PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT MORAL DAN FILSAFAT PENDIDIKAN Winarno Narmoatmojo, SPd, MSi
A. Pendahuluan Wacana akademik mengenai pendidikan karakter di Indonesia semakin ramai dibahas sejak dicanangkannya gerakan pendidikan karakter tanggal 2 Mei 2010.
Jika kita menuliskan kata “pendidikan karakter” pada
mesin pencari di internet misalnya, maka bisa muncul puluhan tulisan dan tanggapan terhadap tema ini. Kebanyakan tulisan menaruh harapan besar akan arti pentingnya pendidikan karakter. Di sisi lain juga muncul tawaran praktis bagaimana menerapkan pendidikan karakter baik di lingkungan sekolah, keluarga atau di masyarakat. Kaya dan ragamnya gagasan pendidikan karakter di Indonesia tersebut patut diapresiasi sebagai wujud kepedulian masyarakat terhadap urgensi pendidikan karakter dewasa ini. Namun demikian, masih perlu dipertanyakan lebih jauh, apa sesungguhnya isi dan proses yang hendak dijalankan oleh pendidikan karakter kita. Bagaimana karakter sebagai sebuah kebajikan (virtue) dipahami, mengapa karakter harus bersumber dari budaya bangsa, mengapa dalam pendidikan karakter yang hakekatnya berupa penanaman nilai tetapi indoktrinasi perlu dihindari, mengapa karakter baik butuh keteladanan dan pembiasaan, mengapa anak harus aktif dalam proses berkarakter, dan lainlain merupakan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang membutuhkan pilihan jawaban yang memadai. Sosok pendidikan karakter di Indonesia khususnya di lingkungan pendidikan dewasa ini setidaknya dapat kita ketahui dengan telah terbitnya buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan
1
Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa terbitan Pusat Kurikulum, Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010. Dalam buku tersebut dikemukakan bahwa panduan ini merupakan pikiran yang bersifat praktis dan dapat dilaksanakan dalam suasana pendidikan yang ada di sekolah. Buku tersebut menjadi pedoman untuk pelaksanaan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Untuk menjadi pedoman praktis, ia juga berisikan sejumlah indikator sekolah dan indikator kelas yang dianggap kondusif dalam penerapan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Para pelaku pendidikan karakter dapat menggunakan indikator tersebut sebagai pedoman dalam mengembangkan dan menilai budaya sekolah yang kondusif untuk Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. (Kemdiknas, 2010: 2-3). Dari sekian banyak wacana pendidikan karakter, menurut hemat penulis, konsep pendidikan karakter sekarang belum sepenuhnya mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Boleh jadi, bagi para pelaku atau praktisi pendidikan karakter, permasalahan demikian dianggap tidak penting untuk dicari jawabnya karena tidak memberi solusi praktis terhadap problem pendidikan. Pertanyaan-pertanyan filosofis terhadap berbagai bidang termasuk pendidikan, mengacu pendapatnya Koento Wibisono (2010: 21) tetap menarik untuk disimak, oleh karena meskipun ia bersifat klasik, tetapi mendasar dan tetap aktual. Klasik oleh karena sudut pandang filosofis terhadap suatu hal sejak dulu telah ada dan selalu mengawali pembahasan setiap obyek kajian. Mendasar, oleh karena pertanyaan filosofis selalu ingin mengetahui hakekat terdalam dari sebuah obyek pembicaraan yakni mengenai hakekat keberadaan (ontologi), proses mendapatkan pengetahuan
2
(epistemologi) dan nilai dari obyek pembahasan (axiologi). Aktual, oleh karena pembahasan filosofis tetap dapat dilakukan mampu kontekstual dengan perkembangan keilmuan. Dengan demikian jawaban yang diberikan diharapkan mampu memetakan sekaligus menunjukkan hakekat dari pendidikan karakter Indonesia. Istilah pendidikan karakter berasal dari dua kata “pendidikan” dan “karakter”. Dari sudut pandang filsafat, pendidikan akan terkait dengan filsafat pendidikan, sedangkan karakter menjadi bagian dari filsafat moral atau etika. Oleh karena itu konsep pendidikan karakter dapat ditinjau dari filsafat pendidikan dan filsafat moral yang melandasinya. Tulisan berikut ini mencoba memberikan pilihan jawaban atas permasalahan filosofis pendidikan karakter di Indonesia. Permasalahan pertama berkisar pada masalah apakah pilihan karakter bangsa kita dipandang sebagai moralitas yang absolut ataukah relatif. Kedua apakah makna karakter yang baik yang dituntut oleh pendidikan karakter. Ketiga apa filsafat pendidikan yang melandasai konsep pendidikan karakter. Yang menjadi obyek analisis adalah konsep pendidikan karakter yang tercermin dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa terbitan Pusat Kurikulum, Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010.
B. Kebenaran Moral : Antara Relativism Moral dan Absolute Moral Dalam pendidikan karakter, hal penting untuk dipertanyakan adalah nilai-nilai moral manakah yang ingin diajarkan. Pertanyaan demikian membawa perdebatan pada wilayah etika normatif yakni prinsip dan norma moral manakah yang sehat yang dapat dijadikan acuan dan dasar
3
pertangungjawaban rasional bagi penilaian dan putusan moral (Sudarminta, 1997: 46). Namun sebelum masuk pada wilayah etika normatif, pertanyaan tersebut berkaitan pula dengan perdebatan mengenai apakah kebenaran moral itu absolut ataukah relatif. Terhadap masalah ini ada dua kelompok pendapat yang berbeda. Satu kubu berpendapat bahwa kebenaran moral itu relatif (moral relativism), oleh karena itu moral baik dan buruk adalah bergantung pada bagaimana individu mendefinisikan. Berdasar teori ini, prinsip moral baik yang berasal dari agama, budaya dan gagasan sosial politik adalah bukan sesuatu yang innate,
alami
atau
mengandung
keabadian
tetapi
sesuatu
yang
dikonstruksikan oleh lingkungan sosial. Berhubung manusia beragam latar belakang sosialnya maka nilai-nilai yang dianut juga beragam sehingga tidak ada kebebaran nilai yang danggap absolut. Nilai dianggap benar tergantung dari siapa yang mendefinisikan. Sehingga timbullah pertanyaan sinis terhadap pendidikan karakter dari kelompok ini “whose is values?” (moral menurut siapa) (Ratna Megawangi, 2004: 98) Kubu lain percaya mengenai keberadaan moral absolut yang semakin berperan dalam pendidikan karakter. Kubu ini disebut sebagai kelompok konservatif yang percaya bahwa ada standar moral yang berlaku umum yakni standar yang berlaku absolut, universal, dimana agama dan budaya pasti mengakuinya. Misalnya kasih sayang, tolong-menolong, berlaku jujur, tanggung jawab adalah nilai moral universal yang absolut kebenarannya. Kubu ini juga menganggap moral universal juga bersumber dari agamaagama yang ada yaitu prinsip yang disebut golden rule. (Ratna Megawangi, 2004: 99) Dalam sejarah pendidikan karakter di Amerika Serikat, ditengarai bahwa gagasan moral relativism ini amat mempengaruhi proses pendidikan
4
di era 1960-1970-an berkat keberhasilan advokasi kelompok kiri liberal. Mereka mendasarkan pada pandangan logical positivism bahwa "There is no moral truth, no objective right and wrong") and moral relativism ("All values are relative"). Dengan pandangan dasar tersebut, proses pendidikan karakter lebih banyak menggunakan pendekatan value clarification, dimana anak diberi
kebebasan
memilih
moral
asalkan
mampu
memberi
dasar
pembenarannya. Pengaruh kuat moral relativism dan model pendekatan value clarification ini oleh William Kilpatrick (Ratna Megawangi, 2004: 98) dianggap telah menjadi penyebab utama terjadinya dekadensi moral pada remaja Amerika di era tahun 1980 dan 1990-an. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya perilaku seks bebas, pergaulan alkohol, obat terlarang dan pelecehan agama. Standar moral warga muda Amerika menjadi luntur dikarenakan anak tidak mengetahui mana moral yang baik dan moral yang buruk. Kegagalan pendidikan moral pada masa itu disebut oleh Thomas Lickona dalam Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (1991) sebagai “The declined of character education”. Mengapa itu bisa terjadi? Menurutnya, hal ini disebabkan oleh munculnya pandangan – pandangan filosofis sebagai berikut ; 1. Darwinisme yang menyatakan bahwa evolusi terjadi pada semua hal termasuk nilai. Nilai dianggapnya sebagai benda (thing). Nilai tidaklah tetap, selalu berkembang dan fluktuatif 2. Logika positivisme yang membedakan tegas antara fakta sebagai hal yang obyektif , universal dan terbukti, dengan nilai sebagai sesuatu yang relatif, privat dan perasaan semata. Tidak ada kebenaran abadi dari
5
nilai, tidak ada benar dan salah, moral itu relatif. Dalilnya adalah “morality was relativized and privatized” 3. Personalisme yang menyatakan setiap orang seharusnya bebas untuk memilih nilai-nilai . Tidak berhak orang lain menentukan apa yang menjadi nilai bagi seseorang. 4. Pluralisme yang berpandangan bahwa nilai-nilai itu beragam sesuai dengan keragaman kelompok-kelompok di masyarakat. Sehingga muncul pertanyaan sinis mengenai pendidikan karakter yakni nilai-nilai siapakah yang seharusnya diajarkan ("Whose values should we teach?") 5. Paham sekularisme yang memisahkan antara urusan agama dan publik. Pendidikan karakter dicurigai bahkan ditakutkan akan mengajarkan moralitas agama kedalam ranah publik (sekolah).
