materials. We identified a good agreement between the model predictions and experimental data.
Fluid permeability is one important property in porous materials. Several methods have been introduced for calculating the effect of porosity on the permeability, such as site percolation disorder (Andrade et al., 1999) and mercury porosimetry simulation (Garboczi and Bentz, 1991). However, most of the methods require intensive computer calculations. Searching a simple method to solve this problem is interesting to get a quick understanding on the physical properties of the porous materials. Statistical theory of gelation has been frequently used to explain the formation of gel in a polymer matrix. Gel is a continuous network of monomers, spreading from one end to another of the matrix. If we assume the pores in materials are composed of a large number of small bubbles, and each bubble is considered like a monomer in the polymer matrix, the formation of pores cluster (connection of several pores) can be treated like a polymerization
2. Theory 2.1 Model development The steps of our model development are following: i) A porous material is considered as a dispersion of bubbles in a solid matrix, as illustrated in Fig. 1(a). ii) Each bubble can be connected with n nearest neighbor (each bubble has n hands). In the connected bubbles, the fluid can flow from one bubble to another. 15
16 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
iii) The development of liquid permeability is related to the development of connected bubbles, instead of material porosity. For example, as displayed in Fig. 1(b), even two materials have the same porosity, however, the permeability of the left material is smaller than that of the right one, since no connected bubbles appear in the left material. iv) To predict the effect of porosity on the permeability, one needs to understand the development of connected bubbles. For this aim, we adopted the statistical theory of gel formation in a polymeric system. We have also applied similar approach to predict the temperature dependence of electrical conductivity in polymer electrolytes (Mikrajuddin, 2002) and porous silicon (Mikrajuddin et al., 2001). (a)
(b)
the fraction of solid volume decreases. At a certain high porosity, infinity connected solid materials disappears, resulting in breakage of materials into smaller parts. It seems that the mixture of the bubbles and solid material is similar to the mixture of conducting fillers and insulating matrix in a conductive adhesive (Shi et al., 1999; Mikrajuddin et al., 1999). The conducting fillers correspond to the bubbles, while the insulating matrix corresponds to solid matrix. The increase in porosity to result in increasing the volume fraction of bubbles is similar to the increase in the volume fraction of fillers loaded in the insulating matrix to increase the electrical conductivity. 2.2 Connected bubble formation Define b as the probability of direct bonding between two bubbles. In a bubble cluster containing m bubbles (we call m-bubble), some hands form bonds and the rest ones remain free. It requires attachment of (m-1) new bubbles following a preselected bubble to form m-bubble (Mikrajuddin, 2002). If only one bond is created at each attachment of a new bubble, m-1 bonds and (n-2)m+1 free hands (excluding the freely preselected hand) appears after creating m-bubble. Since the probability of a hand to form bond is b and to become free is (1-b), the total probability for forming m-bubble of any configuration is Pm = W m b m (1 - b )
( n - 2) m +1
,
(1)
with W m is the total number of configuration.
Figure 1. Porous medium is modeled as bubbles (void circles) dispersed in solid matrix (black) (a); no continuous connection between bubbles (left) and the continuous network of bubbles occurs (right) (b). Suppose the volume of sample, Vo, is very large (assume to be infinity) to avoid any edge effects. If Vp is the total volume of pores, the porosity is f = Vp/Vo. At low porosity, bubbles tend to disperse homogeneously in the material. No connected bubbles is developed, so that the permeability is very low. At higher porosity, the bubble clusters are developed, the size of which increases with increasing the porosity. At certain porosity (a critical porosity), an infinite connected bubbles appears, resulting in a sudden increase in the permeability. The permeability still appears above this porosity. By further increasing the porosity, the infinite connected bubbles dominate the material volume, and
To form m-1 bonds in an m-bubble, we can select m-1 from the total (m-1)n bonds belong to the added bubbles in [n(m-1)!/{[(n-2)+1]!(m-1)!} ways, and the added bubbles can be attached sequentially in (m-1)! ways. Noting that since all bubbles in m-bubbles are identical, we have to add a division factor of m! and obtain Wm =
[n(m -1)]! (m -1)! [n(m -1)]! . ´ = [(n - 2)m +1]!(m -1)! m! [(n - 2)m +1]!m!
(2)
The number of free hands belong to the m-bubble (preselected bubble and added bubbles) is (n-2)m+2. Suppose Nm is the population of m-bubble and No is the total number of bubbles. The number of free hands belongs to all m-bubbles is [(n-2)m+2]Nm, and the total number of hands belong to all bubbles is Non, and the total number of free hands is Non(1-b). The alternative expression for Pm is (Flory, 1956), Pm =
[(n - 2) m + 2] N m . N o n(1 - b )
Combining Eqs. (1) and (3) we obtain
(3)
Abdullah and Khairurrijal, Gelation Model for Porosity Dependent Fluid Permeability in Porous 17
N m = N o n(1 - b )2 W m
xm , b
(4)
with x = b(1-b)n-2
(5)
The volume of m-bubble is Wm = m
N m (1 - b ) 2 = nmW mx m , No b
(6)
which satisfying a normalization condition ¥
å
Wm =
m =1
¥
(1 - b ) 2 nmW mx m = 1 . b m =1
å
(7)
The summation result in Eq. (6) depends on x, and for certain x, there is only one summation result. Since x is a polynomial of b, it has more than one roots. For example, by replacing b with another root, b*, where b* also satisfies Eq. (5) as b does, the summation result must be still unity. However, although b and b* satisfies the relation b(1-b)n-2 = b*(1-b*)n-2, however, in general (1-b)2/b ¹ (1 - b *)2b *. Therefore, changing b with b* in Eq. (7) might results in S m Wm ¹ 1, which sound unphysical. The physical soundness is achieved only when the smallest root of x = b(1-b)n-2 is used (Flory, 1956). Therefore, the accepted expression for Wm is Wm =
(1 - b *)2 nmW mx m b*
(8)
with b* is the smallest root of (1-b)n-2/b ¹ (1 - b *)n-2b *. Summing Wm over all finite m’s gives the volume fraction of the, so called, sol (finite connected bubbles) with respect to the porosity as Ws =
å
Wm =
all finite m
(1 - b )2 b * (1 - b *)2 b
.
(9)
The fraction of the, so called, gel (infinite connected bubbles) with respect to the porosity is therefore, Wg = 1 - Ws = 1 -
(1 - b )2 b * (1 - b *)2 b
.
(10)
The volume fraction of gel with respect to total volume of porous material becomes
is simply assumed that the global permeability k relates the average fluid velocity v through the pores with the pressure drop DP measured across the system via a relation n = -kDP/mDL, with DL is the length of the sample in the flow direction and m is the viscosity of the fluid. Multiplying both sides with fluid density and defining J = rn, as the amount of mass flow per unit time per unit area, we have J = -rkDP/mDL. This equation is similar to electric current equation, J = I/A = s(DV/DL), with I is the electric current, A the cross section, and DV the potential different between two cross sections separated by a distance DL, and s the electrical conductivity. The factor rk/m plays similar role with s in the electric current flow. This similarity allows the adoption of equation that explains the effective conductivity in a conductive fillers/insulating matrix composite to be used for calculating the effective permeability of porous materials. Suppose k1 and k2 (k1 >> k2) are permeabilities of bubbles and solid material, respectively. If the porosity is low so that the gel is absent, we use the effective medium approximation to calculate the effective permeability of the porous material. The effective permeability, ke, satisfies
j
k1 - ke k 2 - ke + (1- j) = 0 (12) k1 + (n / 2 -1)ke k2 + (n / 2 -1)ke
If gel presents, the system consists of gel, separated bubbles, and solid material. The volume fraction of gel is given by Eq. (11), while the volume fraction of separated bubbles satisfies Ws - b = j - Wg* = j (1 - Wg ) .
(13)
To determine the effective permeability, we assume the material is composed of two phases: (a) gels and (b) a mixture of solid material and separated bubbles. The permeability of the second phase (a mixture of solid material and separated bubbles), k e , is *
calculated using Eq. (12), by replacing f in the first term with Ws-b, to obtain
j(1-Wg )
k1 -ke*
k2 -ke* + (1 j ) = 0 .(14) k1 +(n /2-1)ke* k2 +(n / 2-1)ke*
(11)
The permeability of gels depends on the gel volume. If the average dimension of gel is l, the
2.3 Effective permeability
permeability of gels might be approximated by k g µ k1A/l µ k1l2/l µ k1 (Wg*)1/D, with D is fractal dimension.
Darcy’s law is frequently used to explain the transport of single phase fluids flow in microscopically disordered and macroscopically homogeneous porous materials (Dullien, 1979; Adler, 1992; Sahimi, 1994). It
We can write kg = ck1(Wg*)1/D, where c is a constant. When Wg*® 1, k g ® k1, thus, c = 1. The gels and the second phase form a parallel network, so the effective permeability satisfies
Wg* = jWg .
