PENGARUH KEARIFAN LOKAL PADA RUMAH ACEH Afrian Prasetya S.1 Soepono Sasongko,2 IF. Bambang Sulistyono Sk,3 Abstract Aceh house developed based on the concept of the Islamic community life is holy. The concept of this holy cause Aceh house on stilts. In terms of religious values, various sources mention these stilts to avoid unclean animals such as dogs. More on laying such a toilet room is dirty or wet areas as well. Based on the story of the ancestors of the people of Aceh, the toilet and the well needed to be far from home The concept is further adjustments to the procedures of worship in Islam. Prayer habits cause Aceh home placement longitudinal follow Qiblah (to the west) until clearing house can accommodate many people bersholat. The concept of Islamic brotherhood or a close relationship between citizens and open cause rumoh distance close relative of Aceh and the absence of a permanent fence or no fence at all in the surrounding area of Aceh rumoh. In addition to the concept of Islamic philosophy, in essence different format in Aceh house occupant response is the result of geographical conditions. Aceh home theater has shaped type provide comfort to the occupants. This house type also make unobstructed views and facilitate mutual fellow citizens keep order between home and village. Up home theater can be used as a controller to guarantee peace, order. Various concepts are finally able to establish various forms of Aceh house. Habit mention the people of Aceh Aceh in just for homes that are very high as contained in Aceh Museum. Differences mention of Acehnese houses and houses on stilts which contrasted sharply since the height of the stage floor was causing incorrect understanding of the definition of the term. For the Acehnese both ancestors and those still occupying the house Aceh to date, building a house is like building a life. That's what led to the construction of the house to go through some particular procession Keywords
: Local Wisdom, Culture, Islam, Rumah Aceh
1. Student, Interior Design NIM C0805002 2. First Lecturer 3. Second Lecturer
69
1.
Pendahuluan Daerah Istimewa Aceh yang sekarang berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam adalah satu provinsi yang berada di paling barat negara Indonesia. Seperti budaya lainnya, Aceh sendiri juga memiliki ciri khas budaya yang dinamis dan unik, terutama rumah Aceh. Rumah Aceh sering disebut dengan rumah (rumoh) Aceh. Rumah Aceh dibuat tinggi di atas tanah dibangun dengan jumlah tiang-tiang bulat besar yang beraturan. Rumah Aceh letaknya wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan, yaitu membujur dari Timur ke Barat dengan arah utama kiblat (barat). Posisi demikian befungsi sebagai patokan untuk para tamu yang datang, tanpa bertanya, sudah dapat meyakini arah kiblat. Bahkan di wilayah tertentu, bukan hanya pengaturan posisi arah rumah saja yang menghadap kiblat, hal yang berkaitan dengannya pun ditata dengan maksud, yaitu pembangunan jalan, gang, semua tegak lurus menghadap kiblat (Mirsa, Rinaldi, 2013; 18) Arsitektur Rumah Aceh merupakan hasil karya cipta dari kearifan masyarakat Aceh dalam menyikapi alam dan keyakinan (religius). Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan kepada penghuninya. (http: //www.atjechcyber.net/aceh). 2. Filosofi Rumah Aceh Masyarakat Aceh dalam menyikapi kondisi alam terlihat sangat pintar, hal ini dilihat dari bentuk rumah aceh yang menghadap ke Utara dan Selatan sehingga rumah membujur dari Timur ke Barat. Walau dalam perkembangannya, masyarakat Aceh membuat garis imajiner antara rumah dan Ka’bah, tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah seperti ini. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup dari arah Timur ke Barat atau sebaliknya. Jika arah rumah aceh menghadap ke arah angin, makan bangunan tersebut dipastikan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke Utara dan Selatan, juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk ke ruang di rumah aceh. Baru setelah Islam masuk ke Aceh, arah rumah aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religius juga dapat dilihat dari jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk rumah aceh. (Zainuddin, H.M, 1961; 15). Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang privat, seperti rumoh inong (kamar khusus perempuan), ruang publik
