JMS Vol. 6 No. 1, hal. 21 – 32 April 2001
Pengaruh Anhidridasetat Terhadap Struktur Molekuler Kayu dalam Stabilisasi Dimensi Kayu Pinus merkusii Et. De Vr.*) Sanjaya FKIP Universitas Sriwijaya Diterima tanggal 27 Mei 2000, disetujui untuk dipublikasikan 8 Januari 2001
Abstrak Kayu merupakan satu dari beberapa material yang sangat dimanfaatkan manusia, sehingga mengakibatkan kayu berkualitas kurang baikpun cenderung meningkat penggunaannya. Anhidridasetat telah digunakan untuk meningkatkan kualitas kayu melalui peningkatan stabilitas dimensi kayu. Penelitian ini mempelajari pengaruh anhidridasetat terhadap struktur molekuler kayu dengan mempelajari perubahan kenampakan kayu, perubahan gugus fungsi dengan metode FTIR, kemampuan kayu mengikat air dengan metode DSC, stabilitas dimensi dengan penentuan nilai ASE, dan derajat kristalinitas dengan metode XRD, pada kondisi reaksi 110 oC, 15%, selama 24 jam untuk kayu Pinus merkusii. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa peningkatan stabilitas dimensi melalui asetilasi pada kayu Pinus merkusii yang ditandai dengan bergantinya gugus –OH komponen kayu dengan gugus asetil yang lebih besar, menyebabkan daerah amorf bertambah. Bertambahnya daerah amorf memungkinkan pengembangan volume kayu. Adanya substitusi gugus –OH oleh gugus asetil yang lebih besar menimbulkan halangan sterik yang mengurangi kemudahan gerak molekul komponen kayu. Dengan demikian, kembang susutnya volume dinding sel kayu menjadi lebih sukar, sehingga pengembangan volume kayu Pinus merkusii lebih kecil atau stabilitas dimensi kayu Pinus merkusii meningkat. Kata kunci : Anhidridaasetat, kayu, stabilisasi, Pinus merkusii et. De Vr. Abstract Wood is one of several materials that is very useful for man, even wood with less quality tends to be used more. Anthydride-acetic has been used to improve the wood quality by improving the stability of wood dimension. This research studied about the influence of anhydride-acetic on wood molecular structure by studying the change of wood performance, functional group with FTIR method, bound water with DSC method, dimensional stability by determining ASE, and degree of crystallinity with XRD method, on the condition of 110 oC, 15% as long as 24 hours for Pinus merkusii. It is concluded that dimensional stability increase of Pinus merkusii through acetylation, is indicated by the changing of – OH group of wood components with the bigger acetyl group causing amorf region increase. This condition enabled the swelling of wood volume. The substitution of –OH group to a bigger acetyl group caused the steric hindrance which decrease the molecular move of wood component. Therefore, both the swell and the shrink of wood cell walls volume became more difficult, that the swelling of Pinus merkusii volume was smaller or dimensional stability of Pinus merkusii increased. Keywords : Anhydride-acetic, wood, stability, Pinus merkusii et. De Vr. *)
Disarikan dari sebagian hasil penelitian S 3 Kimia ITB 21
22
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
1. Pendahuluan Kayu merupakan salah satu material yang sangat banyak dibutuhkan/ dipergunakan dalam kehidupan manusia. Penggunaan yang sangat banyak menyebabkan kayu berkualitas tinggi menjadi makin sulit didapatkan. Ditambah lagi dengan adanya perusahaan pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang menghabisi kayu/ pohon di dalam atau di luar areal HPHnya; dan terjadinya pengubahan fungsi hutan, baik untuk HTI (Hutan Tanaman Industri), kelapa sawit, karet, maupun oleh kebakaran hutan; mengakibatkan kayu berkualitas tinggi semakin langka. Keadaan ini cenderung mengakibatkan penggunaan kayu berkualitas rendah/kurang baik meningkat. Sayangnya kayu berkualitas rendah ini tidak stabil dimensinya, dan mudah terdegradasi oleh pengaruh kadar air, mikroba, dan sinar UV (ultaraviolet)1). Untuk mengatasi