PEMBELAJARAN INOVATIF DAN ASESMEN OTENTIK DALAM RANGKA MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN PRODUKTIF
IT
G
L NA S H A IO NE A
UNIV DEPA ER R S
NDIDIKA N PE N ME PENDIDIKA NA TE AS N S
U NDI
KSHA
OLEH A.A. ISTRI N. MARHAENI
Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pengusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Univesitas Udayana Denpasar tanggal 8-9 Desember 2007
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2007
1
PEMBELAJARAN INOVATIF DAN ASESMEN OTENTIK DALAM RANGKA MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN PRODUKTIF Oleh A.A.I.N. Marhaeni1
1. PENDAHULUAN Laporan UNESCO (Delors, dkk. 1996) telah menetapkan empat pilar pendidikan sebagai landasan pendidikan era global, yaitu: (1) learning to know, yakni peserta didik mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni peserta didik menggunakan pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni peserta didik menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning to live together, yakni peserta didik menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga diperlukan adanya saling menghargai antara sesama manusia. Laporan itu juga mengatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan kehidupan masa depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap maupun untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks dan penuh dengan saling ketergantungan. Tindak lanjut dari landasan pendidikan tersebut adalah munculnya orientasi pada pembentukan kompetensi yang relevan dengan tuntutan dunia nyata. Kompetensi meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pendidikan tradisional yang sangat berorientasi kuantitatif dan menyandarkan pada pemahaman pengetahuan semata, seperti disebutkan di atas, dianggap tidak dapat membekali peserta didik dengan kompetensi yang diperlukan dalam kehidupan. Dengan demikian, pendidikan yang dikehendaki dewasa ini adalah pendidikan yang berlangsung secara kontekstual. Pendidikan kontekstual dicirikan oleh proses pembelajaran yang diarahkan pada pemecahan masalah, menggunakan konteks yang bervariasi, menghargai keberagaman individu, mendukung pembelajaran
1
Dosen S1 Pendidikan Bahasa Inggris dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Undiksha Singaraja
2
mandiri (self-regulated learning), menggunakan kelompok belajar secara kooperatif, dan menggunakan asesmen otentik (Clifford dan Wilson, 2000). Tindak lanjut pertama dari orientasi tersebut sudah tentu adalah reorientasi pada kurikulum; dari kurikulum tradisional yang cenderung subject-matter oriented menuju kepada competency-based. Sesuai dengan hakikat kurikulum berbasis kompetensi, maka pembelajaran harus berpusat pada peserta didik dan bersifat kontekstual. Model-model pembelajaran inovatif yang berbasis kompetensi dan asesmen otentik menjadi tulang punggung untuk menyukseskan kurikulum berbasis kompetensi.
2. PEMBELAJARAN YANG BERPUSAT PADA PESERTA DIDIK Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (untuk selanjutnya, dalam makalah ini akan digunakan istilah asingnya yaitu Student-Centered Learning, disingkat SCL) lahir pada awal abad ke-20, yaitu pada saat orang-orang mulai meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif dalam proses inkuiri, yaitu proses memecahkan masalah yang dihadapinya sendiri. Dibawah pengaruh perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education (lahir di Amerika Serikat) yang meyakini bahwa pengalaman langsung adalah inti dari belajar. Para pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yang menganggap bahwa peserta didik sebagai kantong kosong yang baru berisi bila diisi oleh guru (teori Tabula rasa). Peran guru adalah sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah peserta didik. John Dewey adalah pelopor pandangan progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas adalah laboratorium yang memotret kehidupan yang sebenarnya. Dia mengajak guru untuk menggunakan masalah riil sehari-hari untuk dipecahkan oleh peserta didik, sebagai bahan pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang memuat masalah-masalah nyata yang sedang dihadapi, tidak tentang hal-hal yang abstrak bagi peserta didik. Dewey dikenal dengan filosofi pendidikan learning by doing. SCL dilandasi oleh paham konstruktivisme. Konstruktivisme berarti bahwa peserta didik membangun (to construct)
pemahamannya tentang dunia. Berbicara mengenai
konstruktivisme bukanlah berbicara tentang suatu teknik tertentu dalam pembelajaran, melainkan kita berfikir tentang proses perolehan pengetahuan dan asesmennya. Ada dua
3
kata kunci dalam konstruktivisme, yaitu aktif (active) dan makna (meaning) (Elliott, dkk, 2000); dimana pembelajaran konstruktivis tersebut digambarkan sebagai berikut: “Peserta didik tidak semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi tersebut, tugas yang akan dipentaskan, memilih informasi yang dianggapnya relevan, dan memahami informasi tersebut berdasarkan pengetahuan yang ada padanya, dan kebutuhannya. Peserta didik menambahkan informasi yang diperlukannya tidak selalu dari materi yang disediakan guru. Ini merupakan suatu proses yang aktif karena peserta didik harus melakukan berbagai kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotorik agar informasi tersebut bermakna bagi dirinya “(p. 15, terjemahan oleh penulis makalah).