Mulai disadari bahwa gagasan moral relativism dan value clarification justru menjadikan generasi muda dan masyarakat Amerika semakin bertambah buruk. Tidak hanya pendekatan value clarification tetapi juga pendekatan perkembangan moral kognitif dari Lawrence Kohlberg di tahun 1970-an sangat mendominasi proses pendidikan karakter di Amerika Serikat. Jika value clarification mengatakan jangan mendiktekan nilai tetapi bantulah anak memilih nilai secara bebas, Kolberg mengatakan kembangkan kekuatan penalaran moral siswa sehingga mereka dapat mempertimbangkan mana nilai-nilai yang lebih baik dari yang lain. Menurut Thomas Lickcona (1993), kedua pendekatan ini memang memberi kontribusi tetapi keduanya mengandung problematik. Value clarification meskipun kaya di metodologi, tetapi gagal membedakan mana yang merupakan nilai-nilai yang hanya menjadi preferensi individu dan mana yang memang menjadi nilai moral yang seharusnya. Sementara
6
Kolberg menekankan penalaran moral sebagai hal yang penting tetapi itu tidak cukup untuk membentuk karakter baik dan meremehkan peran sekolah sebagai wahana sosialisasi nilai. William Kilpatrick (Ratna Megawangi, 2004: 99) juga menyatakan cara value clarification tidak tepat diberikan kepada anak-anak karena mereka belum tahu mana yang baik dan benar. Mengantisipasi akan gejala ini maka mulai tahun 1990-an, gerakan pendidikan karakter mulai dikembangkan kembali namun dalam gagasan yang baru. Thomas Lickona menyatakan sebagai “The Return of Character Education” dalam Jurnal Educational Leadership, Vol 51 N 3 Page 6-11, Nov 1993. Dewasa ini masyarakat dan orang dewasa mengakui bahwa anak muda membutuhkan pengarahan moral, bukan lagi diberi kebebasan memilih moral. Orang tua dan guru memiliki tanggung jawab untuk menentukan nilai-nilai kebaikan (good values) dan membantu membentuk karakter mereka berlandaskan nilai-nilai kebaikan tersebut. Pendidikan karakter dengan demikian merupakan petunjuk (directive) daripada kebebasan memilih (non directive), ia berhak menentukan nilai-nilai apa yang seharusnya. Sekolah perlu membantu anak untuk memahami, memerhatikan dan bertindak berdasar nilai-nilai itu di dalam kehidupannya. Karakter baik tidak hanya kemampuan memberi penalaran moral, mampu mengajukan pertimbangan moral serta memberi alasan pembenaran yang kesemua itu masih terbatas pada dimensi pengetahuan moral. Thomas Lickona (1993) menyebut bahwa karakter yang baik meliputi tiga bagian yakni knowing, feeling, and behavior ( Good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good). Orang tua dan guru (keluarga dan sekolah)
harus
mampu
menjadi
partner
yang
sinergis
agar
mengembangkan ketiga dimensi secara komprehensif dalam diri anak.
7
bisa
C. Filsafat Moral : Antara Etika Keutamaan dan Etika Kewajiban Filsafat moral merupakan bagian dari etika atau dapat dikatakan sebagai salah satu dari tiga pengertian mengenai etika. Menurut K Bertens (1993: 4) istilah etika mempunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan normanorma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika Jawa. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, kode etik guru. Ketiga, etika berarti ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika dalam pengertian ketiga inilah yang bisa disebut atau sama artinya dengan filsafat moral. Dalam Kamus Maya Wikipedia, dinyatakan sebagai berikut Ethics is a branch of philosophy which seeks to address questions about morality, such as what the fundamental semantic, ontological , and epistemic nature of ethics or morality is (meta-ethics), how moral values should be determined (normative ethics), how a moral outcome can be achieved in specific situations (applied ethics), how moral capacity or moral agency develops and what its nature is (moral psychology), and what moral values people actually abide by (descriptive ethics).(www.id.wikipedia/etics) Filsafat moral atau etika dibedakan menjadi 3 yakni a) Metaetika (meta-ethics). Meta berarti melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis yang menganggap analisis bahasa sebagai bagian
8
terpenting, bahkan satu-satunya tugas filsafat b) Etika normatif (normative ethics), yakni etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian
(preskriptif:
memerintahkan).
Untuk
itu
ia
mengadakan
argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. c). Etika deskriptif (descriptive ethics) yang hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dan lain-lain. Erat kaitannya dengan pendidikan karakter adalah etika normatif, oleh karena sebagai suatu proses yang direncanakan, pendidikan karakter membicarakan nilai-nilai apa yang seharusnya diinternalisasikan kepada anak didik. Jadi ia bersifat normatif dan preskriptive, suatu hal yang menjadi obyek bahasan etika normatif. Masalah pokok dalam etika normatif adalah bagaimana kita mempertanggungjawabkan secara rasional penilaian dan putusan moral kita. Manakah prinsip dan norma moral yang sehat yang dapat dijadikan acuan dan dasar pertangungjawaban rasional bagi penilaian dan putusan moral kita?
Jawabannya bisa bermacam-macam dan oleh karenanya terdapat
beberapa teori etika normatif, yang secara garis besar, dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni teori-teori konsekuensialis dan nonkonsekuensialis. Kelompok teori yang konsekuensialis menilai baikburuknya perilaku manusia atau benar-salah tindakannya sebagai manusia berdasarkan konsekuensi atau akibatnya. Yakni dilihat apakah perbuatan
9
atau tindakan itu secara keseluruhan membawa akibat baik lebih banyak daripada
akibat
buruknya
atau
sebaliknya.
Sedangkan
yang
non-
konsekuensialis menilai baik buruknya perbuatan atau benar-salahnya tindakan tanpa memperhatikan kesekuenasi atau akibatnya, melainkan berdasarkan sesuai tidaknya dengan hukum atau standar moral. Termasuk dalam kelompok teori konsekuensialis dan teleologis adalah teori etika egoisme, hedonisme, eudaimonisme, dan utilitarianisme. Sedangkan teori etika non-konsekuensialis adalah teori etika deontologis (Sudarminta, 1997: 53). Selain dua pembagian di atas, pendapat lain menyatakan etika normatif dibagi tiga yakni Etika Keutamaan atau Etika Kebajikan (Virtue Ethics), Etika Deontologikal atau Etika Kewajiban (Deontological Ethics) dan Etika Utilitarian atau Etika Manfaat (Utilitarian Ethics) (Kalidjernih, 2010:125 ; http://id.widipedia.com/normative_ethics) Masalah
pokok
dalam
etika
normatif
ini
sekaligus
dapat
dikembangkan menjadi pertanyaan kunci yakni prinsip dan norma moral yang
sehat
yang
manakah
dapat
dijadikan
acuan
dan
dasar
pertangungjawaban rasional bagi pendidikan karakter kita? Singkatnya, mengacu pada etika keutamaan, etika deontologis ataukah utilitarian? Dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan etika keutamaan dan etika kewajiban atau deontologi yang mewakili etika non konsekuensialis. Menurut penulis, masalah nilai sebagai muatan pendidikan karakter di Indonesia dapat ditinjau dari dua aliran etika normatif. Sementara itu etika utilitarian sulit diterapkan di Indonesia mengingat keragaman budaya dan masyarakatnya. Gagasan pokok etika ini bahwa putusan moral yang baik adalah memberikan kebaikan atau kebahagian bagi jumlah yang terbesar dapat mengorbankan kelompok-kelompok minoritas dalam diri bangsa Indonesia.