18 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
k e = Wg*k g + (1 - Wg* )k e* = (Wg* )1+1/ D k1 + (1 - Wg* )k e*
(15)
3. Comparison with experiment The probability of hand to form bond can be taken equal to the porosity, or b = f (Mikrajuddin, 2002). The number of effective bubble hand should depend on the size of the bubble. Due to higher surface area, small bubbles are “more active”, or have higher effective number of hands than larger bubbles. We assume that the effective number of bubble hands satisfies n µ 1/Rg, with R the radius of a bubble and g a positive number. If the bubble sizes are not monodisperse, the average of effective number of bubble hand becomes
µ ò (1/Rg) f(R) dR, with f(R) a distribution function of particle radius. Assuming the bubble size satisfies a log normal distribution f(R) = [(2p)1/2 ln s]-1 exp[-ln2(R/Ro)/2ln2 s], with Ro the median radius and s the geometrical standard deviation. It can be shown that µ Ro-g exp[(g2/2) ln s]. In the case of monodisperse bubble sizes with an average radius of Ro, the effective number of bubble hand is µ 1/Rog. Therefore, we can write µ o exp[(g2/2) ln s]. This relation mentions that the average of effective number of bubble hand does not need to be an integer if the bubble sizes are not monodisperse. It may be a fraction number.
containing different pore sizes. Basalts form important aquifier in Pacific Northern and Hawaii (Ingebritsen and Scholl, 1993). The measured data are shown in Fig. 2 for categories of scoria (square), flow1 (triangle), and flow2 (circle) (Chitwood, 1994). Curves are calculation results for scoria ( = 12, k1/k2 = 1000), flow1 ( = 4, k1/k2 = 800), and flow 2 ( = 3.5, k1/k2 = 500). The gel was assumed to have a fractal dimension D = 2.5. This value is close to the fractal dimensions of sandstone pores between 2.57 to 2.87 as observed by Katz and Thompson (1985). The theoretical calculations are in a good agreement with the observed data. The percolation-like transition of liquid permeability were observed experimentally, which are also shown by theoretical curves. It can be shown that, the percolation threshold of porosity is given by fc = 1/( - 1) (Mikrajuddin et al., 2001). For the above three curves, the percolation thresholds of porosity are 9%, 33%, and 40% for = 12, = 4, and = 3.5, respectively, which are in agreement with the observed data. Another calculation using a fully penetrable sphere model predicted the percolation porosity of 30% (Sahimi, 1994; 1995; Feng et al., 1987; Mukhopadhyay and Sahimi, 1994). Figure 3 is plots of calculated log (ke/k2) with respect to log (f - fc) for scoria, flow1, and flow2 samples. Symbols are the calculated results and curves are fitting for the results. Linear curves indicate that at f around fc, the permeability satisfies a scaling relation
k e µ (f - f c ) t
(16)
with t the critical exponent. As shown in Fig. 3, we found t = 1.17, 1.18, and 1.12, for scoria, flow1, and flow2 samples, respectively. Those values are very close to the accepted value of around 1.2.
2
-0.4
scoria
1
ke µ (f - fc)t
flow1 flow2 0 0
0.2
0.4 porosity
0.6
0.8
Figure 2. Symbols are experimental data on the variation of permeability on porosity for different basaltic andesits derived from (Saar and Manga, 1999). The curves from left to right were calculated using ( =12, k1/k2 = 1000 for scoria (circle)), ( =4, k1/k2 = 800 for flow1 (triangle)), and (=3.5, k1/k2 = 500 for flow2 (square)). The fractal dimension of gels were assumed to be D = 2.5. Saar and Manga (1999) measured the effects of porosity on the liquid permeability of holocene and pleistone basaltic andesite in the Oregon Cascades
Log(permeability) [au]
Log(permeability)[au]
3
-0.8 -1.2
t = 1.17 t = 1.18 t = 1.12
-1.6 -2.0 -2.4 -2.0
-1.6 Log(f - fc)
-1.2
-0.8
Figure 3. The effect of porosity on the permeability at around the percolation threshold for scoria (circle, =12, k1/k2 = 1000), flow1 (triangle, =4, k1/k2 = 800), and flow2 (square, =3.5, k1/k2 = 500). The permeability satisfies a scaling relation k µ (f - fc)t.
Abdullah and Khairurrijal, Gelation Model for Porosity Dependent Fluid Permeability in Porous 19
It is also interesting to find a relation of critical exponent with the fractal dimension. From Eq. (15), at above the percolation threshold, we can approximate k e » (Wg* )1+1/ D . (17) We calculated Wg* at various f for = 12, 6, and 3.5, and found a scaling relation at above the percolation threshold of Wg* µ (f - fc)0.8. Combining with Eqs. (16) and (17) we obtained a relation of fractal dimension and critical exponent 1ö æ t » 0.8 ç 1 + ÷ D è ø
(18)
For example, we obtain t » 1.07 and t » 1.2, for D = 3 and D = 2, respectively. 4. Conclusion As a final remark we summarize that the statistical theory of gel formation in a polymeric system can be used to explain the effect of porosity on the liquid permeability of porous materials. The model succeeded in explaining the measured data for various basaltic andesits. By assuming the gel has a fractal dimension D = 2.5, we obtained, at around the percolation threshold, the change of permeability with respect to porosity satisfies a scaling relationship with a critical exponent t » 1.2. We also identified a general relationship between a critical exponent and fractal dimension, D, of t » 0.8 (1 + 1/D). References Adler, P. M.: 1992, Porous Media: Geometry and Transport, Butterworth-Heinemann, Stoneham MA. Andrade Jr, J. S., Costa, U. N. S., Almeida, M. P., Makse, H. A. and Stanley, H. E.: 1999, Inertial Effects on Fluid Flow through Porous Media, Phys. Rev. Lett. 82, 5249-5452. Chitwood, L.: 1994, Oregon Geology 56, 11. Dullien, F. A. L.: 1979, Porous Media-Fluid Transport and Porous Structure, Academic, New York. Feng. S., Halperin, B. I. and Sen, P. N.: 1987, Transport properties of continuum systems near the
percolation threshold, Phys. Rev. B 35, 197-214. Flory, P. J.: 1956, Principles of Polymeric Chemistry, Cornel University Press, New York. Garboczi, E. J. and Bentz, D. P. in Advances in Cementitious Materials, edited by Mindess, S.: 1991, Digitized simulation of mercury intrusion porosimetry, Ceram. Trans. 16, 365-379. Ingebritsen, S. E. and Scholl, M. A.: 1993, The hydrogeology of Kilauea volcano, Geothermics 22, 255-270. Katz, A. J. and Thompson, A. H.: 1985, Fractal sandstone pores: implications for conductivity and pore formation, Phys. Rev. Lett. 54, 1325-1328. Mikrajuddin: 2002, Electrical conduction in solid polymer electrolytes: a formula for the entire range of temperature, Indonesia J. Phys. 13, 222-228. Mikrajuddin, A. Shi, F. G. and Okuyama, K.: 2001, Temperature-dependent electrical conduction in porous silicon: non-Arrhenius behavior, Europhys. Lett. 54, 234-240. Mikrajuddin, A., Shi, F. G., Chungpaiboonpatana, S., Okuyama, K., Davidson, C. and Adams, J. M.: 1999, Onset of electrical conduction in isotropic conductive adhesives: a general theory, Mater. Sci. Semicond. Process. 2, 309-319. Mukhopadhyay, S. and Sahimi, M.: 1994, Scaling behavior of permeabil- ity and conductivity anisotropy near the percolation threshold, J. Stat. Phys. 74, 1301-1308. Saar, M. O. and Manga, M.: 1999, Permeability-porosity relationship in vesicular basalts, Geophys. Res. Lett. 26, 111-114. Sahimi, M.: 1994, Applications of Percolation Theory, Taylor & Francis, London. Sahimi, M.: 1995, Flow and Transport in Porous Media and Fractured Rock, VCH, Boston. Shi, F. G., Mikrajuddin, A., Chungpaiboonpatana, S., Okuyama, K., Davidson, C. and Adams, J. M.: 1999, Electrical conduction of anisotropic conductive adhesives: effect of size distribution of conducting filler particles, Mater. Sci. Semicond. Process. 2, 263-269.
