PENDAHULUAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK: SEBUAH KENISCAYAAN
Seiring perkembangan zaman, modernisasi, serta globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, anggapan bahwa politik adalah dunia laki-laki yang keras, bahkan “kotor” dan tidak pantas untuk dimasuki oleh kaum perempuan seolah semakin memudar. Munculnya gerakan feminisme di negara-negara Barat yang kemudian diikuti oleh negara-negara di dunia ketiga perlahan tetapi pasti berhasil mendobrak tradisi yang selama berabad-abad hanya menempatkan perempuan pada sektor privat (rumah tangga) untuk bergerak memasuki berbagai bidang yang ada di sektor publik, termasuk di dalamnya bidang politik. Memasuki akhir abad ke-20, lebih dari 95% negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar atau fundamental, yaitu hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for elections).1 Data dari International Parliamentary Union menunjukkan, Selandia Baru merupakan negara pertama di dunia yang memberikan hak suara kepada perempuan pada tahun 1893.2 Sedangkan negara pertama yang mengadopsi dua hak demokratik mendasar kaum perempuan adalah Finlandia, yang dilakukan pada tahun 1906.3 Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir ini, masalah keterwakilan perempuan dalam politik menjadi wacana yang penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan. Pembicaraan mengenai partisipasi politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari hak-hak politik perempuan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun konvensi internasional.
1
2 3
Nadezhda Shvedova, “Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan di Parlemen” dalam Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Azza Karam, dkk, penerjemah Arya Wisesa dan Widjanarko, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999, hlm. 18. Ibid. Ibid.
1
Representasi Perempuan dalam Politik
A. Hak Perempuan untuk Berpolitik Keterlibatan perempuan dalam bidang politik merupakan salah satu bentuk nyata dari perwujudan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang dijamin dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terutama Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Implementasi dari ketentuan tersebut terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak politik perempuan antara lain diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: 1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. 2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 bahkan secara khusus mengatur mengenai hak perempuan dalam Bab III Bagian ke-9 tentang Hak Wanita. Pasal 46 menyatakan bahwa “Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.” Berkaitan dengan partisipasi politik perempuan tersebut, Indonesia juga telah meratifikasi dua konvensi, yaitu: 1) Konvensi PBB tentang Hak-hak Politik Perempuan Tahun 1952 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on the Political Rights for Women; 2) Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita). CEDAW ini juga dikenal secara luas sebagai Konvensi Perempuan. 2
Representasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Dalam Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on the Political Rights for Women) Pasal 1 dinyatakan bahwa: “perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi” (women shall be entitled to vote in all elections on equal terms with men without any discrimination).4 Selanjutnya dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa:5 • “perempuan dapat dipilih untuk semua badan elektif yang diatur dengan hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi” (women shall be eligible for election to all publicly elected body established by national law, on equal terms with men without any discrimination); • Perempuan berhak menduduki jabatan resmi dan menyelenggarakan semua fungsi resmi yang diatur semua hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi” (women shall be entitled to hold public office and to exercise all public functions, established by national law, on equal terms with men without any discrimination). Hak perempuan dalam kehidupan politik secara khusus juga diatur dalam Pasal 7 Konvensi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, yang menyatakan kewajiban negara untuk menjamin bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk: a. Dipilih dan memilih; b. Berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan fungsi pemerintahan di semua tingkat; c. Berpartisipasi dalam organisasi dan perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.
Selain dalam dua konvensi tersebut, hak politik perempuan juga terdapat dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).6 Kovenan ini telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 3 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa: “Negara-negara Peserta Kovenan ini sepakat untuk menjamin hak yang sama bagi pria dan perempuan untuk menikmati hak-hak sipil dan politik yang dicanangkan dalam Kovenan ini” (The States Parties to the present Covenant undertake to ensure the equal right of men and women to the enjoyment of all civic and political rights set forth in the present Covenant). Hak-hak ini antara lain mencakup hak atas hidup (Pasal 6), kesamaan di badan-badan pengadilan
4
5 6
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 258. Ibid. Ibid.
3
Representasi Perempuan dalam Politik
(Pasal 14), kebebasan mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain (Pasal 19). Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Politik juga menyatakan hal yang sama dalam Pasal 3. Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Politik telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Deklarasi Wina (Vienna Declaration and Programme of Action) Tahun 1993 juga mendukung pemberdayaan perempuan. Deklarasi Wina merupakan hasil kompromi antara negara barat dan negara-negara dunia ketiga yang menegaskan kembali konsep-konsep universal (universal), tidak terpisah satu hak dari hak lainnya (indivisible), saling tergantung (interdependent), saling berhubungan (inter-related), tidak berpihak (non-selectivity) dan mempertahankan objektivitas (objectivity).7 Pasal 1/18 Deklarasi Wina menyatakan secara tegas bahwa “hak asasi perempuan serta anak adalah bagian integral dari hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable), integral, dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).8 Dengan meratifikasi beberapa konvensi dan kovenan tersebut, berarti Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menjalankan setiap bagian dan pasal dari konvensi dan karena itu secara maksimal, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik. Akan tetapi, realitas politik yang ada saat ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi politik perempuan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan laki-laki, tidak terkecuali partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif. Pentingnya peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan juga dapat dilihat dari kesepakatan internasional dalam bentuk Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing atau Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA) yang merupakan hasil Konperensi Perempuan se-Dunia ke IV yang diselenggarakan di Beijing pada tahun 1995. BPFA merupakan landasan operasional yang disepakati bagi pelaksanaan Konvensi Perempuan yang bertema kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian (equality, development, and peace). BPFA mengidentifikasi 12 bidang kritis beserta tujuan-tujuan strategis bagi setiap bidang yang meliputi: 1. perempuan dan kemiskinan; 2. pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; 3. perempuan dan kesehatan; 4. kekerasan terhadap perempuan; 5. perempuan dan konflik bersenjata; 6. perempuan dan ekonomi;
7 8
Ibid., hlm. 244-245. Ibid., hlm. 259.
4
Representasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif
7. perempuan dan pengambilan keputusan; 8. mekanisme institusional bagi kemajuan perempuan; 9. hak asasi perempuan; 10. perempuan dan media; 11. perempuan dan lingkungan; dan 12. anak perempuan.
Indonesia bersama 188 negara lainnya telah menyepakati BPFA ini. Terkait bidang kritis nomor 7 (perempuan dan pengambilan keputusan), terdapat 2 poin yang perlu diperhatikan oleh Indonesia dan negara-negara lain peserta konperensi, yaitu:9 1. mengambil langkah-langkah untuk menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambil keputusan; 2. meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan.
Selain itu, komitmen untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender, termasuk dalam bidang politik dan pengambilan keputusan juga tercantum dalam Tujuan Pembangunan Abad Milenium/Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan oleh PBB dalam Millenium Summit yang diselenggarakan pada bulan September 2000. MDGs berisi 8 tujuan dan 17 target yang harus dicapai oleh 191 negara anggota PBB pada tahun 2015. Ke delapan tujuan tersebut adalah: 1. meniadakan kemiskinan dan kelaparan ekstrim; 2. mencapai pendidikan dasar secara universal; 3. meningkatkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; 4. mengurangi tingkat kematian anak; 5. memperbaiki kesehatan ibu; 6. memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya; 7. menjamin kelestarian lingkungan hidup; dan 8. membentuk sebuah kerja sama global untuk pembangunan. Peningkatan peran perempuan dalam bidang politik dan pengambilan keputusan merupakan salah satu indikator dalam target ketiga MDGs. Walaupun secara normatif UUD 1945 telah menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara, baik perempuan maupun laki-laki dan Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi dan kovenan, yang kemudian diperkuat dengan BPFA dan MDGs, namun sampai saat ini perempuan masih mengalami diskriminasi hampir di segala bidang kehidupan. Akibat “Mengertikah Anda? Begitu Banyak Peluang bagi Perempuan dalam Menyelenggarakan NKRI.” Leaflet Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, tanpa tahun.
9
5
Representasi Perempuan dalam Politik
perlakuan yang diskriminatif, perempuan belum memperoleh manfaat yang optimal dalam menikmati hasil pembangunan. Perempuan sebagai bagian dari proses pembangunan nasional, yaitu sebagai pelaku sekaligus pemanfaat hasil pembangunan, masih belum dapat memperoleh akses, berpartisipasi, dan memperoleh manfaat yang setara dengan laki-laki, terutama dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan pembangunan di semua bidang dan semua tingkatan. Demikian pula dengan partisipasi perempuan dalam bidang politik dan pengambilan keputusan. B. Partisipasi Politik Perempuan: Mengapa Perlu? Beberapa definisi mengenai partisipasi politik menekankan bahwa unsur utama dalam partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Hal itu antara lain terlihat dalam definisi partisipasi politik yang diberikan oleh Surbakti yang mengartikan partisipasi politik sebagai “….keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.”10 Sementara itu, Suyanto mengatakan bahwa “…….partisipasi politik dalam pengertian umum adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik.”11 Suyanto mencontohkan masuknya seseorang dalam suatu partai atau keikutsertaan dalam pemilihan umum sebagai partisipasi politik. Sedangkan Herbert McClosky menambahkan adanya sifat sukarela dalam kegiatan yang menjadi unsur partisipasi politik, yang dapat dilihat dari definisi berikut: “partisipasi adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum”.12 Secara lebih luas, Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson melihat adanya tujuan tertentu dari kegiatan ini, yaitu mempengaruhi pengambilan keputusan, sehingga mereka mendefinisikan partisipasi politik sebagai “kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.”13 Dan bila melihat cara-cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut,
10 11
12
13
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1992, hlm. 140. Isbodroini Suyanto, Peranan Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik Perempuan, dalam Ihromi, TO (eds). Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 491. Isbodroini Suyanto, Ibid., Lihat juga Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 367. Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 4. Lihat juga Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 368.
6
Representasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif
partisipasi dapat dilakukan secara spontan, berkesinambungan maupun sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, serta efektif atau tidak efektif.14 Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang sebagai warga negara untuk turut serta secara aktif dan sukarela dalam proses pembentukan kebijakan dengan tujuan mempengaruhi keputusan pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana keputusan politik. Namun demikian tidak semua kegiatan dapat diartikan sebagai partisipasi politik. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga suatu kegiatan dapat disebut sebagai partisipasi politik, yaitu:15 1. Merupakan kegiatan atau perilaku yang dapat diamati, bukan perilaku yang berupa sikap dan orientasi; 2. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana keputusan politik, tanpa memperhitungkan apakah kegiatan tersebut benar-benar efektif atau tidak; 3. Kegiatan tersebut tidak hanya kegiatan yang oleh pelakunya dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah (partisipasi otonom) melainkan juga kegiatan yang oleh orang lain di luar pelaku dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah (partisipasi yang dimobilisasikan); 4. Kegiatan tersebut dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (melalui perantara), melalui prosedur yang wajar (konvensional) dan tidak berupa kekerasan (non-violence) maupun dengan cara-cara di luar prosedur yang wajar (non konvensional) dan berupa kekerasan (violence).
Sebagaimana halnya laki-laki, sebagai bagian dari warga negara, perempuan juga perlu terlibat dalam politik. Mengapa? Karena perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri.16 Kebutuhan ini antara lain kebutuhankebutuhan yang terkait dengan isu-isu kesehatan reproduksi, seperti akses terhadap informasi kesehatan reproduksi dan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, terutama ketika seorang perempuan hamil dan melahirkan. Contoh lainnya, akibat perbedaan organ reproduksi, perempuan juga mengalami menstruasi, suatu hal yang tidak dialami oleh laki-laki, sehingga perempuan juga memiliki kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki berkaitan dengan organ reproduksinya tersebut. 16
14 15
Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson, ibid. Ibid, hlm. 6-9. Lihat juga Ramlan Surbakti, op.cit., hlm. 141-142. Modul Perempuan untuk Politik, Sebuah Panduan tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik, M,B. Wijaksana (ed.), Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004, hlm. 3.
7
Representasi Perempuan dalam Politik
Adanya pemahaman yang cukup mengenai perbedaan kebutuhan perempuan dengan laki-laki akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan berikut hasilnya, yang akan membawa dampak yang signifikan bagi perempuan. Sebuah contoh sederhana, dalam penanganan suatu bencana alam, adanya pemahaman bahwa perempuan mengalami menstruasi akan menambah komponen bantuan yang wajib diberikan kepada korban bencana alam. Bantuan tersebut tidak hanya berupa makanan, air bersih, dan pakaian, tetapi juga pembalut untuk perempuan. Meskipun tidak berkaitan secara langsung, minimnya jumlah perempuan yang duduk di lembaga-lembaga pengambil keputusan pada gilirannya juga akan mempengaruhi setiap proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh lembaga tersebut berikut hasilnya. Secara tidak langsung, perempuan telah dirugikan dengan kondisi ini. Terlebih lagi, perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang berbeda dengan laki-laki, sehingga keterlibatan perempuan dalam lembaga-lembaga politik dengan jumlah yang memadai diharapkan dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan perempuan. Di tingkat daerah, representasi perempuan yang rendah dalam lembaga pembuatan kebijakan di tingkat lokal ditambah dengan ketiadaan perspektif gender dalam kebijakan tersebut telah menimbulkan konsekuensi yang merugikan masyarakat, khususnya kaum perempuan.17 Hal ini antara lain dapat dilihat dari banyaknya peraturan daerah (perda) atau peraturan lainnya di tingkat daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, seperti Perda yang mengatur tentang Syariat Islam, Perda tentang Anti Pelacuran atau Perbuatan Maksiat, Perda tentang Larangan untuk Keluar Malam bagi Perempuan, Perda tentang Kewajiban untuk Berbusana Muslim, dan berbagai aturan lainnya yang berdampak pada diskriminasi terhadap perempuan.18 Beberapa contoh yang dapat disebut antara lain Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran,19 Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 16 Tahun 2005 tentang Busana Muslim,20 dan Instruksi Walikota Padang Nomor 451.442 Tahun 2005 tentang Busana Muslim.21
17 18
19
20 21
Ani W. Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005, hlm. 244. Sali Susiana, Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2011, hlm. 1-2. Ibid., hlm. 8. Lihat juga, Sali Susiana, “Perda tentang Antipelacuran dan Hak Perempuan (Kajian tentang Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran: Perspektif Feminis Radikal)”, Majalah Ilmiah KAJIAN Vol. 11, No. 2 Juni 2006. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, hlm. 95. Sali Susiana, Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan, op.cit., hlm. 6. Ibid., hlm. 7.
8
Representasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, kebijakan daerah yang diskriminatif terus meningkat jumlahnya. Hingga tanggal 18 Agustus 2013, terdapat 342 kebijakan diskriminatif, atau meningkat dua kali lipat dari tahun 2009 sebanyak 154 perda.22 Perda diskriminatif ini tersebar di lebih dari 100 kabupaten /kota di 25 provinsi.23 Sebanyak 265 dari 342 kebijakan diskriminatif tersebut (77,5%) secara langsung menyasar perempuan atas nama agama dan moralitas.24 Termasuk dalam 265 kebijakan itu adalah 79 kebijakan yang mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas.25 Ada pula 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik lakilaki dan perempuan atas alasan moralitas (19 di antaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum) dan 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan bermobilitas, pilihan pekerjaan, serta perlindungan dan kepastian hukum.26 Meskipun tidak ada jaminan bahwa semakin banyak perempuan duduk di lembaga pengambil kebijakan, termasuk di tingkat lokal maka kebijakan tersebut secara otomatis akan berperspektif gender, namun setidaknya keberadaan perempuan di lembaga kebijakan tersebut akan dapat mewarnai proses perumusan kebijakan, mengingat pengalaman perempuan berbeda dengan laki-laki dan perempuan sendiri yang paling mengerti apa yang paling mereka butuhkan. Dalam konteks ini, keberadaan perempuan di lembagalembaga politik diharapkan dapat menyuarakan kepentingan dan kebutuhan kaum mereka sendiri, yaitu kaum perempuan.
22
23
24
25 26
Siaran Pers Komnas Perempuan: Kebijakan Diskriminatif yang Bertentangan dengan Konstitusi tanggal 22 August 2013, http://www.komnasperempuan.or.id/2013/08/siaranpers-komnas-perempuan-kebijakan-diskriminatif-yang-bertentangan-dengan-konstitusi/, diakses tanggal 23 Oktober 2013. “Kemajuan Semu Perempuan Indonesia”, Kompas 11 Maret 2011. Siaran Pers Komnas Perempuan: Kebijakan Diskriminatif yang Bertentangan dengan Konstitusi tanggal 22 August 2013, op.cit. Ibid. Ibid.
9
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DAN AFFIRMATIVE ACTION
Dalam bab sebelumnya telah diuraikan bahwa partisipasi politik perempuan yang dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan konvensi internasional sangat diperlukan karena hanya perempuan sendiri yang paling mengerti kebutuhannya dan perempuan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda dengan kebutuhan laki-laki. Walaupun demikian, tidak serta merta perempuan dapat melenggang bebas masuk ke dunia politik. Banyak sekali hambatan yang harus dihadapi oleh perempuan yang akan memasuki dunia politik maupun perempuan yang sudah terjun ke dunia tersebut. Hambatan tersebut dapat bersifat struktural maupun kultural, dan dapat berasal dari dalam diri perempuan sendiri maupun dari luar dirinya. Bab ini akan membahas mengenai berbagai hambatan yang dihadapi oleh perempuan untuk berpolitik dan affirmative action sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan. Namun demikian, sebelumnya akan digambarkan secara sekilas bagaimana partisipasi politik perempuan dalam lembaga legislatif di Indonesia. A. Partisipasi Politik Perempuan dalam Lembaga Legislatif Partisipasi perempuan dalam kegiatan politik di Indonesia secara umum dapat dilihat dari dua indikator. Pertama, keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif (DPR dan DPRD). Dan kedua, kehadiran perempuan sebagai pengambil keputusan (decision maker) dalam lembaga eksekutif, baik dalam struktur pemerintahan (mulai pemerintahan pusat sampai dengan pemerintahan daerah) maupun dalam jabatan Eselon I sampai dengan Eselon III dalam kementerian/ lembaga. Uraian selanjutnya hanya akan difokuskan pada indikator yang pertama, yaitu keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif. Lembaga legislatif di Indonesia menurut Miriam Budiardjo telah ada sejak masa pra-kemerdekaan, dengan dibentuknya Volksraad pada tahun 1918.1 Namun demikian, partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif baru dimulai pada tahun 50-an. Untuk memudahkan melihat tingkat partisipasi
1
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 329.
11
Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action
perempuan dalam lembaga legislatif, penulis membaginya menjadi dua periode besar, yaitu sebelum era reformasi dan setelah era reformasi. Partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif sebelum era reformasi meliputi: 1. masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama: 1955-1959) 2. pemerintahan Presiden Soeharto atau lebih dikenal dengan masa Orde Baru (1971-1998).
Sedangkan partisipasi setelah era reformasi dimulai pada tahun 1998 bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto.
1. Partisipasi Politik Perempuan dalam Lembaga Legislatif Sebelum Era Reformasi Selama masa pra-kemerdekaan hingga sebelum era reformasi, lembaga legislatif yang ada di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu:2 1. Volksraad (1918-1942); 2. Komite Nasional Indonesia (1945-1949); 3. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950); 4. DPR Sementara (1950-1956); 5. a. DPR hasil Pemilihan Umum 1955 (1956-1959) b. DPR Peralihan (1959-1960) 6. DPR Gotong Royong-Demokrasi Terpimpin (1960-1966); 7. DPR Gotong Royong-Demokrasi Pancasila (1966-1971); 8. DPR hasil Pemilihan Umum 1971; 9. DPR hasil Pemilihan Umum 1977; 10. DPR hasil Pemilihan Umum 1982; 11. DPR hasil Pemilihan Umum 1987; 12. DPR hasil Pemilihan Umum 1992; 13. DPR hasil Pemilihan Umum 1997; 14. DPR hasil Pemilihan Umum 1999; 15. DPR hasil Pemilihan Umum 2004. Dari periodisasi tersebut tampak bahwa embrio atau cikal bakal lembaga legislatif sudah terbentuk jauh sebelum masa kemerdekaan. Akan tetapi partisipasi perempuan Indonesia dalam lembaga legislatif baru dimulai pada tahun 50-an. Pada saat itu, perempuan yang berhasil menduduki kursi di DPR periode tahun 1955-1956 baru berjumlah 17 orang atau 6,3% dari total 289 orang Anggota DPR. Jumlah ini secara kuantitas meningkat menjadi 25 orang pada periode berikutnya, yaitu pada masa Konstituante (1956-1959), tetapi sebenarnya persentasenya lebih kecil dibanding dengan periode sebelumnya (5,1%), mengingat pada masa ini jumlah total Anggota DPR meningkat hampir dua kali lipat menjadi 513 orang.
2
Ibid., hlm. 329-330.