10
Menurut Etika Keutamaan, keutamaan adalah suatu disposisi batin yang bersifat tetap sebagai akibat suatu latihan dan kebiasaan untuk berbuat baik. Keutamaan-keutamaan merupakan ciri-ciri keluhuran watak yang secara moral pantas dianjurkan pada setiap orang dan dikejar olehnya. Etika keutamaan meletakkan tekanan dan fokus perhatiannya pada pribadi pelaku tindakan, pada kualitas watak pribadi tersebut. Bagi para penganut etika keutamaan pertanyaan pokok dalam etika bukan "apa yang harus/wajib aku lakukan?" (what should I do?) melainkan "mau menjadi manusia macam apakah aku ini?" (What should I be?). (Sudarminta, 1997:90) Gagasan awal mengenai etika keutamaan dapat ditelusuri dari pemikiran Aristoteles tentang “arete”. Kata arèté dalam bahasa Yunani, dan yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan 'keutamaan,' ada kaitannya dengan keunggulan (excellence) serta dipakai untuk menunjukkan bahwa seseorang bisa melaksanakan fungsi pokoknya dengan baik. Seorang pemahat dikatakan mempunyai arèté sebagai pemahat kalau ia bisa memahat dengan bagus. Dengan demikian kata arèté tidak hanya dipakai untuk menunjuk keutamaan moral saja. Keutamaan moral bagi Aristoteles adalah ciri-ciri watak manusia yang secara umum dijunjung tinggi dan yang dimiliki
seseorang
berkat
latihan
atau
pembiasaan
berbuat
baik.
Sebagaimana keutamaan seorang pemahat terletak dalam kemampuannya untuk memahat dengan baik, keutamaan manusia sebagai manusia ada kaitannya dengan menjalankan dengan baik fungsi khas kemanusiaan. Dalam pandangan Aristoteles fungsi khas manusia terletak dalam kegiatan akalbudinya. Dalam paham etika keutamaan, karena pusat perhatian diarahkan pada pembentukan watak yang berbudi luhur dan bukan pada pemenuhan kewajiban tertentu atau pemakaian prinsip moral tertentu, peranan tokoh moral ideal menjadi penting. (Sudarminta, 1997:91,93) Etika
11
keutamaan menekankan pada karakter moral dan pembangunan moral seseorang (Kalidjernih, 2010: 127) Berkebalikan dengan etika keutamaan yang meletakkan tekanan dan fokus perhatiannya pada pribadi pelaku tindakan, pada kualitas watak pribadi, etika deontologi memberi tekanan dan fokus perhatiannya pada prinsip-prinsip yang mendasari tindakan. Etika deontologis mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Kata “deon” berasal dari Yunani yang artinya “kewajiban” yang merupakan inti dari teori ini dan mengasumsikan bahwa orang-orang bertindak secara moral bila mengikuti aturan-aturan yang benar atau baik (Kalidjernih, 2010: 127). Aturan itu sebenarnya adalah kewajiban moral yang sifatnya imperatif kategoris. Teori deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban moral. Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban moral. Deontologi tidak terpusat pada konsekuensi perbuatan, dengan
kata
lain
deontologi
melaksanakan
terlebih
dahulu
tanpa
memikirkan akibatnya. Oleh karena itu ia bisa disebut etika kewajiban atau peraturan. Berbeda dengan etika keutamaan yang melihat pada akhir yang dicapai akibat atau tujuan, etika deontologi tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan. Etika deontologi dipromosikan secara luas oleh Immanuel Kant dengan konsepnya tentang “imperative kategoris” bahwa kewajiban moral merupakan perintah yang tidak bersyarat dan mutlak. Maftukhin (Zubaidi, 2010: 71) mengatakan imperative kategoris disimbolkan dengan perkataan “bertindaklah secara moral” dimana perkataan itu tidak mengandung perintah (command) tetapi sebagai perwujudan adanya suatu “keharusan
12
objektif” untuk bertindak secara moral yang datang dari diri sendiri, tidak bersyarat, bersifat mutlak dan merupakan realisasi dari rasio (budi) praksis. Norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Suatu sikap atau tindakan secara moral betul hanya kalau itu sesuai dengan norma atau hukum moral yang dengan sendirinya mengikat setiap orang yang berakal budi. (Sudarminta, 1997:78)
D. Filsafat Pendidikan: Antara Progresif dan Konservatif Filsafat pendidikan ialah nilai dan keyakinan-keyakinan filosofis yang menjiwai, mendasari dan memberikan identitas (karakteristik) suatu sistem pendidikan nasional. Filsafat pendidikan ialah jiwa, roh dan kepribadian sistem pendidikan nasional. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan
dalam
studi
mengenai
masalah-masalah
pendidikan
(Muhammad Noor Syam, 1980; 350). Kaitannya dengan tujuan pendidikan, filsafat pendidikan berusaha “ seek to comprehend education in its entirely, intepreting it by means of general concepts that will guide our choice of educational ends and policies” (Kneller, 1971: 4 ) Manfaat filsafat pendidikan adalah 1) dapat menentukan arah kemana anak didik harus dibawa. 2) dengan adanya tujuan pendidikan yang diwarnai filsafat pendidikan yang dianut, kita dapat mengetahui gambaran hasil yang harus dicapai anak, 3) filsafat dan tujuan pendidikan menentukan cara atau proses untuk mencapai tujuan itu. 4) filsafat pendidikan memberikan kesatuan yang bulat bagi segala usaha pendidikan (Nasution,
13
1994: 27). Di sisi lain filsafat pendidikan menjadi landasan bagi pengembangan suatu teori pendidikan. Teori pendidikan pada dasarnya adalah penerapan dari suatu filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran,
seperti
materialisme,
idealisme,
realisme,
pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurangkurangnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri. (Muhammad Noor Syam, 1980; 351) Mengenai filsafat pendidikan ini, John Seiler Brubacher dalam bukunya “Modern Philosophies of Education” (1939: 324) menyatakan sebagai berikut; “ ... there are two more or less clearly defined schools of educational philosophy. One is composed of the followers of Dewey, and is known largely under the title of “progressive education.” The other, not so easily named, consists of the defenders of more conservative practices. Among other titles they have been variously styled as “traditionalists” or “essentialists.”
Brubacker mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu 1). Filsafat pendidikan “progresif” didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau 2). Filsafat pendidikan “ konservatif” didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.
14
Brameld dalam bukunya “Philosophies of Education in Cultural Perspective” (1955) sebagaimana dikutip Mohammad Noor Syam (1980; 224) mengetengahkan adanya 4 aliran filsafat pendidikan yakni; 1) Essentialism, 2) Progresivism, 3) Perennialism dan 4) Reconstructionisme. a. Filsafat Pendidikan Esensialisme Tentang filsafat pendidikan esensialisme dikatakan sebagai berikut; “ Essentialists believe that there is a common core of knowledge that needs to be transmitted to students in a systematic, disciplined way. The emphasis in this conservative perspective is on intellectual and moral standards that schools should teach. The core of the curriculum is essential knowledge and skills and academic rigor. Although this educational philosophy is similar in some ways to Perennialism, Essentialists accept the idea that this core curriculum may change. Schooling should be practical, preparing students to become valuable members of society. It should focus on facts-the objective reality out there--and "the basics," training students to read, write, speak, and compute clearly and logically. Schools should not try to set or influence policies. Students should be taught hard work, respect for authority, and discipline. Teachers are to help students keep their non-productive instincts in check, such as aggression or mindlessness” (http:// oregonstate.edu/instruct/ed416/PP3.html) Essensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang
sistematis
mengenai
alam
semesta
tempat
manusia
berada.
Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat bahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Menurut essensialisme pendidikan haruslah bertumpu pada nilainilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang
15
masa. Aliran ini memiliki dalil “education as cultural conservation” pendidikan sebagai pemelihara kebudayaan. Karena dalil ini maka aliran essensialismen dianggap para ahli sebagai “conservative road to culture” yakni aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikannya bagi kehidupan manusia (Mohammad Noor Syam,1980; 260) Beberapa pandangan pokok dari esensialisme meliputi: (a) Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang dunia dimana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya. (b) Menekankan data fakta dengan kurikulum yang tampak bercorak vokasional. (c) Konsentrasi studi pada materi-materi dasar tradisional seperti: membaca, menulis, sastra, bahasa asing, matematika, sejarah, sains, seni dan musik. (d) Pola orientasinya bergerak dari skill dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks. (e) Perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan efisien. (f) Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri. (g) Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang didiami serta tertarik pada kemajuan masyarakat teknis. b. Filsafat Pendidikan Progressivism Tentang filsafat pendidikan progressivism dinyatakan sebagai berikut; “ Progressivists believe that education should focus on the whole child, rather than on the content or the teacher. This educational philosophy stresses that students should test ideas by active experimentation. Learning is rooted in the questions of learners that arise through experiencing the world. It is active, not passive. The learner is a problem solver and thinker who makes meaning through his or her individual experience in the physical and cultural context. Effective teachers provide experiences so that students can learn by doing. Curriculum content is derived from student interests and questions. The scientific method is used by progressivist educators
16
so that students can study matter and events systematically and first hand. The emphasis is on process-how one comes to know. Books are tools, rather than authority. (http:// oregonstate.edu/instruct/ed416/PP3.html) Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Progressivism berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progressivism bersifat dinamis dan temporal; menyala. Tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Pandangan ini menfokuskan pada anak sebagai keseluruhan daripada isi pelajaran atau guru. Mengarahkan bagaimana anak belajar melalui pengalaman aktif mereka. Peserta didik adalam problem solver dan thinker yang dapat memahami melalui pengalaman secara fisik maupun sosial. Siswa dapat belajar melalui bekerja. Isi pelajaran didasarkan atas kepentingan dan permasalahan dalam diri anak. Pencarian jawaban melalui metode ilmiah serta proses mencari tahu. Menurut progressivism, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.
Kurikulum yang baik adalah
kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pandangan –pandangan progressivism dianggap sebagai “the liberal road to culture” dalam arti bahwa liberal dimaksudkan sebagai fleksibel, berani, toleren dan sikap terbuka. Progressivism menganggap pendidikan sebagai cultural transition yang berarti pendidikan dianggap mampu merubah dalam
17
arti membina kebudayaan yang baru yang dapat menyelamatkan manusia bagi hari depan yang makin kompleks dan menantang (Mohammad Noor Syam,1980; 226-227) c. Filsafat Pendidikan Perennialisme Mengenai filsafat pendidikan perennialisme dikatakan sebagai berikut; For Perennialists, the aim of education is to ensure that students acquire understandings about the great ideas of Western civilization. These ideas have the potential for solving problems in any era. The focus is to teach ideas that are everlasting, to seek enduring truths which are constant, not changing, as the natural and human worlds at their most essential level, do not change. Teaching these unchanging principles is critical. Humans are rational beings, and their minds need to be developed. Thus, cultivation of the intellect is the highest priority in a worthwhile education. The demanding curriculum focuses on attaining cultural literacy, stressing students' growth in enduring disciplines. The loftiest accomplishments of humankind are emphasized– the great works of literature and art, the laws or principles of science. (http:// oregonstate.edu/instruct/ed416/PP3.html) Filsafat pendidikan perennialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perennialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progressivism yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perennialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa pandangan dari perennialisme (a) Berhubungan dengan perihal sesuatu yang terakhir. Cenderung menekankan seni dan sains
18
dengan dimensi perennial yang bersifat integral dengan sejarah manusia. (b) Pertama yang harus diajarkan adalah tentang manusia, bukan mesin atau teknik. Sehingga tegas aspek manusiawinya dalam sains dan nalar dalam setiap tindakan. (c) Mengajarkan prinsip-prinsip dan penalaran ilmiah, bukan fakta. (d) Mencari hukum atau ide yang terbukti bernilai bagi dunia yang kita diami. (e) Fungsi pendidikan adalah untuk belajar hal-hal tersebut dan mencari kebenaran baru yang mungkin. (f) Orientasi bersifat philosophically-minded. Jadi, fokus pada perkembangan personal. Aliran perennialisme dianggap sebagai “regressive road to culture” yakni
kembali pada kebudayaan masa lampau yang dianggap ideal.
Pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatian pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal dimaksud. Perrenialisme memandang “education as cultural regression” (Mohammad Noor Syam,1980; 296). d. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme Tentang filsafat pendidikan rekonstruksionisme dikatakan sebagai berikut; “Social reconstructionism is a philosophy that emphasizes the addressing of social questions and a quest to create a better society and worldwide democracy. Reconstructionist educators focus on a curriculum that highlights social reform as the aim of education. Critical theorists, like social reconstructionists, believe that systems must be changed to overcome oppression and improve human conditions. Teaching and learning as a process of inquiry in which the child must invent and reinvent the world” ((http:// oregonstate.edu/instruct/ed416/PP3.html) Filsafat pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progressivism. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan
19
bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.. Beberapa pandangan dari filsafat pendidikan rekonstruksionisme : (a) Mempromosikan pemakaian problem solving tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian problema sosial yang signifikan. (b) Mengkritik pola life-adjustment (perbaikan tambal-sulam) para Progresivist. (c) Pendidikan perlu berfikir tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu pendekatan utopiapun menjadi penting guna menstimulir pemikiran tentang dunia masa depan yang perlu diciptakan. (d) Pesimis terhadap pendekatan akademis, tetapi lebih fokus pada penciptaan agen perubahan melalui partisipasi langsung dalam unsur-unsur kehidupan. (e) Pendidikan berdasar fakta bahwa belajar terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya. (f) Learn by doing! (Belajar sambil bertindak).
E. Tinjauan Filosofis untuk Pendidikan Karakter Indonesia Gambaran mengenai pendidikan karakter di Indonesia sekarang ini setidaknya dapat dilihat dari dua naskah buku yakni Rencana Induk Pendidikan Karakter Bangsa terbitan Pemerintah Republik Indonesia (2010) dan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum, Kemdiknas (2010). Beberapa hal penting yang
dapat disarikan dari kedua sumber tersebut
adalah : 1. Pendidikan karakter merupakan bagian penting dari sistem pendidikan nasional dimana 5 (lima) dari 8 (delapan) potensi yang dikembangkan
20
dalam diri peserta didik amat lekat dengan karakter yakni beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 2. Pendidikan karakter mendukung pencapaian Standar Kompetensi Lulusan para siswa sekolah, dimana (11) sebelas dari 22 (dua puluh dua) kompetensi lulusan amat lekat dengan pendidikan karakter yakni a) Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut b) Mengembangkan diri secara
optimal
dengan memanfaatkan kelebihan
diri serta
memperbaiki kekurangannya c) Menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan pekerjaannya, d) Berpartisipasi dalam penegakan aturan-aturan sosial e) Menghargai keberagaman f) Menunjukkan kemampuan mengembangkan budaya belajar untuk pemberdayaan diri g) Menunjukkan sikap kompetitif & sportif
h) Berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara secara demokratis dalam wadah NKRI i) Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya j) Mengapresiasi karya seni dan budaya k) Menjaga kesehatan dan keamanan diri, kebugaran jasmani, serta kebersihan lingkungan. l) Berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan santun dan m) Menghargai adanya perbedaan pendapat dan berempati terhadap orang lain. 3. Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif .
21
4. Nilai-nilai luhur bangsa sebagai isi pendidikan karakter bersumberkan dari agama, pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. 5. Berdasarkan keempat sumber nilai karakter dan budaya bangsa tersebut, teridentifikasi sejumlah karakter sebagai nilai kebajikan yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, mandiri, kreatif, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,
cinta
damai,
gemar
membaca,
peduli
lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab 6. Pendidikan karakter yang berisikan nila-nilai luhur dilakukan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan yakni dengan habituasi dan intervensi, dilakukan baik di lingkungan satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat 7. Pada
lingkungan
satuan
pendidikan,
pendidikan
karakter
tidak
dimasukkan sebagai pokok bahasan (materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa) tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah 8. Proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. 9. Pendidikan karakter melalui pengembangan diri dapat dilakukan dengan kegiatan a) rutin sekolah, b) spontan, c) keteladanan dan d) pengkondisian. 10. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan
22
kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah.
1. Perihal sumber nilai yang diberikan Berdasar gambaran pendidikan karakter di atas, faham apakah yang dianut, relativism moral ataukah absolute moral?