70
seperti seuramoe keu (serambi depan), serambi belakang merupakan tempat yang didominasi wanita. Keberadaan tangga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka bagi tamu yang bukan keluarga dekat (muhrim) dilarang untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial. (Mirsa, Rinaldi, 2013; 20) Ketinggian pintu rumah aceh boleh dikatakan tidak seperti pintu pada umumnya yang mempunyai ketinggian 2 meteran. Di rumah aceh, ketinggian pintunya hanya berkisar diantara 120-150 cm saja sehingga membuat orang yang belum mengenalnya pasti akan merasa aneh. Namun pada masyarakat Aceh, hal ini menunjukkan bahwa orang yang masuk ke rumoh aceh harus menunduk, sebenarnya memiliki arti bahwa semua tamu harus menunduk sebagai tanda hormat kepada yang punya rumah. Namun jangan kaget saat masuk, kita akan merasakan ruang yang yang sangat lapang karena di dalam rumah tidak ada furniture seperti ruang tamu pada umumnya. Semua orang diharuskan duduk bersila di atas lantai. Karena pintu yang pendek ini, bahkan sampai ada anggapan jika pintu aceh ini mewakili sifat dari orang Aceh sendiri, yaitu sukar kita sebagai orang dari budaya lain mengenalnya tapi begitu kita masuk di keluarga mereka, pasti akan diterima dengan lapang dada dan menyambut dengan sukacita serta ramah.
Gambar 1. Denah Rumah Aceh (gambar dengan Autocad 2D)
71
Denah Rumah Aceh pada umumnya : 1) Reunyen (tangga) 2) seuramo keu (serambi depan) 3) jure (ruang keluarga dan kamar) 4) rambat (lorong antara kamar) 5) seuramo likot (serambi belakang) 6) dapu (dapur) 7) bawah rumah (kolong rumah) Kolong rumah sengaja dibiarkan kosong dan terbuka agar digunakan sebagai tempat pembuatan kain tenun serta penyimpanan hasil panen (lumbung padi), dan bisa juga digunakan sebagai kandang hewan peliharaan. Ruang utama diisi dengan hamparan tika ngom (tikar pandan). Kondisi ini memberi keleluasaan ruang sehingga bisa multifungsi dan memberi sirkulasi udara yang baik. Rumah aceh sebenarnya berlandaskan ajaran agama Islam yang berkembang dan sekarang dianut sebagian besar masyarakat Aceh, yaitu mengutamakan kesucian. Hal ini secara tidak langsung membuat pandangan tentang kesucian yang tidak memperbolehkan adanya toilet di dalam rumah. Konsep agama yang mengalokasikan kegiatan kaum lelaki hanya di seuramoe keue dan kaum perempuan di dapur juga menjadi kendala dalam kemudahan komunikasi dan berkegiatan dengan anggota keluarga lainnya. Penghubung antara rumah dengan miyup adalah tangga, jumlahnya ganjil. Dikarenakan masyarakat Aceh masih banyak yang memelihara hewan ternak, maka tangga di rumah aceh ini berfungsi sebagai penghalau hewan-hewan yang hendak naik ke dalam rumah aceh. Selain itu untuk menjaga kebersihan rumah, pada tangga bagian bawah telah disediakan guci air untuk membasuh kaki, sehingga ketika kita hendak naik ke dalam rumah, sudah dalam keadaan bersih (suci najis). 3. Prosesi Upacara dalam Pembangunan Rumah Aceh Pada dasarnya pengaruh agama Hindu di masyarakat Indonesia, khususnya Aceh masih kental terasa. Begitu pula dalam proses pendirian dan pembangunan rumah aceh, masyarakat Aceh tetap berpandangan harus tetap melalui prosesi panjang yang telah diatur adat dan tetua adat. Meskipun pengaruh agama Hindu masih terasa namun prosesi ini tetap diadakan dengan doa-doa sesuai menurut ajaran Islam, dalam upacara tersebut juga terlihat adanya unsur-unsur kepercayaan terhadap roh-roh gaib dan benda-benda yang dianggap keramat.