Belakangan, berbagai interpretasi muncul tentang bagaimana konstruksi pengetahuan itu terwujud pada peserta didik; ada yang mengatakan bahwa peserta didik itu sendiri mampu membangunnya, tapi ada pula yang mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi dalam interaksi sosial seperti teman sebaya, dan keluarga. Yang pertama diwakili oleh J. Piaget, yang mengatakan bahwa konstruksi makna terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah akuisisi pengetahuan yang sesuai dengan yang telah ada sebelumnya; dan akomodasi adalah proses akuisisi terhadap hal-hal baru yang belum ada dalam skema (pengetahuan yang tersimpan dibenak) yang bersangkutan. Di lain pihak, Vygotsky mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial dengan orang lain yang lebih mampu (dalam istilah Vygotsky: skilled individuals). Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi jika proses akuisisi pengetahuan dilakukan dalam lingkungan sosial budaya yang sesuai. Berdasarkan hakikat SCL tersebut di atas, maka dapat dilihat perbedaan antara SCL dengan pembelajaran yang berpusat pada guru dan berorientasi pencapaian materi (Teacher-centered, content-oriented/TCCO), sebagai berikut:
Teacher Centered Pengetahuan ditransfer dari guru ke peserta didik Peserta didik menerima pengetahuan secara pasif Lebih menekankan pada penguasaan materi Biasanya memanfaatkan media tunggal Fungsi guru sebagai pensuplai informasi utama dan evaluator Proses pembelajaran dan asesmen dilakukan secara terpisah Menekankan pada jawaban yang benar saja
Student-Centered Learning Peserta didik secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya Peserta didik secara aktif terlibat didalam mengelola pengetahuannya Penguasaan materi dan juga mengembangkan karakter peserta didik (life-long learning) Multimedia Guru sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan bersama dengan peserta didik Terpadu dan berkesinambungan Menekankan pada pengembangan pengethuan. Kesalahan menunjukkan proses belajar dan dapat digunakan sebagai salahsatu sumber belajar
4
Cocok untuk pengembangan ilmu dalam satu disiplin saja Iklim belajar lebih individual dan kompetitif Proses pembelajaran hanya terjadi pada peserta didik Perkuliahan mengambil porsi waktu terbanyak Penekanan pada ketuntasan materi Penekanan pada cara pembelajaran yang dilakukan oleh guru
Untuk pengembangan ilmu interdisipliner
Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif, suportif, dan kooperatif Peserta didik dan guru belajar bersama dalam mengembangkan, konsep, dan keterampilan Perkuliahan dan berbagai kegiatan lain dalam proses belajar Penekanan pada pencapaian target kompetensi Penekanan pada bagaimana cara peserta didik belajar. Penekanan pada problem-based learning dan skill competency Sumber: Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi, Ditjen Dikti Depdiknas, 2005.
3. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Contextual Teaching and Learning) Dibawah pengaruh perspektif
konstruktivis, pembelajaran yang dianggap dapat
menjawab tantangan pendidikan global sekarang ini (pendidikan yang bermakna, bukan pendidikan yang membebani hidup) adalah pembelajaran yang bersifat kontektual (dikenal dengan istilah Contextual Teaching and Learning, disingkat CTL). CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong peserta didik mengaitkan antara pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga, warganegara, dan dunia kerja. CTL merupakan respons dari ketidakpuasan praktek pembelajaran yang sangat menekankan pada pengetahuan abstrak atau konseptual semata-mata. Pembelajaran demikian memang cocok untuk melahirkan para akademisi, tetapi tidak menyiapkan peserta didik untuk menjadi seorang professional; dengan kata lain, pembelajaran yang terlampau abstrak telah mengabaikan aspek kontekstual atau terapan dari pengetahuan tersebut. Bagi peserta didik,
proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada
pengetahuan abstrak/konseptual lebih pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada proses pembelajaran tradisional tersebut, peserta didik diharapkan untuk memahami dan menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan membaca materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat pada guru. Tidak semua peserta didik memiliki kemampuan untuk menyerap nformasi secara abstrak, oleh karena itu banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar.
5
Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada di masyarakat sebagai anggota yang bermutu. Penguasaan terhadap pengetahuan faktual atau ‘a need-to-know basis’ masih tetap diperlukan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi pengetahuan itu lebih mudah untuk dipahami jika diperoleh dari pengalaman langsung, daripada peserta didik hanya menghafal dan menyimpan informasi itu dalam pikirannya sampai suatu saat nanti diperlukan. Apprenticeship (belajar untuk mencapai keahlian tertentu, magang) adalah suatu metode pembelajaran yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata. Dalam CTL, pembelajaran konsep-konsep abstrak dilakukan dengan prinsip-prinsip apprenticeship tersebut. Karena yang dipelajari adalah konsep (yang lebih berkaitan dengan kognisi daripada keterampilan, maka pembelajarannya disebut dengan cognitive apprenticeship. Cognitive apprenticeship adalah suatu metode melatih peserta didik dalam menyelesaikan suatu tugas. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan guru sebelum pembelajaran dilakukan, yaitu: (1) terlebih dahulu menetapkan kompetensi yang harus dicapai peserta didik, (2) menunjukkan manfaat dari tugas yang diberikan, dan (3) memberi peluang untuk keberagaman cara belajar peserta didik. Dalam cognitive apprenticeship, dilakukan visualisasi konsep-konsep abstrak, memahami konsep, dan menggunakannya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Terkait dengan konsep keberagaman tersebut, dalam CTL perlu dilakukan diversified learning strategies, yaitu yaitu penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi namun kontekstual. Metode ceramah dalam beberapa hal masih diperlukan, tetapi metode-metode yang berpusat pada peserta didik (student-centered) seperti metode inkuiri dan metode kooperatif akan lebih membantu peserta didik mengembangkan kompetensi dengan baik. Begitu juga, perlu dilakukan differentiated teaching strategies, yaitu pembelajaran yang demokratis dimana peserta didik mendapat peluang yang luas untuk memahami informasi sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki masing-masing. Disini kita diingatkan dengan konsep multiple intelligence dari Gardner, yang menekankan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan yang dominan dalam dirinya, dan keberhasilan individu tersebut (dalam belajar dan bekerja) besar dipengaruhi oleh apakah dia dapat memanfaatkan kecenderungannya tersebut untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
6
Pemberdayaan (empowerment) sangat diperlukan dalam CTL (Bond, 2005). Pemberdayaan peserta didik dapat dilakukan dengan cara: (1) Fading (menjauh secara pelahan), yaitu dukungan guru dikurangi sedikit demi sedikit hingga akhirnya peserta didik dapat menyelesaikan tugasnya secara mandiri; (2) Articulation ( penyampaian), yaitu kesempatan untuk peserta didik terlibat dalam percakapan atau diskusi mengenai pengetahuannya dalam rangka memecahkan masalah; (3) Reflection (refleksi, melihat kediri-sendiri), yaitu kegiatan dimana peserta didik dapat membandingkan kemampuan dan keterampilannya dengan ahli di bidangnya; dan (4) Exploration (eksplorasi, berkarya), yaitu yaitu saat dimana guru mendorong peserta didik untuk mencoba menemukan dan memecahkan persoalan secara mandiri. Texas Collaborative for Teaching Excellence (2005) mengajukan suatu strategi dalam melakukan pembelajaran kontekstual yang diakronimkan menjadi REACT, yaitu: relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring.