12
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Persentase perempuan di lembaga legislatif baru meningkat kembali pada tahun 1971, di mana jumlah perempuan yang menjadi Anggota DPR tercatat 31 orang atau 6,7% dari total Anggota DPR secara keseluruhan yang berjumlah 496 orang. Pada masa Orde Baru ini, keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif terus menunjukkan adanya peningkatan, meskipun relatif lambat. Pada tahun 1987, jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif meningkat hampir dua kali lipat menjadi 59 orang (11,8%). Bahkan, pada periode 1987-1992, jumlah perempuan yang menjadi Anggota DPR mencapai 150 orang (15%).3 Jumlah ini kembali menurun menjadi 62 orang (12,5%) pada Pemilu 1992. Dan pada pemilu berikutnya (1997), jumlah ini menurun lagi menjadi 54 orang (10,8%). Persentase perempuan yang duduk di lembaga legislatif secara lebih lengkap dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Jumlah Perempuan di DPR Tahun 1955-1999 Jumlah Anggota Laki-laki (%)
Jumlah Anggota Perempuan (%)
1955-1956
272 (93,7)
17 (6,3)
1977-1982
460 (93,7)
29 (6,3)
Periode
Konstituante (1956-1959) 1971-1977 1982-1987 1987-1992 1992-1997 1997-1999
488 (94,9) 460 (92,2) 460 (91,5) 500 (87)
500 (87,5) 500 (89,2)
25 (5,1) 36 (7,8) 39 (8,5) 65 (13)
62 (12,5) 54 (10,8)
Sumber: Ani W. Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005, hlm. 239, diolah.
Dari Tabel 1 tersebut terlihat bahwa meskipun partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif sudah dimulai sejak pertengahan tahun 50-an, namun hingga lebih dari 40 tahun kemudian persentase perempuan yang menduduki kursi di lembaga tersebut tidak pernah lebih dari 13%. Bahkan persentase terendah terjadi pada masa Konstituante, yaitu hanya 5,1%. Bagaimana dengan partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif pasca-Orde Baru?
2. Partisipasi Politik Perempuan dalam Lembaga Legislatif pada Era Reformasi Pada era Reformasi, yang diawali dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, jumlah perempuan yang menduduki lembaga legislatif mengalami pasang surut. Pada awal reformasi hingga saat ini telah
3
Lihat Pengantar yang disampaikan oleh Mely G. Tan dalam Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. xiii-xiv.
13
Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action
dilaksanakan tiga kali pemilihan umum. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 yang merupakan pemilu pertama kali yang diselenggarakan pada masa reformasi menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi di DPR menurun menjadi 45 orang atau hanya sebesar 9% dari total Anggota DPR secara keseluruhan yang berjumlah 500 orang. Pada periode sebelumnya (1997-1999) jumlah perempuan yang duduk di kursi legislatif sedikit lebih banyak, yaitu 54 orang atau 10,8%. Namun demikian, pada pemilihan umum (pemilu) berikutnya, yaitu Pemilu Tahun 2004, jumlah ini meningkat menjadi 61 orang (11,09%). Demikian pula dengan hasil Pemilu Tahun 2009, di mana persentase tersebut mencapai 17,9% (101 orang dari total 560 orang Anggota DPR). Persentase perempuan dalam tiga pemilu pada era reformasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Pemilu 1999 2004 2009
Tabel 2 Jumlah Perempuan di DPR Hasil Pemilu 1999-2009 Total Anggota DPR
Jumlah Anggota Perempuan
500 orang
45 orang
550 orang
61 orang
560 orang
101 orang
% 9,00
11,09 17,86
Sumber: Kemitraan, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, Penguatan Kebijakan Afirmasi, Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011.
Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa meskipun pada pemilu yang diselenggarakan pada awal reformasi kursi di DPR yang berhasil diduduki oleh perempuan lebih sedikit dibanding sebelumnya, tetapi pada dua pemilu berikutnya jumlah perempuan yang menduduki kursi di lembaga legislatif terus menunjukkan peningkatan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah peningkatan tersebut merupakan salah satu dampak dari perubahan konstelasi politik pada masa reformasi yang relatif lebih terbuka dan dinamis ataukah ada faktor lain yang mempengaruhi persentase perempuan di DPR? Misalnya, adanya tuntutan yang deras dari berbagai kalangan, terutama para aktivis perempuan agar keterwakilan perempuan di lembaga legislatif ditingkatkan. B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Perempuan Meskipun tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif selama era reformasi menunjukkan adanya peningkatan dari pemilu ke pemilu, namun persentasenya belum mencapai 30% sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tidak terlepas dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan di lembaga politik, tidak termasuk di dalamnya lembaga legislatif. 14
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Center for Asia-Pasific Women in Politics mencatat adanya dua faktor utama yang menghambat partisipasi politik perempuan, yaitu:4 1. pengaruh dari masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-laki dan perempuan yang tradisional yang membatasi atau menghambat partisipasi perempuan di bidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan atau keputusan; dan 2. kendala-kendala kelembagaan (institusional) yang masih kuat atas akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar di berbagai kelembagaan sosial-politik, antara lain tipe sistem pemilihan umum (pemilu). Nadezhda Shvedova mengategorikan masalah atau kendala yang dihadapi perempuan yang memasuki kehidupan politik di parlemen menjadi 3 jenis, yaitu kendala politik, kendala sosio-ekonomi, dan kendala psikologi atau sosio-kultural.5 Kendala politik yang utama yang dihadapi perempuan adalah:6 1. kelaziman “model maskulin” mengenai kehidupan politik dan badanbadan pemerintahan hasil pemilihan; 2. kurangnya dukungan partai, seperti terbatasnya dukungan dana bagi kandidat perempuan, terbatasnya akses untuk jaringan politik, dan meratanya standar ganda; 3. kurangnya hubungan dan kerja sama dengan organisasi publik lainnya seperti serikat dagang (buruh) dan kelompok-kelompok perempuan; 4. tiadanya sistem pelatihan dan pendidikan yang berkembang, baik bagi kepemimpinan perempuan pada umumnya maupun bagi orientasi perempuan muda pada kehidupan politik pada khususnya; 5. hakekat sistem pemilihan, yang mungkin atau tidak mungkin menjadi menguntungkan bagi kandidat perempuan. Kendala-kendala sosio-ekonomi yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam parlemen yaitu:7 1. kemiskinan dan pengangguran; 2. lemahnya sumber-sumber keuangan yang memadai; 3. buta huruf dan terbatasnya akses pendidikan dan pilihan profesi; 4. beban ganda mengenai tugas-tugas rumah tangga dan kewajiban profesional.
4
5
6 7
Pengantar buku Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktorfaktor yang Mempengaruhinya, IFES, tanpa tahun, hal. i. Nadezhda Shvedova, “Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan di Parlemen” dalam Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, op.cit., hlm. 17. Ibid., hlm. 20. Ibid., hlm. 26.
15
Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action
Adapun kendala-kendala ideologis dan psikologis perempuan yang memasuki parlemen mencakup:8 1. ideologi gender dan pola-pola kultural maupun peran sosial yang ditetapkan sebelumnya yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki; 2. kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk mencalonkan diri; 3. persepsi perempuan tentang politik sebagai permainan “kotor”; 4. kehidupan perempuan yang digambarkan dalam media massa.
Secara lebih khusus, hasil survei yang telah dilakukan oleh InterParliamentary Union antara tahun 2006-2008 terhadap 272 anggota parlemen dari 110 negara anggota Inter-Parliamentary Union (40% di antaranya laki-laki) dan dipublikasikan tahun 2008 menunjukkan adanya 3 hal yang mempengaruhi masuknya responden ke dunia politik, yaitu:9 1. konteks sosio-kultural (the socio-cultural context); 2. hambatan keuangan (financial constraints); dan 3. sistem pemilihan dan partai politik (electoral systems and political parties). Secara umum, hambatan yang dihadapi perempuan dalam politik antara lain:10 1. Perempuan kalah start dalam politik dibandingkan dengan laki-laki; 2. Beban yang berlapis yang dihadapi perempuan (privat, publik, dan komunitas); 3. Kemampuan ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki; 4. Pendidikan politik yang lebih rendah dibanding laki-laki; 5. Label nilai patriarki melalui budaya dan agama terhadap perempuan.
Di Indonesia, beberapa faktor yang menghambat keterwakilan perempuan di lembaga pengambil keputusan antara lain:11 1. kurangnya kehendak politik (political will); 2. kurangnya critical mass (massa kritis) perempuan di dunia politik; 3. keberadaan dan kuatnya “jaringan laki-laki” (all boys club); 4. akses yang berbeda terhadap sumber-sumber politik; 5. sistem pemilu; 6. ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat (stereotype, kekerasan, marginalisasi, beban ganda, dan subordinasi);
8 9
10
11
Ibid., hlm. 29. Inter-Parliamentary Union, Equality in Politics: a Survey of Women and Men in Parliaments, Reports and Documents No. 54, 2008. Pemilu 2009: Suara Terbanyak vs Nomor Urut (Studi atas Pemilu Legislatif 2009 di Indonesia), Women Research Institute, 12 Maret 2010. Mengapa Perempuan Perlu di Lembaga Pengambil Keputusan, Buklet Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2006.
16
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
7. kurang dibukanya katup intelektualitas bagi individual perempuan yang berpotensi meraih dukungan massa dan berpotensi mengikuti rekrutmen di dunia politik, sehingga masih ada diskriminasi bagi perempuan untuk memasuki dunia politik, termasuk lembaga legislatif; 8. kurangnya percaya diri perempuan untuk memasuki wilayah atau arena politik, terlebih untuk bersaing dengan laki-laki; 9. lemahnya dukungan, baik secara internal maupun eksternal dalam mendukung perempuan di bidang politik, termasuk lemahnya dukungan media massa terhadap penyebarluasan potensi dan kontribusi yang dapat diberikan oleh perempuan di bidang politik.
Menurut Marwah Daud Ibrahim, terdapat beberapa hambatan mendasar yang menjadi faktor penghalang bagi perempuan untuk tampil di barisan depan berbagai bidang, tidak terkecuali dalam bidang politik. Hambatan tersebut secara tidak langsung telah dipolakan oleh struktur sosial pada sementara lapisan budaya masyarakat tertentu.12 Hambatan yang pertama menyangkut masalah fisik perempuan itu sendiri. Perempuan dibebani dengan kodrat mengandung, melahirkan, dan menyusui. Keharusan ini mau tidak mau telah mengurangi keleluasaan mereka untuk aktif terus menerus dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, hambatan teologis. Untuk waktu yang lama, perempuan dipandang sebagai makhluk yang diciptakan untuk lelaki, termasuk mendampingi, menghibur, dan mengurus keperluannya. Anggapan ini bersumber dari cerita teologis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki. Cerita ini telah jauh merasuk ke dalam benak masyarakat, dan secara psikologis menjadi salah satu faktor penghambat perempuan untuk mengambil peran yang lebih “berarti”. Ketiga, hambatan sosial budaya, terutama dalam bentuk stereotype. Pandangan ini melihat perempuan sebagai makhluk yang pasif, lemah, perasa, tergantung, dan menerima keadaan. Sebaliknya, laki-laki dinilai sebagai makhluk aktif, kuat, cerdas, mandiri, dan sebagainya. Pandangan ini secara sosio-kultural menempatkan laki-laki lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan. Keempat, hambatan sikap pandang. Hambatan ini antara lain dapat dimunculkan oleh pandangan dikotomis antara tugas perempuan dan laki-laki. Perempuan dinilai sebagai “makhluk rumah”, sedangkan lakilaki dilihat sebagai “makhluk luar rumah”. Pandangan dikotomis seperti ini kemungkinan besar telah membuat perempuan merasa enggan ke luar rumah, dan memunculkan pandangan bahwa tugas-tugas kerumahtanggaan
12
Marwah Daud Ibrahim, Perempuan Indonesia: Pemimpin Masa Depan Mengapa Tidak? Dalam Mely G. Tan, Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan (ed), op.cit., hlm. 16.
17
Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action
tidak layak digeluti oleh laki-laki. Dan kelima, hambatan hsitoris. Kurangnya nama perempuan dalam sejarah di masa lalu juga dapat digunakan untuk membenarkan ketidakmampuan perempuan untuk berkiprah sebagaimana halnya laki-laki Menurut penulis, kelima hambatan tersebut seringkali bersifat overlap (tumpang tindih), misalnya antara hambatan teologis dan hambatan sosial budaya. Misalnya, dalam ajaran agama Islam, pada prinsipnya tidak membedabedakan kualitas dan kemampuan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi dalam praktik, masih terdapat resistensi dari beberapa kelompok tertentu bila perempuan maju menjadi pemimpin, tidak terkecuali pemimpin negara. Hal ini misalnya terlihat dari betapa kerasnya penolakan berbagai kalangan terhadap wacana presiden perempuan sebelum Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai Pesiden Republik Indonesia. Keunggulan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin oleh Megawati Soekarno Putri pada Pemilu 1999 tidak secara otomatis membuat putri Presiden pertama Republik Indonesia ini melangkah tanpa hambatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Berbagai kekuatan politik dan beberapa tokoh nasional secara tegas menolak pencalonan tersebut.13 Salah satu parpol bahkan merasa perlu untuk mengeluarkan fatwa terkait pencalonan ini.14 Penolakan tersebut jelas tidak beralasan. Sebagaimana dinyatakan oleh Ratna Batara Munti bahwa Islam tidak membeda-bedakan kualitas dan kemampuan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Hal ini tercermin dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 71. Persamaan perlakuan ini sama halnya dengan kesempatan untuk mencapai tingkat spiritual seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 35 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa perempuan memiliki kesempatan mencapai tingkat kebaikan yang sama dengan laki-laki, sehingga Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.15 Terkait dengan keberadaan perempuan di parlemen, menurut Myra Diarsi, peran perempuan dalam lembaga legislatif dapat dianalogikan ke dalam tiga jenis.16 Pertama, peran politik perempuan Anggota DPR yang merupakan perpanjangan dari keadaan tradisional yang selama ini telah
13
14 15
16
Lebih lanjut baca Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005, hlm. 16-19. Ibid., hlm. 16. Maulana Muhammad Ali sebagaimana dikutip oleh Ratna Batara Munti, Benarkah Islam Melarang Perempuan Menjadi Imam bagi Laki-laki? Buklet Islam Seri 3. KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara), 2011 hlm. 7. Media Indonesia, 26 September 1996.
18
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
dipertahankan. Artinya, masuknya perempuan dalam bidang politik karena adanya relasi kekerabatan. Kedua, peran politik perempuan Anggota DPR pada batas-batas moral force saja. Perempuan di parlemen hanya sebagai problem solving dari permasalahan yang telah ada. Ketimpangan ini terlihat daria sikap yang selalu setuju terhadap berbagai kebijakan politik yang telah diputuskan. Perempuan anggota parlemen di banyak negara berkembang berada pada tingkat ini. Dan ketiga, yang merupakan tingkatan ideal, peran politik perempuan anggota DPR yang lebih nyata karena didukung oleh latar belakang pendidikan politik yang memadai. Tingkat inilah yang sebenarnya harus dicapai agar pemberdayaan perempuan menjadi lebih optimal.
C. Affirmative Action: Sejarah dan Penerapannya di Beberapa Negara Istilah affirmative action (aksi afirmatif) pertama kali digunakan dalam konteks diskriminasi rasial oleh Presiden Amerika John F. Kennedy dalam Perintah Eksekutif No. 10,925 pada tahun 1961.17 Pada saat itu Kennedy menginstruksikan para kontraktor federal untuk mengambil “aksi afirmatif” untuk menjamin agar para pelamar dan pekerja diperlakukan (sama) tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau asal kebangsaan.18 Dengan demikian pada awalnya affirmative action dirancang sebagai respons atas ketimpangan kondisi ekonomi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Affirmative action dimaksudkan untuk meningkatkan kondisi dan posisi ekonomi perempuan atau ras tertentu di Amerika Serikat sebagai upaya perlawanan atas pemisahan dan diskriminasi terhadap mereka.19 Tindakan affirmative action memberikan perlakuan khusus kepada kelompok yang dianggap kurang beruntung di mana perlakuan tersebut bersifat sementara, hingga kelompok tersebut dianggap sudah memiliki posisi dan kesempatan setara dengan kelompok lain atau kelompok sosial minoritas yang dilindungi telah terintegrasi.20 Salah satu contoh affirmative action adalah Rancangan Undang-Undang Hak Sipil Tahun 1964 di Amerika Serikat yang kemudian diamandemen dan disahkan pada bulan Februari 1964 oleh Presiden Amerika Serikat Lyndon B.
17
18 19
20
Sandra Kartika (ed.). Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan: Panduan bagi Jurnalis, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 1999, hlm. 4. Ibid. Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, hlm. 143. Ibid.
19
Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action
Johnson.21 Selain melarang diskriminasi berbasis ras, warna kulit, agama, dan asal-usul kebangsaan, undang-undang tersebut juga telah mengintegrasikan pelarangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.22 Pada perkembangan selanjutnya, affirmative action mengacu pada berbagai aktivitas, seperti monitoring terhadap pembuat keputusan di tingkat yang lebih rendah untuk memastikan keadilan dalam keputusan mempekerjakan dan mempromosikan pegawai, dan menyebarluaskan informasi mengenai peluang kerja atau kesempatan-kesempatan lainnya.23 Affirmative action sebagai sebuah strategi untuk memberikan perlakuan khusus kepada kelompok tertentu juga kemudian juga diadopsi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam dunia politik, sebuah dunia yang pada awalnya dianggap sebagai dunia yang berwajah maskulin. Keterwakilan politik perempuan tersebut sangat berarti karena beberapa argumen.24 Pertama, dari segi demokrasi, jumlah perempuan lebih dari setengah jumlah total penduduk. Oleh karena itu merupakan bangunan teoritis yang wajar bila wakil rakyat merefleksikan konstituennya. Kedua, dari segi kesetaraan, keterwakilan dari perempuan untuk perempuan, sama halnya dengan tuntutan atas keterwakilan dari rakyat untuk rakyat. Ketiga, dari segi penggunaan sumber daya, hal itu merupakan penggunaan kemampuan intelektual perempuan. Dan keempat, dari segi keterwakilan, banyak penelitian empiris yang menunjukkan bahwa bila perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, maka kepentingan mereka tidak dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Pengaruh perempuan yang berarti dalam politik sangat penting, mengingat sampai saat ini posisi dan kondisi antara laki-laki dan perempuan di berbagai belahan dunia masih menunjukkan adanya kesenjangan atau ketimpangan gender (gender gap). Ketimpangan antara perempuan dan laki-laki ini dapat dilihat antara lain melalui Indeks Ketimpangan Gender (Gender Inequality Index). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) adalah indeks yang mencerminkan ketimpangan perempuan yang dilihat dari tiga dimensi, yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja.25 Indeks yang terbentuk menunjukkan kehilangan dalam pembangunan manusia yang 23 24 21 22
25
Ibid. Ibid. Sandra Kartika (ed.)., op.cit., hlm. 4. lihat pengantar buku Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktik Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IFES, tanpa tahun, hal. i. Indeks Ketimpangan Gender: Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012. Kerja Sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik, halaman 13.
20
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
diakibatkan oleh adanya perbedaan gender. Nilai berkisar antara 0 hingga 1. Nilai 0 menunjukkan perempuan dan laki-laki kehilangan kesempatan yang sama, sementara nilai 1 menunjukkan bahwa perempuan kehilangan lebih banyak dibanding dengan laki-laki. Salah satu dimensi IKG adalah dimensi pemberdayaan yang dilihat dari dua indikator, yaitu:26 (1) proporsi kursi parlemen yang diduduki oleh lakilaki atau perempuan; dan (2) capaian tingkat pendidikan menengah dan tinggi dari tiap jenis kelamin. Dengan demikian, tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif termasuk ke dalam indikator yang pertama. Rendahnya rasio perempuan terhadap laki-laki di parlemen menjadi salah satu faktor penentu IKG. Di beberapa negara, keterwakilan perempuan pada level pengambil keputusan bahkan merupakan posisi yang kritis bagi terlaksananya demokrasi di suatu negara.27 Di parlemen negara-negara ASEAN, rasio keterwakilan perempuan terhadap laki-laki terlihat berbanding terbalik dengan nilai IKG di negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, Myanmar yang mempunyai rasio keterwakilan perempuan dan laki-laki yang rendah memiliki nilai indeks ketimpangan yang tinggi. Sebaliknya, Singapura yang memiliki rasio keterwakilan perempuan yang tinggi mempunyai nilai indeks ketimpangan yang sangat rendah.28 Seperti halnya di negara-negara ASEAN, sebagian besar tingkat keterwakilan perempuan di negara-negara berkembang lainnya juga relatif masih rendah. Dalam konteks ini, affirmative action dapat dipandang sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di dunia politik, terutama di lembaga legislatif. Pemberlakuan affirmative action di beberapa negara, terutama di Eropa, terbukti telah berhasil meningkatkan persentase perempuan yang duduk di lembaga legislatif. Affirmative action tersebut antara lain dilakukan melalui mekanisme kuota. Kuota adalah penetapan sejumlah tertentu atau persentase dari sebuah badan, kandidat, majelis, komite, atau suatu pemerintahan.29 Kuota untuk perempuan bertujuan agar setidaknya perempuan dapat menjadi “minoritas kritis” (critical minority) yang terdiri dari 30% atau 40%.30 Angka 30% sebagai critical minority ini sesuai dengan Laporan Perkembangan PBB tahun 1995 yang menganalisa gender dan pembangunan di 174 negara yang menyatakan bahwa:
26 27
28 29
30
Ibid, hlm. 14. Sun, dalam Indeks Ketimpangan Gender: Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012, ibid., hlm. 15. Ibid. Modul Perempuan untuk Politik, Sebuah Panduan tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik,M,B. Wijaksana (ed), Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2004, op.cit., hlm. 8. Ibid.