72
Prosesi dalam pembangunan rumah aceh : a. Pengambilan Bahan baku Dalam rangka pengangkutan kayu-kayu tersebut biasanya disertai dengan melaksanakan upacara adat. Pengangkutan dilaksanakan secara gotong royong. Bahkan dalam upacara tersebut selalu disertai dengan pemotongan hewan. Tujuan dari pemotongan hewan ini adalah untuk menghindari terjadinya halangan dan agar lebih ramai. Dalam kepercayaan orang Aceh, setiap tempat terdapat semacam makhluk halus (roh-roh) yang menguasainya. Untuk memasuki area hutan dan mengambil isinya, harus dipatuhi ketentuan-ketentuan adat yang berlaku, agar makhluk halus yang menguasai hutan itu bersedia memberikan izinnya. Proses pengangkatan kayu tersebut, pertama kali harus mengikat dengan rotan agar bisa ditarik beramai-ramai. Selagi para pria mengangkut kayu, para wanita memukul canang dengan disertai sorakan yang gemuruh oleh anak-anak. Tujuan pemukulan canang dan sorakan ini agar makhluk halus yang mungkin mencoba menghalangi pengangkutan kayu tersebut menjadi takut dan lari. Untuk daerah pesisir, penebangan dan penarikan kayu tidak boleh pada waktu air pasang, sebab seperti sifat kayu yg rentan lapuk karena air , hal itu dapat menyebabkan kayu-kayu tersebut rapuh kondisinya. Hal lain yang sangat diperhatikan ketika hendak membawa pulang kayu yang ada di dalam hutan ke pemukiman, yaitu menunggu saat air sungai sedang pasang sehingga dapat dengan mudah menghanyutkan kayu. Jika tidak dalam kondisi air pasang, proses kerja pengangkutan kayu ke pemukiman akan semakin berat. b. Prosesi Pendirian Rumah Sama dengan prosesi pengambilan bahan baku dari hutan, maka pada upacara pendirian rumah aceh, juga diadakan penyembelihan hewan korban, disertai dengan acara makan dengan disertai pembacaan doa yang dipimpin Tengku Imam Masjid. Doa ini ditujukan untuk memohon agar pembangunan rumah itu dapat berjalan dengan baik, lancar tanpa ada hambatan apapun dan membawa banyak rezeki dan berkah untuk penghuninya. Lalu selanjutnya tentang masalah hari pelaksanaan pembangunan rumah diserahkan kepada Keuchik (Kepala Desa) untuk menentukannya kapan hari baik pembangunan rumahnya. Ada anggapan dalam masyarakat Aceh, jika dalam pembangunan rumah aceh sang pemilik rumah tidak mengindahkan nasehat dan saran Keuchik, ditakutkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam proses pembangunan rumahnya. Dalam prosesi ini terdapat dua kegiatan penting yang harus dilakukan. Pertama adalah “Tanom Kurah”. Upacara “Tanom Kurah” dianggap sebagai
73
peletakan batu pertama, yang di mana peletakkan batu pertama ini harus persis tepat di tengah di mana rumah akan dibangun. Peletakkan batu pertama ini sebisa mungkin dilakukan tepat pada pukul 24.00 WIB, karena dipercaya membawa kebahagiaan dan ketentraman bagi penghuni rumah. (Ahmad, Zakaria; Sufi, Rusdi; Muhammad dan Said, 1985; 67). Upacara “Peusijuk” dilaksanakan keesokan paginya. Inti dari upacara ini adalah “penyucian atau pembasuhan” seluruh lokasi tempat di mana rumah itu dibangun dan juga bahan-bahan perlengkapan rumah. Tujuan dari upacara “Peusijuk” ini adalah agar suasana rumah itu selalu tenang, tidak ada hal-hal aneh yang terjadi serta sejuk dan nyaman. Upacara ini dilaksanakan pada pagi hari, sebelum matahari sudah ada di atas kepala. Masyarakat Aceh percaya jika pagi hari merupakan waktu yang baik untuk mendapatkan rezeki. c. Prosesi Penempatan Rumah Baru oleh pemilik rumah Dalam upacara ini dilakukan “Upacara Peusijuk Utoh dan “Upacara Kenduri E’Rumoh Baro”.Upacara “Peusijuk Utoh” dilaksanakan oleh pemilik rumah sebagai ungkapan terimakasih kepada para tukang bangunan yang telah mengerjakan rumahnya. Biasanya dibarengi dengan acara penyerahan dalam bentuk sandang dan