a. Relating: yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari dengan pengalaman atau kehidupan nyata. Untuk itu, bawa perhatian peserta didik pada pengalaman, kejadian, dan kondisi sehari-hari. Lalu, hubungkan/kaitkan hal itu dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan. b. Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan sendiri. Memang, pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar bisa lebih cepat), tetapi strategi demikian merupakan strategi pasif, artinya, peserta didik tidak secara aktif/langsung mengalaminya. c. Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi dalam konteks yang bermakna. Belajar dalam konteks ini serupa dengan simulasi, yang seringkali dapat membuat peserta didik mencita-citakan sesuatu, atau membayangkan suatu tempat bekerja dimasa depan. Simulasi seperti bermain peran merupakan contoh yang sangat kontekstual dimana peserta didik mengaplikasikan pengetahuannya seperti dalam dunia nyata. Seringkali juga dilakukan berupa pengalaman langsung (firsthand experience) seperti magang. d. Cooperating: yaitu proses belajar dimana peserta didik belajar berbagi (sharing) dan berkomunikasi dengan peserta didik lain. Pembelajaran kooperatif merupakan salahsatu strategi utama dalam CTL, karena pada kenyataannya, karyawan berhasil
7
adalah yang mampu berkomunikasi secara efektif dan bisa bekerja dengan baik dalam tim. Aktivitas belajar yang relevan dengan pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok; dan kesuksesan kelompok tergantung pada kinerja setiap anggotanya. Peer grouping juga suatu aktivitas pembelajaran kooperatif. Beberapa teknik pembelajaran kooperatif akan diulas pada bagian lain dari makalah ini. e. Transferring : yaitu belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, artinya adalah, peserta didik belajar menggunakan apa yang telah dipelajari untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Aktivitas dalam pembelajaran ini antara lain adalah pemecahan masalah (problem solving).
4. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF Secara praktis dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang memiliki perspektif berpusat pada peserta didik. Dengan demikian, pembelajaran inovatif bukanlah sesuatu yang sifatnya baru, yang berbeda betul dengan pembelajaran konvensional yang selama ini dilakukan. Sepanjang pembelajaran yang dilakukan tersebut menganut prinsip-prinsip berpusat pada peserta didik, maka pembelajaran tersebut dapat disebut pembelajaran inovatif tidak peduli apakah pembelajaran tersebut telah dilakukan secara konvensional. Dengan demikian, sangat mungkin kita memiliki pengajar yang sesungguhnya telah inovatif sejak lama. Beberapa model pembelajaran yang relevan dengan SCL adalah cooperative learning, problem-based learning, project-based learning, group discussion, contextual learning, role play and simulation, discovery learning, self-directed learning, dan collaborative learning. Namun, perlu dicatat disini bahwa model-model pembelajaran di atas seringkali overlap satu sama lain, baik dari segi istilah yang digunakan maupun dalam praktek pelaksanaan pembelajarannya. Istilah contextual learning sebagai suatu model pembelajaran disini disejajarkan dengan problem-based learning, padahal di dalam CTL itu sendiri, problem-based learning yang intinya adalah problem solving merupakan bagian penting dari CTL. Kadangkala penggunaan istilah juga menunjukkan penekanan dari model dimaksud. Misalnya, dalam problem-based learning penekanannya adalah problem atau masalah. Dalam model ini pembelajaran dimulai dengan menampilkan masalah dihadapan peserta didik, selanjutnya semua kegiatan pembelajaran berikutnya diarahkan untuk memecahkan masalah tersebut. Sementara itu dalam CTL, penekanan ada pada otentisitas pembelajaran, yaitu bahwa pembelajaran itu harus nyata sesuai dengan
8
apa yang terjadi sehari-hari, dimana didalamnya sangat mungkin ada kegiatan pemecahan masalah. Dalam model pembelajaran berbasis masalah, sangat mungkin dilakukan secara berkelompok, thus dengan demikian, berarti juga dilakukan pembelajaran kooperatif. Contoh lain, dalam model kooperatif, yang ditonjolkan adalah kegiatan kerja kelompoknya, yang diharapkan berdampak pada pengembangan pilar learning to live together secara optimal. Oleh sebab itu, meskipun nama tetap diperlukan, namun dalam pemilihan model yang akan digunakan, guru perlu mendasarkan pada tujuan pembelajaran (kompetensi dasar dan indikator) yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
a. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning/PBL) Problem-Based Instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan peserta didik dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends, 1997). Dalam pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, peserta didik belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, dan mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah. Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arends, 1997), yaitu: (1) guru mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi peserta didik), (2) guru membantu peserta didik mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu peserta didik menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lainlain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua peserta didik, guru, bila perlu melibatkan administrator dan anggota masyarakat).
