BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Yogyakarta memiliki julukan sebagai Kota Pelajar. Hal ini dikarenakan sejarah dan peran kota Yogyakarta dalam dunia pendidikan Indonesia (http://pendidikan-diy.go.id). Sejalan dengan julukan tersebut, saat ini ada banyak sekolah dan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang tersedia bagi para pelajar. Perguruan tinggi di provinsi DIY berjumlah 129 dengan rincian 22 universitas, 49 sekolah tinggi, 6 institut, 10 politeknik, dan 42 akademi (http://pendidikan-diy.go.id). Jumlah perguruan tinggi yang cukup banyak ini tentu menarik banyak pelajar dari seluruh Indonesia untuk menuntut ilmu di Yogyakarta. Jumlah perguruan tinggi yang banyak juga memberikan kesempatan yang lebih besar bagi seseorang untuk menjadi mahasiswa. Jumlah mahasiswa di DIY mencapai angka 298 ribu dan 85% di antaranya adalah pendatang dari berbagai wilayah di Indonesia (Anugraheni, 2014). Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang menuntut ilmu di Yogyakarta berasal dari luar kota. Pada saat memasuki dunia perkuliahan, seseorang masih berstatus sebagai remaja. Menurut teori psikososial Erikson, seseorang yang berusia 10 hingga 20 tahun termasuk dalam masa remaja dan berada pada tugas perkembangan identity vs identity confusion (Santrock, 2012). Pada masa remaja seseorang akan berusaha menemukan identitas dirinya, siapa dirinya, apa yang ia lakukan, dan akan kemana ia kelak. Tugas
1
2 perkembangan tersebutlah yang membuat seorang remaja kerap berubah-ubah dan mudah untuk dipengaruhi. Pada saat memasuki dunia perkuliahan dengan lingkungan dan tanggung jawab yang baru, seseorang akan mendapatkan tugas tambahan yang harus diselesaikan. Rata-rata usia mahasiswa baru adalah 17-20 tahun yang menunjukkan bahwa mereka sudah memasuki masa remaja akhir yang akan memasuki masa dewasa. Pada saat inilah seseorang mulai belajar untuk menjadi orang dewasa dan menemui hal-hal baru yang akan dihadapinya sebagai mahasiswa. Mahasiswa baru, terutama yang berasal dari luar kota, tentu menghadapi berbagai perubahan dalam kehidupannya. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan lingkungan dan kehidupan sosial. Selain itu, beban akademis, tanggung jawab finansial, pengambilan keputusan, dan jauh dari rumah juga menjadi stressor bagi mahasiswa baru (http://wellnesscenter.uic.edu). Pada tahun 2015, dilaporkan bahwa mahasiswa tahun pertama mengalami stres dan memiliki kesejahteraan emosional yang paling rendah dalam 30 tahun terakhir (http://dailymail.co.uk). Hal ini tentu membuat masalah stres dan penyesuaian diri pada mahasiswa baru menjadi penting untuk diperhatikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti (2011), penyesuaian diri yang buruk pada remaja di Balai Rehabilitasi Sosial mengakibatkan malas belajar, rendah diri, tidak taat pada peraturan, dan konflik dengan teman. Di Yogyakarta, data terbaru menunjukkan bahwa tingkat frustrasi mahasiswa yang berasal dari luar DIY dinilai lebih tinggi (Razak, 2013). Perubahan yang cukup banyak pada tahun pertama kuliah menjadi stressor bagi mahasiswa baru, terutama yang berasal dari luar kota. Hal ini juga ditambah dengan kurangnya kontrol dari orangtua dan keluarga sehingga mahasiswa baru dari luar kota cenderung merasa bebas, namun juga dituntut untuk menghadapi masalahnya sendiri.
3 Perubahan ini kemudian menuntut mahasiswa baru untuk melakukan penyesuaian diri. Penyesuaian diri yang baik pada seseorang ditunjukkan dengan adanya respon yang dewasa, efisien, memuaskan, dan sehat, serta dapat menyelesaikan konflik mental, frustrasi, kesulitan, personal dan sosial tanpa menimbulkan perilaku yang menjadi gejala gangguan (Schneiders, 1964). Haber dan Runyon (1984) menambahkan bahwa seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik dapat menerima keadaan yang berada di luar kendalinya. Sebaliknya, menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri yang gagal disebut dengan maladjustment, yaitu ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tuntutan personal dan lingkungan, serta tidak mampu menyelesaikan konflik dan rasa frustrasi dengan cara yang sehat dan efisien. Meichati (1983) menambahkan bahwa kegagalan penyesuaian diri akan membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri, melemahkan daya hidup pada orang-orang yang memang lemah kemauannya. Perubahan lingkungan yang dihadapi oleh mahasiswa baru merupakan suatu situasi yang berada di luar kontrol mereka. Mahasiswa baru dengan penyesuaian diri yang baik akan menerimanya dan menghadapi masalah dengan respon yang dewasa dan efisien. Di sisi lain, mahasiswa baru dengan penyesuaian diri yang buruk akan merasa stres dan frustrasi karena perubahan lingkungan dan tuntutan baru dari lingkungannya tersebut. Salah satu contoh akibat dari penyesuaian diri yang gagal adalah muncul stres dalam diri mahasiswa sehingga menimbulkan kemungkinan bunuh diri. Menurut Prof. Dr. Ronny Nitibaskara, penyebab bunuh diri adalah gagal beradaptasi, merasa terisolasi, dan marah atau permusuhan (http://detik.com). Individu yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik akan berakibat pada timbulnya perasaan rendah diri, malu, tidak dapat menerima diri sendiri, dan tertutup bagi lingkungannya (Widiastuti, 2011). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, banyak stressor yang muncul dalam kehidupan mahasiswa baru seiring dengan aktivitas mereka selama kuliah. Stressor ini