kekurangan kayu berkualitas rendah tersebut telah dilakukan upaya agar kayu menjadi stabil dimensinya dan tahan terhadap pengaruh air, mikroba dan sinar UV. Salah satu upaya tersebut adalah melakukan asetilasi terhadap kayu2). Asetilasi terbukti telah mampu meningkatkan stabilitas dimensi kayu. Namun faktor penyebab kemampuan meningkatkan stabilitas dimensi kayu oleh anhidridasetat, belum banyak diteliti. Hal ini penting untuk diketahui guna menambah pemahaman di bidang peningkatan kualitas kayu. Hal inilah yang telah memotivasi dilakukan penelitian tentang pengaruh anhidridasetat dalam meningkatkan stabilitas dimensi kayu yang sebagian hasilnya ditulis menjadi artikel ini. 2. Tinjauan Pustaka Kayu berdasarkan struktur kimia tersusun atas selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik, dan lignin sebagai bahan pengikat sel-sel dan memberikan kekakuan kepada dinding sel. Selulosa adalah komponen utama dinding sel. Molekul selulosa dibentuk oleh ± 10.000 monomer glukosa yang diikat dengan ikatan 1,4-β-glukosida. Setiap monomer glukosa memiliki tiga gugus hidroksil (–OH). Sebanyak 36 molekul selulosa terikat bersama-sama oleh ikatan hidrogen membentuk seberkas fibril elementer. Fibril elementer bergabung membentuk mikrofibril, kemudian mikrofibril bergabung membentuk fibril dan akhirnya membentuk serat-serat selulosa. Penyusunan serat-serat selulosa menghasilkan daerah kristalin (bila molekul
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
23
selulosa tersusun teratur) dan amorf (bila tidak teratur). Perbandingan daerah kristalin dengan daerah amorf dari selulosa sangat bervariasi. Daerah kristalin dalam selulosa berkisar antara 50 – 70 %3). Aditif berantaraksi dengan selulosa pada daerah amorf. Hemiselulosa adalah heteropolimer dengan berbagai monomer gula, dan rantai molekul yang lebih pendek dari selulosa. Hemiselulosa merupakan senyawa amorf, karena banyak percabangan pada rantai molekulnya. Selain ketiga komponen tersebut terdapat zat-zat dalam kayu yang bukan penyusun struktur kayu yang dikelompokkan sebagai zat ekstraktif4). Lignin adalah suatu polimer senyawa aromatik yang sebagian besar tidak larut dalam kebanyakan pelarut organik. Lignin tidak dapat diuraikan menjadi satuan monomer, karena bila dihidrolisis, monomer sangat cepat teroksidasi dan segera terjadi reaksi kondensasi. Lignin adalah senyawa tiga dimensi yang disusun dari monomer metoksifenil propana. Pada kayu, lignin umumnya terdapat di daerah lamela tengah dan berfungsi pengikat antar sel serta menguatkan dinding sel kayu. Lignin adalah senyawa amorf total (non kristalin). Lignin hanya dapat dijelaskan dalam bentuk model, misalnya model struktur lignin yang diusulkan oleh Adler (1977) tersusun atas 16 monomer dan yang diusulkan oleh Glasser (1981) tersusun atas 94 monomer5). Kayu merupakan material yang dimensinya tidak stabil, karena volume kayu dipengaruhi oleh kadar air kayu. Kayu akan menyusut bila air, H2O, terdesorpsi dari dinding sel dan mengembang lagi bila H2O teradsorpsi ke dalam dinding sel kayu. Hal ini disebabkan karena dalam dinding sel terdapat selulosa amorf, hemiselulosa dan lignin, yang dapat mengikat H2O, sehingga mempengaruhi dimensi kayu4). Adsorpsi H2O oleh selulosa bergantung pada jumlah gugus -OH bebas atau gugus –OH di daerah amorf. Semakin banyak gugus –OH di daerah amorf, maka akan semakin banyak H2O teradsorpsi. Adsorpsi H2O oleh dinding sel kayu mula-mula membentuk lapisan molekul tunggal. Pembentukan lapisan ini berlangsung sampai kelembaban kayu 5%. Adsorpsi selanjutnya membentuk lapisan ganda dan menyebabkan dinding sel mengembang. Banyaknya H2O yang diadsorpsi sehingga memberikan pengembangan maksimum, dan keadaan ini disebut Titik Jenuh Serat (TJS). H2O setelahnya disebut H2O bebas, menempati pori atau rongga sel kayu, tidak berikatan dengan selulosa serta tidak mengembangkan kayu5).