21
Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action
“Meskipun benar tidak ada hubungan nyata yang terbentuk antara tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, 30% keanggotaan dalam lembagalembaga politik dianggap sebagai jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk memberikan pengaruh yang berarti dalam politik.”31
Ide dasar dari kuota adalah memastikan bahwa perempuan akan masuk dan terlibat dalam politik, sekaligus tidak akan menjadi kelompok masyarakat yang mengalami isolasi.32 Penetapan sejumlah tertentu perempuan dalam politik tersebut harus secara nyata dituangkan dalam peraturan perundangundangan.33 Praktik di beberapa negara selama ini kuota ditetapkan dalam konstitusi, undang-undang yang mengatur mengenai pemilu dan partai politik, atau melalui komitmen informal partai politik.34 Secara umum terdapat 3 jenis kuota, yaitu:35 1. Kuota yang diterapkan dalam undang-undang (legislated quota); 2. Kuota yang diberikan khusus bagi perempuan (reserves seats); 3. Kuota Partai (party quota).
Kuota yang diterapkan dalam undang-undang (legislated quota) dilaksanakan oleh partai politik. Beberapa negara telah mengadopsi model kuota ini, antara lain: Perancis, Argentina, Afrika Selatan, dan Namibia.36 Amandemen Konstitusi Perancis tahun 1999 mulai memberlakukan persyaratan bagi partai politik agar mencantumkan 50% nama perempuan dalam daftar caleg yang diajukan dalam pemilu. Di Argentina, peraturan pemilu tahun 1991 di negara itu memperkenalkan kewajiban sistem kuota yang mensyaratkan dicantumkannya 30% kandidat perempuan dan memperhatikan proporsi kemungkinan terpilihnya. Setiap partai yang tidak memenuhi persyaratan ini tidak diperkenankan mengikuti pemilu. Afrika Selatan menerapkan kuota melalui Undang-Undang tentang Struktur Pemerintahan Kota (the Municipal Structures Act) yang menyatakan bahwa partai politik sedapat mungkin harus mencari dan memastikan bahwa 50% calon perempuan akan terdaftar dalam pemilihan tingkat lokal. Sedangkan di Namibia pada tahun 1992 dan 1998 dalam pemilu tingkat lokal diberlakukan affirmative action yang menuntut agar partai politik mencantumkan sekurangkurangnya 30% perempuan dalam daftar kandidat partai. IFES, op.cit., hal. 1. Ibid. 33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid., hlm. 9. 36 Ibid. 31 32
22
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Mekanisme pemberlakuan kuota melalui reserved seats, yaitu memberikan sejumlah kursi kepada perempuan antara lain diterapkan di Tanzania dan India.37 Di Tanzania, 20% kursi pemerintahan di tingkat nasional dan 25% kursi pemerintahan di tingkat lokal secara khusus diperuntukkan bagi perempuan. Sementara itu, 33% jabatan dalam pemerintahan lokal di India dipastikan akan diberikan kepada perempuan. Keberhasilan pemberlakuan kuota di beberapa negara tersebut mengilhami berbagai kalangan di Indonesia, terutama akademisi dan aktivis gerakan perempuan untuk mencoba memasukkan ide kuota dalam undangundang yang berkaitan dengan pemilu. Terdapat tiga hal yang mendasari tindakan affirmative action dengan menggunakan mekanisme kuota sebagai upaya untuk meningkatkan representasi perempuan di lembaga politik di Indonesia.38 Pertama, rendahnya angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, baik di tingkat pusat (DPR RI) maupun DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kedua, transisi demokrasi yang berpeluang menciptakan kesempatan bagi organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan kesadaran politik perempuan. Dan ketiga, buruknya situasi ekonomi pasca-krisis ekonomi tahun 1997 yang berdampak buruk terhadap perempuan dan anak. Upaya untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan melalui affirmative action tersebut sesuai dengan amanat Pasal 28H UUD 1945 ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dalam konteks ini, affirmative action melalui keterwakilan 30% untuk perempuan dapat dianggap sebagai sebuah perlakuan khusus kepada kaum perempuan untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki guna mencapai persamaan dan keadilan di bidang politik. Selain melalui mekanisme kuota, affirmative action yang diterapkan di beberapa negara juga disertai dengan penerapan sistem selang-seling (zipper system). Sistem selang-seling biasanya menempatkan 1 orang kandidat perempuan di antara beberapa orang kandidat laki-laki dalam daftar tertentu, baik dalam partai maupun dalam daftar calon anggota legislatif, sehingga peluang perempuan untuk terpilih lebih besar. Pemberlakuan affirmative action melalui zipper system di beberapa negara tersebut secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut.
37 38
Ibid. Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, ibid., hlm. 144.
23
Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action
No
Tabel 3 Pemberlakuan Affirmative Action di Beberapa Negara
Negara
1.
Rwanda
2.
Swedia
3.
Finlandia
4.
Norwegia
5.
Denmark
6.
7.
8.
Belanda
Argentina
Mozambik
Sistem Elektoral
Representasi proporsional
Tindakan Affirmatif
% Keterwakilan Perempuan (Senat)
Kuota: zipper system UU menjamin 24 kursi untuk Dewan Nasional dan 30% kursi untuk Senat
48,8
Kuota partai: zipper system Partai menjamin 40% dari laki-laki dan perempuan terepresentasi dalam badan-badan pengambilan keputusan
42,0
Partai: zipper system Partai menjamin 40-50% kandidat perempuan
47,3
Kuota partai: zipper system Partai menjamin 40% kandidat perempuan
37,9
Kuota partai: zipper system Partai Buruh menjamin 50% kandidat perempuan dalam daftar partai
36,7
Kuota partai: zipper system Partai menjamin 40% kandidat perempuan
UU Kuota: zipper system Parlemen menjamin 30% kandidat perempuan dalam daftar partai
Kuota partai: zipper system Partai menjamin 30% posisi perempuan dalam daftar partai
24
36,9
35
34,8
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
9.
10.
11.
12.
13.
UU Kuota: zipper system Parlemen menjamin posisi yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam daftar partai
Belgia
Kuota partai: zipper system Partai menjamin 30% kandidat perempuan dalam daftar partai. Partai lokal diminta 50% kandidat perempuan dalam daftar partai meskipun tidak ada sanksi hukum
Afrika Selatan
Kuota partai: zipper system Partai Hijau (50%); Partai Rakyat Austria (33,3%); Partai Sosial Demokrat (40%)
Austria
Kuota partai: zipper system Partai menjamin 40% kandidat perempuan meskipun tidak ada sanksi hukum
Islandia
Jerman
Sistem campuran
Kuota partai: zipper system Partai menjamin 40-50% kandidat perempuan dalam daftar partai
34,7
32,8
32,2
31,7
31,6
Sumber: Women’s Environment and Development Organization, 2007 dalam Aisah Putri Budiarti, Pemilu Tak Ramah Perempuan, makalah dipresentasikan dalam Seminar Representasi Perempuan Indonesia Pasca-Judicial Review UU Pemilu No. 1/2008, diselenggarakan oleh Women Research Institute, 21 Januari 2009.
Dalam perspektif feminisme, affirmative action dalam bentuk kuota dan zipper system tersebut sesuai dengan Pasal 4 Konvensi CEDAW. Pasal ini mewajibkan Negara Peserta untuk melakukan langkah-tindak khusus sementara (temporary special measures) untuk mempercepat persamaan defacto, serta mencapai perlakuan dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki (ayat 1). Kewajiban negara yang terkait dengan hak politik perempuan juga terdapat dalam Rekomendasi Umum Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on the Elimination of Discrimination against Women/CEDAW) No. 23 (Sidang ke-16 Tahun 1997) tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik. Salah satu butir rekomendasi 25
Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action
umum komite ini secara tegas menyebutkan tindakan khusus sementara untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki. Secara lengkap Komite ini memberikan rekomendasi bahwa Negara Peserta wajib: a. Menjamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan negaranya, prinsip-prinsip Konvensi yang berkaitan dengan Pasal 7 dan Pasal 8 Konvensi Perempuan; b. Menjamin bahwa partai politik dan serikat buruh tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan berkaitan dengan Pasal 7 dan Pasal 8 Konvensi Perempuan; c. Melakukan identifikasi dan melaksanakan tindakan khusus sementara untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki; d. Adanya kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menduduki jabatan publik yang didasarkan atas pemilihan (public elected positions). Sistem kuota merupakan salah satu bentuk nyata dari tindakan khusus sementara. Masalah tindakan khusus sementara bahkan diatur secara khusus dalam Rekomendasi Umum Komite No. 25 (Sidang ke-30 Tahun 2004) tentang Tindakan Khusus Sementara. Komite menetapkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan tindakan khusus sementara. Terdapat dua butir rekomendasi yang berkaitan dengan penyusunan undang-undang yang mengatur mengenai keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, yaitu huruf a dan huruf c. Rekomendasi pada huruf a berbunyi: a. Mencantumkan ketentuan dalam konstitusi atau legislasi nasional tentang kemungkinan dilaksanakannya tindakan khusus sementara.
Sedangkan rekomendasi pada huruf c adalah: c. Menegaskan kembali Rekomendasi Umum No. 5 (Sidang ke-7, tahun 1988) tentang Tindakan Khusus Sementara, yang menganjurkan agar negara lebih banyak menggunakan dan melaksanakan tindakan khusus sementara, seperti menentukan sistem kuota, untuk mempercepat pemajuan perempuan di bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan ketenagakerjaan. Berbagai landasan hukum baik nasional maupun internasional yang mendasari affirmative action serta keberhasilan penerapan upaya ini di berbagai negara inilah yang mendorong penerapan upaya serupa di Indonesia yang akan diuraikan pada bab selanjutnya.
26
PEMILU TAHUN 2004: AWAL PENERAPAN KUOTA 30% UNTUK PEREMPUAN
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, sistem pemilu merupakan salah satu faktor yang menghambat partisipasi perempuan di dunia politik. Dengan demikian, sistem pemilu suatu negara berperan penting dalam meningkatkan representasi politik perempuan, khususnya di negaranegara berkembang. Sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, pemilu memang harus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi. Selain sebagai wujud pelaksanaan demokrasi, pemilu menjadi penting bagi perempuan, karena: 1. Pemilu merupakan mekanisme yang dapat mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga pembuat undang-undang (legislatif) dan kebijakan publik; 2. Keterwakilan perempuan pada lembaga-lembaga tersebut penting agar produk legislasi (undang-undang) serta kebijakan publik yang dihasilkan memperhatikan kepentingan perempuan dan tidak diskriminatif terhadap perempuan; 3. Perempuan mempunyai kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri; 4. Perempuan merupakan separuh lebih dari jumlah penduduk yang seharusnya mempunyai peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan masyarakat adil dan demokratis; 5. Sama seperti laki-laki, perempuan mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.
Mengingat pentingnya keberadaan perempuan dalam dunia politik, maka berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan representasi perempuan di lembaga-lembaga politik, termasuk di dalamnya lembaga legislatif. Dan melalui upaya yang tidak kenal lelah dari berbagai kalangan, akhirnya isu tentang kuota dapat diakomodasi dalam undang-undang tentang pemilu. Selain dalam undang-undang pemilu, dalam undang-undang tentang partai politik (parpol) juga dicantumkan ketentuan yang sensitif gender, meskipun 27
Pemilu Tahun 2004
masih bersifat sangat umum, yang dirumuskan dengan kata-kata “dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”. Hal itu terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik yang mengatur tentang fungsi parpol dan Pasal 13 ayat (3) mengenai kepengurusan parpol.
A. Pengaturan tentang Kuota 30% untuk Perempuan dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Pemilihan umum (pemilu) Tahun 2004 yang merupakan pemilu kedua pada era reformasi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik (parpol) peserta pemilu. Di tingkat nasional atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemilu 2004 ini memperebutkan 550 kursi. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), 550 kursi ini diperebutkan oleh 7.756 orang calon anggota legislatif (caleg) yang tersebar di 69 daerah pemilihan (dapil).1 Berbeda dengan undang-undang yang mengatur mengenai pemilu sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum untuk pertama kalinya dicantumkan ketentuan yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan. Dalam undang-undang ini, terdapat satu pasal yang memuat ketentuan mengenai keterwakilan sekurang-kurangnya 30% untuk perempuan dalam pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan. Hal ini diatur dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”
Selain dalam undang-undang tentang pemilu, undang-undang yang mengatur mengenai partai politik (parpol) untuk pertama kalinya juga menyinggung mengenai kesetaraan gender. Hal itu terdapat dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik Pasal 7 huruf e. Pasal ini mengatur mengenai fungsi parpol. Dalam Huruf e pasal ini dinyatakan bahwa rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender. Terlepas dari rumusan mengenai isu gender pada dua pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tersebut,
1
Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar Burung, dalam Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan Maret 2004, hlm. 71.
28
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
masuknya konsep “kesetaraan gender” dan “keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%” merupakan sebuah kemajuan, karena hal tersebut belum pernah diatur sebelumnya. Dari keseluruhan caleg yang berjumlah 7.756 orang yang tersebar di 69 daerah pemilihan, terdapat sekitar 2.507 orang (32,3%) caleg perempuan.2 Perincian mengenai jumlah caleg perempuan yang dicalonkan oleh partai politik (parpol) dalam Pemilu 2004 tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4 Jumlah Caleg Perempuan pada Pemilu 2004
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2
Nama Partai
Jumlah Caleg
Kuota Perempuan Berdasarkan Jumlah Caleg
Caleg lakilaki (%)
Caleg Peremp. (%)
Kuota Perempuan Berdasarkan Daerah Pemilihan
Dapil
Kuota Peremp. di Dapil
%
Partai Nasionalis Ind. Marhaenisme
215
155 (72,1)
60 (27,9)
69
48
69,5
Partai Bulan Bintang
242 336
152 (62,8)
90 (37,2)
69
52
75,3
202
130 (64,3)
72 (35,7)
69
51
73,9
Partai Buruh Sosial Demokrat Partai Merdeka
Partai Persatuan Pembangunan
Partai Demokrasi Kebangsaan Partai Perhimpunan Indonesia Baru
Partai Nasional Banteng Kerakyatan
Partai Demokrat
497
256 (76,2)
80 (23,8)
69
111 (22,3)
244
150 (61,4)
94 (62,6)
69
53
76,8
216
152 (70,4)
64 (29,6)
68
37
54,4
433
316 (72,9)
117 (27,1)
69
31
44,9
150 (67,3)
Ibid.
29
73 (32,7)
69
30
60,8
386 (77,7)
223
69
42
47
43,4 68,1
Pemilu Tahun 2004
No
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama Partai
Jumlah Caleg
Kuota Perempuan Berdasarkan Jumlah Caleg Caleg lakilaki (%)
Caleg Peremp. (%)
Kuota Perempuan Berdasarkan Daerah Pemilihan
Dapil
Kuota Peremp. di Dapil
%
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
259
168 (64,8)
91 (35,2)
69
39
56,5
Partai Amanat Nasional
203 520
125 (61,5)
78 (38,5)
66
53
80,3
414
265 (64,0)
149 (36,0)
69
49
71,0
Partai Nahdlatul Ulama Indonesia Partai Karya Peduli Bangsa Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Keadilan Sejahtera Partai Bintang Reformasi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Damai Sejahtera
Partai Golkar
Partai Patriot Pancasila
Partai Syarikat Islam
Partai Persatuan Daerah Partai Pelopor
338 (65,0)
182 (35,0)
451
281 (62,4)
170 (37,6)
69
45
65,2
446
266 (59,6)
180 (40,4)
69
65
94,2
558
400 (71,6)
185 (28,4)
69
31
44,9
283
196 (69,2)
87 (30,8)
69
48
69,5
173
122 (70,5)
51 (29,5)
69
42
60,8
317
652 261 187 174
217 (68,4)
100 (31,6)
467 (71,6)
185 (28,4)
160 (61,4)
101 (38,6)
121 (69,5)
53 (30,5)
123 (65,7)
64 (34,3)
69
68
69 69 68 65
45
35
24 35 42 26
85,2
51,4
34,7 50,7 61,7 40,0
Sumber: Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar Burung, dalam Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Maret 2004, hlm. 71.
Masuknya pasal yang secara khusus mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 30
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
2003 tidak lepas dari peran pressure group yang secara terus menerus memberikan masukan kepada Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pansus RUU Pemilu) di DPR. Mereka melakukan advokasi, antara lain melalui Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) yang merupakan gabungan aktivis perempuan, Anggota DPR dan caleg dari berbagai parpol, maupun beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM). GPPI mendorong adanya perubahan paket undang-undang bidang politik, terutama undang-undang yang mengatur mengenai parpol dan pemilu, dengan mencantumkan ketentuan yang khusus mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan. Dalam proses pembahasan RUU Pemilu, kelompok perempuan dan aktivis lainnya yang terus mengawal agar substansi tentang affirmative action tersebut dapat masuk ke dalam RUU Pemilu dikenal sebagai “Fraksi Balkon”, karena mereka duduk di balkon, sebuah tempat khusus yang disediakan untuk masyarakat atau kalangan di luar DPR, termasuk dari media agar dapat mengikuti rapat-rapat yang bersifat terbuka. Keberhasilan pencantuman keterwakilan 30% untuk perempuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 juga didukung oleh peran beberapa perempuan Anggota DPR pada waktu itu, antara lain Lena Maryana Mukti dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjadi anggota Pansus RUU Pemilu, serta Aisyah Hamid Baidlowi dari Partai Golongan Karya (Partai Golkar) dan Ida Fauziah dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan para pengurus Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI), sebuah lembaga yang beranggotakan perempuan Anggota DPR dari berbagai fraksi yang ada di DPR pada masa itu.3 Tidak hanya perempuan Anggota DPR, keberhasilan untuk memasukkan pasal yang mengatur mengenai affirmative action tersebut juga melibatkan beberapa Anggota DPR laki-laki yang berasal dari berbagai fraksi, antara lain Ali Masykur Musa dari PKB, Roy B.B. Janis dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), A. Teras Narang dari Fraksi Golkar, dan Lukman Hakim Saefuddin dari Fraksi PPP yang turut membantu melakukan lobi mengenai substansi keterwakilan 30% perempuan ke masing-masing fraksi mereka.4 Dalam proses perumusan pasal yang berkaitan dengan keterwakilan 30% untuk perempuan, Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Reformasi merupakan dua fraksi yang secara resmi mengusulkan agar rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik memperhatikan kesetaraan gender minimal
3
4
Nia Sjarifudin, Peningkatan Keterwakilan Perempuan: Sebuah Keniscayaan untuk Sebuah Perubahan, dalam Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, hlm. 33. Ibid., hlm. 34.
31
Pemilu Tahun 2004
sebesar 30% bagi perempuan.5 Sebaliknya, Fraksi Bulan Bintang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) meminta kata-kata “dengan memperhatikan kesetaraan gender” dihapuskan.6 Dalam perkembangan selanjutnya, data CETRO (Center for Electoral Reform) menunjukkan, tiga partai, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhasil memenuhi angka keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) untuk DPR RI.7 Bahkan PAN dan PKS menominasikan lebih dari 30%, caleg perempuan, masing-masing sebesar 32% (PAN) dan 37,4% (PKS). Sementara PKB menominasikan 29,7% caleg perempuan untuk menduduki kursi DPR RI. Namun demikian, tidak seluruh caleg perempuan yang dicalonkan oleh partai-partai tersebut menempati nomor potensial jadi, seperti terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5 Perbandingan Caleg Perempuan dan Laki-laki dalam Nomor Potensial Jadi
Partai
Total Jumlah Caleg
Caleg Perempuan (%)
Caleg Laki-laki (%)
PKS
578 orang
216 orang (37,4)
362 orang (62,6)
PAN
531 orang
174 orang (32)
357 orang (68)
PKB
PPP
471 orang
617 orang
140 orang (29,7) 123 orang (19,9)
Persentase Caleg Perempuan dalam Nomor Potensial Jadi
Jumlah Caleg Perempuan dalam Nomor Potensial Jadi
7,8%
17 orang
14,9%
26 orang
331 orang (72)
16,4%
494 orang (80,1)
12,2%
23 orang
15 orang
Sumber: Divisi Perempuan dan Pemilu CETRO, 2004 dalam A.D. Kusumaningtyas, “Pemilu 2004: Menagih Komitmen Parpol Islam untuk Demokrasi yang Berkeadilan Gender”, Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Maret 2004, hlm. 44.
Selain untuk pertama kalinya mencantumkan ketentuan mengenai keterwakilan perempuan dalam undang-undang bidang politik yang mengatur mengenai pemilu, Pemilu tahun 2004 juga diwarnai dengan hadirnya caleg selebriti perempuan, yang berprofesi sebagai artis film dan sinetron, musisi, bahkan mantan ratu kecantikan dan model. Eep Saefulloh Fatah menyebut
5
6 7
A.D. Kusumaningtyas, Pemilu 2004: Menagih Komitmen Parpol Islam untuk Demokrasi yang Berkeadilan Gender dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, hlm. 43. Ibid., hlm. 44. Ibid.