Jika kita simak dari
identifikasi nilai-niai moral sebagai isi pendidikan karakter, menunjukkan bahwa ada kesadaran bersama mengenai perlunya nilai-nilai yang dianggap baik dan penting untuk dikembangkan pada anak didik. Hasil identifikasi juga menunjukkan bahwa nilai-nilai ini dapat disepakati sebagai nilai bersama yang bisa berlaku umum (untuk konteks pendidikan karakter di Indonesia). Hal demikian setidaknya mencerminkan gagasan mengenai absolute moral, bahwa pilhan sebuah moral, kebajikan dan karakter perlu dilakukan karena nilai itu baik, diterima bersama, penting bagi anak dan menurut bangsa Indonesia layak sebagai isi pendidikan karakter. Gagasan mengenai absolute moral dalam arti nilai yang disepakati dan penting tampak juga dari diangkatnya nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional sebagai sumber dari pendidikan karakter. Kedua nilai ini baik secara politis dan yuridis memang telah menjadi kesepakatan bangsa. Namun demikian nilai-nilai Pancasila itu sendiri secara sosiologis belum tentu dijadikan sebagai isi pendidikan karakter, oleh karena pelaku pendidikan karakter dapat saja mengandalkan sumber nilai lain yakni agama dan budaya. Pancasila baik sebagai konsep politis maupun akademis sampai sekarang selalu menghasilkan keragaman pemikiran (Pranarka, 1985; Restorasi Pancasila, 2006). Masuknya nilai-nilai dalam tujuan pendidikan nasional sebagai sumber pendidikan karakter, menurut hemat penulis, tidak perlu dinyatakan
23
ekplisit oleh karena sebagai suatu sistem nasional, apapun jenis pendidikan di negara kita, acuan secara yuridis sudah dengan sendirinya adalah tercapainya tujuan pendidikan nasional. Mengutip pendapatnya William Kymlika (Felix Baghi, 2009: 261) sumber suatu karakter atau jatidiri bangsa dimanapun umumnya ada tiga yakni asal usul etnis, iman religus dan gagasan mengenai kebaikan bersama. Asal usul etnis dalam hal ini budaya, iman religius dalam hal ini agama dan kebaikan bersama dalam hal ini adalah Pancasila sebagai gagasan sosial politik telah diangkat menjadi tiga sumber nilai dalam pendidikan karakter di Indonesia. Sementara nilai-nilai dalam tujuan pendidikan nasional pada hakekatnya tidak lain adalah nilainilai yang diangkat dari ketiga sumber tersebut. Nilai-nilai dalam tujuan pendidikan suatu saat akan berganti jika ada perubahan perundangan, sementara nilai dan tiga sumber sebelumnya relatif tetap. Namun demikian gagasan yang mirip dengan relativism moral nampak pula tercermin dalam kebijakan pendidikan karakter. Hal ini tercermin dari penyataan “ Sekolah dan guru dapat menambah atau pun mengurangi nilainilai tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah dan hakekat materi SK/KD dan materi bahasan suatu mata pelajaran” (Kemdiknas, 2010: 10). Hanya saja masih perlu dipertanyakan, apakah para pelaku pendidikan karakter memiliki kesadaran bahwa pernyataan ini diartikan untuk bebas saja menentukan nilai-nilai karakter dan itu memang relatif menurut mereka ataukah pernyataan ini dimaksudkan boleh menentukan nilai-nilai karakter baik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dimana anak belajar. Pernyatan demikian penting diketahui oleh karena gagasan relativism moral berasal dari kemajuan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, etnologi, sosiologi, dan sejarah serta kemajuan teknologi infromasi
yang telah berkontribusii besar dalam mengembangkan
24
pemahaman tentang perbedaan-perbedaan cara berpikir, bersikap dan berperilaku kelompok bangsa atau masyarakat. Pemahaman ini melahirkan pandangan pluralisme budaya, sikap tolerensi terhadap perbedaan nilai bahkan pandangan bahwa moral itu relatif tergantung pada masyarakatnya (Sudarminta, 1997:13) Keragaman budaya dan masyarakat Indonesia tampaknya diakui dan diadopsi dalam pendidikan karakter Indonesia, dimana nilai-nilai budaya bangsa dapat dimasukkan sebagai isi pembelajaran. Hal demikian tercermin dari pernyataan bahwa salah satu sumber nilai dalam pendidikan karakter adalah budaya sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu (Kemdiknas, 2010: 8). Jika nilai-nilai budaya yang dijadikan isi pendidikan karaker di suatu sekolah itu adalah khas, unik, hanya berlaku di wilayah tersebut bahkan mungkin bertentangan dengan nilai budaya di sekolah lain, maka kita bisa menyebutnya sebagai nilai-nilai partikular yang sifatnya relatif. Sumber nilai yang lain adalah agama oleh karena diakui secara luas bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama dan ajaran agama menjadi dasar bagi kehidupan (Kemdiknas, 2010: 8). Bahwa moralitas yang berdasarkan agama telah diakui banyak pihak bahkan ada yang secara apriori menyatakan moralitas harus dan tidak bisa tidak berlandaskan pada ajaran agama. Namun demikian bisa timbul perdebatan, jika moralitas itu berdasarkan ajaran agama, ajaran agama manakah yang dijadikan sebagai pilihan, sementara agama itu sendiri bermacam-macam berikut dengan ajarannya dan pilihan moralitas yang harus diambil berlaku umum bagi
25
semua anak tanpa melihat perbedaan agama. Masalah ini mungkin tidak menjadi masalah bagi sekolah-sekolah khusus (agama) tetapi bermasalah pada sekolah-sekolah publik. Meskipun nilai moral agama diakui benar dan absolute bagi para pemeluknya tetapi belum tentu diakui benar oleh pemeluk agama lain. Jika hal ini terjadi maka moralitas yang bersumber dari agama menjadi hal yang partikular dan relatif. Antara ketiga sumber nilai itu : agama, budaya dan gagasan sosial politik Pancasila, bisa dirasakan bahwa nilai ajaran agamalah yang paling kuat menghunjam atau mempatri dalam diri seseorang, oleh karena ajaran agama tidak hanya menjangkau masa kini tetapi mampu memberikan keyakinan akan hari di kemudian. Hal ini menjadi kelebihan bagi pendidikan karakter yang berbasis nilai agama. Nilai budaya juga tidak bisa diremehkan oleh karena pasti akan muncul para pendukung budaya tertentu yang berusaha dengan gigihnya memasukkannya sebagai isi pendidikan karakter. Nilai tradisi biasanya dipegang teguh oleh para pewaris kebudayaan. Dua sumber nilai ini meskipun dianggap absolute moral oleh para pendukungnya, namun keberlakuannya secara umum dan diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia sulit untuk dipaksakan. Secara internal ia bersifat absolute values, secara eksternal ia menjadi relative values Nilai-nilai Pancasila menjadi yang paling lemah keberlangsungannya kecuali melalui proses intervensi dengan perangkat hukum dan kebijakan politis lainnya. Nilai-nilai Pancasila sesungguhnya.nmerupakan kristalisasi dari nilai –nilai agama dan nilai budaya bangsa. Bangsa Indonesia sudah ber”Pancasila” sebelum Indonesia merdeka yakni Pancasila dalam adat kebudayaan dan Pancasila dalam religius, setelah itu Pancasila dalam negara atau dikenal dengan istilah Pancasila dalam tri-prakara (Notonagoro, 1980:17). Nilai-nilai Pancasila sekarang ini adalah nilai-nilai Pancasila
26
sebagai gagasan sosial politik
bangsa
Indonesia
dalam
bernegara.