Pengaruh Komposisi Asam Bis(2-Etilheksil)Fosfat (D2EHPA) dan Tributil Fosfat (TBP) dalam Resin Amberlite Xad-16 terhadap Sorpsion-Ion La(III), Nd(III) dan Gd(III) 2)
Ibnu Khaldun1), Buchari2), Muhammad Bachri Amran2) dan Aminudin Sulaeman2) Jurusan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, NAD 2) Kelompok Keilmuan Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Bandung e-mail: [email protected] Diterima 23 Februari 2009, disetujui untuk dipublikasi 27 Maret 2009
Abstrak Sorpsi ion-ion La(III), Nd(III), dan Gd(III) secara solven timpregnated resins menggunakan ekstraktan bis(2etilheksil)fosfat (D2EHPA) dan tributil fosfat (TBP) dan resin Amberlite XAD-16 sebagai polimer pendukung telah diteliti. Impregnasi resin dengan dua jenis ekstraktan dilakukan dengan metode kering. Pengaruh pH larutan, jenis ekstraktan, komposisi ekstraktan (rasio ekstraktan/resin sebesar 10/90, 20/80, 50/50, 60/40 %b/b) dan waktu kontak dipelajari secara bertahap. Kapasitas sorpsi resin Amberlite XAD-16 yang disiapkan dengan metode basah untuk perbandingan ekstraktan/resin = 60/40 terhadap ekstraktan TBP, D2EHPA/TBP dan D2EHPA berturut-turut 104,3 mg/g; 99,1 mg/g; dan 86,2 mg/g resin. Sementara itu, untuk resin yang disiapkan dengan metode kering, kapasitas resin berturut-turut 645 mg/g; 419,16 mg/g; dan 386,9 mg/g resin. Persen sorpsi ion-ion logam yang dipelajari mencapai 9099% untuk ekstraktan TBP, D2EHPA/TBP, dan D2EHPA pada perbandingan ekstraktan/resin sebesar 20/80. Kata kunci: Resin Amberlite XAD-16, Impregnasi, D2EHPA, TBP, Sorpsi Abstract Sorption of La(III), Nd(III), and Gd(III) ions with solven-timpregnated resins using bis(2-ethylhexyl)phosphoric acid (D2EHPA) and tributhylphosphate (TBP) as extractants and Amberlite XAD-16 as a polymeric support has been studied. The impregnated resins containing various amounts of extractants have been prepared by the wet and dry methods. The effects of pH, types, of extractant, extractant content (extractants/resin ratios of 10/90, 20/80, 50/50, 60/40 wt.%) and contact time on sorption of those metalic ions have been investigated by batch method. The sorption capacity of Amberlite XAD-16 resin previously prepared by the wet method with a 60/40 extractant/resin mass ratio for 104.3 mg/g, 99.1 mg/g and 86.2 mg/g resin, respectively. Meanwhile, TBP, D2EHPA/TBP, and D2EHPA were sorption capacity of Amberlite XAD-16 resin previously prepared by dry method was found to be 645 mg/g; 419.16 mg/g, and 386.9 mg/g resin, respectively. The sorption percentage of the studied metal ions was within the range of 9099% for TBP, D2EHPA/TBP and D2EHPA XAD-16 resins at 20/80 extractant/resin mass ratio. Keywords: Amberlite XAD-16 resins, Impregnation, D2EHPA, TBP, Sorption 1. Pendahuluan
pemisahan LTJ baru masih perlu dilakukan karena hingga saat ini metode pemisahan LTJ belum ada yang benar-benar handal. Masalah ini perlu ditangani dengan serius mengingat permintaan terhadap LTJ terus meningkat baik dalam hal jumlah maupun kualitasnya. Di sisi lain, Indonesia mempunyai potensi untuk memproduksi LTJ karena mineral-mineral tersebut banyak terdapat di beberapa pulau, antara lain di Bangka, Belitung dan Singkep, berupa hasil samping pengolahan timah. Ekstraksi pelarut dan resin penukar ion telah lama digunakan sebagai teknik dasar untuk pemisahan unsur-unsur LTJ. Namun, recovery (perolehan kembali) dan pemisahan melalui ekstraksi pelarut membutuhkan banyak tahap ekstraksi untuk menghasilkan pemisahan yang optimal. Demikian juga halnya pemisahan dengan resin penukar ion yang memiliki selektivitas ekstraksi yang rendah dalam pemisahan ion-ion logam. Metode
Monasit merupakan salah satu mineral yang banyak mengandung unsur logam tanah jarang (LTJ) atau logam dari golongan lantanida. LTJ ini cukup banyak di Indonesia, tetapi belum diolah dan dimanfaatkan karena penguasaan teknologi pengolahan bijih monasit masih perlu ditingkatkan dan dimantapkan. Unsur-unsur LTJ tersebut, kini banyak digunakan pada pembuatan barang-barang inovatif berteknologi tinggi, seperti magnet permanen, katalis, serat optik, opto elektronik, keramik piso elektrik, baterai isi ulang, microwave dan lain-lain, sehingga kini unsur LTJ telah dipandang sebagai bahan abad ke-21 (Morais dan Cimenelli, 2004). Kendala utama dalam pemisahan LTJ adalah karena sifat fisik dan kimia logam-logam tanah jarang hampir sama. Penelitian untuk mendapatkan metode 20
Ibnu Khaldun dkk, Pengaruh Komposisi Asam Bis(2-Etilheksil)Fosfat (D2EHPA) 21
pemisahan baru yang memberikan prospek cukup baik adalah metode yang dikembangkan dari kombinasi teknik ekstraksi pelarut dan penukar ion yang disebut dengan teknik Solvent-Impregnated Resin (SIR) yang diperkenalkan oleh Warshawsky (Cortina J. L., dan Warshawsky, 1997). SIR dibuat dengan cara mengimpregnasikan (mengamobilisasi) suatu ekstraktan ke dalam resin polimer berpori makro yang tidak memiliki gugus fungsional pengekstraksi. Saat ini metode SIR telah banyak diaplikasikan untuk memisahkan berbagai jenis ion logam seperti U(VI) dan Th(VI) (Metwally E., dkk. 2005), Au(III) (Villaescusa dkk. 1997) dan juga ion-ion logam tanah jarang seperti (La, Sm, Tb, dan Yb) (Matsunaga dkk. 2001). Tujuan penelitian ini ialah untuk mempelajari pengaruh komposisi ekstraktan D2EHPA, TBP dan campuran D2EHPA/TBP dalam resin Amberlite XAD16 pada sorpsi ion-ion logam tanah jarang khususnya La(III), Nd(III) dan Gd(III) secara solvent impregnated resin. Struktur molekul ekstraktan D2EHPA, TBP dan resin Amberlite XAD-16 dapat diperlihatkan pada Gambar 1. 2. Metode Larutan standar La(III), Nd(III) dan Gd(III) (1000 mg.L-1) dibuat dengan cara melarutkan masingmasing oksida La2O3, Nd2O3 dan Gd2O3 (SigmaAldrich) dengan aquabidest. Ekstraktan yang digunakan, yaitu bis(2-ethylhexyl)phosphoric acid (D2EHPA) (Sigma) dan tributhylphoshate (TBP) (Sigma). Resin Amberlite XAD-16 (kopolimer styrene-divinylbenzene yang dipergunakan memiliki karakteristik: luas permukaan 800 m2.g-1, diameter pori 10 nm dan ukuran butir 20-60 mesh) (Sigma). Larutan pengkompleks Alizarine Red S (ARS) 0,1% (Merck) dan yang digunakan adalah phenol red 0,1% (Merck) digunakan sebagai indikator. 2.1 Alat dan Bahan Spektrometer FTIR 8400 Shimadzu digunakan untuk merekam spektrum resin Amberlite XAD-16, spektrum D2EHPA dan TBP yang terimpregnasi ke dalam resin. Spektofotometer UV-Visible (model
a
Hewlett Packard 8452A Diode Array) digunakan untuk menentukan konsentrasi ion logam dengan pengkompleks Alizarine Red S. Scanning Electronic Microscope (SEM) model Analytical SEM JSM6360LA digunakan untuk mengamati morfologi permukaan resin sebelum dan setelah impregnasi. Pengaduk magnetik (Fisher, VersamixTM) dan pH meter (Hanna) masing-masing dipergunakan untuk mengaduk larutan dan menentukan pH larutan. 2.2 Eksperimen 2.2.1 Impregnasi Resin Resin Amberlite XAD-16 terlebih dahulu dicuci secara berturut-turut dengan larutan HNO3 2M, larutan NaOH 2 M, aquabidest dan aseton. Selanjutnya dikeringkan dalam oven vacum pada suhu 50 oC. Butiran resin yang diambil untuk penelitian ini berukuran 30-40 mesh. Ekstraktan yang telah diketahui beratnya diimpregnasikan ke dalam resin dengan perbandingan tertentu berdasarkan metode basah (Juang, 1999) dan metode kering (Matsunaga dkk. 2001). Impregnasi dengan metode basah untuk perbandingan ekstraktan/resin (50/50 %b/b) dibuat dengan cara melarutkan 10 gram ekstraktan ke dalam 50 mL aseton, lalu ke dalam larutan tersebut ditambahkan 10 gram resin Amberlite XAD-16. Campuran diaduk secara mekanik dengan kecepatan 250 rpm selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah itu, butiran resin (SIR) disaring, dicuci dengan aquabidest dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 50 oC. Impreg-nasi dengan metode kering dilakukan dengan cara berikut. Campuran diaduk secara mekanik dengan kecepatan 250 rpm selama 24 jam pada suhu kamar, selanjutnya campuran langsung dikeringkan di dalam oven pada suhu 50 oC tanpa tahap pencucian dengan aquabidest. SIR dengan perbandingan berat bervariasi (10/90, 20/80 dan 60/40 %b/b) dibuat dengan cara yang sama dengan pembuatan SIR 50/50 (%b/b). Banyaknya ekstraktan yang terimpregnasi ke dalam resin ditentukan dengan cara mengukur perbandingan berat resin kering sebelum dan setelah impregnasi (Matsunaga dkk. 2001).