9
Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan peserta didik dalam proses teacher-assisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah. Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja peserta didik, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk peserta didik dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang sudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman peserta didik. Sintaks pembelajaran ini meliputi lima fase:
Fase 1. Orientasi pada masalah Pengajar menjelaskan tujuan pembelajaran, menguraikan kebutuhan logistik yang diperlukan, dan mendorong peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang dipilihnya sendiri. Fase 2. Perencanaan dan Pengorganisasian Pengajar membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah. Fase 3. Investigasi mandiri dan berkelompok Pengajar mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi, melakukan eksperimen, dan untuk mencari penjelasan dan solusi. Fase 4. Pengembangan dan Penampilan artefak/karya Pengajar membimbing peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan artefak yang sesuai, seperti laporan, video, dan model; Pengajar juga membantu peserta didik untuk saling menginformasikan pekerjaan mereka Fase 5. Analisis dan evaluasi proses penyelesaian masalah
10
Pengajar membantu peserta didik untuk merefleksikan investigasi dan prosesproses yang mereka libatkan dalam penyelesaian masalah.
b. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Model pembelajaran kooperatif dikatakan unik bila dibandingkan dengan modelmodel lain karena untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran digunakan struktur tugas dan struktur penghargaan (reward) yang lain dari yang lain. Peserta didik diharapkan bekerja dalam kelompok, dan penghargaan diberikan baik secara kelompok maupun individual. Munculnya pembelajaran kooperatif didasari oleh konsep-konsep belajar demokratis, aktif, kooperatif, dan penghargaan terhadap perbedaan (karena itu sering dipakai dalam pembelajaran multikultural). Tujuan pembelajaran kooperatif adalah timbulnya efek akademik yang dibarengi oleh efek pengiring seperti kemampuan bekerjasama, penghargaan terhadap eksistensi orang lain, dan lain-lain. Sintaks pembelajaran kooperatif adalah tugas dalam kelompok-kelompok kecil, dan terdiri dari enam fase: (1) menetapkan tujuan pembelajaran, (2) transfer informasi melalui presentasi atau pemberian bahan bacaan, (3) pembentukan kelompok, (4) pelaksanaan tugas dan pemberian bimbingan, (5) evaluasi hasil kerja kelompok, dan (6) menentukan hasil belajar individu maupun kelompok. Beberapa teknik pembelajaran kooperatif yang sering digunakan adalah STAD (Student
Team
Achievement
Division),
Jigsaw,
Think-Pair-Share,
dan
Group
Investigation. Dalam Jigsaw, misalnya, peserta didik dibagi menjadi 5-6 kelompok heterogen. Materi diberikan dalam bentuk teks, dan setiap anggota suatu kelompok bertugas mempelajari sebagian dari keseluruhan materi. Pada saat dilakukan jigsaw, anggota dari semua tim yang membaca materi yang sama berkumpul untuk berdiskusi tentang materi tersebut. Setelah itu, setiap orang kembali ke kelompok/timnya semula. Mereka ini menjadi expert dalam materi yang dipelajari, dan bertugas mengajari anggota timnya. Ilustrasi berikut dapat memperjelas konsep Jigsaw di atas (sumber: Arends, 1997).
11
JIGSAW HOME TEAMS (5 atau 6 peserta didik heterogen dikelompokkan) XXX XX
XXX XX
XXX
XXX
XX
XX
XXX XX
EXPERT TEAMS
5. ASESMEN OTENTIK/ASESMEN BERBASIS KOMPETENSI Asesmen yang relevan adalah jenis-jenis asesmen yang gayut dengan ciri peserta didik aktif membangun pengetahuan, hingga terbentuk kompetensi seperti yang ditetapkan dalam setiap mata kuliah. Jenis-jenis asesmen berbasis kompetensi meliputi asesmen portofolio, kinerja, esai, projek, dan evaluasi diri. Tes-tes objektif sebaiknya dihindari karena jenis tes tersebut merupakan imposed target by the tester with only one single answer. Tes objektif tidak memberi kesempatan peserta didik menemukan jawaban atas persoalan yang dihadapi dengan caranya sendiri, tetapi dipaksa dengan hanya sedikit pilihan tanpa boleh mengambil pilihan diluar pilihan yang diberikan. Secara garis besar, asesmen otentik memiliki sifat-sifat (1) berbasis kompetensi yaitu asesmen yang mampu memantau kompetensi seseorang. Asesmen otentik pada dasarnya adalah asesmen kinerja, yaitu suatu unjuk kerja yang ditunjukkan sebagai akibat dari suatu proses belajar yang komprehensif. Kompetensi adalah atribut individu peserta didik, oleh karena itu asesmen berbasis kompetensi bersifat (2) individual. Kompetensi tidak dapat
12
disamaratakan pada semua orang, tetapi bersifat personal. Karena itu, asesmen cara-cara yang untuk memantau kemampuan peserta didik cenderung tidak dapat secara akurat mengukur kompetensi setiap individu; (3) berpusat pada peserta didik karena direncanakan, dilakukan, dan dinilai oleh peserta didik sendiri; mengungkapkan seoptimal mungkin kelebihan setiap individu, dan juga kekurangannya (untuk bisa dilakukan perbaikan).
Asesmen otentik bersifat tak terstruktur dan open-ended, dalam arti,
percepatan penyelesaian tugas-tugas otentik tidak bersifat uniformed dan klasikal, juga kinerja yang dihasilkan tidak harus sama antar individu di suatu kelompok. Untuk memastikan bahwa yang diases tersebut benar-benar adalah kompetensi riil individu (peserta didik) tersebut, maka asesmen harus dilakukan secara (4) otentik (nyata, riil seperti kehidupan sehari-hari) dan sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan, sehingga asesmen otentik berlangsung secara (5) terintegrasi dengan proses pembelajaran. Asesmen otentik bersifat (6) on-going atau berkelanjutan, oleh karena itu asesmen harus dilakukan secara langsung pada saat proses dan produk belajar. Dengan demikian, asesmen otentik memiliki sifat berpusat pada peserta didik, terintegrasi dengan pembelajaran, otentik, berkelanjutan, dan individual. Sifat asesmen otentik yang komprehensif juga dapat membentuk unsur-unsur metakognisi dalam diri peserta didik seperti risk-taking, kreatif, mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan divergen, tanggungjawab terhadap tugas dan karya, dan rasa kepemilikan (ownership).