32
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
gejala ini sebagai “politik selebriti”.8 Dari sekitar 20 orang selebriti laki-laki dan perempuan yang menduduki nomor urut 1-3, terdapat 11 orang (55%) caleg selebriti perempuan. Para caleg selebriti perempuan ini tidak hanya dicalonkan oleh partai “lama” yang menjadi peserta pemilu, melainkan juga beberapa partai baru. Dari 11 orang caleg selebriti perempuan, 7 orang di antaranya (63,6%) dicalonkan oleh partai lama, sedangkan sisanya dicalonkan oleh partai baru, sebagaimana terlihat pada tabel berikut: No.
Tabel 6 Posisi Caleg Selebriti Perempuan dalam Pemilu 2004
Nama Caleg
1.
Marisa Haque
4.
Nurul Arifin
2. 3. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11.
Renny Djajoesman Puput Novel
Ratna Paquita Wijaya Rieke Dyah Pitaloka Emilia Contesa Nia Daniati
Anna Tairas
Angelina Sondakh Nindy Elise
Partai PDIP
Golkar
Daerah Pemilihan
Nomor Urut
Jabar II
2
Jabar VI
3
Jateng I
Golkar
Jabar VIII
Golkar PAN
DKI I
PKB
Jabar IV
PPP
Jatim VII
Demokrat
Jateng VI
PKPB
Demokrat PDS
Jambi
Jatim IV
Jabar VII
2 3 3 1 2 2 2 1 1
Sumber: Eep Saefulloh Fatah, Caleg Selebriti Perempuan: dari Perlengkapan ke Pelaku Politik, dalam Jurnal Perempuan No.. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Maret 2004, hlm. 56, diolah.
Apabila dikaitkan dengan peluang caleg selebriti perempuan untuk terpilih, maka menurut Eep Saefulloh Fatah keterlibatan para selebriti perempuan tersebut masih berjalan pada tataran kuantitatif, belum kualitatif.9 Memang bila dibandingkan dengan Pemilu 1999, jumlah selebriti perempuan yang direkrut untuk menjadi caleg oleh partai politik peserta pemilu meningkat secara signifikan. Sekalipun 11 orang caleg selebriti perempuan tersebut diposisikan dalam nomor urut atas (1-3), tetapi hanya sedikit dari mereka yang berpeluang untuk terpilih.10 Hasil Pemilu 2004 menunjukkan, dari 11 caleg selebriti perempuan tersebut, hanya 1 orang perempuan yang terpilih, yaitu Marissa Haque.
8
9
10
Eep Saefulloh Fatah, “Caleg Selebriti Perempuan: dari Perlengkapan ke Pelaku Politik”, dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Maret 2004, hlm. 52. Ibid., hlm. 59. Ibid., hlm. 60.
33
Pemilu Tahun 2004
B. Tingkat Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Hasil Pemilu 2004 Hasil Pemilu tahun 2004 menempatkan 65 orang perempuan di lembaga DPR (11,82%), hanya meningkat sedikit apabila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Pemilu 1999 menghasilkan 44 orang perempuan yang duduk di DPR atau sekitar 8,9%. Sementara itu di lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jumlah perempuan agak lebih besar, mencapai 29 orang (21,09%). Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 secara eksplisit mencantumkan kata-kata “keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Dengan demikian, secara sekilas tampak bahwa pasal ini telah mengakomodasi affirmative action bagi perempuan. Namun begitu, rumusan Pasal 65 ayat (1) menggunakan kata “dapat” dan “memperhatikan.” Dari dua kata tersebut dapat diinterpretasikan bahwa pasal ini tidak mewajibkan parpol untuk memenuhi keterwakilan 30%. Hal ini semakin diperkuat dengan tidak adanya ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 yang mengatur mengenai sanksi bagi parpol yang tidak menjalankan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Pasal 65 ayat (1) di satu sisi telah mendukung affirmative action terhadap peningkatan partisipasi politik perempuan, karena dalam pasal tersebut dicantumkan ketentuan mengenai keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Akan tetapi di sisi lain ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan tidak bersifat wajib dan tidak disertai dengan sanksi yang tegas. Apabila melihat pemberlakuan kuota yang diterapkan di berbagai negara di dunia, maka kuota yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (1) ini dapat diklasifikasikan sebagai kuota yang bersifat sukarela. Di beberapa negara lainnya, untuk mempercepat peningkatan partisipasi perempuan dalam parlemen, ketentuan mengenai kuota diterapkan secara wajib. Negara-negara yang memberlakukan kuota sebagai kewajiban, baik melalui konstitusi maupun undang-undang, melengkapi ketentuan tersebut dengan sanksi yang tegas. Sanksi tersebut dapat berupa penolakan daftar partai peserta pemilu yang tidak memenuhi persyaratan kuota atau sanksi keuangan dalam bentuk hilangnya hak atas dukungan dana kampanye.11 Yang terjadi di Indonesia tidak demikian. Ketentuan mengenai kuota diatur secara resmi dalam Undang-Undang Pemilu, namun tidak ada sanksi bagi parpol yang melanggar ketentuan itu. Hal ini dapat berarti dua hal. Pertama, para penyusun UU Pemilu berasumsi bahwa Indonesia sebenarnya “belum siap” menerapkan mekanisme kuota ini secara ketat, sehingga sanksi Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IFES, tanpa tahun, halaman 17-18.
11
34
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
yang tegas juga belum dapat diterapkan. Oleh karena itu, dicantumkan kata “dapat” dan “memperhatikan,” bukan kata -kata “wajib” atau semacamnya. Kedua, ketiadaan sanksi juga dapat diartikan bahwa para penyusun UU tersebut sebenarnya tidak memiliki political will untuk menerapkan ketentuan mengenai kuota, terbukti dengan tidak adanya sanksi yang dapat memaksa parpol untuk memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan. Jadi, pencantuman ketentuan tersebut hanya bersifat kosmetik, sekedar untuk mengakomodasi derasnya tuntutan pemberlakuan kuota dari pihak luar, terutama para aktivis perempuan, sehingga diambil jalan tengah seperti itu. Hasil Pemilu 2004 menunjukkan bahwa pemberlakuan kuota seperti yang diatur dalam Pasal 65 ayat (1) tidak efektif. Mengingat kuota tidak bersifat wajib, maka tidak semua parpol peserta pemilu memenuhi keterwakilan 30% perempuan. Dari 24 parpol peserta pemilu, hanya 14 parpol (58,3%) yang memenuhi keterwakilan perempuan, seperti terlihat pada tabel berikut: Tabel 7 Persentase Caleg Perempuan dan Perolehan Suara Partai Politik Peserta Pemilu 2004
No
Partai Politik
1. 3.
2. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14.
% Caleg Perempuan
% Perolehan Suara
Partai Keadilan Sejahtera
40,3
7,34
Partai Sarekat Indonesia
38,6
0,60
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
38,8
Partai Perhimpunan Indonesia Baru
38,5
Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
38,4
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Buruh Sosial Demokrat
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
35,6
0,74
35,1
Partai Amanat Nasional
35,0
Partai Persatuan Daerah
34,2
Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
32,7
Partai Bintang Reformasi
31,5
Sumber: PUSKAPOL FISIP, UI, 2007.
0,79
10,57
35,9
Partai Merdeka
0,59
37,6 37,1
Partai Karya Peduli Bangsa
1,26
0,56 2,11 0,75 6,44 0,58 1,16 2,44
Dari Tabel 7 terlihat bahwa sebagian besar parpol yang mencalonkan perempuan lebih dari 30% adalah parpol baru. Dari 14 parpol yang pencalonan perempuannya melebihi 30%, hanya tiga parpol yang memperoleh suara 35
Pemilu Tahun 2004
di atas 3% (lolos electoral treshold/ET) pada Pemilu 2004, yaitu PKS, PKB, dan PAN. Sebelas parpol lainnya adalah partai-partai baru yang perolehan suaranya kecil sehingga tidak secara otomatis dapat mengikuti pemilu berikutnya (tidak lolos ET). Pemilu 2004 juga menunjukkan bahwa parpol-parpol “lama” justru mencalonkan perempuan di bawah 30% yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. No. 1. 2. 3.
Tabel 8 Partai Politik yang Tidak Memenuhi Keterwakilan 30% Perempuan pada Pemilu 2004 Partai Politik
Keterwakilan Perempuan
Partai Golongan Karya
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Persatuan Pembangunan
Sumber: PUSKAPOL FISIP, UI, 2007, diolah.
28,3% 28,3% 22,3%
Menurut Achie Sudiarti Luhulima, banyaknya parpol yang tidak dapat memenuhi keterwakilan 30% perempuan, termasuk parpol-parpol besar, disebabkan parpol tidak melakukan upaya yang maksimal untuk mencalonkan perempuan, karena parpol tidak memiliki cukup banyak kader perempuan untuk dicalonkan.12 Beberapa parpol yang dapat memenuhi keterwakilan perempuan juga tidak sepenuhnya mendukung affirmative action, karena menempatkan perempuan pada urutan bawah, sehingga meskipun caleg perempuan tersebut mendapatkan suara yang cukup banyak, mereka tetap tidak terpilih mengingat perolehan suaranya digunakan untuk calon yang berada di urutan nomor atas yang notabene adalah laki-laki.13 Bentuk lain ketidakberpihakan parpol terhadap caleg perempuan adalah dengan menempatkan perempuan pada urutan atas, tetapi bukan pada daerah pemilihan yang menjadi basis partai, sehingga peluang caleg perempuan untuk terpilih sangat kecil karena tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari pemilih.14 Minimnya angka keterwakilan perempuan pada partai-partai lama sehingga tidak mampu mencapai keterwakilan 30% seperti terlihat pada Tabel 8 secara tidak langsung menunjukkan beratnya persaingan yang terjadi antar-bakal calon dalam internal parpol. Banyaknya kader yang terdapat
12
13 14
Achie Sudiarti Luhulima, “Hak Perempuan dalam Kehidupan Politik”, dalam Bahan Ajar tentang Hak Perempuan, UU No.7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Achie Sudiarti Luhulima (ed.), Jakarta: Convention Watch bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 205. Ibid., hlm. 206. Ibid.
36
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
dalam parpol-parpol tersebut mengakibatkan bakal calon perempuan harus bersaing secara ketat dengan bakal calon laki-laki yang jumlahnya relatif lebih banyak, sehingga peluang perempuan untuk menjadi caleg semakin kecil. Hasil Pemilu 2004 menunjukkan bahwa tidak ada caleg yang dapat memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP), sehingga caleg ditetapkan berdasarkan nomor urut, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 107 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2003. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa pengaturan tentang affirmative action dalam UU No. 12 Tahun 2003 tidak efektif dalam meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik. Hasil Pemilu 2004 memperlihatkan bahwa jumlah caleg perempuan yang terpilih rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan jumlah caleg perempuan yang dicalonkan oleh parpol. Dari 560 orang Anggota DPR, hanya terdapat 65 orang (11,8%) Anggota yang berjenis kelamin perempuan. Perolehan kursi masing-masing parpol dan persentase caleg perempuan yang terpilih dapat dilihat pada tabel berikut: No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tabel 9 Perbandingan Jumlah Caleg Perempuan Nomor Jadi dan Caleg Perempuan Terpilih Partai Politik Peserta Pemilu 2004
Partai Politik
Caleg Perempuan No. Jadi
Caleg Perempuan Terpilih (%)
Partai Golongan Karya
17
19 (111,7)
Partai Demokrat
17 20
12 (70,5)
21
7 (33,3)
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Amanat Nasional Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Keadilan Sejahtera
Partai Persatuan Pembangunan Partai Bintang Reformasi Partai Damai Sejahtera
8 (40,0)
24
7 (29,1)
20
5 (25,0)
20
2 (10,0)
14
3 (21,4)
22
2 (9,0)
Sumber: Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar Burung, dalam Jurnal Perempuan No.34, Maret 2004, diolah.
37
Pemilu Tahun 2004
Dari sisi substansi, akomodasi isu keterwakilan 30% untuk perempuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum memang telah sejalan dengan Pasal 4 (ayat 1) Konvensi CEDAW yang mewajibkan Indonesia sebagai salah satu negara peserta untuk melakukan langkah-tindak khusus sementara (temporary special measures) untuk mempercepat persamaan de-facto, serta mencapai perlakuan dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Lebih lanjut, pengaturan mengenai affirmative action dalam bentuk keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% juga sesuai dengan Rekomendasi Umum Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on the Elimination of Discrimination against Women/CEDAW) No. 23 (Sidang ke-16 Tahun 1997) tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik, terutama huruf c (melaksanakan tindakan khusus sementara untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki) dan Rekomendasi Umum Komite No. 25 (Sidang ke30 Tahun 2004) tentang Tindakan Khusus Sementara, terutama huruf a dan huruf c.
38
KUOTA 30% UNTUK PEREMPUAN DALAM PEMILU TAHUN 2009
A. Pengaturan tentang Kuota 30% untuk Perempuan dalam UndangUndang Bidang Politik Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2009 dilaksanakan berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dibandingkan dengan undang-undang yang mengatur mengenai pemilu sebelumnya, yaitu UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemililihan Umum, pasal yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD jumlahnya lebih banyak. Selain mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan daftar bakal calon sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003, UU No. 10 Tahun 2008 juga mengatur beberapa ketentuan lain yang terkait dengan keterwakilan 30% untuk perempuan. Dalam UU No. 10 Tahun 2008, keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar bakal calon diatur dalam Pasal 53. Pasal ini merupakan bagian dari Bab VII yang mengatur mengenai Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, yaitu pada Bagian Kedua, yang mengatur tentang Tata Cara Pengajuan Bakal Calon DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Berbeda halnya dengan Pasal 65 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003, rumusan Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2008 tidak menggunakan kata ”dapat” dan ”memperhatikan.” Pasal 53 menyatakan: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.” Selain dalam daftar bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, angka 30% untuk perempuan juga menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk menjadi peserta pemilu (Pasal 8 ayat 1). Satu hal yang lebih progresif lagi, selain syarat 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon, UU No. 10 Tahun 2008 juga telah mengadopsi sistem zipper (selang-seling) yang selama ini banyak dituntut oleh banyak pihak, karena sistem ini dianggap dapat menguntungkan calon perempuan. Sistem ini mengatur bahwa dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurangkurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon (Pasal 55 ayat 2). 39
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
Untuk lebih mendukung pemberlakuan ketentuan keterwakilan 30% untuk perempuan, UU No. 10 Tahun 2008 juga membuat mekanisme yang dapat mendorong parpol benar-benar menerapkan keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar calon yang diajukan ke KPU. UU N0. 10 Tahun 2008 memberi kewenangan kepada KPU untuk melakukan verifikasi, apakah daftar calon yang diajukan oleh parpol telah memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan (Pasal 57). Apabila belum memenuhi, maka KPU akan mengembalikan daftar ini kepada parpol (Pasal 58 ayat 2).
B. Proses Pembahasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan undang-undang yang berasal dari Presiden (Pemerintah). Sesuai dengan Keputusan DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI, Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu (RUU Pemilu) disampaikan kepada DPR RI dengan Surat Pengantar Presiden Nomor R-27/PRES/05/2007 tanggal 25 Mei 2007 perihal Rancangan Undangundang di Bidang Politik. Dalam surat tersebut Presiden menunjuk Menteri Dalam Negeri ad interim, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai wakil dari pihak Pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu. Keanggotaan Pansus RUU Pemilu berjumlah 50 orang, yang terdiri dari 5 orang Pimpinan Pansus dan 45 Anggota Pansus. Pansus RUU Pemilu memulai kegiatan pada tanggal 10 Juli 2007. Kegiatan pertama yang dilaksanakan adalah mengadakan rapat kerja (Raker) dengan pihak Pemerintah, dengan agenda mendengarkan Keterangan/Penjelasan Pemerintah atas RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta RUU tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu dilakukan sejak tanggal 7 November hingga 5 Desember 2007. Pembahasan RUU Pemilu selanjutnya dilakukan dalam Tim perumus (Timmus) sejak tanggal 11 Januari sampai 2 Februari 2008. Timmus beranggotakan 17 orang Anggota Pansus, yang terdiri dari 2 orang dari Fraksi Partai Golkar (FPG), 2 orang dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), dan 1 orang masing-masing dari
1
Sebagian disarikan dari Buku Kompilasi: Pengarusutamaan Gender dalam Parlemen, Sali Susiana, Sulasi Rongiyati, dan Nurul Hilaliyah, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI bekerja sama dengan Proyek PROPER-United Nations Development Programme Indonesia, 2008, hlm. 20-29.
40
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
delapan fraksi lainnya, diketuai oleh Ignatius Mulyono dari Fraksi Partai Demokrat. Setelah itu RUU Pemilu secara lebih intensif dibahas dalam Tim Sinkronisasi (Timsin) mulai tanggal 4 sampai 23 Februari 2008. Selama pembahasan, Pansus RUU Pemilu juga melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Forum Konstitusi, PERLUDEM, Koalisi Perempuan, Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik (PD Politik) dan Perempuan Hanura untuk menerima masukan. Isu mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan menjadi salah satu isu yang krusial dalam pembahasan RUU Pemilu. Pada awal pembahasan, isu ini diangkat oleh tiga fraksi, yaitu F-PG, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB). Isu ini kemudian semakin berkembang menjadi wacana selama proses pembahasan, bahkan menjadi salah satu bahan lobi antar-fraksi maupun antara fraksi-fraksi di DPR dengan pihak Pemerintah. Pada akhir pembahasan, hampir seluruh fraksi turut menanggapi isu mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dan isu ini terakomodasi dalam UU Pemilu. Gambaran secara lengkap mengenai isu keterwakilan 30% untuk perempuan selama proses pembahasan RUU Pemilu dapat diperoleh dari beberapa Raker maupun lobi-lobi yang dilakukan oleh Pansus RUU Pemilu. Dalam beberapa Raker dengan pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri ad-interim, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, isu ini menjadi salah satu isu krusial yang dibahas dan mendapat tanggapan yang beragam dari fraksi-fraksi yang ada di DPR. Pada Raker I dengan pemerintah tanggal 12 Juli 2007, salah satu agenda yang dibahas dalam Raker adalah Pandangan/Pendapat Fraksi-fraksi terhadap Pandangan dan Penjelasan Presiden/Pemerintah atas RUU tentang Pemilu. Tiga fraksi, yaitu F-PG, F-PPP, dan F-KB menjadikan isu mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan sebagai salah satu isu yang dibahas dalam Pandangan/Pendapat Fraksi. Sedangkan tujuh fraksi lainnya, yaitu F-PDIP, Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, (F-BPD), Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) dan Fraksi Partai Bintang Reformasi (F-PBR) tidak menyinggung mengenai isu keterwakilan perempuan. F-PG dalam Pandangan/Pendapat Fraksi menyatakan bahwa: “Ruang partisipasi politik perempuan sebagai program menumbuhkan partisipasi perempuan yang berjalan secara sistematik dan direncanakan (by design). Untuk itu, dalam Pemilu Anggota DPR dan DPRD, Fraksi Partai Golkar melihat bahwa hal tersebut terkait dengan upaya secara sungguhsungguh menetapkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif. 41
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
Artinya pengaturan ini semata-mata untuk membuka ruang seluas-luasnya partisipasi politik perempuan dan merupakan affirmative action saja untuk kurun waktu tertentu dalam proses perpolitikan perempuan yang lebih besar. Hal ini juga senada dengan peraturan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 46. Dengan demikian, setiap partai politik peserta pemilu wajib memperhatikan dalam mengajukan calon Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam setiap daerah pemilihan dengan “mengupayakan dengan sungguhsungguh” keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”
F-PPP juga menjadikan isu mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan sebagai salah satu catatan penting yang menyangkut materi RUU Pemilu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang dibacakan oleh juru bicara F-PPP, yaitu: “Untuk keterwakilan perempuan di parlemen, Fraksi PPP memahami pemikiran dan aspirasi yang mengharapkan komitmen partai politik untuk secara serius memasukkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatifnya.”
Demikian pula dengan F-KB. Keterwakilan perempuan dalam pencalonan pemilu legislatif menjadi salah satu poin penting dalam sikap dan pandangan F-KB terhadap beberapa materi dan substansi dalam RUU Pemilu. Hal itu terdapat dalam poin ke sebelas. F-KB berpendapat bahwa: “Sebagai konsekuensi dari demokrasi representatif, keterwakilan perempuan yang populasinya lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia harus terakomodir secara proporsional dalam lembaga perwakilan. Oleh karena itu, sistem pemilu perlu dibuat untuk dapat menjamin keterwakilan perempuan minimal 30%.”
Dalam Raker berikutnya, yaitu Raker III, yang dilaksanakan pada tanggal 11 September 2007, dengan agenda Pengantar Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Fraksi-fraksi, ketiga fraksi yang sebelumnya sudah melontarkan gagasan mengenai keterwakilan perempuan secara lebih eksplisit menuangkan gagasan tersebut dalam Pengantar DIM Fraksi. Dalam garis besar gagasan yang disampaikan oleh F-PG, gagasan mengenai keterwakilan perempuan dan pengajuan calon legislatif terdapat dalam poin ke delapan berikut ini: “Berkaitan dengan keterwakilan perempuan, F-PG memandang daftar bakal calon yang diusulkan oleh partai politik harus memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada akumulasi daftar calon di tiap provinsi. Daftar calon tersebut disusun dengan cara selang-seling, zipper system. Sikap F-PG terhadap hal ini merupakan suatu affirmative action untuk mewujudkan suatu sistem bernegara dan sistem politik yang berkeadilan dalam perspektif gender. Sebagai affirmative action, maka perlu disusun sebuah strategi dalam tahapan pencapaiannya. Pengaturan tentang ini 42
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
bukanlah dimaksud sebagai upaya diskriminatif, tetapi semata-mata sebagai perlakuan khusus dalam waktu tertentu agar peran politik wanita meningkat dan pada akhirnya dapat melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang lebih memperhatikan kepentingan perempuan saat ini yang pada akhirnya akan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Berkaitan dengan jumlah daftar calon, dst..................”