Dibandingkan dengan dua nilai sebelumnya, nilai Pancasila lebih bersifat konsensus nilai, nilai etik bersama dan menjadi _dalam istilah Myron Weiner (1971)_integrasi nilai. Namun nilai Pancasila tidak sekuat nilai agama dan budaya dalam menyakinkan individu akan kebaikan dan kebenarannya. Nilai Pancasila lebih merupakan sebuah identitas yang dikonstruksi guna membangun keberlangsungan bangsa. Manakah yang harus diutamakan dari ketiga nilai tersebut dengan kelemahan dan kelebihannya masing-masing? Van Goods (Syarkawi, 2006:43) menyatakan negara yang mengakui agama, maka pendidikan moralnya diajarkan melalui pendidikan agama dan sekolah agama, sedang negara yang tidak mengakui agama, pendidikan moral diajarkan melalui pendidikan kewarganegaraan (civics) . Pernyataan ini dapat diartikan bahwa di negara non sekuler nilai moral agama menjadi basis pendidikan karakter, sedangkan di negara-negara sekuler yang umumnya ada di Barat, menggunakan pendidikan kewarganegaraan sebagai sarana bagi pendidikan moral yang sumber nilainya berasal dari gagasan-gagasan sosial politik sekuler, tidak ada kaitanya dengan agama dan hal itu dilakukan di sekolah – sekolah publik. Paham sekulerisme dianggap mampu menyelesaikan konflik hubungan agama dan negara, termasuk dengan memisahkan secara tegas antara sekolah agama dengan sekolah publik. Untuk kasus di Indonesia, kiranya hal demikian tidak mungkin dilakukan. Bahwa negara kita adalah negara yang bukan sekuler tetapi juga bukan negara agama dan bahwa masyarakat kita adalah beragam dari sisi agama dan budaya adalah suatu kenyataan yang mesti diterima. Di sekolahsekolah agama, tidak menjadi soal jika nilai-nilai moral agama yang dijadikan dasar pendidikan karakter. Akan tetapi di sekolah publik (negeri)
27
pertanyaan tentang nilai-nilai apakah yang layak diajarkan menjadi problem tersendiri. Motto “Bhineka Tunggal Ika” menuntun kita untuk mengakui identitas kewarganegaraan yang terbedakan (diferensiated citizenship) dalam hal ini agama dan budaya, tetapi juga diharapkan mendukung identitas kewarganegaraan nasional (national citizenship). Hal ini membuat pendidikan karakter harus mampu mengakomodasi nilai-nilai agama dan budaya dan juga nilai-nilai Pancasila. Untuk itu kemungkinan terjadinya pertentangan antar pihak mengenai pilihan nilai bisa saja terjadi. Terhadap hal ini, Syarkawi (2006: 31) menyarankan agar tidak terjadi pertentangan dalam mengadopsi nilai, sebaiknya guru menggunakan nilai sebagaimana yang terdapat dalam Pancasila, ideologi negara Indonesia. Doni Koesoema (2010: 207 ) juga menyatakan nilai-nilai moral Pancasila lebih tepat sebagai isi pendidikan
karakter di Indonesia sebab ia merupakan
kepribadian bansa dan juga mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia , sedangkan nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Pernyataan demikian bisa dimaklumi oleh karena nilai dalam Pancasila telah diakui sebagai nilai bersama, nilai Pancasila dianggap tidak bertentangan dengan agama dan budaya masyarakat Indonesia. Namun demikian, hal itu tetap tidak bisa menegasikan nilai agama dan budaya yang memang telah ada dan hidup dalam keyakinan masyarakat Indonesia bahkan sebelum Pancasila diletakkan sebagai dasar negara. Sekolah- sekolah agama dan pendidikan agama justru sekarang ini semakin berkembang pesat seiring dengan semakin meluasnya dekadensi moral para remaja kita. Para orang tua cenderung menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah tersebut dengan dalih membentengi moral anak dari pengaruh luar yang buruk. Di sisi lain, konsep pendidikan karakter
28
Indonesia telah menempatkan nilai agama dan budaya di samping nilai-nilai Pancasila sebagai sumbernya. Nilai moral Pancasila sendiri masih dianggap sebagian pihak sebagai nilai moral yang absurd dan multi tafsir . Masih dipertanyakan apakah memang moral Pancasila itu ada dan bisa diamalkan. Jika ada, apakah ada metode belajar menurut Pancasila, cara gosok gigi menurut Pancasila, cara sepakbola menurut Pancasila, dan sebagainya? (Adian Huzaini, 2010: 28). Kembali pada permasalahan awal perihal nilai yang dijadikan isi pendidikan karakter apakah dipahami sebagai sesuatu yang absolut atau relatif,
tampaknya
konsep
pendidikan
karakter
kita
cenderung
menempatkan nilai sebagai hal yang absolut, penting, dan perlu diberikan kepada anak. Bagi kita bangsa Indonesia yang lebih memandang dirinya sebagai masyarakat komunal, nilai memang dipahamai sebagai kekuatan spiritual dan emosional yang penting, yang menggerakkan kehidupan ini. Nilai bukan semata-mata gejala alamiah, relatif ataupun subyektif. Dalam masyarakat komuntarian, sebuah kelompok bangsa berhak menentukan nilai-nilai apa yang layak dan sebaiknya diberikan kepada individu anggota komunitas itu. Menurut Will Kymlicka (2004:276) sebuah masyarakat komunitarian dapat dan seharusnya mendorong orang untuk menerima konsepsi –konsepsi tentang kehidupan yang baik yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakatnya. Masyarakat kita bisa menerima adanya pandangan hidup bersama sebagai sebuah konsepsi mendasar tentang kehidupan yang baik dalam hal ini Pancasila. Sementara itu pula masyarakat kita bisa menerima pandangan hidup tiap komunitas yang berbeda, dalam hal ini agama dan budaya. Menurut hemat penulis, gejala ini bukanlah relativism moral tetapi lebih merupakan pengakuan terhadap adanya pluralitas termasuk pluralitas moral
29
2. Pemahaman mengenai karakter baik Pendidikan karakter erat kaitannya dengan nilai moral, atau nilai etik oleh karena ia berisikan sejumlah nilai yang hendak dididikan pada peserta didik. Karakter telah menjadi bagian inheren dari etika normatif yang terbagi atas etika
teleologis
(konsekuensualis)
dan etika
deontologis
(non
konsensualis). Etika normatif memperbincangkan “bagaimana seharusnya seseorang patut bertindak, secara moral” atau “bagaimana seharusnya seseorang bertindak agar dikatakan baik”. Terhadap hal ini etika teleologis dan etika deontologis memberikan jawaban yang berbeda. Bagaimana seharusnya anak berperilaku yang baik dalam konteks pendidikan karakter di Indonesia? Dikatakan sebagai berikut: Karakter sebagai suatu moral excellence atau akhlak dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga negara Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa diarahkan pada upaya mengembangkan nilai nilai mendasari suatu kebijakan sehingga menjadi suatu kepribadian diri warga negara. (Kemdiknas, 2010: ii)
Karakter dibangun dari kebajikan (virtue) yang pada dasarnya berupa seperangkat nilai-nilai yang diyakini. Karakter manusia Indonesia dibangun dari kebajikan-kebajikan yang berupa nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku di masyarakat Indonesia. Sebagaimana disebutkan di atas nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai ajaran agama, budaya dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Akhirnya dapat disimpulkan manusia Indonesia yang berkarakter adalah apabila tindakan-tindakannya dinilai sebagai suatu kebajikan
30
berdasarkan nilai yang berlaku. Karakter yang baik adalah karakter yang sesuai dengan kebajikan. Untuk menumbuhkembangkan karakter baik ini dilakukan proses intervensi dan habituasi dalam wujud, a) pembelajaran di kelas yakni pengintegrasian nilai kedalam mata pelajaran, b) pengembangan pribadi, yakni keteladanan, pengkondisian atau pembiasaan, dan kegiatan rutin dan c) melalui budaya sekolah (Kemdiknas, 2010: 16-19). Konsep karakter di atas tampak lebih dekat dengan gagasan etika konsekuensialis khususnya etika keutamaan. Etika keutamaan menekankan pada keluhuran pribadi dan kepribadian seseorang. Etika keutamaan tidak sependapat dengan gagasan yang terlalu menekankan pada prinsip atau peraturan moral yang memberi batas-batas kewajiban moral. Etika keutamaan bertolak belakang dengan etika kewajiban atau etika deontologi. Etika keutamaan menegaskan bahwa orang yang dengan setia menjalankan kewajiban saja belumlah cukup untuk dijadikan ideal hidup orang yang bermoral. Ideal atau cita-cita moral untuk menjadi orang yang berkeutamaan menuntut lebih dari pada hanya pemenuhan kewajiban. Bagi para penganut etika keutamaan, etika kewajiban mengandung bahaya menjadikan orang bersikap minimalis. Pembentukan sikap moral dalam etika keutamaan merupakan usaha pembentukan watak atau kepribadian. Tindakan yang baik mengalir dari seorang pribadi yang berbudi luhur atau bermoral tinggi (Sudarminta, 1997: 91). Etika keutamaan tampak semakin mewarnai konsep pendidikan karakter kita dengan dimasukkannya pengkondisian_atau dapat disebut dengan pembiasaan_ dan keteladanan sebagai bagian dari strategi pendidikan karakter. Contoh dan keteladanan dari orang –orang berpribadi luhur dan tokoh ideal dipandang sebagai hal penting oleh etika keutamaan
31
karena pusat perhatian diarahkan pada pembentukan watak yang berbudi luhur dan bukan pada pemenuhan kewajiban tertentu atau pemakaian prinsip moral tertentu. Dalam perkembangan kesadaran seorang anak secara psikologis adanya seorang tokoh panutan diperlukan dan akan membantu pertumbuhan kesadaran moral yang
sehat.