b
Gambar 1. Struktur molekul (a) D2EHPA, (b) TBP dan (c) resin Amberlite XAD-16.
c
22 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
2.2.2 Sorpsi ion-ion logam Sebanyak 100 mg SIR dikocok dengan 10 mL larutan ion logam (20 mgL-1) dalam sebuah tabung bertutup pada pH optimum dengan kecepatan 300 rpm selama periode waktu (1 – 30 menit) pada suhu kamar. Setelah pengocokan, kedua fasa dibiarkan terpisah selama 2 menit. Banyaknya ion logam yang terekstraksi ditentukan dengan cara menentukan konsentrasi ion logam yang tersisa dalam larutan atau mengukur konsentrasi ion logam yang terekstraksi dalam SIR secara spektrofotometri. Ion logam yang terekstraksi di dalam SIR terlebih dahulu dilepaskan (stripping) secara kuantitatif dengan larutan HNO3 1,5 M (Khaldun dkk. 2007). Pengukuran konsentrasi ion-ion logam didasarkan pada prosedur Toshi dan kawan-kawan. (1961). Ke dalam labu takar 10 mL dimasukkan 2,0 mL larutan sampel, kemudian ditambahkan 1 tetes larutan phenol red 1,0%. Selanjutnya larutan sampel ditetesi larutan HCl 0,02 M hingga larutan menjadi kuning, lalu ditetesi dengan larutan NaOH 0,02 M hingga larutan menjadi merah. Kemudian ke dalam campuran tersebut ditambahkan 1,0 mL larutan bufer asetat pH 4,75 sambil dikocok dan ditambahkan 1,0 mL larutan Alizarin Red S 0,1% dan akhirnya ditanda bataskan dengan aquabidest. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang maksimum untuk masing-masing logam setelah larutan didiamkan selama 5 menit. Rentang konsentrasi larutan standar yang memenuhi hukum Lambert-Beer yaitu 2,0-16 mgL-1 (Toshi dkk. 1961).
terlebih dahulu mengisi pori-pori resin dan selanjutnya diikuti oleh molekul D2EHPA. Adanya antaraksi antara TBP dan D2EHPA di dalam pori-pori resin dapat dijelaskan dengan spektrum infra merah pada Gambar 4. Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 diperlihatkan bahwa kapasitas sorpsi resin Amberlite XAD-16 jauh lebih besar jika menggunakan metode kering. Oleh sebab itu pada penelitian selanjutnya digunakan SIR yang dibuat dengan metode kering. Tabel 1. Sorpsi beberapa ekstraktan oleh resin amberlite XAD-16 dengan metode basah Perbandingan Kapasitas sorpsi (mg/g resin) No ekstraktan/resin D2EHPA/ (%b/b) TBP TBP D2EHPA (3:1) 1 10/90 31,0 29,5 25,6 2 20/80 83,6 79,5 69,1 3 50/50 102,0 96,0 86,0 4 60/40 104,3 99,1 86,2 Tabel 2. Sorpsi beberapa ekstraktan oleh resin Amberlite XAD-16 dengan metode kering No
Perbandingan ekstraktan/ resin (%b/b)
1 2 3 4
10/90 20/80 50/50 60/40
Kapasitas sorpsi (mg/g resin) D2EHPA/ TBP TBP D2EHPA (3:1) 110,99 111,00 111,0 245,00 238,44 237,5 520,00 380,96 361,1 645,00 419,16 386,9
3. Hasil dan Pembahasan
3.2 Analisis morfologi dengan SEM
3.1 Kapasitas impregnasi esktraktan dalam resin amberlite XAD-16
Sebelum impregnasi, permukaan resin XAD16 memiliki banyak pori (Gambar 2a). Untuk impregnasi D2EHPA dengan komposisi 10/90 (%b/b) (Gambar 2b), pori-pori resin XAD-16 belum mampu tertutupi secara keseluruhan. Pori-pori resin XAD-16 tertutupi seluruhnya oleh D2EHPA apabila komposisinya mencapai 50/50 (%b/b) ataupun 60/40 (%b/b). Namun demikian, pada komposisi 60/40 (%b/b), permukaan resin menjadi lengket (adhesive) karena pori-pori resin tidak mampu menampung D2EHPA seluruhnya (Gambar 2d) sehingga sebagian molekul D2EHPA teradsorpsi di permukaan resin. Stabilitas SIR dengan komposisi ekstraktan/resin 60/40 (%b/b) lebih rendah daripada komposisi 50/50 (%b/b) (Khaldun dkk., 2007). Perbandingan terbaik antara ekstraktan D2EHPA dan resin XAD-16 dalam solvent impregnated resin yaitu 50/50 (%b/b) (Gambar 2c). Untuk eksperimen selanjutnya digunakan SIR dengan perbandingan D2EHPA/XAD-16 50/50 (%b/b).
Kapasitas sorpsi resin Amberlite XAD-16 terhadap beberapa ekstraktan melalui impregnasi dengan metode basah dan metode kering disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Data pada Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya perbandingan ekstraktan/resin meningkat pula kapasitas sorpsi resin sampai mencapai optimum. Kemampuan resin XAD-16 untuk sorpsi molekul TBP lebih besar daripada untuk campuran D2EHPA/TBP dan molekul D2EHPA, hal ini mungkin disebabkan karena ukuran molekul TBP lebih kecil dari pada molekul D2EHPA. Selain itu molekul TBP bersifat lebih non-polar dibandingkan dengan D2EHPA, sehingga lebih mudah berantaraksi dengan molekul XAD-16 yang bersifat non-polar. Sedangkan sorpsi campuran molekul D2EHPA/TBP (3:1) juga lebih besar dari pada sorpsi D2EHPA, karena pada saat impregnasi molekul TBP
Ibnu Khaldun dkk, Pengaruh Komposisi Asam Bis(2-Etilheksil)Fosfat (D2EHPA) 23
a
c
b
d
Gambar 2. Fotografi SEM (pembesaran 10.000 kali) terhadap permukaan resin Amberlite XAD-16 (a) sebelum impregnasi (b) setelah impregnasi dengan D2EHPA 10%b/b (c) setelah impregnasi dengan D2EHPA 50%b/b, (d) setelah impregnasi dengan D2EHPA 60%b/b.
Frekuensi absorpsi infra merah dari molekul D2EHPA pada resin XAD-16/D2EHPA pada Tabel 3 menunjukkan beberapa modifikasi karakteristik normal molekul D2EHPA dibandingkan dengan spektrum D2EHPA murni. Perbedaan tersebut diperlihatkan pada puncak 1237 cm-1, 1031 cm-1 dan 794,7 cm-1 untuk regangan P=O dan regangan P-O-C dari gugus -O-P=O. Adanya pergeseran bilangan gelombang untuk regangan P=O dari gugus (-O-P=O) pada campuran D2EHPA-TBP/XAD-16 (Gambar 4), yaitu pada puncak 1230 cm-1 menunjukkan adanya antaraksi nonikatan (nonbonded) antara gugus hidroksil dari molekul D2EHPA atau (RO)2(P=O)OH dengan gugus fosforil dari molekul TBP atau R3P=O. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, yaitu adanya antaraksi antara gugus hidroksil dari molekul D2EHPA dengan gugus fosforil dari molekul tricotylphosphine oxide (TOPO) pada campuran D2EHPA/TOPO/XAD-2 pada daerah 1243 cm-1. Reaksi yang terjadi antara gugus hidroksil dan gugus fosforil dapat dituliskan sebagai berikut ini (Cortina dkk., 1995): (RO)2 (P = O)OH + R3P = O Û (RO)2 (P = O)OH...O = PR3 (1)
3.3 Analisis gugus fungsi dengan FTIR Frekuensi absorpsi inframerah matriks Amberlite XAD-16 (styrene/divinylbenzene) pada Tabel 3 menunjukkan adanya perbedaan kecil antara karakteristik XAD-16 normal dibandingkan dengan karakteristik XAD-16 setelah diimpregnasi dengan D2EHPA atau dengan TBP, seperti yang diperlihatkan pada puncak 1446,6 cm-1 yang berkorelasi dengan regangan cincin C=C dan dari pita cincin substitusi (Gambar 3). Gambar 4. Spektrum FTIR dari campuran D2EHPATBP(3:1)/XAD-16. 3.4 Pengaruh jenis ekstraktan pada sorpsi ion logam
Gambar 3. Spektrum FTIR dari XAD-16 (hitam), XAD-16/D2EHPA (merah muda), XAD-16/TBP (hijau).