24
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
Metode asetilasi kayu adalah metode stabilisasi dimensi kayu secara kimiawi, yang bertujuan mengubah gugus –OH bebas atau –OH pada daerah amorf pada struktur komponen kayu dengan gugus asetil dari senyawa yang mengandung gugus asetil, misalnya (CH3CO)2O, anhidridasetat1). Zat aditif masuk ke dalam struktur kayu, sehingga struktur kayu menjadi stabil dimensinya. Secara umum reaksi asetilasi kayu dengan menggunakan anhidridasetat, adalah sebagai berikut : Kayu +
anhidridasetat
kayu tersubstitusi
(1)
Penelitian ini mencoba mengungkapkan bagaimana antaraksi anhidridasetat terhadap struktur kayu dengan mempelajari perubahan volume, kenampakan, dan perubahan kemampuan kayu dalam menyerap dan mengikat air. 3. Metode Penelitian Anhidridasetat digunakan sebagai pereaksi dalam reaksi asetilasi. Gugus asetil yang berasal dari anhidridasetat digunakan untuk mengganti gugus –OH bebas yang ada dalam senyawaan penyusun dinding sel kayu Pinus merkusii. Untuk mendapatkan kondisi reaksi yang memberikan hasil reaksi penggantian gugus paling banyak, maka dilakukan variasi kondisi reaksi, meliputi variasi suhu (T) : 100, 110, 120, 130 dan 140 oC, konsentrasi (C ) 5, 10, 15, 20 dan 25%, dan lama reaksi (t): 6, 12, 18, 24, dan 30 jam. Kayu Pinus merkusii yang telah diasetilasi (perlakuan) pada kondisi optimum, kemudian dikarakterisasi dengan beberapa metoda analisis. Dengan FTIR (Fourier transform-infrared) untuk mempelajari perubahan gugus fungsi komponen kayu6), XRD mempelajari perubahan kristalinitas7), DSC untuk mempelajari perubahan kadar air terikat pada kayu7), dan pemotretan dengan mikroskop berkamera untuk mengamati perubahan kenampakan kayu, dan penentuan nilai ASE kayu terasetilasi8). Metode FTIR memberikan data mengenai tinggi puncak serapan gugus –OH dan gugus asetil. Semakin banyak gugus –OH dapat digantikan oleh gugus asetil, semakin kecil puncak serapan IR (infrared) pada daerah serapan –OH (3000 cm-1) dan semakin besar pula puncak serapan IR pada daerah asetil (1700 cm-1). Derajat kristalinitas dan indeks kristalinitas kayu, sebagai ukuran kristalinitas, ditentukan dengan menganalisa diagram XRD. Diagram XRD didapat dengan menggunakan difraktometer sinar –X. Sejumlah berat serbuk kayu dimasukkan ke dalam
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
25
difraktograf. Difraktograf sinar-X merekam luas daerah kristalin dan amorf dalam bentuk diagram. Sudut 2θ dari diagram yang dibuat adalah 6 sampai 40 derajat, pada suhu 29oC, scan 16 kali. DSC (Differential Scanning Calorimetry) untuk mempelajari perubahan kadar air terikat pada kayu. Air di dalam kayu terdapat sebagai air terikat dan air bebas. Air terikat merupakan air yang terikat dengan ikatan hidrogen dengan kayu. Air ini menyebabkan kayu mengembang. Air bebas adalah air yang mengisi rongga-rongga sel atau pori-pori kayu. Air bebas ini tidak menyebabkan pengembangan kayu. Pada pendinginan sampai – 80oC air bebas membeku, sedangkan air terikat tidak membeku. Dengan menggunakan DSC diukur besarnya kalor yang dibutuhkan untuk mencairkan air bebas. Setelah diketahui banyak air bebas di dalam kayu, banyak air terikat di dalam kayu ditentukan dengan membandingkan banyaknya air yang ditambahkan ke dalam kayu kering oven dengan banyak air