a. Asesmen Kinerja Asesmen kinerja adalah suatu prosedur yang menggunakan berbagai bentuk tugastugas untuk memperoleh informasi tentang apa dan sejauhmana yang telah dilakukan dalam suatu program. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yang ditunjukkan dalam menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan yang diberikan. Hasil yang diperoleh merupakan suatu hasil dari unjuk kerja tersebut. Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya, hasil-hasil kerja yang ditunjukkan dalam proses pelaksanaan program itu digunakan sebagai basis untuk dilakukan suatu pemantauan mengenai perkembangan dari satu pencapaian program tersebut. Terdapat tiga komponen utama dalam asesmen kinerja, yaitu tugas kinerja (performance task), rubrik performansi (performance rubrics), dan cara penilaian (scoring
13
guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi topik, standar tugas, deskripsi tugas, dan kondisi penyelesaian tugas. Rubrik performansi merupakan suatu rubrik yang berisi komponen-komponen suatu performansi ideal, dan deskriptor dari setiap komponen tersebut. Cara penilaian kinerja ada tiga, yaitu (1) holistic scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan impresi penilai secara umum terhadap kualitas performansi; (2) analytic scoring, yaitu pemberian skor terhadap aspek-aspek yang berkontribusi terhadap suatu performansi; dan (3) primary traits scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan beberapa unsur dominan dari suatu performansi.
b. Evaluasi Diri Menurut Rolheiser dan Ross (2005) evaluasi diri adalah suatu cara untuk melihat kedalam diri sendiri. Melalui evaluasi diri peserta didik dapat melihat kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian, peserta didik lebih bertanggungjawab terhadap proses dan pencapaian tujuan belajarnya. Salvia dan Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi dan evaluasi diri merupakan cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership), yaitu timbul suatu pemahaman bahwa apa yang dilakukan dan dihasilkan peserta didik tersebut memang merupakan hal yang berguna bagi diri dan kehidupannya. Rolheiser dan Ross (2005) mengajukan suatu model teoretik untuk menunjukkan kontribusi evaluasi diri terhadap pencapaian tujuan. Model tersebut menekankan bahwa, ketika mengevaluasi sendiri performansinya, peserta didik terdorong untuk menetapkan tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, peserta didik harus melakukan usaha yang lebih keras (effort). Kombinasi dari goals dan effort ini menentukan prestasi (achievement); selanjutnya prestasi ini berakibat pada penilaian terhadap diri (selfjudgment) melalui kontemplasi seperti pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’? Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) seperti ‘Apa yang aku rasakan dari prestasi ini?’ Goals, effort, achievement, self-judgment, dan self-reaction dapat terpadu untuk membentuk kepercayaan diri (self-confidence) yang positif. Kedua penulis menekankan bahwa sesungguhnya, evaluasi diri adalah kombinasi dari komponen self-judgment dan self-reaction dalam model di atas. Model tersebut digambarkan dalam bagan berikut.
14
(1) Goals
(2) Effort (3) Achievement
Self-se S Self- (4) Self-judgment evaluation Self- (5) Self-reaction evaluation (6) elf-evaluation Self-confidence
Selfevaluation
Evaluasi diri adalah suatu unsur metakognisi yang sangat berperan dalam proses belajar. Oleh karena itu, agar evaluasiseseevaluati dapat berjalan dengan efektif, Rolheiser dan Ross
on menyarankan agar peserta didik dilatih untuk melakukannya. Kedua peneliti mengajukan empat langkah dalam berlatih melakukan evaluasi diri, yaitu: (1) libatkan semua komponen dalam menentukan kriteria penilaian, (2) pastikan semua peserta didik tahu bagaimana caranya menggunakan kriteria tersebut untuk menilai kinerjanya, (3) berikan umpan balik pada mereka berdasarkan hasil evaluasi dirinya, dan (4) arahkan mereka untuk mengembangkan sendiri tujuan dan rencana kerja berikutnya. Untuk langkah pertama, yaitu menentukan kriteria penilaian. Pengajar mengajak peserta didik bersama-sama menetapkan kriteria penilaian. Pertemuan dalam bentuk sosialisasi tujuan pembelajaran dan curah pendapat sangat tepat dilakukan. Kriteria ini dilengkapi dengan bagaimana cara mencapainya. Dengan kata lain, kriteria penilaian adalah produknya, sedangkan proses mencapai kriteria tersebut dipantau dengan menggunakan ceklis evaluasi diri. Cara mengembangkan kriteria penilaian sama dengan mengembangkan rubrik penilaian dalam asesmen kinerja. Ceklis evaluasi diri dikembangkan berdasarkan hakikat tujuan tersebut dan bagaimana mencapainya.
15
c. Esai (Tes) esai menghendaki peserta didik untuk mengorganisasikan, merumuskan, dan mengemukakan sendiri jawabannya. Ini berarti peserta didik tidak memilih jawaban, akan tetapi memberikan jawaban dengan kata-katanya sendiri secara bebas. Tes esai dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka (extended-response) dan jawaban terbatas (restricted-response) dan hal ini tergantung pada kebebasan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengorganisasikan atau menyusun ide-idenya dan menuliskan jawabannya. Pada tes esai bentuk jawaban terbuka atau jawaban luas, peserta didik mendemonstrasikan kecakapannya untuk: (1) menyebutkan pengetahuan faktual, (2) menilai pengetahuan faktualnya, (3) menyusun ideidenya, dan (4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren. Sedangkan pada tes esai jawaban terbatas atau terstruktur, peserta didik lebih dibatasi pada bentuk dan ruang lingkup jawabannya, karena secara khusus dinyatakan konteks jawaban yang harus diberikan oleh peserta didik. Esai terbuka/tak terstruktur merupakan bentuk asesmen otentik. Tes esai memiliki potensi untuk mengukur hasil belajar pada tingkatan yang lebih tinggi atau kompleks. Butir tes esai memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menyusun, menganalisis, dan mensintesiskan ide-ide, dan peserta didik harus mengembangkan sendiri buah pikirannya serta menuliskannya dalam bentuk yang tersusun atau
terorganisasi.
Kelemahan
esai
adalah
berkaitan
dengan
penskoran.