Campuran ekstraktan D2EHPA/TBP (3:1) memberikan persen sorpsi yang terbaik dibandingkan dengan menggunakan ekstraktan tunggal D2EHPA ataupun TBP seperti diperlihatkan pada Gambar 5. Persen sorpsi ion Nd(III) paling kecil jika digunakan ekstraktan TBP. Hal ini mungkin disebabkan karena TBP merupakan ligan netral yang jika bereaksi dengan ion Nd(III) yang bermuatan positif (+3) akan membentuk kompleks yang tidak netral. Kompleks yang tidak netral cenderung bersifat polar, sehingga akan lebih mudah lepas dari resin XAD-16 yang bersifat nonpolar dan terbawa oleh pelarut polar. Penggunaan D2EHPA menghasilkan pengikatan ion Nd(III) yang lebih baik dibandingkan dengan TBP,
24 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
karena D2EHPA bermuatan negatif (-1) sehingga dengan perbandingan tertentu dapat membentuk senyawa kompleks yang netral. Urutan kemampuan ekstraktan terhadap sorpsi ion Nd(III) yang semakin meningkat mengikuti urutan D2EHPA/TBP > TBP > D2EHPA.
100
80 % Sorpsi
(3)
Sementara itu, reaksi antara ion logam dengan ekstraktan campuran D2EHPA/TBP dapat dituliskan sebagai berikut: n+ + M aq + nHLorg + mEorgÛMLn mEorg + nHaq
(4)
Subscript ‘aq’ dan ‘org’ secara berturut-turut menyatakan fasa air dan fasa organik atau resin, sedangkan M, HL dan E adalah simbol dari logam, D2EHPA dan TBP. Masuknya molekul TBP ke dalam kompleks (MLnmE) mungkin menyebabkan polaritas kompleks tersebut menjadi berkurang dibandingkan dengan polaritas kompleks MLn, karena molekul TBP menggantikan molekul air yang terikat secara kovalen koordinasi dengan ion LTJ. Dengan demikian kompleks MLnmE lebih mudah teradsorpsi daripada kompleks MLn di dalam resin yang bersifat nonpolar.
120
60
40
20
0 0
1
2
3
4
5
6
pH
TBP/XAD-16
D2EHPA-TBP/XAD-16
D2EHPA/XAD-16
Gambar 5. Pengaruh jenis ekstraktan terhadap sorpsi ion Nd(III) pada resin XAD-16. D2EHPA-TBP/XAD-16
120
100
80 % Sorpsi
n+ + M aq + n ( HL)2,org Û MLn ( HL)n ,org + nH aq
60
40
20
0 0
1
2
3
4
5
6
pH
La(III)
Nd(III)
Gd(III)
Gambar 6. Pengaruh pH terhadap sorpsi ion-ion logam La(III), Nd(III) dan Gd(III) menggunakan ekstraktan D2EHPA-TBP(3:1)/XAD-16. Ekstraktan D2EHPA dapat berbentuk monomer (dalam pelarut kloroform, diklorometana dan 1,2-dikloroetana) atau dimer (dalam pelarut sikloheksana) (Stary, J., 1964). Oleh karena itu ada dua persamaan reaksi yang dapat digunakan untuk menjelaskan reaksi di dalam resin pada saat terjadi kesetimbangan. n+ + M aq + nHLorg Û MLn,org + nH aq
(2)
3.5 Pengaruh pH terhadap sorpsi ion logam pH merupakan salah satu parameter penting pada proses sorpsi ion-ion logam dalam resin yang mengandung ekstraktan. Esktraktan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh pH terhadap persen sorpsi ion-ion logam adalah campuran D2EHPA/TBP (3:1), sedangkan perbandingan massa ektraktan/resin yang digunakan ialah 50/50 (%b/b). Pada Gambar 6 diperlihatkan bahwa sorpsi ion-ion logam cenderung meningkat dengan meningkatnya pH larutan. Nilai pH optimum untuk sorpsi masing-masing ion La(III), Nd(III) dan Gd(III) secara berturut-turut tercapai pada pH 4,5; 3 dan 1,5. Selanjutnya persen sorpsi mengalami penurunan akibat ion-ion logam berangsur-angsur mengendap dengan meningkatnya pH larutan. Sorpsi ion-ion logam semakin meningkat dengan menurunnya jari-jari ion logam dengan urutan La<Sm
Ibnu Khaldun dkk, Pengaruh Komposisi Asam Bis(2-Etilheksil)Fosfat (D2EHPA) 25
Tabel 3. Beberapa frekuensi fundamental (cm-1) matriks resin Amberlite XAD-16 dalam resin D2EHPA/XAD-16, TBP/XAD-16 dan D2EHPA-TBP(3:1)/XAD-16 NO
XAD-16
D2EHPA/XAD-16
TBP/XAD-16
1 2 3 4 5
1602 1446,6 794,67
1602 1463 1237 1031 794,7
1602 1460 1276 1031 794,67
D2EHPA-TBP/ XAD-16 1602 1460 1230 1031 794,67
100
80
80
60 40 20
60 40 20
0
0 0
5
10
15
20
25
30
0
5
10
Wak tu (m enit) 0%
10%
20%
50%
60%
0%
10%
15
20
Waktu (m e nit) 20%
(7a)
25 50%
30 60%
(7b) La(III)-D2EHPA-TBP/XAD16
Gd(III)-D2EHPA/XAD16 100
100
80
Sorpsi (%)
80 Sorpsi (%)
Regangan dari C=C Regangan dari C=C P=O regangan dari (-O-P=O) Regangan P-O-C Regang C–H
Nd(III)-D2EHPA/XAD16
100
Sorpsi (%)
Sorpsi (%)
La(III)-D2EHPA/XAD16
Keterangan
60 40
60 40 20
20 0 0
0 0
5
10
15
20
25
10%
20%
50%
10
15
20
25
30
Waktu (m enit) 0%
Waktu (m enit) 0%
5
30 10%
20%
50%
60%
60%
(7c)
(7d)
Gambar 7. Pengaruh perbandingan berat (ekstraktan/resin) terhadap persen sorpsi La(III), Nd(III) dan Gd(III). 4. Kesimpulan Dengan meningkatnya perbandingan ekstraktan/resin meningkat pula kapasitas sorpsi resin. Kapasitas sorpsi resin optimal diperoleh pada perbandingan ekstraktan/resin 60/40 (%b/b) dengan urutan TBP>D2EHPA/TBP>D2EHPA yang dibuat dengan metode basah ataupun dengan metode kering. Kapasitas sorpsi resin Amberlite XAD-16 lebih besar jika digunakan metode kering, dibandingkan dengan metode basah. Dengan meningkatnya perbandingan ekstraktan/resin maka waktu yang dibutuhkan untuk sorpsi ion-ion LTJ semakin pendek. Kesetimbangan sorpsi untuk La(III) yaitu pada menit ke-10, sedangkan
untuk ion Nd(III) dan Gd(III) tercapai pada menit ke15. Nilai pH optimum untuk sorpsi masing-masing ion logan La(III), Nd(III) dan Gd(III) secara berturut-turut adalah 4,5; 3 dan 1,5. Jenis ekstraktan berpengaruh terhadap sorpsi ion Nd(III) menurut urutan D2EHPA/TBP>D2EHPA>TBP. Sorpsi ion-ion logam semakin meningkat dengan menurunnya jari-jari ion logam yaitu La<Sm
26 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
Penelitian Hibah Bersaing XV 2008 dengan nomor kontrak 001/SP2H/PP/DP2M/III/2008, kepada Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atas bantuan dana pendidikan yang diberikan. Daftar Pustaka Cortina, J. L. and Warshawsky, A., Developments in Solid-Liquid Extraction by SolventImpregnated Resins, in J. A., Marinsky Y., Marcus, (Eds.), 1997, Ion Exchange and Solvent Extraction, Marcel Dekker, 195-293. Cortina, J. L., Miralles, N., Sastre, A., and M., Aguilar, 1995, Solid-liquid Extraction Studies of Zn(II), Cu(II) and Cd(II) from Chloride Media with Impregnated Resins Containing Mixtures of Organophosphorus Compounds Immobilized on to Amberlite XAD-2, Hydrometallurgy, 37, 301-322. Juang, R.S., 1999, Preparation, Properties and Sorption Behaviour of Impregnated Resins Containing Acidic Organophosphorus Extractants, Proc. Natl. Sci. Counc. ROC(A), 23:3, 353-364. Karraker, G., 1970, Coordination of trivalent lathanides ions. J. Chem. Educ. 47, 424. Khaldun, I., Buchari, M. B., Amran, dan A., Sulaeman, 2007, Separation of La(III), Ce(III), Pr(III) and Nd(III) Using Solvent Impregnated Resin (SIR), Proceeding International Conference
On Chemical Sciences (ICCS-2007) UGMUSM. Yogyakarta. Matsunaga, H., Ismail, A. A., Wakui, Y., and Yokoyama, 2001, Extraction of Rare Earth Elements with 2-ethylhexyl Hydrogen 2ethylhexyl Phosphonate Impregnated Resins Having Different Morphology and Reagent Content, React. Funct. Polym., 49:3, 189195. Metwally, E., Saleh, Sh., and H.A., El-Naggar 2005, Extraction and Separation of Uranium(VI) and Thorium(VI) using Tri-n-dodecylamineImpregnated Resins, J. Nucl. Radiochem. Sci., 6:2, 119-126. Morais, C. A. and V. S. T. Ciminelli, 2004, Process Development for the Recovery of High-grade Lanthanum by Solvent Extraction, Hydrometallurgy, 73, 237–244. Stary, J., 1964, The Solvent Extraction of Metal Chelates, Pergamon Press, London. Toshi, K., Haruno, O., and H. Hiroshi, 1961, Spectrophotometric study of the complex of lanthanum and alizarin Red S , Talanta. 8:7, 552-556. Villaescusa, I., Salvado, V., and J. de Pablo, 1997, Solid-liquid Extraction of Au(III) From Aqueous Chloride Solutions by Tri-ndodecylammonium Chloride-impregnated in Amberlite XAD-2 Resin, React. Funct. Polym., 32:2, 125-130.