Sedangkan F-PPP menempatkan isu keterwakilan perempuan sebagai poin ketujuh dalam pandangan yang disampaikan, sebagai pengantar dalam pembahasan pasal per pasal dan ayat per ayat dalam DIM. Berikut pendapat F-PPP: “Dalam pengajuan calon anggota legislatif, partai politik harus memperhatikan 30% keterwakilan perempuan. Memang kalau kita melihat data-data dari PPP orientasi struktur pada partai nampaknya belum bisa terpenuhi, tetapi kalau out put-nya adalah orientasi keterwakilan di parlemen, PPP tentu akan memperjuangkan sedemikian rupa, terutama pada 30% prosentase keterwakilan perempuan.”
Konsistensi ini juga terlihat pada F-KB. Dalam highlight dari pengantar F-KB terhadap DIM yang disampaikan, keterwakilan perempuan menjadi poin ketiga yang diusulkan oleh F-KB, dengan menyatakan bahwa: “untuk menjamin keterwakilan perempuan, baik di tingkat kepengurusan partai politik maupun sebagai calon legislatif, maka F-KB mengusulkan agar keduanya itu wajib mengakomodasi minimal 3% (tiga persen) perempuan.” Pada Raker IV (19 September 2007), dengan agenda Pembahasan DIM RUU Pemilu, isu keterwakilan perempuan secara resmi menjadi poin penting yang harus dibahas, karena isu ini diakui oleh Ketua Pansus RUU Pemilu sebagai salah satu isu yang mengemuka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Ketua Pansus, yang menyatakan bahwa DIM RUU Pemilu berjumlah 1.386 DIM, yang terdiri dari: 440 DIM yang termasuk kategori tetap; 300 DIM usulan perubahan dan penyesuaian pasal dan urutan yang tidak terkait dengan substansi; dan 20 DIM usul perubahan redaksional. Terdapat juga DIM yang berkaitan dengan perubahan substansi dan terkait satu sama lain, yaitu 626 DIM. Dari 626 DIM ini, ada 14 isu yang cukup mengemuka, antara lain: judul, konsiderans, definisi dan ketentuan umum, sistem pemilu, syarat partai ikut pemilu, jumlah dan alokasi kursi serta daerah pemilihan, electoral threshold, keterwakilan perempuan, daftar pemilihan, pencalonan dan penghitungan suara, kampanye, perlengkapan pemungutan suara, penyelesaian sengketa pemilu dan pidana pemilu serta hal-hal yang terkait dengan soal hak pilih TNI/POLRI. Pada awal pembahasan RUU Pemilu, isu mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan terdapat dalam dua pasal, yaitu Pasal 9 mengenai syarat 43
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
pembentukan parpol yang akan menjadi peserta pemilu dan Pasal 62 mengenai keterwakilan perempuan dalam Daftar Calon Sementara (DCS) dan Daftar Calon Tetap (DCT). Ketentuan mengenai keterwakilan perempuan sebagai salah satu syarat bagi parpol untuk menjadi peserta pemilu terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu: “Memperhatikan keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus).” Sedangkan ketentuan keterwakilan perempuan dalam DCS dan DCT yang diatur dalam Pasal 62 berbunyi: “Daftar bakal calon harus memperhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus).” Dalam DIM RUU Pemilu yang dibahas oleh Pansus RUU Pemilu, isu mengenai keterwakilan perempuan dalam DTS dan DCT yang tertuang dalam Pasal 62 tersebut terdapat pada no. urut 367, bersama dengan hak pilih TNI/ POLRI. Terhadap rumusan Pasal 62 yang diajukan oleh pemerintah, fraksifraksi yang ada di DPR memiliki sikap dan pandangan yang bervariasi, yang tercermin dalam usulan perubahan yang disampaikan oleh fraksi. Namun demikian, dari 10 fraksi yang ada, tidak semua fraksi menyampaikan usul perubahan. Dalam DIM RUU Pemilu, hanya 2 fraksi yang menyampaikan usul perubahan terhadap DIM no. 367 ini. Salah satu fraksi mengusulkan adanya penambahan substansi pada akhir kalimat Pasal 62, melalui kata-kata “pada akumulasi daftar calon di setiap provinsi,” sehingga rumusan menjadi: “Daftar bakal calon harus memperhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) pada akumulasi daftar calon di setiap provinsi.” Sedangkan satu fraksi lainnya mengusulkan agar kata “harus” diganti dengan kata “dengan,” sehingga rumusan berubah menjadi: “Daftar bakal calon dengan memperhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus).” Dalam pembahasan selanjutnya di Pansus, rumusan Pasal 62 tersebut di atas terus mengalami perubahan. Ada fraksi yang mengusulkan rumusan berikut: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 55 harus memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada akumulasi daftar calon di setiap provinsi.” Fraksi tersebut juga mengusulkan adanya tambahan ayat baru, yaitu: “Daftar calon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas disusun dengan cara selang-seling 2:1.” Sedangkan satu fraksi lainnya mengusulkan rumusan sebagai berikut: “Daftar calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 dengan memperhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus).” 44
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Yang agak mengejutkan, ada satu fraksi yang mengusulkan rumusan yang secara substansial berbeda, karena mencantumkan angka lebih dari 30%. Rumusan tersebut berbunyi: “Daftar calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 harus mengupayakan dengan sungguh-sungguh paling sedikit 35% (tiga puluh lima perseratus).” Pembahasan RUU Pemilu selanjutnya dilakukan secara lebih intensif dalam rapat Panitia Kerja (Panja). Dalam rapat Panja pada tanggal 22 November 2007, ada dua usulan rumusan alternatif mengenai keterwakilan perempuan, yaitu: Alternatif I: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 harus memperhatikan keterwakilan dan mengupayakan sungguh-sungguh memuat bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)”. Alternatif II: “Daftar calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 harus mengupayakan dengan sungguh-sungguh keterwakilan bakal calon perempuan pada daftar calon paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)”.
Usulan tersebut disertai dengan beberapa catatan, antara lain: a. KPU melakukan penolakan daftar bakal calon yang disampaikan oleh parpol peserta pemilu; b. KPU berwenang untuk mengumumkan kepada publik melalui media massa; c. Memberikan insentif bagi pendidikan politik, khususnya bagi perempuan.
Pada perkembangan selanjutnya, rumusan Pasal 62 yang pada awalnya hanya satu kalimat berubah menjadi beberapa ayat. Dalam Rapat Panja tanggal 29 November 2007, Pemerintah mengajukan rumusan sebagai berikut: 1) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 harus mengupayakan dengan sungguh-sungguh memuat keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus); 2) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib mengembalikan Daftar Bakal Calon yang diajukan oleh partai politik apabila partai politik peserta pemilu tidak memuat 30% (tiga puluh perseratus) perempuan di dalam Daftar Bakal Calon yang diajukan; 3) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berwenang mengumumkan nama-nama partai politik yang memuat dan tidak memuat paling sedikit 30% perempuan dalam Daftar Calon Sementara partai politik di media massa; 4) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berwenang mengumumkan nama-nama partai politik yang memuat dan tidak memuat paling sedikit 30% perempuan dalam Daftar Calon Tetap partai politik di media massa. 45
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
Rumusan ini kembali ditanggapi secara beragam oleh fraksi-fraksi. Ada fraksi yang mengusulkan agar 4 ayat tersebut diringkas menjadi 2 ayat saja. Substansi Ayat (1) tetap, dengan beberapa perubahan redaksional, sementara ayat (2) hilang. Sementara ayat (3) dan ayat (4) digabung. Fraksi lainnya ada yang mengusulkan agar parpol diberi batas waktu tertentu untuk memperbaiki Daftar Bakal Calon yang belum memuat 30% perempuan. Pada akhirnya, disepakati bahwa materi ini akan diserahkan ke Tim Perumus (TIMUS), dengan catatan, secara prinsip sudah disepakati bahwa: a. Parpol memuat 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon; b. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada peserta pemilu untuk memperbaiki daftar calon; c. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan di media massa persentase keterwakilan perempuan yang ada dalam partai politik. Dalam Raker terakhir sebelum pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan ke Pembahasan Tingkat II, isu keterwakilan perempuan menjadi salah satu bahan laporan Ketua Panja RUU Pemilu. Raker tersebut dilaksanakan pada tanggal 21 Februari 2008, dengan agenda Laporan Panja RUU Pemilu, Tanggapan Fraksi-fraksi, Persyaratan Persetujuan atau Pendapat Akhir Mini Fraksi, Pengambilan Keputusan terhadap Draft RUU Pemilu, dan Penandatanganan Draft serta Sambutan dari Pemerintah. Dalam laporannya, Ketua Panja RUU Pemilu (DR. Y.H. Laoly, SH, MS/F-PDIP) antara lain menyatakan bahwa berkaitan dengan keterwakilan perempuan, Panja secara prinsip telah menyetujui bahwa partai politik memuat 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon. KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memberi kesempatan kepada peserta pemilu untuk memperbaiki daftar calon. KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan di media massa persentase keterwakilan perempuan partai politik baik dalam daftar calon sementara maupun dalam daftar calon tetap. Secara terperinci hal ini terdapat dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 8, Pasal 60, Pasal 62 ayat (2), Pasal 64, Pasal 65 ayat (2), Pasal 68 ayat (4), dan Pasal 73 ayat (2). Berbeda dengan pada saat penyampaian Pendapat Fraksi mengenai RUU Pemilu dan Pengantar DIM dari Fraksi, di mana hanya tiga fraksi yang menyinggung mengenai isu keterwakilan 30% persen untuk perempuan, maka pada saat penyampaian Pendapat Akhir Mini Fraksi, hampir semua fraksi, kecuali F-PDS, menyinggung mengenai masalah ini. Dalam Pendapat Akhir Mini F-PG, dinyatakan bahwa berkenaan dengan keterwakilan perempuan, F-PG sesuai dengan usulan yang telah disampaikan, sangat setuju dan tentu sangat menyetujui ketentuan tentang keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu. Dalam undang-undang ini pengaturan daftar 46
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
bakal calon tidak hanya semata-mata memuat 30% keterwakilan perempuan, lebih dari itu dalam setiap 3 orang calon sekurang-kurangnya ada 1 orang perempuan. F-PG yakin pengaturan seperti ini akan sangat berarti bagi pemberdayaan kaum perempuan terutama dalam peningkatan peran politik, sehingga dapat melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang lebih berpihak, tidak saja terhadap kepentingan perempuan saat ini, namun pada gilirannya akan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. F-PDIP yang sebelumnya tidak pernah menyinggung mengenai isu ini dalam Pendapat Akhir Mini secara singkat menyatakan bahwa yang paling penting dalam pemahaman F-PDIP adalah ajakan untuk bersama-sama melaksanakan kuota 30% perempuan. Hal itu bukan semata-mata basa-basi tetapi harus ditindaklanjuti dengan keikhlasan dan sukarela sekaligus untuk memotong kultur patriarkal dalam semua sistem perundang-undangan. Demikian pula dengan F-PBR. Fraksi ini menegaskan bahwa terhadap pasal-pasal yang dilobi untuk yang tidak mencapai kesepakatan dan diambil keputusan melalui voting, diharapkan adanya konsistensi, jangan sampai diubah lagi. Apabila sudah disepakati adanya keterwakilan perempuan 30%, maka diharapkan tidak akan ada lagi lobi sehingga hasilnya dapat berubah. F-PBR juga berharap agar tidak ada hidden agenda dan adanya keterbukaan serta niat untuk saling melengkapi. Pendapat Mini F-PBR ini langsung ditanggapi oleh Ketua Rapat (Ketua Pansus) yang secara tegas menyatakan bahwa keterwakilan 30% untuk perempuan merupakan mandat penuh sehingga tidak akan berubah, demikian pula dengan para anggota Pansus. F-PPP sebagai salah satu fraksi yang dari awal sudah konsisten mengusulkan keterwakilan 30% untuk perempuan dalam Pendapat Mini yang disampaikan yang terkait dengan masalah ini menyatakan rasa syukurnya karena ketentuan mengenai hal tersebut sudah berhasil dirumuskan. F-PPP juga menyatakan bahwa perjuangan 30% untuk keterwakilan perempuan tidak berhenti di situ saja tetapi harus diikuti dengan kesiapan kaum perempuan untuk mengisi ketentuan tersebut. F-PPP juga menghimbau kepada seluruh partai politik untuk segera melakukan kaderisasi perempuan, sehingga dalam menyusun daftar bakal calon anggota legislatif tidak lagi ada alasan bahwa tidak ada perempuan untuk memenuhi angka 30% tersebut. Fraksi lainnya, yaitu F-PKS menyatakan bahwa RUU Pemilu telah maju selangkah dalam merumuskan keterwakilan perempuan dalam daftar calon. Hal ini dipertegas dengan ketentuan bahwa setiap 3 orang bakal calon terdapat 1 orang perempuan bakal calon. F-PD juga menggarisbawahi adanya keterwakilan peremuan sekurang-kurangnya 30% bagi persyaratan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang harus diajukan oleh partai politik peserta pemilu. 47
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
F-KB, sebagai fraksi yang turut mengusulkan keterwakilan 30% untuk perempuan dalam Pendapat Mini menyatakan dapat menyetujui hasil kerja Panja dengan beberapa catatan. Pengaturan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan menjadi catatan poin keempat. Berbeda dengan fraksi-fraksi lainnya, F-KB menyadari bahwa hal tersebut memang belum sepenuhnya memuaskan dan berkesesuaian dengan kehendak dan aspirasi kaum perempuan Indonesia. F-KB berpendapat pengaturan dalam RUU ini belum bicara secara tegas memaksa partai politik untuk secara konsisten mengimplementasikan ketentuan dalam RUU ini mengenai 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon, karena tidak adanya prinsip pemberian reward dan punishment yang tegas, kecuali diumumkan oleh KPU. Akan tetapi apa yang sudah berhasil dirumuskan dalam undang-undang ini diharapkan dapat diimplementasikan secara konsisten dan kepada kaum perempuan Indonesia F-KB mengajak untuk memanfaatkan peluang yang ada ini dengan sebaik-baiknya. Perlu persiapan sumber daya perempuan di Indonesia dengan sebaik-baiknya, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Dengan sistem pemilihan yang agak terbuka peluang untuk menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan terbuka lebar bagi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. F-PBD yang sebelumnya tidak pernah menyinggung isu ini juga memberikan dukungan. Melalui Pendapat Mini, F-PBD menyatakan bahwa khusus menyangkut pendapat fraksi mengenai 30% perempuan, F-PBD sungguh-sungguh memberikan dukungan yang bulat dengan berbagai pertimbangan. F-PBD tidak membaca dari awal bahwa pengertian 30% itu bukan berarti bahwa setiap 2 laki-laki ada 1 perempuan, tetapi harus dibaca terbalik bahwa setiap 1 perempuan harus ada 2 laki-laki dengan pertimbangan bahwa di situlah kekuatan perempuan menghadapi laki-laki. Terakhir F-PAN dalam Pendapat Mini menyatakan bahwa pada dasarnya F-PAN telah menganggap bahwa UU yang diterapkan untuk pemilu pada tahun 1999 sudah merupakan undang-undang yang baik terbukti dari pelaksanaan pemilihan umum yang cukup baik dan terpuji bahkan dipuji oleh dunia. Namun demikian F-PAN juga menghargai dan dapat memahami dinamika tertentu dalam masyarakat yang menghendaki adanya penyempurnaan dalam UU Pemilu. F PAN bersyukur karena telah tercapai beberapa pasal yang memang dianggap cukup memberikan penyempurnaan yang dikehendaki oleh masyarakat luas, antara lain masalah keterwakilan perempuan. F-PAN juga menyampaikan bahwa dalam masalah keterwakilan perempuan, pada tahun 1999 F-PAN tanpa dipaksa oleh UU telah terwakili lebih dari 30% dalam calon anggota legislatif untuk DPR. Jadi masalah ini bukan merupakan sebuah hal yang baru bagi F-PAN. 48
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Proses pembahasan RUU Pemilu selanjutnya memasuki Pembicaraan Tingkat II, yaitu pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna, yang dilaksanakan pada 26 Januari 2008. UU Pemilu disahkan pada tanggal 31 Maret 2008. Terdapat 7 pasal yang berkaitan dengan keterwakilan 30% untuk perempuan, yaitu Pasal 8 ayat (1), Pasal 53, Pasal 55 ayat (3), Pasal 57, Pasal 58, Pasal 61 ayat (6), dan Pasal 66 ayat (2). Pasal 8 ayat (1) mengatur mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Pasal ini terdapat dalam Bab III yang mengatur tentang Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilihan Umum pada Bagian Kesatu yang mengatur tentang Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD. Pasal 8 ayat (1) menyatakan: Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. ……………. b. ……………. c. ……………. d. Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Sedangkan Pasal 53 mengatur mengenai daftar bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang disusun oleh partai politik peserta pemilu. Pasal 53 merupakan bagian dari Bab VII yang mengatur mengenai Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yaitu pada Bagian Kedua, yang mengatur tentang Tata Cara Pengajuan Bakal Calon DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 53 menyatakan: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.” Pasal selanjutnya yang memuat mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan adalah Pasal 55, yang menyatakan: 1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut. 2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan juga terdapat dalam Bab VII, yaitu Pasal 57, 58 ayat (2) dan (3), Pasal 61 ayat (6), dan Pasal 66 ayat (2). Pasal 57 terdapat dalam Bab VII Bagian Ketiga yang mengatur mengenai Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 57 menyatakan: 1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon Anggota DPR dan verifikasi 49
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. 2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon Anggota DPRD provinsi dan verifikasi terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. 3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon Anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal lain yang memuat mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan adalah Pasal 58 ayat (2) dan (3), yang menyatakan: 1) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut. 2) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan KPU. Pasal 61 ayat (6) yang terdapat pada Bagian Kelima tentang Penyusunan Daftar Calon Sementara Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota juga mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan. Dalam Pasal 61 ayat (6) dinyatakan bahwa: ”KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/ Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.” Pasal terakhir yang mengatur mengenai keterwakilan perempuan adalah Pasal 66 ayat (2), yaitu: ”KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/ Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.” C. Nomor Urut versus Suara Terbanyak Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, jumlah pasal dan luas cakupan materi yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 lebih banyak. Namun demikian, efektivitasnya dalam meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif masih perlu 50
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
dipertanyakan, mengingat undang-undang ini belum disertai dengan sanksi bagi partai politik yang tidak menjalankan ketentuan tersebut. Peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dikhawatirkan semakin mengecil ketika keluar Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diputus tanggal 23 Desember 2008. Pemohon terdiri dari empat orang, yaitu Muhammad Soleh, S.H.; Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana, S.H., M. Kn. dan Jose Dima Satria, S.H.M.Kn. Putusan MK tersebut membatalkan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 yang mengatur mengenai penetapan calon terpilih. Pasal 214 menyatakan: Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon bedasarkan nomor urut; e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut. Dalam konklusi putusan MK tersebut, angka 4.5. menyatakan bahwa secara teknis administratif pelaksanaan putusan Mahkamah diyakini tidak akan menimbulkan hambatan yang pelik karena Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum pada Sidang Pleno di Mahkamah Konstitusi tanggal 12 51
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
November 2008 menyatakan siap melaksanakan putusan Mahkamah jika memang harus menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak. Yang menarik dalam putusan tersebut Maria Farida Indrati, satu-satunya hakim perempuan dari 7 orang anggota hakim MK mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) terhadap putusan tersebut. Menurut Indrati, masalah yang berkaitan dengan kuota perempuan merupakan hal yang harus diperjuangkan sebagai suatu hak konstitusional dalam mencapai suatu kesetaraan dalam pembangunan bangsa Indonesia secara menyeluruh. Merupakan kewajiban bagi pemerintah dan para pembentuk undang-undang untuk mengatur dan melaksanakannya.2 Selanjutnya dinyatakan ketentuan mengenai affirmative action yang diatur dalam Pasal 53, Pasal 55, dan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 merupakan tindakan afirmatif bagi keterwakilan perempuan yang merupakan desain dari hulu ke hilir, dalam arti mengombinasikan antara proteksi dalam mekanisme internal partai (pencalonan dan penempatan dalam daftar calon) dan mekanisme eksternal partai berupa dukungan konstituen yang diraih calon anggota dewan (DPR dan DPRD) melalui perjuangan di daerah pemilihan yang bersangkutan. Oleh karena itu, penetapan calon terpilih melalui mekanisme “suara terbanyak” akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif tersebut.3 Berbagai tanggapan muncul setelah putusan MK tersebut dikeluarkan. Putusan MK yang secara implisit membatalkan Pasal 214 UU Pemilu tersebut telah berimplikasi sangat luas, karena mengubah sistem pemilu yang ada dalam UU Pemilu secara keseluruhan.4 Berkaitan dengan upaya peningkatan keterwakilan perempuan, Putusan MK itu telah menghilangkan koherensi hulu-hilir tindakan affirmative action dalam UU Pemilu.5 Sistem zipper yang merupakan tindakan afirmatif (affirmative action) bagi calon anggota legislatif (caleg) perempuan agar memiliki peluang lebih besar untuk terpilih seperti diatur dalam Pasal 55 UU Pemilu menjadi tidak ada artinya, karena penentuan caleg terpilih tidak lagi didasarkan pada sistem nomor urut.