Ketidakkonsistenan pembaca merupakan penyebab kurang objektifnya dalam memberikan skor dan terbatasnya reliabilitas tes. Namun hal ini dapat diminimalkan melalui penggunaan rubrik penilaian, dan penilai ganda (inter-rater).
d. Asesmen Portofolio Portofolio adalah sekumpulan artefak (bukti karya/kegiatan/data) sebagai bukti (evidence) yang menunjukkan perkembangan dan pencapaian suatu program. Penggunaan portofolio dalam kegiatan evaluasi sebenarnya sudah lama dilakukan, terutama dalam pendidikan bahasa. Belakangan ini, dengan adanya orientasi kurikulum yang berbasis kompetensi, asesmen portofolio menjadi primadona dalam asesmen berbasis kelas. Perlu dipahami bahwa sebuah portofolio (biasanya ditaruh dalam folder) bukan semata-mata kumpulan bukti yang tidak bermakna. Portofolio harus disusun berdasarkan
16
tujuannya. Wyatt dan Looper (2002) menyebutkan, berdasarkan tujuannya sebuah portofolio dapat berupa developmental portfolio, bestwork portfolio, dan showcase portfolio. Developmental portfolio disusun demikian rupa sesuai dengan langkah-langkah kronologis perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, pencatatan mengenai kapan suatu artefak dihasilkan menjadi sangat penting, sehingga perkembangan program tersebut dapat dilihat dengan jelas. Bestwork portfolio adalah portofolio karya terbaik. Karya terbaik diseleksi sendiri oleh pemilik portofolio dan diberikan alasannya. Karya terbaik dapat lebih dari satu. Showcase portfolio adalah portofolio yang lebih digunakan untuk tujuan pajangan, sebagai hasil dari suatu kinerja tertentu. Bagaimanakah asesmen portofolio membantu memantau pencapaian target kompetensi? Asesmen portofolio adalah suatu pendekatan asesmen yang komprehensif karena: (1) dapat mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara bersama-sama, (2) berorientasi baik pada proses maupun produk belajar, dan (3) dapat memfasilitasi kepentingan dan kemajuan peserta didik secara individual. Dengan demikian, asesmen portofolio merupakan suatu pendekatan asesmen yang sangat tepat untuk menjawab tantangan KBK. Asesmen portofolio mengandung tiga elemen pokok yaitu: (1) sampel karya peserta didik, (2) evaluasi diri, dan (3) kriteria penilaian yang jelas dan terbuka. (1) Karya Karya peserta didik menunjukkan perkembangan belajarnya dari waktu ke waktu. Sampel tersebut dapat berupa tulisan/karangan, audio atau video, laporan, problem matematika, maupun eksperimen.
Isi dari sampel tersebut disusun secara sistematis
tergantung pada tujuan pembelajaran, preferensi pengajar, maupun preferensi peserta didik. Asesmen portoflolio menilai proses maupun hasil. Oleh karena itu proses dan hasil sama pentingnya. Meskipun asesmen ini bersifat berkelanjutan, yang berarti proses mendapatkan porsi penilaian yang besar (bandingkan dengan asesmen konvensional yang hanya menilai hasil belajar) tetapi kualitas hasil sangat penting. Dan memang, penilaian proses yang dilakukan tersebut sesungguhnya memberi kesempatan peserta didik mencapai produk yang sebaik-baiknya. Isi folder adalah berbagai produk yang dihasilkan oleh peserta didik, baik yang berupa bahan/draf maupun karya (terbaik), dan disebut entri (entry). Sumber informasi dapat diperoleh dari tes maupun non-tes (dengan tes objektif diupayakan minimal). Bahan non-tes antara lain karya (artefak), rekaman, draf, kinerja, dan lain-lain yang dapat
17
menunjukkan perkembangan peserta didik sebagai peserta didik. Catatan dan bahan evaluasi-diri juga merupakan bagian dalam folder.
(2) Evaluasi Diri dalam Asesmen Portofolio O’Malley dan Valdez Pierce (1994) bahkan mengatakan bahwa ‘self-assessment is the key to portfolio’. Hal ini disebabkan karena melalui evaluasi diri peserta didik dapat membangun pengetahuannya serta merencanakan dan memantau perkembangannya apakah rute yang ditempuhnya telah sesuai. Melalui evaluasi diri peserta didik dapat melihat kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan
perbaikan
(improvement
goal).
Dengan
demikian
peserta
didik
lebih
bertanggungjawab terhadap proses belajarnya dan pencapaian tujuan belajarnya. Evaluasi diri dalam asesmen portofolio persis sama dengan evaluasi diri yang dibahas dalam bagian b. di atas. Memang, asesmen portofolio adalah asesmen otentik yang paling komprehensif dalam khasanah asesmen otentik karena melibatkan jenis-jenis asesmen yang lain seperti asesmen kinerja dan esai (lihat lampiran: contoh implementasi asesmen portofolio).
(3) Kriteria Penilaian yang Jelas dan Terbuka Bila pada jenis-jenis asesmen konvensional kriteria penilaian menjadi ‘rahasia’ pengajar atau pun tester, dalam asesmen portofolio justru harus disosialisasikan kepada peserta didik secara jelas. Kriteria tersebut dalam hal ini mencakup prosedur dan standar penilaian. Para ahli menganjurkan bahwa sistem dan standar asesmen tersebut ditetapkan bersama-sama dengan peserta didik, atau paling tidak diumumkan secara jelas. Rubrik penilaian yang digunakan pengajar untuk menilai kinerja peserta didik.
6. Masalah Subjektivitas Penilaian Isu subjektivitas terutama dalam penilaian pembelajaran yang bersifat terbuka dan berpusat pada peserta didik seperti CTL yang menggunakan asesmen otentik seringkali menjadi perdebatan. Ada pihak yang mengatakan bahwa hasil penilaian terhadap tugas, projek, portofolio, dan sebagainya, rentan dari segi validitas dan reliabilitas penilaian. Bagaimana mungkin, menurut pendapat ini, membandingkan dua peserta didik dari portofolio masing-masing, sementara portofolio mereka berisi hal-hal yang berbeda.