Sintesis Turunan Eusiderin A dan Evaluasi Aktifitas Antimakan terhadap Hama Tanaman, Epilachna sparsa Syamsurizal dan Afrida Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jambi, Jambi e-mail:[email protected] Diterima 17 Februari 2008, disetujui untuk dipublikasikan 31 Maret 2009 Abstrak Eusiderin A (1) yang diisolasi dari limbah kayu bulian (Eusideroxylon zwagery) telah berhasil ditransformasi menjadi lima turunan (2-6) yang didesain berdasarkan kecenderungan nilai clogP lebih kecil dari (1). Struktur molekul kelima senyawa tersebut ditetapkan berdasarkan data spektroskopi 1H-NMR, 1H-1H-COSY, NOESY, dan spektroskopi massa. Pengujian aktifitas antimakan turunan eusiderin A(2,3 & 6) terhadap Epilachna sparsa dan uji brine shrimp terhadap Artemia salina menunjukkan adanya peningkatan aktifitas antimakan yang signifikan dibandingkan dengan eusiderin A. Sementara itu dari hasil uji brine shrimp menunjukkan bahwa senyawa 2-6 dikategorikan tidak toksik . Kata kunci: eusiderin A; clog P; Epilachna sparsa; Antimakan; Uji brine shrimp Abstract Eusiderin A(1) which isolated from bulian wood (Eusideroxylon zwagery) was converted into five congeners (2- 6) which designed on account of the clogP smaller than 1. The structures of these five compounds were determined based on their spectroscopic data including 1H- NMR, 1H-1H-COSY, and NOESY spectra and mass spectra. The antifeedant activity and the brine shrimp lethality test against Artemia salina were evaluated to demostrate that 2, 3 and 6 increased significantly the antifeedant activity than eusiderin A, while the compounds(2-6) were classified as non toxic. Keywords: Eusiderin A; Clog P; Epilachna sparsa; Antifeedant; Brine shrimp lethality test 1. Pendahuluan
1993). Pada penelitian ini didesain turunan senyawa (1) dengan kecendrungan nilai clogP-nya lebih kecil dari induknya (1). Hasil penelitian diperoleh turunan senyawa (1) yang lebih larut dalam saliva serangga akibatnya kecendrungannya untuk makan dapat dicegah tanpa mengakibatkan kematian bagi serangga tersebut.
Eusiderin A(1) merupakan turunan neolignan langka yang pertama kali diisolasi dari tumbuhan Eusideroxylon zwagery bersama-sama dengan eusiderin B dan C (Hobbs and King, 1960). Senyawa (1) pada konsentrasi 100 ppm dapat menghambat 66% pertumbuhan miselim jamur pelapuk kayu(Tyromeces polutris) dan pada konsentrasi yang sama menghambat 52% Coriolus versicolor (Syafii dkk., 1987). Pada penelitian terdahulu diketahui senyawa ini memperlihatkan aktifitas antimakan terhadap hama tanaman hortikultura (Epilachna sparsa) dengan keaktifan 90% pada konsentrasi 0,01% tanpa menunjukkan efek toksik pada uji brine shrimp lethality test (LC50 > 500 ppm) (Syamsurizal dkk., 2001). Untuk meneliti hubungan struktur dan kereaktifan senyawa (1) sebagai antimakan terhadap E. sparsa maka didesain beberapa turunan senyawa (1) yang didasarkan pada perhitungan indeks permeabilitas membrannya dalam jaringan sel (clogP). Nilai clog P adalah suatu parameter yang menggambarkan partisi suatu senyawa diantara fase non polar dan polar, dalam hal ini koefisien partisi antara n-oktanol dan air. Semakin kecil nilai clogP-nya, sifat kelarutannnya dalam air semakin besar, dan sebaliknya bila nilai clogP-nya besar maka hidrofobisitasnya tinggi (Leo,
2. Percobaan Umum. Spektrum 1H-NMR diukur dengan menggunakan JEOL GX-500 MHz. Massa molekul relatif dari turunan (1) diukur menggunakan JEOL SX102. Seluruh reaksi kimia dilakukan dengan aerasi Argon. Pemisahan dan pemurnian senyawa menggunakan kolom khromatografi SiO2. Pemurnian lebih lanjut menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC) Shimadzu SPD-10A VP, dengan detector UV, pompa GL-7410 (GL Science). Jenis kolom HPLC yang digunakan: cosmosil 5SL-II (10 i.d x 250 mm, Nacalai). Analisis TLC menggunakan plat Kieselgel 60GF254 (0,25 mm, Merck). Penampak noda yang digunakan adalah larutan asam fosfomolibdat dalam etanol (50 mg/ml) dan 1% Ce(SO4)2 1% dalam H2SO410%. Bahan Tumbuhan. Sampel serbuk kayu bulian dikumpulkan pada bulan Mei 2008 dari sentrasentra pengrajin kayu bulian di kotamadya Jambi. 27
28 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
Spesimen tumbuhan ini diidentifikasi di Sekolah Tinggi Ilmu Hayati, ITB Bandung. Ekstraksi dan Isolasi. Sebanyak 20 kg serbuk kering kayu bulian diekstraksi dengan metanol menggunakan teknik maserasi, diperoleh ekstrak metanol pekat sebanyak 120g (0,6%). Selanjutnya 10,96 gram ekstrak metanol ini difraksionasi dengan kromatografi vakum cair (KVC) menggunakan eluen kombinasi n-heksan dan etil asetat, diperoleh fraksi nheksan:etil asetat = 2:1 pekat sebanyak 5,04g yang mengandung komponen utama dari ekstrak metanol dengan tingkat kemurnian 80%, selanjutnya direkristalisasi menggunakan campuran pelarut nheksan-benzena menghasilkan kristal putih berbentuk jarum sebanyak 3,85g (35% dari ekstrak metanol). Kristal yang diperoleh di-TLC(eluen n-heksan:etil asetat = 5:1) dan dibandingkan pola nodanya dengan eusiderin A memperlihatkan pola noda yang sama dengan Rf yang sama. Selanjutnya spektrum 1H-NMR kristal yang berbentuk jarum ditentukan dan dibandingkan dengan data 1H-NMR senyawa(1) terdahulu (Syamsurizal dkk., 2001) ternyata kristal tersebut adalah senyawa 1. Transformasi senyawa (1) menjadi 2-6. Sebanyak 50 mg senyawa(1) (0,13 mmol) dilarutkan dalam 1 ml CH2Cl2, kemudian didinginkan pada suhu 0oC dan ditambahkan 12,5 ml (0,13 mmol BBr3, selanjutnya dihomogenkan pada suhu 0oC. Kemajuan reaksi diamati pada tiap jam dan penambahan BBr3 sebanyak 50 ml sampai dengan senyawa(1) habis bereaksi(12 jam). Reaksi dihentikan dengan penambahan 1 ml air pada suhu 0 oC, kemudian diekstraksi dengan dietil eterr dan ditambahkan MgSO4 anhidrat untuk menghilangkan air. Selanjutnya ekstrak eter