Sedangkan pembiasaan
merupakan hal penting pula, sebab menurut Aristoteles, keutamaan moral itu dihasilkan dari kebiasaan. Keutamaan moral bukanlah hal yang muncul secara alamiah (sesuatu bawaan) dan juga bukan sesuatu yang bertentangan dengan kecenderungan alamiah. Lahirnya keutamaan moral berkat latihan dan pembiasaan. Kebaikan watak memerlukan latihan dan disiplin untuk mengendalikan
perasaan-perasaan,
kecondongan-kecondongan,
dan
keinginan-keinginan (Sudarminta, 1997: 78) Kecenderungan menjadikan kebajikan dalam pandangan etika keutamaan memang telah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Kebaikan seseorang umumnya diukur pada keluhuran budinya bukan pada pemenuhan kewajiban semata. Masyarakat Indonesia selalu mengandaikan adanya tokoh-tokoh moral ideal bahkan mampu menciptakan tokoh panutan guna menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Tokoh ideal seperti dalam pewayangan atau cerita rakyat selalu memberi gambaran tentang keutamaan moral. Agus Wahyudi (2009: 113) menyatakan bahwa Pancasila sebagai nilai filsafat bangsa selama ini juga lebih banyak dipahami dalam kerangka teori kebaikan. Sesuatu di dalam Pancasila dianggap penting dan sebagai nilai kebaikan. Pancasila lebih dipahami dalam kerangka etika keutamaan bukan deontologis. Menjadikan etika keutamaan sebagai pijakan moral bukanlah tanpa kelemahan. Beberapa kritik diberikan oleh kalangan khususnya dari para penganut etika deontologi. Titik lemah yang disebut adalah perihal
32
keteladanan. Menurut meraka, peneladanan dapat melemahkan sikap kritis dan otonom dalam hal moral. (Sudarminta, 1997: 79). Orang bertindak baik bukan karena kesadaran diri sendiri tetapi karena ia mau meneladani orang yang dikagumi dan dia tidak mempertanyakan secara kritis mengapa tokoh teladannya melakukan tindakan seperti itu. Moralitas seseorang dengan demikian lebih bersifat heteronom bukan otonom. Di sisi lain, menurut hemat penulis, keteladanan sekarang ini semakin sulit diadakan. Kita sering mendengar bahwa para generasi muda kita semakin terperosok dalam karakter yang buruk karena tidak ada keteladanan dari para pemimpin bangsa. Tokoh teladan biasanya muncul dalam cerita, sejarah, dan orang – orang besar yang telah mati, yang semuanya tidak lagi hadir dalam kenyataan.. Keteladanan dari orang-orang yang masih hidup tetap saja problematis. Dengan demikian jika etika kebajikan atau etika keutamaan tetap dipertahankan dalam konsep pendidikan karakter kita, selalu ada masalah mengenai keteladanan dan pembiasaan. Keteladanan dan pembiasaan menjadi titik lemah dalam proses pendidikan karakter, bahkan keteladanan sering dijadikan “kambing hitam” atas kegagalan pendidikan karakter. Misalkan dikatakan pendidikan karakter kita belum mencapai hasil yang optimal karena kurangnya aspek pengalaman dan yang lebih penting lagi tidak ada contoh atau keteladanan (Adian Huzaini, 2010: 32). 3. Filsafat pendidikan yang melandasi Mengikuti pendapat Brubacher di atas, terdapat dua kelompok besar filsafat pendidikan yakni 1). Filsafat pendidikan “Progresif” didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau 2). Filsafat pendidikan “Konservatif” didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme
33
atau realisme religius. Filsafat pendidikan progressivism dan reconstructivism masuk dalam kelompok
progressif, sedangkan filsafat pendidikan
perennialism dan essensialism masuk pada kelompok filsafat pendidikan konservatif. Filsafat pendidikan apakah yang dianut dalam konsep pendidikan karakter kita? Dari sejarah lahirnya pendidikan karakter, filsafat pendidikan konservatiflah yang melandasi pandangan filosofis pendidikannya. Doni Koesoema (2008) menulis sebagai berikut : Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.. Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte. Dalam sejarah pendidikan karakter di AS, pada masa awal berdirinya negara para pendiri republik menggunakan Bible sebagai sumber bagi pengajaran moral dan agama. Namun ketika sumber tersebut diperdebatkan perihal Bible siapa yang layak diberikan (whose Bible to use),
William
McGuffey menyajikan buku bacaannya (McGuffey Readers) yang berisikan nilai-nilai alamiah (the "natural virtues") seperti kejujuran (honesty), kerja keras (hard work), hemat (thriftiness), kebaikan (kindness), cinta tanah air (patriotism), and keberanian (courage) sebagai cara untuk mengajarkan pendidikan karakter di sekolah. Setelah itu pendidikan karakter banyak dipengaruhi oleh aliran positivisme, yang menyatakan nilai tidak ada kebenaran yang abadi dan relatif semata. Metode value clarification banyak
34
mendominasi proses pendidikan sampai
akhirnya muncul kesadaran
kembali bahwa anak-anak perlu ditanamkan sejumlah kebajikan (virtues) yang lebih bersifat pengarahan langsung (directive) daripada non-directive (http://cortland.edu/character) Jika merujuk ada sejarah pendidikan karakter di Barat sebagaimana di atas, pendidikan karakter sekarang ini lahir sebagai reaksi atas faham positivisme yang melahirkan filsafat pendidikan proggresivisme John Dewey maupun naturalisme JJ Rousseau. Di sisi lain ingin membangkitkan kembali filsafat pendidikan idealisme model Plato, Hegel dan Immanuel Kant dan spiritualisme seperti Thomas Aquinas. Baik filsafat pendidikan proggresivisme maupun naturalisme sama –sama berpijak pada anak, biarkanlah anak menemukan kebenaran sendiri, sedangkan guru adalah memfasilitasi, tidak menentukan. Dewey dalam bukunya Democracy and Education menyatakan pendidikan tradisional modern terlalu peduli dengan memberikan pengetahuan, dan tidak cukup dengan pemahaman aktual pengalaman siswa. Rousseau dalam bukunya Emile menyatakan bahwa semua anak secara alamiah telah dirancang sebagai organisme sempurna, siap untuk belajar dari lingkungannya sehingga dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang berbudi luhur. Justru karena pengaruh masyarakat yang buruk
dan
korup,
mereka
sering
gagal
untuk
melakukannya.