pangan. Dalam upacara ini mengandung arti ucapan terimakasih dari pemilik rumah kepada tukang bangunan, tapi juga merupakan semacam acara serah terima harga yang harus dibayar maupun serah terima bangunan dari ke pemilik rumah. Sedangkan upacara “Kenduri E’Rumoh Baro” adalah perwujudan rasa syukur karena telah selesainya pembangunan rumah. Biasanya dilakukan setelah selesai shalat maghrib di rumah baru yang hendak ditempati tersebut. Dalam acara ini pemilik rumah mengundang semua pihak, seperti Utoh (tukang), Bapak Keuchik (Kepala Desa), Imam Meusanah dan Imam Masjid dan masyarakat. Tata cara upacara ini sama halnya dengan upacara lainnya, dengan didahului makan bersama, kemudian baru dilakukan dengan ucapan terimakasih dari pemilik rumah kepada semua pihak yang ikut membantu dalam mendirikan rumah tersebut. Upacara diakhiri dengan pembacaan doa. 4. Pola Kearifan Lokal Pengaruh sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya yang berbeda yang melatarbelakangi proses pembentukan lingkungan tersebut, memberikan warna dan ciri tersendiri pada wujud fisik rumah aceh. Bagi masyarakat Aceh mulai dari nenek moyang maupun warga yang masih menempati rumah Aceh hingga saat ini, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri.
74
Rumah yang dibangun oleh masyarakat Aceh adalah hasil akulturasi interaksi manusia dengan alam. Akhirnya, segala simbol-simbol pengetahuan yang terdapat dalam upacara adat pembangunan rumah pada masyarakat Aceh terintegrasi dengan sistem teknologi dan struktur sosial. Seringkali apabila diperhatikan kebudayaan ini memiliki nilai-nilai kearifan di dalam mengelola agar lingkungan tidak cepat rusak/punah. 5. Korelasi antar Budaya Pada masyarakat Aceh, berlaku kebiasaan bahwa pasangan suami-istri muda menetap di lingkungan keluarga pihak istri. Kebiasaan menetap secara demikian berlangsung hingga tiba saatnya pasangan muda itu dipisahkan dan membentuk keluarga batih sendiri. Pemisahan itu biasanya dilakukan dengan upacara yang disebut “Peumeukleh”. Dengan disaksikan oleh menantu dan tetua kampung serta beberapa anggota kerabat lainnya, orang tua istri memberikan sejumlah harta dan nilainya tergantung kepada kemampuannya, kepada anak perempuan yang hendak dipisahkan itu. Pemberian itu disebut “Peunulang” atau pemberian. Bagi yang kaya atau berkecukupan, pemberian itu bisa dapat dalam bentuk rumah, tanah, perhiasan atau peralatan rumah tangga lainnya. (Ahmad, Zakaria; Sufi, Rusdi; Muhammad dan Said. 1985; 45). Namun kondisi seperti ini membuat kedudukan suami dalam lingkungan keluarga tidak bisa leluasa dalam menjalani perannya sewaktu berada di rumah istrinya. Biasanya suami istri itu berpisah ketika telah mendapatkan kelahiran anak pertama. Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh suami mudah untuk mendapatkan status sebagai suami sesungguhnya adalah dengan cara pergi merantau ke daerah lain. Bila sang suami dirasa sudah cukup berhasil, dia dapat membawa istrinya untuk hidup bersama. Sebenarnya ada cara lain, yaitu dengan membawa istrinya ke lingkungan kerabat orangtuanya. Akan tetapi bagi masyarakat Aceh, masih dikatakan tabu, karena dapat menimbulkan ketegangan dan percekcokan di antara keluarga istri dan suami. Namun dalam realitanya, kecenderungan untuk mempertahankan anak perempuan agar tetap berada di lingkungan kerabatnya sendiri masih terlihat pada sebagian pendatang dari desa. Namun karena berbagai keterbatasan, kecenderungan ini kelihatannya mulai pudar. Faktor penyebab yang terpenting antara lain keterbatasan rumah tempat tinggal dan biaya hidup yang relatif tinggi. Biaya hidup yang tinggi sering merupakan beban yang amat berat dirasakan untuk bisa ditanggung oleh seorang kepala rumah tangga.