dievaporasi secara vakum, diperoleh crude sebanyak 49,7 mg. Crude dimurnikan dengan kolom Khromatografi SiO2 menggunakan eluen n-heksan:etil asetat (5:1 dan 3:1) sehingga diperoleh 2 (2 mg, 4,1%)) sebagai komponen minor dari fraksi non polar. Sedangkan fraksi polar yang merupakan komponen utama dimurnikan dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC fasa normal) dengan kondisi: (konsentrasi:5 mg/ml, eluen: n-heksan:etil asetat = 2:1, kolom: cosmosil: 10 x 250 mm, 5SL), diperoleh 3 (19,5 mg, 41,9%) pada waktu retensi 11.02 menit. Dengan menggunakan reagen yang sama, senyawa 4–6 dihasilkan dari senyawa (1) sebanyak 100 mg dimana setelah 30 menit penambahan 20 equivalen BBr3 suhu reaksi ditingkatkan sampai dengan suhu kamar dan senyawa (1) habis bereaksi setelah 12 jam.Crude yang diperoleh sebanyak 108 mg dimurnikan dengan kolom khromatografi SiO2 menggunakan n-heksan:etil asetat(5:1, 3:1 dan 1:1) sehingga diperoleh komponen utama, 4 (18 mg, 38,5%). Kemudian dari fraksi etil asetat sebanyak 8.4 mg dimurnikan dengan HPLC fasa terbalik (reverse
phase HPLC), dimana kondisi instrument pada konsentrasi:5 mg/ml, eluen: methanol 67%, kolom: cosmosil: 10 x 250 mm, 5SL, diperoleh 5 (1.4 mg, 1,4%) pada waktu retensi 7.6 menit sedangkan 6(2.5 mg, 2,6%) pada waktu retensi 8.9 menit. Uji aktifitas antimakan terhadap Epilachna sparsa. Larutan uji dibuat dengan variasi konsentrasi (0,01 sampai dengan 1%). Kemudian larutan uji dioleskan pada daun Solanum nigrum yang dibagi menjadi dua bagian yang sama luasnya, masing-masing sebagai daerah kontrol dan daerah larutan uji. Selanjutnya 2 ekor larva instar ketiga dari E. sparsa yang telah dipuasakan selama 12 jam diletakkan diatas daun uji selama 24 jam. Untuk menentukan besarnya aktifitas antimakan, dihitung berdasarkan rumus: A = ( 1 – U/K ) X 100% (Abdelgaleil and Aswad, 2005) dimana, A = aktifitas antimakan, K = luas daun yang dimakan pada kontrol (cm2) dan U = luas daun yang dimakan pada perlakuan dengan turunan eusiderin A (cm2). Uji toksisitas terhadap Artemia salina. Telur udang A. salina disemaikan dalam air laut buatan (NaCl 3,8%) dan dibiarkan selama 48 jam. Larutan uji disiapkan triplo dengan variasi konsentrasi dari sampel(30 sampai dengan 1000 ppm). Ke dalam larutan sampel tersebut ditambahkan 7–15 ekor larva A. salina dan diamati setelah 24 jam. Untuk perhitungan LC50 digunakan program Bliss Method (Meyer et al., 1982). 3. Hasil dan Diskusi Senyawa 2 dan 3 berhasil disintesis dari senyawa (1) setelah penambahan 5 equivalen BBr3 pada suhu 0oC. Reaksi pada suhu kamar dengan rasio 20 equivalen menyebabkan senyawa (1) terbuka cincin dioksannya menjadi senyawa 4-6. Senyawa 2 berdasarkan data spektrum massa FAB-MS(m/z), 373(M+H)+ memperlihatkan perbedaan massa 14 satuan dari senyawa 1. Berdasarkan data spektroskopi massa ini menyarankan telah terjadi demetilasi satu gugus metoksil. Disamping itu dari spektrum 1H-NMR terlihat hilangnya signal 6-OCH3 pada d 3,88 ppm (3H,s) dan munculnya signal gugus 6-OH pada d 5,58 ppm (1H, s). Demetilasi yang terjadi pada posisi C-6 dibuktikan dengan percobaan NOESY (Nuclear Overhauser Effect Spectroscopy) yang menunjukkan adanya korelasi signal gugus OH pada d 5,58 ppm dengan signal dua gugus metoksi pada d 3,91 ppm. Selain itu tidak terjadi demetilasi pada posisi C-6’ yang ditunjukkan oleh adanya korelasi NOESY signal H-5’ pada d 6,62 ppm dengan gugus 6’-OCH3 pada d 3,89 ppm (Gambar 1). Senyawa 3 dapat dielusidasi strukturnya dari data spektrum massa FAB-MS(m/z), 359(M+H)+ yang memperlihatkan perbedaan massanya 28 satuan dari senyawa 1, ini berarti ada dua gugus metoksil yang mengalami demetilasi. Selain itu spektrum 1H-NMR
Syamsurizal dan Afrida, Sintesis Turunan Eusiderin A dan Evaluasi Aktifitas Antimakan 29
senyawa 3 secara spesifik memperlihatkan terjadinya pergeseran down field yang signifikan signal proton pada posisi H-4 (0,09 ppm) dan H-8 (0,10 ppm) yang mengindikasikan terjadinya demetilasi pada posisi C-5 dan C-6. Hal ini ditunjukkan oleh munculnya dua signal gugus hidroksil pada d 5,38 ppm(1H,s, 5-OH) dan 5,47 ppm (1H,s, 6-OH). Kedua signal gugus hidroksil ini pada spektrum NOESY memperlihatkan adanya korelasi antara signal H-4 dengan signal gugus 5-OH dan antara gugus 6-OH dengan 7-OCH3 (Gambar 1). Massa molekul senyawa 2 ditetapkan dari data spektrum massa FAB-MS(m/z), 359(M+H)+.
4
H
O OCH3
2
5
4
H
O
O
2
6'a
H 5'
4
8
H OH 3 OH OCH3
7 OCH 3
6'a
COSY
OH
H 5'
OCH3
Keterangan:
6 OH
H 8
2 3
7 OCH 3
H COSY
OH
6
5
= NOESY
8
OCH3
= 1H-1H-COSY
6 OH
4
O 8
OH
OCH3 6 OH
5
OH
OCH 3 6 OH
O
mirip dengan 2 ditunjukkan dengan puncak silang sinyal NOESY pada gugus hidroksil H-6 dengan gugus metoksil pada posis C-5 dan C-7, adanya korelasi signal H-5 dan gugus metoksil pada posisi C-6’, demikian juga halnya dengan signal metoksil 6’-OCH3 dan 6’a-OH (Gambar 2).
Gambar 2. Korelasi 1H-1H-COSYdan NOESY pada penetapan struktur senyawa 5 dan 6.
OCH3
O
H
OCH3
Massa molekul senyawa 4 ditetapkan dari data spektrum massa FAB-MS(m/z), 181 (M+H)+ berarti perbedaan massanya separuh lebih kecil dari senyawa (1) yang mengindikasikan senyawa 4 merupakan monomernya. Berdasarkan data 1H-NMR terlihat hilangnya dua signal proton aromatik H-4 dan H-8 termasuk dua signal proton alifatik H-2 dan H-3 dan gugus 3”-CH3 yang menunjukkan terjadinya pembukaan cincin dioksan. Struktur 4 dapat diidentifikasi dengan adanya signal proton alilik yang khas dari senyawa(1) masing-masing pada daerah 5,92 ppm (1H, m, H-10), 5,08(2H, dd, H-11), dan 3,27 (2H, t, H-9), selain itu terlihat adanya signal metoksil yang spesifik pada C-6’. Keberadaan dua gugus hidroksil visinal pada 5,40 ppm (1H, s, 3’a-OH) dan 5,36 ppm (1H, s,6’a-OH) dibuktikan melalui penambahan D2O yang menyebabkan hilangnya kedua signal tersebut (Gambar 3).