(www.id.wikipedia/philoshopi_of_education) Jika dilihat dari isi pendidikannya maka filsafat pendidikan konservatif menjadi landasan filosofis pendidikan karakter Indonesia. Hal ini tercermin dari kalimat “Pendidikan merupakan upaya terencana dalam nmengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan_(cetak tebal pen)_masyarakatnya dan
35
mengembangkan warisan _(cetak tebal pen)_tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.”. “ Pendidikan adalah proses pewarisan _(cetak tebal pen)_budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang” (Kemdiknas, 2010: 3, 4) . Kata “pewarisan” menjadi konsep kunci dalam filsafat pendidikan essesialisme yang dikenal dengan slogan ““conservative road to culture”. Pewarisan
kebudayaan
kebudayaan bangsa
yang
dimaksudkan
sebagai
upaya
memelihara
dianggapnya luhur agar setiap pergantian
generasi tidak hilang. Pewarisan kebudayaan juga terkandung makna pengembangan agar warisan nilai budaya ini dapat selalu dinamis sesuai semangat jaman. Oleh karena itu pendidikan karakter bangsa tidak dimaksudkan semata-mata kembali kepada kebudayaan lama sebagaimana dianjurkan oleh filsafat pendidikan perrenialisme. Isi pendidikan dalam hal ini nilai-nilai apakah yang layak diberikan pada anak merupakan hal penting bagi pendidikan konservatif. Berbeda halnya dengan pendidikan progressive dimana isi pembelajaran ditentukan menurut kebutuhan siswa. Meskipun mencerminkan gagasan pewarisan kebudayaan, namun tidak sepenuhnya meninggalkan gagasan perennialisme, sebab sebagaimana dikatakan Nana Syaodih Sukmadinata (1997:8), antara essensialisme dan perennialisme mempunyai pandangan yang sama tentang masyarakat. Bahwa pendidikan berfungsi memelihara dan mewariskan niliai-nilai yang telah ada. Pendidikan menekankan pada humanitas, pembentukan pribadi dan sifat-sifat mental. Yang menarik, gagasan progresivism tampak tercermin dalam konsep pendidikan karakter kita dimana “proses pendidikan nilai budaya dan
36
karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru (cetak tebal pen). Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif” (Kemdiknas, 2010: 13-14). Penggunaan proses belajar aktif yang berpusat pada siswa merupakan ciri dari pembelajaran progressive dengan dalih bahwa anak akan mampu berkembang secara optimal jika diberi kebebasan dan juga meminimalisir peluang indoktrinasi yang biasanya terjadi pada model pendidikan konservatif. Gagasan progresivisme ini tampaknya diadopsi dalam proses pendidikannya bukan pada isi pendidikannya. Memang filsafat pendidikan progressivism yang dilatarbelakangi oleh filsafat positivisme_sebagaimana dikatakan Thomas Lickona (1993)_ kaya akan metodologi pembelajaran dan mampu mengaktifkan siswa. Hanya saja perihal pilihan nilai moral, oleh karena berpusat pada anak, maka guru bertindak bukan menentukan nilai tetapi membantu anak membuat pilihan nilai. Hal ini sejalan dengan logika positivisme dimana nilai adalah privat dan relatif. Filsafat pendidikan konservatif baik essensialism dan perrenalism sebaliknya menyatakan nilai sebagai gejala umum dan absolute. Dengan mengadopsi gagasan baik konservatif maupun proggresive dalam konsep pendidikan karakter kita tersebut, menjadikan kita tahu akan kelemahan dan kelebihan pendidikan karakter Indonesia. Kita dapat meminimalisir kelemahan model pendidikan konservatif sebagaimana disuarakan para pendukung progressivism, sebaliknya pula kita dapat meminimalisir kelemahan model pendidikan proggressivism sebagaimana disuarakan para pendukung konservatif.
37
F. Penutup Berdasar uraian di atas, dapat dibuat simpulan-simpulan sementara perihal tinjauan filosofis konsep pendidikan karakter Indonesia sebagai berikut ; 1. Pendidikan karakter Indonesia memandang nilai sebagai sumber sekaligus isi pendidikan adalah sesuatu yang ideal, penting, dan harus dikembangkan pada diri peserta didik melalui proses intervensi dan habituasi. Gagasan demikian lebih mencerminkan paham absolute moral daripada relativism moral 2. Nilai ideal sebagai sumber pendidikan karakter Indonesia mencakup nilai-nilai agama, budaya dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dari ketiga sumber tersebut berhasil diidentifikasi sejumlah nilai yang dianggap layak untuk disajikan pada peserta didik. Di sisi lain gagasan tentang pluralitas moral _bukan relativism moral_ tetap diberikan dimana para pelaku pendidikan karakter dapat mengurangi atau menambah nilai yang sejalan dengan masyarakatnya. 3. Nilai yang dikembangkan adalah nilai budaya bangsa atau karakter bangsa.
Mengindikasikan
bahwa
masyarakat
Indonesia
adalah
masyarakat komunitarian yang beranggapan bahwa sebuah kelompok masyarakat atau bangsa memiliki sejumlah nilai bersama, bukan sekedar kumpulan nilai-nilai individu. Suatu kelompok berhak dan seharusnya menumbuhkembangkan nilai-nilai itu agar menjadi keyakinan hidup masyarakatnya. 4. Perihal bagaimana seharusnya peserta didik bertindak yang baik, etika keutamaan (virtue ethics) tampak lebih mewarnai konsep pendidikan karakter kita. Karakter yang baik adalah karakter yang berkesesuaian dengan sejumlah keutamaan (virtues) yang telah ditentukan sebelumnya.
38
Pembentukan karakter yang baik (good character) dilakukan melalui pembiasaan dan peneladanan, suatu hal yang tidak dikehendaki oleh etika deontologi. 5. Pendidikan karakter pada dasarnya adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa. Proses pendidikan yang demikian mencerminkan
filsafat
pendidikan
konservatif
perennialism
dan
essensialism. Bagi pendidikan karakter, perihal isi yakni nilai-nilai moral apakah yang seharusnya dikembangkan dalam diri peserta didik adalah sesuatu yang penting. 6. Dalam proses pembelajarannya pendidikan karakter menekankan pada keterlibatan aktif siswa bukan guru. Guru bersifat menuntun bagaimana agar
siswa
aktif
atau
mampu
merancang
pembelajaran
yang
mengaktifkan siswa tanpa siswa harus diperintahkan aktif. Siswa aktif merumuskan
pertanyaan,
mencari
sumber
informasi,
dan
mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar. Proses
yang
demikian
lebih
mencerminkan
filsafat
pendidikan
progressivism. 7. Dalam hal isi pendidikan, pendidikan karakter kita
mencerminkan
gagasan konservatif sementara dalam hal proses pembelajarannya lebih kearah aliran progressivism.
Makalah ditulis sebagai naskah untuk buku “70 tahun Prof Dr Endang Sumantri “, Guru Besar UPI Bandung
39
Dosen Prodi PPKn FKIP UNS Solo dan Mahasiswa Program S3 Pendidikan Kewarganegaraan , SPs UPI Bandung. Alamat Email :
[email protected] Alamat Blog: http://winarno.staff.fkip.uns.ac.id
G. Daftar Pustaka Adian Huzaini. 2010. Pendidikan Islam dalam membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab. Jakarta : Pacsa Sarjana. Universitas Ibnu Khaldun Agus Wahyudi. 2009. Membangun Negara Pancasila dengan Teori Kebaikan dan Teori Kebenaran. Makalah dalam Kongres Pancasila 31 Mei-1 Juni 2009 di UGM Yogyakarta. Doni Koesoema. 2008. Sejarah Pendidikan Karakter dalam www.kompas.com Doni Koesoema. 2010. Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Penerbit Grasindo Felix Baghi. 2009. Kewarganegaraan Demokratis dalam Sorotan Filsafat Politik. Maumere : Penerbit Ledalero Freddy K Kalidjernih. 2010. Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Edisi Kedua. Bandung : Widya Aksara Press Irfan
Nasution & Rony Agustinus (Peny).2006. Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas Proseding dalam Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila . Jakarta : FISIP UI
John Seiler Brubacher. 1939. Modern Philoshopies of Education. New York: Mc Graw-Hill Book Company Inc K Bertens.1993. Etika. Jakarta : Gramedia Kemdiknas.2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta : Pusat Kurikulum, Kemdiknas Kneller. 1971. Introduction to The Philosophy of Education. New York: John Wiley and Sons, Inc Koento Wibisono. 2010. Pancasila dalam Perspektif Filsafati untuk Pendidikan Tinggi. Yogyakarta: PSP Press UGM
40
Maftukhin “Etika Imperative Kategoris Kant” dalam Zubaidi (2010) Fisafat Barat dari Logika Baru Rene Decartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn. Yogyakarta: Arruzmedia Muhammad Noor Syam. 1980. Filsafat Pancasila dan Filsafat Pendidikan Pancasila . Surabaya: Usaha Nasional Myron Weiner. “Integrasi bangsa” dalam Yahya Muhaimin & Collin Mc Andrews. 1982. Masalah masalah pembangunan politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Nana Syaodih Sukmadinata, 1997. Pengembangan Kurikulum , Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosda Karya Nasution. 1994. Asas Asas Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara Notonagoro.1980. Pancasila secara Ilmiah Populer. Cet ke-5.Jakarta: CV Pantjuran Tudjuh Pemerintah RI. 2010. Rencana Induk Pendidikan Karakter Bangsa 2010-2025 Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia Pranarka. 1985. Sejarah Pemikiran Pancasila. Jakarta : CSIS Ratna Megawangi. 2004. Pendidikan Karakter. Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa . Jakarta : IHF dan BP Migas Sudarminta SJ. 1997. Etika Umum. Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Jakarta : Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya Thomas Lickona.1991. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Thomas Lickona.1993. The Return of Character Education” dalam Jurnal Educational Leadership, Vol 51 N 3 p. 6-11 Will Kymlicka. 2004. Pengantar Filsafat Politik Kontemporer. Pent: Agus Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Laman : http://oregonstate.edu/instruct http://id.wikipedia.com/ethics http://id.wikipedia.com/philosophy_of_education http://cortland.edu/character
41
42