bebas. Perubahan air terikat pada kayu diketahui dengan membandingkan banyak air terikat pada kayu kontrol dengan banyak air terikat pada kayu perlakuan. Metode mikroskopi adalah metode yang digunakan untuk mengamati perubahan kenampakan kayu. Dengan menggunakan mikroskop berkamera dilakukan pemotretan terhadap sayatan tipis kayu kontrol dan kayu perlakuan. Hasil pemotretan tersebut dapat menunjukkan perubahan kenampakan kayu. Ukuran untuk stabilitas dimensi kayu digunakan nilai ASE (Anti Swelling Efficiency). Nilai ASE ditentukan dengan membandingkan perbedaan dengan persen pengembangan kayu kontrol. Semakin besar nilai ASE berarti semakin sedikit pengembangan yang terjadi pada kayu perlakuan. Hal ini menunjukkan semakin baik metode asetilasi. 4. Hasil dan Pembahasan Kondisi optimum untuk asetilasi Pinus merkusii adalah 110oC, 15% dan selam 24 jam. Pada kondisi ini kayu Pinus merkusii hasil asetilasi tidak mengalami perubahan volume bila berada dalam air, tidak menyerap air, tidak berubah kenampakan dan tidak retak.
26
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
Asetilasi menyebabkan warna kayu Pinus merkusii menjadi lebih cerah. Dengan FTIR diketahui bergantinya gugus –OH oleh gugus asetil (-OCOCH3) pada struktur molekul komponen kimia penyusun kayu. DSC membuktikan asetilasi menyebabkan daya ikat kayu Pinus merkusii terhadap air sedikit bertambah (5 %), tetapi daya ikat komponen kayu, yaitu selulosa dan lignin berkurang, masing-masing berkurang 19 dan 78 %. XRD menunjukkan struktur tidak teratur (amorf) dalam komponen kayu Pinus merkusii bertambah9), dan penentuan nilai ASE diketahui stabilitas dimensi kayu Pinus merkusii bertambah. Rangkuman data FTIR, DSC, XRD dan nilai ASE ditunjukkan dalam Tabel 1 berikut, sedangkan foto hasil pemotretan dengn mikroskop berkamera, diagram FTIR, diagram XRD dan diagram DSC sebelum dan setelah asetilasi dapat dilihat pada lampiran. Tabel 1. Penentuan tinggi puncak (t) serapan IR, air terikat (a), derajat kristalinitas (X) dan ASE pada kayu Pinus merkusii, selulosa, dan lignin Pinus merkusii. Karakterisasi t (mm) a (mm) X (%cm2/ cm2) ASE (%cm3/ cm3)
0 2,1 0,42 43 11,5
Kayu 1 1,2 0,44 35 4,3
% - 42 5 - 19 63
0 3,2 0,70 38
Selulosa 1 % 2,3 - 28 0,57 - 19 37 -3
0 2,2 0,23
Lignin 1 0,5 0,05
% - 76 - 78
Keterangan : 0 = sebelum perlakuan, 1 = setelah perlakuan, % = persen perubahan Antaraksi anhidridasetat terhadap Pinus merkusii, disamping mengubah struktur fisik juga mengubah struktur molekul komponen kimia kayu. Asetilasi menyebabkan warna kayu Pinus merkusii menjadi lebih muda, karena pada proses tersebut sebagian zat ekstraktif keluar dari kayu dan terlarut dalam larutan. Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi penggantian gugus –OH pada struktur molekul komponen kimia kayu oleh gugus -OCOCH3 yang berasal dari anhidridasetat. Persen pengurangan gugus –OH pada selulosa 28 % lebih kecil dari persen pengurangan gugus –OH pada lignin, 76 %. Perbedaan ini disebabkan perbedaan struktur ruang dari selulosa dan lignin. Lignin merupakan senyawa amorf total, sedangkan selulosa merupakan senyawa semikristalin, sehingga persen gugus –OH dalam selulosa yang dapat bereaksi dengan anhidridasetat lebih kecil dari gugus –OH dari lignin. Artinya pengurangan gugus –OH terjadi lebih baik dalam lignin.