3
Gambar 1. Penetapan Struktur 2 dan 3 dengan Korelasi NOESY. Data spektrum massa senyawa 5 FABMS(m/z), 391 (M+H)+ memperlihatkan selisih massanya dengan senyawa (2) sebanyak 18 satuan yang berarti ada satu gugus hidroksil baru yang terbentuk. Fakta ini didukung oleh data 1H-NMR yang ditandai oleh munculnya signal gugus hidroksi pada d 5.19(1H, s, H-6’a) diikuti dengan perubahan signal proton yang signifikan pada posisi H-2 (0,61 ppm, down field) dan H-3(0,55 ppm, upfield), seperti terlihat pada Tabel 1. Cincin dioksan yang terbuka dapat diketahui melalui percobaan NOESY dimana terlihat adanya korelasi signal gugus hidroksil pada posisi 6’a dengan gugus metoksi pada posisi C-6, didukung melalui spektrum COSY dua proton metin alifatik H-2 dan H-3 berkorelasi satu sama lain. Kerangka struktur 5 yang OCH3
OH
OH O
OH O
OCH3
OCH3
O
O OCH3
2 clogP: 4.37
2X
OCH3 OCH3 B 6
OCH3 3 clogP: 4.05
5 11
9
3' 5'
C
O A
10 X
OCH3
O 3 3" OCH3 eusiderin A (1) clogP: 4.71
OH OCH3 OH
OH OH OCH3 4 clogP: 1.85
O tdk ada perubahan
OCH3
OH OH OCH3
O
5 clogP: 3.75
OH OCH 3
OH OH 2X
OCH3 6 clogP: 3.43
tidak stabil
Gambar 3. Hubungan Struktur dan Kereaktifan Turunan Eusiderin A
5X
30 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2009, VOL. 14 NO. 1
Tabel.1 Data 1H-NMR senyawa (1) dan Derivat Hasil Modifikasi(2,3,4,5 dan 6) (CDCl3, 500 MHz) Proton H-8
1 6,57 (s)
2 6,58 (s)
3 6,47(s)
4 -
5 6,36(brs)
H-4
6,57 (s)
6,58 (s)
6,48(s)
-
6,36(brs)
H-5’
6,49 (s)
6,23(brs)
6,38 (s)
6,62(d, J = 1,2 Hz) 6,36(d, J = 1,4 Hz) 3,29(d, J = 7,0 Hz) 5,94 (m)
6,44(brs)
H-3’
6,48(d, J = 1,6 Hz) 6,38(d, J = 1,6 Hz) 3,30(d, J = 6,8 Hz) 5,94 (m)
6,30(brs)
6,23(brs)
5,40(s) 3,27(d, J = 6,7 Hz) 5,92 (m)
2,87(d, J = 7,3 Hz) 5,66 (m)
6 6,43(d, J = 1,5 Hz) 6,43(d, J = 1,5 Hz) 6,24(d, J = 1,6 Hz) 6,23(d, J = 1,8 Hz) 2,90(d, J = 7,0 Hz) 5,68 (m)
5,07(dd, J =16,1, 9,1 Hz) 4,54(d, J = 8,1 Hz) 4,10(dq J = 7,0, 5,9 Hz) 1,24 (d, J = 6,4 Hz)
5,08(dd, J =15,7, 8,4 Hz) 4,51(d, J =8,8 Hz) 4,08(m)
5,08(dd, J =15,9, 9,1 Hz) -
1,25 (d, J = 7,0 Hz)
-
5,58 (s) 3,91(s) 3,91(s) 3,89(s)
5,38(s) 5,47(s) 3,90(s) 3,89(s)
5,36(s) 3,86(s)
4,93(dd, J =16,7, 7,4 Hz) 4,02(d, J = 6,1 Hz) 4,71(dq, J = 6,8, 6,1 Hz) 1,51 (d, J = 6,9 Hz) tidak jelas 5,18(s) 3,83(s) 5.43(s) 3,83(s) 3,88(s)
4,94(dd, J =15,0, 10,4 Hz) 3,99(d, J = 7,1 Hz) 4,69(dq, J = 7,0, 6,7 Hz) 1,50 (d, J = 6,6 Hz) tidak jelas 5,28(s) 5,24(s) 5,34(s) 3,87(s) 3,81(s)
3’-OH H-9
3,30(d, J = 6,7 Hz)
H-10
5,94 (ddt, J =17, 7,3, 6,7 Hz) 5,07(dd, J =18,0, 10,9 Hz)
H-11
H-2
4,55(d, J = 7,9 Hz)
H-3
4,10(dq, J = 7,9, 6,1 Hz) 1,26 (d, J = 6,1 Hz)
H-3” 3-OH 5-OH 6-OH 5-OCH3 6-OCH3 6’a-OH 7- OCH3 6’- OCH3
3,88(s) 3,88(s) 3,86(s) 3,89(s)
Massa molekul senyawa 6 berdasarkan data spektrum massa FAB-MS(m/z), 377 (M+H)+ memperlihatkan perbedaan massanya 18 satuan lebih besar dari senyawa 3 ini berarti bertambahnya satu gugus hidroksil sebagai akibat terbukanya cincin dioksan. Hal ini ditandai dengan pergeseran signal 1HNMR yang signifikan H-2 (0,56 ppm, upfield) dan H-3 (0,59 ppm, upfield). Selain itu didukung pula oleh danya korelasi NOESY antara signal metoksil 6’-OCH3 dan 6’a-OH. Kerangka struktur 6 yang mirip dengan 3 ditunjukkan oleh adanya puncak silang spektrum NOESY gugus 5-OH dan H-4, disamping H-6 dan gugus metoksil pada C-7, dan puncak silang pada H5’dan gugus metoksil pada C-6’. Dari data-data hasil uji aktifitas antimakan turunan 1 terlihat tiga turunan eusiderin A; 2, 3 dan 6 menunjukkan peningkatan aktifitas antimakan yang
-
cukup signifikan. Turunan 3 memperlihatkan peningkatan aktifitas antimakan 10 kali lebih kuat dibandingkan dengan 1 (Tabel 2). Hasil ini menunjukkan bahwa, demetilasi pada cincin aromatik dapat meningkatkan aktifitas antimakan, khususnya adanya visinal diol pada cincin aromatik(B); C-5 dan C-6 yang mempunyai peran penting dapat meningkatkan aktfitas biologisnya sebagai antimakan sedangkan cincin dioksan(A) yang terbuka cendrung menjadikan turunan senyawa(1) mudah terdekomposisi akibatnya aktifitasnya berkurang seperti terlihat pada 5 dan 6. Selain itu hasil uji dengan larva A.salina seluruh turunan senyawa(1) memperlihatkan LC50> 500 ppm, hal ini menunjukkan aktifitas biologis pada konsentrasi tersebut termasuk katagori tidak toksik(Meyer et al., 1982).
Syamsurizal dan Afrida, Sintesis Turunan Eusiderin A dan Evaluasi Aktifitas Antimakan 31
Tabel 2. Data hasil uji antimakan dan toksisitas eusiderin A dan turunannya. Senyawa
Antimakan Peningkatan AC90, (%)* Eusiderin A (1) 1 2 0.5 2X 3 0.1 10 X 4 1 tidak ada 5 2 tidak ada 6 0.2 5X Positif kontrol 1 *) AC90: konsentrasi dimana 90% daun uji tidak dimakan 4. Kesimpulan Senyawa (1) berhasil ditransformasi menjadi beberapa turunannya, 2, 3, 4, 5 dan 6. Berdasarkan hasil evaluasi aktiftas antimakan terhadap serangga E. sparsa dapat disimpulkan bahwa terdemetilasinya gugus metoksil dapat meningkatkan aktiftas antimakan turunan eusiderin A. Adanya visinal diol pada cincin aromatik(B) menunjukkan peran penting dalam meningkatkan aktifitas antimakan. Ucapan Terima kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dirjen Dikti atas pendanaan melalui dana Hibah Penelitian Fundamental (No.007/SP2H/PP/DP2M/III/ 2008) dan Laboratory of Medicinal Plant Resources Exploration, Osaka University, Jepang yang telah banyak memfasilitasi dan memberikan kesempatan kepada peneliti dalam melakukan percobaan sintesis turunan eusiderin A. Daftar Pustaka Abdelgaleil, S. A. M., and A. F. El. Aswad, 2005, Antifeedant and Growth Inhibitory Effects of Tetranortriterpenoids Isolated from Three Meliaceous Species on the Cotton Leafworm, Spodoptera littoralis (Boisd.). J. Appl. Sci. Res. 1:2, 234-241.
Toksisitas LC50, ppm >500 >500 >500 >500 >500 >500 A,6
Hobbs, J. J.,and F. E. King, 1960, The Chemistry of Extractives from Hardwoods. Eusiderin, a possible by-product of Lignin Synthesis in Eusideroxylon zwagery, J. Chem. Soc., 47324738. Leo, A.,J, 1993. Calculating log Poct from Structures. Chem. Rev., 93 (4), 1281-1305. Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y. I. Mandang, dan K. Kadir, 1989, Atlas Kayu Indonesia, Departemen Kehutanan, Bogor. Meyer, B. N., N. R. Ferrigini, J. E. Putman, J. B. Jacobson, D. E. Nochols, and J. L. Mc. Laughlin, 1982, Brine Shrimp: A Convinient General Bioassay for Active Plant Constituent, Plant Med., 43, 31-34. Miles H. D., M. Barbara, A. R. Shirley, 1985, Insect Antifeedant from The Peruvian Plant Alchornea triplinervia, J. Am. Chem. Soc., 276, 470 Syamsurizal, N. Harun, Harizon, Afrida, S. A . Achmad, N. Aimi, E. H. Hakim, M. Kitajima, Y. M. Syah, H. Takayama, 2001, Examination of The Iron-wood Eusideroxylon zwagery for The Presence of Insect Antifeedant, Bull. Soc. Nat. Prod. Chem. (Indonesia), 1:2, 36-41.