4 tidak hanya muncul dari satu aspek dalam kehidupan mahasiswa baru, namun ada beberapa aspek, seperti lingkungan tempat tinggal, peer, akademis, dan finansial. Masa remaja merupakan masa dimana sering muncul stress dan konflik karena frustrasi internal dan eksternal mencapai puncaknya (Schneiders, 1964). Peneliti telah melakukan wawancara kepada 3 orang mahasiswa tahun pertama, dua orang mahasiswa kuliah di Fakultas Teknik UGM jurusan Perencanaan Wilayah dan Tata Kota dan satu orang mahasiswa Fakultas Psikologi UGM. Ketiga mahasiswa tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu Padang (mahasiswa X), Lampung (mahasiswa Y), dan Bengkulu (mahasiswa Z). Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, ketiga mahasiswa tersebut mengaku mengalami culture shock saat memasuki dunia perkuliahan di Yogyakarta. Perbedaan yang paling dirasakan adalah perbedaan bahasa dan budaya. Hal ini sesuai dengan pengakuan dari mahasiswa Y, “Kalo aku tuh di Lampung tuh biasa pake, aku dulu ya ini ya, kalo aku di Lampung tuh biasa pake lo-gue. Terus kalo di Lampung tuh kayak udah blak-blakan gitu ngomongnya. Sedangkan kalo di sini kan lebih halus, akukamu, terus lebih menjaga perasaan teman gitu kan. Terus kayak katanya orang Jawa agak baperan. Jadinya tuh kita takut. Awalnya tuh kayak takut gitu mau bercanda atau mau ngomong yang bener-bener seperti biasa tuh takut.” Hal yang sama juga dirasakan oleh mahasiswa X, bahwa ia menjadi sangat berhati-hati dalam berkomunikasi dengan teman-temannya yang merupakan orang Jawa. Cara mereka menghadapi perubahan ini juga berbeda-beda. Seorang mahasiswa yang peneliti wawancara menunjukkan penyesuaian diri yang kurang baik pada awal masa perkuliahan ini. Mahasiswa Z merasa kurang cocok dengan teman-temannya dan susah menjalin pertemanan. Oleh karena itu mahasiswa Z jarang berbincang dengan teman-temannya kecuali tentang tugas kuliah dan ia hanya diam saja di kelas. Mahasiswa Z juga tidak mengikuti kegiatan organisasi dan langsung pulang jika kuliah sudah selesai.
5 Perubahan lingkungan merupakan stressor yang diterima oleh mahasiswa baru yang berasal dari luar kota. Proses penyesuaian diri sendiri dapat membuat mahasiswa kewalahan dan frustrasi serta dapat mengakibatkan depresi dan emotional maladjustment (Wintre & Yaffe, 2000 dalam Enochs & Roland, 2006). Banyak faktor yang memengaruhi proses penyesuaian diri, salah satunya adalah dukungan sosial. Dukungan sosial dapat mengurangi psychological distress dan mendukung penyesuaian diri yang lebih baik (Baron & Branscombe, 2012). Dukungan sosial sendiri dapat diterima dari orang-orang terdekat, seperti teman, keluarga, atau rekan kerja. Bentuk serta waktu pemberian dukungan sosial dapat berbedabeda sesuai dengan masalah yang dihadapi seseorang. Peran dari pemberi dan penerima dukungan serta hubungan timbal balik antar keduanya dapat mempengaruhi apakah dukungan tersebut akan memberi efek yang positif (Cohen & Syme, 1985). Dukungan sosial menjadi kontributor dalam penyesuaian diri pada mahasiswa tahun pertama (Boulter, 2002; Friedlander, et. al., 2007 dalam Bitz, 2011). Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Karandish (2014)
bahwa penyesuaian diri di kampus
memiliki hubungan yang signifikan dengan dukungan sosial yang diterima. Dukungan sosial ini dapat bersumber dari keluarga yang merupakan jaringan sosial terdekat bagi individu. Oleh karena itu, dukungan sosial keluarga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi penyesuaian diri mahasiswa baru, terutama yang berasal dari luar kota. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa baru dapat mengalami stres dan frustrasi jika tidak memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik. Salah satu faktor yang memengaruhi penyesuaian diri adalah dukungan sosial keluarga yang memiliki interaksi paling dekat dengan individu. Kesimpulan yang telah ditarik memunculkan pertanyaan penelitian apakah ada hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan penyesuaian diri mahasiswa baru? Guna menjawab pertanyaan tersebut, peneliti
6 mengambil penelitian dengan judul “Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru.”
B.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan penyesuaian diri mahasiswa baru yang berasal dari luar kota.
C.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu: 1. Manfaat teoritis Temuan dari penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan pembaca dan menambah khazanah ilmu psikologi, khususnya dalam bidang ilmu Psikologi Sosial. 2. Manfaat praktis Jika hipotesis teruji, temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi penting bagi orangtua dari mahasiswa yang kuliah di luar kota agar terus memberikan dukungan kepada anaknya sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada mahasiswa baru yang berasal dari luar kota agar dapat menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan yang baru.