2
3 4
5
Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 Perihal Pengujian UndangUndang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ibid. Fajrul Fallah, “Kisah Pembongkaran Sistem Pemilu”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Representasi Perempuan Indonesia Pasca-Judicial Review UU Pemilu No. 1-2008, Catatan Awal Tahun Women Research Institute, Diselenggarakan oleh Women Research Institute, 21 Januari 2009. Ani Soetjipto, dalam Seminar Representasi Perempuan Indonesia Pasca-Judicial Review UU Pemilu No. 1-2008, Catatan Awal Tahun Women Research Institute, Diselenggarakan oleh Women Research Institute, 21 Januari 2009.
52
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Dalam Daftar Calon Sementara (DCS) yang diumumkan oleh KPU, terlihat bahwa belum semua parpol mampu memenuhi keterwakilan 30% perempuan. Dari 44 parpol peserta pemilu, terdapat 34 parpol (77,3%) yang memenuhi keterwakilan 30% perempuan, seperti terlihat pada tabel berikut:
No
Tabel 10 Rekapitulasi Daftar Caleg Sementara yang Memenuhi Keterwakilan 30% Perempuan Jumlah Caleg
Nama Partai
1.
Partai Hati Nurani Rakyat
606
6.
Partai Barisan Nasional
277
2. 3. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 25. 26. 27. 28. 29. 31. 32. 33. 34.
Partai Karya Peduli Bangsa
Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional
Partai Perjuangan Indonesia Baru
141 279 316 580 601 55
Partai Kedaulatan
257
Partai Persatuan Daerah
161
Partai Kebangkitan Bangsa Partai Pemuda Indonesia Partai Karya Perjuangan
50
Partai Demokrasi Kebangsaan
252
Partai Republik Nusantara
239
Partai Pelopor
111
Partai Golkar
Partai Damai Sejahtera
PartaiNas. Banteng Kerakyatan Indonesia Partai Bulan Bintang
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Bintang Reformasi Partai Demokrat
Partai Kasih Demokrasi Indonesia
95 (37) 69 (43) 92 (33) 37 (32) 67 (33)
130 (42) 16 (32)
108 (43) 73 (31) 41 (37)
389
127 (33)
322 173 634 314 673 296
53
20 (36)
196 (31)
317
Partai Kebangkitan Nasional Ulama
184 (31)
642
149
Partai Indonesia Sejahtera
214 (37)
163 (40)
306
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
97 (35)
141 (45)
404 201
Partai Matahari Bangsa
57 (40)
135 (48)
140 (34)
115
Partai Demokrasi Pembaruan
186 (31)
407 277
Partai Nasional Ind. Marhaenisme
Jumlah Caleg Perempuan (%)
106 (33) 57 (33)
224 (35) 126 (40) 223 (33) 47 (32)
113 (36) 101 (34)
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
No 41.
Partai Merdeka
44.
Partai Buruh
42. 43.
Jumlah Caleg
Nama Partai
Partai Nahdatul Ummah Indonesia
Jumlah Caleg Perempuan (%)
89
31 (35)
221
77 (35)
92
Partai Sarikat Indonesia
43 (47)
127
47 (37)
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, Republika, 7 Oktober 2008 hlm. 26.
Adapun parpol yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan berjumlah 4 parpol, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.
No
Tabel 11 Rekapitulasi Daftar Caleg Sementara yang Tidak Memenuhi Keterwakilan 30% Perempuan Jumlah Caleg
Nama Partai
4.
Partai Peduli Rakyat Nasional
288
30.
Partai Patriot
118
5.
24.
Partai Gerakan Ind. Raya
397
Partai Persatuan Pembangunan
452
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, Republika, 7 Oktober 2008 hlm. 26.
Jumlah Caleg Perempuan (%) 77 (27)
106 (27) 124 (27) 23 (19)
Masih adanya parpol yang tidak dapat memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2008 memang dimungkinkan terjadi, mengingat ketiadaan sanksi tegas yang akan diterima oleh parpol bila tidak memenuhi ketentuan tersebut. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, satu-satunya sanksi yang diterima oleh parpol adalah sanksi moral, karena KPU mengumumkan persentase keterwakilan perempuan masing-masing parpol dalam media massa seperti yang diatur dalam Pasal 61 ayat (6) Pasal 66 ayat (2). Selain itu, secara tidak langsung KPU juga telah “mempermudah” parpol yang tidak dapat memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan. Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2008 yang mengatur tentang teknis pencalonan, pada Pasal 27 huruf d angka 2 menyatakan bahwa: “Dalam hal partai politik yang bersangkutan tidak dapat memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus), partai politik yang bersangkutan wajib menyampaikan alasan secara tertulis kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.”
Meskipun ketentuan selanjutnya yang terdapat dalam Pasal 27 huruf d angka 3 mensyaratkan bahwa parpol yang tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 harus menempatkan bakal caleg 54
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
perempuan pada nomor urut kecil, namun efektivitas ketentuan ini masih perlu dipertanyakan. Hal ini disebabkan keputusan untuk menempatkan bakal caleg perempuan sampai saat ini sepenuhnya tetap berada di tangan parpol. Dengan adanya Pasal 27 huruf d angka 2 Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2008, maka parpol yang tidak memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dapat memilih dua alternatif. Pertama, menyampaikan alasan secara tertulis kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Atau, kedua, menempatkan bakal caleg perempuan pada nomor urut kecil, sehingga peluang bakal caleg perempuan untuk terpilih lebih besar. Berdasarkan kenyataan selama ini, kecil kemungkinan parpol akan bersedia untuk menempatkan perempuan dalam nomor urut kecil, yang berarti ada di atas laki-laki. Dan dalam DCS yang diumumkan oleh KPU menunjukkan bahwa 4 dari 38 parpol yang ada lebih memilih untuk memberi alasan tertulis kepada KPU mengapa mereka tidak dapat memenuhi keterwakian 30% untuk perempuan dibanding berusaha memenuhi angka tersebut. Meskipun sebagian besar parpol peserta Pemilu 2009 dapat memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan, namun bila dilihat per daerah pemilihan (Dapil), DCS yang diumumkan oleh KPU menunjukkan bahwa sebagian besar parpol menempatkan perempuan di nomor urut tiga ke bawah, hanya sedikit parpol yang memasang caleg perempuan di nomor satu atau dua.6 Satu hal yang menarik yang berkaitan dengan keterwakilan 30% untuk perempuan adalah adanya satu parpol yang menempatkan seluruh caleg perempuan dalam satu daerah pemilihan (dapil). Parpol tersebut adalah Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), yang menempatkan 7 caleg perempuan di dapil DKI Jakarta II.7 Dalam Daftar Calon Tetap (DCT) yang diumumkan oleh KPU 24 hari kemudian, ternyata keempat parpol tersebut di atas tetap tidak dapat memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan. Satu parpol di antaranya, yaitu Partai Patriot, bahkan mengalami penurunan persentase dalam keterwakilan perempuan, dari 19% menjadi 17,39%. Tiga parpol lainnya, yaitu Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Persatuan Pembangunan, meskipun meningkat persentase keterwakilannya, namun tetap tidak dapat mencapai angka 30%. Persentase keterwakilan 30% perempuan dalam DCT selengkapnya terdapat dalam tabel berikut:
6
7
Jumlah Caleg: KPU Tetapkan Maksimal 675 Calon untuk DPR, dalam Kompas, 3 Oktober 2008, hlm. 8. Ibid.
55
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
No
Tabel 12 Rekapitulasi Jumlah Caleg DPR RI 2009-2014 dalam Daftar Calon Tetap
Partai
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
%Perempuan
1.
Partai Hati Nurani Rakyat
600
414
186
31,00
3.
Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia
274
141
133
48,54
387
275
112
173
142
2.
4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Partai Karya Peduli Bangsa
Partai Peduli Rakyat Nasional Partai Gerakan Indonesia Raya Partai Barisan Nasional
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional
Partai Perjuangan Indonesia Baru
141
86
288
212
276
172
315 579
364
591
417
55
35
55
76
104
215 174 20
26,39 28,94 37,68 45,08 37,13 29,44 36,36
Partai Kedaulatan
243
164
Partai Kebangkitan Bangsa
392
258
134
113
77
36
31,86
401
239
162
40,40
Partai Persatuan Daerah Partai Pemuda Indonesia
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
Partai Demokrasi Pembaruan Partai Karya Perjuangan
159
92
276
185
199
131
56
89
39,01
67
91
68
36,63 42,14 34,18 32,97
34,17
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif No
Partai
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
%Perempuan
18.
Partai Matahari Bangsa
303
179
124
40,92
20.
Partai Demokrasi Kebangsaan
250
143
107
42,80
Partai Pelopor
106
65
41
19.
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 41. 42. 43. 44.
Partai Penegak Demokrasi Indonesia Partai Republik Nusantara Partai Golkar
Partai Persatuan Pembangunan Partai Damai Sejahtera
Partai Nas. Banteng Keraky. Indonesia
Partai Bulan Bintang
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Bintang Reformasi Partai Patriot
Partai Demokrat
Partai Kasih Demokrasi Indonesia Partai Indonesia Sejahtera
Partai Kebangkitan Nasional Ulama Partai Merdeka
Partai Nahdatul Ummah Indonesia Partai Sarikat Indonesia Partai Buruh
50
34
228
162
16
66
638
446
192
322
207
115
469
334
171
115
390 628 115
56
262
128
185
129
407
314
135
95
221 20
666
446
220
313
191
122
89
57
32
144
98
292
194
92
52
127
81
219
143
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, Republika, 31 Oktober 2008.
46
98 40 46 76
32,00
28,78 38,68 30,09 28,78 35,71 32,75 32,82 35,19 41,08 17,39 33,03 31,94 38,98 33,56 35,96 43,48 36,22 34,70
Berkaitan dengan sistem zipper seperti yang terdapat dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008, Centre for Electoral Reform (CETRO) mencatat 57
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
bahwa pemenuhan ketentuan zipper masih sangat minimal. Sepuluh parpol terindikasi melanggar ketentuan zipper, yaitu PKS, PAN, PKB, Golkar, PPP, PDS, PBB, PDIP, PBR, dan Partai Demokrat.8 Hal ini menunjukkan bahwa parpol telah melanggar ketentuan yang telah dibuat oleh fraksinya ketika menyusun undang-undang tentang pemilihan umum.
D. Tingkat Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Hasil Pemilu 2009 Hasil Pemilu 2009 menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga legislatif mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan Pemilu 2004. Perempuan yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meningkat menjadi 101 orang dari 560 orang Anggota DPR (17,86%) dan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terdapat 36 orang perempuan dari 116 orang Anggota DPD (27,3%). Pada pemilu sebelumnya (Pemilu 2004), perempuan yang berhasil duduk di DPR berjumlah 65 orang (11,82%) dan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berjumlah 29 orang (21,09%). Kenaikan signifikan angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sehingga mencapai hampir 18% yang terjadi pada Pemilu 2009 ini oleh sebagian kalangan dipandang sebagai hasil dari kebijakan afirmatif yang mengharuskan parpol peserta pemilu menempatkan sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam daftar caleg yang diajukan yang diperkuat dengan sistem selang-seling (zipper system), di mana di antara tiga caleg, satu di antaranya harus caleg perempuan.9 Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pada Pemilu 2009 digunakan sistem proporsional terbuka “murni” dan anggota legislatif yang terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Dengan demikian secara teoritis nomor urut tidak lagi berpengaruh terhadap keterpilihan suatu caleg. Namun demikian, hasil Pemilu 2009 menunjukkan bahwa nomor urut masih tetap berperan dalam menentukan apakah seorang caleg terpilih atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya caleg dengan nomor urut kecil yang terpilih.10 Dari 560 orang Anggota DPR, 356 orang di antaranya berada pada nomor urut 1 sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
8 9
10
10 Partai Langgar Ketentuan Zipper, Media Indonesia, 8 Oktober 2008, hlm. 4. “Situasi Dilematis Kebijakan Afirmatif”, Teraju, Republika, 28 Agustus 2013. “Nomor Urut Masih Sakti”, Teraju Republika, 29 April 2013.
58
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Tabel 13 Caleg Terpilih Berdasarkan Nomor Urut No. Urut
Jumlah
Persentase
1
356
63,6
4
25
4,5
2
111
3
19,8
40
5
7,1
9
6
1,7
3
7
0,5
9
8
4,5
3
9
0,5
2
10
0,4
0
11
0
1
12
0,2
1
Jumlah
0,2
560
100
Sumber: Nomor Urut Masih Sakti, Teraju, Republika, 29 April 2013, hal 27.
Dengan sistem selang-seling dapat dipastikan bahwa setidaknya ada satu caleg perempuan yang berada pada nomor urut atas. Hubungan yang signifikan antara penempatan perempuan pada nomor urut atas dengan tingkat keterpilihan perempuan ini antara lain dapat dilihat pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia yang menunjukkan bahwa 44% caleg perempuan yang terpilih untuk DPR berada pada nomor urut 1, kemudian 29% pada nomor urut 2, dan 20% pada nomor urut 3.11 Namun demikian, hasil Pemilu 2009 juga menunjukkan, bahwa untuk tingkat nasional atau pusat (DPR), beberapa provinsi tidak memiliki wakil perempuan, yaitu Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, dan Aceh. Sementara untuk tingkat DPRD, persentase perempuan yang duduk di DPRD di 33 provinsi sebesar 16% dan di 461 DPRD kabupaten/kota sebesar 12%. Jumlah perempuan yang duduk di DPRD provinsi selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: No 1. 2.
11
3.
Tabel 14 Jumlah Perempuan di DPRD Provinsi Hasil Pemilu 2009
Nama Provinsi Aceh
Jumlah Perempuan (%)
Jumlah Laki-laki (%)
4 (5,8)
65 (94,2)
Sumatera Utara
20 (20)
Sumatera Barat
7 (12,7)
Ibid.
59
80 (80)
48 (87,3)
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009 No
Nama Provinsi
4.
Riau
7.
Sumatera Selatan
5. 6. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Jumlah Perempuan (%) 7 (12,7)
Kepulauan Riau Jambi
38 (82,6)
5 (10,6)
42 (89,4)
12 (16)
Bengkulu
7 (15,6)
Lampung
14 (19,4)
Banten
14 (16,5)
DKI Jakarta
22 (23,7)
Jawa Barat
25 (25)
Jawa Tengah
21 (21)
DI Yogyakarta
11 (20)
Jawa Timur
18 (18)
Bali
7 (12,7)
11 (20,8)
Sulawesi Utara*
10 (22,2)
Gorontalo
9 (20)
Sulawesi Tengah
8 (17,8)
Sulawesi Selatan
12 (16)
Sulawesi Barat
4 (8,9)
Sulawesi Tenggara
7 (15,6)
Maluku
14 (31,1)
Maluku Utara
4 (8,9)
Papua
58 (80,6) 71 (76,3) 75 (75)
71 (83,5) 79 (79) 44 (80) 82 (82)
51 (92,7)
8 (17,8)
Kalimantan Timur
38 (84,4)
4 (7,3)
Kalimantan Tengah
3 (5,6)
Kalimantan Selatan
62 (84)
51 (92,7)
6 (10,9)
Kalimantan Barat
41 (89,1)
4 (7,2)
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
48 (87,3
8 (17,4) 5 (10,9)
Bangka Belitung
Jumlah Laki-laki (%)
4 (7,1)
49 (89,1) 51 (94,4) 37 (82,2) 48 (87,3) 42 (79,2) 35 (77,8) 36 (80)
37 (82,2) 63 (84)
41 (91,1) 38 (84,4) 31 (68,9) 41 (91,1) 52 (92,9)
Sumber: diolah dari Puskapol FISIP, UI, 2013. * Saat ini perempuan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara berjumlah 12 orang. Lihat Sali Susiana, Rekrutmen Perempuan Calon Anggota DPRD Provinsi: Implementasi Kuota 30% Keterwakilan Perempuan dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Pemilu 2014, laporan penelitian, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI , 2013.
Dari Tabel 14 terlihat bahwa persentase perempuan yang duduk di DPRD provinsi bervariasi, mulai dari yang terendah, yaitu 5,6% (Provinsi Nusa Tenggara Timur) hingga yang tertinggi sebesar 31,1% (Provinsi Maluku). Di DPRD kabupaten/kota, persentase perempuan lebih kecil lagi, rata-rata 10%. Dari 461 kabupaten/kota, hanya 8 kabupaten/kota yang memiliki tingkat 60
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
keterwakilan perempuan tinggi (di atas 30%). Sebanyak 64 DPRD kabupaten/ kota hanya memiliki 1 orang anggota perempuan dan 27 DPRD kabupaten/ kota lainnya tidak memiliki anggota perempuan sama sekali. Dilihat dari perspektif gender, akomodasi isu keterwakilan 30% untuk perempuan dalam UU No. 10 Tahun 2008 sesuai dengan Pasal 4 Konvensi CEDAW. Pasal ini mewajibkan Negara Peserta untuk melakukan langkahtindak khusus sementara (temporary special measures) untuk mempercepat persamaan de-facto, serta mencapai perlakuan dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki (Pasal 4 ayat 1 Konvensi CEDAW). Masuknya ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam UU Pemilu sekaligus memenuhi kewajiban negara yang terdapat dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 23 (Sidang ke-16 Tahun 1997) tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik. Rekomendasi ini antara lain berisi kewajiban Negara Peserta untuk melakukan identifikasi dan melaksanakan tindakan khusus sementara (affirmative action) untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki. Pengaturan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 ini juga lebih progresif bila dibandingkan dengan yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemilu sebelumnya (Pemilu Tahun 2004). Kemajuan yang terdapat pada UU No. 10 Tahun 2008 dapat dianggap sebagai bagian dari upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya di lembaga legislatif. Ketentuan mengenai keterwakilan perempuan dalam sistem pemilu menjadi penting, mengingat sistem pemilu selama ini dianggap sebagai salah satu faktor yang signifikan dalam partisipasi politik perempuan. Pentingnya faktor sistem pemilu dalam keterwakilan perempuan juga ditunjukkan oleh berbagai penelitian empiris. Salah satu di antaranya menunjukkan tiga faktor utama yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga yang anggotanya dipilih, yaitu: (1) sistem pemilu; (2) peran dan organisasi partai-partai politik; dan (3) penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung (affirmative action/aksi afirmatif atau diskriminasi positif) yang bersifat wajib atau sukarela. Dari ketiga faktor tersebut di atas, sistem pemilu merupakan faktor yang secara langsung paling berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa penggunaan sistem pemilu tertentu akan menjamin peningkatan keterwakilan perempuan. Akan tetapi, penggunaan sistem pemilu tertentu, yaitu yang berdasarkan representasi proporsional, dapat memfasilitasi penggunaan cara lain untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, seperti keharusan partai-partai politik untuk 61
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
menetapkan suatu jumlah minimum kandidat perempuan yang harus ditempatkan partai pada kursi-kursi yang berpeluang untuk dimenangkan. Di sinilah kuota mengambil peran penting dalam meningkatkan keterwakilan perempuan. Meskipun demikian, ketentuan yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan ini belum disertai dengan sanksi yang tegas bagi parpol yang tidak menjalankan ketentuan tersebut. Sama halnya dengan UU No. 12 Tahun 2003, dalam UU No. 10 Tahun 2008 juga tidak diatur mengenai sanksi bagi parpol yang tidak memenuhi angka 30% dalam daftar calon yang diajukan. KPU hanya mengembalikan daftar tersebut kepada parpol untuk diperbaiki. Satu-satunya sanksi hanyalah sanksi moral, yaitu KPU mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam Daftar Calon Sementara (DCS) dan Daftar Calon Tetap (DCT) pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional. Ketentuan ini terdapat dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 61 ayat (6) dan Pasal 66 ayat (2). Oleh karena itu, ada yang menganggap bahwa faktor regulasi afirmatif dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 sebenarnya tidak efektif dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, baik DPR maupun DPRD.12
E. Nomor Urut versus Suara Terbanyak: Kasus Maluku Utara Meskipun banyak kalangan mengkhawatirkan bahwa Putusan MK akan berdampak pada menurunnya tingkat keterpilihan perempuan, namun hasil penelitian yang dilakukan di Provinsi Maluku Utara menunjukkan hal yang sebaliknya. Penelitian yang dilakukan di provinsi ini menunjukkan bahwa sebagian parpol telah memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan partai.13 Tiga parpol yang diteliti juga telah memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dalam penyusunan daftar bakal calon dan penerapan zipper system.14 Hasil Pemilu 2009 di Provinsi Maluku Utara menunjukkan, Putusan Mahkamah Konstitusi yang dikhawatirkan akan menurunkan efektivitas affirmative action tidak sepenuhnya terbukti.15 Peluang perempuan untuk terpilih justru lebih besar setelah digunakan sistem suara terbanyak. Caleg perempuan yang pada pemilu sebelumnya tidak terpilih karena penentuan
12
13
14 15
Lihat dalam Sri Budi Eko Wardani, Revisi UU Pemilu dan Keterwakilan Perempuan, makalah, 18 November 2011. Sali Susiana dan Dian Cahyaningrum, “Implementasi Pasal tentang Affirmative Action dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Studi di Provinsi Maluku Utara)”, Jurnal Kajian Vol. 15, No.1, Maret 2010. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, hlm. 141. Ibid. Ibid., hlm. 167.