75
6. Ornamen pada Rumah Aceh Bangunan rumah tradisional Aceh pada umumnya memiliki banyak ukiran sebagai ragam hias yang menempel pada bangunan tersebut. Beberapa ragam hias ini dapat berbentuk ukiran, lukisan dengan menggunakan cat, atau tempelan ragam hias dari berbagai bahan yang ditempel pada kayu dengan menggunakan motif-motif yang indah. Ragam hias pada rumah aceh zaman dulu banyak dijumpai ukiran dengan berbagai ragam yang menarik, hal ini menandakan suku Aceh mempunyai jiwa seni. a. Ragam Hias Agama Sebagian besar bermotifkan hasil perpaduan akulturasi budaya Hindu dan Islam, yang sebagaimana berkembang di Aceh. Meskipun sebagian kepercayaan masyarakat Aceh sudah berpindah dari agama Hindu ke agama Islam namun pengaruhnya tidak hilang secara mutlak. Masih ada ragam yang dikombinasikan dengan ragam hias bermotifkan Islam, semisal ayat-ayat AL Quran yang berbentuk kaligrafi. b. Ragam Hias Flora Motif-motif yang diterapkan antara lain 1) Daun-daunan seperti on murong (daun murong), on tubee (daun tebu) 2) Akar seperti ukeu bak rambot (akar batang rambutan) 3) Batang seperti batang ubi, batang kelapa 4) Motif Bungong (bunga-bungaan) seperti bungong mata uroe (bunga matahari), bungong sitawon (bunga setaman). c. Ragam Hias motif Fauna Motif hewan yang dipakai biasanya hewan-hewan yang biasa hadir di sekitar lingkungan saja. Seperti kucing, ayam, itik, kambing. Namun ada yang menarik dari ragam hias berbentuk fauna ini, yaitu kucing. Di satu wilayah bentuk hewan kucing sangat jarang ditemui di rumah aceh. Namun di satu wilayah tertentu seperti di Aceh Besar, yang terjadi malah sebaliknya. Ukiran bentuk kucing banyak ditemui, dikarenakan kucing menjadi hewan yang disukai masyarakat Aceh. Beberapa ukiran yang dapat dijumpai di rumah aceh 1) Rinyeuen (tangga) Biasanya terdapat dari bagian bawah tangga sampai di bagian atas tangga. Biasanya memanjang seperti ukiran busur panah, tali, rantai dan sebagainya.
76
Gambar 2. Ukiran pada rinyeun (tangga) rumah aceh (Sumber : http://ulya877.blogspot.com/) Diunduh : 9 September 2013, jam 15.38 WIB 2) Kindang (dinding paling bawah dari rumah aceh) rumah aceh ini sebagian besar dikelilingi ukiran berbentuk flora dan fauna disepanjang dinding bawahnya.
Papen larek Puta Taloe
Putik (jantung)
Gambar 3. Ukiran pada kindang rumah aceh (Sumber : http://dimasseptiyanto.wordpress.com/2011/02/23/aceh/) Diunduh : 9 September 2013, jam 15.40 WIB
77
3) Binteih (dinding) Dibuat ukiran dengan serat kayu sebagai motif dasarnya. Namun disela-selanya juga terdapat seperti ventilasi udara agar pertukaran udara di rumah dapat berjalan dengan baik secara alami.