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
27
Air yang masuk ke dalam kayu Pinus merkusii sebagian terikat secara ikatan hidrogen dan sebagian mengisi rongga-rongga sel kayu. Air terikat dalam kayu setelah diasetilasi tidak berbeda nyata dengan air terikat dalam kayu yang tidak diasetilasi, yaitu sebelum diasetilasi sebesar 0,42 mg air/mg serbuk kayu, dan setelah diasetilasi sebesar 0,44 mg air/mg serbuk kayu, atau perubahan banyak air terikat sebesar 5 %. Perubahan ini mungkin disebabkan gugus asetil yang besar menjadikan makin tidak teraturnya susunan komponen kimia penyusun kayu sehingga menimbulkan ruang baru bagi terbentuknya ikatan kimia/ hidrogen dengan air. Air terikat dalam selulosa makin sedikit setelah diasetilasi, yaitu 0,70 mg air/mg dan 0,57 mg air/mg masing-masing sebelum diasetilasi atau perubahannya sebesar –19%. Begitu juga dalam lignin, yaitu sebesar 0,23 mg air/mg dan 0,05 mg air/mg masingmasing sebelum dan setelah asetilasi, atau perubahan sebesar – 78 %. Perubahan ini karena makin sedikitnya gugus –OH dalam molekul polimer selulosa dan lignin setelah asetilasi, sehingga mengakibatkan banyaknya air yang terikat makin sedikit. Masuknya gugus asetil yang lebih besar dan bersifat tidak mengikat air tersebut menyebabkan pengembangan volume kayu Pinus merkusii menjadi lebih kecil, atau dengan kata lain dimensi kayu lebih stabil terhadap pengaruh air setelah diasetilasi. Hal ini terbukti dari hasil penelitian di atas dimana nilai ASE kayu Pinus merkusii sebesar 63%. Gugus fungsi pengganti –OH yang merupakan gugus lebih meruah, menyebabkan keteraturan susunan dari komponen kimia penyusun dinding sel / serat kayu makin rendah. Di samping itu pemaksanaan penggantian gugus –OH yang sulit digantikan malahan menyebabkan bagian kristalin berubah menjadi amorf, seperti ditunjukkan oleh data XRD dimana derajat kristalinitas kayu Pinus mekusii setelah diasetilasi turun 19 % dan derajat kristalinitas selulosa turun 3 %. 5. Kesimpulan Analisis FTIR, XRD, dan DSC memberikan gambaran tentang komponen kayu yang berperan dalam peningkatan stabilitas dimensi kayu Pinus merkusii. Lignin ternyata lebih berperan dari pada selulosa dalam peningkatan stabilitas dimensi kayu Pinus merkusii dengan asetilasi. Peningkatan stabilitas dimensi melalui asetilasi pada kayu Pinus merkusii terjadi karena perubahan struktur tingkat molekul, yang ditandai dengan bergantinya gugus –OH komponen kayu dengan gugus asetil yang lebih besar, yang
28
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
menyebabkan daerah amorf bertambah. Bertambahnya daerah amorf memungkinkan terjadinya pengembangan volume kayu. Namun adanya substitusi gugus –OH oleh gugus yang lebih besar menimbulkan halangan sterik yang mengurangi kemudahan gerak molekul komponen kayu. Dengan demikian, kembang susutnya volume dinding sel kayu menjadi lebih sukar, sehingga pengembangan volume kayu Pinus merkusii lebih kecil atau stabilitas dimensi kayu Pinus merkusii meningkat. 