62
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
caleg terpilih menggunakan sistem nomor urut, pada Pemilu 2009 justru terpilih.16 Di provinsi ini, efektivitas affirmative action juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti posisi dalam kepengurusan partai dan tingkat popularitas.17 Pemilu legislatif di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2009 diikuti oleh 36 parpol. Terdapat dua parpol yang tidak mengikuti pemilu legislatif, yaitu Partai Persatuan Nahdatul Ummah dan Partai Sarikat Indonesia, karena kedua parpol ini tidak memiliki kepengurusan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.18 Dari hasil pemilu legislatif tersebut, secara keseluruhan di Provinsi Maluku Utara terdapat 21 orang perempuan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, meliputi 4 orang perempuan di DPRD provinsi (8,9% dari total 45 orang Anggota DPRD) dan 17 orang di DPRD kabupaten/kota.19 Empat orang perempuan Anggota DPRD tersebut berasal dari 2 partai. Dua orang dari Partai Golongan Karya (Golkar), dan 2 orang lainnya berasal dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Adapun di DPRD kabupaten/kota, 17 orang perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif tersebar di 2 kota dan 4 kabupaten yang ada di provinsi ini. Terdapat 2 kabupaten yang tidak memiliki wakil perempuan di DPRD, yaitu Halmahera Timur dan Halmahera Selatan.20 Hasil wawancara yang dilakukan dengan para narasumber menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) No. 22 dan 24/PUU-VI/2008 yang secara implisit membatalkan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD turut mempengaruhi keberhasilan caleg perempuan di Provinsi Maluku Utara.21 Farida Djama dari Golkar menyatakan bahwa ketika putusan MK keluar, secara pribadi dia menganggap hal itu tidak terlalu menjadi masalah. Dia meyakini hal ini karena pada Pemilu 2004 Farida Djama sebenarnya juga mendapatkan suara terbanyak. Akan tetapi mengingat pada waktu itu sistem penentuan caleg terpilih didasarkan pada nomor urut, maka dia tidak terpilih, karena dia berada pada nomor urut 3, sementara hanya ada 2 kursi. Jadi ketika putusan MK keluar dia mengaku tidak khawatir. Bahkan ternyata hasil pemilu menunjukkan, perolehan suara yang dia dapatkan justru lebih banyak bila dibandingkan dengan Pemilu 2004.22 18 19 20 21 22 16 17
Ibid. Ibid. Ibid. hlm. 151. Ibid. Ibid. Ibid., hlm. 157. Ibid.
63
Kuota 30% untuk Perempuan dalam Pemilu Tahun 2009
Ratna Marsaoly, caleg lainnya dari Golkar juga menyatakan bahwa sistem penentuan caleg terpilih dengan sistem suara terbanyak yang diterapkan setelah Putusan MK justru menguntungkan. Sebagai caleg dari Dapil III yang mencakup Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan Tidore Kepulauan, ia mendapat dukungan yang cukup besar dan hasilnya cukup memuaskan, meskipun ia masih memiliki kekurangan suara sebanyak 5.000 suara. Pengalamannya pada saat Pemilu tahun 1999, yang menggunakan sistem nomor urut, ia tidak berhasil terpilih karena berada di nomor urut bawah. Dengan demikian, meskipun sebenarnya caleg perempuan cukup mendapat dukungan, mereka akhirnya tidak terpilih menjadi anggota legislatif karena sistem nomor urut menempatkan caleg perempuan pada nomor urut bawah.23 Di Partai Hanura, Ike Masita Tunas menyatakan bahwa setelah putusan MK yang secara implisit membatalkan sistem nomor urut keluar, di internal partai ada yang mencoba untuk melakukan cara-cara yang tidak sehat dalam bersaing. Dia menggambarkan hal itu dengan istilah “jeruk makan jeruk.” Meskipun begitu, dia juga menegaskan bahwa perempuan juga memiliki strategi, yang disebutnya sebagai “strategi perempuan.” Dan dari perjuangan yang telah dilakukannya, terbukti bahwa ia mampu mendapatkan suara terbanyak dari pemilih.24 Hasil penelitian di Provinsi Maluku Utara tersebut menunjukkan bahwa tidak selamanya sistem suara terbanyak merugikan caleg perempuan. Demikian pula sebaliknya. Meskipun sistem pemilu tertentu dianggap dapat meningkatkan peluang caleg perempuan untuk terpilih, namun keberhasilan perempuan untuk mendapatkan kursi di lembaga legislatif juga ditentukan oleh faktor-faktor lainnya yang saling terkait.
23 24
Ibid. hlm. 158. Ibid.
64
PENUTUP AFFIRMATIVE ACTION DI INDONESIA: AGENDA KE DEPAN
A. Pengaturan Affirmative Action dalam tiga Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Dari uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perjuangan untuk meningkatkan keterwakilan 30% perempuan melalui affirmative action merupakan sebuah perjalanan yang panjang. Apabila mencermati pasal-pasal yang berkaitan dengan affirmative action dalam dua pemilu sebelumnya, yaitu Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, tampak bahwa ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut terus mengalami perkembangan, terutama dalam undang-undang yang mengatur mengenai pemilu, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sebagai contoh, bila dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum hanya terdapat 1 pasal yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan, yaitu Pasal 65 ayat (1), maka dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, affirmative action juga diimplementasikan dalam bentuk zipper system (sistem selang-seling) yang mengatur bahwa dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon [Pasal 55 ayat (2)]. Demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menjadi salah satu dasar hukum pelaksanaan Pemilu Tahun 2014. Ketentuan yang mengatur mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 hampir sama dengan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Ketentuan yang mengatur mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan tersebut terkait dengan beberapa substansi, yaitu: 1. persyaratan partai politik (parpol) yang dapat menjadi peserta pemilu (diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf e dan Pasal 15 huruf d);
65
Affirmative Action di Indonesia
2. pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota [(Pasal 55, 56 ayat (2), 58, 59 ayat (2), Pasal 62 ayat (6), dan Pasal 67 ayat (2)]; dan 3. penetapan calon terpilih (Pasal 215 huruf b). Perbandingan pengaturan mengenai affirmative action dalam ketiga undang-undang tentang pemilu tersebut secara lebih rinci dapat dilihat pada matriks berikut: Substansi
Persyaratan parpol peserta pemilu
Pendaftaran parpol peserta pemilu
Tabel 16 Pengaturan Affirmative Action dalam Undang-Undang tentang Pemilu UU No. 12/2003
-
-
UU No.10/2008
UU No. 8/2012
menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat [Pasal 8 ayat (1) huruf d]
menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat [Pasal 8 ayat (2) huruf e]
Salah satu dokumen persyaratan pendaftaran adalah surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (Pasal 15 huruf d)
Salah satu dokumen persyaratan pendaftaran adalah surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (Pasal 15 huruf d)
66
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif Substansi
Metode pencalonan
Penempatan caleg dalam daftar calon
UU No. 12/2003
Memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30% (Pasal 65 ayat 1)
-
UU No.10/2008
Daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan (Pasal 53)
zipper system: dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon (Pasal 55 ayat 2)
67
UU No. 8/2012 Daftar bakal calon Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan (Pasal 55) Dalam daftar bakal calon Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota, setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon. [Pasal 56 ayat (2)]
Affirmative Action di Indonesia Substansi
Verifikasi keterwakilan 30% untuk perempuan
Sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi keterwakilan 30% perempuan dalam daftar bakal calon
UU No. 12/2003
-
-
UU No.10/2008
UU No. 8/2012
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota melakukan verifikasi daftar calon yang diajukan oleh parpol telah memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan (Pasal 57)
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota melakukan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan (Pasal 58)
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon jika tidak memuat sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan [Pasal 58 ayat (2)] KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/ kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional [Pasal 61 ayat (6)]
68
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon jika tidak memuat sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan [Pasal 59 ayat (2)] KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional [Pasal 62 ayat (6)]
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif Substansi
UU No. 12/2003
UU No.10/2008 KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/ kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional [Pasal 66 ayat (2)]
UU No. 8/2012 KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional [Pasal 67 ayat (2)]
Dari matriks tersebut di atas terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengaturan mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan dalam dua undang-undang pemilu terakhir, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Demikian pula dengan dua undang-undang lainnya yang terkait pemilu, yaitu undang-undang tentang penyelenggara pemilu dan undang-undang tentang partai politik, pengaturan mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan juga hampir sama. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 6 ayat (5) dinyatakan bahwa “Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen).” Rumusan ini hampir sama dengan rumusan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, bahkan pasal yang mengatur hal itu juga sama, yaitu Pasal 6 ayat (5), yang menyatakan bahwa: “Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus).” Satu-satunya perbedaan hanyalah pilihan kata untuk menerangkan kata “30%”, yaitu tiga puluh persen (dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011) dan tiga puluh perseratus (dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007). Begitu pula pengaturan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam undang-undang tentang partai politik, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa “Pendirian dan pembentukan 69
Affirmative Action di Indonesia
Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Sedangkan terkait kepengurusan, dalam Pasal 2 ayat (5) dinyatakan bahwa kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Adapun untuk kepengurusan tingkat kabupaten/kota, keterwakilan 30% untuk perempuan tidak diatur secara tegas, sebagaimana terdapat dalam Pasal 20 yang menyatakan bahwa: “Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.”
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yang merupakan hasil perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, rumusan mengenai keterwakilan perempuan 30% sebagai salah satu syarat pendirian parpol tidak mengalami perubahan sama sekali. Namun demikian, dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 kuota 30% keterwakilan perempuan juga menjadi salah satu pertimbangan dalam proses rekrutmen yang dilakukan oleh parpol, baik untuk menjadi anggota parpol, bakal calon Anggota DPR dan DPRD, bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, maupun bakal calon presiden dan wakil presiden [Pasal 29 ayat (1a)]. B. Pro dan Kontra Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2013 Apabila secara normatif ketentuan mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan menjadi salah satu pertimbangan dalam proses rekrutmen yang dilakukan oleh parpol, baik untuk menjadi anggota parpol maupun menjadi bakal calon Anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, apakah hal itu kemudian berarti bahwa tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif hasil Pemilu 2014 mendatang juga akan meningkat? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat kembali apa yang sudah dipaparkan dalam Bab II mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan di lembaga politik, terutama lembaga legislatif. Selain itu, tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif sebagai hasil Pemilu 2014 juga akan sangat ditentukan oleh seberapa besar peluang yang dimiliki dan hambatan yang dihadapi oleh caleg perempuan. Salah satu hal yang membedakan ketentuan mengenai affirmative action dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah terbitnya peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memuat adanya sanksi bagi parpol yang tidak 70
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
dapat memenuhi keterwakilan 30% perempuan. Peraturan yang merupakan tindak lanjut kebijakan afirmasi tersebut tersebut adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut PKPU). Pasal 27 ayat (1) Huruf b PKPU menyatakan, jika ketentuan 30% keterwakilan perempuan tidak terpenuhi, parpol dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon pada daerah pemilihan bersangkutan. PKPU tersebut kemudian mendapatkan berbagai tanggapan, baik yang pro maupun kontra, terutama dari parpol peserta Pemilu 2014. Dari 15 parpol yang memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 2014, hanya beberapa partai yang menyatakan kesiapannya untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Rata-rata parpol-parpol tersebut memiliki sayap organisasi yang fokus pada gerakan perempuan, antara lain Partai Demokrat, Partai Demokrasi IndonesiaPerjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Hal ini antara lain dapat dilihat dari pernyataan para pimpinan parpol tersebut. Melalui Wakil Ketua Majelis Tinggi (Marzuki Alie), Partai Demokrat menyatakan persyaratan tersebut tidak menjadi masalah karena Demokrat memiliki sayap organisasi, yaitu Perempuan Demokrat Republik Indonesia. Partai Nasdem yang merupakan sebuah partai baru, juga menyatakan kesiapannya untuk memenuhi ketentuan tersebut. Bahkan Partai Nasdem menyatakan siap menghadapi sanksi berupa penghapusan daerah pemilihan (dapil) bila tidak dapat memenuhi kuota 30% sebagaimana diatur dalam PKPU. Organisasi sayap yang ada dalam parpol biasanya memang menyasar pada kelompok-kelompok tertentu, tidak terkecuali kelompok perempuan. Beberapa parpol peserta Pemilu 2014 memiliki organisasi sayap yang bergerak di bidang perempuan seperti terlihat pada tabel berikut: No.
Tabel 16 Organisasi Sayap Partai Politik yang Bergerak di Bidang Perempuan
Nama Partai Politik
1.
Demokrat
4.
Partai Kebangkitan Bangsa
2. 3. 5. 6. 7. 8.
PDI Perjuangan
Golongan Karya
Partai Amanat Nasional
Partai Persatuan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera Partai Gerindra
Nama Organisasi Sayap
Perempuan Demokrat Republik Indonesia Srikandi Perempuan PDI Perjuangan Kesatuan Perempuan Partai Golkar
Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa Persaudaraan Perempuan Amanat Nasional Wanita Persatuan Pembangunan Persaudaraan Muslimah
Perempuan Indonesia Raya
71
Affirmative Action di Indonesia 9.
10.
Partai Hanura
Partai Nasional Demokrat
Perempuan Hanura
Garda Wanita Malahayati
Sumber: Ormas Dilarang Jadi Sayap Partai, Republika, 19 Februari 2013.
Meskipun hampir semua parpol memiliki sayap organisasi perempuan, sebagian besar parpol tetap keberatan dengan persyaratan yang diatur oleh PKPU. Di antaranya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Ketua Umum PPP (Surya Dharma Ali) menyatakan bahwa partainya kesulitan mencari caleg perempuan. Sekretaris Jenderal PPP (M. Romahurmuziy) bahkan menilai Peraturan KPU tersebut berlebihan. Ketua Dewan Syuro PBB (Yusril Ihza Mahendra) juga menyatakan syarat 30% calon anggota legislatif (caleg) perempuan dalam daftar bakal calon memberatkan parpol dan sulit dicapai untuk daerah-daerah tertentu, seperti Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Demikian pula dengan PKPI yang merasa keberatan dengan persyaratan tersebut. PKPI kesulitan memenuhi ketentuan itu, terutama di daerah terpencil dan daerah yang masih kuat memegang tradisi. Persyaratan yang diatur dalam PKPU juga mendapat tanggapan dari seluruh fraksi yang ada di DPR. Pada saat acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan KPU, seluruh fraksi memprotes sanksi berupa kehilangan kesertaan di suatu dapil jika parpol tidak memenuhi kuota 30% untuk caleg perempuan dan penempatan seorang caleg perempuan di setiap tiga nomor. Sebaliknya, beberapa organisasi non-pemerintah dan aktivis yang fokus pada pemberdayaan politik perempuan sangat mendukung PKPU. Bahkan organisasi-organisasi tersebut membentuk koalisi yang disebut Koalisi Amankan Pemilu (KAP) 2014 dan menyampaikan sikap yang intinya menyatakan bahwa parpol peserta pemilu wajib memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif. KAP 2014 juga menyatakan bahwa parpol harus bersedia menerima konsekuensi, yaitu tidak dapat mengikuti pemilu di daerah pemilihan bersangkutan bila tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut. Dari tanggapan beberapa parpol yang merasa keberatan dengan PKPU, dapat dilihat bahwa salah satu alasan yang diajukan oleh parpol adalah sulitnya memenuhi keterwakilan 30% perempuan dalam daftar calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota untuk daerah-daerah tertentu. Hal ini sangat beralasan bila kita melihat hasil pemilu sebelumnya (Pemilu 2009). Untuk tingkat pusat saja, beberapa provinsi tidak memiliki wakil perempuan di DPR, yaitu Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, dan Aceh. Sementara untuk tingkat DPRD, persentase 72
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
perempuan yang duduk di DPRD di 33 provinsi sebesar 16% dan di 461 DPRD kabupaten/kota sebesar 12%. Tanggapan agak berbeda dinyatakan oleh Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) yang mengungkapkan bahwa PKPU tentang kuota calon legislatif (caleg) 30% per partai sebagai tindak lanjut pengaturan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD akan membuka peluang terjadinya pelanggaran parpol. Peluang ini didasarkan pada ketidakjelasan sikap parpol terhadap kuota tersebut. Apabila tidak memenuhinya, partai akan kehilangan mengajukan caleg di dapilnya. Dengan demikian, partai yang tidak memenuhi kuota di suatu daerah maka partainya akan dicoret di dapil tersebut. Lebih lanjut Ray Rangkuti menyatakan bahwa sanksi antara partai yang sengaja tidak memenuhi kuota agar dicoret dengan partai yang tidak mampu memenuhi kuota sama, yaitu keduanya tidak dapat mengikuti pemilu anggota legislatif di dapil tertentu. Hal ini tidak adil bagi parpol yang memang tidak dapat memenuhi kuota, karena sanksinya sama dengan partai yang sengaja gagal di suatu dapil. Ia menyarankan agar peraturan pemilu yang memicu ketidakadilan tersebut diubah seadil mungkin. Dengan demikian, sanksi bagi parpol yang tidak sengaja melanggar peraturan dengan mereka yang sengaja melanggar berbeda tingkatan. Partai yang sengaja gagal di suatu dapil seharusnya dibekukan hingga tingkat pusat. Sinyalemen yang dinyatakan oleh Ray Rangkuti tersebut memang tidak terbukti. Akan tetapi, sebelum Daftar Calon Anggota Legislatif Tetap (DCT) diumumkan, muncul fenomena caleg ganda dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Sementara (DCS) yang diajukan oleh parpol. Caleg ganda ini berupa bakal caleg yang diajukan oleh lebih dari satu parpol dan bakal caleg yang mencalonkan diri pada lebih dari satu dapil.1 Fenomena caleg ganda tersebut antara lain dilontarkan oleh Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (FORMAPPI), yang menyatakan bahwa hal ini terjadi karena buruknya sistem administrasi partai.2 Munculnya caleg ganda juga menunjukkan bahwa rekrutmen parpol terhadap caleg belum berjalan dengan baik. Proses kaderisasi di internal partai tidak berjalan sehingga partai membuka lowongan menjelang pendaftaran caleg.3 Lebih parah lagi, FORMAPPI menduga adanya unsur kesengajaan dari partai karena duplikasi sebagian besar terjadi pada bakal caleg perempuan. Hal ini merupakan bentuk manipulasi untuk memenuhi kuota 30% perempuan di 3 1 2
“Caleg Ganda Ramaikan DCS”, Republika, 27 April 2013, hlm. 2. Ibid. Ibid.
73
Affirmative Action di Indonesia
setiap dapil.4 Beberapa perempuan yang menjadi caleg ganda tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 17 Bakal Caleg Perempuan yang Menjadi Caleg Ganda dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Sementara (DCS)
No
Nama
Partai
1.
Eka Susanti
Partai Kebangkitan Bangsa
2.
Hasniati
Partai Kebangkitan Bangsa
4.
Nur Yuniati
Partai Bulan Bintang
3.
5. 6.
Karina Astri Rahmawati
Sri Sumiati
Kasmawati Kasim
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Bulan Bintang Partai Bulan Bintang
Dapil
Kalimantan Barat Dapil III Sumatera Utara Dapil VI Jawa Tengah Dapil II Riau Kalimantan Barat
Dapil IX Jawa Barat Nusa Tenggara Barat Dapil I Aceh Dapil II Jawa Barat
Dapil VIII Jawa Tengah Dapil VII Jawa Timur
Dapil I Sulawesi Selatan Dapil Sulawesi Tenggara
Sumber: “Caleg Ganda Ramaikan DCS”, Republika, 27 April 2013, hlm. 2, diolah.
Meskipun tidak semua parpol dapat memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan di setiap dapil, namun dari Daftar Calon Anggota Legislatif Tetap (DCT) untuk DPR RI Periode 2014-2019 yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 Agustus 2013 telah menunjukkan bahwa persentase keterwakilan perempuan secara umum mencapai angka 35%.5 C. Beberapa Agenda Dikaitkan dengan Pemilu 2014 yang akan berlangsung sebentar lagi, berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik. Sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, pemilu harus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi. Selain sebagai wujud pelaksanaan demokrasi, pemilu menjadi penting bagi perempuan, karena: 1. Pemilu merupakan mekanisme yang dapat mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga pembuat undang-undang (legislatif) dan kebijakan publik;
4 5
Ibid. “Situasi Dilematis Kebijakan Afirmatif”, Teraju, Republika 28 Agustus 2013. Data lain menyebutkan persentase caleg perempuan sebesar 37,4%. Lihat “Menimbang Wajah Baru Calon Legislatif”, Kompas, 2 September 2013.
74
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
2. Keterwakilan perempuan pada lembaga-lembaga tersebut penting agar rancangan undang-undang (RUU) serta kebijakan publik yang dihasilkan memperhatikan kepentingan perempuan dan tidak diskriminatif terhadap perempuan; 3. Perempuan mempunyai kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri; 4. Perempuan merupakan separuh lebih dari jumlah penduduk yang seharusnya mempunyai peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan masyarakat adil dan demokratis; 5. Sama seperti laki-laki, perempuan mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.