18
CTL adalah upaya untuk meningkatkan kinerja dan pemberdayaan peserta didik. Untuk tujuan ini, sangatlah sulit bila dilakukan dengan menggunakan tes-tes objektif (yang sama untuk semua peserta didik). Dan, perlu disadari bahwa pendidikan bukanlah untuk membandingkan satu peserta didik dengan yang lainnya, melainkan bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi, dengan kata lain, seorang peserta didik yang berhasil bukanlah karena dia mampu ‘mengalahkan’ saingan-saingannya, melainkan karena dia memiliki kompetensi yang tinggi dan dapat diandalkannya untuk menyongsong masa depannya. Namun demikian, subjektivitas dalam diri penilai sendiri tidak dapat dihindarkan dalam asesmen non-tes. Suatu contoh, seorang guru yang terlalu banyak mengoreksi karangan cepat merasa lelah sehingga tidak cermat lagi dalam membaca tulisan peserta didik, akibatnya, tidak terjadi konsistensi penilaian. Hal-hal lain seperti impresi awal dapat pula menyebabkan penilaian tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi peserta didik. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi subjektivitas penilaian. Pertama, penilaian inter-rater, yaitu lebih dari satu orang memberikan penilaian terhadap naskah yang sama. Kedua, adalah dengan menetapkan benchmark, yaitu sampel kinerja yang berfungsi sebagai standar yang dipakai untuk menilai sampel kinerja lainnya
7. Penutup Pembelajaran dan asesmen berbasis kompetensi sudah menjadi keharusan bagi kita untuk melakukannya
mengingat
kelebihan-kelebihan yang dimiliki,
yang jauh
meninggalkan pembelajaran tradisional yang lebih berpusat pada guru. Untuk itu, kesediaan untuk mencoba sambil melakukan inovasi terhadap praktik pembelajaran yang kita lakukan perlu terus dipupuk. Sekalian kita berbicara evaluasi diri, mari kita mulai mencoba mengevaluasi praktik pembelajaran yang kita anut selama ini, melihat kelebihan dan kekurangannya; dan daripadanya kita melakukan perbaikan-perbaikan. Semoga makalah singkat ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu meningkatkan kualitas pembelajaran yang kita lakukan, dalam rangka ikut mendukung upaya-upaya peningkatkan kualitas pendidikan kita.
19
REFERENSI Arends, R.I. (1997). Classroom Management and Instruction. New York: Mc. Graw-Hill Companies Inc. Bond, L. P. (2005). Using Contextual Instruction to Make Abstract Learning Concrete. Copyright 2005. Association for Career and Technical Education, printed on 15 th July 2005. Clifford, M. and Wilson, M. (2000). ‘Professional Learning and Student’s Experiences: Lesson Learned from Implementation’. Educational Brief . No. 2 December 2000. Texas Collaborative for Teaching Excellence. (2005). REACT Strategy. Printed on 15th July 2005. Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO Publishing. Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Depdiknas. (2005). Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Jakarta. Elliott, S.N. et al. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. Boston: Mc.Graw Hill. Marhaeni, A.A.I.N. (2005). Pengaruh Asesmen Portofolio dan Motivasi Berprestasi terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Inggris (disertasi tak dipublikasikan), Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Marhaeni, A. A. I. N. (2006). Menggunakan Pembelajaran Kontekstual di SMP. Makalah disampaikan dalam workshop tentang pembelajaran di SMP Negeri 1 Negara, tanggal 31 Juli 2006. Nitko, A.J. (1996). Educational Assessment of Students. 2nd Edition. New Jersey: Merrill. O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. (1996). Authentic Assessment for English Language Learners. New York: Addison-Wesley Publishing Company. Paris, S. G. & Winograd, P. (2005). The Role of Self-Regulated Learning in Contextual Teaching: Principles and Practices for Teacher Preparation (artikel download). Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th Edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research Says and What Practice Shows. Internet download. Wyaatt III, R.L. & Looper, S. (1999). So You Have to Have A Portfolio, a Teacher’s Guide to Preparation and Presentation. California: Corwin Press Inc.
20
Tentang Pembicara: Dr. Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni, M. A., adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha Singaraja sejak tahun 1990. Lulus S1 bidang Pendidikan Bahasa Inggris dari FKIP UNUD Singaraja tahun 1989; S2 bidang Pendidikan Dasar dengan spesialisasi Pengajaran Bahasa dari Ohio State University, Ohio Amerika Serikat tahun 1996; dan S3 bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta tahun 2005. Mengajar pada Program D2 PGSD, S1 Pendidikan Bahasa Inggris, dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Undiksha Singaraja. Meneliti dan menulis artikel ilmiah bidang pendidikan, serta menjadi pembicara dalam seminar dan workshop bidang Pembelajaran, Metodologi Penelitian, dan Evaluasi Pendidikan. Bertempat tinggal di Perumahan Puri Asri Blok C No. 3 Desa Kerobokan, Singaraja 81171; Tlp. 0362-7000162, Hp. 0817567427.
21
Skenario Perkuliahan Pembelajaran berbasis pemecahan masalah dengan asesmen portofolio
A. Topik: Bagaimanakah ekonomi Indonesia dapat survived tanpa IMF?
B. Kompetensi Dasar : memiliki analisis yang baik tentang pengaruh lembaga keuangan internasional seperti IMF terhadap ekonomi Indonesia
C. Indikator: 1. dapat merumuskan peran IMF dalam ekonomi dunia. 2. dapat merumuskan peran IMF dalam ekonomi Indonesia selama 3 dekade terakhir 3. dapat merumuskan suatu strategi ekonomi yang tepat dimana Indonesia dapat tumbuh tanpa harus tergantung pada pinjaman.