6. Saran Untuk mendapatkan teori yang lebih sempurna tentang peningkatan stabilitas dimensi kayu, disarankan penambahan metode karakterisasi seperti menggunakan NMR dan radioisotop, disamping peningkatan jumlah data. Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada Prof. Dr. N.M. Surdia, Prof. Susanto Imam Rahayu, Ph. D., dan Dra. Enny Ratnaningsih, Ph.D. yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penyelesaian pendidikan di S 3 ITB. Demikian pula terima kasih diucapkan kepada Pimpinan dan Staf Jurusan Kimia ITB, Pimpinan dan Staf Program Pascasarjana ITB serta pihak-pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penyelesaian pendidikan S 3 di ITB. Daftar Pustaka 1. Walker J.C.F., “Dimensional Instability of Timbers”, dalam Primary Wood Processing, Principles and Practice, Bab 4, Walker, J.C.F, editor, Chapmann & Hall, London, hal 114, 1993. 2. Ramsden M.J., Blake, F.S.R.A., “Kinetic Study of the Acetylation of
cellulose,
hemicellulose and lignin components in Wood”, Wood. Sci. Technol., 31(1), 45 – 50, (1997). 3. Sjostroom E., “Wood Chemistry, Fundamentals and Applications”, 2nd, Academic Press Inc., Orlando, USA, 15 – 26, (1993). 4. Walker J.C.F., “Basic wood Chemistry and Cell Wall Ultrastructure”, dalam Primary Wood Processing, Principles and Practice, Bab 2, Walker, J.C.F, editor, Chapmann & Hall, London, 23 - 67, (1993).
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
29
5. Fengel D.,G. Wegener, H. Sostrohamidjojo, “Kayu, Kimia, Ultrastruktur, reaksireaksi”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 7 –26, (1993). 6. Morrison I.M., Stewart D., “Spectroscopic Evaluation of Plant Fibre Products”, dalam Cellulosics: Pulp, Fibre and Environmental Aspects, Kennedy, J.F., G.O. Phillips, P.A. Williams, Editors, Ellis Horwood, Wales, 141 – 146, (1993). 7. Rabek J.F, “Experimental Methods in Polymer Chemistry Physical Principles and Applications”, John Wiley & Sons, Toronto, 221 – 581, (1980). 8. Rowell R.M., “Penetration and Reactivity of Cell Wall Components”, dalam The Chemistry of Wood, Bab 4, Rowel R.M., Editor, American Chemical Society, Washington D.C., 175 – 210, (1984). 9. Sanjaya, “Pengaruh Zat Aditif Terhadap Struktur Kayu Pinus merkusii et de Vr. Dan Shorea leprosula Miq. Dalam Proses Peningkatan Stabilitas Dimensi”, Disertasi ITB, Bandung, 41 – 79, (1999).
30
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
Spektrum IR serbuk P. merkusii (A) kontrol, (B) asetilasi
Spektrum IR selulosa P. merkusii : (A) kontrol, (B) asetilasi
Spektrum IR Lignin P. merkusii (A) kontrol, (B) asetilasi
Spektrum XRD Serbuk P. merkusii (A) kontrol, (B) asetilasi
Spektrum XRD Selulosa P. merkusii (A) kontrol, (B) asetilasi
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
1. 2. 4. 5.
31
Penampang lintang P. merkusii kontrol Penampang lintang P. merkusii asetilasi Penampang tangensial P. merkusii kontrol Penampang tangensial P. merkusii asetilasi
32
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
Gambar balok kayu setelah diadisi pada berbagai kondisi
Keterangan : A = penampang radial S. leprosula C = penampang lintang P. merkusii
B = penampang lintang S. leprosula D = penampang tangensial P. merkusii