Dengan berbagai argumentasi tersebut di atas, peningkatan partisipasi politik perempuan, terutama di lembaga legislatif, menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi. Oleh karena itu, berbagai upaya harus terus dilakukan untuk mengatasi hambatan yang dihadapi oleh perempuan yang akan memasuki dunia politik, baik hambatan yang bersifat struktural maupun kultural, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Meskipun jumlah perempuan di lembaga legislatif terus mengalami peningkatan dari pemilu ke pemilu, namun sampai saat ini jumlah tersebut belum mencapai 30% sebagai “minoritas kritis” (critical minority) agar suara perempuan “terdengar” dan dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk mengakselerasi peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga tersebut. Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain: pertama, memperluas cakupan affirmative action. Selama ini affirmative action lebih banyak diatur dalam undang-undang tentang pemilu dibanding dalam 2 undang-undang lainnya yang terkait dengan pemilu, yaitu undang-undang tentang partai politik dan undang-undang tentang penyelenggara pemilu. Pemberlakuan affirmative action sebaiknya juga mulai diterapkan dalam internal partai yang merupakan peserta pemilu. Hal ini penting untuk mendukung efektivitas affirmative action yang selama ini sudah cukup diakomodasi dalam undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu, terutama undang-undang tentang pemilu. Keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan parpol yang diatur dalam undang-undang tentang partai politik tidak akan berarti banyak bila penempatan perempuan dalam struktur kepengurusan parpol tersebut mengabaikan kualitas perempuan. Dengan memperhitungkan kualitas perempuan yang ditempatkan dalam kepengurusan parpol, kecenderungan selama ini yang terjadi di mana parpol sekedar memenuhi syarat keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan juga dapat dihindari. 75
Affirmative Action di Indonesia
Upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kader perempuan yang ditempatkan dalam kepengurusan parpol ini tidak terlepas dari pola rekrutmen yang dilakukan oleh parpol untuk mencari kader bagi partainya. Kajian yang dilakukan oleh Puskapol Fisip UI tahun 2009 tentang mekanisme rekrutmen kader di 7 parpol di DPR berhasil mengidentifikasi sejumlah masalah yang dihadapi dalam rekrutmen partai, yaitu:6 1. Pada umumnya partai belum memiliki prosedur rekrutmen yang mapan, sehingga rekrutmen lebih bersifat instan tanpa kriteria dan prosedur yang jelas; 2. Partai masih mengandalkan basis dukungan lama, yang seringkali telah mengalami pergeseran. Hal ini menyebabkan partai menjadi relatif pasif dan kurang inovatif dalam mengeksplorasi pendekatan untuk menjaga dan memperluas basis pendukung; 3. Rekrutmen kandidat di internal partai untuk maju dalam pemilihan umum kurang memperhatikan aspek kinerja bakal calon.
Realitas selama ini menunjukkan, parpol menerima siapa saja anggota masyarakat yang ingin menjadi kader partai. Belum semua parpol memberikan perhatian khusus untuk menjaring dan mengader perempuan sebagai anggota, bahkan kuota 30% lebih banyak digunakan parpol sebagai ajang memenuhi persyaratan agar dapat mengikuti pemilu daripada menjaring kader perempuan yang berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari data caleg Pemilu 2014 yang sebagian besar berasal dari kalangan swasta dan bisnis (50,9%) dan hanya kurang dari 10% yang berlatar belakang sebagai politisi sebagaimana terlihat dalam tabel berikut: Tabel 18 Latar Belakang Caleg Perempuan Pemilu 2014 Latar Belakang
Persentase (%)
Swasta dan bisnis
50,9
profesional
4,7
akademisi
9,5
politisi
7,6
pensiunan
4,1
artis
0,9
Pejabat pemerintah
0,4
Tokoh agama
0,2
Sumber: “Kuota Perempuan, Sebuah Pekerjaan Rumah”, Kompas, 30 September 2013.
6
Ibid., hlm. 14-15.
76
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Dari tabel tersebut terlihat bahwa perempuan yang menjadi caleg pada Pemilu 2014 yang berlatar belakang politisi persentasenya kurang dari 10%. Caleg perempuan terbanyak justru berasal dari kalangan swasta dan bisnis (50,9%). Ke depan, idealnya caleg perempuan yang diajukan oleh parpol adalah caleg perempuan yang berlatar belakang politisi, dan bukan kader instan yang baru bergabung dengan parpol tersebut beberapa saat sebelum pemilu diselenggarakan. Perlu dilakukan pembatasan, kader yang dapat diajukan sebagai caleg adalah mereka yang sudah menjadi kader minimal sekian tahun. Kalaupun parpol membuka pendaftaran kepada masyarakat luas untuk menerima kader baru, hal itu harus dilakukan jauh hari sebelum proses pemilu dilaksanakan. Kedua, memperberat sanksi bagi parpol yang tidak dapat memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar caleg. Apabila selama ini sanksi terhadap partai yang melanggar ketentuan tersebut masih sebatas diatur dalam Peraturan KPU, sebaiknya ke depan sanksi tersebut dicantumkan dalam undangundang yang mengatur tentang pemilu. Sanksi ini dapat berupa penolakan daftar partai peserta pemilu yang tidak memenuhi persyaratan kuota atau sanksi keuangan dalam bentuk hilangnya hak atas dukungan dana kampanye. Ketiga, melakukan pendidikan politik, yang merupakan salah satu fungsi yang harus dijalankan oleh partai. Secara umum pendidikan politik ini dapat dibagi dua. Pertama, pendidikan politik bagi perempuan yang menjadi calon anggota legislatif (caleg). Dan kedua, pendidikan politik bagi perempuan yang menjadi pemilih, terutama mereka yang baru pertama kali memilih atau dikenal sebagai perempuan pemilih pemula. Perempuan-perempuan yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) merupakan calon-calon aktor politik, sehingga perlu dibekali dengan pendidikan yang cukup agar mereka lebih berkualitas dan berperspektif gender. Hal ini sangat penting, agar mereka nantinya dapat memiliki kemampuan yang handal untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan perempuan secara maksimal. Demikian pula dengan perempuan yang akan menjadi pemilih dalam Pemilu 2014, perlu diberikan pendidikan agar mereka hanya memilih caleg yang berkualitas dan berperspektif gender. Beberapa materi yang perlu diberikan kepada para perempuan yang menjadi caleg antara lain: • Sistem ketatanegaraan dan pemerintahan di Indonesia, termasuk konstitusi, lembaga-lembaga negara, dan tata pemerintahan yang baik; • Sistem pemilihan umum; • Membangun citra diri; • Komunikasi politik; • Menggalang dana; dan • Membangun jejaring. 77
Affirmative Action di Indonesia
Adapun bagi perempuan pemilih, beberapa materi yang perlu disampaikan antara lain: 1. Informasi mengenai kondisi obyektif partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik saat ini, termasuk proporsi jumlah penduduk perempuan dengan jumlah perempuan yang menduduki jabatan-jabatan politik. 2. Informasi mengenai hak asasi perempuan, termasuk hak politik perempuan dan bagaimana menggunakan hak-hak tersebut; 3. Informasi mengenai undang-undang yang berkaitan dengan bidang politik; 4. Pengetahuan mengenai peran perempuan dan isu gender dalam politik, termasuk pengenalan terhadap konsep gender, konsep kesetaraan dan keadilan gender; 5. Pentingnya memilih parpol yang berperspektif gender dan konsekuensi dari pilihan tersebut.
Ketiga langkah tersebut di atas diharapkan dapat mempercepat upaya peningkatan keterwakilan di lembaga legislatif. Menurut pendapat penulis, ketiga langkah ini jauh lebih realistis dibanding mengadopsi affirmative action melalui reserved seats, yaitu memberikan sejumlah kursi kepada perempuan. Di beberapa negara seperti Tanzania dan India hal ini memang efektif dalam meningkatkan representasi perempuan. Akan tetapi di Indonesia penerapan teknik ini akan menghadapi berbagai kendala, terutama ketidaksiapan perempuan yang akan mengisi kursi yang akan diberikan untuk perempuan. Sebelum teknik ini diterapkan, sebaiknya perempuan benar-benar disiapkan untuk mengisi kursi ini, dengan melakukan peningkatan kapasitas bagi caleg perempuan sehingga perempuan yang duduk di kursi ini adalah perempuan yang berkualitas dan dapat menyuarakan dan membela kepentingan kaum perempuan, tidak sekedar menjadi “boneka” pajangan yang duduk untuk memenuhi jumlah kursi yang diberikan kepada perempuan.
78
REFERENSI
Achie Sudiarti Luhulima, “Hak Perempuan dalam Kehidupan Politik”, dalam Bahan Ajar tentang Hak Perempuan, UU No.7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Achie Sudiarti Luhulima (ed.), Jakarta: Convention Watch bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, 2007. A.D. Kusumaningtyas, “Pemilu 2004: Menagih Komitmen Parpol Islam untuk Demokrasi yang Berkeadilan Gender”, dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Anne Phillips, The Politics of Presence, Oxford: Clarendon Press, 1995.
Ani W. Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005.
Carol Lee Bacchi, The Politics of Affirmative Action: ‘Women’, Equality and Category Politics, London-Thousand Oaks-New Delhi: SAGE Publications, 1996. Eep Saefulloh Fatah, “Caleg Selebriti Perempuan: dari Perlengkapan ke Pelaku Politik”, dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar Burung, dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Maret 2004, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
IFES, Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: IFES, tanpa tahun. Indeks Ketimpangan Gender: Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012. Kerja Sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik.
Inter-Parliamentary Union, Equality in Politics: a Survey of Women and Men in Parliaments, Reports and Documents No. 54, 2008. Isbodroini Suyanto, Peranan Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik Perempuan, dalam Ihromi, TO (eds). Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, …..(tahun…). 79
Daftar Pustaka
Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012. Kerja Sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik.
Kemitraan, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, Penguatan Kebijakan Afirmasi, Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011.
Marwah Daud Ibrahim, Perempuan Indonesia: Pemimpin Masa Depan Mengapa Tidak? Dalam Mely G. Tan (ed), Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. M,B. Wijaksana (ed), Modul Perempuan untuk Politik, Sebuah Panduan tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004.
Mely G. Tan, Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Nadezhda Shvedova, “Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan di Parlemen” dalam Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Azza Karam, dkk, penerjemah Arya Wisesa dan Widjanarko, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999. Nia Sjarifudin, Peningkatan Keterwakilan Perempuan: Sebuah Keniscayaan untuk Sebuah Perubahan, dalam Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Naskah Rekomendasi Kebijakan Representasi Perempuan dalam Regulasi Partai Politik dan Pemilu, , Desember 2010. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1992.
Sali Susiana, “Perda tentang Antipelacuran dan Hak Perempuan (Kajian tentang Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran: Perspektif Feminis Radikal)”, Majalah Ilmiah KAJIAN Vol. 11, No. 2 Juni 2006. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. 80
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Sali Susiana, Sulasi Rongiyati, dan Nurul Hilaliyah, Buku Kompilasi: Pengarusutamaan Gender dalam Parlemen, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI bekerja sama dengan Proyek PROPER-United Nations Development Programme Indonesia, 2008.
Sali Susiana dan Dian Cahyaningrum, Implementasi Pasal tentang Affirmative Action dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Studi di Provinsi Maluku Utara), Jurnal Kajian Vol. 15, No.1 Maret 2010, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. Sali Susiana, Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2011. Sali Susiana, Rekrutmen Perempuan Calon Anggota DPRD Provinsi: Implementasi Kuota 30% Keterwakilan Perempuan dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Pemilu 2014, laporan penelitian, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI , 2013, tidak diterbitkan. Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. Sandra Kartika (ed.). Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan: Panduan bagi Jurnalis, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 1999.
Makalah/Jurnal Aisah Putri Budiarti, “Pemilu Tak Ramah Perempuan”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Representasi Perempuan Indonesia Pasca-Judicial Review UU Pemilu No. 1/2008, Catatan Awal Tahun Women Research Institute, diselenggarakan oleh Women Research Institute, 21 Januari 2009. Fajrul Fallah, “Kisah Pembongkaran Sistem Pemilu”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Representasi Perempuan Indonesia Pasca-Judicial Review UU Pemilu No. 1/2008, Catatan Awal Tahun Women Research Institute, diselenggarakan oleh Women Research Institute, 21 Januari 2009. Sri Budi Eko Wardani, Revisi UU Pemilu dan Keterwakilan Perempuan, makalah, 18 November 2011. Women Research Institute, Pemilu 2009: Suara Terbanyak vs Nomor Urut (Studi atas Pemilu Legislatif 2009 di Indonesia, 12 Maret 2010. 81
Daftar Pustaka
Surat Kabar Media Indonesia, 26 September 1996.
“Jumlah Caleg: KPU Tetapkan Maksimal 675 Calon untuk DPR,” Kompas, 3 Oktober 2008. “Komisi Pemilihan Umum,” Republika, 7 Oktober 2008.
“10 Partai Langgar Ketentuan Zipper,” Media Indonesia, 8 Oktober 2008. “Komisi Pemilihan Umum,” Republika, 31 Oktober 2008.
“Kemajuan Semu Perempuan Indonesia”, Kompas, 11 Maret 2011. “Ormas Dilarang Jadi Sayap Partai,” Republika, 19 Februari 2013. “Caleg Ganda Ramaikan DCS”, Republika, 27 April 2013.
“Nomor Urut Masih Sakti,” Teraju Republika, 29 April 2013.
“Kuota 30 Persen Perempuan Berpeluang Dilanggar,” Suara Pembaruan, 2 Juli 2013. “Surat Suara Horisontal,” Media Indonesia, 29 Juli 2013.
“Situasi Dilematis Kebijakan Afirmatif,” Teraju, Republika, 28 Agustus 2013. “Menimbang Wajah Baru Calon Legislatif”, Kompas, 2 September 2013.
“Kuota Perempuan, Sebuah Pekerjaan Rumah”, Kompas, 30 September 2013.
Internet Siaran Pers Komnas Perempuan: Kebijakan Diskriminatif yang Bertentangan dengan Konstitusi tanggal 22 August 2013, http://www. komnasperempuan.or.id/2013/08/siaran-pers-komnas-perempuankebijakan-diskriminatif-yang-bertentangan-dengan-konstitusi/, diakses tanggal 23 Oktober 2013.
Lain-lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Mengapa Perempuan Perlu di Lembaga Pengambil Keputusan, Buklet Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, 2006.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 Perihal Pengujian Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 82
Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif
“Mengertikah Anda? Begitu Banyak Peluang bagi Perempuan dalam Menyelenggarakan NKRI.” Leaflet Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, tanpa tahun.
Ratna Batara Munti, Benarkah Islam Melarang Perempuan Menjadi Imam bagi Laki-laki? Buklet Islam Seri 3. KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara), 2011.
83
INDEKS
A
E
Affirmative Action 11, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 31, 34, 36, 37, 38, 42, 52, 61, 62, 63, 65, 66, 70, 75, 78, 79, 81 ASEAN 21
Electoral Threshold 43
F
Feminisme 1, 25 Fraksi 31, 32, 40, 41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 58, 72 Fraksi-fraksi 41, 42, 44, 46, 48
B
Beijing Declaration and Platform for Action 4 By Design 41
G
Gender Inequality Index 20 Goals 5
C
Caleg Perempuan 29, 32, 35,36, 37, 52, 53, 54, 55, 58, 59, 62, 63, 64, 70, 72, 73, 74, 76, 77, 78 CEDAW 2, 25, 38, 61 CETRO 32, 57
I
Indivisible 4 Inter-Parlementary Union 1, 16, 79
K
Keterwakilan Perempuan 1, 14, 15, 16, 20, 21, 23, 24, 26, 27, 28, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 54, 55, 58, 60, 61, 62, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 75, 78, 79, 80, 81 KOMNAS Perempuan 9, 82 KPU 28, 40, 45, 46, 49, 50, 53, 54, 55, 62, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 77, 82
D
Daftar Calon Sementara 44, 45, 46, 50, 53, 62, 68 Daftar Calon Tetap 44, 45, 46, 50, 55, 56, 62, 69 Decision Maker 11 Deklarasi Wina 4 DIM RUU Pemilu 43, 44 DPD 34, 39, 40, 49, 51, 58, 62, 63, 65, 66, 70, 73, 81 DPR 8, 11, 12, 13, 14, 18, 19, 23, 28, 31, 32, 34, 37, 39, 40, 41, 42, 44, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 58, 59, 60, 62, 63, 65, 66, 70, 72, 74, 76, 81, 82 DPRD 11, 23, 28, 39, 40, 41, 42, 47, 49, 50, 51, 52, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 67, 70, 72, 73, 81
L
Legislated Quota 22 Lembaga Legislatif 3, 4, 11, 12, 13, 14, 18, 21, 23, 26, 27, 34, 41, 50, 51, 58, 61, 62, 64, 70, 75, 78
M
Maluku Utara 60, 62, 63, 64, 72, 81 Millenium Development 5 84
P
Pemilu 2014 60, 70, 71, 74, 76, 77, 81 Persamaan de Facto 25, 38, 61 Political Will 16, 35 Preasure Group 31
Parpol 18, 27, 28, 29, 31, 32, 34, 35, 36, 37, 40, 44, 45, 46, 53, 54, 55, 58, 62, 63, 65, 66, 68, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79 Partisipasi Politik 1, 2, 4, 6, 7, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 34, 41, 42, 61, 75, 79, 81, 82 Party Quota 22 Pasal 62 44, 45, 46, 66, 68 Pemilu 13, 14, 15, 16, 18, 20, 22, 23, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76,77, 79, 80, 81
R
Reserver Seats 22, 23, 78 Right to Stand for Elections 1 Right to Vote 1
V
Volksraad 11, 12
Z
Zipper System 23, 24, 25, 42, 58, 62, 65, 67
85
TENTANG PENULIS
Sali Susiana, lahir di Jakarta, 13 April 1971. Pendidikan sarjana dari Jurusan Sosiologi FISIPOL Universitas Gadjah Mada (1995) dan Magister dari Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia (2005). Menjadi peneliti Bidang Studi Kemasyarakatan Studi Khusus Gender pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI sejak tahun 1996. Anggota Tim Asistensi untuk penyusunan beberapa Rancangan UndangUndang (RUU) dan tim khusus yang dibentuk DPR, antara lain RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (2014), Tim Pengawas DPR RI terhadap Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (2013-2014), Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan TKI di Saudi Arabia (2011), RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (2011), RUU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (2001), dan RUU tentang Perlindungan Anak (2000). Melakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan isu gender dan perempuan, antara lain: Rekrutmen Perempuan Calon Anggota DPRD Provinsi: Implementasi Kuota 30% Keterwakilan Perempuan Dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Pemilu 2014 (2013), Implementasi Kebijakan Daerah dalam Penanganan Masalah Kekerasan terhadap Perempuan (2012), Akses Perempuan terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi: Studi di Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Tenggara (2011); Implementasi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah: Studi di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali (2010); Efektivitas Pasal tentang Affirmative Action dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif: Studi di DPRD Provinsi Maluku Utara (2009); dan Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam Proses Legislasi dan Penyusunan Anggaran (atas biaya United Nations Development Program/UNDP/2008). Salah satu penulis Buku Kompilasi: Pengarusutamaan Gender dalam Parlemen (Penerbit Sekretariat Jenderal DPR RI bekerja sama dengan Proyek PROPER – UNDP, 2008). Menjadi editor beberapa buku yang diterbitkan oleh P3DI Setjen DPR RI, antara lain: Tenaga Kerja: Perspektif Hukum, Ekonomi, dan Sosial (2013); Perlindungan Anak dari Perspektif Pendidikan, Psikologis, dan Sosial (2012); Tenaga Kerja Indonesia: antara Kesempatan Kerja, Kualitas, dan Perlindungan (2011); Pencapaian MDGs Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2011); Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum, dan Ekonomi (2003); dan 86
Perempuan Indonesia Menyongsong Abad 21: Kajian tentang Kedudukan dan Peran dalam Pembangunan (2000). Juga menjadi kontributor dalam beberapa buku: Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia (2009); Krisis Ekonomi Global dan Tantangan dalam Penanggulangan Kemiskinan (2009); Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi (2008); Pembangunan Kesejahteraan Rakyat: Tinjauan terhadap Dua Tahun Pemerintahan SBY-JK (2006); Kesejahteraan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik (2005); dan Pembangunan Sosial: Teori dan Implikasi Kebijakan (2000). Menulis beberapa artikel mengenai isu perempuan dan gender pada jurnal ilmiah dan surat kabar, antara lain “Urgensi Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam Perspektif Feminis” (Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7, No. 2 Agustus 2010); “Kebijakan Penempatan TKI Pasca-Moratorium” (Majalah Parlementaria, Edisi 85 Th XLII, 2011); “Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri” (Majalah Parlementaria, Edisi 80 Th XLI, 2010); “Nasib UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga” (Kompas, 11 Agustus 2010) dan “RUU Anti KDRT: Buah Simalakama bagi Perempuan” (Kompas, 6 September 2004). Aktivitas lainnya adalah menjadi Anggota Kelompok Kerja Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan Deputi II Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan (PKPH) Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2007-2009). Terakhir menulis buku Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan (2011).
87