Gambar 4. Dinding rumah aceh (Sumber : http://amrullahjazzloow.blogspot.com/2013/03/rumah-aceh.html) Diunduh : 9 September 2013, jam 15.43 WIB 4) Peulangan Terletak di dinding dalam dibagian bawah antara elevasi serambi dengan kamar tidur. Ukiran pada dinding dalam ini didominasi dari flora dan unsur alam.
Gambar 5. Ukiran peulangan (Sumber : http://dimasseptiyanto.wordpress.com/2011/02/23/aceh/) Diunduh : 9 September 2013, jam 15.59 WIB
78
5) Bara (lisplank atap) Ukiran pada bagian ini terdapat di bagian lisplank atap, yaitu bagian luar bangunan rumah aceh, terdapat ukiran-ukiran disepanjang rumoh aceh di bagian atasnya. Ukiran yang terdapat pada bagian bara ini biasanya ukiran bunga, bentuk alam dan lainnya.
bara
Gambar 6. Ukiran pada Bara (bagian atap luar rumah aceh) (Sumber : http://id.m.wikipedia.org/wiki/Berkas:Rumoh_Aceh.JPG) Diunduh : 9 September 2013, jam 16.18 WIB 6) Tingkap (jendela) Di bagian ini terdapat ukiran kaligrafi dan bunga, tapi pada beberapa rumoh aceh hanya terdapat kisi-kisi udara saja. Yang membuat unik adalah di bagian jendela, yang di mana ukiran dibuat lebih menonjol agar terlihat bahwa ini merupakan bagian dari jendela.
tingkap
Gambar 7. Ukiran pada Tingkap (jendela) rumah aceh (Sumber : https://www.facebook.com/Acehreconstructedandatpeace) Diunduh : 9 September 2013, jam 16.34 WIB
79
7) Pinto (pintu) Pintu aceh biasanya berdimensi lebih rendah dari ukuran normal tinggi manusia, pada bagian pintu ini terdapat ukiran yang terdiri dari bunga seulanga, mawar dan jeumpa. Di sebagian orang aceh, status sosial bisa dilihat dari bentuk dan ukiran yang ada di pintu. Sehingga dalam pembangunannya, bagian pintu harus terlihat lebih mewah daripada bagian lainnya karena ukiran pada bagian pintu agar tamu yang datang bisa melihat pintu pemiliknya, serta juga pada bagian bawah pintu adalah yang harus dihormati.
Pintu rumah aceh
Gambar 8. Pintu rumah aceh (Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/14/mengenal-lebih-dekatrumoh-aceh-363780.html) Diunduh : 9 September 2013, jam 16.57 WIB
8) Ukiran pada Tulak Angen (kisi-kisi di atap rumah) Pada bagian tulak angen, dibuat ukiran yang beragam bentuknya dan dibagian ini biasanya ukiran dilubangi sesuai bentuknya. Pada bagian ini fungsi dari ukiran ini adalah membuat lubang angin yang terdapat di kedua sisi, yaitu Timur dan Barat.
80
Gambar 9. Ukiran pada tulak angen (Sumber : https://www.facebook.com/Acehreconstructedandatpeace) Diunduh : 9 September 2013, jam 16.59 WIB 7. Rumah Aceh di tengah Peradaban Zaman Modern Kita semua tahu bahwa Aceh di tahun 2004 yang lalu terkena musibah tsunami dahsyat. Namun rumah tradisional Aceh ini adalah salah satu bangunan yang tahan dan tidak rubuh pada saat tsunami menerjang sebagian besar Aceh saat tahun 2004 lalu. Bandingkan dengan rumah-rumah modern yang hancur, karena menitikberatkan bahan bangunannya pada bata dan beton. Padahal struktur rumah Aceh adalah yang paling sesuai dengan kondisi geografis Aceh yang berada di daerah pesisir pantai dan ada di daerah rawan gempa dan tsunami. Bahkan ada ujicoba yang dilakukan suatu lembaga penelitian, disitu dikatakan bahwa struktur rumah aceh sangat kokoh dan elastis disaat menghadapi gempa. Dan ternyata kunci dari kekuatan rumah aceh ini terletak pada struktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak tanpa paku, serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid) massive. Namun kini dengan seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien serta makin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh aceh, makin lama jumlah rumah aceh makin sedikit. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka, masih mempertahankan ciri khas rumoh aceh seperti ornamen atau ukiran pada sisi rumah modernnya. Faktor lainnya adalah semakin langkanya kayu yang digunakan untuk membangun rumah aceh dan karena kita sendiri yang tidak peduli akan kelestarian hutan kayu Indonesia. Sedangkan untuk melestarikan bentukan rumoh aceh yang dirubah wujudnya ke dalam bahan baku lain selain bahan kayupun masih sangat minim, sehingga untuk mempertahankan sangat sulit. Hal ini bisa dilihat pada bentukan bangunan gedung pemerintahan yang sudah meninggalkan ciri khas rumah aceh.