D. Materi: Bacaan wajib: (referensi dari guru) Bahan dan bacaan pendukung: Seperti download internet, dokumen, rekaman berita, dan lain-lain
E. Strategi Pembelajaran dan asesmen: PBL dan portofolio 1. Sintaks PBL 2. Asesmen Portofolio a. Topic-based portfolio b. Folder Contents: 3 esai (sesuai dengan indicator), draf terseleksi, materi dan bahan yang digunakan, evaluasi diri, refleksi (cover letter)
F. Langkah-langkah Pembelajaran Persiapan 1. merancang kompetensi dasar dan indikator kompetensi 2. merancang langkah-langkah umum pemecahan masalah
22
3. merancang cara pelaksanaan asesmen portofolio 4. merancang isi folder dan kriteria penilaian 5. merancang instrumen evaluasi diri
Pelaksanaan: Pertemuan I: a. Guru menyampaikan topik pembelajaran dan rancangan 1-5 kepada peserta didik dan mendiskusikannya dengan peserta didik b. Guru-peserta didik menyepakati 1-5 (berdasarkan hasil diskusi) c. Guru memberi wawasan umum tentang topic (bila perlu) d. Peserta didik berbagi kelompok
Pertemuan II Work in progress: group work, self-evaluation in group, teacher-student conferences, portfolio development (catatan: banyak hal-hal yang harus disiapkan dan dilakukan peserta didik diluar sesi perkuliahan untuk kegiatan ini. Disinilah antara lain terlihat nuansa SCL secara jelas).
Pertemuan III Portfolio presentation (dalam bentuk seminar, workshop, atau pameran)
Monitoring dan Evaluasi a.
Portfolio presentation ( kualitas presentasi/4, kemampuan menjawab pertanyaan/4, etika presentasi/2)
b.
Portfolio folder (kelengkapan isi folder/2, relevansi data/2, ketajaman analisis terhadap masalah/4, evaluasi diri dan refleksi/2)
23
Rubrik Penilaian Portfolio Presentation No.
Dimensi
Deskriptor
Skor
Bobot
SxB
(1-10) 1.
Kualitas presentasi
Paparan
sistematis,
dukungan
4
visual
tepat, bahasa baik 2.
Kemampuan
menjawab Menjawab
pertanyaan
4
pertanyaan, jawaban
isi
tepat
dan
lugas 3.
Etika presentasi
Tegas
dan
luwes,
2
mengikuti tatatertib, mengikuti tatakrama kegiatan ilmiah
Ceklis Evaluasi Diri Presentation Checklist No.
Dimensi
Deskriptor
1.
Kualitas presentasi
paparan sistematis dukungan visual tepat bahasa baik
2.
3.
Kemampuan
menjawab menjawab pertanyaan
pertanyaan
isi jawaban tepat dan lugas
Etika presentasi
tegas dan luwes mengikuti tatatertib mengikuti tatakrama kegiatan ilmiah
24
Cek
Rubrik Penilaian Portfolio Folder Assessment No.
Dimensi
Deskriptor
Skor
1.
Kelengkapan entri
Cover letter, table of
Bobot
SxB
2
contents, final works, draf dan bahan, selfevaluation 2.
Relevansi data
menunjang
2
penyelesaian isi
tugas,
komprehensif,
volume memadai 3.
Ketajaman analisis
latar belakang logis,
4
fokus masalah jelas, dukungan teori dan fakta
tepat,
solusi
tajam
dan
komprehensif 4.
Evaluasi diri dan Refleksi
Kualitas
dan
kuantitas
self-
evaluation,
2
kualitas
isi cover letter
Ceklis Evaluasi Diri Portfolio Folder Checklist No.
Dimensi
Deskriptor
1.
Kelengkapan entri
Cover letter table of contents final works Draf dan bahan self-evaluation
25
Cek
2.
Relevansi data
menunjang penyelesaian tugas isi komprehensif volume memadai
3.
Ketajaman analisis
latar belakang logis fokus masalah jelas dukungan teori dan fakta tepat solusi tajam dan komprehensif
4.
Evaluasi diri dan Refleksi
kualitas self-evaluation kuantitas self-evaluation kualitas isi cover letter
TUGAS LOKAKARYA Dengan menggunakan contoh di atas sebagai pegangan dan inspirasi, masingmasing peserta diminta membuat satu skenario pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, untuk suatu topik atau pokok bahasan dalam salahsatu matakuliah yang diampu. Skenario tersebut akan dipresentasikan untuk mendapat umpan balik.
26
Referensi
Arends, R.I. (1997). Classroom Management and Instruction. New York: Mc. Graw-Hill Companies Inc. Clifford, M. and Wilson, M. (2000). ‘Professional Learning and Student’s Experiences: Lesson Learned from Implementation’. Educational Brief . No. 2 December 2000. Texas Collaborative for Teaching Excellence. (2005). REACT Strategy. Printed on 15th July 2005. Direktorat Pembinaan Akademik dan Kepeserta didikan Ditjen Dikti Depdiknas. (2005). Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Jakarta. Elliott, S.N. et al. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. Boston: Mc.Graw Hill. Moore, K. D. (2005). Effective Instructional Strategies From Theory to Practice. California: Sage Publications Inc.
Tentang Pembicara: Dr. Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni, M. A., adalah guru pada S1 Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program Pascasarjana Undiksha Singaraja. Lulus S1 bidang Pendidikan Bahasa Inggris dari FKIP UNUD Singaraja tahun 1989; S2 bidang Pendidikan Dasar dengan spesialisasi Pengajaran Bahasa dari Ohio State University, Ohio Amerika Serikat tahun 1996; dan S3 bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta tahun 2005. Selain mengajar, juga meneliti dan menulis naskah dan artikel ilmiah bidang pendidikan, serta menjadi narasumber dalam seminar dan workshop bidang pembelajaran, metodologi penelitian, dan evaluasi pendidikan. Anggota tim kurikulum PGSD Ditjen Dikti (19971998), penatar PTK Proyek PGSM Ditjen Dikti (1998-2001). Anggota tim Standar Penilaian pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2005). Konsultan Penelitian Guru di Jembrana, Ditjen PMPTK Dikti (2005). Reviewer penelitian dan hibah kompetisi Undiksha (2004-sekarang). Bertempat tinggal di Perumahan Puri Asri Desa Kerobokan, Kabupaten Buleleng. Tlp. 0362-7000162; Hp. 0817567427.
27