81
8. Kesimpulan Terbukti bahwa sisi kearifan lokal rumah aceh sesuai dengan kondisi geografis wilayah Aceh yang berada di pesisir dan dekat dengan pantai. Dari segi struktural rumoh aceh terbukti masih fleksibel, kokoh dan aman terhadap gempa serta banjir. Demikian pula dari sisi sistem strukturnya yang tidak meninggalkan nilai yang terkandung pada rumah aceh, sebagai khasanah budaya peninggalan leluhur sebagai sebuah kearifan lokal secara turun temurun dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Kekurangan yang ada baik dari sisi struktur dan era, seharusnya tidak menjadikan masyarakat Aceh sendiri untuk meninggalkan warisan budaya leluhur mereka karena banyak cara untuk menyesuaikan kehidupan sosial dan budaya penghuni. Namun kearifan lokal rumoh aceh di daerah rawan bencana masih dapat dimanfaatkan sistem strukturnya sebagai patokan dalam membangun rumah modern, sehingga masyarakat bisa diajak ikut berperan aktif dalam melestarikan nilai-nilai budaya yang melekat pada rumoh aceh. Adat Aceh memang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Aceh, hal itu dibuktikan dengan aturan dan tata tertib yang telah disepakati secara bersama dengan berpedoman kepada agama Islam. Adapun beberapa adat yang masih dijalankan hingga saat ini dan digunakannya perangkat adat yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya adat istiadat ini diharapkan tercipta keselarasan dalam bumi ini, dalam proses pembuatan rumoh aceh dapat dilihat bagaimana adat sangat menghargai alam dan dengan melestarikan rumah aceh ini diharapkan menjadi salah satu faktor yang mendekatkan manusia dengan alam. 9. Daftar Pustaka Ahmad, Zakaria; Sufi, Rusdi; Muhammad dan Said. 1985. Isi dan Kelengkapan Rumah Tangga Tradisional Menurut Fungsi Tujuan dan Kegunaannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh (Indonesia). 1998. Kota Banda Aceh hampir 1000 tahun. Pemerintah Kotamadya Daerah tingkat II Banda Aceh. Hajad, Abdul; Ali, Zaini; Ardy, Mursalam; Kasim, M. Saleh dan Umar, Razali. 1984. Arsitektur Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
82
Mirsa, Rinaldi. 2013. Rumoh Aceh. Yogyakarta : Graha Ilmu. Sekilas mengenai Rumoh Aceh, 2006. Dinas Perkotaan dan Pemukiman Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Zainuddin, H.M, 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan : Pustaka Iskandar Muda. Narasumber H. Teuku Abdullah, seorang tokoh Tengku Imam di Aceh Besar H. Fajar Iskandar, tokoh keuchik (kepala desa) di Aceh Besar Alamsyah, seorang utoh (tukang bangunan) di Aceh Besar
Website http: //www.atjechcyber.net/aceh http://amrullahjazzloow.blogspot.com/2013/03/rumah-aceh.html http://dimasseptiyanto.wordpress.com/2011/02/23/aceh/ http://id.wikipedia.org/wiki/Rumoh_Aceh http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/14/mengenal-lebih-dekat-rumohaceh-363780.html
83